Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya, atas anugrah hidup dan kesehatan yang telah
kami terima, serta petunjuk-Nya sehingga memberikan kemampuan dan
kemudahan bagi kami dalam penyusunan makalah ini.

Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekologi. Kami
membuat makalah ini dengan mengutip dari berbagai sumber (Jurnal) untuk
memenuhi kelengkapan makalah.

Demikian pengantar dari kami semoga makalah yang kami buat ini dapat
bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penyusun pada khususnya.

Akhir kata dari penyusun terimah kasih.

Gorontalo, 17 February 2020

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………...…………………………………i
DAFTAR
ISI…………………………………...……………………………..Error!
Bookmark not defined.
BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………1
1.1.Latar Belakang………………………………………………………...…1
1.2.Rumusan Masalah………………………………………………………..1
1.3.Tujuan
Penulisan………………………………………………....………Error!
Bookmark not defined.
1.4.Manfaat…………………………………………………………………..5
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………..3
2.1.Pengertian Ekologi Global……..…………………………………………3
2.2 Krisis Ekologi….………………………………………………………….5
2.3 Gradien Lintang………………………………………………………….8
BAB III PENUTUP........................................................................................11
3.1.Kesimpulan……………………………………………………………...11
3.2.Saran…………………………………………………………………….11
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………….1Error!
Bookmark not defined.

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbicara tentang ekologi, ekologi berasal dari kata Yunani yang berarti;
Oikos dan Logos. Oikos artinya: tempat tinggal dengan segala penghuninya,
sementara Logos artinya: ajaran, pengetahuan dan ilmu. Ekologi secara bahasa
(etimology) berarti pengetahuan tentang cara mengatur tempat tinggal.

Permasalahan yang melatarbelakangi penulisan disertasi ini adalah


kenyataan bahwa krisis ekologi di planet bumi ini seolah-olah merupakan sesuatu
yang selalu melekat pada aktivitas pemanfaatan sumber daya alam, dan kini krisis
tersebut sudah menjadi realita yang begitu mencemaskan. Pemanasan global (global
warming) akibat efek rumah kaca (green house effect), kerusakan lapisan ozon,
deplesi sumber daya alam, kepunahan spesies, penggurunpasiran akibat kerusakan
hutan (deforestation), adalah berbagai contoh masalah lingkungan yang telah begitu
mencemaskan dunia. Proliferasi krisis tersebut telah mencapai batas-batas toleransi
dan kemampuan adaptasi lingkungan dengan dampaknya yang tidak lagi sebatas
lokal, tetapi telah menyentuh ranah globalmondial.

Menurut Arne Naess, krisis ekologi global yang dialami manusia secara
mendasar bersumber pada kesalahan fundamental–filosofis dalam pemahaman atau
cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam
keseluruhan ekosistem. Manusia keliru memandang alam, dan keliru menempatkan
diri dalam konteks alam semesta seluruhnya. Sehubungan dengan itu, dalam rangka
mengatasi krisis ekologi, maka pembenahannya harus pula menyangkut
pembenahan cara pandang dan perilaku manusia dalam berinteraksi, baik
dengan alam maupun dengan manusia lain dalam keseluruhan ekosistem. Di samping

3
kesalahan fundamental filosofis, krisis ekologi global juga terjadi akibat kesalahan
fundamental praksis.

Edith Brown Weiss sebagaimana dikutip oleh Adji Samekto,


mengidentifikasi adanya tiga kesalahan, yaitu: (1) konsumsi yang berlebihan terhadap
sumber daya alam yang berkualitas, yang membuat generasi mendatang harus
membayar mahal untuk mengkonsumsi sumber daya yang sama; (2) pemakaian
sumber daya alam yang saat ini belum diketahui manfaat terbaiknya secara
berlebihan, sangat merugikan kepentingan generasi mendatang, karena mereka harus
membayar in-efisiensi dalam penggunaan sumber daya alam tersebut oleh generasi
dulu dan sekarang; (3) pemakaian sumber daya alam secara habishabisan oleh
generasi dulu dan sekarang membuat generasi mendatang tidak memiliki keragaman
sumber daya alam yang tinggi.

4
1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang akan kami bahas dalam rumusan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Apa perngertian dari Ekologi Global?
2. Bagaimana Krisis Ekologi Global?
3. Apa itu Gradien Lintang?
1.3 Tujuan Penulisan
Ada pun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian Ekologi Global
2. Untuk mengetahui Krisis Ekologi Global
3. Untuk mengetahui Gradien Lintang
1.4 Manfaat
Pembuatan makalah mengenai ekologi global agar pembaca terutama penulis
dapat mengetahui mengenai ekologi global. Serta kita dapat menetahui krisis-krisis
yang terjadi dalam ekologi global yang dapat menyebabkan kerusakan yang parah
bagi lingkungan. Kita sebagai Mahasiswa/mahasiswi hendaklah menjaga kelestarian
alam dengan menjaga ekologi global dengan baik.

5
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ekologi Global

Ekologi merupakan cabang ilmu biologi yang merupakan studi ilmiah


mengenai interaksi antara sesama makhluk hidup dan juga dengan lingkungannya.
Faktor-faktor lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan organisme, misalnya
variasi keberadaan makanan di lingkungan atau interaksi antar spesies. Interaksi
ekologis terjadi pada skala hierarki yang beragam dan setidaknya terdapat enam
ruang lingkup ekologi. Ekologi global mencakup ruang lingkup pertukaran energi
regional dan pengaruh material terhadap fungsi dan distribusi organisme di seluruh
biosfer.
Adapun secara istilah (terminology) ekologi adalah ilmu yang mempelajari
makhluk-makhluk yang hidup, bukan sebagai satuan-satuan yang tersendiri, tetapi
sebagai anggota-anggota dari suatu rangkaian yang pelik dari makhluk-makhluk
hidup (organisme) yang saling beriteraksi atau berhubungan, dimana masing-masing
mempunyai fungsi dan peran, dalam suatu lingkungan hidup. Difinisi ekologi
tersebut, pertamakali disampaikan oleh Ernest Haeckal (Zologian asal Jerman).
Dengan demikian, ekologi suatu studi mengenai pola ruang hidup fungsional yang
timbul dan berubah melalui interaksi ekologi. Dalam arti lain, ekologi adalah
hubungan interaksi dan interpendensi antara makhluk hidup, sesamanya dan dengan
lingkungan geofisik kimianya.

