Anda di halaman 1dari 3

Nama :M.

yusuf abdillah
Kelas :IX.4
Mangga-Mangga Kejujuran

Ujian kurang dua bulan lagi, namun anak-anak sudah mulai mempersiapkan diri
dengan baik. Seperti biasa, Pak Guru Hambali menyediakan waktu bagi anak-anak untuk
datang ke rumahnya sore hari. Ada jam tambahan bagi anak-anak yang masih kesulitan
untuk materi yang diajarkan.
Di rumahnya, di bawah rindang pohon mangga Manalagi, dia dengan sabar
menerangkan kembali pelajaran di sekolah tadi pagi. Kami tinggal mengerjakan latihan yang
diberikan.
Kami boleh memilih tempat di sembarang tempat. Bahkan boleh naik ke pohon
mangga yang tak begitu tinggi untuk mengerjakan tugas, sementara Pak Hambali akan
masuk ke rumah. Biasanya Pak Hambali akan membaca koran yang tadi pagi datang.

Dibandingkan teman yang lain, aku sering tertinggal mengikuti pelajaran di sekolah.
Tapi aku punya semangat tinggi mengejar kemampuan untuk menutup kekurangan itu. Aku
tahu batas kemampuanku. Tiga atau empat kali diterangkan baru bisa memahami. Jadi, aku
tak pernah alpa datang setiap sore. Kami biasanya datang berempat dengan naik sepeda.
Ada Ashari, Dudung, Indra, dan aku. Kebaikan hati Pak Hambali, pernah disalahartikan oleh
orang tua. Salah seorang dari orang tua kami hendak memberi imbalan uang pada Pak
Hambali. Namun Pak Hambali menolaknya dengan halus.

“Mereka mau datang kemari saja, saya sungguh bersyukur,” ujarnya. Pak Hambali
selalu melayani anak-anak dengan ikhlas, wajahnya selalu cerah saat kami datang ke
rumahnya.

***

Pak Hambali hidup seorang diri di rumahnya yang mungil. Rumah itu sejuk karena
pohon mangga Manalagi. Dia tak punya anak. Istrinya meninggal tiga tahun yang lalu.
Kehadiran anak-anak membuatnya gembira. Saat ini sedang musim mangga. Seperti biasa,
kami mengerjakan tugas yang diberikan di atas batang pohon yang melengkung. Angin
semilir mengipasi punggung kami. Hmm, betapa segarnya. Aku mengerjakan latihan soal
Matematika dengan duduk seperti di atas pelana kuda.

Cara menerangkan Pak Hambali gampang diterima anak-anak. Siswa yang bisa
mengerjakan paling cepat dan paling benar, akan mendapat 2 buah mangga Manalagi yang
sudah masak. Aku tidak pernah menang, tetapi merasa ikut senang. Yang kalah juga tak
pernah sakit hati. Mangga kemenangan itu dibagi berempat.

1
Setelah ada yang menang, kami boleh memanjat sendiri pohon yang tidak begitu
tinggi itu. Sebenarnya kalau mau, kami bisa mengambil mangga-mangga yang
menggelantung itu. Tapi, kami tidak ingin berbuat curang. Mangga-mangga itu mangga-
mangga pengukur kejujuran kami. Hadiah yang harus kami raih dengan prestasi.

***

Suatu sore kami datang ke rumah Pak Hambali. Ada yang lain di rumahnya. Setelah
kuamati pohon Mangga kebanggaan tak ada lagi. Hanya dedaunan sebagian masih
berserakan.

Pak Hambali masih menyapu daun-daun itu. Tanpa diminta kami berempat ikut
memungutinya. Aku dan Indra segera mengambil tong sampah. Dudung dan Ashari
membantu menyapu. Hanya dengan inilah kami bisa membantu Pak Hambali, pak guru yang
baik hati itu. “Batang dan cabang- cabang yang besar diambil tukang kayu,” kata Pak
Hambali dengan napas terengah-engah. Sedetik kemudian air muka Pak Hambali terlihat
sedih.
“Bapak sekarang tak memiliki pohon Manalagi lagi,” suaranya bergetar. Pohon
mangga itu mungkin sudah menyatu dengan Pak Hambali. Kami merasakan kesedihan yang
sama.

Kami kehilangan tempat bermain dan belajar yang menyenangkan.

“Apakah kalian masih mau datang ke rumah Bapak, setelah Bapak tidak punya pohon
mangga lagi?”

“Tentu, kami akan datang, Bapak,” ucapku.

“Kami cinta pada pohon mangga itu, tapi kami lebih cinta Pak Hambali,” kata
Dudung. Pak Hambali tersenyum, terharu mendengar jawaban Dudung. Pohon mangga itu
boleh tumbang, tapi mangga-mangga kejujuran itu tak pernah hilang dari hati kami.

2
Pujian:

Cara mengajar pak hambali patut di contoh karena belajardengan kesenangan,mengajarkan


kejujuran,tidak meminta imbalan serta siswa siswinya setia meskipun pohon mangga
manalaginya sudah tiada.

Kritik:

Batang dan cabang–cabang mangga manalagi tidak seharusnya diambil oleh tukang kayu
karena membuat pak hambali sedih.

Unsur intriksik:

1. Tema : Kejujuran
2. Alur : Maju karena berdasarkan cerita tersebut.
3. Tokoh : Pak Hambali, Ashari, Dudung dan Aku.
4. Sudut pandang : Orang pertama
5. Latar : Waktu : sore hari
Tempat : rumah pak hambali
Suasana: Bahagia dan sedih
6. Amanat : Kita harus setia meskipun sesuatu yang disenangkan sudah tidak
ada lagi

Anda mungkin juga menyukai