Anda di halaman 1dari 6

MAKNA DAN FILOSOFIS RITUAL NGURAS ENCEH DI MAKAM RAJA IMOGIRI

A. ABSTRAK
B. METODE
C. PENDAHULUAN
D. HASIL DAN PEMBAHASAN

 Prosesi Ritual Nguras Enceh

Ritual Nguras Enceh sendiri dilaksanakan pada bulan suro dan pada harian Kliwon pada
penanggalan Jawa khususnya pada hari Jumat Kliwon. Namun apabila tidak terdapat Jumat
Kliwon pada bulan itu Ritual dapat dilakukan pada Selasa Kliwon (Akbar, 2018). Ritual
Nguras Enceh memiliki beberapa prosesi dan tata cara dalam pelaksanaannya, sama halnya
dengan berbagai ritual kebudayaan pada umumnya. Seluruh rangkaian prosesi ini memiliki
fungsi dan makna tersendiri. Bahkan terdapat beberapa ritual sebelum Nguras Enceh
dilaksanakan (Suharti, 2014). Berikut merupakan beberapa serangkaian prosesi pada ritual
Nguras Enceh:

1. Ngarak Siwur
Prosesi ini dilakukan pada sehari sebelum pelaksanaan ritual Nguras Enceh,
tepatnya pada Kamis Wage atau Senin Wage. Ritual ini merupakan sebuah tradisi baru
yang pada mulanya hanya dilakukan oleh para abdi dalem kasunanan Surakarta dan
Kesultanan Ngayogyakarta. Ritual ini baru mulai dilaksanakan secara semarak dan
diadakan kirab budaya dimulai pada tahun 1999. Sebelum hadirnya ritual Ngarak Siwur
ini, hanya melaksanakan dzikir dan tahlil pada kompleks pemakaman Raja Imogiri.
Prosesi ini dimulai dengan pengambilan gayung/ Siwur pada ndalem bupati juru kunci
Surakarta dan ndalem bupati juru kunci Puroloyo (Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat). Setelah pengambilan, gayung diarak menuju Kompleks Makam raja-raja
Imogiri yang nantinya akan disimpan untuk dipergunakan pada ritual Nguras Enceh.
Prosesi ini juga diadakan kirab budaya yang terdiri dari seserahan dan hasil bumi yang
nantinya akan dibagikan pada masyarakat (Rokhim, 2013).
2. Kenduren & Selamatan
Ritual ini merupakan ritual yang sering dilakukan oleh masyarakat Jawa. Ritual ini
terdiri dari pembacaan doa, tahlil dan dzikir sebagai pembuka dalam ritual pengurasan
Enceh nantinya. Ritual ini sendiri sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang diperoleh
dan juga bentuk penghormatan terhadap ritual inti yaitu Nguras Enceh. Tradisi ini juga
akan diakhiri dengan makan besar dan pembagian hasil bumi sekaligus seserahan yang
terdapat pada tumpengan yang telah diarak pada hari sebelumnya (Suharti, 2014).

3. Nguras Enceh
Prosesi awal dari ritual ini merupakan mengalungkan rangkaian bunga dan tabur
bunga pada Enceh yang akan dikuras. Lalu dilanjutkan dengan pembukaan tutup dari
Enceh yang dilakukan oleh juru kunci dari makam Imogiri atau abdi dalem yang
berpangkat ngabei atau tumenggung. Pengurasan ini didahului dengan pengurasan k
dua tempayan yaitu pemberian dari Kerajaan Samudera Pasai (Aceh) yang diberi nama
Kyai Danumaya dan Tempayan pemberian dari Kerajaan Ngerum (Turki) yang diberi
nama Kyai Mendung'. Lalu dilanjutkan dengan pengurasan dari Enceh atau tempayan
Nyai yaitu tempayan pemberian dari Kerajaan Sriwijaya (Palembang) yang diberi nama
Nyai Danumurti dan pemberian dari Kerajaan Siam (Thailand) yang diberi nama Nyai
Siyem (Hinaya, 2017).

Pengurasan pertama dilakukan menggunakan Siwur/ gayung yang sebelumnya


dikirab, lalu untuk berikutnya dapat dilakukan menggunakan alat bantu lain ( ember,
gayung plastik dll). Setelah air terisi penuh baru warga dapat mengambil air dari Enceh
tersebut. Untuk pengisian Enceh sendiri diiisi dengan air yang berasal dari mata air yang
berdekatan dengan kompleks makam raja-raja Imogiri. Mata air ini disebut mata air
Bengkung, mata air ini dipercaya sebagai tempat petilasan dari Sultan Agung. Oleh
sebab itu mata air ini dianggap suci dan keramat sehingga dipergunakan sebagai air
dalam ritual Nguras Enceh itu sendiri (Rokhim, 2013). Dan juga mata air ini pun
dipergunakan untuk kebutuhan bertapa dan pencarian ilmu oleh warga-warga. Dalam
penggunaan dan pemanfaatan air itu sendiri harus melalui berbagai syarat diantara lain:
Pembawa/ masyarakat yang meminta air harus menyimpan dan mempergunakan
dengan baik (Hinaya, 2017).

