Anda di halaman 1dari 9

JULYO SECHAR / 103116014 / MN-16 / PMDK

Perbedaan konsep budaya antara Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) & Surakarta (Solo),
ditinjau dari Simbol, Perilaku, Harapan, Kepercayaan, Nilai, dan Norma :

A. Simbol

No DIY SURAKARTA
Gelar Pimpinan Yogyakarta. Gelar Gelar Pimpinan Surakarta. Gelar pemimpin
1 pemimpin daerah Yogyakarta adalah Sri daerah Surakarta adalah Susuhunan
Sultan Hamengku Buwono. Pakubuwana..
Monumen Tugu Jogja. Tugu ini dibangun Dalem Purwodiningratan. Bangunan ini
pada tahun 1755 oleh Hamengku Buwono I, dibuat oleh Sunan Paku Buwono IV
pendiri keraton Yogyakarta. Nama lain dari bersamaan dengan dibangunnya Dalem
tugu ini adalah Tugu Golong-Gilig. Suryohamijayan dan Dalem Sasonomulyo.
2 Keberadaannya dipergunakan untuk Ketika Dalem Purwodiningratan selesai
menjadikan patokan arah ketika Sri Sultan dibangun, Sinuhun PB IV berkenan untuk
Hamengku Buwono I pada saat melakukan mengadakan Lenggah Sinoko (sidang
meditasi yang menghadap puncak Gunung pemerintahan dihadapan para menteri) di
Merapi. bangunan tersebut.
Bangunan Keraton Surakarta didominasi
Bangunan Keraton Yogyakarta dipenuhi dengan nuansa Eropa di dalamnya.
3 simbol-simbol Hindu Jawa yang kental. Contohnya seperti beberapa patung wanita
Contohnya seperti pintu Gerbang Dwarakala. bergaya busana Eropa dan Yunani di bangsal
keraton.
Blangkon Surakarta tidak memiliki
Blangkon Yogyakarta memiliki mendolan
mendolan atau benjolan sebagai tempat
4 atau benjolan sebagai tempat gelungan
gelungan rambut. Hal ini disebabkan karena
rambut.
budaya potongan rambut bangsawan Eropa.
Surjan merupakan baju adat khas Yogyakarta
Beskap merupakan baju adat khas Surakarta
5 untuk laki-laki, yang lebih cenderung
untuk laki-laki, yang tidak memiliki motif.
bermotif seperti bunga-bunga.
Bentuk Wayang Yogyakarta memiliki Bentuk Wayang Surakarta memiliki bentuk
6
bentuk fisik yang berisi / besar. fisik yang lebih kecil.
Batik Surakarta menggunakan kain dasar
Batik Yogyakarta menggunakan kain dasar
7 berwarna coklat sogan dengan motif
berwarna putih dengan motif berukuran besar.
berukuran lebih kecil.
Warangka / sarung penyimpan keris dengan Warangka / sarung penyimpan keris dengan
8
pangkal yang tumpul. pangkal yang cenderung lebih lancip.
Warna & Tata Letak Gamelan Yogyakarta Warna & Tata Letak Gamelan Surakarta
9 berwarna kuning emas dan disusun renggang berwarna coklat kayu dan disusun lebih rapat
/ sedikit jauh pada saat dimainkan. pada saat dimainkan.

B. Perilaku
Dalam hal Perilaku, penulis tidak mendapatkan informasi baik berupa literatur maupun
pengalaman pribadi penulis mengenai perbedaan yang signifikan tentang perilaku antara masyarakat
Yogyakarta dan Surakarta. Menurut penulis, hal ini dapat disebabkan oleh banyak hal, salah satunya
JULYO SECHAR / 103116014 / MN-16 / PMDK

adalah sejarah berdirinya dua daerah ini yang bermula pada satu pemerintahan, yaitu Kerajaan
Mataram yang melaksanakan perjanjian Giyanti pada tahun 1755.

