Anda di halaman 1dari 97

TIROID

Latar Belakang Sejarah

Goiter (dari Bahasa Latin Guttur, tenggorokan), didefinisikan sebagai

pembesaran tiroid, telah dikenal sejak 2700 SM meskipun kelenjar tiroid tidak

didokumentasikan sampai pada masa Renaissance. Pada tahun 1619, Menurut

Hieronyrnus Fabricius ab Aquapendente diakui bahwa gondok muncul dari kelenjar

tiroid. Pada tahun 1776, tiroid diklasifikasikan sebagai kelenjar oleh Albrecht von Haller

dan dianggap memiliki berbagai fungsi mulai dari lumbrikasi laring, bertindak sebagai

reservoir darah dalam memberikan aliran ke otak.

Perkiraan pertama pembedahan tiroid sebagai terapi goiter dilakukan oleh Roger

Frugardi pada tahun 1170. Setelah kegagalan dalam terapi medikal, dua seton

dimasukkan pada sudut kanan tiroid dan diperketat dua kali sehari sampai dipisahkan.

Luka terbuka diobati dengan bubuk kaustik. Namun operasi tiroid masih tetap dianggap

bahaya dengan tingkat kematian yang tinggi (> 40%) sampai pertengahan abad

kesembilan, ketika kemajuan anestesi, antisepsis, dan hemostasis memungkinkan ahli

bedah untuk melakukan operasi tiroid yang dengan signifikan mengurangi angka

mortalitas dan morbiditas. Para ahli bedah tiroid yang paling terkenal adalah Emil

Theodor Kocher (1841-1917) dan C.A. Theodor Billroth (t829-I594), yang melakukan

ribuan operasi dengan hasil yang baik. Walaupun banyak pasien yang selamat setelah

operasi tiroid, masalah baru timbul. Setelah total tiroidektomi, pasien (terutama anak-

anak) menjadi mixedematous. Mixedema pertama kali efektif diobati pada tahun 1891

oleh George Murray menggunakan injeksi ekstrak tiroid domba secara subkutans dan

kemudian, Edward Fox menunjukkan bahwa terapi oral sama efektifnya. Pada tahun

1
1909, Kocher dianugerahi Hadiah Nobel bidang esehatan sebagai pengakuan " karya-

karyanya dibidang fisiologi, patologi, dan operasi kelenjar tiroid. "

Embriologi

Kelenjar tiroid muncul dari foregut primitif sekitar minggu ketiga gestasi. Berasal

dari dasar lidah di foramen sekum. Sel endoderm di dasar faring menebal membentuk

bagian medial tiroid (Gambar. 38-1) yang turun di anterior struktur leher membentuk

tulang hyoid dan laring. Dalam perjalanannya tiroid terhubung ke foramen sekum

melalui tabung epitel berlapis yang disebut ductus thyroglossus. Sel epitel yang

membentul sel folikel tiroid. Lobus lateral berasal dari neuroektodermal dan

merangsang pembentukan Calcitonin dari sel C atau Parafolikular. Folikel tiroid dan

pembentukan koloid dimulai pada minggu ke sebelas masa gestasi.

2
Kelainan Perkembangan

Dutus dan Sinus Tiroglosus

Kista duktus tiroglossus paling sering disebabkan oleh anomali kongenital dari

cervikal. Selama minggu kelima kehamilan lumen duktus tiroglossus mulai mengalami

obliterasi dan menghilang pada minggu kedelapan kehamilan. Jarang duktus tiroglosus

yang bertahan seluruhnya atau sebagian. Kista duktus tiroglossus dapat terjadi disetiap

tempat migrasi tiroid, meskipun 80% ditemukan pada posisi tulang hioid. Biasanya

asimptomatik tetapi kadang kadang dapat diinfeksi oleh bakteri rongga mulut, yang

mendorong pasien untuk berobat. Secara Histologi, Ductus tiroglossus dibentuk oleh

epitel kolumner berlapis semu bersilia dan epitel gepeng, dengan 20% kasus jaringan

tiroid heterotopik

Diagnosis biasanya ditegakkan dengan mengamati massa garis tengah leher

yang bergerak ke atas dengan penonjolan lidah. Pencitraan thyroid rutin tidak

diperlukan sepanjang skintigrafi tiroid dan USG telah dilakukan untuk

mendokumentasikan jaringan tiroid normal pada leher. Pengobatan dikenal dengan

"operasi Sistrunk," yang terdiri dari en bloc kistektomi dan eksisi bagian tengah tulang

hyoid untuk meminimalkan kekambuhan. Sekitar 1% Kista duktus tiroglossus

ditemukan mengandung kanker, yang biasanya papiler (85%). Peran total tiroidektomi

dalam kasus ini masih kontroversial, tapi disarankan untuk pasien usia tua dengan

tumor besar, terutama jika ada nodul tiroid tambahan dan bukti invasi dinding kista atau

metastasis kelenjar getah bening. skuamosa, sel Hurthle, dan anaplastik juga telah

3
dilaporkan tapi jarang. Kanker tiroid meduler (MTC), tidak ditemukan dalam kista duktus

tiroglosus.

Tiroid Lingual

Tiroid lingual menunjukkan kegagalan tiroid bagian medial untuk turun secara

normal, Intervensi menjadi diperlukan saat terjadi gejala obstruktif seperti tersedak,

disfagia, obstruksi jalan napas, atau perdarahan. Pilihan Pengobatan meliputi

pemberian hormon tiroid eksogen untuk menekan thyroid-stimulating hormone (TSH)

dan ablasi iodium radioaktif (RAI) diikuti oleh penggantian hormon. Eksisi bedah jarang

diperlukan tetapi jika dilakukan, harus didahului dengan evaluasi jaringan tiroid normal

di leher untuk menghindari pasien jatuh pada keadaan hipotiroid.

Tiroid Ektopik

Jaringan tiroid normal dapat ditemukan di mana saja pada bagian tengah leher,

termasuk esofagus, trakea, dan mediastinum anterior. Jaringan tiroid berdekatan

dengan arcus aorta diatas pericardium, atau dalam septum interventrikular. Jaringan

tiroid yang terletak lateral dari selubung karotis dan vena jugularis, sebelumnya disebut

thyroid abberan lateral hampir selalu merupakan kanker tiroid metastatik pada kelenjar

getah bening, seperti yang dijelaskan oleh Crile. Bahkan jika tidak nampak pada

pemeriksaan fisik atau USG, lobus tiroid ipsilateral berisi fokus kanker tiroid papiler

(PTC), secara mikroskopis.

4
Lobus Piramidalis

Biasanya duktus tiroglosus mengalami atrofi, meskipun mungkin tetap terlihat

seperti serat. Pada sekitar 50% dari individu, ujung distal yang menghubungkan ke

tiroid berlanjut menjadi lobus piramidal yang menjadi proyeksi dari ismus, melebar kekiri

ke kiri kanan garis tengah leher. dalam individu normal, lobus piramida tidak teraba,

tetapi dalam kelainan yang menghasilkan hipertrofi tiroid (misalnya, penyakit Grave,

diffuse nodular goiter, atau lymphocytic thyroiditis), lobus piramidal biasanya membesar

dan teraba.

Anatomi Tiroid

Hubungan anatomi kelenjar tiroid dan struktur sekitarnya digambarkan pada

Gambar. 38-2. Kelenjar tiroid dewasa berwarna coklat dan konsistensi kenyal, dan

terletak posterior dari strap muscleotot. Kelenjar thiroid yang normal beratnya sekitar 20

g, tetapi berat kelenjar bervariasi dengan berat badan dan asupan iodium. Lobus tiroid

terletak berdekatan dengan tulang rawan thiroid dan dihubungkan oleh ismus yang

terletak dibawah kartilago krikoid. Sebuah lobus piramidal terdapat pada sekitar 50%

pasien. Lobus tiroid meluas ke tulang rawan mid tiroid superior berdekatan dengan

selubung karotis dan otot sternokleidomastoid lateral. Otot-otot strap muscle

(sternohyoid, sternothyroid, dan superior belly omohyoid) yang terletak anterior dan

dipersarafi oleh ansa cervicalis (ansa hlpoglossus). Kelenjar tiroid diselimuti oleh

jaringan ikat longgar yang dibentuk dari partisi fasia servikalis profunda menjadi bagian

anterior dan posterior. Kapsul tiroid pada dasarnya tipis, mempunyai lapisan berserat

membentuk septa – septa yang masuk kedalam kelenjar, membentuk pseudolobulus

5
tiroid. Kapsul tiroid terkondensasi ke ligamen suspensorium Berry posterior dekat

kartilago krikoid dan cincin trakea atas.

Suplai Darah

Arteri tiroid superior muncul dari arteri karotis ipsilateral eksternal dan dibagi

menjadi cabang anterior dan posterior di apeks lobus thiroid. Arteri tiroidea inferior

muncul dari trunkus tiroservikalis berasal dari arteri subklavia. Arteri tiroidea inferior

berjalan ke atas melalui posterior selubung karotis leher dan masuk lobus tiroid pada

titik tengah. Arteri thiroidea ima muncul langsung dari aorta atau pada 1-4% individu
6
masuk ke pusat dari ismus atau mengganti arteri tiroidalis inferior yang hilang. Arteri

tiroidalis inferior melintasi nervus laringeus recurent (RLN), yang diperlukan untuk

mengidentifikasikan RLN sebelum cabang-cabang arteri dapat diikat. Aliran vena dari

kelenjar tiroid terjadi melalui beberapa vena permukaan, yang bergabung membentuk

tiga bagian vena-meliputi vena tiroidalis superior, media, dan inferior. Vena tiroidalis

superior berjalan bersama dengan arteri tiroidalis superior bilateral. Bagian tengah vena

adalah yang paling konsisten. Vena superior dan menengah mengalir langsung ke vena

jugularis interna. Pembuluh darah inferior sering membentuk pleksus, yang mengalirkan

darah ke vena brakhiosefalika.

Nervus

RLN kiri muncul dari nervus vagus di mana melintasi arcus aorta, memutar

disekitarligamentum arteriosum, dan naik ke medial leher melalui alur trakeoesofageal

grove. RLN kanan muncul dari vagus di persimpangan dengan arteri subklavia kanan.

Nervus biasanya melewati posterior arteri sebelum naik di leher, jalurnya menjadi lebih

miring daripada kiri RLN. Setelah mencapai leher, RLN terbagi menjadi cabang anterior,

posterior, atau interdigitalis bersamaan dengan percabangan arteri tiroidalis inferior

(Gambar. 38-3). Non rekuren RLN kanan terjadi pada 0,5 sampai 1% individu dan

sering dikaitkan dengan anomaly vaskular. Non rekuren RLN kiri jarang terjadi tetapi

telah dilaporkan pada pasien dengan situs inversus dan arkus aorta sisi kanan.

Identifikasi saraf atau cabang-cabangnya sering membutuhkan mobilisasi ke lateral

danposterior dari kelenjar tiroid, tuberkulum Zuckerkandl dan di tingkat kartilago krikoid.

Segmen terakhir dari saraf sering berada di bawah tuberkulum dan berdekatan dengan

7
ligamen Berry. Cabang-cabang saraf dapat melintasi ligamen pada 25% individu, dan

kadang kadang mengancam cedera pada junction. RLN berakhir dengan masuk ke

laring posterior sampai ke otot krikotiroid.

RLN menginervasi semua otot intrinsik laring, kecuali otot cricothirooid, yang

dipersarafi oleh nervus laringeus eksternal. Cedera pada satu RLN menyebabkan

kelumpuhan pita suara ipsilateral, membentuk pita suara posisi paramedian atau posisi

abduksi. Hasil posisi paramedian biasanya fungsinya normal, tetapi suara lemah,

sedangkan posisi abduksi mengarah ke suara serak dan batuk yang tidak efektif.

Cedera RLN Bilateral dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, sehingga perlu
8
trakeostomi darurat, atau kehilangan suara. Jika kedua pita suara berada posisi

abduksi, pergerakan udara masih dapat terjadi, namun pasien memiliki reflek batuk

yang tidak efektif dan terjadi peningkatan risiko infeksi saluran pernapasan berulang

dari aspirasi. Nervus larringeal superior muncul dari nervus vagus. Setelah berasal

dasar tengkorak, saraf ini berjalan di sepanjang arteri karotis internal dan terbagi

menjadi dua cabang di tingkat tulang hyoid. Cabang internal nervus laringeus superior

mengantarkan sensorik ke supraglottik laring. Cedera saraf ini jarang terjadi pada

operasi tiroid, namun kejadian tersebut dapat mengakibatkan aspirasi. Cabang

eksternal dari saraf laringeal superior terletak pada inferior otot konstriktor faring dan

turun bersama vena tiroidalis superior sebelum menginervasi otot cricothiroid. Cernea

dkk mengusulkan sistem klasifikasi untuk menggambarkan hubungan saraf ini ke

pembuluh tiroid superior (Gambar. 38-4). Tipe variant 2A, di mana saraf melintasi

bagian bawah ujung tiroidalis superior, terjadi sampai 20% individu dan merupakan

tempat-tempat saraf yang risiko lebih besar terjadi cedera. Oleh karena itu, pole

superior tidak boleh diikat secara massal, tetapi harus dipisahkan secara individual,

kemudian kelenjar tiroid didiseksi di lateral otot krikotiroid. Cedera saraf ini

menyebabkan ketidakmampuan untuk menegangkan pita suara ipsilateral dan

karenanya kesulitan "memukul nada tinggi," memproyeksikan suara, dan kelelahan

suara selama pidato yang panjang.

Persarafan simpatis kelenjar tiroid disediakan oleh serat dari ganglia simpatetik

servikal superior dan menengah. Serabut parasimpatis berasal dari saraf vagus dan

mencapai kelenjar melalui cabang dari nervus laringeus.

Kelenjar Paratiroid

9
Embriologi dan anatomi kelenjar paratiroid dibahas secara rinci di bagian Bab

Kelenjar Paratiroid. Sekitar 85% dari individu memiliki empat kelenjar paratiroid yang

dapat ditemukan 1 cm dari persimpangan arteri tiroid inferior dan RLN. Kelenjar

superior biasanya terletak dorsal ke RLN, sedangkan kelenjar inferior biasanya

ditemukan ventral ke RLN (Gambar. 38-5).

Sistem Limfatik

Kelenjar tiroid dikelilingi jaringan limfatik yang luas. Pembuluh limfatik

intraglandular menghubungkan kedua lobus tiroid melalui ismus dan juga mengalir ke

struktur peritiroid dan kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening regional termasuk

10
pretrakeal, paratrakeal, peritioidal, RLN, mediastinum superior, retrofaringeal, esofagus,

dan bagian superior, tengah, dan inferior rantai nodus jugularis. Kelenjar getah bening

ini dapat diklasifikasikan menjadi tujuh tingkat seperti digambarkan dalam Gambar. 38-

6. Kompartemen central termasuk nodus terletak di daerah antara dua selubung karotis,

sedangkan node lateral berada dalam kompartemen lateral. Kanker tiroid dapat

bermetastasis kesalah satu wilayah ini, meskipun metastasisuntuk nodus submaxillary

(Level I): jarang (<1%). Kadang dapat juga terjadi “skip" metastasis ke kelenjar di leher

ipsilateral.

Histologi Tiroid

Secara mikroskopis, tiroid dibagi menjadi lobules yang berisi 20-40 folikel (Gambar. 38-

7). Ada sekitar 3 x 106 folikel dalam kelenjar tiroid laki-laki dewasa. Folikel berbentuk

sperical dan rata-rata berdiameter 30m. Setiap folikel dilapisi oleh sel epitel kuboid dan

11
berisi pusat penyimpanan koloid yang disekresikan darisel epiteldi bawah pengaruh

hormon hipofisis TSH. Kelompok sel sekretori tiroid yang kedua adalah sel C atau sel

parafollicular, yang berisi dan mensekresi hormon kalsitonin. Ditemukansebagai sel-sel

individual atau mengelompok dalam kelompok-kelompok kecil di interfollicular stroma

dan terletak dikutub atas dari lobus tiroid.

Fisiologi Tiroid

Metabolisme lodium

Rata-rata kebutuhan iodium harian adalah 0,1 mg, yang dapat berasal dari

makanan seperti ikan, susu, dan telur atau sebagai aditif dalam roti atau garam.

Dilambung dan jejunum, iodium cepat dikonversi ke iodida dan diserap ke dalam aliran

darah, dan didistribusikan secara merata di seluruh ruang ekstraseluler'. Iodida secara

aktif diangkut ke dalam sel folikel tiroid oleh adenosin triphosphate (ATP)-dependent

process. Tiroid adalah tempat penyimpanan >90% dari kandungan iodium tubuh dan

kira – kira sepertiga iodium plasma hilang. Iodium plasma dibuang melalui ekskresi

ginjal.

12
Sintesis Hormon Tiroid, Sekresi, dan Transportasi

Sintesis hormon tiroid terdiri dari beberapa langkah (Gambar. 35-8). Yang

pertama, perangkap iodida, melibatkan aktif (tergantung ATP) transportasi iodida

melintas membran basal tiroid melalui sebuah protein membran intrinsik, natrium/iodium

(Na +/I-) simporter. Thyroglobulin (Tg) adalah molekul glikoprotein besar (660 kDa),

yang ada di folikel tiroid dan memiliki empat residu Tyrosyl. Langkah kedua sintesis

hormon tiroid melibatkan oksidasi iodida menjadi iodin dan iodinasi residu tyrosine di

Tg, untuk membentuk monoiodotyrosines (MIT) dan diiodotposines (DIT). Kedua proses

dikatalisis oleh Tiroid peroksidase (TPO). Sebuah protein baru-baru ini diidentifikasi,

Pendrin, adalah berfungsi untuk menengahi iodium penghabisan di membran apikal.

