Anda di halaman 1dari 22

UNIVERSITAS INDONESIA

“RINGKASAN & TANGGAPAN

BUKU HAK ASASI MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK INDONESIA”

TUGAS MATA KULIAH POLITIK HUKUM

DOSEN: PROF. DR. SATYA ARINANTO S.H., M.H.

Nama : MAHMUD BARKAH

No. Mahasiswa : 1506780576

Kelas : B / Hukum Ekonomi Sore

Nomor Absen 27

PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

April 2016

RINGKASAN
1. Transisi Politik Menjadi Demokrasi

Gelombang pasang dari demokrasi-demokarasi baru yang muncul dari

negara-negara yang masa lalunya bersifat otoriter atau totaliter dimulai sejak tahun

1970-an. Negara tersebut harus berekonsialisasi dengan warisan masa lalunya

yang berupa pelanggaran-pelanggaran HAM serta, mengadopsi berbagai

mekanisme yang berbeda dengan masa lalunya.

Menurut Samuel P.Huntington, dalam 2-3 dekade terakhir terlah terjadi

revolusi politik yang luar biasa dimana transisi dan otoritarianisme menuju

demokrasi telah terjadi di lebih 40 negara. Rezim otoritatian sebelumnya berubah

signifikan, termasuk pemerintahan militer di Amerika Latin dan sebagainya; rezim 1

partai komunis di Negara komunis, juga Taiwan;dictator personal di Spanyol,

Filipina, Rumania, dan dimana saja; serta oligarki rasial di Afrika Selatan. Proses

transisi menuju demokrasi ini juga bervariasi.

Anthony Giddens berpandangan bahwa dalam semua upaya pembaruan

politik, pertanyaan mengenai siapa subyek atau pelaku politik muncul dengan

sendirinya. Selanjutnya Giddens berpendapat bahwa tema-tema tentang

berakhirnya politik, dan Negara yang dilanda oleh pasar global, menjadi begitu

menonjol dalam literature akhir-akhir ini, sehingga apa saja yang bisa dicapai oleh

pemerintah dalam dunuia kontemporer saat ini layak diulang kembali.

Menurut Franz Magnis-Suseno, totaliterisme adalah istilah ilmu politik untuk

menyebut suatu gejala paling mengejutkan dalam sejarah umat manusia, suatu

gejala yang secara mendadak mencuat dalam bagian pertama abd ke-20 yang baru

lalu. Dapat disimpulkan bahwa Negara totaliter adalah sebuah sistem politik yang

-2-
dengan melebihi bentuk-bentuk kenegaraan despotik tradisional-secara

menyerluruh mengontrol, menguasai, dan memobilisasikan segala segi kehidupan

masyarakat.

Menurut George Orwell dalam bukunya Animal Farm, Penguasa totaliter tidak

hanya mau memimpin tanpa gangguan dari bawah; ia tidak hanya mau memiliki

monopoli kekuasaan; juga bagaimana masyarakat hidup dan mati; bangun, tidur,

makan, belajar dan bekerja. Mengontrol apa yang mereka fikirkan, siapa yang tidak

ikut, akan dihancurkan.

Arendt membahas 2 rezim totaliter yang paling kondang yaitu pemerintahan

Nasional-Sosialisme (“Nazi”) dibawah kekuasaan Adolf Hitler (1933-1945) di Jerman

dan dalam kekuasaan Bolshevisme Soviet di bawah Jossif W.Stalin (1922-1953).

Salah satu contoh lain Negara totaliter di Asia adalah di Kamboja setelah Khmer

Merah mengambil alih kekuasaan.

Menurut Lowenthal rezim-rezim otoritarian tidak dapat disamakan karena

muncul berbagai kasus-kasus memperlihatkan bahwa faktor-faktor internasional-

secara langsung atau tidak langsung- mungkin mengkondisi dan mempengaruhi

jalannya transisi, namun yang menjadi partisipan utama dan memberikan pengaruh

dominan berasal dari dalam negeri serta pentingnya lembaga-lembaga, prosedur-

prosedur, dan forum-forum yang membantu melegitimasi para penguasa diskursus

politik dlam masa transisi politik.

Menurut Huntington sesungguhnya semua rezim otoritarian apapun

mempunyai kesamaan, yaitu hubungan sipil-militer yang tidak begitu diperhatikan.

-3-
Hampir tidak ada hubungan sipil-militer seperti di negara demokrasi yang disebut

dengan “kontrol sipil objektif” Objective civilian control).

