Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Usus besar merupakan salah satu organ yang penting dalam tubuh kita. Sehingga

jika terjadi kelainan atau terdapat patologi pada usus besar maka dapat mengakibatkan

dampak yang besar bagi tubuh yaitu salah satunya mengganggu jalannya pencernaan.

Kelainan atau patologi yang sering kali muncul pada usus besar adalah karsinoma, polip,

kolitis ulseratif dan abses. Setelah diketahui patologinya, tindakan medis yang biasa

dilakukan adalah dengan colostomy. Colostomy adalah lobang buatan pada daerah colon

yang sengaja dibuat oleh dokter bedah setelah memotong dan mengangkat daerah usus

yang terinfeksi.

Colostomy dibuat sementara waktu, sambil menunggu untuk dapat disambung

kembali. Sebelum disambung, biasanya dilakukan pemeriksaan Lopografi yang

digunakan untuk membantu menentukan tinadakan medis selanjutnya. Pemeriksaan

Lopografi adalah teknik pemeriksaan secara radiologis dari usus dengan memasukkan

media kontras positif kedalam usus melalui lobang buatan (colostomy) pada daerah

abdomen.

Di Instalasi Radiologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta terdapat permintaan foto

Lopografi pada pasien dengan indikasi hirschsprung post colostomy. Pada pemeriksaan

ini terdapat beberapa perbedaan dengan teori yang penulis dapatkan di perkuliahan.

Dengan adanya perbedaan tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh

tentang pemeriksaan Lopografi di Instalasi Radiologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta.

1
B. Rumusan Masalah

Agar dalam penyusunan Studi Kasus ini dapat terarah dan karena terbatasnya

waktu serta kemampuan penulis, maka penulis hanya membahas:

1. Apa tujuan dilakukannya pemeriksaan Lopografi pada Klinis Hirschsprung Disease

Post Colostomy di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta

2. Bagaimana teknik pemeriksaan Lopografi Pada Kasus Hirschsprung Post

Colostomy di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta.

C. Tujuan Penulisan

Penulis mengambil judul “Teknik Pemeriksaan Lopografi pada Kasus

Hirschsprung Post Colostomy di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta”, dengan tujuan :

1. Mengetahui prosedur pemeriksaan Lopografi pada Kasus Hirschsprung Post

Colostomy di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta.

2. Mengetahui perbedaan pemeriksaan Lopografi pada Kasus Hirschsprung Post

Colostomy di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta dengan teori yang telah penulis

dapatkan.

3. Untuk memenuhi laporan mata kuliah Praktek Kerja Lapangan II.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Dan Fisiologi Usus Besar (Kolon)

1. Definisi

Usus besar menutupi usus kecil melalui 3 sisi dan berjalan dari katub ileosekal

menuju anus. Diameternya lebih besar dari usus kecil (oleh karena itu disebut usus

besar), tapi lebih pendek. Fungsi utamanya adalah mengabsorbsi air dari sisa-sisa

makanan yang dicerna dan mengeluarkannya dalam bentuk semisolid.

Pada hampir seluruh panjangnya, usus besar memiliki tiga keunikan yang tidak

terdapat pada organ tubuh lainnya; taenia coli, haustra dan appendik epiploica. Kecuali

pada bagian ujung terminalnya, bagian longitudinal dari lapisan otot direduksi menjadi 3

barisan otot polos disebut taenia coli (artinya pita dari kolon). Adanya variasi dari dinding

usus besar membentuk suatu kantongan yang disebut haustra (artinya menggambarkan

variasi). Dan terakhir sangat jelas adalah appendik epiploika, suatu lapisan lemak kecil dari

3
peritonium viseralis yang menggantung pada permukaan kolon. Kegunaannya belum

diketahui.

a. Sekum

Sekum merupakan kantong dengan ujung buntu yang menonjol ke

bawah pada regio iliaca kanan, di bawah junctura ileocaecalis. Appendiks

vermiformis berbentuk seperti cacing dan berasal dari sisi medial usus besar.

Panjang sekum sekitar 6 cm dan berjalan ke kaudal.

Sekum berakhir sebagai kantong buntu yang berupa processus

vermiformis (apendiks) yang mempunyai panjang antara 8-13 cm.

b. Kolon asenden

Kolon asenden berjalan ke atas dari sekum ke permukaan inferior lobus

kanan hati, menduduki regio illiaca dan lumbalis kanan. Setelah sampai ke hati,

kolon asenden membelok ke kiri, membentuk fleksura coli dekstra (fleksura

hepatik). Kolon asenden ini terletak pada regio illiaca kanan dengan panjang

sekitar 13 cm.

c. Kolon transversum

Kolon transversum menyilang abdomen pada regio umbilikalis dari

fleksura coli dekstra sampai fleksura coli sinistra. Kolon transversum

membentuk lengkungan seperti huruf u. Pada posisi berdiri, bagian bawah U

dapat turun sampai pelvis. Kolon transversum, waktu mencapai daerah limpa,

membelok ke bawah membentuk fleksura coli sinistra (fleksura lienalis) untuk

kemudian menjadi kolon desenden.

