Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH MAHASISWA

SEMESTER V
TAHUN AKADEMIK 2019/2020

KELAINAN JARINGAN LUNAK RONGGA MULUT


GINGIVOSTOMATITIS HERPETIKA PRIMER

DISUSUN OLEH:
Siti Dwi J.I. Amani Fachira (2017.07.1.0015)
Satria Samodra Putra (2017.07.1.0023)
Grace Cecilia (2017.07.1.0025)
Husna Nabilah (2017.07.1.0035)
Riyan Chandra Anggraeni (2017.07.1.0040)
Bella Puspa Dewi (2017.07.1.0041)
Fernaldy Halim (2017.07.1.0052)
Dhinda Putri Nopa (2017.07.1.0066)
Syarifah Fatimatuzzahra (2017.07.1.0068)
Vera Maslakhatul Hidayah (2017.07.1.0084)
Githzsa Dwisty Marantika (2017.07.1.0088)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu penyakit yang sering terjadi dalam rongga mulut adalah
Gingivostomatitis Herpetika Primer. Gingivostomatitis Herpetika Primer
merupakan penyakit yang disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV) tipe I
yang mengenai area orolabialis. Penularan virus paling sering terjadi melalui
kontak langsung dengan lesi atau sekret oral dari individu yang terinfeksi.
Gingivostomatitis Herpetika Primer adalah infeksi yang ditandai dengan
timbulnya luka yang disertai rasa nyeri pada bibir atau bagian lain dari mulut di
sebabkan oleh Herpes Simplex Virus tipe I ( HSV tipe I) (Kusumastuti, 2017)
Umumnya infeksi Herpes labialis terbagi dalam 4 tahap yang berlangsung
selama 2-3 minggu. Tahap pertama ditandai dengan rasa tidak nyaman, gatal, dan
sensasi terbakar di sekitar bibir atau hidung selama 1-2 hari. Selain itu, gejala
tersebut dapat disertai demam dan dengan atau tanpa pembengkakan kelenjar
getah bening di bagian leher . Ketika masuk tahap kedua, muncul bintik-bintik
berisi cairan dalam bentuk tunggal atau multiple yang seringkali disertai rasa
nyeri. Tahap ketiga, bintik-bintik tersebut akan pecah dan membentuk luka yang
basah. Cairan yang keluar dalam vesikel akan menular pada bagian tubuh atau
orang lain yang melakukan kontak langsung dengan bagian yang terluka. Tahap
terakhir ditandai dengan luka yang mulai mengering dan sembuh (Aslanova dan
Zito, 2019)
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Gingivostomatitis Herpetika Primer adalah infeksi yang disebabkan
Herpes simplex virus (HSV) tipe I yang mengenai area orolabialis. Penularan
virus dapat terjadi melalui kontak langsung dengan lesi, seperti droplet saliva
dari individu yang terinfeksi. HSV dapat aktif kembali kapan saja sesuai
kondisi dan bisa menjadi laten di daerah masajaringan saraf dan ganglia
(misalnya, trigeminal ganglion. Umumnya herpes labialis muncul dalam 4
tahap yang berlangsung selama 2-3 minggu (Kusumasuti, 2017)

