Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEGAWATDARURATAN PASIEN DENGAN


KEJANG DEMAM SEDERHANA (KDS)

Oleh:
I GUSTI AYU ARI DEWI
NIM. PO7120214037
D-IV KEPERAWATAN
ANGKATAN II, TINGKAT IV, SEMESTER VII

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2017
I. Konsep Dasar Teori Kejang Demam
A. Defenisi
Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38°C). Kondisi yang menyebabkan kejang demam
antara lain : infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti tonsilitis, otitis
media akut, bronkitis (Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009).
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering
dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38°C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran pernapasan bagian atas disusul
infeksi saluran pencernaan. Insiden terjadinya kejang demam terutama pada
golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir3% dari anak yang berumur
di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering
didapatkan pada laki-laki dari pada perempuaan. Hal tersebut disebabkan karena
pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki
(Judha & Rahil, 2011).
Pada saat mengalami kejang, anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat,
kemudian kaku, dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa
waktu, nafas akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya.
Setelah kejang, anak akan segera normal kembali. Serangan kejang pada penderita
kejang demam dapat terjadi satu, dua, tiga kali atau lebih selama satu episode
demam. Jadi, satu episode kejang demam dapat terdiri dari satu, dua, tiga atau
lebih serangan kejang.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kejang demam
adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering
dijumpai pada anak usia di bawah umur 5 tahun.Dari pengertian diatas maka
penulis menyimpulkan bahwa yang di maksud kejang demam adalah perubahan
potensial listrik cerebral yang berlebihan akibat kenaikan suhu dimana suhu rectal
diatas 38°C sehingga mengakibatkan renjatan kejang yang biasanya terjadi pada
anak dengan usia 3 bulan sampai 5 tahun.

B. Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Terdapat perbedaan kecil dalam
penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia
penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan lainnya
(Lumbantobing, 2004).

1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang


demam sederhana antara lain :
a. Berlangsung singkat (< 15 menit)
b. Menunjukkan tanda-tanda kejang tonik dan atau klonik.
c. Kejang hanya terjadi sekali / tidak berulang dalam 24 jam.
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang
demam kompleks antara lain :
a. Berlangsung lama (> 15 menit).
b. Menunjukkan tanda-tanda kejang fokal yaitu kejang yang hanya
melibatkan salah satu bagian tubuh.
c. Kejang berulang/multipel atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
d. Kejang tonik yaitu serangan berupa kejang/kaku seluruh tubuh. Kejang
klonik yaitu gerakan menyentak tiba-tiba pada sebagian anggota tubuh.

C. Etiologi
Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada sebagian
besar anak dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan suhu
tubuh. Biasanya suhu demam diatas 38,8oC dan terjadi disaat suhu tubuh naik dan
bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan suhu tubuh (Dona Wong L, 2008).
Bangkitan kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh kenaikan suhu badan
yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan syaraf pusat
misalnya tonsilitis, ostitis media akut, bronkitis(Judha & Rahil, 2011).Kondisi
yang dapat menyebabkan kejang demam antara lain infeksi yang mengenai
jaringan ekstrakranial sperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis (Riyadi, Sujono
& Sukarmin, 2009).
Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam pada anak.
Demam sering disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi seperti infeksi saluran
pernafasan akut, otitis media akut, gastroenteritis, bronkitis, infeksi saluran kemih,
dan lain-lain. Setiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda. Kejang tidak
selalu timbul pada suhu yang paling tinggi. Pada anak dengan ambang kejang
yang rendah, serangan kejang telah terjadi pada suhu 38°C bahkan kurang,
sedangkan padaanak dengan ambang kejang tinggi, serangan kejang baru terjadi
pada suhu 40°C bahkan lebih.
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain
adalah demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari
mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi,
perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit (Dewanto et al, 2009).
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (IDAI, 2009)
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 18 bulan
3. Temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin
sering berulang
4. Lamanya demam.
5. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah (IDAI, 2009)
6. Adanya gangguan perkembangan neurologis
7. kejang demam kompleks
8. riwayat epilepsi dalam keluarga
9. lamanya demam

D. Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi di pecah
menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan
dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion K+ dan sangat sulit
dilalui oleh ion Na+ dan elektrolit lainya kecuali ion Cl-. Akibatnya konsentrasi
ion kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah, sedang di luar
sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi
ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang
disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran di perlukan energi dan bantuan enzim NA-K ATP-ase yang terdapat
pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datang mendadak
misalnya mekanisme, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya.
Perubahanpatofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.Pada
keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10 sampai 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3
tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang
dewasa yang hanya 15%.Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi
difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh
sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan
terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama biasanya disertai apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hiposemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anerobik, hipotensi, artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur
dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot
dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat (Judha & Rahil, 2011).
Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsilitis, otitis
media akut, bronkitis penyebab terbanyak adalah bakteri yang bersifat toksik.
Toksik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat menyebar keseluruh tubuh
melalui hematogen maupun limfogen.
Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus dengan
menaikkan pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda tubuhmengalami
bahaya secara sistemik. Naiknya pengaturan suhu di hipotalamus akan
merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh yang lain seperti otot, kulit sehingga
terjadi peningkatan kontraksi otot.
Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit jaringan tubuh yang lain akan
disertai pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin.
Pengeluaran mediator kimia ini dapat merangsang peningkatan potensial aksi
pada neuron . Peningkatan potensial inilah yang merangsang perpindahan ion
natrium, ion kalium dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam sel. Peristiwa
inilah yang diduga dapat menaikkan fase depolarisasi neuron dengan cepat
sehingga timbul kejang.
Serangan cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami penurunan
kesadaran, otot ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami spasma
sehingga anak beresiko terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh
penutupan lidah dan spasma bronkus (Price, 2005).

E. Tanda Dan Gejala


Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), manifestasi klinik yang
muncul pada penderita kejang demam :
1. Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38°C.
2. Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau kinetik.
Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun
tetapi beberapa saat kemudian anak akan tersadar kembali tanpa ada kelainan
persarafan.
3. Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti panggilan, cahaya
(penurunan kesadaran)
Selain itu pedoman mendiagnosis kejang demam menurut Livingstone juga
dapat kita jadikan pedoman untuk menetukan manifestasi klinik kejang demam.
Ada 7 kriteria antara lain:
1. Umur anak saat kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.
2. Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot rahang
saja).
4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan setelah kejang tidak ada kelainan.
6. Pemeriksaan elektro Enchephalography dalam kurun waktu 1 minggu atau
lebih setelah suhu normal tidak dijumpai kelainan
7. Frekuensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.
Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung
singkat dengan sifat kejang dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal
atau kinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak
tidak memberi reaksi apapun sejenak tapi setelah beberapa detik atau menit
anak akan sadar tanpa ada kelainan saraf.(Judha & Rahil, 2011)

F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaannya meliputi:
1. Darah
a. Glukosa darah:hipoglikemia merupakan predisposisi kejang
(N<200mq/dl)
b. BUN:peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan
indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c. Elektrolit:Kalium, natrium.Ketidakseimbngan elektrolit merupakan
predisposisi kejang
d. Kalium (N 3,80-5,00 meq/dl)
e. Natrium (N 135-144 meq/dl)
2. Cairan cerebo spinal:mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda
infeksi,pendarahan penyebab kejang
3. X Ray:untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
4. Tansiluminasi: suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih
terbaik (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk
transiluminasi kepala
5. EEG: teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh
untuk mengetahui fokus aktivitas kejang,hasil biasanya normal.
6. CT Scan: untuk mengidentifikasi lesi cerebral infark hematoma,cerebral
oedema,trauma,abses,tumor dengan atau tanpa kontras.

