BAB I
TEORI DASAR
A. Pengertian dan Tipe-Tipe Jembatan
1. Pengertian jembatan
Penetapan bangunan
atas jembatan
4) Jembatan gantung
b. Jembatan-jembatan dapat digerakkan
Untuk suatu kepentingan yang khusus maka dibuatlah jembatan dapat digerakkan. Ini
terdapat bila ada pelayaran dan tinggi bebasnya tidak dapat dibuat cukup tinggi untuk
kapal dapat melewati di bawahnya. Untuk melewatkan suatu kapal dibuatlah suatu
ruangan dengan lebar pelayaran yang tertentu. Dapat dibagi dalam beberapa kategori,
yaitu :
1) Jembatan yang dapat berputar di atas poros mendatar, yaitu :
a) Jembatan angkat
b) Jembatan baskul
c) Jembatan lipat straus
2) Jembatan yang dapat berputar di atas poros mendatar juga termasuk poros-poros
yang dapat berpindah sejajar dan mendatar seperti yang dinamakan jembatan
baskul beroda.
3) Jembatan yang dapat berputar pada suatu poros tegak atau jembatan putar.
4) Jembatan yang dapat berkisar ke arah tegak lurus mendatar, yaitu :
a) Jembatan angkat
b) Jembatan beroda
c) Jembatan gojah atau trans berdeur
Sebagai bagian dari suatu jaringan jalan, bangunan atas jembatan dapat
diklasifikasikan atas beberapa tipe, yaitu :
a. Tipe plat beton
Jembatan plat beton adalah tipe jembatan yang paling sederhana dan pelaksanaannya
mudah serta ekonomis. Penggunaan jembatan jenis ini hanya terbatas pada bentang-
bentang yang pendek saja.
b. Tipe balok dan plat
c. Box girder
d. Rangka
e. Sistem konstruksi kabel (jembatan gantung)
Apabila ditinjau dari segi konstruksi, bangunan atas jembatan dapat dibedakan
atas beberapa tipe, yaitu :
f. Jembatan beton
Beton telah banyak dikenal dalam dunia konstruksi dewasa ini. Dengan kemajuan
teknologi beton dimungkinkan untuk memperoleh bentuk penampang beton yang
beragam. Bahkan dalam kenyataan sekarang, jembatan beton ini tidak hanya berupa
beton bertulang konvensional saja, tetapi telah dikembangkan jembatan prategang.
Sedangkan bila ditinjau dari bahan yang digunakan, bangunan atas jembatan dapat
dibedakan atas :
a. Konstruksi kayu
Dalam penerapannya, konstruksi kayu mudah untuk dilaksanakan dan membutuhkan
teknologi yang sederhana serta bahan mudah diperoleh di sekitar lokasi pekerjaan.
Namun konstruksi kayu memiliki kemampuan memikul beban yang terbatas, rentan
terhadap pengaruh pelapukan dan panjang bentang yang relatif terbatas serta memiliki
umur layanan yang relatif pendek. Oleh karena sifatnya, konstruksi kayu lebih baik
dipergunakan untuk konstruksi sementara.
d. Konstruksi komposit antara gelagar pratekan dan lantai kendaraan beton bertulang.
Pada dasarnya konstruksi komposit antara gelagar pratekan dan lantai kendaraan
beton bertulang merupakan upaya untuk mengurangi jenis peralatan yang digunakan
dalam pelaksanaan pekerjaan. Karena hanya bagian gelagar yang membutuhkan
peralatan yang spesifik. Kemampuan layanan, bentang maksimum, daya tahan
terhadap pengaruh pelapukan dan korosi serta umur layanan konstruksi sama dengan
pada konstruksi beton pratekan seluruhnya.
Namun baja merupakan material yang harus didatangkan dari tempat lain sehingga
memerlukan biaya mobilisasi yang cukup tinggi dan konstruksi rangka baja harus
dipelihara dengan teratur.
f. Konstruksi komposit antara gelagar baja dan lantai kendaraan beton bertulang.
Konstruksi ini merupakan upaya untuk mengurangi pemakaian baja profil tanpa
mengurangi panjang bentang jembatan secara drastis. Memiliki kemampuan untuk
memikul beban yang besar dan masa layanan yang panjang serta tahan terhadap
pengaruh pelapukan dan korosi.
Dalam model tabel pemilihan konstruksi jembatan dapat dibuat sebagai berikut :
Tabel 1. Pemilihan konstruksi jembatan
Parameter 1 2 3 4 5 6
a. Intensitas muatan - X X X X X
b. Ketersediaan material X X X X - -
c. Umur rencana - X X X X X
d. Kondisi lingkungan - X X X X X
e. Teknologi yang tersedia X X X X X X
Keterangan :
1. Konstruksi kayu
2. Konstruksi beton bertulang
3. Konstruksi beton pratekan seluruhnya
4. Konstruksi beton pratekan komposit
5. Konstruksi rangka baja
6. Konstruksi gelagar baja komposit
Berdasarkan Tabel 1 di atas, maka alternatif yang cocok diterapkan pada
perencanaan adalah :
a. Konstruksi beton bertulang (2)
b. Konstruksi beton pratekan seluruhnya (3)
c. Konstruksi beton komposit (4)
Berdasarkan data di atas, maka rancangan Jembatan Mamboro dipilih
menggunakan tipe ke-2 yaitu konstruksi beton bertulang dengan alasan lebih mudah
dilaksanakan dan ekonomis.