B. EPIDEMIOLOGI
Penyakit herpes simpleks tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria
maupun wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda.Epidemiologi virus
herpes tipe 1 dan tipe 2 berbeda. Virus herpes tipe 1 mungkin lebih konstan
terdapat pada manusia daripada virus lainnya. Infeksi primer terjadi pada
permulaan kehidupan dansering kali dalam bentuk asimptomatik atau timbul
gingivostomatitis akut. Antibodi timbul, tetapi virus tidak dapat disingkirkan
dari tubuh, keadaan pembawa virus yang berlangsung selama hidup
terbentukdan diperjelas oleh serangan herpes yang hilang timbul. Bila infeksi
primer dapat dihindari pada masa anak-anak, mungkin tidak akan terjadi
infeksi pada kehidupan selanjutnya, karena kemungkinan infeksi dengan virus
berkurang(kurang berkontaj dengan saliva orangyang terinfeksi)
(Kusumastuti, 2017).
Insidensi tertinggi pembawa virus tipe 1 pada orofaring seseorang yang
sehat terjadi antara anak-anak berusia 6 bulan sampai 3tahun. Menjelang
dewasa, 70-90% orang mempunyai antibodi tipe 1.Virus tipe 1 ditularkan
lebih mudah pada keluarga kelompok sosial ekonomi rendah. Keterangan
yang paling tepat karena keadaan kehidupan mereka yang lebih padat dan
standar higien yang rendah.Virus disebarkan secara kontak langsung (saliva)
atau melalui alat-alat yang terkontaminasi dengan saliva penyebar virus.
Sumber infeksi untuk anak-anak biasanya adalah orang tua dengan lesi
herpetikaktif (Novitasari dkk, 2017)
Penularan HSV2 biasanya melalui hubungan seksual . Tipe 2 biasanya
didapat karena penyakit yang ditularkan melaui hubungan kelamin, dan
distribusi umur penderita infeksi pertama sesuai dengan fungsi aktivitas
seksual. Bayi baru lahir dapat terkena infeksi tipe 2 dari lesi aktif pada jalan
lahir ibunya.Kontak dengan virus HSV 1 pada saliva dari carrier mungkincara
yang paling penting dalam penyebaran penyakit ini. Infeksidapat terjadi
melalui perantaraan petugas pelayanan kesehatan(seperti dokter gigi) yaitu
dari pasien HSV mengakibatkan lesi herpesbernanah (herpetic whitlow).
Kedua tipe baik tipe 1 dan tipe 2 mungkin ditularkan keberbagai lokasi
dalamtubuh melalui kontak oral-genital, oral-anal, atau anal-genital.Penularan
kepada neonatas biasanya terjadi melalui jalan lahir yang terinfeksi,
jarangterjadi didalam uterus atau postpartum (Novitasari dkk, 2017)

Masa Inkubasi
Masa inkubasi berlangsung dari 2 sampai dengan 12 hari.
Masa Penularan
HSV dapat diisolasi dalam 2 minggu dan kadang-kadang lebihdari 7
minggu setelahmuncul stomatitis primer atau muncul lesigenital primer.
Keduanya, yaitu baik infeksi primer maupuninfeksi ulang mungkin terjadi
tanpa gejala. Setelah itu, HSVmungkin ditemukan secara intermittent pada
mukosal selamabertahun-tahun dan bahkan mungkin seumur hidup, dengan
atautanpa gejala klinis. Pada lesiyang berulang,infektivitis lebihpendek
dibandingkan infeksi primer dan biasanya virus tidakbisa ditemukan lagi
setelah 5 hari (Putri dan Rahmayanti, 2017).
C. ETIOLOGI

Penyebab utama Primary Herpectic Gingivostomatitis adalah HSV 1


(Herpes Simplex Virus) tipe I yang mengenai daerah orolabialis
(Kusumastuti, 2016). Penularan virus paling sering terjadi melalui kontak
langsung dengan lesi atau sekret oral dari individu yang terinfeksi.
Kebanyakan infeksi HSV tipe 1 bersifat asimptomatik atau ringan. Dua, virus
DNA untai ganda dari famili Herpesviridae, HSV-1 dan HSV-2, diketahui
menyebabkan gingivostomatitis herpes primer dan berulang. HSV-1 sebagian
besar bertanggung jawab untuk infeksi oral, okular, dan wajah, sedangkan
HSV-2 terutama menghasilkan lesi herpes pada genital dan kulit tubuh bagian
bawah. Sementara sebagian besar kasus herpes gingivostomatitis dikaitkan
dengan infeksi HSV-1, kasus telah dilaporkan, sebagian besar pada pasien
yang lebih tua, isolasi HSV-2. Infeksi oral dengan HSV-2 mungkin ditularkan
melalui kontak orogenital dan juga telah diamati pada pasien HIV-positif dan
mereka yang menggunakan terapi imunosupresif (Aslanova dan Zito, 2019)
FAKTOR PREDISPOSISI

