Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

SISTEM PENCERNAAN PADA HEWAN


RUMINANSIA

Disusun Oleh : Sandha Vyastica


Kelas : XI SOS 2

SMA NEGERI 3 DUMAI

2019/2020
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ternak ruminansia memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan ternak


non-ruminansia, khususnya pada saluran pencernaan . Hal tersebut tentunya
berdampak terhadap nutrisi yang dibutuhkan. Pencernaan adalah serangkaian proses
yang terjadi di dalam alat pencernaan(tractus digestivus ) ternak sampai
memungkinkan terjadinya penyerapan.

Proses pencernaan tersebut merupakan suatu perubahan fisik dan kimia yang dialami
oleh bahan makanan dalam alat pencernaan. Pencernaan pada ternak
ruminansiamerupakan proses yang sangat komplek yang melibatkan interaksi dinamis
antar pakan, populasi mikroba dan ternak itu sendiri. Pakan yang sudah melewati fase
pencernaan selanjutkan akan memasuki siklus metabolisme.

Metabolisme merupakan suatu proses kimiawi yang terjadi dalam tubuh makhluk
hidup. Proses metabolisme adalah pertukaran zat atau organisme dengan
lingkungannya. Istilah Metabolisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari
kata metabole yang berarti perubahan. Sehingga dapat dikatakan bahwa metabolisme
adalah makhluk hidup mendapat, mengolah dan mengubah suatu zat melalui proses
kimiawi untuk mempertahankan hidupnya.

Fungsi proses etabolismeantara lain untuk mendapatkan energi kimia berupa ATP,
hasil dari degradasi zat-zat makanan kaya energi yang berasal dari lingkungan ,
sebagai pengubah molekul zat-zat makanan (nutrisi) menjadi perkursor unit
pembangun bagi biomolekul sel, sebagai penyusun unit-unit pembangun menjadi
protein, asam nukleat, lipida, polisakarida, dan komponen sel lain, dan sebagai
pembentuk dan perombak biomolekul.
B. Tujuan Pembuatan Makalah

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :


1. mengetahui bagaimana susunan alat pencernaan pada sapi potong ;
2. mengetahui bagaimana proses metabolisme karbohidrat pada sapi potong ;
3. mengetahui bagaimana proses metabolisme lemak pada sapi potong ;
4. mengetahui bagaimana proses metabolisme protein pada sapi potong ;
5. mengetahui bagaimana proses metabolisme mineral pada sapi potong ;
6. mengetahui bagaimana proses metabolisme vitamin pada sapi potong ;
II. ISI DAN PEMBAHASAN

Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil
daging. Sapi potong biasa disebut sebagai sapi tipe pedaging. Sapi pedaging memiliki
ciri-ciri seperti tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok, kualitas dagingnya
maksimum, laju pertumbuhan cepat, cepat mencapai dewasa, dan efisiensi ransumnya
tinggi (Haryanti, 2009). Menurut Blakely dan David (1992), tujuan pemeliharaan sapi
potong adalah untuk digemukkan, sapisapi ini umumnya dijadikan sebagai sapi
bakalan, dipelihara secara intensif selama beberapa bulan, sehingga diperoleh
pertambahan bobot badan ideal untuk dipotong.

Saat sapi menyusu pada induknya, susu akan mengalir dari mulut langsung menuju
omasum, tanpa melewati rumen. Susu akan melewati sebuah saluran yang disebut
dengan esophageal groove. Pada sapi dewasa, volume rumen mencapai 81%,
reticulum 3%, omasum 7%, dan abomasum 9% dari volume total perut (Rianto,
2011).

Perut sapi mengalami 3 fase perkembangan, yaitu fase non ruminansi, fase transisi,
dan fase ruminansia. Pada saat sapi berumur 2 minggu anak sapi hanya mampu
mendapatkan nutrisi hanya melalui susu induknya. Setelah berumur 2 minggu anak
sapi akan belajar memakan pakan hijauan, pada saat ini rumen juga mulai
berkembang.

2.1 Organ Pencernaan Sapi

Pada proses penyerapan nutrisi, dibutuhkan organ pencernaan. Berikut ini adalah
organ-organ dalam pencernaan sapi :

a. Mulut
Pakan mengalami penghancuran di dalam mulut secara mekanik karena
menggunakan gigi. Selain itu pakan juga mengalami penghancuran dengan
pencampuran saliva. Menurut Rianto (2011), saliva disekresikan ke dalam mulut oleh
3 pasang glandula saliva, yaitu glandula parotid yang terletak di depan telinga,
glandula submandibularis (submaxillaris) yang terletk pada rahang bawah, dan
glandula sublingualis yang terletak di bawah lidah.

Saliva pada sapi tidak mengandung enzim amylase sehingga proses pencernaan hanya
berlangsung secara mekanik. Saliva memiliki kandungan bikarbinat sehingga
memiliki sifat buffer (penyangga), saliva yang masuk ke dalam rumen akan berguna
dalam menjaga pH rumen agar tidak naik atau turun terlalu tajam.

b. Rumen

Pakan yang telah melewati mulut maka akan melewati pharynx dan melalui
oesophagus menuju rumen.

