Anda di halaman 1dari 75

LAPORAN PENDAHULUAN

PERSALINAN

A. Tinjauan Teori Medis Persalinan


1. Konsep Dasar Persalinan
a. Pengertian Persalinan
Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri)
yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan
lahir atau melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan
(kekuatan sendiri) (Manuaba, 2012). Menurut Rohani (2011) persalinan
merupakan suatu proses yang dimulai dengan adanya kontraksi uterus
yang menyebabkan terjadinya dilatasi progresif pada serviks, kelahiran
bayi dan kelahiran plasenta; dan proses tersebut merupaka proses
alamiah.
Menurut Fitriana dan Nurwiandani (2018:7-8) persalinan
merupakan rangkaian peristiwa keluarnya bayi yang sudah cukup berada
dalam rahim ibunya, dengan disusul oleh keluarnya plasenta dan selaput
janin dari tubuh ibu. Dalam ilmu kebidanan, ada berbagai jenis
persalinan, berikut ini merupaka beberapa istilah yang berkaitan dengan
persalinan, yaitu:
1) Abortus yaitu, proses pengeluaran buah kehamilan sebelum usia
kehamilan mencapai 22 minggu atau bayi dalam kondisi berat
badan kurang dari 500 gram.
2) Partus immaturus yaitu, proses pengeluaran buah kehamilan ketika
usia kehamilan berada diantara 22 minggu sampai 28 minggu atau
bayi dalam kondisi berat badan antara 500 gram sampai 999 gram.
3) Partus prematurus yaitu, proses pengeluaran buah kehamilan ketika
usia kehamilan antara 28 minggu sampai 37 minggu atau kondisi
berat badan bayi antara 1000 gram sampai dengan 2499 gram.
4) Partus maturus atau aterm yaitu, proses pengeluaran buah
kehamilan ketika usia kehamilan berada antara 37 minggu sampai
dengan 42 minggu atau bayi dalam kondisi berat badan 2500 gram
atau lebih.
5) Partus postmaturus atau serotinus yaitu, proses pengeluaran buah
kehamilan setelah usia kehamilan lebih dari 42 minggu.

1
b. Sebab-Sebab Mulainya Persalinan
Menurut Sulistyawati (2010), terdapat beberapa teori yang
menyatakan kemungkinan terjadinya proses persalinan :
1) Teori Penurunan Hormon
Saat 1-2 minggu sebelum proses melahirkan dimulai, terjadi
penurunan kadar estrogen dan progesteron. Progesteron bekerja
sebagai penenang otot-otot polos rahim, jika kadar progesteron
turun akan menyebabkan tegangnya pembuluh darah dan
menimbulkan his.
2) Teori Plasenta Menjadi Tua
Seiring matangnya usia kehamilan, villi chorialis dalam
plasenta mengalami beberapa perubahan, hal ini menyebabkan
turunnya kadar estrogen dan progesteron yang mengakibatkan
tegangnya pembuluh darah sehingga akan menimbulkan kontraksi
uterus.
3) Teori Distensi Rahim
a) Otot rahim mempunyai kemampuan meregang dalam batas
tertentu
b) Setelah melewati batas tersebut, akhirnya terjadi kontraksi
sehingga persalinan dapat dimulai
c) Contohnya pada kehamilan gemeli, sering terjadi kontraksi
karena uterus teregang oleh ukuran janin ganda, sehingga
kadang kehamilan gemeli mengalami persalinan yang lebih
dini.
4) Teori Iritasi Mekanis
Di belakang serviks terletak ganglion servikalis (fleksus
frankenhauser), bila ganglion ini digeser dan ditekan (misalnya oleh
kepala janin), maka akan timbul kontraksi uterus.
5) Teori Oksitosin
a) Oksitosin dikeluarkan oleh kelenjar hipofisis posterior
b) Perubahan keseimbangan estrogen dan progesteron dapat
mengubah sensitivitas otot rahim, sehingga sering terjadi
kontraksi Braxton Hicks.
c) Menurunnya konsentrasi progesteron karena matangnya usia
kehamilan menyebabkan oksitosin meningkatkan aktifitasnya

2
dalam merangsang otot rahim untuk berkontraksi, dan akhirnya
persalinan dimulai.
6) Teori Hipotalamus-Pituitaridan Glandula Suprarenalis
a) Glandula suprarenalis merupakan pemicu terjadinya persalinan.
b) Teori ini menunjukkan, pada kehamilan dengan bayi
anensefalus sering terjadi kelambatan persalinan karena tidak
terbentuknya hipotalamus.
7) Teori Prostagladin
Prostaglandin yang dihasilkan oleh desidua disangka sebagai
salah satu sebab permulaan persalinan. Hasil percobaan
menunjukkan bahwa prostaglandin F2 atau E2 yang diberikan secara
intravena menimbulkan kontraksi myometrium pada setiap usia
kehamilan. Hal ini juga disokong dengan adanya kadar
prostaglandin yang tinggi baik dalam air ketuban maupun darah
perifer pada ibu hamil sebelum melahirkan atau selama proses
persalinan.
c. Tanda-Tanda Persalinan
Menurut Manuaba (2012) tanda-tanda persalinan yaitu:
1) Terjadinya His Persalinan
His persalinan memiliki ciri khas pinggang terasa nyeri yang
menjalar ke depan, sifatnya teratur, interval makin pendek, dan
kekuatannya makin besar, memiliki pengaruh terhadap perubahan
serviks, makin beraktivitas kekuatan makin bertambah.
2) Pengeluaran Lendir dan Darah
Dengan adanya his persalinan, terjadi perubahan pada serviks
yang menimbulkan pendataran dan pembukaan. Pembukaan
menyebabkan lendir yang etrdapat pada kanalis servikalis lepas dan
pengeluaran darah disebabkan robeknya pembuluh darah sewaktu
serviks membuka.
3) Pengeluaran Cairan
Pada beberapa kasus terjadi ketuban pecah yang menimbulkan
pengeluaran cairan. Sebagian besar ketuban baru pecah menjelang
pembukaan lengkap. Dengan pecahnya ketuban diharapkan
persalinan berlangsung dalam 24 jam.

3
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persalinan
Ada empat komponen persalinan yang penting dan harus bekerja
bersama agar persalinan dapat berlangsung secara normal: passage (jalan
lahir), passenger (janin), power (kekuatan), psyche (kondisi psikis)
(Lockhart, 2014).
a. Passage (Jalan Lahir)
Jalan lahir terdiri atas panggul ibu, yakni bagian tulang yang padat,
dasar panggul, vagina, dan introitus. Janin harus berhasil menyesuaikan
dirinya terhadap jalan lahir yang relatif kaku, oleh karena itu ukuran dan
bentuk panggul harus ditentukan sebelum persalinan dimulai. Bentuk
panggul ginekoid (bulat) merupakan bentuk panggul paling ideal.
Kelainan pada jalan lahir yang mengganggu persalinan diantaranya
serviks yang kaku, tumor pada vagina, perineum terjadi kekakuan
(Rohani, 2011).
Pada panggul normal, jari tidak cukup panjang untuk mencari atau
meraba promontorium atau dengan perkataan lain dalam keadaan
normal, promontorium tidak teraba melalui pemeriksaan VT. Ukuran
untuk PAP normal conjugata vera 11 cm, conjugata diagonalis 12,5 cm,
diameter transversa sekitar 12,5 cm dan diameter obliqua 12-13 cm
(Ramadhy, 2011).
Menurut Sulistyawati (2010), passage atau jalan lahir terdiri atas :
1) Panggul
a) Tulang Coxae yang terdiri dari tulang ilium (tulang usus),
tulang iskium (tulang duduk), dan tulang pubis (tulang
kemaluan).
b) Tulang Sacrum (Tulang Kelangkang)
c) Tulang Coccygis (Tulang Tungging)
2) Pintu Atas Panggul (PAP)
Merupakan bagian dari pelvis minor yang terbentuk dari
promontarium, tlang sakri, linea terminalis, dan pinggir atas
simfisis.
3) Kavum Pelvik
Kavum pelvik berada diantara PAP dan PBP yang terdiri dari
dua bagian penting, yaitu :

4
a) Bidang dengan ukuran terbesar (Bidan Terluas Panggul)
b) Bidang dengan ukuran terkecil (Bidan Tersempit Panggul)
4) Pintu Bawah Panggul (PBP)
Pintu bawah panggul bukan merupakan suatu bidang datar,
tetapi tersusun atas dua bidang yang masing-masing berbentuk
segitiga. Bidang pertama dibentuk oleh garis antara kedua buah
tubera os.ishci dengan ujung tulang sacrum, dan bidang kedua
dibentuk oleh garis antara kedua tuber os.ishci dengan bagia bawah
simfisis. Pinggir bawah simfisis berbentuk lengkung ke bawah dan
merupakan sudut (arcus pubis), dalam keadaan normal sudutnya
sebesar 90 derajat, bila kurang dari itu maka kepala bayi akan sulit
untuk dilahirkan.
5) Bidang Hodge
a) Hodge I : bidang yang dibentuk pada lingkaran PAP dengan
bagian atas simfisi dan promontorium.
b) Hodge II : bidang yang sejajar dengan Hodge I setinggi bagian
bawah simfisis.
c) Hodge III : bidang yang sejajar dengan Hodge I setinggi spina
ischiadika.
d) Hodge IV : bidang yang sejajar dengan Hodge I setinggi tulang
koksigis.
6) Dasar Panggul
Dasar panggul adalah diafragma muscular yang memisahkan
antara kavum pelvik di sebelah atas dengan ruang perineum
disebelah bawah. Sekat ini dibentuk oleh muskulus levator ani dan
muskulus koksigis, dan seluruhnya ditutupi oleh fasia parietalis.
Hiatus urogenitalis adalah celah di sebelah depan yang ditembus
oleh uretra dan vagina. Hiatus rektalis berada disebelah belakang
dan dilalui ileh rektum dan saluran anus.
b. Passenger (Janin)
Passenger (janin di dalam uterus) mengacu kepada janin dan
kemampuannya bergerak turun melewati jalan lahir. Passenger
dipengaruhi oleh beberapa faktor fetal yaitu kranium janin, presentasi
janin, letak janin, sikap janin, posisi jain, dan stasiun (Lockhart, 2014).
Pembahasan mengenai janin sebagai passenger sebagian besar adalah

5
mengenai ukuran kepala janin, karena kepala adalah bagian terbesar dari
janin dan paling sulit untuk dilahirkan (Sulistyawati, 2010).
Menurut Sulistyawati (2010), pada tulang tengkorak janin dikenal
beberapa surtura, antara lain:
1) Sutura sagitalis superior, menghubungkan kedua os parietalis kanan
dan kiri
2) Sutura koronaria, menghubungakn os parietalis dengan os frontalis
3) Sutura lamboidea, menghubungkanos parietalis dengan os
oksipitalis
4) Sutura frontalis, menghubungkan kedua os frontalis kanan dan kiri.
Terdapat dua fontanel, antara lain:
a) Fontanel minor (ubun-ubun kecil), yang berbentuk segitiga dan
sebagai penunjuk presentasi kepala dalam persalinan yang
diketahui melalui pemeriksaan dalam.
b) Fontanel mayor (ubun-ubun besar/bregma), yang berbentuk
segi empat panjang dan terdapat di sutura sagitalis superior dan
sutura fontalis dengan sutura koronaria.
c. Power (Kekuatan)
Kekuatan yang mendorong janin dalam persalina adalah his,
kontraksi otot-otot rahim, kontraksi diagfragma dan aksi dari ligamen.
Kekuatan primer yang diperlukan dalam persalinan adalah his,
sedangkan sebgai kekuatan sekundernya adalah tenaga meneran ibu
(Rohani, 2011).
Menurut Badriah (2012), power adalah kekuatan atau tenaga yang
mendorong janin keluar. Kekuatan tersebut meliputi :
1) His (Kontraksi Uterus)
His adalah kekuatan kontraksi uterus karena otot-otot polos
rahim bekerja dengan baik dan sempurna.
2) Tenaga Mengedan
Setelah pembukaan lengkap dan ketuban pecah atau
dipecahkan, serta sebagian presentasi sudah berada didasar panggul,
sifat kontraksi berubah, yakni bersifat mendorong keluar dibantu
dengan keinginan ibu untuk mengedan atau usaha volunter.

6
d. Psyche (Kondisi Psikis)
Psyche mengacu kepada perasaan kejiwaan pasien dalam
menghadapi persalinannya. Bagi sebagan ibu hamil perasaan tersebut
dapat meliputi rasa khwatir dan takut, pada sebagian lainnya sering
terdapat perasaan tegang dan takjub (Lockhart, 2014).
Keadaan psikologis ibu mempengaruhi proses persalinan. Ibu
bersalin yang didampingi oleh suami dan orang yang dicintainya
cenderung mengalami proses persalinan yang lebih lancar dibanding
dengan ibu bersalin tanpa pendamping. Ini menunjukkan bahwa
dukungan mental berdampak positif bagi keadaan psikis ibu, yang
berpengaruh terhadap kelancaran proses persalinan (Badriah, 2012).
3. Kebutuhan Dasar Selama Persalinan
a. Kebutuhan Oksigen
Pemenuhan kebutuhan oksigen selama proses persalinan perlu
diperhatikan dimana oksigen yang dihirup ibu sangat penting artinya
untuk oksigenasi janin melalui plasenta. Suplai oksigen yang tidak
adekuat, dapat menghambat kemajuan persalinan dan dapat
mengganggu kesejahteraaan janin. Oksigen yang adekuat dapat
diupayakan dengan pengaturan sirkulasi udara yang baik selama
persalinan. Indikasi pemenuhan kebutuhan oksigen adekuat adalah
denyut jantung janin (DJJ) baik dan stabil. (Fitriana dan Nurwiandani,
2018:34).
b. Nutrisi dan Cairan
Kebutuhan cairan san nutrisi (makan dan minum) merupakan
kebutuhan yang harus dipenuhi dengan baik oleh setiap ibu selama
proses persalinan. Asupan makanan yang cukup (makanan utama
maupun makanan ringan), merupakan sumber glukosa darah, yang
merupakan sumber utama energi untuk sel-sel tubuh. Kadar gula darah
yang rendah akan mengakibatkan hipoglikemia, sedangkan asupan
cairan yang kurang akan mengakibatkan dehidrasi pada ibu bersalin.
(Fitriana dan Nurwiandani, 2018:34).
Pada ibu bersalian, hipoglikemia dapat mengakibatkan komplikasi
persalinan baik pada ibu maupun janin. Hal itu akan memperngaruhi
kontraksi atau his, sehingga akan menghambat kemajuan persalinan dan
meningkatkan insiden persalinan dengan tindakan. Efek lainnya, dapat

7
meningkatkan resiko perdarahan postpartum. Hal ini juga dapat
mempengaruhi kesejahteraan janin, sehingga dapat mengakibatkan
komplikasi persalinan seperti asfiksia. Sedangkan dehidrasi pada ibu
bersalin dapat mengakibatkan melambatnya kontraksi (his), dan
mengakibatkan kontraksi menjadi tidak teratur. Ibu yang mengalami
dehidrasi dapat diamati dari bibir yang kering, peningkatan suhu tubuh
dan eliminasi yang sedikit. (Fitriana dan Nurwiandani, 2018:34-35).
Menurut Hadianti dan Resmana (2018:232) dalam penelitiannya
menjelaskan bahwa ketika proses persalinan berlangsung, ibu
memerlukan stamina dan kondisi tubuh yang prima. Metabolisme pada
ibu bersalin akan mengalami peningkatan, hal tersebut diakibatkan
terjadinya peningkatan kegiatan otot tubuh yang disertai dengan adanya
kecemasan. Kegiatan otot tubuh ibu saat mengedan memerlukan energi
yang optimal. Dengan energi yang optimal, ibu akan mendapatkan
kekuatan atau energi yang optimal pula. Energi yang dimiliki oleh ibu
berasal dari asupan nutrisi dan hidrasi. Hal ini sesuai dengan pendapat
King et al (2011) ibu bersalin yang memenuhi cairan dan nutrisi akan
memiliki lebih banyak energi selama persalinan, sedangkan bila
menghiraukan intake cairan dan nutrisi akan mempengaruhi keadaan ibu
dan bayi saat persalinan.
Ketidakcukupan asupan nutrisi pada tubuh seseorang menunjukkan
akan ketersediaan karbohidrat dalam tubuh tidak adekuat. Ketersediaan
karbohidrat yang cukup dapat mencegah terjadinya oksidasi lemak yang
tidak sempurna yang dapat mensisakan bahan-bahan keton berupa asam
asetoasetat, aseton dan asam beta-hidroksi-butirat. Keadaan ini
menimbulkan ketosis. Peningkatan bahan-bahan keton yang melebihi
ambang batas normal pada ibu bersalin dapat menurunkan aktivitas
kontraksi rahim, sehingga dapat menghambat kemajuan persalinan dan
berpeluang mengakibatkan terjadinya partus lama. Aktifitas uterus dapat
menurun akibat dari terakumulasinya benda keton. Ibu bersalin dengan
asupan kalori tidak adekuat berisiko untuk terjadi terhambatnya
kemajuan persalinan. (Manuaba, 2010). Selain itu bentuk makanan akan
mempengaruhi absorpsi nutrisi itu sendiri. Makanan atau nutrisi dengan
konsistensi cair yang mengandung kalori tinggi sangat tepat diberikan
kepada ibu bersalin karena makanan tersebut akan mudah diabsorpsi

8
sehingga akan lebih cepat meningkatkan stamina tubuh ibu dan
menambah kekuatan untuk mengedan. (Oxorn dan Forte, 2010).
c. Kebutuhan Eliminasi
Menurut Fitriana dan Nurwiandani (2018:35) pemenuhan
kebutuhan eliminasi selama persalinan perlu difasilitasi untuk
membantu kemajuan persalinan dan meningkatkan kenyamanan pasien.
Anjurkan ibu untuk berkemih secara spontan sesering mungkin atau
minimal setiap 2 jam sekali selama persalinan. Kandung kemih yang
penuh dapat mengakibatkan:
1) Mengambat proses penurunan bagian terendah janin ke dalam
rongga panggul, terutama apabila berda di atas spina isciadika.
2) Menurunkan efisiensi kontraksi uterus atau his.
3) Meningkatkan rasa tidak nyaman yang tidak dikenali ibu karena
bersama dengan munculnya kontraksi uterus.
4) Memperlambat kelahiran plasenta pasca persalinan, karena kandung
kemih yag penuh menghambat kontraksi uterus.
d. Kebutuhan Hygiene (Kebersihan personal)
Kebutuhan kebersihan ibu bersalin perlu diperhatikan dalam
memberikan asuhan pada ibu bersalin. Personal hygiene yang baik dapat
membuat ibu merasa aman dan rileks, mengurangi kelelahan, mencegah
infeksi, mencegah gangguan sirkulasi darah, mempertahankan integritas
pada jaringan, dan memelihara kesejahteraan fisik serta psikis. (Fitriana
dan Nurwiandani, 2018:36)
Menurut Fitriana dan Nurwiandani (2018:36) tindakan personal
hygiene ibu bersalin dapat dilakukan bidan diantaranya: membersihkan
daerah genitalia dengan melakukan vulva hygiene dan memfasilitasi ibu
untuk menjaga kebersihan badan dengan mandi. Mandi sebelum proses
persalinan selain dapat membersihkan seluruh tubuh, mandi juga dapat
meningkatkan sirkulasi darah, sehingga meningkatkan kenyamanan
pada ibu, dan dapat mengurangi rasa sakit.
e. Kebutuhan Istirahat
Selama proses persalinan berlangsung, ibu bersalin harus tepat
memenuhi kebutuhan istirahat yang cukup. Istirahat yang dimaksud
yaitu beri kesempatan ibu untuk mencoba rileks tanpa adanya tekanan
emosional dan fisik. Hal ini dilakukan selama tidak ada his (disela-sela