G. Penatalaksanaan Medis
1. Pengobatan Saat Terjadi Kejang Demam
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri
setenang mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping,
bukan terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
b. Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok,
karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan napas.
c. Jangan memegangi anak untuk melawan kejang
d. Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan
penanganan khusus.
e. Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa ke
fasilitas kesehatan terdekat.
f. Setelah kejang berakhir, anak perlu dibawa menemui dokter untuk
meneliti sumber demam, terutama jika ada kekakuan leher, muntah-
muntah yang berat, atau anak terus tampak lemas.
Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), menyatakan
bahwapenatalaksanaan yang dilakukan saat pasien dirumah sakit antara lain:
a. Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena secara
perlahan dengan panduan dosis untuk berat badan yang kurang dari 10 kg
dosisnya 0,5-0,75 mg/kg BB, diatas 20 kg 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata
yang diberikan adalah 0,3 mg/kg BB/ kali pemberian dengan maksimal
dosis pemberian 5 mg pada anak kurang dari 5 tahun dan maksimal 10
mg pada anak yang berumur lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh
melebihi 50 mg persuntikan. Setelah pemberian pertama diberikan masih
timbul kejang 15 menit kemudian dapat diberikan injeksi diazepam
secara intravena dengan dosis yang sama. Apabila masih kejang maka
ditunggu 15 menit lagi kemudian diberikan injeksi diazepam ketiga
dengan dosis yang sama secara intramuskuler.
b. Pembebasan jalan napas dengan cara kepala dalam posisi hiperekstensi
miring, pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir. Bila tidak membaik
dapat dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi.
c. Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.
d. Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan
memudahkan dalam pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan
intravena pemantauan intake dan output cairan selama 24 jamperlu
dilakukan, karena pada penderita yang beresiko terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat memperberat penurunan
kesadaran pasien. Selain itu pada pasien dengan peningkatan intraklanial
juga pemberian cairan yang mengandung natrium perlu dihindari.
e. Pemberian kompres hangat untuk membantu suhu tubuh dengan metode
konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat tinggi (suhu tubuh) ke
benda yang mempunyai derajat yang lebih rendah (kain kompres).
Kompres diletakkan pada jaringan penghantar panas yang banyak seperti
kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan paha, serta area pembuluh darah
yang besar seperti di leher. Tindakan ini dapat dikombinasikan dengan
pemberian antipiretik seperti prometazon 4-6 mg/kg BB/hari (terbagi
dalam 3 kali pemberian).
f. Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan
obat-obatan untuk mengurang edema otak seperti dektametason 0,5-1
ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik.Posisi kepala hiperekstensi
tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh yang lain dengan craa menaikan
tempat tidur bagian kepala lebih tinggi kurang kebih 15° (posisi tubuh
pada garis lurus)
g. Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca
pemberian diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan
dosis awal 30 mg pada neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan-1tahun,
75 mg pada anak usia 1 tahun keatas dengan tehnik pemberian
intramuskuler. Setelah itu diberikan obat rumatan fenobarbital dengan
dosis pertama 8-10 mg/kg BB /hari (terbagi dalam 2 kali pemberian) hari
berikutnya 4-5 mg/kg BB/hari yang terbagi dalam 2 kali pemberian.
h. Pengobatan penyebab.
Karena yang menjadi penyebab timbulnya kejang adalah kenaikan suhu
tubuh akibat infeksi seperti di telinga, saluran pernapasan, tonsil maka
pemeriksaan seperti angka leukosit, foto rongent, pemeriksaan penunjang
lain untuk mengetahui jenis mikroorganisme yang menjadi penyebab
infeksi sangat perlu dilakukan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memilih
jenis antibiotik yang cocok diberikan pada pasien anak dengan kejang
demam.

2. Setelah Kejang Demam Berhenti


Bila kejang berhenti dan tidak berlanjut, pengobatan cukup dilanjutkan
dengan pengobatan intermitten yang diberikan pada anak demam untuk mencegah
terjadinya kejang demam. Obat yang diberikan berupa :
a. Antipiretik
Paracetamol atau asetaminofen 10-15 mg/kgBB diberikan 4 kali atau tiap
6 jam. Berikan dosis rendah dan pertimbangkan efek samping berupa
hiperhidrosis. Ibuprofen 10 mg/kgBB diberikan 3 kali (8 jam).
b. Antikonvulsan
Berikan diazepam oral dosis 0,3-0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat
demam untuk menurunkan resiko berulangnya kejang atau diazepam
rectal dosis 0,5 mg/kgBB sebanyak 3 kali per hari.

3. Pencegahan Kejang Demam


a. Pencegahan Primordial
Yaitu upaya pencegahan munculnya faktor predisposisi terhadap
kasus kejang demam pada seorang anak dimana belum tampak adanya
faktor yang menjadi risiko kejang demam. Upaya primordial dapat berupa:
1) Penyuluhan kepada ibu yang memiliki bayi atau anak tentang upaya
untuk meningkatkan status gizi anak, dengan cara memenuhi
kebutuhan nutrisinya. Jika status gizi anak baik maka akan
meningkatkan daya tahan tubuhnya sehingga dapat terhindar dari
berbagai penyakit infeksi yang memicu terjadinya demam.
2) Menjaga sanitasi dan kebersihan lingkungan. Jika lingkungan bersih
dan sehat akan sulit bagi agent penyakit untuk berkembang biak
sehingga anak dapat terhindar dari berbagai penyakit infeksi.
b. Pencegahan Primer
Pencegahan Primer yaitu upaya awal pencegahan sebelum seseorang
anak mengalami kejang demam. Pencegahan ini ditujukan kepada kelompok
yang mempunyai faktor risiko. Dengan adanya pencegahan ini diharapkan
keluarga/orang terdekat dengan anak dapat mencegah terjadinya serangan
kejang demam.
Upaya pencegahan ini dilakukan ketika anak mengalami demam.
Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam. Jika anak
mengalami demam segera kompres anak dengan air hangat dan berikan
antipiretik untuk menurunkan demamnya meskipun tidak ditemukan bukti
bahwa pemberian antipiretik dapat mengurangi risiko terjadinya kejang
demam.
c. Pencegahan Sekunder
Yaitu upaya pencegahan yang dilakukan ketika anak sudah mengalami
kejang demam. Adapun tata laksana dalam penanganan kejang demam pada
anak meliputi:
1) Pengobatan Fase Akut
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah
menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak
dimiringkan untuk mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang
berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau berulang.
Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, bila
perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan
elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan
kompres air hangat dan pemberian antipiretik. Pemberantasan kejang
dilakukan dengan cara memberikan obat antikejang kepada penderita.
Obat yang diberikan adalah diazepam. Dapat diberikan melalui intravena
maupun rektal.

