Nurul Hidayah
18/434469/PSA/08446
Yogyakarta
2019
SISTEM PENAMAAN PASAR TRADISIONAL DI SURAKARTA
Nurul Hidayah
18/434469/PSA/08446
*Email: nurulhidayah95@mail.ugm.ac.id
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan bentuk dan makna nama-nama pasar tradisional di
Surakarta. Ada tiga langkah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu tahap pengumpulan data yang
dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan wawancara dan disertai dengan teknik catat
serta teknik pancing. Tahap analisis data menggunakan metode padan referensial. Tahap penyajian
hasil analisis menggunakan metode informal. Data yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 40
nama pasar yang ada di Kota Surakarta. Hasil analisis menunjukkan bahwa berdasarkan proses
pembentukannya nama pasar di Surakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu, bentuk kata dan frasa.
Bentuk kata ini berupa kata dasar (Sangkrah, Nongko, Legi, Kliwon, Joglo, Gading, Depok, Ayam,
Tanggul, Kembang, Mebel, Jebres, Gede, Penumping, Klewer), kata imbuhan/turunan (Kabangan,
Singosaren, Nusukan, Ngemplak, Ngumbul, Widuran), kata majemuk (Triwindu, Cinderamata,
Bangunharjo, Rejosari, Pucangsawit, Panggungrejo, Sidomulyo, Tunggulsari, Sidodadi, Purwosari,
Harjodaksino, Notoharjo, Mojosongo), kata majemuk berafiks (Ngarsopuro), dan bentuk akronim
(Elpabes dan Kadipolo). Sedangkan bentuk frasa seperti Ngudi Rejeki Gilingan, Besi Tua, Ayu
Balapan. Selain itu, nama-nama pasar berdasarkan maknanya digolongkan menjadi tujuh yaitu
penamaan berdasarkan komoditas (Ayam, Kembang, Mebel, Besi Tua, Elpabes, Nongko,
Cinderamata), peristiwa (Triwindu, Legi, Kliwon, Klewer, Kadipolo, Ngumbul), lokasi (Sangkrah,
Depok, Tanggul, Jebres, Nusukan, Ngarsopuro, Pucangsawit, Purwosari, Ayu Balapan, Mojosongo,
Kabangan, Widuran), harapan (Rejosari, Bangunharjo, Panggungrejo, Sidomulyo, Tunggulsari,
Sidodadi, Harjodaksino, Notoharjo, Ngudi Rejeki Gilingan), kondisi (Joglo, Gede, Ngemplak), dan
nama tokoh (Penumping, Singosaren, Gading).
A. Pendahuluan
Pasar menjadi kebutuhan bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan perbelanjaan
rumah tangga. Saat ini banyak pasar yang menunjukkan modernitas seperti halnya mall,
namun juga masih masih banyak pasar tradisional. Eksistensi pasar tradisional hingga saat ini
menunjukkan bahwa masyarakat masih banyak yang minat berbelanja di sana. Meskipun
banyak pasar yang tergusur oleh pasar modern. Perbedaan antara pasar modern dan pasar
tradisional ini terletak pada sistem jual beli. Pasar tradisional memungkinkan pembeli untuk
melakukan negosiasi atau tawar menawar harga sehingga diperoleh kesepakatan harga antara
pedagang dan pembeli. Dalam sistem tawar menawar tersebut, pembeli dapat meminta harga
yang lebih murah daripada harga yang telah ditentukan. Oleh sebab itu, pasar tradisional
lebih banyak diminati masyarakat golongan menengah ke bawah. Sedangkan pasar modern
menetapkan harga tanpa adanya proses tawar menawar. Harga tersebut biasanya tercantum
dalam setiap produk, sehingga pembeli dapat mengetahui secara langsung. Jadi dapat
dikatakan bahwa pasar modern sebagai produk budaya modern sedangkan pasar tradisional
memiliki kebudayaan lokal.
Setiap pasar memiliki nama yang dapat digunakan untuk menandai ciri khas tertentu.
