Anda di halaman 1dari 15

Fungsi Pembagian Harta Warisan

Terjadinya pengalihan harta warisan bukanlah semata-mata hanya untuk memperolah pahala ataupun
melaksanakan perintah Allah, akan tetapi pengoperan harta warisan dilakukan mempunyai banyak
manfaat yang tidak hanya untuk kepentingan pribadi, akan tetapi pendistribusian harta warisan
dilakukan mempunyai banyak fungsi antara lain:

a. Warisan termasuk dalam kategori tolong-menolong antar sesama keluarga, mendekatkan


kekeluargaan dan mengeratkan kasih dan sayang dalam keluarga.

b. Warisan adalah infak ijbari/ tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang berhak menerimanya, terkecuali
ia menyumbangkan hartanya kepada orang lain.

c. Pembagian warisan kepada para ahli waris dengan batas-batas yang sudah ditentukan, juga
merupakan ijbari/ tidak dapat dirubah ataupun dibatalkan.

d. Penetapan syariah Islam tentang pembagian harta warisan sesuai dengan ketentuan kehendak dan
kepentingan setiap ahli waris, anak lebih banyak memperoleh bagian dari ayah dan ibu, sebab anak
apalagi yang masih kecil lebih butuh kepada bantuan untu melanjutkan hidup dan kehidupan mereka.
Berbeda dengan ayah dan ibu, biasanya yang sudah tua sudah tidak terlalu mementingkan hidup
ataupun kehidupan di dunia. Begitu juga halnya dengan laki-laki mereka lebih banyak menerima bagian
dari perempuan sebab kewajiban laki-laki lebih banyak dan lebih besar dari kewajiban perempuan, yang
wajib memberi nafkah terhadap isteri dan anknya adalah laki-laki. Dengan ini jelas bahwa menyamakan
bagian laki-laki dan peremuan merupakan tindakan yang tidak adil.

