Gadar 3 Kejang Demam LP
Gadar 3 Kejang Demam LP
Oleh:
I GUSTI AYU ARI DEWI
NIM. PO7120214037
D-IV KEPERAWATAN
ANGKATAN II, TINGKAT IV, SEMESTER VII
B. Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Terdapat perbedaan kecil dalam
penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia
penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan lainnya
(Lumbantobing, 2004).
C. Etiologi
Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada sebagian
besar anak dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan suhu
tubuh. Biasanya suhu demam diatas 38,8oC dan terjadi disaat suhu tubuh naik dan
bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan suhu tubuh (Dona Wong L, 2008).
Bangkitan kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh kenaikan suhu badan
yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan syaraf pusat
misalnya tonsilitis, ostitis media akut, bronkitis(Judha & Rahil, 2011).Kondisi
yang dapat menyebabkan kejang demam antara lain infeksi yang mengenai
jaringan ekstrakranial sperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis (Riyadi, Sujono
& Sukarmin, 2009).
Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam pada anak.
Demam sering disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi seperti infeksi saluran
pernafasan akut, otitis media akut, gastroenteritis, bronkitis, infeksi saluran kemih,
dan lain-lain. Setiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda. Kejang tidak
selalu timbul pada suhu yang paling tinggi. Pada anak dengan ambang kejang
yang rendah, serangan kejang telah terjadi pada suhu 38°C bahkan kurang,
sedangkan padaanak dengan ambang kejang tinggi, serangan kejang baru terjadi
pada suhu 40°C bahkan lebih.
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain
adalah demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari
mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi,
perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit (Dewanto et al, 2009).
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (IDAI, 2009)
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 18 bulan
3. Temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin
sering berulang
4. Lamanya demam.
5. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah (IDAI, 2009)
6. Adanya gangguan perkembangan neurologis
7. kejang demam kompleks
8. riwayat epilepsi dalam keluarga
9. lamanya demam
D. Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi di pecah
menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan
dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion K+ dan sangat sulit
dilalui oleh ion Na+ dan elektrolit lainya kecuali ion Cl-. Akibatnya konsentrasi
ion kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah, sedang di luar
sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi
ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang
disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran di perlukan energi dan bantuan enzim NA-K ATP-ase yang terdapat
pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datang mendadak
misalnya mekanisme, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya.
Perubahanpatofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.Pada
keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10 sampai 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3
tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang
dewasa yang hanya 15%.Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi
difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh
sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan
terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama biasanya disertai apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hiposemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anerobik, hipotensi, artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur
dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot
dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat (Judha & Rahil, 2011).
Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsilitis, otitis
media akut, bronkitis penyebab terbanyak adalah bakteri yang bersifat toksik.
Toksik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat menyebar keseluruh tubuh
melalui hematogen maupun limfogen.
Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus dengan
menaikkan pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda tubuhmengalami
bahaya secara sistemik. Naiknya pengaturan suhu di hipotalamus akan
merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh yang lain seperti otot, kulit sehingga
terjadi peningkatan kontraksi otot.
Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit jaringan tubuh yang lain akan
disertai pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin.
Pengeluaran mediator kimia ini dapat merangsang peningkatan potensial aksi
pada neuron . Peningkatan potensial inilah yang merangsang perpindahan ion
natrium, ion kalium dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam sel. Peristiwa
inilah yang diduga dapat menaikkan fase depolarisasi neuron dengan cepat
sehingga timbul kejang.
Serangan cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami penurunan
kesadaran, otot ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami spasma
sehingga anak beresiko terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh
penutupan lidah dan spasma bronkus (Price, 2005).
F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaannya meliputi:
1. Darah
a. Glukosa darah:hipoglikemia merupakan predisposisi kejang
(N<200mq/dl)
b. BUN:peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan
indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c. Elektrolit:Kalium, natrium.Ketidakseimbngan elektrolit merupakan
predisposisi kejang
d. Kalium (N 3,80-5,00 meq/dl)
e. Natrium (N 135-144 meq/dl)
2. Cairan cerebo spinal:mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda
infeksi,pendarahan penyebab kejang
3. X Ray:untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
4. Tansiluminasi: suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih
terbaik (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk
transiluminasi kepala
5. EEG: teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh
untuk mengetahui fokus aktivitas kejang,hasil biasanya normal.