Langkah ketiga mengarah kekopling dua molekul DIT membentuk tetra-iodothyronine

atau thyroxine (T4), dan satu DIT molekul dengan satu molekul MIT untuk membentuk

3,5,3'-triiodothyronine (T3) atau 3,3', 5'-triiodothyronine reverse (RT3).

Ketika dirangsang oleh TSH, thyrocites membentuk pseudopodia, yang

mengelilingi bagian membran sel yang berisi Tg, yang berfusi dengan enzime yang

mengandung lisosom. Pada langkah keempat, Tg dihidrolisis untuk melepaskan free

iodothyronines (T3 danT4) dan mono dan diiodotyrosines. Yang terakhir langkah

kelima, deiodinasi hasil iodida, yang digunakan kembali dalam thyrocite tersebut.

Dalam keadaan eutiroid, T4 diproduksi dan dirilis sepenuhnya oleh kelenjar tiroid,

sedangkan 20% dari total T3, diproduksioleh tiroid. Sebagian besar T3 diproduksi oleh

deiodinasi perifer (pengangkatan 5'-yodium dari lingkar luar) dari T4 dihati, otot, ginjal,

dan hipofisis anterior, reaksi tersebut dikatalisis oleh 5'-mono-deiodinase. Beberapa T4


13
dikonversi ke RT3, yang merupakan senyawa metabolik aktif, berdasarkan deiodinasi

dari cincin dalam T4.

Dalam kondisi seperti penyakit Grave, gondok multi nodular toksik, proporsi T3

yang dibebaskan dari tiroid dapat secara dramatis meningkat. Hormon tiroid yang

diangkut dalam serum terikat dengan protein pembawa seperti T4-binding globulin, T4 -

mengikat prealbumin, dan albumin. Hanya sebagian kecil (0.02%) hormon tiroid (T3 dan

T4) adalah dalam bentuk bebas (tidak terikat) dan merupakan komponen aktif secara

fisiologis. T3 adalah hormon tiroid yang terkuat, meskipun yang beredar di tiingkat

plasma jauh lebih rendah dibandingkan dengan T4. T3 kurang terikat erat ke protein

dalam plasma dari T4, dan begitu memasuki jaringan lebih mudah. T3

adalah tiga sampai empat kali lebih aktif daripada T4 persatuan berat, dengan waktu

paruh hidup sekitar satu hari, dibandingkan dengan sekitar 7 hari untuk T4.

14
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh aksis hipothalamic-pituitary – thyroid

(Gbr. 38-9). Hipotalamus menghasilkan peptida. Thyrotropin-releasing hormone (TRH),

yang merangsang hipofisis untuk melepaskan TSH atau thyrotropin. TRH mencapai

hipofisis melalui sirkulasi porto venous. TSH, sebuah glycopeptide 28-kDa, mediasi

iodide trapping, sekresi, dan pelepasan hormon tiroid, selain meningkatkan selularitas

dan vaskularisasi dari kelenjar tiroid. Reseptor TSH (TSH-R) milik keluarga reseptor G-

protein coupled yang memiliki tujuh transmembran-spanning domain dan menggunakan

adenosin monofosfat siklik dalam sinyal-jalur transduksi. TSH disekresi oleh hipofisis

anterior dan juga diatur melalui umpan balik negatif oleh T3 dan T4. Karena hipofisis

memiliki kemampuan untuk mengkonversi T4 menjadi T3. Yang terakhir ini diperkirakan

menjadi lebih penting dalam kontrol umpan balik ini. T3 juga menghambat pelepasan

TRH.

15
Kelenjar tiroid juga mampu untuk autoregulasi, yang memungkinkan untuk

memodifikasi fungsi independennya TSH. Sebagai adaptasi terhadap asupan iodida

yang rendah, kelenjar istimewa ini mensintesis T3 lebih banyak dari T4, sehingga

meningkatkan efisiensi sekresi hormon. Dalam situasi kelebihan iodium, transportasi

iodida, generasi peroksida, dan sintesis dan sekresi dari hormon tiroid terhambat.

Terlalu besar dosis iodida dapat menyebabkan peningkatan organifikasi lebih awal,

diikuti dengan penekanan, fenomena itu disebut efek Wolff-Chaikoff.

16
Hormon human chorionic gonadotropin dan epinefrin merangsang produksi hormon

tiroid. Dengan demikian, peningkatan level hormon tiroid ditemukan pada kehamilan

dan keganasan ginekologik seperti mola hidatidosa. Sebaliknya, glukokortikoid

menghambat produksi hormon tiroidi. Pada pasien sakit berat, hormon tiroid perifer

dapat dikurangi, tanpa peningkatan kompensasi dalam level TSH, sehingga

menimbulkan euthyroid sick syndrome.

Fungsi Hormon Tiroid

Hormon tiroid bebas masuk ke dalam membran sel melalui cara difusi atau

melalui carrier spesifik dan dibawa menuju inti membran oleh spesific protein binding.

T4 dideiodinasi menjadi T3 dan masuk ke nukleus melalui transport aktif, dimana hal ini

dipecah oleh reseptor hormon tiroid. Reseptor T 3 sama dengan reseptor nukleus untuk

glucocorticoid, mineralocorticoid, estrogen, vitamin D dan retinoid acid. Pada manusia

dua tipe reseptor gen T3 (α dan β) berlokasi pada kromosom 3 dan 17. Ekspresi Tiroid

reseptor tergantung pada konsentrasi hormon tiroid diperifer dan jaringan spesifik – α

dibentuk pada sistem saraf pusat, sedangkan β dominan di hati. Setiap gen

menghasilkan ligan independen, amino terminal, ligand terikat, carboxy terminal dan

lokasinya dipusatkan pada DNA –binding region. Homon tiroid yang terikat mengalami

proses transkripsi dan translasi pada gen hormon spesifik.

Hormon tiroid hampir mempengaruhi seluruh sistem di tubuh. Sangat penting

untuk pertumbuhan otak janin, dan maturasi tulang. T 3 meningkatkan konsumsi oksigen,

metabolisme basal dan produksi panas melalui stimulatisasi Na +/K+ ATPase pada

17
berbagai jaringan. Juga memberikan efek inotropik positif dan chronotopik pada jantung

dengan meningkatkan transkripsi dari Ca 2+ ATPase pada reticulum sarcoplasmic dan

meningkatkan level Reseptor Betha-adrenergik dan konsentrasi Protein-G. Reseptor

Miocardial Alpha menurunkan dan mempengaruhi aksi katekolamin. Hormon Tiroid juga

berperan untuk pengaturan tingkat hipoksia dan hiperkapnia yang normal pada pusat

pernafasan di otak. Tiroid juga meningkatkan motilitas usus, menyebabkan diare pada

hipertiroid dan konstipasi pada hipotiroid. Hormon tiroid juga meningkatkan pertukaran

protein dan tulang dan kecepatan kontraksi otot dan relaksasi otot. Selain itu juga

meningkatkan glycogenolisis, hepatik gluconeogenesis, absorbsi glukosa intestinal dan

sintesis dan degradasi kolesterol.

Evaluasi Pasien Dengan Kelainan Tiroid

Tes Fungsi Tiroid

Berbagai tes dapat dilakukan untuk menilai fungsi tiroid. Tidak ada tes tunggal

untuk memeriksa fungsi tiroid pada semua situasi dan hasil harus menggambarkan

kondisi klinis pasien. TSH, satu satunya tes yang dibutuhkan pada setiap pasien

dengan nodul tiroid yang secara klinis menunjukkan eutiroid.

Thyroid –Stimulating Hormone Serum (Normal 0,5-5 µU/ml)

Tes untuk TSH serum berdasarkan pada prinsip berikut, antibodi monoklonal

TSH diikatkan ke suatu matriks solid dan mengikat TSH serum. Antibodi monoklonal

kedua mengikat epitop terpisah dari TSH dan dilabel dengan radioisotope, enzim, dan

fluorescent tag. Oleh karena itu, jumlah TSH serum sebanding dengan jumlah antibody

sekunder yang berikatan (immunomatric assay). Level Serum TSH merefleksikan


18
kemampuan hipofisis anterior untuk mendeteksi kadar T4 bebas. Terdapat hubungan

terbalik antara kadar T4 bebas dengan logaritma konsentrasi TSH - perubahan kecil

kadar T4 bebas menyebabkan perubahan besar kadar TSH. Ultra sensitive TSH Assay

menjadi uji yang paling sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis hiper- dan

hipotiroidisme serta untuk mengoptimalkan terapi T4.

Total T4 (Berkisar 55-150 nmol/L) dan T3 (Berkisar 1,5-3,5 nmol/L)

Level T4 total dan T3 diperiksa dengan radioimunoassay dan memeriksa

komponen hormon. Level T4 Total merefleksikan output dari kelenjar tiroid, sedangkan

T3 menunjukkan metabolisme hormon tiroid di perifer. T4 total tidak hanya meningkat

pada pasien hipertiroid tapi juga secara sekunder meningkatkan kadar Tg pada

kehamilan, penggunaan estrogen/progesteron, atau penyakit kongenital, Total T4 juga

turun pada hipotiroidisme dan pada pasien dengan penurunan kadar Tg seperti

penggunan steroid anabolik dan kehilangan protein pada sindroma nefrotik.

Pemeriksaan T3 total penting pada pasien yang secara klinis menunjukkan hipertiroid

tetapi dengan kadar T4 normal, dimana bisa menunjukan adanya T3 tirotoksikosis.

Free T4 (Berkisar 12-28 pmol/L) dan Free T3 (berkisar 3-9pmol/L)

Free T4 tidak digunakan sebagai skrining rutin, penggunaannya hanya pada

kasus hipertiroid dini dimana kadar T4 total bisa normal, tetapi free T4 bisa meningkat.

Pasien dengan resisten T4 (Refetoff syndrome), kadar T4 meningkat, tetapi TSH

normal. Free T3 umumnya digunakan untuk konfirmasi diagnosis hipertiroid dini dimana

kadar free T3 dan freeT4 meningkat dibanding T4 dan T3 Total.

Thyrotropin-Releasing hormone
19
Tes ini digunakan untuk evaluasi fungsi sekresi hipofisiis TSH dan dilakukan

dengan memasukkan 500ɥg TRH intravena dan mengamati level TSH setelah 30 dan

60 menit. Pada individu yang normal, TSH seharusnya meningkat sedikitnya 6ɥIU/ml

dari batas dasar. Tes ini sebelumnya digunakan untuk memeriksa pasien dengan

hipertiroidisme borderline, tetapi telah digantikan dengan pemeriksaan TSH assay

untuk tujuan ini.

Antibodi Tiroid

Antibodi tiroid meliputi anti-Tg, antimicrosomal atau anti-TPO, tidak menunjukkan

fungsi tiroid, tetapi mengindikasikan adanya gangguan lain terutama pada tiroiditis

autoimun. Sekitar 80% pasien dengan tiroiditis Hashimoto akan nmeningkatkan level

antibody throid, meskipun level juga meningkat pada Grave’s disease, multinodular

goiter dan kadang – kadang pada keganasan tiroid.

Serum Tiroglobulin

Tiroglobulin hanya dibentuk oleh jaringan tiroid normal atau abnormal. Secara

normal Tg tidak dilepaskan kedalam sirkulasi dalam jumlah yang besar, tetapi nilainya

akan meningkat dramatis pada proses dekstruksi kelenjat tiroid seperti tiroiditis, atau

keadaan overaktif seperti Grave’s disease dan toxic multinodular goiter. Yang paling

penting dari penggunaan serum Tg adalah untuk monitoring pasien dengan rekurensi

kanker tiroid differentiated, terutama setelah dilakukan total tiroidektomi dan RAI ablasi.

Serum Calcitonin (0-4pg/ml basal)

20
32-asam amino polipeptida disekresikan oleh sel C dan berfungsi untuk

menurunkan kadar kalsium serum, meskipun pada manusia, hal ini hanya efek fisiologis

minimal. Serum ini juga marker sensitif dari MTC.

Thyroid Imaging

Radionuklear Imaging

Iodium 132 dan iodium131 digunakan untuk menggambarkan kelenjar tiroid.

Radiasi dosis rendah mempunyai waktu paruh 12-14 jam dan digunakan untuk

menggambarkan tiroid lingualis atau goiter. Pada kontras I 131 mempunyai waktu paruh

8-10 hari dan menghasilkan radiasi dosis tinggi. Jadi, isotop ini digunakan untuk

menggambarkan dan menindak pasien dengan metastases dari kanker tiroid.

Gambaran yang didapatkan memberikan informasi, tidak hanya ukuran dan bentuk

kelenjar tapi juga untuk melihat aktifitas distribusi fungsional. Area dimana didapatkan

kadar radioaktif yang rendah disebut cold nodul, sedangkan daerah yang menunjukan

peningkatan aktifitas disebut hot nodul. Resiko terjadi keganasan lebih tinggi pada lesi

“cold” (20%) dibanding dengan lesi “hot” atau lesi “warm (<5%). Technetium Tc99m

(99mTc) diserap oleh kelenjar tiroid dan digunakan untuk evaluasi kelenjar tiroid. 18
F-

Fluorodeoxyglucose Positron Emisson Tomography (FDG PET) digunakan untuk

screening metastasis kelenjar tiroid dimana pada pemeriksaan imaging lainnya negatif.

PET Scan tidak secara rutin digunakan untuk evaluasi nodul tiroid, kecuali ditemukan

lesi tiroid secara klinis. Beberapa laporan menunjukan tingkat keganasan berkisar 14-

63%. Nodul juga perlu diperiksa dengan USG dan FNAB.

21
Ultrasound

Ultrasound adalah alat yang non invasif untuk menilai kelenjar tiroid dan

mempunyai keuntungan lebih karena tidak ada penyebaran radiasi. Ini membantu untuk

evaluasi tiroid nodul yang solid atu kistik, memberikan informasi mengenai ukuran dan

multisentriknya. USG juga dapat digunakan untuk menilai limfadenopati leher dan

sebagai guiding FNAB.

22
Computed Tomography / Magnetic Resonance Imaging Scan

CT dan MRI adalah alat untuk mengambarkan kelenjar tiroid termasuk nodul dan

kadang digunakan untuk menilai perluasan dari pembesaran kelenjar, substernal goiter,

dan hubungan kelenjar dengan jalan nafas dan struktur vaskuler. Kombinasi PET- CT

scan digunakan pada tumor dengan Tg positif dan iodium radioaktif negatif.

Kelainan Jinak Tiroid

Hipertiroid

Manifestasi klinik dari hipertiroid merupakan akibat dari sirkulasi hormon tiroid.

23
Hipertiroid bisa disebabkan berbagai kondisi seperti pada tabel 38-1. Penting untuk

menilai kelainan seperti Grave’s disease dan toxic nodular goiter yang disebabkan

peningkatan produksi hormon tiroid, atau pelepasan penyimpanan hormon tiroid

(tiroiditis) atau kondisi diluar tiroid. Grave’s disease, toxic multinodular goiter dan nodul

solid toksik merupakan hal yang relevan untuk pembedahan.

Diffuse Toxic Goiter (Graves'Disease)

Graves' disease dikenalkan oleh seoerang ahli Irlandia bernama Robert Graves,

pada tahun 1885 pada 3 pasien. Di Amerika utara tercatata 60-80% kasus. Penyakit ini

termasuk autoimun dengan predisposisi keluarga. Pada wanita terbanyak (5:1) dan

puncak insiden pada umur 40-60. Graves' disease dengan karakteristik adanya,

tirotoksikosis, goiter yang difus, dan kondisi ektra tiroid seperti ophthalmopathy,

dermopathy (pretibial mlxedema), thyroid acropachy, gynecomastia, dan manifestasi

lain.

24
Etiologi, Pathogenesis, dan Patologi

Etiologi yang tepat dari proses autoimun penyakit Grave tidak diketahui. Namun,

kondisi seperti postpartum, iodium berlebih, terapi litium, dan bakteri dan infeksi virus

mungkin sebagai pemicu. Faktor genetik juga berperan, seperti Studi haplotlpirig

menunjukkan bahwa penyakit Grave berhubungan dengan human leukocyte antigen

(HLA) tertentu, haplotipes-HLA-B8 dan HLA-DR3 dan HLADQAI * O5OI pada pasien

Kaukasia sedangkan HLA-DRBI * 0701 adalah sebagai proteksi terhadap hal itu.

Polimorfisme dari citotoxic Timphocite antigen 4 (CTLA-4) gen juga terkait dengan

perkembangan Grave’s disease.

Proses menyebabkan limfosit T-helper menjadi peka untuk merangsang limfosit

B untuk menghasilkan antibodi yang ditujukan terhadap reseptor hormone thyroid. TSIs

atau antibodi yang merangsang, TSH-R, menghambat imunoglobulin TSH-binding atau

antibodi telah dijelaskan. Antibodi thyroid-stimulating merangsang tiroid untuk tumbuh

dan mensintesa kelebihan hormon tiroid, sebagai ciri penyakit Grave. Penyakit Grave

juga terkait dengan kondisi autoimun lain seperti diabetes mellitus tipe I, penyakit

Addison, anemia pernisiosa, dan myasthenia gravis.

Makroskopik, kelenjar tiroid pada pasien dengan Grave’s disease berbentuk

difus dan membesar, bersamaan peningkatan vaskularisasi. Mikroskopis, kelenjar ini

hiperplastik, dengan epitel columnar dengan sedikit koloid. Mungkin ada agregat

jaringan limfoid, dan vaskularitas yang nyata meningkat.