Perjanjian ini mengakibatkan pecahnya Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Keraton Surakarta
Hadiningrat atau Surakarta, dan Ngayogyakarta Hadiningrat. Di sisi lain, keduanya memiliki
kesamaan dari segi Bahasa, kosakata yang dipergunakan tidak jauh beda. Beberapa terminologi yang
sering penulis dengar berbeda adalah penggunaan kata “Nuwun Sewu” untuk Surakarta dan
“Ndherek Langkung” untuk Jogja. Keduanya mengandung makna yang sama yaitu permohonan
permisi. Sementara dari segi citarasa dalam mengonsumsi dan memproduksi makanan, keduanya
cenderung memiliki citarasa manis.

C. Harapan

No DIY SURAKARTA
Upacara Panggih Yogyakarta. Pada salah
satu tahapan dalam upacara pernikahan adat
Yogyakarta maupun Surakarta, terdapat
Upacara Panggih Surakarta. Berbeda
upacara Panggih. Pada Panggih Jogja terdapat
dengan Yogyakarta, sebutan upacara ini
ritual pemecahan telur Ayam. Di Jogja ritual
adalah Midak Wiji Dadi. Perbedaan yang ada
ini disebut Wiji Dadi hanya diadakan
adalah, di Surakarta tidak dipecahkan oleh
pembasuhan kaki pengantin putra oleh
juru rias, tetapi diinjak hingga pecah oleh
pengantin putri, kemudian telur ayam tidak
pengantin putra, dan kemudian kakinya
diinjak tetapi hanya ditempelkan di dahi dan
1 dibasuh oleh pengantin putri. Ritual ini
dipecahan oleh juru rias. Ritual ini
melambangkan sebuah harapan, dimana istri
melambangkan sebuah harapan dimana
mampu memberikan pengabdian terhadap
sebuah awal yang menandakan adanya
suaminya, begitu pula sang suami bersedia
pengabdian sebagai seorang istri terhadap
mendampingi dan melindungi instrinya
suami. Selain itu, telur yang ditempelkan pada
sebagai bentuk tanggung jawab apa yang telah
dahi kedua pengantin sebagai harapan
ia mulai.
terwujudnya suatu pemikiran bersama
sehingga mampu menyelesaikan persoalan
rumah tangga.
Terdapat Ritual Sindur Binayang pada
Panggih Surakarta. Sindur Binayang adalah
upacara ketika kedua mempelai diselimuti
sindur (kain khusus) oleh ibu pengantin
wanita dan berjalan menuju kursi mempelai,
Tidak terdapat Ritual Sindur Binayang pada
2 dibimbing oleh bapak pengantik wanita.
Panggih di Yogyakarta.
Ritual ini bermakna sebuah pengharapan dan
doa dari sang ibu mengenai jalan kebahagiaan
bagi sang anak dengan memberikan dukungan
moral terhadap kedua mempelai untuk
membangun bahtera rumah tangga yang baru.
Terdapat Ritual Bobot Timbang Pangkon
pada Panggih, yaitu ritual dimana kedua
Tidak terdapat Ritual Bobot Timbang mempelai duduk di pangkuan kanan dan kiri
3
Pangkon pada Panggih di Yogyakarta. ayahanda mempelai wanita. Keduanya
ditanyakan beratnya oleh ibu mempelai
wanita, manakah yang lebih berat. Ayah
JULYO SECHAR / 103116014 / MN-16 / PMDK

mempelai wanita yang memangku kedua


mempelai akan menjawab berat keduanya
sama. ritual ini mengandung makna dimana
terdapat sebuah pengharapan bahwa ketika
terjadi sebuah masalah di dalam rumah
tangga, baik pengantin pria sebagai suami dan
pengantin wanita sebagai istri memiliki
tanggung jawab yang sama dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut.

