Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN STUDI KASUS KOMPREHENSIF

PENATALAKSANAAN TERAPI NUTRISI PADA PASIEN


KOLELITIASIS DD KOLESTITIS DENGAN ASITES DAN
IKTERIK
DI RUANG MELATI RSUD MOEWARDI SURAKARTA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Praktik Rotasi Klinik


Program Studi S2 Clinical Nutrition

Dosen Pengampu Mata Kuliah


Dr Sugiarto, dr., Sp.PD.KEMD., FINASIM

Oleh :
Anita Febrian Permata Sari
S521608004

PROGRAM STUDI ILMU GIZI PASCASARJANA


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan studi kasus komprehensif dengan judul Penatalaksanaan Terapi


Nutrisi Pada Pasien Kolelitiasis Dd Kolestitis Dengan Asites Dan Ikterik Di Ruang
Melati RSUD Moewardi Surakarta telah diseminarkan pada tanggal 20 november
2017. Laporan ini telah direvisi sebagaimana mestinya dan mendapatkan
persetujuan pembimbing.

Surakarta, 11 Desember 2017

Menyetujui,
Pembimbing Kasus

Dr Sugiyarto, dr, Sp.PD., KEMD., FINASIM


NIP. 19620522 198901 1 001

i
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ..................................................................................................iii

DAFTAR GRAFIK ............................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1

B. Batasan Masalah ................................................................................... 2

C. Tujuan ................................................................................................... 2

BAB II HASIL PENGAMATAN ............................................................................. 3

BAB III PEMBAHASAN ...................................................................................... 12

A. Assesment Gizi.................................................................................... 12

B. Diagnosa Gizi ...................................................................................... 16

C. Intervensi Gizi ...................................................................................... 17

D. Monitoring dan Evaluasi ...................................................................... 23

BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 29

A. Kesimpulan .......................................................................................... 29

B. Saran ................................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 31

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Assesment Gizi ...................................................................................... 3

Tabel 2. Diagnosa Gizi......................................................................................... 6

Tabel 3. Intervensi Gizi ........................................................................................ 6

Tabel 4. Intervensi Diet ........................................................................................ 7

Tabel 5. Rencana Konseling Pasien .................................................................... 8

Tabel 6. Rencana Monitoring Evaluasi ................................................................. 9

Tabel 7. Monitoring dan Evaluasi ....................................................................... 10

iii
DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Monitoring Data Biokimia ..................................................................... 26

Grafik 2. Monitoring Intake Energi dan Zat Gizi Makro ....................................... 27

Grafik 3. Monitoring Intake Zat Gizi Mikro .......................................................... 28

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Malnutrisi sering terjadi pada pasien rumah sakit dan dapat

mempengaruhi status kesehatan serta biaya perawatan. Satu dari tiga orang

pasien masuk rumah sakit dengan status malnutrisi, jika tidak diobati pasien

akan mengalami penurunan status gizi yang lebih lanjut selama masa

perawatan. Pasien rumah sakit dengan status gizi yang baik pada saat masuk

dapat menurun status gizinya selama proses perawatan karena kurangnya

asupan ataupun peningkatan kebutuhan zat gizi selama sakit. Penelitian di

RS Dr Sardjito, RS Dr Jamil dan RS Sanglah pada tahun 2002 menunjukkan

28,2% pasien yang dirawat dirumah sakit mengalami malnutrisi. Penelitian di

RS Advent Manado pada tahun 2016 menunjukkan 74,4% pasien memiliki

asupan makanan < 80% dan 34,4% mengalami malnutrisi (Tappenden et al.,

2013; Kasim, Dhian Ayudhia Harikedua, Vera T Paruntu, 2016; Syamsiatun,

Hadi and Juffrie, 2016).

Pasien dengan malnutrisi dapat menjadi apatis dan depresi. Pasien

mengalami penurunan nafsu makan dan asupan makanan. Otot pernafasan

pasien melemah dapat meningkatkan risiko infeksi paru – paru. Penurunan

mobilitass curah jantung dan kinerja usus dapat menimbulkan komplikasi

klinis. Pada pasien dengan malnutrisi proses penyembuhan luka terjadi lebih

lama. Komplikasi klinis yang ditimbulkan oleh malnutrisi akan memperpanjang

lama rawat inap dan meningkatkan risiko kematian (Irish Departement of

Health and Children, 2009; Barker, Gout and Crowe, 2011; Tappenden et al.,

2013; Syamsiatun, Hadi and Juffrie, 2016).

1
Pemenuhan kebutuhan gizi dan pencegahan kejadian malnutrisi

pasien rumah sakit memiliki efek yang positif terhadap hasil klinis dan biaya

perawatan. Pemenuhan kebutuhan pasien dapat terpenuhi dengan

pemberian intervensi gizi oleh tim asuhan gizi rumah sakit. Intervensi gizi yang

dilakukan di rumah sakit terdiri dari empat kategori yaitu pemberian makanan

atau pemenuhan zat gizi, edukasi gizi, konseling gizi dan koordinasi asuhan

gizi. Intervensi gizi merupakan salah satu komponen terapi gizi rumah sakit

yang terdiri dari skrinning gizi, assesment, diagnosis, intervensi, monitoring

dan evaluasi (Charney, 2007; Irish Departement of Health and Children, 2009;

Barker, Gout and Crowe, 2011; Tappenden et al., 2013; Kasim, Dhian Ayudhia

Harikedua, Vera T Paruntu, 2016; Syamsiatun, Hadi and Juffrie, 2016).

B. Batasan Masalah

Karena kerterbatasan penulis maka laporan kasus ini akan membahas

proses terapi gizi pada salah satu pasien di Ruang Rawat Inap Melati 1 RSUD

Dr Moewardi Surakarta.

C. Tujuan

Berdasarkan batasan masalah di atas maka laporan kasus ini bertujuan untuk:

1. Menjelaskan proses assesment gizi

2. Menjelaskan diagnosa gizi

3. Menjelaskan Intervensi gizi yang diberikan kepada pasien

4. Menjelaskan proses monitoring dan evaluasi

2
BAB II
HASIL PENGAMATAN

Tabel 1. Assesment Gizi

No. RM : 01396531 Ruang/Kamar


Pascasarjana
Nama : Tuginem Melati 1
UNS PENGKAJIAN
Clinical GIZI
Tanggal Lahir : 05/12/1953 Kamar 7 D
Nutrition Umur : 63 tahun (P)

Tanggal Pengakajian : 2 November 2017


Diagnosis Medis : Kolelitiasis dd Kolestitis, Asites, Ikterik
Antropometri
BB : 40 kg LLA : cm BBI:
TB : 158 cm TL : cm
IMT : 16,02 kg/m 2 (Underwight) RL : cm
Pada pemeriksaan antropometri didapatkan bahwa pasien mengalami malnutrisi
Biokimia
Pemeriksaan Nilai Normal 25/10 27/10 30/10 31/10 1/1
Hemoglobin 12 – 15,6 10,1 10,4 9,4
g/dl
Hematokrit 33 – 45 % 29 3,2 29
Leukosit 4,5 – 11 12,6 12,5 9,1
ribu/ul
Trombosit 150 – 450 334 273 222
ribu/ul
Eritrosit 4,10 – 5, 10 2,99 3,18 2,89
Juta/ul
MCV 95,2
MCH 33,8
MCHC 35,4
RDW 13
MPV 7,8
PDW 16
SGOT < 31u/l 60
SGPT < 34 u/l 18
Albumin 3,2 – 4,6 g/dl 2,2 2,6
Kreatinin 0,6 – 1,2 0,6
mg/dl
Ureum < 50 mg/dl 13
Natrium 136 – 145 125 126 126
mmol/L
Kalium 3,7 – 5,4 1,8 1,9 2,1
mmol/L
Kalsium 1,17 – 1,29 0,96 1,08 1
mmol/L
Anti HbC - -
Anti HcV Non reaktif Non reaktif
Glukosa 70 – 115
mg/dl
Bilirubin total 0 – 1 mg/dl 24,58

3
Bilirubin direk 0 - 0,3 mg/dl 17,61
Bilirubin Indirek 0 – 0,7 mg/dl 6,97

Data laboratorium menunjukkan pasien mengalami anemia, gangguan fungsi hati dan kandung empedu,
hipoalbumin, hiponatremia, hipokalemia, hipokalsemia.
Klinik/Fisik
 Tekanan darah 110/70 mmHg
 Nadi 90x /menit
 Respirasi 20 x/menit
 Suhu 360C
 Mata dan bagian perut Berwarna Kuning
 Asites
 Pasien Sulit untuk bangun dari tempat tidur.
 Pasien mengalami ganguan makan karena terasa penuh dan perut terasa sesak

Data fisik klinis menunjukkan pasien mengalami asites dan ikterik yang dapat disebabkan oleh gangguan pada
hati atau kantung empedu. Asites menyebabkan perut pasien terasa sesak sehingga nafsu makan menurun.
Pasien mengalami ganguan makan disebabkan ganguan pada gigi karena selama di rumah sakit pasien jarang
menggosok gigi. Pasien sulit bangun dari tempat tidur karena merasa lemah yang dapat disebabkan karena
rendahnya hemoglobin dan malnutrisi.
Dietary History

Energi (kcal) Protein (g) Lemak (g) KH (g) Na (mg) Cairan (ml)
Asupan Oral 582 12,9 11,4 71,8 184,4 500
Vipalbumin 0,85
Kapsul 400
Garam
Infus Nacl 5310 1440
Kebutuhan 1700 69,6 37,78 270,4 2700 1800
Capaian% 34,23 19,7 30,17 26,5 196,7% 107%