e. Mendahulukan keluarga yang terdeka

Dasar hukum waris islam


1. dasar hukum waris islam BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan
kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang, Jika dianalisa
kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang agama yang khusus
dalam bidang agama islam terutama bidang fiqih sangat mendasar sekali banyak orang yang
belum faham khususnya dalam ilmu faroid dan mawaris. B.Rumusan masalah1. sumber hukum
waris islam.2. sumber hukum waris nasional3. hukum waris dalam kompilasi hukum waris
nasional.4. hubungan waris islam dengan hukum waris nasional. C. Tujuan Penulisan Adapun
tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:1. Tujuan Umum Memperoleh gambaran tentang
bagaimana pengetahuan tentang agama khususnya dalam bidang agama dalam pengetahuan
sumber hukum islam dalam ilmu mawaris atau faroid.2. Tujuan Khusus:Agar masyarakat lebih
memahami dan mengetahui seberapa penting dasar – dasar hukum islam khususnya dalam
bidang kewarisan harta benda. BAB II A.sumber hukum waris islam Hukum islam telah
menerangkan dan mengatur hal-hal ketentuan yang berkaitan dengan pembagian harta warisan
dengan aturan yang sangat adil sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam al-quran dan al-
hadist,dalam hukum warisini telah ditetapkan dengan rinci bagian masing-
2. masing ahli waris baik laki-laki ataupun perempuan mukai dari
bapak,ibu,kakek,nenek,suami,istri,anak,saudara,dan seterusnya.adapun ketetapan mawaris
dijelaskan pula dalamhadist.hanya hukum warislah yang dijelaskan secara terperinci dalam al-
quran sebab warismerupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dalam islam ataupun
dalam negara serta dibenarkan adanya oleh Alloh swt. Adapun sumber hukum ilmu mawaris
adalah al-quran dan hadist atau sunah rosul kemudianijtihat para ulama bukan bersumber kepada
pendapat seseorang yang terlepas dari jiwa al-quranmaupun sunah rosul.adapun sumber-sumber
hukum islam yang berhubungan dengan masalahmawaris ,antara lain;A.al-quran surah an-nisa
ayat 7 ۡ ‫كثرصبا‬ ۚ ‫للرجال ن ب مما ترك ٱو ٲ لدان وٱأل ربون وللنس اء ن ب مما ترك ٱول ٲلدان وٱل أ ربون مما ۡقلم ن ۡۡو‬
ۡ ۡ ۡۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ‫ۚۡ ۡ ي ۡۡۡ ۡ ۡ ۡ ۡص ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡۡ ۡۡ ۡ ق ۡ ۡ ۡ ۡۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡص‬
Bagi laki-laki ada hak “‫ )م ف ضا ۡ و ۡ ر‬٧( ‫ۡ ۡ ۡ ۡۡ ۡۡ ۡ ق ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ه أ ۡ ۡ ۡ ن ۡ ي ل ي‬
bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanitaada hak bagian [pula]
dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyakmenurut bahagian
‫ يوصيكم ٱل فى دو‬yang telah ditetapkan”. (7)B.al-quran surah an-nisa ayat 11-12ۡ ‫للذكرم م‬ ۡ ‫ٱل حظ ل‬
‫فلها ٲحة و تۡۡ وإن ترك ما ثلثا فلهن ٱثنتن ق ف ۡ نسء كن فإن أنثين‬ ۡ ٰۡ
ۡ ۡ ۡ ۡ ‫ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ل ۡـڪ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ث‬
ۡۡۡۚۡ ۡ‫ي‬ ‫ۡۡ ۡ و‬ ۡ ۡۡ ۡ ‫ولبوه لكل و حد ۡم ما ٱلسدس مما ترك إن كان‬ ۚ ۡ ۡ ‫د ۡ ۡ ي ا ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ أ ۡ ٱل‬
ۚۡۡ ۡۡۡ ‫كان له ۥ ولد ۡفم يكن له ۥ ود وورثه ۥ ۡ أبواه فلم ۡ ٱلثلث فإن‬ ۚۡۡ ‫ۡ ل إن‬ ‫ه‬ ۡۡۡۡ‫ل‬
ۡ ۡ
ۡ ۡ ۡ ۡ ۡۡ ۡ ۡ ‫كان ا كۡۡ يه ل كۡۡ ۡۡۡ كۡۡ ي ۡۡ أ هۡ ة د منص ۡ ۡ ي ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡٲن ۡۡه ۡ ۡ ف‬
ۡ ‫له ۡإخوة فلمه ٱلسدسن بعوصييوصى ب ۡۡ ۡ ۡ او ۡۡدن ءاب اؤم وأبن اؤم ۡۡ تدرون ۡأم ۡۡ أ قرب لم ۡۡ نفع فري ة من‬
ۡۚ ۡ ‫ۡ ض‬ ۡ ۚ ۢ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ‫ ) ۞ )ٱۖلن ٱل كان عليما حكما‬١١ۡۡۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡۡ ۡ ۡۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ‫ۥ‬
ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ‫ولــم نص ما ترك أزجــم إن لم يكن لهن ولد م ۡۢ ۡۚۡي ۡ ۡ ڪ ۡ ع‬
‫ٲڪ ۡۡو‬
ۡ ۡۡ ۡۡ ‫ۡڪ‬ ۡ ۚ ‫ــانۡۡۡ ۡ ۡ ۡ ف ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ و ۡ ۡ ۡ ۡۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡۡ بد ۡ ترنن مما ٱلربع م ڪڪ‬
‫ود مۡ ل لكملــان ۡۡۡ لم إن ترك مما ٱلربع لنفإن ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡۡد ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ وصية يوصين بها أوين لفل لهن‬
‫مما ٱلثمن فلهن‬ ۡ ‫ل ۡۡ ڪڪۚۡ ۡۡۡ ۡ ۡ ۡۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ د ۡو ه ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ تم ۡ ۡ يــن ۡ ۡ و ۡد‬
ۡۚۡۡۡۡۡۡ‫ۡ ۡفإن ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡۡ ۡۡۡ ۥ ۡ أ ۡۡو ۡۡ أتخ أ ۡ خ ۡ ۡ ۡ ۡۡ ۡۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡۡــت م ڪ‬
ۡۡ ۡ ‫ڪلـ ۡۡ ۡۡۡ رجيو كان ڪتر ۡمن بعوصية توصون بها أوين لثۡ ۡۡۡۢۡۚۡۡ د ۡ ۡ ۡ ۡۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ د ۡو‬ ٰۡ ‫أو لة‬
‫ذ أــث ا ۡۡأ ۡۡ ۡ ۡ ۡ ۡإن ۡ ۡ ۡ ۡ ر ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ وله ٱمرة‬ ‫أ ا ۡۡۡۡۢۡۚۡ صيةۡۡ ڪ ڪمۚۡۡ ٲ ء‬
ٰۡ ۡ
ۡ ۡ ۡ ‫د ۡ فلكل و حدنهما ٱلسدس فإن ۡــانو ۡر من ۡ لك فهم شرــافى ٱلثلثن بعوٲڪيوصىہۡ و‬ ‫ۡۡۡ ۡ ب‬
ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡۡ ۡ ۡ ۡ ‫ )) ۡۡد ن غ ير م ۡ ۡار وصة من ٱلوٱل عليم ۡلم ۡ ۡ ي ۡ ۡۡ ۡ ۡ ۡض‬١٢ۡ ۡ ‫ۡۡۡ ۡ م‬
ۡ ۡ ‫“ ي ۡۚۡۡ ۡ ۡ ح ۡ ي‬Allah mensyari’atkan bagimu tentang [pembagian pusaka untuk] anak-
anakmu. Yaitu:bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan;
dan jika anak
3. itu semuanya perempuan lebih dari dua maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yangditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.
Danuntuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jikayang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan
iadiwarisi oleh ibu-bapaknya [saja], maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal
itumempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. [Pembagian-
pembagiantersebut di atas] sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau [dan] sesudah dibayar
hutangnya.[Tentang] orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yanglebih dekat [banyak] manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya AllahMaha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (11) Dan bagimu [suami-suami]
seperdua dari hartayang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.
Jika isteri-isterimu itumempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudahdipenuhi wasiat yang mereka buat atau [dan] sesudah dibayar
hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyaianak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yangkamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau dan sesudah dibayar
hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayahdan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
seibu saja atauseorang saudara perempuan seibu saja maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara ituseperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka
merekabersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudahdibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat kepada ahli waris . Allah
menetapkan yangdemikian itu sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagiMaha Penyantun”(12)C.al-quran surah an-nisa ayat 176 ‫ۥ ود وله ۥۡ أت فلها نف ما ترك‬
ۡ ۡ ‫وهو يرث ۡه ا ۡ ۡۡم يكن ۡ ۡ ۡۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡۡ ۡۡۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۚۡۡ ۡ ۚۡۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ إن ل ۡ ص ۡ خ ۡۡ ل‬
‫تييف ۡۡم فى ٱ لكل‬
ۚ ‫يستفنك قل ٱ‬ ۚ ‫لـةإنۚۡۡ ۡ ۡ ۡۡ ۡ ۡ ۡ ۡ تو ۡ ۡ ۡ ۡ ل ۡۡ ۡۡ ۡۡڪ ۡ ۡۡ ٰۡۡۡۡۡ ۡ ۡ ۡ ٱم‬ ۚ ۡ ‫هلك رؤا‬
ۡ
‫ٱل ل ءۚ و ر وة إ ا وي ۡ ۡ ۡۡ ۡ ۚۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡۡ ۡ فإن ۡ ۡ ۡ نتين ۡۡ ۡ ۡ ۡۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ له لس‬ ۚ
ۚ ‫تركإن مما ٱلثلثان‬
‫ٱث ۚۡفلهما كانتاۚۡلها ول ۚد ڪۡ ل ل ۚن‬ ۚ ‫نسافللذكر‬ ۚ ۡۚ ‫كانو ۚخ‬
ۚ ‫جال‬ ۚ ۡۚۡۡۡۡۡ‫ييۡۡٱۚۡث‬
ۚ ‫مثحظ‬ ۡۚ ۡۡۡۡۡۡ ۡ‫أن ۡ يب أن م‬
‫( ۡ ۡ ۡ ۡ ين‬١٧٦ ) ۡۡ ۡ ۡ ۡۡ ۡ ‫تضلوا وٱل بك ۡۡ شىء علم‬ ۚ ۡ ‫يۡۡۢل‬
4. “Mereka meminta fatwa kepadamu [tentang kalalah [1]. Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah [yaitu]: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak
dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai [seluruh harta saudara
perempuan], jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka
[ahli waris itu terdiri dari] saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara
laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan [hukum ini]
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (176) Adapun
dasar atau sumber hukum waris yang berasal dari sunah rasul ataupun hadist di antaranya;1. yang
artinya”alloh telah menurunkan hukum waris bagi saudara-saudaramu yang perempuan itu dan
alloh telah menerangkan bahwa mereka mendapat bagian dua pertiga dari hartamu”2. yang
artinya”bagi yang membunuh tidak mendapatkan hak waris atau bagian harta warisan”(HR.An
nasai)3. yang artinya”seorang muslim tidak berhak mendapat bagian harta warisan dari seorang
kafir,dan sebaliknya seorang kafir tidak berhak mandapat bagian harta warisan dari seorang
muslim”(HR.jamaah ahlu hadist)4. Dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW, beliau bersabda:
"Berikanlah faraidh (bagian-bagian yang telah ditentukan) kepada yang berhak, dan selebihnya
berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat." (HR Bukhari dan
Muslim)kesimpulan atau intisari hadits ini: Dalam pembagian warisan, ahli waris yang mendapat
bagian lebih dahulu adalah ahli waris golongan ashhabul-furudh (ahli waris yang bagian mereka
sudah tertentu), kemudian kalau ada sisanya baru diberikan kepada ahli waris golongan ‘ashabah
(ahli waris penerima sisa).5. Dari Jabir bin Abdullah RA, dia berkata: Janda (dari Saad RA)
datang kepada Rasulullah SAW bersama dua orang anak perempuannya.Lalu ia berkata: "Wahai
Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Saad yang telah syahid pada Perang Uhud.
5. Paman mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-
apa untuk mereka. Keduanya tidak dapat kawin tanpa harta." Nabi SAW bersabda: "Allah akan
menetapkan hukum dalam kejadian ini." Kemudian turun ayat-ayat tentang warisan. Nabi SAW
memanggil si paman dan berkata: "Berikan dua pertiga untuk dua orang anak Saad, seperdelapan
untuk isteri Saad, dan selebihnya ambil untukmu." (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan
Ahmad)Kesimpulan atau intisari hadits ini:Dalam kasus pembagian warisan yang ahli warisnya
terdiri dari dua orang anak perempuan, isteri, dan paman, maka kedua anak perempuan mendapat
2/3 bagian, isteri mendapat 1/8, dan paman menjadi ‘ashabah bin-nafsi yang mendapat sisanya.6.
Dari Huzail bin Surahbil RA, dia berkata: Abu Musa RA ditanya tentang kasus kewarisan
seorang anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, dan seorang saudara perempuan.
Abu Musa RA berkata: "Untuk anak perempuan setengah, untuk saudara perempuan setengah.
Datanglah kepada Ibnu Masud RA, tentu dia akan mengatakan seperti itu pula." Kemudian
ditanyakan kepada Ibnu Masud RA dan dia menjawab: "Saya menetapkan berdasarkan apa yang
telah ditetapkan oleh Nabi SAW. Yaitu untuk anak perempuan setengah, untuk cucu perempuan
seperenam sebagai pelengkap dua pertiga, sisanya untuk saudara perempuan." (HR Bukhari, Abu
Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)Kesimpulan atau intisari hadits ini:Hadits ini menjadi dasar
hukum yang menetapkan hak waris cucu perempuan (dari anak laki-laki) yang mendapat 1/6
bagian jika bersama dengan seorang anak perempuan yang mendapat 1/2 bagian. Sementara itu,
saudara perempuan mendapat sisanya (dalam hal ini, saudara perempuan menjadi ‘ashabah
ma’al-ghair dengan sebab adanya anak perempuan dan/atau cucu perempuan) Kembalilah dulu,
nanti saya akan bertanya kepada orang lain tentang hal ini." Mughirah bin Syubah RA berkata:
"Saya pernah menghadiri majelis Nabi SAW yang memberikan hak nenek sebanyak seperenam."
Abu Bakar RA berkata: "Apakah ada orang lain selain kamu yang mengetahuinya?" Muhammad
bin Maslamah RA berdiri dan berkata seperti yang dikatakan Mughirah RA. Maka akhirnya Abu
Bakar RA memberikan hak warisan nenek itu." (HR Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu
Majah)Kesimpulan atau intisari hadits ini:Hadits ini menjadi
6. dasar hukum yang menetapkan hak waris nenek, yaitu nenek mendapat 1/6 bagian jika
cucunyameninggal dengan syarat tidak ada ibu. Demikianlah beberapa hadits Nabi SAW yang
dapat dijadikan sebagai pelengkap sumberhukum waris Islam setelah Al-Qur’an. Dari ayat-ayat
mawaris dan hadits-hadits mawaris, makapara ulama telah menyusun satu cabang ilmu dalam
agama Islam yang diberi nama Ilmu Faraidhatau Ilmu Mawaris yang menjadi pedoman bagi
umat Islam untuk melaksanakan pembagianharta warisan sesuai dengan petunjuk Allah SWT
dan bimbingan Rasulullah SAWijtihad Meskipun Al-Quran dan Sunnah Rasul telah memberi
ketentuan terperinci tentangpembagian harta warisan, tetapi dalam beberapa hal masih
diperlukan adanya ijtihad, yaituterhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam kedua sumber
hukum tersebut. Misalnya mengenaibagian warisan orang banci, harta warisan yang tidak habis
terbagi kepada siapa sisanyadiberikan, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan
duda atau janda.B.SUMBER HUKUM WARIS NASIONALDi negara kita RI ini, hukum waris
yang berlaku secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kiniada 3 (tiga) macam hukum waris
yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yaknihukum waris yang berdasarkan
hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa .Hal iniadalah akibat warisan hukum yang
dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk HindiaBelanda dahulu. Kita sebagai negara yang
telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentumendambakan adanya hukum waris sendiri yang
berlaku secara nasional (seperti halnya hukumperkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974),
yang sesuai dengan bangsa Indonesia yangberfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan aspirasi
yang benar-benar hidup di masyarakat.Karena itu menginggat bangsa Indonesia yang mayoritas
beragama Islam. Yang tentunyamengharapkan berlakunya hukum Islam di Indonesia, termasuk
hukum warisnya bagi merekayang beragama Islam, maka sudah selayaknya di dalam menyusun
hukum waris nasional nantidapatlah kiranya ketentuan-ketentuan pokok hukum waris Islam
dimasukkan ke dalamnya,dengan memperhatikan pula pola budaya atau adat yang hidup di
masyarakat yang bersangkutan.Adapu beberapa pasal yang mengatur tentang hukum kewarisan
di negara kita terdapat padahukum perdata
7. Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:1. Hukum keluarga2. Hukum harta
kekayaan3. Hukum benda4. Hukum Perikatan5. Hukum WarisPenempatan hukum waris terdapat
pada Pasal 528 danPasal 584 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(KUHPerdata),dan pada
perundang-undangan kompilasi hukum islam atau (KHI). Didalamnya subjek hukum waris
terbagi 2 (dua) yakni :• Perwaris, yakni yang meninggalkan harta dan diduga meninggal dengan
meninggalkan harta.• Ahli waris, yakni mereka yang sudah lahir pada saat warisan terbuka, hal
ini berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata. Dalam hal ini penggolongan ahli waris berdasarkan garis
keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam KUHPerdata, antara lain :1. Golongan 1,
sebagaimana disebutkan pada Pasal 852 sampai Pasal 852a KUHPerdata;2. Golongan II,
sebagaimana disebutkan pada Pasal 855 KUHPerdata;3. Golongan III, sebagaimana disebutkan
pada Pasal 850 jo 858 KUHPerdata; dan4. Golongan IV, sebagaimana disebutkan pada Pasal 858
sampai dengan Pasal 861 KUHPerdata. A. GOLONGAN I. Dalam golongan ini, suami atau istri
dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang
mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼
bagian. Ayah,ibu,dan saudara baik ayah maupun ibu. B. GOLONGAN II Golongan ini adalah
mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak.
Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara
pewaris.
8. Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua
saudarakandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua
tidakboleh kurang dari ¼ bagianC. GOLONGAN IIIkakek ,nenek keduanya.Dalam golongan ini
pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkanwaris adalah keluarga
dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah.Contoh bagan di atas yang mendapat
warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu.Pembagiannya dipecah menjadi ½
bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.D. GOLONGAN IVPada golongan ini
yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yangmasih hidup.
Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain danderajatnya paling
dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya. Hukum waris adat Hukum waris adat
Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yangbertalian dengan dari
abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dantidak berwujud dari
generasi ke generasi. Selain itu, pendapat Soepomo ditulis bahwa HukumAdat Waris memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkanbarang-barang harta
benda yang berwujud dan yang tidak berwujud (immateriele goederen), darisuatu angkatan
generasi manusia kepada keturunnya.Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa
Hukum Waris Adat mengatur prosespenerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun
yang tidak berwujud dari pewarispada waktu masih hidup dan atau setelah meninggal dunia
kepada ahli warisnya.Adapun sifat atsau ciri Hukum Waris Adat dapat diperbandingkan dengan
sifat atau prinsiphukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah : 1. Harta warisan
dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilaiharganya, tetapi
merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurutjenis macamnya
dan kepentingan para ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat danhukum Islam harta
warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
9. 2. Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak,
sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam. 3. Hukum Waris Adat
tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan
segera dibagikan. C.HUKUM WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM Kompilasi
hukum islam tersebut adalah pengumpulan dasar-dasar hukum islam yang di teraturkan dan di
jadikan satu atau di bukukan untuk selanjutnya dijadikan acuan hukum dasar nasional.Kompilasi
Hukum Islam (KHI) disahkan melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1991 tanggal 10 Juni 1991,KHI memuat tiga buku yaitu: buku I HukumPerkawinan (Pasal 1-
170), Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214), Buku III HukumPerwakafan (Pasal 215-
229).Lihat Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (t. tp.,: Depag RI, 1998/1999).Saat
ini ada pembahasan tentang RancanganUndang-Undang (RUU) Republik Indonesia tentang
Hukum Terapan Peradilan Agama yangmemuat 215 pasal yang terdiri dari ketentuan umum
(pasal 1), perkawinan (pasal 2-172),kewarisan (pasal 173-215) yang menurut pengamatan
penulis dalam hal perkawinan dan kewarisan RUU tersebut tidak lain adalah metamorfosis dari
KHI. Dalam kompilasi hukum islam telah dijelaskan pada pasal 211c(khi) “Hibah dari orang
tuanya pada anaknya dapat di perhitungkan sebagai warisan” kesimpulan pasal tersebut dapat di
artikan bahwa sesuatu yang di hibahkan dari orang tua dapat dikatakan sebagai warisan,kebiasan
pemberian sesuatu pada anaknya baik berupa barang ataupun yang lain yang telah mejadi
kebiasan atau yang lebih kita kenal dengan urf suatu adat kebiasaan yang telah berlangsung telah
lama atau tradisi .urf atau adat di bagi dalam dua hal :1. urf sahih ialah sesuatu yang telah dikenal
dan tidak berlawanan dengan hukum syara islam.2. urf fasuh ialah sesuatu yang telah dikenal dan
berlawanan dengan hukum syara islam.dan hal ini tidak dapat di pelihara.Pengumpulan sumber-
sumber hukum isalam yang kemudian di jadikan satu atau di bukukan dapat digunakan sebagai
acuan hukum islam terutama dalam bidang mawaris. kompilasi hukum nasional dalam hukum
waris islam dapat kita lihat dalam hukum kompilasi islam yang telah sedikit di terangkan di
bagian atas sebagai dasar hukum nasional yang saat ini mulai di jalankan dan jadikan sebagai
hukum negara misalnya saja dalam bab waris ini,dimana telah telah tertulis dengan jelas pada
kompilasi hukum islam (KHI) seperti Pewaris bab1Pasal 171c KHI dan ahli
10. waris pasal 171,173,174,175 KHI, Kompilasi Hukum Islam (KHI) disahkan melalui Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991,KHI memuat tiga buku
yaitu: buku I HukumPerkawinan (Pasal 1-170),Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214),Buku
III HukumPerwakafan (Pasal 215-229). D.HUBUNGAN ANTARA WARIS ISLAM DENGAN
HUKUM WARIS NASIONAL Hubumgan antara keduanya sanga erat hal ini karna keduanya
mebahas tentang perpindahan waris kepada tangan orang lain berupa barang-barang peninggalan
dalam keadaan bersih, artinya sudah dikurangi dengan pembayaran utang-utang dari orang yang
meninggalkan warisan serta dengan pembayaran-pembayaran lain yang disebabkan oleh
meninggalkanya orang yang meninggalkan warisan tersebut.telah di jelaskan di atas tentang
hukum waris nasional dan hukum waris islam dimana Di negara kita RI ini, hukum waris yang
berlaku secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang
berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang berdasarkan hukum
Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa dan yang paling dominan dijadikan hukum adalah
hukum waris islam namu pemerintah telah mengesahkan beberapa hukum islam yang di jadikan
undang- undangyaitu kompilasi hukum islam(KHI) salah satunya yang didalamnya memuat
beberapa hukum islam dalam bidang-bidang tertentu khususnya dalam bidang waris.Begitu juga
dengan hukum perdata eropa yang di gunakan di negara kita sebagai acuan hukum nasional
berbagai bidang seperti halnya bab mawaris yang termasuk dalam hukum perdata. Hal inilah
yang membuat hukum nasional dan hukum waris islam erat kaitanya antara satu dengan yang
lain dan saling berhubungnan dalam penetapan hukum di negara kita ini,namun kebanyakan dari
penetapan hukum yang berada di andonesia ini lebih banyak menggunakan hukum islam dari
pada hukum lain. E.KESIMPULAN• dasar hukum islam berasal dari ketentuan syara yang telah
tercantum jelas dalam al-quran dan sunah rasul ataupu hadist yang telah di ruwayatkan, dimana
dasar yang di gunakan dan di jelaskan secara rinci tentang mawaris secara jelas dan rinci dalam
al-quran surah an-nisa.
11. • Sedangkan hukum waris nasional Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara
nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan
diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum
Adat dan hukum Perdata Eropa di mana saat ini yang lebih sering di gunnakan adalah hukum
waris nasional.• Hukum nasional dalam kompilasi hukum islam sudah banyak di gunakan dan
banyak hukum- hukum islami di kumpulkan dan di jadikan satu berbentuk buku dan disahkan
sebagai undang- undang(KHI)• Hubungan antara kedua hukum tersebut baik waris nasional
maupu waris islam sangat erat kaitanya hal ini karna negara kita belum terbentuk hukum waris
yang berlaku dan masih menggunkan hukum peninggalan bangsa eropa,dan hukum adat masing-
masing Daftar pustaka Fiqih al-hikmah,akik pustaka,surabaya. Al-quran dan
terjemah,mahkota,surabaya. Al-quran htp//www.al-quran exsploler.com. Kamus besar bahasa
indonesia,htp//www.kamus bahasa.com Anderson, J. N. D., Hukum Islam Di Dunia Modern,
terj. Machnun Husein, Surabaya: Amarpress, 1991. Anwar, Syamsul, “Pengembangan Ilmu
Syari‟ah Dan Model-Model. Syari‟ah dan Metodologi Penelitiannya Fakultas Syari‟ah IAIN
SunanKalijaga Yogyakarta tanggal 22 Nopember 2000. Anonim, Yurisprudensi (Peradilan
Agama dan Analisa), Jakarta: Yayasan AlHikmah,1995. Anonim, Profil Peradilan Agama,
Jakarta, Dirjen Badilag MARI, 2008.

