Anda di halaman 1dari 26

PERKEMBANGAN DIRI DAN IDENTITAS

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Pengembangan Sosial Emosional
Yang dibimbing oleh Ibu Rosyi Damayani Twinsari Maningtyas

MAKALAH

OLEH
Ani Agustin Wahyuningtyas 180153603048

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN KEPENDIDIKAN SEKOLAH DASAR DAN PRASEKOLAH
PROGRAM STUDI S1 PGPAUD
FEBRUARI 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat yang diberikan-Nya
sehingga Makalah yang berjudul “Perkembangan Diri dan Identitas ” ini dapat kami selesaikan.
Makalah ini kami buat sebagai kewajiban untuk memenuhi tugas matakuliah Pengembangan
Sosial Emosional, yang di ampu oleh Ibu Rosyi Damayani Twinsari Maningtyas. Dalam
kesempatan ini, penulis menghaturkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyumbangkan ide dan pikiran mereka demi terwujudnya makalah ini.Kami menyadari bahwa
makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik dari rekan-rekan sangat
dibutuhkan untuk penyempurna makalah ini.

Malang, 22 Februari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
KATA PENGANTAR ....................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 2
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 2
1.3 Tujuan ...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................
1. Self consept .............................................................................. 3
2. Aspek konsep diri .......................................................................... 3
3.Self esteem .............................................................................. 5
4.Faktor pembentuk harga diri ............................................................. 6
5.Aspek harga diri .............................................................................. 10
6.Tipe harga diri .............................................................................. 10
7.Cara mengukur .............................................................................. 12
8.Pengaruh orang tua terhadap self esteem .......................................... 13
9.Konsekuensi dari self esteem yang rendah ....................................... 14
10. Stretegi meningkatkan self esteem................................................. 14
11. Identitas .............................................................................. 16
12. Status identitas .............................................................................. 17
13. Faktor pembentuk identitas diri ..................................................... 19
14. Pengaruh keluarga dan budaya terhadap identitas ......................... 19
15. Pengaruh gender terhadap identitas ............................................... 21

Bab III PENUTUP ......................................................................................


Kesimpulan ...................................................................................... 23
Kritik dan Saran ...................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 24

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konsep diri sifatnya tidak stanis melainkan dibentuk oleh pengalaman. Konsep diri
pertama kalidipelajari anak dari lingkungan keluarganya (orangtua, kakak, kakek, nenek
kemudian ke lingkungan yang lebih luas lagi (masyarakat sekolah) konsep diri ini menjadi
penentu yang paling penting dari respon terhadap lingkungan. Konsep diri juga tentang
bagaimana individu mengambarkan dirinya yang akan optimis dalam mengerakan tugas-
tugas dalam hidup sehingga segala tugas dapat dikeriakan secara optimis.
Harga diri adalah penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri. Harga diri ini bisa
tinggi atau rendah. Kalau harga dirinya tinggi, berarti seseorang ini menganggap bahwa
dirinya baik. Dia merasa berharga, layak untuk terus berusaha. Harga diri kayak gini bisa
membantu individu berkembang. Kalau rendah, berarti dia menganggap bahwa dirinya
adalah seorang yang buruk. Harga diri negatif bisa merusak dan menghambat kemajuan.
Bahkan, bisa menyebabkan gangguan jiwa seperti depresi dsb dsb.
Identitas sebagai perasaan subjektif tentang diri yang konsisten dan berkembang dari
waktu ke waktu. Dalam berbagai tempat dan berbagai situasi sosial, seseorang masih
memiliki perasaan menjadi orang yang sama. Sehingga, orang lain yang menyadari
kontinuitas karakter individu tersebut dapat merespon dengan tepat. Sehingga, identitas bagi
individu dan orang lain mampu memastikan perasaan subjektif tersebut. identitas iri
merupakan perasaan subjektif tentang diri yang konsisten dan berkembang dari waktu ke
waktu, terdiri atas beberapa status identitas yang didalamnya terdapat kriteria krisis dan
komitmen.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu self consept?
2. Apa itu self esteem?
3. Apa itu identitas?
1.3 Tujuan
1. Memahami apa itu self consept
2. Memahami apa itu self esteem
3. Memahami identitas

2
BAB II
ISI
PERKEMBANGAN DIRI DAN IDENTITAS

A. SELF CONCEPT DAN SELF ESTEEM


1. Pengertian

 Self Concept menurut Hurlock pada dasarnya merupakan pengertian dan harapan
seseorang mengenai diri yang dicita-citakan dan bagaimana dirinya dalam realitas yang
sesungguhnya, baik secara fisik maupun psikologi. Sedangkan Burns menerangkan
konsep diri adalah salah satu unsur dalam kepribadian yang menerangkan perilaku,
Konsep diri adalah organisasi dari persepsi-persepsi diri, yang tersusun atas: (a.)
Persepsi-persepsi dari karakteristik-karakteristik dan Persepsi kemampuan-
kemampuan seseorang, b) Hal-hal yang dipersepsikan dan konsep-konsep tentang diri
yang berhubungan orang lain dan lingkungan, c) Kualitas-kualitas nilai yang di yang
dipersepsikan yang dihubungkan dengan pengalamanpengalaman dan objek-objek, dan
d.) Tujuan-tujuan ide-ide yang di persepsikan mempunyai valensi negetif atau positif.

Konsep diri sifatnya tidak stanis melainkan dibentuk oleh pengalaman. Konsep diri
pertama kalidipelajari anak dari lingkungan keluarganya (orangtua, kakak, kakek,
nenek kemudian ke lingkungan yang lebih luas lagi (masyarakat sekolah) konsep diri
ini menjadi penentu yang paling penting dari respon terhadap lingkungan. Konsep diri
juga tentang bagaimana individu mengambarkan dirinya yang akan optimis dalam
mengerakan tugas-tugas dalam hidup sehingga segala tugas dapat dikeriakan secara
optimis.

Anak yang mempunymi konsep diri akan menerima diri sendiri apa adanya mempunyai
harapan yang realitas, bahwa konsep diri yang positif dapat diketahui dengan self-
Esteem (penghargaan diri) yang tinggi. Sebaliknya konsep diri yang negetif dapat
diketahui dengan evaluasi diri yang negetif, rasa benci terhadap diri, merasa rendah
diri, kurang dapat menerima dan merasa kurang berharga.

Aspek Konsep diri


1. Aspek Fisiologi
Aspek fisiologi dalam diri berkaitan dengan unsur-unsur seperti warna kult, bentuk,
berat atau tinggi badan.Raut muka, memiliki kondisi badan yang sehat, normal/
cacat dan lain sebagainya. Karekteristik mempengaruhi bagaimana seorang menilai
diri sendiri, dimiliki pulatak dipungkiri orang lain pun menilai seorang diawali

3
dengan penilai terhadap hal-hal yang bersifat siologis. Walaupun belum tentu benar
masyarekat sering kali melakukan penilaian awal terhadap penilaian fisik untuk
dijadikan sebagai besar respon perilaku seseorang terhadap orang lain.

2. Aspek Psikologis
a. Kognitif (kecerdasan, minat, bakat, kreativitas, dan kemampuan konsentrasi)
Kecerdasan adalah kemampuan untuk berfikir secara abstrak. Kemampuan
untuk menyesuainkan diri dengan lingkungan.Ada pula yang mendifinisikan
intelegesi sebagai intelek plus pengetahuan. Teknik untuk memproses
informasi yang disediakan oleh indra. Tujuan aspek kognitif berorientasi pada
kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intektual yang lebih
sederharna, yaitu mengigat, sampai pada kemampuan memecahan masalah
yang menuntut sisiwa untuk menghubungkan dan menggambungkan beberapa
ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahan masalah
tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah mengungkapkan tentang
kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat
yang paling tinggi yaitu evaluasi.
b. Psiko-sosial
Pemahaman individu yang masih memiliki hubungan dengan lingkungan
sosialnya. Seseorang yang menjalin hubungan dengan lingkungan ditetu untuk
dapat memiliki kemampuan berinteraksi sosial, komnikasi, menyesuaikan dari
dan bekerja sama dengan mareka. Tuntunan secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi agar individu mentaati aturan-aturan sosial. Individu
pun juga berkepengtingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui
lingkungan sosial. Dengan demikian terjadi hubungan mutualisme antara
individu dengan lingkungan sosialnya.

