Anda di halaman 1dari 13

Sumber : https://www.kompasiana.

com/othinx/550eb13ea33311b92dba8458/max-webber-dan-
pemikirannya-hubungan-antara-etika-protestan-dengan-kapitalisme-sebuah-hipotesis?page=all

Max Webber dan Pemikirannya: Hubungan antara Etika Protestan dengan Kapitalisme,
Sebuah Hipotesis...

Diawali oleh esai etika protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama adalah salah
satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama
dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan
karakteristik budaya barat[1]. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur
berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak
pemikiran agama puritan (protestan) yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem
ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya
adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu
tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha
ekonomi[2]. Studi agama menurut Weber hanyalah usaha untuk meneliti satu emansipasi dari pengaruh
magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai
aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.

Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die Protestan Ethik
Under Giest Des Kapitalis)[3]. Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat menggerakkan semangat
kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan
dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan
ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.

Doktrin Calvin(ism) dan Semangat Kapitalisme

Karya Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menunjukkan dengan baik keterkaitan
doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang
dikembangkan seorang yang bernama Calvin, saat itu muncul ajaran yang menyatakan seorang pada
intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka, untuk mengetahui apakah ia masuk surga
atau neraka dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya
(sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika
sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu
ditakdirkan untuk masuk neraka.
Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi serius
bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan
semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia juga
merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi
di kalangan pengikut Calvinis[4]. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan
ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan
dunia akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa pada
masa depan yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk surga, sebaliknya kegagalan yang tentu
berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu
masuk neraka.

Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta benda yang
banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam
mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat,
sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam perkembangannya etika Protestan
menjadi faktor utama bagi perkembangan lebih lanjut kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini
menebar ke Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.

Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat mendukung
pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti itu telah menjadi kodrat
manusia-manusia rasional, artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan
daripada memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti yang dikehendaki oleh Kar Marx.

Menurut Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik memiliki ciri-ciri khusus
kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya merupakan kenyataan yang real ketika masa-masa
awal revolusi industri, ketika Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu yang benar-benar
nyata dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat dan bukan dari individu yang
terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim bagi keseluruhan kelompok manusia.

Konfusianisme dan Taoisme

Selain membicarakan tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme, Weber juga membicarakan
tentang kepercayaan orang Tiongkok yakni Konfusionisme dan Taoisme, perhatian Weber pada
kepercayaan ini tampaknya menunjukkan besarnya perhatian Weber atas kenyataan-kenyataan sosial
dalam kehidupan manusia. Hadirnya tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme dalam karya Weber ini
dapat dipandang sebagai perbandingan antara makna agama di Barat dan di Timur. Ia banyak
menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja dengan analisa yang rasional dan handal serta sama
sekali tidak ada maksud untuk mendiskriminasikan agama tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan
Taonisme merupakan karya terbesar kedua dari Weber dalam sosiologi tentang agama.

Weber memusatkan perhatiannya pada unsur-unsur dari masyarakat Tiongkok yang mempunyai
perbedaan jauh dengan budaya yang ada di bagian barat bumi (Eropa) yang dikontraskan dengan
Puritanisme. Weber berusaha mencari jawaban “mengapa kapitalisme tidak berkembang di Tiongkok?”
dalam rangka memperoleh jawaban atas pertanyaan sederhana diatas, Webar melakukan studi pustaka
atas eksistensi masyarakat tiongkok. Bagaiman eksistensi itu dipahami Weber dalam rangka
menuntaskan apa yang menjadi kegelisahan empiriknya, maka yang dilakukana adalah memahami
sejarah kehidupan masyarakat Tiongkok.

Dalam berbagai dokumen yang diteliti oleh Weber, bahwa masyarakat Tiongkok memiliki akar yang kuat
dengan kehidupan nenek-moyang mereka sejak tahun 200 SM, Tiongkok pada saat itu merupakan
tempat tinggal para pemimpin kekaisaran yang membentuk benteng-benteng di kota-kota Tiongkok,
disitu juga merupakan pusat perdagangan, namun sayangnya mereka tidak mendapatkan otonomi
politik, ditambah warganya yang tidak mempunyai hak-hak khusus, hal ini disebabkan oleh kekuatan
jalinan-jalinan kekerabatan yang muncul akibat keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Hal
lainnya adalah gilda-gilda yang bersaing merebutkan perkenan kaisar. Sebagai imbasnya warga kota-
kota Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas setatus terpisah. Namun jika kita cermati dinegara
beragamakan Taoisme dan Konfucuisme kini mampu berkembang dan banyak kapitalis dimana-mana
mungkin hal itu sudah tidak relevan lagi dengan fakta sosial saat ini.[5]