2) Mencari dan mengobati penyebab


Pada anak, demam sering disebabkan oleh infeksi saluran
pernafasan akut, otitis media, bronkitis, infeksi saluran kemih, dan lain-
lain. Untuk mengobati penyakit infeksi tersebut diberikan antibiotik yang
adekuat. Kejang dengan suhubadan yang tinggi juga dapat terjadi karena
faktor lain, seperti meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu
pemeriksaan cairan serebrospinal (lumbal pungsi) diindikasikan pada
anak penderita kejang demam berusia kurang dari 2 tahun. Pemeriksaan
laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari penyebab,
seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit.
Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak
yang mempunyai risiko untuk mengalami epilepsi.
3) Pengobatan profilaksis terhadap kejang demam berulang
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan karena
menakutkan keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan
kerusakan otak yang menetap. Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu:
a) Profilaksis intermitten pada waktu demam
Pengobatan profilaksis intermittent dengan antikonvulsan segera
diberikan pada saat penderita demam (suhu rektal lebih dari 38ºC).
Pilihan obat harus dapat cepat masuk dan bekerja ke otak. Obat yang
dapat diberikan berupa diazepam, klonazepam atau kloralhidrat
supositoria.
b) Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus adalah:
(1)Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau
gangguan perkembangan neurologis.
(2)Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik
pada orang tua atau saudara kandung.
(3)Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti
kelainan neurologis sementara atau menetap. Kejang demam
terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi
kejang multipel dalam satu episode demam. Antikonvulsan
profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah
kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-
2 bulan. Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna
untuk mencegah berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak
dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian hari. Obat yang
dapat diberikan berupa fenobarbital dan asam valproat.
d. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah terjadinya
kecacatan, kematian, serta usaha rehabilitasi. Penderita kejang demam
mempunyai risiko untuk mengalami kematian meskipun kemungkinannya
sangat kecil. Selain itu, jika penderita kejang demam kompleks tidak segera
mendapat penanganan yang tepat dan cepat akan berakibat pada kerusakan
sel saraf (neuron). Oleh karena itu, anak yang menderita kejang demam
perlu mendapat penanganan yang adekuat dari petugas kesehatan guna
mencegah timbulnya kecacatan bahkan kematian.

H. Komplikasi
Gangguan-gangguan yang dapat terjadi akibat dari kejang demam anak
antara lain:
1. Kejang Demam Berulang.
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari
satu episode demam. Beberapa hal yang merupakan faktor risiko berulangnya
kejang demam yaitu :
a. Usia anak < 15 bulan pada saat kejang demam pertama
b. Riwayat kejang demam dalam keluarga
c. Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam
d. Riwayat demam yang sering
e. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.

Berdasarkan penelitian kohort prospektif yang dilakukan Bahtera, T., dkk


(2009) di RSUP dr. Kariadi Semarang, dimana subjek penelitian adalah penderita
kejang demam pertama yang berusia 2 bulan - 6 tahun, kemudian selama 18 bulan
diamati. Subjek penelitian berjumlah 148 orang. Lima puluh enam (37,84%) anak
mengalami bangkitan kejang demam berulang.30

2. Kerusakan Neuron Otak.


Kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot yang akhirnya
menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat karena metabolisme
anaerobik, hipotensi arterial, denyut jantung yang tak teratur, serta suhu tubuh
yang makin meningkat sejalan dengan meningkatnya aktivitas otot sehingga
meningkatkan metabolisme otak. Proses di atas merupakan faktor penyebab
terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsung kejang lama. Faktor
terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia
sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan neuron otak.

3. Retardasi Mental, terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak
mendapatkan pengobatan yang adekuat.
4. Epilepsi, terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah
mendapat serangan kejang yang berlangsung lama. Ada 3 faktor risiko yang
menyebabkan kejang demam menjadi epilepsi dikemudian hari, yaitu :
a. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
b. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama.
c. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
Menurut American National Collaborative Perinatal Project, 1,6% dari
semua anak yang menderita kejang demam akan berkembang menjadi epilepsi,
10% dari semua anak yang menderita kejang demam yang mempunyai dua atau
tiga faktor risiko di atas akan berkembang menjadi epilepsi.

5. Hemiparesis, yaitu kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan, tungkai serta


wajah pada salah satu sisi tubuh. Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami
kejang lama (kejang demam kompleks). Mula-mula kelumpuhan bersifat flaksid,
setelah 2 minggu timbul spasitas.
II. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Survey Primer
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan
manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang
dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
a. Airway maintenance dengan cervical spine protection
b. Breathing dan oxygenation
c. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
d. Disability-pemeriksaan neurologis singkat
e. Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey
bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah
berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan
berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai
sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway,
circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu
dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey
perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen.
Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian
diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang
melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert.,
D’Souza., & Pletz, 2009)
a. A : Airway ( jalan nafas ) karena pada kasus kejang demam Inpuls-inpuls
radang dihantarkan ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu
tubuh Hipotalamus menginterpretasikan impuls menjadi demam Demam yang
terlalu tinggi merangsang kerja syaraf jaringan otak secara berlebihan ,
sehingga jaringan otak tidak dapat lagi mengkoordinasi persyarafan-
persyarafan pada anggota gerak tubuh. wajah yang membiru, lengan dan
kakinya tesentak-sentak tak terkendali selama beberapa waktu. Gejala ini
hanya berlangsung beberapa detik, tetapi akibat yang ditimbulkannya dapat
membahayakan keselamatan anak balita. Akibat langsung yang timbul apabila
terjadi kejang demam adalah gerakan mulut dan lidah tidak terkontrol. Lidah
dapat seketika tergigit, dan atau berbalik arah lalu menyumbat saluran
pernapasan.
Diagnosa:
- Ketidakefektifan bersihan jalan nafas bd spasme jalan nafas
- Risiko aspirasi bd penurunan reflek menelan
Tindakan yang dilakukan :
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen.
Evaluasi :
- Inefektifan jalan nafas tidak terjadi
- Jalan nafas bersih dari sumbatan
- RR dalam batas normal
- Suara nafas vesikuler

b. B : Breathing (pola nafas) karena pada kejang yang berlangsung lama


misalnya lebih 15 menit biasanya disertai apnea, Na meningkat, kebutuhan
O2 dan energi meningkat untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi
hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis.
Diagnosa:
- Gangguan pertukaran gas
- Gangguan ventilasi spontan
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan
kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi
suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15
menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis
yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan
berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau
paraldehid 4 % secara intravena.
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
Evaluasi :
- RR dalam batas normal
- Tidak terjadi asfiksia
- Tidak terjadi hipoxia

c. C : Circulation karena gangguan peredaran darah mengakibatkan


hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema
otak yang mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada
daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang
berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian hari sehingga
terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang
berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis diotak hingga
terjadi epilepsi.
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam
keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang
diulangi suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara
intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan
suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler,
diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat
diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan napas bebasuntuk menjamin kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan
oksigen
Evaluasi :
- Tidak terjadi gangguan peredaran darah
- Tidak terjadi hipoxia
- Tidak terjadi kejang
- RR dalam batas normal

d. Disability
Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau
karakteristik dari epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung,
dan tidak teringat kejadian saat kejang
- Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
e. Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah
ada cedera tambahan akibat kejang, dan periksa suhu tubuh pasien untuk
mengetahui suhu tubuh yangmana kejang mungkin disebabkan atau
didahului oleh terjadinya demam.
Diagnosa:
- Risiko ketidakefektifan termoregulasi
Tindakan:
- Temukan adanya tanda-tanda kemungkinan terjadinya fraktur akibat
kejang yang dialami
- Berikan suhu ruangan yang sesuai untuk pasien dengan gangguan
termoregulasi.