Seperti halnya nama pasar yang didasarkan pada barang dagangan. Barang dagangan yang
disediakan di pasar beraneka ragam, mulai dari sayuran, daging, bumbu dapur, makanan,
pakaian, buah, bahan-bahan kue, perabotan dapur, dan lain sebagainya. Akan tetapi tidak
semua pasar menyediakan barang dagangan seperti itu. Beberapa pasar tradisional ada yang
hanya menjual barang tertentu seperti hewan, pakaian, mebel atau elektronik. Maka beberapa
pasar diberi nama sesuai dengan barang yang dijual untuk menunjukkan bahwa pasar tersebut
hanya menjual satu jenis barang tersebut dan tidak menyediakan barang lainnya. Dari
penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa penamaan pasar pada dasarnya tidak hanya sebatas
pemberian nama, namun juga memiliki fungsi dan maknanya masing-masing. Hal itu sebagai
tanda bahwa masyarakat tidak hanya memberikan nama tanpa makna tetapi
mempertimbangkan filosofi penamaan itu sendiri.
Nama sebagai identitas diri biasanya digunakan untuk membedakan antara individu
satu dengan individu lainnya. Hal ini juga berlaku bagi penamaan pasar tradisonal. Pasar
tradisional biasanya memiliki nama yang menunjukkan lokasi atau wilayah berdirinya
bangunan pasar tersebut. Penamaan seperti ini banyak ditemui di berbagai kota di Indonesia.
Nama-nama pasar yang didasarkan pada lokasi atau wilayah biasanya diambil dari nama
kampung atau desa, kelurahan dan kecamatan. Hal ini bukan menunjukkan kurangnya
motivasi masyarakat membuat nama baru. Akan tetapi biasanya dilatarbelakangi oleh
identitas kepemilikan pasar. Misalnya, pasar Dawe yang ada di Kabupaten Kudus diambil
dari nama Kecamatan Dawe. Hal itu untuk menunjukkan bahwa pasar tersebut berdiri di
wilayah Kecamatan Dawe dan menjadi milik dari masyarakat Dawe itu sendiri.
Kajian tentang penamaan tempat ini disebut dengan toponimi. Beberapa kajian tentang
toponimi dalam ilmu linguistik telah banyak dilakukan. Akan tetapi penelitian tersebut lebih
mengarah pada penamaan jalan, bangunan, ruang publik (taman), perumahan, desa,
kelurahan, kecamatan, atau kota. Belum banyak peneliti yang melakukan penelitian toponimi
pada pasar tradisional. Padahal nama-nama pasar ini memiliki keunikan tersendiri, baik dari
segi nama itu sendiri maupun dari peristiwa atau sejarah yang melatarbelakangi penamaan.
Sehingga peneliti melakukan penelitian tentang toponimi pasar tradisional, khususnya di
wilayah kota Surakarta. Pemilihan wilayah tersebut didasarkan pada keunikan nama pasar
yang banyak dipengaruhi oleh sejarah atau cerita yang berkembang di masyarakat tentang
Kasunanan Surakarta. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian ini untuk mengetahui
bentuk-bentuk nama pasar tradisonal yang ada di Surakarta dan juga makna apa saja yang
terkandung di dalamnya.
B. Tinjuan Pustaka
Penelitian tentang Toponimi ini sudah banyak dilakukan. Berikut ini beberapa
penelitian tentang toponimi yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian yang ditulis oleh
Sarwono (2018) berjudul “Kosakata Bahasa Melayu Jambi Dalam Penamaan Rupabumi”.
Penelitian tersebut dilakukan untuk mendeskripsikan kosakata bahasa Melayu Jambi yang
digunakan untuk penamaan rupabumi. Data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua
macam yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari
informan dengan metode wawancara. Sedangkan data sekunder digunakan untuk melengkapi
data primer. Data tersebut diperoleh dari buku, koran, tabloid, majalah, internet, dan
monografi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu Jambi digunakan dalam sistem
penamaan taman, kebun, hotel, perumahan, restoran, toko, dan kantor. Sistem penamaan
ini memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda, seperti penamaan taman dan kebun yang
menggunakan kata taman, kebon, rimbo, ilok, jeramba, payo, pematang, roban, talang,
nio, dan buluh. Berbeda halnya dengan penamaan hotel yang menggunakan kata serambi,
tengganai, penteh, gaho, dan masinding. Penamaan perumahan menggunakan kata
jelutung, telanaipura, buluran, dan selincah. Selain itu juga menggunakan nama-nama
tokoh cerita seperti Tapah Malenggang, si Guntang, dan Sati Menggung. Penamaan restoran,
toko, dan kantor menggunakan kata tepek, nio, tekuyung, ibat, kawo, pudu, dan lempok.