Gambaran Klinis

Manifestasi klinis dari penyakit Grave dibagi menjadi gejala yang berhubungan
25
dengan hipertiroidism dan yang spesifik untuk penyakit Grave. Gejala hipertiroid

termasuk intoleransi panas, peningkatan keringat dan rasa haus, dan penurunan berat

badan meskipun asupan kalori memadai. Gejala peningkatan stimulasi adrenergik

termasuk palpitasi, gugup, kelelahan, emosi labil, hlperkinesis, dan tremor. Gejala GI

yang paling umum meliputi peningkatan frekuensi buang air besar dan diare. Pasien

wanita sering mengalami amenore, penurunan kesuburan, dan peningkatan insiden

keguguran. Anak-anak mengalami pertumbuhan pesat maturasi tulang awal, sedangkan

pasien yang lebih tua dapat dengan komplikasi kardiovaskular komplikasi seperti atrial

fibrilasi dan gagal jantung kongestif. Pada pemeriksaan fisik, penurunan berat badan

dan kemerahan pada wajah lebih jelas. Kulit pasien Amerika yang hangat dan lembab

dan Afrika sering menambah penggelapan kulit mereka. Takikardi atau fibrilasi atrium

disertai vasodilatasi kulit yang mengarah ke peningkatan tekanan nadi. gejala tremor

halus, atrofi otot, dan kelemahan otot proksimal dengan hiperaktif refleks tendon.

Rata-rata 50% dari pasien dengan penyakit Grave juga terbukti secara klinis

mengalami ophthalmopathy, dan dermopathy yang terjadi 2% pasien. Hal ini ditandai

dengan deposisi glikosaminoglikan menyebabkan kulit menebal di daerah pretibial dan

dorsum pedis (Gambar. 38-12). Gejala pada mata termasuk tutup kelopak mata (tanda

von Graefe), kejang pada kelopak mata (tanda Dalryrnple, karena katekolamin

berlebihan. Infiltratif pada penyakit mata menyebabkan periorbital edema,

pembengkakan konjungtiva dan kongesti (chemosis), proptosis, keterbatasan

pandangan lateral dan atas (karen keterlibatan otot rektus media dan inferior), keratitis,

dan bahkan kebutaan akibat keterlibatan saraf optik.

Etiologi Grave’s ophthalmopathy tidak sepenuhnya diketahui, namun fibroblas orbital


26
dan otot diperkirakan membagi antigen yang umum yaitu TSHR. sitokin yang

dilepaskan dari T lymphocltes dan antibodi sitotoksik. Ginecomastia umum pada pria

muda. Keterlibatan tulang mengarah ke pembentukan tulang subperiosteal dan

bengkak di yang metacarpals (acropachy tiroid). Onycholysis, atau pemisahan kuku dari

nail bed, adalah kelainan yang- lebih sering diamati. Pada pemeriksaan fisik, tiroid

biasanya difus dan membesar simetris, dibuktikan oleh pelebaran lobus piramidal.

Mungkin juga ada bruit atau sensasi redup vena di ruang supraklavikula.

Uji Diagnostik

Diagnosis hipertiroidisme dibuat dengan adanya tanda supresi TSH dengan atau

tanpa peningkatan level T3 &T4 bebas. Jika tanda pada mata tampak, tes yang lain

secara umum tidak dibutuhkan, Jika tanpa gejala mata dapat dilakukan pemeriksaan

uptake I123 atau scan. Jika ada peningkatan uptake disertai pembesaran kelenjar

menunjukkan diagnosis Grave’s disease dan harus dibedakan dengan kasus hipertiroid

lainnya. Jika level Free T4 normal, Free T3 harus diperiksa dan biasanya ada

peningkatan pada keadaan Grave’s atau Plummer’s disease dini (tirotoksikosis). Anti Tg

dan antibodi anti TPO meningkat pada 75% pasien, tapi tidak spesifik. Peningkatan

TSH-R atau Thyroid Stimulatin antibodies (TSAb) menunjukkan diagnosis Grave, dan

meningkat pada 90% pasien. Scan MRI orbita digunakan untuk Grave’s opthalmophaty.

Penanganan

Penanganan Grave’s disease dilakukan dengan 3 modalitas terapi yaitu obat

antitiroid, ablasi tiroid dengan radio aktif I131 dan tiroidektomi.

Obat Anti Tiroid


27
Obat anti tiroid diberikan sebgai persiapan dialkuakan RAI ablasi dan

tiroidektomi. Umumnya menggunakan Propythiourasil (PTU,100-300mg 3x sehari) dan

methimazole (10-30 mg 3xsehari dialjutkan 1x sehari) Methimazole mempunyai waktu

paruh panjang dan bisa diberikan 1x sehari, sebagai tambahan PTU juga menghambat

konversi T4 menjadi T3 diperifer. Kedua obat dapat melewati plasenta. Efek samping

pengobatan meliputi granulocitopenia, skin rashes, fever, peripheral neuritis,

polyarteritis, vasculitis, dan kadang kadang, agranulocltosis dan anemia aplastic.

Pasien harus dimonitor komplikasinya, dah harus dihentikan segera bila terdapat gejala.

Radioactive lodine Therapy ( I131)

Merupakan terapi yang umum di Amerika Utara. Keuntungan utama pengobatan

ini, membantu prosedur bedah, dan mengurangi resiko, mengurangi biaya pengobatan.

Obat anti tiroid digunakan sampai pasien dalam keadaan eutiroid dan dilanjutkan

dengan dosis maksimal dari obat. Dosis I131 dihitung setelah scan awal dan biasanya

berkisar 8-12 mCi yang diberikan secara oral. Setelah standar pengobatan thyroid

dengan RAI, sebagian besar pasien menjadi eutiroid dalam 2 bulan. Meskipun hanya

50% pasien yang diterapi dengan RAI menjadi eutiroid dalam 6 bulan dan tetap menjadi

hypertiroid atau menjadi hypothyroid setelah 1 tahun. RAI juga untuk memonitor

progresifitas dari Grave’s Opthalmophaty (33% setelah RAI dibandingkan 16% setelah

pembedahan) dan opthalmophaty biasanya pada pasien perokok.

RAI therapy sering digunakan pada pasien usia tua dengan ukuran goiter kecil

dan moderate. Dan mempunyai kemungkinan relaps setelah pengobatan atau terapi

pembedahan. Kontra indikasi absolut dari RAI adalah kehamilan atau menyusui,

28
kontraidikasi relatif pada pasien muda (terutama anak anak dan remaja) dengan nodul

tiroid dan ophalmophati

Terapi Pembedahan

Di Amerika Utara, pembedahan direkomendasikan pada pasien dengan

kontraindikasi RAI yaitu pada pasien (a) dikonfirmasi kanker atau suspek nodul tiroid,

(b) usia muda,(c) hamil, (d) reaksi berat dari obat antitiroid (e) goiter yang besar dengan

gejala kompresi dan (f) menolak tindakan RAI. Indikasi relatif thyroidektomi pada pasien

perokok, grave opthalmopathy moderat atau berat. Tujuan tiroidektomi pada Grave’s

disease harus dengan kontrol permanen pada pasien dan morbiditas yang minimal.

Pasien harus berada dalam keadaan eutiroid sebelum operasi dengan pemberian obat

antitiroid sampai pada masa operasi. cairan Lugol atau potasium iodida secara umum

diberikan mulai dari hari ke7-10 preoperasi untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan

menurunkan resiko terjadinya thyroid storm. Aksi utama dari Iodiada pada situasi ini

untuk menghambat pelepasan hormon tiroid.

Indikasi relatif tiroidektomi pada pasien perokok, grave opthalmopathy moderat

atau berat. Tujuan tiroidektomi pada Grave’s disease harus dengan kontrol permanen

pada pasien dan morbiditas yang minimal, pasien harus berada dalam keadaan

Euthyroid sebelum operasi dengan pemberian obat antithyroid sampai pada masa

operasi. cairan Lugol atau potasium iodida secara umum diberikan mulai dari hari ke7-

10 preoperasi untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan menurunkan resiko

29
terjadinya thyroid storm. Aksi utama dari Iodida pada situasi ini untuk menghambat

pelepasan tiroid hormon.

Extended thyroidectomy masih kontroversial, karena tergantung outcome yang

didapatkan (resiko rekurensi dan eutirodisme) dan pengalaman ahli bedah. Pasien

dengan cancer thyroid dan yang putus dari terapi RAI atau mempunyai gejala

ophalmopathy mata atau yang mengalami reaksi stelah pemakaian obat antithyroid

jangka lama (seperti vaskulitis, agranulositosi dan gagal hati) seharusnya dilakukan

total atau near total thyroidectomy. Opphalmophaty menunjukkan kestabilan pada

pasien yang telah menjalani total thyroidektomi, diduga karena lepasnya stimulus

antigenik.

Pada subtotal tiroidektomi, ditinggalkan 4-7gr jaringan tiroid, hal ini

direkomendasikan pada setiap pasien. Sisa < 3gr direkomendasikan untuk anak -anak,

sisa 4gr dihubungkan dengan 2-10% angka rekurensi tetapi yang tertinggi (>40%)

mengalami hipotiroidisme. Jaringan sisa pada subtotal thyroidektomi bisa ditinggalnya

pada tiap sisi (bilateral subtotal tiroidektomi) atau total lobektomi dapat dilakukan pada

satu sisi dengan sisi yang lain dilakukan subtotal tiroidektomi (Hartley-Dunhill

procedure). Hasil yang didapatkan hampir sama tapi pada prosedur yang terakhir

secara teori berhubungan dengan bayaknya komplikasi dan rekurensi.

Banyak studi menunjukkan tidak ada perbedaaan komplikasi pada setiap pilihan

terapi, rekurensi dari tirotoksikosis biasanya ditangani dengan radioiodine. Follow up

30
jangka lama harus dilakukan pada semua pasien yang menjalani subtotal tiroidektomi

dengan mengamati secara klinis dan pemeriksaan TSH per tahun untuk mendeteksi

late onset hipotiroid atau hipertiroidisme rekuren.

Toxic Multinodular Goiter

Toxic multinodular goiters selalu terjadi pada orang tua, yang sebelumnya

memiliki riwayat nontoxic multinodular goiter. Selang beberapa tahun, beberapa nodul

tiroid menjadi otonom sehingga menyebabkan hipertiroidisme. Munculan gejala sering

mendadak dimana hipertiroidisme hanya tampak ketika pasien diberikan hormon tiroid

dosis rendah untuk supresi goiter. Beberapa pasien memiliki toksikosis T3, sementara

yang lain dengan fibrilasi atrium atau gagal jantung kongestif. Hipertiroidisme juga

dapat dicetuskan oleh obat – obatan yang mengandung iodide seperti zat kontras dan

obat anti anti aritmia amiodarone (jodbasedow hyperthyiroidism). Gejala dan tanda

hipertiroidisme sama seperti penyakit Grave, tapi tanpa manifestasi ekstra tiroid.

Penunjang Diagnostik

Tes darah sama seperti penyakit Grave dengan supresi kadar TSH dan

peningkatan kadar T4 atau T3 bebas. Juga terdapat peningkatan ambilan RAI, yang

menunjukkan nodul multipel dengan peningkatan uptake dan supresi kelenjar tiroid

yang tersisa.

Terapi

31
Hipertiroidisme harus dikontrol secara adekuat. Reseksi bedah merupakan terapi

yang lebih disukai pada pasien goiter toksik multinoduler dengan tiroidektomi subtotal

sebagai standar terapi. Ukuran kelenjar yang tersisa tidak penting karena pasien –

pasien ini memerlukan hormon tiroid dosis supresi untuk mencegah rekurensi. Prosedur

Hartley-Dunhill lebih disukai daripada subtotal tiroidektomi bilateral sebagaimana uraian

sebelumnya pada terapi pembedahan. Perlunya kehati – hatian dalam mengidentifikasi

RLN, yang ditemukan pada sisi lateral tiroid (daripada di posterior) atau teregang di

anterior tepat di atas nodul. kadangkala diperlukan tiroidektomi total jika tidak terdapat

lagi jaringan tiroid yang normal. Terapi RAI dilakukan pasien tua dengan resiko operasi

yang sangat jelek, tidak ada penekanan jalan napas oleh goiter, dan tidak memikirkan

ke arah kanker tiroid. Namun karena uptake nya kurang dibandingkan penyakit Grave,

sering diperlukan RAI dengan dosis yang lebih besar untuk terapi hipertiroisme.

Selanjutnya, tiroiditis yang dipicu oleh RAI dapat menyebabkan pembengkakan dan

gangguan jalan napas akut, dan meninggalkan goiter yang intak, dengan kemungkinan

rekurensi hipertiroidisme.

Adenoma Toksik (Plummer's Disease)

Hipertiroidisme yang disebabkan oleh hiperfungsi nodul tunggal thyroid terjadi

pada pasien muda. Adenoma toksik ditandai dengan adanya mutasi somatik gen TSH-

R, meskipun mutasi G-Protein Stmulating Gene (GSP) juga bisa terjadi. Hiperfungsi

atau tiroid nodul autonom terjadi minimal ukuran 3 cm sebelum terjadinya hipertiroid.

Dari pemeriksaan fisik kadang teraba nodul tiroid solid walaupun tak teraba jaringan

32
tiroid disisi kontra lateral. RAI Scan menunjukkan adanya hot nodul dengan supresi

kelenjar tiroid. Nodul kadang menjadi ganas. Nodul yang lebih kecil ditangani dengan

obat obatan anti tiroid dan RAI. Pembedahan (lobektomi dan istmusektomi) dilakukan

pada penanganan pada pasien usia muda dengan ukuran nodul yang besar.

Thyroid Storm

Thyroid storm adalah kondisi hipertiroid yang berhubungan dengan demam,

agitasi atau depresi sistem saraf pusat, disfungsi kardiovaskuler yang bisa dicetuskan

oleh infeksi, pembedahan atau trauma. Kadang – kadang, keadaan thyroid storm juga

dapat disebabkan karena pemakaian amiodarone. Kondisi ini dihubungkan dengan

tingginya angka mortalitas akan tetapi bisa ditangani dengan perawatan di Unit Intensif

(ICU). Beta blocker diberikan untuk mengurangi T4 di perifer dengan merubah menjadi

T3 dan mengurangi gejala hipertiroid. Pemberian oksigen dan dukungan hemodinamik

harus diberikan. Obat – obatan non-aspirin dapat digunakan untuk terapi demam dan

Lugol’s iodine serta sodium Ipodate (intravena) harus diberikan untuk mengurangi

iodine uptake dan sekresi hormon tiroid. Terapi PTU menghambat pembentukan

hormon tiroid baru dan mengurangi konversi T4 ke T3 di perifer. Kortikosteroid sering

diperlukan untuk mencegah kelelahan adrenal dan menghambat konversi hormon tiroid

di hati.

Hipotiroid

Defisiensi kadar hormon tiroid di sirkulasi menyebabkan terjadinya hipotiroid dan

pada neonatus ditandai dengan kretinisme dimana terdapat gangguan neurologik dan

mental retardasi. Hipotiroid juga terjadi pada sindrom Pendred (berhubungan dengan

ketulian) dan sindrom Turner. Kondisi yang menyebabkan hipotroid seperti tabel 38-2.

33
Gambaran Klinik

Gangguan perkembangan dan fungsi kelenjar tiroid dalam rahim dapat

menyebabkan terjadinya kretinisme dan karakteristik wajah yang menyerupai anak -

anak dengan sindrom Down dan dwarfism. Sering terjadi gagal tumbuh kembang dan

retardasi mental yang berat. Pemeriksaan segera dan penanganan dengan hormon

tiroid pada saat lahir dapat mengurangi defisit neurologik dan intelektual. Hipotiroidisme

yang terjadi pada usia anak anak dan dewasa mengakibatkan keterlambatan

perkembangan dan juga menyebabkan distensi abdominal, hernia umbilikal dan prolap

rekti. Pada dewasa, secara umum gejala tidak spesifik seperti kelelahan, penurunan

berat badan, intoleransi terhadap dingin, konstipasi dan menorrhagia. Pasien dengan

hipotiroid berat atau mixedema membentuk karakteristik wajah yang khas karena

adanya deposit glikosaminoglikan di jaringan subkutan sehingga menyebabkan wajah

dan periorbita menonjol. Kulit menjadi kering dan kadang berwaran kekuningan karena

berkurangnya konversi karoten menjadi vitamin A. Rambut mejadi kering dam kusam,

dan kerontokan. Karakteristik lain adanya kehilangan 2/3 bagian alis mata. Pasien juga

mengalami keluahn nyeri abdomen yang non spesifik meliputi distensi atau konstipasi.

34
Libido dan infertilitas berpengaruh pada kedua jenis kelamin. Perubahan kardiovaskular

pada hipotiroid meliputi bradikardia, kardiomegali, efusi pleura, penurunan cardiac

output dan efusi paru. Ketika hipotiroid yang terjadi akibat gangguan hipofisis, maka

dapat terjadi gambaran klinis hipotiroid lainnya seperti kulit yang pucat dan seperti

berlilin, kehilangan rambut tubuh dan atrofi genitalia.

Laboratorium

Hipotiroidisme ditandai dengan rendahnya kadar T4 dan T3 di sirkulasi.

Peningkatan kadar TSH ditemukan pada kegagalan tiroid primer. Sedangkan hipotiroid

sekunder ditandai dengan rendahnya kadar TSH yang tidak ikut meningkat seiring

adanya stimulasi TRH. Autoantibodi tiroid lebih tinggi pada pasien dengan penyakit

autoimun (Hashimoto thyroiditis, Grave’s disease) dan juga dapat meningkat pada

pasien dengan goiter noduler dan keganasan tiroid. Elektrokardiogram menunjukkan

penurunan voltage dengan gelombang T yang mendatar atau terbalik.

