Anda di halaman 1dari 100

BUKU PANDUAN SKILL LAB

SEMESTER VI
PSIKIATRI, FORENSIK DAN PROSEDUR
KLINIS LANJUTAN

LABORATORIUM KETERAMPILAN MEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
SEMESTER GENAP - TA 2016/2017
BUKU PANDUAN
SKILLS LAB
TA : 2016/2017

SEMESTER VI
PSIKIATRI, FORENSIK DAN PROSEDUR KLINIS
LANJUTAN

©2017, MEDICAL EDUCATION UNIT


LABORATORIUM KETERAMPILAN MEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
Darussalam – Banda Aceh 23111
Telepon / Fax: (0651) 7551843
Home Page : www.fk.unsyiah.ac.id
Email : unitmeufkunsyiah@yahoo.com

i
BUKU PANDUAN SKILLS LAB SEMESTER IV
PSIKIATRI, FORENSIK DAN PROSEDUR KLINIS LANJUTAN

Copyright @2017 oleh Medical Education Unit


Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Cetakan Pertama : Januari 2017
Desain Sampul : Yusniar, A.Md

Diterbitkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala


Semua Hak Cipta terpelihara

Penerbitan ini dilindungi oleh Undang-undang Hak Cipta dan harus ada izin
oleh penerbit sebelum memperbanyak, disimpan,
atau disebarluaskan dalam bentuk elektronik, fotocopy
dan rekaman atau bentuk lainnya.

ii
EDITOR

Dr. dr. Taufik Suryadi, SpF


Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas kedokteran Unsyiah/RSUDZA

dr. Subhan Rio Pamungkas, SpKJ


Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa
Fakultas kedokteran Unsyiah/RSUDZA

dr. Nurul Machillah. SpRad


Bagian Radiologi
Fakultas kedokteran Unsyiah/RSUDZA

dr. Masna Dewi Abdullah, SpRad


Bagian Radiologi
Fakultas kedokteran Unsyiah/RSUDZA

Dr. dr. Dessy R Emril, SpS(K)


Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas kedokteran Unsyiah/RSUDZA

dr. Jufriady Ismy, SpU


Bagian Ilmu Bedah Divisi Urologi
Fakultas kedokteran Unsyiah/RSUDZA

dr. Yopie Afriandi Habibie, SpBTKV


Bagian Ilmu Bedah Divisi Toraks kardiovaskuler
Fakultas kedokteran Unsyiah/RSUDZA

dr. Reza Maulana, M.Sc


Bagian Anatomi Histologi
Fakultas kedokteran Unsyiah/RSUDZA

dr. Jufitriani Ismy, M.Kes, M.Ked(Ped), Sp.A


Medical Education Unit
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

dr. Fatimah Zuraida, PKK


Medical Education Unit
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

dr. Teungku Puspa Dewi, SpOG


Unit Kurikulum/SMF Obgin
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUDZA

Yusniar, A.Md
Medical Education Unit
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

iii
PENANGGUNG JAWAB SKILL

dr. Taufik Suryadi, SpF


Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas kedokteran Unsyiah/RSUDZA

dr. Subhan Rio Pamungkas, SpKJ


Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa
Fakultas kedokteran Unsyiah/RSUDZA

dr. Nurul Machillah. SpRad


Bagian Radiologi
Fakultas kedokteran Unsyiah/RSUDZA

dr. Masna Dewi Abdullah, SpRad


Bagian Radiologi
Fakultas kedokteran Unsyiah/RSUDZA

Dr. dr. Dessy R Emril, SpS(K)


Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas kedokteran Unsyiah/RSUDZA

dr. Jufriady Ismy, SpU


Bagian Ilmu Bedah Divisi Urologi
Fakultas kedokteran Unsyiah/RSUDZA

dr. Yopie Afriandi Habibie, SpBTKV


Bagian Ilmu Bedah Divisi Toraks kardiovaskuler
Fakultas kedokteran Unsyiah/RSUDZA

iv
KATA PENGANTAR

Buku panduan Skills Lab Semester VI (enam) ini merupakan revisi dan
adaptasi dari buku panduan sebelumnya, sebagai implementasi revisi kurikulum
TA 2013/2014.
Buku panduan ini berisikan materi keterampilan yang akan dilatihkan pada
Laboratorium Keterampilan Medik. Materi keterampilannya terdiri dari : visum et
repertum, pemeriksaan tanatologis, anamnesis dan pemeriksaan status mental,
pemeriksaan foto ekstremitas, pemeriksaan foto kepala dan tulang belakang,
pemeriksaan meningeal sign dan low back pain, sirkumsisi, chest tube/WSD dan
punksi supra pubik.
Dengan menguasai keterampilan di atas, diharapkan mahasiswa mampu
melakukan pemeriksaan secara sistematis dan benar serta menjadi dasar
pengetahuan manajemen pasien di tahap klinis nanti.
Kami berharap buku ini akan bermanfaat bagi mahasiswa dan juga
instruktur yang terlibat dalam latihan keterampilan medik ini.

Banda Aceh, Januari 2017

v
DAFTAR ISI

EDITOR ................................................................................................... iii

PENANGGUNG JAWAB SKILLS……………………………….. ... iv

KATA PENGANTAR ................................................................ … v


DAFTAR ISI ............................................................................ … vi
I. Visum et Repertum ................................................................ 1
II. Pemeriksaan Tanatologis ....................................................... 9
III. Anamnesis dan Pemeriksaan Status Mental .......................... 24
IV. Pemeriksaan Foto Kepala Leher dan Tulang belakang........ .. 32
V. Pemeriksaan Foto Ekstremitas .............................................. 52
VI. Pemeriksaan Meningeal Sign dan Low Back Pain.............. 58
VII. Sirkumsisi ……… ................................................................ 66
VIII. Punksi Supra Pubik .............................................................. 75
IX. Chest tube/WSD .................................................................... 80

vi
I. VISUM ET REPERTUM

Dr. dr. Taufik Suryadi, SpF


Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUDZA

Tujuan belajar:
mahasiswa mampu menuangkan dan menyusun hasil pemeriksaan barang bukti
medis dan analisisnya ke dalam suatu Visum et Repertum.

Pendahuluan
Dalam perundang-undangan setelah Indonesia merdeka sebenarnya kata visum et
repertum tidak disebutkan secara tersurat, hanya disebutkan sebagai keterangan
ahli di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 133.
Pernyataan tentang visum et repertum yang tersurat ada pada staatblad No. 350
tahun 1937 yang menyatakan “visa et reperta adalah laporan tertulis yang dibuat
oleh dokter yang telah menyelesaikan pendidikanya baik di Indonesia ataupun
negeri Belanda...”. Sering sekali para mahasiswa bahkan dokter salah memahami
kata visum et repertum yang menganggap bahwa visum et repertum merupakan
kata kerja karena sering kita dengar dan saksikan di televisi tersiar berita seorang
korban penganiayaan dibawa ke rumah sakit untuk divisum, padahal sebenarnya
kata visum et repertum merupakan kata benda, jadi seharusnya yang benar dari
berita di televisi adalah seorang korban penganiayaan dibawa ke rumah sakit
untuk dilakukan pemeriksaan kedokteran forensik untuk pembuatan visum et
repertum.

Definisi visum et repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat dokter
atas permintaan resmidari penyidik tentang pemeriksaan medis forensik terhadap
seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh
manusia,berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk
kepentingan peradilan. Kasus klinik yang terbanyak dimintakan pemeriksaan
forensik adalah kasus trauma mekanik/fisik lalu berikutnya trauma seksual dan
psikologis. Pada pembuatan visum et repertum dari hasil pemeriksaan korban
trauma fisik yang terpenting adalah penentuan derajat kualifikasi luka pada
korban hidup dan penentuan sebab kematian pada korban meninggal.

Pada pasal 133 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
dijelaskan “Dalam hal penyidik memeriksa seorang korban baik luka, keracunan
atau mati karena tindak pidana, ia berwenang meminta keterangan ahli kepada
ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya”. Pada penjelasan pasal
tersebut yang dimaksud luka adalah kecederaan atau trauma atau ruda paksa
akibat kekerasan fisik (tubuh/jasmani), kekerasan psikis (kejiwaan/rohani) dan
kekerasan seksual. Terjemahan dari pasal ini adalah bahwa keterangan ahli
tersebut dimintakan pertama sekali kepada ahli kedokteran kehakiman
(kedokteran forensik), atau dokter (dokter layanan primer, dokter spesialis dan
dokter subspesialis bersama-sama dengan ahli forensik atau langsung sendiri
melakukan pemeriksaan seperti ahli kebidanan dan kandungan memeriksa kasus
kekerasan seksual) atau ahli lainnya (tetap dokter juga, seperti ahli Telinga

1
Hidung Tenggorok (THT) pada kasus kekerasan pada telinga, ahli mata pada
kekerasan pada mata, ahli toksikologi untuk kasus keracunan, ahli psikiatri untuk
kasus trauma psikis dan lain-lain).

Struktur Visum et repertum


Unsur penting dalam VeR yang diusulkan oleh banyak ahli adalah sebagai
berikut:
1. Pro Justitia
Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian VeR tidak
perlu bermeterai.
2. Pendahuluan
Pendahuluan memuat: identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan
pukul diterimanya permohonan VeR, identitas dokter yang melakukan
pemeriksaan, identitassubjek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur,
bangsa,alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dan tempatdilakukan
pemeriksaan.
3. Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)
Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai denganapa yang diamati,
terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa.
Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak
ada yang tertinggal.

Pada pemeriksaan korban hidup, bagian pemberitaan terdiri dari:


a. „Pemeriksaan anamnesis atau wawancara‟ mengenai apayang dikeluhkan
dan apa yang diriwayatkan yangmenyangkut tentang „penyakit‟ yang
diderita korbansebagai hasil dari kekerasan/tindak
pidana/didugakekerasan.
b. „Hasil pemeriksaan‟ yang memuat seluruh hasil pemeriksaan,baik
pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
penunjang lainnya.Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan
pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan
perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya
(status lokalis).
c. „Tindakan dan perawatan berikut indikasinya‟, atau pada keadaan
sebaliknya, „alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya
dilakukan‟. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya
tindakandan perawatan tersebut. Hal tersebut perlu diuraikan untuk
menghindari kesalahpahaman tentang tepat/tidaknya penanganan dokter
dan tepat/tidaknya kesimpulan yang diambil.
d. „Keadaan akhir korban‟, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan
merupakan hal penting untuk pembuatan kesimpulan sehingga harus
diuraikan dengan jelas. Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu
anamnesis,tanda vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka,ukuran
luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan yang diberikan.

2
4. Kesimpulan
Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
dari fakta yang ditemukan sendirioleh dokter pembuat VeR, dikaitkan dengan
maksud dan tujuan dimintakannya VeR tersebut. Pada bagian ini harus
memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi
luka. Hasil pemeriksaan anamnesis yang tidak didukung oleh hasil
pemeriksaan lainnya, sebaiknya tidak digunakan dalam menarik kesimpulan.
Pengambilan kesimpulan hasil anamnesis hanya boleh dilakukan dengan
penuh hati-hati.

Kesimpulan VeR adalah pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak


terikat oleh pengaruh suatu pihak tertentu.Tetapi di dalam kebebasannya
tersebut juga terdapat pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu pengetahuan
dan teknologi, standar profesi dan ketentuan hukum yang berlaku.

Kesimpulan VeR harus dapat menjembatani antara temuan ilmiah dengan


manfaatnya dalam mendukung penegakan hukum. Kesimpulan bukanlah
hanya resume hasil pemeriksaan, melainkan lebih ke arah interpretasi hasil
temuan dalam kerangka ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
5. Penutup
Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan
mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan
mengucapkan sumpahatau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan
sert adibubuhi tanda tangan dokter pembuat VeR.

Tata laksana pemeriksaan


Barang bukti pada tubuh korban hidup adalah perlukaannya beserta akibatnya dan
segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan orangnya
sebagai manusia tetap diakui sebagai subyek hukum dengan segala hak dan
kewajibannya. Karena barang bukti tersebut tidak dapat dipisahkan dari orangnya
maka tidak dapat disegel maupun disita. Yang dapat dilakukan adalah menyalin
barang bukti tersebut ke dalam bentuk visum et repertum.

KUHAP tidak mengatur prosedur rinci apakah korban harus diantar oleh petugas
kepolisian atau tidak. Padahal petugas pengantar tersebut sebenarnya
dimaksudkan untuk memastikan kesesuaian antara identitas orang yang akan
diperiksa dengan identitas korban yang dimintakan visum et repertumnya seperti
yang tertulis di dalam surat permintaan visum et repertum. Situasi tersebut
membawa dokter turut bertanggung jawab atas pemastian kesesuaian antara
identitas yang tertera di dalam surat permintaan visum et repertum dengan
identitas korban yang diperiksa.

Dalam prakteknya, korban perlukaan akan langsung ke dokter baru kemudian


dilaporkan ke penyidik. Hal ini membawa kemungkinan bahwa surat permintaan
visum et repertum korban luka akan datang terlambat dibandingkan dengan
pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan ini masih cukup beralasan dan
dapat diterima maka keterlambatan ini tidak boleh dianggap sebagai hambatan

3
pembuatan visum et repertum. Sebagai contoh, adanya kesulitan komunikasi dan
sarana perhubungan, overmacht (berat lawan) dan noodtoestand (darurat).

Korban hidup juga merupakan pasien sehingga mempunyai hak sebagai pasien.
Apabila pemeriksaan ini sebenarnya perlu menurut dokter pemeriksa sedangkan
pasien menolaknya, maka hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat
penolakan tersebut dari pasien disertai alasannya atau bila hal itu tidak mungkin
dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan medis.

Surat permintaan visum et repertum harus mengacu kepada perlukaan akibat


tindak pidana tertentu yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu. Surat
permintaan visum et repertum pada korban hidup bukanlah surat yang meminta
pemeriksaan, melainkan surat yang meminta keterangan ahli tentang hasil
pemeriksaan medis.

Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik yang
memintanya sesuai dengan identitas pada surat permintaan keterangan ahli. Pihak
laintidak dapat memintanya.

Tahapan-tahapan dalam pembuatan visum et repertum :


a. Penerimaan korban yang dikirim oleh Penyidik. Yang berperan dalam
kegiatan ini adalah dokter, mulai dokter umum sampai dokterspesialis yang
pengaturannya mengacu pada S.O.P. Rumah Sakit tersebut. Yang diutamakan
pada kegiatan ini adalah penanganan kesehatannya dulu, bila kondisi telah
memungkinkan barulah ditangani aspek medikolegalnya. Tidak tertutup
kemungkinan bahwa terhadap korban dalam penanganan medis melibatkan
berbagaidisiplin spesialis.
b. Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/visum et revertum Adanya surat
permintaan keterangan ahli/visum et repertum merupakan hal yang penting
untuk dibuatnya visum et repertum tersebut. Dokter sebagai penanggung
jawab pemeriksaan medikolegal harus meneliti adanya surat permintaan
tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini merupakan aspek yuridis yang
sering menimbulkan masalah, yaitu pada saat korban akan diperiksa surat
permintaan dari penyidik belum ada atau korban datang sendiri dengan
membawa surat permintaan keterangan ahli/ visum et repertum.
c. Pemeriksaan korban secara medis Tahap ini dikerjakan oleh dokter dengan
menggunakan ilmu forensik yang telahdipelajarinya. Namun tidak tertutup
kemungkinan dihadapi kesulitan yang mengakibatkan beberapa data terlewat
dari pemeriksaan.Status benda bukti adalah milik negara, dan secara yuridis
tidak boleh diserahkanpada pihak keluarga/ahli warisnya tanpa melalui
penyidik.
d. Pengetikan surat keterangan ahli/visum et repertum Pengetikan berkas
keterangan ahli/visum et repertum oleh petugas administrasi memerlukan
perhatian dalam bentuk/formatnya karena ditujukan untuk kepentingan
peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir alinea dengan garis, untuk
mencegahpenambahan kata-kata tertentu oleh pihak yang tidak bertanggung
jawab.

4
e. Penandatanganan surat keterangan ahli / visum et repertum. Undang-undang
menentukan bahwa yang berhak menandatanganinya adalah dokter. Setiap
lembar berkas keterangan ahli harus diberi paraf oleh dokter. Sering terjadi
bahwa surat permintaan visum dari pihak penyidik datang terlambat,
sedangkandokter yang menangani telah tidak bertugas di sarana kesehatan itu
lagi. Dalam hal ini sering timbul keraguan tentang siapa yang harus
menandatangani visum et repertumkorban hidup tersebut. Hal yang sama juga
terjadi bila korban ditangani beberapadokter sekaligus sesuai dengan kondisi
penyakitnya yang kompleks.Dalam hal korban ditangani oleh hanya satu
orang dokter, maka yang menandatangani visum yang telah selesai adalah
dokter yang menangani tersebut (dokter pemeriksa).Dalam hal korban
ditangani oleh beberapa orang dokter, maka idealnya yang menandatangani
visumnya adalah setiap dokter yang terlibat langsung dalam penanganan atas
korban. Dokter pemeriksa yang dimaksud adalah dokter pemeriksa yang
melakukan pemeriksaan atas korban yang masih berkaitan dengan
luka/cedera/racun/tindak pidana. Dalam hal dokter pemeriksa sering tidak lagi
ada di tempat (di luar kota) atau sudahtidak bekerja pada Rumah Sakit
tersebut, maka visum et repertum ditandatangani oleh dokter penanggung
jawab pelayanan forensik klinik yang ditunjuk oleh Rumah Sakit atau oleh
Direktur Rumah Sakit tersebut.
f. Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa Benda bukti yang telah
selesai diperiksa hanya boleh diserahkan pada penyidik sajadengan
menggunakan berita acara.
g. Penyerahan surat keterangan ahli/visum et repertum. Surat keterangan
ahli/visum et repertum juga hanya boleh diserahkan pada pihak penyidik yang
memintanya saja. Dapat terjadi dua instansi penyidikan sekaligus meminta
surat visum et repertum.

5
REFERENSI

1. Afandi D, Mukhyarjon, Roy J, 2008. The Quality of visum et repertum of the


living victims. Jurnal Ilmu Kedokteran; 2 (1) : 19-22.
2. Amir A. 2005. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua. Bagian Ilmu
Kedokten medan Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. Medan.
3. Ashari I, 2013. Luka Tembak [online]. [cited 12 Maret 2013].
http://www.irwanashari.com/luka-tembak/.
4. Atmadja DS. 2004.Simposium Tatalaksana Visum et Repertum Korban Hidup
pada Kasus Perlukaan & Keracunan di Rumah Sakit. Jakarta: RS Mitra
Keluarga Kelapa Gading.
5. Budiyanto A, dkk.1997.Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,.
6. Herkutanto. 2004.Kualitas Visum et Repertum Perlukaan di Jakarta dan
Faktor yang Mempengaruhinya.Maj Kedokt Indon, September ; 54 (9) : 355-
60.
7. Idries AM, 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Jakarta:
Binarupa Aksara; p.131-168.
8. Philip SL. 2007. Clinical Forensic Medicine: Much Scope for Development in
Hong Kong. Hongkong: Department of Pathology Faculty of Medicine
University of Hong Kong.
9. Stark MM. 2005. Medical Forensic Medicine A Physician's Guide. 2nd
Edition. New Jersey: Humana Press Inc.
10. Sampurna B, Samsu Z. 2003. Peranan Ilmu Forensik dalam Penegakan
Hukum. Jakarta: Pustaka Dwipar.
11. Wales J. Visum et Repertum. [online].2013. Available at :
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Visum_Et_Repertum. [cited : 12 Maret 2013].

6
CHECKLIST :VISUM ET REPERTUM

Nilai
No. Aspek yang dinilai
0 1 2
1 Menuliskan kata “Pro justitia” pada sudut kiri formulir
visum et repertum
2 Bagian pendahuluan
- Memberikan penjelasan mengenai tindakan yang
akan dilakukan, tujuan, cara dan manfaat visum et
repertum
- Menuliskan identitas peminta visum et repertum
pada formulir pemeriksaan kedokteran forensic
- Menuliskan identitas dokter pemeriksa visum et
repertum pada formulir pemeriksaan kedokteran
forensic
- Menanyakan dan menuliskan identitas pasien pada
formulir pemeriksaan kedokteran forensik sesuai
dengan yang tertera pada surat permintaan visum et
repertum
- Menanyakan dan menuliskan alasan dimintakannya
visum et repertum
- Menuliskan kapan dilakukan pemeriksaan
- Menuliskan dimana dilakukan pemeriksaan
3 Bagian pemberitaan (hasil pemeriksaan)
- Menanyakan kepada pasien tentang kronologis
terjadinya peristiwa yang dialaminya
- Melakukan anamnesis atau wawancara mengenai
apa yang dikeluhkan dan apa yang diriwayatkan
yang menyangkut tentang „penyakit‟ yang diderita
korban sebagai hasil dari kekerasan/tindak
pidana/diduga kekerasan.
- Melakukan pemeriksaan fisik korban perlukaan
mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan
hanya menulis uraian tentang keadaan umum dan
perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan
tindak pidananya (status lokalis).
a. Melakukan pemeriksaan vital sign
b. Mendeskripsikan luka, menguraikan seobjektif
mungkin tentang:
 Jumlah luka
 Lokasi luka meliputi
a) Lokasi berdasarkan regio anatomiknya
b) Lokasi berdasarkan garis koordinat
atau berdasarkan bagian-bagian
tertentu dari tubuh.
 Bentuk luka
a) Bentuk sebelum dirapatkan
b) Bentuk setelah dirapatkan

c. Mendeskripsikan luka, menguraikan seobjektif


mungkin tentang:
 Ukuran luka meliputi

7
a) Ukuran sebelum dirapatkan
b) Ukuran setelah dirapatkan
d. Mendeskripsikan luka, menguraikan seobjektif
mungkin tentang:
 Sifat-sifat luka
a) Garis batas luka meliputi:
- Bentuk (teratur atau tidak teratur)
- Tepi luka (rata atau tidak rata)
- Sudut luka (jumlahnya, runcing
atau tidak)
b) Daerah di dalam garis batas luka,
meliputi :
- Tebing luka (rata atau tidak, terdiri
dari jaringan apa)
- Antara kedua tebing ada tidak
jembatan jaringan
- Dasar luka (terdiri dari jaringan
apa, warnanya, perabaannya,
ada apa di atasnya)
c) Daerah di sekitar garis batas luka,
meliputi :
- Memar (ada atau tidak)
- Bekuan darah (ada atau tidak)
4 Membuat kesimpulan visum et repertum
a. Menuliskan identitas korban
b. Menentukan jenis luka yang ditemukan
c. Menentukan benda penyebabnya
d. Bagaimana cara benda itu menimbulkan luka
e. Apa akibatnya atau derajat lukanya
5 Penutup visum et repertum
Menyatakan dan menuliskan bahwa keterangan tertulis
dokter tersebut dibuat dengan mengingat sumpah atau
janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan
mengucapkan sumpahatau janji lebih dahulu sebelum
melakukan pemeriksaan sertadibubuhi tanda tangan
dokter pembuat VeR.