2. Survey sekunder
a. Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis.
b. Keluhan utama:
Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
c. Riwayat penyakit:
Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-
spiritual. Kapan klien mulai serangan, pada usia berapa. Frekuansi serangan,
ada faktor presipitasi seperti suhu tinggi, kurang tidur, dan emosi yang labil.
Apakah pernah menderita sakit berat yang disertai hilangnya kesadaran,
kejang, cedera otak operasi otak. Apakah klien terbiasa menggunakan obat-
obat penenang atau obat terlarang, atau mengkonsumsi alcohol. Klien
mengalami gangguan interaksi dengan orang lain / keluarga karena malu
,merasa rendah diri, ketidak berdayaan, tidak mempunyai harapan dan selalu
waspada/berhati-hati dalam hubungan dengan orang lain.
1) Riwayat kesehatan
2) Riwayat keluarga dengan kejang
3) Riwayat kejang demam
4) Tumor intrakranial
5) Trauma kepala terbuka, stroke
d. Riwayat kejang :
1) Bagaimana frekuensi kejang.
2) Gambaran kejang seperti apa
3) Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal.
4) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
5) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
6) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
e. Pemeriksaan fisik
1) Kepala dan leher : Sakit kepala, leher terasa kaku
2) Thoraks : Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu
napas
3) Ekstermitas : Keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam
beraktivitas, perubahan tonus otot, gerakan involunter/kontraksi otot
4) Eliminasi : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Pada post iktal terjadi inkontinensia (urine/fekal) akibat otot relaksasi
5) Sistem pencernaan : Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah
yang berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak.
Selain pengkajian tersebut, focus pengkajian pada sekondari survey
adalah sebagai berikut.
Menurut Doenges (1993 : 259) dasar data pengkajian pasien adalah:
1) Aktifitas / Istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri
sendiri / orang terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot
Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot
2) Sirkulasi
Gejala : Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sianosis
Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan
pernafasan.
3) Eliminasi
Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia ( baik urine
/ fekal ).
4) Makanan dan cairan
Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang
berhubungan dengan aktifitas kejang.
5) Neurosensori
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan,
pusing. Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral.
6) Nyeri / kenyaman
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode posiktal.
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati –hati.
Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi / gelisah.
7) Pernafasan
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun /
cepat, peningkatan sekresi mukus.
Fase posiktal : apnea.

B. Diagnosa
1. Risiko aspirasi
2. Hipertermia
3. Risiko Ketidakefektifan perfusi jaringan otak
4. Diare
5. Risiko Kekurangan Volume Cairan
6. Gangguan ventilasi spontan
7. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
C. Intervensi
DIAGNOSA NOC NIC
Risiko Aspirasi NOC Label : NIC Label
Definisi: risiko, masuknya Aspiration Control Aspiration precaution
sekresi gastrointestinal, □ klien dapat bernafas □ monitor tingkat
sekresi orofaring, dengan mudah kesadaran, reflek batuk
kotoran/debu atau □ frekuensi nafas normal dan kemampuan
cairan kedalam saluran □ jalan nafas paten menelan
trakeobronkial □ tidak ada suara nafas □ lakukan suction jika
Faktor risiko: abnormal diperlukan
□ penurunan motilitas □ monitor status oksigen,
gastrointestinal pelihara kepatenan jalan
□ pengosongan lambung nafas
yang lambat
□ penurunan tingkat
kesadaran
□ rahang kaku
Hipertermia Setelah dilakukan tindakan NIC :
Batasan Karakteristik : keperawatan ..x.. jam
Temperature Regulation
□ Apnea diharapkan mampu □ Monitor suhu paling tidak
□ Bayi tidak dapat mempertahankan suhu setiap 2 jam , sesuai
mempertahankan tubuh dalam rentang kebutuhan
menyusui normal dengan kriteria : □ Pasang alat monitor suhu
□ Gelisah NOC : inti secara kontinu, sesuai
□ Hipotensi Thermoregulation kebutuhan
□ Kejang □ Suhu tubuh dalam □ Monitor tekanan darah,
□ Koma rentang normal (36,50C – nadi, dan respirasi, sesuai
□ Kulit kemerahan 37,50C) kebutuhan
□ Kulit terasa hangat □ Denyut nadi dalam □ Monitor suhu dan warna
□ Letargi rentang normal kulit
□ Postur abnormal □ Respirasi dalam batas □ Monitor dan laporkan
□ Stupor normal (16 – 20x/menit) adanya tanda dan gejala
□ Takikardia □ Tidak menggigil dari hipertermia
□ Takipnea □ Tidak dehidrasi □ Tingkatkan intake cairan
□ Vasodilatasi □ Tidak mengeluh sakit dan nutrisi adekuat
kepala □ Instruksikan pasien
Faktor yang berhubungan : □ Warna kulit normal bagaimana mencegah
□ Agen farmaseutikal Vital Sign keluarnya panas dan
□ Aktivitas berlebihan □ Suhu tubuh dalam serangan panas
□ Dehidrasi rentang normal (36,50C – □ Diskusikan pentingnya
□ Iskemia 37,50C) termoregulasi dan
□ Pakaian yang tidak □ Denyut jantung normal kemungkinan efek negatif
sesuai (60-100 x/menit) dari demam yang
□ Peningkatan laju □ Irama jantung normal berlebihan, sesuai
metabolisme □ Tingkat pernapasan kebuthan
□ Penurunan perspirasi dalam rentang normal □ Informasikan pasien
□ Penyakit (16-20 x/menit) mengenai indikasi adanya
□ Sepsis □ Irama napas vesikuler kelelahan akibat panas
□ Suhu lingkungan □ Tekanan darah sistolik dan penanganan
tinggi dalam rentang normal emergensi yang tepat,
□ Trauma (90-120 mmHg) sesuai kebutuhan
□ Tekanan darah diastolik □ Gunakan matras
dalam rentang normal pendingin, selimut yang
(70-90 mmHg) mensirkulasikan air,
□ Kedalaman inspirasi mandi air hangat, kantong
dalam rentang normal es atau bantalan jel, dan
Infection Severity kateterisasi pendingin
□ Tidak ada kemerahan intravaskuler untuk
□ Cairan (luka) tidak menurunkan suhu tubuh,
berbau busuk sesuai kebutuhan
□ Tidak ada sputum □ Sesuaikan suhu
purulen lingkungan untuk
□ Tidak ada rrainase kebutuhan pasien
purulent □ Berikan medikasi yang
□ Tidak ada piuria/ nanah tepat untuk mencegah
dalam urine atau mengontrol
□ Suhu tubuh stabil (36,50C menggigil
– 37,50C) □ Berikan pengobatan
□ Tidak ada nyeri antipiretik, sesuai
□ Tidak mengalami kebutuhan
lethargy
□ Nafsu makan normal Fever Treatment
□ Jumlah sel darah putih □ Pantau suhu dan tanda-
normal dalam rentang tanda vital lainnya
normal (4,10 – 11,00 □ Monitor warna kulit dan
10^3/µl) suhu
Hidration □ Monitor asupan dan
□ Turgor kulit elastis keluaran, sadari
□ Membran mukosa perubahan kehilangan
lembab cairan yang tak dirasakan
□ Intake cairan adekuat □ Beri obat atau cairan IV
□ Output urin (misalnya, antipiretik,
□ Tidak merasa haus agen antibakteri, dan
□ Warna urin tidak keruh agen anti menggigil )
□ Tekanan darah dalam □ Tutup pasien dengan
rentang normal selimut atau pakaian
□ Denyut nadi dalam ringan, tergantung pada
rentang normal dan fase demam (yaitu :
adekuat memberikan selimut
□ Tidak ada peningkatan hangat untuk fase dingin ;
hematokrit menyediakan pakaian
□ Tidak ada penurunan atau linen tempat tidur
berat badan’ ringan untuk demam dan
□ Otot rileks fase bergejolak /flush)
□ Tidak mengalami diare □ Dorong konsumsi cairan
□ Suhu tubuh dalam □ Fasilitasi istirahat,
rentang normal
terapkan pembatasan
aktivitas-aktivitas jika
diperlukan
□ Berikan oksigen yang
sesuai
□ Tingkatkan sirkulasi
udara
□ Pantau komplikasi-
komplikasi yang
berhubungan dengan
demam serta tanda dan
gejala kondisi penyebab
demam (misalnya,
kejang, penurunan tingkat
kesadaran,ketidakseimba
ngan asam basa, dan
perubahan abnormalitas
sel)
□ Pastikan tanda lain dari
infeksi yang terpantau
pada orang karena hanya
menunjukkan demam
ringan atau tidak demam
sama sekali selama proses
infeksi
□ Pastikan langkah
keamanan pada pasien
yang gelisah
□ Lembabkan bibir dan
mukosa hidung yang
kering
Vital Sign Monitoring
□ Monitor tekanan darah,
nadi, suhu, dan status
pernapasan dengan tepat
□ Monitor dan laporkan
tanda dan gejala
hipertermia
□ Monitor warna kulit,
suhu, dan kelembaban
□ Monitor sianosis sentral
dan perifer
□ Monitor akan adanya
kuku berbentuk clubbing
□ Monitor terkait dengan
adanya tiga tanda
Cushing Reflex (misalnya
: tekanan nadi lebar,
bradikardia, dan
peningkatan tekanan
darah sistolik)
□ Identifikasi kemungkinan
perubahan tanda-tanda
vital