Faktor predisposisi Gingivostomatitis herpetika primer ialah sistem imun


yang buruk, seringkali menyertai kondisi infeksi akut seperti pneumonia,
meningitis, influenza, tifus, infeksi mononukleusis dan kondisi stress. Cara
penularan melalui dropplet infection dan kontak langsung (Putri dan
Rahmayanti, 2017)..
D. ETIOPATOGENESIS

Gingivostomatitis Herpetika Primer adalah infeksi yang ditandai dengan


timbulnya luka yang disertai rasa nyeri pada bibir atau bagian lain dari mulut
di sebabkan oleh Herpes Simplex Virus tipe I ( HSV tipe I). Penularan virus
paling sering terjadi melalui kontak langsung dengan lesi atau sekret oral dari
individu yang terinfeksi.Umumnya infeksi Herpes labialis terbagi dalam 4
tahap yang berlangsung selama 2-3 minggu. Tahap pertama ditandai dengan
rasa tidak nyaman, gatal, dan sensasi terbakar di sekitar bibir atau hidung
selama 1-2 hari. Selain itu, gejala tersebut dapat disertai demam dan dengan
atau tanpa pembengkakan kelenjar getah bening di bagian leher (Shah dkk,
2014).
Ketika masuk tahap kedua, muncul bintik-bintik berisi cairan dalam
bentuk tunggal atau multiple yang seringkali disertai rasa nyeri. Tahap ketiga,
bintik-bintik tersebut akan pecah dan membentuk luka yang basah. Cairan
yang keluar dalam vesikel akan menular pada bagian tubuh atau orang lain
yang melakukan kontak langsung dengan bagian yang terluka. Tahap terakhir
ditandai dengan luka yang mulai mengering dan sembuh. Lesi dapat kambuh
kembali secara berulang pada berbagai interval waktu. Lebih dari 15-30
persen penderita Gingivostomatitis Herpetika Primer mengalami infeksi
rekuren, terutama pada usia dewasa dengan rasio laki-laki dan perempuan
adalah sama. Mekanisme patogenesis Herpes Labialis belum diketahui secara
pasti namun kemungkinan infeksi tersebut terjadi karena virus bermigrasi ke
bagian distal melalui selubung epineural saraf trigeminal. Virus selanjutnya
mengalami proliferasi dan menginfeksi jaringan epitel pada terminal nerve
ending (Aslanova dan Zito, 2019).
Mekanisme secara imunologi
Virus herpes simplex merupakan virus DNA yang masuk melalui sel epitel
mukosa rongga mulut. Setelah sel epiterl mukosa terinfeksi, makan terjadi
perubahan degenerative dan edematosa sehingga terbentuk vesikula yang jika
pecah akan terbentuk ulser. Pada minggu pertama setelah timbuh manifestasi
klinis, atau dua minggu setelah terinfeksi, terdeteksi adanya sensitasi limfosit
oleh HSV. Satu sampai tiga minggu kemudian, tampak adanya antibody dan
MIF. Makrofag akan dimobilisasi ke daerah infeksi oleh MIF yang juga
meningkatkan aktivitas virusidal. Beberapa mediator limfokin selain MIF,
juga terdeteksi seperti limfotoksi, faktor kemotaksis, dan interferon. Limfosit
merupakan sittoksik untuk sel target yang terinfeksi HSV. Mekanisme
sitotoksik dan aksinya tergantung pada markah permukaan efektor dan sel
target (Roeslan, 2002).
Antibodi yang terbentuka akan berkombinasi dengan permukaan antigen
dan menyebabkan lisisnya sel karena aktivasi komplekmen. Namun, IgG
terhadap HSV justru mengakibatkan kelainan ini menjadi laten. Hipotesis
mengenai hal ini memperkitakan bahwa bagian Fab (fragmen antigen
binding) akan berikatan dengan antigen permukaan HSV sedangkan regia Fc
pada reseptor Fc, akibatnya akan trjadi perubahan konformasi pada molekul
antibody. Hipotesis tadi didukung dengan penemuan bahwa reseptor Fc pada
permukaan sel yang terinduksi HSV akan berikatan dnegan IgG atau fragmen
Fc IgG, maka replikasi virus akan terhambat. Bila terjadi imunodefisiensi
CMI, virus akan bereplikasi di dalam epitel dan mengakibatkan keadaan
rekuren (Roeslan, 2002).

