Berjalan, jauh, sangat jauh, sampai kita musti berjuang untuk kembali
meninggi ke langit, menapakkan kaki dibumi, dimana ada do’a disitu tumbuh keberanian
manusia. Tatkala surya muncul dibalik rumus waktu yang belum bisa kita terjang, ia
menyirami kita dengan cahaya, tak pernah begitu terik, tak pernah.
Sementara keriuhan kita kerap usai pada sela-sela jemari waktu sore menjelang petang,
disanalah istirah, segala fase yang sudah sudah semestinya kita rayakan bersama.
Lalu, puisi ini menyaksikan satu mahasiswa dengan ranselnya menggapai puncak soemantri.
dua mahasiswa dengan kayaknya bermandikan jeram di Sun Koshi bersamaan dengan bahu
yang memaku, musti kita hadapi baik-baik betapa perjuangan ini tidak pernah tidak
berbuah hasil. Tiga mahasiswa dengan tas ransel didada dengan tas besar dipunggung
berjibaku di tengah kabut dan cuaca dingin alas kaki Pussa Yan Cliff sembari berteman
dengan alntunan dari Rancid, Aresthed in Shanghai. Tangan juga kaki menjadi saksi sekaligus
peneguh, hati menjadi naungan bagi niat baik untuk Tuhan melewati alam dan kebudayaan.
Tiga tahun terlewatkan, tak ada perehalatan akbar ke luar bumi khatulistiwa.
Tapi empat srikandi berdiri diatas puncak tertinggi Stok Kangri, berkawan dengan dingin
yang tak terperikan menggemalah Indonesia Raya, berkibarlah Sangsaka pada satu pasak
ranah tinggi jagat India.
Jiwa kita terlampau liar dan bebas, menolak berdiam dalam tempurung
Kita adalah serdadu yang berjaga dikelamnya malam, dan siaga dibawah terik mentari
Kemerdekaan bagi kita adalah berteman dengan segala ketidakmungkinan, berpacu diatas
ragam rupa pertanyaan yang tak pernah terjawab perihal kehidupan.
Tidak untuk ditakuti, segala musim, sesemua suasana dan kecamuk zaman kita hadapi,
bersama dengan berani, menjadi penjelajah, pengabdi dan peneliti. Tak lain, demi kemuliaan
Sang Pencipta Alam Semesta Raya jua menghabisi waktu menuju gerbang kepulangan;mati
dan abadi.