Infection Control
□ Bersihkan lingkungan
dengan baik setelah
digunakan oleh setiap
pasien
□ Ganti peralatan
perawatan per pasien
sesuai protokol institusi
□ Pertahankan teknik
isolasi yang sesuai
□ Batasi jumlah
pengunjung
□ Annjurkan pasien
mengenai teknik mencuci
tangan dengan tepat
□ Anjurkan pengunjung
untuk mencuci tangan
pada saat memasuki dan
meninggalkan ruangan
pasien
□ Gunakan sabun
antimikrobia untuk cuci
tangan yang sesuai
□ Cuci tangan setiap
sebelum dan sesudah
tindakan perawatan
pasien
□ Pakai sarung tangan
sebagaimana dianjurkan
oleh kebijakan
pencegahan universal
□ Pakai pakaian ganti atau
jubah saat menangani
bahan-bahan yang
infeksius
□ Pakai sarung tangan steril
dengan tepat
□ Pertahankan lingkungan
aseptik selama
pemasangan alat
□ Ganti letak IV perifer dan
line central dan dressing
sesuai dengan petunjuk
umum
□ Pastikan penanganan
aseptik dari semua
saluran IV
□ Gunakan kateter
intermiten untuk
mengurangi kejadian
infeksi kandung kemih
□ Berikan terapi antibiotik
yang sesuai
□ Anjurkan pasien
meminum antibiotik
seperti yang diresepkan
□ Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan gejala
infeksi dan kapan harus
melaporkannya kepada
penyedia perawatan
kesehatan
□ Ajarkan pasien dan
anggota keluarga cara
menghindari infeksi.

Infection Protection
□ Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
□ Monitor hitung mutlak
granulosit, WBC, dan
hasil-hasil diferensial
□ Monitor kerentanan
terhadap infeksi
□ Batasi jumlah
pengunjung yang sesuai
□ Skrining jumlah
pengunjung terkait
penyakit menular
□ Partahankan teknik
asepsis pada pasien yang
beresiko
□ Pertahankan teknik
isolasi yang sesuai
□ Berikan perawatan kulit
yang tepat untuk area
(yang mengalami) edema
□ Periksa kulit dan selaput
lender untuk adanya
kemerahan, kehangatan
ekstrim, atau drainase
□ Periksa kondisi setiap
sayatan bedah atau luka
□ Tingkatkan asupan
nutrisi yang cukup
□ Anjurkan asupan cairan
dengan tepat
□ Anjurkan istirahat
□ Pantau adanya perubahan
tingkat energi atau
malaise
□ Instruksikan pasien untuk
minum antibiotik yang
diresepkan
□ Jaga penggunaan
antibiotik dengan
bijaksana
□ Jangan mencoba
pengobatan antibiotik
untuk infeksi virus
□ Ajarkan pasien dan
keluarga pasien mengenai
perbedaan-perbedaan
antara infeksi virus dan
bakteri
□ Ajarkan pasien dan
keluarga mengenai tanda
dan gejala infeksi dan
kapan harus
melaporkannya kepada
pemberi layanan
kesehatan
□ Lapor dugaan infeksi
pada personil pengendali
infeksi
□ Lapor kultur positif pada
personal pengendali
infeksi.