Keterangan:
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tapi kurang sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna
Cakupan penguasaan keterampilan = skor total/30x100% = ....%

Banda Aceh,……..2017

Instruktur

8
II. PEMERIKSAAN TANATOLOGIS

Dr. dr. Taufik Suryadi, SpF


Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUDZA

Tujuan belajar:
Mahasiswa diharapkan mampu:
1. Melakukan pemeriksaan tanatologis luar terhadap jenazah forensik
2. Menemukan dan menilai perubahan-perubahan postmortem (ciri tanatologis)

Pendahuluan
Tanatologi adalah cabang ilmu kedokteran forensik yang mempelajari kematian
dan perubahan-perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang
mempengaruhi perubahan tersebut. Tanatologi berasal dari kata Thanatos yang
artinya kematian dan Logos yang artinya Ilmu. Adapun maksud dan tujuan dokter
mempelajari Tanatologi adalah untuk beberapa kepentingan diantaranya:
1. Mengetahui tanda-tanda kematian
2. Mengetahui tanda pasti kematian
3. Mengetahui berapa lama kematian telah terjadi
4. Mengetahui posisi mayat ketika kematian terjadi
5. Mengetahui cara kematian
6. Mengetahui sebab kematian
7. Mengetahui identitas korban

Definisi kematian
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang
berupa tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan
tersebut dapat timbul dini pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian
misalnya kerja jantung dan peredaran darah berhenti , pernafasan berhenti, refleks
cahaya dan refleks kornea mata hilang, kulit pucat dan relaksasi otot. Setelah
beberapa waktu timbul beberapa perubahan paska mati yang jelas yang
memungkinkan diagnosis kematian lebih pasti. Tanda-tanda tersebut dikenal
sebagai tanda pasti kematian berupa lebam mayat, kaku mayat, penurunan suhu
tubuh, pembusukan, mumifikasi dan adipocera.

Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati somatis (mati
klinis), mati suri, mati seluler (mati molekuler), mati serebral, dan mati otak (mati
batang otak). Mati somatis (mati klinis) terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga
sistem penunjang kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular dan
sistem pernafasan, yang menetap (irreversible). Secara klinis tidak ditemukan
refleks-refleks. EEG mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar
tidak ada suara pernafasan, suara napas tidak terdengar pada auskultasi.

Mati suri (suspended animation, apparent death) adalah terhentinya ketiga item
penunjang kehidupan di atas yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana.
Dengan alat kedokteran canggih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem itu masih

9
dapat berfungsi. Mati suri sering ditemukan pada orang keracunan obat tidur,
tersengat aliran listrik dan tenggelam.

Mati seluler (mati molekuler) adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang
timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing
organ atau jaringan berbeda-beda sehingga kematian seluler terjadi pada tiap
organ tidak bersamaan. Pengetahuan ini penting dalam transplantasi organ.
Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa susunan saraf pusat mengalami mati
seluler dalam waktu 4 menit, otot masih dapat dirangsang listrik sampai kira-kira
2 jam pasca mati , dan mengalami mati seluler setelah 4 jam, dilatasi pupil masih
terjadi setelah pemberin adrenalin 0,1 % atau penyuntikan sulfas atropin 1% ke
dalam kamera okuli anterior, pemberian pilokarpin 1% atau fisostigmin 0,5 %
akan mengakibatkan miosis hingga 20 jam pascamati. Kulit masih dapat
berkeringat sampai lebih dari 8 jam pasca mati dengan menyuntikkan subkutan
pilokarpin 2 % atau asetilkolin 20%, spermatozoa masih bertahan hidup beberapa
hari dalam epididimis; kornea masih dapat ditransplantasikan dan darah masih
dapat dipakai untuk transfusi sampai 6 jam pasca mati.

Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang ireverible kecuali
batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem
pernafasan dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat. Mati otak
adalah bila telah terjadi kerusakan seluruh isi neronal intrakranial yang ireversibel,
termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya batang otak maka
dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi,
sehingga alat bantu dapat dihentikan.

Tanda-tanda kematian
Ada 9 tanda-tanda kematian yang dibagi dalam 3 stadium yaitu:
1. Stadium segera (Immediate state)
2. Stadium dini (Early state)
3. Stadium lanjut (Late state)

Stadium segera meliputi “Entire and permanent cessation of circulation and


respiration (somatic death) = terhentinya sirkulasi dan respirasi secara
menyeluruh dan menetap”. Adanya dua tanda tersebut sudah cukup untuk
mempertimbangkan bahwa kematian telah terjadi. Kondisi ini juga dapat
digunakan sebagai kontrol mati suri.

Stadium dini terdiri dari beberapa perubahan diantaranya:


1. Perubahan pada mata
2. Perubahan pada kulit
3. Penurunan suhu tubuh (Algor mortis)
4. Lebam mayat (Livor mortis)

10
Stadium lanjut juga terdiri dari 4 perubahan yaitu:
1. Kaku mayat (Rigor mortis)
2. Pembusukan (Dekomposisi)
3. Adipocera (Safonikasi)
4. Mumifikasi

Perubahan pada Mata


Mata kehilangan binar-binarnya. Refleks kornea menghilang. Kornea menjadi
keruh dalam 10 menit yang masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air.
Lensa terlihat seperti gelas berkabut. Pupil menjadi berbentuk triangular oval atau
polygonal ketika tekanan jari pada bola mata. Pembuluh darah retina mengalami
segmentasi beberapa menit setelah kematian. Segmen-segmen tersebut bergerak
ke arah tepi retina dan kemudian menetap.

Perubahan pada Kulit


Kulit pucat dan tampak seperti putih mengawan. Kulit juga kehilangan
elastisitasnya. Tanda ini bukan merupakan tanda kematian yang dapat dipercaya,
karena mungkin terjadi spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan. Tonus
otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan kulit
menimbulkan kesan orang menjadi tampak lebih muda. Kelemasan otot sesaat
setelah kematian disebut relaksasi primer.

Livor Mortis
Livor mortis (lebam, hipostasis postmortem) adalah perubahan warna merah
keunguan pada daerah tubuh yang terjadi karena akumulasi darah dari pembuluh
darah kecil yang dipengaruhi oleh gravitasi. Lebam postmortem seringkali disalah
interpretasikan sebagai memar oleh orang-orang yang tidak mengenal fenomena
ini.
Area dependent melawan permukaan yang kuat maka akan muncul kepucatan
yang kontras disekeliling livor mortis dikarenakan kompresi dari pembuluh darah
di daerah tersebut, yang menghambat akumulasi dari darah. Hal terjadi pada
daerah yang menunjang berat badan, sebagai contoh, tulang belikat, bokong, dan
betis pada seseorang yang berbaring dengan punggungnya, tidak menunjukkan
livor mortis, tetapi tampak sebagai daerah kepucatan. Pakaian yang ketat,
contohnya, bra, korset, atau ikat pinggang, yang menekan jaringan lunak,
menekan pembuluh darah, juga menghasilkan daerah kepucatan.

Livor mortis biasanya, tetapi tidak selalu, memiliki warna merah ceri sampai
merah muda pada kematian karena karbon monoksida. Ini dikarenakan terjadinya
karboksihemoglobin. Perubahan warna yang identik mungkin disebabkan oleh
terpaparnya tubuh mayat oleh suhu yang dingin, dan kematian disebabkan karena
menjadi sianosis.

Livor mortis biasanya muncul antara 30 menit sampai 2 jam setelah kematian.
Pada individu yang meninggal dengan proses yang lambat dengan gagal jantung
terminal, livor mortis mungkin akan muncul antemortem. Livor mortis muncul
bertahap, biasanya mencapai perubahan warna yang maksimal dalam 8-12 jam.
Pada waktu-waktu tersebut, dapat dikatakan sudah menjadi “fixed”. Sebelum

11
menjadi “fixed”, livor mortis akan berpindah bila tubuh mayat dipindahkan. Jadi,
jika seseorang meninggal dengan posisi berbaring, livor mortis muncul di bagian
posterior, yaitu pada punggung. Jika seseorang memutar tubuhnya dengan wajah
dibagian bawah, darah akan turun ke permukaan anterior dari tubuh mayat. Livor
mortis menjadi “fixed” tidak lama setelah perpindahan atau turunnya darah, atau
ketika darah keluar dari pembuluh darah ke sekeliling jaringan lunak yang
dikarenakan hemolisis dan pecahnya pembuluh darah. Fiksasi dapat terjadi setelah
8-12 jam jika dekomposisi terjadi cepat, atau pada 24-36 jam jika diperlambat
dengan suhu dingin. Jadi, pernyataan bahwa livor mortis menjadi “fixed” pada 8-
12 jam adalah hanyalah sebuah ketidakjelasan yang umum. Untuk mengetahui
bahwa livor mortis tidak “fixed” dapat didemostrasikan dengan melakukan
penekanan ke daerah yang mengalami perubahan warna dan tidak ada kepucatan
pada titik dimana dilakukan penekanan.

Walaupun livor mortis mungkin membingungkan dengan memar, memar sangat


jarang dibingungkan dengan livor mortis. Penekanan pada daerah yang memar
tidak akan menyebabkan kepucatan. Insisi pada daerah yang mengalami kontusio
atau memar menunjukkan perdarahan yang menyebar ke jaringan lunak.
Perbedaannya, insisi pada daerah dengan livor mortis menampakkan darah sebatas
di pembuluh darah, tanpa darah di jaringan lunak. Livor mortis juga terjadi pada
organ dalam, dengan terjadinya endapan darah di suatu organ. Ini paling jelas
pada paru-paru.

Sebagaimana akumulasi darah pada area dependent, tekanan dari endapan darah
dapat memecahkan pembuluh darah kecil, dengan pembetukan dari petekie
(perdarahan dalam menit atau bintik Tardieu) dan purpura (perubahan warna
keunguan yang kecil). Ini biasanya memakan waktu 18-24 jam dan sering
menunjukkan bahwa dekomposisi terjadi cepat. Fenomena ini lebih sering pada
keadaan asfiksia atau kematian yang terjadi lambat. Tetapi sayang sekali, sejalan
dengan waktu, itu tidak selalu dapat dijelaskan dengan pasti apakah purpura
dibentuk saat ante- atau postmortem. Keberadaan dari petekiae dan purpura hanya
pada daerah yang terkena dapat diperkirakan asalnya dari postmortem. Pada
anggota badan yang bergantung di sisi tempat tidur atau kaki dan lengan dari
seseorang yang bergantung, bintik Tardieu mungkin terbentuk lebih cepat, muncul
pada awal 2-4 jam setelah kematian.

Livor mortis dapat menyebabkan kesulitan dalam menginterpretasi perlukaan


kepala pada mayat yang terdekomposisi. Pada mayat yang terbaring dengan
punggung dibelakangnya, akumulasi darah pada bagian posterior atau setengah
dari kulit kepala dikarenakan gravitasi. Pada dekomposisi yang berlanjut, dengan
lisis dari sel darah merah dan memecahkan pembuluh darah, ada rembesan dari
darah yang menuju jaringan lunak dari kulit kepala. Ini memberikan penampakan
seperti memar dan tidak selalu dapat dibedakan dari memar antemortem yang
sebenarnya. Tentunya tidak ada abrasi atau laserasi dari kulit kepala, tetapi semua
patologi forensik sudah melihat kontusio kulit kepala yang luas tanpa abrasi atau
laserasi. Pada mayat yang terdekomposisi, pengumpulan darah di daerah oksipital
dari otak di karenakan oleh daya gravitasi yang melalui pembuluh darah kecil,
menghasilkan lapisan terlokalisasi yang sangat tipis dari darah pada daerah

12
subaraknoid atau subdural yang menutupi lobus oksipital. Bagian lain dari otak
tidak menunjukkan perdarahan subaraknoid atau subdural. Pada kasus tenggelam
dimana mayat terapung dengan kepala dibawah, dekomposisi menghasilkan
gambaran dari penyebaran perdarahan kulit kepala.
Jarang terjadi, pada postmortem kebocoran darah ke jaringan lunak dan otot pada
bagian anterior dari leher juga mungkin terjadi pada kasus tenggelam.
“Perdarahan” disini minimal.

Livor mortis tidak terlalu penting dalam menentukan waktu kematian.


Bagaimanapun, itu penting dalam menentukan apakah tubuh mayat telah
dipindahkan.

Rigor Mortis
Rigor mortis, atau kekakuan dari tubuh mayat setelah kematian, dikarenakan
menghilangnya adenosine trifosfat (ATP) dari otot. ATP adalah sumber utama
dari energi untuk kontraksi otot. Otot memerlukan pemasukan yang berkelanjutan
dari ATP untuk berkontraksi karena jumlah yang ada hanya cukup untuk
menyokong kontraksi otot selama beberapa detik. Ada tiga sistem metabolik yang
bertanggungjawab untuk mengatur berkelanjutannya pemasukkan ATP pada otot
yaitu sistem fosfagen, sistem glikogen- asam laktat, dan sistem aerob. Dibawah
kondisi yang optimal, sistem fosfagen dapat menyediakan kekuatan otot yang
maksimal untuk 10-15 detik, sistem glikogen- asam laktat untuk 30-40 detik, dan
sistem aerob untuk periode waktu yang tak terhingga.1 Setelah berolahraga, ketiga
sistem ini membutuhkan waktu untuk mengisi kembali. Setelah kematian,
generasi dari ATP terhenti, walaupun kebutuhan terus berlanjut. Pada ketiadaan
dari ATP, filament aktin dan myosin menjadi kompleks yang menetap dan
terbentuk rigor mortis. Kompleks ini menetap sampai terjadi dekomposisi.

Penggunaan yang banyak dari otot sebelum kematian akan menimbulkan


penurunan pada ATP dan mempercepat onset terjadinya rigor mortis, hingga tidak
ada ATP yang diproduksi setelah kematian. Beberapa faktor yang menyebabkan
penurunan yang bermakna pada ATP menjelang kematian adalah olahraga yang
keras atau berat, konvulsi yang parah, dan suhu tubuh yang tinggi. Semua faktor-
faktor tersebut dapat menyebabkan onset yang cepat dari rigor mortis, dengan
onset munculnya dalam hitungan menit pada beberapa kasus, dan pada keadaan
yang jarang, dapat terjadi seketika. Kejadian yang seketika dari rigor mortis
diketahui sebagai kadaverik spasme. Ada suatu kejadian, seorang laki-laki
mengejar istrinya dengan pisau cukur lurus kemudian istrinya berbalik dan
menembakkan satu tembakkan, menyerang, dan membunuh suaminya seketika.
Suaminya mati dengan posisi berlutut, memegang pisau cukur pada tangan
kanannya dengan posisi menjulur ke atas. Pada lokasi, suaminya ditemukan
meninggal, berlutut, dengan lengan tangan kanannya menjulur ke atas dengan
memegang pisau cukur. Pada kadaverik spasme, objek akan tergenggam kuat di
tangan.

Rigor mortis menghilang dengan timbulnya dekomposisi. Pendinginan atau


pembekuan akan menghambat onset dari rigor mortis selama dibutuhkan. Rigor
mortis dapat “broken” dengan peregangan yang pasif dari otot-otot. Setelah rigor

13
mortis “broken”, itu tidak akan kembali. Jika hanya sebagian rigor mortis yang
dilakukan peregangan, maka masih akan ada sisa rigor mortis yang “unbroken”.

Rigor mortis biasanya muncul 2-4 jam setelah kematian, dan muncul keseluruhan
dalam 6-12 jam. Ini dapat berubah-rubah. Pada satu kasus yang dilihat oleh
penulis, seorang wanita muda meninggal dikarenakan dosis yang berlebihan dari
aspirin. Unit EMS dipanggil ketika dia sedang berada dalam keadaan menderita.
Pada saat kedatangan, dia masih bernapas dan masih ada denyut nadi. Hampir
seketika itu juga, dia mengalami henti kardiopulmoner. Usaha resusitasi dilakukan
dan berlanjut sampai kurang lebih 15-20 menit. Tidak lama setelahnya, dia
dinyatakan meninggal. Mayatnya kemudian siap untuk diantarkan ke kantor
medical examiner. Pada waktu itu, telah disadari bahwa dia telah dalam keadaan
rigor mortis yang menyeluruh, hanya dalam beberapa menit setelah kematian. Dua
jam kemudian, pada kamar mayat, dia memiliki suhu rektal 106oF.

Ketika rigor mortis terjadi, menyerang semua otot-otot pada saat yang bersamaan
dan kecepatan yang sama. Bagaimanapun, itu menjadi lebih jelas pada otot-otot
yang lebih kecil. Jadi, rigor mortis dikatakan muncul pertama kali pada otot-otot
yang lebih kecil, seperti rahang, dan berurutan menyebar ke kelompok otot besar.
Penampakan awal dari rigor mortis adalah pada rahang, ektremitas atas dan
ekstremitas bawah. Rigor mortis menghilang pada saat muncul dekomposisi. Pada
iklim yang dingin, rigor mortis menghilang dalam 36 jam, tetapi dapat mencapai
sampai 6 hari. Pada iklim panas, seperti di Texas, tubuh mayat mengalami
kecepatan sedang untuk mencapai dekomposisi yang sempurna dalam 24 jam,
dimana di lain kasus, didapatkan tidak adanya rigor mortis.

Pada kasus yang dilihat oleh salah satu penulis (VJMD), dekomposisi dari tubuh
mayat seorang anak laki-laki berusia 14 tahun, ditemukan mengapung pada danau
yang dingin. Dia mengalami tenggelam 17 hari yang lalu. Tubuh mayat tersebut
berada pada keadaan awal sampai pertengahan dari dekomposisi eksternal: wajah
membengkak, perubahan warna kulit yang licin dan seperti pualam. Organ-organ
dalam berada pada tahap awal dari dekomposisi – dekomposisi tidak sama seperti
yang terlihat pada perubahan eksternal. Aspek yang paling tidak biasa dari kasus
tersebut adalah bahwa tubuh mayat masih dalam keadaan rigor mortis yang
menyeluruh. Ada satu pemikiran bahwa perendaman dalam air dingin adalah
alasan masih adanya rigor mortis.

Rigor mortis dapat berjalan lambat atau sangat lemah pada individu yang kurus.
Onsetnya juga dapat sangat cepat pada bayi. Racun, seperti striknin, yang
menimbulkan konvulsi dapat mempercepat terjadinya rigor mortis. Banyak
penyakit atau faktor lingkungan yang meningkatkan suhu tubuh sehingga
mempercepat terjadinya rigor mortis. Jadi, hipertermia, kehilangan regulasi suhu
tubuh dikarenakan perdarahan serebral, dan infeksi dapat mempercepat terjadinya
rigor mortis.

Pada kematian karena tenggelam, rigor mortis dapat muncul menyeluruh hanya
dalam 2 sampai 3 jam. Ini dikarenakan pembuangan dari ATP melalui usaha yang
keras selama tenggelam. Seseorang yang mengalami pengejaran sebelum

14
kematiaannya dapat memperlihatkan rigor mortis yang lebih cepat pada kakinya
daripada keseluruhan otot-ototnya yang tersisa. Ini, lagi-lagi dikarenakan
pembuangan dari ATP oleh otot-otot kaki karena berlari. Seperti livor mortis,
rigor mortis dapat mengindikasikan apakah tubuh mayat telah dipindahkan.

Suhu Tubuh
Beberapa dokter mencoba untuk menentukan berapa lama seseorang telah
meninggal dari suhu tubuhnya. Beberapa penjelasan membuat dua asumsi yang
mungkin tidak benar: yang pertama, bahwa suhu tubuh pada saat kematian adalah
normal, dan yang kedua, bahwa tubuh mendingin diikuti pola pengulangan yang
progresif seperti sesuatu dapat menunjukkan apa yang utama dari suhu tubuh dan
apa yang akan terjadi.

Penentuan waktu kematian dari suhu tubuh biasanya ditegakkan dengan


menggunakan rumus. Nomor dari rumus tersebut telah ditemukan, beberapa
mungkin sedikit membingungkan. Ada dua rumus yang paling mudah digunakan
adalah:

(1) Waktu sejak kematian = 37oC – Suhu rektal (C) + 3


98.6oF – Suhu rektal (F)
(2) Waktu sejak kematian =
1.5
Masalah pada semua rumus-rumus yang menggunakan suhu tubuh untuk
menetukan waktu kematian adalah bahwa mereka berdasarkan dari asumsi bahwa
suhu tubuh pada saat waktu kematian adalah “normal”. Apa itu normal? Suhu
tubuh “normal” adalah suatu rata-rata. Beberapa orang memiliki nilai tertinggi dan
beberapa memiliki nilai terendah dari suhu tubuh. Biasanya, nilai rata-rata suhu
oral dapat dikatakan 98.6oF (37.0oC). Gambaran tersebut berdasarkan pada tes
yang dilakukan selama abad ke-19. Beberapa penelitian terdahulu
mengindikasikan bahwa nilai rata-rata suhu oral, untuk dewasa sehat usia 40
tahun atau lebih muda, adalah 98.2oF (36.8oC) dengan 99.9oF (37.7oC) pada nilai
tertinggi pada rentang normal suhu.2 Suhu tubuh juga bervariasi dari hari ke hari,
dengan titik terendah pada pukul 6 pagi dan titik tertinggi pada pukul 4-6 sore.
Wanita menunjukkan suhu sedikit lebih tinggi dari normal.

Masalah yang kedua: Walaupun jika kita tahu berapa suhu normal itu, apakah
pada waktu kematian, suhu dalam keadaan normal? Olahraga berat dapat
meningkatkan suhu rektal sampai 104oF. Infeksi secara nyata dapat meningkatkan
suhu tubuh. Perdarahan intraserebral atau perlukaan otak dapat membuat sistem
termoregulasi dari batang otak tidak berfungsi, yang menyebabkan peningkatan
dari suhu tubuh. Paparan oleh dingin dapat menyebabkan hipotermia, yaitu
penurunan suhu tubuh.

Dengan kata lain, suhu tubuh bervariasi dari lokasi dimana suhu diperiksa (oral
atau rektal, otak atau hati), dari orang yang satu ke orang yang lain, dari hari ke
hari, dari aktifitas yang dilakukan seseorang, dan juga dari kesehatan seseorang.
Untuk membuat tidak membuat keadaan lebih buruk, Hutchins, dalam
membandingkan suhu rektal premortem dengan suhu rektal postmortem,

15
observasi peningkatan suhu tubuh rektal pada awal periode postmortem dan
merasakan bahwa ini mungkin sudah tepat.3 Kegunaan dari anilisis regresi linear
dari perbedaan suhu rectal pre- dan postmortem sejalan dengan fungsi waktu, dia
menyimpulkan bahwa, nilai rata-rata, suhu rektal postmortem memakan waktu
sekitar 4 jam untuk mengembalikan ke tingkat premortem setelah kematian. Dia
berhipotesis bahwa aktifitas metabolik yang berkelanjutan dari jaringan lunak
tubuh dan dari bakteri dalam saluran pencernaan adalah penyebab dari efek
tersebut.

