Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

“SELF”
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Psikologi Sosial
yang diampu oleh Aprilia Mega Rosdiana, M.Si

Disusun Oleh:
Fairuz Rafif (200401110183)
Mohammad Rio A. (200401110198)
Titis Khoufillah (200401110201)
Tifa Sahara R. (200401110202)

PSIKOLOGI SOSIAL E
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi
Sosial yang diampu oleh Ibu Aprilia Mega Rosdiana, M.Si. Serta tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Kami berharap makalah ini
dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi pembaca.

Malang, 08 Maret 2022

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................. ii


Daftar Isi ......................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................ 1
BAB II : KAJIAN PUSTAKA ...................................................................... 2
A. Konsep Diri .......................................................................................... 2
B. Pengetahuan Tentang Diri ................................................................... 5
C. Identitas Personal dan Sosial ............................................................... 7
D. Harga Diri ............................................................................................ 9
E. Perbandingan Sosial ............................................................................. 11
F. Presentasi Diri ...................................................................................... 13
BAB III : TANYA JAWAB .......................................................................... 16
A. Pertanyaan Multiple choice .................................................................. 16
B. Penjelasan Jawaban ............................................................................. 17
C. Review Jurnal ...................................................................................... 19
BAB IV : PENUTUP ..................................................................................... 29
Kesimpulan ............................................................................................... 29
Daftar Pustaka ............................................................................................... 31

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Diri (nafs) atau jiwa memiliki dua kecenderungan yaitu hal baik-buruk dan
dorongan, tingkah laku. Bahwa keduanya adalah indikasi manusia yang tidak
selamanya baik atau buruk. Jadi tidak dibenarkan sesuatu tindakan (persepsi)
pendewaan pada seseorang yang sedang bersikap baik atau penghinaan pada
orang yang kebetulan berbuat salah. Konsep diri tidak identik dengan diri
orgasmik. Bagian-bagian dari diri orgasmik berada diluar kesadaran seseorang
atau atau tidak dimiliki oleh orang tersebut. Sebagai contoh, perut adalah bagian
diri orgasmik, tetapi bila terjadi kesalahan fungsi dan menimbulkan kecemasan,
maka perut tersebut biasanya tidak akan menjadi bagian dari konsep diri
seseorang.
Demikian pula, manusia dapat meyangkal beberapa aspek dalam dirinya
seperti pengalaman dengan kebohongan, saat pengalaman terebut tidak konsisten
dengan konsep diri mereka. Dengan demikian, saat manusia sudah membentuk
konsep dirinya, ia akan menemukan kesulitan dalam menerima perubahan dan
pembelajaran yang penting. Pengalaman yang tidak konsisten dengan konsep diri
mereka, biasanya disangkal atau hanya diterima dengan bentuk yang telah
diabsorbsi atau diubah, jadi konsep diri yang telah dibangun tidak mungkin tidak
membuat perubahan sama sekali, hanya tetap akan terasa sulit. Perubahan
biasanya paling mudah terjadi ketika adanya penerimaan dari orang lain, yang
membantu seseorang untuk mengurangi kecemasan dan ancaman serta untuk
mengakui dan menerima pengalaman-pengalaman yang sebelumnya ditolak.
Fenomena sosial terkini yang terjadi terkait Self adalah fenomena
insecurity, khususnya pada remaja. Kondisi insecure adalah fenomena kekinian
yang didapati oleh seorang remaja dari pergaulan. Menurut Abraham Maslow,
insecure dapat dikatakan sebagai suatu kondisi psikis dimana seseorang merasa
tidak aman, menganggap dunia sebagai hutan yang mengancam dan kebanyakan
manusia berbahaya dan egois. Seseorang yang mengalami insecure biasanya
merasa ditolak, terisolasi, cemas, tidak bahagia, tidak percaya diri. Mereka akan
berusaha untuk kembali ke kondisi yang secure (aman).
Kondisi insecure terjadi karena pandangan negatif yang berlebihan
terhadap diri sendiri, menganggap diri rendah dan tidak sempurna. Selalu
membandingkan diri dengan orang lain merupakan hal yang sering dilakukan oleh
orang-rang yang insecure terutama para remaja. Kondisi insecure adalah hal yang
normal, namun merasa insecure yang berlebihan dan berkepanjangan dapat
mempengaruhi setiap aspek dalam kehidupan seperti mengganggu kesehatan
mental, kecemasan sosial, bahkan dapat memicu terjadinya depresi.

1
2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Ada beberapa pengertian self. Diri atau self memiliki pengertian yang
bermacam-macam. Ardit (dalam Walgito,1993) menyatakan bahwa diri sebagai
suatu potensi sebagai peran sosiai dan sebagai gambaran diri seseorang. Allport
(dalam Porwanto,1990) mengatakan bahwa the self adalah sesuatu yang unik yang
dimiliki seseorang dan terdiri dari hal-hal atau proses-proses yang penting dan
bersifat pribadi. Dalam makalah ini kita membahas tentang beberapa penjelasan
terkait diri atau self.
A. Konsep Diri.
Konsep diri seseorang adalah sekumpulan hal-hal yang dipikirkan,
diyakini, dan dipersepsikan seseorang tentang dirinya. Hal ini mencakup
performa akademis, identitas gender, identitas seksual, dan identitas rasial.
Secara umum, konsep diri membentuk jawaban atas pertanyaan “Siapakah
saya?”
Definisi konsep diri menurut Baumister (1999) adalah: “Apa yang
dipercayai seseorang tentang dirinya, mencakup sifat-sifat orang tersebut,
juga tentang siapa dan apa sebenarnya dirinya itu.”
Konsep diri merupakan model internal yang mempergunakan
penilaian diri dalam rangka menentukan skema diri seseorang. Hal-hal
khusus seperti kepribadian, keahlian dan kemampuan, hobi dan pekerjaan,
karakteristik fisik dan lain-lain, dinilai dan diaplikasikan kepada skema
diri, yang adalah sekumpulan gagasan mengenai diri seseorang dalam
suatu dimensi khusus. Misalnya, seseorang yang menganggap dirinya
seorang kutu buku, akan mengenakan sifat-sifat dan karakter khas seorang
kutu buku kepada dirinya.
Sekumpulan skema diri akan membentuk konsep diri seseorang
secara keseluruhan. Misalnya, pernyataan “saya seorang pemalas” adalah
bentuk penilaian diri yang turut berkontribusi membentuk sebuah konsep
diri. Sebuah konsep diri dapat saja berubah seiring waktu pada saat diri
mengalami penilaian kembali, yang dalam kasus-kasus yang ekstrim dapat
menjurus kepada krisis identitas. Menurut teori penilaian-diri sementara
(temporal self-appraisal theory), manusia umumnya memiliki
kecenderungan mempertahankan penilaian diri yang positif dengan cara
mengambil jarak dengan “diri” negatifnya, sambil berfokus pada “diri”
positifnya.

3
 Jenis-Jenis Konsep Diri :
Terdapat beberapa jenis konsep diri dalam psikologi,
diantaranya:
1. Konsep Diri Akademik.
Konsep diri akademik seseorang mengacu kepada keyakinan
pribadinya terhadap keahlian dan kemampuan akademik yang
dimilikinya. Kalangan ahli sebagian berpendapat bahwa
perkembangan konsep diri akademik ini diawali pada usia 3-5
tahun dengan dipengaruhi oleh orang tua dan para pendidiknya
yang awal sekali. Selanjutnya pada usia 10-11 tahun anak-anak
menilai kemampuan akademik mereka dengan cara
membandingkan diri mereka dengan teman-teman sebaya mereka.
Pembandingan sosial ini disebut juga estimasi diri. Kemudian,
estimasi diri yang menyangkut kemampuan kognitif paling akurat
pengukurannya bilamana menyangkut evaluasi terhadap topik yang
terkait angka-angka, seperti matematika. Sedang pada bidang lain,
seperti kecepatan berpikir, seringkali lebih rendah akurasinya.
Beberapa ahli menyarankan bahwa demi meningkatkan
konsep diri akademik seorang anak atau siswa, orang tua dan para
pendidik hendaknya memberi umpan balik yang spesifik yang
terfokus pada kemampuan atau keahlian tertentu yang dimiliki anak
tersebut. Ahli lainnya menyatakan bahwa peluang untuk belajar
bagi anak-anak atau siswa hendaknya diselenggarakan di dalam
kelompok-kelompok, baik kelompok dengan beragam keahlian
maupun kelompok dengan keahlian yang seragam, yang
mengecilkan pembandingan sosial.
Hal ini karena pengelompokan yang terlalu berlebihan dari
setiap tipe kelompok dapat memberi efek yang merugikan pada
konsep diri akademik anak-anak tersebut dan cara pandang mereka
terhadap diri sendiri dalam hubungannya dengan teman-teman
sebaya mereka.