Sehingga alam disiplin ekologi terdapat segmentasi kajian antara lain, peranan
dan perilaku manusia akan dipelajari secara khusus dalam ekologi manusia, begitu
juga dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan akan dikaji dalam segmen kajian
ekologi secara khusus sesuai ruang lingkupnya. Peran ilmu ekologi. Meningkatnya
krisis ekologi global dewasa ini, telah menjadi sentral isu dunia. Dampak kerusakan
lingkungan telah lama dirasakan penduduk di berbagai belahan negara di dunia, tidak

6
hanya negara maju, negara berkembang dan miskin pun ikut merasakan hal serupa.
Adanya ancaman akan datangnya bahaya dan bencana yang sewaktu waktu bisa
“meluluhlantahkan” perdaban manusia akan sangat sulit dibendung oleh keserakahan
manusia. Hal itu terjadi akibat kerusakan lingkungan, eksploitasi alam yang kelewat
batas, serta penggunaan teknologi yang tidak ramah lingkungan, ditambah lagi
dengan faktor alam itu sendiri yang selalu dieksploitasi.

2.2 Krisis Ekologi

Kepedulian terhadap lingkungan hidup menjadi isu global karena beberapa


faktor, yaitu :pertama, permasalahan lingkungan hidup ini selalu mempunyai efek
global. Misalnya, permasalahan yang menyangkut CFCs(Chlorofluorocarbons) yang
berefek pada pemanasan global (Global warming) dan meningkatkan jenis dan
kualitas penyakit akibat berlubangnya lapisan ozon yang dirasakan di seluruhdunia,
kedua, isu lingkungan hidup juga menyangkut eksploitasi terhadap sumber daya
global seperti lautan dan atmosfer, ketiga, permasalahan lingkungan hidup selalu
bersifat transnasional, sehingga kerusakan lingkungan di suatu Negara akan
berdampak pula bagi wilayah di sekitarnya (misalnya kebakaran hutan di kalimantan,
menyebabkan penerbangan ke Singapura batal ) dalam hal ini otonomi dan
rasionalitas individu serta kedaulatan.

Negara bisa menjadi tidak bermakna ketika ekosistem tersebut mengklaim


kedaulatannya , keempat, banyak kegiatan eksploitasi atau degradasi lingkungan
memiliki skala local atau nasional, dan dilakukan di banyak tempat di seluruh dunia
sehingga dapat dianggap sebagai masalah global, misalnya erosi dan degradasi tanah,
penebangan hutan, polusi air dan sebagainya, kelima, proses yang menyebabkan
terjadinya eksploitasi yang berlebihan dan degradasi lingkungan berhubungan dengan
proses-proses politik dan social ekonomi yang lebih luas dimana proses- proses
tersebut merupakan bagian dari ekonomi politik global. Kerusakan lingkungan hidup
menjadi perhatian di lingkungan global, dimana aktor-aktor non Negara memainkan

7
peranan penting dalam merespon permasalahan lingkungan hidup internasional.
Respon terhadap permasalahan lingkungan global berfokus pada perkembangan dan
implementasi dari rezim lingkungan hidup internasional. Secara khusus makna
lingkungan hidup itu sendiri yaitu seluruh kondisi eksternal yang mempengaruhi
kehidupan dan peranan organisme.

Kerjasama internasional dalam menagani isu lingkungan hidup global


diarahkan untuk mencari kesepakatan ukuran-ukuran, patokan-patokan dan norma-
norma internasional yang sah serta cara penerapannya. Pembuatan patokan, ukuran
dan norma stan dari ini dibutuhkan untuk mendefinisikan prinsip umum penaganan
kolektif dan membuat aturan serta proses yang tepat dalam pembentukan rezim
internasional dalam dimensi lingkungan hidup. Proses implementasi rezim
lingkungan hidup internasional nantinya akan merupakan suatu proses dimana
anggota rezim harus mengumpulkan, menukar serta membahas informasi yang
berkaitan dengan isu yang diangkat dalam rezim tersebut.

Karst Gunung Sewu merupakan salah satu kawasan dengan bentang alam
unik yang ditetapkan sebagai bentuk alam warisan dunia (World International
Heritages). Keberadaan bentang alam yang merupakankarunia Tuhan Yang Maha Esa
ini menyimpan banyak potensi, sehingga patut disyukuri sekaligus dikelola dengan
tepat. Perbukitan Karst Gunung Sewu di Kabupaten Gunung kidul terbentang pada
zona Selatan kabupaten yang memiliki total wilayahseluas 1.485,36 km2. Hampir
seluruh wilayah di Kabupaten Gunung kidul, baik di zona Utara (Perbukitan Batu
ragung), zona Tengah (Ledok Wonosari), dan zona Selatan (Perbukitan Karst Gunung
Sewu) memiliki kekayaan alam berupa bahan tambang galian golongan C. Hal yang
menjadi membingungkan adalah bahan tambang berupa batuk apur tersebut telah
mengalami proses pelarutan yang berlangsung ribuan tahun yang kemudian
membentuk system goa dan sungai bawah tanah yang dikenal sebagai topografi karst.

8
Masyarakat yang belum mengerti mengenai kawasan tersebutakan berpandangan
bahwa karst merupakan kawasan gersang, tandus, sulit air dan prasarana kurang
memadai serta tidak menarik. Pada kenyataannya, kawasan karst menyimpan banyak
sekali potensi yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Pada
dasarnya, karst bukan kawasan pertambangan karena merupakan daerah penyangga
ketersediaan air. Kawasan Perbukitan Karst Gunung Sewu merupakan geopark di
Kabupaten Gunung kidul yang telah ditetapkan menjadi salah satu GGN (Global
Geopark Network).

Pertambangan termasuk salah satu kegiatan yang cukup banyak menimbulkan


perusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Hal ini dikarenakan semua subsector
pertambangan berpotensi menimbulkan permasalahan lingkungan berupa perusakan
lingkungan dan pencemaran lingkungan perairan, tanah, dan udara. Pencemaran
tersebut selanjutnya akan menimbulkan dampak berikutnya yang akhirnya dapat
menimbulkan persepsi negative masyarakat terhadap kegiatan pertambangan.
Mengingat pentingnya ekosistem karst dan batuan kapur merupakan SDA
nonrenewable, maka perlu dilakukan konservasi untuk mempertahankan fungsi
ekologi.

Meningkatnya krisis ekologi global dewasa ini, telah menjadi sentral isu
dunia. Dampak kerusakan lingkungan telah lama dirasakan penduduk di berbagai
belahan negara di dunia, tidak hanya negara maju, negara berkembang dan miskin
pun ikut merasakan hal serupa. Adanya ancaman akan datangnya bahaya dan bencana
yang sewaktuwaktu bisa “meluluhlantahkan” perdaban manusia akan sangat sulit
dibendung oleh keserakahan manusia. Hal itu terjadi akibat kerusakan lingkungan,
eksploitasi alam yang kelewat batas, serta penggunaan teknologi yang tidak ramah
lingkungan, ditambah lagi dengan faktor alam itu sendiri yang selalu dieksploitasi.

Isu ancaman global telah membuat prihatin bagi para ilmuwan dan pakar di
dunia. Mereka pun menyerukan dengan berbagai isu tentang “kelestarian lingkungan

9
dan keseimbangan ekologi”, dengan kemasan isu “pembangunan berwawasan
lingkungan tahun 1972 pada konferensi Stockholm (Stockholm Conferency),
teknologi ramah lingkungan, anti nuklir,anti polusi dan pencemaran dan anti illegal
loging”. Masalah ini mengancam kesejahteraan manusia bahkan kelangsungan hidup,
sehingga masalah itu ramai diperdebatkan oleh para pakar dan ilmuwan, kaum politik
dan masyarakat umum.

