Perbedaan Konsep Budaya Antara Daerah Istimewa Yogyakarta
Perbedaan Konsep Budaya Antara Daerah Istimewa Yogyakarta
Perbedaan konsep budaya antara Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) & Surakarta (Solo),
ditinjau dari Simbol, Perilaku, Harapan, Kepercayaan, Nilai, dan Norma :
A. Simbol
No DIY SURAKARTA
Gelar Pimpinan Yogyakarta. Gelar Gelar Pimpinan Surakarta. Gelar pemimpin
1 pemimpin daerah Yogyakarta adalah Sri daerah Surakarta adalah Susuhunan
Sultan Hamengku Buwono. Pakubuwana..
Monumen Tugu Jogja. Tugu ini dibangun Dalem Purwodiningratan. Bangunan ini
pada tahun 1755 oleh Hamengku Buwono I, dibuat oleh Sunan Paku Buwono IV
pendiri keraton Yogyakarta. Nama lain dari bersamaan dengan dibangunnya Dalem
tugu ini adalah Tugu Golong-Gilig. Suryohamijayan dan Dalem Sasonomulyo.
2 Keberadaannya dipergunakan untuk Ketika Dalem Purwodiningratan selesai
menjadikan patokan arah ketika Sri Sultan dibangun, Sinuhun PB IV berkenan untuk
Hamengku Buwono I pada saat melakukan mengadakan Lenggah Sinoko (sidang
meditasi yang menghadap puncak Gunung pemerintahan dihadapan para menteri) di
Merapi. bangunan tersebut.
Bangunan Keraton Surakarta didominasi
Bangunan Keraton Yogyakarta dipenuhi dengan nuansa Eropa di dalamnya.
3 simbol-simbol Hindu Jawa yang kental. Contohnya seperti beberapa patung wanita
Contohnya seperti pintu Gerbang Dwarakala. bergaya busana Eropa dan Yunani di bangsal
keraton.
Blangkon Surakarta tidak memiliki
Blangkon Yogyakarta memiliki mendolan
mendolan atau benjolan sebagai tempat
4 atau benjolan sebagai tempat gelungan
gelungan rambut. Hal ini disebabkan karena
rambut.
budaya potongan rambut bangsawan Eropa.
Surjan merupakan baju adat khas Yogyakarta
Beskap merupakan baju adat khas Surakarta
5 untuk laki-laki, yang lebih cenderung
untuk laki-laki, yang tidak memiliki motif.
bermotif seperti bunga-bunga.
Bentuk Wayang Yogyakarta memiliki Bentuk Wayang Surakarta memiliki bentuk
6
bentuk fisik yang berisi / besar. fisik yang lebih kecil.
Batik Surakarta menggunakan kain dasar
Batik Yogyakarta menggunakan kain dasar
7 berwarna coklat sogan dengan motif
berwarna putih dengan motif berukuran besar.
berukuran lebih kecil.
Warangka / sarung penyimpan keris dengan Warangka / sarung penyimpan keris dengan
8
pangkal yang tumpul. pangkal yang cenderung lebih lancip.
Warna & Tata Letak Gamelan Yogyakarta Warna & Tata Letak Gamelan Surakarta
9 berwarna kuning emas dan disusun renggang berwarna coklat kayu dan disusun lebih rapat
/ sedikit jauh pada saat dimainkan. pada saat dimainkan.
B. Perilaku
Dalam hal Perilaku, penulis tidak mendapatkan informasi baik berupa literatur maupun
pengalaman pribadi penulis mengenai perbedaan yang signifikan tentang perilaku antara masyarakat
Yogyakarta dan Surakarta. Menurut penulis, hal ini dapat disebabkan oleh banyak hal, salah satunya
JULYO SECHAR / 103116014 / MN-16 / PMDK
adalah sejarah berdirinya dua daerah ini yang bermula pada satu pemerintahan, yaitu Kerajaan
Mataram yang melaksanakan perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
Perjanjian ini mengakibatkan pecahnya Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Keraton Surakarta
Hadiningrat atau Surakarta, dan Ngayogyakarta Hadiningrat. Di sisi lain, keduanya memiliki
kesamaan dari segi Bahasa, kosakata yang dipergunakan tidak jauh beda. Beberapa terminologi yang
sering penulis dengar berbeda adalah penggunaan kata “Nuwun Sewu” untuk Surakarta dan
“Ndherek Langkung” untuk Jogja. Keduanya mengandung makna yang sama yaitu permohonan
permisi. Sementara dari segi citarasa dalam mengonsumsi dan memproduksi makanan, keduanya
cenderung memiliki citarasa manis.