Penelitian selanjutnya adalah skripsi yang ditulis oleh Sihombing (2018) berjudul
“Toponimi Desa-desa di Kabupaten Dairi Kajian Antropolinguistik”. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif deskriptif. Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk
mendeskripsikan makna nama-nama desa di Kabupaten Dairi. Metode yang digunakan
dalam pengumpulan data adalah metode wawancara dan disertai dengan teknik pancing,
teknik rekam, dan teknik catat. Pada tahap analisi data digunakan metode padan referensial
dan disertai dengan teknik pilah unsur penentu sebagai pembeda referen. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa penamaan nama-nama desa di Kabupaten Dairi dibentuk berdasarkan
pengalaman masyarakat setempat atau yang tinggal di daerah tersebut. Makna tersebut
dimasukkan dalam tiga kategori toponimi yaitu aspek perwujudan yang terdiri dari wujud air,
muka bumi, flora, fauna, dan adopsi nama atau unsur dari benda alam.kategori kedua kedua
yaitu aspek kemasyarakatan yang terdiri dari politik, ekonomi, tradisi, adat , suatu komunitas,
dan tokoh masyarakat. kategori ketiga adalah aspek kebudayaan yang terdiri dari mitos,
folklor, dan sistem kepercayaan masyarakat setempat.
Penelitian tentang toponimi ini tidak hanya berupa penamaan jalan, desa, kantor, taman,
perumahan, tetapi juga digunakan dalam penamaan pasar. Penelitian tentang toponimi pasar
ini ditulis oleh Robiansyah (2017) yang berjudul “Toponimi Pasar Tradisional di Kota
Yogyakarta”. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sistem penamaan
pasar di kota Yogyakarta dan sejarah yang melatarbelakangi pemberian nama tersebut. Data
yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 31 nama pasar yang mengacu pada peraturan
Walikota Yogyakarta nomor 17 tahun 2007. Ada beberapa tahapan yang dilakukan peneliti
yaitu tahap pengumpulan, analisis data dan penyajian hasil analisis data. Pada tahap
pengumpulan data, peneliti menggunakan metode studi pustaka dan wawancara semuka.
Tahap analisis menggunakan metode padan dan agih. Sedangkan pada tahap penyajian hasil
analisis menggunakan metode formal dan informal. Hasil penelitian tersebut ditemukan 4
bentuk nama pasar yaitu: bentuk kata monomorfemis, bentuk kata polimorfemis, bentuk kata
polimorfemis berupa kata majemuk, dan frasa nominal. Selain itu, ada lima jenis klasifikasi
toponimi yaitu: toponimi vegetasi, toponimi berdasarkan komoditas, toponimi berdasarkan
peristiwa bersejarah, toponimi berdasarkan pemberian, dan toponimi berdasarkan wilayah.
C. Landasan Teori
Kajian Toponimi dalam bidang linguistik tidak hanya cukup menggunakan satu teori
saja. Akan tetapi dibutuhkan beberapa teori dalam deskripsi linguistik. Penelitian ini sendiri
menggunakan beberapa teori berikut ini.
1. Proses Morfologi
Dalam bahasa Jawa dikenal adanya istilah morfem bebas dan morfem terikat. Morfem
bebas ini morfem yang dapat berdiri sendiri tanpa harus dilekati oleh morfem lainnya, seperti
halnya kata abang, gabah, gede, dll. Sedangkan morfem terikat tidak dapat berdiri sendiri
seperti afiks, sufiks, infiks, atau konfiks –an, -i, -ake, N-, ke-, peN-, di-, -um,-in-
(Poedjosoedarmo, dkk, 2015:9). Morfem inilah yang disebut sebagai morfofonemik.