Perserikatan BangsaBangsa (PBB) pun dalam bulan Juni 1992


menyelanggarakan sebuah Konferensi tentang Lingkungan dan Pembangunan (United
Nations Conference on Environment),yang terkenal pula dengan nama KTT Bumi di
Rio de Jeneiro, Brasil. Pola hidup konsumtif negara-negara industri maju dan negara-
negara berkembang, yang paling akan terkena getahnya adalah alam lingkungan atau
ekologi itu sendiri. Tidak heran jika vicious circle antara ekonomi dan ekologi sejak
pertengahan kedua abad ke-20 selalu dibicarakan secara serius dalam forum-forum
internasional.

Iklim dunia secara menyeluruh sedang mengalami kerusakan sebagai


konsekuensi dari aktivitas manusia. Hal ini disebabkan oleh peningkatan konsentrasi
gas-gas yang menghalangi pantulan energy sinar matahari dari bumi yang
menyebabkan peningkatan efek rumah kaca dan mengakibatkan bumi, planet yang
kita huni menjadi lebih panas.Hubungan antara perubahan iklim dengan kesehatan
manusia adalah sangat kompleks.Terdapat dampak langsung seperti penyakit atau
kematian yang berhubungan dengan suhu yang ekstrim dan efek pencemaran udara
oleh spora dan jamur. Selebihnya adalah dampak yang tidak langsung dan
mengakibatkan penyakit yang ditularkan melalui air atau makanan, penyakit yang
ditularkan melalui vektor dan rodent, atau penyakit karena kekurangan air dan
makanan. Perubahan iklim mengancam stabilitas ekosistem dan keanekaragaman
mahluk hidup (biodiversity).Kerusakan sistem fisik dan ekologi bumi ini juga dapat
dibuktikan dengan adanya penipisan lapisan ozon di stratosfer, penurunan
keanekaragaman mahluk hidup, degradasi tanah, dan perubahan sistem atau siklus air.

10
Terjadinya berbagai peristiwa bencana alam tersebut dalam perspektif politik
ekologi dan historis merupakan persoalan kompleks yang tidak terjadi secara instan,
tetapi menyangkut kebijakan politik nasional jauh sebelum terjadinya berbagai
peristiwa bencana yang terjalin juga dengan kekuatan-kekuatan ekonomi global.
Bencana alam di berbagai tempat dan waktu terjadi antara lain karena ketidak
setimbangan bahkan kerusakan ekosistem dan itu merupakan akibat dari pelaksanaan
pembangunan yang berideologi pertumbuhan ekonomi (economic growth), lebih
menekankan pada capaian target-target pertumbuhan ekonomi bagi pemenuhan
kebutuhan sekarang tanpa memperhitungkan kebutuh Fakta historis menunjukkan
bahwa negaranegara berkembang secara gencar menggalakan revolusi hijau melalui
intensifikasi pertanian yang didukung oleh penggunaan teknologi moderen dan
skenario global ini terbukti berhasil meningkatkan produksi pertanian secara
maksimal, tetapi juga terbukti memberi kontribusi bagi terjadinya degradasi
lingkungan (Pingali, 1989).

Selain itu, sumber-sumber daya alam lainnya seperti hutan dan tambang,
dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahkan ambisi manusia sekarang juga
dieksplorasi dan dieksploitasi secara maksimal.Oleh karena itu, kerusakan ekosistem
di berbagai tempat dan kawasan telah menjadi ancaman yang serius bagi
kelangsungan kehidupan umat manusia. Berkaitan dengan semakin meluasnya
kerusakan ekologi global tersebut mendorong timbulnya gerakan-gerakan sosial
lingkungan yang mulai merebak sejak 1970-an. Ancaman kerusakan paling serius
terutama menimpa pada segmen yang paling lemah dalam penguasaan sumber daya
ekonomi dan kekuasaan, yaitu pedesaan/lokal yang mencakup komunitas dan
ekologinya.

Dalam konteks ini, di Indonesia fenomenanya sangat menonjol terutama sejak


periode Orde Baru.Pada periode tersebut terjadi perubahan yang dramatis dalam
ekologi sebagai dampak dari modernisasi dan industrialisasi yang merupakan mesin-
mesin yang menggerakkan beroperasinya sistem ekonomi kapitalis.Melalui berbagai

11
produk hukum, pemerintah tampak lebih berpihak pada pemilik modal sebagaimana
tercermin dalam UU No.5/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan
UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.Dengan berbagai
kebijakan itu posisi masyarakat lokal semakin lemah dan semakin tidak berdaya
dalam menghadapi kekuatan kekuasaan (pemerintah) dan pemodal (kapitalis asing
maupun dalam negeri).

Bahkan revolusi hijau yang dengan gencar dilaksanakan pemerintah Orde


Baru sebagai bagian yang integral dari skenario global, tidak saja gagal
mengentaskan kemiskinan mayoritas masyarakat pedesaan (Sajogyo, 1974), tetapi
telah menghancurkan sistem pertanian yang berkelanjutan yang telah mentradisi
dalam kehidupan masyarakat pedesaan. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan pasca-Orde Baru, TAP MPR No IX/2001
tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, juga tidak
memberi harapan pada masyarakat lokal karena rendahnya sensitivitas penguasa
terhadap persoalan dasar masyarakat lokal an generasi yang akan datang.

Seiring dengan tingkat kesadaran masyarakat terhadap bahaya perusakan


lingkungan hidup yang semakin membaik khususnya di negara-negara berkembang,
maka praktik-praktik eksploitasi terhadap sumber daya alam (natural resources) yang
mengancam kelestarian lingkungan hidup mulai mendapat perlawanan dari berbagai
elemen masyarakat.Mereka tergabung dalam berbagai organisasi LSM yang
melakukan berbagai aktivitas gerakan lingkungan, yaitu gerakan yang bertujuan
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pelestarian lingkungan hidup
dan bahaya yang diakibatkan oleh perusakan lingkungan.