Namun, masih ada saja sebagian dari masyarakat kita malah terjadi cekcok dengan masalah
warisan ini. Sangat miris, padahal hikmah dari paembagian warisan ini sangat bermanfaat, di
antaranya yaitu:

1. Menghindarkan terjadinya persengketaan dalam keluarga karena masalah pembagian harta


warisan;

2. Menghindari timbulnya fitnah. Karena salah satu penyebab timbulnya fitnah adalah
pembagian harta warisan yang tidak benar;

3. Dapat mewujudkan keadilan dalam masyarakat;

4. Memperhatikan orang-orang yang terkena musibah karena ditinggal oleh anggota


keluarganya;

5. Mununjang tinggi hukum Allah dan sunnah Rasulullah.

Adapun masalah berkenaan dengan pembagian harta waris bagi perempuan yang hanya
mendapat setengah dari bagian laki-laki, di dalamnya terdapat hikmah yang mendalam. Salah
satunya ialah kenyataan bahwa lelakilah yang oleh syariat dibebankan tanggung jawab untuk
memberi nafkah keluarga dan membebaskan perempuan dari kewajiban tersebut, meskipun
perempuan boleh saja ikut mencari nafkah.

Kaum lelaki juga diwajibkan oleh agama islam untuk mengeluarkan mas kawin untuk diberikan
kepada istrinya sebagai jaminan cinta kasih sayangnya ketika keduanya menikah, sedangkan
perempuan tidak dibebani apa-apa

Oleh sebab itu, maka sudah tepat dan adil jika dalam pembagian warisan, laki-laki mendapatkan
bagian yang melebihi bagian perempuan. Karena jika tidak demikian, maka hal itu justru akan
menzalimi kaum laki-laki. Meskipun waris bagi perempuan lebih sedikit, sebenarnya akan
tertutupi dengan maskawin dan nafkah yang menjadi haknya dari seorang suami.
Perlu juga diketahui bahwa dalam pembagian waris bagi perempuan tidak selalu mendapat
bagian yang lebih kecil dari bagian waris lak-laki. Ada kondisi-kondisi tertentu yang
menyebabkan pembagian warisan bagi perempuan sama besarnya dengan bagian waris laki-laki.