2. Konsep Diri terkait Perbedaan Kultural.


Dalam hal cara seseorang memandang dirinya sendiri dalam
hubungannya dengan orang lain, ada perbedaan-perbedaan tertentu
baik lintas budaya maupun dalam lingkup budaya itu sendiri.
Dalam budaya Barat, yang lebih dipentingkan adalah kemandirian
seseorang dan bagaimana ia mengekspresikan sifat-sifat pribadinya
sendiri. Diri individu lebih diutamakan daripada kelompok.
Sedang dalam budaya Timur, diri tiap individu dipandang
dalam konteks ketergantungan dengan kelompoknya. Relasi antar
individu lebih dipentingkan daripada pencapaian pribadi tiap-tiap

4
orang. Individu mengalami dan merasakan adanya keterikatan dan
kesatuan dengan kelompoknya.
Peleburan identitas semacam ini memiliki baik konsekuensi
positif maupun negatif. Peleburan identitas individu dengan suatu
kelompok yang lebih besar dapat memberi kesan pada individu
tersebut bahwa keberadaannya memiliki arti.

3. Konsep Diri terkait Perbedaan Gender.


Penelitian menunjukkan bahwa kaum pria cenderung lebih
mandiri, sedangkan kaum wanita lebih menekankan pada saling
ketergantungan (interdependence). Dalam hal saling
ketergantungan pun terdapat perbedaan antara pria dan wanita.
Saling ketergantungan di kalangan wanita lebih bersifat relasional,
pribadi ke pribadi, atau dalam kelompok-kelompok kecil. Di lain
pihak, saling ketergantungan di kalangan pria lebih bersifat
kolektif, mengidentifikasi diri mereka dalam konteks kelompok
yang lebih besar.
Dalam suatu studi ditemukan bahwa performa anak laki-laki
di dalam suatu kelompok yang agak besar hampir dua kali lebih
baik dibandingkan kalau berpasang-pasangan, sementara di
kalangan anak perempuan tidak ditemukan perbedaan yang berarti.
Anak laki-laki cenderung membentuk kelompok yang lebih besar
dengan didasarkan pada kepentingan dan aktivitas yang sama.
Dalam hal perilaku di dalam kelompoknya, anak perempuan lebih
cenderung menunggu giliran pada waktu hendak berbicara, mudah
untuk bersepakat, dan juga mudah untuk mengakui kontribusi dari
sesama anggota kelompok. Sementara anak laki-laki cenderung
lebih mudah mengeluarkan ancaman, mengumbar kelebihan diri,
atau mengumpat satu sama lain, yang mengindikasikan pentingnya
dominasi dan hirarki di dalam kelompok sesama teman laki-laki.
Di dalam kelompok campuran antara anak laki-laki dan
perempuan, anak perempuan lebih cenderung bersikap pasif saat
menyaksikan kawan laki-lakinya bermain, sedang anak laki-laki
cenderung tidak menanggapi apa yang dikatakan kawan
perempuannya. Perilaku sosial yang terbentuk di dalam diri anak
laki-laki dan perempuan dalam perkembangan mereka sejak masa
kanak-kanak cenderung terbawa hingga mereka dewasa, walau
tidak seluruhnya.

5
 Aspek Perkembangan Konsep Diri.
Menurut Lewis (1990), ada 2 aspek perkembangan konsep diri,
yaitu:
a. Diri Eksistensial.
Ini merupakan bagian yang paling mendasar dari skema
diri atau konsep diri, yakni merasa adanya keterpisahan dan
perbedaan dari orang lain, dan kesadaran akan adanya
keberadaan dirinya yang menetap. Seorang anak sejak masa
kanak-kanaknya merasa bahwa dirinya ada atau eksis sebagai
satu entitas yang berbeda dari orang lain, dan bahwa dirinya
terus eksis menyusuri ruang dan waktu. Menurut Lewis,
kesadaran seseorang akan dirinya yang eksistensial sudah
dimulai sejak usia 2 atau 3 bulan, dan sebahagian dari kesadaran
itu bertumbuh dari hubungan antara dirinya dengan dunia luar.
b. Diri Kategorial.
Setelah menyadari akan eksistensi dirinya sebagai suatu
entitas yang terpisah dari yang lain dan memiliki pengalaman-
pengalaman tersendiri, pada tahap berikutnya si anak juga akan
menyadari bahwa dirinya adalah suatu ‘obyek’ di tengah-tengah
dunia. Sebagaimana halnya obyek-obyek lainnya, termasuk
orang, yang dapat dialami dan memiliki sifat-sifat tertentu
(misalnya kecil, besar, berwarna, licin, dan sebagainya),
demikian juga si anak mulai menyadari bahwa dirinya adalah
suatu obyek yang dapat dialami dan memiliki sifat-sifat tertentu.

Diri seseorang juga dapat dimasukkan ke dalam kategori-kategori


seperti umur, gender, ukuran, dan keahlian. Dua dari antara kategori-
kategori yang diaplikasikan pada awalnya adalah umur (misalnya, “saya
berumur 3 tahun”), dan gender (misalnya,”saya seorang anak
perempuan”). Pada tahap awal masa kanak-kanak, kategori-kategori yang
diaplikasikan seorang anak pada dirinya bersifat sangat kongkrit
(misalnya: tinggi badan, warna rambut, hal-hal yang disukai). Pada tahap
selanjutnya, deskripsi dirinya akan mulai mencakup juga sifat-sifat
psikologis internal, evaluasi komparatif, dan tentang bagaimana orang-
orang lain melihat dirinya.

B. Pengetahuan Tentang Diri.


Salah satu hal terpenting dalam mengaktualisasi potensi manusia
adalah apabila seseorang memiliki pemahaman akan dirinya sendiri atau
self-knowledge. Pengetahuan diri adalah suatau cara bagaimana kita
menjelaskan perilaku kita, memperkirakan perilaku kita serta

6
memperkirakan bagaimana perasaan kita. Ketika kita melakukan sesuatu,
misalnya mengapa kita memilih kuliah di universitas tertentu, mengapa
kita marah-marah kepada teman kita, mengapa kita jatuh cinta pada orang
tertentu dan sebagainya. Terkadang kita tahu terkadang kita bahkan tidak
mengetahui apa alasan kita melakukan hal tersebut.
Sejak awal abad masehi, filsuf terkenal, Socrates, sudah membahas
tentang ‘mengenal diri sendiri’ dalam perkataannya, “Kenalilah dirimu
sendiri!”. Karena dari pengenalan ini seseorang bisa mengerti berbagai
kemampuan dan aspek dalam diri pribadi; fisik, psikis, sosial ataupun
moral (Tirtawinata, 2013). Pengenalan terhadap diri sendiri adalah hal
dasar yang diperlukan individu dalam menghadapi sebuah masalah. Jadi,
konsep pengenalan diri (self-knowledge) akan berdampak pada bagaimana
individu menghadapi sebuah masalah yang kompleks dan dihadapi pada
waktu yang hampir bersamaan. Jika tidak ada konsep ini maka akan
membuat individu mengalami kesulitan dan tidak percaya diri pada hal-hal
yang dia lakukan. Self-knowledge (pengetahuan terhadap diri sendiri) bisa
sangat berguna dalam pengetahuan tentang diri kita sendiri. Seseorang
yang tidak paham dengan dirinya sendiri hanya akan membawa pada
keraguan sehingga walaupun kita memberikan beribu jawaban kita tidak
akan pernah bisa meyakinkannya.
Seseorang yang tidak memiliki self-knowledge (pengetahuan tentang
diri sendiri) akan mudah dalam menerima perkataan orang lain dan
menyerapnya begitu saja. Ini dikarenakan ketidaktahuannya tentang diri
sendiri dan menyebabkan dirinya menjadi mudah terbawa pendapat orang
lain. Contoh efek negatif lainnya adalah menjadi ‘lupa dengan diri sendiri’
yang bisa berujung pada rasa bimbang ataupun kekhawatiran terhadap diri
sendiri, pekerjaan kita atau masa depan.
Menurut Golmen (1996), ada tiga kecakapan utama yang dapat
membantu kita untuk mengenali diri sendiri, yaitu:
a. Mengenali emosi diri dan pengaruhnya,
Ini dilakukan agar kita semakin mengenal berbagai macam
emosi yang dirasakan, mengenal diri sendiri dan bagaimana sifat kita
dalam mengontrol emosi tersebut. Menurut teori Schachter-Singer,
emosi adalah hasil dari dua faktor:
1. Proses fisik dalam tubuh (seperti aktivasi sistem saraf simpatik,
misalnya), yang oleh para peneliti disebut sebagai "gairah
fisiologis". Perubahan ini dapat mencakup hal-hal seperti jantung
Anda mulai berdetak lebih cepat, berkeringat, atau gemetar.
2. Proses kognitif, di mana orang mencoba menafsirkan respons
fisiologis ini dengan melihat lingkungan sekitarnya untuk melihat
apa yang dapat menyebabkan mereka merasa demikian.

7
b. Mengenali keinginan sendiri.
Seseorang yang mengenali keinginan dirinya sendiri
menandakan sudah maju satu langkah untuk mengenal diri sendiri.
Ketidaksadaran akan diri sendiri hanya membawa pada keruntuhan
persepsi mengenai diri sendiri, kurang percaya dan ragu pada segala
kelebihan yang dimiliki. Apabila hal seperti ini terus berlanjut,
berkemungkinan besar akan menuju pada pesimisme terhadap
kehidupan karena tidak yakin dengan kemampuan sendiri.
c. Pengakuan diri yang akurat.

Tiga hal inilah yang menjadi dasar manusia mampu mengenal


perasaan, menyadari kehadiran eksistensi dirinya dan batasan yang bisa dia
lakukan. Sehingga segala kelebihan diri sendiri dapat tersalurkan dengan
baik serta tidak adanya rasa bimbang yang tertinggal.