9
his). Ibu dapat berhenti sejenak untuk melepas rasa sakit akibat his,
makan atau minum, atau melakukan hal menyenangkan yang lain untuk
melepas lelah, atau apabila memungkinkan ibu dapat tidur. (Fitriana dan
Nurwiandani, 2018:37-38)
f. Posisi dan Ambulasi
Pada awal persalinan sampai menunggu pembukaan lengkap, ibu
masih diperbolehkan untuk melakukan mobilisasi atau aktivitas. Hal ini
tentunya disesuaikan dengan kesanggupan ibu. Mobilisasi yang tepat
dapat membantu dalam meningkatkan kemajuan persalinan, dapat juga
mengurangi rasa jenuh dan kecemasan yang dihadapi ibu menjelang
kelahiran janin. Posisi persalinan yang dimaksudkan untuk membantu
mengurangi rasa sakit akibat his dan membantu dalam meningkatkan
kemajuan persalinan (penipisan serviks, pembukaan serviks, dan
penurunan bagian terendah). (Fitriana dan Nurwiandani, 2018:38-39).
Pada kala I ibu diperbolehkan untuk berjalan, berdiri, posisi
berdansa, duduk, berbaring miring ataupun merangkak. Hindari posisi
jongkok, ataupun dorsal recumbent maupun lithotomi, fungsinya
merangsang kekuatan meneran. Selama proses persalinan ibu bersalin
tidak dianjurkan dalam posisi terlentang karena dapat menyebabkan
supine hipotensi, ibu bisa pingsan, bayi kekurangan oksigen dapat
meningkatkan rasa sakit, memperlama persalinan, membuat ibu susah
bernapas, dan membatasi gerak ibu bersalin. Apabila ibu berbaring
terlentang, maka berat uterus akan menekan vena cava inferior. Hal ini
dapat mengakibatkan berkurangnya aliran darah ibu ke plasenta
sehingga menyebabkan hipoksia atau difisiensi O2 janin. Posisi ini
juga akan mempersulit ibu untuk meneran. (Fitriana dan Nurwiandani,
2018:88)
Menurut Fitriana dan Nurwiandani (2018:39-41) macam-macam
posisi untuk meneran diantaranya yaitu:
1) Duduk atau setengah duduk, posisi ini memudahkan bidan dalam
membantu persalinan kelahiran kepala janin dan memperhatikan
keadaan perineum.
2) Merangkak, posisi merangkak sangat cocok untuk persalinan
dengan rasa sakit pada punggung, mempermudah janin dalam

10
melakukan rotasi serta peregangan pada perineum belakang dan
mengurangi hemoroid.
3) Jongkok atau berdiri, posisi jongkok atau berdiri memudahkan
penurunan kepala janin memperluas panggul sebesar 28% lebih
besar pada pintu bawah panggul, dan memperkuat dorongan
meneran. Namun posisi ini beresiko memperbesar terjadinya
laserasi (perlukaan jalan lahir).
4) Berbaring miring ke kiri, posisi miring ke kiri dapat mengurangi
penekanan pada vena cava inferior, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya hipoksia janin karena suplai oksigen tidak
terganggu, dapat memberi suasana rileks bagi ibu yang mengalami
kecapekan dan dapat mencegah terjadinya robekan jalan lahir.
5) Hindari posisi terlentang, posisi ini dapat mengakibatkan hipotensi
(beresiko terjadinya syok dan berkurangnya suplai oksigen dalam
sirkulasi utero placenter, sehingga mengakibatkan hipoksia bagi
janin), rasa nyeri bertambah, kemajuan persalinan bertambah lama,
ibu mengalami gangguan untuk bernafas, buang air kecil terganggu,
mobilisasi ibu kurang bebas, ibu kurang semangat, dan
mengakibatkan kerusakan pada syaraf kaki dan punggung.
g. Pengurangan rasa nyeri
Nyeri persalinan merupakan pengalaman subjektif tentang sensasi
fisik yang terkait kontraksi uterus, dilatasi dan penipisan serviks, serta
penurunan janin selama persalinan. Rasa nyeri selama persalinan akan
berbeda satu dengan lainnya. Banyak faktor yang mempengaruhi
persepsi nyeri seseorang. Diantaranya seperti jumlah kelahiran
sebelumnya (pengalaman persalinan), budaya melahirkan, emosi,
dukungan keluarga, persiapan persalinan, posisi saat melahirkan,
presentasi janin, tingkat beta-endorphin, kontraksi rahim yang intens
selama persalinan dan ambang nyeri alami. Meskipun tingkat nyeri
bervariasi bagi setiap ibu bersalin, diperlukan teknik yang dapat
membuat ibu merasa nyaman saat melahirkan. (Fitriana dan
Nurwiandani, 2018:43).
Tubuh memiliki metode mengontrol nyeri persalinan dalam bentuk
beta-endorphin. Beta-endorphin memiliki sifat mirip petidin, morfin dan
heroin serta tela terbukti bekerja pada reseptor yang sama diotak.

11
Menurut Peny Simpkin dalam Fitriana dan Nurwiandani (2018:44)
beberapa cara untuk mengurangi nyeri persalinan adalah mengurangi
rasa sakit dari sumbernya, memberikan rangsangan alternatif yang kuat,
serta mengurangi reaksi mental atau emosional yang negatif dan reaksi
fisik ibu terhadap rasa sakit. Adapun pendekatan yang dapat dilakukan
oleh bidan untuk mengurangi rasa sakit pada persalinan yaitu dengan
pengaturan posisi, relaksasi, latihan pernafasan, istirahat, privasi,
penjelasan tentang kemajuan persalinan, asuhan diri, dan sentuhan.
Bidan dapat membatu ibu bersalin dalam mengurangi nyeri
persalinan dengan teknik self-help. Teknik ini merupakan teknik
pengurangan nyeri persalinan yang dapat dilakukan sendiri oleh ibu
bersalin, melalui pernafasan dan relaksasi maupun stimulasi yang
dilakukan oleh bidan. Stimulasi yang dapat dilakukan oleh bidan dalam
mengurangi nyeri persalinan dapat berupa kontak fisik maupun pijatan.
Pijatan dapat berupa pijatan (massage) di daerah lombo sacral, pijatan
ganda pada pinggul, penekanan lutut, dan counter pressure. Cara lain
yang dapat dilakukan bidan diantaranya memberikan kompres hangat
atau dingin, mempersilahkan ibu mandi atau berada di air (berendam),
menghadirkan orang terdekat ibu (pendamping persalinan). (Fitriana dan
Nurwiandani, 2018:44-45).
4. Perubahan Fisiologis Ibu Bersalin
a. Perubahan Fisiologi Kala I
Menurut Fitriana dan Nurwiandani (2018:49-54) perubahan
fisiologis yang terjadi pada persalinan kala I diantaranya:
1) Perubahan Tekanan Darah
Tekanan darah meningkat selama kontraksi uterus dengan
kenaikan sistolik rata-rata sebesar 10-20 mmHg dan kenaikan
diastolik rata-rata 5-10 mmHg. Diantara kontraksi uterus, tekanan
darah akan turun seperti sebelum masuk persalinan dan akan naik
lagi bila terjadi kontraksi. Jika seorang ibu dalam keadaan sangat
takut, cemas atau khawatir pertimbankan kemungkinan rasa takut,
cemas atau khawatirnyalah yang menyebabkan kenaikan tekanan
darah. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan lainnya untuk
mengesampingkan preeklampsia. Oleh karena itu diperlukan asuhan
yang dapat menyebabkan ibu rileks. Arti penting dan kejadian ini

12
adalah untuk memastikan tekanan darah sesungguhnya, sehingga
diperlukan pengukuran diantara kontraksi atau diluar kontraksi
(Varney, 2008 dalam Marmi, 2016). Selain karena faktor kontraksi
dan faktor psikis, posisi tidur terlentang selama bersalin akan
menyebabkan uterus dan isinya (janin, cairan ketuban, plasenta, dan
lain-lain) menekan vena cava inferior hal ini menyebabkan
turunnya aliran darah dari sirkulasi ibu ke plasenta. Kondisi seperti
ini, akan menyebabkan hipoksia janin. Posisi terlentang juga akan
menghambat kemajuan persalinan. Oleh karena itu posisi tidur
selama persalinan yang baik adalah menghindari posisi tidur
terlentang (Marmi, 2016).
Menurut Aprillia (2011) posisi berjalan pada saat kala
I merupakan cara yang hebat untuk persalinan agar berjalan
lancar dan nyaman. Cara ini juga cara yang baik untuk
menghabiskan waktu pada saat proses awal persalinan. Perubahan
posisi pada saat proses persalinan dapat membantu meningkatkan
rasa nyaman, menurunkan rasa nyeri, meningkatkan kepuasan
dan kebebasan untuk bergerak dan juga penting untuk posisi bayi
dalam kemajuan persalinan.
2) Perubahan metabolisme
Selama persalinan baik metabolisme karbohidrat aerob maupun
anaerob akan naik secara perlahan. Kenaikan ini sebagian
disebabkan oleh karena kecemasan serta kegiatan otot kerangka
tubuh. Kegiatan metabolisme yang meningkat tercermin dengan
kenaikan suhu badan, denyut nadi, pernapasan, kardiak output dan
kehilangan cairan. Hal ini bermakna bahwa peningkatan curah
jantung dan cairan yang hilang mempengaruhi fungsi ginjal dan
perlu mendapatkan perhatian serta ditindaklanjuti guna mencegah
terjadinya dehidrasi. Anjurkan ibu untuk mendapat asupan
(makanan ringan dan minum air) selama persalinan dan klahiran
bayi, sebagian ibu masih ingin makan selama fase laten, tetapi
setelah memasuki fase aktif, biasanya mereka hanya menginginkan
cairan saja. Anjurkan anggota keluarga menawarkan ibu minum
sesering mungkin dan makanan ringan selama persalinan. Hal ini
dikarenakan makanan dan cairan yang cukup selama persalinan

13
akan memberikan lebih banyak energi dan mencegah dehidrasi,
perlu diingat bahwa dehidrasi bisa memperlambat kontraksi atau
membuat kontraksi menjadi tidak teratur dan kurang efektif
(Marmi, 2016).
3) Perubahan suhu badan
Suhu badan akan sedikit meningkat selama persalinan, suhu
mencapai tertinggi selama perslainan dan segera setelah kelahiran.
Kenaikan ini dianggap normal asal tidak melebihi 0,5-10C, karena
hal ini mencerminkan terjadinya peningkatan metabolisme. Suhu
badan yang naik sedikit merupakan keadaan yang wajar, namun bila
keadaan ini berlangsung lama, merupakan indikasi adanya
dehidrasi. Pemantauan parameter lainnya harus dilakukan antara
lain selaput ketuban sudah pecah atau belum, karena suhu
meningkat yang disertai ketuban pecah merupakan indikasi infeksi
(Marmi, 2016).
4) Denyut jantung
Perubahan yang mencolok selama kontraksi disertai
peningkatan selama fase peningkatan, penurunan selama titik pucak
sampai frekuensi diantara kontraksi, dan peningkatan selama fase
penurunan hingga mencapai frekuensi lazim diantara kontraksi.
Penurunan yang mencolok selama puncak kontraksi uterus tidak
terjadi jika wanita berada pada posisi miring bukan terlentang. Pada
setiap kontraksi, 400 ml darah dikeluarkan dari uterus dan masuk
dalam sistem vaskuler ibu. Hal ini akan meningkatkan curah
jantung sekitar 10% sampai 15% pada tahap pertama persalinan dan
sekitar 30% sampai 50% pada tahap kedua persalinan. (Marmi,
2016).
Ibu harus diberitahu bahwa ia tidak boleh melakukan manuver
valsava (menahan napas dan menegakkan otot abdomen) untuk
mendorong selama tahap kedua. Aktivitas ini meningkatkan tekanan
intratoraks, mengurangi aliran balik vena dan meningkatkan
tekanan vena. Curah jantung dan tekanan darah meningkat,
sedangkan nadi melambat untuk sementara. Selama ibu melakukan
manuver valsava, janin dapat mengalami hipoksia. Proses ini pulih
kembali saat wanita menarik napas. (Marmi, 2016)

14
Frekuensi denyut jantung nadi diantara kontraksi sdikit lebih
tinggi dibandingkan selama periode menjelang persalinan. Hal ini
bermakna bahwa sedikit peningkatan frekuensi nadi dianggap
normal. Hal ini mencerminkan kenaikan dalam metabolisme yang
terjadi selama persalinan. Denyut jantung yang sedikit naik
merupakan keadaan yang normal, meskipun normal perlu dikontrol
secara periode untuk mengidentifikasi adanya infeksi. (Marmi,
2016)
5) Pernapasan
Pada respirasi atau pernapasan terjadi kenaikan sedikit
dibandingkan sebelum persalinan., hal ini disebabkan adanya rasa
nyeri, kekhawatiran serta penggunaan teknik pernapasan yang tidak
benar (Nurasiah;dkk, 2012). Untuk itu diperlukan tindakan untuk
mengendalikan pernapasan (menghindari hiperventilasi) yang
ditandai oleh adanya perasaan pusing. Hiperventilasi dapat
menyebabkan alkalosis respiratorik (PH meningkat) hipoksia dan
hipokapnea (karbondioksida menurun), pada tahap kedua
persalinan. Jika ibu tidak diberi obat-obatan maka ia akan
mengkonsumsi oksigen hampir dua kali lipat (Marmi, 2016).
6) Perubahan Uterus
Pada masa persalinan akan terjadi perubahan dibagian uterus.
Perubahan yang terjadi sebagai berikut:
a) Kontraksi uterus dimulai dari fundus dan uterus menyebar
kedepan dan kebawah abdomen dan berakhir dengan masa
yang terpanjang dan sangat kuat pada fundus uteri
b) Segmen Atas Rahim (SAR), dibentuk oleh korpus uteri yang
bersifat aktif dan berkontraksi. Dinding SAR akan bertambah
tebal dengan majunya persalinan sehingga mendorong bayi
untuk keluar.
c) Segmen Bawah Rahim (SBR), dibentuk oleh istmus uteri
bersifat aktif relokasi dan dilatasi, dilatasi makin tipis karen
uterus diregang dengan majunya persalinan.
d) Dominasi fundus bermula dari fundus dan merembet ke bawah.
e) Perubahan uterus berlangsung paling lama dan paling kuat di
fundus.

15
f) Perubahan fisiologis mencapai puncak kontraksi bersamaan
pada seluruh bagian uterus dan mereda bersamaan dengan
serviks membuka dan mengalami proses pengeluaran janin.
7) Perubahan Bentuk Rahim
Setiap terjadi kontraksi, sumbu panjang rahim bertambah
panjang, sedangkan ukuran melintang dan ukuran muka belakang
berkurang. Perubahan bentuk rahim ini adalah sebagai berikut:
a) Ukuran melintang menjadi turun, akibatnya lengkungan
punggung bayi turun dan menjadi lurus. Bagian atas bayi
tertekan fundus, dan bagian bawah bayi tertekan pitu atas
panggul.
b) Rahim bertambah panjang, sehingga otot-otot memanjang
diregang dan menarik segmen bawah rahim dan serviks.
Peristiwa tersebut menimbulkan terjadinya pembukaan serviks,
sehingga segmen atas rahim dan segmen bawah rahim juga
terbuka.
8) Faal Ligamentum Rotundum
Faal ligamentum rotundum terletak pada sisi uterus yaitu di
bawah dan di depan insersi tuba falopi. Ligamentum ini melintasi
atau bersilangan pada lipatan paritoneum, melewati saluran
pencernaan dan memasuki bagian depan labia mayora pada sisi atas
perineum. Perubahan yang tejadi pada ligamentum rotundum ini
adalah sebagai berikut:
a) Pada saat kontraksi, fundus yang terjdinya bersandar pada
tulang punggug berpindah ke depan mendesak dinding perut ke
arah depan. Perubahan letak uterus pada waktu kontraksi ini
penting karena menyebabkan sumbu rahim menjadi searah
dengan sumbu jalan lahir.
b) Kontraksi yang terjadi pada ligamentum rotundum tersebut
menyebabkan fundus uteri terhambat sehingga fundus tidak
dapat naik keatas.
9) Perubahan Serviks
Pada saat persalinan serviks akan mengalami beberapa
perubahan diantaranya sebagai berikut:

16
a) Pendataran serviks (efficement) yaitu pemendekan kanalis
servikalis dari 1-2 cm menjadi satu lubang dengan pinggir yang
tipis.
b) Pembukaan serviks, yaitu pembesaran dari ostium eksternum
yang tadinya berupa suatu lubang dengan diameter beberapa
milimeter menjadi bagian lubang kira-kira 10 cm dan nantinya
dapat dilalui bayi. Saat pembukaan lengkap, bibir portio tidak
teraba lagi, kepala janin akan menekan serviks, dan membantu
pembukaan secara efisien.
10) Perubahan Sistem Urinaria
Pada akhir bulan ke-9 pemeriksaan fundus uteri menjadi lebih
rendah, kepala janin mulai masuk pintu atas panggul, dan
menyebabkan kandung kending tertekan sehingga merangsang ibu
untuk sering BAK. Pada kala I, adanya kontraksi uterus
menyebabkan kandung kencing semakin tertekan. Puliuria sering
terjadi selama persalinan. Hal ini disebabkan oleh peningkatan
cardiac output, peningkatan filtrasi glomerulus dan peningkatan
aliran plasma ginjal. Poliuria akan berkurang pada posisi
terlentang.
Dalam hal ini, anjurkan ibu untuk mengosongkan kandung
kemih secara rutin selama persalinan. Ibu harus berkemih, paling
sedikit selama 2 jam atau lebih sering jika terasa ingin berkemih
atau mengetahui apakah kandung kemih penuh. Anjurkan dan
antarkan ibu untuk berkemih dikamar mandi. Jika ibu tidak dapat
berjalan ke kamar mandi berikan wadah penampung urine. Hal ini
dikarenakan kandung kemih yang penuh akan memperlambat
turunnya bagian terbawah janin dan mungkin menyebabkan resiko
perdarahan pasca persalinan yang disebabkan atonia uteri,
mengganggu pentalaksanaan distosia bahu dan meningkatkan resiko
infeksi kandung kemih pasca persalinan (Marmi, 2016).
11) Perubahan Vagina dan Dasar Panggul
Pada kala I persalinan selaput ketuban dan bagian terbawah
janin memainkan peran penting untuk membuka bagian atas vagina.
Namun setelah ketuban pecah, perubahan-perubahan dasar panggul
seluruhnya dihasilkan oleh tekanan yang diberikan oleh bagian

17
terbawah janin. Perubahan yang paling nyata terdiri atas peregangan
serabut-serabut m.levatores ani dan penapisan bagian tengah
perineum yang berubah bentuk dari masa jaringan berbentuk baji
setebal 5 cm menjadi (kalau tidak dilakukan episiotomi) struktur
membran tipis yang hampir transparan dengan tebal kurang dari 1
cm. Ketika perineum teregang maksimal, anus menjadi jelas
membuka dan terlihat sebagai lubang berdiameter 2 sampai 3 cm
dan di sini dinding anterior rektum menonjol. Jumlah dan besar
pembuluh darah yang luar biasa yang memelihara vagina dan dasar
panggul menyebabkan kehilangan darah yang amat besar kalau
jaringan ini robek (Marmi, 2016).
12) Perubahan Gastrointestinal
Motilitas lambung dan absorpsi makan padat secara substansial
berkurang banyak sekali selama persalinan. Selain, pengeluaran
getah lambung berkurang, menyebabkan aktivitas pencernaan
hampir berhenti, dan pengosongan lambung menjadi sangat lamban.
Cairan tidak berpengaruh dan meninggalkan perut dalam tempo
yang biasa. Mual atau muntah biasa terjadi sampai ibu mencapai
kala I. Perubahan motilitas lambung ini juga disebabkan oleh
peningkatan hormon progesteron selama persalinan sehingga gerak
peristaltik usus berkurang (Eniyati & Putri, 2012).
13) Perubahan Pada Sistem Pernafasan
Pada respirasi atau pernapasan terjadi kenaikan sedikit
dibandingkan sebelum persalinan. Hal ini disebabkan adanya rasa
nyeri, kekhawatiran serta penggunaan teknik pernapasan yang tidak
benar (Nurasiah, dkk, 2012). Untuk itu diperlukan tindakan untuk
mengendalikan pernapasan (menghindari hiperventilasi) yang
ditandai oleh adanya perasaan pusing. Hiperventilasi dapat
menyebabkan alkalosis respiratorik (Ph meningkat) hipoksia dan
hipokapnea (karbondioksida menurun), pada tahap kedua
persalinan. Jika ibu tidak diberi obat-obatan maka ia akan
mengkonsumsi oksigen hampir dua kali lipat (Marmi, 2016).
14) Perubahan Pada Hematologi
Hemoglobin meningkat rata-rata 1,2 gr% ml selama persalinan
dan kembali ke kadar sebelum persalinan pada hari pertama pasca