Sumber : Rianto, 2011

Menurut Rianto(2011), rumen merupakan kantong yang besar sebagai tempat


persediaan dan pencampuran bahan pakan untuk fermentasi oleh mikroorganime.
Fungsi utama rumen adalah tempat untuk mencerna serat kasar dan zat-zat pakan
dengan bantuan mikroba. Mikroba tersebut dalam suasana anaerob dan sebagian
dapat hidup dalam suasana fakultatif anaerob.

Sumber : Rianto, 2011

Saluran pencernaan sapi tidak menghasilkan enzim untuk mencerna selulosa yang
merupakan bagian terbesar dari pakan serat, yaitu sekitar 30-60% dari total bahan
kering. Karena enzim yang digunakan dalam pencernaan serat berasal dari mikroba.
Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely (1994), rumen volumenya dapat mencapai
200 liter, rumen mengandung mikroorganisme, bakteri, dan protozoa yang akan
menghancurkan bahan-bahan berserat, mencerna bahan-bahan itu untuk kepentingan
mikroba itu sendiri, membentuk asam-asam lemak mudah terbang, serta mensintesis
vitamin B serta asam-asam amino.

c. Retikulum

Retikulum disebut honey comb, hal ini dikarenakan wujudnya yang berbentuk seperti
rumah lebah. Menurut Blakely (1994), bentuk reticulum mencegah benda-benda
asing seperti misalnya kawat untuk tidak terus bergerak ke saluran pencernaan lebih
lanjut. Retikulum seringkali tertusuk oleh benda-benda tajam sehingga menyebabkan
keadaan yang disebut penyakit hardware. Keadaan ini bersifat fatar karena jantung
letaknya berdekatan. Menurut Rianto (2011), retikulum berfungsi mengatur aliran
digest dari rumen ke omasum.
d. Omasum

Sumber : Rianto, 2011

Permukaan dinding omasum berlipat dan kasar. Menurut Rianto (2011), omasum
berdinding berlipat-lipat dan kasar, terdapat 5 lamina(daun) yang menyerupai duri
(spike). Lamina adalah penyaring partikel digesti yang akan masuk ke
abomasum.Menurut Blakely (1994), omasum menerima campuran pakan dan air, dan
sebagian besar air itu diserap oleh luasnya daerah penyerapan yang terdiri dari
banyak lapis.
e. Abomasum

Menurut Rianto (2011), abomasum disebut perut sejati pada ternak ruminansia
(termasuk sapi). Pada dinding abomasum memiliki kelenjar pencernaan yang
menghasilkan cairan lambung yang mengandung pepsinogen, garam, onorganik,
mukosa, asam hidrokhlorat dan faktor interisnsik yang penting untuk absorpsi
vitamin B12 secara efisien. Menurut Blakely (1994), sebagian besar pekerjaan
pencernaan diselesaikan oleh abomasum, disebut perut sejati karena kemiripan fungsi
perut tunggal pada hewan-hewan bukan ruminansia. Di dalam abomasum terdapat
unsur-unsur penyusun berbagai nutrient yang dihasilkan melalui proses kerja cairan
lambung terhadap bakteri dan protozoa dan diserap melalui dinding usus halu. Bahan-
bahan yang tidak tercerna bergerak ke cecum dan usus besar. Kemudian
diekskresikan sebagai feses.

f. Intestine (usus halus)

Menurut Rianto (2011), intestine terdiri atas tiga bagian, yaitu duodenum, jedunum,
dan ileum. Panjang intestine pada sapi adalah 22-30 kali panjang tubuhnya. Kelenjar
duodenum menghasilkan cairan alkalin yang berguna sebagai pelumas dan
melindungi dinding duodenum dari asam hidroklorat yang masuk dari abomasum.
Pada ujung duodenum terdapat kelenjar empedu dan pancreas, kelenjar empedu
menghasilkan cairan yang berisi garama sodium dan potassium dari asam empedu.
Garam-garam ini berfungsi mengaktifkan enzim lipase yang dihasilkan pancreas dan
mengemulsikan lemak digesta sehingga mudah diserap lewat dinding usus.

g. Usus Besar

Menurut Rianto (2011), ada tiga pokok yang terdpat dalam kelompok usus besar,
yaitu colon, caecum, dan rectum. Pada saat digesta masuk ke dalam colon, sebagian
besar digesta yang mengalami hidrolisis sudah terserap sehingga materi yang masuk
ke dalam colon adalah materi yang tidak dicerna.

Sumber : Rianto, 2011

Hanya sedikit sekali digesta yang terserap lewat dinding usus besar. Materi yang
tidak terserap kemudian dikeluarkan lewat anus sebagai feses. Materi yang keluar
dari feses meliputi air, sisa-sisa pakan yang tidak tercerna, sekresi saluran
pencernaan, sel-sel ephitelium saluran pencernaan, garam-garam anorganik, bakteri,
dan produk-produk dari proses dekomposisi oleh mikrobia.

Sumber : Rianto, 2011


2.2 Metabolisme Energi Pada Sapi Potong
Karbohidrat dalam pakan dapat dikelompokkan menjadi karbohidrat struktural (fraksi
serat) dan karbohidrat non struktural (fraksi yang mudah tersedia). Selulosa dan
hemiselulosa termasuk dalam karbohidrat fraksi struktural (fraksi serat) yang
merupakan komponen utama dari dinding sel tanaman. Sering Sellulosa dan
Hemisellulosa ini berikatan dengan lignin sehingga menjadi sulit dicerna oleh
mikroba rumen. Lignifikasi tanaman akan meningkat seiring dengan meningkatnya
umur tanaman. Untuk itu penggunaannya dalam ransum ternak ruminansia
memerlukan pengolahan terlebih dulu guna merenggangkan ikatan lignoselulosa atau
lignohemisellulosa sehingga lebih fermentabel dalam rumen.