Terapi

T4 merupakan terapi pilihan yang diberikan dengan dosis beragam antara 50-

200 ɥg perhari tergantung kondisi dan ukuran pasien. Pemberian T4 yang dimulai

dengan dosis 100 ɥg tiap hari masih bisa ditoleransi dengan baik, sedangkan pada

pasien tua atau memiliki penyakit jantung, hipotiroidisme berat harus dimulai dengan

dosis rendah yaitu 25-50 ɥg perhari karena berhubungan dengan hiperkolesterolemia

dan aterosklerosis. Dosis dapat ditingkatkan tiap minggu atau bulan secara perlahan

sampai didapatkan keadaan eutiroid. Penanganan pasien hipotiroid subklinis masih


35
kontroversial (T4 normal, TSH meningkat). Beberapa penelitian menyarankan pasien

dengan hipotiroid subklinis dan peningkatan kadar antibodi antitiroid harus diterapi

karena dapat berkembang menjadi hipotiroid. Pasien dengan koma mixedema mungkin

memerlukan penanganan darurat awal dengan T4 intravena dosis besar (300-400 ɥg)

dengan pemantauan ketat di unit intensif (ICU).

TIROIDITIS

Tiroiditis selalunya diklasifikasikan menjadi akut, subakut dan kronik, masing –

masingnya berkaitan dengan gambaran klinis dan histologi yang berbeda.

Tiroiditis Akut (supuratif)

Kelenjar tiroid biasanya resisten terhadap infeksi karana adanya suplai darah

dan limfe yang banyak, kandungan iodida yang tinggi dan jaringan fibrous kapsul.

Meskipun sumber infeksi dapat ditemukan; (a) secara hematogen atau limfatik (b)

penyebaran langsung dari fistula sinus pyriformis atau kisti duktus tiroglossus. (c) atau

sebagai trauma tembus pada kelenjar tiroid, atau (d) adanya imunosupresi. Kuman

streptococus dan anaerob terjadi pada 70%kasus. Tiroiditis supurativa akut umumnya

pada anak-anak dan kadang akibat infeksi traktus respirasi atas dan otitis media.

Dengan gejala khas nyeri leher hebat dengan penjalaran ke rahang dan telinga,

demam, odinofagia dan disfonia. Komplikasinya berupa sepsis sistemik, Ruptur

esofagus, trombosis vena jugular, kondritis laring dan perikondritis. atau paralisis

trunkus simpatik.

36
Diagnosis ditegakkan dengan adanya leukositosis pada darah, FNAB untuk

pewarnanan Gram, kultur dan sitologi. CT scan dapat membantu untuk menilai luasnya

infeksi. Fistula sinus piriformis yang persisten harus selalui dicurigai pada anak – anak

dengan tiroiditis akut yang rekuren. Barium swallow menunjukkan kelainan pada traktus

dengan sensitivitas 80%. Penatalaksanaan dengan pemberian antibiotik parenteral dan

drainase abses. Pasien dengan fistula sinus piriformis memerlukan reseksi komplit dari

saluran sinus, termasuk area tiroid dimana saluran sinus berakhir untuk mencegah

rekurensi.

Tiroiditis Subakut

Tiroiditis subakut dapat terjadi dalam bentuk yang sangat nyeri atau tidak nyeri.

Walaupun etiologi pasti belum diketahui, tiroiditis yang sangat nyeri diduga berasal dari

virus atau akibat respon inflamasi postviral. Predisposisi genetik juga berperan, dengan

manifestasi yang berhubungan dengan HLA 835haplotida. Salah satu model

patogenesis dimana virus atau agen tiroid ditampilkan oleh makrofag didalam HLAB35,

menstimulasi T limphosit sitotoksik dan merusak sel folikular tiroid.

Tiroiditis yang sangat nyeri biasanya ditemukan pada wanita usia 30-40 tahun,

dengan ciri adanya nyeri tiba tiba atau mendadak pada leher yang menjalar ke rahang

dan telinga. Kelenjar biasanya membesar, dan nyeri tekan. Kerusakan secara

progresifnya dibagi atas 4 fase. Fase awal disebut fase hipertiroid, fase kedua: eutiroid

fase. Fase ketiga, hipotiroid terjadi pada 20-30% pasien , diikuti oleh fase resolusi dan

kembali pada status eutiroid pada >90% pasien.

37
Pada tingkat awal, TSH menurun dan Tg, T4 dan T3 meningkat sebagai akibat

dihasilkan oleh hormon tiroid yang bersal dari folikel yang rusak. Angka sedimentasi

eritrosit >100mm/h. RAIU juga menururn (<20% dalam 24 jam) pada pasien eutiroid.

Tiroiditis yang nyeri biasanya sembuh sendiri dan pengobatan hanya untuk

simptomatik. Aspirin atau NSAIDs lainnya digunakan untuk mengurangi nyeri, tapi

streroid diindikasikan pada kasus yang berat. Tiroidektomi dilakukan pada pasien yang

tidak respon pengobatan dan rekuren

Tiroiditis tanpa disertai nyeri biasanya berasal dari autoimun dan terjadi secara

sporadis atau pasa periode postpartum. Tiroiditis tanpa nyeri umumnya terjadi pada

wanita antara 30-60 tahun. Pemeriksaan fisik menunjukkan ukuran yang normal atau

minimal pembesaran, tak ada nyeri tekan. Hasil lab dan RAIU sama dengan painful

tiroiditis kecuali adanya angka sedimentasi eritrosit yang normal. Gejala klinis juga

sama dengan painful tiroiditis. Pasien dengan gejala tersebut mendapatkan betabloker

dan penggantian hormon tiroid. Tiroidektomi dan ablasi RAI hanya diindikasikan untuk

pasien yang rekuren dan adanya episode tiroiditis.

Tiroiditis Kronik, Tiroiditis Limfositik (Hasimoto)

Tiroiditis limfositik pertama kali ditemukan oleh Hashimoto pada tahun 1912

disebut dengan struma limfomatosa, perubahan jaringan tiroid menjadi jaringan limfoid.

Ini merupakan inflamasi pada tiroid yang umum dan penyebab utama terjadinya

hipotiroid.

38
Etiologi, Patogenesis, and Patologi

Tiroiditis Hashimoto adalah proses autoimun yang diinisiasi oleh aktifasi dari

CD4+ T (Helper) yang mempunyai spesifitas antigen tiroid. Setelah diaktifasi, sel T

menarik cytotoxic CD8+ T ke tiroid. Terjadinya hipotiroid tidak hanya karena destruksi

tirosit oleh sel T sitotoksik tetapi juga adanya autoantibodi yang menyebabkan

komplemen fiksasi dan penghancuran oleh natural killer cell atau menghambat TSH-R.

Antibodi berikatan dengan 3 antigen utama-Tg (605), TPO (95%) , TSH- R (60%) dan

sedikit sodium/ iodida simporter (25%). Apoptosis dapat diimplikasikan pada patogenesi

terjadinya tiroiditis Hashimoto. Tiroiditis kronik dihubungkan dengan peningkatan intake

ioadida dan pemberian obat-obatan seperti interferon-α, lithium dan amiodarone.

Peningkatan insiden autoantibodi tiroid relatif pada derajat pertama pasien dengan

thyroiditis hasimoto dibandingkan dengan kontrol pada pasien dengan spesifik

abnormalitas kromosom seperti sindrom Turner dan sindrom Down. Hubungan dengan

HLA-BB, DR3, dan DR5 Haplotipes pada histocompatibility komplex harus dijelaskan.

Pada pemeriksaan, tiroid sedikit membesar, pucat, permukaan granular, nodular

dan padat. Pada pemeriksaan mikroskopis, tiroid diinfiltrasi secara difus oleh limfosit

kecil dan sel plasma, dan kadang ditemukan germinal senter. Folikel tiroid lebih kecil

dari normal dengan berkurangnya bagian koloid dan meningkatnya jaringan intersisial.

Folikel dikelilingi oleh sel Hurthle atau sel Askanazy yang ditandai dengan sitoplasma

eosinofilik yang berlimpah, sitoplasma glanular.

Gejala Klinis

39
Tiroiditis Hashimoto umumnya pada wanita (ratio laki-laki : perempuan = 1 :10

-20) dengan usia antara 30-50 tahun. Gambaran umumnya adalah pembesaran tiroid

yang minimal sampai moderat yang ditemui pada pemeriksaan rutin atau adanya

masaa dianterior leher yang tidak nyeri. 20% pasien dengan hipotiroid dan 55 pasien

dengan hipertiroid (Hashitoxikosis). Pada tiroiditis Hashimoto klasik, ditemukan

pembesaran difus, berlobus-lobus dan pembesaran lobus piramidalis dapat diraba.

Diagnosis

Ketika tiroiditis Hahsimoto didiagnosa secara klinis, peningkatan TSH dan

adanya autoantibodi tiroid biasanya menguatkan diagnosa tersebut. FNAB diindikasikan

pada pasien nodul yang diduga solid. Tiroid limfoma biasanya jarang, merupakan

komplikasi tiroiditis kronik autoimun.dan mempunyai pervalense 80 x meningkat pada

populasi dibanding populasi kontrol yang tanpa tiroiditis. Studi tentang klon bisa

diindikasikan pada limfoma yang secara jelas dipengaruhi oleh tiroiditis Hashimoto.

Penanganan

Terapi penggantian hormon tiroid diindikasikan pada pasien hipotiroid, dengan

tujuan mengatur kadar TSH tetap normal. Manajemen pasien dengan hipotiroidisme

subklinis (T4 normal, TSH meningkat) masih kontroversial. Pengobatan tersebut

disarankan pada pasien usia pertengahan, dengan faktor resiko kardiovaskular seperti

hiperlipidemia atau hipertensi dan pada pasien hamil. Terapi juga diindikasikan pada

pasien eutiroid dengan goiter yang besar, pembedahan dilakukan untuk yang curiga

keganasan atau deformitas kosmetik.

40
Tiroiditis Riedle

Tiroiditis Riedle merupakan varian yang jarang dari tiroiditis. Juga dikenal

sebagai struma Riedle atau invasive fibrous tiroiditis. Yang ditandai adanya pergantian

seluruh atau sebagian paremkim tiroid oleh jaringan fibrotik. Etiologi dari kelainan ini

masih kontrovesial dan dilaporkan terjadi pada pasien dengan penyakit autoimun. Hal

ini dihubungkan dengan adanya infiltrasi limfoid dan respon terhadap terapi steroid.

Tiroiditis Riedle juga berhubungan dengan sindroma sklerosing fokal lainnya termasuk

mediastinal, retropritoneal, periorbital dan retro-orbital fibrotik dan cholangitis

sklerosing. Yang menguatkan hal ini merupakan kelainan fibrotik primer. Penyakit ini

dominan pada wanita antara 30-60 tahun. Secara klinis dengan nyeri yang kurang,

masa keras dileher depan dimana dapat tumbuh progresifdari minggu sampai tahunan

sampai menunjukkan gejala kompresi termasuk, disfagia, dispnea, cegukan. Pasien

bisa timbul gejala hipotiroid atau hipoparatiroid karena kelnjar diganti oleh jaringan

fibrotik. Pemeriksaan fisik, kelenjar tiroid terasa keras seperti papan dan terfiksasi

kejaringan sekitar. Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan biopsi throid terbuka, karena

jaringan kelenjar yang fibrotik tidak dapat diperiksa dengan FNAB

Pembedahan merupakan terapi utama penangananya. Tujuan utamanya untuk

dekompresi dari trakea dengan melakukan eksisi luas dari isthmus tyroid dan untuk

diagnosis jaringan. Reseksi yang terlalu berlebihan tidak diajurkan sepanjang proses

fibrotik menginfiltrasi strukur tiroid. Pasien dengan hipotiroid diterapi dengan

replacement hormon tyroid. Beberapa pasien dilaporkan melnalami perbaikan dengan

pembrian terapi kortikosteroid dan Tamoxifen.

GOITER

41
Setiap pembesaran kelenjar tiroid disebut dengan goiter. Penyebab goiter non

toksik tercantum dalam tabel 38-3. Goiter dapat difus, uninodular atau multinodular.

Sebagian besar goiter non toksik diperkirakan akibat stimulasi sekunder TSH terhadap

sintesis hormone tiroid yang inadekuat serta faktor pertumbuhan parakrin lainnya.

Peningkatan kadar TSH menginduksi hyperplasia difus tiroid, diikuti oleh hyperplasia

fokal, mengakibatkan terbentuknya nodul – nodul yang bisa atau tidak

mengkonsentrasikan iodine, nodul koloid atau nodul mikrofolikular. Nodul – nodul yang

bergantung pada TSH berkembang menjadi autonom. Goiter familial yang diakibatkan

karena defisiensi turunan pada enzim yang diperlukan untuk sintesis hormone tiroid

bisa lengkap atau sebagian. Istilah goiter endemik bermakna kejadian goiter pada

sekelompok individu yang bermakna dalam suatu regio geografik tertentu. Di masa lalu,

defisiensi diet iodine merupakan penyebab tersering goiter endemik. Kondisi ini secara

luas tidak dijumpai lagi di Amerika utara karena penggunaan rutin garam beriodium dan

iodinasi pupuk, pakan ternak serta bahan pengawet. Namun pada beberapa area

defisiensi iodine seperti Asia tengah, Amerika selatan dan Indonesia hingga 90%

populasi memiliki goiter. Beberapa diet goitrogen lainnya yang menyebabkan terjadinya

goiter endemik seperti kelp (rumput laut cokelat besar), singkong dan kubis. Sebagian

besar goiter sporadik, tidak ada penyebab jelas yang dapat diidentifikasi.

Table 38-3 Etiology of Nontoxic Goiter


Classification Specific Etiology
Endemic Iodine deficiency, dietary goitrogens (cassava,

cabbage)
Medications Iodide, amiodarone, lithium
Thyroiditis Subacute, chronic (Hashimoto's)
Familial Impaired hormone synthesis from enzyme defects
42
Classification Specific Etiology
Neoplasm Adenoma, carcinoma
Resistance to thyroid —

hormone

Gambaran Klinis

Sebagian besar pasien dengan goiter non toksik asimptomatik, meskipun pasien

sering mengeluhkan adanya sensasi penekanan di daerah leher. Karena goiter menjadi

semakin besar, kemudian terjadi gejala penekanan seperti dyspnea dan dysphagia.

Pasien juga menjelaskan bahwa harus sering kali membersihkan tenggorok (catarrh).

Dysphonia karena cedera RLN jarang kecuali terdapat keganasan. Obstruksi aliran

vena pada thoracic inlet akibat goiter substernal menyebabkan tanda Pemberton yang

positif – wajah kemerahan (facial flushing) dan dilatasi vena servikal setelah

mengangkat lengan di atas kepala (Gambar 38-13A). Pembesaran nodul atau kista

secara mendadak karena perdarahan dapat menyebabkan nyeri akut. Pada

pemeriksaan fisik dapat ditemui pembesaran kelenjar difus (simple goiter), lunak atau

nodul – nodul dengan berbagai ukura dan konsistensi pada kasus goiter multinodular.

Kemungkinan tampak juga deviasi atau kompresi trakea.

Gambar 38-13

43
44
Uji Diagnostik

Pasien biasanya eutiroid dengan kadar TSH normal dan T4 bebas normal rendah

(low – normal) atau normal. Jika beberapa nodul menjadi autonom, pasien memiliki

kadar TSH yang tertekan (supresi) atau menjadi hipertiroid. Ambilan RAI sering

menunjukkan patchy uptake dengan area hot dan cold nodul. FNAB direkomendasikan

pada pasien dengan satu nodul yang dominan, nodul yang nyeri atau mengalami

pembesaran, karena karsinoma dilaporkan pada 5% - 10% goiter multinodular. Ct –

scan sangat membantu untuk menilai perluasan ke retrosternal dan penekanan jalan

napas (gambar 38-13B).

Terapi

Sebagian besar pasien dengan goiter difus yang kecil tidak memerlukan terapi.

Beberapa dokter memberikan hormone tiroid eksogen pada pasien – pasien dengan

goiter yang besar untuk mengurangi rangsangan TSH terhadap pertumbuhan kelenjar,

terapi ini menyebabkan berkurangnya dan atau stabilisasi ukuran goiter dan sebagian

besar efektif untuk goiter difus yang kecil. Goiter endemik diobati dengan pemberian

iodine. Reseksi bedah dilakukan untuk goiter yang (a) lanjut membesar meskipun

supresi T4, (b) menimbulkan gejala obstruksi, (c) perluasan ke substernal, (d) dicurigai

ganas atau dibuktikan dengan FNAB, dan (e) alasan kosmetik yang tidak dapat

diterima. Subtotal tiroidektomi merupakan terapi pilihan dan pasien memerlukan terapi

T4 seumur hidup untuk mencegah rekurensi.

Nodul Tunggal Tiroid


45
Nodul tunggal tiroid terdapat pada kira – kira 4% individu di Amerika Serikat,

dimana kanker tiroid memiliki insiden yang lebih rendah yaitu 40 kasus baru tiap 1 juta

penduduk. Namun sangat penting untuk menentukan pasien – pasien mana saja

dengan nodul tunggal tiroid yang akan mendapatkan manfaat dari pembedahan.

Riwayat Penyakit

Hal detil mengenai nodul, seperti onset waktu, perubahan ukuran, dan gejala

yang berkaitan seperti nyeri, disfagia, dispneu atau tercekik harus dikumpulkan. Nyeri

merupakan gejala yang jarang namun ketika terjadi, harus lebih curiga kepada

perdarahan intratiroid dalam suatu nodul jinak, tiroiditis atau keganasan. Pasien dengan

MTC mungkin mengeluhkan sensasi nyeri yang tumpul. Riwayat suara serak lebih

mencemaskan karena kemungkinan sekunder akibat keganasan yang melibatkan RLN.

Sangat penting sekali untuk menanyakan kepada pasien mengenai faktor resiko

keganasan, misalnya adanya paparan radiasi ionisasi dan riwayat keluarga dengan

kanker tiroid dan keganasan lainnya yang berkaitan dengan kanker tiroid.

Paparan Radiasi Eksterna

Terapi radiasi dosis rendah telah digunakan untuk mengobati keadaan –

keadaan seperti tinea capitis (6,5 cGy), pembesaran timus (100 – 4 cGy), pembesaran

adenoid dan tonsil (750 cGy) dan kondisi lainnya seperti hemangioma dan scrofula.