Riwayat Gizi
Alergi Makanan: Tidak Ada Alergi
- Telur : Ya/ Tidak - Ikan :
Ya/Tidak

- Udang : Ya/Tidak - Gluten :


Ya/Tidak

- Susu sapi dan produk olahan ikan : Ya/Tidak - Kacang Kedelai/tanah: Ya/Tidak

Pola Makan:
 Pasien memiliki kebiasaan makan 3 kali / hari dengan porsi makan sedikit.
 Makanan pokok yang sering dikonsumsi adalah nasi3 kali/ hari. Konsumsi nasi 4 sdm sekali makan.
 Lauk hewani yang sering dikonsumsi adalh telur ayam. Pasien mengonsumsi telur 1 btr telur ayam/ hari
dengn cara digoreng.
 Pasien tidak pernah mengonsumsi lauk nabati.
 Pasien jarang mengonsumsi sayur.
 Pasien tidak pernah mengonsumsi buah
 Konsumsi air minum pasien sehari 5 – 6 gelas belimbing

4
Dari riwayat makanan pasien dapat disimpulkan bahwa pasien kekurangan asupan makanan terutama sumber
protein, vitamin dan mineral

Riwayat Personal
RPD :
-
RPK :
-
RPS :
Pasien datang dengan keluhan sesak selama 1 minggu, perut membucit, cepat merasa kenyang saat makan.
Pasien terkadang muntah setelah makan, nafsu makan pasien menurun. Mata pasien berwarana kuning,
BAK 3 – 4 x/hari berwarna kuning.
SOSEK :
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pasien tinggal berdua dengan suami. Pekerjaan sehari – hari dikerjakan oleh suami
Terapi Medis
Jenis obat Fungsi Interaksi Obat Dengan Makanan
Nacl 0,9% Memperbaiki kadar natrium dalam
darah
Leforate

Furosemide Mengeluarkan cairan dari tubuh Meningkatkan sekresi air Natrium,


Kalium, kalsium, Magnesium,
chloride
Ursodeoxycholic Acid Pengobatan saluran empedu yang
rusak
Vipalbumin Meningkatkan albumin dalam darah Dapat menimbulkan alergi pada
pasien dengan alergi pada ikan
gabus
CaCo3 Meningkatkan kadar kalsium dalam
darah
Kapsul garam Meningkatkan kadar garam di
dalam tubuh

5
Tabel 2. Diagnosa Gizi

Problem Etiologi Tanda/Gejala


NI 5.2 Malnutrisi Kurangnya Asupan Protein, Hasil recall yang kurang dari
Karbohidrat dan Lemak kebutuhan, riwayat asupan makan
dirumah, IMT 16,02 Kg/m2 dan
Kadar Albumin 2,6 mg/dl
NI 5.7.1 Asupan Protein tidak adekuat Perut terasa sesak, penurunan Hasil recall 24 jam kurang dari
nafsu makan, gangguan kebutuhan dan kadar albumin 2,6
mengunyah mg/dl.
NI 5.10.1 Asupan Mineral yang tidak Pasien tidak mengonsumsi Kadar Natrium 126 mmol/L, Kalium
adekuat (Kalsium, Natrium, Kalium) sayuran dan buah 2,1 mmol/L dan Kasium 1 mmol/L.
NC.2.1 Gangguan Utilisasi Zat Gizi Gangguan pada kantung Kadar bilirubin total 24,58 mg/dl
(Lemak) empedu
NC 2.2 Perubahan Nilai Laboratorium Asupan Protein, vitamin dan Kadar Hb 9,4 g/dl dan Eritrosit 2,89
terkait zat gizi (protein, vitamin dan mineral yang kurang g/d
mineral)

Tabel 3. Intervensi Gizi

Diagnosa Gizi Diet Edukasi


NI 5.2 Malnutrisi ND 1.2.1 Modifikasi Tekstur C 2.1 Pemberian Motivasi
Makanan RC 1.1 Pertemuan Tim Terapi
Gizi
NI 5.7.1 Asupan Protein tidak adekuat ND 1.2.3 Modifikasi komposisi C 1.2 Health Belief Model
protein diet C 2.4 Pemecahan Masalah
NI 5.10.1 Asupan Mineral yang tidak ND 1.2.10 Modifikasi komposisi C 1.2 Health Belief Model
adekuat (Kalsium, Natrium, Kalium) mineral diet C 2.4 Pemecahan Masalah
C 2.1 Pemberian Motivasi
NC.2.1 Gangguan Utilisasi Zat Gizi ND 1.2.5 Modifikasi komposisi lemak E 1.4 Hubungan antara Gizi
(Lemak) diet dengan penyakit
NC 2.2 Perubahan Nilai Laboratorium ND 1.2.3 Modifikasi komposisi C 1.2 Health Belief Model
terkait zat gizi (protein, vitamin dan protein diet C 2.4 Pemecahan Masalah
mineral) ND 1.2.9 Modifikasi komposisi
vitamin diet
ND 1.2.310 Modifikasi komposisi
mineral diet

6
Tabel 4. Intervensi Diet

Tujuan Diet
1. Meningkatkan asupan makan pasien
2. Meningkatkan status gizi pasien
3. Meningkatkan kadar Hb, albumin, Natrium, Kalium dan Kalsium dalam darah
4. Mengatasi malabsorbsi lemak
Perhitungan Kebutuhan
Energi Zat Gizi Makro Zat Gizi Mikro

BB = 40 Kg 𝑔 Asam Folat = 1000 mcg


𝑃𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 = 1,2 ⁄𝐾𝑔 𝐵𝐵 = 1,2 𝑋 58
TB = 158 Cm Vitamin B12 = 1000 mcg
𝐵𝐵 = 69,6 𝑔
𝐼𝑀𝑇 = Zat Besi = 150 mg
𝑇𝐵2 (𝑀) Natrium = 2700 mg
40
𝐼𝑀𝑇 = = 16,02 𝐿𝑒𝑚𝑎𝑘 = 20% 𝑋 𝑇𝐸𝐸 Natrium Oral = 1300 mg
1,582
= 20% 𝑋 1700 𝐾𝑘𝑎𝑙 Kalium = 4700 mg
𝐵𝐵𝐼 = 𝑇𝐵 − 100 𝐿𝑒𝑚𝑎𝑘 = 340 𝐾𝑘𝑎𝑙 = 340⁄9 Kalsium = 1200 mg
𝐵𝐵𝐼 = 158 − 100 = 58 𝐾𝑔 = 37, 78 𝑔

𝐵𝑀𝑅 = 655,1 + (9,563 𝑋 𝐵𝐵) 𝐾𝑎𝑟𝑏𝑜ℎ𝑖𝑑𝑟𝑎𝑡 = 𝑇𝐸𝐸


+ (1,85 𝑋 𝑇𝐵) − 𝑒𝑛𝑒𝑟𝑔𝑖 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛
− (4,676 𝑋 𝑈) − 𝑒𝑛𝑒𝑟𝑔𝑖 𝑙𝑒𝑚𝑎𝑘
𝐵𝑀𝑅 = 655,1 + (9,563 𝑋 58) 𝐾𝑎𝑟𝑏𝑜ℎ𝑖𝑑𝑟𝑎𝑡 = 1700 − 278,4 − 340
+ (1,85 𝑋 158) = 1081,6 𝐾𝑘𝑎𝑙
− (4,676 𝑋 63) 𝐾𝑎𝑟𝑏𝑜ℎ𝑖𝑑𝑟𝑎𝑡 = 1081,6⁄4 = 270,4 𝑔
𝐵𝑀𝑅 = 655,1 + 554,654 + 292,3
− 294,588 𝐶𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛
= 1207,466 𝐾𝑘𝑎𝑙
= (100 𝑚𝑙 𝑋 10 𝐾𝑔 𝐵𝐵 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎)
𝑇𝐸𝐸 = 𝐵𝑀𝑅 𝑋 𝐹𝐴 𝑋 𝐹𝑆 + (50 𝑚𝑙 𝑋 10 𝐾𝑔 𝐵𝐵)
𝑇𝐸𝐸 = 1207,466 𝑋 1,1 𝑋 1,3 = + (15 𝑚𝑙 𝑋 𝐾𝑔 𝐵𝐵 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑢𝑡𝑛𝑦𝑎)
1726, 68 𝐾𝑘𝑎𝑙 = 1700 𝐾𝑘𝑎𝑙 𝐶𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 = (100 𝑚𝑙 𝑋 10)
+ (50 𝑚𝑙 𝑋 10)
+ (15 𝑚𝑙 𝑋 20)
𝐶𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 = 1000 + 500 + 300
= 1800 𝑚𝑙

Syarat Diet Preskripsi Diet


1. Energi diberikan sesuai kebutuhan yaitu 1700 kkal  Diet Rendah Lemak 1700 Kkal
2. Protein tinggi 1,2 x BBI = 69,6 gram terutama  Bentuk Makanan Lunak
asam amino BCAA
3. Lemak cukup 20% x total energi = 37,78 gram
terutama PUFA
4. Karbohidrat sisa dari total energi = 270,4 gram
terutama karbohidrat kompleks
5. Asam Folat 1 mg, Vitamin B 12 1 mg, Zat besi 10
g, Na 1300 mg, K 4700 mg, Ca 1200 mg
6. Memberi makanan lunak dan mudah cerna
7. Cairan tidak lebih dari 1,8 liter.