C. Identitas Personal dan Sosial.


Manusia di dalam kehidupannya sehari-hari bahkan sejak kecil,
sejatinya telah memiliki suatu identitas yang telah dibuat guna seperti
memberi suatu ciri khas yang bisa dikenali yang menunjukkan bahwa
dirinya berbeda dengan orang lain. Bukan hanya agar dapat perbedaan,
tetapi supaya induvidu tersebut memiliki pengetahuan atau mengenal akan
dirinya sendiri di dalam kehidupannya sehari-hari bahkan di dalam
lingkup sosialnya. Pengetahuan ini beragam, karena dibuat dan
disesuaikan dengan kepentingan dimana induvidu berada. Di dalam
kehidupannya pertama individu harus memiliki identitas personal, atau
pengetahuan akan informasi yang kental berkaitannya dengan dirinya
sendiri. Identitas personal gunanya adalah untuk mendefinisikan dirinya
berdasarkan atribut dalam dirinya dengan hal itu dapat menjadi pembeda
diri dengan induvidu yang lain, termasuk dalam menjalin hubungan
interpersonal.
Kemudian, sebagai makhluk sosial, manusia pasti membutuhkan
bantuan orang lain, yang merupakan fitrah sebagai manusia. Oleh karena
itu, lumrahnya dalam menjalin hubungan sosial, seseorang kerap kali
membuat kelompok dan bergabung didalamnya guna melaksanakan
kepentingan kelompoknya. Lalu, apakah itu identitas sosial? Identitas
sosial merupakan identitas seseorang yang didasarkan oleh keanggotaan di
dalam kelompok sosial. Menurut Tajfel (1982), identitas sosial adalah
bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka

8
tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan
signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut.
Keberadaannya pada kelompok akan membentuk ikatan emosi antara
dirinya dan kelompoknya serta kedekatan fisik dan psikologi dengan
memiliki tujuan yang sama. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa identitas
sosial adalah atribut yang dimiliki oleh induvidu sebagai bagian dari
anggota suatu kelompok sosial, yang kemudian digunakam untuk
mengidentifikasikan adanya kelompok sosialnya juga menjadi pembeda
dengan kelompok sosial yang lainnya.
Sedangkan, Brewer & Gardiner (1996) menyatakan bahwa terdapat 3
bentuk diri dimana hal itu mempunyai fungsi dasar untuk induvidu di
dalam proses dalam mendefinisikan dirinya, diantaranya ialah:
1. Individual self, adalah sejenis trait diri yang menganggap pribadi
berbeda dengan orang lain. Misal: “Aku adalah seseorang yang
kuat, tidak mudah menangis bahkan ketika ada masalah”.
2. Relational self, seperti sebutannya, konsep self disini ialah
bagaimana diri kita yang didasarkan kepada hubungan atau relasi
yang kita miliki dengan orang lain. Misal: “Saya memiliki sahabat
seorang selebritas”
3. Collective self, konsep diri yang didasarkan pada posisi
keanggotaan pada suatu kelompok sosial. Misal: “Aku adalah
lulusan Harvard University tahun 2021”
Dari pengelompokkan definisi self diatas, dipercaya bahwa setiap
induvidu memiliki ketiganya. Namun, faktanya ketika ditanya tentang
mendefinisikan diri, induvidu kerap sekali muncul suatu penilaian khas
yang menyangkut-pautkan dirinya dengan latar belakang kebudayaannya.
Hal ini seperti yang sudah ada pada bidang kajian penelitian milik
Triandis, dkk (1989) yang membuktikan bahwa seperti warga negara china
juga Korea yang kerap mengidentisikasikan diri dengan ciri khas
sosialnya, kelompok, serta hubungan interpersonal dibandingkan dengan
trait pribadi.
Dalam memperkenalkan identitas diri yang erat kaitannya dengan
latarbelakang budaya, identitas diri juga bergantung kepada situasi serta
konteks sosial. Misal hubungan kita dengan orang lain. Seperti kita ambil
contoh di dalam lingkungan sosial kampus internasional di salah satu
universitas ternama di Eropa. Pasti terdapat kelompok mayoritas juga
minorotas didalamnya. Jika orang dari kelompok minoritas, ia akan
menidentifikasikan dirinya yang didasarkan oleh karakteristik
minoritasnya. Seperti dia akan dominan memberitahu dimana ia berasal,
dengan kalimat “Saya adalah satu-satunya mahasiswa Korea (Asia) yang
ada di dalam kelas Psikologi di Hardvard University ini”.

9
Lalu, point keyakinan kita terhadap perlakuan orang lain terhadap
diri kita merupakan aspek lain dari situasi serta konteks sosial yang
mempengaruhi mengenai identitas atau didalam mendefinisikan diri kita.
Penilaian orang akan mempengaruhi perlakuan orang lain terhadap kita,
oleh karena itu kerap kali untuk mengantisipasi penilaian yang bisa saja
berupa negatif/penolakan juga positif/penerimaan, maka manusia
cenderung memilah-milih mengenai identitas diri.

D. Harga Diri.
Di dalam menjalin relasi sosial, perilaku sosial seseorang tidak
hanya dipengaruhi oleh penilaian orang lain, akan tetapi penilaian terhadap
diri sendiri juga turut mempengaruhi pola perilaku seseorang yang
bergantung kepada nilai positif serta negatif yang telah dipresepsikan oleh
diri seseorang. Penilaian terhadap diri sendiri baik itu positif maupun
negatif itulah yang dinamakan dengan harga diri atau self-esteem.
Seseorang dengan penilaian diri yang positif, maka otomatis akan merasa
nyaman yang menimbulkan rasa kepercayaan diri yang tinggi,
kepercayaan diri yang bagus itu menjadi mempengaruhi perilaku
seseorang dalam bertindak, jika ia sudah percaya diri, maka perkerjaannya
kemungkinan besar akan mengahasilkan yang positif juga.
Namun, apabila seseorang yang menilai dirinya dengan statement
atau presepsi yang serba kurang atau negatif, maka dalam berperilaku akan
merasa tidak percaya diri, sehingga pekerjaan yang dikerjakan kurang
optimal. Dari bacaan diatas, dapat diketahui bahwa harga diri atau self-
esteem seseorang akan menampilkan pada keseluruhan sikap seseorang
kepada dirinya secara positif atau negatif.
Kemudian, setiap orang pasti menginginkan hal-hal yang baik,
termasuk memilki harga diri yang positif. Selain hal itu, terdapat beberapa
alasan lainnya, mengapa manusia cenderung mengaharapkan harga diri
yang positif, hal itu dipaparkan oleh Vaughan & Hogg (2002) diantaranya
adalah:
 Self-esteem yang positif, tentunya membuat diri seseorang merasa
nyaman, termasuk di tengah-tengah kepastian berita kematian
orang lain maupun dirinya sendiri, yang pastinya suatu saat akan
dialaminya. Mengapa begitu? Solomon dkk (1986) (Terror
management theory), berpendapat bahwa manusia merasakan
kecemasan terlebih didalam mengahadapi realita kematiannya.
Lalu, mereka melakukan suatu eksperimen kepada beberapa orang
yang menilai positif terhadap beberapa aspek kepribadian yang
dimilikinya, maka harga diri/sel esteem nya positif pula, dengan
hal itu membantu mengurangi sakit fisik serta kecemasan baik pula

10
disaat diputarkan video mengenai kematian saat sesi dilakukannya
eksperimen tersebut.
 Self-esteem yang postif, seperti yang dijelasakan sebelumnya,
bahwa dapat mengatasi atau mengurangi kecemasan, termasuk
perasaan sedih lainnya, seperti kesepian, juga apabila terjadi
penolakan sosial. Dalam konteks ini, self-esteem bisa dijadikan
sebagai tolak ukur sosial. Hal ini berfungsi untuk mengetahui
seberapa jauh induvidu merasakan diterima juga menyatu dengan
kehidupan atau lingkungan sosialnya. Bisa dikatakan bahwa, self-
esteem yang makin besar prosentasenya didalam diri induvidu,
maka juga semakin terlihat bahwa indduvidu tersebut se,makin
diterima juga menyatu dengan kelompok sosialnya.
Menurut fungsinya dimana sebagai tolak ukur sosial, self-esteem
seseorang tentunya dapat diukur. Dengan cara eksplisit juga implisit.
Secara eksplisit bisa dilakukan dengan meminta penilaian orang
memberikan rating mengenai beberpa pertanyaan tentang pribadi, hal ini
bisa dilakukan dengan salah satu pertanyaan seperti “Saya merasa berguna
bagi orang lain”. Kemudian secara implisit, dengan cara mengukur
kecepatan reaksi orang didalam beberapa stimulus yang diciptakan dengan
mengasosiasikannya dengan diri induvidu. Tentunya stimulus diberikan
secara cepat agar mengurangi kemungkinan terjadinya seseorang
merespon dengan memanipulasi penilaian untuk menampilkan kesan
tertentu terhadap dirinya sendiri.
Dari harapan manusia untuk memilki self-esteem yang selalu positif,
hal ini bisa jadi justru mendorong akan timbulnya gejala yang disebut
above-average effect, dimana merupakan bentuk melampaui penilaian diri
diatas rata-rata didalam aspek aspek diri yang dianggap positif dalan
kehidupan sosial. Kemudian kerap kali manusia termotivasi untuk melihat
diri yang positif, maka juga akan cenderung bertemu dengan bias terhadap
menilai hasil yang telah diperolehnya. Misalkan ketika mendapatkan hasil
penilaian yang positif, maka seseorang mungkin akan menunjukkan bahwa
selama ini dirinya adalah yang pantas atas hasil tersebut, dan sebaliknya,
maka cenderung seseorang akan mengalihkan tanggung jawab akan hasil
tersebut kepada orang lain. Bias ini disebut dengan self-serving bias.
Selanjutnya mengenai self-esteem atau harga diri yang rendah. Pada
jaman dulu, presepsi menganai self-esteem yang rendah ini dipercayai
sebagi penyebab dari timbulnya penyakit sosial. Seperti melakukan
kekerasan merupakan orang yang kemungkinan terbesarnya memiliki self-
esteem yang rendah. Lalu apakah self-esteem yang tinggi akan selalu
mengahsilkan hasil yang positif? Hal ini dijawab oleh melalui serangkaian
penelitian yang ternyata menyatakan bahwa harga diri yang positif, tidak