Radiasi (±4000 cGy) juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam penanganan

pasien dengan penyakit Hodgkin. Sekarang diketahui bahwa riwayat terpapar radiasi

ionisasi dosis rendah terhadap kelenjar tiroid menempatkan pasien pada peningkatan

resiko untuk berkembang menjadi kanker tiroid. Resiko meningkat secara linear dari 6,5

46
hingga 2000 cGy, melebihi dosis ini insiden menurun karena radiasi menyebabkan

jaringan tiroid hancur. Resiko maksimum setelah 20 hingga 30 tahun terpapar, namun

pasien – pasien ini memerlukan monitoring jangka panjang. Selama penyebaran nuklir

dari Chernobyl tahun 1986, Pelepasan I 131 dikaitkan dengan peningkatan yang nyata

dari insiden lesi tiroid jinak dan ganas selama 4 tahun paparan terutama pada anak –

anak. Sebagian besar kanker tiroid karena paparan radiasi adalah papillary, dan

beberapa dari kanker ini dengan histologi jenis solid dan adanya translokasi RET/PTC

tampaknya menjadi lebih agresif. Terdapat kemungkinan 40% pasien dengan nodul

tiroid dan riwayat radiasi memiliki kanker tiroid. Pasien kanker tiroid ini, 60% pasien

kanker terdapat pada nodul yang dominan, sisanya 40% terdapat pada nodul lain di

tiroid.

Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga dengan kanker tiroid merupakan faktor resiko untuk

berkembang menjadi kanker tiroid medular maupun nonmedular. MTC familial dapat

terjadi terpisah atau berkaitan dengan tumor lain sebagai bagian sindrom multiple

endocrine neoplasia type 2 (MEN2). Kanker tiroid nonmedular bisa terjadi sehubungan

dengan sindrom kanker familial lainnya seperti sindrom Cowden, Werner (adult

progeroid syndrome), poliposis adenomatous familial (tabel 38-4). Kanker tiroid

nonmedular ini juga dapat terjadi secara independen tanpa disertai sindrom – sindrom

ini. Beberapa kandidat tempat yang merupakan predisposisi tumor – tumor ini telah

diidentifikasi namun diperkirakan hanya sebagian kecil dari keluarga.

47
Pemeriksaan Fisik

Kelenjar tiroid sangat baik dipalpasi dari belakang pasien dan leher dalam

ekstensi ringan. Kartilago krikoid merupakan landmark yang sangat penting, karena

ismus terletak tepat di bawahnya. Nodul yang keras, berpasir, atau lengket ke struktur

disekitarnya seperti trakea atau strap muscles sangat mungkin adalah suatu

keganasan. Kelenjar getah bening rantai cervical harus dinilai begitu juga kelenjar getah

bening di posterior triangle.

Investigasi Diagnostik

Algoritma untuk work-up nodul tunggal tiroid ditunjukkan pada gambar 38 – 14.

48
Fine-Needle Aspiration Biopsy

FNAB telah menjadi satu – satunya pemeriksaan yang sangat penting dalam

mengevaluasi massa tiroid dan dapat dilakukan dengan atau tanpa tuntunan

ultrasound. Tuntunan ultrasound direkomendasikan untuk nodul yang sukar diraba dan

nodul kistik atau nodul solid – kistik yang berulang setelah aspirasi awal. Jarum 23-

gauge dimasukkan ke dalam massa tiroid, dan dilakukan beberapa kali sambil

mengaspirasi jarum suntik. Setelah melepaskan hisapan jarum suntik, jarum dilepaskan

dan sel segera diletakkan pada slide kaca kering yang belum dilabel, beberapa

dicelupkan ke dalam larutan alkohol 70% sambil yang lainnya dikeringkan. Sampel dari

aspirasi juga ditempatkan dalam larutan alkohol 90% untuk cytospin atau cell pellet.

Slide diwarnai dengan pewarnaan Papanicolau atau Wright dan diperiksa di bawah

49
mikroskop. Jika didapatkan aspirasi darah, pasien harus di posisi ulang dengan posisi

lebih tegak dan biopsy diulang dengan jarum yang halus (25 hingga 30 gauge).

Setelah FNAB, mayoritas nodul dikategorikan dalam kelompok berikut: jinak

(65%), dicurigai (20%), ganas (5%), dan non diagnostik (10%). Insiden positif palsu

sekitar 1% dan negatif palsu kira – kira ditemukan pada 3% pasien. Jika hasil biopsy

dilaporkan non diagnostik, secara umum harus diulang. Lesi jinak termasuk kista dan

nodul koloid. Resiko keganasan pada keadaan ini <3%. Resiko keganasan pada

keadaan sitologi dicurigai sekitar 20%. Sebagian besar dari lesi ini adalah folikular atau

neoplasma sel Hürtle. Dalam keadaan ini, diagnosis keganasan bergantung pada

adanya invasi kapsular atau vascular, gambaran yang tidak dapat ditentukan dengan

FNAB. FNAB juga kurang dapat dipercaya pada pasien dengan riwayat iradiasi di

kepala dan leher atau riwayat keluarga dengan kanker, karena tingginya kemungkinan

adanya lesi multifokal dan kanker yang occult.

Penilaian Laboratorium

Sebagian besar pasien dengan nodul tiroid adalah eutiroid. Menentukan kadar

TSH darah sangat membantu. Jika pasien dengan nodul terdapat hipertiroid, resiko

keganasan sekitar 1%. Kadar Tg serum tidak dapat membedakan nodul tiroid jinak dari

yang ganas kecuali kadarnya sangat tinggi, dimana harus dicurigai adanya metastasis

kanker tiroid. Namun kadar Tg, berguna untuk mengikuti pasien yang menjalani total

tiroidektomi pada kanker tiroid dan untuk evaluasi serial pada pasien – pasien dengan

nodul tiroid yang menjalani terapi nonoperatif. Kadar kalsitonin serum harus diperiksa

pada pasien dengan MTC atau riwayat keluarga dengan MTC atau MEN2. Semua

50
pasien dengan MTC harus diperiksa adanya mutasi onkogen RET dan pengumpulan

urin 24 jam untuk pengukuran vanillymandelic acid (VMA), metanephrine, dan

katekolamin untuk menyingkirkan adanya feokromasitoma. Sekitar 10% pasien dengan

MTC familial dan MEN2A memiliki mutasi RET de novo sehingga anak – anak mereka

memiliki resiko untuk kanker tiroid.

Imaging

Ultrasound berguna untuk mendeteksi nodul tiroid yang tidak teraba,

membedakan nodul solid dari kistik, dan identifikasi linfadenopati. Evaluasi ultrasound

dapat mengidentifikasi adanya nodul yang meningkatkan resiko utama keganasan

seperti bintik – bintik halus kalsifikasi dan pembesaran kelenjar getah bening regional

namun diagnosis jaringan sangat direkomendasikan sebelum tiroidektomi. Ultrasound

juga merupakan metode yang nonivasif dan murah untuk mengikuti ukuran nodul yang

dicurigai jinak melalui diagnosa FNAB dan untuk identifikasi pembesaran kelenjar getah

bening. CT dan MRI tidak diperlukan dalam evaluasi rutin tumor tiroid kecuali untuk lesi

yang besar, terfiksasi dan terletak substernal. Scanning tiroid dengan I 123 atau 99m
Tc

jarang diperlukan dan saat ini scanning tiroid direkomendasikan untuk menilai nodul

tiroid hanya pada pasien dengan nodul folikular tiroid pada FNAB dan supresi TSH.

Seperti indikasi sebelumnya pada imaging tiroid, PET scanning tidak memegang

peranan utama dalam evaluasi primer nodul tiroid.

Tatalaksana
51
Tumor ganas diterapi dengan tiroidektomi, sebagaimana didiskusikan nanti pada

bab terapi pembedahan pada keganasan tiroid. Kista tiroid simple menghilang dengan

aspirasi pada sekitar 75% kasus, meskipun memerlukan dua atau tiga kali aspirasi. Jika

kista menetap setelah aspirasi ketiga, direkomendasikan untuk lobektomi tiroid

unilateral. Labektomi juga direkomendasikan untuk kista dengan diameter >4 cm atau

kista kompleks dengan komponen solid dan kistik, kista kompleks memiliki insiden

tinggi untuk keganasan (15%). Ketika FNAB digunakan pada kompleks nodul, harus

didapatkan sampel pada bagian yang solid. Jika nodul koloid didiagnosa dengan FNAB,

pasien masih harus diobservasi dengan ultrasound serial dan pengukuran Tg. Jika

nodul membesar, pengulangan FNAB sering diindikasikan. Meskipu kontroversial, L-

thyroxine dengan dosis antara 0,1 dan 1,0 μU/mL juga diberikan untuk

mempertahankan kadar TSH serum. Sekitar 50% nodul iniberkurang ukurannya

sebagai respon terhadap supresi TSH pada regimen ini dan sebagian lainnya terus

berkembang, tetapi sebagian besar efektif untuk nodul <3 cm. Tiroidektomi harus

dilakukan jika nodul membesar setelah supresi TSH, menyebabkan gejala penekanan,

atau alasan kosmetik. Pengecualian pada aturan umum ini yaitu pasien – pasien

dengan riwayat iradiasi sebelumnya atau riwayat keluarga dengan kanker tiroid. Pada

pasien seperti ini, total tiroidektomi atau near-total thyroidectomy direkomendasikan

karena tingginya insiden kanker tiroid dan rendahnya tingkat kepercayaan pemeriksaan

FNAB.

Keganasan Tiroid

52
Di Amerika Serikat, kanker tiroid diperkirakan <1% dari seluruh keganasan (2%

pada wanita dan 0,5% pada laki – laki) dan merupakan kanker yang paling cepat

meningkat pada wanita. Kanker tiroid bertanggungjawab terhadap 6 kematian per 1 juta

orang tiap tahunnya. Sebagian besar pasien datang dengan bengkak yang teraba di

leher, dimana penilaian awal didapatkan melalui kombinasi antara anamnesa,

pemeriksaan fisik, dan FNAB.

Beberapa onkogen dan tumor suppressor genes terlibat dalam terjadinya tumor

tiroid sebagaimana yang digambarkan pada tabel 38-5. Proto-onkogen RET memegang

peranan penting dalam patogenesis tumor tiroid. Proto-onkogen RET ini terletak pada

kromosom 10 dan menyandi reseptor tirosin kinase, yang mengikat beberapa faktor

pertumbuhan seperti glial-derived neurotrophic factor dan neurturin. Protein RET

diekspresikan pada jaringan yang berasal dari sistem eksresi dan saraf embrionik. Oleh

karena itu, gangguan pada RET dapat menyebabkan gangguan perkembangan pada

organ – organ yang berasal dari sistem ini seperti sistem saraf enterik (Hirschprung’s

disease) dan ginjal. Mutasi sel benih pada proto-onkogen RET diketahui sebagai

predisposisi MEN2A, MEN2B dan MTC familial dan mutasi somatik tampak pada tumor

yang berasal dari neural crest seperti MTC (30%) dan feokromasitoma. Domain tirosin

kinase dari RET dapat bergabung dengan gen – gen lain melalui penyusunan ulang

(rearrangement). Produk penggabungan ini juga berfungsi sebagai onkogen dan terlibat

dalam patogenesis PTC. Setidaknya rearrangement 15 RET/PTC telah digambarkan

dan tampak pada awal terbentuknya tumor. Hingga 70% kanker papiler pada anak –

anak yang terpapar dengan penyebaran radiasi pada bencana Chernobyl tahun 1986

membawa rearrangement RET/PTC, paling banyak yaitu RET/PTC1 dan RET/PTC3.

53
Rearrangement ini penyebab utama aktivasi reseptor tirosin kinase. RET/PTC3

dihubungkan dengan PTC tipe solid yang muncul pada stadium lebih tinggi dan lebig

agresif. Sekarang telah dibuktikan bahwa sinyal RET/PTC melibatkan jalur Mitogen-

Activated Protein Kinase (MAPK) melalui molekul pemberi sinyal lain seperti Ras, Raf,

dan MEK. Pada sel normal, aktivasi fisiologis Raf kinase melalui interaksi langsung

dengan guanosin-triphosphate (GTP) yang mengikat Ras, sebuah membran yang

mengikat protein G kecil. Aktifasi Raf, sebuah serine-threonine kinase pada gilirannya

akan mem-fosforilasi MEK, serine-threonine kinase lainnya. Hal ini menyebabkan

fosforilasi ERK/MAPK, yang mem-fosforilasi molekul pengatur dalam inti sel, sehingga

mengubah ekspresi gen. Aktivasi aberrant jalur MAPK menyebabkan terbentuknya

tumor (tumorigenesis). Di samping perubahan RET/PTC, mutasi gen Ras juga dapat

mengaktifasi jalur MAPK. Mutasi onkogen Ras telah diidentifikasi hingga 20-40% pada

folikular adenoma dan karsinoma, goiter multinoduler, dan karsinoma papiler serta

anaplastik. Terdapat 3 jenis Raf kinase yaitu A-Raf, B-Raf (BRAF), dan C-Raf. Mutasi

BRAF juga terlibat dalam aktifasi jalur MAPK yang aberrant dan tumorigenesis. Dari

berbagai jenis mutasi BRAF yang telah diidentifikasi, T1799A (V600E amino

substitution) yang paling banyak dan sering terjadi pada kanker tiroid. Menariknya

adalah mutasi BRAF terjadi pada tumor papiler dan anaplastik (prevalensi rata – rata

44% dan 22%), namun tidak pada kanker tiroid folikuler, sehingga menunjukkan

peranannya dalam patogenesis keganasan ini. Penelitian juga menunjukkan bahwa

mutasi BRAF berhubungan dengan tampilan klinikopatologis yang lebih agresif, meliputi

ukuran tumor yang lebih besar, invasi, dan limfadenopati, dan memegang peranan

sebagai penanda (marker) prognostik.

54
Gen p53 merupakan suatu tumor suppressor gene yang mengkode pengaturan

transkripsi yang menyebabkan siklus sel berhenti untuk memperbaiki DNA yang rusak,

55
sehingga membantu integritas genomik. Mutasi p53 jarang pada PTC, tetapi sering

pada kanker tiroid tidak berdiferensiasi dan jalur sel kanker tiroid. Pengatur siklus sel

dan tumor suppressor lainnya seperti p16 dan p16 bermutasi lebih banyak pada jalur

sel kanker tiroid daripada di tumor primer. Onkogen dihasilkan dari gabungan DNA yang

berikatan dengan domain gen PAX8 faktor traskripsi tiroid dengan peroxisome

proliferator-activated receptor gamma 1 (PPARγ1) telah diketahui memegang peranan

penting dalam perkembangan neoplasma folikuler termasuk kanker folikuler.

Tipe Tumor Spesifik

Karsinoma Papiler

Karsinoma papiler diperkirakan 80% dari seluruh keganasan tiroid pada daerah –

daerah dengan insufisiensi iodium dan jenis kanker tiroid yang dominan pada anak –

anak serta pada individu yang terpapar dengan radiasi eksterna. Kanker papiler lebih

sering terjadi pada wanita, dengan rasio perempuan : laki – laki 2:1, usia rata – rata 30-

40 tahun. Sebagian besar eutiroid dan memiliki massa di leher yang pertumbuhannya

lambat dan tidak nyeri. Disfagia, dyspnea, disfonia selalu berhubungan dengan tumor

local lanjut yang invasif. Metastasis kelenjar getah bening sering terjadi, terutama pada

anak – anak dan dewasa muda dan menjadi keluhan yang disampaikan. Tiroid aberrant

lateral hampir selalu menunjukkan kelenjar getah bening leher yang telah diinvasi oleh

metastasis tumor. Kecurigaan kanker tiroid sering didapat dari pemeriksaan fisik dan

anamnesa yang cermat. Diagnosis ditegakkan melalui FNAB dari massa tiroid dan

kelenjar getah bening. Sekali kanker tiroid didiagnosa dengan FNAB, USG leher yang

lengkap sangat direkomendasikan untuk mengevaluasi lobus kontralateral dan

56
metastasis kelenjar getah bening pada kompartemen leher sentral dan lateral.

Metastasis jauh jarang pada awal penyakit, namun dapat terjadi pada 20% pasien.

Tempat metastasis terbanyak yaitu paru diikuti tulang, hati, dan otak.

Patologi

Pada pemeriksaan dengan mata telanjang, PTC secara umum keras dan

berwarna keputihan dan tetap mendatar ketika dibelah dengan pisau, berlawanan

dengan jaringan normal atau lesi noduler yang jinak cenderung menonjol. Dapat

ditemukan kalsifikasi makroskopik, nekrosis, atau perubahan kistik. Pada histology,

karsinoma papiler dapat menunjukkan tonjolan – tonjolan papiler (Gambar 38-16A),

pola campuran struktur papiler dan folikuler, atau murni pola folikuler (varian folikuler).

Diagnosis ditegakkan melalui gambaran karakteristik inti sel. Sel berbentuk kuboid,

pucat, sitoplasma yang banyak, inti yang padat dengan celah, dan inklusi sitoplasma

intranuklear (menyebabkan gambaran inti Orphan Annie (Gambar 38-16B) dimana

memungkinkan diagnosa dengan FNAB. Psammoma bodies, secara mikroskopik,

merupakan deposit kalsium pada sekumpulan sel mati juga dapat ditemukan. Tumor

campuran papiler-folikuler dan karsinoma papiler varian folikuler diklasifikasikan

sebagai karsinoma papiler karena secara biologis berperangai sebagai karsinoma

papiler. Multifokalitas sering pada karsinoma papiler dan terdapat hingga 85% kasus

pada pemeriksaan mikroskopis. Multifokalitas dikaitkan dengan peningkatan resiko

metastasis kelenjar getah bening leher dan tumor ii jarang menginvasi struktur

disekitarnya seperti trakea, esophagus dan RLN. Yang termasuk varian lain dari

karsinoma papiler seperti tall cell, insular, columnar, diffuse sclerosing, clear cell,

57
trabecular, dan poorly differentiated type. Varian ini terjadi pada 1% karsinoma papiler

dan secara umum berhubungan dengan prognosis yang jelek.