Konstruksi dari suatu struktur jembatan dapat digolongkan dalam dua bagian utama,
yaitu struktur bangunan atas jembatan (superstruktur) dan struktur bangunan bawah jembatan
(substruktur). Secara umum bagian dari struktur bangunan atas jembatan tersebut terdiri dari :
1. Gelagar
Balok gelagar pada suatu konstruksi berfungsi untuk memikul beban dari plat
lantai kendaraan dan trotoar yang kemudian beban tersebut didistribusikan ke abutment.
Balok gelagar ini dapat berupa balok pracetak atau balok yang dicor atau dicetak di lokasi
pekerjaan.
Bila balok tersebut dicor atau dicetak di lokasi pekerjaan maka hendaknya dicetak
menjadi satu kesatuan yang monolit dengan plat lantai didasarkan pada anggapan bahwa
antara plat dengan balok terjadi interaksi saat menahan momen lentur positif yang bekerja
pada balok-T. Gelagar yang meliputi :
a. Balok utama (induk)
b. Balok lintang (sekunder)
2. Pelat lantai kendaraan
Pelat lantai kendaraan adalah seluruh lebar bagian jembatan yang digunakan untuk
lalu lintas kendaraan. Fungsi utama plat lantai pada konstruksi jembatan selain sebagai
jalur lintasan kendaraan juga sebagai struktur penerima beban yang paling awal dari
semua komponen jembatan untuk kemudian disalurkan ke gelagar. Petak plat dibatasi
oleh balok anak (diafragma) pada kedua sisi panjang dan balok induk pada kedua sisi
pendek.
Apabila plat didukung sepanjang keempat sisinya seperti yang disebutkan diatas,
dinamakan plat dua arah dimana lentur akan timbul pada kedua arah yang saling tegak
lurus. Namun apabila perbandingan sisi panjang terhadap sisi pendek yang saling tegak
lurus lebih kecil dari 2(dua), plat hanya dapat dianggap bekerja sebagai plat satu arah,
dengan lenturan utama pada sisi yang lebih pendek sehingga struktur plat satu arah dapat
didefinisikan sebagai plat yang didukung pada kedua tepi yang berhadapan sedemikian
sehingga lenturan timbul hanya dalam satu arah saja, yaitu dalam arah yang tegak lurus
terhadap arah dukungan tepi.
Tulangan pokok lentur plat satu arah dipasang pada arah tegak lurus terhadap
dukungan. Standar SK SNI T-15-1991-03 pasal 3.16.12 menetapkan bahwa untuk plat
lantai serta atap struktural yang hanya menggunakan tulangan pokok, harus dipasang juga
tulangan penahan susut dan suhu dengan arah tegak lurus terhadap tulangan pokoknya.
3. Struktur pelengkap
a. Sandaran (Pipa sandaran dan tiang sandaran)
Sandaran berguna untuk memberikan arah dan kenyamanan bagi kendaraaan
yang melewati jembatan. Pada jembatan konstruksi beton, tiang sandarannya dibuat
dari beton bertulang yang berfungsi sebagai tempat melekatnya pipa sandaran.
Sedangkan sandarannya dibuat dari pipa baja dengan ukuran kira-kira 2” dan jarak
antara tiang sandaran yang satu dengan yang lainnya biasanya 2 meter dari sumbu ke
sumbu tiang sandaran. Merupakan bagian dari konstruksi jembatan yang berfungsi
sebagai tempat pegangan dan batas pengaman bagi pejalan kaki yang melintasi
jembatan tersebut.
b. Lantai trotoar
Lantai trotoar merupakan bagian dari lebar jembatan yang dipergunakan oleh
pejalan kaki. Berfungsi sebagai penerima beban yang bekerja di atasnya dan
menyalurkannya ke gelagar utama.
Pada struktur bangunan bawah jembatan terdiri dari abutment, pilar dan
pondasi adalah bagian yang menjadi penopang dan dasar dari bangunan atas
jembatan. Pada proses perencanaan suatu struktur jembatan sangat dibutuhkan suatu
data yang valid dari data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang kita
sendiri langsung mengadakan survei yang pada akhirnya didapatkan data. Data
sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi bersangkutan melalui konsultan dan
pengawas proyek atau data hasil penelitian dari orang lain. Dengan data tersebut
merupakan suatu bahan pemikiran dan pertimbangan sebelum kita mengambil
keputusan akhir (final design).