Konsep diri sosial, yaitu persepsi. Perasaan, dan evaluasi seseorang terhadap
kecenderungan sosial yang ada pada dirinya sendiri, berkaitan dengan
kepastiannya dalam berhubungan dengan dunia di luar dirinya, perassan
mampu dan berharga dalam lingkup interaksi sosialnya. Konsep diri dapat
dianggap positif apabila ia merasa sebagai pribadi yang hangat, penuh
keramahan, memiliki minat terdapat orang lain, memiliki sikap empati,supel,
mersa diperhatikan, memiliki sikap tanggang rasa, peduli akan nasib orang lain,
dan akti dalam berbagai kegiatan sosial di lingkungannya. Dapat dianggap
sebagai konsep diri yang negetif apabila ia merasa tidak berminat dengan
keberadaan orang lain, kurang ramah,kurang peduli terhada perasaan dan nasib
orang lain,dan jarang atau bahkan tidak pernah melibatkan diri dalam aktivitas
sosial.

4
 Self esteem
Jadi, sebenarnya apa itu harga diri?
1. Coopersmith (dalam Ainur, 1997) menjelaskan bahwa harga diri
adalah evaluasi yang dibuat individu mengenai sesuatu yang berkaitan dengan
dirinya, yang diekspresikan dalam suatu bentuk sikap setuju atau tidak setuju
dan menunjukkan bahwa individu tersebut meyakini dirinya sendiri sebagai
individu yang mampu, penting, dan berharga.
2. Blascovich dan Tomaka (dalam Coetzee, 2005) menyatakan bahwa harga diri
adalah komponen evaluatif dari konsep diri, representasi diri yang lebih luas
sehingga mencakup aspek kognitif dan behavior yang bersifat menilai dan
afektif.
3. Roman (dalam Coetzee, 2005) menyatakan bahwa harga diri sebagai suatu
kepercayaan diri seseorang, merupakan patokan untuk sesuatu yang terbaik
bagi diri sendiri, dan bagaimana melakukannya.
4. Clements dan Bean (1995) mengungkapkan bahwa harga diri (self-esteem)
adalah penilaian-penilaian seseorang tentang dirinya sendiri dari
berbagai perspektif.
5. Dariuszky (2004) mengemukakan bahwa harga diri (self-esteem) sebagai
penilaian seseorang bahwa dirinya mampu menghadapi tantangan hidup dan
mendapat kebahagiaan.
6. Santrock (1998) Harga diri merupakan evaluasi individu tentang dirinya
sendiri secara positif atau negatif. Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana
individu menilai dirinya sendiri dan diakui atau tidaknya kemampuan
dan keberhasilan yang diperolehnya. Penilaian tersebut terlihat dari
penghargaan mereka terhadap keberadaan dan keberartian dirinya sendiri apa
adanya.
7. Rosenberg (1965) menyatakan definisi harga-diri (self-esteem) merupakan
suatu evaluasi positif ataupun
negatif terhadap diri sendiri (self).
8. Robinson (1991) Harga diri adalah salah satu komponen yang lebih spesifik
dari konsep diri, yang
melibatkan unsur evaluasi atau penilaian terhadap diri.
9. Byron & Byrne (1994) Konsep diri adalah kerangka kognitif
yang mengorganisir bagaimana kita mengetahui diri kita dan bagaimana kita
memproses informasi-informasi yang relevan dengan diri.
Konsep diri, termasuk harga diri, merupakan aspek yang sangat penting dalam
berfungsinya manusia, sebagian karena manusia memang sangat
memperhatikan berbagai hal tentang diri, termasuk siapa dirinya, seberapa
positif atau negatif seorang individu memandang dirinya, bagaimana citra
yang ditampilkan pada orang lain, dan lain-lain.
10. Stuart dan Sundeen (1998) mengatakan bahwa definisi harga diri (self-esteem)
adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan menilai seberapa
jauh perilaku memenuhi tujuan idealnya.
11. Burn (1978) memberikan definisi harga diri (self esteem) sebagai penilaian
individu terhadap dirinya sendiri, yang sifatnya tersembunyi dan tidak
dinyatakan.

5
12. Maslow (dalam Alwisol, 2002) menyebutkan bahwa harga diri adalah satu
bagian dari hirarki kebutuhan manusia. Harga diri ini perlu dipenuhi, sebelum
beranjak memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.

Dari teori-teori di atas, bisa disimpulkan bahwa harga diri adalah penilaian
seseorang terhadap dirinya sendiri. Harga diri ini bisa tinggi atau rendah. Kalau harga
dirinya tinggi, berarti seseorang ini menganggap bahwa dirinya baik. Dia merasa
berharga, layak untuk terus berusaha. Harga diri seperti ini bisa membantu individu
berkembang. Kalau rendah, berarti dia menganggap bahwa dirinya adalah seorang
yang buruk. Harga diri negatif bisa merusak dan menghambat kemajuan. Bahkan,
bisa menyebabkan gangguan jiwa seperti depresi dsb dsb. Pada prinsipnya, setiap
orang punya harga diri. Yang membedakan adalah harga dirinya ini positif atau
nggak.

Harga diri adalah tentang dia ini menganggap dirinya adalah seorang yang baik atau
tidak. Berharga atau tidak.(tiap orang punya harga diri. sumber: elitedaily.com)

TAKEAWAYS:

a. setiap orang punya harga diri


b. harga diri adalah cara seseorang menilai dirinya sendiri
c. harga diri tinggi membantu kita untuk maju dan berkembang
d. harga diri rendah membuat kita memandang diri sebagai seseorang yang buruk.

Faktor-faktor Pembentuk Harga Diri


Gimana cara orang menilai dirinya? Nggak ada tolak ukur yang pasti. Standar penilaian
diri ini subyektif banget. Artinya, bisa aja seseorang yang udah punya banyak prestasi
tapi tetep ngerasa minder. Nggak berharga. Dan bisa aja seseorang yang seumur hidup
nggak pernah berprestasi, tapi pede ngejalanin hidup.
Kok bisa ya cara menilai diri ini beda tiap orang? Nah, jadi ada beberapa hal yang
mempengaruhi penilaian terhadap diri sendiri.
a. Usia
Setiap manusia punya fase perkembangan dari anak, remaja, dewasa awal, dewasa
madya, sampe lanjut usia. Setiap fase ini punya rentang usia, dan rentang usia
ini berperan dalam self esteem kamu. Dari sebuah penelitian tentang hubungan
self esteem dengan usia, disebutkan bahwa harga diri cenderung menurun di masa
remaja, meningkat di usia 20 tahun, mendatar di usia 30, meningkat di rentang 50-
60 tahun dan menurun di usia 70 dan 80 tahun. Penelitian ini dilakukan dengan
melibatkan 326.641 responden, dengan rentang usia 9 sampe 90 tahun.

6
sumber:
Journal of Psychology and Aging
b. Jenis Kelamin
Lebih lanjut dari penelitian tadi, ternyata harga diri juga dipengaruhi sama jenis
kelamin. Grafik di atas menyebutkan, secara rata-rata harga diri cowok lebih
positif dibandingkan cewek.
Coba liat deh tanda segitiga di grafik. Lebih tinggi dibandingkan lingkaran, kan?
Penelitian ini juga diperkuat temuan Erol dan Orth (2011) yang menyebutkan
jenis kelamin adalah salah satu dari tujuh faktor penentu harga diri seseorang.
Tapi, Major dkk (dalam Baron, Branscombe, & Byrne, 2008) menekankan
bahwa perbedaan harga diri pada laki-laki dan perempuan keliatan signifikan pada
kelas sosial menengah ke bawah. Untuk kelas profesional atau menengah ke atas,
perbedaan harga diri ini nggak berbeda signifikan.
c. Keluarga
DeHart, Pelham, dan Tenne (dalam Baron, Branscombe, & Byrne, 2008)
menyatakan bahwa dewasa yang dibesarkan dalam keluarga dengan kasih sayang
yang besar, memiliki harga diri yang lebih positif dibandingkan dewasa muda
yang dibesarkan dengan kasih sayang yang sedikit. Penelitian lain dari Lian dan
Yusoof (2009) menyebutkan bahwa keluarga yang kohesif (dekat) memberikan
peningkatan pada harga diri anak. Ketika kohesivitas keluarga tinggi, maka harga
diri anak akan lebih baik. Sejumlah penelitian juga menyebutkan pentingnya
peran ayah dalam memengaruhi harga diri seseorang.
Anak-anak dari keluarga tanpa ayah cenderung mengalami masalah dengan harga
diri, masalah akademis, dan masalah perilaku (O’Neill, 2002). Anak yang nggak
memiliki seorang dengan peran ayah cenderung bermasalah dengan prestasi di