E. DIAGNOSIS

Pemeriksaan Subjektif (Anamnesis)


Anamnesis adalah langkah pertama yang dilakukan oleh seorang dokter
untuk menentukan diagnosis dengan mengacu pada pertanyaan yang
sistematis yaitu dengan berpedoman pada empat pokok pikiran (The
Fundamental Four) dan tujuh butir mutiara anamnesis (The Sacred Seven).
Mengumpulkan riwayat penyakit pasien dapat mengerti dan memahami
pasien sehingga dokter dapat mengetahui keluhan utama pasien datang ke
dokter. Anamnesis yang baik juga dapat memberikan kemungkinan diagnosis
serta acuan untuk menyusun rencana perawatan (Novitasari, 2017).
Pada anamnesis pasien dengan gingivostomatitis herpetika primer diketahui
gejala-gejala seperti:
 Demam prodromal selama 1-3 hari.
 Kehilangan nafsu makan.
 Malaise (tubuh merasa lemas).
 Myalgia (nyeri otot) disertai sakit kepala.
 Nausea (mual).
 Nyeri saat menelan makanan.
 Tidak pernah mengalami sebelumnya.
 Pasien tidak alergi dengan sesuatu.
 Setelah demam muncul gelembung-gelembung kecil berisi cairan,
bergerombol, dan mudah pecah.
 Pada daerah gelembung terasa sakit dan panas (Glick, 2015; Kusumastuti,
2016).

Pemeriksaan Objektif
Pemeriksaan ekstraoral
 Terdapat gelembung-gelembung pada daerah sekitar bibir.
 Terdapat krusta pada daerah sekitar bibi.
 Bibir terlihat kering dan mengelupas.
 Pembesaran kelenjar limfe (limfadenopati), saat dipalpasi akan terasa lunak,
dapat digerakkan, dan terasa sakit (Glick, 2015; Kusumastuti, 2016; Putri,
2017):.

Pemeriksaan intraoral:
 Tampak gejala inflamasi berupa kemerahan dan oedema pada gingiva.
 Terdapat krusta multiple dengan tepi kemerahan dan dasar coklat pada
gingiva, palatum, dan mukosa oral. Luka tidak dapat dikerok dan burning
sensation.
 Terdapat ulser dengan tepi kemerahan dan dasar putih kekuningan pada
gingiva, palatum, dan mukosa oral. Luka terasa nyeri dan burning sensation
(Glick, 2015; Kusumastuti, 2016; Putri, 2017).

Pemeriksaan Penunjang
- Kultur Sel Oral Swab
Isolasi HSV melalui kultur sel merupakan gold standart test untuk diagnosis
karena mudah tumbuh di kultur jaringan. Spesimen biasanya didapatkan dari
oral swab.
Keuntungan kultur sel ini antara lain:
 Memiliki sensitivitas dan spesifikasi tinggi.
 Memungkinkan untuk amplikasi virion, subtipe, dan pengujian sensitivitas
obat antiviral.

Kerugian kultur sel ini antara lain:


 Memerlukan peralatan khusus yang mahal, tergantung pada media kultur.
 Penyembuhan lesi dengan virus yang lemah maka akan hasil tidak positif.
 HSV yang reaktif dengan saliva akan tumbuh pada kultur namun memberikan
hasil false positive (Glick, 2015).