Struktur jembatan yang berfungsi paling tepat untuk suatu lokasi tertentu adalah yang
paling baik memenuhi pokok-pokok perencanaan berikut :
1. Kekuatan unsur struktural dan stabilitas struktural keseluruhan
2. Kelayanan
3. Keawetan
4. Kemudahan pelaksanaan konstruksi
5. Ekonomis dapat disetujui
6. Bentuk estetika baik
Maksud seluruh tahapan perencanaan adalah untuk menemukan struktur yang akan
memenuhi pokok-pokok perencanaan diatas. Tahapan perencanaan adalah bersifat uji coba.
Ini dimulai dengan suatu definisi dari masalah dan berkembang dalam hasil yang berguna
setelah beberapa percobaan dan modifikasi. Berikut ini merupakan suatu proses tahapan
perencanaan yang paling perlu dilaksanakan :
Rencana Permulaan - Perencanaan struktural, beban, analisis, pengaturan dimensi dan perencanaan lain
Pilihan
Modifikasi
Evaluasi Akhir
Penggunaan
Jembatan dengan bentang yang besar akan mempunyai berat sendiri yang cukup besar
dan kadangkala menyebabkan pemborosan. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut dapat
membuat pilar atau bangunan bawah di tengah bentang dengan bangunan atasnya terdiri dari
dua atau lebih bentang pendek.
Semua pembebanan yang bekerja pada konstruksi yang digunakan dalam perencanaan
jembatan ini mengacu pada sistem pembebanan berdasarkan Bridge Management System
(BMS) yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum
tahun 1992. Pembebanan yang bekerja pada jembatan dapat dirinci sebagai berikut :
1. Beban primer
Beban primer adalah muatan yang merupakan beban utama dalam perhitungan
tegangan untuk merencanakan jembatan. Adapun beban-beban yang termasuk dalam
beban primer ini adalah :
Beban mati adalah berat bahan dan bagian jembatan yang merupakan elemen
struktural, ditambah dengan elemen non struktural yang dianggap tetap. Beban mati
adalah semua beban yang berasal dari berat sendiri jembatan atau bagian tertentu dari
jembatan yang merupakan elemen struktural yang bersifat tambahan dan dipasang
secara permanen serta menjadi satu kesatuan dengan jembatan tersebut.
Dalam menentukan besarnya beban mati pada perencanaan ini, harus digunakan nilai
berat isi masing-masing bahan bangunan seperti pada tabel di bawah ini.
Berat isi, Berat isi,
No Jenis Material
ton/m3 kN/m3
1 Air 1,00 9,80
2 Aluminium 2,80 27,44
3 Baja profil 7,85 77,00
4 Baja tuang 7,25 71,00
5 Beton bertulang/pratekan 2,40/2,50 25.00
6 Beton biasa, tumbuk dan siklop 2,20 24,00
7 Perkerasan jalan beraspal 2,00-2,50 19.60-24.50
8 Pasangan batu/bata 2,00 19.60
9 Tanah, pasir, kerikil (dalam keadaan 2,00 19.60
padat)
10 Kayu lunak 7,80
11 Kayu keras 11,00
Sumber: Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya, 1987 dan BMS 1992
Khusus untuk perencanaan jembatan beton bertulang, beban mati (D) terbagi atas :
1) Beban mati merata (QD) yang terdiri atas :
a) Berat sendiri plat lantai jembatan = tebal lantai x bentang plat x berat jenis
beton. Wplat = hf x Lp x b
b) Berat perkerasan = tebal aspal x bentang plat x berat jenis aspal. Ws = ts x Lp
x s
c) Berat genangan air = tebal air x bentang plat x berat jenis air.
Wair = tw x Lp x w
d) Berat gelagar = penjumlahan luasan gelagar x berat jenis beton. Wg = Ag x
b
e) Berat trotoar = tebal trotoar x bentang trotoar x berat jenis beton. Wt = tt x Lt
x b
2) Beban mati titik (PD)
Beban mati titik berupa berat terpusat dari balok diafragma.
Berat balok diafragma = lebar diafragma x tinggi diafragma x panjang
diafragma x berat jenis beton PD = bd x hd x ld x b.
Beban mati tambahan adalah berat semua elemen tidak struktural yang dapat
bervariasi selama umur jembatan seperti :
1) Perawatan permukaan khusus.
2) Pelapisan ulang dianggap sebesar 50 mm aspal beton (hanya digunakan dalam
kasus menyimpang dan dianggap nominal 22 kN/m3).
3) Sandaran, pagar pengaman dan penghalang beton.
4) Tanda-tanda.
5) Perlengkapan umum seperti pipa air dan penyaluran (dianggap kosong atau
penuh).