Morfem-morfem bebas tersebut dapat mengalami proses morfologi seperti afiksasi,
reduplikasi, pengubahan bunyi, baik vokal maupun konsonan, pemajemukan, dan
penyingkatan atau akronim. Pada pembahasan ini, proses morfologi yang digunakan dalam
analisis adalah afiksasi, pemajemukan, dan akronim.
Seperti halnya bahasa Indonesia, bahasa Jawa terdapat proses afiksasi. Afiksasi adalah
pembentukan kata yang dibentuk dengan mengimbuhkan awalan (prefiks), sisipan (infiks),
akhiran (sufiks) atau gabungan dari imbuhan-imbuhan tersebut (konfiks) (Pedjosoedarmo,
dkk, 2015:10). Selain afiksasi, proses morfologi lainnya adalah pemajemukan dan
akronimisasi. Pemajemukan ini dapat dibentuk dengan beberapa cara seperti penggabungan
dua kata atau lebih, serta pemajemukan dari proses akronimisasi seperti kata camboran tugel
(Poedjosoedarmo, dkk, 2015:12). Oleh sebab itu, dalam bukunya Poedjosoedarmo membahas
kedua proses tersebut dalam satu sub-bab yang sama.
2. Frase Nominal
Pengertian frase menurut Keraf (1991:175) adalah satuan gramatik yang terdiri dari
dua kata atau lebih yang masing-masing mempertahankan makna dasar katanya dan setiap
unsur pembentuknya tidak berfungsi sebagai subjek dan predikat dalam konstruksi
tersebut. Pengertian ini dapat membedakan frase dan kata majemuk. Meskipun keduanya
memiliki cara pembentukan yang sama. Namun frase masih mempertahankan makna
unsur-unsurnya. Sedangkan kata majemuk terdiri dari gabungan dua kata atau lebih yang
memiliki makna baru, tetapi masih bisa dirunut dari unsur-unsurnya.
Salah satu jenis frase yang dibahas dalam penelitian ini adalah frase nominal. Frase
nominal merupakan frase yang memiliki distribusi yang sama dengan nominal (Ramlan,
2005:145). Sedangkan menurut Wedhawati, dkk (2001) frase nominal merupakan susunan
dua kata atau lebih dan nominal menduduki fungsi sebagai intinya. Ramlan (2005:146-
149) menjelaskan pola pembentukan frase nomina berdasarkan kategori pengisinya ada
dua belas macam, yaitu nomina diikuti nomina, nomina diikuti verba, nomina diikuti
bilangan, nomina diikuti keterangan, nomina diikuti frasa depan, nomina didahului
bilangan, nomina didahului kta sandang, Yang diikuti nomina, Yang diikuti verba, Yang
diikuti bilangan, Yang diikui keterangan, Yang diikuti frasa depan.
3. Makna
Pembahasan mengenai makna ini menjadi bidang kajian ilmu semantik. Menurut
Ullman (dalam Pateda 2010:82) mengemukakan tiga istilah yaitu name, sense, thing. Makna
dijelaskan sebagai thing yang memiliki hubungan timbal balik dengan kedua unsur lainnya.
Hal ini sama dengan teori referensil yang diusung oleh Odgen & Ricards (1923). Dalam teori
tersebut juga mengemukakan tiga istilah namun berbeda penyebutan yaitu symbol, reference,
dan referent. Makna menduduki posisi sebagai reference atau konsep. Definisi konsep atau
reference menurut Stern (1931) adalah suatu yang dilambangkan dengan sebuah kata atau
simbol dan makna yang merujuk. Dari pengertian tersebut dapat diperoleh pemahaman
tentang relasi atau hubungan antara reference dengan symbol ini secara langsung, begitu juga
reference dengan referen (Odgen and Ricards, 1923: 11). Sedangkan hubungan antara konsep
tidak memiliki hubungan secara langsung karena pada hakikatnya suatu simbol atau kata
dapat merujuk pada benda tertentu didasarkan pada kesepakatan bersama.