D. Kepercayaan

No DIY SURAKARTA
Upacara Jumenengan Kraton Surakarta.
Upacara Jumenengan adalah tradisi dalam
Upacara Labuhan, Ritual Sakral untuk
rangka memperingati naiknya tahta seorang
Memperingati Tahta Sultan. Hajad Dalem
raja yang digelar setiap tahun di kraton-kraton
Tingalan Jumenengan ini merupakan
pecahan kerajaan Mataram. Bagi Kraton,
serangkaian upacara adat yang digelar Kraton
upacara Jumenengan menjadi salah satu
Jogja dalam rangka penobatan atau pun
prosesi upacara paling sakral. Mengingat pada
kenaikan tahta Sultan Jogja. Sebagai acara
saat prosesi tersebut digelar, berbagai macam
puncak, Keraton Jogja nantinya akan
ritual menyatu menjadi satu rangkaian
melangsungkan upacara Sugengan untuk
upacara adat. Selain itu, pada saat upacara
memohon umur panjang bagi Sultan,
tradisi ini dilakukan, dipercaya gaib nusantara
kecermelangan tahta Sultan, dan
ikut menghadiri jalannya prosesi. Termasuk,
kesejahteraan untuk rakyat. etelah rangkaian
Kanjeng Ratu Kidul yang secara metafisik
acara Sugengan, Keraton Jogja akan
spiritual punya kedekatan dengan Kraton
menggelar upacara labuhan di berbagai
besar pecahan Mataram, Yogyakarta dan
tempat atau pun petilasan yang dianggap
Surakarta. Karenanya di puncak upacara adat
sakral. Tujuan melakukan ritual ini sebagai
1 Jumenengan selalu digelar tari Bedaya
bentuk permohonan kepada Tuhan Yang
Ketawang. Tarian yang terdiri dari sembilan
Maha Esa untuk diberikan keselamatan,
penari perempuan itu diyakini salah satunya
kesejahteraan, dan juga keselarasan alam.
adalah Kanjeng Ratu Pantai Selatan dalam
Dari serangkaian acara Hajad Dalem Tingalan
wujud tak kasat mata. Tari Bedhaya Ketawang
Jumenengan tersebut, ritual labuhan menjadi
ini dibawakan oleh sembilan penari. Dalam
upacara yang menarik perhatian masyarakat
mitologi Jawa, sembilan penari Bedhaya
dan juga wisatawan. Arak-arakan Keraton
Ketawang menggambarkan sembilan arah
Jogja sambil membawa sesaji dan berbagai
mata angin yang dikuasai oleh sembilan dewa
perlengkapan ritual lengkap menjadi hal tak
yang disebut dengan Nawasanga. Versi lain
biasa yang telah menjadi suatu kepercayaan
menyebutkan bahwa jumlah penari yang
tersendiri bagi masyarakat Jogja dan
sembilan orang merupakan lambang dari
sekitarnya. Ada beberapa tempat yang
Sembilan Wali atau Wali Songo. Sebagai
dijadikan lokasi upacara Labuhan yaitu Pantai
tarian sakral, ada beberapa syarat yang harus
Panrangkusumo, Gunung Merapi, Gunung
dimiliki oleh penarinya. Syarat utama adalah
Lawu, dan Dlepih Kayangan Wonogiri.
penarinya harus seorang gadis suci dan tidak
sedang haid.
JULYO SECHAR / 103116014 / MN-16 / PMDK