Susut dan rangkak menyebabkan momen dan geser serta reaksi kedalam komponen
tertahan. Pada U.L.S. penyebab gaya-gaya tersebut umumnya diperkecil dengan
retakan beton dan baja leleh. Untuk alasan ini, beban faktor U.L.S. yang digunakan
1,0. Pengaruh tersebut dapat diabaikan pada U.L.S. sebagai bentuk sendi plastis.
Bagaimanapun pengaruh tersebut seharusnya dipertimbangkan pada S.L.S.
Beban hidup (L) adalah semua beban yang berasal dari berat kendaraan-kendaraan
bergerak/lalu lintas dan atau pejalan kaki yang dianggap bekerja pada jembatan.
Beban kendaraan mempunyai tiga komponen :
1) Komponen vertikal
2) Komponen rem
3) Komponen sentrifugal (untuk jembatan melengkung).
Beban hidup (L) atau beban lalu lintas untuk perencanaan jembatan jalan raya yang
harus ditinjau terdiri dari atas dua macam yaitu beban truk “T” yang merupakan
beban terpusat untuk lantai kendaraan dan beban lajur “D”, yang merupakan beban
jalur untuk gelagar.
275
5m 4-9 m 50 175 50
50 kN 200 kN 200 kN
500 mm
25 kN
100 kN
2,75 m
125 mm
200 mm 100 kN
25 kN
200 mm
2,75 m
1 jalur
Beban terbagi rata (q) t/m
Lebar jalur lalu lintas minimum adalah 2,75 meter dan lebar maksimum 3,75 meter.
Lebar jalur minimum ini dipakai untuk menentukan beban “D” tiap jalur dan besarnya
“q” ditentukan sebagai berikut :
15
q = 8,0 0,5 kPa untuk L > 30 m …………(2.3)
L
q 2,20 t m1
1,1
L 30t m1 untuk 30 m < L < 60 m .....(2.4)
60
30
q 1,11 t m1 untuk L 60 m ……........(2.5)
L
Keterangan : L = panjang bentang jembatan dalam meter. (PPPJJR, 1987)
Beban UDL boleh ditempatkan dalam panjang terputus agar terjadi pengaruh
maksimum. Beban lajur D ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas.
Ketentuan penggunaan beban “D” dalam arah melintang pada suatu jembatan adalah
sebagai berikut :
a) Bila lebar lantai kendaraan suatu jembatan sama atau lebih kecil dari 5,50 meter,
beban “D” sepenuhnya (100%) harus dibebankan pada seluruh lebar jembatan
(5,50 m).
b) Bila lebar lantai kendaraan suatu jembatan lebih besar dari 5,50 meter, beban “D”
sepenuhnya (100%) dibebankan pada jalur dengan lebar 5,50 meter dan lebar
selebihnya dibebani hanya separuh beban “D” (50%).
½P P ½P
½q q ½q
5,5 m
bef q
QL = q. q.0,35 x0,25 Gelagar tengah (B) (2.10)
2 2
bef
QL = q.0,5. q.0,5.0,45 Gelagar tepi (C) .….(2.11)
2
Adapun beban hidup yang bekerja pada struktur pelengkap jembatan bagian atas,
berupa muatan yang bekerja pada trotoar, kerb dan sandaran (PPPJJR,1987)
diperhitungkan sebagai berikut :
1) Konstruksi dari trotoar harus diperhitungkan terhadap muatan hidup sebesar 500
kg/m2. Dalam perhitungan kekuatan gelagar karena pengaruh muatan hidup pada
trotoar diperhitungkan beban sebesar 60% dari muatan hidup trotoar tersebut.
2) Kerb yang terdapat pada tepi lantai kendaraan harus diperhitungkan untuk dapat
menahan satu muatan horisontal ke arah melintang jembatan sebesar 500 kg/m 1
yang bekerja pada puncak kerb atau pada tinggi 25 cm dari permukaan lantai
kendaraan.
3) Tiang-tiang sandaran pada setiap tepi trotoar harus diperhitungkan untuk dapat
menahan muatan horisontal sebesar 100 kg/m1, yang bekerja pada tinggi 90 cm
dari lantai trotoar.
Menurut BMS :
Beban garis (PL)
PL = P.bef .k Gelagar tengah (A) (2.16)
bef P
PL = P. P.0,35 x0,25 k Gelagar tengah (B) (2.17)
2 2
Bagian bangunan jembatan yang menahan tanah harus direncanakan untuk dapat
menahan tekanan tanah sesuai dengan rumus-rumus yang berlaku tentang tekanan
tanah pada konstruksi sipil yang ada, khususnya jembatan. Beban kendaraan di
belakang bangunan penahan tanah (tekanan horizontal akibat beban kendaraan
vertikal) harus diperhitungkan senilai dengan muatan setinggi 60 cm. Dalam tugas ,
gaya akibat tekanan tanah tidak dijelaskan lebih lanjut, karena perencanaan yang
dibuat hanya dibatasi pada perencanaan superstruktur dengan beton bertulang.