11
melulu dapat menjadi faktor pendorong perilaku yang positif. Contohnya
adalah perilaku bullying, yang merupakan bentuk dari pertahan self-esteem
yang tinggi dengan cara yang agresif, begitupun di dalam kelompok sosial
bisa saja terjadi.

E. Perbandingan Sosial.
Bahwa individu termotivasi untuk membandingkan diri mereka
sendiri dengan orang lain yang spesifik untuk menilai situasi sosial mereka
sendiri. Individu cenderung membandingkan diri mereka dengan individu
lain yang sama dengan dirinya sendiri. Dengan melakukan hal tersebut
maka terjadi evaluasi yang lebih tepat mengenai opini maupun
kemampuan yang dimiliki dapat tersedia. Bahwa pilihan seseorang dalam
membandingkan dirinya dengan orang lain depat dipengaruhi oleh self-
esteem dimana seseorang yang memiliki self-esteem rendah mengalami
stress, cederung untuk membentuk perbandingan dengan orang yang
dianggapnya memiliki posisi atau keadaan yang lebih rendah darinya.
Arah dari perbandingan sosial dapat menunjukan motif perbandingan
sosial terhadap dirinya, perbandingan ke bawah (downward social
comparison) merupakan perbandingan tehadap orang lain yang hasil yang
ditunjukan lebih buruk dibandingkan dengan sipembanding, ini lebih
bertujuan untuk memperkaya diri melalui peningkatan evaluasi diri,
masalah ini yang muncul dari bentuk perbandingan ini, terkadang
seseorang dapat merasakan dirinya menjadi buruk,terutama bila orang
tersebut miliki kontrol diri yang rendah.
Perbandingan ke atas (upward social comparison) dengan tujuan
untuk mengembangakan dirinya cenderung oleh individu dengan self-
esteem yang tinggi. Namun perbandingan tersebut dapat memiliki efek
negatif seperti frustasi,kecemburuan,kekerasan, dan perasaan rendah diri,
hal ini akan muncul ketika individu merasa bahwa mereka kurang mampu
mengendalikan peningkatan posisi mereka. (Festinger,1954; Kaplan &
Stiles,2004)
Perbandingan sosial terdiri dari dua macam, yaitu perbandingan
sosial ke bawah (downward social comparison) dan perbandingan sosial
ke atas (upward social comparison). Perbandingan sosial ke bawah adalah
membandingkan diri dengan orang lain yang dianggap lebih buruk dalam
beberapa atribut tertentu yang dimiliki. Pada umumnya individu
melakukan downward comparison ini bertujuan untuk menciptakan
perasaan positif dan meningkatkan self-esteem. Sementara itu,
perbandingan sosial ke atas merupakan perilaku membandingkan diri
dengan orang lain yang dianggap lebih baik dalam hal tertentu. Efek dari
perbandingan sosial ini, baik upward maupun downward, terkadang tidak

12
berlaku apabila orang yang menjadi bahan pembanding memiliki
hubungan yang dekat (Baron & Byrne, 2004).
Teori perbandingan sosial dapat dijelaskan melalui proses berikut
(Festinger, 1954; Aspinwall & Taylor, 1993; Buunk & Mussweiler, 2001;
Kaplan & Stiles, 2004):
1. Dorongan untuk mengevaluasi opini dan kemampuan.
Opini dan kepercayaan individu serta evaluasi mengenai
kemapuanya merupakan determian yang penting terhadapan perilaku
yang akan ditampakkanya, opini yang tepat dan penilaian kemapuan
yang akurat akan cendrung mengara kepada kepuasan atau perilaku
yang mendapatakan reward, sementara keyakianan yang tepat atau
penilaian kemampuan yang tidak tepat yang tidak akurat akan
mengarah kepada konsenkuensi yang tidak menyanangkan. Festimger
(1954) menyatakan bahwa kerena kemampuan direfleksikan ke dalam
performansi, manifestesinya akan menjadi tampak jelas bervariansi.
2. Sumber evaluasi.
Seseorang akan mengunakann realitas objektif sebagai dasar
dalam mengevaluasi ketika hal ini tersedia dalam kehidupan sehari-
hari namun orang tersebut akan mendasarkan evaluasinya terhadap
opini orang lain (realitas sosial) ketika objektif tidak tersedia.
3. Pilihan seseorang dalam melakukan perbadingan.
Orang-orang yang tidak memiliki basis objektif sebagai
pembanding, akan mengevaluasi opini dan kemampuan mereka
dengan membandingkannya terhadap orang lain. Yang diajukan oleh
Festinger (1954) bahwa orang-orang akan memilih untuk
mengevaluasi opini dan kemampuan mereka dengan
membandingkannya terhadap opini atau kemampuan teman sebaya
atau orang dekat yang sebaya dengan mereka. Maka akan
menghasilkan perilaku yang mengarah kepada pencapaian keadaan
dimana evaluasi yang diterima dapat dibuat, tidak terdapat
peertentangan sehingga perilaku seharusnya diarahkan untuk
megurangi pertentangan dalam suatau kelompok.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan.
Terdapat 2 faktor utama yang pengaruhi perubahan kemampuan
ketika dibandingkan dengan opini, yaitu:
a. Terdapat tekanan tanpa tujuan ke atas dimana kemampuan tidak
muncul dalam kasus opini pada kasus opini tidak terdapat basis
yang inheren untuk perbandingan dan tidak terdapat tekanan
umum untuk berubah ke dalam arah tentu.
b. Terdapat faktor nonsosial yang dapat membuat seseorang sulit
atau dapat mengubah kemampuanya,namun faktor tersebut tidak
ditemukan untuk opini .

13
Festinger menyatakan bahwa, ketika opini terlibat, tindakan
yang diekspresikan utamanya akan berbentuk sosial; yaitu, seseorang
akan mencoba untuk mempengaruhi orang lain. Pada kasus
kemampuan, tindakan akan diekspresikan utamanya dalam batasan
lingkungan.
5. Berhentiya proses perbandingan.
Individu akan berusaha untuk mengurangi perbandingan
terhadap orang lain bahwa konsenkuensi dari berhentinya
perbandingan berasal dari perbedaan opini dan kemampuan.
Berhentinya perbandingan akan disertai dengan kekerasan atau
derogasi pada kasus opini namun tidak pada kasus kemampuan
6. Dorongan menuju kesatuan.
Semakin atraktif suatu kelompok terhadap seseorang, semakin
penting kelompok tersebut menjadi alat pembanding. Oleh karena itu
dorongan untuk mengurangi pertentangan antara diri sendiri dengan
kelompok akan menjadi lebih besar. Dorongan ini haruslah
dimanifestasikan sebagai (1) kecenderungan untuk mengubah posisi
seseorang, (2) peningkatan usaha untuk mengubah orang lain, dan (3)
kecenderungan yang lebih besar untuk membuat orang lain tidak
menjadi pembanding.