4. Toponimi
Toponimi berasal dari Jerman yaitu kata topos yang berarti tempat dan onomia yang
berarti nama (Berg dan Voulteenahoo, 2017). Jadi toponimi adalah ilmu yang mempelajari
tentang nama-nama tempat di suatu wilayah. Secara etimologi, toponimi menyelidi nama-
nama tempat yang digunakan untuk mengungkapkan pola-pola penamaan. Misalnya,
penamaan suatu tempat yang didasarkan pada nama tokoh tertentu. Nama tokoh yang
digunakan di suatu daerah digunakan untuk menghormati tokoh tersebut yang dianggap
sebagai simbol semangat kebangsaan, identitas komunitas. Sedangkan penamaan jalan pada
masa pos-kolonial dianggap sebagai alat ideologi untuk membebaskan wilayah dari asosiasi
kolonial dan mencapai pengesahan secara politik (Berg dan Voulteenahoo, 2017). Toponimi
pada awalnya hanya digunakan dalam ilmu etimologi, filologi, dan semantik. Meskipun pada
umumnya ilmu ini digunakan dalam sejarah, geografi, dan kartografi. Akan tetapi pada
perkembangannya toponimi juga digunakan dalam bidang linguistik dan onomastik yaitu
ilmu yang mempelajari tentang proper name atau nama diri.
Nama tempat merupakan sebuah fenomena sosial yang sejak dulu ada dan menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari. Sebuah nama tempat, lokasi tertentu, atau ruang secara
fisik dapat memberikan identitas serta membedakan wilayah tersebut dengan wilayah lainnya
(Sarmah, 2017). Oleh sebab itu, beberapa wilayah atau tempat memiliki nama yang berbeda
dengan wilayah lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa penamaan suatu wilayah menjadi hal
yang penting untuk ditelusuri. Toponimi ini merujuk pada studi ilmiah tentang penamaan
tempat, asal muasal, makna, kegunaan, dan tipologi (Sarmah, 2017). Hal yang mendasari
masyarakat dalam memberikan nama pada suatu tempat atau wilayah adalah untuk
mengidentifikasi wilayah mereka berdasarkan karakteristiknya. Jadi nama tempat ini tidak
hanya berisi sejarah tempat tersebut tetapi juga dapat menjelaskan informasi lainnya yang
berkaitan dengan politik, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat di wilayah tersebut. nama
tempat juga dapat memberikan informasi mengenai perkembangan suatu masyarakat.
Toponimi ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu nama tempat tinggal dan nama fitur.
Nama tempat tinggal menunjukkan suatu tempat yang ditinggali oleh manusia, seperti halnya
perumahan, desa, kota, dan sebagainya. sedangkan nama fitur ini merujuk pada fitur fisik
atau alami suatu wilayah yang terbagi kedalam hidronimi (fitur air), oronimi (fitur relif), dan
tempat dimana tanaman secara alami tumbuh, seperti padang rumput, hutan, atau semak
belukar (Sarmah, 2017). Nida (dalam Sudaryat, 2009: 10) mengklasifikasikan sepuluh cara
penamaan tempat yaitu peniruan bunyi, penyebutan bagian, penyebutan, apelativa,
penyebutan sifat atau ciri khusus, penyebutan tempat, penyebutan bahan, penyebutan
keserupaan, pemendekan kata, penamaan baru, serta pemberian istilah.
D. Metode
Tahap berikutnya adalah tahap analisis data. Metode yang digunakan dalam analisis
data ini adalah metode padan referensial. Metode padan merupakan metode analisis data yang
alat penentunya berada di luar bagian dari bahasa, yaitu referensi yang terkandung dalam
nama-nama pasar tradisional di Surakarta (Sudaryanto, 1993:13). Teknik yang digunakan
adalah teknik pilah unsur penentu (PUP) dengan teknik lanjutan berupa teknik
hubungbanding menyamakan (HBS). Teknik ini berguna untuk mencari persamaan antara
unsur-unsur penentunya. Setelah dilakukan analisis, tahap terakhir adalah tahap penyajian
hasil analisis data. Pada tahap ini, hasil penelitian dideskripsikan dalam bentuk kata dan
disajikan dalam bentuk tabel untuk mempermudah pembaca memahaminya.