2. Beban sekunder
Beban sekunder adalah beban yang merupakan beban sementara yang selalu
diperhitungkan dalam perhitungan tegangan pada setiap perencanaan jembatan. Beban
sekunder ini terdiri dari beban angin, gaya akibat perbedaan suhu, gaya akibat rangkak
dan susut, gaya rem dan traksi, gaya akibat gempa bumi serta gaya gesekan pada tumpuan
yang bergerak. Pada umumnya beban sekunder ini mengakibatkan tegangan-tegangan
yang relatif lebih kecil dari tegangan-tegangan akibat beban primer kecuali gaya akibat
gempa bumi dan gaya gesekan yang kadang-kadang menentukan dan biasanya tergantung
dari panjang bentang, bahan, sistem konstruksi dan tipe jembatan serta keadaan setempat.
a. Beban angin
Adanya pengaruh beban angin sebesar 150 kg/m2 pada jembatan ditinjau berdasarkan
bekerjanya beban angin horisontal terbagi rata pada bidang vertikal jembatan dalam
arah tegak lurus sumbu memanjang jembatan. Jumlah luas bidang vertikal bangunan
atas jembatan yang dianggap terkena oleh angin ditetapkan sebesar suatu persentase
tertentu terhadap luas bagian-bagian sisi jembatan dan luas bidang vertikal beban
hidup yang mempunyai tinggi menerus sebesar 2 meter di atas lantai kendaraan.
Dalam menghitung jumlah luas bagian-bagian sisi jembatan yang terkena angin dapat
digunakan ketentuan sebagai berikut :
Tabel 7. Intensitas beban pejalan kaki untuk trotoar jembatan jalan raya
Luas terpikul oleh unsur Intensitas beban pejalan kaki nominal
(m2) (kPa)
A < 10 m2 5
10 m2 < A < 100 m2 5,33 – A/30
A > 100 m2 2
Bila kendaraan tidak dicegah naik ke kerb oleh penghalang rencana, trotoar
juga harus direncanakan agar menahan beban terpusat = 20 kN.
3. Beban khusus
Beban khusus adalah beban yang merupakan beban-beban khusus untuk
perhitungan tegangan-tegangan pada perencanaan jembatan. Diterapkan pada jenis-jenis
jembatan dengan fungsi pelayanan khusus dan untuk jembatan dengan kondisi lapangan
yang khusus pula.Beban-beban yang termasuk beban khusus adalah :
a. Gaya sentrifugal
Konstruksi jembatan yang ada pada tikungan harus diperhitungkan terhadap suatu
gaya horizontal radial yang dianggap bekerja pada ketinggian 1,80 m di atas lantai
kendaraan. Gaya horizontal tersebut dinyatakan dalam proses terhadap beban “D”
yang dianggap ada pada semua jalur lalu-lintas tanpa dikalikan dengan koefisien
kejut. Besarnya prosentase tersebut dapat ditentukan dengan rumus :
0,79.V 2
Ks ………………………………………………...(2.19)
R
Keterangan : Ks = koefisien gaya sentrifugal
V = kecepatan rencana
R = jari-jari tikungan
Ah = k . Va2 ………………………………………………..(2.20)
Keterangan : Ah = tekanan aliran air
Va = kecepatan aliran air
k = koefisien aliran yang tergantung bentuk pilar
d. Gaya angkat
D. Distribusi Beban
Momen lentur rencana akibat pembebanan truk “T” yang diberikan dibawah dapat
digunakan untuk plat lantai yang membentangi gelagar atau balok dalam arah
melintang, dimana bentang berada antara 0,6 - 7,4 m.
Bentang efektif S diambil sebagai :
1) Pelat lantai bersatu dengan balok atau dinding (tanpa peninggian).
S = bentang bersih.
2) Pelat lantai didukung pada gelagar dari bahan berbeda atau tidak dicor menjadi
kesatuan S = bentang bersih + setengah lebar dudukan tumpuan
a) Pelat lantai terletak sederhana
Momen lentur rencana (untuk bentang terletak sederhana) per meter lebar plat
diberikan oleh :
S 0,6
P kNm ………………………………………….(2.21)
10
dengan :
S = bentang efektif (m) seperti ditentukan diatas
P = beban roda dari gambar 4 (kN) dan faktor untuk U.L.S. atau S.L.S.
diperlukan.
b) Pelat lantai menerus
Untuk pelat lantai menerus antara dua atau lebih perletakan, suatu faktor
pengaruh menerus sebesar 0,8 dapat digunakan pada rumus pelat terletak
sederhana untuk momen positif dan negatif.
c) Pelat kantilever
Momen lentur negatif rencana per meter lebar akibat tiap roda diberikan oleh :
PX
kNm …………………………………………………..(2.22)
E
dengan :
E = 0.8X + 1.1 (m).
X = Jarak dari beban ke permulaan asal kantilever (m).