Kritik Terhadap Weber

Ada yang perlu dikritik dalam karya Weber mengenai perkembangan rasionalisasi hukum, menurutnya
perkembangan hukum diawali pewahyuan ala kharismatik, tahapan ini merupakan penciptaan hukum
dari ketiadaan hukum. Tahapan ini ditandai dengan mode bersifat kharimatik. Tahapan yang kedua
menurut Weber adalah penciptaan hukum secara empiris, pengadaan hukum empiris ini tercipta melalui
proses teknis yang merupakann kreatifitas manusia itu sendiri, tahapan kedua ini ditandai dengan
metodenya yang bersifat empirical. Selanjutnya adalah tahapan imposition atau pembebanan hukum
oleh kekuatan-kekuatan sekuler, dan yang terakhir merupakan tahapan profesional, artinya hukum yang
dibuat oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai kemampuan didalamnya karna mereka
mendapatkan pendidikian formal dengan metode ilmiah dan logis formal. Kesimpulanya Weber melihat
masyarakat selalu akan berkembang dari kharismatik tradisional menuju tahapan-tahapan yang sudah
ditentukan diatas. Tapi jika kita melihat berbagai perkembangan hukum, proses itu tak berjalan linier
menaiki tangga secara berurutan, justru perubahannya bisa saja terjadi secara gradual atau acak. Hal ini
bisa ditemukan pada kondisi masyarakat yang mengalami revolusi. Ditengah-tengah dunia modern kita
masih menemukan fakta banyaknya masyarakat tradisional yang begitu kesulitan dalam menyesuaikan
hukum yang mengikatnya oleh hukum formal yang diciptakan negara, ini mengakibatkan kementalan
antara kualitas hukum dan kualitas masyarakat, alasannya adanya masyarakat yang tak bisa mencerna
hukum sehingga terjadi pemboikotan secara tidak langsung.[6]

Penutup

Konsep pemikiran Weber ini bisa di ibaratkan pohon yang memiliki beberapa tandan buah, beberapa
tandan dari buku yang berkafer biru ini diantaranya mengulas tentang agama, kekuasaan, ilmu
pengetahuan dan politik. Pada bagian yang kedua dalam buku ini merupakan esai tentang kekuasaan,
didalamnya ada banyak sekali pembahasan diantaranya mengenai struktur kekuasaan, mengenai kelas
social, status dan partai, juga birokrasi.

Ia tak kalahnya dengan hantu tua Karl Marx bahkan ia menjadi salah seorang yang membalikan
perspektif teoritik Marx. Diantaranya ketika Weber mengatakan pada suatu kesimpulan bahwa faktor
material bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi gagasan, namun sebaliknya gagasan
itu sendiri mempengaruhi struktur material. Weber juga mencoba melengkapi kekurangan dari marx
terbukti didalam karyanya mengenai stratifikasi dimana stratifikasi sosial diperluas hingga mencakup
stratifikasi berdasarkan prestis, status atau kekuasaan. Pada dasarnya karya Weber lebih menekankan
tentang proses rasionalisasi yang selalu mendasari semua teoritiknya.

Pemikiran Weber ini mempunayai bobot nutrisi kaya teori, namun tingkat kesulitan dalam memahami
bagaimana inti permasalahannya menjadi kendala utama dalam menguasai teori dalam buku ini.
Masalah seperti ini memang sering kita temui ketika membaca karya-kaya terjemahan asing. Banyak
para tokoh yang menjelaskan teori weber ini dalam bahasa yang sangat sderhana sehingga mudah untuk
dipahami, Weber merupakan penulis yang paling buruk dibandingkan dengan tokoh sosiologi lain dalam
menjelaskan ide gagasannya, makanya banyak kalangan begitu kesulitan menangkap pemikiran Weber
sehingga lebih memilih buku yang sudah dianalisa oleh tokoh lain sesudah Weber. Namun dibalik itu
semua Weber mempunyai ide yang cemerlang, ia mempunyai pemikiran yang hebat yang bisa
ditemukan dalam buku ini. Kerumitan dalam memahami buku sosiologi Max Weber ini dapat diatasi
dengan kesungguhan mempelajarinya.Gagasan Max Weber seakan tak pernah surut menghadapi musim
silih berganti, ditengah-tengah bayak teoritis baru bermunculan justru ia dapat berjasa dalam
perkembangan sosiologi sepanjang zaman.
Daftar Pustaka

Buku Primer:

Weber, Max. The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Charles Scribner’s Sons, New York, 1958.

