Anda di halaman 1dari 18

 Bedah puisi “Aku Ingin” karya

Sapardi Djoko Damono

Maksud dari puisi ini adalah, menceritakan tentang seseorang yang betapa sangat
mencintai orang yang di cintainya.
Walaupun dalam diam.
Dalam bait pertama digambarkan ia sebagai KAYU yang rapuh dan hancur karena cinta
yang sulit terucap.
Dan API orang yg ia cintai yang membakar hatinya kala ia harus menyimpan sejuta rasa.
Dan ABU sebagai hatinya yang hancur karena cinta terpendam yang menyiksa.
Ia mencintai seseorang yg di cintainya itu, walau ia tersakiti, hatinya harus hancur karena
memendam rasa terhadap seseorang yang dicintainya itu.

Di bait kedua
AWAN sebagai dirinya yang seorang pecinta yang harus rela melepasnya pergi tanpa
dapat mengucap kata cinta.
dan HUJAN adalah orang yang ia cintai yg telah pergi.
Dia masih mencintai orang itu.
Sampai hatinya terluka karena orang yang ia cintai telah bersama orang lain dan ia harus
menerimanya kalau orang yang ia cintai sudah tak dapat lagi ia cintai.

Amanat dari puosi ini sendiri dapat saya tarik sendiri yaitu

Kalau kita mencintai seseorang katakan saja karena sepeeti kepiting yang cangkangnnya keras
dalamnya siapa yang tau.

Seperti itu jugalah manusia.


Eva Sri Rahayu
Aku suka puisi pertama, karya Hadi Kurniawan. Bukan puisi gelap, tapi tidak terlalu terang.
Permainan kata yang apik.

Noer Utami aku pengen tau maksudnya 'Remas hempas melas malas'.

Rizky Noviyanti Puisi yang pertama, .. aku ga bisa nyatuin baitu demi baitnya...

Maria Ariyani Schatzie Puisi pertama, rima akhirnya cantik tapi terlalu memaksa.

Ayu Ira Kurnia Marpaung Puisi pertama aku merasa tidak ada keterkaitan antara bait demi bait.
#benar nggak sih.

Fafa Alfahrezy puisi pertama maknanya dalem..

Dela BungaVenus Hadi Kurniawan...


Apakah kamu bicara tentang kesendirian, harapan dan mimpi-mimpi juga keyakinan bahwa
semua kan jadi nyata nantinya?
Bait pertama dan dua agak bingungin...^^

Hanya ada satu teman.....apa?siapa?

Apa hubungannya 2 baris awal di bait ke dua dan dua baris berikutnya?^^

Sketsa Oase Senja mau ikutan membahas ya


di bait yang kedua ini apa maksud dan hubungannya dengan isi puisimu Hadi Kurniawan,tolong
mensyen dong yang bisa teman-teman biar dia hadir untuk mempertanggungjawabkan karyanya..

Bulir air mengalir bergilir

Remas hempas melas malas

Berdiri sendiri di kiri duri

Bertahan dengan ribuan ketukan

Deddy Firtana Iman .............

Mimpi Sang Bujang


Karya Hadi Kurniawan
............
Pada setiap renungan
Hanyalah ada satu teman
Sebuah keinginan
nyaman
.............
Pada setiap kesendirian itu adalah "ruh" antara cermin kehidupannya si "aku." Teman dalam
hidup, antara wujud dan ruhnya, sebagai teman "sebuah keinginan" agar bisa lebih nyaman
memikirkan lawan jenisnya. Di tempat sepi, merenungu dan mendalami setiap inci tubuhnya.
Sehingga bermuara "nyaman" walau dia masih berujung "bujang." Sebuah hayalan dengan penuh
renungan yang sangat dalam pada bait ini. Sederhana, namun telah menggoda kita si
pembacanya.
..........
............
Bulir air mengalir bergilir
Remas hempas melas malas
Berdiri sendiri di kiri duri
Bertahan dengan ribuan ketukan
............

Jika bulir adalah aku si "bujang." Ini adalah bentuk permainannya secara mendasar untuk
memutarbalikkan fakta tanpa kenyataannya. Sebab "bertahan dengan ribuan ketakutan." Adalah
segala keakuanku yang membuat merasa diri lemah, kurang sempurna. Sebab dari itu, "bujang"
di sini masih ragu dalam berbagai hal.
............
.........
Mimpiku sudah tinggi
Tegak kokoh membentuk lini
Besarnya sejagat bumi
Cita-citaku ... memeluki
........