a. Bentuk Kata
Beberapa nama pasar tradisional ini juga menunjukkan bentuk kata yang mengalami
proses morfologis berupa afiksasi. Seperti halnya kata Kabangan yang berasal dari kata
abang dan mendapatkan imbuhan berupa konfiks ka-an. Kata Nusukan yang berasal dari kata
tusuk yang mendapatkan prefiks N- menjadi kata nusuk dan mendapatkan sufiks –an,
sehingga menjadi kata nusukan. Kata Singosaren dan Widuran yang terdiri dari kata
singosari dan widuro yang mendapatkan sufiks –an. Selain itu ada kata Ngemplak dan
Ngumbul yang berasal dari kata emplak dan umbul. Masing-masing kata tersebut
mendapatkan prefiks nasal.
Beberapa nama pasar tradisional juga memiliki bentuk kata majemuk, seperti Triwindu,
Cinderamata, Bangunharjo, Rejosari, Pucangsawit, Panggungrejo, Sidomulyo, Tunggulsari,
Sidodadi, Purwosari, Harjodaksino, Notoharjo, dan Mojosongo. Kata majemuk lainnya
adalah Ngarsopuro. Kata tersebut berasal dari arsapura yang mendapatkan prefiks nasal
menjadi ngarsapuro.
b. Bentuk Frasa
Nama-nama pasar tradisional di Surakarta lebih dominan dalam bentuk kata. Sehingga
tidak banyak dijumpai dalam bentuk frasa. Ada dua nama pasar yang terdiri dari dua kata,
yaitu Besi Tua dan Ayu Balapan. Selain itu, ada juga nama pasar yang terdiri dari tiga kata,
yaitu Ngudi Rejeki Gilingan.
Nama pasar juga dapat didasarkan pada komoditas atau produk yang diperjualbelikan di
suatu pasar. Pada umumnya pasar tradisional menjual kebutuhan pokok berupa makanan,
pakaian, sayur mayur, dan perabotan dapur. Namun, hal ini berbeda dengan pasar-pasar yang
hanya menjual satu jenis produk tertentu. Beberapa nama pasar yang didasarkan pada
komoditasnya adalah pasar Ayam, Kembang, Mebel, Besi Tua, Elpabes, Nongko dan
Cinderamata. Dari beberapa nama tersebut dapat diketahui jenis komoditas setiap pasar
seperti pasar ayam yang menjual berbagai jenis ayam. Pasar Cinderatama yang menjadi
tempat grosir pakaian, tas, boneka, atau oleh-oleh khas Surakarta lainnya.
Pasar lainnya yang memiliki nama berdasarkan suatu peristiwa adalah pasar Klewer
berasal dari kata kleweran yang berarti menjuntai. Sebelum berdirinya pasar Klewer, banyak
para pedagang kain batik yang memanggul barang dagangannya di bahu. Kain-kain batik
yang dipanggul tersebut tidak dikemas dalam wadah atau dilipat tetapi dibiarkan terbuka dan
menjuntai hingga ke bawah. Pasar Ngumbul juga memiliki makna yang erat kaitannya
dengan sejarah lokasi pasar yang dulunya sering dijadikan sebagai tempat bermain
menerbangkan layang-layang. Selanjutnya, pasar Kadipolo yang menurut masyarakat sekitar
diambil dari kata „koyo diploro-ploro’ atau dalam bahasa Indonesia berarti „seperti disakiti‟.
Hal itu menunjukkan rasa sakit hati dan kekecewaan yang dialami oleh penduduk setempat
yang meminta upeti atau ganti rugi atas tanah di Kadipiro yang digunakan untuk
pembangunan keraton Surakarta.
Penamaan berdasarkan lokasi ini adalah penamaan pasar yang didasarkan pada letak
bangunan tersebut berdiri. Penamaan ini dapat berupa nama kota, desa atau kampung,
kelurahan, kecamatan, dusun, san sebagainya. Adapun nama-nama pasar di Surakarta
didasarkan pada nama jalan, kampung, kelurahan, kecamatan, dan nama stasiun. Beberapa
nama pasar yang menunjukkan tempat pasar tersebut berada adalah pasar Sangkrah, Depok,
Tanggul, Nusukan, Jebres, Ngarsopuro, Pucangsawit, Purwosari, Ayu Balapan, Mojosongo,
Widuran dan Kabangan.