Proses pencernaan karbohidrat dalam rumen merupakan proses yang komplek.


Karbohidrat yang komplek (selulosa, hemiselulosa, pati dan pectin) akan mengalami
dua tahap pencernaan yaitu pencernaan oleh enzim ekstraseluler dan enzim
intraseluler mikroba. Tahap pertama karbohidrat yang masuk rumen akan
difermentasi oleh enzim ektraseluler menghasilkan monomernya berupa
oligosakarida, disakarida dan gula sederhana. Tahap kedua monomer itu
difermentasi/metabolisme lebih lanjut oleh enzim intraseluler membentuk piruvat
melalui lintasan Embden-Meyerhoft dan pentosa fosfat.
Piruvat adalah produk intermedier yang segera dimetabolisasi menjadi produk akhir
berupa asam lemak berantai pendek yang sering disebut dengan Volatil Fatty Acid (
VFA ) yang terdiri dari : asam asetat, asam propionat dan asam butirat dan sejumlah
kecil asam valerat. Piruvat yang dihasilkan dalam proses fermentasi karbohidrat
dalam rumen akan dimetabolisasi lebih lanjut menjadi produk-produk seperti
dibawah ini.

1. Produksi asam laktat


Laktat dalam rumen dibentuk dari piruvat melalui enzym NAD linked laktat
dehidrogenase. Piruvat + NADH2 → Laktat + NAD

2. Pembentukan Asetil CoA


Asetil Coa yang diperlukan untuk berbagai reaksi selanjutnnya dibentuk melalui
beberapa reaksi yaitu:

a. Produksi acetyl CoA melalui pyruvate–ferredoxin oxidoreductase Pyruvate +


CoASH → 2-α-lactyl-TPP-CoA Enzyme → 2- Hydroxyethyl-TPP-CoA + FD
→ Acetyl CoA + FDH2 + CO2
b. Produksi acetil CoA dan asam format melalui pyruvate-formate lyase. Pyruvate
+ CoASH →Acetyl CoA + Formate
c. Produksi acetyl CoA and formate melalui reduksi CO2 Pyruvate + CoASH →
Acetyl CoA + CO2CO2 + XH2 → Formate + X

3. Produksi VFA dalam Rumen

2.3 Metabolisme Protein Pada Sapi Potong

Metabolisme Protein terbagi menjadi 2 macam :

1. Anabolisme yaitu pembentukan yang mengubah senyawa kecil menjadi


besar (memerlukan ATP).Proses sintesis protein dapat dibedakan menjadi dua tahap.
Tahap pertama adalah transkripsi yaitu pencetakan ARNd oleh ADN yang
berlangsung di dalam inti sel. ARNd inilah yang akan membawa kode genetik dari
ADN. Tahap kedua adalah translasi yaitu penerjemahan kode genetik yang dibawa
ARNd oleh ARNt. ARNd keluar dari dalam inti bergabung dengan ribosom di
sitoplasma. Datang ARNt membawa asam amino yang sesuai dengan kodon. Terjadi
ikatan antar asam amino sehingga terbentuk protein.

2. Katabolisme yaitu pemecahan yang mengubah makromolekul menjadi


mikromolekul ( menghasilkan ATP ).Pemecahan protein jadi asam amino terjadi di
hati dengan 2 proses:
a. Deaminasi yang merupakan proses pembuangan gugus amino dari asam
amino ( asam amino + NAD+ → asam keto + NH3 )
b. Transaminasi yang merupakan proses perubahan asam amino menjadi asam
keto ( alanin + alfa-ketoglutarat → piruvat + glutamate )

Tiga jenis proses utama mendahului deretan proses-proses metabolisma asam amino
itu, diantaranya :

1. Proses dekarbolisasi adalah memisahkan gugusan karboksil dari asam amino,


sehingga terjadi ikatan baru yang merupakan zat-antara yang masih
mengandung unsure nitrogen.

2. Proses transaminasi adalah yang menghasilkan pemindahan gugusan amino


(NH2) dari suatu asam amino ke ikatan lain, yang biasanya suatu asam keton,
sehingga terjadi asam amino lagi yang berbeda dari asam amino yang
pertama.

3. Proses deaminasi adalah di sini gugusan amino dipisahkan dari asam amino
untuk di jadikan ureum, atau garam-garam amonium yang kemudian di buang
ke luar tubuh.Deaminasi maupun transaminasi merupakan proses perubahan
protein menjadi zat yang dapat masuk kedalam siklus Krebs. Zat hasil
deaminasi / transaminasi yang dapat masuk siklus Krebs adalah: alfa
ketoglutarat, suksinil ko-A, fumarat, oksaloasetat, sitrat.

Pembongkaran protein menjadi asam amino memerlukan bantuan dari enzim-enzim


protease dan air untuk mengadakan proses hidrolisis pada ikatan-ikatan peptida.
Hidrolisis ini juga dapat terjadi, jika protein dipanasi, diberi basa, atau diberi asam.
Dengan cara demikian, kita dapat mengenal macam-macam asam amino yang
tersusun di dalam suatu protein.