6. CT Scan: untuk mengidentifikasi lesi cerebral infark hematoma,cerebral
oedema,trauma,abses,tumor dengan atau tanpa kontras.
G. Penatalaksanaan Medis
1. Pengobatan Saat Terjadi Kejang Demam
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri
setenang mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping,
bukan terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
b. Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok,
karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan napas.
c. Jangan memegangi anak untuk melawan kejang
d. Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan
penanganan khusus.
e. Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa ke
fasilitas kesehatan terdekat.
f. Setelah kejang berakhir, anak perlu dibawa menemui dokter untuk
meneliti sumber demam, terutama jika ada kekakuan leher, muntah-
muntah yang berat, atau anak terus tampak lemas.
Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), menyatakan
bahwapenatalaksanaan yang dilakukan saat pasien dirumah sakit antara lain:
a. Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena secara
perlahan dengan panduan dosis untuk berat badan yang kurang dari 10 kg
dosisnya 0,5-0,75 mg/kg BB, diatas 20 kg 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata
yang diberikan adalah 0,3 mg/kg BB/ kali pemberian dengan maksimal
dosis pemberian 5 mg pada anak kurang dari 5 tahun dan maksimal 10
mg pada anak yang berumur lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh
melebihi 50 mg persuntikan. Setelah pemberian pertama diberikan masih
timbul kejang 15 menit kemudian dapat diberikan injeksi diazepam
secara intravena dengan dosis yang sama. Apabila masih kejang maka
ditunggu 15 menit lagi kemudian diberikan injeksi diazepam ketiga
dengan dosis yang sama secara intramuskuler.
b. Pembebasan jalan napas dengan cara kepala dalam posisi hiperekstensi
miring, pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir. Bila tidak membaik
dapat dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi.
c. Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.
d. Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan
memudahkan dalam pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan
intravena pemantauan intake dan output cairan selama 24 jamperlu
dilakukan, karena pada penderita yang beresiko terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat memperberat penurunan
kesadaran pasien. Selain itu pada pasien dengan peningkatan intraklanial
juga pemberian cairan yang mengandung natrium perlu dihindari.
e. Pemberian kompres hangat untuk membantu suhu tubuh dengan metode
konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat tinggi (suhu tubuh) ke
benda yang mempunyai derajat yang lebih rendah (kain kompres).
Kompres diletakkan pada jaringan penghantar panas yang banyak seperti
kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan paha, serta area pembuluh darah
yang besar seperti di leher. Tindakan ini dapat dikombinasikan dengan
pemberian antipiretik seperti prometazon 4-6 mg/kg BB/hari (terbagi
dalam 3 kali pemberian).
f. Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan
obat-obatan untuk mengurang edema otak seperti dektametason 0,5-1
ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik.Posisi kepala hiperekstensi
tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh yang lain dengan craa menaikan
tempat tidur bagian kepala lebih tinggi kurang kebih 15° (posisi tubuh
pada garis lurus)
g. Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca
pemberian diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan
dosis awal 30 mg pada neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan-1tahun,
75 mg pada anak usia 1 tahun keatas dengan tehnik pemberian
intramuskuler. Setelah itu diberikan obat rumatan fenobarbital dengan
dosis pertama 8-10 mg/kg BB /hari (terbagi dalam 2 kali pemberian) hari
berikutnya 4-5 mg/kg BB/hari yang terbagi dalam 2 kali pemberian.
h. Pengobatan penyebab.
Karena yang menjadi penyebab timbulnya kejang adalah kenaikan suhu
tubuh akibat infeksi seperti di telinga, saluran pernapasan, tonsil maka
pemeriksaan seperti angka leukosit, foto rongent, pemeriksaan penunjang
lain untuk mengetahui jenis mikroorganisme yang menjadi penyebab
infeksi sangat perlu dilakukan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memilih
jenis antibiotik yang cocok diberikan pada pasien anak dengan kejang
demam.