7
Tabel 5. Rencana Konseling Pasien

Masalah Tujuan Strategi Topik Indikator


Malnutrisi Meningkatkan asupan makan Motivational Motivasi meningkatkan Asupan makanan
pasien Interviewing asupan makanan pasien meningkat
Anemia dan hipoalbumin Meningkatkan kadar Hb Pasien Cognitive Behaviour Makanan tinggi Peningkatan kadar Hb
Theraphy protein, zat besi, asam dan albumin Pasien
folat dan vitamin B12
Kekurangan Intake natrium, kalium, kalsium Meningkatkan kadar natrium, Cognitive Behaviour Makanan sumber Peningkatan kadar
kalium, kalsium dalam darah Theraphy dan kalium, natrium dan kalium natrium dan
Motivational kalsium. kalsium dalam darah.
Interviewing Efek kurangnya intake
sayuran
Pembatasan intake lemak Meningkatkan pengetahuan pasien Cognitive Behaviour Diet rendah lemak Pasien dan keluarga
tentang diet yang dijalankan Theraphy 1700 Kkal memahami diet yang
dijalankan

8
Tabel 6. Rencana Monitoring Evaluasi

Diagnosa Gizi Intervensi Gizi Monitoring & Evaluasi Target


NI 5.2 Malnutrisi ND 1.2.1 Modifikasi Tekstur Makanan FH 1.1.1.1 Intake total energi 1. Asupan makanan pasien
C 2.1 Pemberian Motivasi FH 1.5.1 Intake lemak 50% dari kebutuhan
RC 1.1 Pertemuan Tim Terapi Gizi FH 1.5.2 Intake Protein 2. LILA dalam batas normal
3. Tanda – tanda vital dalam
P.D 1.4 otot ( Lingkar lengan atas) batas normal
P.D 1.9 Tanda – tanda vital (Nadi, 4. Keadaan umum baik
respirasi, Tekanan darah)
P.D 1.1. Penampilan Keseluruhan
NI 5.7.1 Asupan Protein tidak adekuat ND 1.2.3 Modifikasi komposisi protein FH 1.5.2 Intake Protein 1. Asupan protein meningkat
diet BD 1.11.1 Albumin menjadi 50% dari kebutuhan
C 1.2 Health Belief Model 2. Albumin dalam batas normal
C 2.4 Pemecahan Masalah
NI 5.10.1 Asupan Mineral yang tidak ND 1.2.10 Modifikasi komposisi FH 1.5.6 Intake Zat gizi mikro 1. Asupan makanan memenuhi
adekuat (Kalsium, Natrium, Kalium) mineral diet BD 1.2.5 Natrium kebutuhan natrium, kalium
C 1.2 Health Belief Model BD 1.2.7 Kalium dan kalsium
C 2.4 Pemecahan Masalah 2. Kadar Natrium darah dalam
BD 1.2.9 Kalsium serum batas normal
C 2.1 Pemberian Motivasi
3. Kadar kalium darah dalam
batas normal
4. Kadar kalsium darah dalam
batas normal
NC.2.1 Gangguan Utilisasi Zat Gizi ND 1.2.5 Modifikasi komposisi lemak FH 1.5.1 Intake lemak 1. Asupan makanan pasien
(Lemak) diet P.D 1.1. Penampilan Keseluruhan 50% dari kebutuhan
E 1.4 Hubungan antara Gizi dengan 2. Keadaan umum baik
penyakit
NC 2.2 Perubahan Nilai Laboratorium ND 1.2.3 Modifikasi komposisi protein FH 1.5.6 Intake Zat gizi mikro 1. Asupan makanan memenuhi
terkait zat gizi (protein, vitamin dan diet BD 1.10.1 Hemoglobin kebutuhan zat besi, asam
mineral) ND 1.2.9 Modifikasi komposisi vitamin folat, vitamin B12
2. Kadar Hemoglobin dalam
diet
batas normal
ND 1.2.310 Modifikasi komposisi
mineral diet
C 1.2 Health Belief Model
C 2.4 Pemecahan Masalah

9
Tabel 7. Monitoring dan Evaluasi

Monitoring & Evaluasi Target 3/11/2017 4/11/2017 Rencana Tindak lanjut


FH 1.1.1.1 Intake total energi Asupan pasien 50% dari 632,2 Kkal (37,2 %) 959,9 Kkal (56,4%) Peningkatan asupan makan
kebutuhan pasien 80% dari kebutuhan
dengan memberikan
motivasi kepada pasien
FH 1.5.1 Intake lemak Asupan pasien 50% dari 9,2 g (24,35 %) 17,6 g (46,58 %) Modifikasi bentuk lauk
kebutuhan menjadi cincang
Memberikan motivasi
kepada pasien
FH 1.5.2 Intake Protein Asupan pasien 50% dari 13,9 g (19,97 %) 18,4 g (34,91 %) Modifikasi bentuk lauk
kebutuhan menjadi cincang
Memberikan motivasi
kepada pasien
FH 1.5.6 Intake Zat gizi mikro 1. Asupan makanan Na : 291,3 mg (22%) Na : 643,1 mg (49%) Memberikan motivasi dan
memenuhi kebutuhan K : 589 mg (13%) K : 413,6 mg (9%) konseling untuk
natrium, kalium dan Ca : 175,1 mg (15%) Ca : 37,9 mg (3%) mengonsumsi sayur dan
kalsium Asam Folat : 218,6 mcg Asam Folat : 19,2 mcg (2%) buah
2. Asupan makanan (22%) Zat besi: 1,6 mg (1%)
memenuhi kebutuhan zat Zat besi: 4,6 mg (3%)
besi, asam folat, vitamin
B12
BD 1.2.5 Natrium Kadar Natrium darah dalam 130 mmol/L Memberikan motivasi dan
batas normal (136 – 145 konseling untuk
mmol/L) mengonsumsi sayur dan
buah
Memantau kadar natrium
BD 1.2.7 Kalium Kadar kalium darah dalam 2,2 mmol/L Memberikan motivasi dan
batas normal (3,7 – 5,4 konseling untuk
mmol/L) mengonsumsi sayur dan
buah
Memantau kadar kalium
BD 1.2.9 Kalsium Kadar kalsium darah dalam 1,01 mmol/L Memberikan motivasi dan
batas normal (1,17 – 1,29 konseling untuk
mmol/L) mengonsumsi makanan
sumber protein dan kalsium
Memantau kadar kalsium

10
Monitoring & Evaluasi Target 3/11/2017 4/11/2017 Rencana Tindak lanjut
BD 1.10.1 Hemoglobin Kadar Hemoglobin dalam Memantau kadar Hb pasien
batas normal (12 – 15,6 g/dl)
BD 1.11.1 Albumin Albumin dalam batas normal 2,6 g/dl Modifikasi bentuk lauk
(3,2 – 4,6 g/dl) menjadi cincang
Memberikan motivasi
kepada pasien
Memantau kadar albumin
P.D 1.1. Penampilan Keadaan umum baik Hasil USG menunjukkan Memantau keadaan pasien
Keseluruhan adanya penyempitan ductus
coomon hepatic yang
sirkuler dan dilatasi ke
ductus bilier diatasnya
mengarah ke
cholangiocarcinoma type II.
P.D 1.9 Tanda – tanda vital Tanda – tanda vital dalam Tekanan darah : 100/60 Tekanan darah : 100/60 Memantau tanda – tanda
(Nadi, respirasi, Tekanan batas normal mmHg mmHg vital pasien
darah) Nadi : 79 x/ menit Nadi : 90 x/ menit
Respirasi : 20x/menit Respirasi : 20x/menit
P.D 1.4 otot ( Lingkar lengan LILA Pasien 23,5 cm 11 cm Pemantauan LILA setiap 3
atas) hari.

11
BAB III
PEMBAHASAN

A. Assesment Gizi

Assesment gizi adalah metode sistematik yang digunakan oleh gizi untuk

mengumpulkan dan mengevaluasi informasi dari berbagai sumber dalam menentukan

masalah gizi. Ahli gizi mengumpulkan lima kategori data selama proses assesment

yaitu antropometri, biokimia, fisik klinis, riwayat asupan makanan dan data personal

pasien. Data yang dikumpulkan selama proses assesment digunakan untuk

menetapkan diagnosa gizi (Charney, 2007, 2010; Tignanelli and Bukowiec, 2017).

1. Antropometri

Pengukuran antropometri digunakan untuk menentukan status gizi pasien.

Pasien memiliki indeks massa tubuh sebesar 16,02 Kg/m2 sehingga dapat

disimpulkan dengan menggunakan indikator WHO untuk daerah asia pasifik

pasien mengalami malnutrisi (Weisell, 2002; Anuurad et al., 2003).

2. Biokimia

Data biokimia dapat digunakan oleh seorang ahli gizi untuk menentukan

status gizi pasien dan melihat fungsi organ tubuh. Penentuan status gizi secara

biokimia dapat digunakan dengan menggunakan data albumin, prealbumin, C

reaktif protein, transferin, gula darah, natrium, kalium, klorida, BUN dan Kreatinin.

Fungsi organ tubuh dapat dinilai dengan menggunakan beberapa data misalnya

profil lipid, alanine aminotransferase, aspartat aminotransferase, hemoglobin,

hematokrit, asam folat dan B12 (Charney, 2010; Tignanelli and Bukowiec, 2017).