Fluid Management
□ Jaga intake yang adekuat
dan catat output pasien
□ Monitor status hidrasi
(misalnya : membran
mukosa lembab, denyut
nadi adekuat, dan tekanan
darah ortostatik)
□ Monitor hasil
laboratorium yang
relevan dengan retensi
cairan (misalnya :
peningkatan berat jenis,
peningkatan BUN,
penurunan hematokrit,
dan peningkatan kada
osmolalitas urin)
□ Monitor tanda-tanda vital
pasien
□ Monitor perubahan berat
badan pasien
□ Monitor status gizi
□ Distribusikan asupan
cairan selama 24 jam
□ Konsultasikan dengan
dokter jika tanda-tanda
dan gejala kelebihan
volume cairan memburuk

Risiko Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan Cerebral perfusion


Perfusi Jaringan Otak keperawatan selama ...x... promotion
Faktor Risiko: jam tidak terjadi □ Konsultasi dengan
□ Agens farmaseutikal peningkatan tekanan intra dokter untuk
□ Aterosklerosis aortic kranial dengan kriteria menentukan parameter
□ Baru terjadi infark hasil : hemodinamik, dan
miokardium NOC : mempertahankan
□ Diseksi arteri Tissue Perfusion: Cerebral hemodinamik dalam
□ Embolisme □ Tekanan darah (sistolik rentang yg diharapkan
□ Endocarditis infektif dan diastolik) dalam batas □ Monitor MAP
□ Fibrilasi atrium normal □ Berikan agents yang
□ Hiperkoleterolimia □ MAP dalam batas normal memperbesar volume
□ Hipertensi □ Sakit kepala intravaskuler misalnya
□ Kardiomiopati dilatasi berkurang/hilang (koloid, produk darah,
□ Katup prostetik □ Tidak gelisah atau kristaloid)
mekanis □ Tidak mengalami muntah □ Konsultasi dengan
□ Koagulasi intravascular □ Tidak mengalami dokter untuk
diseminata penurunan kesadaran mengoptimalkan posisi
□ Koagulapati (mis. kepala (15-30 derajat)
Anemia sel sabit) dan monitor respon
□ Masa prothrombin pasien terhadap
abnormal pengaturan posisi kepala
□ Masa trombaplastin □ Berikan calcium channel
parsial abnormal blocker, vasopressin,
□ Miksoma atrium anti nyeri, anti
□ Neoplasma otak coagulant, anti platelet,
□ Penyalahgunaan zat anti trombolitik
□ Segmen ventrikel kiri □ Monitor nilai PaCO2,
akinetic SaO2 dan Hb dan
□ Sindrom sick sinus cardiac out put untuk
□ Stenosis carotid menentukan status
□ Stenosis mitral pengiriman oksigen ke
□ Terapi trombolitik jaringan
□ Tumor otak (mis.
Gangguan
serebrovaskular,
penyakit neurologis,
trauma, tumor)

Diare Setelah dilakukan tindakan NIC:


Batasan Karakteristik : keperawatan ..x.. jam Manajemen Diare
□ Nyeri abdomen sedikitnya diharapkan diare teratasi  Tentukan riwayat diare
tiga kali defekasi per hari dengan kriteria hasil:  Ambil tinja untuk
□ Kram NOC : pemeriksaan kultur dan
□ Bising usus hiperaktif Eliminasi USus sesnsitifitas apabila diare
□ Ada dorongan □ Gerakan usus normal (5- berlanjut
Faktor yang berhubungan : 30 x per menit)  Evaluasi profil
 Faktor yang berhubungan □ Warna feses coklat pengobatan terhadap
□ Ansietas kekuningan adanya efek samping pada
□ Tingkat stres tinggi □ Feses lembut dan gatrointestinal
 Situasional berbentuk  Ajari asien penggunaan
□ Efek samping obat □ Kemudahan BAB obat anti diare secara
□ Penyalahgunaan □ Tidak diperlukan tepat.
alkohol dorongan banyak otot  Instruksi pasien atau
□ Kontaminan untuk mengeluarkan anggota keluarga untuk
□ Penyalahgunaan feses mencatat warna, volume,
laksatif □ Mampu mengeluarkan frekuensi, dan konsistensi
□ Radiasi, toksin feses tanpa bantuan tinja.
□ Melakukan □ Suara bising usus normal  Evaluasi kandungan
perjalanan (5-30 kali per menit) nutrisi dari makanan yang
□ Slang makan □ Tidak terdapat darah sudah dikonsumsi
 Fisiologis dalam feses sebelumnya
□ Proses infeksi dan □ Tidak terdapat mukus  Berikan makanan dalam
parasit dalam feses porsi kecil dan lebih
□ Inflamasi dan iritasi □ Tidak terdapat nyeri saat sering serta tingkat porsi
□ Malabsorbsi BAB secara bertahap
Keseimbangan Cairan  Anjurkan pasien untuk
□ Tekanan darah dalam
menghindari makanan
batas normal pedas yang menimbulkan
 Anak-anak (90- gas dalam perut.
120/60-80 mmHG)  Anjurkan pada pasien
 Dewasa (110-130/70- untuk menoba
90 mmHg) menghindari makanan
 Lansia (<160/<90 yang mengandung
mmHg) laktosa.
□ Turgor Kulit elastis  Identifikasi faktor yang
□ Membran mukosa bisa menyebabkan diare
lembab (misalnya medikasi,
□ Hematokrit normal bakteri, dan pemberian
 Laki-laki (38.8 – 50 makanan lewat selang)
%)  Monitor tanda dan gejala
 Perempuan (35- diare
44,5%)
 Instruksikan pasien untuk
memberitahukan staf
setiap kali mengalami
episode diare
 Amati turgor secara
berkala
 Monitor kulit perinium
terhadap adanya iritasi
dan ulserasi
 Ukur diare/output
pencernaan
 Timbang pasien secara
berkala
 Britahu dokter apabila
terjadi peningkatan
frekuensi atau suara perut
 Konsultasikan pada
dokter jika tanda dan
gejala diare menetap
 Instruksikan diet rendah
serat, tinggi prtein, tinggi
kalori sesuai kebutuhan.
 Instruksikan untuk
menghindari laksatif
 Ajari pasien untuk
menuliskan diari makanan
 Ajari pasien cara
menurunkan stress, sesuai
kebutuhan
 Bantu pasien untuk
melakukan teknik
penurunan stes
 Monitor persiapan makan
yang aman
 Lakukan tindakan untuk
mengistirahatkan perut
(misalnya nutrisi oral, diet
cair)

Manajemen Cairan
 Timbang berat badan
setiap hari dan monitor
status pasien
 Jaga intake/asupan yang
adekuat dan catat output
pasien
 Masukan kateter urine
 Monitor status hidrasi
(misalnya membran
mukosa lembab, denyut
nadi adekuat, dan tekanan
darah ortostatik)
 Monitor hasil
laboratorium yang relevan
dengan retensi cairan
(misalnya peningkatan
berat jenis, peningkatan
BUN, penurunan
hematokrit, dan
peningkatan kadar
osmolitas urine)
 Monitor status
hemodinamik termasuk
CPV, MAP, PAP, dan
PCWP, jika ada
 Monitor tanda – tanda
vital pasien
 Monitor makanan/cairan
yang dikonsumsi dan
hitung asupan kalori
harian
 Brikan terapi IV sesuai
yang ditentukan
 Monitor status gizi
 Berikan cairan dengan
tepat
 Berikan cairan IV sesuai
dengan suhu kamar
 Tingkatkan asupan oral
(misalnya, memberikan
sedotan, menawarkan
cairan di antara waktu
makan) yang sesuai
 Arahkan pasien mengenai
status NPO
 Berikan penggantian
nasogastrik yang
diresepkan berdasarkan
output
 Distribusikan asupan
cairan selama 24 jam.
 Dukung pasien dan
keluarga untuk membantu
dalam pemberian makan
dengan baik
 Monitor reaksi pasien
terhadap terapi elektrolit
yang diresepkan
 Konsultasikan dengan
dokter jika ada tanda-
tanda dan gejala
kelebihan volume cairan
menetap atau memburuk
 Atur ketersediaan produk
darah untuk tranfusi, jika
perlu
 Persiapkan pemberian
produk darah (misalnya,
cek darah dan
mempersiapkan
pemasangan infus)
 Berikan produk-produk
darah (misalnya,
trombosit dan plasma)