"Mimpiku sang bujang; mimpiku sudah tinggi." Aku tak bisa menggapai terlalu jauhnya mimpi
itu. Aku harus meraihnya di antara "tegak kokoh membentuk lini" di sini, di dalam mimpiku itu.
Dan kita tahu, mimpinya sudah membesar, menyatu bersama isi bumi. Mengakar di dalam
pikirannya. Bumi di dalam "cita-citaku"... "memeluki" diriku sebagai mimpiku sendiri.

.........
Aku akan meraih ...
Memudarkan setiap buih
Mengabaikan rasa letih
Walaupun harus tertatih
Masa depanku terbayang masih
Berada pada lingkaran putih
berbentuk benih
.........

"Aku akan meraih mimpi sang bujang". Walau harus berteman dengan buih, letih dan berada
pada lingkarab masa depanku yang dulunya berbentuk benih. Setidaknya aku punya jalur ke kiri
dan kanan. Aku akan meraihnya, untukku. Melancarkan mimpi sang bujang hingga bersandar
pada benih tersebut.
.........
Yakinku bisa menjadi patih
Aku percaya ...
Tidak mudah wujudkan asa
Tapi sayapku sudah terbuka
Siap terbang meraihnya
.........

Bahkan, kesimpulan yang bisa kita ambil secara pribadi dan keseluruhan dari puisi ini. Antara
aku yakin sebagai mimpi dan aku percaya sebagai mimpi yang siap terbang meraihnya (gadis
idaman)

Yakinku bisa menjadi patih[ Penulis tidak menulis menjadi Raja, tapi patih sebuah kesahajaan di
damba di sini lebih ke arah menjadi pengabdi yang baik daripada ambisi memimpin, penulis jauh
dari sifat Arogan.

Aku percaya ...

Tidak mudah wujudkan asa

Tapi sayapku sudah terbuka

Siap terbang meraihnya


Deddy Firtana Iman .........
Mimpi Sang Bujang
Karya Hadi Kurniawan

.........
Puisi ini sudah bercerita sangat bagus sekali. Di bait pertama itu kita sudah disempitkan dengan
pemikirannya sebagai "aku" yang "bujang." Sangatt dalam sekali. Dan kita mulai terjebak,
mencari tanda tanya yang tersembunyi dibagian bait kedua. Di situ kita ditentukan kepada teka-
teki sebagai penguji secara pribadi, sebelum kita masuk kebagian jalan cerita antara bait ketiga
dan seterusnya. Seingga seiring berjalanna mimpi tersebut.
Jujur aku katakan. Di sini kurang sejalan sama bait kedua. Atau kalau mau dihilangkan bagian
bait kedua juga tak akan berpengaruh sama bait selanjutnya. Bait kedua terlalu gelap,
kedekatannya juga sangat jauh. Sehingga dia berdiri sendiri. Ini bisa dikatakan bait kacau.
........

Hylla Shane Gerhana Mimpi Sang Bujang

oleh Hadi Kurniawan

Pada setiap renungan


Hanyalah ada satu teman

Sebuah keinginan

nyaman---Soft diksinya, mungkin makna yang ingin di sampaikan penyair pada bait ini: setiap
orang pasti mendambakan kedamaian, nyaman dan idealis yang mendekati perfect.

Bulir air mengalir bergilir

Remas hempas melas malas

Berdiri sendiri di kiri duri

Bertahan dengan ribuan ketukan-->> Tapi pada kenyataannya badai cobaan dan liku tikam selalu
berbacu bersama waktu. Mencoba tetap survive melalui proses panjang yang sulit dari berdiri ku
di kiri duri bertahan dengan ribuan ketukan

Mimpiku sudah tinggi[Impian dan harapan telah membenak setinggi-tingginya]

Tegak kokoh membentuk lini[Lini, Linier adalah perlambang dari keperfect an dalam tujuan
hidup manusia, misal kemapanan, kedamaian dan kesejahteraan]

Besarnya sejagat bumi[Impian yang mengalahkan segala kendala remas, hempas melas[sedih]
dan malas. Kausalitasnya.