Pada hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar eritrosit,

hematokrit dan hemoglobin yang rendah. Eritrosit berfungsi untuk membawa

oksigen dari paru – paru ke dalam sel dan mengangkut karbondioksida dari sel ke

paru – paru. Fungsi eritrosit tersebut diperantarai oleh hemoglobin yang

terkandung di dalam eritrosit. Kadar eritrosit, hemoglobin dan hematokrit yang

12
rendah menunjukkan adanya anemia. Anemia dapat disebabkan oleh kerusakan

sel, perdarahan dan kurangnya asupan vitamin (asam folat, B12) dan mineral

(besi) yang berperan dalam proses produksi sel darah merah (Wilson, 2008;

Fischbach, FT & Dunning III, 2009).

Kadar albumin adalah salah satu periksaan yang dapat menilai status gizi

pasien. Hipoalbumin pada pasien dsapat disebabkan karena kurangnya asupan

makanan terutama protein. Kadar natrium, kalium dan kalsium darah yang rendah

pada pasien dapat disebabkan karena tidak seimbangnya antara asupan dan

pengeluaran mineral yang berlebihan disebakan karena konsumsi obat

furosemide (Wilson, 2008; Fischbach, FT & Dunning III, 2009).

Pemeriksaan SGOT dan SGPT dilakukan untuk menilai adanya tidaknya

gangguan fungsi hati. Kadar SGOT dan SGPT yang tinggi menunjukkan adanya

gangguan fungsi hati. Kadar Bilirubin total yang tinggi menunjukkan adanya

jaundice. Kadar bilirubin direk yang tinggi menunjukkan adanya hepatic jaundice

ataupun batu empedu. Kadar bilirubin indirek yang tinggi menunjukkan tingginya

bilirubin yang dihasilkan dari pemecahan hemoglobin yang menunjukkan adanya

kerusakan hepatoseluler (Wilson, 2008; Fischbach, FT & Dunning III, 2009).

3. Fisik dan Klinis

Keadaan pasien secara umum lemah. Tanda – tanda vital pasien seperti

nadi, respirasi dan tekanan darah berada dalam keadaan normal. Pemeriksaan

fisik menunjukkan mata dan kulit di bagian perut berwarna kuning, sehingga dapat

disimpulkan bahwa pasien mengalami ikterik. Ikterus gejala penyakit hati dan

dapat menggambarkan tingkat keparahan penyakit. Pasien biasanya melaporkan

penggelapan urin sebelum munculnya ikterus. Ikterus jarang terdeteksi dengan

kadar bilirubin kurang dari 43 umol / L (2,5mg / dL). Pada kolestasis berat warna

tinja akan menjadi lebih terang dan terdapat steatorrhea. Penyakit kuning tanpa

urine gelap biasanya menunjukkan hiperbilirubinemia indirek dan khas anemia

13
hemolitik dan kelainan genetik pada konjugasi bilirubin (Ghany and Hoofnagle,

2001).

Asites pada pasien menunjukkan adanya penumpukan cairan bebas pada

rongga peritonium. Asistes dapat disebebakan kareana penyakit yang

berhubungan dengan peritonium (infeksi, keganasan), penyakit hati, gagal jantung

dan hipoproteinemia. Pada pasien ini asites dapat disebabkan karena gangguan

fungsi hati yang di tandai dengan SGOOT dan SGPT yang tinggi atau

hipoproteinemia yang ditandai dengan albumin darah yang rendah (Ghany and

Hoofnagle, 2001; Guadalupe, 2011).

Pasien merasa lemah dan tidak mampu bangun dari tempat tidur hal ini

dapat disebabkan karena anemia dan malnutrisi pada pasien (Mason, 2006;

National Institutes of Health, 2011). Pasien mengalami gangguan makan karena

tidak menggosok gigi saat di rumah sakit sehingga dapat menganggu asupan

makan selama dirumah sakit (Kazemi et al., 2011). Asites pada pasien

menyebabkan pasien merasa sesak sehingga menurunkan nafsu makan pasien

(Eghtesad, Poustchi and Malekzadeh, 2013).

4. Riwayat Asupan Makan

Hasil recall 24 jam menunjukkan bahwa asupan makan pasien hanya

memenuhi kebutuhan energi sebesar 34% protein sebesar 19% lemak sebesar

30% dan karbohidrat sebesar 26% sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien

memiliki asupan makanan yang defisit. Intake makanan yang kurang dapat

disebabkan karena adanya gangguan mengunyah dan perut terasa sesak yang

dialami oleh pasien (Mason, 2006; National Institutes of Health, 2011; Eghtesad,

Poustchi and Malekzadeh, 2013; Siswanto and et al, 2014). Pada orang sehat

intake energi sebesar 50% dari kebutuhan dalam tiga bulan akan menurunkan

berat badan sebanyak 15%, setelah enam bulan terjadi penurunan sebesar 20%

dan beberapa orang mengalami perubahan perilaku, peningkatan kelelahan, nyeri

otot, depresi, mudah tersinggung, apatis, dan penurunan konsentrasi. Pada

14
pasien dengan intake energi sebesar 50% akan terjadi penurunan berat badan

sebanyak 15 – 20% dalam 3 – 4 minggu. Kombinasi kekurangan asupan

makanan dan penyakit memiliki efek yang lebih besar dan cepat pada berat badan

dan fungsi tubuh. Penyakit dapat menaikkan kadar hormon katabolik (epineprin,

glukagon dan kortisol) yang dapat memecah subtrat tubuh sehingga berefek pad

fungsi imun, pembekuan darah dan penyembuhan luka. Intake makanan yang

adekuat pada kondisi ini diperlukan untuk menimalisir risiko malnutrisi pada

pasien (Comitte of Experts on Nutrition, 2003).

Pada saat dirumah pasien mengonsumsi makanan 3 kali sehari dengan

porsi kecil. Pasien memiliki kebiasaan makan yang rendah protein karena pasien

hanya mengonsumsi lauk hewani 1 porsi perhari dan tidak mengonsumsi lauk

nabati. Pasien jarang mengonsumsi sayur dan tidak pernah mengonsumsi buah.

Riwayat asupan makanan dirumah menunjukkan bahwa asupan makan pasien

dirumah tidak mencukupi kebutuhan energi, protein, vitamin dan mineral.

Kekurangan intake zat gizi makro terutama protein dapat menyebabkan

hipoalbumin (Fischbach, FT & Dunning III, 2009). Kekurangan vitamin, mineral

dan protein dapat menyebabkan anemia (National Institutes of Health, 2011).

Asupan natrium, kalium dan kalasium pasien dari makanan masih kurang,

akan tetapi pasien mendapatkan kapsul garam dan infus NaCl 0,9% 20 rpm

sehingga intake natrium pasien berlebih. Intake natrium yang berlebih belum

dapat memenuhi peningkatan kebutuhan natrium karena konsumsi obat

furosemide yang meningkatkan pengeluaran air dan natrium (Kemenkes RI, 2013;

MIMS, 2017).

5. Data Personal Pasien

Pasien datang dengan keluhan sesak selama 1 minggu, perut membucit,

cepat merasa kenyang saat makan. Pasien terkadang muntah setelah makan,

nafsu makan pasien menurun. Mata pasien berwarana kuning, BAK 3 – 4 x/hari

berwarna kuning. Diagnosa medis pasein adalah Kolelitiasis dd Kolestitis, Asites,

15
Ikterik. Pasien tidak pernah sakit diabetes mellitus, hipertensi ataupun

dislipidemia. Pasien mendapatkan obat Furosemid, leforate, kapsul garam,

Ursodeoxycholic Acid, Vipalbumin, CaCO3, NaCl 0,9%.

Vipalbumin digunakan untuk meningkatkan albumin, CaCO3 digunakan

untuk meningkatkan kadar kalsium dalam darah, kapsul garam digunakan untuk

meningkatkan kadar natrium dalam darah, ursodeoxycholic acid sebagai

pengobatan saluran empedu, NaCl 0,9% digunakan untuk menjaga

keseimbangan cairan sedangkan furosemid digunakan untuk mengobati asites

(Tjay and Rahardja, 2007).

Pasien sejak bulan Februari 2017 tidak bekerja lagi dan hanya tinggal

dirumah bersama suami. Pekerjaan rumah dilakukan oleh suami karena pasien

merasa lemah. Ekonomi keluarga pasien ditanggung oleh anak – anak pasien.

B. Diagnosa Gizi

Berdasarkan data – data yang dikumpulkan oleh ahli gizi pada saat assesment

maka dibuatlah diagnosa gizi. Diagnosa gizi bertujuan untuk mengidentifikasi masalah,

memberikan label yang akan menjadi panduan dalam pemberian intervensi gizi.

proses penentuan diganosa gizi dapat menggunakan beberapa startegi yaitu

hypothetico-deductive reasoning, scheme-inductive reasoning, dan pattern

recognition. Pada strategi hypothetico-deductive reasoning ahli gizi membuat daftar

diagnosis yang potensial berdasarkan petunjuk awal. Ahli gizi kemudian mencari

informasi yang lebih banyak untuk menghapus diagnosis potensial. Strategi scheme-

inductive reasoning menggunakan kerangka kerja konseptual yang didukung oleh

proses fisiologis untuk menentukan diagnosis. Strategi pattern recognition efektif

digunakan pada suatu penyakit atau kondisi yang meiliki tanda dan gejala yang sangat

spesifik, mudah dikenali, dan tidak mudah dilupakan. Diganosa gizi dideskrispsikan

dan didokumentasikan menggunakan pola P-E-S yaitu problem, etiology, signs

/symptoms (Charney, 2007, 2010; Kemenkes RI, 2014).