Negara-negara demokrasi baru menghadapi tantangan yang serius untuk

mereformasi hubungan sipil-militer mereka secara drastis diantaranya: membangun

kekuasaan di wilayah publik, merancang konstitusi baru, menciptkan sistem

kompetisi partai dan institusi-institusi demokarasi lainnya, liberalisasi, privatisasi,

dan bergerak ke arah ekonomi dengan menahan laju inflasi dan pengangguran

mengurangi defisit anggaran, membatasi kejahatan dan korupsi, serta mengurangi

ketegangan dan konflik antaretnis dan kelompok agama.

Negara maju seperti di Amerika Utara dan Eropa Barat, pemetaan kedua

fungsi tersebut sudah bisa berjalan seimbang, masing-masing bisa berperan sesuai

dengan funginya, tidak tumpang tindih dan intervensi. Kalaupun ada pengaruh,

maka sipil yang mempengaruhi militer dan bukan sebaliknya. Karena yang berjalan

adalah prinsip “supremasi sipil”, maka kebijakan politik yang ditempuh dan

dijalankan pemerintahan sipil berpengaruh pada langkah yang harus ditempuh

militer. Dalam konteks transisi menuju demokrasi di Indonesia, diperlukan reposisi

hubungan sipil-militer dalam arti yang menyeluruh dan tidak hanya terbatas pada

bidang politik saja.

Dalam kasus Chile, pemerintah telah memilih sarana yang berbeda untuk

berhubungan dengan masa lalunya, misalnya dengan membuka kebenaran dari

pelanggaran-pelanggaran HAM dan dorongan terhadap suatu pengakuan publik

akan kejahatan-kejahatan dan bahkan suatu permintaan maaf terhadap para

korban. Tidak ada jaminan bahwa pengadilan-pengadilan merupakan sarana yang

-4-
terbaik untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM, karena pegadilan

tersebut dapat berjalan sesat untuk memenuhi kepentingan atau tujuan politik

Harold Crouch, seorang pengamat militer Australia menyatakan bahwa

kondisi baru yang mengarah ke demokratisasi di Indonesia telah memaksa TNI

untuk Dwifungsi, yang selama ini dijadikan landasan untuk kekuasaan politiknya.

Lima langkah reformasi TNI adalah pengurangan dalam perwakilan TNI-POLRI di

lembaga-lembaga perwakilan, penghapusan kekaryaan pengalihan sementara para

perwira ke posisi sipil, netralitas politik, pemisahan POLRI dari TNI, dan orientasi

pertahanan.

2. HAK ASASI MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK

Salah satu bentuk pelanggaran HAM dalam transisi politik terjadi pada kasus

pembunuhan Steven Biko di Afrika Selatan. Dia adalah pendiri gerakan Kesadaran

Kaum Kulit Hitam yang paling kharismatik dan meninggal di penjara, terbaring

telanjang di atas tikar dari lantai batu di rumah sakit Pretoria dengan mulut penuh

bekas pukulan dan berbusa. Pembunuhan selama diterapkannya Apartheid menurut

PBB adalah suatu kejahatan kemanusiaan.

Pelaku pembunuhan kejam ini mengajukan amnesty kepada Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. Konstitusi Transisi Afrika Selatan

mengabulkan permintaan mereka dengan memperhatikan segala aspek yang akan

ditimbulkan dari putusan tersebut. Hal ini dapat terealisasi, namun dapat diberikan

asal semua mereka membeberkan fakta yang relevan.

Ntsiki Biko, janda Steven Biko menilai rekonsiliasi haruslah datang dengan

keadilan dan menuntut penghukuman atas pembunuh suaminya hingga

-5-
mengadukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, walaupun akhirnya ditolak.

Menurutnya rekonsiliasi Afrika Selatan untuk memberikan Amnesti adalah

inkonstitusional dan bertentangan dengan hukum internasional. Dalam putusannya

pada tanggal 16 Februari 1999, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan

kemudian menyatakan untuk memberikan amnesti terhadap para pembunuh Steven

Biko, berdasarkan 2 alasan sebagai berikut: (1) Para pembunuh Biko belum

memberikan kesaksian dengan sejujur-jujurnya tentang kematian Biko kepada

Komisi, (2) Pembunuhan Biko tidak terkait dengan tujuan politik.

Menurut Bronkhorst, pelanggaran HAM haruslah dihukum, maka dari itu

negara memiliki hukum pidana. Selain itu dalam hukum internasional juga

mengandung peraturan penuntutan secara alamiah. Ada persetujuan yang meluas

di kalangan para ahli bahwa kewajiban untuk melakukan penuntutan secara alamiah

didasarkan pada putusan-putusan yang ada dalam hukum internasional. Tentunya,

terdapat keadaan-keadaan dimana asumsi ini tidak dapat dijamin keberlakuannya.