Cita-citaku ... memeluki

Cita-citaku memeluki=Cita-cita itulah yang menguatkan segala harapan indah tadi.


Aku akan meraih ...

Memudarkan setiap buih[buih, ucapan yang sia-sia]

Mengabaikan rasa letih

Walaupun harus tertatih

Masa depanku terbayang masih

Berada pada lingkaran putih[Berada pada angan-angan yang tergambar jelas walau belum
sepenuhnya jadi kenyataan]

berbentuk benih.....>> Penulis berusaha menepiskan segala kendala demi mewujudkan cita dan
impiannya.
Yakinku bisa menjadi patih[ Penulis tidak menulis menjadi Raja, tapi patih sebuah kesahajaan di
damba di sini lebih ke arah menjadi pengabdi yang baik daripada ambisi memimpin, penulis jauh
dari sifat Arogan.
Aku percaya ...

Tidak mudah wujudkan asa

Tapi sayapku sudah terbuka

Siap terbang meraihnya


Mewujudkan impian tidak mudah tapi bukan sesuatu yang gak mungkin untuk di capai. Mungkin
itu pesan terakhir dari Hadi Kurniawan.
Sebuah renungan yang sangat dalam, kelihatan simple tapi sama sekali risalah yang gak dangkal.
Banyak amanah yang bisa kita petik.

Nurani Alam puisi ini menurutku tersusun dengan akhiran yang sama.

judul Mimpi Sang Bujang, agak condong ke pantun cinta.


3 jam yang lalu · Suka · 2

Ki Sentanu Ada yang baru ya?

*melirik Rizki Noviyanti

Puisi 1: Mimpi Sang Bujang, puisi dengan gamblang memperlihatkan harapan mimpi yang
teramat di embat. Cukup kuat dan tak mudah putus asa. Seperti; Bulir air mengalir
bergilir/Remas hempas melas malas...
Walau berat berkeringat atau berluka air mata, tapi si aku mencoba meremas melas/ sedih dan
menghempas rasa malas, beuh...

Fafa Alfahrezy mas Hadi Kurniawan, syair :

Sebuah keinginan

nyaman

itu kata ''nyaman'' kenapa gak jadi satu baris aja sama yang diatas, biar pembaca gak sangsi dan
lebih mudah untuk memaknainya..

Adhi P. Nugroho Puisi Mimpi Sang Bujang, aku kurang nyaman dengan kata 'Patih'. Entah,
seperti memaksakan.

Sketsa Oase Senja masih puisi karya Hadi Kurniawan:

puisi ini berbicara tentang sebuah keyakinan bahwa apapun dalam setiap kondisi hanya ada satu
tempat bergantung yaitu diri kita sendiri,termasuk dalam hal keinginan.
cara mengungkapkannya sudah mengalir cuma harus diperhatikan keterkaitan tiap baitnya.
Nilam Nahariah Puisi pertama bagus, dan akan lebih bagus lagi kalau tidak memaksakan agar
rimanya sama. Soalnya jadi nggak nyambung antar barisnya. . Bener ngga ya
*masih belajar
AD Rusmianto puisi 1, mencoba mempertahankan eksistensi dengan unsur bunyi dan pola rima.
tapi di bait kedua mencoba membebaskan kata : Remas hempas melas malas

Maemutz Fibrian suka puisi Hadi Kurniawan

Deddy Firtana Iman Puisi si Hadi keren... Hidup Jomblo... :D

Dina Why telat dateng , , , menyimak ^^


By the way, aku suka puisi 1.

sumber

Ketika acara pembedahan berlangsung, aku nggak bisa hadir. Bukan karena nggak mau tanggung
jawab. Tapi ketika itu aku sedang kuliah, dan aku tidak diberitahukan sebelumnya jikalau
puisiku akan dibedah pada saat itu.

Jujur, sebenarnya aku nggak ngerti puisi. Aku hanya suka mengarang bebas, dan puisi Mimpi
Sang Bujang ini pun terbentuk hasil mengarang bebasku. Aku nggak ngerti mau jawab apa
ketika teman-teman menanyakan tentang maksud di bait kedua. Aku hanya mau menulis, dan
yang kubisa hanyalah ini.