Bahkan mereka juga melakukan resistensi terhadap berbagai pihak baik


pemerintah maupun swasta yang secara langsung maupun tidak langsung memberi
kontribusi bagi terjadinya kerusakan lingkungan hidup.Satu hal yang menarik adalah
bahwa organisasi dan gerakan lingkungan ini bukan semata-mata organisasi yang

12
bersifat lokal, tetapi mereka sering kali memiliki jaringan yang bersifat nasional
bahkan internasional. Fenomena penguatan sektor ketiga ini (civil society
organization (CSO)/civil society association (CSA), LSM) merupakan kekuatan
gerakan sosial baru yang menguat sejak dirasakan gejala deep distrust terhadap
organisasi politik konvensional seperti negara, birokrasi dan lembaga perwakilan
rakyat. Secara simultan, sains menjadi penyebab munculnya berbagai ancaman di
muka bumi, seperti timbulnya berbagai konsekuensi ekologis akibat aktivitas industri
atau akibat pengembangan teknologi rekayasa genetik yang tidak terkendali. Namun,
pada saat yang sama, pada sains pula kita terpulang untuk memahami ancaman-
ancaman itu serta merumuskan cara-cara menghadapinya.
Žižek, filsuf Slovenia yang memperoleh sebutan Elvis-nya teori kebudayaan
ini, menyebut ancaman ekologis itu sebagai salah satu simptom yang menandai
bahwa kita kini hidup di akhir sejarah. Sejarah apa? Sejarah demokrasi liberal
kapitalisme yang tidak lagi mampu mengatasi berbagai krisis yang disebabkan
olehnya dirinya sendiri.Sementara sains, biang berbagai krisis umat manusia kini,
benar-benar bersangkutan dengan modal dan kapitalisme.
Selain krisis ekologi, Žižek, filsuf yang juga dijuluki sebagai academic rock
star ini, menyebutkan ada tiga krisis lainnya, yaitu berbagai masalah yang muncul
akibat revolusi biogenetik; persoalanpersoalan yang terkait dengan hak milik
intelektual atau distribusi atas apa yang disebut sebagai common goods; serta
problematika yang ditimbulkan oleh munculnya kelompok-kelompok sosial baru
(social divisions) atau yang disebut juga sebagai new forms of apartheid.
Žižek membayangkan keempat krisis itu sebagai four horsemen of the
apocalypse, sebuah penggambaran dalam Kitab Wahyu Perjanjian Baru tentang
penetapan hari akhir yang disimbolisasikan melalui empat penunggang kuda, yang
masing-masing melambangkan penaklukan (conquer), peperangan (war), kelaparan
(famine), dan kematian (death). Empat perlambang ini pula yang digunakan Žižek
untuk menyebutkan isyarat berakhirnya suatu masa.Namun, Living in the End Times
bukan berisi cerita ihwal hancurnya alam semesta atau ramalan tanda-tanda akhir

13
zaman menuju kiamat besar.Buku ini mendedah persoalan-persoalan tak terselesaikan
pertanda berakhirnya kapitalisme global. Inilah argumen utama Žižek dalam Living
in the End Times; kapitalisme global telah mendekati ajalnya menuju ke titik nol
(apocalyptic zero-point) akibat keempat krisis yang tidak mampu diatasinya.
Sungguh pun demikian, sebagian besar orang tampaknya enggan berbicara
perihal kapitalisme.Orang-orang lebih tertarik mendiskusikan kehancuran alam
semesta akibat bencana ekologi daripada membincang sekelumit perubahan dalam
kapitalisme. Ini juga karena kemampuan sistem ini yang memiliki mekanisme K risis
E kologi dan A ncaman B agi K apitalisme naturalisasi dan netralisasi sehingga
kapitalisme tidak dipandang sebagai persoalan. Istilah kapitalisme ini juga telah
disingkirkan jauh-jauh oleh para politisi, penulis, jurnalis, bahkan ilmuwan sosial;
kadangkala cukup diganti dengan istilah “ekonomi” saja. Gerakan anti-globalisasi
pun masih berada pada aras yang sama karena kritik kapitalismenya malah
ditranformasikan ke dalam kritik imperialisme. Saat orang berwacana tentang
globalisasi dan agen-agennya, musuhmusuhnya justru dieksternalisasi, yang secara
vulgar dimanifestasikan dalam gerakan anti-Amerikanisme, sebut Žižek.
Bentuk ekologi saat ini adalah ekologi yang didasari rasa takut; takut akan
terjadinya bencana yang akan memorakporandakan kehidupan manusia; ketakutan
yang memaksa kita harus membuat perencanaan untuk memperhitungkan bagaimana
melindungi diri kita dari berbagai ancaman (respon untuk adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim, misalnya). Walhasil, ketakutan ideologis ini dapat menjadi bentuk
ideologi kapitalisme global baru.Dengan mengutip Marx, Žižek menyebut ekologi
sebagai candu baru bagi masyarakat.Ia melenakan diri kita dari persoalan yang lebih
mendasar; bahwa krisis ekologi itu merupakan bagian dari antogonisme kapitalisme.
Ekologi telah menggantikan fungsi mendasar yang diemban oleh agama dulu;
memiliki otoritas kebenaran pengetahuan yang tidak perlu dipertanyakan. Yang
diajarkan dari sini adalah bahwa kita bukanlah subjek Cartesian yang terpisah dari
realitas, manusia adalah bagian dari biosfer, alam yang kita manfaatkan saat ini
adalah pinjaman dari anak cucu kita karena itu bumi tempat kita berpijak mesti

14
diperlakukan dengan penuh rasa hormat sebagai sesuatu yang suci, yang penuh
misteri, dan sebagai kekuatan yang mesti kita percaya, bukan kita dominasi. Jika kita
tidak mampu menjaga keseimbangan alam maka akan terjadi kekacauan. Para aktivis
lingkungan menuntut kita mengubah secara radikal cara hidup kita, tetapi di balik
tuntutan itu mengandung keraguan yang mendalam akan suatu perubahan atau
kemajuan; bahwa setiap perubahan radikal akan memicu terjadinya melapetaka.
Keraguan inilah, menurut Žižek, yang menjadikan ekologi sebagai kandidat ideologi
hegemonik yang paling ideal, yaitu semenjak ia mengumandangkan keraguan anti-
totalitarian-pascapolitik terhadap suatu gerakan kolektif. Inilah problem pertama yang
menyingkapkan bahwa kita kini tinggal di akhir masa (living in the end times).

Diperkirakan diantara tahun1990-2100 akan terjadi kenaikan ratarata suhu


global sekitar 1,4 sampai5,8 derajat celsius. Akibatnya akan terjadi kenaikan rata-rata
permukaan air laut disebabkan mencairnya gunung-gunung es di kutub. Banyak
kawasan di dunia akan terendam airlaut. Akan terjadi perubahan iklim global. Hujan
dan banjir akan meningkat. Wabah beberapa penyakitakan meningkat pula. Produksi
tumbuhan pangan pun tergangguAtas dasar pemikiran tersebutdiduga terdapat
hubungan positifantara pemahaman isu-isu kritislingkungan dengan perspektif
global.Dengan kata lain, makin tinggipemahaman isu-isu kritis lingkungan makin
tinggi perspektif global mahasiswa dalam melihat permasalahan lingkungan. Oleh
karena itu sangat penting untuk diketahui hubungan pemahaman isu-isu kritis
lingkungan dengan perspektif global.