18
partum jika tidak ada kehilangan darah yang abnormal. Waktu
koagulasi darah berkurang dan terdapat peningkatan fibrinogen
plasma lebih lanjut selama persalinan. Hitung sel darah putih
selama progresif meningkat selama kala I persalinan sebesar kurang
lebih 5.000 hingga peningkatan lebih lanjut setelah ini. Gula darah
menurun selama kemungkinan besar akibat peningkatan aktifitas
otot dan rangka.
Hal ini bermakna bahwa jangan terburu-buru yakin bahwa
seorang wanita tidak anemia jika tes darah menunjukkan kadar
darah berada diatas normal, yang membuat terkecoh sehingga
mengakibatkan resiko yang meningkat pada wanita anemia selama
periode intrapartum. Perubahan ini menurunkan resiko perdarahan
pasca partum pada wanita normal. Peningkatan sel darah putih tidak
selalu mengidentifikasi infeksi ketika jumlah ini dicapai. Apabila
jumlahnya jauh diatas nilai ini, cek parameter lain untuk
mengetahui adanya infeksi. Penggunaan uji laboratorium untuk
menapis seorang wanita terhadap kemungkinan diabetes selama
periode intrapartum akan menghasilkan data yang tidak akurat dan
tidak dapat dipercaya (Marmi, 2016).
b. Perubahan Fisiologi Kala II
Pada tahap persalinan kala II ini juga mengalami beberapa
perubahan. Menurut Fitriana dan Nurwiandani, (2018:76-77) beberapa
perubahan fisiologis yang terjadi pada ibu bersalin kala II diantaranya
sebagai berikut:
1) Meningkatnya tekanan darah selama proses persalinan.
2) Sistole mengalami kenaikan 15 (10-20 mmHg)
3) Diastole mengalami kenaikan menjadi 5-10 mmHg.
4) His menjadi lebih kuat dan kontraksinya terjadi selama 50-100
detik, datangnya tiap 2-3 menit.
5) Ketuban biasanya pecah pada kala ini dan ditandai dengan
keluarnya cairan kekuning-kuningan yang banyak.
6) Pasien mulai mengejan
7) Terjadi peningkatan metabolisme karbohidrat aerob dan anaerob.
8) Terjadinya peningkatan suhu badan ibu, nadi, dan pernafasan.
9) Pasien mulai mengejan.

19
10) Poliuria sering terjadi
11) Hb mengalami peningkatan selama persalinan sebesar 1,2 gr% dan
akan kembali pada masa prapersalinan pada hari pertama
pascapersalinan.
12) Terjadi peningkatan leukosit secara progresif pada awal kala II
hingga mencapai ukuran jumlah maksimal.
13) Pada akhir kala II sebagai tanda bahwa kepala bayi sudah sampai di
dasar panggul, perineum terlihat menonjol, vulva mengangan dan
rectum terbuka.
14) Pada puncak his, bagian kepala sudah mulai nampak di vulva dan
hilang lagi ketika his berhenti.
15) Pada akhirnya lingkaran terbesar kepala terpegang oleh vulva,
sehingga tidak bisa mundur lagi. Tonjolan tulang ubun-ubun telah
lahir dan subocciput sudah berada di bawah simpisis.
16) Pada his berikutnya lahirlah ubun-ubun besar, dahi dan mulut pada
commisura posterior. Biasanya pada pasien primipara, perineum
akan mengalami robekan pada pinggir depannya karena tidak dapat
menahan regangan yang kuat tersebut.
17) Setelah kepala lahir dilanjutkan dengan putar paksi luar, sehingga
kepala melintang, vulva menekan pada leher dan dada tertekan oleh
jalan lahir, sehingga dari hidung anak keluar lendir dan cairan.
18) Pada his berikutnya bahu belakang lahir kemudian bahu depan
disusul seluruh badan anak dengan fleksi lateral, sesuai dengan
paksi jalan lahir.
19) Setelah anak lahir, sering keluar sisa air ketuban, yang tidak keluar
waktu ketuban pecah, kadang-kadang bercampur darah.
c. Perubahan Fisiologi Kala III
Penyebabnya plasenta terpisah dari dinding uterus adalah kontraksi
uterus (spontan atau dengan stimulus) setelah kala II selesai. Tempat
perlekatan plasenta menentukan kecepatan pemisahan dan metode
ekspulsi plasenta. Selama kala III, kavum uteri secara progresif semakin
mengecil sehingga memungkinkan proses retraksi semakin meningkat.
Dengan demikian sisi plasenta akan jauh lebih kecil. Plasenta menjadi
tertekan dan darah yang ada pada vili-vili plasenta akan mengalir
kedalam lapisan spongiosum dari desidua. Terjadinya retraksi dari otot-

20
otot uterus yang menyilang menekan pembuluh-pembuluh darah
sehingga darah tidak masuk kembali kedalam system maternal.
Pembuluh darah selanjutnya menjadi tegang dan padat.
Pada kala III otot uterus (miometrium) berkontraksi mengikuti
penyusunan volume rongga uterus setelah lahirnya bayi. Penyusutan
ukuran ini menyebabkan berkurangnya ukuran tempat perlekatan
plasenta. Karena tempat perlekatan plasenta menjadi semakin kecil,
sedangkan ukuran plasenta tidak berubah, plasenta terlipat, menebal,
kemudian terlepas dari dinding uterus. Setelah lepas, plasenta akan turun
kebagian bawah uterus atau ke dalam vagina (Depkes, 2008 dalam buku
Nurasiah, dkk, 2012).
d. Perubahan Fisiologi Kala IV
1) Uterus
Setelah kelahiran plasenta, uterus dapat ditemukan ditengah-
tengah abdomen kurang lebih dua pertiga sampai tiga perempat
antara simpisis pubis dan umbilikus. Jika uterus ditemukan
ditengah, di atas simpisis maka hal ini menandakan adanya darah di
kavum uteri dan butuh untuk ditekan dan dikeluarkan. Uterus yang
berada di atas umbilikus dan bergeser paling umum ke kanan
menandakan adanya kandung kemih penuh. Kandung kemih penuh
menyebabkan uterus sedikit bergeser ke kanan, mengganggu
kontraksi uterus dan memungkinkan peningkatan perdarahan. Jika
pada saat ini ibu tidak dapat berkemih secara spontan, maka
sebaiknya dilakukan kateterisasi untuk mencegah terjadinya
perdarahan.
Uterus yang berkontraksi normal harus terasa keras ketika
disentuh atau diraba. Jika segmen atas uterus terasa keras saat
disentuh, tetapi terjadi perdarahan maka pengkajian segmen bawah
uterus perlu dilakukan. Uterus yang teraba lunak, longgar tidak
berkontraksi dengan baik, hipotonik, atonia uteri adalah penyebab
utama perdarahan postpartum segera. Hemostasis uterus yang
efektif dipengaruhi oleh kontraksi jalinan serat-serat otot
miometrium. Serat-serat ini bertindak mengikat pembuluh darah
yang terbuka pada sisi plasenta. Pada umumnya trombus terbentuk
pembuluh darah distal pada desidua, bukan dalam pembuluh

21
miometrium. Mekanisme ini yaitu ligasi terjadi dalam miometrium
dan trombosis dalam desidua penting karena dapat mencegah
pengeluaran trombus ke sirkulasi sistemik (Marmi, 2016).
2) Serviks, Vagina, dan Perineum
Segera setelah kelahiran serviks bersifat patolous, terkulai dan
tebal. Tapi anterior selama persalinan, atau setiap bagian serviks
yang terperangkap akibat penurunan kepala janin selama periode
yang memanjang, tercermin pada peningkatan edema dan memar
pada area tersebut. Perineum yang menjadi kendur dan tonus vagina
juga tampil jaringan tersebut, dipengaruhi oleh peregangan yang
terjadi selama kala II persalinan. Segera setelah bayi lahir tangan
bisa masuk, tetapi setelah dua jam introitus vagina hanya bisa
dimasuki dua atau tiga jari. Edema atau memar pada introitus atau
pada aera perineum sebaiknya dicatat (Marmi, 2016).
3) Tanda Vital
Tekanan darah, nadi, dan pernafasan harus kembali stabil pada
level pra-persalinan selama jam pertama pascapartum. Pemantauan
tekanan darah dan nadi yang rutin selama interval ini adalah satu
sarana mendeteksi syok akibat kehilangan darah berlebihan.
Sedangkan suhu tubuh ibu berlanjut meningkat, tetapi biasanya
dibawah 380C. Namun jika intake cairan baik, suhu tubuh dapat
kembali normal dalam 2 jam pascapartus (Marmi, 2016).
4) Gemetar
Umum bagi seorang wanita mengalami tremor atau gemetar
selama kala empet persalinan, gemetar seperti itu dianggap normal
selama tidak disertai dengan demam lebih dari 380C, atau tanda-
tanda infeksi lainnya. Respon ini dapat diakibatkan karena
hilangnya ketegangan dan sejumlah energi melahirkan, respon
fisiologi terhadap penurunan volume intra-abdomen dan pergeseran
hematologik juga memainkan peranan (Marmi, 2016).
5) Sistem Gastrointestinal
Mual dan muntah, jika ada selama masa persalinan harus
ditandai. Haus umumnya banyak dialami, dan ibu melaporkan rasa
lapar setelah melahirkan (Marmi, 2016).

22
6) Sistem Renal
Kandung kemih yang hipotonik, disertai dengan retensi urine
bermakna dan pembesaran umum terjadi. Tekanan dan kompresi
pada kandung kemih selama persalinan dan pelahiran adalah
penyebabnya. Mempertahankan kandung kemih wanita agar tetap
kosong selama persalinan dapat menurunkan trauma. Setelah
melahirkan kandung kemih harus tetap kosong guna mencegah
uterus berubah posisi dan atonia. Uterus yang berkontraksi dengan
buruk dan meningkatkan resiko perdarahan dan keparahan nyeri
(Marmi, 2016).
5. Perubahan Psikologis Ibu Bersalin
a. Perubahan Psikologis Kala I
Pada persalinan kala I selain pada kontraksi uterus, umunya ibu
salam keadaan santai, tenang dan tidak terlalu pucat. Menurut Fitriana
dan Nurwiandani (2018:54-55) kondisi psikologis yang sering terjadi
pada wanita bersalin adalah sebagai berikut:
1) Rasa cemas dan takut pada dosa-dosa atau kesalahan-kesalahan
sendiri. Ketakutan tersebut dapat berupa rasa takut jika bayinya
yang akan dilahirkan dalam keadaan cacat, kurang sehat atau yang
lainnya.
2) Adanya rasa tegang dan konflik batin yang disebabkan oleh
semakin membesarnya janin dalam kandungan yang dapat
mengakibatkan calon ibu mudah capek, tidak nyaman, tidak bisa
tidur nyenyak, sulit bernafas, dan gangguan-gangguan yang lainnya.
3) Ibu bersalin terkadang merasa jengkel, tidak nyaman, selalu
kegerahan, serta tidak sabaran sehingga antara ibu dan janinnya
menjadi terganggu. Hal ini disebabkan karena kepala bayi sudah
memasuki panggul dan timbulnya kontrasi-kontraksi pada rahim
sehingga bayi yang semula diharapkan dan dicintai secara
psikologis selama berbulan-bulan itu kini dirasakan sebagai beban
yang amat berat.
4) Ibu bersalin memiliki harapan mengenai jenis kelamin bayi yang
akan dilahirkan. Secara tidak langsung, relasi antara ibu dan anak
terpecah sehingga menjadikan ibu merasa cemas.

23
5) Ibu bersalin memiliki angan-angan negatif akan kelahiran bayinya.
Angan-angan tersebut misalnya keinginan untuk memiliki janin
yang unggul, cemas kalau bayinya tidak aman diluar rahim, merasa
belum mampu bertanggung jawab sebagai seorang ibu dan lain
sebagainya.
6) Kegelisahan dan ketakutan lainnya menjelang kelahiran bayi.
Ketika ibu bersalin mengalami fase ini, hendaknya ada dorongan
dan motivasi serta perhatian yang lebih dari keluarga, teman, orang-
orang yang ada disekitarnya, terutama orang terdekat ibu.
b. Perubahan Psikologis Kala II
Pada masa persalinan, seorang wanita akan mengalami berbagai
perasaan menjelang kelahiran bayinya. Menurut Fitriana dan
Nurwiandani (2018:77-84) perubahan psikologis yang umum terjadi
pada ibu bersalin diantaranya sebagai berikut:
1) Panik dan terkejut ketika pembukaan sudah lengkap.
2) Bingung dengan apa yang terjadi ketika pembukaan lengkap.
3) Frustasi dan marah
4) Tidak memperdulikan apa saja dan siapa saja yang ada di kamar
bersalin.
5) Merasa lelah dan sulit mengikuti perintah.
6) Fokus pada dirinya sendiri
7) Memiliki persepsi sendiri tentang rasa sakit yang dialami
8) Memiliki pengharapan yang berlebihan.
Masalah psikologis utama yang dialami oleh ibu bersalin adalah
kecemasan. Kecemasan merupakan gangguan perasaan yang ditandai
dengan katakutan dan kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan.
Menurut Sulistyawati (2014) mengatakan bahwa kecemasan berbeda
dengan rasa takut. Cemas merupakan respon emosi tanpa obyek yang
spesifik yang secara subyektif dialami dan dikomunikasikan
interpersonal secara langsung. Secara fisiologis respon tubuh terhadap
kecemasan adalah dengan mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis
dan parasimpatis). Sistem saraf simpatis akan mengaktivasi proses
tubuh, sedangkan sistem saraf parasimpatis akan menimbulkan respons
tubuh. Bila korteks otak menerima rangsang, maka rangsangan akan
dikirim melalui saraf simpatis ke kelenjar adrenal yang akan melepaskan

24
adrenal atau eprineprin sehingga efeknya anatar lain nafas menjadi lebih
dalam, nadi meningkat, dan tekanan darah meningkat.
Darah akan tercurah terutama ke jantung, susunan saraf pusat dan
otak. Dengan peningkatan glikegenolisis maka gula darah akan
meningkat. Secara psikologis, kecemasan akan mempengaruhi
koordinasi atau gerak refleks, kesulitan mendengar atau mengganggu
hubungan dengan orang lain. Kecemasan dapat membuat individu
menarik diri dan menurunkan keterlibatan orang lain. (Kurniarum,
2016)
Menurut Fitriana dan Nurwiandani (2018:84) teknik dukungan atau
pendekatan dapat dilakukan untuk mengurangi kecemasan yang dialami
ibu saat bersalin, diantaranya:
1) Kehadiran seorang pendamping yang terus menerus, sentuhan yang
nyaman, dan dorongan dari orang yang memberikan dukungan.
2) Perubahan posisi dan pergerakan
3) Sentuhan atau massage
4) Counter pressure untuk mengurangi tegangan pada ligamen.
5) Pijatan ganda pada pinggul dan penekanan pada lutut
6) Kompres hangat dan dingin atau dapat berendam di air.
7) Pengeluaran suara
8) Visualisasi dan pemusatan perhatian (dengan berdoa)
9) Musik yang lembut dan menyenangkan ibu.
c. Perubahan Psikologis Kala III
Ibu merasa lega, bahagia, namun sangat lelah karena sudah
melewati peristiwa yang sangat berkesan. Sebagian besar wanita akan
segera ingin melihat dan memeluk bayinya. Namun kembali
memikirkan keadaan dirinya yaitu pengeluaran plasenta dan keadaan
vagina, apakah perlu dijahit atau tidak (Eniyati & Putri, 2012).
d. Perubahan Psikologis Kala IV
Setelah yakin dirinya aman, maka kala IV ini perhatian wanita
tercurah pada bayinya. Wanita ingin selalu berada dekat dengan bayinya
terkadang sambil memeriksa apakah keadaan tubuh bayinya normal.
Sehingga bonding attachment sangat diperlukan saat ini. Sehingga
dihindarkan pemberian susu formula (Eniyati & Putri, 2012).

25
6. Mekanisme Persalinan
Menurut Badriah (2012), sewaktu kepala janin melewati panggul kepala
akan melakukan gerakan-gerakan utama meliputi:
a. Turunnya Kepala
1) Engagement
Masuknya kepala ke dalam PAP peada primigravida terjadi di
bulan akhir kehamilan sedangkan multigravida biasanya terjadi
pada awal persalinan. Kepala masuk ke PAP biasanya dengan sutura
sagitalis melintang dan dengan fleksi yang ringan. Masuknya kepala
melintasi PAP dalam kuadran synclitismus, yaitu arah sumbu kepala
janin tegak lurus denga bidang PAP atau sutura sagitalis terdapat di
tengah-tengah simfisis dan promontorium.
Kepala yang dapat masuk dengan keadaan asyinclitismus yaitu
arah sumbu kepala janin miring dengan bidang PAP atau sutura
sagitalis agak ke depan mendekati simfisis atau agak ke blakang
mendekati promontorium. Asyinclitismus posterior yaitu bila sutura
sagitalis mendekati simfisis dan dari perietal belakang lebih rendah
dari parietal depan. Asyinclitismus anterior yaitu bila sutura
sagitalis mendekati promontorium sehingga parietal depan lebih
renda dari parietal belakang.
2) Majunya Kepala
Pada primigravida majunya kepala terjadi setelah kepala masuk
ke rongga panggil dan biasanya baru mulai pada kala II. Pada
multipara majunya kepala dan masuknya kepala kedalam rongga
panggul terjadi secara bersamaan.
b. Fleksi
Dengan majunya kepala, biasanya fleksi juga bertambah hingga
ubun-ubun kecil lebih rendah dari ubun-ubun besar. Dengan fleksi
kepala janin memasuki ruang panggul dnegan ukuran yang paling kecil,
yakni dengan diameter suboksipitibregmatikus (9,5 cm) dan dengan
sirkumferensia suboksipitobregmatikus (32 cm) sampai didasar panggul
kepala janin berada didalam keadaan fleksi maksimal.
c. Putaran Paksi Dalam
Pemutaran faksi dalam ialah pemutaran dar bagian depan
sedemikian rupa sehingga bagian terendah dari bagian depan memutar

26
kedepan ke bawah simfisis. Putaran paksi merupakan usaha untuk
menyesuaikan posisi kepala dengan bentuk bidang tengah dan pintu
bawah panggul.
d. Ekstensi
Setalah putaran paksi selesai dan kepala sampai di dasar panggul,
terjadilah ekstensi atau defleksi dari kepala. Hal ini disebabkan karena
sumbu jalan lahir mengarah kedepan dan atas, sehingga kepala harus
mengadakan ekstensi untuk melaluinya. Dengan kekuatan his bersama
dengan kekuatan mengejan, berturut-turut tampak bregma, dahi, muka
dan akhirnya dagu.
e. Putaran Paksi Luar
Setelah kepala lahir, maka kepala anak memutar kembali kearah
punggung anak untuk menghilangkan torsi pada leher yang terjadi
karena putaran paksi dalam. Subokciput yang menjadi pusat pemutarab
disebut hipomochlion.
f. Ekspulsi
Setelah putaran paksi luar bahu depan sampai dibawah simfisis dan
menjadi hypomochlion untuk kelahiran bahu belakang. Kemudian bau
depan menyusul dan selanjutnya seluruh badan anak lahir.
7. Asuhan Persalinan
a. Asuhan Kala I
1) Manajemen Kala I
Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam penanganan
persalinan kala I menurut Fitriana dan Nurwiandani (2018:55-60)
adalah sebagai berikut:
a) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai tingkat kesehatan
dan kenyamanan fisik ibu dan bayinya sebagai dasar untuk
menentukan keputusan klinik. Hal-hal yang diperiksa adalah
sebagai berikut:
(1) Pemeriksaan abdomen
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan TFU,
memantau kontraksi uterus, memantau DJJ, menentukan
presentasi dan menentukan penurunan bagian terendah
janin.