C. Harapan
No DIY SURAKARTA
Upacara Panggih Yogyakarta. Pada salah
satu tahapan dalam upacara pernikahan adat
Yogyakarta maupun Surakarta, terdapat
Upacara Panggih Surakarta. Berbeda
upacara Panggih. Pada Panggih Jogja terdapat
dengan Yogyakarta, sebutan upacara ini
ritual pemecahan telur Ayam. Di Jogja ritual
adalah Midak Wiji Dadi. Perbedaan yang ada
ini disebut Wiji Dadi hanya diadakan
adalah, di Surakarta tidak dipecahkan oleh
pembasuhan kaki pengantin putra oleh
juru rias, tetapi diinjak hingga pecah oleh
pengantin putri, kemudian telur ayam tidak
pengantin putra, dan kemudian kakinya
diinjak tetapi hanya ditempelkan di dahi dan
1 dibasuh oleh pengantin putri. Ritual ini
dipecahan oleh juru rias. Ritual ini
melambangkan sebuah harapan, dimana istri
melambangkan sebuah harapan dimana
mampu memberikan pengabdian terhadap
sebuah awal yang menandakan adanya
suaminya, begitu pula sang suami bersedia
pengabdian sebagai seorang istri terhadap
mendampingi dan melindungi instrinya
suami. Selain itu, telur yang ditempelkan pada
sebagai bentuk tanggung jawab apa yang telah
dahi kedua pengantin sebagai harapan
ia mulai.
terwujudnya suatu pemikiran bersama
sehingga mampu menyelesaikan persoalan
rumah tangga.
Terdapat Ritual Sindur Binayang pada
Panggih Surakarta. Sindur Binayang adalah
upacara ketika kedua mempelai diselimuti
sindur (kain khusus) oleh ibu pengantin
wanita dan berjalan menuju kursi mempelai,
Tidak terdapat Ritual Sindur Binayang pada
2 dibimbing oleh bapak pengantik wanita.
Panggih di Yogyakarta.
Ritual ini bermakna sebuah pengharapan dan
doa dari sang ibu mengenai jalan kebahagiaan
bagi sang anak dengan memberikan dukungan
moral terhadap kedua mempelai untuk
membangun bahtera rumah tangga yang baru.
Terdapat Ritual Bobot Timbang Pangkon
pada Panggih, yaitu ritual dimana kedua
Tidak terdapat Ritual Bobot Timbang mempelai duduk di pangkuan kanan dan kiri
3
Pangkon pada Panggih di Yogyakarta. ayahanda mempelai wanita. Keduanya
ditanyakan beratnya oleh ibu mempelai
wanita, manakah yang lebih berat. Ayah
JULYO SECHAR / 103116014 / MN-16 / PMDK
D. Kepercayaan
No DIY SURAKARTA
Upacara Jumenengan Kraton Surakarta.
Upacara Jumenengan adalah tradisi dalam
Upacara Labuhan, Ritual Sakral untuk
rangka memperingati naiknya tahta seorang
Memperingati Tahta Sultan. Hajad Dalem
raja yang digelar setiap tahun di kraton-kraton
Tingalan Jumenengan ini merupakan
pecahan kerajaan Mataram. Bagi Kraton,
serangkaian upacara adat yang digelar Kraton
upacara Jumenengan menjadi salah satu
Jogja dalam rangka penobatan atau pun
prosesi upacara paling sakral. Mengingat pada
kenaikan tahta Sultan Jogja. Sebagai acara
saat prosesi tersebut digelar, berbagai macam
puncak, Keraton Jogja nantinya akan
ritual menyatu menjadi satu rangkaian
melangsungkan upacara Sugengan untuk
upacara adat. Selain itu, pada saat upacara
memohon umur panjang bagi Sultan,
tradisi ini dilakukan, dipercaya gaib nusantara
kecermelangan tahta Sultan, dan
ikut menghadiri jalannya prosesi. Termasuk,
kesejahteraan untuk rakyat. etelah rangkaian
Kanjeng Ratu Kidul yang secara metafisik
acara Sugengan, Keraton Jogja akan
spiritual punya kedekatan dengan Kraton
menggelar upacara labuhan di berbagai
besar pecahan Mataram, Yogyakarta dan
tempat atau pun petilasan yang dianggap
Surakarta. Karenanya di puncak upacara adat
sakral. Tujuan melakukan ritual ini sebagai
1 Jumenengan selalu digelar tari Bedaya
bentuk permohonan kepada Tuhan Yang
Ketawang. Tarian yang terdiri dari sembilan
Maha Esa untuk diberikan keselamatan,
penari perempuan itu diyakini salah satunya
kesejahteraan, dan juga keselarasan alam.