Pasar Bangunharjo ini diambil dari kata bangun dan harjo. Kata bangun memiliki arti
„tangi, gumregah’ (Poerwadarminta, 1939:30). Sedangkan kata harjo memiliki makna
kenyamanan, dan menyenangkan (Home, 1974:227). Jadi kata Bangunharjo memiliki makna
harapan bahwa pasar tersebut menjadi pasar yang nyaman dan menyenangkan bagi pembeli
dan pedagangnya. Nama Rejosari yang berasal dari dua kata yaitu reja berarti tenteram dan
banyak orangnya (Poerwadarminta, 1939:525) dan kata sari berarti indah (Poerwadarminta,
1939:546). Jadi, harapannya pasar ini dimenjadi tempat yang menenteramkan, ramai pembeli,
dan tempat yang indah.
Nama Panggungrejo berasal dari kata panggung dan rejo. Kata panggung berarti ‘omah
kang duwur’ yaitu rumah yang tinggi (Poerwadarminta, 1939:469). Kata reja berarti „tentrem
serta akeh wonge’ (tenteram dan banyak orangnya) (Poerwadarminta, 1939:525). Nama
Sidomulyo ini juga merupakan pemberian nama yang berisi harapan agar pedagangnya dapat
hidup berkecukupan dari hasil berjuang. Kata Tunggulsari itu sendiri dibentuk dari dua kata
yaitu tanggul dan sari. Menurut Poerwadarminta kata tunggul berarti ‘tetunggul kang
pinunjul dewe, pengarep’ atau dalam bahasa Indonesia berarti yang utama (1939:615),
sedangkan kata sari berarti ‘asri; endah’ (1939:546). Jadi nama Tunggulsari berarti harapan
agar pasar ini menjadi pasar yang maju dan indah.
Nama Sidodadi merupakan nama yang terbentuk dari dua kata sida dan dadi. Sida
berarti „jadi; terlaksana; tidak dibatalkan‟ (Mangunsuwito, 2004: 239) dan kata dadi berarti
„maujud saka ing ora ono’ atau menjadi kenyataan (Poerwadarminta, 1939:62). Jadi nama
Sidodadi ini berarti pasar yang dulunya tidak ada akhirnya bangunan tersebut dapat
diwujudkan. Kata harjodaksiono ini dibentuk dari dua kata yaitu harja dan daksina. Kata
harja berarti damai dan nyaman (Home, 1974:227). Sedangkan kata daksino berarti
„paweweh marang pendita’ yaitu „yang diberi oleh pendita”. Jadi makna nama tersebut
adalah kedamaian yang diberikan tuhan. Nama ngudi rejeki berasal dari kata kerja ngudi dan
kata nomina rejeki. Ngudi berarti „njaluk kanti temen-temen’ (meminta dengan bersungguh-
sungguh) (Poerwadarminta, 1939:414). Sedangkan kata rejeki bermakna „pangan (sega),apa-
apa sing perlu kanggo urip‟atau dalam bahasa Indonesia berarti segala kebutuhan untuk
hidup (Poerwadarminta, 1939:525). Jadi kata ngudi rejeki berarti permohonan kepada tuhan
agar diberikan rejeki.
e. Penamaan Berdasarkan Kondisi
Penamaan pasar berdasarkan kondisi yaitu nama yang diambil tersebut menggambarkan
kondisi pasar dari berbagai segi. Seperti halnya kondisi wilayah dibangunnya pasar, kondisi
bangunan, ciri fisik bangunan, dan sebagainya. Pasar yang ada dalam kategori ini adalah
pasar Joglo, Gede, dan Ngemplak. Penamaan pasar Joglo ini bukan didasarkan pada bentuk
bangunannya yang mirip dengan rumah joglo. Joglo sebagai rumah adat di Jawa Tengah
merupakan ikon atau simbol kekhasan arsitektur bangunan yang tidak dimiliki oleh daerah
lain. Bahkan bentuk bangunan keraton Kasunanan Surakarta juga memiliki susunan yang
mencerminkan bentuk bangunan joglo. Bentuk arsitektur tersebut dapat dilihat pada bagian
pendhapa. Sedangkan pasar Gede merujuk pada kondisi bangunan pasar yang sangat besar.