Faktor lain yang dipertimbangkan adalah bahwa kematian mungkin tidak terjadi
segera setelah penyerangan. Pasien-pasien akan terluka dan terbaring dalam koma
untuk beberapa jam. Mereka dapat menderita pneumonia, peningkatan suhu
tubuh, atau meninggal perlahan dalam koma, menjadi hipotermia. Jadi, walaupun
diketahui secara pasti kapan seseorang meninggal, waktu dapat tidak sesuai
dengan waktu terjadinya penyerangan.

Jika patologi forensik memutuskan untuk mengambil suhu rektal, rektum harus
selalu diperiksa sebelum memasukkan thermometer. Pada kasus-kasus dimana
terjadi penyerangan secara seksual, pengusapan harus diambil sebelum
memasukkan thermometer.

Sebagai tambahan untuk masalah suhu tubuh “normal” tersebut, kami memiliki
masalah bahwa pendinginan tubuh tidak dibutuhkan, demikian pula pola yang
berulang sehingga orang dapat memproyeksikan berapa suhu tubuhnya. Pada
tubuh mayat, panas tubuh hilang oleh karena konduksi (absorpsi dari panas oleh
objek yang bersentuhan dengan tubuh), radiasi (hilang oleh karena pemanasan
sinar infra merah, dan konveksi (perpindahan air). Jadi, kami dapat melihat bahwa
hilangnya panas tubuh terjadi secara pasif. Jika suhu dari lingkungan sekitar tubuh
mayat adalah lebih dari 98.6oF, tubuh mayat akan hangat; jika sama, pada tubuh
mayat akan tetap pada 98.6oF; dan jika lebih dingin, tubuh mayat juga akan
dingin. Tetapi buruknya, tidak ada mengkontrol suhu lingkungan tersebut.

Pada tempat kejadian, ada kemungkinan udara menjadi dingin atau menjadi panas.
Tubuh mayat yang terbaring di bawah sinar matahari akan menahan panas lebih
lama dari pada tempat yang teduh. Tetapi jika matahari berpindah, kondisi
tersebut akan berubah menjadi terpapar matahari, dan menjadi panas. Tubuh
mayat yang basah menghantarkan panas lebih cepat. Apakah tubuh mayat
berbaring di batu, yang mana lebih baik untuk konduksi, atau di tempat tidur,
yang mana bertindak sebagai insulator? Apakah individu tersebut gemuk atau
kurus? Berpakaian atau telanjang? Pakaian dan kegemukan bertindak sebagai
insulator yang akan menahan panas. Anak-anak dan bayi lebih cepat dingin
karena mereka memiliki permukaan yang lebih luas dibandingkan beratnya.
Kebalikannya terjadi pada individu yang obesitas, yaitu mereka memiliki
permukaan yang lebih kecil dibandingkan beratnya. Individu yang kakhetik
(kurus), tentu saja, lebih cepat dingin daripada individu yang obese.

Untuk merekapitulasi masalah pada penggunaan suhu tubuh postmortem, untuk


menentukan waktu dari kematian adalah tidak satupun yang mengetahui berapa

16
suhu tubuh ketika terjadi kematian dan tidak satupun tahu perkiraan kapan dia
mendingin.

Dekomposisi
Dekomposisi terbentuk oleh dua proses: autolisis dan putrefaction. Autolisis
menghancurkan sel-sel dan organ-organ melalui proses kimia aseptik yang
disebabkan oleh enzim intraselular. Proses kimia ini, dipercepat oleh panas,
diperlambat oleh dingin, dan dihentikan oleh pembekuan atau penginaktifasi
emzim oleh pemanasan. Organ-organ yang kaya dengan enzim akan mengalami
autolisis lebih cepat daripada organ-organ dengan jumlah enzim yang lebih
sedikit. Jadi, pankreas mengalami autolisis lebih dahulu daripada jantung.

Bentuk kedua dari dekomposisi, yang mana pada setiap individu berbeda-beda
adalah putrefaction. Ini disebabkan oleh bakteri dan fermentasi. Setelah kematian,
bakteri flora dari traktus gastrointestinal meluas keluar dari tubuh, menghasilkan
putrefaction. Ini mempercepat terjadinya sepsis seseorang karena bakteri telah
meluas keseluruh tubuh sebelum kematian.

Ketika kami membicarakan tentang dekomposisi, yang kami maksudkan biasanya


putrefaction. Onset dari putrefaction tergantung pada dua faktor utama:
lingkungan dan tubuh. Pada iklim panas, yang lebih penting dari dua faktor
tersebut adalah lingkungan. Banyak penulis akan memberikan rangkaian dari
kejadian-kejadian dari proses dekomposisi dari tubuh mayat. Yang pertama adalah
perubahan warna menjadi hijau pada kuadran bawah abdomen, sisi kanan lebih
daripada sisi kiri, biasanya pada 24-36 jam pertama. Ini diikuti oleh perubahan
warna menjadi hijau pada kepala, leher, dan pundak; pembengkakan dari wajah
disebabkan oleh perubahan gas pada bakteri; dan menjadi seperti pualam. Seperti
pualam ini dihasilkan oleh hemolisis dari darah dalam pembuluh darah dengan
reaksi dari hemoglobin dan sulfida hydrogen dan membentuk warna hijau
kehitaman sepanjang pembuluh. Lama kelamaan tubuh mayat akan menggembung
secara keseluruhan (60-72 jam) diikuti oleh formasi vesikel, kulit menjadi licin,
dan rambut menjadi licin. Pada saat itu, tubuh mayat yang pucat kehijauan
menjadi warna hijau kehitaman.

Kegembungan pada tubuh mayat sering terlihat pertama kali pada wajah, dimana
bagian-bagian dari wajah membengkak, mata menjadi menonjol dan lidah
menjulur keluar antara gigi dan bibir. Wajah berwarna pucat kehijauan, berubah
menjadi hijau kehitaman, kemudian menjadi hitam. Cairan dekomposisi (cairan
purge) akan keluar dari mulut dan hidung. Hal ini sering disalahinterpretasikan
sebagai darah dimana dicurigai adanya trauma kepala. Cairan dekomposisi akan
berakumulasi pada rongga tubuh dan akan membingungkan pada kasus
hemothoraks pada rongga pleura. Biasanya, cairan berakumulasi pada setiap
rongga pleura kurang dari 200 mL.

Dekomposisi berlanjut, darah yang terhemolisis merembes keluar ke jaringan.


Khususnya pada kulit kepala, ini akan sulit dibedakan dari memar antemortem.
Jadi, pada area dependent kepala pada tubuh mayat yang terdekomposisi, satu

17
yang harus menjadi perhatian dalam menginterpretasi darah pada jaringan adalah
sebagai sebuah kontusio.

Deskripsi dari dekomposisi yang terjadi berangsur-angsur dari tubuh mayat ini
mengasumsikan suatu iklim suhu lingkungan. Dengan suhu tinggi, proses akan
menjadi lebih cepat. Di Texas, ada mayat ditinggal di dalam mobil selama musim
panas akan memakan waktu kurang dari 24 jam untuk mengalami pembengkakan,
tubuh hijau kehitaman dengan perubahan seperti pualam, perubahan vesikel, kulit
menjadi licin, dan ada cairan purge.

Cuaca dingin akan memperlambat dan mungkin dapat menghentikan


dekomposisi. Tubuh mayat yang membeku tidak akan mengalami dekomposisi
sampai di keluarkan dari lemari es. Contoh yang nyata dari hal tersebut adalah
mammoths yang membeku di Siberia untuk ratusan tahun lamanya.

Dekomposisi terjadi cepat pada obesitas, pakaian yang tebal, dan sepsis, semua
yang mempertahankan tubuh tetap hangat. Dekomposisi diperlambat oleh pakaian
yang tipis atau oleh tubuh yang berbaring pada permukaan yang terbuat dari besi
atau batu yang mana lebih cepat menjadi dingin karena terjadi konduksi. Pada
kasus sepsis yang menyeluruh, penulis telah melihat tubuh mayat lebih cepat
terdekomposisi walaupun faktanya mereka telah dimasukkan ke dalam lemari es
sesegera mungkin. Pada tubuh sepsis yang telah meninggal 6-12 jam memiliki
penampakan seperti sudah meninggal 5-6 hari walaupun sudah di masukkan ke
dalam lemari es.

Sekalipun pada tubuh non-septik, jika dekomposisi sudah terbentuk,


memasukkannya secepat mungkin ke dalam lemari es tidak akan menghentikan
dekomposisi secara sempurna. Para penulis-penulis sudah melihat beberapa tubuh
mayat yang sudah terdekomposisi dari awal dengan adanya mata yang opak,
warna kemerahan pada kulit wajah, dan cairan purge bercampur darah di dalam
mulut dan lubang hidung ketika tubuh pertama kali ditemukan di tempat lokasi.
Ketika tubuh mayat datang untuk otopsi 6-12 jam kemudian, setelah berada di
dalam lemari es sepanjang waktu, wajah menjadi membengkak dan berwarna
hijau kehitaman.

Sejalan dengan kemajuan dekomposisi, rambut akan terlepas dari kepala dan kulit
tangan terkelupas. Sehingga akan ditemukan “gloves” pada kulit. Rambut
mungkin akan diambil oleh burung-burung dan digunakan untuk membuat sarang.
Sejalan dengan tubuh mayat yang telah terdekomposisi dan membengkak,
seseorang mungkin ada yang mendapat pengaruh paling berat. Ketika tubuh mayat
ditimbang, berat badan akan ditemukan secara signifikan lebih rendah daripada
yang diperkirakan pada pemeriksaan secara kasar. Pada proses dekomposisi, berat
dari organ-organ akan menurun.

Pada lingkungan panas, iklim kering, tubuh mayat akan mengalami dehidrasi
secara cepat dan akan lebih mengalami mumifikasi daripada dekomposisi. Pada
saat kulit mengalami perubahan dari coklat menjadi hitam, organ-organ interna

18
akan berlanjut memburuk, seringkali konsistensinya menurun menjadi berwarna
seperti dempul hitam kecoklatan.

Tubuh mayat diawetkan untuk memperlambat dekomposisi. Keberhasilan


pengawetan bervariasi dan bergantung pada kualitas dari pengawetan tersebut,
iklim, dan keadaan alamiah tanah dimana tubuh mayat tersebut dikuburkan.
Jarang sekali, tubuh akan dapat secara sempurna awet selama setahun. Salah
seorang penulis menggali kuburan dari mayat seorang wanita tua berkulit putih
yang sudah dikubur selama 6 tahun yang telah berada dalam kondisi yang
sempurna dan dapat terlihat pada tempat pemakaman. Tidak berbau, tidak ada
perubahan yang terlihat pada luar tubuhnya, dan tidak ada jamur yang muncul.
Pada pemeriksaan mikroskopik dari organnya sudah secara sempurna diawetkan.
Tubuh mayat dari wanita yang lain yang dikuburkan pada waktu yang sama, tetapi
pada tanah dimana air merembas masuk ke dalam peti jenazah, sudah secara
sempurna menjadi tulang. Penulis sudah melihat tubuh mayat yang terkubur
selama beberapa tahun telah secara sempurna menjadi awet, kecuali beberapa
sidik jari yang mengalami kekeringan dan ditempeli oleh jamur-jamur, ketika
tubuh mayat yang lain terkubur selama 2-3 minggu berada dalam keadaan
dekomposisi yang lanjut.

Waktu yang diperlukan untuk menulang pada tubuh mayat bervariasi. Pada daerah
dimana tubuh terpapar elemen-elemen dan binatang pemakan bangkai, itu akan
membuat prosesnya menjadi lebih cepat, terjadi dalam 9-10 hari. Pada keadaaan
yang lebih jarang, ini mungkin dapat akan lebih cepat lagi. Uterus dan prostate
adalah dua organ-organ yang terakhir terdekomposisi.

Adakalanya, tubuh mayat yang terdekomposisi akan bertransformasi ke arah


adiposera. Adiposera adalah suatu bentuk tetap, berwarna putih keabu-abuan
sampai coklat lilin seperti bahan yang membusuk dan berminyak, asam stearat. Ini
dihasilkan oleh konversi dari lemak yang netral selama perbusukan ke asam yang
tidak dapat dijelaskan. Hal tersebut lebih nyata pada jaringan subkutan, tetapi
dapat terjadi dimana saja bila terdapat lemak. Adiposera adalah benar-benar suatu
variasi dari putrefaction.

Hal ini terlihat paling sering pada tubuh yang dibenamkan dalam air atau dalam
keadaan lembab, lingkungan yang hangat. Pada adiposera, lemak mengalami
hidrolisis untuk melepaskan asam lemak jenuh dengan peranan dari lipase
endogen dan enzim bacterial. Enzim bakterial, umumnya berasal dari Clostridium
perfringens, yang mengubah asam lemak jenuh ini menjadi asam lemak hidroksi.
Adiposera dikatakan memakan waktu beberapa bulan untuk berkembang,
walaupun perkembangannya juga dapat terjadi singkat hanya selama beberapa
minggu. Hal ini bergantung pada tingkat perlawanan dari bakteriologik dan
degradasi dari kimia.
Penjelasan yang singkat harus dibuat pada maserasi pada bayi yang meninggal
dalam kandungan. Ini bukan putrefaction yang sesungguhnya, tetapi lebih kepada
sebuah proses autolitik aseptik.

19
Perubahan mata postmortem adalah sesuatu yang sulit untuk diinterpretasikan.
Perubahannya tergantung pada apakah mata itu terbuka atau tertutup dan
tergantung pada lingkungan. Tache noire dapat terlihat tetapi sering tidak
diobservasi. Hal ini adalah sebuah artifak dari kekeringan yang terdiri dari
perubahan warna sklera dari coklat menjadi hitam dimana mata setengah terbuka
dan terpapar oleh udara. Pada mata tertutup, dalam 24 jam, biasanya ditemukan
penumpukan busa putih pada kornea, yang dapat dikatakan “cloudy”.

Sistematika pemeriksaan
Pencatatan tanda kematian berguna untuk penentuan saat kematian,. Jangan lupa
mencatat waktu/saat dilakukan pemeriksaan.
a. Lebam mayat
Catatan letak/distribusi lebam mayat, adanya bagian tertentu di daerah
lebam mayat yang justru tidak menunjukkan lebam (karena tertekan
pakaian terbaring di atas benda keras dan lain-lain). Warna dari lebam
mayat serta intensitas (hilang dengan penekanan/sedikit hilang/tidak
menghilang sama sekali).
b. Kaku mayat
Catat distribusi kaku mayat serta derajat kekakuan pada beberapa sendi
(daerah dagu/tengkuk, lengan atas, siku, pangkal paha, sendi lutut) dngan
menentukan apakah mudah/sukar dilawan
Apabila ditemukan spasme kadaverik (cadaveric spasm), harus dicatat
dengan sebaik-baiknya, karena spasme kadaverik memberi petunjuk apa
yang dilakukan korban saat terjadi kematian).
c. Suhu tubuh mayat
Kriteria penurunan suhu tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan,
namun kadang masih membantu dalam perkiraan kematian. Pengukuran
suhu dengan menggunkana termometer rektal. Jangan lupa mencatat suhu
ruangan pada saat yang sama.
d. Pembusukan
Tanda pembusukan yang pertama tampak berupa kulit perut sebelah kanan
bawah yang berwarna kehijau-hijauan, Pada pembusukan lebih lanjut,
kulit ari telah terkelupas, terdapat gambaran pembuluh superfisial yang
melebar berwarna biru hitam, ataupun tubuh yang telah mengalami
penggembungan akibat pembusukan lanjut.
e. Lain-lain
Mencatat perubahan tanatologik lain yang mungkin ditemukan, (misalnya
mummifikasi/adipocare).

Pelaporan dalam Visum et repertum


a. Lebam mayat:…………………….....................................
(Deskripsi temuan, misalnya: dijumpai lebam mayat pada punggung
mayat berwarna hijau tua dan hilang dengan penekanan)
b. Kaku mayat: Ada/ Tidak ada…...…………………............
(Jika ada, dibuat deskripsi temuan, misalnya: dijumpai kaku mayat
pada rahang dan tidak mudah dilawan)
c. Penurunan suhu tubuh: ……………………......................
(Dijumpai suhu mayat setelah diukur tiga puluh derajat Celsius)

20
d. Pembusukan: Ada/ Tidak ada
(Jika ada, dibuat deskripsi temuan, misalnya: dijumpai pembusukan
mayat pada bagian bawah perut berbentuk tidak beraturan, warna
hijau, berbau busuk menyengat)

21
REFERENSI

1. Amir A. 2005. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua. Bagian Ilmu


Kedokten medan Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Medan.
2. Budiyanto A, dkk.1997.Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,.
3. Idries AM, 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Jakarta:
Binarupa Aksara; p.131-168.
4. Stark MM. 2005. Medical Forensic Medicine A Physician's Guide. 2nd
Edition. New Jersey: Humana Press Inc.
5. Sampurna B, Samsu Z. 2003. Peranan Ilmu Forensik dalam Penegakan
Hukum. Jakarta: Pustaka Dwipar.
6. Dimaio VJ, Dimaio D. 2001. Forensic pathology. 2nd ed. London CRS
Press.

22
CHECK LIST :PEMERIKSAAN TANATOLOGIS

No. Aspek yang dinilai Nilai


0 1 2
1 Memberikan penjelasan mengenai tindakan yang
akan dilakukan, tujuan, cara dan manfaat
pemeriksaan tanatologis
2 Pemeriksaan lebam mayat
Melakukan identifikasi lebam mayat
Menentukan posisi lebam mayat
Menentukan warna lebam mayat
Menentukan apakah lebam mayat hilang atau
tidak dengan penekanan
Memperkirakan lama kematian dari lebam mayat
3 Pemeriksaan penurunan suhu tubuh mayat
Mempersiapkan termometer suhu tubuh mayat
Melakukan pengukuran suhu rektal mayat
Membaca dan menginterpretasi penurunan suhu
mayat
Menentukan lama kematian dari penurunan suhu
mayat
4 Pemeriksaan kaku mayat
Melakukan identifikasi kaku mayat
Menentukan posisi kaku mayat
Menentukan kekuatan kaku mayat
Menentukan apakah kaku mayat mudah dilawan
atau tidak
Memperkirakan lama kematian dari kaku mayat
mayat
5 Pemeriksaan pembusukan mayat
Melakukan identifikasi pembusukan mayat
Menentukan posisi pembusukan mayat
Menentukan derajat pembusukan mayat
Memperkirakan lama kematian dari pembusukan
mayat

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tapi kurang sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna

Cakupan penguasaan keterampilan = skor total/ 38x100%= ....%

Banda Aceh, …..2017

Instruktur

23
III. ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN
STATUS MENTAL

dr. Subhan Rio Pamungkas, SpKJ


Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa
Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUDZA

Tujuan belajar:
Mahasiswa mampu melakukan anamnesis dan pemeriksaan status mental secara
sistematis dan benar.

Prior Knowledge:
Sebelum mempelajari keterampilan ini mahasiswa harus menguasai :
- Ketrampilan komunikasi interpersonal

Pendahuluan
Pemeriksaan psikiatri yang lengkap memiliki kekhususan yaitu lebih diarahkan
pada manifestasi fungsi mental, emosional dan perilaku. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk menyusun laporan tentang keadaan psikologis dan psikopatologis
pasien.

Pemeriksaan psikiatri yang lengkap meliputi :


- Pemeriksaan tidak langsung (indirect examination)
 Auto anamnesis, yaitu keluhan tentang gangguan sekarang dan laporan
pasien mengenai perkembangan keluhannya serta riwayat kehidupan
pasien
 Allo anamnesis, keterangan mengenai pasien yang diperoleh dari pihak
keluarga atau orang-orang lain yang mengenalnya.
- Pemeriksaan langsung (direct examination)
 Pemeriksaan fisik, terutama status internus dan neurogi
 Pemeriksaan status mental
- Pemeriksaan tambahan
Pemeriksaan yang dilakukan apabila ada alasan khusus, seperti uji psikologik,
elektro ensefalografik, foto rontgen, CT Scan, pemeriksaan zat kimia tubuh
dan lain-lain.

I. Anamnesis
Pemeriksa memulai anamnesis dengan perkenalan singkat lalu dilanjutkan dengan
keluhan utama, hal mengenai penyakit saat ini, riwayat lampau dan riwayat
keluarga. Garis besar riwayat psikiatri yang perlu didapat :
- Data Pribadi
Perlu dikumpulkan data demografi pasien berupa nama, alamat, umur, jenis
kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, bahasa, suku bangsa,
agama dan data lain yang berhubungan dengan kehidupan pasien saat ini.

- Keluhan Utama
Untuk mengetahui apa alasan utama pasien datang berobat dapat digunakan
pertanyaan pembuka, contoh : bagaimana saya bisa menolong bapak/ibu?,

24
gangguan kesehatan apa yang ibu alami?. Umumnya pertanyaan seperti ini
akan membuat pasien berbicara bebas yang lebih bermakna dibandingkan
apabila diberikan prosedur tanya jawab formal. Ada pula pasien yang tidak
dapat menyampaikan keluhannya namun keluhan bisa datang juga dari pihak
keluarga, kerabat, sahabat atau kerabat lainnya yang khawatir tentang perilaku
pasien. Bila pasien tidak berbicara, perlu dideskripsikan keadaaan yang
dijumpai saat wawancara pasien.

- Riwayat Gangguan Sekarang


Perlu ditanyakan keterangan mengenai sifat dan situasi pada awal timbulnya
penyakit. Keterangan perihal penyakit sekarang hendaknya dapat memberikan
gambaran tentang awal dan perkembangan penyakit, riwayat keluhannya
sekarang secara kronologis dan menyeluruh, awitan dan faktor presipitasi.
Perlu juga ditanyakan tentang dampaknya terhadap hubungan pribadi dan
kemampuan untuk berkerja. Setelah menanyakan keluhan sekarang perlu
ditanyakan pertanyaan lanjutan tentang gejala lain untuk membantu
menegakan diagnosis.

- Riwayat Penyakit Sebelumnya


Perlu diketahui tanggal penyakit, diagnosis, penanganan dan perawatan di
rumah sakit, meliputi :
 Psikiatri
 Medis
 Penggunaan zat

- Riwayat Hidup
 Prenatal dan perinatal
 Masa kanak awal (sampai 3 tahun)
 Masa kanak pertengahan (3-11 tahun)
 Masa remaja
 Masa dewasa
o Riwayat pekerjaan
o Riwayat perkawinan/ berpasangan
o Riwayat pendidikan
o Riwayat militer (kalau ada)
o Riwayat agama/ kehidupan agama
o Aktivitas sosial dan situasi kehidupan sekarang
o Riwayat pelanggaran hokum
o Riwayat psikoseksual
o Riwayat keluarga
o Impian, fantasi dan nilai-nilai

II. Pemeriksaan Status Mental


Pemeriksaan status mental merupakan observasi dan laporan dari kondisi kognitif,
emosional dan perilaku pasien saat ini. Status mental pasien dapat berubah dari
hari kehari bahkan dari jam ke jam. Secara garis besar gambaran status mental
adalah :

25
- Penampilan
Merupakan gambaran tampilan dan kesan keseluruhan terhadap pasien yang
direfleksikan dari postur, sikap, cara berpakaian dan berdandan. Juga perlu
dicatat bila ada tato, tindikan, bekas tusukan atau sayatan (khususnya pada
bagian lengan bawah) yang tidak biasa. Terminologi yang sering digunakan
untuk menggambarkan penampilan pasien seperti tampak sehat, tampak
tenang, tampak lebih tua, tidak rapi, kekanak-kanakan atau bizarre.