F. Presentasi Diri.
Saat kita berinteraksi dengan orang lain, sering kali perhatian kita
tertujuan pada bagaimana orang akan menilai diri. Kita berusaha
mengontrol bagaimana orang lain berpikir mengenai kita, sehingga kita
perlu melakukan impression management, yaitu usaha untuk mengatur
kesan yang orang lain tangkap mengenai kita baik secara disadari maupun
tidak (Schlenker, 1980). Sebagai bagian dari impression management kita
melakukan presentasi diri (self-presentation) seperti yang kita inginkan
dengan berbagai macam tujuan. Atau secara garis besar usaha-usaha kita
yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu dengan cara mengontrol
informasi tentang diri kita sendiri yang diberikan kepada orang lain,
supaya terciptanya gambaran dan kesan tentang diri sendiri.
Menurut Goffman (1956), individu mempresentasikan dirinya dalam
dua bagian yang berbeda yaitu bagian front stage (bagian depan) dan back
stage (bagian belakang) (Cunningham, 2013:6).
 Front Stage (Bagian depan).
Area ini dapat dianggap sebagai “peralatan ekspresif dari jenis
standar yang sengaja atau tidak disadari digunakan oleh individu
selama penampilannya”. Bagian depan ini terdiri dari dua bagian
utama: setting (pengaturan) dan personal front (bagian depan pribadi).
Pengaturan ini terdiri dari semua elemen latar belakang yang

14
membantu audiens (target presentasi diri dari individu) untuk
memahami konteks pertunjukan, sementara bagian depan pribadi
adalah karakteristik pemain. Misalnya, usia, jenis kelamin, dan
penampilan fisik adalah semua karakteristik dari personal front dan
banyak dari karakteristik ini tidak berubah. Penonton menggunakan
pengaturan dan personal front untuk memahami kinerja aktor
(individu yang memainkan peran).
 Back Stage (Bagian belakang).
Area ini yang biasanya tidak terlihat oleh penonton, itu adalah
area di mana pemain “dapat bersantai; ia dapat melepaskan bagian
depannya, melupakan garis bicaranya, dan keluar dari karakter”. Area
ini bisaanya terlarang bagi penonton, karena itu ada sebagai area
dimana pemain dapat menjadi dirinya sendiri, tanpa diamati oleh
audiens.
Terdapat lima strategi prenstasi diri yaitu Ingratitation, Self-
Promotion, Intimidation, Exemplification, dan Supplication.
 Ingratiation.
Bertujuan untuk membuat seseorang disukai dan tampak
menarik dihadapan orang lain, yang dilakukan oleh sesorang ini
menunjukan apa yang disukai oleh audiens akan memunculkan image
dalam dirinya.
Bentuk strategi ini yaitu bersikap baik pada orang lain, memuji
diri sendri atau orang lain namun cara ini dilakukan secara berlebihan
dapat membuat orang lain merasa terganggu jika orang yang menjadi
sasaran tidak menyukainya atau merasa "dijilat".
 Self-Promotion.
Bertujuan untuk menunjukan image seseorang yang memiliki
kompetensi dalam strategi seseorang lebih deskriptif dalam
menjelaskan dirinya. hal ini supaya orang lain dapat yakin akan
kemampuanya. melakukan klaim tentang hal-hal yang dilakuakn
menunjukan kemampuan dirinya
 Intimidation.
Bertujuan seseorang ingin menunjukan dirinya sebagai sosok
yang ditakuti. dengan bertujuan memperoleh kekuasaan memciptakan
kribilitas agar audiens dapat menuruti keinginanya contoh
indikatornya memberi ancaman dan menunjukan kemarahan.
 Exemplification.
Digunakan apabila seseorang ingin dihormati dan dikagumi atas
moralitas dan integrasi tinggi.strategi ini untuk menunjukan image
orang yang suka membantu dan jujur, contoh indikator ini antara lain

15
membantu orang lain, memperlihat keteladanan dan membarikan
penyangkalan.
 Supplification.
Digunakan ketika individu dengancara memeperlihatkan
kelemahan atau tergantungan demi memdapatkan pertolongan atau
simpati dari orang lain. Pada dasarnya stretegi mengiklankan
ketergantungan seseorang untuk meminta bantuan.

Selain lima strategi di atas, ada strategi presentasi diri yang lain,
yaitu
 Self-handicapping yang merujuk pada segala tindakan yang dilakukan
agar dapat mengeksternalisasi apabila mendapat hasil negatif dan
menginternalisasi apabila mendapat hasil yang positif (Berglas &
Jones, 1978). Tujuan dari strategi ini adalah melindungi harga diri
sebagai antisipasi terhadap hasil yang tidak sesuai harapan
 Strategi presentasi diri lainnya adalah bask in reflected glory
(BIRging) di mana orang mengasosiasikan dirinya dengan
keberhasilan orang lain, bukan keberhasilan dirinya sendiri. Tujuan
dari strategi ini adalah meningkatkan harga diri. Contohnya, di Hari
Senin seseorang memakai kaos tim sepakbola kesayangannya, setelah
pada Hari Minggu tim tersebut memastikan menjuarai kompetisi.
Dengan memakai kaos itu, ia ikut merasa senang dan bangga

16
BAB III
TANYA JAWAB

A. Pertanyaan Multiple Choice.


1. Dibawah ini, yang tidak termasuk dejection-related emotion sebagai
akibat adanya diskrepansi diri adalah…
a. Takut
b. Kecewa
c. Sedih
d. Tidak puas

2. Strategi presentasi diri yang bertujuan agar dianggap memiliki


integritas moral yang tinggi adalah…
a. Self-promotion
b. Exemplication
c. Self-handicapping
d. Supplication

3. Harga diri menjadi alat ukur sosial karena…


a. Harga diri bisa positif atau negatif
b. Harga diri menunjukkan sejauh mana diterimanya masyarakat
c. Harga diri bisa diukur
d. Harga diri menunjukkan kecemasan menghadapi kematian

4. Dari pertanyaan berikut, yang sesuai dengan self-maintenance model


adalah…
a. Kita menjaga jarak dari orang yang lebih baik dari kita
b. Kita menjaga harga diri dengan melakukan perbandingan sosial
c. Kita membandingkan dengan kategori sosial yang sama
d. Kita memandingkan dengan diri agar disukai

5. Konsep diri terbentuk melalui…


a. Intropeksi, persepsi diri, presentasi diri
b. Presentasi diri, persepsi diri, evaluasi diri
c. Evaluasi orang lain, persepsi diri, intropeksi
d. a, b, dan c salah

6. Strategi self-presentation yang butujuan agar sesorang disukai dan


menarik adalah…
a. Suplication
b. Intimidation
c. Suplication
d. Ingratiation

17
7. Terdapat lima strategi presentation yang bukan termasuk strategi
yaitu…
a. Self-Promotion
b. Intimidation
c. Exemplification
d. Self-esteem

8. Area yang tidak terlihat oleh penonton untuk mempresentasika dirinya


adalah…
a. Back stage
b. Personal fornt
c. Setting
d. Front stage

9. Stretegi mengiklankan ketergantungan seseorang untuk meminta


bantuan. Orang lain disebut…
a. Exemplification
b. Supplification
c. Intimidation
d. Self-handicapping

10. Teori pebandingan sosial dapat dijelaskan melalui proses menurut


(Festinger, 1954; Aspinwall & Taylor, 1993; Buunk & Mussweiler,
2001; Kaplan & Stiles, 2004).
Yang tidak termasuk proses tersebut adalah…
a. Dorongan untuk mengevaluasi opini dan kempuan
b. Sumber evaluasi
c. Pilihan seseorang dalam melakukan perbadingan,
d. Termotivasi

B. Penjelasan Jawaban.
1. Jawaban: (A)
Kegagalan di dalam mengatasi diskrepansi antara actual self dan odeal
self dapat memicu timbulnya dejection-related emotions, seperti
kecewa, tidak puas, dan sedih.
2. Jawaban: (B)
Examplication merupakan salah satu strategi presentasi diri dangan
tujuan mempunyai integritas moral tinggi, dimana kita menampilkan
diri sebagai orang yang rela berkorban untuk orang lain.
3. Jawaban: (B)
Alasan lain mengapa manusia mengnginkan harga diri yang positif
adalah agar membuat seseorang bisa mengatasi kecemasan, penolakan
sosial, dsb. Oleh karena itu, harga diri menjadi sebuat alat ukur sosial
guna melihat seberapa jauh seseorang merasa diterima, juga menyatu
didalam lingkungan masyarakatnya.

18
4. Jawaban: (A)
Menurut Tesser (1988) didalam penerangan mengenai self-evaluation
maintance model, untuk mendapatkan pandangan yang positif tentang
diri, kita cenderung menjaga jarak dari orang lain yang melakukan
sesuatu yang lebih baik daripada kita juga lebih membandingkan diri
dengan orang lain yang tidak lebih baik dari kita.
5. Jawaban: (C)
Cooley (1964) berpendapat bahwa konsep diri dapat diperoleh dari hasil
evaluasi orang lain terhadapnya. Jadi apa yang dipikirkan orang lain
terhadap kita, itu menjadi sumber informasi tentang siapakah diri kita.
Kemudian, dinyatakan bahwa hasil dari tindakan kita menjadikan untuk
melakukan intropeksi dan presepsi diri.
6. Jawaban: (D)
Bertujuan untuk membuat seseorang disukai dan tampak menarik
dihadapan orang lain, yang dilakukan oleh sesorang ini menunjukan apa
yang disukai oleh audiens akan memunculkan image dalam dirinya.
7. Jawaban: (D)
Sebab self-esteem tidak termasuk strategi self-presentation sebab lebih
ke sebuah pikiran,perasaan dan pandangan atas diri mereka sendiri,
berpaku pada seberapa orang menilai .
8. Jawaban: (A)
Area yang bisaanya tidak terlihat oleh penonton, itu adalah area di mana
pemain “dapat bersantai; ia dapat melepaskan bagian depannya,
melupakan garis bicaranya, dan keluar dari karakter”.
9. Jawaban: (B)
Sebab area yang bisaanya tidak terlihat oleh penonton, itu adalah area di
mana pemain “dapat bersantai; ia dapat melepaskan bagian depannya,
melupakan garis bicaranya, dan keluar dari karakter”.
10. Jawaban: (D)
Bahwa individu termotivasi untuk membandingkan diri mereka sendiri
dengan orang lain yang spesifik untuk menilai situasi sosial mereka
sendiri. Bergerak untuk melakukan sesuatu yang baru berani
berekspresif dan tidak melalui proses diatas menurut Festinger dkk.