27
(2) Menentukan TFU
Pada saat akan menentukan TFU, pastikan tidak ada
kontraksi. Melakukan pengukuran TFU dengan pita ukur
mulai dari atas simpisis rentangkan hingga fundus uteri
mengikuti aksisi atau linea medialis pada abdomen.
(3) Memantau kontraksi uterus
Proses pemantauan kontraksi uterus dilakukan dengan
menggunakan jarum detik. Tentukan durasi setiap
kontraksi yang berlangsung dalam kurun waktu 10 menit.
Pada fase aktif, minimal terjadi 2x kontraksi dalam 10
menit, lama kontraksi kira-kira 40 detik atau lebih.
b) Pemeriksaan Janin
(1) Pemantauan DJJ
Penilaian terhadap DJJ dilakukan selama kontraksi
uterus terjadi. Jika DJJ kurang dari 120 atau lebih dari 160
kemungkinan ada gangguan sirkulasi uteroplacenter pada
janin.
(2) Menentukan bagian terendah janin
Melakukan penilaian penurunan kepala janin (jika
presentasi kepala) dengan hitungan perlimaan bagian
kepala janin bisa dipalpasi di atas simpisis pubis. Kepala
janin dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
(a) Bagian 5/5, jika seluruh kepala janin dapat diraba di
atas symphisis pubis.
(b) Bagian 4/5, jika sebagian besar kepala janin berada
symphisis pubis. (dapat diraba 4 jari)
(c) Bagian 3/5, jika 3 jari bagian kepala janin berada di
atas symphisis.
(d) Bagian 2/5, jika 2 jari bagian kepala janin berada
diatas sympisis berarti hampir seluruh kepala turun
kedalam panggul (bulatnya tidak dapat diraba dan
kepala janin sudah tidak dapat digoyangkan)
(e) Bagian 1/5, jika hanya 1 jari bagian kepala janin teraba
diatas symphisis.

28
(f) Bagian 0/5, jika kepala sudah tidak teraba dibagian
luar (seluruh kepala sudah masuk paggul).
(3) Menentukan diagnosa atau menetapkan normalitas
kehamilan
Setelah pemeriksaan selesai, tentukan diagnosa pada
pemeriksaan kehamilan tidak cukup hanya membuat
diagnosa saja tetapi harus dapat menjawab pertanyaan
sebagai berikut:
(a) Hamil atau tidak
(b) Primi atau multigravida
(c) Tuanya kehamilan
(d) Anak hidup atau mati
(e) Anak tunggal atau kembar
(f) Letak anak
(g) Anak intra uterin atau ekstra uterin
(h) Keadaan jalan lahir
(i) Keadaan umum penderita
(4) Hamil atau tidak
Menurut Mochtar (2013) tanda pasti kehamilan
diantaranya adalah sebagai berikut:
(a) Pada palpasi dirasakan bagian janin dan ballotement
serta gerakan janin
(b) Terasa gerakan janin
(c) Teraba bagian-bagian janin
(d) Pada auskultasi terdengar bunyi jantung janin, dengan
laennec terdengar pada usia 18-20 minggu, dengan
dopler terdengar 12 minggu.
(e) Dengan USG atau scanning dapat dilihat gambaran
janin, pada pemeriksaan sinar x tampak kerangka
janin, tidak dilakukan lagi karena dampak radiasi
terhadap janin.
2) Asuhan Kala I
Asuhan kala I adalah asuhan pendampingan dan pelayanan
kepada ibu bersalin ketika memasuki tahapan persalinan kala I.

29
Beberapa asuhan yang harus dilakukan menurut Fitriana dan
Nurwiandani (2018:60-72) adalah sebagai berikut:
a) Penggunaan Partograf
Menurut Marmi (2012), partograf adalah alat untuk
mencatat informasi berdasarkan observasi dan pemeriksaan
fisik pada ibu dalam persalinan dan alat penting khususnya
untuk membuat keputusan klinis selama kala I.
Menurut Prawirohardjo (2014) tujuan utama penggunaan
partograf adalah untuk:
(1) Mencatat hasil observasi dan kemajuan persalinan
(2) Mendeteksi apakah proses persalinan berjalan dengan
normal.
(3) Jika digunakan secara tepat dan konsisten, partograf akan
membantu penolong persalinan untuk mencatat kemajuan
persalinan, kondisi ibu dan janin, asuhan yang diberikan
selama persalinan dan kelahiran, serta menggunakan
informasi yang tercatat, sehingga secara dini
mengidentifikasi adanya penyulit persalinan dan membuat
keputusan klinik yang sesuai dan tepat waktu.
b) Pengisian lembar depan partograf
(1) Informasi tentang ibu
(a) Nama dan umur
(b) Gravida, para, abortus
(c) Nomor catatan medik atau nomor puskesmas
(d) Tanggal dan waktu mulai dirawat
(e) Waktu pecahnya selaput ketuban
(2) Kondisi janin
(a) Denyut Jantung Janin (DJJ)
Nilai dan catat denyut jantung janin setiap 30
menit (lebig sering jika terdapat tanda-tanda gawat
janin). Setiap kontak menunjukkan waktu 30 menit.
Kisaran normal DJJ tertera diantara garis tebal angka
180 dan 100. Bidan harus waspada jika DJJ mengarah
dibawah 120 permenit (bradicardi) atau diatas 160
permenit (tachikardi). Beri tanda titik pada kisaran

30
angka 180 dan 100. Hubungkan satu titik dengan titik
lainnya.
(b) Warna dan adanya air ketuban
Nilai air ketuban setiap kali VT dan nilai warna
air ketuban jika selaput ketuban pecah. Penggunaan
lambang adalah sebagai berikut:
U : Ketuban utuh (belum pecah)
J : Ketuban sudah pecah dan warna jernih
M : Ketubah sudah pecah dan air ketuban
bercampur mekonium
D : Ketuban sudah pecah dan bercampur darah
K : Ketuban sudah pecah dan tidak ada air ketuban
(c) Penyusupan (molase) kepala bayi
Indikator penting tentang seberapa jauh kepala
bayi dapat menyesuaikan diri dengan bagian keras
panggul ibu. Lakukan penilaian penyusupan kepala
setiap melakukan VT. Penggunaan lambangnya adalah
sebagai berikut:
0 : Tulang kepala janin terpisah, sutura dengan
mudah dapat dipalpasi
1 : Tulang kepala janin hanya saling bersentuhan
2 : Tulang kepala janin saling bertumpang tindih,
tapi masih dapat dipisahkan
3 : Tulang kepala janin tumpang tindih dan tidak
dapat dipisahkan
(3) Kemajuan persalinan
Kemajuan persalinan yang harus ditulis dalam
partograf adalah sebagai berikut:
(a) Pembukaan serviks
Hal- hal yang perlu dilakukan dalam memantau
pembukaan serviks adalah sebagai berikut:
1) Nilai dan catat pembukaan serviks tiap 4 jam
(lebih sering dilakukan bila ada tanda penyulit)

31
2) Angka 0-10 yang tertera paling kiri adalah
besarnya dilatasi serviks, setiap angka atau kolom
menunjukkan besarnya pembukaan serviks.
3) Sat ibu masuk dalam fase aktif persalinan
(pembukaan 4 cm) catat pembukaan serviks
digaris waspada dengan menuliskan tanda “X”.
4) Selanjutnya catat setiap kali melakukan VT
kemudian hubungkan dengan garis utuh (tidak
putus).
(b) Penurunan bagian terbawah atau presentasi janin
Pada pengecekan bagian ini berilah tanda “O”
untuk menunjukkan penurunan bagian bawah janin
pada garis waktu yang sesuai.
(c) Garis waspada dan garis bertindak
Garis waspada dimulai pada pembukaan 4 cm dan
berakhir pada titik dimana pembukaan lengkap
diharapkan terjadi jika laju pembukaan mencapai 1 cm
perjam. Jika pembukaan serviks mengarah ke sebelah
kanan garis waspada, maka harus dipertimbangkan
adanya penyulit.
(4) Waktu dan jam
(a) Waktu mulainya fase aktif persalinan
Dibagian bawah partograf (pembukaan serviks
dan penurunan) terdapat kotak yang diberi angka 1-16
setiap kotak menyatakan waktu 1 jam sejak
dimulainya fase aktif persalinan.
(b) Waktu aktual saat pemeriksaan atau penilaian
1) Setiap kotak menyatakan 1 jam penuh dan
berkaitan dengan 2 kotak 30 menit pada lajur
kotak di atasnya atau lajur kontraksi dibawahnya.
2) Saat itu masuk fase aktif catat pembukaan serviks,
catatlah pembukaan serviks di garis waspada,
kemudian catat waktu aktual pemeriksaan ini di
kotak waktu yang sesuai.

32
(5) Kontraksi uterus
Frekuensi kontraksi dinilai dalam waktu 10 menit.
Setiap 30 menit, raba dan catat jumlah kontraksi dalam 10
menit dan lamanya kontraksi dalam detik.
(6) Obat-obatan yang diberikan
(a) Oksitosin diberikan jika tetesan drip sudah dimulai,
dokumentasikan setiap 30 menit jumlah unit oksitosin
yang diberikan pervolume cairan dan dalam satuan
tetes per menit.
(b) Obat-obatan lainnya dan cairan IV yang diberikan.
Lakukan pencatatan terhadap semua obat yang
digunakan dalam kotak yang sesuai dengan kolom
waktu.
(7) Kondisi ibu
(a) Nadi, dicatat setiap 30 menit, diberi tanda titik pada
kolom yang sesuai.
(b) Tekanan darah, dicatat setiap 4 jam atau lebih sering.
Jika diduga ada penyulit, maka berilah tanda panah
pada partograf pada kolom waktu yang sesuai.
(c) Suhu tubuh diukur dan dicatat setiap 2 jam atau lebih
sering. Jika terjadi peningkatan mendadak atau diduga
ada infeksi. Catatlah suhu tubuh pada kotak yang
sesuai.
(d) Lakukan pengukuran dan pencatatan jumlah produksi
urin setiap 2 jam (setiap ibu berkemih). Apabila
memungkinkan, lakukan pemeriksaan aseton dan
protein dalam urin.
c) Pengisian Lembar Belakang Partograf
Lembar belakang partograf merupakan catatan persalinan
yang berguna untuk mencatat proses persalinan yaitu data
dasar, kala I, kala II, kala III, kala IV, dan bayi baru lahir.
(1) Data Dasar
Data dasar terdiri dari tanggal, nama bidan, tempat
persalinan, alamat tempat persalinan, catatan, alasan

33
merujuk, tempat merujuk, pendamping saat merujuk, dan
masalah dalam kehamilan atau persalinan.
(2) Kala I
Pada bagian ini terdiri dari pertanyaan-pertanyaan tentang
partograf saat melewati garis waspada, masalah yang
timbul, penatalaksanaan, dan hasil penatalaksanaannya.
(3) Kala II
Pada bagian ini terdiri dari laporan tentang episiotomi,
pendamping persalinan, gawat janin, distosia bahu, dan
masalah penatalaksanaannya.
(4) Kala III
Kala III berisi informasi tentang inisiasi menyusui dini,
lama kala III, pemberian oksitosin, penegangan tali pusat
terkendali, massase fundus uteri, kelengkapan plasenta >30
menit, laserasi, atonia uteri, jumlah perdarahan, masalah
lain, penatalaksanaan dan lainnya.
(5) Kala IV
Kala IV berisi tentang data tekanan darah, nadi, suhu
tubuh, tinggi fundus uteri, kontraksi uterus, kandung kemih
dan perdarahan.
(6) Bayi Baru Lahir
Bayi baru lahir berisi tentang berat badan, panjang badan,
pemberian ASI, masalah lain dan hasilnya.
b. Asuhan Kala II
Kala II disebut juga kala pengeluaran. Kala ini dimulai dari
pembukaan lengkap (10cm) sampai bayi lahir. Proses ini berlangsung 2
jam pada primigravida dan 1 jam pada multigravida (Sumarah, 2009
dalam Sari dkk, 2014:167).Persalinan kala II (kala pengeluaran) dimulai
dari pembukaan lengkap (10cm) sampai bayi lahir. (Asri dkk, 2012:60)
Tanda dan gejala persalinan kala II menurut Clervo (2010:62), yaitu
sebagai berikut:
1) Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan terjadinya
kontraksi
2) Ibu merasakan ada peningkatan tekanan pada rektum / vagina
3) Perineum menonjol

34
4) Vulva vagina, spingter ani membuka
5) Meningkatkan pengeluaran lendir darah ( Clevo, 2010 : 62 )
Kontraksi adalah salah satu kekuatan pada ibu inpartu yang
menyebabkan serviks membuka dan mendorong janin kebawah.
Fenomena yang biasanya sering terjadi pada kala II yaitu ibu kurang
bisa mengejan dengan kuat, hal tersebut biasanya sering terjadi pada ibu
primigravida daripada multi gravida. Dengan adanya fenomena tersebut
pengaruh persalinan kala II mempunyai peranan yang sangat penting,
rangsangan puting susu dapat membantu intensitas kontraksi uterus
karena rangsangan reseptor regang ini akan merangsang pelepasan
oksitosin dan hipofise posterior (Anggraeni dan Hidayah, 2012).
Stimulasi puting susu dilakukan jika terdapat indikasi seperti cara
mengejan ibu bersalin yang kurang kuat. Dengan adanya kejadian
seperti itu rangsangan puting susu baru dilakukan agar dapat menambah
intensitas kontraksi uterus sehingga kepala bayi dapat semakin turun ke
bawah kemudian persalinan dapat berlangsung lebih cepat dan
mengurangi angka kematian ibu. Rangsangan puting susu dapat
dilakukan dengan cara mengusap-usap salah satu puting ibu melalui
bajunya selama 2 menit atau sampai kontraksi muncul kemudian
mengulangi tindakan setelah 5 menit jika stimulasi puting pertama
belum memicu tiga kali kontraksi dalam 10 menit. Setelah itu
rangsangan puting susu dilakukan dan hasilnya terjadi peningkatan lama
waktu kontraksi (Anggraeni dan Hidayah, 2012). Ditambahkan Oleh
Aprilia dan Lestari (2017:39) dalam penelitiannya, rangsangan puting
susu dapat menstimulasi saraf sensorik yang ada pada daerah nipple dan
areola. Rangsangan ini akan meningkatkan produksi hormon oksitosin
dari neurhohipofise dalam hipotalamus. Kemudian oksitosin masuk ke
dalam aliran darah dan menyebabkan kontraksi sel miometrium pada
alveoli sehingga kontraksi menjadi kuat, dengan kontraksi uterus yang
kuat maka ibu akan mempunyai tenaga yang kuat untuk mengejan dan
persalinan akan menjadi cepat.
Asuhan sayang ibu merupakan asuhan yang diberikan seorang
bidan atau pendamping persalinan lainnya dengan menghargai budaya,
kepercayaan dan keinginan ibu bersalin. Cara yang paling mudah adalah
membayangkan mengenai Asuhan Sayang Ibu dengan menanyakan pada

35
diri kita sendiri, “Seperti inikah asuhan sayang ibu yang ingin saya
dapatkan ?” atau “Apakah asuhan sayang ibu yang seperti ini yang saya
inginkan untuk keluarga saya yang sedang hamil?”. (Fitriana dan
Nurwiandani, 2018:84)
Tindakan asuhan sayang ibu dilakukan untuk mengetahui dengan
baik mengenai proses persalinan dan asuhan akan mereka terima.
Setelah itu, akan mendapatkan rasa aman dan hasil yang lebih baik.
Disebutkan pula bahwa hal tersebut diatas dapat mengurangi terjadinya
persalinan dengan vacum cunam dan sectio caesarean serta persalinan
berlangsung dengan cepat. Asuhan sayang ibu selama persalinan
termasuk memberikan dukungan emosional, membantu pengaturan
posisi, memberikan cairan dan nutrisi, meleluasakan ibu untuk ke kamar
mandi secara teratur, dan mencegah infeksi. (Fitriana dan Nurwiandani,
2018:84-85)
1) Prinsip-Prinsip Asuhan Sayang Ibu
Pemberian asuhan sayang yang diberikan kepada ibu bersalin
harus berdasarkan prinsip-prinsip berikut.
a) Menyapa ibu dengan ramah dan sopan, bersikap, bertindak
dengan tenang, dan berikan dukungan penuh selama persalinan
sampai kelahiran bayi.
b) Menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh ibu atau
anggota keluarga.
c) Menganjurkan suami atau keluarga ibu untuk hadir dan
memberikan dukungan.
d) Mewaspadai tanda-tanda penyulit selama persalinan dan
melakukan tindakan yang sesuai jika diperlukan.
e) Selalu siap dengan rencana rujukan. (Fitriana dan Nurwiandani,
2018:85)
2) Faktor Yang Mempengaruhi Kelancaran Asuhan Sayang Ibu
a) Penolong yang terampil, yaitu penolong hendaknya memiliki
kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan yang baik agar
persalinan pun dapat berjalan dengan lancar.
b) Kesiapan menghadapi kelahiran dan kesiapan menghadapi
komplikasi bagi ibu dan keluarganya. Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam menghadapi kelahiran dan komplikasi

36
adalah dengan mengenali tanda bahaya, merencanakan
penatalaksanaan komplikasi, menghemat uang atau mengakses
dana, mengatur transportasi, merencanakan rute, merencanakan
tempat untuk melahirkan, memilih pemberian asuhan yang
tepat, mengikuti instruksi untuk asuhan diri sendiri.
c) Kesiapan menghadapi kelahiran dan kesiapan menghadapi
komplikasi bagi pemberi asuhan. (Fitriana dan Nurwiandani,
2018:86)
3) Asuhan Sayang Ibu Dalam Proses Persalinan
a) Panggil ibu sesuai namanya, hargai dan perlakukan ibu sesuai
martabatnya.
b) Jelaskan semua asuhan dan perawatan kepada ibu dan
keluarganya.
c) Jelaskan proses persalinan kepada ibu dan keluarganya.
d) Anjurkan ibu untuk bertanya dan membicarakan rasa takut dan
khawatirnya.
e) Dengarkan dan tanggapi pertanyaan dan kekhawatiran ibu.
f) Berikan dukungan, besarkan hatinya dan tentramkan hati ibu
beserta anggota-anggota keluarganya.
g) Anjurkan ibu untuk ditemani suami dan/atau anggota keluarga
yang lain selama persalinan dan kelahiran bayinya.
h) Ajarkan suami dan anggota-anggota keluarga mengenai cara-
cara bagaimana mereka dapat memperhatikan dan mendukung
ibu selama persalinan dan kelahiran bayinya.
i) Secara konsisten lakukan praktik-praktik pencegahan infeksi
yang baik.
j) Hargai privasi ibu.
k) Anjurkan ibu untuk mencoba berbagai posisi selama persalinan
dan kelahiran bayi.
l) Ajurkan ibu untuk minum dan makan makanan ringan
sepanjang ia menginginkannya.
m) Hargai dan perbolehkan praktik-praktik tradisional yang tidak
merugikan kesehatan ibu.
n) Hindari tindakan berlebihan dan mungkin membahayakan
seperti episiotomi, pencukuran dan klisma.