7
sekolah, dan mengalami kesulitan belajar (Allen dan Daly, 2002). Dari sini, bisa
kita liat ya bahwa keluarga punya pengaruh terhadap harga diri seseorang.
Apabila keluarganya lengkap dan dekat, maka harga diri seseorang akan
meningkat.
d. Kondisi Fisik
Coopersmith (1967) menyatakan bahwa orang dengan daya tarik fisik tinggi
cenderung memiliki harga diri lebih baik dibandingkan orang dengan kondisi fisik
kurang menarik. Individu yang merasa dirinya berpenampilan menarik akan
merasa baik terhadap dirinya sendiri.
Sebaliknya, cacat fisik yang mencolok bisa membuat seseorang merasa rendah
diri (Hurlock, 1990). Hal ini berbeda-beda pada tiap orang ya.
Nick Vujicic punya pandangan menarik tentang hal ini:
e. Tingkat Pendidikan
Penelitian yang dilakukan oleh Bulut, Gurkan, dan Sevil (dalam Ilmaz dan Baran,
2010) menyebutkan semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, semakin
rendah pula harga diri yang dia miliki. Sebaliknya, sikap yang positif terhadap
pendidikan akan menghasilkan kepercayaan diri pada seseorang. Tingginya
kepercayaan diri ini berimbas pada harga diri yang meningkat.
f. Penghasilan
Menurut Baruch, Barnett, & Rivers (1983), penghasilan yang sesuai dengan
usaha seseorang akan meningkatkan harga dirinya. Penelitian lain dari Aro dan
Nurmi (2007) juga menyebutkan bahwa harga diri yang tinggi terlihat pada
seseorang yang memiliki pekerjaan permanen dan berpenghasilan tinggi. Dari sini
bisa terlihat: penghasilan yang oke dan mapan bisa meningkatkan penilaian
seseorang terhadap dirinya sendiri. Gaji gede, makin pede.
g. Teman Dekat
Herter (dalam Bitar, 2004) menyatakan bahwa teman dekat juga bisa
mempengaruhi self-esteem.
Keberadaan teman dan kemampuan mempertahankan hubungan dengan teman
mampu mempengaruhi penilaian seseorang terhadap diri sendiri.
h. Kompetensi
Herter (dalam Bitar, 2004) menyatakan bahwa kemampuan/kompetensi tinggi
juga memberi pengaruh pada harga diri. Ketika seseorang bisa mengerjakan suatu
hal spesifik lebih baik dibandingkan orang lain, maka ia akan merasa bangga
terhadap dirinya sendiri. Perasaan bangga ini meningkatkan self-esteem. Herter
sendiri menyatakan ada tiga kompetensi yang mempengaruhi harga diri:
kompetensi akademis, kompetensi sosial, dan kompetensi kerja. Kompetensi
akademis adalah kemampuan akademik. Kompetensi sosial adalah kemampuan
dalam bersosialisasi, dan kompetensi kerja adalah keahlian lebih dalam hal
pekerjaan. Pada perkembangan remaja, self esteem akan meningkat bila individu
tersebut tahu tugas-tugas perkembangannya, dan mampu menghandle tugas
tersebut. (Santrock, 2003)
i. Dukungan Sosial dan Emosional
Ketika kamu lelah dan nggak mampu lagi untuk berjuang, siapa sih yang bisa
menguatkanmu? Bisa sahabat gengmu. Bisa orang tua. Bisa juga si bebeb.
Keberadaan mereka sungguh berarti! Mereka selalu ada buat kamu, dan

8
mendukung semua yang kamu lakukan. Mereka siap mendengarkan keluh
kesahmu. Mereka memahami kamu dan selalu memberikan kamu semangat untuk
bangkit dan berjuang lagi. Santrock (2002) menyatakan dukungan emosional dari
orang lain mampu mempengaruhi self-esteem. Anak-anak dengan harga diri
rendah acapkali berasal dari keluarga konflik, perundungan (bully) dan ditolak
keberadaannya.
j. Kekuasaan
Ketika seseorang mampu mengontrol perilaku orang lain, dan diakui oleh orang
lain, dia akan merasa punya kekuasaan (power). Nah, kekuasaan ini
meningkatkan harga diri orang tersebut (Mengantes, 2005). Tapi nggak semua
orang yang berkuasa jadi sombong.
Yang pasti, peningkatan self-esteem itu ada, walaupun mungkin pengaruhnya
beda-beda pada tiap orang.
k. Kebajikan
l. Ketika kita berbuat baik, rasanya ada semacam kesenangan kecil di hati.
Ya gak sih? Hati kita kayak terasa hangat. Ketika kita berbuat baik dan tulus, kita
juga merasa baik terhadap diri kita sendiri. Rasa positif ini mempengaruhi self-
esteem kamu. Tidak hanya sebatas berbuat baik sih. Ketika kamu menaati
peraturan, moral, etika, dan agama, self-esteem kamu akan meningkat pula
(Mengantes, 2005). Inilah, yang dalam keseluruhannya disebut kebajikan. Sedikit
tambahan, Crocker dan Woldfe (2000) mengemukakan harga diri dipengaruhi
beberapa hal:
a. dukungan keluarga
b. kompetisi
c. penampilan
d. anugerah Tuhan
e. kompetensi akademis
f. nilai moral
g. penghargaan dari orang lain

TAKEAWAYS:

a. Usia bisa mempengaruhi harga diri seseorang


b. Di kalangan menengah ke bawah, harga diri perempuan lebih rendah dari
laki-laki
c. Orang yang keluarganya penuh kasih sayang, harga dirinya tinggi
d. Penampilan fisik yang menarik bisa meningkatkan harga diri
e. Tingkat pendidikan yang tinggi bisa menaikkan harga diri seseorang
f. Harga diri seseorang akan meningkat apabila penghasilannya oke

9
Aspek-Aspek Harga Diri
Sama kayak materi psikologi yang lain, harga diri nggak bisa kita liat secara
kasatmata. Harga diri dapat kita liat dari macam-macam perilaku yang
menandakannya. Untuk mengetahui seberapa tinggi seseorang menilai dirinya, ada
tiga perilaku yang bisa kamu liat (Michinton, 1993).
a. Perasaan Terhadap Diri Sendiri
Perasaan terhadap diri sendiri adalah gimana cara seseorang memandang dirinya
sendiri.
Apakah dia nyaman dengan dirinya yang sekarang? Apakah dia menerima diri
sendiri apa adanya? Orang yang harga dirinya tinggi merasa nyaman sama
dirinya. Dia menerima kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri. Dia juga nggak
gampang terpengaruh sama pendapat orang lain atas dirinya. Orang yang harga
dirinya tinggi ini nggak gampang marah. Nggak gampang tersinggung, gitu.
b. Perasaan terhadap Hidup
Orang dengan harga diri tinggi adalah orang yang hidup dalam realita.
Mereka menerima kenyataan yang terjadi dalam hidupnya. Orang dengan harga
diri tinggi sadar bahwa semuanya terjadi karena pilihan dan keputusannya sendiri,
bukan karena faktor orang lain.
Orang dengan harga diri tinggi cenderung realistis, mereka memasang cita-cita
sesuai dengan kapasitasnya. Buat mereka, cita-cita boleh tinggi, tapi kaki harus
tetap menjejak tanah. Oh iya, orang berharga diri tinggi menganggap masalah
adalah tantangan. Mereka nggak mengeluh, karena masalah adalah kesempatan
untuk mengembangkan diri.
c. Hubungan dengan Orang Lain
Orang dengan harga diri tinggi memiliki toleransi dan menghargai orang lain.
Daripada ngejelek-jelekin orang lain, mereka memilih ngeliat potensi dan
kebaikan yang orang lain punya. Mereka percaya, semua orang punya hak yang
sama dan patut dihormati. Yakin deh, mereka yang seneng ngejelekin orang lain
adalah mereka yang nggak nyaman sama dirinya sendiri. Bila orang udah nyaman
sama dirinya dan pilihannya, dia gak bakal maksain orang lain buat ngikut. Dia
gak butuh pendapat orang lain juga kok.
TAKEAWAYS:
a. Orang dengan harga diri tinggi merasa nyaman dengan dirinya
b. Orang berharga diri tinggi mampu menerima realita dan kuat
menghadapi masalah
c. Orang berharga diri tinggi mampu menerima orang lain apa
adanya
d. Orang dengan harga diri tinggi merasa bodo amat dengan
penilaian orang lain
e. Orang dengan harga diri tinggi nggak gampang tersinggung
Tipe Harga Diri
Kamu pasti sudah tahu dong kalau harga diri terbagi menjadi rendah dan tinggi.
Namun, beberapa ahli punya teori lain mengenai tipe-tipe harga diri.
Tiga Fase Self-Esteem
Klasifikasi ini dibuat oleh Martin Ross, membagi self-esteem dalam lingkupan
yang disebut feats dan anti-feats.