d. Kolon desenden

Kolon desenden terletak pada regio illiaca kiri dengan panjang sekitar

25 cm. Kolon desenden ini berjalan ke bawah dari fleksura lienalis sampai

4
pinggir pelvis membentuk fleksura sigmoideum dan berlanjut sebagai kolon

sigmoideum.

e. Kolon sigmoideum

Kolon sigmoideum mulai dari pintu atas panggul. Kolon sigmoideum

merupakan lanjutan kolon desenden dan tergantung ke bawah dalam rongga

pelvis dalam bentuk lengkungan.

f. Rektum

Rektum menduduki bagian posterior rongga pelvis. Rektum merupakan

lanjutan dari kolon sigmoideum dan berjalan turun di depan sekum,

meninggalkan pelvis dengan menembus dasar pelvis. Setelah itu rektum

berlanjut sebagai anus dalam perineum. Menurut Pearce (2003), rektum

merupakan bagian 10 cm terbawah dari usus besar, dimulai pada kolon

sigmoideum dan berakhir ke dalam anus yang dijaga oleh otot internal dan

eksternal.

Keterangan :
1. Apendiks
2. Sekum
3. Persambungan ileosekal
4. Apendises epiploika
5. Kolon asendens
6. Fleksura hepatika
7. Kolon transversal
8. Fleksura lienalis
9. Haustra
10. Kolon desendens
11. Taenia koli
12. Kolon sigmoid
13. Kanalis Ani
14. Rektum
15. Anus

Gambar 2. Usus Besar / Kolon (Bontrager 2010)

5
2. Fungsi usus besar :

a. Absorbsi air dan elektrolit

Penyerapan air dan elektrolit sebagian besar berlangsung di separuh atas

kolon. Dari sekitar 1000 ml kimus yang masuk ke usus setiap hari, hanya 100 ml

cairan dan hampir tidak ada elektrolit yang diekskresikan. Dengan mengeluarkan

sekitar 90 % cairan, kolon mengubah 1000-2000 ml kimus isotonik menjadi

sekitar 200-250 ml tinja semi padat. Dalam hal ini kolon sigmoid berfungsi

sebagai reservoir untuk dehidrasi masa feases sampai defekasi berlangsung.

b. Sekresi mukus.

Mukus adalah suatu bahan yang sangat kental yang membungkus dinding

usus. Fungsinya sebagai pelindung mukosa agar tidak dicerna oleh enzim-enzim

yang terdapat didalam usus dan sebagai pelumas makanan sehingga mudah

lewat. Tanpa pembentukan mukus, integritas dinding usus akan sangat

terganggu, selain itu tinja akanmenjadi sangat keras tanpa efek lubrikasi dari

mukus.

Sekresi usus besar mengandung banyak mukus. Hal ini menunjukkan

banyak reaksi alkali dan tidak mengandung enzim. Pada keadaan peradangan

usus, peningkatan sekresi mukus yang banyak sekali mungkin bertanggung

jawab dan kehilangan protein dalam feases.

c. Menghasilkan bakteri

Bakteri usus besar melakukan banyak fungsi yaitu sintesis vitamin K dan

beberapa vitamin B. Penyiapan selulosa yang berupa hidrat karbon di dalam

tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, sayuran hijau dan penyiapan sisa protein yang

belum dicernakan merupakan kerja bakteri guna ekskresi.

6
Mikroorganisme yang terdapat di kolon terdiri tidak saja dari eschericia

coli dan enterobacter aerogenes tetapi juga organisme-organisme pleomorfik

seperti bacteriodes fragilis. Sejumlah besar bakteri keluar melalui tinja. Pada saat

lahir kolon steril, tetapi flora bakteri usus segera tumbuh pada awal masa

kehidupan.

d. Defikasi (pembuangan air besar)

Defikasi terjadi karena kontraksi peristaltik rektum. Kontraksi ini

dihasilkan sebagai respon terhadap perangsangan otot polos longitudinal dan

sirkuler oleh pleksus mienterikus. Pleksus mienterikus dirangsang oleh saraf

parasimpatis yang berjalan di segmen sakrum korda sinalis (Corw. Defekasi

dapat dihambat dengan menjaga agar spingter eksternus tetap berkontraksi atau

dibantu dengan melemaskan spingter dan mengkontraksikan otot-otot abdomen

B. Patologi Hirschsprung Disease

1. Definisi

Hirschsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana

tidak dijumpai pleksus auerbach dan pleksus meisneri pada kolon. sembilan

puluh persen (90%) terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat mengenai

seluruh kolon bahkan seluruh usus (Total Colonic Aganglionois (TCA). Tidak

adanya ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik

sehingga terjadi ileus fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang

berlebihan pada kolon yang lebih proksimal.

