Email:putriwidari44@gmail.com
Abstrak
Berkembangnya teknologi informasi global menyebabkan terjadinya percampuran
bahasa yang digunakan pada media sosial. Percampuran bahasa tersebut menimbulkan
interferensi bahasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interferensi bahasa yang
terjadi pada objek penelitian. Objek penelitian ini adalah akun media sosial yang
menggunakan Bahasa Bali dalam kontennya yaitu akun @haipuja. Data diperoleh dari hasil
tangkapan layar dan video dari akun Instagram objek penelitian. Data diperoleh dengan
teknik simak dan catat. Data dianalisis dengan teknik padan yang dijabarkan dalam satu
teknik dasar dengan alat penentunya adalah bahasa lain yaitu Bahasa Inggris. Hasil analisis
data disajikan dengan metode informal, yaitu dengan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa interferensi yang terdapat dalam akun @haipuja terjadi dalam tiga
bidang kebahasaan, yaitu fonologi, semantik, dan leksikologi. Pada bidang fonologi,
interferensi terjadi pada perubahan bunyi, interferensi semantik terjadi pada makna
konseptual kalimat, sedangkan untuk bidang leksikologi terjadinya interferensi diakibatkan
karena penggunaan kosakata Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Bali. Interferensi Bahasa
Inggris pada Bahasa Bali ini dapat terjadi karena kosakata Bahasa Inggris tersebut tidak
terdapat dalam tatanan Bahasa Bali.
Kata Kunci: Interferensi, Bahasa Inggris, Bahasa Bali, Media Sosial, Hai Puja
Abstract
The development of global information technology has caused a mixture of languages used
on social media. The mixing of languages causes language interference. This study aims to
determine the language interference that occurs in the object of research. The object of this
research is a social media account that uses Balinese in its content, the @haipuja account.
The data was obtained through screenshots and videos from the Instagram account of
research object. The data was obtained using listening and note-taking techniques. The data
were analyzed using the matching technique described in one basic technique with the
determining instrument is another language, which is English. The results of data analysis
are presented by an informal method, which is descriptive qualitative. The results showed
that the interference contained in the @haipuja account occurred in three linguistic fields,
phonology, semantics, and lexicology. In the field of phonology, interference occurs in sound
changes, semantic interference occurs in conceptual meaning of the sentence, while in the
field of lexicology, the interference occurs due to the use of English vocabularies into
Balinese. English interference with Balinese can occur because English vocabularies are not
found in the Balinese language system.
Keywords: Interference, English, Balinese, Social Media, Hai Puja
LATAR BELAKANG
TINJAUAN PUSTAKA
Terjadi hubungan yang sangat erat antara fenomena kemultibahasaan dan interferensi.
Hal ini dapat dilihat pada kenyataan pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Situasi
kebahasaan masyarakat tutur Bahasa Bali sekurang-kurangnya ditandai dengan pemakaian dua
bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Terkadang percampuran bahasa asing juga terjadi pada komunikasi bahasa Masyarakat Bali. Hal
ini terjadi karena Masyarakat Bali sering terekspos dengan bahasa dan budaya asing dikarenakan
Bali merupakan salah satu destinasi favorit wisatawan mancanegara. Situasi pemakaian seperti
inilah yang dapat memunculkan percampuran antara Bahasa Bali dan bahasa asing. Kebiasaan
untuk memakai lebih dari satu bahasa secara bergantian disebut kemultibahasaan, peristiwa
semacam inilah yang dapat menimbulkan interferensi.
Interferensi terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa karena penutur mengenal
lebih dari satu bahasa. Didalam proses interferensi, kaidah pemakaian bahasa mengalami
penyimpangan karena adanya pengaruh dari bahasa lain. Ketidakcukupan kosakata suatu
bahasa dalam menghadapi kemajuan dan pembaharuan juga merupakan salah satu
penyebab terjadinya interferensi. Interferensi tidak terbatas pada seberapa besar unsur bahasa
yang mempengaruhi bahasa lain, pengambilan unsur terkecilpun dari bahasa pertama ke bahasa
kedua dapat menimbulkan interferensi.