Kirab Kebo Bule. Upacara ini pada dasarnya


merupakan pawai sekelompok kerbau yang
dikeramatkan oleh masyarakat setempat.
Kerbau-kerbau tersebut merupakan keturunan
Kyai Slamet, seekor kerbau albino (bule)
pemberian Bupati Ponorogo kepada Sultan
Pakubuwono II yang waktu itu masih
memimpin di Kartasura. Sejak pindah ke
Surakarta (dikenal juga dengan Surakarta),
Kyai Slamet menjadi hewan kesayangan
Sultan. Karena itulah hewan ini dan
keturunannya dianggap keramat dan memiliki
Ritual Jamasan Pusaka, atau prosesi
keistimewaan sendiri di hati masyarakat
pembersihan pusaka-pusaka keraton,
Surakarta. Ritual Kebo Bule biasanya diawali
dilaksanakan setiap hari Selasa Kliwon pada
dengan pembacaan doa oleh para abdi dalem
bulan Sura (Muharram), bulan pertama dari
Keraton. Setelah memanjatkan doa, para abdi
kalender Jawa. Apabila pada bulan Sura tahun
dalem akan menyebar singkong dan kembang
itu tidak terdapat hari Selasa Kliwon, maka
tujuh rupa untuk menyambut sekelompok
pelaksanaannya diganti pada hari Jumat
kerbau albino keturunan Kyai Slamet.
Kliwon. Selasa Kliwon dianggap hari yang
Biasanya kirab akan dimulai jika kerbau-
baik untuk pelaksanaan Jamasan Pusaka,
kerbau tersebut mau keluar kandang. Bila
karena pada Selasa Kliwon merupakan hari
belum mau, tidak ada satu orang pun yang
turunnya wahyu keraton. Sedangkan Jumat
diperbolehkan untuk memaksa. Karena para
Kliwon dianggap sebagai hari baik bagi umat
2 abdi dalem dan punggawa Keraton Surakarta
Islam. Anggapan ini ada sejak Sultan Agung
mengeramatkan hewan ini dan
menciptakan kalender Jawa yang merupakan
memperlakukannya seperti pangeran. Begitu
penyatuan antara kalender Saka dan kalender
kerbau keluar kandang, para abdi dalem akan
Islam. amasan Pusaka merupakan suatu
memberikan penghormatan dan menyambut
upacara yang bersifat sakral. Persiapan yang
kerbau dengan mengalungkan untaian melati
dilakukan tidak hanya persiapan fisik semata,
serta kembang kantil. Begitu gerombolan
namun juga persiapan rohani. Sebelum
kerbau tersebut berjalan keluar kompleks
bertugas, para Abdi Dalem akan berpuasa dan
Keraton, maka prosesi kirab pun secara resmi
mandi terlebih dahulu. Ini dilakukan dalam
telah dimulai. Biasanya saat itu para kerbau
rangka menyucikan diri. Para Abdi Dalem
akan didampingi oleh srati (pawang) yang
juga harus menjaga sikap, tutur kata dan
berbaju putih. Mereka akan berjalan di barisan
perbuatan selama upacara Jamasan Pusaka.
terdepan diikuti oleh para punggawa dan abdi
dalem yang menbawa tombak dan koleksi
pusaka milik Keraton. Saat kirab, jalanan di
sekitar Keraton Surakarta biasanya sudah
dipenuhi oleh penduduk yang ingin melihat
kebo bule dari dekat. Beberapa bahkan ada
yang mencoba menyentuh kerbau tersebut
karena percaya ada keberkahan yang akan
didapat. Tetapi aksi ini akan dihalau oleh para
srati untuk mencegah kerbau bertindak
agresif. Ritual Kirab Kebo Bule sebenarnya
tidak hanya diadakan sebagai peringatan
JULYO SECHAR / 103116014 / MN-16 / PMDK

datangnya tahun baru Jawa, tetapi juga


penghormatan kepada Sultan Agung. Sultan
Agung merupakan raja ketiga yang
memerintah Kerajaan Mataram pada tahun
1613-1645. Di bawah pemerintahan beliau,
Mataram yang awalnya merupakan kerajaan
Hindu berkembang menjadi salah satu
kerajaan Islam terbesar di Nusantara pada
masanya. Kalender Jawa yang sekarang
digunakan merupakan karya besar Sultan
Agung yang diadaptasi dari penanggalan
Hijriyah.

E. Nilai
Ruang Lingkup Tata Nilai Budaya Keraton Yogyakarta & Surakarta sebagai kesatuan
pewaris budaya Kerajaan Mataram.

No Tata Niai Keterangan


- Dunia yang tergelar dengan seluruh isinya,
termasuk menusia, berasal dari Tuhan &
kelak akan kembali kepada Tuhan (mulih
mulo mulaniro);
- Tuhan ialah asal muasal & tempat kembali
1 Religio-Spiritual segala sesuatu (sangkan paraning
dumadi);
- Dengan kekuasaan yang tanpa batas, Tuhan
menciptakan dunia beserta isinya (jagad
gedhe; makrokosmos), termasuk manusia
(jagad cilik: mikrikosmos)
- Menjaga kebaikan, keindahan, &
kelestarian dunia harus dimulai dari diri
manusia sendiri dengan menjaga kebenaran
pemikiran & ucapan, kebaikan perilaku,
keharmonisan & keindahan tatanan
pergaulan hidup, baik dengan sesame
manusia, dengan alam semesta, dan
terutama dangan Tuhan;
2 Moral - Watak mulia harus diikhtiarkan dengan
menjauhi perangai buruk seperti angkuh,
bengis, jahil, serakah, panjang tangan, gila
pujian (aja ladak lan jail, aja serakah, aja
celimut, aja mburu aleman);
- Semua watak buruk itu harus dihindari,
dijauhi dan ditinggalkan. Orang harus
senantiasa berusaha menanam kebajikan &
terus-menerus menyemai budi luhur
JULYO SECHAR / 103116014 / MN-16 / PMDK