15
2.3 Gradien Lintang

Gradien lintang dalam keanekaragaman spesies, dengan penurunan jumlah


spesies dari khatulistiwa menuju kutub, adalah salah satu pola keanekaragaman hayati
yang paling umum, dan didokumentasikan untuk sebagian besar clades utama .
Meskipun banyak penelitian tentang faktor mana menyebabkan gradien ini, ia tetap
menjadi teka-teki, kurang umumnya penjelasan yang diterima. Meskipun sifatnya
umum dapat menyarankan penyebab umum, banyak faktor bervariasi dengan lintang
membuat penyortiran di antara penyebab potensial sulit.

Dalam menjelaskan pola keragaman skala besar, perbedaan sering dibuat


antara proses kontemporer menetapkan batas koeksistensi, biasanya beberapa ukuran
ketersediaan energi, dan apa yang disebut historis proses, yaitu jejak peristiwa dan
kondisi masa lalu. Banyak penelitian telah mendokumentasikan korelasi kuat antara
tanaman keanekaragaman spesies dan ukuran ketersediaan energi di skala benua ke
global. Namun, tidak jelas apakah hubungan kekayaan energi seperti itu bersifat
kausal, sebagaimana variabel apa pun itu variasi dengan lintang akan cenderung
berkorelasi erat dengan kekayaan spesies, dan beberapa studi telah menguji secara
langsung kemungkinannya mekanisme.

Pemahaman skala global tentang jumlah spesies di pulau-pulau secara


signifikan maju oleh Wright (1983) yang dianalisis keanekaragaman angiosperma
dari 24 pulau bunga yang mencakup kisaran di Indonesia ukuran area dari 12.000
hingga 7 juta km2. Dia mengganti area variabel dalam model daya spesies-area
hubungan dengan ukuran total energi yang tersedia dan ditemukan korelasi yang
sangat tinggi dengan kekayaan spesies. Nya pekerjaan mani telah sangat
memengaruhi banyak penelitian lain hubungan skala makro antara iklim kontemporer
dan kekayaan spesies daratan, tetapi secara mengejutkan hanya berdampak kecil pada
biogeografi pulau (tapi bandingkan Kalmar & Currie 2006).

16
Kontemporer iklim dapat membatasi jumlah individu dan karenanya jumlah
spesies atau sebagai alternatif dapat membatasi jumlah penjajah sukses dari benua
terdekat. Menariknya, sampai saat ini belum ada upaya yang dilakukan untuk
menggabungkan peran iklim, area dan isolasi secara konsisten secara global model
kekayaan tanaman di pulau-pulau. . Baru-baru ini, Kalmar & Currie (2006)
memaparkan model keanekaragaman burung itu menggabungkan aspek teori
MacArthur dan Wilson dengan teori energi spesies. Menganalisis hubungan antara
beberapa karakteristik pulau abiotik dan kekayaan burung 346 pulau di seluruh dunia,
model global mereka diperhitungkan 85–90% variasi yang diamati dalam kekayaan
spesies.

Ada keyakinan lama bahwa organisme mikroba memiliki jumlah tak terbatas
kemampuan penyebaran, karena itu ada di mana-mana, dan menunjukkan keragaman
latitudinal yang lemah atau tidak ada gradien. Sebaliknya, dengan menggunakan set
data diatom air tawar global, kami menunjukkan bahwa latitudinal gradien dalam
kekayaan genus lokal dan regional hadir dan sangat asimetris antara keduanya
belahan otak. Pada skala regional hingga global, faktor sejarah menjelaskan lebih
banyak faktor mengamati pola geografis dalam kekayaan genus dari pada lingkungan
kontemporer kondisi. Bersama-sama, hasil ini menekankan pentingnya penyebaran
dan migrasi dalam penataan komunitas diatom di skala regional hingga global.

Pertama kali dijelaskan pada tahun 1937 dari kasus penyakit demam di
Uganda,Virus West Nile (WNV) menyebabkan wabah yang jarang terjadi terkait
dengan penyakit demam ringan dari tahun 1950 sampai 1980-an di Israel, Mesir,
India, Prancis, dan Afrika Selatan. Wabah pertama penyakit neuroinvasive yang
disebabkan oleh WNV (WNND) dilaporkan di antara para manula di Israel pada
tahun 1957. WNV adalah virus yang beragam secara genetik dan geografis. Empat
atau lima garis keturunan WNV yang berbeda telah diusulkan berdasarkan analisis
filogenetik dari isolat yang diterbitkan [3, 68-73]. Genom mereka berbeda satu sama
lain lebih dari 20–25% dan berkorelasi baik dengan titik geografis isolasi.

17
Sifat global dan ‘lintas batas’ dari organisasi dan gerakan lingkungan ini juga
menimbulkan konsekuansi yang luar biasa bagi masyarakat lokal, di mana gerakan
lingkungan itu beroperasi atau melakukan kegiatan. Dalam hal ini Forsyth (2003)
mengemukakan bahwa organisasi-organisasi lingkungan sering kali menjadi
tantangan yang potensial bagi jaringan kekuasaan yang dalam hal ini adalah
pemerintah (tentu saja pemerintah yang ‘tidak ramah lingkungan’).

Menurut Prijono bahwa hubungan kerja gerakan lingkungan dengan


pemerintah bersifat kontekstual dan berfluktuatif. Ada kalanya timbul pertentangan
karena memiliki orientasi dan kepentingan yang berbeda. Namun demikian secara
umum pola hubungan itu dapat dibagi menjadi tiga yaitu asosiatif, paralel, dan
konfliktif. Terdapat beberapa variasi dalam hubungan antara gerakan lingkungan
dengan pemerintah yaitu sangat dekat, sejajar, dan mengambil jarak (Prijono, 1995).

Bidang perhatian mereka terhadap kelestarian lingkungan dan jaringan


mereka yang bersifat global memberikan kesan sebagai organisasi dan gerakan yang
netral dari pengaruh konflik politik global, meskipun sering kali aktivitasmereka
bertabrakan dengan berbagai kekuatan politik baik nasional maupun internasional.
Hal ini bisa dicontohkan dari sepakterjang yang dilakukan oleh berbagai gerakan
lingkungan sepertiGreenpeace, Green Parties, dangrup seperti ACTtivist Magazine
yang memiliki kepedulian di bidang ekologi, biodiversity dan sebagainya yang
diarahkan untuk pelestarian lingkungan dan perdamaian.

Mereka beroperasi pada tingkat lokal, namun bila perlu mereka juga terlibat
dalam berbagai persoalan ancaman lingkungan pada tingkat global. Kelompok seperti
BioregionalRevolution diharapkan mampu menjembatani berbagai perbedaan
kepentingan antara industri yang mengeksploitasi sumber daya alam dengan berbagai
kelompok yang menghendaki pelestarian alam. Masalah seperti ini akan menjadi
salah satu problem utama pada abadXXI.