Penyakit Hirschsprung harus dicurigai apabila seorang bayi cukup

bulan dengan berat lahir ≥ 3 kg (penyakit ini tidak bisa terjadi pada bayi kurang

bulan) yang terlambat mengeluarkan tinja.1,2 Trias klasik gambaran klinis pada

7
neonatus adalah pengeluaran mekonium yang terlambat, yaitu lebih dari 24 jam

pertama, muntah hijau, dan perut membuncit keseluruhan.

Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini

mungkin mengingat berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat

membahayakan jiwa pasien seperti enterokolitis, pneumatosis usus, abses

perikolon, perforasi, dan septikimia yang dapat menyebabkan kematian.

Enterokolitis merupakan komplikasi yang amat berbahaya sehingga mortalitasnya

mencapai 30% apabila tidak ditangani dengan sempurna. Diagnosis penyakit ini

dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan rontgen

dengan enema barium, pemeriksaan manometri, serta pemeriksaan patologi

anatomi.

2. Etiologi

Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel

saraf parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion

selalu tidak ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal.1

a) Ketiadaan sel-sel ganglion

Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner)

dan pleksus myenteric (Auerbach) pada usus bagian distal merupakan

tanda patologis untuk Hirschsprung’s disease. Okamoto dan Ueda

mempostulasikan bahwa hal ini disebabkan oleh karena kegagalan migrasi

dari sel-sel neural crest vagal servikal dari esofagus ke anus pada minggu ke

5 smpai 12 kehamilan. Teori terbaru mengajukan bahwa neuroblasts mungkin

bisa ada namun gagal untuk berkembang menjadi ganglia dewasa yang

berfungsi atau bahwa mereka mengalami hambatan sewaktu bermigrasi atau

8
mengalami kerusakan karena elemen-elemen didalam lingkungn mikro dalam

dinding usus. Faktor-faktor yang dapat mengganggu migrasi, proliferasi,

differensiasi, dan kolonisasi dari sel-sel ini mingkin terletak pada genetik,

immunologis, vascular, atau mekanisme lainnya.

b) Mutasi pada RET Proto-oncogene

Mutasi pada RET proto-oncogene,yang berlokasi pada kromosom

10q11.2, telah ditemukan dalam kaitannya dengan Hirschsprung’s disease

segmen panjang dan familial. Mutasi RET dapat menyebabkan hilangnya

sinyal pada tingkat molekular yang diperlukan dalam pertubuhan sel dan

diferensiasi ganglia enterik. Gen lainnya yang rentan untuk Hirschsprung’s

disease adalah endothelin-B receptor gene (EDNRB) yang berlokasi pada

kromososm 13q22. sinyal darigen ini diperlukan untuk perkembangan dan

pematangan sel-sel neural crest yang mempersarafi colon. Mutasi pada gen ini

paling sering ditemukan pada penyakit non-familial dan short-segment.

Endothelian-3 gene baru-baru ini telah diajukan sebagai gen yang rentan juga.

Defek dari mutasi genetik ini adalah mengganggu atau menghambat

pensinyalan yang penting untuk perklembangan normal dari sistem saraf

enterik. Mutasi pada proto- oncogene RET adalah diwariskan dengan pola

dominan autosom dengan 50-70% penetrasi dan ditemukan dalam sekitar 50%

kasus familial dan pada hanya 15-20% kasus spordis. Mutasi pada gen

EDNRB diwariskan dengan pola pseudodominan dan ditemukan hanya pada

5% dari kasus, biasanya yang sporadis.

9
c) Kelainan dalam lingkungan

Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat

mencegah migrasi sel-sel neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu

peningkatan bermakna dari antigen major histocompatibility complex (MHC)

kelas 2 telah terbukti terdapat pada segmen aganglionik dari usus pasien

dengan Hirschsprung’s disease, namun tidak ditemukan pada usus dengan

ganglionik normal pada kontrol, mengajukan suatu mekanisme autoimun

pada perkembangan penyakit ini.

d) Matriks Protein Ekstraseluler

Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan

sel dan pergerkan dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins

laminin dan kolagen tipe IV yang tinggi alam matriks telah ditemukan dalam

segmen usus aganglionik. Perubahan dalam lingkungan mikro ini didalam

usus dapat mencegah migrasi sel-sel normal neural crest dan memiliki peranan

dalam etiologi dari Hirschsprung’s disease.

Penyakit Hirschsprung ditemukan pada kelainan-kelainan kongenital sebagai berikut:

1. Sindrom Down
9. Cartilage-hair hypoplasia
2. Sindrom Neurocristopathy 10. Sindrom hypoventilasi entral

3. Sindrom Waardenburg-Shah primer (Ondine’s curse)

11. Penyakit Chagas, pada


4. Sindrom buta-tuli Yemenite
penyakit ini tripanosoma
5. Piebaldism
menginvasi langsung
6. Sindrom Goldberg-Shprintzen dinding usus dan
menghancurkan pleksus
7. Neoplasia endokrin multiple tipe II

8. Sindroma hypoventilasi congenital

10
C. Teknik Pemeriksaan

1. Pengertian

Teknik pemeriksaan Lopografi adalah teknik pemeriksaan secara

radiologis dari usus dengan memasukkan media kontras positif kedalam usus

melalui lobang buatan pada daerah abdomen.