- Perilaku dan aktivitas psikomotor


Pengamatan ditunjukan terhadap aspek kualitas dan kuantitas aktivitas
psikomotor, seperti adanya mannerism, tics, gerak-gerik, kejang, perilaku
stereotipik, hiperaktivitas, agitasi, rigiditas, cara berjalan dan kegelisahan.
Perlu diperhatikan juga perlambatan pskomotor dan perlambatan pergerakan
tubuh secara umum atau aktivitas tanpa tujuan.

- Sikap terhadap pemeriksa


Sikap terhadap pemeriksa dapat digambarkan berupa kooperatif, bersahabat,
pernuh perhatian, merayu, defensive, merendahkan, bingung, berbelit-belit,
hostil, bercanda atau berhati-hati.

- Mood
Mood adalah perasaan yang bersifat pervasif dan bertahan lama, yang
mewarnai persepsi seseorang terhadap kehidupannya. Pemeriksa dapat menilai
suasana perasaan pasien dari pernyataan yang disampaikan pasien atau bila
perlu dapat pemeriksa yang menanyakan kepada pasien tentang suasana
perasaannya. Mood dapat digambarkan dengan mood depresi, iritabel, cemas,
marah, ekspansif, euphoria, kosong, ketakutan, labil dan lainnya.

- Afek
Afek adalah respon emosional saat sekarang, yang dapat dinilai lewat ekspresi
wajah, pembicaraan, sikap dan gerak gerik tubuh pasien (bahasa tubuh).
Penilaian afek dapat berupa afek normal, terbatas, tumpul atau mendatar.

- Keserasian afek
Pemeriksa mempertimbangkan keserasian respons pasien terhadap topik yang
sedang didiskusikan dalam wawancara.

- Pembicaraan
Deskripsi yang disampaikan dapat seperti berbicara spontan atau tidak,
kecepatan bicara, adanya hendaya bicara, volume bicara (keras, biasanya atau
kecil/ berbisik-bisik) dan seterusnya. Hal ini dilaporkan berdasarkan hasil
observasi selama wawancara dengan pasien.

- Persepsi
Gangguan persepsi antara lain seperti halusinasi, ilusi, derealisasi dan
depersonalisasi. Halusinasi adalah kesalahan persepsi tanpa stimulus eksternal
yang dipercayai benar dan berasal dari luar, sedang ilusi kesalahan persepsi
terhadap stimulus eksternal. Halusinasi dapat terjadi pada seluruh indra,

26
meskipun halusinasi auditorik dan visual lebih sering terjadi. Dapat juga
dijumpai halusinasi yang tidak bermakna yaitu halusinasi hipnagogik
(halusinasi yang muncul pada saat mulai tidur) dan halusinasi hipnopompik
(halusinasi yang muncul pada saat bangun tidur).

- Pikiran
Pikiran dapat dibagi menjadi proses dan isi pikir. Proses pikir merupakan cara
seseorang menyatukan semua ide-ide dan asosiasi-asosiasi yang membentuk
pikiran. Proses pikir yang digambarkan dapat berupa koheren, tidak logik/
komprehensif, flight of idea, blocking, neologisme dan lainnya. Gangguan isi
pikir yang utama yaitu waham/ delusi (keyakinan yang salah dan menetap dan
tidak terkait latar belakang budaya).

- Sensorium dan kognisi


 Kesadaran
 Orientasi dan daya ingat
 Konsentrasi dan perhatian
 Kemampuan membaca dan menulis
 Kemampuan visuospasial
 Pikiran abstrak
 Intelegensi dan kemampuan informasi
 Bakat kreatif
 Kemampuan menolong diri sendiri

- Pengendalian impuls
Dinilai kemampuan pasien untuk mengontrol impuls seksual, agresif dan
impls lainnya. Pengendalian impuls dilakukan pula untuk menilai apakah
pasien berpotensi membahayakan diri dan orang lain.

- Daya nilai
Pada wawancara psikiatri berlangsung perlu diperhatikan kemampuan daya
nilai sosial pasien. Apakah pasien memahami akibat dari perbuatan yang
dilakukannya dan apakah pemahamannya ini mempengaruhi dirinya.

- Tilikan
Menilai pemahaman pasien terhadap penyakit yang dideritanya. Derajat tilikan
terdiri atas :
1. Penyangkalan penuh terhadap penyakit
2. Mempunyai sedikit pemahaman terhadap penyakit tetapi juga
sekaligus menyangkalnya pada waktu yang bersamaan.
3. Sadar akan penyakitnya tetapi menyalahkan orang lain, faktor luar atau
faktor organik.
4. Pemahaman bahwa dirinya sakit, tetapi tidak mengetahui
penyebabnya.
5. Tilikan intelektual : mengakui bahwa dirinya sakit dan tahu bahwa
penyebabnya adalah perasaan irasional atau gangguan-gangguan yang
dialaminya, tetapi tidak memakai pengetahuan tersebut untuk
pengalaman di masa datang.

27
6. Tilikan emosional : pemahaman emosional terhadap motif dan
perasaan-perasaan pada diri pasien dan orang-orang penting dalam
kehidupan pasien, yang dapat membawa perubahan mendasar pada
perilaku pasien.

- Taraf dapat dipercaya


Pemeriksaan psikiatri juga memperhatikan kesan pemeriksa terhadap
kemampuan pasien untuk dapat dipercaya dan bagaimana ia menyampaikan
peristiwa dan situasi yang terjadi secara akurat. Pemeriksa dapat menilai
kejujuran dan keadaan yang sebenarnya dari yang dikatakan pasien.

28
REFERENSI

1. Redayani P, Mangindaan L. Wawancara dan Pemeriksaan Psikiatrik. dalam


Elvira SD, Hadisukanto G. Editor. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2010. hal:45-59.
2. Katona C, Cooper C, Robertson M. At a Glance Psikiatri. Noviyanti C,
Hartiansyah V. Alih bahasa. Penerbit Erlangga. Jakarta. 2008. hal:8-11.
3. Onate J, Xiong GL, McCarron R. The Primary Care Psychiatric Interview. In
McCarron R, Xiong GL, Bourgeois JA. Editors. Lippincott‟s Primary Care
Psychiatry. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia. 2009. hal:1-16.

29
CHECKLIST :ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN STATUS MENTAL

Skor
No Aspek yang dinilai
0 1 2
I Membina Hubungan Baik
1. Menyapa dan mengucapkan salam
2. Berdiri dan memperkenalkan diri
3. Mengklarifikasi tujuan pasien datang berobat (langsung
pada pasien atau keluarga)
4. Duduk berhadapan dengan pasien, perhatikan keamanan,
kemungkinan adanya ancaman tindak kekerasan
II Anamnesis Psikiatri
1. Data umum pasien
2. Keluhan utama
3. Riwayat penyakit sekarang
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat keluarga
6. Riwayat pribadi
a. Prenatal dan perinatal
b. Awal masa kanak-kanak
c. Masa kanak-kanak pertengahan
d. Terlambat masa kanak-kanak
e. Dewasa (riwayat pekerjaan, perkawinan dan riwayat
hubungan, riwayat militer, riwayat sekolah, agama,
aktifitas sosial, situasi tempat tinggal, riwayat legal)
f. Riwayat sexual
g. Mimpi dan Fantasi
h. Nilai-nilai
III Pemeriksaan Internus
IV 1. Status present
2. Status Internus
V Status Psikiatri Khusus
1. Penampakan Umum
2. Perilaku dan aktivitas psikomotor
3. Sikap terhadap pemeriksa
4. Mood
5. Afek
6. Keserasian afek
7. Persepsi
8. Proses Fikir
9. Isi Pikir
10. Ingatan
11. Orientasi
12. Intelektual
13. Daya Tilikan ( Insight )
14. Pendapat ( Judgment )
15. Pikiran abstrak
16. Ide kreatif

30
VI Resume disesuaikan dengan kriteria diagnostik yang ada
dalam PPDGJ
VII Dilakukan Differensial Diagnosis kemudian baru tegakkan
diagnosis
VIII Penatalaksanaan
1. Terapi biologis
2. Terapi psikologis
3. Terapi social
IX Prognosis
Keterangan :
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan tetapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna
3
Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/82x100% =… %

Banda Aceh, ……2017


Instruktur

31
IV. PEMERIKSAAN FOTO KEPALA DAN
TULANG BELAKANG

dr. Nurul Machillah, SpRad


Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUDZA

Tujuan Belajar :
1. Mahasiswa mampu membaca foto rontgen kepala AP dan Lateral normal
2. Mahasiswa mengerti tehnik pembuatan foto kepala
3. Mahasiswa mampu membaca foto rontgen tulang belakang AP dan Lateral
normal
4. Mahasiswa mengerti tehnik pembuatan foto tulang belakang

Prior Knowledge:
Sebelum mempelajari keterampilan ini mahasiswa harus menguasai :
1. Anatomi tulang kepala
2. Fisiologi kepala
3. Anatomi tulang belakang
4. Fisiologi tulang belakang

PEMERIKSAAN FOTO KEPALA


Pendahuluan
Kepala atau skull atau schedell merupakan bagian organ tubuh yang sangat
penting, didalam tulang kepala terdapat otak besar atau cerebrum dan otak kecil
atau cerebellum serta batang otak yang harus senantiasa dilindungi dari trauma
oleh tulang kepala yang cukup kuat.
Untuk bisa membaca foto rontgen kepala terlebih dahulu harus mempunyai
pengetahuan tentang anatomi normal dari tulang-tulang kepala .

Anatomi Tulang Kepala


Secara anatomi tulang kepala dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
1. Tulang calvaria yang terdiri dari :
a. Os parietalis kanan dan kiri
b. Os frontalis kanan dan kiri
2. Tulang basis cranii yang terdiri dari :
a. Os temporal kanan dan kiri
b. Os sphenoid kanan dan kiri
c. Os occipitalis
3. Tulang wajah ( facial bone ) yang terdiri dari :
a. Os maxillaris
b. Os mandibularis
c. Os ethmoidalis
d. Os lacrimalis
e. Os palatum
f. Os zygomaticus

32
g. Os vomer
h. Os nasalis
i. Concha nasalis inferior

Untuk mendapatkan gambaran tulang-tulang kepala dengan baik dibutuhkan


proyeksi standar untuk pemeriksaan radiologi yaitu :
1. Proyeksi lateral
Pasien diposisikan miring true lateral dengan sisi yang sakit berada di dekat
film, titik sentral sinar berada di atas fossa pituitary 1 cm diatas garis
orbitomeatal line serta 2.5 cm dari anterior meatus auditorius externus
2. Proyeksi AP.
Pasien posisi supine dengan arah sinar vertical disudutkan 20 derajat caudaly

Antara tulang satu dan tulang yang lain dihubungkan oleh sutura, yaitu sutura
sagitalis yang menghubungkan os parietalis kanan dan kiri, sutura coronaria
menghubungkan os frontalis dengan os parietalis kanan dan kiri, sutura
lambdoidea menghubungkan os occipitalis dengan os parietalis kanan dan kiri
serta sutura temporalis kanan dan kiri menghubungkan os temporalis dengan os
parietalis kanan dan kiri.

Basis cranii terdapat sella turcica yang dibagian anteriornya terdapat tonjolan
yang disebut procesus clinoideus anterior dan dibagian posteriornya didapatkan
procesus clinoideus posterior. Didalam sella turcica ini terdapat struktur organ
yang sangat penting yaitu hypophyse.

Tulang wajah bersama dengan os lacrimalis dan os frontalis membentuk cone


(kerucut) sebagai cavum orbitale kanan dan kiri yang merupakan tempat
perlindungan terhadap bola mata dan syaraf ( nervus ) opticus.

Pada os maxillaris kanan dan kiri terdapat gigi geligi serta rongga yang disebut
sinus maxillaris kanan dan kiri.

Os mandibula kanan dan kiri terdapat gigi geligi yang berpasangan dengan gigi
geligi yang berada di os maxillaris kanan dan kiri.

Di dalam tulang kepala terdapat rongga yang disebut sinus paranasalis yang terdiri
dari sinus frontalis yaitu rongga yang berada di os frontalis kanan dan kiri, sinus
maxillaris yaitu rongga didalam os maxillaris, sinus ethmoidalis yang merupakan
rongga didalam tulang ethmoidalis kanan dan kiri yang berbentuk seperti sel-sel
yang sering disebut cellulae ethmoidalis, serta sinus sphenoidalis yang merupakan
rongga yang berada di os sphenoidalis kanan dan kiri.

Di dalam os temporalis kanan dan kiri terdapat rongga udara kecil-kecil berbentuk
selulae yang disebut sebagai air cell mastoid kanan dan kiri.

Pada masa bayi masih terdapat cekungan di anatara pertemuan sutura sagitalis dan
sutura coronaria yang disebut fontanella mayor sedangkan cekungan di posterior

33
antara sutura lambdoidea atau os occipitalis dan sutura sagitalis yang berbentuk
segitiga disebut fontanella minor.
Terdapat beerapa foramen atau lubang di tulang basis crania antara lain foramen
ovale, rotundum, opticum serta foramen magnum di basal occipital yang
merupakan tempat keluarnya medulla spinalis dari dalam rongga kepala.

Bagian intracranial tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan foto polos kepala atau
skull atau schedell untuk melihat kondisi intracranial diperlukan pencitraan
radiologi yang lain misalnya USG kepala, CT Scan kepala, angigrafi kepala atau
MRI kepala.

Indikasi Pemeriksaan Radiologi Kepala


Sebelum melakukan foto kepala pemeriksaan klinis yang teliti perlu dilakukan hal
ini akan membantu untuk memperoleh foto yang benar dalam menghubungkan
antara kelainan klinis dan kelainan radiologi. Foto kepala amat sulit intuk
diinterpretasikan secara radiologinya karena gambarnya saling tumpang tindih
satu dengan lainnya.

Indikasi pemeriksaan foto kepala meliputi :


1. Trauma
Trauma kepala pada orang dewasa terutama bila disertai dengan hilangnya
kesadaran dan secara klinis terdapat fraktur depresi atau impresi.
Trauma kepala pada anak yang secara klinis didapatkan fraktur depresi atau
impresi, trauma kepala ringan dengan pemeriksaan klinis yang normal bukan
indikasi untuk pemeriksaan foto kepala pada anak.

2. Perdarahan lewat telinga atau bocornya cairan cerebrospinal lewat telinga atau
hidung setelah trauma hampir selalu didapatkan fraktur di basis cranii. Pada
foto posisi AP dapat ditunjukkan adanya cairan di sinus sphenoidalis atau
udara di dalam kepala.

3. Benjolan atau lekukan pada kepala. Pemeriksaan foto kepala berguna bila
benjolan di kepala tidak bersifat mobile dan secara pemeriksaan fisik tidak
hanya di kulit kepala, menunjukkan defek di cranium bawahnya.

4. Sakit kepala yang menetap, foto kepala tidak banyak memberikan informasi
kecuali bila didapatkan kelainan neurologis berupa tanda peningkatan tekanan
intrakranial maka foto lateral dapat membantu , apabila secara klinis
didapatkan lesi malignant di tempat lain maka tanda proses matastasis bisa
didapatkan pada foto kepala.

5. Sakit telinga. Pemeriksaan klinis lebih baik bila dibandingkan dengan foto
kepala, tetapi bila didapatkan mastoiditis maka pemeriksaan foto matoid dapat
berguna.

6. Proses metastasis atau penyakit sistemik seperti Paget‟s disease atau


thalasemia, foto kepala posisi lateral dapat membantu menegakkan
diagnosisnya.

34
Jenis pemeriksaan Radiografi kepala
Terdapat berbagai proyeksi pada pemeriksaan radiografi kepala yang meliputi:
1. Proyeksi AP atau anteroposterior, posisi ini memperlihatkan gambaran tulang
parietal kanan dan kiri, sutura sagitalis, sutura temporoparietalis, sinus
frontalis, tepisupra orbitalis, orbita, sinus sphenoidalis, sinus ethmoidalis, tepi
infraorbitalis, septum nasalis antrum maxillaries serta os mandibularis.

2. Proyeksi lateral, proyeksi ini dapat memperlihatkan tabula interna, tabula


externa serta medulla cranium atau diploe, opasitas kepala terdapat area yang
kurang radioopaque di anterior dan posterior, pembuluh darah dan cabang-
cabangnya, sella turcica di os petrosus, dibawah sella turcica terdapat sinus
sphenoidalis.

3. Foto water‟s untuk melihat sinus frotalis, maxillaris, ethmoidalis dan


sphenoidalis bila dibuat dengan membuka mulut.

4. Foto Caldwel untuk memperlihatkan sinus frotalis, maxillaris, ethmoidalis


dengan baik.

5. Foto mastoid posisi Schuller dan Stensver‟s untuk melihat kelainan di mastoid
air cell dengan canalis acusticus internus serta osseculae di telinga tengah.

6. Foto Rheeze adalah proyeksi foto kepala untuk memperlihatkan foramen


orbitale

7. Foto Eisler, foto ini dapat memperlihatkan mandibula dengan lebih baik.

8. Panoramic merupakan pemeriksaan radiografi untuk memperlihatkan gigi-


geligi baik itu di maxillaris dan mandibularis secara menyeluruh, menilai
tulang mandibula lebih baik.

Proyeksi standar untuk foto kepala adalah AP dan lateral.

Proyeksi AP

Teknik pemeriksaan:
 Proyeksi ini dibuat dengan memposisikan pasien tidur di meja pemeriksaan
posisi supine, dengan tubuh berada tepat di tengah meja pemeriksaan.
 Kepala diposisikan AP dengan menempatkan MSP kepala tegak lurus pada
bidang film.
 Orbitomeatal line tegak lurus dengan bidang film.
 Kepala difiksasi dengan menggunakan spon atau sand bag untuk mencegah
perputaran atau pergerakan pada obyek kepala pasien.
 Luas kolimasi diatur sedemikian rupa sesuai dengan besar obyek hal ini untuk
proteksi radiasi terhadap pasien
 Menggunakan grid untuk menyerap radiasi hambur agar diperoleh hasil
gambaran yang lebih baik.
 Melindungi gonad pasien dengan apron gonad.

35
 Jika sudah siap seluruhnya dilakukan eksposi dengan factor eksposi yang
sudah disesuikan untuk pemotretan AP.

Kriteria gambar yang diperoleh :


 Seluruh kepala tampak pada proyeksi AP dengan batas atas vertex dan batas
bawah simphysis menti mandibula.
 Kepala dalam posisi simetris, jarak batas orbita dengan lingkar kepala sama
kiri dan kanan
 Tampak sinus frontalis, maxillaries, ethmoidalis dan crista gali
 Os frontalis tampak jelas.
 Marker R atau L tampak sebagai penanda kanan atau kiri

Proyeksi Lateral
Teknik pemeriksaan:
 Posisi pasien tidur semi prone diatas meja pemerikassan dengan MSP tubuh
tepat pada mid line meja pemeriksaan
 Kepala diposisikan true lateral dengan menempatkan MSP kepala sejajar pada
bidang film.
 Infra Orbito Meatal Line ( IOML ) sejajar dengan bidang film.
 Inter Puppilary line tegak lurus dengan bidang film
 Marker R atau L digunakan sebagai penanda obyek kiri atau kanan.
 Dilakukan fiksasi pada bagian kepala dengan menggunakan sand bag dan spon
untuk mencegah pergerakan kepala pasien.
 Luas kolimasi diatur sesuai kebutuhan sedemikian rupa sehingga proteksi
radiasi terhadap pasien terjamin.
 Gonad dilindungi dengan apron
 Digunakan grid untuk menyerap radiasi hambur agar gambar yang dihasilkan
lebih baik
 Apabila sudah siap seluruhnya dilakukan eksposi dengan fraktor eksposi yang
sudah disesuaikan dengan pemotretan untuk kepala lateral.

Kriteria gambar :
 Kepala atau cranium tampak secara keseluruhan dalam posisi lateral dengan
batas atas vertex, batas posterior tulang occipitalis batas depan soft tissue
hibung.
 Tampak sella tursica tidak berrotasi dan tampak overlapping
 Tampak ramus mandibula yang super posisi
 Tampak MAE yang superposisi
 Tergambar marker R atau L sebagai penanda kanan atau kiri pasien.

Expertise :

Merupakan laporan tertulis yang dibuat oleh dokter ahli radiologi terhadap
keadaan foto atau pemeriksaan radiologi yang memuat deskrepsi kelainan-
kelainan yang ada kemudain disimpulkan atau dibuat diagnosis.

36
Gambar 4.1 Tehnik pembuatan foto kepala posisi AP

Gambar 4.2 Tehnik pembuatan foto kepala posisi lateral

1. Crista Gali
2. Sphenoid Wing
3. Os Zygomaticus
4. Fissura orbitalis superior
5. Septum nasalis
6. Linea innominata dari fossa
temporalis
7. Margo superior os petrosus
8. Antrum maxillaris

Gambar 4.3 Foto x-ray kepala posisi AP

37
1. Sutura coronaria Gambar 4.4 Foto x-ray kepala posisi lateral
2. Vascular marking pembuluh
darah meningea
3. Batas aerior dari fossa media
4. Sutura lambdoibea
5. Dorsum sella
6. Clivus
7. Sinus lateralis
8. Sutura parietalis
9. Meatus acusticus externus

Metode Investigasi Dan Interpretasi Foto Kepala


Berbagai metode pemeriksaan radiologi kepala dapat dilakukan :
1. Plain foto :
- Proyeksi AP
- Proyeksi lateral
- Proyeksi Towne
- Foto Basis crania
- Foto sella khusus
- Posisi Water‟s
- Posisi Caldwell
- Posisi Eisler
- Posisi Rheese
- Nasal lateral
- Posisi Schuler
- Posisi Stensver‟s

38
2. CT Scan kepala
3. CT Scan angiografi kepala
4. Angiografi kepala
5. USG kepala pada bayi
6. MRI kepala
7. MR Angiografi kepala

Interpretasi Foto Kepala Posisi Ap Dan Lateral


I. DATA UMUM
Teliti nama, usia, jenis kelamin dan tanggal pemeriksaan. Hal ini sangat
penting karena beberapa penyakit sangat berhubungan dengan data ini.
Perhatikan keterangan klinis pasien karena sangat menentukan interpretasi
hasil foto kepala.