- PCR
Dewasa ini, polymerase chain reaction (PCR) dari swab memberikan hasil
lebih akurat daripada kultur sel. PCR memberikan bukti sangat sensitive dan
spesifik. Namun, pengujian PCR sangat mahal dan mendeteksi DNA dan
tidak pada seluruh partikel infeksi. Sehingga hasil PCR positif HSV tidak
selalu sama dengan infeksi aktif. Namun, PCR adalah tes yang sangat
sensitive (Glick, 2015).
- Serologi
Infeksi HSV primer dikaitkan dengan peningkatan titer imunoglobulin (Ig) M
yang terjadi dalam beberapa hari, diikuti beberapa minggu kemudian oleh
titer IgG permanen (serokonversi) yang menunjukkan infeksi sebelumnya
tetapi tidak memberikan perlindungan terhadap reaktivasi. Infeksi berulang
dikaitkan dengan peningkatan titer antibodi IgG dalam serum akut dan
pemulihan, tetapi peningkatan empat kali lipat (kriteria yang menunjukkan
infeksi aktif) terlihat hanya pada 5% pasien. Uji untuk HSV IgM tidak terlalu
dapat diandalkan untuk tujuan diagnostik, dan secara keseluruhan,
penggunaan serologi saja untuk mendiagnosis infeksi berulang tidak
disarankan (Glick, 2015).

- Histopatologi dan Sitologi


HSV dapat diidentifikasi melalui scraping dari dasar lesi (terutama vesikel)
yang dioleskan pada slide kaca. Spesimen ini akan diwarnai dengan
pewarnaan Wright, Giemsa (persiapan Tzanck), atau papaniculou untuk
menunjukan karakteristik multinucleated giant cell atau intranuclear
inclusions yang terlihat pada histopatologi. Namun, tes dengan cara ini tidak
dapat membedakan antara HSV dengan VZV. Sediaan apusan serupa dapat
digunakan untuk uji deteksi antigen floressent langsung menggunakan
antibodi monoclonal terhadap HSV terkonjugasi ke senyawa fluorescent. Tes
ini lebih akurat daripada sitology rutin (Glick, 2015).
Lesi HSV umumnya tidak dibiopsi karena penampilan dan riwayat klinis
adalah karakteristik, dan infeksi dapat ditunjukkan dengan spesimen kultur
atau sitologi bila perlu. Namun, jika dilakukan scraping atau biopsi, ini akan
menunjukkan keberadaan sel epitel raksasa berinti banyak di tepi ulkus.
Karena epitel utuh diperlukan untuk diagnosis, biopsi untuk lesi yang
dicurigai untuk HSV harus selalu mencakup epitel yang berdekatan dengan
ulkus atau mungkin ada hasil negatif palsu (Glick, 2015).
Biopsi dari ulser akibat HSV

F. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding gingivostomatitis herpetika primer adalah penyakit
ulseratif oral yaitu candidiasis oral, hand foot and mouth disease dan
stomatitis apthosa rekuren. Gambaran karakteristik dapat digunakan untuk
membedakan gingivostomatitis herpetika primer dengan penyakit mulut lain
pada anak dan tidak disertai inflamasi pada gingival (Shah dkk, 2014).

Hand, foot, and mouth disease


Infeksi coxsackievirus (CV) memiliki manifestasi oral berupa ulserasi luad
dari rongga mulut yang menyerupai ulserasi luas seperti pada primary
herpetic gingivostomatitis. Namun pada HFM ulser umumnya tidak
bergerombol (Turton, 2017).

Stomatitis aftosa rekuren (SAR)


SAR dan primary herpetic gingivostomatitis memiliki gambaran klinis berupa
ulserasi dalam rongga mulut, namun pada SAR karakteristik ulser terdapat
membrane keabuan dengan tepi kemerahan yang tidak ditemukan pada
gingivostomatitis (Turton, 2017).
Infectious mononucleosis
Perbedaan dengan gingivostomatitis adalah pada infectious mononucleousis
karakteristik lesi yang terlihat adanya petechiae dengan ulserasi seperti pada
gingivostomatitis (Turton, 2017).