Bahkan pasar ini dinobatkan sebagai pasar terbesar di Surakarta. Pasar Ngemplak merujuk
pada kondisi lokasi pasar yang panas dan gersang. Kata ngemplak berarti „mluwa ora
ditanduri apa-apa’ yaitu keadaan daerah yang kering dan tidak ditanami pepohonan
(Poerwadarminta, 1939:391).
Penamaan berdasarkan nama tokoh yaitu nama-nama pasar yang diambil dari nama-
nama tokoh penting di Surakarta. Biasanya nama tokoh yang diambil ini merupakan tokoh
yang ada di Kasunanan Suarakata. Beberapa nama pasar yang diambil dari nama tokoh
adalah pasar Penumping, Singosaren, dan Gading. Seperti halnya pasar Penumping yang
merujuk pada salah satu profesi abdi dalem yang ada di keraton Kasunanan Surakarta
(Sartikasari, 2012:24). Pasar Gading yang merujuk pada salah satu abdi dalam raja yang
pekerjaannya gadhingan, yaitu sebutan untuk orang suci demi kejayaan keraton. Nama Abdi-
abdi tersebut memiliki tugas utama yang dilaksanakan pada saat raja meninggal. Pasar
Singosaren juga diambil dari salah satu nama menantu Paku Buwono X yaitu Pangeran
Singosari.
F. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa nama-nam pasar tradisional
di Surakarta memiliki bentuk kata dan makna yang beragam. Berdasarkan bentuk katanya,
nama pasar ini dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, bentuk kata yaitu nama-nama pasar
tradisional yang berupa kata dasar, kata imbuhan (turunan), kata majemuk, akronim, dan kata
majemuk berakfiks, seperti Sangkrah, Nongko, Legi, Kliwon, Joglo, Gading, Depok, Ayam,
Tanggul, Kembang, Mebel, Jebres, Gede, Penumping, Klewer, Kabangan, Singosaren,
Nusukan, Ngemplak, Ngumbul, Widuran, Triwindu, Cinderamata, Bangunharjo, Rejosari,
Pucangsawit, Panggungrejo, Sidomulyo, Tunggulsari, Sidodadi, Purwosari, Harjodaksino,
Notoharjo, Mojosongo, Ngarsopuro, Elpabes dan Kadipolo. Kedua, bentuk frasa yaitu nama-
nama pasar yang terdiri dari dua kata atau lebih, seperti Ngudi Rejeki Gilingan, Besi Tua, Ayu
Balapan.
Daftar Pustaka
Berg dan Voulteenahoo. 2017. Critical Toponymies: The Contested Politics of Place
Naming. London: Routledge.
Home, Elinor C. 1974. Javanese-English Dictionary. New Hven & London: Yale University
Press.
Keraf, Gorys. 1991. Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Ende: Nusa
Indah.
Mangunsuwito, S.A. 2004. Kamus Bahasa Jawa: Jawa-Indonesia. Bandung: CV. Yrama
Widya.
Odgen, C.K. dan I.A. Richards. 1923. The Meaning of Meaning. New York: A Harvest Book.
Poedjosoedarmo, dkk. 2015. Morfologi Bahasa Jawa. Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baooesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters Uitgevers
Maatschaappij Grongingen.
Sartikasari, Dian. 2012. “Tugas dan Fungsi Abdi Dalem Harya Leka dalam Penanggalan
Jawa di Keraton Kasunanan Surakarta Pada Masa Pakubuwana X”. Skripsi. Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.
Sarwono, Ristanto. 2018. “Kosakata Bahasa Melayu Jambi dalam Penamaan Rupabumi”.
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesusastraan Volum 15, Nomor 1.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana
University.