37
o) Anjurkan ibu untuk memeluk bayinya sesegera mungkin.
p) Membantu memulai pemberian ASI dalam satu jam pertama
setelah bayi lahir.
q) Siapkan rencana rujukan (bila perlu).
r) Mempersiapkan persalinan dan kelahiran bayi dengan baik dan
bahan-bahan, perlengkapan dan obat-obatan yang diperlukan.
Siap untuk melakukan resusitasi bayi baru lahir pada setiap
kelahiran bayi. (JNPK-KR, 2012:13)
c. Asuhan Kala III
Kala III dimulai setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta yang
berlangsung tidak lebih dari 30 menit, setelah bayi lahir uterus teraba
keras dengan fundus uteri agak diatas pusat beberapa menit kemudian
uterus berkontraksi lagi untuk melepaskan plasenta dari dindingnya.
Biasanya plasenta lepas dalam 6 menit - 15 menit setelah bayi lahir dan
keluar spontan atau dengan tekanan fundus uteri. Pengeluaran plasenta,
disertai dengan pengeluaran darah. Komplikasi yang dapt timbul pada
kala III adalah perdarahan akibat atonia uteri, retensio plasenta,
perlukaan jalan lahir. (Walyani dan Purwoastuti, 2016).
Pada kala III, otot uterus (miometrium) berkontraksi mengikuti
penyusutan volume rongga uterus setelah lahirnya bayi. Penyusutan
ukuran ini menyebabkan berkurangnya ukuran tempat pelekatan
plasenta. Karena tempat perlekatan menjadi semakin kecil, sedangkan
ukuran plasenta tidak berubah maka plasenta akan terlipat, menebal dan
kemudian lepas dari dinding uterus. Setelah lepas, plasenta akan turun
kebagian bawah uterus atau kedalm vagina. Setelah janin lahir, uterus
mengadakan kontraksi yang mengakibatkan penciutan permukaan
kavum uteri, tempat implantasi plasenta. Akibtanya plasenta akan lepas
dari tempat implantasinya (Walyani dan Purwoastuti, 2016).
Manajemen aktif kala III mengupayakan kontraksi yang adekuat
dari uterus dan mempersingkat waktu kala III, mengurangi jumlah
kehilangan darah, menurunkan angka kejadian retensio plasenta. Tiga
langkah utama menejemen aktif kala III adalah pemberian oksitosin/
uterotonika segera mungkin, melakukan peregangan tali pusat terkendali
dan ransangan taktil pada dinding uterus atau fundus uteri (Walyani dan
Purwoastuti, 2016).

38
Melakukan menejemen aktif kala III menurut Walyani dan
Purwoastuti (2016), meliputi:
1) Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5 – 10 cm dari
vulva.
2) Meletakkan satu tangan diatas kain pada perut ibu, ditepi atas
simfisis, untuk mendeteksi. Tangan lain menegakkan tali pusat.
3) Setelah uterus berkontraksi, tegakkan tali pusat kearah bawah
sambil tangan yang lain mendrong uterus kearah belakang atas
(dorso-kranial) secara hati-hati (untuk mencegah impersiouteri)
jika plasenta tidak lahir setelah 30-40 detik, hentikan penegangan
tali pusat dan tunggu hingga timbul kontraksi berikutnya dan ulangi
prosedur diatas.
4) Kemudian mengeluarkan plasenta melakukan penegangan dan
dorongan dorso-kranial hingga plasenta terlepas, minta ibu
meneran sambil penolong menarik tali pusat dengan arah sejajar
lantai dan kemudian kearah atas, mengikuti poros jalan lahir (tetap
lakukan tekanan dorso-kranial). Jika tali pusat bertambah panjang,
pindahkan klem hingga berjarak sekitar 5-10 cm dari vulva dan
lahirkan plasenta. Saat plasenta muncul di introitus vagina, lahirkan
plasenta dengan kedua tangan. Pegang dan putar plasenta hingga
selaput ketuban terpilin kemudian melahirkan dan tempatkan
plasenta pada wadah yang telah disediakan.
5) Segera setelah plasenta dan selaput ketuban lahir, lakukan masase
uterus, letakkan telapak tangan di fundus dan lakukan masase
dengan gerakan melingkar dengan lembut sehingga uterus
berkontraksi (fundus teraba keras).
6) Pemeriksaan plasenta
Selaput ketuban utuh atau tidak, ukuran plasenta yaitu bagian
maternal: jumlah kotiledon, keutuhan pinggir kotiledon, bagian
petal diperiksa utuh atau tidak. Pada pemeriksaan tali pusat, jumlah
arteri atau vena yang terputus untuk mendeteksi plasenta
suksenturia. Insersi tali pusat apakah sentral, marginal serta panjang
tali pusat.

39
7) Menilai perdarahan
Memeriksa kedua sisi plasenta bayi bagian ibu maupun bayi dan
pastikan selaput ketuban lengkap dan utuh. Masukkan plasenta
kedalam kantong plastik atau tempat khusus. Evaluasi kemungkinan
laserasi pada vagina dan perineum. Lakukan penjahitan bila
laserasi menyebabkan perdarahan. Bila ada robekan yang
menimbulkan perdarahan aktif, segera lakukan penjahitan
d. Asuhan Kala IV
Satu jam setelah kelahiran observasi yang cermat pada pasien.
Tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan kehilangan darah harus
dipantau dengan cermat, selama waktu inilah biasanya terjadi
perdarahan masa nifas, biasanya karena relaksasi rahim, tertahannya
fragmen plasenta, atau laserasi yang tidak terdiagnosa. Perdarahan yang
sama (misalnya pembentukan hematomavagina) dapat muncul sebagai
nyeri pelvic. Oleh karena itu bidan tidak boleh meninggalkan pasien
apda masa ini.
Persalinan kala IV dimulai dengan kelahiran plasenta dan berakhir 2
jam kemudian. Periode ini merupakan saat paling praktis untuk
mencegah kematian ibu terutama kematian disebabkan karena
perdarahan. Selama kala IV, Bidan harus memantau ibu setiap 15 menit
pada jam pertama dan 30 menit pada jam ke 2 setelah persalinan. Jika
kondisi ibu tidak stabil, maka ibu harus dipantau lebih sering (Rukiyah
dkk, 2012).
1) Evaluasi Dan Pemantauan
a) Tinggi Fundus Uteri
Setelah pengeluaran plasenta, uterus biasannya berada
pada garis tengah ari abdomen kira – kira 2/3 antara simfisis
pubis dan umbilikus atau berada tepat di umbilicus. Uterus
yang berada di umbilicus atau berada tepat di umbilicus.
Uterus yang berada di atas umbilicus merupakan indikator
adanya penggumpalan darah didalam uterus. Uterus yang
dijumpai berada diats umbilicus dan agak menymping,
biasanya tekanan, menunjukkan bahwa kandung kemih sedang
penuh harus dikosongan. Kandung kemih yang penuh
mendorong uterus tergeser dari posisinya dan menghalanginya

40
berkontraksi sebgain mana mestinya, dengan demikian
memungkinkan terjadinya perdarahan yang lebih banyak.
Uterus seharusnya tersa keras bila di raba. Uterus yang lembek,
berayun menunjukkan bahwa uterus dalam keadaan tidak
berkontraksi dengan baik, dengan kata lain mengalami atoni
auteri. Atonia uterus merupakan penyebab utama dari
perdarahan segera setelah persalinan.
b) Pemeriksaan Cerviks, Vagina, dan Perineum
Segera setelah Bidan merasa yakin bahwa uterus telah
berkontraksi dengan baik, ia harus memeriksa perineum,
vagina bagian bawah, laserasi dan luka berdarah, serta
mengevaluasi kondisi dari episiotomi jika memang ada.
Laserasi diklasifikasikan berdasarkan luasnya robekan. Derajat
satu, luasnya robekan mengenai mukosa vagina, foruchette
posterior, dan kulit perineum. Derajat dua, seperti derajat satu
dan juga mengenai otot perineum. Derajat tiga ini seperti
derajat dua ditambah dengan otot sepinterani eksternal. Derajat
empat adalah sama seperti derajat tiga ditambah dengan
dinding rectum anterior. Apabila pada saat pemeriksaan jalan
lahir nampak perdarahan sebagai tetesan yang terus menerus
atau memancar, perlu dicurigai adanya laserasi vagina atau
serviks atau adanya pembuluh darah yang tidak diikat.
2) Pemantauan dan Evaluasi Lanjut
a) Tanda-tanda Vital
Pantau tanda-tanda vital ibu antara lain tekanan darah,
denyut jantung, dan pernapasan dilakukan selama kala IV
persalinan dimulai setelah kelahiran plasenta. Seterusnya
kemudian dievaluasi lagi setiap 15 menit sekali hingga
keadaannya stabil. Suhu ibu diukur sedikitnya sekali dalam
kala IV dan dehidrasinya juga harus dievaluasi. Denyut nadi
biasanya berkisar 60-70 x/menit. Apabila denyut nadi lebih dari
90 x/menit perlu dilakukakn pemeriksaan dan pemantauan yang
terus menerus. Jika ibu menggigil tetapi tidak ada infeksi (ingat
bahwa peningkatan suhu dalam batas 20 F adalah normal) hal
tersebut akan berlalu jika bidan mengikuti beberapa langkah

41
dasar. Berilah kehangatan pada ibu, berilah rasa kepastian
mengapa ia menggigil dan berilah pujian tentang kinerjanya
dalam persalinan, ajari ibu untuk mengendalikan pernafsan.
Kadang-kadang suhu apat lebih tinggi dari 37,2 0C akibat
dehidrasi dan partus yang lama.
b) Kontraksi Uterus
Pemantauan kontraksi uterus harus dilakukan secara
simultan.jika uterus lembek, maka wanita itu bisa mengalami
perdarahan. Untuk mempertahankan kontraksi uterus dapat
dilakukan rangsangan taktil (pijatan) bila terus mulai melembek
atau dengan cara menyusukan bayi kepada ibunya, tetapi sibayi
biasanya tidak berada di dalam dekapan ibu berjam-jam
lamanya dan uterus mulai melembek lagi.
c) Lochea
Jika uterus berkontraksi kuat, lochea kemungkinan tidak
lebih dari menstruasi. Dengan habisnya efek oksitosik setelah
melahirkan, jumlah lochea akan bertambah karena miometrium
sedikit banyak berelaksasi.
d) Kandung kemih
Kandung kemih harus dievaluasi untuk memastikan
kandung kemih tidak penuh. Kandung kemih yang penuh
mendorong uterus ke atas dan menghalangi uterus berkontraksi
sepenuhnya. Jika kandung kemih penuh, bantu ibu untuk
mengosongkan kandung kemihnya dan anjurkan untuk
mengosongkan kandung kemihnya setiap kali diperlukan.
Ingatkan ibu bahwa keinginan untuk berkemih mungkin
berbeda-beda setelah ia melahirkan bayinya. Jika ibu tidak
dapat berkemih, bantu ibu dengan cara menyiramkan air bersih
dan hangat kedalama perineumnya. Atau masukkan jari-jari ibu
kedalam air hangat untuk merangsanga keinginan berkemih
secara spontan. Jika setelah tindakan-tindakan ini ibu tetap
tidak dapat berkemih secara spontan, mungkin diperlukan
kateterisasi jika kandung kemih penuh atau dapat dipalpasi,
gunakan teknik aseptik pada saat memasukkan khateter nelaton
desinfesi tingkat tinggi atau steril untuk mengosongkan

42
kandung kemih. Setelah mengosongkan kandung kemih,
lakukan ransangan taktil (pemijatan) untuk merangsang uterus
berkontraksi lebih baik.
e) Perineum
Perineum dievaluasi untuk melihat adanya edema atau
hematoma. Bungkusan keping es yang dikenakan perineum
mempunyai efek ganda untuk mengurangi ketidaknyaman dan
edema bila telah mengalami episiotomi atau laserasi.
f) Pemantauan kala IV
Pantau tanda vital setiap 15 menit pada jam pertama dan
setiap 30 menit pada jam kedua, nilai kontraksi uterus dan
jumlah perdarahan, ajarkan ibu dan keluarganya untuk
melakukan ransangan taktil, menilai kontraksi uterus dan
estimasi perdarahan, rawat gabung ibu dan bayi dan pemberian
ASI, berikan asuhan esensial bayi baru lahir.
g) Memperkirakan Kehilangan Darah
Sangat sulit untuk memperkirakan kehilangan darah secara
tepat karena darah sering kali bercampur dengan cairan ketuban
atau urin dan mungkin terserap handuk, kain, atau sarung. Tak
mungkin menilai kehilangan darah secara akurat melalui
perhitungan jumlah sarung karena ukuran sarung bermacam-
macam dan mungkin telah diganti jika terkena sedikit darah
atau basah oleh darah. Letakkan wadah atau pispot dibawah
bokong ibu untuk mengumpulkan darah bukanlah cara yang
efektif untuk mengukur kehilangan darah dan cerminan asuhan
sayang ibu karena berbaring diatas wadah atau pispot sangat
tidak nyaman dan menyulitkan ibu untuk memegang dan
menyusui bayinya. Satu cara untuk menilai kehingan darah
adalah dengan cara melihat volume darah yang terkumpul dan
memperkirakan berapa banyak botol 500 ml dapat menampung
semua darah tersebut. Jika darah bisa mengisi 2 botol, ibu telah
kehingan 1 liter darah. Jika darah bisa mengisi setengah botol,
ibu kehilangan 250 ml darah. Memperkirakan kehilangan darah
hanyalah salah satu cara untuk menilai kondisi ibu.

43
h) Laserasi Atau Episiotomi Perineum
Tujuan menjahit laserasi atau luka episiotomi adalah untuk
menyatukan kembali jaringan tubuh (mendekatkan) dan
mencegah kehilangan darah yang tidak perlu (memastikan
hemostatis). Pada saat menjahit laserasi gunakan benang yang
cukup panjang dan gunakan sesedikit mungkin jahitan untuk
mencapai tujuan pendekatan dan hemostatis serta untuk
memperkecil kemungkinan terkena infeksi (Rukiyah dkk,
2012).
8. Asuhan Persalinan Normal
Menurut Prawirohardjo (2014) untuk melakukan asuhan persalinan
normal (APN) dirumuskan 60 langkah asuhan persalinan normal sebagai
berikut:
1) Mendengar dan melihat adanya tanda persalinan kala dua.
2) Memastikan kelengkapan bahan dan obat-obatan esensial siap
digunakan termasuk mematahkan ampul oksitosin 10 unit &
menempatkan tabung suntik steril sekali pakai didalam partus set.
3) Mengenakan baju penutup atau celemek plastik yang bersih
4) Melepaskan semua perhiasan yang dipakai dibawah siku, mencuci
tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir dan mengeringkan
tangan dengan handuk satu kali pakai/ pribadi yang bersih.
5) Menggunakan sarung tangan DTT pada tangan kanan yang akan
digunakan untuk pemeriksaan dalam.
6) Mengambil alat suntik dengan tangan yang bersarung tangan, isi dengan
oksitosin 10 unit dan letakan kembali kedalam wadah partus set.
7) Membersihkan vulva dan perineum dengan kapas basah yang telah
dibasahi oleh air matang (DTT), dengan gerakan vulva ke perineum.
8) Dengan menggunakan teknik aseptik melakukan pemeriksaan dalam
untuk memastikan bahwa pembukaan serviks sudah lengkap. Bila
selaput ketuban belum pecah sedangkan pembukaan sudah lengkap
lakukan amniotomi
9) Mendekontaminasi sarung tangan dengan cara mencelupkan tangan
yang masih memakai sarung tangan kotor kedalam larutan klorin 0.5%
dan kemudian melepaskannya dalam keadaan terbalik serta
merendamnya ke dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit.

44
10) Memeriksa DJJ seetelah kontraksi berakhir untuk memastikan DJJ
dalam batas normal (120-160 x/menit)
11) Memberitahu ibu pembukaan sudah lengkap dan keadaan janin baik.
Membantu ibu dalam keadaan yang nyaman sesuai dengan
keinginannya.
12) Meminta bantuan keluarga untuk menyiapkan posisi ibu untuk meneran
(pada saat ada his, bantu ibu dalam posisi setengah duduk dan pastikan
ia merasa nyaman.
13) Melakukan pimpinan meneran saat ibu mempunyai dorongan yang kuat
untuk meneran. Menganjurkan ibu untuk berjalan, berjongkok atau
mengambil posisi nyaman, jika ibu belum merasa ada dorongan untuk
meneran dalam 60 menit.
14) Jika kepala bayi telah membuka vulva dengan diameter 5-6 cm
15) Meletakkan handuk bersih (untuk mengeringkan bayi) di perut ibu,
Meletakkan kain bersih yang dilipat 1/3 bagian bawah bokong ibu.
16) Membuka tutup partus set dan memperhatikan kembali kelengkapan alat
dan bahan.
17) Memakai sarung tangan DTT pada kedua tangan.
18) Saat kepala janin terlihat pada vulva dengan diameter 5-6 cm,
memasang handuk bersih pada perut ibu untuk mengeringkan bayi jika
telah lahir dan kain kering dan bersih yang dilipat 1/3 bagian dibawah
bokong ibu. Setelah itu kita melakukan perasat stenan (perasat untuk
melindungi perineum dengan satu tangan, dibawah kain bersih dan
kering, ibu jari pada salah satu sisi perineum dan 4 jari tangan pada sisi
yang lain pada belakang kepala bayi. Tahan belakang kepala bayi agar
posisi kepala tetap fleksi pada saat keluarga secara bertahap melewati
introitus dan perineum).
19) Setelah kepala keluar menyeka mulut dan hidung bayi dengan kasa
steril
20) Kemudian memeriksa adanya lilitan tali pusat pada leher janin.
21) Menunggu hingga kepala janin selesai melakukan putaran paksi luar
secara spontan.
22) Setelah kepala melakukan putaran paksi luar, pegang secara biparietal.
Menganjurkan kepada ibu untuk meneran saat kontraksi. Dengan lembut
gerakan kepala kearah bawah dan distal hingga bahu depan muncul

45
dibawah arkus pubis dan kemudian gerakan arah atas dan distal untuk
melahirkan bahu belakang.
23) Setelah bahu lahir, geser tangan bawah kearah perineum ibu untuk
menyanggah kepala, lengan dan siku sebelah bawah. Gunakan tangan
atas untuk menelusuri dan memegang tangan dan siku sebelah atas.
24) Setelah badan dan lengan lahir, tangan kiri menyusuri punggung kearah
bokong dan tungkai bawah janin untuk memegang tungkai bawah
(selipkan jari telunjuk tangan kiri diantara kedua lutut janin)
25) Melakukan penilaian selintas (dalam 30 detik): apakah bayi menangis
kuat dan atau bernapas tanpa kesulitan? apakah bayi bergerak aktif?
26) Segera membungkus kepala dan bayi dengan handuk dan biarkan kontak
kulit ibu ke bayi. Lakukan penyuntikan oksitosin IM
27) Menjepit tali pusat menggunakan klem kira-kira 3 cm dari pusat bayi.
Melakukan urutan pada tali pusat mulai dari klem kearah ibu dan
memasang klem kedua 2 cm dari klem pertama kearah ibu
28) Dengan satu tangan. Pegang tali pusat yang telah dijepit (lindungi perut
bayi), dan lakukan pengguntingan tali pusat diantara 2 klem tersebut.
29) Mengeringkan bayi, mengganti handuk yang basah dan menyelimuti
bayi dengan kain atau selimut yang bersih dan kering menutupi bagian
kepala membiarkan tali pusat terbuka. Jika bayi mengalami kesulitan
bernafas, ambil tindakan yang sesuai
30) Memberikan bayi kepada ibunya dan menganjurkan ibu untuk memeluk
bayinya dan memulai pemberian ASI jika ibu menghendakinya
31) Meletakkan kain yang bersih dan kering. Melakukan Palpasi untuk
menghilangkan kemungkinan adanya bayi kedua.
32) Memberitahu kepada ibu bahwa ia akan disuntik
33) Dalam waktu 2 menit setelah kelahiran bayi berikan suntikan oksitosin
10 unit IM di gluteus atau 1/3 atas paha kanan ibu bagian luar, setelah
mengaspirasinya terlebih dahulu.
34) Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5 - 10 cm dari vulva
35) Meletakkan satu tangan diatas kain pada perut ibu, di tepi atas simfisis,
untuk mendeteksi
36) Setelah uterus berkontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan
kanan, sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati kearah
dorso-kranial. Jika plasenta tidak lahir setelah 30-40 detik, hentikan