sebagai keutamaan (nandur kabecikan,


ndhedher kautaman).
- Masyarakat (bebrayan agung) dipahami
sebagai suatu keluarga besar, dengan
landasan utama kasih saying (sih kinasih;
asih ing sesami);
- Hidup bersama dalam masyarakat dituntut
kesetiakawanan sosial antar anggotanya,
baik dalam keadaan senang maupun susah
(sabaya mati, sabaya mukti);
- Prinsip hormat yang bersifat batiniah
3 Kemasyarakatan
tersebut diekspresikan secara lahiriah
dalam wujud sopan santun (tata karma;
unggah-ungguh). Sopan santun
menjauhkan orang dari celaan (tata karma
iku ngadohake ing panyendhu);
- Membawa diri dengan tepat dalam
perggaulan, baik waktu, tempat dan
konteks (angon mangsa, empan papan,
duga prayoga).
- Adat = sesuatu yang dikenal, diketahui, dan
diulang-ulang => menjadi kebiasaan
masyarakat.
- Adat berupa nilai-nilai yang dikemas dalam
norma-norma tertentu.
- Nilai dan norma yang terkandung
diekspresikan dengan Bahasa, tutur kata,
gerak-gerik tubuh, perilaku, tatacara,
hukum, dsb.
4 Adat dan Tradisi
- Adat yang berisi nilai & norma tertentu
yang melembaga menuntut ketaatan dari
komunitas pendukungnya.
- Adat yang diekpresikan dalam kehidupan
kongrit sehari-hari disebut “cara hidup”
bagi penganutnya. Sedangkan
pengekspresian suatu adat secara resmi &
melibatkan banyak orang biasanya disebut
“upacara”.
- Mencari pengetahuan wajib hukumnya bagi
setiap orang, dilakukan dengan usaha keras
agar mencapai hasil yang memadai
(ngelmu iku kelakine kanthi laku);
5 Pendidikan dan Pengetahuan - Usaha keras dilandasi dengan kemauan
keras, kesungguhan hati, tekad & semangat
=> memberikan kekuatan, ketabahan dan
kegigihan (lekase lawan kas, tegese kas
nyantosani);
JULYO SECHAR / 103116014 / MN-16 / PMDK

- Yang utama adalah keteguhan hati dalam


menghadapi godaan yang menyesatkan
(setya budaya pangekese dur angkara);
- Keraton sebagai pusat budaya memberi
teladan bahwa setiap bangunan senantiasa
menggambarkan citra tertentu dengan
muatan identitas nilai yang dikandung &
fungsi yang melekat pada bangunan
sebagai wahana kegiatan manusiawi;
- Konstruksi atau Joglo ditopang oleh Soko
Guru (tiang utama) yang berjumlah 4 buah
6 Penataan Ruang dan Arsitektur (Pajupat);
- Manusia berada di tengah perpotongan arah
mata angin, tempat yang dianggap
mengandung getaran magis tinggi =>
disebut Pancer atau Manunggaling Keblat
Papat.
- Mencerminkan Jagad Alit & Jagad Gedhe
(kehidupan manusia dipengaruhi diri
sendiri dan kekuatan alam/lingkungan)
- Tugas mulia yang harus ditunaikan
manusia adalahh bersungguh-sungguh
berusaha keras secara terus-menerus (sepi
ing pamrih, rame ing gawe)
mengusahakan dan menjaga kebenaran,
kebaikan, keindahan, keselamatan dan
kelestarian dunia (hamemayu hayuning
bawana);
- Wujud nyata tugas mulia tersebut
dilakukan manusia dengan bekerja. Orang
tidak boleh berpangku tangan aja tanpa
7 Mata Pencaharian
bekerja (lungguh jegang sila tumpang),
dengan mengharap rezeki seakan-akan
bakal jatuh dengan sendirinya dari langit
(thenguk-thenguk nemu kethuk; ngenteni
endoge blorok);
- Setiap orang harus bertekat bulat (cancut
taliwanda) berusaha keras (mbudidaya)
mengerjakan sesuatu yang berguna bagi
diri sendiri, keluarga, masyarakat
sekitarnya, negaranya, maupun bagi umat
manusia seluruhnya.
- Terdapat tingkatan-tingkatan berbahasa
dalam berkomunikasi (unggah ungguhing
8 Bahasa basa) sesuai dengan posisi masing-masing
pihak dalam tata komunikasi, agar harmoni
pergaulan sosial tetap terjaga baik.
JULYO SECHAR / 103116014 / MN-16 / PMDK