2. Tujuan Pemeriksaan

Tujuan pemeriksaan Lopografi adalah untuk melihat anatomi dan

fisiologi kolon bagian distal sehingga dapat membantu menentukan tindakan

medis selanjutnya.

3. Persiapan Pasien

Tujuan persiapan pasien sebelum dilakukan pemeriksaan Lopografi

adalah untuk membersihkan kolon dari feases, karena bayangan dari feases dapat

mengganggu gambaran radiograf. Pemeriksaan Lopografi memerlukan beberapa

persiapan pasien,yaitu :

a. Mengubah pola makanan pasien

Makanan hendaknya mempunyai konsistensi lunak, rendah serat dan

rendah lemak untuk menghindari terjadinya bongkahan-bongkahan tinja

yang keras.

b. Minum sebanyak-banyaknya

Pemberian minum yang banyak dapat menjaga tinja selalu dalam

keadaan lembek

c. Pemberian obat pencahar

Apabila kedua hal diatas dijalankan dengan benar, maka pemberian

obat pencahar hanya sebagai pelengkap saja.

11
4. Persiapan Alat dan Bahan

a. Persiapan alat pada pemeriksaan Lopografi, meliputi :

1). Pesawat x – ray

2). Kaset dan film sesuai dengan kebutuhan

3). Marker

4). Standar irigator dan irigator set lengkap dengan kanula rectal .

5). Vaselin dan jelly

6). Sarung tangan

7). Penjepit atau klem

8). Kain kassa

9). Bengkok

10). Apron

11). Plester

12). Tempat mengaduk media kontras

b. Persiapan bahan

1) Media kontras, yang sering dipakai adalah larutan barium dengan

konsentrasi antara 70 – 80 W/V % (Weight /Volume). Banyaknya larutan

(ml) tergantung pada panjang pendeknya colon distal.

2) Air hangat untuk membuat larutan barium.

3) Vaselin atau jelly, digunakan untuk menghilangi rasa sakit saat kanula

dimasukkan kedalam anus.

5. Teknik Pemeriksaan

a. Foto polos BNO (Plain foto)

Foto polos ini bertujuan untuk melihat persiapan pasien sudah

maksimal atau belum, seandainya sudah maksimal maka pemeriksaan dapat

12
dilanjutkan, tetapi seandainya persiapan pasien kurang baik ditandai dengan

masih banyaknya gambaran feases yang mengganggu radiograf maka

pemeriksaan ditunda, selain itu juga untuk menentukan Faktor Eksposi

sehingga pada saat kontras telah dimasukkan Faktor Eksposi bisa optimal.

b. Inform Consent

Setelah dipastikan bahwa pemeriksaan bisa dilanjutkan, maka pasien

atau keluarga diharuskan menandatangani surat persetujuan sebagai inform

consent yang menyebutkan bahwa pasien tersebut secara tertulis menyetujui

tindakan medis yang akan dilakukan (Lopografi). Ini dapat digunakan

sebagai hukum legal yang seandainya terjadi hal yang tidak diinginkan, kita

(radiographer) dapat terlepas dari jeratan hukum, kecuali jika memang ada

unsur kesengajaan.

c. Pemasukan Media Kontras

Barium dimasukkan melalui stoma (lubang colon distal) diikuti ngan

fluoroskopi sampai mengisi daerah rectum dan dapat ditandai dengan

keluarnya kontras melalui anus. Untuk keperluan informasi yang lebih jelas

pasien dirotasikan ke kanan dan ke kiri serta dibuat radiograf full filling

untuk melihat keseluruhan bagian usus dengan proyeksi antero posterior.

d. Proyeksi Radiograf

1) Proyeksi Antero posterior

Pasien diposisikan supine di atas meja pemeriksaan dengan MSP

(Mid Sagital Plane) tubuh berada tepat pada garis tengah meja

pemeriksaan. Kedua tangan lurus di samping tubuh dan kedua kaki lurus

ke bawah. Objek diatur dengan menentukan batas atas processus

xypoideus dan batas bawah adalah symphisis pubis.

13
Titik bidik pada pertengahan kedua crista illiaca dengan arah

sinar vertikal tegak lurus dengan kaset. Eksposi dilakukan saat pasien

ekspirasi penuh dan tahan nafas.

Gamabar 3. Posisi Pasien Proyeksi AP

Kriteria radiograf menunjukkan seluruh kolon terlihat, termasuk

fleksura dan kolon sigmoid.