10
“Feats” memiliki atribut yang positif (kemenangan, kehormatan, kebajikan),
sementara “anti-feats” adalah atribut-atribut negatif (kekalahan, rasa malu,
terhina).
Perihal self esteem, ada tiga tingkatan yang selalu dilewati individu:
a. Terpecah
Individu memandang dirinya tidak berharga dan tidak layak dicintai. Ia
mengalami “anti-feats”, yang di dalamnya ada rasa terhina, malu, dan
pecundang. Ia mengasihani dan menghina dirinya sendiri (Gallardo, 2015;
Ross, 2013). Fase ini penuh kesedihan dan ketidakberdayaan.
b. Rapuh
Pada tahap ini, individu memiliki citra diri yang positif. Namun, apabila ia
masih rentan terhadap muncul “anti-feats”, sehingga individu dalam tahap ini
sering merasa gugup dan secara regular melakukan mekanisme pertahanan
diri (Bonet dan Bailen, 2015).
Mekanisme perlindungan yang sering terjadi pada fase ini, adalah
menghindari pengambilan keputusan. Walaupun individu pada tahap ini
seolah memperlihatkan kepercayaan diri yang besar, sebenarnya ia adalah
kebalikannya. Kepercayaan diri yang terlihat besar adalah indikasi ketakutan
mereka akan rasa tak berdaya dan rapuhnya self–esteem mereka. Mereka juga
mencoba menyalahkan orang lain, demi melindungi
tercorengnya image dalam diri mereka. Mekanisme pertahanan rapuh di
antaranya adalah berpura-pura “sengaja mengalah” dalam pertandingan dan
atau kompetisi. Hal ini dilakukan agar orang lain mengira ia tidak butuh
kemenangan, dan memperlihatkan sikap tak acuh terhadap penerimaan sosial.
c. Kuat
Individu dengan self-esteem kuat, memiliki image diri yang positif dan teguh,
sehingga “anti-feats” tidak mampu menodai harga diri mereka. Tidak takut
gagal, mereka terlihat rendah hati, ceria, dan tidak menyombongkan diri
(Gallardo, 2015; Ross, 2013). Mereka juga mampu berusaha dengan segenap
kemampuan demi mencapai tujuan. Hal ini dapat terjadi, karena meskipun
gagal, harga diri mereka tidak akan terpengaruh. Mereka mengenali
kesalahan-kesalahan yang mereka buat tanpa merasa malu. Walaupun kokoh
seperti karang, sesungguhnya semua tingkatan self-esteem dapat berubah,
tergantung pada situasi dan kondisi dalam hidup mereka (Ross, 2013).

TAKEAWAYS:

1. Fase harga diri dibagi tiga: terpecah, rapuh, dan kuat


2. Harga diri terpecah adalah ketika seseorang merasa tidak berharga
3. Harga diri rapuh ketika di luar tampak pede, sebenarnya tidak
4. harga diri kuat ketika di luar dan di dalam benar-benar percaya diri

11
 Cara mengukur
Ada beberapa cara untuk mengukur harga diri, diantaranya :
Alat Ukur Harga Diri
a. Skala Self Esteem Inventory Coopersmith
Skala self esteem inventory Coopersmith terdiri dari 58 pernyataan favorabel
dan unfavorabel. Ada dua pilihan jawaban, “seperti saya” dan “tidak seperti
saya”. Misalnya pernyataan ini sesuai dengan dirimu alias kamu banget, kamu
bisa centang di bagian “seperti saya”. Kalau nggak sesuai kamu, tinggal
centang di bagian “tidak seperti saya”. Untuk skoring, kamu tinggal sesuaikan
jawaban responden sama kuncinya.
Sesuai saya: Item 2, 4, 5, 10, 11, 14, 18, 19, 21, 23, 24, 28, 29, 32, 36, 45, 47,
55, 57
Tidak sesuai saya: Item 3, 7, 8, 9, 12, 15, 16, 17, 22, 25, 26, 30, 31, 33, 35, 37,
38, 39, 40, 42, 43, 44, 46, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 56, 58
Misalnya responden jawab “sesuai saya” di aitem nomer 2. Itu jawabannya
bener. Terus dia jawab “tidak sesuai saya” di aitem nomer 3. Itu jawabannya
bener. Berarti jawaban yang bener udah dua.
Item nomer 1, 6, 13, 20, 27, 34, 41, dan 48 adalah item tipuan. Kalau dia
ngasih centang pada tiga atau lebih item-item ini, artinya dia udah faking
good. Kejujurannya diragukan. Kalau udah gitu, singkirkan responden itu dari
sampelmu ya. Tingkatan harga diri ada di bagian bawah file tadi.
P.S. : Apabila mau memakai skala ini, sebaiknya aspek-aspek harga dirinya
ngikutin teori Coopersmith ya.
b. Rosenberg Self-Esteem Scale
Skala yang gak kalah populer adalah skala punya Rosenberg. Skala Rosenberg
terdiri dari 10 aitem dengan empat pilihan jawaban: sangat setuju, setuju,
tidak setuju, sama sangat tidak setuju. Nilai jawaban per aitem maksimal 3,
minimal 0. Jadi rentang nilainya antara 0 sampe 30. Skala ini enak, cuma ada
10 item. Jadi ngumpulin datanya lebih cepet. Terus juga skala ini bisa
digunakan untuk siswa sekolah. Jadi misalkan mau make siswa sebagai
subyek, kamu udah aman. Tapi kelemahannya adalah nggak ada batasan
berapa harga diri tinggi dan berapa harga diri yang rendah. Solusinya adalah
mencari penelitian yang ngambil datanya pake skala ini. Dari situ bisa kamu
cari teori terkait yang menyebutkan berapa range harga diri tinggi dan berapa
yang rendah.
c. State Self-Esteem Scale
State Self-Esteem Scale adalah skala buatannya Polivy dan Heatherton (1991).
Skala ini terdiri dari 20 aitem, dengan 5 pilihan jawaban: tidak pernah, jarang,
kadang-kadang, sering, selalu. Nilai per jawaban adalah satu sampai lima,
tergantung soalnya favorabel atau nonfavorabel. Pernyataan-pernyataan skala
ini gampang dipahami, tapi nggak terlalu jelas range-nya.
Jadi kamu perlu nyari penelitian yang ngambil data pake skala ini. Selain alat
ukur baku, tentu aja kamu bisa bikin skala kamu sendiri.
Agak repot, tapi tentu aja bakalan lebih pas dengan respondenmu. Satu
kelemahan alat ukur baku adalah hampir semuanya buatan luar negeri, jadi

12
bisa aja nggak cocok sama budaya responden kamu. Tetep konsultasikan sama
yang lebih ahli ya.