H. Komplikasi
Gangguan-gangguan yang dapat terjadi akibat dari kejang demam anak
antara lain:
1. Kejang Demam Berulang.
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari
satu episode demam. Beberapa hal yang merupakan faktor risiko berulangnya
kejang demam yaitu :
a. Usia anak < 15 bulan pada saat kejang demam pertama
b. Riwayat kejang demam dalam keluarga
c. Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam
d. Riwayat demam yang sering
e. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
3. Retardasi Mental, terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak
mendapatkan pengobatan yang adekuat.
4. Epilepsi, terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah
mendapat serangan kejang yang berlangsung lama. Ada 3 faktor risiko yang
menyebabkan kejang demam menjadi epilepsi dikemudian hari, yaitu :
a. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
b. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama.
c. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
Menurut American National Collaborative Perinatal Project, 1,6% dari
semua anak yang menderita kejang demam akan berkembang menjadi epilepsi,
10% dari semua anak yang menderita kejang demam yang mempunyai dua atau
tiga faktor risiko di atas akan berkembang menjadi epilepsi.
d. Disability
Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau
karakteristik dari epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung,
dan tidak teringat kejadian saat kejang
- Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
e. Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah
ada cedera tambahan akibat kejang, dan periksa suhu tubuh pasien untuk
mengetahui suhu tubuh yangmana kejang mungkin disebabkan atau
didahului oleh terjadinya demam.
Diagnosa:
- Risiko ketidakefektifan termoregulasi
Tindakan:
- Temukan adanya tanda-tanda kemungkinan terjadinya fraktur akibat
kejang yang dialami
- Berikan suhu ruangan yang sesuai untuk pasien dengan gangguan
termoregulasi.
2. Survey sekunder
a. Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis.
b. Keluhan utama:
Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
c. Riwayat penyakit:
Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-
spiritual. Kapan klien mulai serangan, pada usia berapa. Frekuansi serangan,
ada faktor presipitasi seperti suhu tinggi, kurang tidur, dan emosi yang labil.
Apakah pernah menderita sakit berat yang disertai hilangnya kesadaran,
kejang, cedera otak operasi otak. Apakah klien terbiasa menggunakan obat-
obat penenang atau obat terlarang, atau mengkonsumsi alcohol. Klien
mengalami gangguan interaksi dengan orang lain / keluarga karena malu
,merasa rendah diri, ketidak berdayaan, tidak mempunyai harapan dan selalu
waspada/berhati-hati dalam hubungan dengan orang lain.
1) Riwayat kesehatan
2) Riwayat keluarga dengan kejang
3) Riwayat kejang demam
4) Tumor intrakranial
5) Trauma kepala terbuka, stroke
d. Riwayat kejang :
1) Bagaimana frekuensi kejang.
2) Gambaran kejang seperti apa
3) Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal.
4) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
5) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
6) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
e. Pemeriksaan fisik
1) Kepala dan leher : Sakit kepala, leher terasa kaku
2) Thoraks : Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu
napas
3) Ekstermitas : Keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam
beraktivitas, perubahan tonus otot, gerakan involunter/kontraksi otot
4) Eliminasi : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Pada post iktal terjadi inkontinensia (urine/fekal) akibat otot relaksasi
5) Sistem pencernaan : Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah
yang berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak.
Selain pengkajian tersebut, focus pengkajian pada sekondari survey
adalah sebagai berikut.
Menurut Doenges (1993 : 259) dasar data pengkajian pasien adalah:
1) Aktifitas / Istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri
sendiri / orang terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot
Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot
2) Sirkulasi
Gejala : Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sianosis
Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan
pernafasan.
3) Eliminasi
Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia ( baik urine
/ fekal ).
4) Makanan dan cairan
Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang
berhubungan dengan aktifitas kejang.
5) Neurosensori
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan,
pusing. Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral.
6) Nyeri / kenyaman
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode posiktal.
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati –hati.
Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi / gelisah.
7) Pernafasan
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun /
cepat, peningkatan sekresi mukus.
Fase posiktal : apnea.