P = Beban roda dari gambar 4 (kN) dan faktor untuk U.L.S atau S.L.S.
diperlukan
Pelat kantilever juga harus direncanakan untuk momen lentur positif
maksimum sebesar 0.25momen lentur negatif akibat satu roda.
Beban sandaran yang bekerja pada tiap tiang sandaran dapat dianggap tertahan
oleh suatu panjang efektif dari pelat kantilever sebesar E = 0.8X + 1.1 (m)
dimana tidak digunakan tembok pengaman dan sebesar E = 0.8X + 1.5 (m)
bila digunakan tembok pengaman dengan X sebagai jarak (m) dari pusat tiang
sandaran terhadap titik yang ditinjau.
Untuk menyediakan distribusi lateral dari beban terpusat, tulangan pembagi dalam
arah melintang terhadap tulangan utama harus ditempatkan dalam semua pelat,
kecuali bahwa persyaratan ini tidak akan berlaku bila kedalaman timbunan diatas
pelat melebihi 600 mm.
b. Beban “D”
Dalam menghitung momen dan gaya lintang dan kekuatan yang sama atau hampir
sama sehingga penyebaran beban “D” melalui lantai kendaraan ke gelagar-gelagar
harus dihitung dengan cara sebagai berikut :
1) Gelagar tengah
q
Beban merata : q' x .s …………………………………...(2.23)
2,75
p
Beban garis : p' x .s …………………………………...(2.24)
2,75
Keterangan :
s = jarak gelagar yang berdekatan diukur dari as ke as
= faktor distribusi
= 0,75 bila kekuatan gelagar melintang diperhitungkan
= 1 bila kekuatan gelagar melintang tidak diperhitungkan
2) Gelagar tepi
1. Persyaratan kekuatan
Struktur bangunan dan komponen-komponennya harus direncanakan untuk mampu
memikul beban lebih di atas beban yang diharapkan bekerja. Kapasitas lebih tersebut
disediakan untuk memperhitungkan dua keadaan yaitu terdapatnya beban kerja yang lebih
besar dan kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuatan komponen struktur akibat
bahan dasar ataupun pengerjaan yang tidak memenuhi syarat. Kekuatan yang tersedia >
Kekuatan yang dibutuhkan.
Kekuatan yang dibutuhkan atau disebut kuat perlu menurut SK SNI T-15-1991-03
dapat diungkapkan sebagai beban rencana ataupun momen, gaya geser dan gaya-gaya lain
yang berhubungan dengan beban rencana. Beban rencana atau beban terfaktor didapatkan
dari mengalikan beban kerja dengan faktor beban. Untuk beban mati (D) dan hidup (L),
SK SNI T-15-1991-03 pasal 3.2.2 ayat 1 menetapkan bahwa beban rencana dan gaya
geser rencana serta momen rencana ditetapkan hubungannya dengan beban kerja atau
beban berguna melalui persamaan sebagai berikut :
Dimana U adalah kuat rencana (kuat perlu), D adalah beban mati dan L adalah beban
hidup. Faktor beban berbeda untuk beban mati, beban hidup dan beban angin ataupun
beban gempa. Ketentuan faktor untuk jenis pembebanan lainnya tergantung pada
kombinasi pembebanannya yang terdapat dalam SK SNI T-15-1991-03 pasal 3.2.2 ayat 2,
3 dan 4.
Beban merata terfaktor QU = 1,2QD + 1,6QL
Beban titik terfaktor PU = 1,2PD + 1,6PL
Beban momen terfaktor MU = 1,2MD + 1,6ML
Pasal 3.2.3 memberikan ketentuan konsep keamanan lapis kedua yaitu reduksi
kapasitas teoritik komponen struktur dengan mengunakan faktor reduksi kekuatan ()
dalam menentukan kuat rencananya. Pemakaian faktor dimaksudkan untuk
memperhitungkan kemungkinan penyimpangan terhadap kemunduran kekuatan bahan,
kesalahan pengerjaan, ketidaktepatan ukuran dan pengendalian serta pengawasan
pelaksanaan. Dengan demikian apabila faktor dikalikan dengan kuat ideal teoritik
berarti sudah termasuk memperhitungkan daktilitas dan kepentingan serta tingkat
a. Beton tidak dapat menerima gaya tarik karena beton tidak mempunyai kekuatan
terhadap gaya tarik.
b. Perubahan bentuk berupa pertambahan panjang dan perpendekan (regangan tarik dan
tekan) pada serat penampang berbanding lurus dengan jarak tiap serat ke sumbu
netral.
c. Hubungan antara tegangan dan regangan baja (s dan s) dapat dinyatakan secara
skematis.