16
Berdasarkan data yang dikumpulkan pada proses assesment yang meliputi

data antropometri, biokimia, fisik/klinis, asupan makanan dan data personal pasien

maka ditentukan lima diagnosa gizi (Charney, 2010; Kemenkes RI, 2014) yaitu :

1. NI 5.2 Malnutrisi BD Kurangnya Asupan Protein, Karbohidrat dan Lemak DD Hasil

recall yang kurang dari kebutuhan, riwayat asupan makan dirumah, IMT 16,02

Kg/m2 dan Kadar Albumin 2,6 mg/dl

2. NI 5.7.1 Asupan Protein tidak adekuat BD perut terasa sesak, penurunan nafsu

makan, gangguan mengunyah DD hasil recall 24 jam kurang dari kebutuhan dan

kadar albumin 2,6 mg/dl.

3. NI 5.10.1 Asupan Mineral yang tidak adekuat (Kalsium, Natrium, Kalium) BD Pasien

tidak mengonsumsi sayuran dan buah DD dengan kadar Natrium 126 mmol/L,

Kalium 2,1 mmol/L dan Kasium 1 mmol/L.

4. NC.2.1 Gangguan Utilisasi Zat Gizi (Lemak) BD Gangguan pada kantung empedu

DD kadar bilirubin total 24,58 mg/dl

5. NC 2.2 Perubahan Nilai Laboratorium terkait zat gizi (protein, vitamin dan mineral)

BD Asupan Protein, vitamin dan mineral yang kurang DD Kadar Hb 9,4 g/dl dan

Eritrosit 2,89 g/dl.

C. Intervensi Gizi

Intervensi gizi adalah tindakan terencana dan terarah oleh ahli gizi yang

difokuskan untuk memperbaiki penyebab diagnosis gizi. Dua komponen intervensi

adalah perencanaan dan implementasi. Tahap perencanaan intervensi gizi

memprioritaskan diagnosis, mencari bukti untuk mendukung intervensi yang

direncanakan, berdiskusi dengan klien / pasien dan profesional perawatan kesehatan

lainnya yang diperlukan, menentukan resep nutrisi, menetapkan target dan

memperkirakan waktu dan frekuensi intervensi. Implementasi mencakup intervensi itu

sendiri, dokumentasi, diskusi, tindak lanjut, dan penyesuaian terhadap rencana

intervensi sesuai kebutuhan (Charney, 2007, 2010; Kemenkes RI, 2014).

17
1. Intervensi Diet

Perhitungan kebutuhan energi pada pasien menggunakan perhitungan

rumus basal metabolic rate Haris Benedict untuk wanita yang dikalikan dengan

faktor aktifitas dan faktor stres. Penggunakan rumus Harris Benedict karena pada

rumus tersebut mempertimbangkan berat badan, tinggi badan dan usia pasien.

Hasil perhitungan energi menunjukkan kebutuhan energi pasien sebesar 1700

Kkal (Alamatsier, 2007).

Pasien mengalami hipoalbumin sehingga terjadi peningkatan kebutuhan

protein. Kebutuhan protein pada pasien malnutrisi sebesar 1,2 gr/KgBB (Raynaud

Simon, 2007). Pada pasien dengan gangguan fungsi hati pemberian branched

chain asam amino (BCAA) yaitu leusin, isoleusin dan valin (Marchesini et al.,

2005; Tajiri and Shimizu, 2013; Tamanna and Mahmood, 2014; Park et al., 2017).

Protein tersusun atas asam amino. Protein dicerna dalam saluran

pencernaan terutama di dalam lambung yang melibatkan sekresi asam lambung

dan protease yang dihasilkan oleh pankreas. Pada usus halus enzim peptidease

melakukan pencernaan yang lebih lanjut. Sebagian besar Asam amino di bawa

ke hati. BCAA langsung diangkut ke aliran darah melalui hati, atau langsung

masuk ke dalam aliran darah setelah diserap di usus. Sebagian besar asam amino

terdegradasi di hati kecuali BCAA. Hati mengoksidasi BCAA dari bentuk konversi

mereka yang disebut asam okso-keto . BCAA sebagaian besar dioksidasi oleh

otot dan adiposa. Enzim yang memecah BCAA disebut mitokondrail

dehidrogenase dan branched-chain keto acid dehydrogenase (BCKADH). Asam

keto kemudian bisa digunakan otot untuk bahan bakar pada Siklus Krebs atau

dibawa ke hati untuk oksidasi (Sowers, 2009; Park et al., 2017).

Pada tikus, makanan kaya BCAA terbukti mengatur ekspresi peroxisome

proliferator-activated receptor (PPAR) γ koaktivator-1α (PGC-1α), yang mengatur

biogenesis mitokondria dan sistem pertahanan menghadapi oksigen reaktif

(ROS), dan sirtuin-1, yang meningkatkan biogenesis mitokondria, dan

18
menurunkan produksi ROS yang sehingga memperpanjang usia tikus jantan.

BCAA juga menginduksi ekspresi mRNA encoding 8-oxyoguanine DNA

glikosilase 1 di hati, enzim yang terlibat dalam perbaikan kerusakan DNA oksidatif,

induksi perbaikan DNA antioksidan dalam tikus cedera hati (Marchesini et al.,

2005; Tajiri and Shimizu, 2013) .

BCAA terutama leusin mengaktifkan signal rapamycin (mTOR) pada

mamalia yang merangsang sintesis protein, termasuk albumin, dan glikogen.

BCAA juga meningkatkan eukaryotic initiation factor 4E-binding protein-1 dan

ribosomal protein S6 kinase yang meningkatkan sintesis albumin. Leusin

meningkatkan nuclear importitation dari polypyrimidinetract-binding protein yang

meningkatkan tranlasi mRNA albumin (Tajiri and Shimizu, 2013).

Kebutuhan BCAA pada orang sehat sekitar 40% dari kebutuhan asam

amino esensial dan 20% dari kebutuhan asam amino total. Kebutuhan leusin

sekitar 40 mg/KgBB sedangkan kebutuhan isoleusin dan valin sekitar 10 – 30

mg/KgBB. Sumber makanan yang banyak mengandung BCAA adalah whey

protein, protein susu, daging sapi, ayam, ikan, protein kedelai, telur, gandum utuh,

beras merah, biji labu, kacang mente, lentil dan jagung (Sowers, 2009).

Cholelithiasis ditandai dengan adanya endapan keras atau batu di

kantong empedu dan saluran empedu. Kantong empedu berfungsi menyimpan

empedu dan melepaskannya ke dalam usus halus saat dibutuhkan untuk

pencernaan. Batu empedu terbentuk jika empedu mengandung terlalu banyak

kolesterol atau bilirubin. Disfungsi kantong empedu akan menyebabkan gangguan

pelepasan empedu terganggu (Madden et al., 2017).

Pada pasien dengan gangguan fungsi kantung empedu disarankan untuk

mengonsumsi diet rendah lemak dan kolesterol untuk mengurangi rasa sakit

akibat kontraksi kantung empedu. Intake kolesterol yang tinggi dapat

meningkatkan kadar kolesterol dalam empedu sehingga meningkatkan risiko

pembentukan batu empedu. Intake lemak jenuh yang tinggi berhubungan dengan

19
peningkatan risiko pembentukan batu empedu, sebaliknya suplementasi minyak

ikan yang banyak mengandung PUFA dapat menurunkan kolesterol pada empedu

sebesar 25%. Pada pasien ini diberikan ini diberikan diet rendah lemak karena

adanya gangguan pada kantung empedu. Pemberian lemak jenuh pada pasien

dibatasi dan diutamakan penggunaan lemak PUFA (Gaby, 2009; British Liver

Trust, 2017; Madden et al., 2017).

Pemberian diet tinggi karbohidrat sederhana pada pasien gangguan

kantung empedu dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam empedu. Diet tinggi

serat dapat menurunkan risiko pembentukan batu empedu. Suplementasi bekatul

10 – 50 g/ hari selama 4 – 6 minggu dapat menurunkan kolesterol dalam empedu

pada pasien batu empedu. Bekatul menurunkan pembentukan asam deoksikolat

oleh bakteri usus dan meningkatkan sintesis asam chenodeoxycholic. Asam

deoksikolat tampak meningkatkan lithogenisitas empedu, sedangkan asam

chenodeoxycholic menurunkan lithogenisitas empedu (Tseng, Everhart and

Sandler, 1999; Gaby, 2009).

Pasien menderita anemia yang ditandai dengan rendahnya eritrosit dan

hemoglobin. Anemia pada lansia dapat disebabkan oleh berbagai macam hal

seperti penyakit kronis, myelodysplastic syndrome, limfoma, leukimia, kekurangan

zat besi, asam folat dan vitamin B12. Diet yang diberikan selain mengandung

tinggi protein juga harus mengandung cukup zat besi, asam folat dan vitamin B12.

Kebutuhan zat besi sebesar 150 – 300 mg, asam folat 1000 mcg dan B12 1000 –

2000 mcg (Douglas L Smith, 2000; Alleyne, McDonald and Miller, 2009).

Pada pasien dengan asites akibat sirosis akan memiliki risiko

terganggunya pengendalian air oleh ginjal sehingga mengakibatkan dilusi

hiponatremia, tingkat keparahannya berhubungan langsung dengan keparahan

penyakit hati. Beberapa faktor berkontribusi terhadap hiponatremia dalam kondisi

ini. Vasodilatasi sistemik menyebabkan hormon antidiuretik tidak bekerja dengan

baik sehingga terjadi retensi cairan (Lalama and Saloum, 2016).