Berkaitan dengan perspektif hukum internasional, ada dua sudut pandang

yang berprinsip pada “inward looking” dan “outward looking”. Di Indonesia,

penganut outward looking berpendapat bahwa semua ketentuan dari badan

internasional harus dilaksanakan. Konvensi, hukum internasional, dan international

customary law dianggap perlu. Sedangkan inward looking berpendapat keputusan

internasional memang perlu dihormati sebab konsep “kedaulatan negara” telah

banyak digerogoti oleh peran PBB dan arus globalisasi.

3. PENGALAMAN BEBERAPA NEGARA

-6-
O’Donnell melihat adanya heterogenitas Amerika Latin yang lebih tinggi dari

pada Eropa Selatan. Beberapa ahli ilmu politik menyebut situasi rezim di beberapa

negara Amerika Latin pra transisi politik sebagai “otoriterisme birokratis”. Contohnya

adalah Rezim Somoza di Nikaragua, Rezim Batista di Kuba, dan Rezim Stroessner

di Paraguay. Transisi di Eropa Selatan tergambar lewat negara Yunani dan Spanyol.

Sedangkan Peru tergambarkan sebagai negara “otoriterisme populis”.

Di Spanyol Jendral Fransisco Franco yang menang dalam Perang Sipil

Spanyol memerintah secara totaliter, namun berakhir pada tahun 1980an dengan

rezim demokratis yang benar-benar berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Di

Yunani tergambar oleh kelompok perwira militer (junta) yang mengambil alih

kekuasaan dari Perdana Menteri George Papandreou yang menjamin untuk

memegang sementara kekuasaan dengan alasan mengontrol kekuatan komunis,

menghindari korupsi, dan mengembalikan Yunani ke demokrasi.

Jerman Timur setelah Perang Dunia menjadi blok komunis hingga pada masa

transisi dengan bersatunya Jerman Timur dan Barat pada bulan Oktober 1990. Di

tembok Berlin terpampang simbol tekanan Komunis dari Polisi Negara Jerman

Timur. Salah satu yang memperkuat Jerman ialah pengalamannya 40 tahun lebih

dengan konsep negara hukum menghasilkan keadilan transisional dalam era pasca

komunis.

BAB III

KEADILAN TRANSISIONAL

1. PENGANTAR

-7-
Lebih dari 20 bangsa dalam tempo 25 tahun mencoba untuk

menginstitusionalkan pencarian terhadap rekonsiliasi, hal ini memunculkan keadilan

transisional yang akrab dengan istilah-istilah “keadilan retributif”, “keadilan

restoratif”, “klarifikasi historis”, dan sebagainya. Menurut Bronkhorst, ada tiga hal

yang perlu dibahas dalam konteks keadilan pada masa transisi yaitu: (1)

Kebenaran, (2) Rekonsiliasi, dan (3) Keadilan.

Menurutnya Keadilan yang paling banyak menimbulkan perdebatan.

Pentingnya pencarian keadilan transisional negara-negara akan berbeda tergantung

dari kondisi masa lalu suatu negara. Perbedaan ini membuat upaya penyelesaian

masalah berkaitan dengan pelanggaran HAM berat menjadi berbeda.

Jika suatu negara yang otoriter berubah ke arah demokrasi maka

permasalahan sekarang adalah bagaimana masyarakat memperlakukan kejahatan

lalu yang pernah terjadi. Terkait permasalahan masa lalu, Ruti G.Teitel

membedakannya berdasarkan empat pertanyaan inti, yaitu:

1. Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap komitmen suatu rezim terhadap

aturan-aturan hukum yang dilahirkan?

2. Tindakan-tindakan hukum apakah yang memiliki signifikasi transformatif?

3. Apakah-jika ada- terdapat kaitan pertanggungjawaban negara terhadap masa

lalunya yang represif dan prospeknya untuk membentuk suatu tata pemerintahan

yang liberal?

4. Hukum apakah yang potensial sebagai pengantar ke arah liberalisasi?

2. KONTEKS INTERNASIONAL PADA WAKTU TRANSISI

-8-
Menurut Kritz, pemerintahan asing didorong untuk memberikan perlindungan

bagi mereka yang berasal dari rezim sebelumnya atau memfasilitasi pengeluaran

atau ekstradisi mereka untuk diadili. Harus dipertimbangkan bahwa jalan dimana

permasalahan ini diselesaikan dapat secara langsung mempengaruhi stabilitas

transisi di berbagai negara dan tetap fokus pada upaya transisi di seluruh dunia.