Minimal/occult mikrokarsinoma bermakna tumor yang berukuran ≤1 cm dan tidak

terbukti adanya invasi lokal kapsul tiroid atau angioinvasi, serta tidak berhubungan
58
dengan metastasis kelenjar getah bening. Karsinoma ini tidak teraba dan selalu

ditemukan secara incidental pada saat operasi, histologi, atau otopsi. Penelitian

menunjukkan occult PTC terdapat pada 2-36% kelenjar tiroid yang diangkat saat otopsi.

Tumor occult ini berkaitan dengan prognosis yang lebih baik dibandingkan tumor yang

berukuran besar, namun dapat menjadi lebih agresif dari yang diperkirakan

sebelumnya.

Indikator Prognosis

Secara umum, pasien dengan PTC memiliki prognosis yang sangat baik dengan

10-year survival rate >95%. Beberapa indicator prognostik telah dimasukkan dalam

berbagai sisyem staging, yang memungkinkan untuk mengelompokkan pasien dalam

kelompok low-risk dan high-risk. Sayangnya, semua sistem klasifikasi tersebut

bergantung pada data yang tidak tersedia saat preoperatif.

Pada tahun 1987, Hay dkk dari klinik Mayo mengajukan sistem skor AGES, yang

memasukkan criteria Age, histologic Grade, Extrathyroidal invasion, dan metastasis

serta tumor Size untuk memprediksi kematian akibat kanker papiler. Pasien dengan

resiko rendah yaitu muda dengan well-differentiated tumor, tidak ada metastasis, dan

lesi primer yang kecil. Skala MACIS merupakan penilaian pasca operasi yang

dimodifikasi dari skala AGES. Skala ini terdiri dari Metastases, Age at presentation (<40

tahun atau >40 tahun), Completeness of origin surgical resection, extrathyroidal

Invasion, Size of origin lesion (dalam cm) dan mengelompokkan pasien dalam empat

kelompok bedasarkan skornya. Cady mengajukan sistem AMES unutk membedakan

tumor tiroid resiko rendah dan tinggi dengan menggunakan Age (laki – laki <40 tahun,

59
wanita <50 tahun), Metastases, Extrathyroidal spread, dan Size of tumors (< atau >

5cm). Sistem klasifikasi lain yaitu sistem TNM (Tumor, Nodal status, Metastases, tabel

38-6) yang sebagian besar digunakan pada pusat – pusat kesehatan di Amerika Utara.

Sebuah sistem yang sederhana oleh DeGroot dkk menggunakan empat kelompok- klas

I (intrathyroidal), klas II (cervical nodal metastases). Klas III (extrathyroidal invasion),

dan klas IV (distant metastases) untuk menentukan prognosis.

60
Beberapa penanda genetik dan molekuler seperti aneuploidi DNA tumor,

penurunan respon cyclic adenosine monophosphate terhadap TSH, peningkatan

epidermal growth factor binding, adanya mutasi N-ras dan gsp, overekspresi c-myc, dan

adanya mutasi p53 juga berhubungan dengan prognosis yang jelek. Adanya mutasi

BRAF juga telah meununjukkan keterkaitannya dengan metastasis kelenjar getah

bening dan stadium tumor papiler yang lebih tinggi (III dan IV).

Terapi Pembedahan

Sebagian besar penulis setuju bahwa pasien dengan tumor high-risk

(berdasarkan berbagai sistem kalsifikasi yang telah didiskusikan di atas pada Indikator

Prognosis) atau tumor bilateral harus dilakukan near-total tyhroidectomy. Ketika pasien

ditemukan dengan karsinoma tiroid papiler yang minimal pada specimen tiroid yang
61
diangkat untuk suatu lasan lainnya, lobektomi tiroid unilateral dan ismusektomi selalu

dipertimbangkan sebagai terapi yang adekuat, kecuali terdapat bukti adanya invasi

pembuluh darah, multifokal, atau pinggir yang positif. Pilihan terapi pembedahan yang

optimal pada pasien dengan kanker yang low-risk (kecil, unilateral) masih controversial.

Yang menjadi fojus perdebatan yaitu berkisar tentang data outcome dan resiko yang

berkaitan dengan luasnya tiroidektomi pada kelompok pasien ini.

Pendukung total tiroidektomi berpendapat bahwa prosedur ini (a) mampu

mengefektifkan penggunaan RAI dalam mendeteksi dan terapi jaringan tiroid yang

tersisa atau metastasis, (b) membuat level Tg serum menjadi marker yang lebih sensitif

terhadap penyakit yang rekuren atau menetap, (c) mengeliminasi kanker occult

kontralateral sebagai tempat rekurensi (karena hingga 85% tumor bilateral), (d)

mengurangi resiko rekurensi dan memperbaiki survival (e) mengurangi 1% resiko tumor

menjadi kanker tiroid yang undifferentiated atau anaplastik, (f) mengurangi keperluan

untuk reoperasi karena resikonya yang meningkatkan nilai rata – rata komplikasi.

Peneliti yang mendukung lobektomi berpendpat bahwa (a) total tiroidektomi

berhubungan dengan rata – rata komplikasi yang lebih tinggi dibandingkan lobektomi,

(b) rekurensi pada jaringan tiroid yang tersisa jarang terjadi (5%) dan sebagian besar

dapat diterapi dengan pembedahan, (c) tumor multisentrik memiliki makna prognostik

yang kecil, (d) pasien yang menjalani tindakan yang kecil seperti lobektomi masih

memiliki prognosis yang sangat baik.

Meskipun demikian, telah diketahui proporsi signifikan (33-50%) dari pasien yang

meninggal karena rekurensi kanker tiroid dan walaupun data tersebut merupakan data

62
retrospektif, long-term, penelitian follow-up menyatakan bahwa rata – rata rekurensi

lebih rendah dan survival membaik pada pasien yang menjalani near-total atau

tiroidektomi total (Gambar 38-17). Sebagai tambahan, berkurangnya survival

dikemukakan pada pasien – pasien yang low-risk (rata – rata mortalitas 5% dalam 10 –

20 tahun), sehingga tidak memungkinkan mengelompokkan pasien secara akurat

sebelum operasi. Sebagaimana dikatakan di atas, meskipun pasien dengan tumor yang

low-risk, direkomendasikan untuk dilakukan near-total atau tiroidektomi total, karena

rata – rata komplikasi yang terjadi rendah (<2%).

Jadi, ketika PTC didiagnosa melalui FNAB, operasi definitif dapat dilakukan

tanpa konfirmasi diagnosis dengan frozen section selama operasi. Pasein dengan nodul

tiroid yang berkemungkinan kanker papiler diterapi dengan lobektomi tiroid,

63
ismusektomi, dan pengangkatan lobus piramidalis atau kelenjar getah bening

disekitarnya. Jika pemeriksaan frozen section intraoperatif terhadap kelenjar getah

bening atau tumor primer mengkonfirmasi adanya karsinoma, dilanjutkan dengan

menyelesaikan total atau near-total tiroidektomi. Jika diagnosis definitif tidak dapat

ditegakkan atau ahli bedah difokuskan pada viabilitas kelenjar paratiroid atau status

RLN, operasi dihentikan. Ketika pemeriksaan histology akhir menunjukkan karsinoma,

tiroidektomi selalu dilakukan. Untuk pasien dengan PTC minimal (<1cm) yang terbatas

pada kelenjar tiroid, tanpa adanya angioinvasi, tidak ada tindakan pembedahan lanjutan

yang direkomendasikan.

Pada saat tiroidektomi, harus dilakukan pengangkatan jika ada pembesaran

kelenjar getah bening leher di sentral. Beberapa peneliti merekomendasikan

dilakukannya diseksi sentral bilateral kelenjar getah bening leher karena tingginya

insiden metastasis mikroskopik dan data yang ada menunjukkan perbaikan rata – rata

rekurensi dan survival (dibandingkan riwayat kontrol). Namun, resiko ini perlu

diseimbangkan dengan peningkatan resiko hipoparatiroid pada diseksi rutin kelenjar

getah bening sentral leher. Metastasis kelenjar getah bening yang terbukti dengan

biopsy dan terdeteksi secara klinis atau melalui imaging pada lateral leher pasien –

pasien dengan karsinoma papiler ditatalaksana dengan diseksi leher radikal modifikasi

atau fungsional sebagaimana yang digambarkan pada bab pembedahan tiroid. Diseksi

posterior triangle dan suprahioid jarang dilakukan kecuali terdapat penyebaran

metastasis pada level 2, 3, 4. Diseksi kelenjar getah bening leher lateral profilaktik tidak

diperlukan pada pasien dengan PTC, karena kanker ini tidak bermetastasis secara

64
sistemik melalui kelenjar getah bening, dan mikrometastasis sering dapat diablasi

dengan terapi RAI.

Karsinoma Folikuler

Karsinoma folikuler sekitar 10% dari kanker tiroid dan lebih sering terjadi pada

daerah dengan defisiensi iodine. Insiden keseluruhan tumor ini menurun di Amerika

Serikat, kemungkinan karena suplementasi iodine dan perbaikan dalam klasifikasi

histologi. Wanita memiliki insiden yang lebih tinggi untuk menderita kanker folikuler,

dengan rasio wanita terhadap pria yaitu 3:1, dan usia rata – rata saat diagnosa 50

tahun. Kanker folikuler selalu berupa nodul tiroid yang soliter, kadangkala dengan

riwayat peningkatan ukuran yang cepat, dan pembesaran tiroid yang lama. Nyeri jarang

dirasakan, kecuali terjadi perdarahan ke dalam nodul. Tidak seperti karsinoma papiler,

limfadenopati leher jarang pada perjalanan awal penyakit (sekitar 5%), meskipun

kemungkinan terdapat metastasis jauh. Pada <1% kasus, kanker folikuler dapat

hiperfungsi, yang menyebabkan pasien memiliki gejala dan tanda tirotoksikosis. FNAB

tidak dapat membedakan lesi folikuler jinak dengan karsinoma folikuler. Karena itu,

diagnosa klinis kanker ini sebelum operasi sukar ditegakkan kecuali terdapat metastasis

jauh. Tumor folikuler yang besar (>4 cm) pada laki – laki usia tua sangat

berkemungkinan menjadi ganas.

Karena keterbatasan diagnosis melalui FNAB, sejumlah penelitian memusatkan

perhatian pada identifikasi penanda molekuler untuk membedakan lesi folikuler jinak

dengan ganas. Analisa Loss of Heterozygosity (LOH) membandingkan DNA jaringan

normal dan tumor pada lokus kromosom tertentu untuk menentukan adanya kehilangan

65
satu copy pada pasangan gen. LOH yang berdekatan dengan lokus von Hippel-Lindau

pada kromosom 3p25-26 telah dilaporkan telah menjadi pemisah kuat antara lesi

folikuler jinak dan ganas. Penelitian lainnya telah menggunakan complementaru DNA

microarray suntuk membandingkan jaringan tumor untuk membedakannya dari ribuan

ekspresi gen dan telah menunjukkan hasil yang sangat menjanjikan untuk selanjutnya

memperbaiki diagnosis yang belum diketahui. Penelitian ini telah mengidentifikasi

kombinasi tiga hingga enam gen yang tampaknya berguna dalam membedakan lesi

folikuler jinak dan ganas. Susunan ekspresi juga telah digunakan untuk menyelidiki

peranan mikroRNA, yang merupakan sebuah kelas kecil terbaru, RNA noncoding yang

terlibat dalam karsinogenesis. MikroRNA spesifik seperti miR-197 dan miR-364

mengalami upregulation pada kanker tiroid folikuler. Beberapa perubahan genetic ini

dapat diidentifikasi dengan menggunakan jaringan yang didapatkan melalui FNAB dan

memiliki potensi untuk digunakan sebagai diagnostik dan penanda prognostik.

Patologi

Karsinoma folikuler selalu lesi yang soliter, dan sebagian besar dikelilingi oelh

kapsul. Secara histology, terdapat folikel, tetapi lumenya tanpa koloid. Pola

arsitekturalnya tergantung derajat diferensiasi yang dihasilkan oleh tumor. Keganasan

diartikan dengan adanya invasi kapsuler atau vaskuler (Gambar 38-18). Pada

umumnya, tumor yang minimal invasif secara kasar masih terbungkus kapsul dan

terdapat invasi mikroskopik melalui kapsul tumor tanpa perluasan ke parenkim dan atau

invasi ke pembuluh darah kecil hingga sedang (kaliber vena) di dalam atau tepat pada

sisi luar kapsul, namun tidak di dalam tumor. Dilain hal, invasi tumor yang luas

menunjukkan bukti adanya invasi pembuluh darah besar dan atau area yang luas dari
66
invasi tumor melalui kapsul. Dalam hal ini nyatanya tumor tersebut tidak terbungkus

kapsul. Penting diketahui bahwa terdapat beragam pendapat di antara klinisi dan ahli

patologi mengenai definisi di atas. Infiltrasi dan invasi tumor, seperti trombus tumor

dalam vena jugularis atau vena media tiroid, dapat ditemukan pada saat operasi.

Terapi Bedah dan Prognosis

Pasien yang didiagnosa dengan FNAB memiliki lesi folikuler harus menjalani

lobektomi tiroid karena sekurang - kurang 80% dari pasien ini akan memiliki adenoma

yang jinak. Beberapa ahli bedah menganjurkan tiroidektomi total pada pasien usia tua

dengan lesi folikuler >4 cm karena tingginya resiko kanker pada keadaan ini (50%).

Pemeriksaan frozen-section intraoperatif selalunya tidak membantu, namun harus

dilakukan jika terdapat bukti adanya invasi kapsul atau vaskuler, atau ketika terdapat

limfadenopati di sekitarnya. Tiroidektomi total harus dilakukan ketika diagnosa kanker

tiroid ditegakkan. Terdapat perdebatan diantara para ahli mengenai apakah pasien

dengan kanker folikuler minimal invasif harus menjalani tiroidektomi lengkap karena

67
prognosisnya baik pada pasien ini. Diagnosa karsinoma invasif yang sesungguhnya

atau karsinoma folikuler dengan invasi vaskuler, dengan atau tanpa invasi kapsuler,
131
harus dilakukan total tiroidektomi agar I dapat digunakan untuk mendeteksi dan ablasi

metastasis. Diseksi kelenjar getah bening profilaktik tidak dibenarkan karena

keterlibatan kelenjar getah bening jarang terjadi, tetapi pada pasien tertentu dengan

metastasis kelenjar getah bening, diseksi leher terapeutik dianjurkan. Mortalitas

kumulatif dari kanker tiroid folikuler kira – kira 15% pada 10 tahun dan 30% pada 20

tahun. Prediksi prognosis jangka panjang yang jelek yaitu usia > 50 tahun saat

diagnosis, ukuran tumor >4 cm, adanya invasi vaskuler, invasi ekstratiroid, dan

metastasis jauh saat diagnosis.

Karsinoma Sel Hürtle

Karsinoma sel Hürtle diperkirakan 3% dari seluruh keganasan tiroid, dan dalam

klasifikasi WHO, dianggap sebagai subtipe kanker folikuler. Karsinoma sel Hürtle juga

ditandai dengan adanya invasi vaskuler atau kapsul dan tidak dapat didiagnosa dengan

FNAB. Tumor terdiri dari lapisan sel eosinofilik yang padat dalam mitokondria, yang

berasal dari sel oxyphillic kelenjar tiroid. Karsinoma sel Hürtle berbeda dengan

karsinoma folikuler karena tumor ini lebih sering multifokal dan bilateral (sekitar 30%),

selalu tidak mengambil RAI (sekitar 5%), lebih sering bermetastasis ke kelenjar getah

bening lokal (25%) dan jauh, serta berhubungan dengan rata – rata mortalitas yang

lebih tinggi (sekitar 20% pada 10 tahun). Jadi, tumor ini dianggap sebagai kelas

terpisah oleh beberapa kelompok.

68
Tatalaksananya sama dengan karsinoma folikuler, lobektomi dan ismusektomi

dianggap cukup sebagai terapi pembedahan pada adenoma sel Hürtle unilateral. Ketika

ditemukan neoplasma sel Hürtle yang invasif pada pemeriksaan histologi potongan

paraffin, harus dilakukan tiroidektomi total. Pasien ini juga harus menjalani

pengangkatan rutin kelenjar getah bening sentral leher, sama dengan pasien MTC, dan

modifikasi diseksi leher radikal jika teraba kelenjar getah bening lateral leher. Meskipun

scanning RAI dan ablasi selalunya tidak efektif, namun dianggap mampu mengablasi

sisa jaringan tiroid normal dan kadangkala mengablasi tumor karena dalam hal ini tidak

ada terapi yang baik. Terapi redifferentiating seperti asam retinoic, agonis PPARγ telah

menunjukkan manfaat dalam terapi tumor ini secara in vitro, namun pada penelitian

klinis fase II hasilnya campuran. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi

terapi ini.