Interferensi merupakan pengacauan yang terjadi akibat dari ketidakseimbangan
penguasaan bahasa yang terjadi pada diri dwibahasawan dalam hal ini kebiasaan orang dalam
bahasa utama atau bahasa sumber berpengaruh pada bahasa kedua, keadaan seperti ini disebut
dengan bilingualitas majemuk (Nababan, 1986). Menurut Dulay, dkk. dalam Budiarsa
(2006:355), interferensi sosiolinguistik adalah jika masyarakat atau negara yang memiliki
bahasa berbeda mengadakan kontak atau interaksi menggunakan bahasa. Selanjutnya, Alwasilah
(1985:131) mengemukakan pengertian interferensi berdasarkan pendapat Hartman dan Stonk
yang menyatakan bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya
kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakup
pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata.
Dalam proses interferensi, terdapat tiga unsur yang mengambil peranan, yaitu: Bahasa
sumber atau bahasa donor, bahasa penyerap atau bahasa resipien, dan unsur serapan atau
importasi. Dalam peristiwa kontak bahasa, sangat memungkinkan pada suatu peristiwa suatu
bahasa menjadi bahasa donor, sedangkan pada peristiwa yang lain bahasa tersebut menjadi
bahasa resipien, peristiwa saling serap ini adalah peristiwa umum dalam suatu kontak bahasa.
Interferensi yaitu penyimpangan dari norma-norma bahasa dalam bahasa yang digunakan,
sebagai akibat pengenalan terhadap bahasa lain. Transfer dalam kontak bahasa dapat terjadi
dalam semua tataran linguistik, baik fonologis, morfologis, sintaksis, semantis, maupun
leksikon.
Salah satu latar belakang terjadinya interferensi bahasa adalah sikap yang kurang positif
dari penutur bahasa. Penutur bahasa sangat senang menggunakan bahasa asing daripada bahasa
daerah maupun Bahasa Indonesia walaupun kebanyakan Bahasa Indonesia sudah memiliki
padanan bahasa asing tersebut. Sikap bahasa ini juga kadang-kadang dipengaruhi oleh
lingkungan yang menggunakan bahasa tersebut. Dengan demikian, perkembangan zaman dan
teknologi dapat menyebabkan terjadinya interferensi. Sebagai patokan terjadinya interferensi
suatu bahasa adalah terjadinya penyimpangan kaidah-kaidah bahasa yang sudah disepakati oleh
suatu bahasa penerima. Di samping itu, masuknya unsur bahasa asing yang terdapat dalam kamus
bahasa asing dapat dijadikan suatu patokan interferensi unsur bahasa.
Suwito (1993: 186) menjelaskan bahwa interferensi merupakan gejala umum yang
terdapat dalam setiap bahasa dan interferensi dapat terjadi dalam semua tataran kebahasaan.
Hal ini berarti gejala interferensi dapat mengenai bidang tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat,
tata makna dan sebagainya. Di dalam Bahasa Bali, unsur bahasa Indonesia dan bahasa lain
tampak dalam tataran tata bunyi (fonologi), tataran tata bentuk (morfologi), tataran kalimat
(sintaksis) dan kosakata (leksikologi). Namun, penelitian ini hanya akan terbatas pada
mengungkapkan interferensi dalam tataran sistem fonologi, sistem gramatikal yaitu semantik,
dan leksikal dalam objek penelitian.