Konsep peradilan selain dari aturan hukum transisional adalah hukum

internasional. Dalam periode perubahan politik hukum, hukum internasional

menawarkan suatu konstruksi alternatif dari hukum yang tetap berlangsung dan

kekal. Hukum Internasional berlaku untuk mengurangi dilema dari aturan hukum

keadilan pengganti pada waktu transisi dan untuk menjustifikasi legalitas berkaitan

dengan perdebatan mengenai prinsip retroaktif (azas berlaku surut).

Di Belgia, Perancis dan Belanda mencerminkan problematika dengan masa

lalunya. Jika keseimbangan kekuatan pada masa transisi tidak dapat diciptakan,

maka pembeberan kejahatan dari rezim sebelumya tidak dapat dibenarkan. Hal ini

tepat menggambarkan pengertian Lawrence Weschler dalam bukunya yang

membahas mengenai penyelesaian masalah dengan para pelanggar masa lalu

adalah secara retrospektive, penyampaian kebenaran sampai pada tahap tertentu

perlu untuk menebus penderitaan korban bekas suatu rezim.

Para analis berpendapat bahwa dari faktor-faktor yang mempengaruhi arah

dari keadilan pascaotoritarian, yang paling menentukan adalah faktor keseimbangan

antara kekuatan masa lampau dan para elit penggantinya pada masa transisi. Para

Analis juga membuat beberapa skenario mengenai masa depan pascakomunisme

dalam empat kemungkinan, yaitu:

-9-
1. Skenario pertama, booming like west. Dalam gambaran ini negara pascakomunis

secara gradual bertransformasi menjadi negara demokrasi pluralis yang stabil.

2. Skenario kedua adalah dari suatu sistem otoritarian. Menurut Holmes,

menghasilkan gradasi dan diargumentasikan suatu pembedaan harus dibuat

antara kelompok populis, nasionalis, militer dan ada asusmsi adanya kembali ke

komunis.

3. Skenario ketiga tidak mengarah pada transisi jagka panjang, dimana pemerintah

berubah dengan reformasi yang abnormal dan tetap berupaya mengubah arah.

4. Skenario keempat adalah skenario yang tidak dapat atau tidak seharusnya

dideskripsikan; tidak dapat diprediksi sejak ia tidak dapat disesuaikan dengan

kategori-kategori yang eksis sebelumnya. Jika kejatuhan komunis belum

mengajarkan sesuatu dalam model kesempurnaan ilmu sosial, kita tidak dapat

meramal kemungkinan di masa depan.

3. KEADILAN DALAM MASA TRANSISI POLITIK

Perdebatan kelompok Realis dan Idealis mengenai hubungan hukum adalah

sebagai berikut: Dalam perdebatan tentang hubungan hukum dan keadilan dengan

liberalisasi terdapat dua pandangan yang saling berhadapan, yaitu apakah

perubahan politik dianggap penting untuk mendahului penegakkan aturan-aturan

hukum, atau sebaliknya, beberapa langkah hukum justru harus dilakukan untuk

mendahului politik.

Menurut Teifel, dilema awal dimulai dari konteks keadilan dalam transformasi

politik: hukum dicerna sebagai suatu fenomena yang terletak di antara masa lalu

-10-
dan masa yang akan datang, antara retrospektif dan prospektif, antara individual

dan kolektif. Dalam fungsi sosial yang umum, hukum berfungsi untuk memberikan

ketertiban dan stabilitas; namun dalam masa pergolakan politik yang luar biasa,

hukum berfungsi menjaga ketertiban disamping ia juga memungkinkan transformasi.

Terjadi pergeseran dalam paradigma karenanya fungsi hukum menjadi berlawanan

arah (paradoxical).

De Brito berpendapat bahwa hubungan antara keadilan politik dan demokrasi

adalah sesuatu yang kompleks. Implementasi kebijakan keadilan yang

komprehensif dilakukan oleh rezim-rezim pengganti yang nondemokratis

diperlengkapi dengan lebih baik dalam konteks filosofis dan psikologis.

Fundamentalisme yang membatasi keadilan berlaku di rezim demokratis.

Pengadilan tidak akan dapat menetapkan secara sah kesalahan masyarakat yang

dinilai oleh setiap orang bahwa dia pantas dihukum.

Mahfud MD mengemukakan dua pengertian politik hukum, (1) politik hukum

merupakan suatu kebijaksanaan hukum (legal policy) yang dilaksanakan secara

nasional oleh pemerintah, (2) bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara

melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan

hukum itu.