adalah Kanjeng Ratu Pantai Selatan dalam
Dari serangkaian acara Hajad Dalem Tingalan
wujud tak kasat mata. Tari Bedhaya Ketawang
Jumenengan tersebut, ritual labuhan menjadi
ini dibawakan oleh sembilan penari. Dalam
upacara yang menarik perhatian masyarakat
mitologi Jawa, sembilan penari Bedhaya
dan juga wisatawan. Arak-arakan Keraton
Ketawang menggambarkan sembilan arah
Jogja sambil membawa sesaji dan berbagai
mata angin yang dikuasai oleh sembilan dewa
perlengkapan ritual lengkap menjadi hal tak
yang disebut dengan Nawasanga. Versi lain
biasa yang telah menjadi suatu kepercayaan
menyebutkan bahwa jumlah penari yang
tersendiri bagi masyarakat Jogja dan
sembilan orang merupakan lambang dari
sekitarnya. Ada beberapa tempat yang
Sembilan Wali atau Wali Songo. Sebagai
dijadikan lokasi upacara Labuhan yaitu Pantai
tarian sakral, ada beberapa syarat yang harus
Panrangkusumo, Gunung Merapi, Gunung
dimiliki oleh penarinya. Syarat utama adalah
Lawu, dan Dlepih Kayangan Wonogiri.
penarinya harus seorang gadis suci dan tidak
sedang haid.
JULYO SECHAR / 103116014 / MN-16 / PMDK
E. Nilai
Ruang Lingkup Tata Nilai Budaya Keraton Yogyakarta & Surakarta sebagai kesatuan
pewaris budaya Kerajaan Mataram.
F. Norma
Pertemuan Jatisari yang diadakan dua hari setelah Perjanjian Giyanti, tepatnya pada tanggal
15 Februari 1755, Nicolas Hartingh (Gubernur VOC), Sultan Hamengku Buwono dan beberapa
pengawalnya berangkat ke Jatisari yang berada di titik pertengahan antara Surakarta dan
Giyanti, untuk bertemu dengan Paku Buwono III dengan tujuan melakukan rekonsiliasi
Menurut penelitian Baha’ Uddin dan Dwi Ratna Nurhajarini dari Prodi Sejarah, Universitas
Gadjah Mada, di Jatisari kedua penguasa Jawa yang merupakan paman dan keponakan itu,
bertemu sebagai raja yang berkedudukan sama.
Pada kesempatan itu, Paku Buwono III menghadiahi sang paman Sultan Hamengku Buwono
Keris Kyai Kopek, yang diturunkan dari Sunan Kalijaga, dan kemudian menjadi pusaka ageng
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Selain itu, pada pertemuan di Jatisari tersebut juga terdapat sebuah kesepakatan penting
yang berhubungan dengan tradisi budaya dan norma yang masing-masing akan dikembangkan
oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Pada kesempatan itu disepakati bahwa
Sultan Hamengku Buwono akan melestarikan dan mengembangkan tradisi budaya dan adat
istiadat Kerajaan Mataram sebelum terjadi peristiwa Palihan Nagari. Sementara itu, Sunan
Paku Buwono III memilih akan membangun sebuah kebudayaan dan tradisi budaya baru
yang tetap berlandaskan pada budaya Kerajaan Mataram.
JULYO SECHAR / 103116014 / MN-16 / PMDK
DAFTAR PUSTAKA
1. Drs. Beny Suharsono, M. (2015). Tata Nilai Budaya Yogyakarta dan Surakarta. Daerah
Istimewa Yogyakarta: Pemerintahan Daerah ; Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Hartoyo, A. (2018, February 10). Memotret Perjalanan Kehidupan Lewat Kata – Travel,
Finance, and Culture. Retrieved from https://achihartoyo.com/2018/02/10/serupa-tapi-tak-
sama-inilah-7-perbedaan-solo-dan-yogya/