19
C. Review Jurnal.
1. Review Jurnal 1.

PROFIL PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA


DITINJAU DARI SELF-EFFICACY
Nama Fairuz Rafif
Kelas Psikologi E
NIM 200401110183
Dosen Pengampu Aprilia Mega Rosdiana, M.Si
Tema/Materi Self-efficacy
Judul Artikel PROFIL PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA DITINJAU
DARI SELF-EFFICACY
Judul Jurnal AKSIOMA: Jurnal Program Studi Pendidikan Matematika
Vol.10 No.1
Tahun 2021
Penulis Mida Nurani, Riyadi Riyadi, Sri Subanti
Kata Kunci Pemahaman konsep matematika; self-efficacy.
Latar Belakang Tujuan utama belajar matematika adalah memecahkan masalah
matematika (Christidamayani & Kristanto, 2020). Dalam
memecahkan masalah, matematika lebih banyak memerlukan
pemahaman dari pada hapalan. Salah satunya pemahaman konsep
matematika. Pemahaman konsep merupakan landasan penting untuk
menyelesaikan permasalahan matematika maupun permasalahan
dalam dunia nyata (Lestari & Yudhanegara, 2017). Pemahaman
konsep matematika merupakan suatu kemampuan yang menyerap
dan memahami ide-ide matematika secara sistematis.
Dalam menyelesaikan masalah matematika, dibutuhkan kemampuan
afektif siswa. Hal ini sejalan dengan Masri, Suyono & Deniyanti
(2018) yang menyatakan bahwa kemampuan afektif juga harus
dimiliki oleh siswa dalam pembelajaran matematika selain
kemampuan kognitifnya. Salah satu kemampuan afektif yang harus
dimiliki siswa dalam pembelajaran matematika adalah self-efficacy.
Menurut Nahdi (2018) self-efficacy adalah kepercayaan atau
keyakinan seseorang terhadap kekuatan diri (percaya diri) dalam
mengerjakan atau menjalankan suatu tugas tertentu. Namun
kenyataannya, seringkali siswa tidak yakin bahwa dirinya mampu
menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi. Sehingga siswa
tidak mampu menunjukkan prestasi akademisnya secara optimal
sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Metode Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian
dilakukan di SMA Negeri 1 Meraksa Aji yang dilaksanakan pada
semester ganjil tahun 2020/2021. Subjek pada penelitian ini adalah
siswa kelas XI yang bejumlah 31 siswa. Pemilihan subjek diambil

20
berdasarkan kategori self-efficacy tinggi, sedang, dan rendah dengan
seluruh subjek yaitu 9 siswa.
Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah angket
self-efficacy, tes pemahaman konsep matematika dan wawancara.
Penelitian ini menggunakan triangulasi metode untuk menguji
keabsahan data penelitian. Dimana data hasil pekerjaan dan
wawancara siswa dikatakan valid jika hasil pekerjaan siswa sesuai
dengan hasil wawancara, begitu juga sebaliknya. Langkah
pengumpulan data yaitu mengelompokkan subjek penelitian
berdasarkan kategori self-efficacy tinggi, sedang dan rendah serta
memenuhi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Kemudian
melakukan pengambilan data pemahaman konsep matematika siswa
dengan cara memberikan tes pemahaman konsep matematika
kepada subjek.
Hasil Hasil analisis penelitian ini, menyimpulkan bahwa siswa hanya
mampu menguasai beberapa indikator pemahaman konsep
matematika untuk siswa yang memiliki self-efficacy sedang dan
rendah. Siswa dengan self-efficacy rendah cenderung menyerah dan
tidak mengerjakan saat dihadapkan dengan permasalahan
matematika yang sulit. Sedangkan siswa dengan self-efficacy
sedang,ragu akan kemampuannya ketika memecahkan masalah
matematika. Sehingga, permasalahan tersebut tidak terselesaikan.
Berbeda dengan siswa yang memiliki self-efficacy tinggi, siswa
dengan self-efficacy tinggi lebih mampu menyelesaikan masalah
matematika. Hal ini terjadi karena siswa dengan self-efficacy tinggi
tidak mudah menyerah dan memiliki keyakinan yang tinggi dalam
menyelesaikan permasalahan. Sehingga dapat dimaknai bahwa
siswa yang memiliki self-efficacy tinggi memiliki kemampuan
pemahaman konsep yang lebih baik.
Kesimpulan Kesimpulan pada penelitian ini adalah siswa yang memiliki
self-efficacy tinggi menguasai seluruh indikator pemahaman konsep
matematika. Hal ini terjadi karena siswa dengan self-efficacy tinggi
tidak mudah menyerah saat dihadapkan dengan permasalahan yang
sulit. Kemudian untuk siswa yang memiliki self-efficacy sedang,
hanya menguasai indikator menyatakan ulang sebuah konsep,
mengklasifikasi objek menurut sifat-sifat tertentu dan dan
menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis.
Hal ini terjadi karena siswa dengan self-efficacy sedang, ragu akan
kemampuannya saat dihadapkan dengan permasalahan matematika.
Sedangkan siswa dengan self-efficacy rendah hanya menguasai
indikator menyatakan ulang sebuah konsep. Hal ini terjadi karena
siswa dengan self-efficacy rendah cenderung tidak mengerjakan saat
dihadapkan dengan permasalahan yang sulit.
Relevansi Jurnal ini dipilih karena bahasan yang diteliti didalamnya relevan
dengan tema materi yang sedang dipelajari yaitu “Self”. Selain
karena jurnal ini menambah wawasan penulis mengenai “self-
efficacy”, juga karena jurnal ini masih belum lama dibuat sehingga

21
data yang diambil juga terbaru.

2. Review Jurnal 2.

STRATEGI SELF PRESENTATION PADA REMAJA PENGGUNA


INSTAGRAM

Nama Mohammad Rio Afdhel


Kelas Psikologi E
NIM 200401110198
Dosen Pengampu Aprilia Mega Rosdiana, M.Si
Tema/Materi Self presentation
Judul Artikel Strategi self presentation pada remaja pengguna instagram
Judul Jurnal Jurnal psikologi proyeksi
Vol.15 No.2
Tahun 2020
Penulis Trisna Septia Ningsih dan Gumi Langerya Rizal
Kata Kunci Strategi Self Presentation , remaja ,pengguna instagram
Latar Belakang Sosial media khususnya instagram saat ini sudah menjadi
kebutuhan setiap orang terbuktikan oleh dari hasil survey
APJJI pada tahaun 2018 mengatakan bahwa jika
pengguna sosial media di instagram merupakan alasan
tertinggi kedua yang paling banyak pengguna dan sering
dikujungi (Asosiasi penyelenggara jasa internet
indonesia,2018) Pengguna yang paling banyak memakai
instagram yaitu dari kalangan remaja sesuai dengan hasil
riset yang dilakukan oleh Andrew Perrin (2016).
Instagram begitu populer dikalangan remaja karena
menyediakan berbagai fitur yang dapat mengekspresikan
dirinya kepada orang postingan yang lebih mungkin untuk
mendapatkan banyak like dan comment ialah apabila
seseorang mengunggah berupa konten wajah. Instagram
juga membuat individu bisa mengunggah postingan
berupak teks maupun visual, namun unggahan dalam
bentuk visual lebih dominan karena walaupun ingin
mengunggah teks maka teks tersebut haruslah berbentuk
gambar semakin berkembang secara tidak sadar bahwa
self presentation sangat dpenting untuk dilakukan. Self
presentation merupakan adalah suatu usaha yang
dilakukan untuk menimbulkan kesan terhadap orang lain .
self presentation juga mengunakan strategi-strategi yang
menyebabkan seseorang cenderung tidak menampilkan

22
diri yang sebenarnya .melakukan self presentation
mempunyai dapak positif dan negatif ,dampak positifnya
yaitu dapat menjalin komunikasi dengan keluarga dan
teman serta memperluas petermanan ,sedangkan dampak
negatif tidak menjadi kita yang sebenarnya. pengguna
sosial media khususnya pada remaja yang terlalu
memikirkan self presentation maka akan membuat
mereka kehilangan identitas diri yang sebenarnya, karena
usia remaja merupakan usia transisi dari anak-anak
menuju dewasa serta usia dimana mereka mencari
identitas diri mereka. remaja biasanya menggunakan
instagram untuk membuat kesan supaya dilihat dan
didengar oleh oleh orang lain dari apa yang di unggahnya,
remaja di instagram juga dapat dengan bebas
mengeskpresikan dirinya. Berdasarkan penjelasan
tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk melihat
bagaimana remaja dalam melakukan strategi self
presentation, serta apakah terdapat perbedaan antara
tingkatan remaja dalam melakukan strategi self
presentation di sosial media instagram.

Metode Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif


kuantitatif, yaitu penelitian yang memberikan gambaran
lebih detail mengenai gejala dengan data yang ada,
kemudian dianalisis dan dinterpretasi. dalam penelitian ini
variabel yang akan diteliti yaitu strategi self presentation
yang terdiri dari lima strategi yaitu ingratiation,
intimidation, self promotion, exemplication dan
supplication .teknik yang dilakukan menggunakan teknik
sampling , kriteria sampling diantaranya remaja
pengguna instagram, Subjek dalam penelitian ini adalah
remaja pengguna instagram yang pernah mengunggah
foto atau instastory serta pernah memberikan like dan
komentar di instagram. Kriteria selanjutnya yaitu remaja
yang berada di kota bukittinggi. Subjek pada penelitian ini
yaitu 121 remaja di Bukittinggi sesuai dengan kriteria
yang sudah ditetapkan peneliti yaitu remaja dengan
rentang usia 14-21 tahun, yang menggunakan sosial media
instagram.