1. Interferensi Fonologi
Fonologi sebagai bidang kasus dalam linguistik yang mengamati bunyi- bunyi suatu
bahasa tertentu (Verhaar, 1989:36). Fonologi berkonsentrasi pada persoalan bunyi, di sini dapat
dipahami bahwa material bahasanya adalah bunyi- bunyi ujar. Interferensi fonologi terjadi
apabila penutur mengungkapkan kata-kata dari suatu bahasa dengan menyisipkan bunyi-bunyi
bahasa dari bahasa lain, fonem yang digunakan dalam suatu bahasa menyerap dari fonem-
fonem bahasa lain. Misalnya untuk mengucapkan kata film (BI), penutur bahasa Bali yang
mempelajari bahasa Indonesia atau bahasa Inggris mengucapkannya dengan pilem (BB).
Interferensi yang terjadi berupa pengacauan fonim konsonan /f/ dengan /p/.
2. Interferensi Semantik
Menurut Suindratini, dkk. (2013) sekurang-kurangnya ada tiga unsur penting yang
mengambil peranan dalam terjadinya proses interferensi semantik yaitu: (1) bahasa sumber
atau biasa dikenal dengan sebutan bahasa donor. Bahasa donor adalah bahasa yang dominan
dalam suatu masyarakat bahasa sehingga unsur-unsur bahasa itu kerapkali dipinjam untuk
kepentingan komunikasi antar warga masyarakat; (2) bahasa sasaran atau bahasa penyerap
(recipient). Bahasa penyerap adalah bahasa yang menerima unsur- unsur asing itu dan
kemudian menyelaraskan kaidah- kaidah pelafalan dan penulisannya ke dalam bahsa
penerima tersebut; (3) unsur serapannya atau importasi (importation). Hal yang dimaksud di
sini adalah beralihnya unsur- unsur dari bahasa asing menjadi bahasa penerima
(http://www.google.com interferensi semantik).
3. Interferensi Leksikal
Bidang leksikologi mengkaji tentang leksikon, yaitu komponen bahasa yang memuat
semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam suatu bahasa (Adi Sumarto,
1985:43). Leksikon suatu bahasa merupakan perbendaharaan kata atau kosakata. Istilah
perbendaharaan kata erat kaitannya dengan kekayaan kata yang dimiliki oleh seorang
pembicara ataupun penulis. Interferensi dalam bidang leksikal merupakan pengacauan dalam
hal penggunaan kosakata, dapat melibatkan kata- kata dasar, kata majemuk maupun frasa,
interferensi bidang leksikal yang dibahas dalam penelitian ini merupakan interferensi leksikal
bahasa asing dan bahasa Indonesia pada bahasa Bali. Interferensi leksikal yang terjadi berupa
kosakata pinjaman meliputi kata dasar maupun berimbuhan, interferensi kosakata ini termasuk
jenis interferensi yang paling tinggi ferkueninya, hampir meliputi semua kela kata dengan
berbagai fungsinya di dalam kalimat.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Secara kualitatif artinya data yang
diteliti dan hasil analisisnya diperoleh dari hasil pengamatan serta penggunaan bahan tertulis.
Sementara itu, melalui pendekatan deskriptif, data didapat berdasarkan fakta yang secara empiris
diperoleh dari penutur-penuturnya, sehingga hasilnya berupa bahasa seperti apa adanya (Zein dan
Wagiati, 2018). Teknik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan teknik
padan yang dijabarkan dalam satu teknik dasar dengan alat penentunya adalah bahasa lain yaitu
Bahasa Inggris dan menganalisis percampuran bahasa yang digunakan oleh akun @haipuja di
media sosial Instagram.
PEMBAHASAN
Akun Instagram @haipuja merupakan salah satu akun Instagram Berbahasa Bali yang
berisikan video-video lelucon berselipkan pesan moral. Sang pemilik akun bernama Kadek Puja
Astawa yang berasal dari Jalan Teratai, Kelurahan Banyuasri, Singaraja berhasil menarik perhatian
pengguna Instagram sebanyak kurang lebih 402.000, terhitung Desember 2019. Secara narasi,
video-video yang dibagikannya ditambah dengan sentuhan logat Bali khas Buleleng yang
menjadikannya unik. Puja Astawa juga mengaku bahwa dirinya menggunakan logat dan dialek
Buleleng dalam kesehariannya sehingga akun yang ia buat ini sangat berkaitan dengan dirinya.