 Pengaruh orang tua terhadap self esteem


Menurut para psikolog, pengembangan harga diri sangat dipengaruhi oleh
pengalaman awal semasa kanak-kanak seseorang. Keluarga sebagai tempat pendidikan
pertama memiliki peran dalam proses sosialisasi. Kepribadian seorang anak tergantung
pada bagaimana pendidikan yang dibangun di dalamnya. Ketika pendidikan yang
diberikan baik, maka sejak dini anak dapat memahami mana hal yang baik atau buruk,
yang bisa diterima atau tidak diterima, dan yang boleh dilakukan atau tidak boleh
dilakukan. Pendidikan tersebut tidak hanya diajarkan, tapi akan lebih berhasil jika orang
tua memberikan contoh secara langsung melalui perbuatan dan kebiasaan sehari-hari.
Dan orang tua lah yang menjadi sentral dan role model, akan menjadi seperti apakah
seorang anak. Apa yang dilakukan orang tua akan merefleksi balik pada anaknya dalam
bentuk citra diri, dan pola asuh orang tua akan mempengaruhi harga diri anak. Orang tua
yang berharga diri tinggi cenderung memiliki anak yang berharga diri tinggi, begitu juga
sebaliknya. Pola asuh orang tua yang otoriter, mendidik dengan sifat permusuhan, senang
menghukum, dan banyak cacian terhadap anaknya, membentuk anak yang berkepribadian
murung, rendah diri, serta memendam kebencian dan permusuhan. Demikian juga apabila
orang tua mengasuh secara demokratis dan bijaksana, maka akan tumbuh seorang anak
yang berkepribadian menyenangkan dan mampu menyesuaikan diri dengn lingkungan.
Orangtua yang demokratis cenderung membentuk harga diri anak menjadi tinggi,
sementara orang tua yang otoriter dan permisif cenderung membentuk harga diri anak
menjadi rendah.
Marzuki (2004: 13-132) berpendapat bahwa orangtua atau pendidik harus
memberikan respon positif kepada anak, yang ditunjukkan dengan sikap, perhatian, serta
mendengarkan secara aktif terhadap apa yang dikemukakan oleh anak. Apabila orangtua
bersikap cuek terhadap apa yang dikemukakan anak, maka hal ini akan membangkitkan
perasaan perih pada nuraninya. Anak akhirnya berkesimpulan bahwa pendapatnya tak
pantas untuk dikemukakan, sebab dia sendiri menjadi tidak percaya bahwa apa yang
dikemukakan ini sesuatu yang berarti, yang berhak didengarkan oleh orang lain. Bahkan
berangkat dari perasaan ini akhirnya dia akan berkesimpulan bahwa dirinya tak berharga,
orang lain tak ada yang memerlukan, dan keberadaannya tak pernah diperhituungkan.
Harga diri bisa dibangun melalui proses pendisiplinan anak dengan syarat bahwa
anak merasa dicintai tanpa syarat. Ariesandi (2008: 263-264) mengemukakan beberapa
caranya yaitu dengan memberikan teladan pada anak melalui tindakan orangtua,
memperhatikan usia dan perkembangan anak, menggunakan bahasa cinta anak untuk
memenuhi tangki emosionalnya, melakukan komunikasi dengan memperhatikan tipe
kepribadian anak, serta memahami mekanisme pikiran anak.
Harga diri juga menyangkut perasaan bangga dari anak sebagai hasil dari belajar
mengerjakan sesuatu atas usahanya sendiri (Yustinus, 2006: 329). Pada tingkat ini, anak
ingin membuat benda-benda, menyelidiki dan memuaskan rasa ingin tahunya tentang
lingkungan, memanipulasi, dan mengubah lingkungan itu. Anak yang berusia dua tahun
yang bersifat ingin tahu dan agresif dapat menjadi sangat destruktif karena dorongan
untuk memanipulasi dan menyelidiki ini menguasai dirinya. Apabila orang tua

13
menghalangi kebutuhan anak untuk menyelidiki, maka perasaan harga diri yang muncul
dapat rusak. Akibatnya dapat muncul perasaan dihina dan marah.
Berkaitan dengan peran orangtua dalam mencintai anaknya, harga diri juga dapat
diartikan sebagai kombinasi dari perasaan mampu dan perasaan dicintai. Anak yang
mencapai suatu keberhasilan tapi merasa tidak dicintai akan memiliki harga diri yang
rendah. Sebaliknya, anak yang merasa dicintai tapi merasa kurang mampu juga akan
memiliki harga diri rendah. Jadi harga diri yang sehat merupakan hasil dari
keseimbangan dari keduanya.
 Konsekuensi dari self esteem yang rendah
Apabila memiliki self-esteem yang rendah atau negatif, anak cenderung
merendahkan nilai opini dan ide yang dimiliki. Anak akan fokus pada kelemahan
dan kesalahan yang diperbuat, dan bersikap tidak adil pada keahlian serta aset
yang dimiliki.

Saat memiliki harga diri yang negatif, Anak percaya bahwa orang lain lebih cerdas
dan lebih baik, daripada diri sendiri. Anak juga mungkin kesulitan dalam
menerima kritikan dan saran yang positif, dari orang lain. Anak juga takut gagal,
yang mungkin terjadi sebagai akibat dari pengalaman masa lalu.

Bahkan, individu dengan harga diri atau self-esteem rendah, memiliki perasaan
malu berlebihan, hingga kecemasan dan kondisi depresi.

 Stretegi meningkatkan self esteem


Beberapa strategi untuk meningkatkan harga diri anak, adalah:
1. Hati-hati dengan ucapan. Anak sangat sensitif terhadap apa yang dikatakan
orangtuanya, apalagi jika dikatakan berulang-ulang sampai diyakini oleh anak. Jadi
hati-hati, apa yang orangtua katakan seolah seperti pesan yang akan terprogram dalam
diri anak. Hindari kata-kata seperti ”Ah, payah kamu!”
2. Hindari membicarakan hal yang kurang baik menyangkut diri anak di hadapan anak
tersebut. Apa yang ia dengar akan mempengaruhi persepsi diri anak.
3. Puji usahanya meskipun belum membawa hasil. Contoh, katakan ”Bunda bangga
kamu sudah berusaha keras” bukan ”Kalau kamu lebih berusaha, pasti bisa.” Ucapkan
dengan tulus dan tujukan khusus untuk anak sehingga anak merasa benar-benar
dihargai dan diperhatikan.
4. Hindari memuji terlalu berlebihan karena akan mengaburkan penilaian anak tentang
kesuksesan dan sulit baginya untuk melihat kelebihan serta kekurangan dirinya yang
sebenarnya. Anak yang biasa mendengar pujian ”Kamu anak paling hebat di kelas”
akan membentuk harapan yang kurang realistis dan rasa takut gagal. Anak akan
mengasosiasikan untuk dicintai atau diperhatikan, dia harus selalu menjadi yang
paling hebat.
5. Ketika anak berhasil mencapai sesuatu, buatlah dia merasa keberhasilan tersebut
untuk dirinya sendiri bukan untuk menyenangkan hati orang lain. Misalnya, ”Wow,