MOH. YUSUF KAHAR / F 111 17 119
TUGAS MATA KULIAH
TADULAKO UNIVERSITY – CIVIL ENGINEERING
d. Hubungan antara tegangan dan regangan beton (c dan c) dapat dinyatakan secara
skematis.
c fc’ 0,85fc’
sisi tertekan
- Cc a=β1.c
c y
h d
As d-y
+
Ts
sisi tertarik s
b
Mu fy
.0,8. fy.(1 0,588 ) ..................................................................(2.35)
b.d fc'
Pada Persamaan (2.35) ruas kanan hanya bergantung pada mutu beton dan mutu
baja serta jumlah tulangan. Akan tetapi karena jumlah tulangan telah dipilih maka ruas ini
telah bernilai tertentu. Jadi yang tidak diketahui hanyalah nilai .
Dua besaran yang berperan penting dalam analisis penampang beton bertulang
adalah tinggi total (h) dan tinggi efektif (d). Untuk sebuah pelat, hubungan antara h dan d
secara umum ditentukan oleh :
h = d + 1/2tulpokok + p (Vis, Kusuma 1991)
Keterangan : h = tinggi total penampang beton.
d = tinggi efektif (jarak dari tepi serat tekan ke titik
berat tulangan tarik, mm).
p = tebal penutup beton (selimut beton) untuk
menutup tulangan terluar, mm.
Hubungan antara h dan d untuk sebuah balok secara umum ditentukan oleh :
3. Pelat lantai
Retakan lentur dalam pelat beton bertulang, dianggap terkendali bila jarak antara pusat-
pusat batang tulangan dalam tiap arah tidak melebihi atau nilai lebih kecil dari diameter
tulangan atau 300 mm. Batang dengan diameter lebih kecil dari setengah diameter batang
terbesar dalam penampang melintang harus diabaikan.
4. Pembatasan penulangan tarik
Berdasarkan jenis keruntuhan yang dialami, apakah akan terjadi leleh tulangan
tarik atau hancurnya beton yang tertekan, balok dapat dikelompokkan atas tiga kelompok
sebagai berikut : (PPTJ, 1992)
a. Penampang balok bertulangan seimbang (balanced)
Balok mengandung jumlah tulangan sama dengan jumlah tulangan yang diperlukan
untuk mencapai kondisi keseimbangan regangan. Tulangan tarik mulai leleh tepat
pada saat beton mencapai regangan batasnya dan akan hancur karena tekan. Pada
awal terjadinya keruntuhan, regangan tekan yang diizinkan pada serat tepi yang
tertekan adalah 0,003, sedangkan regangan baja sama dengan regangan lelehnya
yaitu y = fy/Ec.
b. Penampang balok bertulangan lebih (over reinforced)
Balok mengandung jumlah tulangan yang lebih banyak dari yang diperlukan untuk
mencapai kondisi keseimbangan regangan. Berlebihnya tulangan baja tarik
mengakibatkan garis netral bergeser ke bawah. Hal ini berarti bahwa beton lebih cepat
mencapai regangan luluhnya dibandingkan dengan baja. Keruntuhan ditandai dengan
hancurnya beton yang tertekan. Pada saat awal keruntuhan, regangan baja yang masih
lebih kecil dari regangan lelehnya. Pada penampang jenis ini, apabila penampang
balok tersebut dibebani momen yang lebih besar lagi sehingga kemampuan regangan
maksimum beton terlampaui, maka akan berlangsung keruntuhan dengan beton
hancur secara mendadak tanpa diawali dengan gejala-gejala peringatan terlebih
dahulu.
c. Penampang balok bertulangan kurang (under reinforced)
Balok mengandung jumlah tulangan yang kurang dari jumlah tulangan yang
diperlukan untuk mencapai kondisi keseimbangan regangan. Hal ini berarti bahwa
tulangan baja lebih duluan mencapai regangan luluhnya sebelum beton mencapai
regangan maksimumnya. Bila regangan luluh baja terlampaui, keruntuhan ditandai
dengan terjadinya leleh pada tulangan baja. Cara hancur sangat dipengaruhi oleh
lelehnya tulangan baja tarik dan berlangsung meningkat secara bertahap. Segera
tulangan baja telah mencapai titik leleh, lendutan balok meningkat tajam sehingga
dapat merupakan tanda awal dari kehancuran.
Cara hancur pada penampang bertulangan kurang lebih disukai karena dengan
adanya tanda peringatan, resiko yang diakibatkannya dapat diperkecil. Untuk itu SK
SNI T-15-1991-03 menetapkan pembatasan tulangan. Pasal 3.3.3 menetapkan bahwa
jumlah tulangan baja tarik tidak boleh melebihi 0,75 dari jumlah tulangan baja tarik
yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan regangan atau secara matematis
dinyatakan sebagai :
maks = 0,75b .............................................................................................(2.37)
(Dipohusodo, 1991) menyatakan bahwa nilai b dapat dihitung dengan persamaan berikut
: b = (0,85.fc`.)600
........................ .(2.38)
fy(600+fy)
Batasan minimum penulangan tersebut diperlukan untuk lebih menjamin tidak terjadinya
hancur secara tiba-tiba seperti yang terjadi pada balok tanpa tulangan.