B. Diagnosa
1. Risiko aspirasi
2. Hipertermia
3. Risiko Ketidakefektifan perfusi jaringan otak
4. Diare
5. Risiko Kekurangan Volume Cairan
6. Gangguan ventilasi spontan
7. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
C. Intervensi
DIAGNOSA NOC NIC
Risiko Aspirasi NOC Label : NIC Label
Definisi: risiko, masuknya Aspiration Control Aspiration precaution
sekresi gastrointestinal, □ klien dapat bernafas □ monitor tingkat
sekresi orofaring, dengan mudah kesadaran, reflek batuk
kotoran/debu atau □ frekuensi nafas normal dan kemampuan
cairan kedalam saluran □ jalan nafas paten menelan
trakeobronkial □ tidak ada suara nafas □ lakukan suction jika
Faktor risiko: abnormal diperlukan
□ penurunan motilitas □ monitor status oksigen,
gastrointestinal pelihara kepatenan jalan
□ pengosongan lambung nafas
yang lambat
□ penurunan tingkat
kesadaran
□ rahang kaku
Hipertermia Setelah dilakukan tindakan NIC :
Batasan Karakteristik : keperawatan ..x.. jam
Temperature Regulation
□ Apnea diharapkan mampu □ Monitor suhu paling tidak
□ Bayi tidak dapat mempertahankan suhu setiap 2 jam , sesuai
mempertahankan tubuh dalam rentang kebutuhan
menyusui normal dengan kriteria : □ Pasang alat monitor suhu
□ Gelisah NOC : inti secara kontinu, sesuai
□ Hipotensi Thermoregulation kebutuhan
□ Kejang □ Suhu tubuh dalam □ Monitor tekanan darah,
□ Koma rentang normal (36,50C – nadi, dan respirasi, sesuai
□ Kulit kemerahan 37,50C) kebutuhan
□ Kulit terasa hangat □ Denyut nadi dalam □ Monitor suhu dan warna
□ Letargi rentang normal kulit
□ Postur abnormal □ Respirasi dalam batas □ Monitor dan laporkan
□ Stupor normal (16 – 20x/menit) adanya tanda dan gejala
□ Takikardia □ Tidak menggigil dari hipertermia
□ Takipnea □ Tidak dehidrasi □ Tingkatkan intake cairan
□ Vasodilatasi □ Tidak mengeluh sakit dan nutrisi adekuat
kepala □ Instruksikan pasien
Faktor yang berhubungan : □ Warna kulit normal bagaimana mencegah
□ Agen farmaseutikal Vital Sign keluarnya panas dan
□ Aktivitas berlebihan □ Suhu tubuh dalam serangan panas
□ Dehidrasi rentang normal (36,50C – □ Diskusikan pentingnya
□ Iskemia 37,50C) termoregulasi dan
□ Pakaian yang tidak □ Denyut jantung normal kemungkinan efek negatif
sesuai (60-100 x/menit) dari demam yang
□ Peningkatan laju □ Irama jantung normal berlebihan, sesuai
metabolisme □ Tingkat pernapasan kebuthan
□ Penurunan perspirasi dalam rentang normal □ Informasikan pasien
□ Penyakit (16-20 x/menit) mengenai indikasi adanya
□ Sepsis □ Irama napas vesikuler kelelahan akibat panas
□ Suhu lingkungan □ Tekanan darah sistolik dan penanganan
tinggi dalam rentang normal emergensi yang tepat,
□ Trauma (90-120 mmHg) sesuai kebutuhan
□ Tekanan darah diastolik □ Gunakan matras
dalam rentang normal pendingin, selimut yang
(70-90 mmHg) mensirkulasikan air,
□ Kedalaman inspirasi mandi air hangat, kantong
dalam rentang normal es atau bantalan jel, dan
Infection Severity kateterisasi pendingin
□ Tidak ada kemerahan intravaskuler untuk
□ Cairan (luka) tidak menurunkan suhu tubuh,
berbau busuk sesuai kebutuhan
□ Tidak ada sputum □ Sesuaikan suhu
purulen lingkungan untuk
□ Tidak ada rrainase kebutuhan pasien
purulent □ Berikan medikasi yang
□ Tidak ada piuria/ nanah tepat untuk mencegah
dalam urine atau mengontrol
□ Suhu tubuh stabil (36,50C menggigil
– 37,50C) □ Berikan pengobatan
□ Tidak ada nyeri antipiretik, sesuai
□ Tidak mengalami kebutuhan