Dan, untuk yang baris ini - 'Remas hempas melas malas' – itu aku ciptakan karena pada saat aku
mengarang puisi ini aku sedang malas. Namun di dalam hatiku berontak, malas itu tidak ada
gunanya, maka terciptalah kalimat itu.

Akhir kata, terimakasih. Kepada kalian yang udah sudi membaca dan membedah puisi ini, aku
masih memohon masukannya! Terimakasih.
Aku adalah sebuah puisi karya Chairil Anwar, karya ini mungkin adalah karyanya yang paling
terkenal dan juga salah satu puisi paling terkemuka dari Angkatan '45. Aku memiliki tema
pemberontakan dari segala bentuk penindasan. Penulisnya ingin "hidup seribu tahun lagi",
namun ia menyadari keterbatasan usianya, dan kalau ajalnya tiba, ia tidak ingin seorangpun
untuk meratapinya.

Unsur Ekstrinsik dalam Puisi Aku


Puisi yang sebelumnya berjudul Semangat ini terdapat dua versi yang berbeda. Terdapat
sedikit perubahan lirik pada puisi tersebut. Kata ‘ku mau’ berubah menjadi ‘kutahu’. Pada kata
‘hingga hilang pedih peri’, menjadi ‘hingga hilang pedih dan peri’. Kedua versi tersebut terdapat
pada kumpulan sajak Chairil yang berbeda, yaitu versi Deru Campur Debu, dan Kerikil Tajam.
Keduanya adalah nama kumpulan Chairil sendiri, dibuat pada bulan dan tahun yang sama.
Mungkin Chairil perlu uang, maka sajaknya itu dimuat dua kali, agar dapat dua honor
(Aidit:1999).
Penjelajahan Chairil Anwar berpusar pada pencariannya akan corak bahasa ucap yang
baru, yang lebih ‘berbunyi’ daripada corak bahasa ucap Pujangga Baru. Chairil Anwar pernah
menuliskan betapa ia betul-betul menghargai salah seorang penyair Pujangga Baru, Amir
Hamzah, yang telah mampu mendobrak bahasa ucap penyair-penyair sebelumnya. Idiom
‘binatang jalang’ yang digunakan dalam sajak tersebut pun sungguh suatu pendobrakan akan
tradisi bahasa ucap Pujangga Baru yang masih cenderung mendayu-dayu.
Secara makna, puisi Aku tidak menggunakan kata-kata yang terlalu sulit untuk dimaknai,
bukan berarti dengan kata-kata tersebut lantas menurunkan kualitas dari puisi ini. Sesuai dengan
judul sebelumnya, puisi tersebut menggambarkan tentang semangat dan tak mau mengalah,
seperti Chairil sendiri.
Pada lirik pertama, chairil berbicara masalah waktu seperti pada kutipan (2).
(2) Kalau sampai waktuku
Waktu yang dimaksud dalam kutipan (2) adalah sampaian dari waktu atau sebuah tujuan
yang dibatasi oleh waktu. Seperti yang telah tertulis di atas, bahwa Chairil adalah penyair yang
sedang dalam pencarian bahasa ucap yang mampu memenuhi luapan ekspresinya sesuai dengan
yang diinginkannya, tanpa harus memperdulikan bahasa ucap dari penyair lain saat itu. Chairil
juga memberikan awalan kata ‘kalau’ yang berarti sebuah pengandaian. Jadi, Charil berandai-
andai tentang suatu masa saat ia sampai pada apa yang ia cari selama ini, yaitu penemuan bahasa
ucap yang berbeda dengan ditandai keluarnya puisi tersebut.
(3) 'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Pada kutipan (3) inilah watak Charil sangat tampak mewarnai sajaknya. Ia tahu bahwa
dengan menuliskan puisi Aku ini akan memunculkan banyak protes dari berbagai kalangan,
terutama dari kalangan penyair. Memang dasar sifat Chairil, ia tak menanggapi pembuicaraan
orang tentang karyanya ini, karena memang inilah yang dicariny selama ini. Bahkan
ketidakpeduliannya itu lebih dipertegas pada lirik selanjutnya pada kutipan (4).
(4) Tidak juga kau
Kau yang dimaksud dalam kutipan (4) adalah pembaca atau penyimak dari puisi ini. Ini
menunjukkan betapa tidak pedulinya Chairil dengan semua orang yang pernah mendengar atau
pun membaca puisi tersebut, entah itu baik, atau pun buruk.
Berbicara tentang baik dan buruk, bait selanjutnya akan berbicara tentang nilai baik atau
buruk dan masih tentang ketidakpedulian Chairil atas keduanya.
(5) Tidak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Zaini, salah seorang Sahabat Chairil pernah bercerita, bahwa ia pernah mencuri baju
Chairil dan menjualnnya. Ketika Chairil mengetahui perbuatan sahabatnya itu, Chairil hanya
berkata, “Mengapa aku begitu bodoh sampai bisa tertipu oleh kau”. Ini menunjukkan suatu sikap
hidup Chairil yang tidak mempersoalkan baik-buruknya suatu perbuatan, baik itu dari segi
ketetetapan masyarakat, maupun agama. Menurut Chairil, yang perlu diperhatikan justru lemah
atau kuatnya orang.
Dalam kutipan (5), ia menggunakan kata ‘binatang jalang’, karena ia ingin menggambar
seolah seperti binatang yang hidup dengan bebas, sekenaknya sendiri, tanpa sedikitpun ada yang
mengatur. Lebih tepatnya adalah binatang liar. Karena itulah ia ‘dari kumpulannya terbuang’.
Dalam suatu kelompok pasti ada sebuah ikatan, ia ‘dari kumpulannya terbuang’ karena tidak
ingin mengikut ikatan dan aturan dalam kumpulannya.
(6) Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari

Hingga hilang pedih peri

Peluru tak akan pernah lepas dari pelatuknya, yaitu pistol. Sebuah pistol seringkali
digunakan untuk melukai sesuatu. Pada kutipan (6), bait tersebut tergambar bahwa Chairil
sedang ‘diserang’ dengan adanya ‘peluru menembus kulit’, tetapi ia tidak mempedulikan peluru
yang merobek kulitnya itu, ia berkata “Biar”. Meskipun dalam keadan diserang dan terluka,
Chairil masih memberontak, ia ‘tetap meradang menerjang’ seperti binatang liar yang sedang
diburu. Selain itu, lirik ini juga menunjukkan sikap Chairil yang tak mau mengalah.
Semua cacian dan berbagai pembicaraan tentang baik atau buruk yang tidak ia pedulikan
dari sajak tersebut juga akan hilang, seperti yang ia tuliskan pada lirik selanjutnya.
(7) Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Inilah yang menegaskan watak dari penyair atau pun dari puisi ini, suatu ketidakpedulian.
Pada kutipan (7), bait ini seolah menjadi penutup dari puisi tersebut. Sebagaimana sebuah karya
tulis, penutup terdiri atas kesimpulan dan harapan. Kesimpulannya adalah ‘Dan aku akan lebih
tidak perduli’, ia tetap tidak mau peduli. Chairil berharap bahwa ia masih hidup seribu tahun lagi
agar ia tetap bisa mencari-cari apa yang diinginkannya.
Disamping Chairil ingin menunjukkan ketidakpeduliannya kepada pembaca, dalam puisi
ini juga terdapat pesan lain dari Chairil, bahwa manusia itu itu adalah makhluk yang tak pernah
lepas dari salah. Oleh karena itu, janganlah memandang seseorang dari baik-buruknya saja,
karena kedua hal itu pasti akan ditemui dalam setiap manusia. Selain itu, Chairil juga ingin
menyampaikan agar pembaca tidak perlu ragu dalam berkarya. Berkaryalah dan biarkan orang
lain menilainya, seperti apa pun bentuk penilaian itu.
Dari puisi yang berjudul Aku diatas, dapat kita ketahui bahwa nilai sosialnya sangatlah besar.

Kalau sampai waktuku


Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Dimana disini sangat jelas diungkapkan penyair bahwa setiap manusia akan menemui ajal
sehingga Chairil berharap untuk setiap orang agar tidak merasa sedih apabila nantinya ia sudah
tiada walaupun pada akhir puisinya ditulis “Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Menurut penyair
sendiri, kematian sudah begitu dekat namun dengan harapan yang begitu besar untuk tetap hidup
lebih lama lagi.