II. DATA TEKNIS


1. Perhatikan marker R atau L yang menunjukkan sisi kanan atau kiri
pasien, ini sangat penting apabila terjadi fracture atau perdarahan di
dalam sinus.
2. Foto kepala tidak terpotong. Batas atas vertex harus terlihat, batas bawah
simphysis menti mandibula harus terlihat, lateral kanan dan kiri serta
anterior dan posterior kepala tidak terpotong
3. Foto lateral harus dibuat true lateral ditandai dengan bentuk sella tursica
tidak oblique serta os sphenoid dan ramus mandibula kanan dan kiri
saling tumpang tindih atau over lapping
4. Foto AP harus simetris ditandai dengan orbita tampak simetris.

III. BAGIAN FOTO KEPALA YANG HARUS DIPERHATIKAN


1. Tabula interna dan externa serta medulla tampak normal rata tidak ada
lesi osteolytik atau osteoblastik
2. Tulang calvaria tidak ada fraktur, atau deformitas, tidak tampak tanda
peningkatan tekanan intracranial
Tanda peningkatan tekanan intracranial berupa sutura yang melebar pada
anak-anak yang belum menutup suturannya atau impresio digitatae
berupa area radiolusen di calvaria yang merupakan penekanan dari gyrus
yang terdesak
3. Orbita tampak simetris, tidak ada fraktur atau massa
4. Pada Foto AP Sinus frontalis, ethmoidalis dan maxillaris kanan dan kiri
normal, tampak radiolusen, bila radioopaque kemungkinan ada cairan
atau massa.
5. Os mandibula kanan dan kiri tampak simetris tidak ada fraktur atau
deformitas, tidak ada abses atau osteomyelitis.
6. Septum nasalis : perhatikan ada deviasi atau tidak
7. Pada foto lateral perhatikan sella tursica berbentuk cekungan dengan
prosessus clinoideus anterior dan processus clinoideus posterior, dan
tidak melebar
8. Vascular marking di daerah temporal berbentuk seperti kipas
9. Os nasalis perhatikan apakah ada fraktur
10. Calsificasi abnormal di kepala

39
Calsificasi intracranial yang normal terdapat di :
a. Pineal body
b. Habenula
c. Plexus choroideus
d. Duramater ( Falx cerebri, tentorium )
e. Ligementum ( petroclinoideus dan interclinoideus )
f. Granula paccioni
g. Basal ganglia dan nucleus dentatus
h. Glandulla pituitary
i. Lensa

PEMERIKSAAN FOTO TULANG BELAKANG

Pendahuluan
Tulang belakang ( vertebra ) merupakan bagian organ tubuh yang sangat penting,
Vertebra merupakan tulang penyangga tubuh yang didalamnya didapatkan
medulla spinalis yang mengeluarkan jaras-jaras syaraf yang menghantarkan syaraf
sensorik, motoris serta otonom keseluruh tubuh serta extremitas superior dan
inferior.

Untuk bisa membaca foto rontgen vertebra terlebih dahulu harus mempunyai
pengetahuan tentang anatomi normal dari vertebra.

Anatomi Vertebra
Secara anatomi vertebra dibedakan menjadi vertebra cervicalis 7 ruas, vertebra
thoracalis 12 ruas, vertebra lumbalis 5 ruas, vertebra sacralis 5 ruas yang menyatu
membentuk satu kesatuan dan coccygeus 3-4 ruas yang menjadi satu yang
semuanya saling berkaitan satu dengan yang lainya membentuk susunan yang
disebut collumna vertebralis

Masing-masing jenis vertebra mempunyai kekhususan misalnya pada vertebra


cervicalis 1 atau nama lainya atlas mempunyai corpus vertebra yang kecil
membentuk cincin melingkari vertebra cervicalis 2 dengan nama lain axis
membentuk sendi atlantoaxial. Sedangkan vertebra cervicalis 2 disebut atlas yang
mempunyai tonjolan yang bersendi dengan cervical 1 yang disebut prosesus dentis
atau dens epistropheus.

Setiap vertebra cervicalis mempunyai foramen transversalis yang berada di


prosesus transversus di sisi kiri dan kanan yang dilalui oleh arteri dan vena
vertebralis menuju ke cranium dan memberikan aliran darah ke otak . Di
posterior terdapat tonjolan yang disebut prosessus spinosus, prosesus spinosus
cervicalis 2 tampak lebih besar dibandingkan dengan yang lainya, sedangkan
prosesus spinosus cervical 3,4,5,6 relatif kecil dan bercabang, prosesus spinosus
cervicalis 7 tampak lebih panjang sehingga apabila seseorang sedang
menundukkan kepala prosesus spinosus cervical 7 dapat diraba. Vertebra
cervicalis mempunyai kurva lordosis.

40
Vertebra thoracalis sebanyak 12 ruas terdiri dari corpus vertebra yang relative
lebih besar dibandingkan dengan cervicalis, memiliki prosesus spinosus yang
cukup panjang dan mengarah ke inferior, pada vertebra thoracalis terdapat
prosesus asesorius dan prosesus costalis yang tidak dimiliki oleh vertebra yang
lain sebagai tempat persendian dengan costa mulai dari costa 1-12. Kurva vertebra
thoracalis adalah kiposis.

Vertebra lumbalis terdiri dari 5 ruas dengan corpus vertebra yang besar, prosesus
transversus dan spinosus yang lebih lebar dan pendek serta mendatar dengan
kurva normal lordosis.

Masing-masing corpus vertebra dihubungkan dengan discus intervertebralis yang


terdiri dari dari anulus fibrosus dan nucleus pulposus sehingga memungkinkan
untuk terjadinya pergerakan.

Vertebra sacralis terdiri dari 5 ruas yang saling bergabung satu dengan lain
membentuk seperti perisai dengan foramen sacralis di kanan dan kiri dengan
kurva kiposis.
Os Coccygeus atau tulang ekor merupakan bagian paling distal dari vertebra yang
berjumlah 3-4 ruas bersendi dengan os sacrum.

Columna vertebralis mempunyai canalis spinalis yang memanjang mulai dari


vertebra cervicalis sampai ke vertebra sacralis, didalamnya terdapat medulla
spinalis yang berakhir di conus medullaris setinggi vertebra lumbalis 1-2 yang
dilajutkan dengan cauda equina.

Jaras syaraf sensorik dan motorik berjumlah 31 pasang yang keluar dari medulla
spinalis melalui foramen intervertebralis yang berada di sisi lateral kanan dan kiri
.

Indikasi Pemeriksaan Foto pada tulang belakang


1. Trauma
Taruma pada vertebra dapat menyebabkan fraktur di corpus vertebra,
prosesus spinosus, prosesus articularis, prosesus transverses atau lamina
vertebralis.
Atau menyebabkan pergeseran vertebra ke lateral anterior atau ke posterior
yang disebut translasi.
Trauma pada vertebra ini dapat melibatkan medulla spinalis yang
menyebabkan infark medulla spinalis, perdarahan atau edema medulla spinalis
yang menyebabkan kelumpuhan pada anggota gerak.
2. Tumor primer atau metastasis
Walaupun jarang ditemukan tumor primer vertebra dapat dilihat dengan foto
polos AP dan lateral. Proses matastasis pada vertebra sering ditemukan apabila
ada keluhan nyeri di tulang belakang pada pasien yang sebelumnya ada
riwayat keganasan di tempat lain. Metastasis pada vertebra sering ditandai
dengan destruksi pada lamina atau pedicle

41
3. Kelainan bawaan
Kelainan bawaan pada vertebra berupa skoliosis, hemivertebra, butterfly
vertebra dan lain lain.
4. Infeksi pada vertebra
Infeksi vertebra disebut spondylitis yang disebabkan oleh bakteri pyogenik
atau tuberculosis. Kasus terbanyak spondylitis disebabkan oleh
Micobacterium Tuberculosis yang disebut dengan spondylitis tuberculosa
yang ditandai dengan adanya lesi osteolytik atau osteoblastik di corpus
vertebra yang sering disertai dengan destruksi corpus vertebra yang multiple
sehingga corpus vertebra terlihat lebih pendek dari normal sementara prosesus
spinosus masih normal terbentuk angulasi ke posterior yang disebut gibbus.
5. Proses degeneratif
Proses degeneratif ini sering dialami pasien dengan usia lanjut, sering
didapatkan tulang yang mengalami osteoporosis, degenerasi discus
intervertebralis, calsificasi di ligamentum longitudinalis anterior, lateral atau
posterior.
6. Nyeri pinggang

Jenis pemeriksaan radiologi pada tulang belakang


1. Foto polos vertebra cervicalis AP/Lateral
2. Foto polos vertebra thoracalis AP/Lateral
3. Foto polos vertebra lumbalis AP/Lateral/ oblique
4. Foto polos vertebra sacralis AP/Lateral
5. Foto polos lubosacralis AP/Lateral
6. Foto polos coccygeus AP/Lateral

Foto polos vertebra posisi AP


Secara umum foto vertebra posisi AP menunjukkan gambaran corpus vertebra
yang berbetuk segi empat, di kiri dan kanan terdapat gambaran radioopque oval
yang disebut pedikel, ditengah corpus vertebra terproyeksi prosesus spinosus
sedangkan di sisi kiri dan kanan vertebra tampak prosesus transversus. Antara
korpus vertebra satu dengan yang lainya dihubungkan oleh discus intervertebralis
yang radiolusen karena terdiri dari jaringan ikat.

Foto polos vertebra posisi lateral


Foto posisi lateral dapat memperlihatkan corpus vertebra di anterior, lamina dan
prosesus articularis di medial dan prosesus spinosus di posterior. Sehingga
apabila di tarik garis imaginer akan didapatkan 4 buah garis yang sejajar tidak
saling memotong.Discus intervertebralis tampak jelas pada posisi lateral ini.

Foto polos vertebra posisi Oblique


Foto posisi ini tidak rutine dilakukan, indikasi pemeriksaan ini apabila ada dugaan
fraktur pada prosesus artikularis. Secara imaginer gambaran radiologi pada posisi
oblique ini membentuk gambar seekor anjing kecil yang disebut “ Scoty dog sign
“, terutama bila terjadi fraktur prosesus articularis di vertebra lumbalis.

42
Foto polos vertebra sacralis
Pemeriksaan vertebra sacralis biasanya digabung dengan pemeriksaan vertebra
lumbalis sehingga pemeriksaanya disebut sebagai foto lumbo sacral AP dan
Lateral. Pada pemeriksaan tulang sacrum posisi anteroposterior tampak berbentuk
segitiga

dengan basisnya berada di atas puncaknya di bawah berbatasang dengan


coccygeus, sisi lateral kanan dan kiri membentuk sendi dengan os ilium yang
disebut sendi sacroiliaca. Pada posisi lateral tampak melengkung seperti perisai
sisi kanan dan kiri saling tumpang tindih.

Foto polos coccygeus AP dan Lateral


Pemeriksaan ini membutuhkan tehnik tertentu karena tulang coccygeus yang kecil
maka dibutuhkan faktor ekspos yang lebih kecil bila dibandingkan dengan
vertebra yang lainya. Pemeriksaan ini juga sering bergabung dengan lumbosacral
AP dan Lateral apabila klinisnya diduga ada fracture di os coccygeus akibat jatuh
terduduk.

Gambar 4.5. Vertebra cervicalis posisi Lateral

Gambar 4.6. Vertebra Cervicalis posisi AP

43
Gambar 4.7. Foto vertebra thoracalis posisi AP dan Lateral

Gambar 4.8. Vertebra lumbosacral AP dan lateral

Gambar 4.9 Vertebra lumbalis posisi oblique

44
Gambar 4.10 Vertebra sacralis AP dan lateral

Gambar 4.11 Os coccygeus

Imaging lain untuk tulang belakang :


1. CT Scan vertebra
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan gambar vertebra dengan lebih jelas dan
detail terutama bila terdapat fraktur tetapi tidak dapat memperlihatkan jaringan
lunak disekitar vertebra dengan baik.
2. Myelografi
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan invasive yaitu dengan memasukkan
bahan kontras ke dalam ruang subarachnoid kemudian di foto, pemeriksaan ini
dapat meperlihatkan kelainan pada syaraf perifer, medulla spinalis secara tak
langsung dan ruang subarchnoid.
3. CT Myelografi
Pemeriksaan ini merupakan gabungan dari pemeriksaan myelografi dan CT
scan vertebra
Mula-mula pemeriksaan myelografi dilakukan kemudian pasien di dorong ke
ruang CT scan untuk dilakukan pemeriksaan CT myelografi
4. MRI
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan canggih yang menggunakan medan
magnet berkekuatan tinggi, dapat dengan baik memperlihatkan jaringan lunak
vertebra, medulla spinalis serta struktur sekitarnya.
5. USG tulang belakang
Tehnik pemeriksaan ini biasanya di pakai untuk melihat kelainan vertebra
pada anak-anak. Hasil pemeriksaan usg tulang belakang ini sangat tergantung
pada alat usg yang digunakan serta keterampilan pemeriksanya.

45
Expertise
Merupakan laporan tertulis yang dibuat oleh dokter ahli radiologi terhadap
keadaan foto atau pemeriksaan radiologi yang memuat diskripsi kelainan-kelainan
yang ada kemudian disimpulkan atau dibuat diagnosis.

Interpretasi Foto Vertebra Lumbosacralis Posisi Ap Dan Lateral


I. DATA UMUM
Teliti nama, usia, jenis kelamin dan tanggal pemeriksaan. Hal ini sangat
penting karena beberapa penyakit sangat berhubungan dengan data ini.
Perhatikan keterangan klinis pasien karena sangat menentukan interpretasi
hasil foto kepala.
II. DATA TEKNIS
1. Perhatikan marker R atau L yang menunjukkan sisi kanan atau kiri
pasien, ini sangat penting apabila terjadi fraktur di prosesus transversus.
2. Foto lumbosacral tidak terpotong. Batas atas foto corpus vertebra
thoracalis 12 harus terlihat, batas bawah os sacrum harus terlihat, batas
lateral iliaca wing kanan dan kiri terlihat.
3. Foto lateral harus dibuat true lateral ditandai dengan caput femuris
kanan dan kiri saling tumpang tindih atau over lapping, corpus vertebra
di anterior tidak terpotong, os sacrum terlihat jelas dan tidak terpotong.
4. Pada foto AP tidak ada rotasi ditandai prosesus spinosus berada
ditengah foto.

III. BAGIAN FOTO LUMBOSCRAL YANG HARUS DIPERHATIKAN


1. Alignment tulang harus normal. Alignment tulang adalah susunan
tulang vertebra satu dengan yang lainya berada dalam posisi yang benar
tidak terjadi pergeseran.
2. Corpus vertebra tampak beropasitas normal tidak mengalami
osteoporosis, tidak terdapat osteolytik atau osteoblastik. Bila corpus
vertebra beropasitas lebih radiolocen dari yang normal pada seluruh
corpus secara merata dengan tepi corpus vertebra yang lebih
radioopaque biasanya mengalami osteoporosis, tetapi apabila
ditemukan gambaran radiolusec pada corpus vertebra pada sebagian
corpus vertebra maka disebut osteolytik. Sedangkan osteoblastik
merupakan kelainan corpus vertebra dengan opasitas yang lebih tinggi
sering didapatkan pada proses metastasis atau proses infeksi yang lama.
Pada kasus trauma sering didapatkan fraktur kompresi di corpus
vertebra.
3. Pedikel kanan dan kiri harus tampak dan simetris. Apabila pedikel tidak
tampak disalah satu sisinya dapat diduga adanya proses metastasis dari
penyakit keganasan di tempat lain.
4. Prosesus spinosus berada di tengah pada foto AP dan di posterior pada
foto lateral. Perhatikan apakah ada fraktur atau terpasang internal fixasi
pada pasien yang telah dilakukan operasi stabilisasi vertebra.
5. Discus intervertebralis adalah bagian yang radiolusen diantara corpus
vertebra lumbalis. Pada pasien dengan usia lanjut discus intervertebralis
ini sering mengalami proses degenerative berupa perubahan nucleus
pulposus menjadi cair dan membentuk dan yang lebih radiolusen yang

46
disebut “ vacum phenomen”. Normal discus intervertebralis harus
sejajar satu dengan lainnya, tidak ada yang menyempit atau melebar.
6. Prosesus spinosus tidak terdapat fracture atau kelainan bawaan
misalnya spina bifida atau prosesus spinosus bercabang karena terjadi
kegagalan menyatu saat masih janin.
7. Prosesus tranversus kanan dan kiri sejajar dan normal berbentuk seperti
kapak pendek, pastikan tidak ada fracture.
8. Os Sacrum pada foto AP berbentuk segitiga dengan sisi kanan dan kiri
berbatasan dengan os ilium membentuk sendi sacroiliaca, pada posisi
lateral pastikan tidak ada fracture.
9. Kurva normal lumbosacral adalah lordosis. Pada keadaan tertentu
misalnya nyeri pinggang karean spasme otot sering didapatkan kurva
yang melurus. Apabila kurva berubah menjadi kiposis perhatikan
apakah ada fracture kompresi atau terdapat destruksis corpus vertebra.
10. Soft tissue di paravertebra. Disisi kiri dan kanan vertebra kadang-
kadang didapatkan abses di daerah musculus psoas yang memberikan
gambaran radioopaque di kiri dan kanan vertebra lumbalis akibat
adanya spondylitis tuberculosa.

47
REFERENSI

1. Meschan I:Radiology of the Head in Roentgen Signs in Diagnostic


Imaging.vol.3,2nd ed.W.B Saunders Company. Philadelphia.1985; p 70
2. Sutton D: The Skull in Textbook of Radiology and medical Imaging, vol 2. 7th
ed. Churchill Livingstone. London. 2003; p 1617 – 1613
3. Paul B, Adam W, Harold E:The Skull and Brain in Applied Radiological
Anatomy for Medical Student. First ed. Cambrige University Press. 2007;p
64-70
4. Evan W, Bran B, Belinda Sher, Adel M, Bernhard HJ: Human Osteology and
Skeletal Radiology An Atlas and Guide, First ed. CRC Press. 2005;p 142-217

48
CHECKLIST: PEMERIKSAAN FOTO KEPALA

Skor
No Aspek yang dinilai
0 1 2
I Data Umum, Teliti :
1. Nama
2. Usia
3. Jenis Kelamin
4. Tanggal pemeriksaan
II. Data Teknis mencakup
1. Perhatikan marker R atau L yang menunjukkan sisi kanan
atau kiri pasien
2. Foto kepala tidak terpotong. Batas atas vertex harus
terlihat, batas bawah simphysis menti mandibula harus
terlihat, lateral kanan dan kiri serta anterior dan posterior
kepala tidak terpotong
3. Foto lateral harus dibuat true lateral ditandai dengan
bentuk sella tursica tidak oblique serta os sphenoid dan
ramus mandibula kanan dan kiri saling tumpang tindih
atau over lapping
4. Foto AP harus simetris ditandai dengan orbita tampak
simetris
III. Memperhatikan bagian Foto
1. Tabula interna dan externa serta medulla tampak normal
rata tidak ada lesi osteolytik atau osteoblastik
2. Tulang calvaria tidak ada fraktur, atau deformitas, tidak
tampak tanda peningkatan tekanan intracranial
3. Orbita tampak simetris, tidak ada fraktur atau massa
4. Pada Foto AP Sinus frontalis, ethmoidalis dan maxillaris
kanan dan kiri normal, tampak radiolusen, bila
radioopaque kemungkinan ada cairan atau massa.
5. Os mandibula kanan dan kiri tampak simetris tidak ada
fraktur atau deformitas, tidak ada abses atau osteomyelitis.
6. Septum nasalis : perhatikan ada deviasi atau tidak
7. Pada foto lateral perhatikan sella tursica berbentuk
cekungan dengan prosessus clinoideus anterior dan
processus clinoideus posterior, dan tidak melebar
8. Vascular marking di daerah temporal berbentuk seperti
kipas
9. Os nasalis perhatikan apakah ada fraktur
10. KalsifiKasi abnormal di kepala
IV. Menyimpulkan hasil : Normal / Tidak
Keterangan
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan tetapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna
Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/38x100%= ….%
Banda Aceh, ……2017

Instruktur

49
CHECKLIST: PEMERIKSAAN FOTO TULANG BELAKANG :
LUMBOSAKRAL

Skor
No Aspek yang dinilai
0 1 2
I Data Umum, Teliti :
1. Nama
2. Usia
3. Jenis Kelamin
4. Tanggal pemeriksaan
II. Data Teknis mencakup
1. Perhatikan marker R atau L yang menunjukkan sisi kanan
atau kiri pasien
2. Foto lumbosacral tidak terpotong. Batas atas foto corpus
vertebra thoracalis 12 harus terlihat, batas bawah os
sacrum harus terlihat, batas lateral iliaca wing kanan dan
kiri terlihat.
3. Foto lateral harus dibuat true lateral ditandai dengan caput
femuris kanan dan kiri saling tumpang tindih atau over
lapping, corpus vertebra di anterior tidak terpotong, os
sacrum terlihat jelas dan tidak terpotong.
4. Prosesus spinosus berada di tengah pada foto AP dan di
posterior pada foto lateral.
III. Memperhatikan bagian Foto
1. Alignment tulang harus normal.
2. Corpus vertebra tampak beropasitas normal tidak
mengalami osteoporosis, tidak terdapat osteolytik atau
osteoblastik, Tidak terdapat fraktur.
3. Perhatikan pedikel kanan dan kiri harus tampak dan
simetris
4. Perhatikan prosesus spinosus berada di tengah pada foto
AP dan di posterior pada foto lateral.Perhatikan
5. Perhatikan discus intervertebralis tampak sejajar, apakah
ada penyempitan atau pelebaran.
6. Perhatikan prosesus tranversus kanan dan kiri sejajar dan
normal berbentuk seperti kapak pendek, pastikan tidak ada
fracture.
7. Perhatikan os Sacrum pada foto AP berbentuk segitiga ,
pada posisi lateral bentuk seperti perisai : fracture ada /
tidak
8. Perhatikan Kurva vertebra lumbosacral
9. Perhatikan soft tissue di paravertebra: abses paravertebra
ada/tidak
IV. Menyimpulkan hasil : Normal / Tidak

50
Keterangan
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan tetapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna
Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/36x100%=…..%

Banda Aceh, …..2017

Instruktur

51
V. PEMERIKSAAN FOTO EKSTREMITAS

dr. Masna Dewi Abdullah, SpRad


Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUDZA

Tujuan belajar:
1. Mahasiswa mampu membuat permintaan foto ekstremitas
2. Mahasiswa mampu mengenali foto ekstremitas layak baca atau tidak
3. Mahasiswa mampu membaca foto ekstremitas normal
4. Mahasiswa mampu membaca foto ekstremitas abnormal

Prior Knowledge:
Sebelum mempelajari keterampilan ini, mahasiswa harus menguasai:
1. Anatomi ekstremitas
2. Kelainan (abnormality) pada ekstremitas

Pendahuluan
Pada pemeriksaan x-ray ekstremitas dapat memberikan informasi tentang :
1. Lesi tulang dan jaringan lunak sekitarnya
2. Adanya fracture
3. Asal / Sifat suatu lesi ( jinak/ganas)
4. Sebagai guide utk biopsy
5. Follow up perjalanan penyakit

Pemeriksaan radiologik x-ray konventional masih memegang peranan utama.