Namun, kita tidak dapat mengetahui urut-urutan susunannya ketika masih berbentuk
molekul protein yang utuh. Di samping itu, asam amino dapat dikelompokkan
menjadi asam amino esensial dan asam amino nonesensial.

2.4 Metabolisme Lemak Pada Sapi Potong


Ternak memperoleh lemak dari tiga sumber, yaitu dari metabolisme lemak, protein
dan karbohidrat. Karbohidrat dan protein yang sudah dicerna dan diserap, sebagian
akan diubah menjadi lemak. Sedangkan lemak dari pakan dapat diubah menjadi pati
dan gula, yang kemudian bisa digunakan untuk energi dan sebagian disimpan dalam
jaringan sel sebagai lemak cadangan (Sugeng, 2003). Konsentrasi asam lemak bebas
yang tinggi menghambat pencernaan serat kasar dan sebagai akibatnya menghasilkan
proporsi asam asetat yang lebih sedikit, pada saat yang bersamaan jumlah substrat
yang terfermentasi menurun (Soebarinoto et al., 1991).

Bila lemak (trigliserida, glikolipida, fosfolipida) dikonsumsi oleh ternak ruminansia,


maka ketika masuk ke dalam rumen, akan terjadi dua proses besar yaitu proses
hidrolisis ikatan ester dalam lemak yang berasal dari pakan dan proses biohidrogenasi
asam lemak yang tidak jenuh yang terjadi setelah lemak dihidrolisis menjadi asam
lemak bebas (Bauman dan Lock 2006). lemak bila dikonsumsi oleh ruminansia dan
mengalami proses metabolisme di dalam rumen dan pasca rumen. Lemak yang masuk
ke dalam rumen akan mengalami proses hidrolisis oleh bakteri rumen
seperti Anaerovibrio lipolytica dan Butyrivibrio fibrisolvens yang akan mengeluarkan
enzim lipase, galactosidase dan phospholipase (Doreau dan Chilliard 1997; Harfoot
dan Hazlewood 1997).
2.5 METABOLISME MINERAL

Mineral, (kecuali K dan Na), membentuk garam dan senyawa lain yang relatif sukar
larut, sehingga sukar diabsorpsi. Absorpsi mineral sering memerlukan protein
pengemban spesifik (spesific carrier proteins), sintesis protein ini berperan sebagai
mekanisme penting untuk mengatur kadar mineral dalam tubuh.

Ekskresi sebagian besar mineral melalui ginjal, ada juga disekresi kedalam getah
pencernaan, empedu dan hilang dalam feses. Kelainan akibat kekurangan mineral.
Kekurangan intake semua mineral esensial dapat menyebabkan sindroma klinik.Bila
terjadi difisiensi biasanya sekunder, akibat malabsorpsi, perdarahan, berlebihan
(besi), penyakit ginjal(kalsium), atau problem klinis lain. Kelaianan akibat kelebihan
mineral. Kelebihan intake dari hampir semua mineral menyebabkan gejala
toksik.Sumber dan kebutuhan mineral sehari-hari. Mineral esensial dan unsur runutan
ditemukan dalam sebagian besar makanan, terutama biji-bijian utuh, buah, sayuran,
susu, daging dan ikan. Biasanya dalam makanan hanya dalam jumlah yang sedikit

1. Kalsium (Ca)

Ca diabrospsi duodenum dan jejunum proksimal oleh protein pengikat Ca yang


disintesis sebagagi respon terhadap kerja 1,25-dihidroksikolekalsiferol (1,25-
dihidroksi vitamin D). Abrospsi dihambat oleh senyawa yang membentuk garam Ca
yang tidak larut.Kalsium diekskresi melalui ginjal bila kadarnya diatas 7 mg/100 ml.
Sejumlah besar diekskresi melalui usus dan hampir semuanya hilang dalam feses.

Pengaturan keseimbangan kalsium,untuk mempertahankan kadar kalsium dalam


keadaan normal, diperlukan interaksi beberapa proses antara lain :
1. Pemasukan yang berasal dari makanan dan absorpsi saluran cerna
2. Pengeluaran melalui ekskresi urin dan feses
3. Keseimabnan formasi dan resorpsi tulang yang disebut sebagai dinamika
tulang (bone turnover) Untuk menjamin keseimbangan proses-proses diatas dengan
baik diperlukan pengaturan secara hormonal yaitu
• Hormon paratiroid
• Vitamin D
• Kalsitonin

2. Fosfat

Fosfat bebas diabsorpsi dalam jejunum bagian tengah dan masuk aliran darah melalui
sirkulasi portal. Pengaturan absorpsi fosfat diatur oleh 1 , 25–dihidroksi kolekalsiferol
(1,25-dihidroksivitamin D). Fosfat ikut dalam pengaturan derivat aktif vitamin D.
Bila kadar fosfat serum rendah, pembentukan 1,25-dihidroksi vitamin D dalam
tubulus renalis dirangsang, sehingga terjadi penambahan absorpsi fosfat dari usus.