46
penegangan tali pusat dan menunggu hingga timbul kontraksi
berikutnya dan mengulangi prosedur.
37) Melakukan penegangan dan dorongan dorsalkranial hingga plasenta
terlepas, minta ibu untuk meneran sambil penolong menarik tali pusat
dengan arah sejajar lantai dan kemudian kearah atas, mengikuti proses
jalan lahir (tetap lakukan tekanan dorso-kranial).
38) Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta
dengan hati-hati. Bila perlu (terasa ada tahanan), pegang plasenta
dengan kedua tangan dan lakukan putar searah untuk membantu
pengeluaran plasenta dan mencegah robekan robeknya selaput ketuban.
39) Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus uteri
dengan menggosok fundus uteri secara sirkuler menggunakan bagian
palmar 4 jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba
keras).
40) Periksa bagian maternal dan bagian fetal plasenta dengan tangan kanan
untuk memastikan bahwa seluruh kotiledon dan selaput ketuban sudah
lahir lengkap, dan masukkan kedalam kantong plastik yang tersedia.
41) Evaluasi kemungkinan laserasi pada vagina dan perineum. Melakukan
penjahitan bila laserasi menyebabkan perdarahan.
42) Memastikan uterus berkontraksi dengan baik dan tidak terjadi
perdarahan pervaginam.
43) Mencelupkan kedua tangan yang memakai sarung tangan ke dalam
larutan klorin 0,5%; membilas kedua tangan yang masih bersarung
tangan tersebut dengan air desinfeksi tingkat tinggi dan
mengeringkannya dengan kain yang bersih dan kering
44) Menempatkan klem tali pusat desinfeksi tingkat tinggi atau steril atau
mengikat tali DTT dengan simpul mati sekeliling tali pusat sekitar 1cm
dari pusat
45) Mengikat satu lagi simpul mati dibagian pusat yang berseberangan
dengan simpul mati yang pertama
46) Melepaskan klem bedah dan meletakkannya ke dalam larutan klorin
0,5%
47) Menyelimuti kembali bayi dan menutupi bagian kepalanya memastikan
handuk atau kainnya bersih atau kering
48) Menganjurkan ibu untuk pemberian ASI

47
49) Melanjutkan pemantaun kontraksi dan mencegah perdarahan
pervaginam.
50) Mengajarkan ibu/ keluarga cara melakukan masase uterus dan menilai
kontraksi.
51) Evaluasi dan estimasi jumlah kehilangan darah.
52) Memeriksakan nadi ibu dan keadaan kandung kemih setiap 15 menit
selama 1 jam pertama pasca persalinan dan setiap 30 menit selama jam
ke 2 pasca persalinan.
53) Menempatkan semua peralatan bekas pakai dalam larutan klorin 0,5%
untuk dekontaminasi (10 menit) cuci dan bilas peralatan setelah
dekontaminasi.
54) Membuang bahan-bahan yang terkontaminasi ketempat sampah yang
sesuai.
55) Membersihkan ibu dengan menggunakan air DTT. Membersihkan sisa
cairan ketuban, lendir dan darah. bantu ibu memakai pakaian bersih dan
kering.
56) Memastikan ibu merasa nyaman dan beritahu keluarga untuk membantu
apabila ibu ingin minum.
57) Mendekontaminasi daerah tempat persalinan dengan larutan klorin 0,5%
dan membilas dengan air bersih.
58) Mencelupkan sarung tangan didalam larutan klorin 0,5% melepas
sarung tangan dalam keadaan terbalik dan merendamnya dalam larutan
klorin 0,5%.
59) Mencuci kedua tangan dengan sabun dan air mengalir.
60) Melengkapi patograf
9. Manajemen Penanganan Nyeri Persalinan
Menurut Reeder dan Matin dalam Fitriana dan Nurwiandani (2018:80)
nyeri adalah pengalaman yang berbeda yang dirasakan seseorang. Nyeri
mengakibatkan stress karena stress dapat melepaskan ketokolamin yang
mengakibatkan berkurangnya aliran darah ke uterus sehingga uterus
kekurangan oksigen. Secara psikologis pengurang nyeri akan menurunkan
tekanan yang luar biasa bagi ibu dan bayinya. Ibu mungkin akan
menurunkan kesulitan untuk berinteraksi setelah lahir karena ia mengalami
kelelahan saat menghadapi nyeri persalinan. Peristiwa atau kesan yang tidak

48
menyenangkan saat melahirkan dapat mempengaruhi responsnya terhadap
aktivitas seksual atau untuk melahirkan yang akan datang.
Manajemen penanganan nyeri diantaranya sebagai berikut:
a. Dukungan Persalinan
Kehadiran pendamping pada persalinan sangat menentukan lancar
tidaknya proses persalinan ibu bersalin. Dukungan itu dapat diperoleh
dari bidan, suami, keluarga, dan lainnya. Dukungan diberikan kepada
ibu bersalin dapat berupa pemberian dorongan semangat, pemberian
informasi tentang kemajuan persalinan, pemberian informasi tentang
kelengkapan dan sterilisasi alat pertolongan persalinan dan penerimaan
sikap dan perilaku ibu. (Fitriana dan Nurwiandani, 2018:70).
Dukungan keluarga terutama suami sangat diperlukan oleh seorang
ibu saat melahirkan. Keluarga terutama suami hendaknya mendampingi
ibu bersalin dengan menyentuh tangan istri dengan penuh kasih sayang.
Hal ini dimaksudkan agar istri merasa tenang untuk menghadapi
persalinan. Selain itu, pihak keluarga juga harus memberikan motivasi
dan meyakinkan ibu bersalin bahwa persalinannya nanti akan berjalan
lancar. Dukungan persalinan ini bertujuan untuk mengurangi nyeri pada
sumbernya, memberikan rangsangan alternatif yang kuat untuk
mengurangi sensasi nyeri atau menghambat rasa sakit, dan mengurangi
reaksi emosional yang negatif dari ibu bersalin. (Fitriana dan
Nurwiandani, 2018:82).
b. Teknik Relaksasi
Teknik relaksasi bermanfaat untuk pengurangan ketegangan tubuh
dan meningkatkan pengelolaan nyeri persalinan. Relaksasi idealnya
dikombinasikan dengan aktivitas seperti berjalan. Teknik relaksasi
seperti pernafasan dalam dapat meningkatkan relaksasi dan oksigenasi.
Selain itu dapat menurunkan intensitas nyeri saat persalinan karena
proses menarik nafas lambat melalui hidung dan menghembuskan nafas
melalui mulut secara perlahan lahan (Ismail, 2011). Ditambahkan oleh
Aisyah (2013) Nafas panjang diperlukan ibu agar mampu mengejan
lebih kuat dan lebih lama sehingga bagian terendah janin mampu turun
secara signifikan.
Menurut Kusyati, Astuti dan Pratiwi (2012:97) hasil penelitiannya
menunjukan ibu yang mengalami nyeri persalinan mengalami

49
penurunan tingkat nyeri setelah diberikan tehnik relaksasi nafas dalam.
Hal ini dikarenakan tehnik relaksasi nafas dalam mempertahankan saraf
simpatis sehingga dapat mengurangi nyeri selama proses persalinan.
Teknik nafas dalam yang dilakukan adalah dengan nafas lambat
(menahan inspirasi secara maksimal) dan menghembuskan nafas secara
perlahan. Hal ini didukung oleh Ghofur (2010) dalam penelitiannya
bahwa teknik relaksasi nafas dalam efektif untuk mengurangi nyeri
selama proses persalinan berlangsung terutama pada ibu bersalin kala I.
Keuntungan utamanya, teknik relaksasi nafas dalam tersebut memberi
perasaan yang rileks dalam mengontrol pernafasan sehingga dapat
mengurangi rasa sakit.
c. Counter Pressurer
Tekanan stabil yang dilakukan pada daerah sacral dengan benda
keras tumit tangan dengan bantuan orang lain. Teknik ini sangat
membantu untuk mengatasi sensasi tekanan internal dan nyeri di
punggung bawah. (Fitriana dan Nurwiandani, 2018:83).
Massage counter pressure adalah pijatan yang dilakukan dengan
memberikan tekanan yang terus menerus pada tulang sakrum pasien
dengan pangkal atau kepalan salah satu telapak tangan. Pijatan counter
pressure dapat diberikan dalam gerakan lurus atau lingkaran kecil.
Teknik ini efektif menghilangkan sakit punggung pada persalinan.
(Danuatmaja, 2014).
Counter Pressure, merupakan salah satu teknik aplikasi teori gate-
control, dengan menggunakan teknik pijat dapat meredakan nyeri
dengan menghambat sinyal nyeri, meningkatkan aliran darah dan
oksigenasi ke seluruh jaringan. Pijatan yang diberikan kepada ibu
bersalin selama dua puluh menit setiap kontraksi akan lebih terbebas
dari rasa sakit. Pijatan tersebut akan merangsang tubuh untuk
melepaskan endorphin yang berfungsi sebagai pereda rasa sakit dan
menciptakan perasaan nyaman. Pijat secara lembut membantu ibu
merasa lebih segar, rileks, dan nyaman dalam persalinan. (Pillitteri,
2010)
Penelitian yang dilakukan oleh Sadat dkk (2016) di Rumah Sakit
Amiralmomenin Iran, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pijatan
manual secara signifikan mengurangi intensitas dan durasi nyeri

50
persalinan di kedua tahap. Kesimpulan pada penelitian ini yaitu
pemijatan manual melingkar di daerah lumbosakral (Counter Pressure)
selama fase aktif persalinan dapat mengurangi nyeri persalinan secara
efisien. Metode yang digunakan dalm penelitiannya adalah Eksperimen
dan nyeri persalinan diukur dengan menggunakan Skala analog visual
(VAS). Didukung oleh penelitian yang dilakukan Dengsangluri dkk
(2015) di India, dalam penelitiannya kelompok eksperimen menerima
pijatan selama fase aktif persalinan sedangkan kelompok kontrol
diberikan perawatan rutin. Tingkat nyeri dinilai setelah setiap kontraksi
dengan skala nyeri wajah wong weber dan daftar perilaku. Hasilnya
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara skor nyeri
rata-rata dari kelompok eksperimen dan kontrol.
B. Tinjauan Teori Medis Komplikasi Persalinan
1. Ketuban Pecah Dini (KPD)
a. Pengertian Ketuban Pecah Dini (KPD)
Ketuban Pecah Dini adalah pecahnya ketuban sebelum waktu
melahirkan yang terjadi pada saat akhir kehamilan maupun jauh
sebelumnya (Nugroho, 2011). Ketuban pecah dini adalah pecahnya
ketuban sebelum terdapat tanda-tanda persalinan mulai dan ditunggu
satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian ketuban pecah dini terjadi pada
kehamilan aterm lebih dari 37 minggu sedangkan kurang dari 36
minggu tidak terlalu banyak didefinisikan sesuai dengan jumlah jam dari
waktu pecah ketuban sampai awitan persalinan yaitu interval periode
laten yang dapat terjadi kapan saja dari 1-12 jam atau lebih. Insiden
KPD banyak terjadi pada wanita dengan serviks inkompenten,
polihidramnion, malpresentasi janin, kehamilan kembar, atau infeksi
vagina. Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Ketuban Pecah Dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
tanda persalinan. (Manuaba, 2010)
b. Etiologi Ketuban Pecah Dini
Penyebab Ketuban Pecah Dini masih belum diketahui dan tidak
dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-
faktor yang berhubungan erat dengan Ketuban Pecah Dini, namun
faktor-faktor yang lebih berperan sulit diketahui (Fadlun, 2011).

51
Adapun beberapa etiologi dari penyebab kejadian ketuban pecah
dini menurut beberapa ahli yaitu:
1) Serviks Inkompeten (leher rahim)
Presentasi kecil pada wanita dengan kehamilan yang jauh dari
aterm, serviks yang inkompeten dapat menipis dan berdilatasi
bukan sebagai akibat dari peningkatan aktifitas uterus melainkan
akibat dari kelemahan intrinsik uterus sehingga menyebabkan
ketuban pecah (Fadlun, 2011). Keadaan ini ditandai oleh dilatasi
servik tanpa rasa nyeri dalam trimester kedua atau awal trimester
ketiga kehamilan yang disertai prolapsus membran amnion lewat
serviks dan penonjolan membrane tersebut kedalam vagina,
peristiwa ini diikuti oleh pecahnya ketuban dan selanjutnya ekspulsi
janin imatur sehingga kemungkinan janin akan meninggal. Tanpa
tindakan yang efektif rangkaian peristiwa yang sama cenderung
berulang dengan sendirinya dalam setiap kehamilan. Meskipun
penyebabnya masih meragukan namun trauma sebelumnya pada
serviks, khususnya pada tindakan dilatasi, kateterisasi dan kuretasi
(Krisnadi, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan Utomo (2013)
menunjukkan bahwa responden yang mengalami kejadian ketuban
pecah dini yaitu responden dengan usia resiko rendah yaitu 20
sampai 35 tahun, riwayat persalinan responden sebelumnya
sebagian besar mengalami aborsi, curretage, dan vacum ekstraksi
serta responden dengan multipara dan grandemultipara sebagian
besar mengalami kejadian ketuban pecah dini pada kehamilan
sebelumnya di RS PKU Muhammadiyah Surakarta (Utomo, 2013).
2) Ketegangan Rahim Berlebihan
Ketegangan rahim berlebihan terjadi pada kehamilan kembar
dan hidramnion. Etiologi hidramnion belum jelas, tetapi diketahui
bahwa hidramnion terjadi produksi air ketuban bertambah, bila
pengaliran air ketuban terganggu atau kedua-duanya. Dicurigai air
ketuban dibentuk dari sel-sel amnion. Di samping itu ditambah oleh
air seni janin dan cairan otak pada anensefalus. Air ketuban yang
dibentuk, secara rutin dikeluarkan dan diganti dengan yang baru.
Salah satu cara pengeluaran ialah ditelan oleh janin, diabsorpsi oleh
usus kemudian dialirkan ke plasenta untuk akhirnya masuk

52
peredaran darah ibu (Sujiyantini, 2009). Ekskresi air ketuban akan
terganggu bila janin tidak bisa menelan seperti pada atresia
esophagus atau tumor-tumor plasenta. Hidramnion dapat
memungkinkan ketegangan rahim meningkat, sehingga membuat
selaput ketuban pecah sebelum waktunya. (Manuaba, 2010)
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2014)
mengemukakan bahwa kehamilan ganda dapat menyebabkan
tekanan uterus meningkat, sehingga membuat selaput ketuban
pecah sebelum waktunya. Melemahnya selaput ketuban ada
hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim dan
gerakan janin (Amalia, 2014).
3) Kelainan Letak Janin Dalam Rahim
Kelainan letak janin dalam rahim terjadi pada letak sungsang
dan letak lintang. Letak janin dalam uterus bergantung pada proses
adaptasi janin terhadap ruangan dalam uterus. Pada kehamilan <32
minggu, jumlah air ketuban relatif lebih banyak sehingga
memungkinkan janin bergerak dengan bebas dan demikian janin
dapat menempatkan diri dalam letak sungsang atau letak lintang
(Fadlun, 2011). Pada kehamilan trimester akhir janin tumbuh
dengan cepat dan jumlah air ketuban relatif berkurang. Karena
bokong dengan kedua tungkai yang terlipat lebih besar daripada
kepala maka bokong dipaksa untuk menempati ruang yang lebih
luas difundus uteri, sedangkan kepala berada dalam ruangan yang
lebih kecil disegmen bawah uterus. Letak sungsang dapat
memungkinkan ketegangan rahim meningkat, sehingga membuat
selaput ketuban pecah sebelum waktunya ( Manuaba, 2010).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2014)
mengemukakan bahwa malpreesntasi janin atau kelainan letak janin
dapat membuat ketuban bagian terendah langsung menetima
tekanan intrauteri yang dominan seperti letak sungsang atau
bokong.
4) Kelainan Bawaan dari Selaput Ketuban
Pecahnya ketuban dapat terjadi akibat peregangan uterus yang
berlebihan atau terjadi peningkatan tekanan yang mendadak di
dalam kavum amnion, di samping juga ada kelainan selaput ketuban

53
itu sendiri. Hal ini terjadi seperti pada Sindroma Ehlers-Danlos,
dimana terjadi gangguan pada jaringan ikat oleh karena defek pada
sintesa dan struktur kolagen dengan gejala berupa hiperelastisitas
pada kulit dan sendi, termasuk pada selaput ketuban yang
komponen utamanya adalah kolagen. Presentase 72% penderita
dengan sindroma Ehlers-Danlos ini akan mengalami persalinan
preterm setelah sebelumnya mengalami ketuban pecah dini preterm
(Fadlun, 2011).
Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Kusuma (2011) bahwa kelainan jaringan ikat berhubungan dengan
melemahnya selaput membran ketuban dan peningkatan angka
kejadian dari ketuban pecah dini prematur, misalnya pada kasus
Sindroma Ehlers-Danlos dimana didapatkan adanya kelainan
kongenital jaringan ikat yang menyebabkan kelainan dalam sintesa
kolagen (Kusuma, 2011).
5) Infeksi
Infeksi yang menyebabkan terjadi proses biomekanik pada
selaput ketuban dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan
ketuban pecah. Adanya infeksi pada selaput ketuban
(korioamnionitis lokal) sudah cukup untuk melemahkan selaput
ketuban di tempat tersebut. Bila terdapat bakteri patogen di dalam
vagina maka frekuensi amnionitis, endometritis, infeksi neonatal
akan meningkat 10 kali (Fadlun, 2011). Ketuban pecah dini sebelum
kehamilan preterm sering diakibatkan oleh adanya infeksi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang terikat
pada membran melepaskan substrat seperti protease yang
menyebabkan melemahnya membran. Penelitian terakhir
menyebutkan bahwa matriks metaloproteinase merupakan enzim
spesifik yang terlibat dalam pecahnya ketuban oleh karena infeksi
(Manuaba, 2010). Hasil penelitian yang dilakukan Sudarto dan
Tunut (2016) menunjukkan bahwa penyakit IMS mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian KPD. Proporsi KPD
lebih besar ditemukan pada kelompok kasus dengan IMS dibanding
kelompok kontrol. Ibu hamil yang IMS cenderung mengalami risiko
KPD lebih besar pada saat proses persalinan, Jika dilihat dari aspek