Kekurangan volume cairan/ Setelah diberikan asuhan


Risiko kekurangan keperawatan selama
volume cairan …..x…. jam diharapkan Fluid Management
Batasan Karakteristik: masalah kekurangan □ Monitor hasil laboratorium
□ Haus volume cairan dapat yang sesuai dengan retensi
□ Kelemahan teratasi dengan kriteria cairan (peningkatan BUN,
□ Kulit kering hasil : penurunan hematokrit,
□ Membrane mukosa NOC: peningkatan osmolaritas
kering Fluid Balance urin)
□ Peningkatan frekuensi □ Tekanan darah dalam □ Monitor tanda-tanda vital
nadi batas normal (tekanan darah dan nadi)
□ Peningkatan □ MAP dalam batas normal □ Monitor hemodinamik
hematokrit □ Denyut nadi dalam batas status (MAP)
□ Peningkatan normal □ Kolaborasikan terapi
konsentrasi urine □ Tidak terjadi penurunan cairan lewat infus
□ Peningkatan suhu kesadaran
tubuh □ Kadar hematocrit dalam
Fluid Monitoring
□ Penurunan berat batas normal □ Monitor input dan output
cairan
badan tiba-tiba □ Kadar serum elektrolit
□ Penurunan haluaran (BUN dan osmolaritas
urine urin) dalam batas normal)
□ Penurunan pengisian □ Turgor kulit elastis
vena □ Intake dan output cairan
24 jam seimbang
□ Penurunan tekanan
darah
□ Penurunan tekanan
nadi
□ Penurunan turgor
kulit
□ Penurunan turgor
lidah
□ Penurunan volume
nadi
□ Perubahan status
mental
Faktor yang berhubungan :
□ Kegagalan
mekanisme regulasi
□ Kehilangan cairan aktif

Gangguan ventilasi spontan Setelah dilakukan tindakan Bantuan Ventilasi


Batasan Karakteristik : keperawatan ..x.. jam □ Pertahankan kepatenan
□ Dispnea diharapkan mampu jalan nafas
□ Gelisah mempertahankan □ Posisikan pasien untuk
□ Ketakutan pernafasan yang adekuat mengurangi dispnea
□ Peningkatan frekuensi dengan kriteria : □ Posisikan untuk
jantung NOC : memfasilitasi
□ Peningkatan laju Respiratory status : pencocokan
metabolisme Ventilation ventilasi/perfusi (good
□ Peningkatan PCO2 □ Respirasi dalam batas lung down) dengan tepat
□ Peningkatan normal (dewasa: 16- □ Monitor efek-efek
penggunaan otot 20x/menit) perubahan posisi pada
aksesorius □ Irama pernafasan teratur oksigenasi : ABG, SaO2,
□ Penurunan kerja sama □ Kedalaman pernafasan tidak akhir CO2,
□ Penurunan PO2 normal QSP/QT, Tingkat A-
□ Penurunan SaO2 □ Suara perkusi dada normal aDO2
Faktor yang berhubungan : (sonor) □ Anjurkan pernafasan
□ Gangguan metabolisme □ Tidak ada retraksi otot lambat yang dalam,
□ Keletihan otot dada berbalik dan batuk
pernafasan □ Suara nafas vesikuler □ Auskultasi suara nafas,
□ Tidak terdapat orthopnea catat area-area
□ Taktil fremitus normal penurunan atau tidak
antara dada kiri dan dada adanya venrilasi dan
kanan suara tambahan
□ Tidak ada dispnea □ Mulai dan pertahankan
□ Ekspansi dada simetris oksigen tambahan
□ Tidak terdapat akumulasi □ Kelola pemberian obat
sputum nyeri yang tepat untuk
□ Tidak terdapat penggunaan mencegah hipoventilasi
otot bantu napas □ Monitor pernafasan dan
Respon Ventilasi Mekanik : status oksigenasi
Dewasa □ Beri obat (misalnya
□ Respirasi dalam batas bronkodilator dan
normal (dewasa: 16- inhaler) yang
20x/menit) meningkatkan patensi
□ Irama pernafasan teratur jalan nafas dan
□ Kedalaman pernafasan pertukaran gas
normal □ Ajarkan teknik
□ PaO2 dalam batas normal pernafasan dengan
(80 mmHg-100 mmHg) mengerucutkan bibir
□ PaCO2 dalam batas normal dengan tepat
(35 mmHg- 45 mmHg) Manajemen Jalan Nafas
□ SaO2 dalam bats normal □ Buka jalan nafas
(95%-100%) menggunakan teknik
□ Tidak kesulitan bernafas chin lift atau jaw thrust
menggunakan ventilator □ Posisikan pasien untuk
□ Pasien tenang memaksimalkan
ventilasi
□ Identifikasi kebutuhan
aktual/potensial pasien
untuk memasukkan alat
membuka jalan nafas
□ Lakukan fisioterapi dada
□ Buang sekret dengan
memotivasi pasien untuk
melakukan batuk atau
menyedot lendir
□ Anjurkan pasien untuk
batuk efektif
□ Auskultasi suara nafas,
catat area yang
ventilasinya menurun
atau tidak ada dan
adanya suara tambahan
□ Kelola pemberian
bronkodilator
□ Kelola pemberian
nebulizer
□ Posisikan untuk
meringankan sesak nafas
□ Monitor status
pernafasan dan
oksigenasi
Manajemen Ventilasi
Mekanik : Non Invasif
□ Monitor kondisi yang
memerlukan dukungan
ventilasi noninvasive
□ Monitor kontraindikasi
dukungan ventilasi non-
invasive
□ Informasikan kepada
klien dan keluarga
mengenai rasionalisasi
dan, sensasi yang
diharapkan sehubungan
dengan penggunaan
ventilasi non-invasive
□ Tempatkan klien pada
posisi semi fowler
□ Observasi klien secara
berkelanjutan pada jam
pertama penggunaan
ventilator untuk
mengkaji toleransi klien
□ Pastikan alarm ventilator
dalam keadaan hidup
□ Monitor penurunan
volume ekspirasi dan
peningkatan tekanan
inspirasi
□ Monitor aktivitas-
aktivitas yang dapat
meningkatkan konsumsi
oksigen yang bisa
merubah pengaturan
ventilator dan
menyebabkan desaturasi
oksigen
□ Monitor gejala-gejala
yang menunjukkan
peningkatan pernafasan
(misalnya, peningkatan
denyut nadi dan
pernafasan, peningkatan
tekanan darah,
diaphoresis, perubahan
status mental)
□ Monitor efektifitas
ventilasi mekanik
terhadap status fisiologis
dan psikologis klien
□ Inisiasi teknik relaksasi
yang sesuai
□ Berikan perawatan untuk
mengurangi distress
klien (misalnya,
memberikan posisi,
merawat efek samping
seperti rhinitis,
kerongkongan kering
atau berikan sedative
atau anastesi; periksa
peralatan secara berkala,
bersihkan dan ganti
peralatan non-invasive
□ Kosongkan air yang
sudah keruh dari tabung
air
□ Pastikan pergantian
sirkuit ventilator setiap
24 jam
□ Monitor kerusakan
mukosa ke mulut, nasal,
trakea, atau jaringan
laring
□ Monitor sekresi paru-
paru terkait dengan
jumlah, warna dan
konsistensi, serta
dokumentasikan semua
hasil temuan
□ Lakukan fisioterapi dada
yang sesuai
□ Tingkatkan pengkajian
rutin untuk kriteria
penyapihan (misalnya,
perbaikan kondisi
sebelum ventilasi,
kemampuan untuk
mempertahankan
pernafasan yang
adekuat)
□ Berikan perawatan mulut
secara rutin dengan
kapas yang lunak dan
basah, antiseptic dan
melakukan suksion
secara perlahan
□ Dokumentasikan semua
respon klien terhadap
ventilator dan perubahan
ventilator (misalnya,
observasi pergerakan
dada/auskultasi,
perubahan x-ray,
perubahan ABGs)
□ Pastikan peralatan
kegawatdaruratan berada
disisi tempat tidur
sepanjang waktu
(misalnya, manual
resusitasi yang
tersambung ke oksigen,
masker, peralatn
suksion) termasuk
persiapan untuk
kehilangan daya
mati/mati listrik
Ketidakefektifan bersihan Setelah dilakukan tindakan Airway Management
jalan nafas keperawatan ..x.. jam □ Buka jalan nafas
Batasan Karakteristik : diharapkan mampu menggunakan head tilt
□ Batuk yang tidak mempertahankan chin lift atau jaw thrust
efektif kebersihan jalan nafas bila perlu
□ Dispnea dengan kriteria : □ Posisikan pasien untuk
□ Gelisah NOC : memaksimalkan
□ Kesulitan verbalisasi Respiratory status : Airway ventilasi
□ Mata terbuka lebar Patency □ Identifikasi pasien
□ Ortopnea □ Respirasi dalam batas perlunya pemasangan
□ Penurunan bunyi nafas normal alat jalan nafas buatan
□ Perubahan frekuensi □ Irama pernafasan teratur (NPA, OPA, ETT,
nafas □ Kedalaman pernafasan Ventilator)
□ Perubahan pola nafas normal □ Lakukan fisioterpi dada
□ Sianosis □ Tidak ada akumulasi jika perlu
□ Sputum dalam jumlah sputum □ Bersihkan secret dengan
yang berlebihan □ Batuk berkurang/hilang suction bila diperlukan
□ Suara nafas tambahan □ Auskultasi suara nafas,
□ Tidak ada batuk catat adanya suara
Faktor yang tambahan
berhubungan : □ Kolaborasi pemberian
Lingkungan : oksigen
□ Perokok □ Kolaborasi pemberian
□ Perokok pasif obat bronkodilator
□ Terpajan asap □ Monitor RR dan status
Obstruksi jalan nafas : oksigenasi (frekuensi,
□ Adanya jalan nafas irama, kedalaman dan
buatan usaha dalam bernapas)
□ Benda asing dalam □ Anjurkan pasien untuk
jalan nafas batuk efektif
□ Eksudat dalam alveoli □ Berikan nebulizer jika
□ Hiperplasia pada diperlukan
dinding bronkus Asthma Management
□ Mukus berlebih □ Tentukan batas dasar
□ Penyakit paru obstruksi respirasi sebagai
kronis pembanding
□ Sekresi yang tertahan □ Bandingkan status
□ Spasme jalan nafas sebelum dan selama
Fisiologis : dirawat di rumah sakit
□ Asma untuk mengetahui
□ Disfungsi perubahan status
neuromuskular pernapasan
□ Infeksi □ Monitor tanda dan gejala
□ Jalan nafas alergik asma
□ Monitor frekuensi,
irama, kedalaman dan
usaha dalam bernapas
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, dkk (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media