Dari segi keagamaan (religi) juga sangat jelas terlihat dalam puisi “Aku” dimana pada baris
terakhir, sipengarang mangatakan “Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Kalimat tersebut jelas
merupakan Doanya terhadap Sang Pencipta dimana ia berharap hidup seribu tahun lagi karena ia
sendiri masih takut menghadapi ajal yang sudah begitu dekat dengan dirinya. Kehidupannya
yang begitu sulit membuat ia berserah kepada Tuhan.

Biar peluru menembus kulitku


Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

“biar peluru menembus kulitku” menggambarkan sakitnya atau pahitnya hidup yang sedang ia
rasakan pada saat itu dan “aku tetap meradang menerjang luka dan bisa kubawa berlari berlari
hingga hilang pedih peri” menyatakan hal penyerahan dirinya terhadap Tuhan sehingga segala
kepedihan yang ia rasakan pada saat itu hilang.

Biografi Singkat Chairil Anwar


Chairil Anwar dilahirkan di Medan pada 26 Juli 1922. Dia merupakan anak tunggal dari
pasangan Toeloes dan Saleha. Ayahnya bekerja sebagai pamongpraja. Ibunya masih mrmpunyai
pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Chairil dibesarkan
dalam keluarga yang berantakan. Kedua orang tuanya bercerai dan ayahnya menikah lagi dengan
wanita lain. Setelah perceraian itu, Chairil mengikuti ibunya merantau ke Jakarta. Saai itu, ia
baru lulus SMA.
Chairil masuk Hollands Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang
pribumi waktu penjajah Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs, sekolah menengah pertama Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai
untuk menulis sebagai seorang remaja, namun tak satu pun puisi awalnya yang ditemukan.
Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan
bahasa Jerman. Ia mengisi waktu luangnya dengan membaca buku-buku dari pengarang
internasional ternama, seperti Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman,
J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara
tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini
memberikan kesan lebih pada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang jarang berduka, salah satu
kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu
dalam sajak yang pedih sebagaimana yang tertulis dalam kutipan (1).
(1) Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu
setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil sayangi. Dia bahkan terbiasa
menyebut nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu. Hal itu ia lakukan sebagai tanda bahwa ia
yang mendampingi nasib ibunya. Di depan ibunya juga, Chairil sering kali kehilangan sisi
liarnya. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Chairil Anwar mulai memiliki perhatian terhadap kesusasteraan sejak sekolah dasar. Di
masa itu, ia sudah menulis beberapa sajak yang memiliki corak Pujangga Baru, namun ia tidak
menyukai sajak-sajak tersebut dan membuangnya. Begitulah pengakuan Chairil Anwar kepada
kritikus sastra HB. Jassin. Seperti yang ditulis oleh Jassin sendiri dalam Chairil Anwar Pelopor
Angkatan 45.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kegigihannya. Seorang teman dekatnya, Sjamsul
Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil.
Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik
pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya.
Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap,
menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Jassin juga pernah bercerita tentang salah satu sifat sahabatnya tersebut, “Kami pernah
bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan
mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan
para gadis.”
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid,
Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Semua nama gadis itu masuk ke
dalam puisi-puisi Chairil. Hapsah adalah gadis kerawang yang menjadi pilihannya untuk
menemani hidup dalam rumah tangga. Pernikahan itu tak berumur panjang. Karena kesulitan
ekonomi dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat itu, anaknya baru
berumur tujuh bulan dan Chairil pun menjadi duda.
Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada
beberapa versi tentang sakitnya, namun banyak pendapat yang mengatakan bahwa TBC kronis
dan sipilislah yang menjadi penyebab kematiannya. Umur Chairil memang pendek, 27 tahun.
Kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah
dia menjadi contoh terbaik untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti
kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar yang menjadi notaris di
bekasi harus meminta maaf saat mengenang kematian ayahnya di tahun 1999. Ia berkata, “Saya
minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil
Anwar”, (Haniey:2007).
Tak sedikit buku-buku karangan Chairil semasa hidupnya, buku-buku itu adalah sebagai
berikut. Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949),
Tiga Menguak Takdir (1950, dengan Asrul Sani dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalang:
koleksi sajak 1942-1949, diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono
(1986), Derai-derai Cemara (1998), Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya
Andre Gide Kena Gempur (1951), dan terjemahan karya John Steinbeck.
Selain itu, karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara
lain bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol. Terjemahan karya-karyanya di antaranya seperti Sharp
gravel, Indonesian poems, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley? California, 1960), Cuatro
poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati (Madrid: Palma de Mallorca,
1962), Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New
Directions, 1963), Only Dust: Three Modern Indonesian Poets, oleh Ulli Beier (Port Moresby
[New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969), The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar,
disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press,
1970), The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock
Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974), Feuer und
Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag,
1978), dan The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton
Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993).
Kenapa saya memilih karya Selsa?.
Pertama, karena beliau sahabat saya di Planet Kenthir. Saya tau persis, beliau tidak akan marah
jika karyanya saya bedah dengan cara kenthir.
Kedua, di Planet Kenthir, saya bersahabat dengan beliau.
Ketiga, beliau memiliki sahabat di Planet Kenthir yang bernama Elang, yaitu saya hahaha.