14
bagus sekali gambarmu. Pasti kamu bangga sekali!” bukan “Bagus, Papa senang
punya anak seperti kamu.”
6. Lakukan hal-hal spontan yang membuat anak merasa dicintai, misalnya berikan
pelukan pada anak.
7. Berikan tauladan yang baik. Sebagai orangtua juga perlu memberikan contoh yang
mencerminkan harga diri yang sehat seperti bersikap optimis dan tidak mudah
menyerah.
8. Deteksi dan alihkan pemikiran negatif anak. Contoh, anak mengatakan ”Aku tidak
bisa main puzzle”, orangtua dapat mengalihkannya dengan mengatakan “Wah kamu
kan anak pintar, pasti bisa. Puzzle memang agak lama menyelesaikannya. Ayo, kita
kerjakan sama-sama, yuk!”
9. Buatlah suasana rumah seaman dan senyaman mungkin bagi anak. Hindari
pertengkaran di depan anak atau memberikan hukuman fisik pada anak. Di rumah,
anak sepatutnya juga merasa dihargai haknya selain dicintai.
10. Berikan kesempatan memilih pada anak dan hargailah pilihannya. Contoh, anak
diberi kesempatan untuk memilih baju yang akan dipakai bepergian. Jika orangtua
cemas akan pilihannya nanti kurang sesuai, orangtua dapat membatasi item
pilihannya terlebih dahulu.
11. Jeli dan cepat atasi jika anak mengalami masalah di luar rumah, misalnya diejek
teman di sekolah. Beri penguatan pada anak dan bicarakan masalah ini dengan pihak
sekolah jika sudah sangat mempengaruhi anak.
12. Tetapkan harapan realistis pada anak, sesuai dengan tahapan perkembangannya.
Misalnya tidak menuntut anak untuk segera bisa baca tulis di usia 4 tahun. Dengan
menyesuaikan harapan dengan kemampuan anak akan memperbesar kemungkinan
anak untuk mengalami keberhasilan yang penting untuk meningkatkan harga dirinya.
Namun di sisi lain, orangtua juga harus tahu kapan harapan bisa ditingkatkan seiring
dengan bertambahnya usia anak. Ini berguna untuk memacu anak meningkatkan
kemampuannya tapi tetap harus berpedoman pada kesiapan anak. Misalnya anak
mulai tertarik pada buku, tidak ada salahnya orangtua mulai mengenalkannya pada
huruf tapi dengan cara bermain dan tanpa paksaan.
13. Hindari suasana kompetisi di rumah. Contoh kompetisi siapa yang lebih cepat
menghabiskan makanan. Jika ini menjadi kebiasaan dan si bungsu terus menerus
kalah, maka akan terbentuk penilaian diri yang kurang baik.
14. Kenali kemampuan anak sehingga orangtua dapat merefleksikannya pada anak.
Contoh, ketika anak bilang tidak bisa pakai kaus kaki, orangtua dapat mengatakan
”Susah ya pakai kaus kakinya...tapi lihat kamu sudah bisa pakai baju dan celana
sendiri!”
15. Hargai inisiatif anak meski belum membawa hasil yang sempurna. Contoh, “Wah
rajin sekali anak Mama, mau merapikan mainan sendiri” bukan “Wah kok
merapikannya asal-asalan…jadinya harus Mama rapikan lagi deh.”
16. Mengembangkan kemandirian anak. Hindari anak dibiasakan untuk selalu dilayani
atau dibantu dalam melakukan hal-hal yang sebenarnya sudah bisa ia lakukan sendiri.
17. Apabila anak menunjukkan harga diri yang rendah, orangtua juga dapat minta
bantuan dari psikolog anak untuk bersama-sama menemukan dan mengatasi rintangan
apa yang membuat anak berpandangan negatif tentang dirinya.

15
B. IDENTITAS
1. Konsep teori identitas Erikson

Identitas merupakan fenomena psikologis yang kompleks dan identifikasi sejak dini
berkaitan dengan komitmen, dan kepercayaan terhadap diri. Meskipun pembentukan
identitas ini telah diidentifikasi sejak masa anak-anak, namun pada masa remaja ia
menerima dimensi-dimensi baru karena berhadapan dengan perubahan-perubahan
fisik, kognitif, dan relasional Pemikiran kontemporer tentang konsep identitas
(Desmita, 2006: 211)

Erikson (Adams, 1998: 3) menjelaskan identitas sebagai perasaan subjektif tentang diri
yang konsisten dan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam berbagai tempat dan
berbagai situasi sosial, seseorang masih memiliki perasaan menjadi orang yang sama.
Sehingga, orang lain yang menyadari kontinuitas karakter individu tersebut dapat
merespon dengan tepat. Sehingga, identitas bagi individu dan orang lain mampu
memastikan perasaan subjektif tersebut. identitas iri merupakan perasaan subjektif
tentang diri yang konsisten dan berkembang dari waktu ke waktu, terdiri atas beberapa
status identitas yang didalamnya terdapat kriteria krisis dan komitmen.

Identitas sebagai konsep yang berhubungan tentang diri yang membuat tujuan-tujuan,
nilai-nilai, dan keyakinan dalam individu dan berkomitmen secara kuat. Identitas
seseorang berasal dari pengalaman langsung yang bersangkutan sebagai seorang "aku".
Ego muncul dari subjektivitas masing-masing individu, akan tetapi dengan adanya
pengaruh lingkungan sosial, hal tersebut dapat menekan ego. Ego akan saling
menyesuaikan dengan lingkungan sosial yang ada di sekitar kita. identitas muncul dari
dua sumber yaitu penerimaan atau penolakan identitas masa lalu seseorang dan masalah
pada sosial, yang mendodrong individu untuk mengikuti norma-norma tertentu.
Erikson melihat ego sebagai agen pengatur yang sebagiannya tidak sadar yang
menyatukan pengalaman-pengalaman saat ini dengan masa lalu, dan juga dengan diri-
diri yang diharapkan. Beliau juga mengidentifikasikan tiga aspek ego yang saling
berhubungan. Aspek pertama ego badaniah (body ego) yang mengacu pada
pengalaman-pengalaman dengan tubuh seseorang. Aspek kedua adalah ego ideal, yang
mengacu pada gambaran yang dimiliki oleh seseorang tentang dirinya sendiri dan
perbandingan dengan suatu hal ideal yang sudah ditentukan. Sedangkan aspek yang
ketiga adalah identitas ego yaitu, gambaran yang dimiliki oleh seseorang mengenai
dirinya sendiri dalam berbagai peranan sosial. Pembentukan identitas ego merupakan
peristiwa besar dalam pengembangan kepribadian. yang terjadi selama masa remaja
akhir, melalui hal yang memperkuat identitas menandai akhir dari masa kanak-kanak
dan awal masa dewasa. Identitas dianggap sebagai struktur, mengacu pada bagaimana
pengalaman ditangani serta pengalaman apa yang dianggap penting.

16
Identitas ego adalah harga diri yang tumbuh secara bertahap menjadi keyakinan bahwa
ego mampu mengintegrasikan langkah-langkah yang efektif menuju masa depan
kolektif yang nyata, dan hal tersebut berkembang menjadi ego yang terorganisir dalam
realitas sosial. Erikson pertama kali menggunakan istilah identitas ego untuk
menggambarkan apa yang tampaknya hilang dalam kehidupan beberapa veteran, yang
kembali dari perang dunia kedua dan menderita trauma setelah perang. Yang paling
mengesankan dan membuat kaget adalah orang-orang veteran tersebut seperti
kehilangan identitasnya. Mereka tahu siapa mereka, mereka memiliki identitas pribadi
tapi itu hanya seperti subjektif. Mereka tidak lagi hidup bersama-sama. Hal itu terjadi
karena terdapat gangguan pada apa yang disebut dengan identitas ego.

Identitas ego sebagai pelindung individu dalam menghadapi perubahan yang dihasilkan
oleh perubahan mendadak karena faktor pribadi atau situasional. Memiliki identitas
ego yang kuat, berarti memiliki kemampuan untuk mensintesis "diri" yang berbeda ke
dalam satu identitas yang koheren di seluruh waktu, serta dapat menciptakan koherensi
(tersusunnya uraian atau pandangan sehingga bagian-bagiannya berkaitan satu dengan
yang lain). Identitas ego dapat dikatakan sebagai elemen kunci dalam pengembangan
seseorang, dan masa remaja telah dicatat sebagai saat penting dalam membentuk
perkembangan tersebut

Status Identitas
Menurut James Marcia ada 4 status identitas (Marcia, 1966:551)
a.Identitas Achievement
Seorang individu dikatakan telah memiliki identitas, jika dirinya telah mengalami krisis
dan ia dengan penuh tekad mampu menghadapinya dengan baik. Justru dengan adanya
krisis akan mendorong dirinya untuk membuktikan bahwa dirinya mampu
menyelesaikannya dengan baik. Walaupun kenyataannya ia harus mengalami
kegagalan, tetapi bukanlah akhir dari upaya untuk
mewujudkan potensi dirinya. Juga individu yang telah mengalami eksplorasi, di mana
individu tersebut menyelidiki alternatif-alternatif di antara berbagai kemungkinan dan
kemudian memiliki komitmen dalam bidang-bidang pekerjaan dan ideology. Memiliki
karakteristik berkomitmen terhadap pilihan yang dibuat dengan diikuti dengan
menghabiskan waktu untuk meneksplorasi pilihannya sebelum menetapkan komitmen.

b. Identitas Foreclosure
Identitas ini ditandai dengan tidak adanya suatu krisis, tetapi ia memiliki komitmen
atau tekad. Sehingga individu seringkali berangan-angan tentang apa yang ingin
dicapai dalam hidupnya, tetapi seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang
dihadapinya. Akibatnya, ketika individu dihadapkan pada masalah realitas, tidak