Manajemen Pasca Operasi Kanker Tiroid Berdiferensiasi

Terapi Radioiodine

Masalah apakah terapi RAI memberikan manfaat pada pasien dengan kanker

tiroid yang berdiferensiasi masih kontroversial karena tidak adanya penelitian

prospektif, randomized controlled. Studi cohort jangka panjang oleh Mazzaferri, dkk

serta DeGroot, dkk menunjukkan bahwa terapi RAI pasca operasi mengurangi

rekurensi (Gambar 38-19) dan sedikit perbaikan pada survival, bahkan pada pasien

low-risk. Skrining dengan menggunakan RAI lebih sensitif daripada x-ray thoraks atau

CT scan dalam mendeteksi metastasis, namun kurang sensitif dibandingkan dengan

pengukuran Tg dalam mendeteksi metastasis sebagian besar kanker tiroid yang

69
berdiferensiasi kecuali tumor sel Hürtle. Skrining dan terapi dipermudah dengan

pengangkatan seluruh jaringan tiroid normal yang berkompetisi terhadap ambilan

iodine. Metastasis karsinoma tiroid yang berdiferensiasi dapat dideteksi dan terapi

dengan 131I pada 75% pasien. Banyak studi yang menunjukkan bahwa RAI efektif dalam

terapi >70% mikrometastasis paru yang terdeteksi dengan scan RAI namun normal

pada x-ray thoraks, sedangkan angka keberhasilan turun hingga <10% terhadap

makrometastasis paru. Deteksi awal tampaknya sangat penting untuk memperbaiki

prognosis. Ablasi RAI saat ini direkomendasikan untuk semua pasien dengan stadium

III atau IV, semua pasien stadium II <45 tahun, sebagian besar pasien stadium II yang

berusia 45 tahun atau lebih, dan pasien stadium I dengan tumor yang agresif secara

histology, metastasis kelenjar getah bening, tumor multifokal, dan ekstratiroid, atau

invasi vaskuler.

70
Secara umum, terapi T4 harus dihentikan lebih kurang 6 minggu sebelum
131
scanning dengan I. Pasien harus diberikan T 3 pada periode waktu ini untuk

mengurangi periode jika hipotiroidisme. T 3 memiliki waktu paruh yang lebih pendek

dibandingkan T4 (1 hari vs 1 minggu) dan perlu dihentikan selama 2 minggu agat kadar

TSH meningkat sebelum terapi. Kadar >30 mU/L dianggap optimal, berdasarkan studi

non kontrol. Disarankan diet rendah iodine selama periode 2 minggu tersebut. Protokol
123
yang biasa dilakukan meliputi pemberian I dosis skrining 1 hingga 3 mCi dan diukur

ambilannya dalam 24 jam terakhir. Setelah tiroidektomi total, nilai ini harus <1%.

Adanya spot “hot” di leher setelah skrining awal menunjukkan adanya sisa jaringan

tiroid normal pada bed tiroid. Beberapa peneliti menganjurkan untuk mengabaikan dosis

scanning untuk meminimalkan “stunning” tirosit dan dilanjutkan dengan keperluan untuk

dosis terapi yang lebih tinggi. Sebagian yang lain menganjurkan scanning bila ukuran

jaringan yang tersisa tidak dapat ditentukan melalui laporan operasi atau USG, atau jika

hasilnya akan merubah keputusan untuk terapi atau dosis yang akan diberikan. Jika
131
terdapat ambilan yang bermakna, kemudian diberikan I dosis terapi yaitu 30 hingga
71
100 mCi pada pasien low-risk dan 100 hingga 200 mCi pada pasien high-risk. Jika

pasien memiliki kadar Tg yang meningkat, namun scan RAI yang negatif, beberapa
131
dokter menganjurkan terapi I dengan dosis 100 mCi dan diulang imaging 1 hingga 2

minggu berikutnya. Labih kurang sepertiga dari pasien ini menunjukkan ambilan pada

imaging pasca terapi, dan kadar Tg selalunya menurun, hal ini menunjukkan adanya

manfaat terapi. Pasien yang sebelumnya dengan scan yang positif dan pasien dengan
131
kadar Tg serum >2 ng/mL selalunya memerlukan terapi I lainnya setelah 6 hingga 12

bulan hingga didapatkan satu atau dua scan yang negatif. Scan follow-up dapat

dilakukan setelah penarikan kembali terapi hormonal atau setelah rekombinan TSH.

Rekombinan TSH lebih mahal namun disukai oleh pasien. Dosis maksimum radioiodine

yang dapat diberikan pada satu waktu tanpa melakukan dosimetri kira – kira 200 mCi

dengan dosis akumulatif 1000 hingga 1500 mCi. Dosis hingga 500 mCi dapat diberikan

dengan dosimetri sebelum terapi yang tepat. Komplikasi segera dan lanjut dari terapi

RAI digambarkan pada Tabel 38-7.

External Beam Radioteraphy dan Kemoterapi


72
Radioterapi eksterna kadangkala diperlukan untuk mengontrol tumor yang tidak

bisa direseksi, invasif lokal atau rekuren, dan metastasis tulang untuk mengurangi

resiko fraktur. Selain itu juga berharga untuk terapi dan mengontrol nyeri akibat

metastasis tulang ketika terdapat sedikit atau tidak ada RAIU. Kemoterapi tunggal

maupun multidrugs telah digunakan dengan keberhasilan yang kecil pada kanker tiroid

yang telah meluas, dan kemoterapi rutin tidak memegang peranan. Doxorubicin

(Adriamycin) dan Paclitaxel (Taxol) merupakan agen kemoterapi yang paling sering

digunakan. Doxorubicin bertindak sebagai radiation sensitisizer dan harus

dipertimbangkan penggunaannya pada pasien yang menjalani radiasi eksterna.

Hormon Tiroid

T4 diperlukan tidak hanya sebagai terapi pengganti pada pasien setelah total atau

near-total tiroidektomi, tetapi memiliki efek tambahan dalam menekan TSH dan

mengurangi rangsangan pertumbuhan untuk setiap sel kanker tiroid yang tersisa.

Supresi TSH mengurangi rata – rata rekurensi tumor. T 4 harus diberikan untuk

memastikan pasien masih eutiroid, dengan kadar TSH yang bersirkulasi sekitar 0,1

μU/L pada pasien low-risk, atau <0,1 μU/L pada pasien high-risk. Resiko rekurensi

tumor harus diseimbangkan dengan efek samping yang berkenaan dengan supresi

TSH jangka panjang, misalnya osteopenia dan masalah jantung, terutama pada pasien

tua.

Follow-up Pasien dengan Kanker Tiroid Berdiferensiasi

Pengukuran Tiroglobulin
73
Kadar Tg pada pasien telah menjalani tiroidektomi total harus <2 ng/mL ketika

pasien menggunakan T4, dan <5 ng/mL jika pasien hipotiroid. Kadar Tg >2 ng/mL

sangat berkemungkinan adanya metastasis, atau jaringan tiroid normal yang persisten,

terutama jika meningkat saat kadar TSH meningkat ketika keadaan hipotiroid selama

persiapan untuk scaning RAI atau setelah TSH rekombinan. Lebih kurang 95% pasien

dengan kanker tiroid persisten atau rekuren yang berasal dari sel folikuler memiliki

kadar Tg >2 ng/mL. Kadar Tg dan antibodi anti-Tg mulanya harus diukur dengan

interval 6 bulan kemudian tiap tahun jika pasien bebas penyakit secara klinis. Yang

terbaru saat ini, pengukuran Tg pada aspirasi FNAB telah menunjukkan manfaatnya

dalam mendeteksi metastasis kelenjar getah bening.

Imaging

Setelah scan pertama pasca terapi, pasien low-risk dengan TSH yang distimulasi

Tg dan USG leher negative tidak memerlukan diagnostik rutin scan radioiodine seluruh

tubuh. Meskipun begitu, scan diagnostik seluruh tubuh 6 hingga 12 bulan setelah terapi

ablasi bernilai dalam memfollow-up pasien dengan resiko tinggi dan intermediate dari

penyakit yang persisten. Juga direkomendasikan USG leher untuk mengevaluasi bed

tiroid dan kompartemen sentral dan lateral kelenjar getah bening leher yang dilakukan

pada 6 hingga 12 bulan pasca tiroidektomi kemudian tiap tahun selama 3 – 5 tahun,

tergantung resiko pasien untuk terjadinya rekurensi dan status Tg. Jika RAI dan scan

USG negatif tetapi kadar Tg masih tinggi, FDG PET scan dapat membantu untuk

melokalisir penyakit.

Karsinoma Meduler

74
MTC terjadi lebih kurang 5% dari keganasan tiroid dan muncul dari sel

parafolikuler atau sel C tiroid, yang berasal dari ultimobranchial bodies. Sel – sel ini

terkonsentrasi pada bagian superolateral lobus tiroid dan disinilah MTC selalu terjadi.

Sel C mensekresikan kalsitonin, suatu polipeptida dengan 32-asam amino yang

berfungsi menurunkan kadar kalsium serum, meskipun dampaknya kecil pada manusia.

Sebagian besar MTC terjadi secara sporadik. Namun, sekitar 25% kejadian berada

dalam rentangan beberapa sindrom yang diturunkan seperti familial MTC, MEN2A, dan

MEN2B. Semua varian ini diketahui karena mutasi germline sekunder pada proto-

onkogen RET. Sindrom ini juga ditandai dengan korelasi genotip dan fenotip, dengan

mutasi spesifik yang mengarah pada manifestasi klinis tertentu. Gambaran klinis dan

genetik yang menonjol dari sindrom ini digambarkan pada Tabel 38-8. Beberapa

gambaran klinis pasien dengan MEN2B ditunjukkan pada Gambar 38-20.

75
Pasien dengan MTC sering terdapat massa di leher disertai limfadenopati leher

yang teraba (15-20%). Nyeri sering dirasakan pasien dengan tumor ini, dan invasi lokal

76
menyebabkan gejala disfagia, dyspnea, atau disfonia. Metastasis jauh melalui aliran

darah ke hati, tulang (selalunya osteoblastik), dan paru terjadi belakangan dari tumor

ini. Rasio perempuan : pria yaitu 1,5:1. Sebagian besar pasien berada antara usia 50

dan 60 tahun, sedangkan pasien dengan riwayat keluarga terjadi pada usia yang lebih

muda. Tumor tiroid meduler tidak hanya mensekresikan kalsitonin dan

carcinoembryonic antigen (CEA), tetapi juga peptide lainnya seperti calcitonin gene-

related peptide, histaminadases, prostaglandin E 2 dan F2α, dan serotonin. Pasien

dengan penyebaran metastasis seringnya mengalami diare, yang disebabkan karena

meningkatnya motilitas saluran cerna dan terganggunya aliran air dan elektrolit saluran

cerna. Sekitar 2-4% pasien mengalami sindrom Cushing akibat produksi ektopik

adrenocorticotropic hormone (ACTH).

Patologi

Khasnya MTC adalah unilateral (80%) pada pasien yang sporadik dan

multisentris pada pasien dengan riwayat keluarga, serta 90% tumor terjadi bilateral

pada pasien ini. Kasus familial juga berkaitan dengan hyperplasia sel, yang merupakan

lesi premaligna. Secara mikroskopis, tumor ini tumor ini terdiri dari lapisan – lapisan

infilltrasi sel neoplasia yang dipisahkan kolagen dan amiloid. Terdapat heterogenitas

yang jelas, sel kemungkinan bentuknya poligonal atau spindle. Adanya amiloid

merupakan diagnostik, namun pemeriksaan imunohistokimia untuk kalsitonin-lah yang

lebih banyak digunakan sebagai penanda tumor diagnostik. Tumor ini juga positif

dengan pewarnaan untuk CEA dan calcitonin gene-related peptide.

77
Diagnosis

Diagnosis MTC ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, peningkatan

kalsitonin serum, atau kadar CEA, dan FNAB dari massa tiroid. Perhatian terhadap

riwayat keluarga sangat penting karena sekitar 25% pasien MTC memiliki riwayat

penyakit keluarga. Karena tidak mungkin bisa membedakan penyakit sporadik dengan

familial saat datang pertama, semua pasien baru dengan MTC harus di skrining untuk

adanya mutasi RET, feokromasitoma, dan HPT. Skrining mutasi RET pada pasien MTC

familial secara luas telah digantikan dengan uji provokasi dengan pentagastrin atau

kadar kalsium yang distimulasi kalsitonin untuk menegakkan diagnosa. Kalsitonin dan

CEA digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan MTC persisten atau rekuren.

Kalsitonin merupakan penanda tumor yang lebih sensitif, sedagkan CEA lebih baik

sebagai prediktor prognosis.

Terapi

Jika pasien ditemukan dengan feokromasitoma, ini harus dioperasi pertama

sekali. Tumor ini pada umumnya (>50%) bilateral. Total tiroidektomi merupakan terapi

pilihan pada pasien dengan MTC karena tingginya insiden multisentris, penyakit yang

lebih agresif, dan fakta bahwa terapi I 131 tidak efektif pada pasien ini. Kelenjar getah

bening pada kompartemen sentral sering terkena pada proses awal penyakit, sehingga

diseksi bilateral kelenjar getah bening sentral harus rutin dilakukan. Pada pasien

dengan kelenjar getah bening yang teraba atau mengenai kelenjar getah bening

sentral, ipsilateral atau bilateral, direkomendasikan untuk modifikasi diseksi radikal

kelenjar getah bening. Peranan diseksi kelenjar getah bening lateral kontroversial.

78
Namun, pada pasien dengan tumor >1cm, direkomendasikan untuk diseksi leher radikal

modifikasi ipsilateral profilaktik karena >60% pasien ini memiliki metastasis kelenjar

getah bening. Jika kelenjar getah bening ipsilateral positif, diseksi kelenjar getah bening

kontralateral harus dilakukan. Pada kasus rekurensi lokal, atau metastasis, dianjurkan

debulking tumor yang tidak hanya meringankan gejala flushing dan diare, tetapi juga

mengurangi resiko kematian karena penyakit yang rekuren di leher sentral atau

mediastinum. Penggunaan external beam radioteraphy kontroversial, tetapi

direkomedasikan pada tumor residu yang tidak bisa direseksi atau pada tumor rekuren.

Dalam hal ini tidak ada regimen kemoterapi yang efektif. Ada beberapa terapi target

yang telah diteliti untuk terapi MTC. Tyrosine kinase inhibitor STI571 (Imatinib)

memberikan hasil yang menjanjikan pada penelitian in vitro, namun kurang digalakkan

pada penelitian klinis fase II. Tyrosine kinase inhibitor lainnya yang bekerja melawan

reseptor 2 vascular endothelial growth factor, ZD6474 (Zactima) yang lebih efektif pada

penelitian fase II telah menunjukkan partial response pada 27% pasien, dengan

berkurangnya kadar kalsitonin dan CEA. Sebuah antibodi monoklonal anti-CEA

(labetuzumab) juga menunjukkan respon antitumor pada sebagian kecil pasien. Ablasi

radiofrekuensi yang dilakukan melalui laparoskopi tampaknya menjanjikan pada terapi

paliatif dengan metastasis hati >1,5 cm.

Pada pasien dengan hiperkalsemia pada saat tiroidektomi, hanya kelenjar

paratiroid yang benar – benar membesar yang diangkat. Kelenjar paratiroid lainnya

harus dipertahankan dan ditandai pada pasien dengan normokalsemia, karena hanya

sekitar 20% pasien MEN2A yang berkembang menjadi HPT. Jika kelenjar paratiroid

normal yang tidak bisa dipertahankan melalui suatu pedikel vaskuler, maka harus

79
diangkat, dan dibiopsi untuk memastikan itu adalah kelenjar paratiroid, dan kemudian

ditransplantasikan pada lengan bawah yang tidak dominan. Tiroidektomi total

diindikasikan pada pasien carrier mutasi RET jika dikonfirmasi adanya mutasi. Tindakan

ini dilakukan pada usia 6 tahun pada MEN2A dan sebelum usia 1 tahun pada pasien

MEN2B. Diseksi leher sentral dapat dicegah pada anak – anak yang RET positif dan

kalsitonin negative dengan USG normal. Jika kalsitonin meningkat atau USG

menunjukkan adanya kanker tiroid, diindikasikan untuk dilakukan diseksi leher sentral

profilaktik.

Follow-up Pasca Operasi dan Prognosis

Pasien diikuti melalui pemeriksaan tahunan kadar kalsitonin dan CEA, sebagai

tambahan terhadap anamnesa dan pemeriksaan fisik. Modalitas lain yang digunakan

untuk menentukan rekurensi seperti USG, CT, MRI, dan yang terbaru yaitu FDG PET

Scan. FDG PET Scan dilaporkan lebih superior terhadap radionuclide-based dan

imaging morfologi rutin oleh beberapa peneliti. Prognosis berhubungan dengan stadium

penyakit. The 10-year survival rate sekitar 80% dan menurun 45% jika mengenai

kelenjar getah bening. Survival secara signifikan juga dipengaruhi oleh jenis penyakit.

Sangat baik jika pada pasien MTC familial non MEN difollow adanya MEN2A, baru

kemudian penyakit sporadiknya. Pasien dengan MEN2B memiliki prognosis yang lebih

jelek (survival 35% pada 10 tahun). Pembedahan profilaksis pada pasien dengan

carrier mutasi onkogen RET tidak hanya memperbaiki rata – rata harapan hidup tetapi

juga menjadikan pasien bebas kalsitonin.

80
Karsinoma Anaplastik

Karsinoma anaplastik diperkirakan 1% dari seluruh keganasan tiroid di Amerika

Serikat dan insidennya mengalami penurunan. Paling banyak mengenai wanita, dan

mayoritas tumor terjadi pada usia dekade 7 dan 8. Pasiennya khas dengan massa di

leher yang sudah lama dimana cepat membesar dan sangat nyeri. Gejala penyerta

seperti disfonia, disfagia, dan dyspnea sering ditemui. Tumor berukuran besar dan

dapat terfiksasi pada jaringan sekitarnya atau bertukak dengan area yang nekrosis

(gambar 38-21). Kelenjar getah bening selalu teraba saat pemeriksaan. Bukti adanya

penyebaran metastasis juga bisa ditemukan, Biopsi insisi kadangkala diperlukan untuk

memastikan diagnosa, dan ismusektomi dengan atau tanpa trakeostomi diperlukan

untuk meringankan obstruksi trakea. Diagnosis yang dikonfirmasi melalui FNAB

menunjukkan karakteristik dengan sel giant dan banyak inti. Biopsi insisi kadangkala

diperlukan untuk konfirmasi diagnosis, dan ismusektomi dengan atau tanpa trakeostomi

mungkin diperlukan untuk mengurangi obstruksi trakea.