Hasil Berdasarkan hasil penelitiann yang dilakukan


mendapatkan nilai mean dan standar devinasi maka
dilakukan pengkategorikan pada setiap strategi self
presentation dengan kategori tinggi,sedang dan rendah.
 Bahwa pada strategi ingratition terdapat 34 subjek
kategori tinggi , 68 subjek dengan kategori sedang

23
, dan 19 subjek dengan kategori rendah .
 Bahwa pada strategi intimidation terdapat 50
subjek kategori tinggi , 50 subjek dengan kategori
sedang , dan 21 subjek dengan kategori rendah .
 Bahwa pada strategi self promotion terdapat 30
subjek kategori tinggi , 77 subjek dengan kategori
sedang , dan 14 subjek dengan kategori rendah .
 Bahwa pada strategi exemplication terdapat 35
subjek kategori tinggi , 66 subjek dengan kategori
sedang , dan 20 subjek dengan kategori rendah .
 Bahwa pada strategi supplication terdapat 25
subjek kategori tinggi , 73 subjek dengan kategori
sedang , dan 23 subjek dengan kategori rendah .

Pada uji normalitas yang dilakukan dapat diketahui bahwa


hanya pada strategi exemplication ditemukan adanya
perbedaan berdasarkan tingkatan remaja, karena nilai
P<0,05. Diketahui dari hasil uji mann withney perbedaan
terletak pada tingakatan remaja madya dengan remaja
akhir. Sedangkan pada strategi lainnya yaitu ingratiation,
intimidation, self promotion dan supplication tidak
ditemukan adanya perbedaan dalam remaja melakukan
strategi self presentation jika dilihat dari tingkatan remaja
karena nilai P>0,05.
Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Strategi intimidation merupakan strategi paling
banyak dilakukan remaja dalam kategori tinggi
dibandingkan dengan strategi lainnya. strategi self
promotion merupakan strategi paling banyak
dilakukan remaja dalam kategori sedang sekaligus
dalam kategori rendah dibandingkan dengan
strategi lainnya. Sedangkan pada strategi
excemplication, supplication dan ingratiation
yang dilakukan oleh remaja masing-masing
cenderung berada dikategori sedang.
2. Hasil uji beda berdasarkan tingkatan usia remaja
dalam melakukan strategi self presentation
sebagian besar strategi menunjukka tidak adanya
perbedaan, kecuali strategi exemplication yang
memiliki perbedaan yaitu pada remaja madya
dengan remaja akhir
Relevansi Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat diketahui bahwa
dapat dilihat bahwa masing-masing strategi yang
dilakukan oleh remaja memiliki kecenderungan tersendiri.

24
Seperti hal nya strategi intimidation yang merupakan
strategi paling banyak dalam kategori tinggi yang
dilakukan oleh remaja dengan jumlah 50 subjek. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Peluchette
& Karl (2008) yang mengatakan jika remaja cenderung
tidak memperdulikan apa yang diinginkan oleh orang lain
dalam memperlihatkan kesan agar terlihat menarik di
sosial media. Remaja dalam melakukan strategii
intimidation juga tidak ditemukan adanya perbedaan dari
segi tingkatan remaja. karena baik pada remaja madya dan
remaja akhir memiliki karakteristik yang berbeda, seperti
remaja madya yang diusia tersebut sangat membutuhkan
teman yang membuat mereka memperlihatkan sisi
positifnya, selain itu juga remaja madya merupakan masa
dalam seseorang mencari identitas diri (Putro,2017).
Sedangkan pada remaja akhir lebih stabil secara psikis
dan juga lebih matang dalam melakukan sesuatu, sehingga
bisa lebih berfikir realistis dan mengontrol fikiran dan
perasaan.

3. Review Jurnal 3.

Hubungan Self-Esteem (Harga Diri) dengan Perilaku Narsisme


Pengguna Media Sosial Instagram pada Siswa SMA.

Nama Titis Khoufillah Septiani


Kelas Psikologi Sosial E
NIM 200401110201
Dosen Pengampu Aprilia Mega Rosdiana, M.Si
Tema/Materi Self Esteem (Harga Diri)
Judul Artikel Hubungan Self-Esteem (Harga Diri) dengan Perilaku
Narsisme
Pengguna Media Sosial Instagram pada Siswa SMA
Judul Jurnal Jurnal Neo Konseling
Vol. 1, No. 2
Tahun 2019
Penulis Cici Guspa Dewi, Yulidar Ibrahim
Kata Kunci Self esteem, Narsisme, Instagram
Latar Belakang Di era modern seperti saat ini, telah diciptakan internet
yang memiliki akses penggunaan bagi siapapun itu seperti
media sosial. Media sosial sebagai platform yang
menyediakan berbagai konten-konten di internet dengan
kapasitas besar dan terus berkembang karena sangat

25
aktifnya interaksi antar penguna di dalamnya. Salah satu
platform sosial media adalah Instagram. Penggunaan
Instagram bisa digunakan oleh berbagai kalangan,
termasuk remaja. Prayitno (2006) mengemukakan
Idealnya remaja berkembang dengan baik, tidak
menampilkan perilaku yang mengarah pada perilaku
negatif. Tingkah laku negatif bukan perkembangan remaja
yang normal, remaja yang berkembang dengan baik maka
akan menampilkan perilaku yang positif. Di dalam
penggunaan platform Instagram, untuk menumbuhkan
eksistensi di media sosial instagram, remaja mengunggah
foto diri (selfie) atau video yang menarik tentang dirinya
di media sosial instagram disertai dengan caption atau
judul yang memperkuat karakteristik foto yang diunggah.
Hal tersebut dilakukan agar dapat memikat pengguna lain
untuk dapat menimbulkan kesan yang baik dengan
mengharapkan melalui pemberian komentar atau tombol
“suka”. Sehingga terkadang, disadari maupun tidak,
terkadang disaat terdapat moment terutama pada kalangan
remaja ketika sedang berkumpul dengan teman-temannya
bukan banyak membahas suatu topik, tetapi lebih banyak
untuk berfoto lalu mengeditnya dan mengunggahnya di
media sosial instagram, yang mana ini merupakan bentuk
perilaku narsime. Narsisme adalah cinta diri dimana
memperhatikan diri secara berlebihan, memiliki
keyakinan yang berlebihan tentang dirinya, seperti fantasi
akan keberhasilan dan kekuasaan, cinta ideal atau
pengakuan akan kecerdasan atau kepandaian. Individu
narsisme memanfaatkan hubungan sosial untuk mencapai
popularitas, selalu asyik dan hanya tertarik dengan hal-hal
yang menyangkut kesenangan diri sendiri. Hal ini
berkaitan dengan self esteem seseorang terutama remaja
yang secara fisik dan psikisnya belum matang, dimana
mereka ingin menunjukan eksistensinya di Instagram
melalui mengunggah dirinya maupun kegiatannya
dilakukan secara berlebihan. Self-esteem dianggap
sebagai hasil evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan
memandang dirinya, bagaimana sikap individu dalam
menerima, menolak, dan indikasi kepercayaan individu
terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan serta
keberhargaan menurut standar nilai pribadinya.
Metode Jenis penelitian yang digunakan merupakan metode
kuantitatif dengan pendekatan deskriptif korelasional yang
bertujuan untuk menguji signifikansi hubungan self-
esteem dengan perilaku narsisme pengguna media sosial
instagram pada siswa. Subjek penelitian ini 50 siswa SMA
Negeri 1 Gunung Talang yang teridentifikasi sebagai siwa
yang memiliki kecendrungan perilaku narsisme.