Deposisi fosfat sebagai hidroksiapatit dalam tulang diatur oleh kadar hormon
paratiroid. 1,25-dihidroksi vitamin D, memegang peranan yang memungkinkan
hormon paratiroid melakukan mobilisasi kalsium dan fosfat dari tulang.Ekskresi
fosfat terjadi terutama dalam ginjal. 80 persen – 90 persen fosfat plasma difiltrasi
pada glomerulus ginjal. Jumlah fosfat yang diekskresi dalam urin menunjukkan
perbedaan antara jumlah yang difiltrasi dan yang direabsorpsi oleh tubulus proximal
dan tubulus distal ginjal. 1,25-Dihidroksivitamin D merangsang reabsorpsi fosfat
bersama kalsium dalam tubulus proksimal. Hormon paratiroid mengurangi reabsorpsi
fosfat oleh tubulus renalis sehingga mengurangi efek 1,25-Dihidroksivitamin D pada
ekskresi fosfat. Bila tidak ada efek kuat hormon paratiroid, ginjal mampu memberi
respon terhadap 1,25-dihidroksi vitamin D dengan pengambilan semua fosfat yang
difiltrasi.

3. Natrium
Natrium diabsorpsi di usus halus secara aktif (membutuhkan energi), lalu dibawa oleh
aliran darah ke ginjal untuk disaring kemudian dikembalikan ke aliran darah dalam
jumlah cukup untuk mempertahankan taraf natrium dalam darah. Kelebihan natrium
akan dikeluarkan melalui urin yang diatur oleh hormon aldosteron yang dikeluarkan
oleh kelenjar adrenal jika kadar natrium darah menurun.

Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal. Pengaturan eksresi ini dilakukan
untuk mempertahankan homeostasis natrium, yang sangat diperlukan untuk
mempertahankan volume cairan tubuh. Pengeluaran natrium juga terjadi lewat
pengeluaran keringat dan tinja dalam jumlah kecil. Kekuran natrium dari rute-rute ini
dapat mengakibatkan kematian pada kasus berkeringat dan diare yang berlebihan.
Ingesti natrium dipengaruhi oleh rasa dan dorongan homeostatis (selera terhadap
garam) untuk mempertahankan keseimbangan natrium. Hewan mempunyai dorongan
untuk memakan garam yang di picu oleh natrium plasma yang rendah (Sectiono,
2004).
4. Magnesium

Rumen merupakan bagian penting pada penyerapan magnesium terutama pada domba
(Thomas dan Potter, 1976b; Field dan Munro, 1977) dan sapi (Greene et all., 1983b;
Khorasani et all., 1997). Kejadian metabolik dalam rumen kebanyakan ditentukan
dari jumlah konsumsi magnesium. Magnesium diabsorpsi melalui kombinasi transfor
aktif dan transfor pasif. Proses utama normalnya adalah transport pasif dan dimulai
pada membran apikal mukosa rumen, dimana uptake magnesium diarahkan oleh
perbedaan potensial negatif yang berbeda. Dan dihambat oleh konsentrasi tinggi
potassium dalam rumen. Proses carrier-mediated memungkinkan terjadinya
pertukaran ion magnesium dan hidrogen dan tidak sensitif terhadap potassium,
menjadi proses dominan pada konsentrasi magnesium luminal yang tinggi (Martens
dan Schweigel, 2000). Absorpsi magnesium diselesaikan oleh proses sekunder
melalui transport aktif, terletak dalam membran basolateral yang dapat disaturasi dan
kontrol kealiran darah (Dua dan Care, 1995). Dalam spesies tertentu, pengaruh utama
pada absorpsi magnesium adalah faktor yang dapat berpengaruh pada kelarutan
konsentrasi magnesium dalam rumen dan perbedaan potensial negatif diseluruh
mukosa rumen. Magnesium sulit difiltrasi di gromerulus dibanding kebanyakan
makromineral, tetapi dalam jumlah yang cukup difiltrasi dan lolos dari reabsorpsi
tubuler yang dikeluarkan melalui urin (Ebel dan Gunther, 1980).

5. Potassium

Penyerapan potassium terutama terjadi di usus halus non ruminansia oleh proses yang
tidak teratur. Pada ruminansia penyerapan potassium diabsorpsi secara pasif saat
memasuki rumen, selama proses ini terjadi penurunan perbedaan potensial apikal
pada permukaan mukosa. Potassium memasuki aliran darah sebagian besar melalui
membran basolateral dari mukosa usus.

 Membran Transport

Ada mekanisme yang lebih baik untuk mengangkut potassium melintasi membran
dibandingkan unsur lainnya, tetapi pada dasarnya mempertahankan konsentrasi
intraseluler potassium tetap tinggi. Selain itu, potassium juga sebagai pompa ATPase
dan co-transporter, terdapat ATPase dari hidrogen/potassium dan enam jenis saluran
potassium, masing-masing mempunyai ciri khasnya masing-masing (Peterson, 1997).
Penyesuaian short-term untuk pasokan fluktuasi potassium dapat dibuat melalui
perubahan fluks potasium kedalam sel, di bawah pengaruh insulin (Lindeman dan
Pederson, 1983). Selanjutnya diperlukan untuk regulasi yang terletak pada
sitotoksitas pada level sirkulasi potassium yang tinggi.

