Anda di halaman 1dari 2

Sebuah kampung adat bernama Ciptagelar di Sukabumi, Jawa Barat masih memegang erat tradisinya

hingga saat ini.

Masyarakat hukum adat ini tinggal di sebuah desa yang berada di kawasan pedalaman Gunung
Halimun-Salak yang merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Gunung
Salak yang bernama Kampung Gede Kasepuhan Cipta Gelar dan dikelilingi oleh gunung lainnya
seperti Gunung Surandil, Gunung Karancang, dan Gunung Kendeng.

Kampung Ciptagelar berada di wilayah Kampung Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok,
Kabupaten Sukabumi. Wilayahnya meliputi Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten
Sukabumi.

Berdiri sejak tahun 1368, kampung yang berada di ketinggian 1.050 meter di atas permukaan laut ini
memiliki suhu berkisar 20 - 26 derajat celcius, ini masih memegang kuat adat dan ajaran leluhur
seperti ciri khas lokasi, bentuk rumah, serta tradisi yang masih dijalankan oleh penduduknya.

Disebut kasepuhan karena desa ini memiliki model kepemimpinan yang berasal dari adat dan
kebiasaan orang tua atau sesepuh.

Kata kasepuhan sendiri berasal dari kata sepuh dengan awalan 'ka-' dan akhiran '-an' yang dalam
bahasa Sunda berarti 'kolot' atau 'tua'. Secara harafiah, kasepuhan dapat diartikan sebagai tempat
tinggal sesepuh atau mereka yang dituakan.

Kasepuhan Ciptagelar tersebar di tiga kabupaten yang berada di sekitar wilayah perbatasan Provinsi
Banten dan Jawa Barat.

Kasepuhan ini telah mengalami beberapa kali perpindahan desa pusat pemerintahan yang disebut
Kampung Gede karena masih menjalankan tradisi berpindah tempat berdasarkan perintah leluhur
(wangsit) yang diterima para leluhur (karuhun).

Wangsit tersebut akan diperoleh pemimpin desa Ciptagelar setelah melalui proses ritual dan
hasilnya harus dilakukan. Itu sebabnya rumah warga di Ciptagelar merupakan bangunan tidak
permanen. Rumah di masyarakat terbuat dari kayu dilapisi bilik bambu dan beratapkan pelepah aren
yang dikeringkan.

Warga di kampung ini mayoritas bekerja sebagai petani, khususnya yang tinggal di kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun. Sebagian kecilnya berprofesi sebagai pedagang, peternak, buruh, dan
pegawai.

Dalam mengolah tanah, warga Kasepuhan Ciptagelar melakukan cara dan sistem pertanian secara
tradisional.

Menanam padi setahun sekali secara serentak dengan melihat tanda-tanda astronomi, tidak
menggunakan pupuk kimia, traktor, gilingan padi, hingga dilarang menjual beras atau padi. Hal ini
membuat Kasepuhan Ciptagelar mampu berswasembada pangan hingga beberapa tahun kedepan.

Meski masyarakat di kasepuhan ini memegang teguh dan menjaga adat istiadat para leluhur, mereka
tetap menikmati kemajuan teknologi. Teknologi dianggap sebagai tatanan di lingkungan masyarakat.

Masyarakat di Kasepuhan Ciptagelar percaya manusia bertugas untuk menjaga dan memelihara
keseimbangan alam, karena keteraturan dan keseimbangan alam semesta merupakan sesuatu yang
mutlak. Adanya malapetaka atau bencana adalah akibat keseimbangan dan keteraturan alam yang
terganggu.
Eksistensi desa adat Kesepuhan Ciptagelar, Sukabumi telah dikenal secara luas oleh masyarakat Jawa
Barat. Terutama karena tradisi bertani seperti ngaseuk, mipit, nutu, nganyaran, dan ponggokan yang
diakhiri serentaun. Serentaun menjadi puncak acara kegiatan ritual penanaman padi di setiap
tahunnya.

Lebih lanjut, pada rangkaian acara ini dihadirkan pula kesenian seperti seni Jipeng, Topeng, Angklung
Buhun, Wayang Golek, Ujungan, Debus, dan Pantun Buhun.

Anda mungkin juga menyukai