2) Proyeksi Postero Anterior

Pasien diposisikan tidur telungkup (prone) di atas meja

pemeriksaan dengan MSP tubuh berada tepat di garis tengah meja

pemeriksan. Kedua tangan lurus di samping atas tubuh dan kaki lurus ke

bawah. MSP objek sejajar dengan garis tengah meja pemeriksaan, objek

diatur diatas meja pemeriksaan dengan batas atas processus xypoideus

dan batas bawah sympisis pubis tidak terpotong, pada saat eksposi pasien

ekspirasi dan tahan nafas. Titik bidik pada pertengahan kedua crista

illiaca dengan arah sinar vertikal tegak lurus kaset.

Gamabar 4. Posisi Pasien Proyeksi PA

14
Kriteria radiograf seluruh kolon terlihat termasuk fleksura dan

rektum.

3) Proyeksi LPO

Pasien diposisikan supine kemudian dirotasikan kurang lebih

35 - 45 terhadap meja pemeriksaan. Tangan kiri digunakan untuk

bantalan dan tangan kanan di depan tubuh berpegangan pada tepi meja

pemeriksaan. Kaki kiri lurus sedangkan kaki kanan ditekuk untuk

fiksasi.

Titik bidik 1-2 inchi ke arah lateral kanan dari titik tengah kedua

crista illiaca, dengan arah sinar vertikal tegak lurus terhadap kaset.

Gamabr 5. Posisi Pasien Proyeksi LPO

4) Proyeksi RPO

Posisi pasien supine di atas meja pemeriksaan kemudian

dirotasikan ke kanan kurang lebih 35 - 45 terhadap meja

pemeriksaan.Tangan kanan lurus di samping tubuh dan tangan kiri

menyilang di depan tubuh berpegangan pada tepi meja. Kaki kanan

lurus ke bawah dan kaki kiri sedikit ditekuk untuk fiksasi. Titik bidik

pada 1-2 inchi ke arah lateral kiri dari titik tengah kedua crista illiaca

dengan arah sinar vertikal tegak lurus terhadap kaset. Eksposi dilakukan

saat pasien ekspirasi penuh dan tahan nafas.

15
Gambar 6. Posisi Pasien RPO

Kriteria radiograf menunjukkan tampak gambaran fleksura

lienalis dan kolon asenden.

5) Proyeksi RAO

Posisi pasien telungkup di atas meja pemeriksaan kemudian

dirotasikan ke kanan kurang lebih 35˚- 45˚ terhadap meja pemeriksaan.

Tangan kanan lurus di samping tubuh dan tangan kiri menyilang di

depan tubuh berpegangan pada tepi meja. Kaki kanan lurus ke bawah

dan kaki kiri sedikit di tekuk untuk fiksasi. Titik bidik pada 1-2 inchi ke

arah lateral kiri dari titik tengah kedua krista illiaka dengan arah sinar

vertikal tegak lurus terhadap kaset. Ekposi dilakukan pada saat pasien

ekspirasi dan tahan napas.

Gambar 7. Posisi Pasien RAO

16
Kriteria : menunjukkan gambaran fleksura hepatika kanan

terlihat sedikit superposisi bila di bandingkan dengan proyeksi PA dan

tampak juga daerah sigmoid dan kolon asenden.

6) Proyeksi LAO

Pasien ditidurkan telungkup di atas meja pemeriksaan kemudian

dirotasikan kurang lebih 35˚ - 45˚ terhadap meja pemeriksaan. Tangan

kiri di samping tubuh dan tangan di depan tubuh berpegangan pada meja

pemeriksaan, kaki kanan ditekuk sebagai fiksasi, sedangkan kaki kiri

lurus. Titik bidik 1-2 inchi ke arah lateral kanan dari titik tengah kedua

krista illiaka dengan sinar vertikal tegak lurus terhadap kaset. Ekposi

dilakukan pada saat pasien ekspirasi dan tahan napas.

Gambar 8. Posisi Pasien LAO

Kriteria : menunjukkan gambaran fleksura lienalis tampak

sedikit superposisi bila dibanding pada proyeksi PA, dan daerah kolon

desenden tampak.

7) Proyeksi Lateral

Pasien diposisikan lateral atau tidur miring dengan Mid Coronal

Plane (MCP) diatur pada pertengahan grid, genu sedikit fleksi untuk

17
fiksasi. Arah sinar tegak lurus terhadap film pada Mid Coronal Plane

setinggi spina illiaca anterior superior (SIAS). Eksposi dilakukan saat

pasien ekspirasi dan tahan nafas.

Gambar 9. Posisi Pasien Lateral

Kriteria : daerah rectum dan sigmoid tampak jelas, rectosigmoid

pada pertengahan radiograf.

D. Proteksi Radiasi

Proteksi radiasi adalah usaha-usaha atau tindakan-tindakan dalam lingkungan

kesehatan yang bertujuan memperkecil penerimaan dosis radiasi yang diterima baik

bagi pasien, radiografer, dokter radiologi, dan masyarakat umum.