Contohnya adalah jika seseorang yang wafat meninggalkan ayah, seorang ibu, dan anak, maka
pembagiannya mengikuti firman Allah swt yang berbunyi,

“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dar harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak…” (QS. An-Nisa`:11)

Bahkan dalam kondisi tertentu, bagian waris perempuan bisa lebih banyak dibandingkan dengan
waris laki-laki. Seperti seorang perempuan anak tunggal yang ditinggal mati oleh ayahnya,
memiliki setengah dari harta waris ayahnya, atau dua orang anak perempuan yang ditinggal mati
oleh ayahnya, berhak mewarisi duapertiga dari harta ayahnyam, jika mereka tidak memiliki
saudara laki-laki. Jika pun si mayit memiliki seorang ayah, maka ayahnya hanya berhak
mewarisi seperenam dari harta si mayit. Aturan in termaktub dalam firman Allah swt yang
berbunyi:

“… Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka duapertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh
harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan…” (QS An-Nisa`:11)

Islam telah mengatur hak waris dengan sedemikian rupa dengan memperhatikan keadilah kepada
pihak keluarga yang ditinggalkan dengan permasalahan yang akan di hadapi tidak peduli pada
zaman apapun. Hal ini guna menjamin keadilan dan keharmonisan dalam sebuah keluarga
sehingga tidak terjadi perselihan, seperti yang kerab terjadi sekarang ini. []