 Eksresi

Peraturan status potasium tubuh dilakukan oleh ginjal, dimana reabsorpsi tubular
dibatasi jika berlebihan dibawah pengaruh aldosteron ( Kem dan Trachwsky, 1983).
Namun adaptasi terhadap potasium yang masuk dimulai pada usus, dimana sensor
splanknikus memberikan peringatan dini dari jumlah konsumsi yang berpotensi
mematikan (Rabinowitz, 1988). Respon terhadap sensor melibatkan peningkatan
aktivitas ion ATPase natrium/potassium dan peningkatan jumlah pemompaan di
membran basolateral pada tubulus distal ginjal dan usus yang menyebabkan
peningkatan ekskresi potassium pada rute saluran kemih dan fases.

 Seksresi

Pada ruminansia potassium adalah kation utama dalam proses berkeringat, mungkin
karena rasio potasium yang tinggi dibanding natrium pada diet alami ruminansia dari
rumput (Bell, 1995). Kehilangan potasium meningkat pada suhu lingkungan yang
banyak terjadi pada bos indicus dibanding bos taurus (Johnson, 1970) pada
temperatur tertentu, meskipun tingkat berkeringat lebih rendah. Potassium juga
merupakan kation utama yang disekresi dalam susu; konsentrasi tidak meningkat
pada asupan potassium diet tinggi, tetapi menurun selama terjadi kekurangan
potassium (Pradhan dan Hemken, 1969). Kehilangan ekskretori potasium pada anak
sapi dapat meningkat oleh stress pada saat transportasi sebgai akibat dari peningkatan
aktivitas aldosteron (Hutcheson dan Cole, 1986).

6. Besi (Fe)

Absorbsi zat besi dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu :


a. Kebutuhan tubuh akan besi, tubuh akan menyerap sebanyak yang dibutuhkan.
Bila besi simpanan berkurang, maka penyerapan besi akan meningkat.
b. Rendahnya asam klorida pada lambung (kondisi basa) dapat menurunkan
penyerapan Asam klorida akan mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+ yang lebih
mudah diserap oleh mukosa usus.
c. Adanya vitamin C gugus SH (sulfidril) dan asam amino sulfur dapat
meningkatkan absorbsi karena dapat mereduksi besi dalam bentuk ferri
menjadi ferro. Vitamin C dapat meningkatkan absorbsi besi dari makanan
melalui pembentukan kompleks ferro askorbat. Kombinasi 200 mg asam
askorbat dengan garam besi dapat meningkatkan penyerapan besi sebesar 25 –
50 persen.
d. Kelebihan fosfat di dalam usus dapat menyebabkan terbentukny kompleks
besi fosfat yang tidak dapat diserap.
e. Adanya fitat juga akan menurunkan ketersediaan Fe
f. Protein hewani dapat meningkatkan penyerapan Fe
g. Fungsi usus yang terganggu, misalnya diare dapat menurunkan penyerapan
Fe.Penyakit infeksi juga dapat menurunkan penyerapan Fe.

Zat besi diserap di dalam duodenum dan jejunum bagian atas melalui proses yang
kompleks. Proses ini meliputi tahap – tahap utama sebagai berikut :
a. Besi yang terdapat di dalam bahan pangan, baik dalam bentuk Fe3+ atau Fe2+
mula – mula mengalami proses pencernaan.
b. Di dalam lambung Fe3+ larut dalam asam lambung, kemudian diikat oleh
gastroferin dan direduksi menjadi Fe2+.
c. Di dalam usus Fe2+ dioksidasi menjadi FE3+. Fe3+ selanjutnya berikatan dengan
apoferitin yang kemudian ditransformasi menjadi feritin, membebaskan Fe2+ ke
dalam plasma darah.
d. Di dalam plasma, Fe2+ dioksidasi menjadi Fe3+ dan berikatan dengan transferitin.
Transferitin mengangkut Fe2+ ke dalam sumsum tulang untuk bergabung
membentuk hemoglobin. Besi dalam plasma ada dalam keseimbangan.
e. Transferrin mengangkut Fe2+ ke dalam tempat penyimpanan besi di dalam tubuh
(hati, sumsum tulang, limpa, sistem retikuloendotelial), kemudian dioksidasi
menjadi Fe3+. Fe3+ ini bergabung dengan apoferritin membentuk ferritin yang
kemudian disimpan, besi yang terdapat pada plasma seimbang dengan bentuk
yang disimpan.
 Pengangkutan dan Penyimpanan Besi

Ketika besi diabsorbsi dari usus halus menuju ke plasma darah, besi tersebut
bergabung dengan apotransferin membentuk transferin, yang selanjutnya diangkut
dalam plasma darah. Besi dan apotransferin berikatan secara longgar, sehingga
memungkinkan untuk melepaskan partikel besi ke sel jaringan dalam tubuh yang
membutuhkan. Absorbsi besi diatur melalui besarnya cadangan besi dalam tubuh.
Absorbsi besi rendah jika cadangan besi tinggi, sebaliknya jika cadangan besi rendah
absorbsi besi ditingkatkan.

Setelah itu, besi dalam tranferin di plasma darah masuk ke dalam sumsum tulang
untuk pembentukan eritrosit dan hemoglobin. Besi yang berlebih akan bergabung
dengan protein apoferritin, membentuk ferritin dan disimpan dalam sistem
retikuloendotelial (RE). Oleh karena apoferritin mempunyai berat molekul besar,
460.000, ferritin bisa mengikat sejumlah besar besi. Besi yang disimpan sebagai
ferritin disebut besi cadangan. Ditempat penyimpanan, terdapat besi yang disimpan
dalam jumlah yang sedikit dan bersifat tidak larut, yang disebut hemosiderin.