Wokeh, langsung aja kita bedah dan kritik, dan dimulai pada bait bait pertama

masih waktu yang sama


musim yang sama
bertahun yang telah lalu
dalam kubang mendung

Sudah menjadi kebiasaan saya saat membaca puisi, saya selalu mengulang dan mencoba
memahami maksud dan perasaan penulisnya.
Paragraph awal bercerita tentang kisah yang telah berlalu, yang masih terasa dalam waktu
sekarang. Sebuah kisah sedih? Sepertinya iya, walaupun itu juga tentang kisah indah saat saya
membaca bait berikutnya. (hmm…sebuah kalimat pembuka kritik yang terdengar keren
wkwkwk)

ada jejak kekasih yang mesra cumbui jiwanya


ada sepotong hati manis yang payungi kalbunya
tapi kisah takkan pernah sama
catatan langit tak selayaknya copy paste
ada ragam huruf dalam kalimat kenangan
ada aneka skenario tercipta dari lauh mahfuzh

Menurut saya, puisi ini perlu dipadatkan lagi, membuang kalimat yang tidak perlu. Jika mbak
Selsa mau memadatkannya, saya rasa puisi ini akan lebih kuat tanpa harus minum jamu kuat.
Ada juga kata kata yang rancu dan terdengar aneh seperti ‘Kubang Mendung’ dan ‘Copy Paste’.
Bagaimana gak aneh, copy paste itu bahasa perintah pada program komputer, bagaimana jika
diganti dengan Ctrl+C dan Ctrl+V hahaha

Saya lebih suka jika seperti ini :

waktu dan musim yang sama


bertahun telah lalu
terjebak dalam lorong mendung

ada jejak dan hati kekasih


mencumbu jiwa dan memayungi kalbunya
catatan langit tak tertulis ulang
dengan kisah yang sama
……

Coba kita perhatikan pada bait selanjutnya, yang di tulis Selsa


pun malam ini
tatkala perempuan yang mulutnya penuh sirih
tertegun pada lamun panjang
menekuri gerimis yang jatuh di dahinya
tak ada payung hati
tak ada dekap mesra
tak ada perapian hangat
pun jua tak ada ratapan
tak ada sesal

Sang tokoh pada puisi ini adalah perempuan tua, karena kebiasaan menyirih ada pada nenek
nenek. Walau tidak menutup kemungkinan ada perempuan muda suka menyirih, atau ini tentang
hobby penulis? Bisa jadi iya hahaha.
Yang membuat saya heran, ngapain sang nenek hujan hujanan di waktu malam. Atau bukan
kehujanan? tapi ada genting bocor sehingga hujan menetes di dahinya. Kalo maksud penulis
menggambarkan perasaan hati dengan hujan, sebaiknya jangan menetes di dahi, pembaca nanti
bisa salah duga hahaha

Selanjutnya kita simak lagi bait berikutnya

kosong ruang jiwanya


kelam
gerimis
kopi
wajah kekasih
membaur
dalam ketukan waktu
yang telah bersiap membunuhnya

Kosong ruang jiwanya? Benarkah kosong?. Karena saya melihat ada ingatan indah tentang
kekasihnya, walaupun kini sang nenek sendiri. Walaupun kisah tak terulang, si nenek tidak
menyesal sedikit pun.