18
Adanya revolusi industri hasil buatan negara-negara maju masuk di dunia
ketiga telah merubah semuanya. Oleh karena itu, timbul apa yang disebut “teknologi
buldozer” dengan ciri-ciri teknologi pendobrak alam, teknologi yang sangat
bergantung pada minyak bumi dan bahan tambang tersebut tidak bisa diperbarui,
pembaruan metode pengolahan tanah dan penemuan varietas bibit unggul, anjuran
penggunaan paket insektisida dan pestisida hasil rekayasa industri sebagai racun
pembasmi hama, dan penggunaan pupuk kimia telah menjadikan “candu” bagi
kesuburan tanah dan tanaman.

Dengan demikian, lambat laun akan merusak struktur kesuburan tanah


pertanian dan menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan dan memunculkan
(kekebalan) hama tanaman. Sementara kepedulian para petani akan pembuatan pupuk
kompos (kandang) serta perawatan tanaman secara tradisisonal sudah “disingkirkan”
untuk beralih pada produk hasil teknologi instan.Era evolusi hijau, anggapan terhadap
petani adalah “ketidakilmiahan” dan cara pandang mereka yang “tidak terpelajar”
dilihat oleh para perencana dan peneliti sebagai penghambat dalam penerapan
revolusi hijau.

Persoalan yang kemudian diajukan adalah bagaimana petani dapat


dimanipulasi sehingga teknologi revolusi dapat dilaksanakan. Jalan keluarnya adalah
memberi petani sebuah “paket” dan beberapa instruksi pelaksanaannya. Sudut
pandang di atas, mengabaikan kenyataan bahwa lahan persawahan merupakan sistem
kehidupan yang dinamis. Para petani adalah makhluk yang berakal. Sebagai makhluk
berakal, petani adalah yang terbaik dalam mengelola dan membuat berbagai
keputusan produksi panen. Petani telah dijadikan sasaran sistem perencanaan,
penelitian dan penyuluhan yang secara efektif mencabut peran mereka sebagai
pembuat keputusan. Pemandulan wewenang para petani sebagai pembuat keputusan
membantu menciptakan situasi di mana berjangkitnya hama penyakit di lahan dapat
saja terjadi.

19
Secara umum iklim di kepulauan Indonesia adalah iklim tropika basah yang
dicirikan oleh suhu dan kelembaban yang tinggi sepanjang tahun. Menurut Schmidt
dan Fergusson yang mengklasifikasikan tipe hujan berdasarkan bulan basah dan
bulan kering, Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo termasuk ke dalam daerah
dengan tipe hujan kelas A dimana 11 hingga 12 bulan dalam setahun curah hujan
rata-rata adalah > 100 mm per bulan dan hanya satu bulan yang memiliki curah hujan
rata-rata < 60 mm. Rata-rata curah hujan tahunan pada kedua kabupaten adalah antara
2149 hingga 3012 mm.

Seperti umumnya daerah tropik lain, temperatur disepanjang tahun tidak


terlalu bervariasi. Kisaran rata-rata suhu di Kabupaten Bungo adalah antara 27 0C
hingga 30 0C. Temperatur maksimum rata-rata adalah antara 30 0C pada bulan
Januari hingga 32.3 0C pada bulan Mei dan Oktober sedangkan temperatur
minimumnya antara 22.1 0C pada bulan Juli dan September hingga 22.7 0C pada
bulan April dan Mei (Rachman, et al, 1997). Sedangkan untuk Kabupaten Tebo suhu
udara berkisar antara 270 -290 C, kelembaban udara berkisar antara 85,2% – 96,1%
dan penyinaran matahari berkisar antara 27,7% – 38,4%.

Karakteristik dan sifat tanah merupakan fungsi dari bahan induk, iklim, relief,
vegetasi dan stabilitas lanskap selama tanah dibentuk. Secara umum tanah di
bahagian timur Pulau Sumatera didominasi oleh jenis hidromorfik alluvial, daerah
rawa di bahagian timur jambi, Riau dan Sumatera Selatan dan juga Aceh bagian
barat, sumatera utara bagian selatan dan barat daya sumatera barat didominasi oleh
jenis organosol, sedangkan dataran rendah sumatera didominasi oleh podzolik merah
kuning yang berasal dari berbagai bahan induk.

Kondisi lingkungan sebagai hal yang biasa dipahami di dunia bisnis yang
disebut dengan Green is now mainstream. Ecoliteracy membuat berbagai pihak
memiliki pengetahuan tentang lingkungan sehingga timbul keinginan untuk terlibat
dalam menjaga lingkungan yang diawali dengan gerakan konsumerisme global untuk

20
menyadarkan konsumen akan hak-hak mereka untuk mendapatkan produk yang layak
dan aman. Adanya gerakan tersebut, setiap individu harus memberikan kontribusi
dalam kegiatan menyelamatkan bumi dari bencana lingkungan yang menakutkan
karena telah mendapatkan informasi yang cukup dalam kehidupan sehari-hari, baik
dari pihak konsumen dengan cara melakukan pembelian hijau (green purchasing)
ataupun dari pihak produsen dengan cara melakukan pemasaran hijau (green
marketing).

Komunikasi merupakan salah satu faktor utama dalam menciptakan kesadaran


lingkungan, karena memiliki pengaruh langsung kepada pihak yang terlibat.
Kebiasaan masyarakat Indonesia dalam menjalin hubungan sosial dan berkumpul
menjadi sarana komunikasi dan pertukaran informasi yang efektif dalam upaya untuk
ikut serta memelihara lingkungan dan menyelamatkan bumi. Salah satu strategi untuk
mendukung gerakan green purchasing adalah melalui komunikasi word of mouth
dari teman, tokoh, keluarga dan sebagainya.

Word of mouth terjadi ketika seseorang sedang membicarakan suatu merek,


produk tertentu kepada orang lain. Kesediaan masyarakat Indonesia untuk membayar
harga barang yang tinggi guna menyelamatkan lingkungan masih sangat kurang.
Mengingat karakteristik masyarakat yang cenderung lebih terpengaruh karena adanya
pertukaran informasi dari pihak yang dapat dipercayainya membuat metode
pemasaran yang tradisional yaitu promosi word of mouth merupakan strategi
pemasaran yang efektif terutama di Indonesia.

Menjelaskan bahwa word of mouth adalah sebuah bentuk komunikasi secara


pribadi antara pembeli dengan tetangga, teman-teman, anggota keluarga dan rekannya
mengenai suatu produk. Sementara itu, menurut pendapat Rosen (2004) dalam
Vilpponen et al (2006) Word of Mouth adalah bentuk komunikasi dari mulut ke
mulut yang dilakukan pada waktu tertentu mengenai suatu merk produk, jasa atau
perusahaan tertentu. Lain halnya dengan pendapat Mowen & Minor (2002:180),

21
pengertian word of mouth lebih mengacu pada pertukaran komentar, pemikiran,atau
ide-ide antara dua orang atau lebih, dan bukan merupakan sumber pemasaran.
Kesimpulan yang dapat diambil dari tiga definisi tersebut bahwa Word of Mouth
adalah suatu bentuk komunikasi secara pribadi yang mempunyai tujuan untuk
memberi informasi atau mempengaruhi orang lain agar menggunakan produk atau
jasa dari suatu organisasi tertentu.

