Anda di halaman 1dari 4

EFISIENSI VS EKUITAS

Efficiency (Efisiensi) adalah perbandingan antara input dan output, di mana input
digunakan setepat dan sebaik mungkin untuk memperoleh output yang terbaik.
Suatu organisasi dapat dikatakan efisien apabila:
1. Menghasilkan otput yang lebih besar dengan menggunakan input tertentu
2. Menghasilkan produksi yang lebih besar dari penggunaan sumber daya
3. Mencapai hasil dengan biaya serendah mungkin
Menurut Pareto, efisiensi terjadi ketika kondisi kesejahteraan tidak dapat ditingkatkan lagi
tanpa mengorbankan tingkat kesejahteraan pihak lain. Misalnya, dalam suatu kelompok ada A, B,
dan C. Masing-masing memiliki tingkat kesejahteraan 20, 50, dan 100. Peningkatkan
kesejahteraan A tanpa mengorbankan kesejahteraan B atau C adalah kondisi yang disebut dengan
Pareto Improvement yaitu terjadinya perbaikan efisiensi. Namun, apabila peningkatkan
kesejahteraan A mengakibatkan penurunan kesejahteraan pihak B atau C maka kondisi ini
menunjukkan Pareto efficient.
Equity (keadilan) adalah kondisi di mana semua masyarakat mempunyai kesempatan yang
sama untuk memperoleh pelayanan tanpa diskriminasi.
Pada kenyataannya, efisiensi dan keadilan sering sekali tidak dapat sejalan. Untuk mencapai
efisiensi maka harus mengorbankan keadilan, begitu pula sebaliknya. Contoh kasus yang paling
mudah adalah bayangkan anda memiliki uang senilai 1 juta rupiah. Anda memiliki dua pilihan,
menyumbangkan uang itu kepada orang miskin atau menjadikan uang itu sebagai modal untuk
usaha sendiri. Dilihat dari sisi keadilan, uang itu seharusnya disumbangkan kepada orang miskin
karena mereka sangat membutuhkannya. Namun, dilihat dari sisi efisiensi, uang itu seharusnya
dijadikan modal untuk usaha karena hasilnya akan menguntungkan.
Kurva di bawah ini menunjukkan hubungan antara efficiency dan equity yang berbanding terbalik.
Mankiw menjelaskan tradeoff antara efisiensi (efficiency) dan keadilan (equity). Efisiensi
adalah kondisi di mana hasil-hasil perekonomian menjadi sebesar mungkin. Sedangkan keadilan
adalah suatu kondisi di mana hasil-hasil perekonomian terdistribusi secara merata. Jadi efisiensi
adalah tentang ukuran “economic pie”, sedangkan keadilan adalah tentang pembagian “economic
pie” tersebut.
Menurut Mankiw, salah satu usaha pemerintah untuk pemerataan dalam keadilan adalah
pengenaan pajak lebih besar bagi masyarakat yang memiliki penghasilan lebih besar, untuk
dibagikan kepada masyarakat yang kurang mampu lewat subsidi maupun bantuan lain. Pada saat
bersamaan, hal ini membebankan pula biaya efisiensi. Insentif terhadap orang-orang yang bekerja
menjadi turun, sehingga orang-orang menurunkan produktivitasnya yang berakibat pada
penurunan perekonomian secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha pemerintah
untuk adil, pada saat bersamaan akan mengecilkan “economic pie” tersebut.
Okun (1975) menggambarkan trade-off ini dalam tulisannya “Equality or Efficiency: The
Big Trade-Off”. Okun menggambarkan bahwa keadilan dapat dicapai tetapi konsekuensinya
adalah menurunnya efisiensi. “First fundamental theorem of welfare economics” menyatakan
bahwa ekuilibrium yang kompetitif dapat mencapai pareto optimum dalam pasar yang sempurna.
Dalam kenyataannya, terjadi kegagalan pasar (market failure), sehingga lahirlah “Second
fundamental theorem of welfare economics” yang menyatakan bahwa dalam konteks terjadi
kegagalan pasar, ekuilibrium yang kompetitif dan memiliki properti pareto yang optimal dapat
dicapai melalui lumpsum transfer. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar intervensi pemerintah
untuk mengatasi trade-off antara efisiensi dan keadilan melalui kebijakan redistribusi dalam