Walau menggunakan Bahasa Bali ditiap videonya, akan tetapi, diselipkan subtitle Bahasa
Indonesia serta caption campuran Bahasa Indonesia dengan Bahasa Bali agar dapat menarik
audiens yang lebih luas.
Dialog Berbahasa Bali di atas merupakan Bahasa Bali lisan berlogat Buleleng yang sangat
kental dengan ciri khas leksikal nani dan cicing dalam setiap kalimatnya. Untuk sebagian wilayah
lain di Bali, leksikal-leksikal yang terdapat dalam logat Buleleng sangatlah kasar penggunaannya.
Namun lain halnya dengan orang Buleleng, itu merupakan komunikasi yang menunjukan bahwa
mereka memiliki hubungan kedekatan yang sangat erat satu sama lain. Video @HaiPuja berjudul
“Siapa Yang Masuk Rumah Sakit” ini merupakan iklan masyarakat yang diperuntukan kepada
setiap orang untuk mematuhi rambu lalu lntas terutama penggunaan helm saat berkendara. Video
ini dibuat sangat menarik sesuai dengan situasi masyarakat Bali yang kesehariannya lekat dengan
turis mancanegara yang membuat masyakarat Bali tidak asing lagi menggunakan bahasa asing
dalam komunikasinya.
Dalam video ini ditemukan Interferensi bahasa. Interferensi pertama yaitu interferensi
fonologi. Interferensi dibidang fonologi dapat terjadi apabila penutur mengungkapkan kata-kata
dari suatu bahasa dengan menyisipkan bunyi-bunyi bahasa dari bahasa lain. Seperti di videonya
kali ini, ditemukan perubahan bunyi fonem konsonan /f/ yang dimana dilafalkan dengan /p/. Dapat
dilihat pada kalimat “If you no helm, serempet ojek sirah megledag.. aaa you no lipe you no lipe”.
Ini terjadi karena bunyi /f/ tidak terdapat dalam fonetis Bahasa Bali. Hal inilah yang menyebabkan
sebagian besar Orang Bali sulit untuk melafalkan bunyi /f/ dan melafalkannya dengan bunyi terdekat
yaitu /p/ bunyi yang dihasilkan oleh artikulator dua bibir (labium) yang membentuk titik artikulasi
yang dinamakan bilabial, dengan cara artikulasi hambat, dan bunyi ini tergolong tidak bersuara.
Interferensi yang ditemukan dari data tidak hanya pada tingkat fonologi, melainkan juga
terdapat pada tingkat semantik. Pada tahap ini interferensi ditinjau dari sudut ketepatan makna.
Sebagian kesalahan yang ditelaah merupakan kesalahan dimana aktor-aktor Bali dalam video lebih
cenderung menggunakan makna sebuah kata berdasarkan makna leksikal tanpa memperhatikan
makna kontekstualnya. Misal pada kalimat “Sir, no what what no what, is bensin is bensin”. Sang
aktor menerjemahkan setiap leksikon yang dipakai dalam Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris
sehingga maknanya tidak sampai, yang mana seharusnya adalah “Sir, it’s fine. You run out of
petrol.” Hal ini dapat menimbulkan kebingungan karena adanya perbedaan makna pada bahasa
target yang tidak sesuai dengan makna sesungguhnya dalam bahasa sumber.
Dialog berbahasa Bali di atas merupakan Bahasa Bali lisan dan bersifat komedi.