1. Proteksi radiasi bagi pasien

Selama pemeriksaan berlangsung pemberian proteksii radiasi pada

penderita dengan cara mengatur luas lapangan sesuai lapangan objek yang

diperlukan, menggunakan kondisii factor eksposi yang tepat dan diperlukan

tindakan cermat untuk tidak mengalami pengulangan pemeriksaan (pengulangan

foto).

18
2. Proteksi radiasi bagi petugas

Hal-hal yang merupakan proteksi radiasi bagi petugas radiasi yaitu :

a. Petugas bardiri di belakang penahan radiasi selama penyinaran berlangsung.

b. Apabila petugas harus berada di ruangan pemeriksaan harus menggunakan

apron.

c. Menggunakan alat pencatat dosis personil film badge.

3. Proteksi radiasi bagi masyarakat umum

Yang dimaksud masyarakat umum disini adalah orang yang berada disekitar

unit radiologi dan tidak mempunyai kepentingan dengan pemeriksaan

radiodiagnostik dan dikarenakan suatu hallmaka harus berada didekat unit

radiologi, pemberian proteksi masyarakat umum sebagai berkut ;

a. Tembok ruangan pemeriksaan setebal setara dengan ketebalan 0,25 mm Pb

dan pintu ruangan di unit radiologi di lapisi Pb.

b. Memasang lampu misalnya warna merah di atas pintu ruangan pemeriksaan

yang jika lampu menyala maka tidak ada yang boleh masuk ke ruangan unit

radiologi.

c. Memberikan peringantan berupa tulisan, maupun tanda-tanda akan bahaya

radiasi sinar-X.

19
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Paparan Kasus

1. Data Pasien

Pada pemeriksaan lopografi pada klinis Hirschsprung Disease abses multiple

post colostomy, mengambil kasus seorang pasien dengan data sebagai berikut :

a. Nama : An. A.

b. Jenis Kelamin : Laki-laki

c. Umur : 11 Tahun

d. No. Reg. : 1887409

e. Alamat :-

f. Tanggal Pemeriksaan : 6 Mei 2019

2. Riwayat Patologis Pasien

An A. dulunya menderita Hirschsprung Disease, sehingga oleh dokter bedah

bagian colon ascendens sampai dengan pertengahan colon transversum dipotong

dan dibuat colostomy atau lubang buatan. Sekarang dokter akan menutup colostomy

dan menyambung colon yang telah dipotong. Sebelum ditutup harus dilakukan

pemeriksaan Lopografi yang bertujuan untuk melihat anatomi dan fisiologi dari

colon distal masih normal atau tidak setelah beberapa hari tidak digunakan.

Dengan membawa lembar permintaan foto rontgen dari dokter, pasien datang

ke instalasi radiologi. Prosedur pemeriksaan di jelaskan oleh petugas dan siap

menjalankan pemeriksaan Lopografi.

20
B. Prosedur Pemeriksaan

1. Tujuan Pemeriksaan

Adapun tujuan dari pemeriksaan Lopografi ini adalah untuk untuk melihat

anatomi dan fisiologi dari colon bagian distal sehingga dapat membantu

menentukan tindakan medis selanjutnya.

2. Persiapan Pemeriksaan

1) Persiapan Pasien

Tujuan persiapan pasien sebelum dilakukan pemeriksaan Lopografi

adalah untuk membersihkan kolon bagian proksimal dari feases, karena

bayangan dari feases dapat mengganggu gambaran radiograf. Sehingga

persiapan pasien lopografi di RSUP DR Sardjito adalah sehari sebelum

pemeriksaan makan makanan tidak berserat (bubur kecap).

2) Persiapan Alat

Persiapan alat pada pemeriksaan Lopografi, meliputi :

1. Pesawat x – ray

2. Kaset dan film sesuai dengan kebutuhan

3. Marker

4. Vaselin dan jelly

5. Sarung tangan

6. Kateter dan spuit 50cc

7. Kain kassa

8. Bengkok

9. Apron

10. Plester

11. Meida kontras Water Soluble

21
3. Teknik Pemeriksaan

1. Foto polos BNO (Plain foto)

Foto polos ini bertujuan untuk melihat persiapan pasien sudah maksimal

atau belum, seandainya sudah maksimal maka pemeriksaan dapat dilanjutkan,

tetapi seandainya persiapan pasien kurang baik ditandai dengan masih

banyaknya gambaran feases yang mengganggu radiograf maka pemeriksaan

ditunda, selain itu juga untuk menentukan Faktor Eksposi sehingga pada saat

kontras telah dimasukkan Faktor Eksposi bisa maksimal. Pada foto polos

diperlukan marker pada anus dan stoma distal, ini berfungsi sebagai tanda pada

gambaran radiograf.