bentuk pajak, subsidi, dan pengeluaran publik pemerintah.
Fenomena yang menarik dari kebijakan redistribusi adalah kebijakan yang diterapkan di
negara-negara kesejahteraan (welfare state) seperti negara-negara Skandinavia. Negara-negara
tersebut bukan hanya mengalami overshooting dalam subsidi dan pengeluaran publik tetapi juga
memiliki disposable income dan gross income yang lebih merata dibandingkan dengan negara-
negara lainnya. Dengan kata lain negara-negara tersebut mampu mengatasi trade-off antara
efisiensi dan keadilan melalui lump sum transfer, berbeda dengan kondisi di sejumlah negara
lainnya yang gagal mengatasi hal tersebut melalui kebijakan lump sum transfer.
Kurva Lump Sum
Karena pajak lump sum adalah sejenis biaya tetap, maka pajak tersebut tidak
mempengaruhi kurva MC. Dengan kurva MR dan MC yang tidak berubah , tingkat output terbaik
adalah tetap pada Q1, dan perusahaan tetap mengenakan harga pada P1. Setelah pengenaan pajak
lump sum ini kurva AC bersinggungan dengan kurva permintaan maka posisi sekarang adalah
dalam keadaan pulang pokok (break even point), atau dapat juga dikatakan mendapatkan laba
normal. Sebelum pengenaan pajak, keuntungan perusahaan adalah sebesar PBAP1 yang
merupakan pengurangan penerimaan OQ1AP1 dengan biaya sebesar OQ1BP.
Menurut Samuelson (1947) dan Arrow (1951) dalam “two equivalence
theorems” tentang pareto optimum dan “competitive equilibria”, ekuilibrium yang kompetitif di
mana harga sama dengan biaya marginal akan menghasilkan alokasi yang pareto optimal, tetapi
alokasi sumber daya yang terjadi tidak memaksimumkan social welfare (inequity resources
allocation). Dengan kata lain ada trade-off antara efisiensi dan alokasi sumber daya yang adil
diantara individu dalam masyarakat (efficiency-equity trade off). Untuk mengatasinya dibutuhkan
lump sum transfer (lump sum taxes dan lump sum subsidies) sehingga memungkinkan mencapai
ekuilibrium kompetitif yang memiliki properti efisien dengan alokasi sumber daya yang adil.
Melalui lump sum transfer, trade off antara efisiensi dan keadilan tidak terjadi sehingga kebijakan
redistribusi dapat dilakukan tanpa menciptakan diskriminasi harga dan terjadinya inefisiensi.
Dengan demikian, kebijakan redistribusi dapat berjalan dalam suatu sistem yang memenuhi
kondisi untuk efisiensi sosial atau optimum pareto.
Namun, keberhasilan lump sum transfer dipengaruhi oleh apakah kondisi dan waktu yang
mendasarinya bersifat eksogen atau tidak. Manfaat yang diperoleh akan benar-benar merupakan
lump sum jika probabilitas terjadinya berbagai kondisi tersebut bersifat eksogen. Dalam
kenyataannya, kadang-kadang kondisi tersebut dipengaruhi oleh aksi individu sendiri. Sebagai
contoh, probabilitas terjadinya pengangguran sebagiannya dipengaruhi oleh pilihan pekerja atas
pendidikan dan training, etos kerja, dan usaha untuk mendapatkan pekerjaan baru jika dia
menganggur. Demikian pula dengan asuransi kesehatan, menyebabkan orang menjadi kurang
berhati-hati terhadap masalah kesehatan. Dengan demikian ada masalah moral hazard, yang
menyebabkan terjadinya inefisiensi terhadap penerima akhir dari sistem redistribusi. Akibatnya,
sistem redistribusi yang diterapkan tetap mengalami trade-off antara efisiensi dan keadilan.
Kesimpulan:
Trade off antara efisiensi dan keadilan dapat diatasi oleh pemerintah apabila mampu
melaksanakan penerapan pajak lump sum dengan baik. Melalui pajak lump sum, setiap
orang maupun perusahaan akan tetap bekerja seefisien mungkin untuk memperoleh penghasilan
karena jumlah pajak yang dikenakan akan tetap sama. Pajak lump sum tersebut kemudian
didistribusikan kepada masyarakat yang kurang mampu untuk penerapan keadilan dan pemerataan.

Anda mungkin juga menyukai