Buku Sekunder:

Adams, Bert N. and RA Sydie, Sociological Theory , Thousand Oaks, Pine Forge, 2001.

Andreski, Stanislav, Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi dan Agama. PT. Tiara Wacana Yogya, 1989.

Freund, Julien, The Sociology of Max Weber. Vintage Books, New York, 1969.

Giddens, Anthony and David Held , Classes, Power, and Conflict: Classical and Contemporary Debates ,
Berkeley, University of California Press, 1982.

Sumber : https://id.m.wikipedia.org/wiki/Etika_Protestan_dan_Semangat_Kapitalisme

Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme

Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (bahasa Inggris: The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism) adalah sebuah buku yang ditulis oleh Max Weber, seorang ekonom dan sosiolog Jerman
pada 1904 dan 1905 yang mulai sebagai sebuah seri esai. Edisi awal dalam bahasa Jerman dan berjudul:
Die protestantische Ethik und der 'Geist' des Kapitalismus. Terjemahan ke bahasa Inggris dibuat pada
1930 dan beberapa edisi telah diedarkan.

Weber menulis bahwa kapitalisme berevolusi ketika etika Protestan (terutama Calvinis dan Puritan)
memengaruhi sejumlah orang untuk bekerja dalam dunia sekuler, mengembangkan perusahaan mereka
sendiri dan turut serta dalam perdagangan dan pengumpulan kekayaan untuk investasi. Dengan kata
lain, etika Protestan adalah sebuah kekuatan belakang dalam sebuah aksi massal tak terencana dan tak
terkoordinasi yang menuju ke pengembangan kapitalisme. Pemikiran ini juga dikenal sebagai "Thesis
Weber".

Ada pendapat yang menyatakan bahwa buku ini tidak boleh dilihat sebagai studi yang terinci tentang
Protestanisme melainkan lebih sebagai pengantar ke dalam karya-karya Weber yang belakangan,
khususnya studinya tentang interaksi antara berbagai gagasan keagamaan dan ekonomi.

Dalam Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Weber mengajukan tesis bahwa etika dan gagasan-
gagasan Puritan telah memengaruhi perkembangan kapitalisme. Namun, devosi keagamaan biasanya
disertai dengan penolakan terhadap urusan-urusan duniawi, termasuk pengejaran akan harta kekayaan.
Mengapa hal ini tidak terjadi dengan Protestanisme? Weber membahas apa yang kelihatan sebagai
paradoks ini dalam bukunya.

Ia mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai gagasan dan kebiasaan yang menunjang pengejaran
keuntungan ekonomi secara rasional. Weber menunjukkan bahwa semangat seperti itu tidaklah
terbatas pada budaya Barat bila hal itu dipandang sebagai sikap individual, namun bahwa upaya
individual yang heroik — demikian ia menyebutnya — tidak dapat dengan sendirinya membentuk suatu
tatanan ekonomi yang baru (kapitalisme). Kecenderungan-kecenderungan yang paling umum adalah
keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang minimal dan gagasan bahwa kerja adalah suatu
kutukan dan beban yang harus dihindari khususnya ketika hasilnya melebihi dari kebutuhan untuk
kehidupan yang sederhana. Seperti yang ditulisnya dalam esainya:

Agar suatu gaya hidup yang teradaptasi dengan sifat-sifat khusus dari kapitalisme… dapat mendominasi
gaya hidup yang lainnya, ia harus muncul dari suatu tempat tertentu, dan bukan dalam pribadi-pribadi
yang terpisah saja, melainkan sebagai suatu gaya hidup yang umum dari keseluruhan kelompok
manusianya.

Setelah mendefinisikan 'semangat kapitalisme', Weber berpendapat bahwa ada banyak alasan untuk
menemukan asal-usulnya di dalam gagasan-gagasan keagamaan dari Reformasi. Banyak pengamat
seperti William Petty, Montesquieu, Henry Thomas Buckle, John Keats, dan lain-lainnya telah
mengomentari kedekatan antara Protestanisme dengan perkembangan komersialisme.