Global diversity of island floras from a macroecological perspective

Sebagian besar dari semua spesies tanaman di seluruh dunia adalah terbatas
pada pulau. Sekitar 70.000 spesies tanaman vascular adalah endemik ke pulau-pulau -
sekitar seperempat dari yang diketahui spesies yang masih ada (G. Kier, data tidak
dipublikasikan). Di sisi lain Sebaliknya, pulau-pulau pada umumnya dianggap kurang
beragam dibandingkan dengan daratan yang berdekatan (Whittaker &
Ferna'ndezPalacios 2007). Namun, lima dari 20 pusat global kekayaan spesies
tanaman mewakili pulau atau bagian dari pulau (Barthlott et al. 2005). Biota pulau
berada di bawah ancaman parah karena hilangnya habitat dan perubahan iklim dan
khususnya rentan terhadap invasi biologis (Rejma'nek 1989; Sax et al. 2002; Pysek &
Richardson 2006; Buckley & Jetz 2007). Karena tingginya tingkat endemisme
ekosistem pulau dan tingkat ancaman yang cukup besar yang mereka hadapi,
sembilan di antaranya 25 hotspot keanekaragaman hayati global mencakup pulau atau
archipelagos (Myers et al. 2000).

Sampai saat ini, pola kekayaan pulau secara global hanya kurang
terdokumentasi. Studi skala global terbaru tentang pabrik keanekaragaman terutama
berfokus pada wilayah benua dan termasuk hanya sejumlah kecil pulau besar (mis.
Barthlottet al. 2005; Kreft & Jetz 2007). Akibatnya, pengetahuan kita tentang pola
spasial, penentu inti dan proses ekologis dan evolusi yang mendasari tanaman insular
keragaman sampai saat ini sangat tergantung pada skala lokal atau regional studi
(mis. Johnson & Simberloff 1974; Connor & Simberloff 1978; Harga 2004; Cody

22
2006). Namun baru-baru ini analisis keanekaragaman daratan telah menyoroti
pentingnya pendekatan skala global untuk mengurai wilayah kekhasan dari tren
global universal (Kreft & Jetz 2007). Tetapi beberapa studi di skala geografis yang
lebih luas sampai saat ini telah dibatasi oleh ukuran sampel (Wright 1983; Hobohm
2000).

Setelah lebih dari dua abad meneliti pulau, intinya driver lingkungan dan
sejarah dan masing masing peran kekayaan spesies pulau masih kontroversial. Kuat
hubungan antara wilayah dan kekayaan umumnya diamati baik di pulau-pulau dan
daratan (Arrhenius 1921; Preston 1962; Connor & McCoy 1979; Rosenzweig 1995),
tetapi ada banyak perbedaan pendapat tentang sang jenderal bentuk hubungan
spesies-daerah dan matematika dan interpretasi ekologis (Lomolino 2000; Lomolino
& Weiser 2001; Williamson et al. 2001; Tjorve 2003). Tiga
Ecology Letters, (2008) 11: 116–127 doi: 10.1111 / j.1461-
0248.2007.01129.x 2007 Blackwell Publishing Ltd / CNRS kategori luas mekanisme
potensial yang terkait dengan pengaruh daerah dapat dibedakan. Pertama, area yang
lebih luas biasanya menampung sejumlah besar individu karena mereka menyediakan
lebih banyak sumber daya dan energi yang mungkin secara langsung diterjemahkan
ke dalam jumlah spesies yang lebih tinggi (Preston 1962; MacArthur & Wilson 1967;
Wright 1983). (Preston 1962; MacArthur & Wilson 1967; Wright 1983). Kedua, lebih
besar daerah umumnya mengandung lebih banyak habitat yang berbeda
meningkatkan pergantian spesies lokal dan regional (Williams 1964). Ketiga, area
yang lebih luas mungkin memiliki potensi yang lebih tinggi spesiasi in situ
(Lomolino 2001). Semua mekanisme ini tidak harus saling eksklusif tetapi
kepentingan relatif mereka atau bagaimana mereka berinteraksi adalah masalah
perdebatan yang sedang berlangsung.
Model kekayaan spesies pulau yang paling populer adalah Teori
Keseimbangan Biogeografi Pulau (MacArthur & Wilson 1967), yang mengusulkan
bahwa angka keseimbangan

23
spesies di suatu pulau adalah fungsi dari tingkat yang berlawanan imigrasi dan
kepunahan. Dua kekuatan pendorong ini masuk akumulasi dan pergantian spesies
terkait dengan dua spesies utama Atribut pulau: daerah dan isolasi. MacArthur dan
Model Wilson telah banyak merangsang penelitian pulau-pulau samudera serta pada
sistem seperti pulau lainnya (mis. puncak gunung, fragmen habitat dan cagar alam;
misalnya Brown 1971; Harris 1984). Di antara keberatan yang dimiliki telah
diangkat, kekurangan dari rumusan Equilibrium Theory adalah kurangnya penerapan
global (lihat Whittaker & Ferna´ndez-Palacios 2007 untuk ulasan komprehensif).
Pemahaman skala global tentang jumlah spesies di pulau-pulau secara
signifikan maju oleh Wright (1983) yang dianalisis keanekaragaman angiosperma
dari 24 pulau bunga yang mencakup kisaran di Indonesia ukuran area dari 12.000
hingga 7 juta km2. Dia mengganti area variabel dalam model daya spesies-area
hubungan dengan ukuran total energi yang tersedia dan ditemukan korelasi yang
sangat tinggi dengan kekayaan spesies. Nya pekerjaan mani telah sangat
memengaruhi banyak penelitian lain hubungan skala makro antara iklim kontemporer
dan kekayaan spesies daratan (mis. Currie 1991; Hawkins et al. 2003; Currie et al.
2004; Kreft & Jetz 2007), tetapi secara mengejutkan hanya berdampak kecil pada
biogeografi pulau (tapi bandingkan Kalmar & Currie 2006). Kontemporer iklim dapat
membatasi jumlah individu dan karenanya jumlah spesies atau sebagai alternatif
dapat membatasi jumlah penjajah sukses dari benua terdekat. Menariknya, sampai
saat ini belum ada upaya yang dilakukan untuk menggabungkan peran iklim, area dan
isolasi secara konsisten secara global model kekayaan tanaman di pulau-pulau. .
Baru-baru ini, Kalmar & Currie (2006) memaparkan model keanekaragaman burung
itu menggabungkan aspek teori MacArthur dan Wilson dengan teori energi spesies.
Menganalisis hubungan antara beberapa karakteristik pulau abiotik dan kekayaan
burung 346 pulau di seluruh dunia, model global mereka diperhitungkan 85–90%
variasi yang diamati dalam kekayaan spesies.
Dalam penelitian ini, kami menganalisis kekayaan spesies asli Kalimantan
tanaman vaskular dari 488 pulau di seluruh dunia dan hubungannya dengan