Gambar 10. Hasil Radiograf Plain Foto

2. Inform Consent

Setelah dipastikan bahwa pemeriksaan bisa dilanjutkan, maka pasien atau

keluarga diharuskan menandatangani surat persetujuan sebagai inform consent

yang menyebutkan bahwa pasien tersebut secara tertulis menyetujui tindakan

medis yang akan dilakukan (Lopografi). Ini dapat digunakan sebagai hukum

22
legal yang seandainya terjadi hal yang tidak diinginkan, kita (radiographer)

dapat terlepas dari jeratan hukum, kecuali jika memang ada unsur kesengajaan.

3. Pemasukan Media Kontras

Barium dimasukkan melalui stoma (lubang colon distal) diikuti dengan

fluoroskopi sampai mengisi daerah rectum dan dapat ditandai dengan

keluarnya kontras melalui anus.

Tetapi pada pemeriksaan ini kateter tidak dapat masuk melalui stoma,

sehingga kateter dimasukkan melalui anus. Pemasukkan kontras dimulai dari

rectum dan setelah kontras masuk ke daerah colon transversum pemasukan

media kontras dihentikan. Agar informasi yang didapat lebih jelas pasien

dirotasikan ke kanan dan ke kiri dan dibuat radiograf full filling untuk melihat

keseluruhan bagian usus dengan proyeksi antero posterior serta spot foto yang

diperlukan.

4. Proyeksi Pemotretan

a. Proyeksi Antero Posterior (Foto Polos dan Full Filling)

Pasien diposisikan supine di atas meja pemeriksaan dengan MSP

(Mid Sagital Plane) tubuh berada tepat pada garis tengah meja pemeriksaan.

Kedua tangan lurus di samping tubuh dan kedua kaki lurus ke bawah. Objek

diatur dengan menentukan batas atas processus xypoideus dan batas bawah

adalah symphisis pubis.

Titik bidik pada pertengahan kedua crista illiaca dengan arah sinar

vertikal tegak lurus dengan kaset. Eksposi dilakukan saat pasien ekspirasi

penuh dan tahan nafas.

23
Gambar 11. Hasil Radiograf Proyeksi AP

Kriteria radiograf menunjukkan seluruh kolon terlihat, termasuk

fleksura dan kolon sigmoid.

b. Proyeksi Lateral

Pasien diposisikan lateral atau tidur miring dengan Mid Coronal

Plane (MCP) diatur pada pertengahan grid, genu sedikit fleksi untuk fiksasi.

Arah sinar tegak lurus terhadap film pada Mid Coronal Plane setinggi spina

illiaca anterior superior (SIAS). Eksposi dilakukan saat pasien ekspirasi dan

tahan nafas.

Gambar 12. Hasil Radiograf Proyeksi Lateral

24
Kriteria : daerah rectum dan sigmoid tampak jelas, rectosigmoid

pada pertengahan radiograf.

C. Pembahasan

Teknik pemeriksaan Lopografi adalah teknik pemeriksaan secara radiologis dari

usus dengan memasukkan media kontras positif kedalam usus melalui lobang buatan

pada daerah abdomen. Pada pemeriksaan ini pasien sebelumnya Hirschsprung Disease

pada daerah colon ascendens sampai colon transversum, sehingga oleh dokter bedah

daerah tersebut dipotong dan dibuat colostomy. Saat ini dokter akan menyambung

menutup colostomy dan menyambung colon, tetapi sebelumnya harus dilakukan

pemeriksaan lopografi yang digunakan untuk melihat anatomi dan fisiologi dari colon

distal apakah normal atau tidak, setelah diistirahatkan beberapa hari. Seandainya

normal maka penyambungan dapat dilakukan, tapi bila tidak normal maka

penyambungan belum bisa dilakukan.

Pemeriksaan Lopografi adalah salah satu pemeriksaan radiology dengan

menggunakan media kontras. Media kontras adalah suatu media yang dapat

menunjukkan baik bentuk maupun fungsi organ tubuh dengan memperlihatkan

perbedaan tingkat kehitaman pada radiograf. Media kontras yang digunakan pada

pemeriksaan ini adalah Water Souluble yang dilarutkan dengan air hangat dengan

perbandingan Water Souluble : NaCl adalah 1:3. Tujuan digunakan media kontras

water soluble adalah mudah diserap tubuh, mudah untuk dikeluarkan, tidak berbahaya

dan cukup aman digunakan jika terdapat kelainan pada bagian kolon. Pemasukan

media kontras pada pemeriksaan lopografi adalah melalui stoma atau lubang buatan

bagian distal, tapi pada pemeriksaan ini kateter tidak bisa masuk melalui stoma

sehingga kateter masuk melalui anus. Perbedaan pemasukan media kontras ini tidak

25
dipermasalahkan karena tujuan akhirnya sama yaitu melihat anatomi dan fisiologi dari

colon distal. Pemasukan media kontras melalui anus juga diharapkan dapat mengisi

seluruh colon bagian distal secara bertahap. Setelah kontras mengisi penuh bagian

colon, kateter dilepas, ini dimaksudkan untuk melihat peristaltik usus besar bagian

rekto-sigmoid dan anus. Seandainya normal, maka bagian rekto-sigmoid dan anus

tidak ada jarak (nyambung). Untuk melihat bagian tersebut, pasien diposisikan lateral.