Weber memperlihatkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung pengejaran keuntungan


ekonomi yang rasional dan bahwa kegiatan-kegiatan duniawi telah memperoleh makna spiritual dan
moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari gagasan-gagasan keagamaan tersebut, melainkan lebih
sebagai produk sampingan — logika yang inheren dari doktrin-doktrin tersebut dan advis yang
didasarkan pada mereka baik yang baik secara langsung maupun tak langsung mendorong perencanaan
dan penyangkalan diri demi pengejaran keuntungan ekonomi.

Weber menelusiri asal usul etika Protestan pada Reformasi. Dalam pandangannya, di bawah Gereja
Katolik Roma seorang idnvidu dapat dijamin keselamatannya melalui kepercayaan akan sakramen-
sakramen gereja dan otoritas hierarkhinya. namun, Reformasi secara efektif telah menyingkirkan
jaminan-jaminan tersebut bagi orang biasa, meskipun Weber mengakui bahwa seorang "genius
keagamaan" seperti Martin Luther mungkin dapat memiliki jaminan-jaminan tersebut.

Dalam keadaan tanpa jaminan seperti itu dari otoritas keagamaan, Weber berpendapat bahwa kaum
Protestan mulai mencari "tanda-tanda" lain yang menunjukkan bahwa mereka selamat. Sukses dunia
menjadi sebuah ukuran keselamatan. Mendahului Adam Smith (tapi dengan menggunakan argumen
yang sangat berbeda), Luther memberikan dukungan awal terhadap pembagian kerja yang mulai
berkembang di Eropa. Karenanya, menurut penafsiran Weber atas Luther, suatu "panggilan" dari Tuhan
tidak lagi terbatas kepada kaum rohaniwan atau gereja, melainkan berlaku bagi pekerjaan atau usaha
apapun.

Namun, Weber melihat pemenuhan etika Protestan bukan dalam Lutheranisme, yang ditolaknya lebih
sebagai sebuah agama hamba, melainkan dalam bentuk Kekristenan yang Calvinis.

Dalam pengertian yang sederhana "paradoks" yang ditemukan Weber adalah:

Menurut agama-agama Protestan yang baru, seorang individu secara keagamaan didorong untuk
mengikuti suatu panggilan sekuler dengan semangat sebesar mungkin. Seseorang yang hidup menurut
pandangan dunia ini lebih besar kemungkinannya untuk mengakumulasikan uang.
Namun, menurut agama-agama baru ini (khususnya, Calvinisme), menggunakan uang ini untuk
kemeweahan pribadi atau untuk membeli ikon-ikon keagamaan dianggap dosa. Selain itu, amal
umumnya dipandanga negatif karena orang yang tidak berhasil dalam ukuran dunia dipandang sebagai
gabungan dari kemalasan atau tanda bahwa Tuhan tidak memberkatinya.

Cara memecahkan paradoks ini, demikian Weber, adalah menginvetasikan uang ini, yang memberikan
dukungan besar bagi lahirnya kapitalisme.

Pada saat ia menulis esai ini, Weber percaya bahwa dukungan dari etika Protestan pada umumnya telah
lenyap dari masyarakat. Khususnya, ia mengutip tulisan Benjamin Franklin, yang menekankan
kesederhanaan, kerja keras dan penghematan, namun pada umumnya tidak mengandung isi rohani.

Weber juga mengatakan bahwa sukses dari produksi massal sebagian disebabkan oleh etika Protestan.
Hanya setelah barang-barang mewah yang mahal ditolak, maka individu-individu dapat menerima
produk-produk yang seragam, seperti pakaian dan mebel, yang ditawarkan oleh industrialisasi.

Perlu dicatat bahwa Weber menegaskan bahwa sementara gagasan-gagasan agama Puritan mempunyai
pengaruh yang besar terhadap perkembangan tatanan ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, mereka
bukanlah faktor satu-satunya (yang lainnya termasuk rasionalisme dalam upaya-upaya ilmiah,
penggabungan antara observasi dengan matematika, aturan-aturan ilmiah dan yurisprudensi,
sistematisasi rasional terhadap administrasi pemerintahan, dan usaha ekonomi. Pada akhirnya, studi
tentang etika Protestan, menurut Weber, semata-mata hanyalah menyelidiki suatu tahap dari
emansipasi dari magi, pembebasan dari ilusi dunia, yang dianggapnya sebagai ciri khas yang
membedakan dari budaya Barat.