lethargy
□ Nafsu makan normal Fever Treatment
□ Jumlah sel darah putih □ Pantau suhu dan tanda-
normal dalam rentang tanda vital lainnya
normal (4,10 – 11,00 □ Monitor warna kulit dan
10^3/µl) suhu
Hidration □ Monitor asupan dan
□ Turgor kulit elastis keluaran, sadari
□ Membran mukosa perubahan kehilangan
lembab cairan yang tak dirasakan
□ Intake cairan adekuat □ Beri obat atau cairan IV
□ Output urin (misalnya, antipiretik,
□ Tidak merasa haus agen antibakteri, dan
□ Warna urin tidak keruh agen anti menggigil )
□ Tekanan darah dalam □ Tutup pasien dengan
rentang normal selimut atau pakaian
□ Denyut nadi dalam ringan, tergantung pada
rentang normal dan fase demam (yaitu :
adekuat memberikan selimut
□ Tidak ada peningkatan hangat untuk fase dingin ;
hematokrit menyediakan pakaian
□ Tidak ada penurunan atau linen tempat tidur
berat badan’ ringan untuk demam dan
□ Otot rileks fase bergejolak /flush)
□ Tidak mengalami diare □ Dorong konsumsi cairan
□ Suhu tubuh dalam □ Fasilitasi istirahat,
rentang normal
terapkan pembatasan
aktivitas-aktivitas jika
diperlukan
□ Berikan oksigen yang
sesuai
□ Tingkatkan sirkulasi
udara
□ Pantau komplikasi-
komplikasi yang
berhubungan dengan
demam serta tanda dan
gejala kondisi penyebab
demam (misalnya,
kejang, penurunan tingkat
kesadaran,ketidakseimba
ngan asam basa, dan
perubahan abnormalitas
sel)
□ Pastikan tanda lain dari
infeksi yang terpantau
pada orang karena hanya
menunjukkan demam
ringan atau tidak demam
sama sekali selama proses
infeksi
□ Pastikan langkah
keamanan pada pasien
yang gelisah
□ Lembabkan bibir dan
mukosa hidung yang
kering
Vital Sign Monitoring
□ Monitor tekanan darah,
nadi, suhu, dan status
pernapasan dengan tepat
□ Monitor dan laporkan
tanda dan gejala
hipertermia
□ Monitor warna kulit,
suhu, dan kelembaban
□ Monitor sianosis sentral
dan perifer
□ Monitor akan adanya
kuku berbentuk clubbing
□ Monitor terkait dengan
adanya tiga tanda
Cushing Reflex (misalnya
: tekanan nadi lebar,
bradikardia, dan
peningkatan tekanan
darah sistolik)
□ Identifikasi kemungkinan
perubahan tanda-tanda
vital
Infection Control
□ Bersihkan lingkungan
dengan baik setelah
digunakan oleh setiap
pasien
□ Ganti peralatan
perawatan per pasien
sesuai protokol institusi
□ Pertahankan teknik
isolasi yang sesuai
□ Batasi jumlah
pengunjung
□ Annjurkan pasien
mengenai teknik mencuci
tangan dengan tepat
□ Anjurkan pengunjung
untuk mencuci tangan
pada saat memasuki dan
meninggalkan ruangan
pasien
□ Gunakan sabun
antimikrobia untuk cuci
tangan yang sesuai
□ Cuci tangan setiap
sebelum dan sesudah
tindakan perawatan
pasien
□ Pakai sarung tangan
sebagaimana dianjurkan
oleh kebijakan
pencegahan universal
□ Pakai pakaian ganti atau
jubah saat menangani
bahan-bahan yang
infeksius
□ Pakai sarung tangan steril
dengan tepat
□ Pertahankan lingkungan
aseptik selama
pemasangan alat
□ Ganti letak IV perifer dan
line central dan dressing
sesuai dengan petunjuk
umum
□ Pastikan penanganan
aseptik dari semua
saluran IV
□ Gunakan kateter
intermiten untuk
mengurangi kejadian
infeksi kandung kemih
□ Berikan terapi antibiotik
yang sesuai
□ Anjurkan pasien
meminum antibiotik
seperti yang diresepkan
□ Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan gejala
infeksi dan kapan harus
melaporkannya kepada
penyedia perawatan
kesehatan
□ Ajarkan pasien dan
anggota keluarga cara
menghindari infeksi.