20
Pembatasan natrium pada pasien asites dengan gangguan hati sekitar

1800 – 2700 mg perhari. Pembatasan natrium yang lebih rendah dapat

menurunkan rasa makanan sehingga menurunkan nafsu makan pasien. Natrium

dapat diberikan dalam dua bentuk yaitu parenteral dan oral. Pada jalur oral

diberikan sekitar 1300 mg dan pada jalur parenteral dapat diberikan 23 –

46mg/KgBB. Pada pasien tidak dilakukan pembatasan natrium karena asupan

makanan pasien rendah, jika dilakukan pembatasan natrium ditakutkan akan

mempengaruhi rasa makanan. (Yeates, Singer and Morton, 2004; Kingley, 2005;

Fessler T., 2011; Lalama and Saloum, 2016).

Hipokalemia dapat disebabkan karena redistribusi kalium, pengeluaran

ginjal yang berlebihan dan gangguan pada fungsi ginjal. Penurunan 1 mmol/L

kalium serum menggambarkan penurunan penurunan kalium sebesar 10% dari

total berat tubuh. Pada pasien diberikan kalium sebesar 4700 mg melalui oral

sedangkan melalui parenteral dapat diberikan 39 – 78 mg/KgBB (Kingley, 2005;

Fessler T., 2011).

Penyebab utama hipokalsemia adalah alkalosis yang menikatkan

pengikatan kalsium ke albumin. Penyebab lainnya adalah defisiensi vitamin D,

transfusi darah, deplesi magnesium, insufisiensi ginjal, sepsis, hipoparatiroidisme,

dan obat-obatan seperti aminoglikosida. Pada hipoalbumin juga dapat terjadi

hipokalsemia karena 50% kalsium di dalam darah terikat dengan protein. Pada

pasien dapat diberikan kalsium secara oral sebesar 1200 mg dan 200 – 300 mg

melalui parenteral (Kingley, 2005; Fessler T., 2011).

Pada pasien asites dengan hiponatremi berat ( 120 – 125 mmol/L)

pemberian cairan dibatasi 1 – 1,5 liter perhari. Kebutuhan cairan pasien sekitar 30

ml/KgBB sehingga dalam sehari kebutuhan cairan sekitar 1200 ml (Kingley, 2005;

Lalama and Saloum, 2016).

Pasien mengeluh kesulitan dalam mengunyah makanan karena adanya

gangguan pada gigi. Pada pasien dengan gangguan mengunyah dapat diberikan

21
makanan lunak dengan lauk cincang (soft diet). Definisi dari soft diet adalah diet

dengan makanan yang tidak memerlukan atau hanya sedikit memerlukan

pengunyahan oleh gigi. Diet ini menghidari buah dan sayuran mentah, roti dan

snack yang garing,sayuran dan lauk heani dalam potongan yang besar (Service,

1998; NHS Foundation Trust, 2015; Rishikof, 2017; UW Health, 2017). Pasien

merasakan perut terasa sesak sehingga merasa cepat kenyang. Pasien diberikan

porsi makan yang kecil dengan frekuensi sering (Krenitsky, 2003).

2. Intervensi Edukasi

Faktor kunci dalam mengubah perilaku adalah kesadaran dan motivasi

untuk melakukan perubahan. Konseling gizi memberikan informasi dan motivasi

Konseling dilakukan secara individu dimana ahli gizi menyiapkan sistem

pendukung untuk mempersiapkan pasien menghadapi tuntutan sosial dan pribadi

dengan mempertimbangkan kondisi – kondisi yang mendukung. Tujuan utama

dari konseling gizi adalah perubahan perilaku pasien yang berkaitan dengan gizi.

beberapa faktor dapat mempengaruhi kemampuan pasien untuk berubah yaitu

kemampuan konselor untuk mengajarkan informasi baru merangsang dan

mendukung perubahan kecil, hambatan keuangan, lingkungan hidup yang tidak

stabil, dukuangan keluarga dan sosial yang tidak memadai, rendahnya

kemampuan baca tulis beberapa faktor sosioekonomi yang mungkin menjadi

penghambat mendapatkan dan mempertahankan diet sehat. Faktor fisik dan

emosional membuat sulit pasien lansia untuk berubah. Orang tua membutuhkan

progaram konseling yang membahas penurunan kemampuan melihat,

pendengaran yang buruk, keterbatasan mobilitas, penurunan ketangkasan, dan

masalah memori atau gangguan kognitif (Mahan and Raymond, 2016).

Target utama konseling gizi adalah perubahan perilaku pasien.

Pemberianleafleat dan daftar bahan makanan tidak akan terlalu banyak

membantu dalam perubahan perilaku. Ahli gizi harus memahami teori perubahan

perilaku dalam memberikan konseling kepada pasien. Salah satu teori perubahan

22
perilaku yang dapat digunakan adalah health belief model yang mengutamakan

hambatan dan manfaat dari perubahan perilaku. Beberapa strategi konseling

dapat digunakan untuk mencapai tujuan konseling antara lain cognitive behavior

theraphy dan motivational interviewing. Cognitive behavior theraphy bertujuan

untuk mengidentifikasi dan merubahan persepsi yang berdampak buruk bagi

kesehatan. Ahli gizi membantu pasien mengidentifikasi kebiasaan yang dapat

menghambat perubahan, menyusun dan menerapkan strategi untuk perubahan

perilaku pasien. Motivational interviewing bertujuan untuk meningkatkan

perubahan perilaku dengan membantu mengindentifikasi perbedaan perilaku

pasien sekarang dengan perilaku yang seharusnya dilakukan. Pada saat

konseling harus menunjukkan empati, menjelaskan manfaat perubahan perilaku,

membantu mengatasi hamabatan perubahan perilaku dan mendukung

implementasi perilaku secara mandiri (California WIC Program, 2002; Adachi,

2003; Mahan and Raymond, 2016).

Konseling gizi dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu 1) menetapakan

masalah 2) menetapkan tujuan 3) menetapkan strategi konsling 4) menetapkan

topik yang disampaikan 5) menetapkan indikator pencapaian (Schall and Becker,

no date). Rencana konseling terhadap pasien di jelasakan pada tabel 5 .

D. Monitoring dan Evaluasi

Langkah terakhir di NCP adalah memantau dan mengevaluasi hasil tindakan

tertentu yang terkait dengan diagnosis gizi. Indikator hasil harus dipilih yang secara

akurat mencerminkan hasil layanan yang diberikan dan berarti pasien dan tenaga

kesehatan yang terlibat dalam pelayanan gizi. Sebagian besar ahli gizi menggunakan

ukuran biokimia sebagai indikator kecukupan pemberian makan. Ahli gizi harus

mengevaluasi ukuran hasil yang diusulkan dengan hati-hati. (Charney, 2007, 2010;

Kemenkes RI, 2014) .

23
Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan mengkaji kembali data – data

antropometri, biokimia, fisik & klinis serta asupan makanan pasien setelah dilakukan

intervensi. Data – data yang dikumpulkan dibandingkan dengan target intervensi dan

dilakukan evaluasi untuk mengatasi hambatan dalam pencapaian target. Hasil

evaluasi dapat dijadikan dasar untuk menetapkan langkah intervensi selanjutnya

(Charney, 2010; Kemenkes RI, 2014).

1. Antropometri

Lingkar lengan atas (LILA) dapat digunakan untuk mengukur status gizi

pada orang lanjut usia. Penurunan LILA sebesar 10% pada pasien penyakit kritis

menunjukkan penurunan berat badan dan IMT sekitar 10%. LILA pasien pada

tangal 4/11/2017 sebesar 11 cm. LILA < 23,5 menunjukkan IMT < 20 Kg/m2,

sehingga dapat disimpulkan pasien masih megalami malnutrisi (Hymers, 2009;

Bapen, 2011; Leandro-Merhi, Nicastro and Braga De Aquino, 2013; Tang et al.,

2013; Melo et al., 2014; Cattermole, Graham and Rainer, 2017).

Malnutrisi pada pasien dapat memperburuk kondisi kesehatan pasien.

Pada pasien sebaiknya dilakukan pemantauan LILA secara berkala untuk

memantau perubahan berat badan pasien. Ahli gizi dapat melakukan koordinasi

dengan anggota tim asuhan gizi yang lain untuk mengatasi malnutrisi pada pasien.

(Hymers, 2009; Barker, Gout and Crowe, 2011; Tappenden et al., 2013).

2. Biokimia

Pada grafik digambarkan perkembangan data biokimia albumin, natrium,

kalium dan kalsium. Kadar albumin dalam darah tidak mengalami perubahan hal

ini dapat disebabkan karena asupan protein yang masih dibawah 50%. Asupan

protein yang rendah disebabkan karena pasien mengalami gangguan mengunyah

sehingga disarankan untuk memberikan lauk dalam bentuk cincang yang tidak

terlalu memerlukan proses pengunyahan. Pasien perlu diberikan motivasi untuk

24
menghabiskan lauk hewani (Service, 1998; Wilson, 2008; Fischbach, FT &

Dunning III, 2009; NHS Foundation Trust, 2015; UW Health, 2017).

Kadar natrium, kalium dan kalsium dalam darah mengalami peningkatan.

Peningkatan dapat disebabkan karena adanya intervensi pemberian CaCO3,

kapsul garam dan peningkatan konsumsi buah. Kadar natrium, kalium dan

kalsium telah mengalami peningkatan tetapi belum mencapai batas normal.

Pasien disarankan untuk meningkatkan konsumsi buah dan sayur untuk

meningkatkan kadar kalium dan natrium. Peningkatan kadar kalsium dapat

dicapai dengan mengonsumsi makanan sumber kalsium dan protein.