24
karakteristik pulau abiotik. Untuk mengidentifikasi perbedaan efek dari penentu
keragaman diduga antar pulau dan daratan, kami membandingkan kekayaan spesies
pulau flora dengan kumpulan data global 970 flora daratan. Secara khusus, kami
meneliti pengaruh masing-masing daerah, isolasi geografis, iklim kontemporer,
topografi dan geologi pulau menggunakan pemodelan non-spasial dan spasial teknik.
METODE
Data keanekaragaman
Berdasarkan ulasan literatur yang lengkap, kami berkumpul data kekayaan
spesies untuk tanaman vaskular (pakis, gimnospermae) dan angiospermae) untuk 488
pulau di seluruh dunia (Gbr. 1a). Sumber untuk kekayaan spesies adalah flora pulau,
daftar periksa dan kompilasi. Kepulauan didefinisikan sebagai daratan yang lebih
kecil dari Australia yang dikelilingi oleh lautan. Pulau air tawar mayat tidak
dimasukkan. Kami hanya mempertimbangkan jumlah spesies asli per pulau dan
dikecualikan dibudidayakan atau invasive jenis. Jika kita menemukan nomor spesies
yang berbeda untuk satu dan pulau yang sama, kami biasanya menggunakan yang
lebih baru referensi berhipotesis bahwa referensi yang lebih muda mencerminkan
tingkat pengetahuan floristik dan taksonomi yang lebih lengkap. Pulau-pulau yang
dirangkai dalam kumpulan data ini mencakup luas
berbagai ukuran area, iklim, tipe geologi dantingkat isolasi geografis yang berbeda.
Sebagian besar daripulau-pulau mewakili daratan tunggal. Hanya dalam beberapa
kasus, sebagian besar untuk atol, pulau mungkin terdiri dari banyak pulau berbagi
asal geologis yang sama.

25
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ekologi merupakan cabang ilmu biologi yang merupakan studi ilmiah


mengenai interaksi antara sesama makhluk hidup dan juga dengan lingkungannya.
Faktor-faktor lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan organisme. Ekologi global
mencakup ruang lingkup pertukaran energi regional dan pengaruh material terhadap
fungsi dan distribusi organisme di seluruh biosfer.
Meningkatnya krisis ekologi global dewasa ini, telah menjadi sentral isu
dunia. Dampak kerusakan lingkungan telah lama dirasakan penduduk di berbagai
belahan negara di dunia, tidak hanya negara maju, negara berkembang dan miskin
pun ikut merasakan hal serupa.

3.2 Saran

Di dalam penulisan makalah ini saran yang dapat kami berikan selaku
penyusun makalah ini yaitu dengan mengetahui betapa pentingnya menjaga
kelestarian ekologi global. Tidak hanya manusia namun semua makhluk hidup, jadi
kami sangat mengharapkan agar mahasiswa dan mahasiswi turut serta dalam menjaga
kelestarian ekologi global.

26
DAFTAR PUSTAKA

Hartati,yulia. 2012 global environmental regime : di tengah perdebatan paham


antroposentris versus ekosentris. Jurnal ilmu politik hugungan internasioal. Vol
12. No 2 : 1-14
JGG- Jurnal Green Growth dan Manajemen Lingkungan Vol.5 No.1 Juli 2016
Keman,soedjajadi. 2007. Perubahan iklim global, kesehatan manusia dan
pembangunan berkelanjutan. Jurnal kesehatan lingkungan . vol 3. No 2 : 195-
204
Napitupulu,dkk. 2015. Pengembangan sikap ekologis melalui pembelajaran
ecophysics berbasis ecopedagogy. Jurnal inofasi dan pembelajaran fisika. Vol 2.
No 2 : 113-119
Raden. 2016. Donasi ekowisata kawasan konservasi pesisir dikecamatan katingan
kuala, kabupaten katingan, provinsi Kalimantan tengah melalui pendekatan
ekologi bentang lahan. Jurnal ilmu kehutanan. Vol 10. No 1 : 19-232
Rina,ddk. 2016. Konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan kawasan karst gunung
sewu sebagai bagian geopark untuk mempertahankan fungsi ekologi ,prosiding
symbion (symposium on biology education).vol 7. No 5 : 123-129
Rochwulaningsih,yeti. 2017. dinamika gerakan lingkungan dan global environmental
governanc. Jurnal sejarah citra lekha. Vol 2. No 2 : 151-160
Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017
Supian. 2018. Krisis lingkungan dalam perspektif spiritual ecology. Jurnal keluarga
sehat sejahtera. Vol 16. No 31 : 2527- 9041
Syamsuddin. 2017. Krisis ekologi global dalam perspektif islam. Sosiologi reflektif.
Vol 11. No 2 : 1-23
Yusran. 2017. kajian green politics theory dalam upaya menangani krisis ekologi laut
Indonesia terkait aktifitas illegal fishing.indonesian journal of internasional
relation. Volume 1 no 2:35-53
Yusri,dkk. 2014. pengaruh work of mounth dan ecoliteracy terhadap green
purchasing. jurnal administrasi bisnis(jab).vol 17. No 2:1-7
Patterson, Mattew, Theories of International Relations, Third edition, (New York:
PALGRAVE MACMILLAN, 2005).

27
Eckersley, R, “Green Theory” dalam Dunne, Tim, Milja Kurki dan Steve Smith,
International Relation Theories; Discipline and Diversity, (London : Oxford
University Press, 2006).
Burchill, S dan Linklater, Andrew, Teori-Teori Hubungan Internasional, terj. M.
Sobirin, (Bandung : Nusa Media, 1996).
Arifin, zainul. Dkk. Pengaruh Word of Mouth dan Ecoliteracy Terhadap Green
Purchasing (Survei pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Prodi
Administrasi Universitas Brawijaya Malang Angkatan 2010/2011 dan 2011/2012
Pengguna Produk Tupperware). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)| Vol. 17 No.
2.Desember 2014.

Rasnovi, Saida. 2006. EKOLOGI REGENERASI TUMBUHAN BERKAYU PADA


SISTEM AGROFOREST KARET. Vol. 10. No.3. INSTITUT PERTANIAN
BOGOR.
Whitten, A.J., S.J. Damanik, J. Anwar, and N. Hisyam, 1987. The Ecology of
Sumatra. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Ottman, J. A. 2011. The New Rules of Green Marketing: Strategies, Tools, and
Inspiration for Sustainable Branding. U.S: Berrett-Koehler Publishers.
Kotler, Philip dan Gery Armstrong. 2001. PrinsipPrinsip Pemasaran. Dialihbahasakan
oleh Damos Sihombing. Jilid 1. Ed. 8. Jakarta: Erlangga.
Capra, F. 2011. Ecological Literacy. Journal of Draft Global Issues Pilot August. (1-
15).

28

Anda mungkin juga menyukai