Weber menyatakan dalam catatan kaki terakhirnya bahwa ia meninggalkan penelitian terhadap
Protestanisme karena rekannya Ernst Troeltsch, a seorang teolog profesional, telah mulai menulis buku
Ajaran Sosial Gereja-gereja Kristen dan Sekte. Alasan lain untuk keputusan Weber ini ialah bahwa
esainya telah memberikan perspektif untuk perbandingan yang luas antara agama dan masyarakat, yang
dilanjutkannya dalam karya-karyanya berikutnya (studi tentang agama di Tiongkok, India, dan agama
Yudaisme.)

Buku ini juga merupakan upaya pertama Weber dalam menggunakan konsep rasionalisasi. Gagasannya
bahwa kapitalisme modern berkembang dari pengejaran kekayaan yang bersifat keagamaan berarti
suatu perubahan terhadap cara keberadaan yang rasional, kekayaan. Pada suatu titik tertentu, rasional
ini berhenti, mengalahkan, dan meninggalkan gerakan keagamaan yang mendasarinya, sehingga yang
tertinggal hanyalah kapitalisme rasional. Jadi intinya, "Semangat Kapitalisme" Weber pada dasarnya
adalah Semangat Rasionalisme, dalam pengertian yang lebih luas.

Esai ini juga dapat ditafsirkan sebagai salah satu kritik Weber terhadap Karl Marx dan teori-teorinya.
Sementara Marx berpendapat, pada umumnya, bahwa semua lembaga manusia - termasuk agama -
didasarkan pada dasar-dasar ekonomi, Etika Protestan memalingkan kepalanya dari teori ini dengan
menyiratkan bahwa gerakan keagamaan memperkuat kapitalisme, dan bukan sebaliknya.

Sumber ; https://www.academia.edu/11625610/Etika_Protestan_dan_Spirit_Kapitalisme

Sejarah Muncul dan berkembangnya Konsep Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme.

Weber yang terkenal dengan karyanya yang berjudul The protestant ethic and The spirit of kapitalsm diterbitkan pada
tahun 1904, mengawali karirnya sebagai sejarawan ekonomi dan ahli sosiologi. Dalam buku ini, yang merupakan langkah
pertama baginya untuk memasuki bidang kajian sosiologi a`gama, Weber membahas masalah hubungan antara berbagai
kepercayaan keagamaan dan etika praltis, khususnya etika dalam kegiatan ekonomi dikalangan masyarakat barat sejak abad ke-
16 hingga sekarang. Persoalan ini, dalam konteks agama-agama dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda, tetap menjadi
perhatian utamanya, dan kajiannya terhadap agama yahudi, dan terhadap berbagai agama di India dan Cina, serta agam Yunani/
Romawi dan Kristen Sektarian, seluruhnya terkait dengan masalah tersebut. Namun demikian, meskipun masalah etika ekonomi
ini merupakan pusat perhatiannya, lingkup kajiannya luas sekali menjangkau seluruh hubungan yang mungkin terjadi antara
berbagai corak masyarakat beragama. Untuk mengikuti alur pemikirannya, cara yang paling sederhana untuk memulainya adalah
menganalisis argument yang dikemukakannya dalam bukunya mengenai etika protestan tersebut, dan kemudian memperhatikan
bagaimana hal ini bisa mengantarkannya kepada kajian komparatif terhadap agama-agama dan berbagai struktur social yang lain.

Tugas pertama yang dilakukannya adalah menampilkan bukti mengenai hubungan antara berbagai bentuk tertentu
agama protestan dan perkembangan yang sangat cepat menuju kapitalisme. Dia mengemukakan contoh terkenal di negeri
Belanda pada abad ke-16 dan 17, mengenai pemilikan bersama dalam kegiatan usahakapitalis dikalangan keluarga Huguenots
dan orang-orang katolik di Perancis pada abad ke-16 dan 17di kalangan kelompok puritan di Inggris, dan lebih dari itu
dikalangan para penganut cabang puritanisme inggris yang menetap di Amerika dan mendirikan wilayah New England (Inggris
Baru). Dia tertarik dengan contoh-contoh karena contoh tersebut mewakili berbagai kejadian dimana berbagai sikap baru dalam
kegiatan ekonomik secara dramatik menghancurkan tradisionalisme ekonomik yang lamacepat dalam metode terhadap kegiatan
ekonomi seperti itu, tidak akan mungkin terjadi tanpa drongan moral dan agama.namun dia juga mengajukan bukti mengenai
tetap adanya perbedaan dalam cara yang di tempuh oleh berbagai kelompok keagamaan untuk ikut ambil bagian dalam
kapitalisme yang mapan pada asanya sendiri. Di Jerman, prancis dan Hongaria, yang menyatakan dengan tegas,bahwa distribusi
pekerjaan dan persiapan pendididkan bagi mereka menunjukkan bahwa penganut krieten protestan Calvinis lebih besar
kenungkinannya untuk memainkan peranan dalam dunia usaha dan melaksanakan pekerjaan diberbagai oraganisasi modern
berskala besar, dibandingkan dengan para penganut katolik.