Bila jumlah besi dalam plasma sangat rendah, besi yang terdapat dipenyimpanan
ferritin dilepaskan dengan mudah ke dalam plasma, dan diangkut dalam bentuk
transferin dan kembali ke sumsum tulang untuk dibentuk eritrosit. Bila umur eritrosit
sudah habis dan sel dihancurkan, maka hemoglobin yang dilepaskan dari sel akan
dicerna oleh sistem makrofag-monosit. Disini terjadi pelepasan besi bebas, dan
disimpan terutama di tempat penyimpanan ferritin yang akan digunakan untuk
kebutuhan pembentukan hemoglobin baru.

7. Zink

Seperti halya besi, zink diabsorpsi relatif sedikit. Dari konsumsi zink 4-14 mg/hari,
hanya 10-40 %-nya yang diabsorpsi. Absorpsi menurun dengan adanya agen pengikat
atau kelat sehingga mineral tersebut tidak terserap. Zink berikatan dengan ligan yang
mengandung sulfur, nitrogen atau oksigen. Zink membentuk kompleks dengan fosfat
(PO4), klorida (Cl-) dan karbonat (HCO3). Buffer N-2-hydroxyethyl-pysera-zine-N′-
2-ethanesulfonic acid (HEPES) berefek kecil terhadap ikatan zink dengan ligan
tersebut. Zink dapat berikatan dengan ligan tersebut dan diekskresikan melalui feces.
Orang yang menderita geophagic dan/atau yang mengkonsumsi makanan tinggi fitat
(khususnya produk sereal) berresiko defisiensi zink. Oberleas (1993) diacu dalam
Berdanier (1998) telah memperhitungkan bahwa diet dengan rasio fitat dan zink lebih
besar daripada 10, menyebabkan defisiensi zink, tanpa memperhatikan jumlah total
zink dalam diet tersebut. Pada sistem pencernaan, mineral dicerna di usus halus.

8. Tembaga

Unsur tembaga yang terdapat dalam makanan melalui saluran pencernaan diserap dan
diangkut melalui darah. Segera setelah masuk peredaran darah, unsur tembaga akan
berikatan dengan protein albumin. Kemudian diantarkan dan dilepaskan kepada
jaringan-jaringan hati dan ginjal lalu berikatan dengan protein membentuk enzim-
enzim, terutama enzim seruloplasmin yang mengandung 90 – 94% tembaga dari total
kandungan tembaga dalam tubuh. Ekskresi utama unsur ini ialah melalui empedu,
sedikit bersama air seni dan dalam jumlah yang relatif kecil bersama keringat dan air
susu. Jika terjadi gangguan-gangguan pada rute pembuangan empedu, unsur ini akan
diekskresi bersama air seni (INOUE et al., 2002).

9. Selenium

 Metabolisme selenium

Pemecahan antara absorbsi selenium dan ketersediaan selenium mengakibatkan


perbedaan besar dalam post-absorbsi metabolism antara selenomethionin dan sumber
lain selenium (burk et al., 2001). Hal ini menimbulkan efek pada retensi selenium,
ekskresi dan transfer pada plasenta dan mammary.

 Jalur terpisah

Selenomethionin memasuki penyimpanan methionine dan proporsi variable menjadi


dimana methionine lebih dibutuhkan dibanding selenium, tetapi konversi parsial
menjadi selenocystine (seCys) melalui lyase dan adenosilmethionine mungkin terjadi
(NRC, 2005). seCy dapat dimasukkan ke selenoprotein P dalam hati dan dibawa ke
plasma (Davidson and kennedy, 1993), dimana diambil dan dimasukkan kedalam
salah satu dari banyak fungsional selenophospatsintase dalam jaringan. Selenite dan
selenate direduksi menjadi selenide dan dimasukkan ke dalam seleno protein P. dosis
oral dan parenteral dari 75 selenomethionine sama- sama di metabolisme setelah
melalui hati, clearance aliran darah sangat lambat (paruh waktu dalam plasma 12
hari).

Sebagian besar disimpan dalam otot (putih et al., 1988) dan selenium dipertahankan
dalam hati dan ginjal yang berikatan dengan protein (ehlig et al., 1967). Sebaliknya,
clearance selenocytine atau selenium anorganik terlalu cepat. Masuknya
seleniumcytin ke dalam eritrosit cytosolic glutasi peroksidasi(GPX) terjadi pada
eritropoiesis dan terjadi lag sebelum hasil GPX dilepaskan pada aliran darah.
Selenomethionin, disisi lain dapat dimasukkan kedalam eritrosit sebagai methionin
dalam hemoglobin (beilstein dan whanger, 1986). Beberapa transfer selenium dari
selenomethionin ke selenocystine terjadi selama transsilverasi atau transaminasi
kecuali dan sampai hal tersebut terjadi, selenomethionin (bukan selenocystine)
dipengaruhi oleh pasokan dan kebutuhan methionin. Jika konsumsi kekurangan
methionin, suplementasi selenomethionin dengan selenomethionin dapat
meningkatkan selenium dalam jaringan selama penurunan aktivitasi GPX
(Waschulewski dan sunde, 1988) pada saat kebutuhan methionin tinggi seperti pada
awal laktasi dan masa penyapihan. Pada ruminansia, metabolism selenium akan
berlangsung dipengaruhi oleh pengurangan sulfur dan pasokan nitrogen dan faktor
lain yang mempengaruhi sintesis mikroba pada rumen.