4. DILEMA PENERAPAN ATURAN HUKUM

Dalam Transisi, akan muncul suatu dilema transisional yang hadir pada

keseluruhan waktu sejarah politik. Bagaimana suatu aturan hukum ditegakkan, dan

bagaimana dengan dasar suatu rezim terdahulu di bawa ke pengadilan. Menurut

Teitel, dalam transformasi politik masalah legalitas berbeda dengan masalah teori

-11-
hukum sebagaimana ia muncul dalam demokrasi-demokrasi yang mantap dalam

waktu-waktu yang normal. Terdapat suatu penyusunan dari pertanyaan-pertanyaan

inti tentang legitimasi dari rezim baru, termasuk kondisi, peranan, dan pengadilan

transisional.

Dilema keadilan transisional akan muncul dalam periode-periode terjadinya

perubahan politik substansial. Masalah institusional mengenai bagaimana

membentuk suatu hukum sesuai dengan rule of law akan dibebani kepada

Mahkaman Konstitusi yang baru didirikan dalam periode ini.

Mengenai pelanggaran HAM yang terjadi pada masa NAZI Hitler, prinsip-

prinsip Nuremberg sebagai Pengadilan Militer pada tahun 1945-46 menyatakan

bahwa kejahatan kemanusiaan dapat diadili di pengadilan internasional. Pengadilan

Nuremberg memiliki kewenangan untuk mengadili crimes against peace, war

crimes, dan crimes against humanity.

-12-
TANGGAPAN

Buku Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia oleh Prof. Dr. Satya

Arinanto, SH, M.H., memberikan banyak informasi dan pengetahuan yang sangat

penting bagi semua orang khususnya mahasiswa untuk memahami mengenai masa

transisi, demokrasi, kerusuhan tahun 1998, dan pelanggaran HAM terdahulu yang

dilakukan oleh penguasa totaliter. Menurut George Orwell dalam bukunya Animal Farm,

penguasa totaliter tidak hanya memimpin tanpa gangguan dari bawah; ia tidak hanya

mau memiliki monopoli kekuasaan, tetapi juga mau secara aktif menentukan bagaimana

masyarakat hidup dan mati; bagaimana mereka bangun dari tidur, makan, belajar dan

bekerja. Ia juga mau mengontrol apa yang mereka pikirkan; dan siapa yang tidak ikut

akan dihancurkan1.

Pada tahun 1985 kekuasaan hukum, politik, sosial, dan militer, praktis berada

pada pimpinan puncak kekuasaan eksekutif, yaitu mantan Presiden Soeharto2.

Indonesia merupakan salah satu negara yang bertransisi dari pemerintahan Orde Baru

setelah 32 tahun lamanya memerintah menuju ke demokrasi yang dimulai pada tahun

1998. Demokrasi adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk

rakyat, oleh karena itu berbicara mengenai demokrasi adalah membicarakan tentang

kekuasaan, atau lebihnya pengelolaan kekuasaan secara beradab.

Pemerintah Indonesia sampai sekarang masih bebenah diri dalam hal menuju

demokrasi kerakyatan yang mampu membawa negara ke arah supremasi hukum yang

ideal. Proses demokrasi sangatlah panjang terutama dikaitkan dengan permasalahan

1 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia.(Jakarta:


Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015),
hal.102.
2 Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima, (Jakarta: Gramedia, 2006), hal. 14.

-13-
masa lalu yang sampai sekarang masih melanda. Kekuasaan otoriter dalam masa orde

baru dirasakan sangat berbekas sampai sekarang kekuasaannya, walaupun rezimnya

sudah turun dari tampuk kekuasaan.

Sekarang di masa menuju arah demokrasi yang matang, Indonesia masih berbenah diri,

pembenahan tersebut juga dibantu oleh masyarakat yang berperan tidak hanya menjadi

penonton pentas demokrasi di pemerintahan, namun juga berperan sebagai pengawas

jalannya pemerintahan yang demokratis. Banyak demonstrasi sebagai media aspirasi

rakyat apabila suatu kebijakan dinilai tidak sesuai dengan keadaan masyarakat.

Masyarakat bisa bersuara, mereka bisa berkomentar, bahkan tidak sedikit mereka

mencaci pemerintahan yang dianggap lalai dalam kinerjanya. Hal ini berbeda dengan

keadaan masa pada masa orde baru Soeharto, dimana banyak masyarakat dibungkam

kebebasannya, tidak boleh beraspirasi, harus mengikuti setiap keputusan pemerintah.

Segala lembaga pemerintahan berpusat pada presiden sebagai kepala negara.

Walaupun UUD 1945 sebelum ada amandemen mengatakan bahwa Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga tertinggi negara, tetapi pada

kenyataannya kekuasaan tertinggi itu berada pada Presiden. Artinya, semua pemegang

kekuasaan tanpa terkecuali tunduk pada Presiden. Dalam kaitan ini berkali-kali kita

dihadapkan fakta bahwa ketua Mahkamah Agung datang melapor dan mohon petunjuk

kepada Presiden, seperti Menteri atau Gubernur yang minta petunjuk 3. Hal ini

memperlihatkan rezim totaliter yang luar biasa.