Infection Protection
□ Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
□ Monitor hitung mutlak
granulosit, WBC, dan
hasil-hasil diferensial
□ Monitor kerentanan
terhadap infeksi
□ Batasi jumlah
pengunjung yang sesuai
□ Skrining jumlah
pengunjung terkait
penyakit menular
□ Partahankan teknik
asepsis pada pasien yang
beresiko
□ Pertahankan teknik
isolasi yang sesuai
□ Berikan perawatan kulit
yang tepat untuk area
(yang mengalami) edema
□ Periksa kulit dan selaput
lender untuk adanya
kemerahan, kehangatan
ekstrim, atau drainase
□ Periksa kondisi setiap
sayatan bedah atau luka
□ Tingkatkan asupan
nutrisi yang cukup
□ Anjurkan asupan cairan
dengan tepat
□ Anjurkan istirahat
□ Pantau adanya perubahan
tingkat energi atau
malaise
□ Instruksikan pasien untuk
minum antibiotik yang
diresepkan
□ Jaga penggunaan
antibiotik dengan
bijaksana
□ Jangan mencoba
pengobatan antibiotik
untuk infeksi virus
□ Ajarkan pasien dan
keluarga pasien mengenai
perbedaan-perbedaan
antara infeksi virus dan
bakteri
□ Ajarkan pasien dan
keluarga mengenai tanda
dan gejala infeksi dan
kapan harus
melaporkannya kepada
pemberi layanan
kesehatan
□ Lapor dugaan infeksi
pada personil pengendali
infeksi
□ Lapor kultur positif pada
personal pengendali
infeksi.
Fluid Management
□ Jaga intake yang adekuat
dan catat output pasien
□ Monitor status hidrasi
(misalnya : membran
mukosa lembab, denyut
nadi adekuat, dan tekanan
darah ortostatik)
□ Monitor hasil
laboratorium yang
relevan dengan retensi
cairan (misalnya :
peningkatan berat jenis,
peningkatan BUN,
penurunan hematokrit,
dan peningkatan kada
osmolalitas urin)
□ Monitor tanda-tanda vital
pasien
□ Monitor perubahan berat
badan pasien
□ Monitor status gizi
□ Distribusikan asupan
cairan selama 24 jam
□ Konsultasikan dengan
dokter jika tanda-tanda
dan gejala kelebihan
volume cairan memburuk
Manajemen Cairan
Timbang berat badan
setiap hari dan monitor
status pasien
Jaga intake/asupan yang
adekuat dan catat output
pasien
Masukan kateter urine
Monitor status hidrasi
(misalnya membran
mukosa lembab, denyut
nadi adekuat, dan tekanan
darah ortostatik)
Monitor hasil
laboratorium yang relevan
dengan retensi cairan
(misalnya peningkatan
berat jenis, peningkatan
BUN, penurunan
hematokrit, dan
peningkatan kadar
osmolitas urine)
Monitor status
hemodinamik termasuk
CPV, MAP, PAP, dan
PCWP, jika ada
Monitor tanda – tanda
vital pasien
Monitor makanan/cairan
yang dikonsumsi dan
hitung asupan kalori
harian
Brikan terapi IV sesuai
yang ditentukan
Monitor status gizi
Berikan cairan dengan
tepat
Berikan cairan IV sesuai
dengan suhu kamar
Tingkatkan asupan oral
(misalnya, memberikan
sedotan, menawarkan
cairan di antara waktu
makan) yang sesuai
Arahkan pasien mengenai
status NPO
Berikan penggantian
nasogastrik yang
diresepkan berdasarkan
output
Distribusikan asupan
cairan selama 24 jam.
Dukung pasien dan
keluarga untuk membantu
dalam pemberian makan
dengan baik
Monitor reaksi pasien
terhadap terapi elektrolit
yang diresepkan
Konsultasikan dengan
dokter jika ada tanda-
tanda dan gejala
kelebihan volume cairan
menetap atau memburuk
Atur ketersediaan produk
darah untuk tranfusi, jika
perlu
Persiapkan pemberian
produk darah (misalnya,
cek darah dan
mempersiapkan
pemasangan infus)
Berikan produk-produk
darah (misalnya,
trombosit dan plasma)
Mengetahui,
Pembimbing Praktik/CI Mahasiswa
Mengetahui,
Pembimbing Akademik/CT
(........................................................)
NIP.