Diceritakan dalam dialog ada seorang pemuda yang meminta ibunya untuk membelikannya motor
gede, akan tetapi sang ibu tidak mengerti sama sekali tentang kendaraan bermotor sehingga
ketidaktahuan dan kepolosan sang ibu menjadikannya sebagai lelucon. Selain Berbahasa Bali,
dialog tersebut juga menggunakan istilah-istilah Berbahasa Indonesia khas anak muda, seperti
“moge” yang merupakan singkatan dari Motor Gede dan juga istilah Berbahasa Inggris, seperti
“on the road” dan “off the road”. Penggunaan istilah-istilah ini memberikan daya tarik sendiri
sehingga menjadikan lelucon dalam video ini dapat dinikmati oleh anak-anak muda Bali yang telah
terekspos istilah-istilah asing akibat pengaruh globalisasi. Menggunakan pelafalan Bahasa Bali
juga tentunya secara tidak langsung menjaga kelestarian Bahasa Bali itu sendiri.
Terdapat interferensi Bahasa Inggris yang paling jelas di sini, yaitu interferensi dalam segi
tataran fonologi karena pelafalan bunyi-bunyi yang berbeda dari bahasa asalnya. Seperti pada kata
frasa “off the road” yang dilafalkan dengan bunyi Bahasa Bali “op de rud”. Fonem /f/ pada kata
“off” berubah menjadi /p/, fonem /θ/ dalam kata “the” berubah menjadi /d/ serta diftong /oa/ dalam
kata “road” berubah menjadi /u/. Hal ini disebabkan karena bunyi-bunyi fonem yang terdapat
dalam Bahasa Inggris tidak terdapat dalam sistem fonetik Bahasa Bali sehingga Orang Bali
cenderung mencari padanan bunyi-bunyi tersebut dalam Bahasa Bali agar lebih mudah dilafalkan.
Secara gramatikal sebenarnya kedua frasa tersebut sudah tepat, namun terdapat kesenjangan dalam
segi penggunaan bahasa antara si penutur dengan si penerima, sehingga makna tidak sampai. Hal
ini disebabkan karena karakter “meme” merupakan generasi tua yang tidak terekspos kemajuan
teknologi dan kebahasaan sehingga tidak mengenal adanya interferensi bahasa.
SIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa, budaya, interferensi bahasa dan media
social merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Bali. Bahasa
adalah salah satu simbol identitas kebersamaan yang bisa berfungsi untuk mewujudkan integrasi
sosial. Dalam hal ini bahasa Bali merupakan salah satu simbol indentitas telah dioperasionalkan
ke dalam bentuk penyebarluasan, guna mendapat pengakuan dari masyarakatnya.
Sebagai simbol identitas, bahasa Bali dapat dimanfaatkan untuk mengekspresikan segala
bentuk ide oleh manusia Bali dalam hal ini masih dipertahankan eksistensinya melalui media social
yaitu parodi “Hai Puja” dalam kedua video yang menghadirkan unsur humoris atau lelucon
sehingga membuat para pengguna media social merasa tertarik terhadap apa yang telah disajikan
dalam kedua parodi tersebut.
Dalam cuplikan dialog kedua video tersebut ditemukan tiga interferensi yaitu interferensi
dalam segi tataran fonologi, semantic dan leksikal. Hal ini terjadi karena tidak cukupnya kosakata
suatu bahasa dalam menghadapi kemajuan dan pembaharuan, Masyarakat Bali sering terekspos
dengan bahasa dan budaya asing dikarenakan Bali merupakan salah satu destinasi favorit
wisatawan mancanegara serta penutur mengenal lebih dari satu bahasa. Dari segi tataran fonologi
dalam cuplikan video tersedut terdapat beberapa bunyi fonetis yang tidak terdapat dalam fonetis
Bahasa Bali. Pada tingkat semantic, interferensi ditinjau dari sudut ketepatan makna. Sebagian
kesalahan yang ditelaah merupakan kesalahan dimana aktor-aktor Bali dalam video lebih
cenderung menggunakan makna sebuah kata berdasarkan makna leksikal tanpa memperhatikan
makna kontekstualnya. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan karena adanya perbedaan makna
pada bahasa target yang tidak sesuai dengan makna sesungguhnya dalam bahasa sumber.