5. Balok yang memikul beban lentur
6. Penampang balok T
a. Pengertian
Apabila balok dan pelat merupakan satu kesatuan monolit, dimana antara balok dan
pelat dapat terjadi interaksi saat menahan momen lentur positif, sehingga pelat akan
berfungsi sebagai sayap (flens) dan balok sebagai badan (Rib), hal ini dinamakan
balok “T”.
Jembatan tipe gelagar T adalah jembatan plat beton yang dipikul oleh gelagar
memanjang berdasarkan muatan yang digunakan dalam perhitungan standar jembatan
tipe gelagar T dibedakan menjadi 2 kelas yakni :
1) Jembatan tipe gelagar T kelas I
2) Jembatan tipe gelagar T kelas II
Standar superstruktur jembatan tipe gelagar T dibuat dengan batasan bentang minimal
6 meter dan maksimal 25 meter.
b. Tinggi gelagar T
Perbandingan tinggi / panjang bentang jembatan = h/L tipikal = 1/12 sampai dengan
1/15
c. Lebar flens efektif (b)
b b
ht
bw bw
Jarak bersih (bs) Spasi balok (bk)
1) Lebar flens efektif (b) balok “T” yang diperhitungkan, tidak boleh melebihi nilai-
nilai sebagai berikut :
b < 1 /4 L seperempat bentang balok
b < bw + 16ht lebar rib ditambah dua kali 8 tebal pelat
b < bk jarak dari pusat ke pusat (spasi balok)
2) Lebar flens efektif (b) balok “L” yang diperhitungkan, tidak boleh melebihi nilai-
nilai sebagai berikut :
b < bw + 1/12 L lebar rib ditambah seperduabelas bentang balok
b < bw + 6ht lebar rib ditambah enam kali tebal pelat
b < bw + 1/2bs lebar rib ditambah seperdua jarak bersih
3) Untuk balok “T” yang khusus dibentuk untuk mendapatkan tambahan luas daerah
tekan, harus dipenuhi persyaratan sebagai berikut :
ht > 1/2bw tebal flens tidak boleh kurang dari setengah lebar rib
b < 4bw lebar flens efektif tidak boleh lebih dari empat kali lebar rib
d. Persyaratan khusus
1) Konstruksi balok “T” (badan dan flens) harus dilaksanakan secara menyatu
(monolit) agar diperoleh lekatan yang efektif antara keduanya.
2) Bila tulangan lentur utama pelat yang dianggap sebagai flens balok “T” sejajar
dengan balok (kecuali konstruksi pelat rusuk), maka harus disediakan penulangan
di sisi atas pelat yang tegak lurus balok berdasarkan dengan ketentuan :
ND1
ht ND
c a
ND2
Garis netral
h z
d
=β1c
c=0,03
bw s = y cfy/Es
(Nilai (x) bergantung pada penutup beton, D-sengkang dan D-tulangan tarik)
3) Menetapkan lebar flens efektif (b)
4) Menghitung momen tahanan, MR = . 0,85 . fc’ . b . ht . (d-1/2ht)
(Anggapan bahwa seluruh daerah flens efektif untuk tekan)
5) Kontrol perilaku balok “T”
(Apabila MR > MU maka balok berperilaku balok “T” persegi dimana
perhitungan didasarkan pada balok persegi biasa)
(Apabila MR < MU maka balok berperilaku balok “T” murni dimana perhitungan
didasarkan pada balok “T” murni)
11) Periksa persyaratan daktilitas, dimana As (maks) harus lebih besar dari As.
(Apabila As > As (maks), maka momen tahanan MR dihitung dengan
menggunakan As(maks) yang dalam hal ini disebut sebagai Asefektif)
12) Buat sketsa rancangan.
g. Retakan gelagar
Retakan gelagar dianggap terkendali pada keadaan lanyan oleh pembagian
penulangan sedemikian bahwa :
1) Retakan Lentur
a) Jarak antara pusat-pusat batang tulangan dekat permukaan tarik gelagar tidak
boleh melebihi 200 mm
b) Jarak dari pinggir atau dasar gelagar terhadap pusat batang tulangan
memanjang terdekat tidak boleh melebihi 100 mm.
Untuk maksud di atas, suatu batang tulangan dengan diameter lebih kecil dari
setengah diameter batang terbesar dalam penampang melintang harus diabaikan.
2) Retakan permukaan pinggir
Bila tinggi seluruh gelagar melebihi h > 750 mm, tulangan memanjang tambahan
yang mempunyai luas total minimal (As total = 0.01.bw.D),
dengan bw :
bw < 200 mm tidak perlu diambil lebih dari 200 mm
Harus terbagi rata pada kedua sisi badan.
Pada jarak sebesar 2/3 tinggi keseluruhan terhadap permukaan tarik.
Pada jarak antara yang tidak melebihi 300 mm pusat ke pusat.