D. Kajian terhadap Ayat-ayat Waris


Pertama:
Firman Allah yang artinya "bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan," menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
Apabila pewaris (orang yang meninggal) hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan
seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untuk keduanya. Anak
laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan anak perempuan satu bagian.
Apabila ahli waris berjumlah banyak, terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan,
maka bagian untuk laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan.
Apabila bersama anak (sebagai ahli waris) ada juga ashhabul furudh, seperti suami atau
istri, ayah atau ibu, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah ashhabul furudh.
Setelah itu barulah sisa harta peninggalan yang ada dibagikan kepada anak. Bagi anak
laki-laki dua bagian, sedangkan bagi anak perempuan satu bagian.
Apabila pewaris hanya meninggalkan satu anak laki-laki, maka anak tersebut mewarisi
seluruh harta peninggalan. Meskipun ayat yang ada tidak secara sharih (tegas)
menyatakan demikian, namun pemahaman seperti ini dapat diketahui dari kedua ayat
yang ada. Bunyi penggalan ayat yang dikutip sebelumnya (Butir 1) rnenunjukkan
bahwa bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian anak perempuan. Kemudian
dilanjutkan dengan kalimat (artinya) "jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta". Dari kedua penggalan ayat itu dapat ditarik kesimpulan
bahwa bila ahli waris hanya terdiri dari seorang anak laki-laki, maka ia mendapatkan
seluruh harta peninggalan pewaris.
Adapun bagian keturunan dari anak laki-laki (cucu pewaris), jumlah bagian mereka
sama seperti anak, apabila sang anak tidak ada (misalnya meninggal terlebih dahulu).
Sebab penggalan ayat (artinya) "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu", mencakup keturunan anak kandung. Inilah ketetapan
yang telah menjadi ijma'.
Kedua:
Hukum bagian kedua orang tua. Firman Allah (artinya): "Dan untuk dua orang ibu-
hapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan
ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam."
Penggalan ayat ini menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan seperenam bagian apabila yang meninggal
mempunyai keturunan.
Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka ibunya mendapat bagian sepertiga
dari harta yang ditinggalkan. Sedangkan sisanya, yakni dua per tiga menjadi bagian
ayah. Hal ini dapat dipahami dari redaksi ayat yang hanya menyebutkan bagian ibu,
yaitu sepertiga, sedangkan bagian ayah tidak disebutkan. Jadi, pengertiannya, sisanya
merupakan bagian ayah.
Jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai saudara (dua orang atau lebih), maka
ibunya mendapat seperenam bagian. Sedangkan ayah mendapatkan lima per enamnya.
Adapun saudara-saudara itu tidaklah mendapat bagian harta waris dikarenakan adanya
bapak, yang dalam aturan hukum waris dalam Islam dinyatakan sebagai hajib
(penghalang). Jika misalnya muncul pertanyaan apa hikmah dari penghalangan saudara
pewaris terhadap ibu mereka --artinya bila tanpa adanya saudara (dua orang atau lebih)
ibu mendapat sepertiga bagian, sedangkan jika ada saudara kandung pewaris ibu hanya
mendapatkan seperenam bagian? Jawabannya, hikmah adanya hajib tersebut
dikarenakan ayahlah yang menjadi wali dalam pernikahan mereka, dan wajib memberi
nafkah mereka. Sedangkan ibu tidaklah demikian. Jadi, kebutuhannya terhadap harta
lebih besar dan lebih banyak dibandingkan ibu, yang memang tidak memiliki
kewajiban untuk membiayai kehidupan mereka.
Ketiga:
Utang orang yang meninggal lebih didahulukan daripada wasiat. Firman Allah
(artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya."
Secara zhahir wasiat harus didahulukan ketimbang membayar utang orang yang
meninggal. Namun, secara hakiki, utanglah yang mesti terlebih dahulu ditunaikan. Jadi,
utang-utang pewaris terlebih dahulu ditunaikan, kemudian barulah melaksanakan
wasiat bila memang ia berwasiat sebelum meninggal. Inilah yang diamalkan Rasulullah
saw..
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib: "Sesungguhnya kalian telah membaca firman
Allah [tulisan Arab] dan Rasulullah telah menetapkan dengan menunaikan utang-utang
orang yang meninggal, lalu barulah melaksanakan wasiatnya."
Hikmah mendahulukan pembayaran utang dibandingkan melaksanakan wasiat adalah
karena utang merupakan keharusan yang tetap ada pada pundak orang yang utang, baik
ketika ia masih hidup ataupun sesudah mati. Selain itu, utang tersebut akan tetap
dituntut oleh orang yang mempiutanginya, sehingga bila yang berutang meninggal,
yang mempiutangi akan menuntut para ahli warisnya.
Sedangkan wasiat hanyalah suatu amalan sunnah yang dianjurkan, kalaupun tidak
ditunaikan tidak akan ada orang yang menuntutnya. Di sisi lain, agar manusia tidak
melecehkan wasiat dan jiwa manusia tidak menjadi kikir (khususnya para ahli waris),
maka Allah SWT mendahulukan penyebutannya.
Keempat:
Firman Allah (artinya) "orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu." Penggalan ayat ini
dengan tegas memberi isyarat bahwa Allah yang berkompeten dan paling berhak untuk
mengatur pembagian harta warisan. Hal ini tidak diserahkan kepada manusia, siapa pun
orangnya, cara ataupun aturan pembagiannya, karena bagaimanapun bentuk usaha
manusia untuk mewujudkan keadilan tidaklah akan mampu melaksanakannya secara
sempurna. Bahkan tidak akan dapat merealisasikan pembagian yang adil seperti yang
telah ditetapkan dalam ayat-ayat Allah.
Manusia tidak akan tahu manakah di antara orang tua dan anak yang lebih dekat atau
lebih besar kemanfaatannya terhadap seseorang, tetapi Allah, Maha Suci Dzat-Nya,
Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Pembagian yang ditentukan-Nya pasti adil.
Bila demikian, siapakah yang dapat membuat aturan dan undang-undang yang lebih
baik, lebih adil, dan lebih relevan bagi umat manusia dan kemanusiaan selain Allah?
Kelima:
Firman Allah (artinya) "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para
istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar utang-utangmu." Penggalan ayat tersebut menjelaskan tentang hukum waris
bagi suami dan istri. Bagi suami atau istri masing-masing mempunyai dua cara
pembagian.
Bagian suami:
Apabila seorang istri meninggal dan tidak mempunyai keturunan (anak), maka suami
mendapat bagian separo dari harta yang ditinggalkan istrinya.
Apabila seorang istri meninggal dan ia mempunyai keturunan (anak), maka suami
mendapat bagian seperempat dari harta yang ditinggalkan.
Bagian istri:
Apabila seorang suami meninggal dan dia tidak mempunyai anak (keturunan), maka
bagian istri adalah seperempat.
Apabila seorang suami meninggal dan dia mempunyai anak (keturunan), maka istri
mendapat bagian seperdelapan.
Keenam:
Hukum yang berkenaan dengan hak waris saudara laki-laki atau saudara perempuan
seibu. Firman-Nya (artinya): "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan,
yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). "
Yang dimaksud ikhwah (saudara) dalam penggalan ayat ini (an-Nisa': 12) adalah
saudara laki-laki atau saudara perempuan "seibu lain ayah". Jadi, tidak mencakup
saudara kandung dan tidak pula saudara laki-laki atau saudara perempuan "seayah lain
ibu". Pengertian inilah yang disepakati oleh ulama.
Adapun yang dijadikan dalil oleh ulama ialah bahwa Allah SWT telah menjelaskan --
dalam firman-Nya-- tentang hak waris saudara dari pewaris sebanyak dua kali. Yang
pertama dalam ayat ini, dan yang kedua pada akhir surat an-Nisa'. Dalam ayat yang
disebut terakhir ini, bagi satu saudara mendapat seperenam bagian, sedangkan bila
jumlah saudaranya banyak maka mendapatkan sepertiga dari harta peninggalan dan
dibagi secara rata.
Sementara itu, ayat akhir surat an-Nisa' menjelaskan bahwa saudara perempuan, jika
sendirian, mendapat separo harta peninggalan, sedangkan bila dua atau lebih ia
mendapat bagian dua per tiga. Oleh karenanya, pengertian istilah ikhwah dalam ayat ini
harus dibedakan dengan pengertian ikhwah yang terdapat dalam ayat akhir surat an-
Nisa' untuk meniadakan pertentangan antara dua ayat.
Sementara itu, karena saudara kandung atau saudara seayah kedudukannya lebih dekat
--dalam urutan nasab-- dibandingkan saudara seibu, maka Allah menetapkan bagian
keduanya lebih besar dibandingkan saudara seibu. Dengan demikian, dapat dipastikan
bahwa pengertian kata ikhwah dalam ayat tersebut (an-Nisa': 12) adalah 'saudara seibu',
sedangkan untuk kata yang sama di dalam akhir surat an-Nisa' memiliki pengertian
'saudara kandung' atau 'saudara seayah'.
Rincian Beberapa Keadaan Bagian Saudara Seibu
Apabila seseorang meninggal dan mempunyai satu orang saudara laki-laki seibu atau
satu orang saudara perempuan seibu, maka bagian yang diperolehnya adalah
seperenam.
Jika yang meninggal mempunyai saudara seibu dua orang atau lebih, mereka
mendapatkan dua per tiga bagian dan dibagi secara rata. Sebab yang zhahir dari firman-
Nya [tulisan Arab] menunjukkan adanya keharusan untuk dibagi dengan rata sama
besar-kecilnya. Jadi, saudara laki-laki mendapat bagian yang sama dengan bagian
saudara perempuan.
Makna Kalaalah
Pengertian kalaalah ialah seseorang meninggal tanpa memiliki ayah ataupun keturunan;
atau dengan kata lain dia tidak mempunyai pokok dan cabang. Kata kalaalah diambil
dari kata al-kalla yang bermakna 'lemah'. Kata ini misalnya digunakan dalam kalimat
kalla ar-rajulu, yang artinya 'apabila orang itu lemah dan hilang kekuatannya'.
Ulama sepakat (ijma') bahwa kalaalah ialah seseorang yang mati namun tidak
mempunyai ayah dan tidak memiliki keturunan. Diriwayatkan dari Abu Bakar ash-
Shiddiq r.a., ia berkata: "Saya mempunyai pendapat mengenai kalaalah. Apabila
pendapat saya ini benar maka hanyalah dari Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-
Nya. Adapun bila pendapat ini salah, maka karena dariku dan dari setan, dan Allah
terbebas dari kekeliruan tersebut. Menurut saya, Kalaalah adalah orang yang meninggal
yang tidak mempunyai ayah dan anak. "
Ketujuh:
Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sudah
dibayar utangnya dengan tidak membebani mudarat (kepada ahli waris)". Ayat tersebut
menunjukkan dengan tegas bahwa apabila wasiat dan utang nyata-nyata mengandung
kemudaratan, maka wajib untuk tidak dilaksanakan. Dampak negatif mengenai wasiat
yang dimaksudkan di sini, misalnya, seseorang yang berwasiat untuk menyedekahkan
hartanya lebih dari sepertiga. Sedangkan utang yang dimaksud berdampak negatif,
misalnya seseorang yang mengakui mempunyai utang padahal sebenamya ia tidak
berutang. Jadi, baik wasiat atau utang yang dapat menimbulkan mudarat (berdampak
negatif) pada ahli waris tidak wajib dilaksanakan.
Hukum Keadaan Saudara Kandung atau Seayah
Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa': 176 mengisyaratkan adanya beberapa
keadaan tentang bagian saudara kandung atau saudara seayah.
Apabila seseorang meninggal dan hanya mempunyai satu orang saudara kandung
perempuan ataupun seayah, maka ahli waris mendapat separo harta peninggalan, bila
ternyata pewaris (yang meninggal) tidak mempunyai ayah atau anak.
Apabila pewaris mempunyai dua orang saudara kandung perempuan atau seayah ke
atas, dan tidak mempunyai ayah atau anak, maka bagian ahli waris adalah dua per tiga
dibagi secara rata.
Apabila pewaris mempunyai banyak saudara kandung laki-laki dan saudara kandung
perempuan atau seayah, maka bagi ahli waris yang laki-laki mendapatkan dua kali
bagian saudara perempuan.
Apabila seorang saudara kandung perempuan meninggal, dan ia tidak mempunyai ayah
atau anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi bagian saudara kandung laki-
lakinya. Apabila saudara kandungnya banyak --lebih dari satu-- maka dibagi secara rata
sesuai jumlah kepala. Begitulah hukum bagi saudara seayah, jika ternyata tidak ada
saudara laki-laki yang sekandung atau saudara perempuan yang sekandung.