81
Patologi

Dengan inspeksi dengan mata telanjang, tumor anaplastik tampak padat dan

keputihan. Secara mikroskopis, tampak gambaran sel yang heterogen. Sel – selnya

dapat berbentuk kumparan, poligonal, atau berukuran besar dengan banyak inti. Fokus

tumor tiroid yang lebih berdiferensiasi seperti folikular atau papilar dapat tampak pada

sediaan, yang menunjukkan bahwa tumor anaplastik berasal dari tumor yang

berdiferensiasi baik. Satu hal yang harus dikonfirmasi yaitu tumor tersebut bukan MTC

atau limfoma sel kecil karena prognosis sangat bervariasi.

Terapi dan Prognosis

Tumor ini merupakan salah satu keganasan tiroid yang paling agresif, sedikit

pasien yang bertahan 6 bulan setelah diagnosis. Semua bentuk terapi tidak

memuaskan. Jika karsinoma anaplastik ini berupa massa yang dapat direseksi,

tiroidektomi hanya memberikan sedikit perbaikan pada survival terutama pada usia

muda. Kombinasi radioterapi dan kemoterapi sebagai adjuvant pada pasien dengan

tumor yang resectable telah dikaitkan dengan survival yang memanjang, meskipun

agen – agen ini digunakan sebagai neoadjuvan. Trakeostomi kemungkinan diperlukan

untuk mengurangi obstruksi jalan napas.

Limfoma

Limfoma terjadi <1% dari keganasan tiroid dan sebagian besar adalah non-

Hodgkin tipe sel B. Meskipun penyakit ini dapat merupakan bagian dari limfomatous

secara umum, sebagian besar limfoma tiroid berkembang dari pasien – pasien dengan

tioriditis kronik limfositik. Adanya rangsangan antigen limfosit yang kronik telah
82
diperkirakan menjadi penyebab transformasi limfosit. Pasien selalu datang dengan

gejala yang menyerupai pasien dengan karsinoma anaplastik, meskipun pembesaran

massa leher yang cepat tersebut seringnya tidak disertai nyeri. Pada pasien dapat juga

disertai dengan distress pernapasan akut. Diagnosis selalu dinyatakan dengan FNAB,

meskipun needle-core biopsy atau biopsi terbuka mungkin diperlukan untuk diagnosa

pasti. Stadium harus ditentukan secepatny untuk menilai luasnya penyebaran ke

ekstratiroid.

Terapi dan Prognosis

Pasien dengan limfoma tiroid memberikan respon yang cepat terhadap

kemoterapi (CHOP-Cyclophosphamide, Doxorubicin, Vincristine dan Prednison),

dimana berkaitan dengan perbaikan survival. Kombinasi terapi radioterapi dengan

kemoterapi juga direkomendasikan. Tiroidektomi dan reseksi kelenjar getah bening

dilakukan untuk mengurangi gejala obstruksi jalan napas pada pasien yang tidak

memberikan respon cepat terhadap regimen di atas atau pasien yang telah lengkap

regimennya sebelum diagnosis. Prognosis tergantung pada grade histologi tumor dan

apakah tumor tersebut terbatas pada tiroid atau telah menyebar. Rata – rata angka

harapan hidup (Overall 5-year survival rate), pasien yang disertai dengan penyebaran

ekstratiroidal memiliki angka rata – rata harapan hidup yang lebih rendah.

Karsinoma Metastasis

83
Kelenjar tiroid merupakan tempat yang jarang bagi metastasis kanker dari organ

lain seperti ginjal, payudara, paru dan melanoma. Pemeriksaan klinis dan riwayat

pasien yang cermat dapat memberikan petunjuk mengenai sumber metastasis dan

FNAB selalu memberikan diagnosa yang definitif. Reseksi tiroid, selalunya lobektomi,

sangat membantu pada sebagian besar pasien tergantung pada status tumor

primernya.

Pembedahan Tiroid

Tiroidektomi

Sehubungan dengan tiroidektomi, pasien dengan gangguan fonasi, harus

dilakukan pemeriksaan pita suara terlebih dahulu dengan laringoscopy langsung atau

tidak langsung sebelum operasi. Pasien dalam posisi supine, dengan bantal diantara

scapula. Kepala ditempatkan pada bantal donut dan leher diekstensikan untuk

mendapatkan lapangan yang luas. Insisi collar Kocher, dengan panjang 4-5 cm

ditempatkan sejajar dengan garis kulit 1cm dibawah kartilago krikoid (gb 38-22A) atau

sepanjang insisi yang dibutuhkan Subkutan dan platisma dipisahkan, kemudian

dibentuk subplatisma flap dengan batas superior sampai kartilago tyroid dan batas

inferior sampai suprasternal notch (Gb 38-22B) . Strap muscles dipisahkan digaris

tengah sejauh flap bisa dimobilisasi dan kelenjar tiroid bisa diekpose. Tindakan dimulai

pada satu sisi dulu, otot sternohyoid dipisahkan dari sternotiroid secara tumpul sampai

vena jugular interna dan ansa servikalis diidentifikasi. Strap muscles kadang kalo

dibutuhkan bisa dipisahkan untuk mendapatkan ekpose dari tiroid yang lebih luas. Jika

manuver ini dibutuhkan otot harus dipisahkan diatas diatas dari inervasi dari cabang

ansa cervikalis. Jika terdapat invasi tumor langsung sampai ke strap muscle, porsi otot

84
yang terlibat harus direseksi enbloc dengan kelenjar tiroidnya. Otot sternotiroid

dilakukan diseksi dari kelenjar tiroid dengan diseksi tumpul dan tajam. Lobus tiroid

ditarik ke medial dan anterior dan jaringan lateral didorong ke posterolateral dengan

sponge. Vena tyroidalis media diligasi dan dipisahkan (Gb 38-22C). Pada midline

ditemukan delpian node dan lobus piramidalis. Pole tiroid superior diidentifikasi dengan

menarik tiroid ke inferior dan medial pertama kali dan kemudian pole atas tiroid

dimobilisasi ke kaudal dan lateral. Diseksi tetap menutupi tiroid sebisa mungkin sampai

pembulah darah pole superior diindifikasi, dilakukan skeletonisasi, ligasi dan

memisahkan dibawah kelenjar tiroid untuk menjaga cedera pada cabang ekternal dari

nervus laringeus superior. (Gb 38-22D). Setelah pembuluh darah dipisahkan jaringan

posterior dan lateral dari pole atas dapat dipisahkan dari kelenjar pada posteromedial

untuk mengurangi resiko kerusakan pembuluh darah untuk suplai paratiroid bagian

atas.

85
86
87
Nervus laringeus rekuren harus diidentifikasi. RLN kanan lebih oblik daripada

RLN kiri. Nervus dapat diidentifikasi pada level kartilago krikoid. Paratiroid harus

diidentifikasi 1 cm menyilang arteri tiroid inferior dan RLN meskipun kadang kadang ada

lokasi ektopik. Pole bawah kelenjar tiroid harus dimobilisasi secara gentle. Pembuluh

darah tiroid inferior didiseksi, skeletonisasi, ligasi dan dipisahkan sedekat mungkin ke

kelenjar tiroid untuk memnimalisasi devaskularisasi dari paratiroid (diseksi

ekstrakapsular) atau cedera pada RLN. Saraf – saraf menyilang strukur tiroid

bersamaan cabang arteri dan vena (Gb 38-22B). Setiap perdarahan pada area ini harus

dikontrol dengan tekanan yang gentle dan hati – hati dalam mengidentifikasi dan

meligasinya. Penggunaan elektrokauter harus dihindarkan diproksimal dari RLN.

88
Setelah ligamen dipisahkan, tiroid dapat dipisahkan dari trakea dengan diseksi tajam.

Lobus piramidalis, jika ada harus dipisahkan kearah cepalad di atas level kartilago tiroid

atau diatas pertemuan dengan kelenjar tiroid. Jika lobektomi dilakukan, ismus

dipisahkan dari trakea dari arah kontralateral dan dijahit. Prosedur yang sama dulang

pada sisi sebelahnya untuk total tiroidektomi.

Kelenjar paratiroid yang berada di anterior dari permukaan tiroid tidak dapat

diseksi dari tiroid, konfirmasi adanya jaringna paratiroid dengan frozen section,

dipisahan menjadi fragmen 1 mm dan diimplantasi pada kantong dibawah otot

sternocleidomastoideus. Tempatnya harus ditandai dengan silk atau clip. Jika

tiroidektomi subtotal dipilih pole atas pembuluh darah dipisahkan dan lobus tiroid

dimobilisasi ke anterior. Lobus tyroid diklem dengan klem Mayo dan ditinggalkan

sedikitnya 4 gr bagian posterior dari tiroid. Sisa tiroid diligasi, untuk menghindari cedera

pada RLN. Penempatan drain jika dibutuhkan. Setelah hemostasis yang adekuat

tercapai strap muscle ditempatkan lagi ke midline. Platisma ditempatkan pada tempat

yang sama. Kulit bisa ditutup dnegan penjahitan subkutikular atau klip.

Pendekatan Minimal Invasive

Prosedur dengan mini insisi dimana digunakan insisi yang kecil 3 cm tanpa flap

dan minimal diseksi untuk membawa tiroid ke daerah luka dan dilakukan diseksi

pretrakeal dan paratrakeal. Asisten video dapat digunakan untuk meningkatkan

visualisasi melalui insisi yang kecil. Endoskopi dapat dilakukan melalui supraclavicula,

dada bagian anterior, aksila dan payudara. Pendekatan pada axilla, dada anterior dan

payudara digunakan untuk menimalisasikan insisi pada kulit leher, tetapi lebih invasif.

89
Semua tindakan tiroidektomi endoskopik dilakukan dalam anestesi umum. Untuk

pendekatan pada axilla, 30mm insisi kulit dibuat diaksila dan dimasukkan trokar 12mm

dan 15 mm pada insisi (GB 38-22F). Sebagai tambahan dimasukkan trokar 5 mm. Pada

pendekatan pada dinding dada. 12 mm insisi kulit dibuat di dada anterior 3-5 cm

dibawah klavikula ipsilateral. 2 tambahan 5 mm trokar diinsersikan dengan bantuan

endoskopi dibawah klavikula ipsilateral dan CO2 dimasukkna dengan tekanan 4mmhg

untuk mendapatkan lapangan kerja. Bagian anterior sternocleidomasteodeus

dipisahkan dari otot sternohyoid untuk mencapai otot sternothyroid. Kelenjar tiroid

diekpose dengan memisahkan otot sternothyroid. Setelah RLN diekpose, ligamentum

Berry diekpose dan diinsisi dgn klip 5 mm atau koagulasi laparaskopik. Pole atas tiroid

dipisahkan dari otot krikotiroid dan cabang eksternal nervus laringeus superior dapat

diindentifikasi pada manuver ini. Bagian pole atas didiseksi sampai bebas.

Pembedahan pada Goiter Intrathorakal

Goiter mediastinal adalah jika terdapat lebih dari 50% tiroid yang berada

intrathorakal. Goiter mediastinal biasa primer atau sekunder. Goiter mediastinal primer

kuranglebih 15 dari semua goiter mediastinal dan berasal dari jaringan tiroid accesoris

(ektopik) yang berada di dada. Goiter ini disuplai dari pembuluh darah intrathorakal dan

tidak ada hubungan dengan jaringan tiroid dileher. Mayoritas terbanyak pada goiter

mediastinal adalah goiter mediastinal sekunder yang berasal dari ektensi dari jaringan

tiroid cervikal disertai suplai darah dari arteri tiroidalis superior dan inferior. Pada

kenyataannya, semua goiter intrathorakal dapat diangkat melalui insisi cervikal. Pasien

dengan (a) kanker tiroid invasif, (b). Pernah menjalani operasi tiroid sebelumnya, atau

90
(c) goiter mediastinal primer tanpa jaringan tiroid dileher dapat dilakukan median

sternotomi. Dada harus disiapkan pada setiap kasus yang membutuhkan median

sternotomi untuk mengontrol perdarahan mediastinal atau pengangkatan kanker invasif

secara lengkap. Penempatan jahitan benang 1-0 dan 2-0 kedalam goiter bila

dibutuhkan untuk membawanya. Ketika ada indikasi sternotomi, sternum biasanya

dipisahkan setinggi ruang intercostal tiga dan kesisi lateral pada ruang antara iga tiga

dan empat (Gb.36.23)

Diseksi Leher Sentral dan Lateral pada Metastasis Kelenjar Getah Bening

Kelenjar getah bening pada kompartemen sentral (medial dari carotis sheath)

seringkali terkena pada pasien dengan karsinoma papiler, meduler, dan sel Hürtle serta

harus diangkat saat tiroidektomi, dengan mempertahankan RLN dan kelenjar paratiroid.

Diseksi leher sentral sangat penting pada pasien dengan karsinoma meduler dan sel

Hürtle karena tingginya frekuensi penyebaran mikroskopik tumor dan tumor – tumor
131
tersebut tidak dapat diablasi dengan I. Modifikasi diseksi leher radikal unilateral
91
diindikasikan jika ada kelenjar getah bening leher yang teraba atau profilaksis pada

pasien karsinoma meduler dengan tumor yang berukuran >1 cm.

Modifikasi diseksi leher radikal (fungsional) dapat dilakukan melalui insisi leher

untuk tiroidektomi, yang dapat diperluas ke lateral (Gambar 38-24A) hingga pinggir

anterior otot trapezius (MacFee extension). Prosedurnya mencakup pengangkatan

seluruh jaringan ikat-lemak di sepanjang vena jugularis interna (level II, III, dan IV) serta

posterior triangle (level V). Berbeda dengan diseksi leher radikal, vena jugularis interna,

saraf spinal asesorius, saraf sensorik leher, dan otot sternocleidomastoideus

dipertahankan kecuali jika melekat atau diinvasi oleh tumor. Prosedurnya dimulai

dengan membuka bidang yang terletak antara strap muscles di medial dengan otot

sternocleidomastoideus di lateral. Anterior belly otot omohioid diretraksi ke lateral, dan

diseksi dilakukan ke posterior hingga mencapai carotis sheath. Vena jugularis interna

diretraksi ke medial dengan retraktor vena dan jaringan ikat-lemak serta kelenjar getah

bening didiseksi dengan kombinasi diseksi secara tajam dan tumpul. Diseksi lateral

dilakukan disepanjang pinggir posterior dari otot sternocleidomastoideus, mengangkat

jaringan di posterior triangle. Batas diseksi terdalam yaitu otot scalenus anterior, saraf

prenikus, pleksus brachial, dan otot scalenus medial. Saraf prenikus dipertahankan

pada otot scalenus anterior, karena saraf ini merupakan saraf sensorik leher pada

sebagina besar pasien (Gambar 38-24B). Diseksi di sepanjang saraf spinal asesorius

ke arah atas sangat penting dilakukan karena ini merupakan lokasi yang paling sering

dari metastasis.

92
93
Komplikasi Pembedahan Tiroid

Saraf, paratiroid, dan struktur di sekitarnya beresiko cedera pada saat

tiroidektomi. Cedera RLN dapat terjadi pada saat memotong, mengikat, atau menarik,

namun terjadi <1% pada pasien yang menjalani tiroidektomi oleh ahli bedah yang

berpengalaman. RLN paling rentan terhadap cedera pada 2 hingga 3 cm dari ujungnya,

namun dapat juga cedera jika ahli bedah tidak waspada terhadap adanya kemungkinan

percabangan dari saraf tersebut dan adanya saraf yang nonrecurrent terutama pada

sisi kanan. Jika cedera terjadi saat intraoperasi, sebagian besar ahli bedah

menganjurkan reaproksimasi primer perineum dengan benang nonabsorbable. Lebih

kurang 20% pasien beresiko mengalami cedera pada cabang eksterna nervus

laryngeus superior, terutama jika pembuluh darah pada pole superior diligasi secara en

masse. Teknik monitoring terhadap saraf laryngeus superior dan RLN saat intraoperasi

telah digunakan secara luas dalam operasi tiroid dan paratiroid. Gunakan monitoring

yang berkelanjutan dengan menggunakan elektroda pada endotracheal tube dan

monitoring berkala (intermitten) dengan stimulasi periodik dan palpasi laring. Belum ada

penelitian berskala besar yang menunjukkan bahwa monitoring saraf dengan keragu-

raguan mengurangi cedera pada saraf, meskipun pada ahli bedah berpengalaman.

Trunkus simpatis leher beresiko cedera pada kanker tiroid yang invasif dan goiter

retroesofageal yang dapat menyebabkan sindrom Horner. Hipokalsemia sementara

(transient) (akibar cedera saat pembedahan atau pengangkatan jaringan paratiroid

yang disengaja) telah dilaporkan pada 50% kasus, namun hipoparatiroidism menetap

terjadi <2% kasus. Hipokalsemia pasca operasi lebih berkemungkinan terjadi pada

pasien yang menjalani tiroidektomi disertai diseksi leher sentral serta lateral saat

94
bersamaan. Hematom pasca pembedahan dan perdarahan juga merupakan komplikasi

tiroidektomi dan jarang diperlukan operasi emergensi ulangan untuk evakuasi

hematom. Gangguan fungsi pita suara bilateral disertai ganggaun jalan napas

memerlukan intubasi ulang dan trakeostomi. Seroma dapat diaspirasi untuk mengurangi

ketidaknyamanan pasien. Selulitis dan infeksi luka, cedera pada struktur di sekitarnya

seperti arteri karotis, vena jugularis, dan esophagus jarang terjadi.

Daftar Pustaka
95
Lal G. Thyroid, Parathyroid, and Adrenal chapter 38 in Schwartz’s Principle of Surgery

ed 9. The McGraw-Hill Companies, Inc. 2010, p1343-74

96

Anda mungkin juga menyukai