- Dalam mengaktualisasikan nilai-nilai


adiluhung tersebut, masyarakat selalu
berusaha keras bahu-membahu,
mengerahkan semua sumber daya, baik
lelaki dan perempuan, tua dan muda, atasan
dan bawahan, pemimpin maupun rakyat
(golong gilig), sehingga seluruhnya dapat
berkonsentrasi (sawiji) untuk
didayagunakan meraih cita-cita & hasil
yang didambakan.
- Semua langkah tersebut disertai semangat
yang menggugah dan membangkitkan
9 Semangat
kegigihan yang dinamis (greget).
- Dengan segala potensi yang dimilikinya,
masyarakat senantiasa percaya diri dalam
bertindak (sengguh), tidak akan mundur
setapak pun (konsisten) dan siap
menanggung segala risiko apa pun
(konsekuen) yang harus daihadapi (ora
mingkuh) dengan penuh rasa tanggung
jawab (lamun kapengkoking pancabaya
ubayane datan mblenjani) demi
terwujudnya cita-cita yang diidam-
idamkan.

F. Norma
Pertemuan Jatisari yang diadakan dua hari setelah Perjanjian Giyanti, tepatnya pada tanggal
15 Februari 1755, Nicolas Hartingh (Gubernur VOC), Sultan Hamengku Buwono dan beberapa
pengawalnya berangkat ke Jatisari yang berada di titik pertengahan antara Surakarta dan
Giyanti, untuk bertemu dengan Paku Buwono III dengan tujuan melakukan rekonsiliasi

Menurut penelitian Baha’ Uddin dan Dwi Ratna Nurhajarini dari Prodi Sejarah, Universitas
Gadjah Mada, di Jatisari kedua penguasa Jawa yang merupakan paman dan keponakan itu,
bertemu sebagai raja yang berkedudukan sama.
Pada kesempatan itu, Paku Buwono III menghadiahi sang paman Sultan Hamengku Buwono
Keris Kyai Kopek, yang diturunkan dari Sunan Kalijaga, dan kemudian menjadi pusaka ageng
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

Selain itu, pada pertemuan di Jatisari tersebut juga terdapat sebuah kesepakatan penting
yang berhubungan dengan tradisi budaya dan norma yang masing-masing akan dikembangkan
oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Pada kesempatan itu disepakati bahwa
Sultan Hamengku Buwono akan melestarikan dan mengembangkan tradisi budaya dan adat
istiadat Kerajaan Mataram sebelum terjadi peristiwa Palihan Nagari. Sementara itu, Sunan
Paku Buwono III memilih akan membangun sebuah kebudayaan dan tradisi budaya baru
yang tetap berlandaskan pada budaya Kerajaan Mataram.
JULYO SECHAR / 103116014 / MN-16 / PMDK

DAFTAR PUSTAKA

1. Drs. Beny Suharsono, M. (2015). Tata Nilai Budaya Yogyakarta dan Surakarta. Daerah
Istimewa Yogyakarta: Pemerintahan Daerah ; Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Hartoyo, A. (2018, February 10). Memotret Perjalanan Kehidupan Lewat Kata – Travel,
Finance, and Culture. Retrieved from https://achihartoyo.com/2018/02/10/serupa-tapi-tak-
sama-inilah-7-perbedaan-solo-dan-yogya/

Anda mungkin juga menyukai