Selain itu, kebebasan pers pun dibungkam. Semua berita hanya tertuju pada

TVRI dan RRI. Pemberitaan terkesan tertutup, tidak menyiarkan demonstrasi besar-

3 Charles Himawan, ibid., hal. 17.

-14-
besaran yang terjadi, kerusuhan massa, sampai berita korupsi. Apakah Indonesia pada

saat itu benar-benar ideal seperti yang digambarkan? Kebijakan negara dalam

pembatasan media akan memberi gambaran berbagai kebijakan dan tidakan birokrasi

negara dalam komunikasi yang diterapkan terhadap keberadaan media penyiaran di

Indonesia.

Untuk masuk dibidang media penyiaran, telah dilakukan diskriminasi dengan

bisnis penyiaran yang terkait dengan ruang sakral pribadi Soeharto. Lalu, bisnis televisi

kemudian hanya dimiliki dan dijalankan oleh anak dan kerabat Presiden Soeharto.

Kebijakan perizinan frekuensi di masa Orde Baru merupakan kewenangan birokrasi

yang bersifat tertutup tanpa akuntabulitas publik. Media penyiaran di era Orde Baru

memberikan kebijakan penyiaran hanya bagi mereka yang memiliki hubungan erat

dengan kekuasaan, dan pelaku bisnis di luar lingkar keuasaan akan dipersulit serta

dicurigai akan mengguncang kekuasaan. Hanya TVRI dan RRI yang diberikan

wewenang untuk menyiarkan berita kekuasaan rezim Orde Baru.4

Para aktifis, idealis, hingga reformator merasa aspirasi masyarakat harus

disampaikan.Tumbangnya pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Soeharto,

dilanjutkan oleh B.J Habibie, kemudian Abdurrahman Wahid serta Megawati Soekarno

Putri hingga bertransisi dan melakukan pemilihan presiden secara langsung. Pemilihan

presiden secara langsung pada tahun 2004 yang dimenangkan oleh Susilo Bambang

Yudhoyono. Untuk membuktikan konsistensi dari reformasi tersebut, banyak

perombakan-perombakan yang dilakukan, mulai dari reformasi birokrasi POLRI, TNI,

dan penghapusan dualisme TNI POLRI.

4 Masduki, Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter Ke Liberal, (Yogyakarta: LKIS, 2007),


hal. 62.

-15-
Hubungan militer dengan pencitraan TNI yang sangat berkuasa di masa Orde

baru hampir tidak dibarengi dengan kontrol sipil berbeda dengan yang terjadi di negara

demokrasi. Dominasi TNI dengan rezim otoriternya akhirnya kandas melalui reformasi

setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru dengan ditandai "Lima Langkah Reformasi

TNI". Tentu saja tidakan reformasi TNI dilakukan agar terpeliharanya momentum

demokrasi yang masih memerlukan sistem politik yang kuat dan kepemimpinan yang

bersih agar arah sesungguhnya dari reformasi terealisasi.

Selain itu mucul lembaga baru pada era demokrasi seperti KPK untuk

memberantas tindak pidana korupsi, Mahkamah Konstitusi yang memiliki fungsi dan

peran menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum, dan Komnas

HAM sebagai lembaga yang mengawasi pelanggaran HAM.

Berkaitan dengan pelanggaran HAM, banyak sekali yang terjadi pada zaman

pratransisi. Setiap masyarakat yang menentang akan diberikan ganjaran, bahkan tidak

sedikit yang meregang nyawa dikarenakan pertentangan terhadap pemerintahan di

masa orde baru. Pelanggaran HAM berat kerap terjadi, walaupun HAM telah disinggung

dalam dasar negara UUD 1945. Dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 serupa dengan

ketentuan pasal 4 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 tahun 2000

tentang pengadilan HAM menjelaskan mengenai pengertian HAM dalam "pembukaan"

sebagai: "Hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal

dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak

boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun"5.

5 Bindar Gultom, Pelanggaran HAM Dalam Hukum Keadaan Darurat Di Indonesia,


(Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 24.