17
mampu menghadapi dengan baik. Bahkan kadang-kadang melakukan mekanisme
pertahanan diri seperti ; rasionalisasi, regresi pembentukan reaksi dan sebagainya.
c. Identitas Moratorium
Identitas ini ditandai dengan adanya krisis, tetapi ia tidak memiliki kemauan kuat
(tekad) untuk menyelesaikan masalah krisis tersebut. Ada dua kemungkinan tipe
individu ini, yaitu :
1) Individu yang menyadari adanya suatu krisis yang harus diselesaikan, tetapi
ia tidak mau menyelesaikannya, menunjukkan bahwa individu ini cenderung
dikuasai oleh prinsip kesenangan dan egoisme pribadi. Apa yang dilakukan
seringkali menyimpang dan tidak pernah sesuai dengan masalahnya.
Akibatnya, ia mengalami stagnasi perkembangan, artinya seharusnya ia telah
mencapai tahap perkembangan yang lebih maju, namun karena ia terus-
menerus tidak mau menghadapi atau menyelesaikan masalahnya, maka ia
hanya dalam tahap itu.
2) Orang yang memang tidak menyadari tugasnya, namun juga tidak memiliki
komitmen. Ada kemungkinan, faktor sosial, terutama dari orang tua kurang
memberikan rangsangan yang mengarahkan individu untuk menyadari akan
tugas dan tanggung jawabnya.

d. Identitas Diffusion
Identity diffusion diindikasikan oleh ketidakhadiran komitmen dan kurangnya
pertimbangan yang serius akan pilihanpilihan. Hasil campuran dengan tingkat
perkembangan ego yang rendah, penalaran moral, kompleksitas kognitif, dan
ketidakpastian diri, serta kemampuan dalam bekerja sama yang rendah. Remaja belum
mengalami eksplorasi atau membuat komitmen apapun. Karena remaja masih merasa
bimbang dengan peran-peran masa depan dan belum menunjukan ketertarikan kepada
hal semacam itu. Mereka juga tidak membuat komitmen pada aspek pekerjaan, agama,
filosofi politik, peran gender, ataupun memiliki standar personal dalam berperilaku.
Mereka tidak mengalami sebuah eksplorasi identitas dalam salah satu atau semua aspek
di atas. Mereka juga tidak melewati proses mengevaluasi, mencari, ataupun
mempertimbangkan alternatif-alternatif.

Faktor Pembentuk Identitas Diri


Pembentukan identitas diri merupakan proses yang panjang, kompleks, dan sifatnya
berlanjut dari masa lalu, sekarang dan yang akan datang dari kehidupan individu,
selanjutnya hal ini akan membentuk kerangka berfikir untuk mengorganisasikan dan
mengintegrasikan perilaku dalam berbagai ranah kehidupan. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pembentukan identitas menurut Soetjiningsih yakni Lingkungan sosial
yang meliputi :

18
1) Reference Group
Lingkungan sosial merupakan tempat dimana seorang remaja tumbuh dan berkembang,
seperti keluarga, tetangga yang merupakan lingkungan masa kecil, dan juga kelompok-
kelompok yang terbentuk ketika memasuki usia remaja atau yang disebut dengan
refenrence group. Kelompok-kelompok tersebut yang merupakan tempat seorang
remaja memperoleh nilai-nilai dan peran yang dapat menjadi acuan bagi dirinya
sendiri. Nilai-nilai yang ada dalam kelompok dan nilai-nilai yang ada pada diri seorang
remajalah yang selanjutnya akan menjadi pertimbangan-pertimbangan apakah nilai-
nilai dalam kelompok tersebut dapat diterima atau tidak (Soetjiningsih, 2004:48).

2) Significant Other
Significant other merupakan seseorang yang sangat berarti, seperti sahabat, guru,
kakak, bintang olahraga, atau bintang film, atau siapapun yang dikagumi. Orang-orang
tersebut menjadi tokoh idola bagi remaja karena mempunyai nilai-nilai ideal bagi
remaja dan mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan identitas diri.
tokoh tersebut yang akhirnya menjadi model bagi para remaja sehingga mereka
menginternalisasikan nilai-nilai tersebut ke dalam diri mereka yang tercermin kedalam
perilaku mereka sehari-hari (Soetjiningsih, 2004:49).

Pengaruh keluarga dan budaya terhadap identitas


a. Pengaruh Keluarga terhadap Identitas
Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat memainkan peranan
sangat penting dalam pembentukan identitas seseorang. Sesederhana apa pun
keluarga, di dalamnya terdapat sistem perekonomian, sistem kepercayaan, sistem
kekerabatan, sistem pendidikan, sistem-sistem lain sebagaimana terdapat dalam
masyarakat. Setiap keluarga tentu memiliki karakteristik yang membedakannya
dari keluarga yang lain. Sistem-sistem dalam kehuarga merupakan sarana untuk
menjalani kehidupan berkeluarga dan berinteraksi bagi anggotanya. Keluarga
memegang fungsi sentral bagi orang tua untuk mengontrol anak-anaknya dan
pemusatan perekonomian, hubungan kekerabatan, dan sosialisasi nilai-nilai
budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga merupakan tempat pertama bagi
anak untuk belajar berinteraksi dengan lingkungan. Melalui keluarga anak belajar
merespon dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Melalui proses interaksi itu
anak secara bertahap belajar mengikuti apa disosialisasikan oleh orang tuanya.
Keluarga dengan demikian merupakan lembaga pendidikan pertama, sedangkan
orang tua menjadi guru pertama yang mengajarkan nilai-nilai, norma-norma. dan
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat kepada anak-anaknya. Nilai-
nilai noma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang diajarkan oleh orang tua
menceminkan harapan dan cita-cita mereka, Apa yang disosialisasikan kepada
anak-anak akan mempenganuhi perilaku mereka dalam menjalani kehidupannya
sendiri.
b. Pengaruh Budaya terhadap Identitas

19
Budaya (culture) didefinisikan sebagai tingkah laku, pola-pola, keyakinan, dan
semua produk dari kelompok manusia tertentu yang diturunkan dari generasi ke
generasi (Santrock, 2003). Sejalan hal tersebut, Matsumoto (2004)
mengungkapkan bahwa budaya merupakan sekumpulan sikap, nilai, keyakinan,
dan perilaku yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang, yang
dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya Kebudayaan sangat
penting artinya dalam kehidupan dan tidak dapat dipisahkan dengan perilaku
setiap individu, karena apapun yang dilakukan manusia dalam kesehariannya
terdapat campur tangan kebudayaan dari masing-masing yang dimiliki oleh
individu (Suparlan, 1999). Budaya adalah suatu kebiasaan cara hidup sekelompok
manusia yang diciptakan oleh suatu kelompok manusia tersebut maupun oleh
suatu sistem seperti agama atau politik. Kebiasaan yang dipakai sebagai cara
hidup ini lambat laun akan berkembang membentuk norma- norma, etika, adat
istiadat. Lalu bagaimana budaya bisa mempengaruhi identitas Budaya merupakan
sebuah tradisi manusia yang melekat pada diri sendiri dan tradisi tersebut sudah
ada sejak manusia itu sendiri dilahirkan serta budaya itu sendiri berkaitan dengan
budi dan akal manusia,dan tidak kita sadari bahwa budaya yang melekat pada diri
kita dapat diperoleh dari kehidupan kita sehari-hari. Dalam melakukan
kegiatannya, individu tersebut diajari mengenali lingkungannya melalui bahasa,
pengenalan tubuh, nama panggilan, pengalaman budaya, dan hubungan
interpersonal. Pada tahap ini yang merupakan tahap penting dimana dia
dikenalkan mana benar mana salah. Ketika dia membuang sampah pada
tempatnya dengan disambut sorakan atau pujian dari orang tuanya yang
membuatnya senang pertanda yang dilakukannya adalah hal yang benar, begitu
pula ketika dia dimarahi karena membuang sampah sembarangan biasanya dia
mengerti bahwa itu perbuatan salah Setidaknya dasar-dasar pengenalan etika
itulah yang akan tertanam hingga tua nanti lalu apa kaitannya dengan budaya?
Apa yang diajarkan orang tuanya mengenai dasar-dasar etika tentunya merupakan
etika yang berlaku pada budaya lingkungannya. Respon yang diberikan orang
tuanya baik itu postif (pujian) atau negatif (marah) akan diingatnya dan tentunya
bisa dijadikan modal ketika dia mulai mengenal lingkungannya lebih luas. Reaksi
yang diberikan orang lain apalagi bagi orang yang dikenalnya tentunya akan
membuat dirinya paham kondisi budaya dilingkungannya. Cooley (dalam hardy
dan hayes, 1998) membuktikan bahwa dengan mengamati pncerminan perilaku
diri sendiri terhadaap respon yang di berikan oleh orang lain maka individu dapat
mempelajarinya dirinya sendiri. Orang-orang yang memiliki arti pada diri
individu sangat brengaruh dalam pembentukan identitas diri Selain budaya yang
dihasilkan berdasarkan suatu kebiasaan cara hidup oleh sekelompok misyarakat
dilingkungannya, budaya yang dihasilkan dari suatu sistem juga bisa dibilang
berpengaruh untuk pembentukan identitas diri Sistem yang dimaksud bisa berupa
agama maupun ideologi politik. Dari agama misalnya individu bisa mengetahui
mana yang benar dan mana yang salah melalui apa yang diajarkan agamanya.
Dalam Kristen contohnya yang selain mengajarkan apa yang benar dan yang
salah, agama ini juga mengajarkan gaya hidup didalamnya Contohnya adalah
ketika Kristen mengajarkan untuk menyapa seseorang dengan ucapan "Syaloom",
atau dengan ucapan lain "Salam Sejahtera" Contoh masyarakat vang menerapkan