Pemeriksaan radiologi merupakan kunci diagnosis dari berbagai kelainan skeletal.
Data berupa umur, jenis kelamin, gejala, riwayat penyakit merupakan hal yang
penting dalam menginterpretasikan hasil pencitraan. Untuk mencapai hal tersebut,
diperlukan pemahaman pencitraan baik secara normal maupun yang tidak normal
(patologis, cedera )

Foto rontgen biasanya bisa menunjukkan adanya fraktur. Kadang perlu dilakukan
CT scan atau MRI untuk bisa melihat dengan lebih jelas daerah yang mengalami
kerusakan. Jika tulang mulai membaik foto rontgen juga dapat digunakan untuk
memantau penyembuhan.

Bila secara klinis ada atau diduga ada fraktur, harus dibuat 2 foto tulang yang
bersangkutan ( rule of two ), yakni
1. Two view : proyeksi anteroposterior ( AP ) dan lateral pada tulang panjang
atau proyeksi anteroposterior ( AP ) dan obliq pada manus dan pedis. Perlu
diingat bahwa bila hanya satu proyeksi yang dibuat, ada kemungkinan fraktur
tidak dapat dilihat, dan adakalanya diperlukan proyeksi khusus.
2. Two joint : gambaran yang diperoleh harus memuat dua sendi di proksimal
dan distal fraktur
3. Two extremities : khusus pada anak dibuat gambaran foto dua ekstremitas
yaitu ektremitas yang terkena cedera dan yang tidak terkena cedera
4. Two time : sebelum dan sesudah tindakan

52
Intepretasi Foto X-Ray Pada Kasus Fraktur
Untuk membaca foto rontgen ekstremitas maka terlebih dahulu harus mempunyai
pengetahuan tentang anatomi dari tulang .

Tulang panjang terbagi menjadi 3 bagian :


1. 1/3 proksimal
2. 1/3 tengah
3. 1/3 distal

Pada kasus fraktur hal yang perlu diperhatikan :


 Fracture line (bentuk garis patahan) : transversal, obliq, segmental, avulsi,
dan bentuk-bantuk patahan lainnya.
 Luas fraktur : fraktur inkomplit jika meliputi hanya sebagian retakan pada
sebelah sisi tulang. Fraktur komplit jika garis fraktur menyilang atau
memotong seluruh tulang.
 Relationship (hubungan): bergeser atau tidak. Kalau bergeser disebut
displaced, kalau tidak bergeser disebut non displaced.

Interpretasi Foto Extremitas Posisi Ap Dan Lateral

DATA UMUM
Teliti nama, usia, jenis kelamin dan tanggal pemeriksaan.
Perhatikan keterangan klinis, karena sangat menentukan interpretasi dari foto.

DATA TEKNIS
1. Perhatikan marker R dan L yang menunjukkan ekstremitas kanan atau kiri.
2. Apakah faktor expose sudah tepat? Overexposed menyebabkan kondisi
ekstremitas menjadi hyperradioopaque sehingga menyulitkan evaluasi soft
tissue sedangkan pada kondisi underexposed menyebabkan kondisi film
menjadi kehitaman sehingga kesulitan mengevalusi pada tulang (hard
tissue).
3. Gambaran yang diperoleh harus memuat dua sendi di proksimal dan distal
fraktur.

BAGIAN BAGIAN FOTO YANG HARUS DIPERHATIKAN


1. Alignment : menilai kesegarisan antara tulang satu dengan yang lain pada
persendian, kesegarisan yang dilihat tidak semata pada tulang tetapi pada
gambaran ekstremitas secara menyeluruh. Alignment tidak dianggap sebagai
garis lurus semata melainkan memperhatikan kontur ekstremitas yang dinilai
seperti foto femur dari proyeksi lateral memiliki kelengkungan tertentu dan
tidak merupakan garis lurus. Maka alignment pada femur adalah kesegarisan
femur berserta konturnya. Perubahan alignment dalam klinis dikenal sebagai
deformitas. Sehingga pada pasien dengan deformitas abnormal secara klinis,
maka gambaran radiologinya juga akan memperlihatkan perubahan alignment.

53
A B
. 5.1 Foto Femur (A) alignment baik, (B)
Gambar . Malalignment

2. Bone (tulang)
Gambaran tulang pada foto ekstremitas selalu memperlihatkan radiopaque
dan bila diperhatikan maka radiopaque pada tulang tidak tersebar rata
tergantung dari kepadatan tulang makin padat tulang maka makin opak
gambarannya. Tepi tulang (kortek) yang keras dan padat di pinggiran tulang
terlihat lebih putih, sementara bagian tengah atau medulla lebih lucen atau
agak kehitaman. Evaluasi pada tulang meliputi penusuran dari proksimal ke
distal untuk mencari adanya diskotinuitas (terputusnya) jaringan tulang yang
merupakan gambaran fraktur atau pun adanya defek pada tulang yang
mengambarkan adanya proses lain dapat berupa neoplasma, infeksi dan lain
lain.

Gambaran kalus sering ditemukan pada foto radiologi terutama pada kasus
lama, kalus terdiri dari hard kalus dan soft kalus. Hard kalus mulai terlihat
pada minggu ke 4 sedangkan soft kalus yang dilihat berupa lintas trabekulasi
digaris fraktur terlihat pada awal minggu ke 2
3. Cartilage
Cartilage pada tulang berada di ujung distal atau proksimal yang selalu
berhadapan dengan sendi. Evaluasi pada cartilage meliputi pencarian
diskontinuitas cartilage dan adanya defek cartilage serta permukaan sendi.
Adanya diskontinuitas menandakan fraktur, adanya defek menandakan
kemungkinan neoplasma, degenaratif dan infeksi. Adanya perubahan
permukaan sendi mengambarkan proses fraktur intra artikuler, fraktur lama
atau degeneratif.
4. Soft tissue
Evaluasi pada soft tissue meliputi bagian proksimal, distal medial dan lateral
dari tulang. Pada soft tissue normal tampak gambaran radiolusen yang merata
sesuai alur tulang, sedangkan pada soft tissue yang tidak normal meliputi
swelling (pembengkakan) atau massa, gambaran ireguler dari soft tissue
menandakan kerusakan kulit dari jaringan lunak, sedangkan adanya gambaran

54
radiolusen di soft tissue menandakan adanya udara di jaringan lunak yang
sering dikaitan dengan gas ganggren dan emfisema.

KESIMPULAN :
Berdasarkan temuan pada Alignment, Bone, Cartilage dan Soft tissue ( ABCS ).

55
REFERENSI

1. Greenspan, Adam : Orthopedic Imaging, A. Practical Approach, 4th Edition,


Lippincot Williams & Wilkins, 2004
2. Meschan I : Rontgen Sign in Diagnostic Imaging, Volume 2, 1987
3. Torsten B Moeller, Pocket Atlats of Radiographic Positioning, 2nd edition,
Thieme, 2009

56
CHECKLIST :PEMERIKSAAN FOTO EKSTREMITAS

Skor
No Aspek yang dinilai
0 1 2
I Data umum, teliti :
1. Nama
2. Usia
3. Jenis kelamin
4. Tanggal pemeriksaan
II Data teknis mencakup
1. Marker L dan R sebagai pertanda kiri atau kanan
2. Ketepatan tehnik Pengambilan meliputi proyeksi
AP, Lat, Oblique,
tampak 2 sendi proksimal dan distal tidak ada
bagian yang terpotong .
3. Kondisi foto : dapat membedakan tulang dengan
jaringan lunak
III Memperhatikan bagian foto
1. Alignment (kesegarisan) menilai gambaran
perubahan ekstremitas dari kesegarisan sesuai
keadaan normalnya. Perubahan Alignment yang
terlihat difoto secara klinis dikenal dengan
deformitas
2. Bone (tulang), memperhatikan kontinuitas dan
defek tulang dari mulai kortex proksimal ke distal
dilanjutkan medulla mulai dari proksimal ke distal
Perhatikan adanya kemungkinan gambaran kalus
(pada fraktur lama) atau gambaran lintasan
trabekulasi yang menandakan adanya soft kalus
3. Cartilage (Tulang rawan) perhatikan perubahan
yang terjadi pada tulang rawan yang terdapat
diproksimal dan distal ekstremitas tersebut berupa
kontinuitas tulang dan defect yang mungkin di
temukan
4. Soft tissue atau jaringan lunak diperhatikan dari
proksimal ke distal melihat apakah ada oedema atau
tidak, selanjutnya apakah ada gambaran gas
(bayangan radiolucent) atau kalsifikasi (gambaran
radioopague) pada soft tissue dan sebagainya.
5. Buat kesimpulan akhir berdasarkan temuan pada
alignment, bone, cartilage dan soft tissue (ABCS)
IV Memberikan informasi hasil pemeriksaan dan follow
up lebih lanjut.
Keterangan :
0 : Tidak melakukan
1 : Dilakukan tapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna
Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total//26x100%= ....%
Banda Aceh,…..2017
Instruktu

57
VI. PEMERIKSAAN MENINGEAL SIGN DAN LOWBACK
PAIN

Dr.dr. Dessy R Emril, SpS (K)


Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUDZA

Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu melakukan Meningeal Sign
2. Mahasiswa mampu menginterpretasikan hasil pemeriksaan Meningeal Sign
3. Mahasiswa mampu melakukan dan menginterpretasikan pemeriksaan tes
motorik dan pemeriksaan neurologis pada kasus low back pain

PEMRIKSAAN MENINGEAL SIGN


Meningeal signs muncul karena tertariknya radiks radiks saraf tepi yang
menjadi hipersensitif karena perangsangan infeksi (meningitis), zat kimia (bahan
kontras), darah (perdarahan subarakhnoid), ataupun invasi neoplasma.Meskipun
meningeal signs spesifik untuk meningitis , meningeal signs memiliki sensitifitas
rendah, hanya 30% pasien meningitis yang menunjukkan kaku kuduk dan hanya
5% yang menunjukkan Kernig sign dan Brudzinski sign. Adanya meningeal signs
tanpa disertai proses patologis pada meninges disebut meningismus, keadaan ini
dapat ditemukan pada migren, tension headache, proses radang di dekat meninges
(misalnya mastoiditis) atau di luar tengkorak (sepsis).

A. Kaku Kuduk
Sebelum dilakukan fleksi leher, maka terlebih dahulu dilakukan fleksi lateral.
Hal ini menunjukkan kekakuan leher akibat proses lokal di leher, seperti
fraktur leher, infeksi paraspinal, dan arthritis akut pada leher. Pada proses
lokal biasanya fleksi lateral akan tertahan karena nyeri yang timbul,
sebaliknya pada meningitis fleksi lateral masih mudah dilakukan, tetapi fleksi
leher mengalami tahanan karena nyeri yang timbul.

Gambar 6.1. Pemeriksaan kaku kuduk

B. Tanda Brudzinski I (tanda leher menurut Brudzinski/ Brudzinski‟s neck sign).


Bila pada waktu fleksi leher diikuti fleksi involunter pada kedua lutut

Gambar 6.2 Pemeriksaan Brudzinksi I

58
C. Tanda Kernig
Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya
pada persendian panggul sampai membuat sudut 900. Setelah itu, tungkai
bawah diekstensikan pada persendian lutut.Orang normal dapat melakukan
ekstensi ini sampai sudut 1350 antara tungkai bawah dan tungkai di atasnya.
Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut ini, maka
dikatakan tanda Kernig positif. Pada meningitis biasanya Kernig sign
ditemukan pada kedua tungkai, sedangkan pada HNP lumbal Kernig sign
unilateral.

Gambar 6.3 Pemeriksaan tanda Kernig

D. Tanda Brudzinski II (Brudzinski’s contralateral leg sign)


Pada pasien yang sedang berbaring, satu tungkai difleksikan pada persendian
panggul, sedang tungkai yang lain berada dalam keadaan ekstensi (lurus).
Bila tungkai yang ekstensi ikut pula terfleksi, maka disebut tanda Brudzinski
II positif.

Selain meningeal signs diatas, Lasegue sign juga dapat menunjukkan adanya
meningitis. Biasanya Lasegue digunakan pada pemeriksaan Hernia Nucleosus
Pulposus (HNP). Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien dengan kondisi berbaring
dengan kedua kaki ekstensi. Kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan
(fleksi) pada sendi panggulnya.Tungkai yang satu lagiharus selalu berada dalam
keadaan lurus. Pada keadaan normal,tungkai dapat mencapai sudut 700, sebelum
timbul rasa sakit atau tahanan. Lasegue sign jika terdapat tahanan/nyeri sebelum
mencapai sudut 700, biasanya pada kondisi HNP, meningitis, iskhialgia.

Gambar 6.4. Pemeriksaan Tanda Lasegue


Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter
(lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan
mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial. Saluran nafas
merupakan port d’entree utama pada penularan penyakit ini. Bakteri-bakteri ini
disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi-

59
sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah) ke
dalam cairan serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya sehingga
menimbulkan peradangan pada selaput otak dan otak.

Tanda-tanda perangsangan selaput otak:


1. Kaku kuduk
Pastikan bahwa penderita tidak ada cedera servikal kemudian letakkan tangan
kiri dibawah kepala pasien. Menggoyangkan kepala pasien ke kanan dan ke
kiri. Memfleksikan maksimal kepala ke anterior, sampai dagu menyentuh dada.
Hasil positif apabila dagu tidak dapat menyentuh dada.
2. Brudzinski‟s sign
a. Neck sign
Memfleksikan kepala secara pasif hingga dagu menyentuh sternum. Hasil
positif bila gerakan fleksi pasif tersebut disusul dengan gerakan fleksi
reflektoris di sendi lutut dan panggul kedua tungkai.

b. Leg sign
Penderita terlentang dan dilakukan fleksi pasif pada salah satu panggul .
Hasil positif jika tungkai kontralateral timbul fleksi reflektoris di sendi lutut
dan sendi panggul
c. Cheek sign
Penekanan pada pipi kedua sisi tepat dibawah os zigomatikum akan disusul
gerakan fleksi reflektoris keatas sejenak dari kedua lengan
d. Symphisis sign
Penekanan pada simfisis pubis akan disusul dengan timbulnya gerakan fleksi
reflektoris pada kedua tungkai di sendi lutut dan panggul. Syarat dilakukan
tes ini adalah kandung kemih kosong dan tidak ada fraktur pada os.coxae
3. Kernig‟ sign
Penderita terlentang, pemeriksa menekuk tungkai atas penderita sehingga paha
penderita tegak lurus terhadap tubuh kemudian tungkai bawah penderita
diluruskan di sendi lutut. Gerakan ini akan mendapat tahanan dan sekaligus
membangkitkan nyeri pada otot biseps femoris. Hasil positif apabila ekstensi
lutut tidak mencapai 135°oleh karena nyeri dan spasme otot paha sedangkan
tungkai sisi kontralateral fleksi di lutut dan panggul secara reflektoris.

PEMERIKSAAN LOW BACK PAIN

Low back pain (LBP) / nyeri punggung bawah merupakan keluhan yang cukup
sering muncul di pelayanan kesehatan. Low back pain disebabkan oleh berbagai
hal. Sebab terbanyak kasus low back pain meliputi trauma muskuloskeletal,
penyakit degeneratif, hernia nukleus pulposus (HNP), dan stenosis spinalis.
Penyebab lain yang dapat mengakibatkan low back pain yaitu keganasan, infeksi
tulang belakang, spondilitis dan nyeri alih dari organ-organ viseral. Penegakan
diagnosis pada kasus LBP memerlukan pemeriksaan yang sistematis. Anamnesis
dan pemeriksaan fisik merupakan langkah awal yang sangat menentukan ketepatan
penegakan diagnosis pada pasien LBP.

60
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan fisik untuk menegakkan
diagnosis LBP antara lain :
1. Inspeksi tulang belakang : mengamati ada/tidaknya ketidaknormalan
kurvatura vertebrae.
2. Observasi cara berjalan pasien : diamati pada saat berjalan
3. Observasi posisi duduk pasien
4. Palpasi / perkusi vertebra
5. Range of motion

Setelah melakukan beberapa pemeriksaan fisik diatas, dapat dilakukan beberapa tes
yang dapat membantu mengarahkan diagnosis nyeri punggung bawah:
1. Tes Patrick
Penderita posisi terlentang, tumit atau maleolus externus tungkai yang sakit
diletakkan diatas lutut tungkai yang lain ( fleksi, abduki, eksorotasi) kemudian
dilakukan penekanan pada lutut yang difleksikan tersebut. Hasil positif apabila
nyeri pada sendi panggul yang terkena penyakit

Gambar 6.5. Tes Patrick

2. Tes Kontra Patrick


Penderita terlentang, tungkai yang sakit dilipat, endorotasi dan adduksi
kemudian dilakukan penekanan pada lutut tungkai tersebut sejenak. Hasil
positif apabila nyeri pada sendi sacroiliaka.

Gambar 6.6 Tes Kontra Patrick


3. Tes Laseque
Angkat tungkai pasien dalam keadaan lurus. Untuk menjamin lurusnya tungkai
maka tangan si pemeriksa yang satu mengangkat tungkai dengan memegang
pada tumit pasien, sedangkan tangan lain pemeriksa memegang serta menekan
pada lutut pasien. Fleksi pasif tungkai dalam keadaan lurus di sendi panggul

61
menimbulkan peregangan nervus ischiadikus. Apabila salah satu radiks yang
menyusun nervus ischiadikus mengalami penekanan, pembentangan dan
sebagainya karena HNP atau tumor kanalis vertebralis maka tes laseque
membangkitkan nyeri yang berpangkal pada radiks yang terkena dan menjalar
sepanjang perjalanan perifer ischiadikus.

Gambar 6.7 Tes Laseque

62
REFERENSI

1. Bahan Kuliah Sistem Neuropsikiatry, Fakultas Kedokteran Universitas


Hasanuddin, Makassar, 2004.
2. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Penerbit Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 2007.
3. Lumbantobing S, Neurologi Klinik, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2007.
4. Mahar Marjono, Neurologi Klinis Dasar, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta,
2008.
5. Borenstein, D.G., S.W. Wiesel, and S.D. Boden., 1995, Low Back Pain:
Medical Diagnosis and Comprehensive Management, W.B. Saunders Co.,
Philadelphia.
6. Fairbank, J.C., J. Couper, J.B. Davies, and J.P. O‟Brien., 1980, The
Owestry Low Back Pain Disability Questionnaire. Physiotherapy Journal
66:271 – 273.
7. Hall, H., 1992, A Simple approach to Back Pain Management, Patient
Care 15:77–91.
8. Magge, D.J., 2000, Orthopedic Physical Assessment, Edisi 4, W.B.
Saunders Co., Philadelphia.

63
CHECKLIST :PEMERIKSAAN MENINGEAL SIGNS DAN
LOW BACK PAIN

Skor
No Aspek yang dinilai
0 1 2
I. Persiapan :
a. Memberi salam dan memperkenalkan diri kepada
pasien/keluarga
b. Memberi penjelasan dengan benar, jelas dan
lengkap tentang prosedur dan tujuan pemeriksaan
c. Meminta izin kepada pasien/keluarganya dan
mencuci tangan
II PEMERIKSAAN MENINGEAL SIGN
a. Kaku kuduk dan Brudzinksi I
- Memposisikan pasien dalam keadaan
berbaring terlentang
- Menempatkan tangan kanan pemeriksa di
dada pasien untuk mencegah terangkatnya
badan
- Kepala pasien difleksikan sampai dagu
mencapai dada, dengan menggunakan tangan
kiri
- Kaku kuduk jika ada tahanan pada leher saat
fleksi
- Brudzinski I jika timbul fleksi involunter pada
kedua tungkai
b. Kernig Sign
- Memposisikan pasien dalam keadaan
berbaring terlentang
- Memposisikan tungkai bawah pasien dalam
keadaan fleksi pada sendi panggul dan lutut
- Mengekstensikan tungkai bawah kanan pada
persendian lutut sampai kira-kira
sudut1350sambil menanyakan ada tidaknya
nyeri pada pasien
-
Kernig sign jika adanya nyeri dan tahanan
saat ekstensi sebelum mencapai sudut 1350
c. Brudzinski II
- Memposisikan pasien dalam keadaan
berbaring terlentang
- Memposisikan tungkai bawah pasien dalam
keadaan fleksi pada sendi panggul dan lutut
- Brudzinski II jika ada fleksi pada sendi lutut
kontralateral
Memberikan informasi hasil pemeriksaan dan
follow up lebih lanjut

II PEMERIKSAAN LOW BACK PAIN


a. Inspeksi tulang belakang: mengamati

64
ada/tidaknya ketidaknormalan kurvatura vertebre
b. Observasi cara berjalan pasien : diamati pada saat
berjalan
c. Observasi posisi duduk pasien
d. Palpasi / perkusi vertebra
e. Pemeriksaan range of motion, tanyakan keluhan:
 Saat fleksi/membungkuk ke depan
 Ekstensi tubuh ke belakang
 Rotasi pinggang ke kiri dan ke kanan
f. Meminta penderita berbaring
g. MelakukanTes Laseque
- Angkat tungkai pasien dalam keadaan lurus.
- Tangan si pemeriksa yang satu mengangkat
tungkai dengan memegang pada tumit pasien,
sedangkan tangan yang lain memegang serta
menekan pada lutut pasien
- Tes laseque membangkitkan nyeri yang
berpangkal pada radiks yang terkena dan
menjalar sepanjang perjalanan perifer
ischiadikus
h. Melakukan Tes Patrick
- Penderita posisi terlentang, tumit atau
maleolus externus tungkai yang sakit
diletakkan diatas lutut tungkai yang lain
(fleksi, abduksi, eksorotasi) kemudian
dilakukan penekanan pada lutut yang
difleksikan tersebut.
- Hasil positif apabila nyeri pada sendi
panggul yang terkena penyakit
i. MelakukanTes Kontrapatrick
- Penderita terlentang, tungkai yang sakit
dilipat, endorotasi dan adduksi kemudian
dilakukan penekanan pada lutut tungkai
tersebut sejenak
- Hasil positif apabila nyeri pada sendi
sacroiliaka.
Memberikan informasi hasil pemeriksaan dan
follow up lebih lanjut

Keterangan :
0 : Tidak melakukan
1 : Dilakukan tapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna

Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/52x100%=… %

Banda Aceh……..2017

Instruktur

65
VII. SIRKUMSISI

dr. Jufriady Ismy, SpU1


dr. Reza Maulana, M.Si2
1. Bagian Ilmu Bedah Divisi Urologi, 2. Bagian Anatomi Histologi
Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUDZA

Tujuan belajar :
Mahasiswa mampu melakukan tindakan sirkumsisi secara sistematis dan benar

Prior Knowledge:
- Anatomi genetalia laki-laki
- Fisiologi genetalia laki-laki
- Ketrampilan anamnesis dan pemeriksaan genetalia laki-laki
- Ketrampilan teknik anestesi lokal
- Ketrampilan penggunaan instrumen bedah minor, wound care dan wound
closure
-

Pendahuluan

Definisi :
Sirkumsisi (khitan, sunat) adalah suatu tindakan bedah membuang sebagian atau
seluruh preputium penis dengan tujuan tertentu hingga seluruh gland penis dan
corona gland penis terlihat jelas.