Proses pengambilan foto yang pertama adalah Plain Foto yang digunakan untuk

melihat persiapan pasien dan penentuan factor eksposi. Selanjutnya adalah foto full

filling AP dilakukan sesaat setelah colon distal telah penuh terisi media kontras. Dan

yang terakhir adalah foto lateral, ini digunakan untuk melihat daerah rekto-sigmoid

dimana pada posisi AP saling superposisi.

Pada pemeriksaan ini hanya dibuat 3 spot foto, karena tujuan utama dari

pengambilan foto adalah untuk memperlihatkan bagian rekto-sigmoid, seharusnya

rekto-sigmoid menyatu dengan anus (tidak ada jarak). Foto pertama adalah foto plain.

Untuk melihat bagian rekto-sigmoid diperlukan minimal 2 proyeksi yaitu AP dan

Lateral. Proyeksi AP dapat dilihat pada foto full filling, tetapi pada proyeksi ini bagian

rekto-sigmoid saling superposisi. Sehingga diperlukan proyeksi lateral, pada proyeksi

ini dapat memperlihatkan bagian ini dengan jelas. Sehingga dengan tiga spot foto

sudah dapat memperlihatkan bagian yang diinginkan dengan jelas.

Proteksi radiasi “Pemeriksaan Lopografi Distal dengan Klinis Hirschsprung

Disease PostColostomy di RSUP DR Sardjito Yogyakarta” adalah sebagai berikut :

1. Untuk Pasien :

a. Karena pemeriksaan ini menggunakan fluoroskopi, maka saat

menfluoroskopi dipersingkat dan seefisien mungkin.

b. Lapangan radiasi (kolomator) dibuka seoptimal mungkin.

26
2. Untuk Pekerja Radiasi :

a. Petugas menggunakan apron sebagai pelindung saat melakukan pemeriksaan

dengan menggunakan fluoroskopi.

b. Karena apron terbatas, maka petugas yang tidak memakai apron berlindung

dibelakang petugas lain yang memakai apron atau berlindung dibelakang tabir

pengaman saat pemeriksaan berlangsung.

3. Untuk Masyarakat Umum :

a. Kamar pemeriksaan di RSUP DR Sardjito Yogyakarta menggunkana dua

pintu, sehingga pada saat pemeriksaan diharuskan kedua pintu tertutup.

b. Pengantar dan penunggu pasien berada diluar kamar pemeriksaan saat

pemeriksaan berlangsung.

27
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Teknik pemeriksaan Lopografi adalah teknik pemeriksaan secara radiologis dari

usus dengan memasukkan media kontras positif kedalam usus melalui lobang

buatan pada daerah abdomen.

2. Pemasukan media kontras melalui anus, karena kateter tidak bisa masuk melalui

stoma. Perbedaan pemasukan media kontras ini tidak dipermasalahkan karena

tujuan akhirnya sama yaitu untuk melihat anatomi dan fisiologi dari colon distal.

3. Media kontras yang digunakan adalah Water Soluble dilarutkan NaCl.

Perbandingan Iodium dengan NaCl adalah 1:3.

4. Kelebihan Media kontras water soluble mudah diserap tubuh, mudah untuk

dikeluarkan, tidak berbahaya dan cukup aman digunakan jika terdapat kelainan

pada bagian kolon. Serta pada pasien post Colostomy ini adalah pasien pasca

pembedahan, kemungkinan-kemungkinan kelainan lain bisa terjadi pada pasien ini

sehingga lebih baik menggunakan media kontras water soluble.

5. Pemeriksaan ini hanya menggunakan tiga spot foto, karena sudah dapat

memperlihatkan bagian yang diinginkan.

B. Saran

1. Pengaturan kolimator perlu diperhatikan sebagai proteksi radiasi terhadap pasien.

2. Karena kamar radiologi terdiri dari dua pintu, maka perlu pengawasan lebih dari

petugas agar pintu tertutup saat pemeriksaan.

28
3. Komunikasi kepada pasien lebih diperhatikan untuk mencegah missed

komunikasi.

4. Kerjasama antar petugas radiologi perlu ditingkatkan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Brontager, Kenneth L. 2014. Textbook of Radiolographic Positioning and Realted

Anatomy, Eight Edition. USA: CV. Elsevier: USA.

Frank, Eugene D, et al. 2012. Merrill’s Atlas of Radiographic Positioning & Procedures.

Volume 2. Edisi 13. Elsevie : USA.

Long, Bruce W, et al. 2016. Merrill’s Atlas of Radioghraphic Positioning Procedures.

Volume 2. Edisi 13. Elsevier: USA.

30
LAMPIRAN

Lampiran 1

31
Lampiran 2

32

Anda mungkin juga menyukai