2.6 Metabolisme Vitamin

Vitamin yang larut lemak atau minyak, jika berlebihan tidak dikeluarkan oleh, tubuh,
melainkan akan disimpan. Sebaliknya, vitamin yang larut dalam air, yaitu vitamin B
kompleks dan C, tidak disimpan, melainkan akan dikeluarkan oleh sistem
pembuangan tubuh. Akibatnya, selalu dibutuhkan asupan vitamin tersebut setiap hari.
Vitamin yang alami bisa didapat dari sayur, buah dan produk hewani. Seringkali
vitamin yang terkandung dalam makanan atau minuman tidak berada dalam keadaan
bebas, melainkan terikat, baik secara fisik maupun kimia. Proses pencernaan
makanan, baik di dalam lambung maupun usus halus akan membantu melepaskan
vitamin dari makanan agar bisa diserap oleh usus. Vitamin larut lemak diserap di
dalam usus bersama dengan lemak atau minyak yang dikonsumsi.

Vitamin diserap oleh usus dengan proses dan mekanisme yang berbeda. Terdapat
perbedaan prinsip proses penyerapan antara vitamin larut lemak dengan vitamin larut
air. Vitamin larut lemak akan diserap secara difusi pasif dan kemudian di dalam
dinding usus digabungkan dengan kilomikron (lipoprotein) yang kemudian diserap
sistem limfatik, baru kemudian bergabung dengan saluran darah untuk
ditransportasikan ke hati. Sedangkan vitamin larut air langsung diserap melalui
saluran darah dan ditransportasikan ke hati. Proses dan mekanisme penyerapan
vitamin dalam usus halus diperlihatkan pada tabel berikut:

Jenis Vitamin Mekanisme Penyerapan


Vitamin A, D, E, K dan Dari micelle, secara difusi pasif, digabungkan
beta-karoten dengan kilomikron, diserap melalui saluran
limfatik.
Vitamin C Difusi pasif (lambat) atau menggunakan Na+
(cepat)
Vitamin B1 (Tiamin) Difusi pasif (apabila jumlahnya dalam lumen
usus sedikit), dengan bantuan Na+ (bila
jumlahnya dalam lumen usus banyak).
Vitamin B2 (Riboflavin) Difusi pasif
Niasin Difusi pasif (menggunakan Na+)
Vitamin B6 (Piridoksin) Difusi pasif
Folasin (Asam Folat) Menggunakan Na+
Vitamin B12 Menggunakan bantuan faktor intrinsik (IF) dari
lambung.
Sumber : Muchtadi, 2009
DAFTAR PUSTAKA

Abun. 2008. Nutrisi Mineral . Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.

Adam, Moh. Awaludin. 2011. Metabolisme Mineral. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Brawijaya.

Bauman DE, Lock AL. 2006. Concepts in lipid digestion and metabolism in dairy
cows. In: Eastridge ML, editor. Proceeding of Tri-State Dairy Nutrition
Conference. Indiana, 25-26 April 2006. Port Wayne (Indiana): The Oiho State
University. p. 1-14.

Blakely, J dan David H Blade . 1994. Ilmu Peternakan. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.

Chahal, Udeybir Sighr. 2008. General Animal Nutrition. India: International


Book Distributing co.

Doreau M, Chilliard Y. 1997. Digestion and metabolism of dietary fat in farm


animals. Br J Nutr. 78 Suppl 1:S15-S35.

Harfoot CG, Hazlewood GP. 1997. Lipid metabolism in the rumen. In: Hobson
PN, Stewart CS, editors. The rumen microbial ecosystem. London (UK):
Chapman & Hall. p. 382-426.

Hermansyah,D.2014.Ilmu Nutrisi Ternak Ruminansia Metabolisme Protein Dan


NPN.https://dedekhermansyah.blogspot.com/2014/08/ilmu-nutrisi-ternak-
ruminansia.html. Diakses Pada Rabu,16 Mei 2018 pukul 22.05 WIB.

Indrasari, Siti Dewi dkk. Kandungan Mineral Varietas Unggul Baru. Jawa barat:
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.

Kamal, M. 1994. Nutrisi Ternak. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Lock AL, Harvatine KJ, Drackley JK, Bauman DE. 2006. Concepts in fat and
fatty acid digestion in ruminants. In: Proceedings Intermountain Nutrition
Conference. New York (USA): Cornell University. p. 85-100
Natosusilo,A.2014. Metabolisme Vitamin.
http://asharicdvm.blogspot.co.id/2014/04/metabolisme-vitamin.html. Diakses
Pada Rabu,16 Mei 2018 pukul 22.05 WIB.

Rianto, E dan Endang Purbowati . 2011. Panduan Lengkap Sapi Potong. Bogor :
Penebar Swadaya.
Soebarinoto, S. Chuzaemi dan Masudi. 1991. Ilmu Gizi Ruminansia. Jurusan
Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang

Subronto. 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-a (mammalia). Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Sugeng, B. 2003. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suttle dan Neville,F. 2010. Mineral Nutrition Of Livestock, 4th Edition. Uk: MPG
Books Group.

Anda mungkin juga menyukai