54
risiko IMS berpeluang meningkatkan kejadian KPD sebesar 4,06
kali dibandingkan kelompok ibu hamil yang tidak IMS proses
infeksi dan peradangan dimulai diruangan yang berada diantara
amnion dan korion yang dapat terjadi sebelum kehamilan
dikarenakan infeksi vagina atau serviks yang akan menyebar secara
hematogen. Penyakit Menular Seksual (PMS). IMS adalah infeksi
yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, atau jamur, yang
penularannya terutama melalui hubungan seksual dari seseorang
yang terinfeksi kepada mitra seksualnya (Sudarto and Tunut, 2016).
c. Patofisiologi
1) Anatomi dan Fisiologi Selaput Ketuban
Selaput ketuban (amnion sac) yang membatasi rongga amnion
terdiri atas amnion dan chorion yang sangat erat ikatannya. Selaput
ketuban merupakan jaringan avaskuler yang lentur tapi kuat.
Struktur avaskuler ini memiliki peran penting dalam kehamilan
pada manusia. Pada banyak kasus obstetri pecahnya selaput ketuban
secara dini pada kehamilan yang masih muda merupakan penyebab
tersering kelahiran preterm (Saifuddin, 2010).
Bagian dalam selaput berhubungan dengan berhubungan
dengan cairan amnion yang merupakan jaringan sel epitel kuboid
yang berasal dari ectoderm embrionik. Epitel ini melekat erat ke
sebuah membrane basal yang berhubungan dengan lapisan
interstisial mengandung kolagen I, III dan V. Bagian luar dari
selaput ialah jaringan mesenkim yang berasal dari mesoderm.
Lapisan amnion ini berhubungan dengan korion leave. Lapisan
dalam amnion merupakan mikrovili yang berfungsi mentransfer
cairan dan metabolic. Lapisan ini menghasilkan zat penghambat
metalloproteinase-1 (Cuningham et al., 2012).
Sel masenkim berfungsi menghasilkan kolagen sehingga
selaput menjadi lentur dan kuat. Di samping itu jaringan tersebut
menghasilkan sitokin IL-6, IL-8, MCP-1 (monosit chemoattractant
protein-1); zat ini bermanfaat untuk melawan bakteri. Di samping
itu selaput amnion menghasilkan zat vasoaktif: endotelin-1
(vasokonstriktor), dan PHRP (parathyroid hormone related protein),

55
suatu vasorelaksan. Dengan demikian selaput amnion mengatur
peredaran darah dan tonus pembuluh lokal (Kusuma, 2011).
Masalah pada klinik adalah pecahnya ketuban berkaitan dengan
kekuatan selaput. Pada perokok dan infeksi terjadi pelemahan pada
ketahanan sehingga mudah pecah. Pada kehamilan normal hanya
ada sedikit makrofag. Pada saat kelahiran leukosit akan masuk ke
dalam cairan ketuban sebagai reaksi terhadap peradangan. Pada
kehamilan normal tidak ada IL-1B, tetapi pada persalinan preterm
IL-1B akan ditemukan. Hal ini berkaitan dengan terjadinya infeksi
(Cuningham et al., 2012).
Sejak awal kehamilan cairan ketuban telah dibentuk. Cairan
ketuban merupakan pelindung dan bantalan untuk proteksi
sekaligus menunjang pertumbuhan. Osmolalitas, kadar natrium,
ureum, kreatinin tidak berbeda dengan kadar serum ibunya, artinya
kadar di cairan ketuban merupakan hasil difusi dari ibunya. Cairan
ketuban mengandung banyak sel janin (lanugo, verniks kaseosa).
Fungsi cairan ketuban yang juga penting adalah menghambat
bakteri karena mengandung zat seperti fosfat dan seng (Kusuma,
2011).
2) Patofisiologi
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh
kontraksi uterus dan regangan berulang. Selaput ketuban pecah
karena pada daerah tertentu terjadi perubahan biokomia yang
menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh bukan karena seluruh
selaput ketuban rapuh
Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi matrik
ekstraseluler. Perubahan struktur, jumlah sel dan katabolisme
kolagen menyebabkan aktivitas kolagen dimediasi oleh matriks
metalloproteinase (MMP) yang dihambat oleh inhibitor jaringan
spesifik dan inhibitor protase. Mendekati waktu persalinan,
keseimbangan antara MMP dan tissue inhibitor metalloproteinase-1
(TIMP-1) mengarah pada degradasi proteolitik dari matrikseluler
dan membrane janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat
menjelang persalinan (Saifuddin, 2010).

56
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada
trimester 3 selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan
selaput ketuban ada hubungannya dengan pembesaran uterus,
kontraksi rahim, serta gerakan janin. Pada trimester terakhir terjadi
perubahan biokimia pada selaput ketuban sehingga pecahnya
ketuban pada kehamilan atrem merupakan hal fisiologis. Ketuban
pecah dini pada kehamilan preterm disebabkan oleh adanya faktor-
faktor eksternal misalnya infeksi yang menjalar dari vagina.
Disamping itu ketuban pecah dini preterm juga sering trejadi pada
polihidramnion, inkompeten serviks, serta solusio plasenta
(Saifuddin, 2010).
Banyak teori, mulai dari defek kromosom, kelainan kolagen,
sampai infeksi. Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan
dengan infeksi sampai 65% tremsuk diantaranya: high virulensi
yaitu bacteroides, dan low virulensi yaitu Lactobacillus (Saifuddin,
2010).
Kolagen terdapat pada lapisan kompakta ketuban, fibroblast,
jaringan retikuler korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi
jaringan kolagen dikontrol oleh system aktifitas dan inhibisi
interleukin-1 (iL-1) dan prostaglandin (Kusuma, 2013)
Jika ada infeksi dan inflamasi terjadi peningkatan aktifitas iL-1
dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan sehingga
terjadi depolimerasi kolagen pada selaput korion/amnion,
menyebabkan ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan
(Kusuma, 2013).
d. Faktor Resiko yang ditimbulkan
Ketuban pecah dini atau Spontaneous/ Early/ Premature Rupture
Of The Membrane (PROM) berpengaruh terhadap kehamilan dan
persalinan. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari
persalinan disebut Periode Laten (LP = Lag Period). Makin muda umur
kehamilan makin memanjang LPnya. Sedangkan lamanya persalinan
lebih pendek dari biasa, yaitu pada primi 10 jam dan multi 6 jam.
Pengaruh PROM menurut Taylor, dkk (Mochtar, 2011):

57
1) Terhadap Janin
Walaupun ibu belum menunjukkan gejala – gejala infeksi tetapi
janin mungkin sudah terkena infeksi, karena infeksi intrauterine
lebih dulu terjadi (amnionitis, vaskulitis) sebelum gejala pada ibu
dirasakan. Hal ini dapat menjadi penyebab kejadian IUFD, asfiksia
dan prematuritas yang akan meningkatkan terjadinya mortalitas dan
morbiditas perinatal.
2) Terhadap Ibu
Karena jalan telah terbuka, maka dapat terjadi infeksi
intrapartal, apalagi bila terlalu sering diperiksa dalam. Selain itu
juga dapat dijumpai infeksi puerperalis (nifas), peritonitis dan
septicemia serta dry-labor. Ibu akan merasa lelah karena lama
terbaring di tempat tidur, partus akan menjadi lama, maka suhu
badan naik, nadi cepat dan nampaklah gejala – gejala infeksi. Hal
ini merupakan penyebab terjadinya partus lama dan infeksi, atonia
uteri, perdarahan post partum atau infeksi nifas. Hal – hal itu akan
meninggikan angka kematian dan angka morbiditas pada ibu.
(Fortner,et al, 2014).
Menurut Sarwono dalam Kusuma (2013) komplikasi atau
faktor resiko yang ditimbulkan oleh kejadian ketuban pecah dini
antara lain :
a) Persalinan Prematur
b) Infeksi
c) Komplikasi Pada Ibu :
(1) Endometritis
(2) Penurunan aktifitas myometrium (distonia, atonia)
(3) Sepsis (daerah uterus dan intramnion memiliki
vaskularisasi sangat banyak)
(4) Syok septik sampai kematian ibu
(5) Antepartum: karioamnionitis 30-60% dan solution plasenta
(6) Intrapartum: trauma persalinan akibat induksi/operatif
(7) Kemungkinan retensio dari plasenta
(8) Postpartum: trauma tindakan operatif, infeksi masa nifas
dan perdarahan postpartum.

58
d) Komplikasi Pada Neonatus
(1) Semakin muda usia kehamilan maka semakin rendah BB
janin, maka kompliksi akan semakin berat.
(2) Komplikasi akibat prematuritas: mudah infeksi, mudah
terjadi trauma akibat tindakan persalinan, mudah terjadi
aspirasi air ketuban dan menimbulkan asfiksia sampai
kematian.
(3) Komplikasi post partum: penyakit RDS (respiratory
distress syndrome)/ hialin membrans, hypoplasia paru
dengan akibatnya, tidak tahan dengan hipotermia, sering
terjadinya hipoglikemia, gangguan fungsi alat vital.
(4) Komplikasi akibat oligohidramnion: gangguan tumbuh
kembang yang menimbulkan deformitas, gangguan
sirkulasi retroplasenter yang menimbulkan asfiksia dan
asidosis, retraksi otot uterus yang menimbulkan solusio
plasenta.
(5) Komplikasi akibat ketuban pecah: prolapse bagian janin
terutama talipusat dengan akibatnya, mudah terjadi infeksi
intrauterine dan neonatus. (Manuaba, 2010)
e. Gejala Klinis Ketuban Pecah Dini
Menurut Manuaba (2010) diagnosis ketuban pecah dini didasarkan
atas :
1) Riwayat pengeluaran cairan dalam jumlah besar mendadak atau
sedikit demi sedikit pervaginam.
2) Untuk menegakkan diagnosa dapat diambil pemeriksaan:
Inspekulo untuk pengmbilan cairan pada forniks posterior:
a) Pemeriksaan lakmus yang akan berubah menjadi biru (sifat
basah)
b) Ferntest cairan amnion
c) Kemungkinan infeksi dengan memriksa beta-streptokokus,
klamidia trokomatis, neiseria gonnorea
3) Pemeriksaan USG untuk mencari
a) Amniotic fluid index (AFI)
b) Aktifitas janin
c) Pengukuran berat badan janin

59
d) Detak jantung janin
e) Kelainan kongenital atau deformitas
4) Membuktikan kebenaran ketuban pecah dengan jalan:
a) Aspirasi air ketuban untuk dilakukan kultur cairan amnion,
pemeriksaan interleukin dan alfa feto protein. Seluruhnya
digunakan unutuk membuktikan adanya infeksi intra uterin
b) Penyuntikan indigo karmin kedalam amnion serta melihat
dikeluarkannya pervaginal.
f. Penatalaksanaan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan KPD adalah
memastikan diagnosis, menentukan umur kehamilan, mengevaluasi ada
tidaknya infeksi maternal ataupun infeksi janin, serta apakah dalam
keadaan inpartu, atau terdapat kegawatan janin. Prinsip penanganan
Ketuban Pecah Dini adalah memperpanjang kehamilan sampai paru-
paru janin matang atau dicurigai adanya atau terdiagnosis khorio
amnionitis. Penatalaksanaan KPD menurut Saifuddin (2010)
1) KPD dengan kehamilan aterm
a) Diberikan antibiotika prafilaksis, Ampisilin 4 x 500 mg selama
7 hari
b) Dilakukan pemeriksaan "admision test" bila hasilnya patologis
dilakukan terminasi kehamilan
c) Observasi temperature rectal setiap 3 jam, bila ada
kecenderungan meningkat lebih atau sama dengan 37,6°C,
segera dilakukan terminasi
d) Bila temperature rectal tidak meningkat, dilakukan observasi
selama 12 jam. Setelah 12 jam bila belum ada tanda-tanda
inpartu dilakukan terminasi.
e) Batasi pemeriksaan dalam, dilakukan hanya berdasarkan
indikasi obstetrik
f) Bila dilakukan terminasi, lakukan evaluasi Pelvic Score (PS) :
(1) Bila PS lebih atau sama dengan 5, dilakukan induksi
dengan oksitosin drip.
(2) Bila PS kurang dari 5, dilakukan pematangan servik
dengan misoprostol 50 µgr setiap 6 jam per oral maksimal
4 kali pemberian.

60
Tabel : Pelvic Score (PS) menurut Bishop
Skor 0 1 2 3
Pembukaan
0 1-2 3-4 5-6
servik (cm)
Pendataran
0-30% 40-50% 60-70% 80%
serviks
Penurunan
kepala diukur
+1
dari bidang -3 -2 -1,0
+2
Hodge III
(cm)
Konsistensi
Keras Sedang Lunak
serviks
Kearah
sumbu Kearah
Posisi serviks Kebelakang
jalan depan
lahir

1) KPD dengan kehamilan pre-term


a) Penanganan di rawat di RS
b) Diberikanantibiotika: Ampicillin 4 x 500 mg selama 7 hari.
c) Untuk merangsang maturasi paru diberikan kortikosteroid
(untuk UK kurang dari 35 minggu): Deksametason 5 mg setiap
6 jam. 17
d) Observasi di kamar bersalin:
(1) Tirah baring selama 24 jam, selanjutnya dirawat di ruang
obstetri.
(2) Dilakukan observasi temperatur rektal tiap 3 jam, bila ada
kecenderungan terjadi peningkatan temperatur rektal lebih
atau sama dengan 37,6° C, segera dilakukan terminasi.
e) Di ruang Obstetri :
(1) Temperatur rectal diperiksa setiap 6 jam.
(2) Dikerjakan pemeriksaan laboratorium : leukosit dan laju
endap darah (LED) setiap 3 hari.
f) Tata cara perawatan konservatif :
(1) Dilakukan sampai janin viable
(2) Selama perawatan konservatif, tidak dianjurkan melakukan
pemeriksaan dalam
(3) Dalam observasi selama 1 minggu, dilakukan pemeriksaan
USG untuk menilai air ketuban:
(a) Bila air ketuban cukup, kehamilan diteruskan.

61
(b) Bila air ketuban kurang, dipertimbangkan untuk
terminasi kehamilan.
g) Pada perawatan konservatif, pasien dipulangkan pada hari ke-7
dengan saran sebagai berikut :
(1) Tidak boleh koitus.
(2) Tidak boleh melakukan manipulasi vagina.
(3) Segera kembali ke RS bila ada keluar air ketuban lagi
h) Bila masih keluar air, perawatan konservatif dipertimbangkan
dengan melihat pemeriksaan laboratorium. Bila terdapat
leukositosis atau peningkatan LED, lakukan terminasi.

2) Terminasi Kehamilan
a) Induksi persalinan dengan drip oksitosin.
b) Seksio sesaria bila prasyarat drip oksitosin tidak terpenuhi atau
bila drip oksitosin gagal.
c) Bila skor pelvik jelek, dilakukan pematangan dan induksi
persalinan dengan Misoprostol 50 μgr oral tiap 6 jam,
maksimal 4 kali pemberian.
2. His Hipotonik
a. Pengertian His Hipotonik
His hipotonik disebut juga dengan inersia uteri yaitu his yang tidak
normal, fundus berkontraksi lebih kuat dan lebih dulu dari pada bagian
lain. Kelainan terletak pada kontraksinya yang singkat dan jarang.

62
Selama ketuban utuh umunya tidak berbahaya bagi ibu dan janin. His
nya bersifat lemah, pendek dak jarang dari his normal. Menurut Imron,
Asih dan Indrasari (2016:125-126) Inersia uteri dibagi menjadi 2, yaitu:
1) Inersia Uteri Primer
Bila sejak awal kekuatannya sudah lemah dan persalinan
berlangsung lama dan terjadi pada kala I fase laten.
2) Inersia Uteri Sekunder
Timbul setelah berlangsung his kuat untuk waktu yang lama
dan terjadi pada kala I fase aktif. His pernah cukup kuat tetapi
melemah. Dapat ditegakkan dengan melakukan evaluasi pada
pembukaan. Pada bagian terendah terdapat kaput dan mungkin
ketubah telah pecah. Dewasa ini persalinan tidak dibiarkan
berlangsung sedemikian lama sehingga dapat menimbulkan
kelelahan otot uterus.
b. Penanganan His Hipotonik
Periksa keadaan serviks, presentasi dan posisi janin, turunnya
bagian terbawah janin dan keadaan panggul kemudian buat rencana
untuk menentukan sikap dan tindakan yang akan dikerjakan, misalanya
pada letak kepala:
1) Tekanan darah di ukur 4 jam, bahkan pemeriksaan ini perlu
dilakukan lebih sering apabila ada gejala preeklamsi. Denyut
jantung janin di catat setiap setengah jam dalam kala I dan lebih
sering dalam kala II. Kemungkinan dehidrasi dan asidosis harus
mendapat perhatian sepenuhnya untuk itu berikan infuse dextrose
5% atau nacl.
2) Berikan oksitosin drip 5 - 10 satuan dalam dextrosa 5% (12 tpm)
kemudian naikkan setiap 10 - 15 menit sampai 40 - 50 tpm. Maksud
pemberian oksitosin ialah memperbaiki his sehingga serviks dapat
membuka.
3) Satu ciri khas oksitosin ialah bahwa hasil pemberiannya tampak
dalam waktu singkat. Oleh karena itu, tidak ada gunanya
memberikan oksitosin berlarut-larut.; bila his tidak kuat oksitosin
drip distop kemudian berikan obat penenang: valium 10 mg;dapat
juga diberikan petidin 50 mg untuk mengurangi rasa nyeri, bila
disertai dengan disproprosi cephalopelvis kemudian tindakan SC.

63
4) Jika ada his kuat yang menyebabkan inersia uteri sekunder dengan
KU ibu lemah dan partus telah berlangsung lebih dari 24 jam primi
dan 18 jam multi Lakukan SC. Dalam menentukan sikap lebih
lanjut perlu diketahui apakah ketuban sudah atau belum pecah.
Apabila ketuban sudah pecah, maka keputusan untuk
menyelesaikan persalinan tidak boleh ditunda terlalu lama
berhubung dengan bahaya infeksi, lakukan SC.
C. Tinjauan Teori Asuhan Kebidanan Persalinan
1. Manajemen 7 Langkah Varney
Tujuan dokumentasi Asuhan kebidanan adalah sebagai sarana
komunikasi antara bidan dalam memberikan asuhan kebidanan pada pasien,
sebagai sarana tanggungjawab dan tanggung gugat sebagai sarana informasi
statistic sebagai sarana pendidikan. Sebagai sumber data penelitian, sebagai
jaminan kualitas pelayanan kesehatan, dan sebagai sumber data perencanaan
asuhan kebidanan berkelanjutan (Marmi, 2016). Pendokumentasian
Manajemen Kebidanan pada ibu bersalin menggunakan metode langkah
varney :
a. Langkah I : Pengkajian Data
Data subjektif pasien ibu bersalin atau data yang diperoleh dari
anamnesis, antara lain:
1) Biodata, data demografi
2) Riwayat kesehatan, termasuk faktor herediter dan kecelakaan
3) Riwayat menstruasi
4) Riwayat obstetric dan ginekologi termasuk nifas dan laktasi
5) Biopsikospiritual
6) Pengetahuan klien
Data objektif pasien ibu bersalin atau data yang diperoleh dari hasil
observasi dan pemeriksaan, antara lain:
1) Pemeriksaan fisik, sesuai kebutuhan dan tanda-tanda vital
2) Pemeriksaan khusus: Inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi
3) Pemeriksaan penunjang: Laboratorium, diagnosis lain: USG,
radiologi serta catatan terbaru dan sebelumnya
Data yang terkumpul ini sebagai data dasar untuk interpretasi
kondisi klien dan untuk menentukan langkah berikutnya.