Behcet syndrome
Behcet syndrome merupakan kelainan keradangan dengan diserti adanya ulser
aftosa rekuren disertai beberapa komplikasi sistemik termasuk lesi pada
genital, atritis, uveitis, dan manifestasi pada saluran pencernaan seperti
irritable bowel syndrome (Turton, 2017).

Varicella
Karakteristik vesikel pada varicella dapat ditemukan juga pada kepala dan
tubuh serta ulser kecil yang dapat ditemukan di bagian belakang rongga mulut
(Turton, 2017) .

G. REKURENSI DARI INFEKSI HSV


Rekurensi infeksi HSV pada bibir disebut herpes simpleks labialis yang
terjadi 20%—40% dari populasi dewasa muda. Biasanya terjadi disertai
gejala prodromal, rasa gatal, kesemutan, dan sensasi terbakarpada sekitar
50% kejadian, diikuti dengan timbulnya vesikel, papula, ulser, krusta, dan
lesi yang bergerombol. Nyeri umumnya juga muncul pada dua hari pertama
(Glick, 2015)
Rekurensi HSV intraoral dalam tubuh imunokompeten terjadi terutama
pada mukosa kertain serperti mukosa palatum durum, attached gingiva, dan
dorsum lidah. Gejala klinisnya berupa ulser yang terasa nyeri, single maupun
multiple dengan diameter 1—5 mm, batas jelas dengan tepi eritematosa.
Salah satu gejala yang paling umum adalah adanya keluhan rasa nyeri pada
gingiva satu hingga dua hari setelah scaling dan profilaksis atau perawatan
gigi lainnya. Lesi muncul sebagai vesikel yang terasa nyeri berukuran 1—5
mm, dan sering muncul pada margin gingiva (Glick, 2015).
H. PENATALAKSANAAN
PERAWATAN FARMAKOLOGIS

Obat antivirus dapat digunakan dalam pengobatan Gingivostomatitis


Herpetika Primer. Obat tersebut terbukti efektif melawan infeksi HSV dengan
menghambat sintesis DNA virus sehingga perkembangbiakan herpes virus
terhambat. Obat topikal berupa salep/ krim yang mengandung preparat
idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) atau preparat asiklovir (zovirax)
dapat digunakan pada lesi dini. Pengobatan oral dapat menggunakan preparat
asiklovir yang efektif menyembuhkan penyakit akibat HSV. Parenteral
asiklovir atau preparat adenine arabinosid (vitarabin) dapat diberikan pada
penderita penyakit yang lebih berat atau apabila terjadi komplikasi pada
organ dalam. Obat yang diberikan oleh pasien adalah : (Scully,2013)

Acyclovir

Acyclovir termasuk obat herpes kulit yang pertama kali diproduksi dalam
bentuk salep dan saat ini lebih banyak yang berbentuk pil. Obat antivirus ini
sudah digunakan sejak tahun 1982.

Obat herpes jenis ini tergolong aman dan bisa dikonsumsi sehari-hari sesuai
kebutuhan. Dikutip dari American Sexual Health Association acyclovir telah
terbukti aman digunakan setiap hari selama 10 tahun.

Kegunaan

Obat ini bekerja dengan mengurangi tingkat keparahan dan jangka waktu
kemunculan penyakit. Dengan begitu, luka lebih cepat sembuh dan
mengurangi risiko terbentuknya luka baru.

Obat ini juga bisa membantu mengurangi rasa sakit setelah luka sembuh dan
membaik. Pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, obat
herpes ini bisa mengurangi risiko penyebaran virus ke bagian tubuh yang lain.
Penggunaan acyclovir dengan dosis 15 mg/kg sehari pada anak-anak juga
dapat mengurangi demam, mengurangi pelepasan HSV, menghentikan
perkembangan lesi, meningkatkan asuoan oral, dan mengurangi kejadian
masuk rumah sakit.