-16-
Beberapa contoh dari pelanggar HAM tersebut adalah Pelanggaran HAM berat

Tanjung Priok (1984), kasus pelanggaran HAM berat di Aceh masa berlakunya Daerah

Operasi Militer (DOM) (1989) hingga pelanggaran HAM pada masa reformasi di tahun

19986. Reformasi tahun 1998 merupakan sejarah dimana kerusuhan banyak terjadi,

tragedi-tragedi masa transisi terjadi, memunculkan tragedi Semanggi I-II dan tragedi

Trisakti. Bentrokan menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei

1998, yaitu Elang Mulya Lesmana, Hery Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafididhin

Royan. Sebagai buntut dari peristiwa berdarah Universitas Trisakti, pada tanggal 13-14

Mei 1998 merebak kerusuhan di hampir seluruh kota Jakarta.

Padahal, prinsip dalam hukum acara pidana mengatur prinsip HAM, yaitu prinsip-

prinsip yang berhubungan dengan perlindungan terhadap "keluhuran harkat serta

martabat manusia" sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2004 tentang kekuasaan Kehakiman, dan harus ditegakkan sesuai menurut ketentuan

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP)7, terutama poin 1 dan 2 yang mengungkapkan: (1) Persamaan di muka

hukum (equality before law). Tidak ada perbedaan terhadap setiap orang, baik atas

dasar jabatan, agama, suku, golongan, dan sebagainya (2) Setiap tindakan hukum

harus dilakukan atas dasar perintah tertulis dan dilakukan oleh pejabat yang berwenang

serta dengan cara yang diatur oleh Undang-Undang.

Sorotan tajam dunia Internasional terhadap pelanggaran HAM yang terjadi

terlihat dari peran internasional yang membantu proses perdamaian yang ada di Aceh.

Persoalan pelanggaran HAM di Aceh secara rinci telah dilaporkan oleh beberapa

6 Ibid, hal. 25.


7 Ibid,hal. 24.

-17-
lembaga seperti Human Rights Watch maupun lembaga-lembaga lain di tanah air

seperti kontras, koalisi NGO di Aceh, dan sebagainya 8. Melalui perjanjian damai di

Helsinki, akhirnya Indonesia dapat membuktikan bahwa negara kesatuan Republik

Indonesia dapat tercapai dengan proses mediasi dari kedua belah pihak yang berseteru.

Diawali dengan kejadian Tsunami yang membuka jalan hubungan pusat dengan Aceh.

Pemerintahan baru di bawah SBY-JK kala itu membuka perundingan dengan GAM

untuk mengajak mereka memfokuskan masalah kemanusiaan berkaitan dengan

bencana Tsunami. Perundingan berhasil dilakukan di Helsinki, Finlandia, bulan Agustus

2005 yang membawa dampak penting bagi perubahan sosial-politik di Aceh ke depan.

Selanjutnya, berdasarkan MoU perdamaian ini, dibentuklah Undang-Undang

Pemerintahan Aceh yang disahkan pada 1 Agustus 2006 yang juga mengatur tentang

HAM, terdiri dari 5 pasal, yaitu pasal 227 s/d pasal 231. Sesuatu yang relatif baru,

dicantumkan dalam UUPA ini adalah tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi, yang

disebutkan akan dibentuk dengan diundangkannya UUPA ini. Pengadilan HAM juga

disebutkan akan dibentuk di Aceh.

Berdasarkan fakta yang ada, pemerintah di era reformasi jelas peduli akan

pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, khususnya yang telah

ditinggalkan oleh rezim sebelumnya. Namun, sebaiknya pemerintah tidak melakukan

aksi tebang pilih mengenai pelanggar kejahatan HAM ini. Karena, sampai sekarang ada

beberapa pensiunan jenderal besar yang pada zaman orde baru terkait dengan kasus

pelanggaran HAM sampai sekarang tidak tersentuh hukum. Jika dikaitkan, nyatanya

pemerintahan yang dibentuk sekarang ini masih berkaitan erat dengan militer yang pada

8 Nurhasim, Ambiguitas Perdamaian: Integtrasi Politik GAM Pasca – MoU Helsinki,


(Jakarta: LIPI, 2006),hal. 19.

-18-
zaman orde baru. Mereka yang diduga sebagai pelanggar HAM juga merupakan

petinggi partai besar yang sekarang masih eksis hingga kini juga merupakan orang

dekat Soeharto di jaman Orde Baru. Secara langsung maupun tidak langsung

masyarakat akhirnya berpandangan, bahwa apakah peran militer masih sangat kuat di

pemerintahan sampai sekarang ini.