Hubungan antara Etika Protestan dengan Spirit Kapitalisme

Hubungan anatara agama protestan Calvinis dan kapitalisme ini, Weber lebih lanjut berusaha membahas
dan mengidentifikasikan berbagai ciri yang menbedakan antara kapitalisme modern dan berbagai corak organisasi
ekonomik lainnya, serta berbagai ciri yang membedakan antara Calvinisme dan beberapa versi lain agama Kristen.

Calvinisme maupun perkembangan kapitalisme adalah penekanan pada individualism, atau pada
keputusan-keputusan manusia sesuai dengan kesadaran dan kepentingannya sendiri, tanpa memandang dari
kelompok manapun, dan individualismenya ini dinilai sebagai produk baik dalam konteks keagamaan maupun
ekonomi.

Seperti kebanyakan pakar abad ke-19, tujuan utama Weber adalahuntuk memahami modernitas, prubahan
kehidupan social baru dan radikal yang terjadi di Eropa barat dan Amerika serikat dan berkembang kekawasan dunia
yang lain. Prinsip Kapitalis yang mengatur system modern adalah kapitalisme adalah semangat memproduksi barang
yang rasional fisien, dan mengejar keuntungan yang berdasarkan kepemilikan pribadi dan individual. Menurut
Weber sendiri bahwa :

Kapitalisme itu indentik dengan mengejar keuntungan dengan cara berusaha secara terus menerus, rasional denga
peursahaan kapitalis dan organisasi kapitalis rasional tenaga kerja bebas.(Weber, 1958:17;21).

Etika ekonomi yang diajarkan oleh Katolisisme abad pertengahan menciptakan banyak hambatan bagi
perkembangan kapitalis dan bagi ideologi kapitalis. Kebencian terhadap kemakmuran material merupakan
kelanjutan ajaran para padri Katolik yang melawan Mamoisme. Santo Agustinus menganggap bahwa berdagang itu
buruk karena menjauhkan manusia dari usaha mencari Tuhan. Sepanjang abad pertengahan, perdagangan dan
perbankan dianggap sebagai kejahatan yang diperlukan. Meminjam uang dengan memungut bunga dianggap tidak
layak dilakukan oleh seorang Kristen. Sehingga pada saat dimana kegiatan itu diserahkan kepada orang-orang non
Kristen. Membungakan uang merupakan pelanggaran hukum karena ada Undang-Undang antiriba dari penguasa
gereja maupun penguasa seluler, spekulasi dan praktek riba melanggar doktrin pokok ekonomi abad pertengahan,
yaitu harga yang adil.

Berkembangnya perdagangan pada akhir abad pertengahan menimbulkan konstroversi dan mendorong ke
arah berbagai usaha penyesuaian antara doktri-doktrin teologis dengan realitas ekonomis. Di Venesia, Florence,
Augburg, semua kota Katolik, kaum kapitalis melanggar semangat dan memanipulasi surat larangan terhadap
pembungaan uang. Menjelang revormasi Protestan, kaum kapitalis yang masih dibayang-bayangi dosa orang tamak
oleh karena kedudukannya, telah menjadi tidak teladan bagi pemerintah sekuler dan sejumlah besar orang yang
tergantung kepada mereka untuk memperoleh pekerjaan.

sumber : http://sosiologiuntukindonesia.blogspot.com/2015/11/etika-protestan-dan-spirit-kapitalisme.html?m=1

Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme (Max Weber)