Kopi?. Saya tau kalau penulis suka kopi, tapi pertanyaannya, kenapa ada kopi?. Bukankah sang
nenek sedang menyirih?. Saya belum pernah menemui ada nenek nenek menyirih sambil minum
kopi. Dua kenikmatan yang berlawanan jika dipadukan. Menyirih sambil melamun, suatu yang
wajar, bahkan menyirih sambil ngomel lebih cocok, seperti nenek saya yang suka ngomel sambil
nyirih karena kenakalan saya hahaha. Menyirih dan minum kopi? seperti seseorang yang suka
cake dan juga suka sambal terasi, walaupun lagi galau berat, orang itu tentu akan berfikir untuk
memadukan keduanya wkwkwk.

Puisi ini ditutup dengan kalimat, dalam ketukan waktu yang telah siap membunuhnya. Kalimat
penutup yang bagus. Saya membacanya tentang kepasrahan, kesiapan menanti ajal. Mungkin
dengan itu dia bisa bertemu kekasihnya.
Akan tetapi, seharusnya jangan ditulis membunuhnya. Kalo dilihat dari pemakaian kata copy
paste di atas, mungkin kalau pakai kata turn off atau shutdown lebih cocok hahaha.
Dan yang terakhir.
Maaf ya mbak Selsa, menurut saya puisi ini tidak layak HL. Mengapa saya katakan tidak layak?.
Karena biar saya kelihatan seperti kritikus yang memberi kritik pedas, biar kelihatan berani dan
keren hahaha. Padahal saya sama sekali gak kompeten untuk memberi kritik.

Jika dalam tulisan ini ada kebenaran dan manfaat sebagai kritik sastra, maka percayalah! itu
hanya kebetulan belaka wkwkwkw.
Tulisan ini bukan bermaksud merusak kaidah kritik sastra, tapi hanya memancing para kritikus
atau orang yang mempunyai keahlian kritik sastra untuk menulis. Ketika para penggemar fiksi
mulai mencoba menulis sastra, kemudian dengan berani menampilkan karyanya di ruang publik.
Disitulah peran kritikus diharapkan hadir untuk memajukan karya sastra.

BEDAH :

Puisi ini menggambarkan apa yang dialami oleh penyajak pada saat itu, tentang kehidupannya.

Penyajak merupakan seorang pemuda yang tersepit dengan kehidupannya, tidak suka di temani
dan begitu meminati puisi dari penulis-penulis yang hebat. Dalam masa yang sama dia mencuba
untuk mengasah bakat dalam bidang penulisan.

“Ku lari ke hutan


Kemudian menyanyiku
Ku lari ke pantai
Kemudian teriakku”

Dia ingin melarikan diri daripada kesepian sama seperti lari ke hutan. Tetapi dia masih dikejar
dengan perasaan nya sendiri. Dia cuba melarikan diri ke pantai tetapi keresahan tetap juga
menghantuinya.

“Pecahkan saja gelasnya!


Biar ramai… biar mengaduh sampai gaduh”

“kesepian” membuat dia merasa benci pada kehidupannya, hanya bertemankan ayahnya yang
patuh dengan aturan hidup. Dia ingin sekali melarikan dirinya daripada kesepian dan ingin
berada dalam satu masyarakat yang penuh ceria tetapi dia tak mampu.

Dia juga terlalu ingin menjadi manusia yang berkuasa tetapi dia tidak punyai kepandaian persis:
” Aihh..ada malaikat
menyulam jaring labah-labah belang
Di tembok keraton putih”

ingin dia bermain dengan api tetapi tak mampu mengawal api bila api itu mula marak dan akan
terus membakar ..

dia tak ingin sendiri kerana bila sendiri dia akan terus tewas dengan kesepian lantas dia inginkan
keriuhan yang mungkin mampu mengubah sikap nya tetapi dia juga gagal mencari dimana punca
nya ..

“Seperti berjelaga jika ku sendiri


Pecahkan saja gelasnya
Biar ramai..biar mengaduh sampai gaduh “

penulis merasakan dia perlu juga membebaskan dirinya dari belenggu kesepian dengan dua cara
sama ada melarikan diri ke hutan untuk melepaskan keresahan dengan cara “bernyanyi” atau
membelok ke pantai untuk “berteriak”.

Anda mungkin juga menyukai