Kebobrokan rezim Orde Baru harus dihapuskan, dari pelanggaran HAM hingga

KKN yang harus ditindak. Sekarang masyarakat lebih pintar, semua berbicara, dan

bertindak. Mengenai pelanggaran kasus KKN, diperlihatkan dengan penguasa yang

berkolusi dengan pengusaha. Beberapa praktek korupsi besar pada masa Orde Baru

adalah korupsi Pertamina (1970-an), Bulog, akhir tahun 1970-an dan 1990-an, Bank

Duta, Bappindo, Kanintodex, kasus penggusuran tanah, kemacetan kredit raksasa

(1997) pada bank pemerintah dan swasta yang diberikan oleh Bank Indonesia atas

nama kredit BLBI (Bantuan Likuidasi Bank Indonesia) yang berjumlah ratusan triliun

rupiah, serta praktek monopoli dan oligopoli atas tata niaga cengkeh dan jeruk di

Sulawesi Utara dan Kalimantan Barat tahun 1990-an9. Alhasil Indonesia menjadi negara

terkorupsi nomor 3 oleh hasil survei lembaga antikorupsi internasional - The

Transparancy International (TI) terhadap 99 negara yang dipublikasikan oleh Kompas

pada 22 Juli 200010.

Proses transisi dari rezim otoriter terdahulu merupakan bentuk ketidakpuasan

masyarakat atas pemerintahan yang telah berjalan. Walaupun sudah terjadi reformasi

besar-besaran yang terjadi pada tahun 1998, namun tetap saja ada sebagian besar

masyarakat yang belum puas dan tidak percaya kepada pemerintah. Buktinya saja,

9 Muhammad Hisyam, Krisis Masa Kini dan Orde Baru (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
2003), hal. 197.
10 ibid, hal 199

-19-
masih banyak kasus main hakim sendiri, ataupun kebrutalan yang terjadi oleh ormas-

ormas yang masih menilai bahwa hukum masih tidak memihak kepada rakyat. Dari

pembakaran, pembunuhan, pengeroyokan oleh masyarakat, hingga ormas yang

memboikot hal-hal yang dianggap mereka salah tanpa melalui jalur hukum.

Aksi main hakim sendiri sebenarnya bisa ditanggulangi apabila masyarakat

percaya dengan penegak hukum di negeri sendiri. Pada dasarnya penegakan hukum

dilakukan oleh alat penegak hukum (law enforcement agency) yang umumnya meliputi

kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, dan yang juga dikenal sebagai jalur hukum

terakhir adalah badan peradilan. Karenanya, orang melihat badan peradilan sebagai the

last bastion of legal order11.

Selain itu, pada era demokrasi saat ini, populer istilah “demokrasi kebablasan”.

Demokrasi kebablasan bisa terlihat dari partai politik yang jumlahnya terlalu banyak,

sehingga dapat menyebabkan efisiensi proses demokrasi berkurang. Menurut R.H

Soltau, partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir,

yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan

kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk mengendalikan dan menguasai

pemerintahan serta melaksanakan kebijakan umum mereka.Di Indonesia, sistem

perwakilan politik dilegitimasi melalui partai politik. Oleh karena itu banyak orang

berbondong-bondong masuk ke dalam struktural partai. Tidak jarang terjadi money

politic untuk memuluskan pencapaian kekuasaan. Sangat disayangkan apabila

kepentingan-kepentingan partai masih dikedepankan dibandingkan dengan kepentingan

masyarakat.

11 Charles Himawan, Op.cit., hal 5

-20-
Demokrasi Indonesia juga seharusnya berpedoman pada dasar negara,

sehingga masyarakat Indonesia dapat menjadi pribadi pancasila dan UUD 1945 yang

ideal. Saat ini negara yang masih belum stabil masih dalam fase berbenah diri. Bhineka

Tunggal Ika (beragam tapi tetap satu) janganlah hanya sebagai semboyan belaka,

namun realisasinya haruslah terjadi demi Indonesia yang lebih baik. Sosialisasi nilai-

nilai universal demokrasi dan sosialisasi nilai-nilai persatuan nasional haruslah

direalisasikan. Kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan

seharusnya dapat disingkirkan terlebih dahulu untuk menyongsong negara demokrasi

yang ideal dengan pertumbuhan kesejahteraan masyarakat yang maksimal.

-21-
DAFTAR PUSTAKA

Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta: Pusat

Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015.

Gultom, Bindar. Pelanggaran HAM Dalam Hukum Keadaan Darurat Di Indonesia.

Jakarta: Gramedia, 2009.

Himawan, Charles. Hukum Sebagai Panglima. Jakarta: Gramedia, 2006.

Hisyam, Muhammad. Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2003.

Masduki. Regulasi Penyiaran; Dari Otoriter Ke Liberal. Yogyakarta; LKIS, 2007.

Nurhasim. Ambiguitas Perdamaian: Integtrasi Politik GAM Pasca – MoU Helsinki.

Jakarta; LIPI, 2006.

-22-

Anda mungkin juga menyukai