Dalam Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Weber mengajukan tesis bahwa etika dan gagasan-gagasan
Puritan telah mempengaruhi perkembangan kapitalisme. Namun demikian, defusi keagamaan biasanya disertai
dengan penolakan terhadap urusan-urusan duniawi, termasuk pengejaran akan harta kekayaan. Weber
mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai gagasan dan kebiasaan yang menunjang pengejaran keuntungan
ekonomi secara rasional. Weber menunjukkan bahwa semangat seperti itu tidaklah terbatas pada budaya Barat
bila hal itu dipandang sebagai sikap individual, namun bahwa upaya individual yang heroik demikian ia
menyebutnya tidak dapat dengan sendirinya membentuk suatu tatanan ekonomi yang baru (kapitalisme).
Kecenderungan-kecenderungan yang paling umum adalah keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang
minimal dan gagasan bahwa kerja adalah suatu kutukan dan beban yang harus dihindari khususnya ketika hasilnya
melebihi dari kebutuhan untuk kehidupan yang sederhana. Manusia didominasi oleh keinginan untuk
mendapatkan uang melalui akuisisi sebagai tujuan utama hidupnya. Akuisisi ekonomis tidak lagi menjadi
subordinat sebagai cara-cara manusia dalam memuaskan kebutuhan materialnya. Menurut Weber inilah esensi
dari spirit kapitalisme modern (Giddens dalam Weber, 2006: XXXV). Menurut Weber akan sangat keliru jika kita
beranggapan bahwa kegiatan mengumpulkan kekayaan untuk kepentingan atas kesenangan duniawi adalah
sebuah pengenduran nilai-nilai moralitas. Pandangan bagus ini pada dasarnya adalah moral itu sendiri; yang
menuntut adanya disiplin dari diri sendiri. Para pengusaha yang diasosiasikan dengan pengembangan kapitalisme
rasional ini justru bisa memadukan rangsangan akumulasi kekayaan dengan gaya hidup hemat secara positif.
Calvinisme menurut Weber menyuplai energi dan dorongan moral bagi para wirausahawan kapitalis. Weber
mengungkapkan doktrin-doktrin calvinisme memiliki konsistensi besi dalam disiplin habis-habisan yang dituntut
dari para pengikutnya. Doktrin calvinisme berbunyi; hanya beberapa orang yang terpilih yang bisa diselamatkan
dari kutukan, dan pilihan itu sudah ditetapkan jauh sebelumnya oleh Tuhan. Weber melihat pemenuhan etika
Protestan bukan dalam Lutheranisme, yang ditolaknya lebih sebagai sebuah agama hamba, melainkan dalam
bentuk Kekristenan yang Calvinis. Dalam pengertian yang sederhana "paradoks" yang ditemukan Weber adalah:
Menurut agama-agama Protestan yang baru, seorang individu secara keagamaan didorong untuk mengikuti suatu
panggilan sekular dengan semangat sebesar mungkin. Seseorang yang hidup menurut pandangan dunia ini lebih
besar kemungkinannya untuk mengakumulasikan uang. Namun, menurut agama-agama baru ini (khususnya,
Calvinisme), menggunakan uang ini untuk kemewahan pribadi atau untuk membeli ikon-ikon keagamaan dianggap
dosa. Selain itu, amal umumnya dipandang negatif karena orang yang tidak berhasil dalam ukuran dunia dipandang
sebagai gabungan dari kemalasan atau tanda bahwa Tuhan tidak memberkatinya. Cara memecahkan paradoks ini,
demikian Weber, adalah menginvestasikan uang ini, yang memberikan dukungan besar bagi lahirnya kapitalisme.
Pada saat ia menulis esai ini, Weber percaya bahwa dukungan dari etika Protestan pada umumnya telah lenyap
dari masyarakat. Khususnya, ia mengutip tulisan Benjamin Franklin, yang menekankan kesederhanaan, kerja keras
dan penghematan, namun pada umumnya tidak mengandung isi rohani (dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki)

sumber : https://yuangga4.blogspot.com/2017/01/etika-protestan-dan-semangat.html?m=1