Aesculapius, Jakarta
Dewanto, George, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana
Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Doenges, Marillyn E, dkk (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa
Keperawatan, EGC, Jakarta
Doenges, Marillyn E, et all (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC,
Jakarta
Eisai, 2012. Pathophysiology of Epilepsy, 2. Eisai Inc. Available from
http://www.focusonepilepsy.com/pdfs/pathophys.pdf [Accessed 3 Oktober
2017].
Engel Jr., Jerome, 2006. ILAE Classification of Epilepsy Syndromes. Epilepsy
Research, 70S: S5-S10.
Hawari, Irawaty, 2012. Epilepsi di Indonesia. Available from: http://www.ina-
epsy.org/ [Accessed 3 Oktober 2017].
IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis, hal: 253, Jakarta, IDAI.
Judha M & Rahil H.N. 2011 Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan.
Yogyakarta: Gosyen Publishing
Krisanty P,. Dkk (2008), Asuhan Keperawatan Gawat darurat, Trans info Media,
Jakarta
Lowenstein, Daniel H., 2010. Seizures and Epilepsy. In: Hauser, Stephen L. (Ed.).
Harrison’s: Neurology and Clinical Medicine. 2nd Edition. USA: The
McGraw-Hill Companies, 222-245.
Lumbantobing, SM. 2004. Neurogeriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. p. 111-
122
Markand, Omkar N., 2009. Epilepsy in Adults. In: Biller, Jose (Ed.). Practical
Neurology. 3rd Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 511-
542.
Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. and Ronthal, Michael (Ed.).
Neurology Review for Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 106-125.
Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. and Ronthal, Michael (Ed.).
Neurology Review for Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 106-125.
Ngastiyah (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2.
Jakarta : EGC.
Riyadi, Sujono & Sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 1,
Yogyakarta : Graha Ilmu
Rudzinski, Leslie A. and Shih, Jerry J., 2011. The Classification of Seizures and
Epilepsy Syndromes. Novel Aspects on Epilepsy: 69-88.
Sunaryo, Utoyo, 2007. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya
Kusuma, 1.
Sylvia A. Price, dkk (1995), Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 4, EGC,
Jakarta
WHO, 2005. Atlas: Epilepsy Care in the World. Geneva. WHO.
WHO, 2012. Neurological disorders: A Public Health Approach. WHO.
LEMBAR PENGESAHAN

Denpasar, Desember 2017

Mengetahui,
Pembimbing Praktik/CI Mahasiswa

(...............................................................) (Ni Ketut Ayu Pratiwi Catur Wahyuni)


NIP. NIM. P07120214019

Mengetahui,
Pembimbing Akademik/CT

(........................................................)
NIP.

Anda mungkin juga menyukai