Hipokalsemia dapat terjadi karena rendahnya kadar protein didalam darah

sehingga jika kadar protein dalam darah meningkat dapat meningkatkan kadar

kalsium darah (Krenitsky, 2003; Kingley, 2005; Wilson, 2008; Fischbach, FT &

Dunning III, 2009; Fessler T., 2011; Lalama and Saloum, 2016; Mahan and

Raymond, 2016).

Selama proses monitoring dan evaluasi tidak dilakukan pemeriksaan

hemoglobin. Pasien tetap disarankan untuk meningkatkan konsumsi sayuran

untuk meningkatkan asam folat. Konsumsi lauk hewani dapat meningkatkan

protein dalam tubuh yang digunakan untuk pembentukan hemoglobin, selain itu

sumber makanan hewani kaya akan vitamin B12 yang diperlukan dalam proses

pematangan sel darah merah dan zat besi yang merupakan salah satu komponen

pembentuk hemoglobin (Douglas L Smith, 2000; Wilson, 2008; Fischbach, FT &

Dunning III, 2009; Gropper and Smith, 2013; Mahan and Raymond, 2016).

25
Monitoring Data Biokimia
Hemoglobin
Kalsium
Kalium
Natrium
Albumin

0 20 40 60 80 100 120 140

Albumin Natrium Kalium Kalsium Hemoglobin


03/11/2017 2.6 130 2.2 1.01
01/11/2017 2.6 126 2.1 1 9.4

03/11/2017 01/11/2017

Grafik 1. Monitoring Data Biokimia

3. Fisik dan Klinis

Pemeriksaan tanda – tanda vital berupa tekanan darah, denyut nadi dan

respirasi selama proses monitoring dan evaluasi menunjukkan semua dalam

batas normal. Pasien masih merasa lemah karena asupan makanan pasien belum

memenuhi kebutuhan gizi pasien.

Pasien masih mengeluhkan kesulitan mengunyah dan perut masih terasa

sesak. Kesulitan mengunyah disebabkan karena adanya gangguan pada gigi

sehingga pasien diberikan edukasi untuk menggosok gigi. Ahli gizi dapat

memberikan modifikasi bentuk lauk dan sayur menjadi bentuk cincang agar lebih

mudah dikunyah. Ahli gizi juga dapat berkoordinasi dengan perawat untuk

membantu memberikan edukasi perawatan gigi kepada pasien dan keluarganya.

Asites menyebabkan perut pasien terasa sesak sehingga keluarga pasien

diberikan edukasi untuk memberikan makanan dalam porsi kecil tapi sering.

Pada tanggal 4 November 2017 terdapat hasil pemeriksaan USG yang

menyatakan adanya kerusakan pada hati dan empedu yang mengarah ke

cholangiocarcinoma type II. Pemantauan keadaan pasien diperlukan untuk

26
mencegah penurunan kondisi yang dapat mempengaruhi asupan makanan

pasien dan menyebabkan malnutrisi menjadi lebih berat.

4. Riwayat Asupan Makan

Asupan energi pada tanggal 4/11/2017 mencapai 56% sehingga target

pencapaian asupan energi terpenuhi dan ditingkatkan menjadi 80%. Intake protein

dan lemak meningkat tetapi belum mencapai 50%. Rendah intake protein dan

lemak disebabkan karena pasien kurang mengonsumsi lauk hewani dan nabati.

Ahli gizi disarankan memberikan modifikasi bentuk dan tekstur lauk hewani dan

nabati untuk meningkatkan asupan lauk hewani dan nabati. Pasien dan keluarga

diberikan motivasi dan edukasi agar memberikan makanan dalam porsi kecil

tetapi sering agar asupan makanan pasien menjadi lebih banyak.

MONITORING INTAKE ENERGI DAN


ZAT GIZI MAKRO
80%
70%
60% 68%
50% 56%
40% 47% 46%
30%
34% 37%
20% 30%
26% 24% 27%
10% 19% 20%
0%
Energi Protein Lemak Karbohidrat

02/11/2017 03/11/2017 04/11/2017

Grafik 2. Monitoring Intake Energi dan Zat Gizi Makro


Asupan zat gizi mikro meningkat selama proses pengamatan. Asupan

natrium meningkat karena pasien mengonsumsi jus buah jambu dan sari kacang

hijau. Peningkatan kalium, asam folat dan zat besi pada tanggal 3/11/2017 dapat

disebabkan karena pasien mengonsumsi sayur bayam dan jus buah. Asupan

kalsium pasien masih sangat rendah karena pasien tidak mengonsumsi makanan

sumber kalsium seperti susu dan produk olahannya. Pasien dan keluarga

27
diberikan edukasi dan motivasi agar pasien mengonsumsi sayur dan buah yang

disediakan di rumah sakit.

MONITORING ASUPAN ZAT GIZI


MIKRO
60%
49%
50%
40%
30% 22% 22%
20% 14% 13% 15%
9%
10% 5% 3%
1% 1% 2% 1% 3% 1%
0%
Natrium Kalium Kalsium asam folat Fe

02/11/2017 03/11/2017 04/11/2017

Grafik 3. Monitoring Intake Zat Gizi Mikro

28
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penggalian data pada proses assesment menemukan beberapa masalah pada

pasien yaitu malnutrisi, anemia, hiponatremia, hipokalemia, hipokalsemia,

hipoalbumin, gangguang fungsi hati dan kantung empedu, asites, kekurangan intake

zat gizi makro dan mikro.

2. Diagnosa ditetapkan berdasarkan masalah gizi yang ditemukan adalah:

a. NI 5.2 Malnutrisi BD Kurangnya Asupan Protein, Karbohidrat dan Lemak DD

Hasil recall yang kurang dari kebutuhan, riwayat asupan makan dirumah, IMT

16,02 Kg/m2 dan Kadar Albumin 2,6 mg/dl

b. NI 5.7.1 Asupan Protein tidak adekuat BD perut terasa sesak, penurunan nafsu

makan, gangguan mengunyah DD hasil recall 24 jam kurang dari kebutuhan dan

kadar albumin 2,6 mg/dl.

c. NI 5.10.1 Asupan Mineral yang tidak adekuat (Kalsium, Natrium, Kalium) BD

Pasien tidak mengonsumsi sayuran dan buah DD dengan kadar Natrium 126

mmol/L, Kalium 2,1 mmol/L dan Kasium 1 mmol/L.

d. NC.2.1 Gangguan Utilisasi Zat Gizi (Lemak) BD Gangguan pada kantung

empedu DD kadar bilirubin total 24,58 mg/dl

e. NC 2.2 Perubahan Nilai Laboratorium terkait zat gizi (protein, vitamin dan

mineral) BD Asupan Protein, vitamin dan mineral yang kurang DD Kadar Hb 9,4

g/dl dan Eritrosit 2,89 g/d.

3. Pasien diberikan diet rendah lemak 1700 Kkal, bentuk makanan lunak. Pasien

diberikan edukasi tentang diet yang diberikan, motivasi untuk meningkatkan asupan

makanan terutama lauk, sayur dan buah.

4. Asupan makanan, natrium, kalium dan kalsium pasien meningkat selama proses

monitoring dan evaluasi.

29
B. Saran

1. Pasien diharapakan dapat lebih memotivasi dirinya untuk meningkatkan asupan

makanan dengan dukungan keluarga.

2. Ahli gizi diharapkan memberikan modifikasi bentuk makanan untuk meningkatkan

daya terima makanan oleh pasien.

3. Tim asuhan gizi dapat bekerjasama dan berkoordinasi untuk mengatasi malnutrisi

pada pasien.

30
DAFTAR PUSTAKA

Adachi, Y. (2003) ‘Behavior Therapy for Nutritional Counseling — In cooperation with

registered dietitians —’, 126(6), pp. 410–415.

Alamatsier, S. (2007) Penuntun Diet. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Alleyne, M., McDonald, H. and Miller, J. L. (2009) ‘Individualized treatment for iron deficiency

anemia in adults’, American journal of medicine, 121(11), pp. 943–948.

Anuurad, E., Shiwaku, K., Nogi, A., Kitajima, K., Enkhmaa, B., Shimono, K. and Yamane, Y.

(2003) ‘The New BMI Criteria for Asians by the Regional Office for the Western Pacific

Region of WHO are Suitable for Screening of Overweight to Prevent Metabolic

Syndrome in Elder Japanese Workers’, Journal of Occupational Health, 45(6), pp.

335–343.

Bapen (2011) ‘Malnutrition Universal Screening Tool’, Malnutrition Advisory Group, pp. 1–6.

doi: ISBN 978-1-899467-07-6.

Barker, L. A., Gout, B. S. and Crowe, T. C. (2011) ‘Hospital Malnutrition : Prevalence ,

Identification and Impact on Patients and the Healthcare System’, Int J Environ. Res.

Public Health, 8, pp. 514–527.

British Liver Trust (2017) ‘Gallstones’. British: British Liver Trust.

California WIC Program (2002) ‘Nutrition Education Approaches and Methods’. California.

Cattermole, G. N., Graham, C. A. and Rainer, T. H. (2017) ‘Mid-arm circumference can be

used to estimate weight of adult and adolescent patients’, Emergency Medicine

Journal, 34(4), pp. 231–236.

Charney, P. (2007) ‘The Nutrition Care Process and the Nutrition Support Dietitian’, Support

Line, pp. 18–22.

Charney, P. (2010) Nutrition Care Process. McLean: Nutrition Dimension. Available at:

31
http://www.eatrightpro.org/resources/practice/nutrition-care-process.

Comitte of Experts on Nutrition, F. S. and C. P. (2003) Food and Nutritional Care in Hospitals :

How To Prevent Undernutrition. Europe.