Hubungan Etika Protestan dan Semangat kapitalisme

Weber mengamati bahwa agama Kristen memberikan nilai positif terhadap dunia material yang bersifat
kodrati. Ia berpendapat bahwa meskipun orang Kristen memiliki tujuan tertinggi di dunia lain, tapi mereka
menemukan sikap terhadap dunia material teramat kuat, khususnya di kalangan Kristen Protetesan (Sudrajat,
1994:41). Hal tersebut sangat berhubungan erat dengan salah satu konsep Beruf (Jerman), yang lebih dikenal
dengan sebutan calling (panggilan). Weber menyebutkan, konsepsi tentang ‘panggilan’ merupakan konsep agama
yang muncul sejak abad pertengahan. Istilah tersebut hanya ditemukan di lingkungan Protestan dan dikembangkan
oleh Luthur (Weber, 2006:61-62). Weber menjelaskan arti penting dari konsep ‘panggilan’ dalam agama Protestan
adalah untuk membuat urusan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama.
Dalam hal ini, panggilan yang dimaksudkan adalaha suatu usaha yang dilakukan untuk melaksanakan kewajiban
terhadap Tuhan dengan berprilaku secara moral dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, suatu tugas hidup di
mana seseorang harus bekerja.

Namun, menurut Weber, konsep panggilan yang dikembangkan oleh Luther masih bersifat tradisional.
Konsep tersebut masih menekankan unsur nasib yang menuntut sesorang untuk berada pada tempatnya sesuai
dengan apa yang telah ditetapkan Tuhan. Ajaran Luther mengenai panggilan selanjutnya diteruskan oleh Calvin,
meskipun tidak sama persis. Konsep yang ditawarkan oleh Calvin, menurut Weber, lebih menonjol di dalam sejarah
perkembangan kapitalisme. Walaupun demikian, patut kita ingat bahwa tanpa peran dari keagamaan Luther,
rofermasi tidak akan pernah terjadi (Weber, 2006:72). Bagi Calvin, umat Protestan dianjurkan untuk bekerja dan
menjadi kaya. Mereka bekerja untuk menjadi kaya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, tapi juga
sebagai tugas suci. Menurut ajarannya, jika umat Protestan ingin menjadi hamba yang dirahmati Tuhan, maka ia
harus kaya. Semua itu dilakukan agar memperoleh kepercayaan diri, aktifitas duniawi yang hebat diusulkan sebagai
sarana yang paling sesuai (Weber, 2006:103). Disamping itu, mereka harus berhemat dan tidak boleh bersantai.
Oleh karena itu, pengeluaran modal harus sedikit dan mendapatkan keuntungan yang banyak.

Dalam kapitalisme, jika seseorang mendapatkan uang, maka uang tersebut tidak akan berhenti karena uang
itu akan beralih menjadi modal lagi dan akan berputar lagi bila diinvestasikan. Hal ini sesuai dengan etika protestan
yang mengajarkan bahwa bertambahnya kekayaan wajib digunakan untuk menghasilkan kekayaan lebih banyak
lagi. Etika-etika ini diperlukan oleh kapitalisme agar bekerja secara efektif. Sistem kapitalis begitu membutuhkan
kepatuhan terhadap suatu panggilan untuk mencari uang. Berikut ini adalah etika-etika protestan yang mendukung
lahirnya sistem kapitalisme:

1. Bekerja merupakan panggilan dari Tuhan, bukan hannya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup .

2. Hidup hemat, rajin bekerja, disipilin sebagai bentuk pemujaan terjadap Tuhan.

3. Hidup santai dan bersenang-senang adalah dosa.

4. Calvinis meyakini bahwa mereka tidak akan diberi ganjaran oleh tuhan kecuali mereka sukses dalam
kehidupan. Hal ini menuntut manusia harus bekerjadan bekerja.

5. Bekerja tekun bukan alat untuk keselamatan tetapi merupakan tanda lahiriah bahwa ia telah dirahmati oleh
Tuhan.

Kesimpulan

Etika Protestan merupakan sebuah konsep dan teori dalam teologi, sosiologi, ekonomi, dan sejarah yang di
teliti Max Weber dalam karyanya yang berjudul The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism dengan
membahas masalah-masalah manusia yang dibentuk oleh nilai-nilai budaya disekitarnya, khususnya nilai agama.
Kepercayaan-kepercayaan dalam agama Protestan telah merangsang kegiatan ekonomi. Weber menjelaskan
bagaimana Calvinisme berbeda dengan kebanyakan agama. Ajarannya mendorong untuk memusatkan diri pada
pekerjaan duniawi, dan pada saat yang sama juga mewujudkan kehidupan sederhana, rajin beribadah, dan hidup
hemat. Ajaran inilah yang menurut Weber memicu timbulnya kapitalisme karena hasil produksi tidak dikosumsi
secara berlebihan melainkan harus di investasikan kembali secara efisien untuk keuntungan lebih besar.

Anda mungkin juga menyukai