64
b. Langkah 2 : Interpretasi Data Dasar
Pada langkah ini dilakukan identifikasi terhadap, masalah atau
diagnosa berdasarkan interpretasi yang benar atas data-data yang telah
dikumpulkan. Diagnosa kebidanan adalah ditegakkan bidan dalam
lingkup praktek kebidanan dan memenuhi standar nomenklatur (tata
nama) diagnosa kebidanan dirumuskan secara spesifik. Masalah
psikologi berkaitan dengan hal-hal yang sedang dialami wanita tersebut.
1) Diagnosa : G2P1A0, hamil 37 minggu, janin tunggal, hidup
2) Masalah : wanita tersebut tidak menginginkan kehamilan ini dan
takut menghadapi proses persalinan
3) Kebutuhan : konseling, atau rujukan konseling
c. Langkah 3 : Mengidentifikasi Diagnosis Atau Msalah Potensial
Pada langkah ini bidan mengidentifikasi masalah atau diagnosis
masalah yang sudah teridentifikasi. Langkah ini membutuhkan
antisipasi, bila mungkin dilakukan pencegahan. Bidan diharapkan
waspada dan bersiap-siap menghadapinya bila diagnosis ata masalah
potensial ini benar-benar terjadi.
d. Langkah 4 : Mengidentifikasi Dan Menetapkan Kebutuhan Yang
Memerlukan Penanganan Segera
Pada kasus ibu bersalin dengan pemuaian uterus berlebihan, bidan
harus mengidentifikasi dan menetapkan kebutuhan penanganan segera
untuk mengantisipasi dan bersiap-siap terhadap kemungkinan terjadi
perdarahan postpartum karena atonia uteri karena pemuaian uterus yang
berlebih, dan mencegahnya dengan infus pitosin atau uterotonika atau
adaya premature atau BBLR.
e. Langkah 5 : Merencanakan Asuhan Yang Menyeluruh
Langkah ini direncanakan asuhan menyeluruh yang ditentukan oleh
hasil kajian pada langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan
kelanjutan manajemen terhadap diagnosis atau masalah yang telah
teridentifikasi atau diantisipasi. Pada langkah ini informasi atau data
yang kurang lengkap dapat dilengkapi.
1) Rencana asuhan persalinan kala I
a) Mengevaluasi kesejahteraan ibu, termasuk diantaranya:
(1) Mengukur tekanan darah, suhu, pernafasan, setiap 2-4 jam
apabila masih utuh setiap 1-2 jam apabila ketuban pecah

65
(2) Mengevaluasi kandung kemih minimal setiap 2 jam
(3) Apabila diperlukan melakukan pemeriksaan urine terhadap
protein, keton
(4) Mengevaluasi hidrasi dan turgor kulit
(5) Mengevaluasi kondisi umum
b) Mengevaluasi kesejahteraan janin, termasuk diantaranya:
(1) Letak janin, presentasi, gerak dan posisi
(2) Adaptasi janin terhadap panggul, apakah ada DKP?
(3) Mengukur DJJ dan bagaimana polanya, dapat dievaluasi
setiap 30 menit pada fase laten
c) Mengevaluasi kemajuan persalinan, termasuk melakukan
observasi penipisan, pembukaan, turunnya bagian terendah,
pola kontraksi, perubahan perilaku ibu, tanda dan gejala dari
masa transisi dan mulailah persalinan kala II, serta posisi dari
puctum maximum
d) Melakukan perawatan fisik ibu: menjaga kebersihan dan
kenyamanan, perawatan mulut
e) Memberikan dukungan pada ibu dan keluarga
(1) Bantulah ibu dalam perslainan jika ia tampak felisah,
keakutan dan kesakitan
(a) Berilah dukungan dan yakinlah dirinya
(b) Berilah informarsi mengenai proses dan kemajuan
persalinan
(c) Dengarkan keluhannya dan cobalah lebih sensitif
terhadap perasaannya
(2) Jika ibu tampak kesakitan dukungan atau masalah yang
dapat diberikan
(a) Lakukan perubahan posisi sesuai dengan keinginan ibu
(b) Sarankan ibu untuk berjalan
(c) Ajaklah orang yang menemaninya untuk memijat atau
menggosok punggung atau membasuh muka di antara
kontraksi
(d) Ajarkanlah sebentar kemudian dilepaskan dengan cara
meniup udara keluar sewaktu terasa kontraksi

66
(3) Penolong tetap menjaga hak privasi dalam persalinan
(4) Menjelaskan kemajuan persalinan dan perubahan yang
terjadi serta prosedur yang akan dilaksanakan dan hasil-
hasil pemeriksaan
f) Melakukan skrining untuk mengatisipasi komplikasi pada ibu
dan janin
g) Menentukan apakah ibu memerlukan 13 manajemen dasar
yaitu:
(1) Apakah ibu perlu diklisma
(2) Apakah ibu perlu dicukur, kalau iya variasi cukurnya
bagaimana
(3) Apakah ibu perlu dipasang jalur intravena
(4) Apakah ibuperlu diberi posisi tertentu atau pembatasan
gerak apabila ya sampai dimana batasannya
(5) Apakah ibu perlu diberi makan, atau minum melalui oral,
apabila iya, makanan atau minuman apa saja yang
diperbolehkan
(6) Apakah ibu perlu diberi obat, apabila ya obat apa, berapa
banyak, dan kapan pemberiannya
(7) Frekuensi dari pemeriksaan DJJ dan dengan alat apa
pemeriksaan dilakukan
(8) Frekuensi dari pemeriksaan dalam
(9) Identifikasi siapa yang akan mendmpingi ibu dan perannya
apa bagi ibu
(10) Apakah ketuban perlu dipecahan, kapan?
(11) Menentukan kapan perlu untuk konsultasi pada dokter
spesialis
(12) Kapan persalinan perlu disiapkan.
2) Rencana Asuhan Pada Persalinan Kala II
Manajemen pada perslainan kala II termasuk bertanggung
jawab terhadap:
a) Persiapan untuk persalinan
b) Menejmen persalainan
c) Membuat manajemen keputusan untuk persalinan kala II
termasuk hal-hal berikut:

67
(1) Frekuensi untuk memeriksa tanda-tanda vital
(2) Frekuensi dari memeriksa denyut jantung janin
(3) Kapan ibu dipimpin meneran
(4) Kapan melakukan persiapan persalinan
(5) Posisi ibu berslain
(6) Kapan ibu perlu kateter
(7) Kapan menyokong perenium
(8) Kapan perlu dilakukan episiotomi, tipe dari episiotomi
(9) Kapan melahirkan kepala bayi, saat kontraksi atau diantara
kontraksi
(10) Kapan mengeklem dan memotong tali pusat
(11) Apakah perlu dikonsultasikan atau kolaborasi dengan
dokter ahli
3) Rencana Asuhan Persalinan Kala III
a) Melanjutkan evaluasi setiap tanda-tanda yang ditemukan
b) Melanjutkan evaluasi kemajuan dari persalinan
c) Melanjutkan evaluasi ibu termasuk mengukur tekanan darah,
nadi, suhu, pernafasan, dan aktivitas gastrointestinal
d) Memperhatikan tanda dan gejala perdarahan
4) Rencana Asuhan Pada Persalinan Kala IV
a) Melakukan evaluasi terhadap uterus
b) Inseksi dan evaluasi serviks, vagina, dan perineum
c) Inspeksi dan evaluasi terhadap plasenta, selaput plasenta dan
tali pusat
d) Menjahit luka jalan lahir akibat episiotomi atau laserasi
f. Langkah 6 : Melaksanakan Perencanaan
Melaksanakan asuhan menyeluruh yang telah direncanakan secara
efektif dan aman. Bila perlu berkolaborasi dengan dokter misalnya
karena adanya komplikasi.
g. Langkah 7 : Evaluasi
Pada langkah ini dievaluasi keefektifan asuhan yang telah
diberikan. Apakah telah memenuhi kebutuhan asuhan yang telah
teridentifikasi dalam diagnosis maupun masalah. Manajemen kebidanan
yang terdiri dari tujuh langkah ini merupakan proses berfikir dalam
pengambilan keputusan klinis dalam memberikan asuhan kebidanan

68
yang dapat diaplikasikan atau diterapkan dalam setiap situasi (Marmi,
2016).
2. Manajemen SOAP
Metode dokumentasi asuhan kebidanan selain varney yaitu dokumentasi
asuhan kebidanan SOAP. Metode pendokumentasian SOAP merupakan
intisari dari proses berfikir dalam asuhan kebidanan yang menggambarkan
catatan perkembangan klien yang merupakan suatu sistem pencatatan dan
pelaporaan informasi tentang kondisi dan perkembangan serta semua
kegiatan yang dilakukan oleh bidan dan memberikan asuhan kebidanan
terdapat dalam rekam medik. Menurut Kemenkes RI (2015) pencatatan
dilakukan setelah melaksanakan auhan pada formulir yang tersedia,
pendokumentasian dilakukan dengan SOAP yaitu :
1) Subyektif
Pengkajian yang diperoleh dengan anamnesis, berhubungan dengan
masalah dari sudut pandang pasien. Ekspresi pasien mengenai
kekhawatiran dan keluhannya yang dicatat sebagai kutipan langsung
atau ringkasan yang akan berhubungan langsung dengan diagnosis
sebagai langkah 1 Varney.
2) Obyektif
Data berasal dari observasi yang jujur dari pemeriksaan fisik pasien,
pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan diagnostik lainnya sebagai
langkah 1 Varney.
3) Assesment
Pendokumentasian hasil analisis dan interpretasi (kesimpulan) dari
data subyektif dan obyektif sebagai langkah 2, 3, dan 4 Varney.
4) Planning
Perencanaan dibuat saat ini dan yang akan datang. Rencana asuhan
akan disusun berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data yang
bertujuan untuk mengusahakan tercapainya kondisi pasien seoptimal
mungkin dan mempertahankan kesejahteraan pasien. Seluruh
perencanaan dan penatalaksanaan yang sudah dilakukan, berdasarkan
langkah 5, 6, dan 7 Varney.

69
D. Tinjauan Teori Sistem Rujukan
1. Definisi Sistem Rujukan
Definisi Rujukan adalah suatu kondisi yang optimal dan tepat waktu ke
fasilitas rujukan atau fasilitas yang memiliki sarana lebih lengkap yang
diharapkan mampu menyelamatkan jiwa para ibu dan bayi baru lahir (JNPK-
KR, 2012). Sistem rujukan adalah suatu sistem jaringan fasilitas pelayanan
kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyerahan tanggung jawab
secara timbal balik atas masalah yang timbul, baik secara vertikal maupun
horizontal ke fasilitas pelayanan yang lebih berkompeten, terjangkau,
rasional, dan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi. (Syafrudin, 2012)
2. Rujukan Kebidanan
Sistem rujukan dalam mekanisme pelayanan obstetri adalah suatu
pelimpahan tanggung jawab timbal-balik atas kasus atau masalah kebidanan
yang timbul baik secara vertikal,maupun horizontal. Rujukan vertikal,
maksudnya adalah rujukan dan komunikasi antara satu unit ke unit yang
telah lengkap. Misalnya dari rumah sakit kabupaten ke rumah sakit provinsi
atau rumah sakit tipe C ke rumah sakit tipe B yang lebih spesialistik fasilitas
dan personalianya. Rujukan horizontal adalah konsultasi dan komunikasi
antar unit yang ada dalam satu rumah sakit,misalnya antara bagian
kebidanan dan bagian ilmu kesehatan anak. (Syafrudin, 2012)
3. Jenis Rujukan
Menurut Pudiastuti (2011) Terdapat dua jenis isitilah rujukan yaitu:
a. Rujukan Medik yaitu pelimpahan tanggungjawab secara timbal balik
atas satu kasus yang timbal balik secara vertikal maupun horizontal
kepada yang lebih berwenang dan mampu menanganinya secara
rasional. Jenis rujukan medik diantaranya:
1) Pengiriman bahan untuk pemeriksaan laboratorium lebih lengkap
2) Konsultasi penderita untuk keperluan diagnosa, pengobatan,
tindakan operatif dan lain-lain.
3) Pengiriman tenaga yang lebih kompeten atau ahli untuk
meningkatkan mutu layanan pengobatan setempat.
b. Rujukan Kesehatan yaitu hubungan dalam pengiriman, pemeriksaan
bahan atau spesimen ke fasilitas yang lebih mampu dan lengkap.

70
4. Tujuan Rujukan
Tujuan rujukan menurut Syafrudin (2012) yaitu sebagai berikut:
a. Setiap penderita mendapat perawatan dan pertolongan yang
sebaikbaiknya.
b. Menjalin kerjasama dengan cara pengiriman penderita atau bahan
laboratorium dari unit yang kurang lengkap ke unit yang lengkap
fasilitasnya.
c. Menjalin pelimpahan pengetahuan dan keterampilan (Transfer
knowledge and skill) melalui pendidikan dan latihan antara pusat
pendidikan dan daerah.
5. Langkah-langkah Rujukan
Langkah-langkah rujukan menurut Syafrudin (2012) yaitu sebagai
berikut:
a. Menentukan kegawatdaruratan penderita
1) Pada tingkat kader atau dukun bayi terlatih ditemukan penderita
yang tidak dapat ditangani sendiri oleh keluarga atau kader/dukun
bayi, maka segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang
terdekat,oleh karena itu mereka belum tentu dapat menerapkan ke
tingkat kegawatdaruratan
2) Pada tingkat bidan desa, puskesmas pembantu dan puskesmas
Tenaga kesehatan yang ada pada fasilitas pelayanan kesehatan
tersebut harus dapat menentukan tingkat kegawatdaruratan kasus
yang ditemui, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya,
mereka harus menentukan kasus mana yang boleh ditangani sendiri
dan kasus mana yang harus dirujuk
b. Menentukan tempat rujukan.
Prinsip dalam menentukan tempat rujukan adalah fasilitas
pelayanan yang mempunyai kewenangan dan fasilitas terdekat yang
termasuk fasilitas pelayanan swasta dengan tidak mengabaikan
kesediaan dan kemampuan penderita.
c. Memberikan informasi kepada penderita dan keluarga
d. Mengirimkan informasi pada tempat rujukan yang dituju, yaitu:
1) Memberitahukan bahwa akan ada penderita yang dirujuk
2) Meminta petunjuk apa yang perlu dilakukan dalam rangka
persiapan dan selama dalam perjalanan ke tempat rujukan

71
3) Meminta petunjuk dan cara penangan untuk menolong penderita
bila penderita tidak mungkin dikirim.
Dijabarkan persiapan penderita yang harus diperhatikan dalam
melakukan rujukan yaitu dengan melakukan BAKSOKU yang merupakan
singkatan dari (Bidan, Alat, Keluarga, Surat, Obat, Kenderaan, Uang),
(JNPK-KR, 2012).
a. Bidan (B)
Pastikan bahwa ibu dan/atau bayi baru lahir didampingi oleh penolong
persalinan yang kompeten dan memiliki kemampuan untuk
menatalaksanakan kegawatdaruratan obstetri dan bayi baru lahir untuk
dibawa ke fasilitas rujukan.
b. Alat (A)
Bawa perlengkapan dan bahan-bahan untuk asuhan persalinan, masa
nifas dan bayi baru lahir (tabung suntik, selang Intra Vena, dan lain-lain)
bersama ibu ke tempat rujukan. Perlengkapan dan bahan-bahan tersebut
mungkin diperlukan jika ibu melahirkan sedang dalam perjalanan.
c. Keluarga (K)
Beritahu ibu dan keluarga mengenai kondisi terakhir ibu dan/atau bayi
dan mengapa ibu dan/atau bayi perlu dirujuk. Jelaskan pada mereka
alasan dan keperluan upaya rujukan tersebut. Suami atau anggota
keluarga yang lain harus menemani ibu dan/atau bayi baru lahir ke
tempat rujukan.
d. Surat (S)
Berikan surat ke tempat rujukan. Surat ini harus memberikan
identifikasi mengenai ibu dan/atau bayi baru lahir, cantumkan alasan
rujukan dan uraikan hasil pemeriksaan, asuhan atau obat-obatan yang
diterima ibu dan/atau bayi baru lahir. Lampirkan partograf kemajuan
persalinan ibu pada saat rujukan.
e. Obat (O)
Bawa obat-obatan esensial pada saat mengantar ibu ke tempat rujukan.
Obat- obatan mungkin akan diperlukan selama perjalanan.
f. Kendaraan (K)
Siapkan kendaraan yang paling memungkinkan untuk merujuk ibu
dalam kondisi yang cukup nyaman. Selain itu pastikan bahwa kondisi

72
kendaraan itu cukup baik untuk. mencapai tempat rujukan dalam waktu
yang tepat.
g. Uang (U)
Ingatkan pada keluarga agar membawa uang dalam jumlah yang cukup
untuk membeli obat-obatan yang diperiukan dan bahan-bahan kesehatan
lain yang diperiukan selama ibu dan/atau bayi baru lahir tinggal di
fasilitas rujukan.
6. Kegiatan Rujukan
Kegiatan rujukan Menurut Syafrudin (2012) yaitu:
a. Rujukan dan pelayanan kebidanan
1) Pengiriman orang sakit dari unit kesehatan kurang lengkap ke unit
yang lebih lengkap
2) Rujukan kasus patologis pada kehamilan, persalinan, dan nifas
3) Pengiriman kasus masalah reproduksi manusia lainnya seperti kasus
ginekologi atau kontrasepsi yang memerlukan penanganan spesialis
4) Pengiriman bahan laboratorium
5) Jika penderita telah sembuh dan hasil laboratorium telah selesai,
kembalikan dan kirimkan ke unit semula, jika perlu disertai dengan
keterangan yang lengkap.
b. Pelimpahan pengetahuan dan keterampilan.
1) Pengiriman tenaga-tenaga ahli ke daerah untuk memberikan
pengetahuan dan keterampilan melalui ceramah, konsultasi
penderita, diskusi kasus dan demonstrasi operasi.
2) Pengiriman petugas pelayanan kesehatan daerah untuk menambah
pengetahuan dan keterampilan mereka ke rumah sakit yang lebih
lengkap atau rumah sakit pendidikan juga dengan mengundang
tenaga medis dalam kegiatan ilmiah yang diselenggarakan tingkat
provinsi atau instituasi pendidikan.
c. Rujukan informasi medis
1) Membalas secara lengkap data-data medis penderita yang dikirim
dan advis rehabilitas kepada unit yang mengirim
2) Menjalin kerjasama dalam sistem pelaporan data-data parameter
pelayanan kebidanan, terutama mengenai kematian maternal dan
pranatal. Hal ini sangat berguna untuk memperoleh angka-angka
secara regional dan nasional.

73
7. Faktor-faktor Penyebab Rujukan
Faktor-faktor penyebab rujukan (JNPK-KR, 2012), yaitu:
a. Ketuban pecah dengan mekonium kental
b. Ketuban pecah pada persalinan kurang bulan (kurang dari 37 Minggu
usia kehamilan)
c. Ketuban pecah lama (lebih kurang 24 jam)
d. Riwayat Sectio Caesarea
e. Ikterus
f. Perdarahan pervaginam
g. Anemia berat
h. Preeklamsia/hipertensi dalam kehamilan
i. Gawat janin
j. Kehamilan gameli.
8. Keuntungan Sistem Rujukan
Keuntungan dari sistem rujukan, (Pudiastuti, 2011) adalah :
a. Pelayanan yang diberikan sedekat mungkin ke tempat pasien berarti
bahwa pertolongan dapat diberikan lebih cepat, murah, dan secara
psikologis memberi rasa aman pada pasien dan keluarganya.
b. Dengan adanya penataran yang teratur diharapkan pengetahuan dan
keterampilan petugas daerah makin meningkat sehingga makin banyak
kasus yang dapat dikelola di daerahnya masing-masing.
c. Masyarakat desa dapat menikmati tenaga ahli.
9. Persiapan Rujukan
Sebelum melakukan persiapan rujukan yang pertama dilihat adalah
mengapa bidan melakukan rujukan. Rujukan bukan suatu kekurangan,
melainkan suatu tanggung jawab yang tinggi dan mendahulukan kebutuhan
masyarakat. Dengan adanya sistem rujukan, diharapkan dapat meningkatkan
pelayanan kesehatan yang lebih bermutu. Bidan sebagai tenaga kesehatan
harus memiliki kesiapan untuk merujuk ibu atau bayi ke fasilitas kesehatan
rujukan secara optimal dan tepat waktu jika menghadapi penyulit. Yang
melatarbelakangi tingginya kematian ibu dan anak adalah terutama terlambat
mencapai fasilitas pelayanan kesehatan. Jika bidan lalai dalam
melakukannya akan berakibat fatal bagi keselamatan jiwa ibu dan bayi
(Syafrudin, 2012).

74
10. Pelaksanaan Rujukan
Pelaksanaan rujukan menurut, Pudiastuti (2011) yaitu:
a. Internal antar petugas di satu rumah.
b. Antara puskesmas pembantu dan puskesmas.
c. Antara masyarakat dan puskesmas.
d. Antara puskesmas dengan puskesmas lainnya.
e. Antara puskesmas dan rumah sakit, laboratorium atau fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya.
f. Antara rumah sakit, laboratorium atau fasilitas pelayanan lain dari
rumah sakit.

75

Anda mungkin juga menyukai