Pembagian yang benar adalah bahwa harta ayah dan harta ibu tidak digabung menjadi satu.
Logikanya, setiap orang punya harta masing-masing dan masing-masing punya ahli waris
sendiri-sendiri. Meski pun keduanya suami isteri.
Maka sebelum pembagian warisan, harus dipastikan terlebih dahulu, harta mana saja yang
menjadi hak milik ayah dan harta mana saja yang menjadi hak milik ibu. Seandainya ada harta
yang dimiliki bersama, maka harus dipastikan prosentasi nilai kepemilikan masing-masing.
Baik suami maupun isteri, sama-sama saling mewarisi. Tergantung siapa yang meninggal
duluan. Kalau yang meninggal duluan itu suami, maka isteri berhak mendapatkan warisan dari
suaminya. Besarnya 1/4 bagian (25%) bila almarhum tidak punya anak. Atau 1/8 (12,5%) bila
almarhum tidak punya anak.
Sebaliknya juga demikian, bila isteri meninggal duluan, maka suami akan menerima warisan dari
harta milik isterinya. Besarnya 1/2 bagian (5o%) bila almarhumah tidak punya anak. Atau 1/4
(25%) bila almarhumah tidak punya anak.
Sedangkan hubungan orang tua dan anak, juga ada keterkaitan saling mewarisi. Tergantung siapa
yang meninggal duluan. Bila yang meninggal itu anak duluan, maka ayah dan ibu masing-
masing berhak mendapat 1/6 dari harta si anak.
Sebaliknya bila yang meninggal ayah duluan atau ibu duluan, maka anak akan menerima warisan
dengan beberapa kemungkinan:

1. Bila anaknya laki-laki saja, maka mereka menjadi ahli waris dalam bentuk ashabah.
Mereka berhak atas sisa harta yang telah sebelumnya menjadi hak ahli waris
almarhum/ah yang merupakan ashabul furudh.
2. Bila anaknya ada yang laki-laki dan juga ada yang perempuan, maka pembagiannya
sama, hanya bedanya jatah anak laki-laki lebih besar 2 kali lipat dari jatah anak
perempuan.
3. Bila anaknya perempuan semua minimal 2 orang, mereka semua mendapat 2/3 dari total
harta ayah atau ibu mereka.
4. Bila hanya ada anak perempuan tunggal, dia berhak atas 1/2 (50%) dari total harta
ayahnya atau ibunya.
5. Sedangkan anak tiri, sudah jelas tidak mendapat warisan. Hanya anak kandung saja yang
menerima warisan.
Maka dalam kasus anda, harus ada dua kali pembagian warisan. Pertama, pembagian warisan
atas harta ayah anda. Yang berhak menerima (ahli waris) adalah:

 Isteri (dalam hal ini ibu anda) yang mendapat 1/8 bagian
 2 orang anak perempuan kandung sebesar 2/3 dari total harta ayah, sedangkan anak laki
tapi dia bukan anak ayah melainkan anak tiri ayah, tidak mendapat warisan.
 Sisanya untuk para ashabah dari ayah, yaitu saudara ayah, atau ayahnya ayah (kakek),
atau pamannya ayah, atau anak pamannya ayah yang laki-laki. Kalau mereka masih ada,
mereka pun berhak juga. Kalau mereka masih ada, maka sisa dari harta menjadi hak
mereka.
Setelah membagi harta pribadi milik ayah, barulah kita membagi harta pribadi milik ibu. Suami
almarhumah (ayah anda) jelas tidak dapat warisan, karena beliau sudah wafat terlebih dahulu.
Maka ahli waris beliau adalah:

 1 orang anak laki


 2 orang anak perempuan
Dan almarhumah sudah tidak mungkin punya ashabah karena dengan adanya anak laki-laki,
maka seluluh ashabah beliau menjadi termahjub. Maka harta itu cukup dibagi tiga, yaitu kepada
anak-anak almarhumah saja.
Tapi dengan syarat bahwa harta yang diterima anak laki-laki kandung beliau harus 2 kali lipat
dari yang diterima anak perempuan. Maka untuk mudahnya harta pribadi dari almarhumah ibu
kita bagi 4 sama besar. 2 bagian diberikan kepada anak laki, 1 bagian untuk anak perempuan
nomor satu dan 1 bagian lagi untuk anak perempuan satunya lagi.
Wallahu a'lam bishshwab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Anda mungkin juga menyukai