Indikasi Sirkumsisi
a. Agama
b. Sosial
c. Medis :

- Fimosis adalah suatu keadaan dimana preputium tidak dapat ditarik ke


proksimal melewati gland penis yang dapat disebabkan oleh kelainan
kongenital atau infeksi.
- Parafimosis adalah suatu keadaan dimana preputium tak dapat ditarik ke
dorsal ke posisi normal. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya oedem
bahkan pada kejadian yang berat dapat menyebabkan ganggren.
- Pencegahan tumor, dimana smegma dapat menyebabkan terjadinya kanker

66
- Kondiloma akuminata
- Kelainan-kelainan lain yang terbatas pada preputium.

Scrotum
(didalamnya
terdapat testis)

Meatus uretha
Preputium
eksterna
(menutupi gland
(normalnya berada
penis
di ujung penis)

Gambar 7.1 (A) Penis normal yang belum disirkumsisi,


(B) Penis normal yang disirkumsisi

Manfaat Sirkumsisi :
- Mudah menjaga kebersihan kelamin
- Mengurangi resiko terjadinya infeksi saluran kemih
- Mencegah inflamasi gland (balanitis) dan preputium (posthitis)
- Mencegah berkembangnya scar di preputium yang dapat menyebabkan
terjadinya phimosis dan parafimosis
- Mengurangi resiko terjadinya beberapa penyakit menular seksual terutama
penyakit ulseratif seperti chancroid dan syphilis
- Mengurangi resiko terjadinya kanker penile

Resiko
Sebagai tindakan bedah, terdapat beberapa resiko yang dapat terjadi pada tindakan
sirkumsisi. Manfaat dari sirkumsisi cenderung akan terjadi dalam jangka waktu
yang lama, namun resiko pada sirkumsisi cerara umum terjadi ketika tindakan
atau segera setelah tindakan. Adapun beberapa resiko yang dapat terjadi yaitu :
- Nyeri
- Perdarahan
- Haematoma (kumpulan darah di bawah kulit)
- Infeksi di tempat dilakukannya sirkumsisi
- Meningkatnya sensitifitas gland penis selama beberapa bulan pertama
setelah sirkumsisi
- Iritasi gland penis
- Meatitis (inflamasi di meatus uretha eksterna)
- Trauma pada penis

67
Komplikasi ini jarang terjadi ketika sirkumsisi dilakukan oleh seseorang yang
terlatih, baik dilatih, peralatan yang memadai, tenaga kesehatan yang
berpengalaman. Apabila terjadi, biasanya mudah dan cepat teratasi.

Pemeriksaan Fisik
Sebelum melakukan tindakan sirkumsisi, petugas kesehatan harus melakukan
pemeriksaan fisik. Ketika melakukan pemeriksaan penis, retraksikan preputium
dan inspeksi gland. Meatus urethrae eksterna seharusnya berada diujung gland dan
tidak terdapat scar serta penyakit lainnya. Preputium normalnya mudah
diretraksikan dan tidak mengalami inflamasi. Jika penis, gland, meatus, dan
preputium terlihat sehat, maka tindakan sirkumsisi dapat dilakukan di klinik biasa
Kontraindikasi
a. Kontra Indikasi Mutlak
1. Kelainan Anatomi Penis,
Laki-laki dengan meatus uretra eksterna berada di bagian ventral penis
(hypospadi) atau di bagian dorsal penis (epispadi) tidak boleh disirkumsisi
karena preputiumnya akan dipakai dalam tindakan operasi. Pasien harus
dirujuk kepada spesialis.

Menurut lokasinya, hipospadi terdiri dari :


a. Glanduler, pada glans penis
b. Frenal, pada frenulum
c. Penil, pada batang penis
d. Penoskrotal, antara penis dan skrotum
e. Skrotal, pada skrotum
f. Perineal, pada perineum
2. Parafimosis kronik
Preputium berada dalam kondisi retraksi permanen, preputium tampak
menebal dan bengkak. Biasanya pasien menyampaikan bahwa hal ini sudah
lama terjadi.
3. Penyakit Ulseratif Genital
Bila pasien mengalami penyakit genital yang bersifat ulseratif, pasien harus
diterapi terlebih dahulu sampai sembuh baru boleh disirkumsisi

4. Urethral discharge.
Hal ini harus diterapi terlebih dahulu sampai sembuh baru boleh
disirkumsisi.
5. Keadaaan patologi lain yang terlihat jelas
Contohnya kanker penile. Pasien harus dirujuk kepada spesialis
6. Penyakit kronik pada penis dan preputium
Contohnya filariasis. Pasien harus dirujuk ke spesialis.
7. Kelainan Darah
Contohnya haemophilia. Pasien dengan kelainan darah harus dirujuk ke
fasilitas yang lebih tinggi karena dibutuhkan tatalaksana preoperative dan
persiapan obat-obatan sebelum tindakan.
b. Kontra indikasi Relatif
Terdapat beberapa kontraindikasi relatif pada sirkumsisi. Pada kondisi ini
sirkumsisi dapat dilakukan tergantung pengalaman petugas kesehatan.

68
1. Phimosis.
Pada kasus ini preputium tidak dapat diretraksikan ke belakang. Jika
terdapat riwayat keluar pus/discharge dari penis atau infeksi berulang
(balanitis), atau perlengketan yang sangat kuat antara gland dan preputium,
maka pasien sebaiknya dirujuk ke spesialis.
2. Terdapat scar di frenulum
3. Kadang-kadang dapat terjadi cedera berulang pada frenulum, hal ini dapat
menimbulkan jaringan scar di area frenulum dan menyebabkan proses
sirkumsisi yang yang sulit dan penyembuhan yang lambat.
4. Balanitis xerotica obliterans.
Merupakan keadaan dimana plak dari jaringan scar meluas sampai ke
permukaan gland dan melibatkan meatus uretra eksterna dan preputium.
Hal ini biasa disebut dengan istilah lichen planus et atrophicu.
5. Keadaan abnormal genetalia yang lain.
Contohnya hidrokel yang menyebabkan pembengkakan scrotum. Pada
kondisi seperti ini pasien sebaiknya dirujuk ke spesialis.

Metode Sirkumsisi
Terdapat tiga metode yang umum dalam sirkumsisi yaitu:
A. Dorsal Slit Circumcision
B. Sleeve Type Circumcision
C. Guillotine/Forcep-guide Type Circumcision

Persiapan alat dan bahan


1. Minor set yang steril
2. Cat gut plain 3/0 dengan jarumnya (sebaiknya atraumatik)
3. Povidon iodine
4. Lidocain 1 – 2 %
5. Dysp spuit 3 cc
6. Duk lubang kecil steril
7. Kain kasa steril
8. Sarung tangan steril
9. Plester
10. Adrenalin
11. Tule
12. Krim antibiotik

Gambar7.2 Persiapan pasien, pembersihan area tindakan dengan


antiseptik dan pemasangan doek steril

69
TEKNIK DORSAL SLIT

Gambar 7.3 Dorsal Slit Sircumsition. A. Menegangkan kulit, B. memasang klem arteri, C.
Memotong kulit di dorsal sampai corona, D. memotong mengikuti corona, E. Merapikan mukosa

70
TEKNIK SLEEVE

Gambar 7.4 Sleeve Type Sircumsition. A dan B memberi garis tanda luar, C. memberi garis tanda
dalam, D dan E insisi kulit di garis tanda dalam dan luar. F. Diseksi kulit diantara tanda
TEHNIK GUILLOTIN (KLASIK)

Gambar 7.5 Gullotin Type Circumsition. A. Forcep digunakan agar tidak mengenai gland, B.
Memotong kulit di atas forcep, C dan D mengendalikan perdarahan dengan klem artery dan
menjahit pembuluh darah, E. membuat jahitan matras antara kulit dan frenulum, F. Menjahit
sekeliling

71
REFERENSI

1. Bode C, Ikhisemojie S, Ademuyiwa A, Penile injuries from proximal


migration of the plastibell circumcision ring. Journal of Pediatric Urology
2009.05.011
2. Gillenwater Jay Y, Grayhack John T, Howards Stuart S, Mitchell Michael E.
Adult and Pediatric Urology: 6th Ed, Vol 3. 2007
3. Kaplan GW. Complications of circumcision. Urol Clin North Am 1983;
10543-549
4. Moore Keith L, Dalley Arthur F. Clinically Oriented Anatomy. 5th ed. 2004
5. Mohan CG, Risucci DA, et al. Comparison of analgesics in ameliorating the
pain of circumcision. J. Perinatol. 1998 Jan-Feb;18(1):13-9
6. World Health Organization. Manual for Male Circumcision Under Local
Anasthesia. Version 3.1. Geneva, 2009

72
CHECKLIST :SIRKUMSISI

No Aspek Yang Dinilai Nilai/Skor


0 1 2
1 Komunikasi dan Inform consent
- Menyapa pasien dan atau keluarganya dengan
ramah serta memperkenalkan diri
- Memberikan informasi umum pada pasien dan
atau keluarganya tentang tindakan sirkumsisi
yang akan dilakukan (tujuan, manfaat, dan
risiko yang dapat terjadi)
- Meminta kesediaan pasien atau keluarga untuk
tindakan sirkumsisi yang akan dilakukan
2 Persiapan dan anestesi
- Mencuci tangan secara aseptik
- Memasang sarung tangan steril
- Operator berdiri atau duduk di sisi kanan
pasien
- Mendesinfeksi genitalia eksterna dan
sekitarnya dengan povidon iodine di mulai dari
gland penis kemudian melingkar ke luar
- Menutup dengan doek lubang steril
- Melakukan anestesi lokal :
a. blok anestesi, pada pangkal penis dengan
menyuntikkan ± 1-2 cc lydocain 2 %
dengan cara menusukkan spuit tegak lurus
di atas pangkal penis
b. infiltrasi anestesi dengan cara
menyuntikkan ± 1-2 cc lydocain 2 % di
sekeliling submukosa pangkal penis
- Melakukan pemijatan untuk pemerataan zat
anestesi di daerah suntikan (untuk anastesi
infiltrasi)
- Memeriksa efektifitas anestesi dengan pinset
pada kulit penis
3 Melakukan Tindakan Sirkumsisi
A DORSAL SLIT CIRCUMCISION
- Mula – mula dilakukan insisi pada dorsum
ujung penis sampai ± 1 cm dari sulkus
coronarius.
- Membebaskan mukosa yang lengket di gland
penis, smegma dibersihkan
- Menjahit kulit dan mukosa di ujung dorsumsisi
- Memotong kulit dan mukosa secara melingkar
ke ventral sampai frenulum penis dan mukosa
tersisa ±1 cm di sulkus coronarius.
- Observasi perdarahan (bila ada perdarahan,
klem arteri/vena dengan klem arteri, ligasi
dengan jahitan melingkar)
- Menjahit kulit dan mukosa secara simple
interupted atau jelujur dengan plain cat gut 3/0

73
Dimulai dengan jahit 8 di daerah frenulum,
lalu di jam 12, 10, 2, 8, 4 dan memastikan kulit
dan mukosa terjahit dan tidak ada bagian yang
terbuka
- Memperhatikan kesimetrisan penis → jangan
terputar
- Memasang tule secara melingkar lalu verban
dengan kasa steril dan plaster (bila tule (-) bisa
dengan salap antibiotika)
B GUILLOTINE TYPE CIRCUMCISION
- Membebaskan mukosa yang lengket di gland
penis, smegma dibersihkan dengan
menggunakan kasa atau klem arteri
- Di titik tengah Preputium bagian ventral dan
dorsal, dijepit dengan klem
- Menjepit preputium dengan klemp lurus dari
dorsal ke ventral di ujung glans penis dengan
miring ke proksimal di bagian dorsal.
- Memotong preputium di bawah klem dengan
scalpel (pisau). Gland penis bisa dilindungi
dengan cara jari kita menekan glands ke arah
proksimal
- Observasi perdarahan (bila ada perdarahan,
klem arteri/vena dengan klem arteri, ligasi
dengan jahitan melingkar)
- Menjahit kulit dan mukosa secara simple
interupted atau jelujur dengan benang plain cat
gut 3/0
Dimulai dengan jahit 8 di daerah frenulum,
lalu di jam 12, 10, 2, 8, 4 dan memastikan kulit
dan mukosa terjahit dan tidak ada bagian yang
terbuka
- Mengoleskan salap antibiotic/ Tule di daerah
jahitan
- Memasang tule secara melingkar lalu verban
dengan kasa steril dan plaster
4 Membuka duk lubang steril
5 Membersihkan daerah genetalia dan sekitarnya
dengan NaCl 0,9%
6 Melepas sarung tangan
7 Mencuci tangan secara secara aseptic
8 Memberikan obat dan edukasi pasien dan atau
keluarga pasien
Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tapi kurang sempurna
2 = Dilakukan sempurna

Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/64x100%=…%


Banda Aceh,……..2016
Instruktur

74
VIII. PUNKSI SUPRA PUBIK

dr. Jufriady Ismy, SpU1


dr. Reza Maulana, M.Si2
1. Bagian Ilmu Bedah Divisi Urologi, 2. Bagian Anatomi Histologi
Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUDZA

Tujuan belajar:
Mahasiswa mampu melakukan tindakan punksi supra pubik secara sistematis dan
benar

Prior Knowledge:
- Anatomi genetalia laki-laki
- Fisiologi genetalia laki-laki
- Ketrampilan anamnesis dan pemeriksaan genetalia laki-laki
- Ketrampilan teknik anestesi lokal
- Ketrampilan penggunaan instrumen bedah minor, wound care dan wound
closure

Pendahuluan
Punksi supra pubik (aspirasi supra pubik) merupakan salah satu tindakan yang
biasa dilakukan ketika membutuhkan sampel urine yang tidak terkontaminasi.
Selain itu tindakan ini juga dilakukan untuk mengeluarkan (diversi) urin pada
kasus retensi urin, dimana pada saat gagalnya pemasangan kateter urethra tetapi
tidak mempunyai perlengkapan untuk melakukan tindakan Cystostomy per cutan.
Tindakan ini pertama kali diperkenalkan oleh Huze dan Beeson pada tahun 1956
sebagai alternative untuk mengambil sampel urin untuk urinalisis dan kultur urin.

Overview Anatomi

peritoneum

Gambar 8.1 potongan traktus urinarius bawah

75
Kandung kemih orang dewasa terletak retro pubik dan ekstraperitoneal. Kandung
kemih dipisahkan dari simfisis pubis oleh rongga prevesical anterior yang dikenal
sebagai rongga retropubik (spatium Retzius). Dome kandung kemih dilapisi oleh
peritoneum.Pada anak, letak kandung kemih berada intra abdominal.

Indikasi punksi supra pubik


1. Retensi urin yg tidak dapat dilakukan pemasangan kateter urethra ( misal:
striktur urethra, batu urethra, pembesaran prostat, dan lain-lain)
2. Untuk pemeriksaan urinalisis atau kultur urine pada neonates atau anak
dibawah 2 tahun
3. Phimosis berat
4. Infeksi khronis pada urethra atau kelenjar periurethra
5. Sriktur Urethra yang sudah mengakibatkan abses atau fistel daerah urethra
6. Trauma urethra

Kontra Indikasi :
1. Kandung kemih yang kosong atau tidak dapat di identifikasi (misalnya
terlalu gemuk)
2. Tumor kandung kemih
3. Banyak luka atau Scar operasi
4. Cellulitis supra pubik

Tindakan dapat dilakukan dengan menggunakan anastesi lokal secara infiltrasi


dengan lidokain 1% atau 2%. Pada kasus untuk mengambil sampel urine, sebelum
melakukan punksi, pasien harus banyak minum dulu agar buli-bulinya
penuh.Biasanya pada laki-laki teraba puncak buli-bulinya yang penuh karena
tonus ototnya relatif lebih kuat, sedangkan pada wanita walaupun kandung kemih
sudah penuh, masih sulit teraba.
Pasien di posisikan supine kemudian biasanya dilakukan pada garis tengah di
antara umbilikus dan simpisis pubis. Punksi dilakukan kira-kira 2 cm diatas
simpisis pubik. Arah jarum punksi berbeda antara anak-anak atau dewasa.
 Anak-anak: arah jarum sedikit mengarah ke cranial, 10-20 derajat
 Dewasa : mengarah ke caudal, 10-20 derajat

Komplikasi yang timbul biasanya sangat jarang, tetapi apabila terjadi, adalah
sebagai berikut:
 Perforasi peritoneum dengan atau tanpa perforasi usus
 Infeksi (intra abdominal, kandung kemih, kulit atau soft tissue)
 Hematuria mikroskopik ( gross hematuria jarang)
 Ketidakmampuan untuk mengaspirasi urin

Bahan Dan Alat


1. Sabun cuci tangan biasa.
2. Sarung tangan (Hand schoen) steril
3. Povidone iodine dengan kassa steril
4. Doek steril.

76
5. Spuit 10 cc atau spinal needle 16 F atau abocath infus ukuran terbesar,
untuk aspirasi
6. Anastesi lokal (lidokain 1% atau 2%)

77
REFERENSI

1. Stine RJ, Avila JA, Lemons MF, et al. Diagnostic and therapeutic urologic procedures.
Emerg Med Clin North Am. 1988 Aug. 6(3):547-78. [Medline].
2. Beeson PB, Guze LB. Observations on the reliability and safety of bladder
catheterization for bacteriologic study of the urine. N Engl J Med. 1956 Sep 6.
255(10):474-5. [Medline].
3. Hardy JD, Furnell PM, Brumfitt W. Comparison of sterile bag, clean catch and
suprapubic aspiration in the diagnosis of urinary infection in early childhood. Br J
Urol. 1976 Aug. 48(4):279-83. [Medline].
4. Selius BA, Subedi R. Urinary retention in adults: diagnosis and initial management.
Am Fam Physician. 2008 Mar 1. 77(5):643-50. [Medline].
5. Sastre JB, Aparicio AR, Cotallo GD, Colomer BF, Hernández MC. Urinary tract
infection in the newborn: clinical and radio imaging studies. Pediatr Nephrol. 2007
Oct. 22(10):1735-41. [Medline].
6. Wingerter S, Bachur R. Risk factors for contamination of catheterized urine specimens
in febrile children. Pediatr Emerg Care. 2011 Jan. 27(1):1-4. [Medline].
7. Simforoosh N, Tabibi A, Khalili SA, Soltani MH, Afjehi A, Aalami F, et al. Neonatal
circumcision reduces the incidence of asymptomatic urinary tract infection: A large
prospective study with long-term follow up using Plastibell. J Pediatr Urol. 2010 Nov
4. [Medline].
8. Villanueva C, Hemstreet GP 3rd. Difficult male urethral catheterization: a review of
different approaches. Int Braz J Urol. 2008 Jul-Aug. 34(4):401-11; discussion 412.
[Medline].
9. Robinson J. Insertion, care and management of suprapubic catheters. Nurs Stand. 2008
Oct 29-Nov 4. 23(8):49-56; quiz 58. [Medline].
10. Gochman RF, Karasic RB, Heller MB. Use of portable ultrasound to assist urine
collection by suprapubic aspiration. Ann Emerg Med. 1991 Jun. 20(6):631-5.
[Medline].
11. Noller KL, Pratt JH, Symmonds RE. Bowel perforation with suprapubic cystostomy
Report of two cases. Obstet Gynecol. 1976 Jul. 48(1 Suppl):67S-69S. [Medline].
12. O‟Brien WM. Percutaneous placement of a suprapubic tube with peel away sheath
introducer. J Urol. 1991 May. 145(5):1015-6. [Medline].
13. Promes SB. Miscellaneous Applications. Simon BC, Snoey ER. Ultrasound in
Emergency and Ambulatory Medicine. St. Louis, MO: Mosby, Inc; 1997. 256-261.
14. Schneider RE. Urologic Procedures. Robert JR, Hedges JR. Clinical Procedures in
Emergency Medicine. 4th ed. Philadelphia, PA: W.B. Saunders Co; 2004. 6(3): 1098-
1100.
15. Moustaki M, Stefos E, Malliou C, Fretzayas A. Complications of suprapubic
aspiration in transiently neutropenic children. Pediatr Emerg Care. 2007 Nov.
23(11):823-5. [Medline].
16. Vilke GM. Bladder Aspiration. Rosen P. Atlas of Emergency Procedures. St. Louis,
MO: Mosby, Inc; 2001. 130-131.
17. Shidan Tosif, Alice Baker, Ed Oakley, Susan Donath and Franz E Babl.
Contamination rates of different urine collection methods for the diagnosis of urinary
tract infections in young children: An observational cohort study. Journal of
Paediatrics and Child Health. 2012. 48:659–664. [Medline].
18. Badiee Z, Sadeghnia A, Zarean N. Suprapubic Bladder Aspiration or Urethral
Catheterization: Which is More Painful in Uncircumcised Male Newborns?. Int J Prev
Med. 2014 Sep. 5(9):1125-30. [Medline]. [Full Text].

78
CHECKLIST: PUNKSI SUPRAPUBIK

No Aspek Yang Dinilai Skor


0 1 2
1 Melakukan informed concern pada pasien dan atau
keluarga tentang indikasi tindakan
2 Menyiapkan alat dan bahan (spuit, lidocain dan lain-
lain)
3 Operator mencuci tangan dengan sabun terlebih
dahulu pada air kran mengalir .
4 Operator memakai hand schoen secara aseptik
5 Melakukan desinfeksi antara simpisis pubis dengan
umbilikus.
6 Lalu daerah yang akan dipunksi ditutupi dengan
doek steril.
7 Dilakukan punksi dg spuit atau spinal needle (garis
tengah antara simpisis pubis dan umbilikus,biasanya
2 cm diatas simpisis pubis)
8 Kemudian dilakukan aspirasi melalui jarum
9 Bila urin (+), jarum aspirasi dapat dihubungkan
dengan blood set yang telah disambungkan dengan
plabotte infus atau urin bag. Kemudian jarum dapat
difiksasi dengan kassa dan plaster.
10 Mencatat berapa jumlah inisial urindan warna urine
11 Memberikan informasi bahwa tindakan telah selesai
dan alasan untuk merujuk

Keterangan :
1 = Tidak dilakukan
2 = Dilakukan tidak sempurna
3 = Dilakukan sempurna
Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/22x100%=…%

Banda Aceh, ……2017

Instruktur

79
IX. CHEST TUBE /WATER SEAL DRAINAGE
dr. Yopie Afriandi Habibie, SpBTKV, FIHA
Bagian Ilmu Bedah Divisi Toraks Kardiovaskuler
Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUDZA

Tujuan belajar:
Mahasiswa mampu melakukan tindakan chest tube atau Water Seal Drainage
secara sistematis dan benar

Prior knowledge:
- Ketrampilan pemeriksaan fisik toraks

Pendahuluan
Pengertian
Water Seal Drainage (WSD) merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk
mengeluarkan udara, cairan (darah,pus, chylus) dari rongga intra pleura, rongga
thorax; dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubungdan mencegah
terjadinya aliran balik.