26
Instrumen yang digunakan adalah (1) inventori (CFSEI)
untuk self-esteem (2) angket perilaku narsisme pengguna
media sosial Instagram dengan model Skala Likert.
Hasil a. Self-esteem siswa ditinjau dari aspek general
selfesteem, social self-esteem, dan personal self-
esteem, berada pada kategori rendah.
b. Perilaku narsisme pengguna media sosial
instagram pada siswa SMA ditinjau dari aspek
pandangan yang dibesar-besarkan mengenai
pentingnya diri sendiri, terfokus pada
keberhasilan dan kecantikan diri, kebutuhan
ekstrem untuk dipuja, perasaan kuat bahwa
mereka berhak mendapatkan segala sesuatu,
kecendrungan memanfaatkan orang lain, dan iri
kepada orang lain berada pada kategori narsis.
c. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara
self-esteem dengan perilaku narsisme pengguna
media sosial instagram pada siswa SMA dengan
koefisien korelasi -0,548, yang berarti semakin
rendah tingkat self-esteem (harga diri) maka
semakin tinggi perilaku narsisme pengguna
media sosial instagram pada siswa, dan
sebaliknya semakin tinggi self-esteem siswa
maka semakin rendah perilaku narsime pengguna
media sosial instagram pada siswa SMA.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat diketahui bahwa
self-esteem adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
perilaku narsis. Individu dengan kepribadian narsis
mempunyai kebutuhan untuk mendapat apresiasi dan
penghargaan diri demi terbentuknya self-esteem. Inilah
alasan mengapa seseorang menggunakan media sosial
seperti instagram yaitu untuk memenuhi semua kebutuhan
tersebut. Senada dengan itu Gerald, dkk (2004: 587)
menjelaskan bahwa anak yang diabaikan dengan cara
tidak mengembangkan harga diri yang terinternalisasi dan
sehat serta sulit menerima berbagai kekurangan mereka.
Maka mereka berkembang menjadi orang dengan
kepribadian narsis, berjuang untuk melambungkan rasa
diri mereka dengan mengejar cinta dan penghargaan dari
orang lain tanpa henti.
Relevansi Jurnal ini dipilih karena rasa ingin tahu penulis mengenai
topik yang menyangkut permasalahan konsep self esteem
terutama didalam diri seseorang/kelompok yang sedang
mengalami masa remaja ditengah perkembangan fisik &
psikisnya yang mungkin masih banyak dirasakan oleh
orang-orang, terlebih hal ini berhubungan dengan media
sosial terutama instagram yang tengah naik daun sebagai

27
konsumsi harian publik, dan bisa menjadi akibat
munculnya kepribadian induvidu, seperti pribadi narsistik
ini yang dipengaruhi oleh self esteem ketika terlibat
menggunakan sosial media yang sangat relate dengan
fenomena sosial yang terjadi didalam kehidupan remaja
zaman sekarang. Juga tahun dibuatnya jurnal ini yang
masih hangat untuk dipelajari lagi dan juga dapat
dikembangkan.

4. Review Jurnal 4.
Gambaran Konsep Diri Pada Siswa SMA Ditinjau Berdasarkan
Jenis Kelamin

Nama: Tifa Sahara R


NIM: 200401110202
Tema/Materi Self

Judul Artikel Gambaran Konsep Diri Pada Siswa SMA Ditinjau Berdasarkan
Jenis Kelamin

Judul Jurnal PSIKOSTUDIA: Jurnal Psikologi

Tahun 2020

Penulis Suprastowo Damarhadi, Mujidin, Ciptasari Prabawanti

Kata Kunci Konsep diri, Jenis Kelamin, Siswa SMA

Metode a. Metode yang digunakan: Peneliti menggunakan


pendekatan kuantitatif, dimana data yang diperoleh
adalah berupa angka dan akan dianalisis.
b. Partisipan: 40 siswa SMA di Yogyakarta.
c. Instrument yang digunakan: Penelitian ini menggunakan
model penelitian survei yang dilakukan dengan tujuan
untuk mendapatkan informasi dari subjek yang diteliti.
d. Metode analisis: Pengumpulan data konsep diri siswa
dilakukan menggunakan skala yang disusun peneliti
berdasarkan teori Rahmat (2011) yaitu aspek fisiologis,
psikologis, psiko-sosial, dan psikospiritual. Skala yang
digunakan disusun menggunakan model likert dengan

28
pilihan jawaban yang bergerak dari rentang 1-5. Aitem
skala terdiri dari 32 aitem yang sudah diuji validitas dan
reliabilitasnya sehingga mampu merefleksikan variabel
konsep diri.

Hasil Mayoritas konsep diri pada siswa SMA X Yogyakarta berada


pada kategori tinggi sebanyak 62,5%. Skor rata-rata konsep diri
laki-laki adalah sebesar 94,40 dan jenis kelamin perempuan
sebesar 82,25. Sedangkan ditinjau melalui aspek fisiologis,
psikologis, psiko-sosial, dan psiko-spiritual tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara laki-laki dengan perempuan.

Relevansi Artikel ini dipilih karena bahasan yang diteliti didalamnya sangat
relevan dengan tema materi yang sedang dipelajari yaitu “Self”,
selain itu jurnal ini masih terbilang baru 2 tahun dipublikasikan
sehingga masih sangat relevan dengan keadaan saat ini.
Keterkaitan dengan materi yang dibahas adalah bahwa artikel ini
membahas mengenai konsep diri pada siswa SMA berdasarkan
jenis kelamin, yang mana konsep diri (self concept) merupakan
salah satu bagian penting dari materi “Self” itu sendiri.

29
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan.
Diri atau self memiliki pengertian yang bermacam-macam. Ardit (dalam
Walgito,1993) menyatakan bahwa diri sebagai suatu potensi sebagai peran sosiai
dan sebagai gambaran diri seseorang. Terdapat beberapa penjelasan tentang self
itu sendiri.
1. Konsep Diri.
Konsep diri seseorang adalah sekumpulan hal-hal yang dipikirkan,
diyakini, dan dipersepsikan seseorang tentang dirinya. Hal ini mencakup
performa akademis, identitas gender, identitas seksual, dan identitas rasial.
Konsep diri merupakan model internal yang mempergunakan penilaian diri
dalam rangka menentukan skema diri seseorang. Hal-hal khusus seperti
kepribadian, keahlian dan kemampuan, hobi dan pekerjaan, karakteristik
fisik dan lain-lain, dinilai dan diaplikasikan kepada skema diri, yang
adalah sekumpulan gagasan mengenai diri seseorang dalam suatu dimensi
khusus.
2. Pengetahuan Diri.
Salah satu hal terpenting dalam mengaktualisasi potensi manusia
adalah apabila seseorang memiliki pemahaman akan dirinya sendiri atau
self-knowledge. Pengetahuan diri adalah suatau cara bagaimana kita
menjelaskan perilaku kita, memperkirakan perilaku kita serta
memperkirakan bagaimana perasaan kita. Jadi, konsep pengenalan diri
(self-knowledge) akan berdampak pada bagaimana individu menghadapi
sebuah masalah yang kompleks dan dihadapi pada waktu yang hampir
bersamaan. Jika tidak ada konsep ini maka akan membuat individu
mengalami kesulitan dan tidak percaya diri pada hal-hal yang dia lakukan.
3. Identitas Personal dan Sosial.
Di dalam kehidupannya pertama individu harus memiliki identitas
personal, atau pengetahuan akan informasi yang kental berkaitannya
dengan dirinya sendiri. Identitas personal gunanya adalah untuk
mendefinisikan dirinya berdasarkan atribut dalam dirinya dengan hal itu
dapat menjadi pembeda diri dengan induvidu yang lain, termasuk dalam
menjalin hubungan interpersonal.
Kemudian, sebagai makhluk sosial, manusia pasti membutuhkan
bantuan orang lain, yang merupakan fitrah sebagai manusia. Oleh karena
itu, lumrahnya dalam menjalin hubungan sosial, seseorang kerap kali
membuat kelompok dan bergabung didalamnya guna melaksanakan
kepentingan kelompoknya.
4. Harga Diri.
Harga diri atau self-esteem seseorang akan menampilkan pada
keseluruhan sikap seseorang kepada dirinya secara positif atau negatif.

30
Seseorang dengan penilaian diri yang positif, maka otomatis akan merasa
nyaman yang menimbulkan rasa kepercayaan diri yang tinggi,
kepercayaan diri yang bagus itu menjadi mempengaruhi perilaku
seseorang dalam bertindak, jika ia sudah percaya diri, maka perkerjaannya
kemungkinan besar akan mengahasilkan yang positif juga.
5. Perbandingan Sosial.
Bahwa individu termotivasi untuk membandingkan diri mereka
sendiri dengan orang lain yang spesifik untuk menilai situasi sosial mereka
sendiri. Dengan melakukan hal tersebut maka terjadi evaluasi yang lebih
tepat mengenai opini maupun kemampuan yang dimiliki dapat tersedia.
Bahwa pilihan seseorang dalam membandingkan dirinya dengan orang lain
depat dipengaruhi oleh self-esteem dimana seseorang yang memiliki self-
esteem rendah mengalami stress, cederung untuk membentuk
perbandingan dengan orang yang dianggapnya memiliki posisi atau
keadaan yang lebih rendah darinya.
6. Presentasi Diri.
Adalah bagaimana usaha-usaha kita yang dilakukan untuk mencapai
tujuan tertentu dengan cara mengontrol informasi tentang diri kita sendiri
yang diberikan kepada orang lain, supaya terciptanya gambaran dan kesan
tentang diri sendiri. Menurut Goffman (1956), individu mempresentasikan
dirinya dalam dua bagian yang berbeda yaitu :
a. Bagian front stage (depan), yakni bagian yang sering kita tunjukkan
secara visual terhadap orang lain.
b. Bagian back stage (belakang), yakni bagian yang ada dalam diri kita
sendiri dimana orang lain tidak bisa melihatnya secara langsung.

31
DAFTAR PUSTAKA

Feist, J. & Feist, G. J. (2010). Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika

Ningsih, T. S & Rizal, G. L (2020) Strategi Self Presentation Pada Remaja


Pengguna Instagram, Padang: Universitas Negeri Padang.

Sapuri, R. (2009). Psikologi Islam: Tutunan Jiwa Manusia Modern. Jakarta:


Rajawali Press.

Sarwono, W., Meinarno, A. (2015). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Tirtawinata, C. M. (2013). Mengenal Dan Menemukan Diri Melalui Kebersamaan


Dengan Orang Lain: Jurnal Humaniora, 4(2), 1309-1319.

32

Anda mungkin juga menyukai