Efek samping obat

Rasa mual, diare, sakit kepala, dan muntah bisa muncul setelah minum obat
yang satu ini. Namun, segera konsultasikan ke dokter jika Anda mengalami
berbagai masalah serius seperti:

 Sakit punggung belakang atau samping yang tak biasa


 Urine lebih sedikit
 Perubahan suasana hati yang parah
 Kebingungan atau linglung
 Halusinasi
 Sulit menjaga keseimbangan

Untuk acyclovir oles, efek samping yang biasa dirasakan yaitu rasa terbakar
saat memakainya. Jika berbagai efek samping ini berlanjut, beritahukan
dokter yang menangani Anda.

Ingat, selalu konsumsi obat sesuai dengan petunjuk yang diberikan dokter dan
jangan asal-asalan.

Valacyclovir

Obat herpes yang satu ini merupakan terobosan yang lebih baru. Valacycloir
merupakan prodrug acyclovir. Memiliki tiga hingga lima kali lipat
bioavailibilitas acyclovir bersama famcyclovir.

Namun, obat ini menjadikan acyclovir lebih efisien sehingga tubuh bisa jadi
menyerap sebagian besar kandungan obat. Salah satu keunggulannya
dibanding acyclovir adalah obat ini bisa diminum siang hari tanpa
menyebabkan sakit kepala atau keliyengan.
Kegunaan

Sama seperti acyclovir, obat ini membantu meringankan keparahan dan


lamanya wabah. Selain itu, valacyclovir juga membuat luka menjadi lebih
cepat sembuh sehingga risiko munculnya luka baru pun berkurang. Obat ini
juga dapat membantu mengurangi lamanya rasa sakit yang tersisa setelah luka
sembuh.

Efek samping obat

Mual, sakit perut, sakit kepala, dan pusing bisa muncul sebagai efek samping
obat. Jika salah satu dari efek ini bertahan atau memburuk, beri tahu dokter
atau apoteker Anda segera.

Famciclovir

Famciclovir menggunakan penciclovir sebagai bahan aktifnya. Seperti


valacyclovir, obat herpes ini juga bertahan lebih lama jika sudah berada di
dalam tubuh. Oleh karenanya, obat ini hanya dikonsumsi dalam waktu
tertentu dan tidak boleh sering-sering.

Kegunaan

Obat herpes yang satu ini membantu mencegah HSV bereplikasi menjadi
semakin banyak. Selain itu, famciclovir juga bisa membantu mengurangi
keparahan dan meredakan gejala.

Pada orang dengan sistem kekebalan yang lemah, famciclovir dapat


mengurangi risiko penyebaran virus. Baik itu ke bagian tubuh yang lain atau
ke orang lain.

Efek samping

Sakit kepala, mual, dan diare adalah efek samping paling sering muncul
setelah minum famciclovir. Namun, gejalanya biasanya ringan sehingga tak
sampai mengganggu aktvitas. Jika gejalanya terus memburuk, ada baiknya
untuk segera konsultasi ke dokter.

Manajemen Nyeri, Perawatan Suportif, dan Perawatan Definitif

Selain penggunaan antiviral, pengendalian nyeri, perawatan suportif, dan


perawatan definitive (Glick, 2015).

TERAPI NON-FARMAKOLOGIS

Terapi non-farmakologi primary herpetic gingivostomatitis :