20
budaya yang berdasarkan sistem agama yang dalam contoh kasus ini berupa
budaya Kristen yaki adalah sebagian besar Negara di Eropa dan Barat dan
sebagian di Asia seperti Filipina, Singapura dan Indonesia
Seseorang yang berasal dari keturunan keluarga etnis tertentu akan mempunyai
suatu identitas yang menjadikan dirinya merasa memiliki dan menjadi bagian dari
kelompok suatu etnis (Sjamsudin, 2008). Perbedaan kebudayaan antar etnis akan
melahirkan sebuah kepribadian yang akan menentukan sikap, perilaku, nilai dan
orientasi hidup

Pengaruh gender terhadap identitas


Untuk dapat memahami gender terletak pada kata pembagian, yang dapat dibagi
kedalam dua sifat, yaitu pemabagian sifat kodrati dan pembagian yang sifatnya
berubah-ubah sehingga dapat dipertukarkan. Pembagian yang pertama merupakan
pemberian Tuhan yang tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan
dinamakan sebagai pembagian seksual. Sedangkan pembagian peran, sifat dan watak
serta tanggungjawab yang dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan itulah
yang dinamakan gender (Khanafi, 2009). Menurut (Eckert, 1998) praktek gender
berbeda antara budaya yang lain, dari suatu tempat ketempat yang lain, dari kelompok
yang satu dengan kelompok lainnya. Hal ini menjadi perhaian penulis untuk
mengetahui bagaimana pemahaman gender di suku Bugis Makassar yang mempercayai
5 jenis gender dalam suku mereka. sementara dalam pemahaman yang ditanamankan
masyarakat khususnya di Indonesia, peran gender melekat pada individu yang
ditentukan secara budaya yang mencerminkan suatu perilaku dan sikap yang umum
pada masyarakat sebagai maskulin dan feminine dalam suatu buadaya tertentu
(Lindzey dan Aronson, 1969). Peran gender yang terbentuk mengikuti identitas gender
yang dimiliki oleh individu. Dalam identitas seseorang terdapat beberapa aspek yang
bersama-sama membentuk identitas diri yang utuh. Identitas diri seseorang adalah inti
dari pemaknaan diri seseorang terhadap identitas gender seseorang yang erat kaitannya
dengan peran serta fungsi sosial dan dibentuk dalam berbagai konteks sosial (Kaplan,
1990 dalam Meissner, 2005).

21
BAB III

Kesimpulan
Konsep diri sifatnya tidak stanis melainkan dibentuk oleh pengalaman. Konsep diri
pertama kalidipelajari anak dari lingkungan keluarganya (orangtua, kakak, kakek, nenek
kemudian ke lingkungan yang lebih luas lagi (masyarakat sekolah) konsep diri ini menjadi
penentu yang paling penting dari respon terhadap lingkungan.

Aspek Konsep diri


1. Aspek Fisiologi
2. Aspek Psikologis
c. Kognitif
d. Psiko-sosial

22
Harga diri adalah penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri. Harga diri ini bisa tinggi atau
rendah. Kalau harga dirinya tinggi, berarti seseorang ini menganggap bahwa dirinya baik. Dia
merasa berharga, layak untuk terus berusaha. Harga diri kayak gini bisa membantu individu
berkembang. Kalau rendah, berarti dia menganggap bahwa dirinya adalah seorang yang buruk.
Harga diri negatif bisa merusak dan menghambat kemajuan. Bahkan, bisa menyebabkan gangguan
jiwa seperti depresi dsb dsb.
 Faktor-faktor Pembentuk Harga Diri:
Usia,Jenis Kelamin, Keluarga, Kondisi Fisik, Tingkat Pendidikan, Penghasilan, Teman
Dekat, Kompetensi, Dukungan Sosial dan Emosional, Kekuasaan, Kebajikan, Ketika kita
berbuat baik, rasanya ada semacam kesenangan kecil di hati.
 Aspek-Aspek Harga Diri:
Perasaan Terhadap Diri Sendiri, Perasaan terhadap Hidup, Hubungan dengan Orang Lain.
 Tipe Harga Diri
Perihal self esteem, ada tiga tingkatan yang selalu dilewati individu:
Terpecah, Rapuh, Kuat
 Cara mengukur, ada beberapa cara untuk mengukur harga diri, diantaranya :
Alat Ukur Harga Diri:
Skala Self Esteem Inventory Coopersmith, Rosenberg Self-Esteem Scale, State Self-Esteem
Scale, State Self-Esteem Scale adalah skala buatannya Polivy dan Heatherton (1991).

Identitas diri merupakan perasaan subjektif tentang diri yang konsisten dan berkembang
dari waktu ke waktu, terdiri atas beberapa status identitas yang didalamnya terdapat kriteria krisis
dan komitmen.
 Menurut James Marcia ada 4 status identitas (Marcia, 1966:551) :Identitas Achievement,
Identitas Foreclosure, Identitas Moratorium, Identitas Diffusion
 Faktor Pembentuk Identitas Diri
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas menurut Soetjiningsih
yakni Lingkungan sosial yang meliputi : Reference Group, Significant Other

Saran
Penyusunan materi dalam makalah ini sudah cukup baik, namun masih banyak memiliki
kekurangan khususnya kelengkapan materi.Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca agar kelak penulis dapat membuat makalah yang lebih baik.

23
DAFTAR PUSTAKA

Marcia, James. 1966. Development And Validation Of Ego Identity Status. Journal
Of Personality An Social Psychology. Vol. 3
Desmita. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Adams, Gerald R. 1998. The Objective Measure of Ego Identity Status: A


Reference Manual. Journal of Measure of Ego Identity Status

Hurlock, E. B. 1998. Psikologi Perkembangan Suatu Proses Pendekatan


Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi 5. Jakarta : Erlangga

Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta :


Sagung Seto

https://psikologihore.com/definisi-pengertian-harga-diri/ diakses pada 22 Februari 2020 pukul


19.15 WIB
Hastuti, Dewi. 2016. Jurnal Strategi Pengembangan Harga Diri Anak Usia Dini. Yogyakarta: PG
PAUD FKIP UAD Yogyakarta

Syarif, Jamal. Jurnal Sosialisasi Nilai-nilai Kultural Dalam Keluarga. Banjarmasin: Fakultas
Tarbiah IAIN Antasari Banjarmasin
Amin, Zakki Nurul. 2015. Pengaruh Identitas Etnis Terhadap Orientasi Karir Siswa Keturunan
Jawa Dan Siswa Keturunan Tionghoa. Semarang : Bimbingan Dan Konseling Fip Unnes

24

Anda mungkin juga menyukai