Douglas L Smith (2000) ‘Anemia in the Elderly’, American Family Physician. American

Academy of Family Physicians, 62(7), pp. 1565–1572. Available at:

http://www.aafp.org/afp/2000/1001/p1565.html# (Accessed: 28 November 2017).

Eghtesad, S., Poustchi, H. and Malekzadeh, R. (2013) ‘Malnutrition in Liver Cirrhosis: The

Influence of Protein and Sodium’, Middle East Journal of Digestive Diseases, 5(2), pp.

65–75.

Fessler T. (2011) ‘Fluid and Electrolytes in Adult Parenteral Nutrition’, Today’s Dietitian.

Fischbach, FT & Dunning III, M. (2009) A Manual of Laboratory and Diagnostic Tests. 8th edn.

China: Wolters Kluwer Lippincott Williams & Wilkins.

Gaby, A. (2009) ‘Nutritional approaches to prevention and treatment of gallstones’, Alternative

Medicine Review, 14(3), pp. 258–268.

Ghany, M. and Hoofnagle, J. (2001) Harrison’s Principle of Internal Medicine. 15th edn. Edited

by E. Braunwald, A. s. Fauci, D. l. Kasper, S. l. Hauser, D. l. Longo, and J. L. Jameson.

United States of America: McGraw Hill.

Gropper, S. S. and Smith, J. L. (2013) Advanced Nutrition and Human Metabolism. Sixth Edit.

Belmont: Wadsworth, Cengage Learning.

Guadalupe, G.-T. (2011) Ascites. 12th edn, Sherlock’s Diseases of the Liver and Billiary

System. 12th edn. Edited by J. S. Dooley, A. S. F. Lok, A. K. Burroughs, and E. J.

Heathcote. United States of America: Blackwell Publishing Ltd.

Hymers, R. (2009) ‘The use of Mid Upper Arm Circumference in the Nutritional assessment of

the Critically Ill patient’, Critical Care and Neurosciences.

32
Irish Departement of Health and Children (2009) Food and nutritional care in hospitals

guidelines for preventing under-nutrition in acute hospitals. Irish: Irish Departement of

Health and Children.

Kasim, Dhian Ayudhia Harikedua, Vera T Paruntu, O. L. (2016) ‘Asupan Makanan , Status

Gizi Dan Lama Hari Rawat Inap Pada Pasien Penyakit Dalam Di Rumah Sakit Advent

Manado’, Gizido, 8(2), pp. 22–34.

Kazemi, S., Savabi, G., Khazaei, S., Savabi, O., Esmaillzadeh, A., Keshteli, A. H. and Adibi,

P. (2011) ‘Association between food intake and oral health in elderly: SEPAHAN

systematic review no. 8.’, Dental research journal. Wolters Kluwer -- Medknow

Publications, 8(Suppl 1), pp. S15-20.

Kemenkes RI (2013) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun

2013, Jakarta. Indonesia: Kementerian Kesehatan RI.

Kemenkes RI (2014) Proses Asuhan Gizi Terstandar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kingley, J. (2005) ‘Fluid and Electrolyte Management in Parenteral Nutrition’, Support Line,

27(6), pp. 13–22.

Krenitsky, J. (2003) ‘Nutrition for Patients with Hepatic Failure’, Practical Gastroenterology,

(6), pp. 23–42.

Lalama, M. A. and Saloum, Y. (2016) ‘Nutrition, fluid, and electrolytes in chronic liver disease’,

Clinical Liver Disease, 7(1), pp. 18–20.

Leandro-Merhi, V. A., Nicastro, M. and Braga De Aquino, J. (2013) ‘Mid-upper arm

circumference (MUAC) for detecting malnutrition in hospitalized elderly’, Journal of

Aging Reseach and Clinical Practice, 2(2), pp. 231–235.

Madden, A. M., Trivedi, D., Smeeton, N. C. and Culkin, A. (2017) ‘Modified dietary fat intake

for treatment of gallstone disease’, Cochrane Database of Systematic Reviews,

2017(3).

33
Mahan, L. K. and Raymond, J. L. (2016) Food & The Nutrition Care Process. 14th edn.

Canada: Elsevier.

Marchesini, G., Marzocchi, R., Noia, M. and Bianchi, G. (2005) ‘Branched-Chain Amino Acid

Supplementation in Patients with Liver Diseases’, Journal of Nutrition, 135, pp. 1596–

1601.

Mason, P. (2006) ‘Undernutrition in hospital - Causes and consequences’, Hospital

Pharmacist, 13(10), pp. 353–358.

Melo, A., De Salles, R., Vieira, F. and Ferreira, M. (2014) ‘Methods for estimating body weight

and height in hospitalized adults : a comparitive analysis’, Rev Bras Cineantropom

Desempenho Hum, 16(4), pp. 475–484.

MIMS (2017) Furosemide, MIMS. Available at:

http://www.mims.com/indonesia/SsoMembership/LogOn?ReturnUrl=https://www.mim

s.com/indonesia/drug/search?q=furosemide (Accessed: 27 November 2017).

National Institutes of Health (2011) ‘Your Guide to Anemia’, National Instituetes of Health

Publication. United States of America: U.S Departement of Health and Human

Services, pp. 2–48.

NHS Foundation Trust (2015) ‘Guidelines for Special Diets in Hospitals and Residential’.

United States of America: NHS Foundation Trust, pp. 1–26.

Park, J. G., Tak, W. Y., Park, S. Y., Kweon, Y. O., Jang, S. Y., Lee, Y. R., Bae, S. H., Jang, J.

Y., Kim, D. Y., Lee, J. S., Suk, K. T., Kim, I. H., Lee, H. J., Chung, W. J., Jang, B. K.,

Suh, J. I., Heo, J. and Lee, W. K. (2017) ‘Effects of branched-chain amino acids

(BCAAs) on the progression of advanced liver disease’, 24(March), pp. 1–7.

Raynaud Simon, A. (2007) Nutritional support strategy for protein-energy malnutrition in the

elderly. France.

Rishikof, D. S. (2017) Soft Diet, Winchester Hospital. Available at:

34
http://www.winchesterhospital.org/health-library/article?id=199431 (Accessed: 5

December 2017).

Schall, N. and Becker, M. (no date) Nutrition Education. Jerman: Gesellschaft fur Technische

Zusammenarbeit.

Service, P. A. and L. (1998) ‘Soft diet’. London: King’s College Hospital, pp. 1–3.

Siswanto and et al (2014) Diet total study: Survey of individual food consumption Indonesia

2014, Ministry of Health Republic of Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbitan Badan

Litbangkes Kemnekes RI.

Sowers, S. (2009) ‘A Primer On Branched Chain Amino Acids’. Knoxville: Huntington College

of Health Sciences, pp. 1–6.

Syamsiatun, N. H., Hadi, H. and Juffrie, M. (2016) ‘Hubungan antara Status Gizi Awal dengan

Status Pulang dan Lama Rawat Inap Pasien Dewasa di Rumah Sakit’, Jurnal Gizi

Klinik Indonesia (The Indonesian Journal of Clinical Nutrition), 1(1), pp. 27–33.

Tajiri, K. and Shimizu, Y. (2013) ‘Branched-chain amino acids in liver diseases’, 19(43), pp.

7620–7629.

Tamanna, N. and Mahmood, N. (2014) ‘Emerging Roles of Branched-Chain Amino Acid

Supplementation in Human Diseases’, 2014.

Tang, A. M., Dong, K., Deitchler, M., Chung, M., Maalouf-Manasseh, Z., Tumilowicz, A. and

Wanke, C. (2013) ‘Use of Cutoffs for Mid-Upper Arm Circumference ( MUAC ) as an

Indicator or Predictor of Nutritional and Health- Related Outcomes in Adolescents and

Adults : A Systematic Review’, Food and Nutrition Technical Assictance, (November),

pp. 1–37.

Tappenden, K. A., Quatrara, B., Parkhurst, M. L., Malone, A. M., Fanjiang, G. and Ziegler, T.

R. (2013) ‘Critical Role of Nutrition in Improving Quality of Care: An Interdisciplinary

Call to Action to Address Adult Hospital Malnutrition’, Journal of the Academy of

35
Nutrition and Dietetics. Academy of Nutrition and Dietetics, American Society for

Parenteral and Enteral Nutrition, and Academy of Medical-Surgical Nurses, 113(9), pp.

1219–1237.

Tignanelli, C. J. and Bukowiec, J. C. (2017) ‘Hospital Based Nutrition Support: A Review of

the Latest Evidence’, Journal of Clinical Nutrition & Dietetics, 3(3), pp. 1–13.

Tjay, T. H. and Rahardja, K. (2007) Obat - Obat Penting. 6th edn. Jakarta: Gramedia.

Tseng, M., Everhart, J. E. and Sandler, R. S. (1999) ‘Dietary intake and gallbladder disease :

a review’, Public Health Nutrition, 2(2), pp. 161–172.

UW Health (2017) ‘Mechanical Soft Diet’. Wisconsin: University of Wisconsin Hospitala and

Clinics Authority.

Weisell, R. C. (2002) ‘Body mass index as an indicator of obesity.’, Asia Pacific J Clin Nutr, 11

Suppl, pp. S681-4. doi: 367 [pii].

Wilson, D. D. (2008) McGraw-Hill’s Manual of Laboratory & Diagnostic Tests. United States of

America: McGraw Hill.

Yeates, K. E., Singer, M. and Morton, A. R. (2004) ‘Salt and water: A simple approach to

hyponatremia’, Cmaj, 170(3), pp. 365–369.

36

Anda mungkin juga menyukai