Perawatan non farmakologi juga sangat penting. Meningkatkan kekebalan
tubuh dengan istirahat dan makan-makanan bergizi karena infeksi virus
akan cepat membaik dengan meningkatnya system imun tubuh. Manajemen
stress dan berbagai tehnik kognitif-perilaku, termasuk latihan relaksasi,
biofeedback dan hypnosis dapat bermanfaat sebagai terapi penunjang.
Pasien perlu diberi penjelasan mengenai perjalanan penyakitnya, dibuat
strategi untuk mengikatkan kepatuhan pasien dan mempercepat kembali ke
aktivitas sebelum sakit (Suniti, 2018).
Pengeloaan stres oleh bagian Ilmu Penyakit Mulut yang dapat diberikan
berupa sugesti terhadap diri sendiri (self suggetion). Sugesti terhadap diri
sendiri memiliki pengaruh terhadap perubahan psikologis yang diakibatkan
lingkungan, dengan demikian pemberian pengelolaan stres pada pasien yang
dipicu stres emosional dapat mempercepat penyembuhan infeksi (Suniti,
2018).
Pada pasien dengan gingivostomatitis aktif juga dianjurkan untuk
menggunakan barrier lip cream seperti petroleum jelly yang dapat
mencegah penularan penyakit (Glick, 2015)
DAFTAR PUSTAKA

1. Aslanova, M. dan Zito, P. M. 2019. Herpetic Gingivostomatitis [Internet].


StatPearls Publishing.Available at
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526068/ diakses pada 10
September 2019
2. Glick, M. 2015. Burket’s Oral Medicine 12th Edition. Suite: People’s
Medical Publishing House-USA.
3. Kusumastuti, E. 2016. Gingivostomatitis Herpetika Primer Pada Ny. N
Usia 32 Tahun. Jurnal Wiyata. 3(2): 156-161.
Available on
https://pdfs.semanticscholar.org/bd8e/1f58a789df27e282ecc8f9d3d02c295
50cdb.pdf diakses pada 08 September 2019.
4. Marlina, E. dan Soenartyo, H. 2012. Primary Herpetic Gingivostomatitis
pada Individu Dewasa Muda. Dentofasial. 11(2): 111-114.
Available on https://jdmfs.org/index.php/jdmfs/article/viewFile/323/323
5. Novitasari, A., Ridlo, S., dan Kristina, T. N. 2017. Intrumen Penilaian Diri
Kompetensi Klinis Mahasiswa Kedokteran. Journal of Education
Research and Evaluation. 6(1): 81-89.
Available on
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jere/article/download/16212/8493
diakses pada 08 September 2019.
6. Putri, A. A. M. dan Rahmayanti, F. 2017. Management of Acute (Primary)
Herpetic Gingivostomatitis in Immunocompetent Adult Patient: A Case
Report. Advances in Health Science Research. 8: 30-33.
Available on https://www.atlantis-press.com/proceedings/idcsu-
17/25891905 diakses pada 08 September 2018.
7. Raborn, G.W and Grace, M. G. A. 2003. Recurrent Herpes Simplex
Labialis: Selected Therapeutic Options. Journal of the Canadian Dental
Association. Vol, 69 (8) : 489;503. Available at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/12954137/
8. Roeslan, B. O. 2002. Imunologi Oral Kelainan di Dalam Rongga Mulut.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
9. Scully, C. 2013. Oral and Maxillofacial Medicine. The Basis of
Diagnosis and Treatment. Churchill Livingstone Elsevier. Edinburg. p.4-
17 : 233-238.
10. Shah S, Dkk, 2014. Primary Herpetic Gingivostomatitis: A Case Report
and Review Of Literature. Department of Oral Medicine & Radiology,
Teerthanker Mahaveer Dental College & Research Centre, Moradabad
11. Sharma R. June. 2006. Herpes simplex. eMedicine [Internet]
12. Suniti dan Setiadhi, R., 2018. Infeksi Herpes Simpleks Virus 1 Rekuren
dengan Faktor Predisposisi Stress Emosional. 31 Desember.pp. 207-214.
Available at :http://jurnal.unpad.ac.id/jkg/article/view/17964/9227
Diakses pada tanggal 08-09-2019
13. Turton, M. 2017. A Case Report on Symptomatic Primary Herpetic
Gingivostomatitis. Journal of Dental Health Oral Disorders & Therapy.
8(8): 2-4.Available on
https://pdfs.semanticscholar.org/8da2/8bb0eeb9dd5bd765018787d0ad375
4951525.pdf diakses pada 08 September 2019.

Anda mungkin juga menyukai