Tujuan
Tujuan dilakukan pemasangan water seal drainage adalah :
1. Memungkinkan cairan (darah, cairan, pus) keluar dari ruang intra pleura
2. Memungkinkan udara keluar dari ruang intra pleura
3. Mencegah udara masuk kembali (terhisap) ke ruang intra pleura
4. Mengembalikan tekanan negatif pada rongga pleura
5. Mengembangkan kembali paru yang kolaps
6. Mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada

Indikasi
Indikasi dari pemasangan water seal drainage adalah :
1. Pneumothoraks : adanya udara dalam rongga pleura
a. Spontan oleh karena rupture peribronchial bleb atau alveoli
b. Luka tusuk tembus dinding dada
c. Klem dada yang terlalu lama
d. Kerusakan selang dada pada sistem drainase
2. Hemothoraks : adanya darah dalam rongga pleura
a. Luka tembus dinding dada
b. Robekan pleura visceral
c. Kelebihan antikoagulan
b. Pasca bedah paru dan bedah jantung
c. Rupture pembuluh darah besar aorta
3. Effusi pleura : adanya penimbunan cairan dalam rongga pleura
a. Proses malignansi
b. Pasca operasi bedah jantung
4. Empiema : adanya effusi pleura yang mengandung pus.

80
a. Penyakit paru serius
b. Kondisi infeksi paru
5. Post Toracotomy surgical procedure : Pasca operasi reseksi paru seperti
lobektomi, Sleeve lobektomi, dan pneumektomi.

Prinsip Water Seal Drainage


Prinsip yang digunakan pada WSD adalah :
a. Gravitasi
Udara dan cairan mengalir dari tekanan yang lebih tinggi ke tekanan yang lebih
rendah
b. Tekanan negatif
Udara atau cairan dalam rongga dada menghasilkan tekanan positif (763
mmHg atau lebih) dalam rongga pleura. Udara dan cairan pada water seal pada
selang dada menghasilkan tekanan positif yang kecil (761 mmHg ). Sebab
udara dan cairan bergerak dari tekanan yang lebih tinggi ke tekanan yang lebih
rendah, maka udara dan cairan akan berpindah dari tekanan positif yang lebih
tinggi pada rongga pleura ke tekanan positif yang lebih rendah yang dihasilkan
oleh water seal
c. Suction
Yaitu suatu kekuatan tarikan yang lebih kecil dari pada tekanan atmosfir (760
mmHg). Suction dengan kekuatan negatif 20 cmH2O menghasilkan tekanan
subatmosfer 746 mmHg sehingga udara atau cairan berpindah dari tekanan
lebih tinggi ke tekanan yang lebih rendah.
d. Water seal
Tujuan utama dari water seal adalah membiarkan udara keluar dari rongga
pleura dan mencegah udara dari atmosfer masuk ke rongga pleura. Botol water
seal diisi dengan cairan steril yang didalamnya terdapat selang yang ujungnya
terendam 2 cm. Cairan ini memberikan batasan antara tekanan atmosfer dengan
tekanan subatmosfer (normal 754-758 mmHg). Selang yang terendam 2 cm itu
menghasilkan tekanan positif sebesar 1,5 mmHg semakin dalam selang water
seal terendam air semakin besar tekanan positif yang dihasilkan. Pada saat
expirasi, tekanan pleura lebih positif sehingga udara dan air dari rongga pleura
begerak masuk ke botol. Pada saat inspirasi tekanan pleura lebih negatif
sehingga water seal mencegah udara atmosfer masuk ke rongga pleura.

81
Gambar 9.1 Pemasangan WSD

Pada trauma toraks WSD dapat berarti :


1. Diagnostik
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat
ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam
syok.
2. Terapi
Mengeluarkan darah,cairan atau udara yang terkumpul di rongga pleura.
Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanic of breathing",
dapat kembali seperti yang seharusnya.
3. Monitoring
Mengeluarkan udara atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga
"mechanic of breathing" tetap baik dan paru – paru kembali ekspansi
maksimal.

Tempat Pemasangan WSD


Bagian apex paru (apical)
a. Anterolateral interkosta ke 1-2
b. Fungsi : untuk mengeluarkan udara dari rongga intra pleura

Bagian basal
a. Postero lateral interkosta ke 8-9
b. Fungsi : untuk mengeluarkan cairan (darah, pus) dari rongga intra pleura

Jenis-jenis WSD
a. WSD dengan sistem 1 botol
1. Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien simple
pneumotoraks

82
2. Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2 lubang selang
yaitu 1 untukventilasi dan 1 lagi masuk ke dalam botol
3. Air steril dimasukan ke dalam botol sampai ujung selang terendam 2cm
untuk mencegah masuknya udara ke dalam tabung yang menyebabkan
kolaps paru
4. Selang untuk ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk memfasilitasi
udara dari rongga pleura keluar
5. Drainage tergantung dari mekanisme pernafasan dan gravitasi
6. Undulasi pada selang cairan mengikuti irama pernafasan :
a) Inspirasi akan meningkat
b) Ekpirasi menurun

Gambar 9.2 WSD dengan sistem 1 botol

Keuntungan WSD dengan sistem 1 botol


1) Penyusunan sederhana.
2) Memudahkan untuk pasien melakukan mobilisasi.

Kerugian WSD dengan sistem 1 botol


1) Saat drainase dada mengisi botol lebih banyak kekuatan diperlukan untuk
memungkinkan udara dan cairan pleural untuk keluar dari dada masuk ke
botol.
2) Campuran darah drainase dan udara menimbulkan campuran busa dalam
botol yang membatasi garis permukaan drainase.
3) Untuk terjadinya aliran, tekanan pleura harus lebih tinggi dari tekanan
botol.

b. WSD dengan sistem 2 botol


1) Digunakan 2 botol  1 botol mengumpulkan cairan drainage dan botol
ke-2 botol water seal
2) Botol 1 dihubungkan dengan selang drainage yang awalnya kosong dan
hampa udara, selang pendek pada botol 1 dihubungkan dengan selang di
botol 2 yang berisi water seal

83
3) Cairan drainase dari rongga pleura masuk ke botol 1 dan udara dari
rongga pleura masuk ke water seal botol 2
4) Prinsip kerjasama dengan sistem 1 botol yaitu udara dan cairan mengalir
dari rongga pleura ke botol WSD dan udara dipompakan keluar melalui
selang masuk ke WSD
5) Biasanya digunakan untuk mengatasi hematotoraks, hidropneumotoraks,
efusi pleural

Gambar 9.3 WSD dengan sistem 2 botol


Keuntungan WSD dengan sistem 2 botol
1) Mempertahankan unit water seal pada tingkat konstan.
2) Memungkinkan observasi dan pengukuran drainase yang lebih baik.

Kerugian WSD dengan sistem 2 botol


1) Menambah area mati pada sistem drainase yang mempunyai potensial
untuk masuk ke dalam area pleura.
2) Untuk terjadinya aliran, tekanan pleura harus lebih tinggi dari tekanan
botol.
3) Mempunyai batas kelebihan kapasitas aliran udara pada adanya
kebocoran pleura.

c. WSD dengan sistem 3 botol


1. Sama dengan sistem 2 botol, ditambah 1 botol untuk mengontrol jumlah
hisapan yang digunakan
2. Paling aman untuk mengatur jumlah hisapan
3. Yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air pada botol ke-3.
Jumlah hisapan tergantung pada kedalaman ujung selang yang tertanam
dalam air botol WSD
4. Drainage tergantung gravitasi dan jumlah hisapan yang ditambahkan
5. Botol ke-3 mempunyai 3 selang :
1) Tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan tube pada botol ke
dua
2) Tube pendek lain dihubungkan dengan suction

84
3) Tube di tengah yang panjang sampai di batas permukaan air dan
terbuka ke atmosfer

Gambar 9.4 WSD dengan sistem 3 botol

Keuntungan Sistem paling aman untuk mengatur pengisapan


Kerugian WSD dengan sistem 3 botol
1) Lebih kompleks.
2) Lebih banyak kesempatan untuk terjadinya kesalahan dalam perakitan
dan pemeliharaan.

d. Sistem WSD sekali pakai ( Pleurevac)


Sistem tiga ruang yang memiliki ruang drainase, water seal dan suction yang
terpisah. Banyak fasilitas kesehatan menggunakan drainase pleur evac sebagai
ganti sistem 3 botol.
Keuntungan drainase pleur evac :
1) Bahan dari plastik sehingga tidak mudah pecah seperti botol
2) Bersifat disposible, bentuk tunggal, ringan dan mudah dibawa-bawa.

Kerugian drainase pleurevac :


1) Harga mahal
2) Kehilangan water seal dan keakuratan pengukuran drainase bila unit
terbalik.

Gambar 9.5 Pleurevac

85
Komplikasi Pemasangan WSD
a. Komplikasi primer perdarahan, tension pneumothoraks, atrial aritmia
b. Komplikasi sekunder infeksi, emfiema

Prosedur Pemasangan WSD


a. Pengkajian
1) Memeriksa kembali instruksi dokter
2) Mencek inform consent
3) Evaluasi status pasien; hemodimanik dan vital sign, status pernafasan

b. Persiapan pasien
1) Siapkan pasien
2) Memberi penjelasan kepada pasien mencakup : Tujuan tindakan, posisi
tubuh saat tindakan dan selama terpasang WSD, posisi pasien dapat
duduk atau berbaring, upaya-upaya untuk mengurangi rangsangan nyeri
seperti nafas dalam distraksi, latihan rentang sendi (ROM) pada sendi
bahu sisi yang terkena.

c. Persiapan alat
1) Sistem drainage tertutup
2) Motor suction
3) Slang penghubung steril
4) Botol berwarna putih/bening dengan kapasitas 2 liter, gas, pisau
jaringan/silet, trokart, cairan antiseptic, benang catgut dan jarumnya, duk
bolong, sarung tangan , spuit 10cc dan 50cc, kassa steril, NaCl 0,9%,
konektor, set balutan, obat anestesi (lidokain, xylokain), masker

d. Pelaksanaan
Prosedur ini dilakukan oleh dokter. Perawat membantu agar prosedur dapat
dilaksanakan dengan baik, dan perawat memberikan dukungan moril pada
pasien.

e. Tindakan setelah prosedur


1. Perhatikan undulasi pada selang pipa WSD. Bila undulasi tidak ada,
berbagai kondisi dapat terjadi antara lain :
a) Motor suction tidak berjalan
b) Selang tersumbat
c) Selang terlipat
d) Paru-paru telah mengembang

Oleh karena itu, yakinkan apa yang menjadi penyebab, segera periksa kondisi
sistem drainage, amati tanda-tanda kesulitan bernafas

2. Cek ruang control suction untuk mengetahui jumlah cairan yang keluar

86
3. Cek batas cairan dari botol WSD, pertahankan dan tentukan batas yang
telah ditetapkan serta pastikan ujung pipa berada 2cm di bawah air
4. Catat jumlah cairan yg keluar dari botol WSD tiap jam untuk mengetahui
jumlah cairan yg keluar
5. Observasi pernafasan, nadi setiap 15 menit pada 1 jam pertama
6. Perhatikan balutan pada insisi, apakah ada perdarahan
7. Anjurkan pasien memilih posisi yg nyaman dengan memperhatikan
jangan sampai selang terlipat
8. Anjurkan pasien untuk memegang selang apabila akan merubah posisi
9. Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu
10. Ganti botol WSD setiap 3 hari dan bila sudah penuh. Catat jumlah cairan
yang dibuang
11. Lakukan pemijatan pada selang untuk melancarkan aliran
12. Observasi dengan ketat tanda-tanda kesulitan bernafas, sianosis,
emphysema subkutan
13. Anjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan bimbing cara batuk
efektif
14. Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh
15. Yakinkan bahwa selang tidak kaku dan menggantung di atas WSD
16. Latih dan anjurkan klien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan
latihan gerak pada persendian bahu daerah pemasangan WSD

Perawatan WSD
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya selang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya selang, dan pengganti verband 2 hari
sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya
slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.

b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya selang. Untuk rasa sakit yang hebat
akan diberi analgetik oleh dokter.
Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
1) Penetapan selang. Selang diatur se-nyaman mungkin, sehingga selang
yang dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga
rasa sakit di bagian masuknya selang dapat dikurangi.
2) Pergantian posisi badan.Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan
memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada selang,
melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat
badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.

c. Mendorong berkembangnya paru-paru.


1) Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
2) Latihan napas dalam.

87
3) Latihan batuk yang efisien  batuk dengan posisi duduk, jangan batuk
waktu selang diklem.
4) Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
d. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika
perdarahan dalam 1 jam melebihi 5 cc/kg/jam, harus dilakukan tindakan
torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga
secara bersamaan keadaan pernapasan.

e. Suction harus berjalan efektif :


1) Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan
setiap 1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi.
2) Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna
muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
3) Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika
suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2
terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah atau
di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah, slang
bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena
perlekatanan di dinding paru-paru.

f. Perawatan “selang” dan botol WSD.


1) Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang
keluar kalau ada dicatat.
2) Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya
gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
3) Penggantian botol harus “tertutup” untuk mencegah udara masuk yaitu
meng”klem” slang pada dua tempat dengan kocher.
4) Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan
slang harus tetap steril.
5) Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri,
dengan memakai sarung tangan.
6) Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada,
misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.

Prosedur Tindakan Perawatan WSD


Peralatan
1) Water – Seal system
2) Air sterile tau Normal Salineterisi hingga 2 cm dari tabung U water seal
3) Suction control chamber, jika digunakan
4) 30 ml vial dari Normal Saline atau air steril
5) Set balutan steril : pinset (3), kom kecil, kassa (5 buah), gunting
6) Box syringe : klem arteri (2), pinset (2),

88
7) Plester
8) Handscun bersih dan steril
9) Under pad (perlak)

Langkah-langkah
1) Mengecek program terapi medic
2) Mengucap salam terapeutik
3) Melakukan evaluasi
4) Mencuci tangan
5) Memasang sarung tangan bersih
6) Memberikan klien posisi fowler atau semi fowler, pasang under pad
7) Pasang arteri klem double ke selang, sehingga tidak ada udara yang keluar
atau masuk melalui selang
8) Pindahkan balutan luar hingga menyisakan 1 lapis balutan terdalam
9) Buka sarung tangan bersih
10) Buka set steril, pasang sarung tangan steril
11) Gunakan larutan pembersih (Normal Saline)
12) Angkat balutan lama yang terdalam
13) Bersihkan luka dengan menggunakan kassa steril yang sudah direndam
dengan Normal Saline, dengan gerakan melingkarke arah luar
14) Tutupi luka dengan kassa steril dengan metode balutan kering
15) Pindahkan klem arteri di selang, observasi pernafasan pasien
16) Kembalikan pasien pada posisi yang nyaman. Bereskan alat-alat.

Monitoring dan perawatan pasien yang terpasang sistem WSD.


a. Monitor tanda-tanda vital : khususnya kecepatan, kedalaman dan pola nafas
setiap 2 jam atau sesuai kebutuhan, kaji kesimetrisan suara nafas.
b. Observasi selang water seal
Selama inspirasi, cairan dalam botol terhisap masuk ke selang water seal
beberapa sentimeter sebab adanya penurunan tekanan intrapleura. Sebaliknya
selama ekspirasi peningkatan tekanan intrapleura memaksa cairan balik ke
selang. Fluktuasi atau pergerakkan cairan bolak balik (tidalling) dalam selang
water seal menunjukkan pergerakkan ventilasi seseorang. Oleh karena itu saat
tidalling terjadi, selang drainase dalam keadaan paten, dan sistem drainase
berfungsi semestinya. Tidalling stop saat paru telah mengembang kembali
atau jika selang drainase kinking atau terdapat obstruksi. Jika tidalling tidak
terjadi :
Cek untuk meyakinkan bahwa selang tidak kinking atau tertekan.
- Ubah posisi pasien
- Anjurkan pasien untuk nafas dalam dan batuk
c. Observasi selang udara ( selang yang pendek)
Yakinkan bahwa selang ini tetap terbuka ke atmosfer untuk memungkinkan
udara intrapleura keluar dari botol. Jika selang udara tersumbat, udara
intrapleura yang terperangkap dalam botol penampung, meningkatkan
tekanan dalam botol. Jika tekanan menjadi cukup besar, ia mencegah drainase

89
udara dan cairan dari rongga pleura, mempercepat terjadinya tension
pneumothorak dan mengakibatkan pergeseran mediastinal.

d. Observasi cairan dalam botol water seal


Gelembung dalam botol water seal disebabkan oleh udara yang keluar dari
rongga pleura masuk ke dalam cairan dalam botol. Gelembung yang
intermiten adalah normal. Ini mengindikasikan bahwa sistem melakukan satu
dari tujuannya seperti mengeluarkan udara dari rongga pleura. Gelembung
yang intermiten bisa terjadi saat ekspirasi normal seseorang karena ekspirasi
meningkatkan tekanan intrapleura dan mendorong udara melalui selang.
Gelembung yang terus menerus selama inspirasi dan ekspirasi
mengindikasikan bahwa udara bocor masuk kedalam sistem drainase atau
rongga pleura. Situasi ini dapat dikoreksi yaitu dengan mencari lokasi
kebocoran udara dan lakukan perbaikkan jika dapat dilakukan.
Gelembung yang terjadi cepat pada kondisi tidak terdapat kebocoran udara
mengindikasikan kehilangan udara yang bermakna seperti dari insisi atau
sobekan pada pleura.
e. Cek patensi selang setiap 2 sampai 4 jam, karena adanya obstruksi pada
selang dada mempengaruhi reexpansi paru.
f. Monitor jumlah dan tipe dari drainase pada selang dada
Kehilangan volume yang besar dapat menyebabkan hipovolemi. Penurunan
atau tidak adanya drainase dengan kondisi distress respiratory
mengindikasikan adanya sumbatan. Penurunan atau tidak adanya drainase
tanpa distress respiratory mengindikasikan paru sudah mengembang kembali.
g. Beri tanda atau batas drainase pada sisi luar tabung pengumpul setiap jam,
sebagai acuan untuk pengukuran selanjutnya. Drainase secara bertahap
berubah dari warna darah ke warna pink kemudian warna merah kecoklatan.
Aliran yang tiba-tiba dan warna darah yang merah pekat terjadi karena
perubahan posisi yang sering berupa darh yang lama yang dapt keluar ke
selang dada. Laporkan bila drainase lebih dari 200 ml/jam, penurunan atau
tidak ada drainase secara tiba-tiba, perubahan karakteristik dari drainase.

h. Pertahankan posisi selang dada


Tempatkan selang secara harizontal di tempat tidur dan ke arah bawah ke
tabung pengumpul. Akumulasi drainase pada selang yang terjepit
menghambat drainase ke sistem pengumpul dan meningkatkan tekanan paru,
berikan area yang cukup untuk pergerakkan pasien.
i. Selalu tempatkan sistem WSD lebih rendah dari dada pada posisi vertikal
untuk mencegah aliran balik cairan ke rongga pleura.
j. Cek level cairan pada water seal atau cairan pada control suction yang bisa
berkurang karena evaporasi, dan isi ulang sesuai batas yang dianjurkan.
k. Kolaborasi dalam pemberian analgetic untuk mengontrol rasa sakit, karena
rasa sakit bisa mempengaruhi keefektifan pernafasan.
l. Kaji daerah tusukan dan kulit sekitar daerah tusukan akan adanya
subcutaneous air dan tanda-tanda infeksi atau inflamasi dengan mengganti
balutan setiap hari.

90
Prosedur pencabutan WSD
Indikasi pencabutan didasarkan pada alasan insersi dan meliputi dibawah ini :
o Drainase telah berkurang 50-100 ml dalam 24 jam jika selang dipasang untuk
hemothoraks, empyema atau efusi pleura.
o Drainase telah berubah dari merah menjadi serosa, tidak terdapat kebocoran
udara dan jumlah kurang dari 100 ml setelah 8 jam (jika selang dipasang
setelah operasi bedah jantung)
o Paru-paru telah mengembang kembali (dibuktikan dengan chest x-rays).
o Status respirasi telah membaik (yaitu  tidak terdapat kesulitan bernafas, suara
nafas bilateral sama, penurunan penggunaan otot aksesori pernafasan,
pengembangan dada simetris dan RR kurang dari 20 x/menit).
o Kebocoran udara telah pulih (dikaji dengan tidak adanya bubbling kontinyu
pada ruang water seal).

Gambar 9.6 WSD yang terpasang di tubuh pasien

91
CHECKLIST : CHEST TUBE/WSD

Skor
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2
I Persiapan pre tindakan
1. Melakukan informed concern pada pasien dan
atau keluarga tentang indikasi tindakan
2. Persiapan laboratorium dan pemeriksaan
tambahan
3. Antibiotik propilaksis
4. Cairan dan Darah
5. Menyiapkan alat dan bahan
6. Operator mencuci tangan dengan sabun terlebih
dahulu pada air kran mengalir .
7. Operator memakai hand schoen secara aseptik
II Persiapan Lokal Daerah Operasi
1. Penderita diatur dalam keadaan posisi ½
duduk (+ 45 °)
2. Lakukan desinfeksi dan tindakan asepsis /
antisepsis pada daerah operasi.
3. Lapangan pembedahan dipersempit dengan
linen steril.
4. Dilakukan anestesi setempat dengan lidocain
2% secara infiltrasi pada daerah kulit sampai
pleura.
III Tindakan Operasi
1. Tempat yang akan dipasang drain adalah :
o Linea midaxillaris media, pada ICS V-VI
o Linea midaxillaris anterior, pada ICS IX-X
(Buelau).
o Linea medio-clavicularis (MCL) pada ICS
II-III (Monaldi)
2. Dibuat sayatan kulit + 2 cm sampai jaringan
bawah kulit
3. Dengan klem tumpul, jaringan bawah kulit
dibebaskan sampai pleura, dengan secara
pelan pleura ditembus hingga terdengar suara
hisapan, berarti pleura parietalis sudah
terbuka
4. Drain dengan trocarnya dimasukkan melalui
lobang kulit tersebut kearah cranial lateral.
Bila memakai drain tanpa trocar, maka ujung
drain dijepit dengan klem tumpul, untuk
memudahkan mengarahkan drain
5. Drain kemudian didorong masuk sambil
diputar sedikit demi sedikit
6. Setelah drain pada posisi, maka diikat dengan
benang pengikat berputar ganda, diakhiri
dengan simpul hidup

92
7. Sebelum pipa drainage dihubungkan dengan
sistem botol penampung, maka harus diklem
dahulu
8. Pipa drainage ini kemudian dihubungkan
dengan sistem botol penampung, yang akan
menjamin terjadinya kembali tekanan negatif
pada rongga intrapleural, di samping juga
akan menampung sekrit yang keluar dari
rongga toraks
IV Perawatan Pasca Bedah
1. Komplikasi dan penanganannya
2. Pengawasan terhadap ABC
3. Perawatan luka operasi

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tidak sempurna
2 = Dilakukan sempurna
Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/44x100%=…%
Banda Aceh, ……2017

Instruktur

93

Anda mungkin juga menyukai