Sebelum meminum air tersebut diharuskan untuk membaca surah Al Fatihah dan
Al ikhlas, yang keduanya ditujukan untuk Sultan Agung (Hinaya, 2017).
Juga masyarakat yang mendapatkan air untuk dibawa pulang akan dikenai sumbangan
sukarela sebagai bentuk partisipasi dan Kontribusi untuk pembiayaan ritual Nguras
Enceh kedepannya demi pelestarian dan kelangsungan tradisi ini apalagi penarikan ini
hanya berupa sukarela yang tentunya tidak memberatkan bagi pengunjung dari
kalangan manapun(Hinaya, 2017).

Dalam perkembangannya wujud dari pengabdian dan penghormatan kepada Sultan


Agung menjadi sebuah upacara tradisi yang dilaksanakan oleh abdi dalem kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat dan abdi dalem Surakarta Hadiningrat serta dibantu oleh warga masyarakat Imogiri
setiap tahunnya, yaitu setiap bulan Sura. Upacara tradisi nguras enceh di Makam raja-raja
Imogiri merupakan wujud dari sebuah kepercayaan masyarakat atau wujud dari perilaku religius
masyarakat terhadap rajanya yang dianggap mampu melindungi rakyatnya walaupun raja itu
telah mangkat. (Rokhim, 2013) Wujud penghormatan yang bagi masyarakat yang ditujukann ke
sultan agung selama bertahun tahun bahkan berabad-abad dilestarikan. Dalam hal ini salah satu
perwujudannya ialah Nguras Enceh. Dapat diartikan tujuan untuk mencari berkah adalah salah
satu tujuan utama dengan mengambil air yang berasal dari benda kebanggaan salah satu
pemimpin tanah jawa. Tentunya mereka mengharap berkah dari apa yang mereka dapat

Alasan digunakannya makam raja-raja Imogiri digunakan sebagai tempat upacara tradisi
nguras enceh karena di makam inilah para raja-raja kerajaan mataram serta raja-raja dari
keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat di makamkan, serta adanya
anggapan dari masyarakat yang menganggap bahwa makam raja-raja Imogiri sebagai makam
yang sangat keramat karena makam raja-raja Imogiri dibangun di atas bukit dan dikelilingi oleh
pepohonan yang sangat rindang dan besar. (Sarjono, 2013) Pelaksanaan Nguras enceh ini pada
mulanya hanya dilaksanakan oleh keluarga kerajaan yang dipimpin sultan. Karena dianggap
nguras enceh yang melibatkan barang favorit Sultan Agung hingga dibawa ke peristirahatan
terakhirnya.

Enceh yang terdapat di makam raja-raja Imogiri ini bukan sembarang enceh, enceh ini
dahulu pada zaman Sultan Agung digunakan untuk berwudlu. Enceh ini merupakan cinderamata
dari kerajaan-kerajaan sahabat Sultan Agung (Rokhim, 2013)Perwujudan Enceh atau gentong
besar yang ada di makam Imogiri ini terdiri dari empat enceh yang paqda awalnya dibawa pada
saat awal mula mangkatnya sultan agung.

Air dari dalam Enceh tersebut diyakini mampu membawa berkah pada saat pengurasan
tersebut oleh karena hal itu banyak masyarakat yang berbondong-bondong untuk mencari
berkah dari enceh tersebut. (Fitrilyani, 2017) dalam prosesi tersebut memang sangat dinanti-
nanti oleh kalangan masyarakat, baik yang secara langsung berada di dekat dari prosesi upacara
dalam hal ini di sekitaran kawasan Imogiri. Namun prosesi ini juga dihadiri oleh orang-orang
yang ada dari segala penjuru. Kepercayaan dari hal tersebut dikarenkan barang siapa yang
meminum air dari hasil pengurasan atau penggantian enceh akan mendapatkan berkah. Bahkan
dikisahkan saat TNI pada waktu serangan umum 1 Maret 1949 meminum air dari enceh ini
berkhasiat membawa kemenangan untuk Indonesia (Rokhim, 2013)

Terdiri dari empat enceh yang masing-masing berasal dari kerajaan berbeda diantaranya
dari kerajaan Sriwijaya, Banda Aceh dan juga Turki serta ada satu enceh yang berasal dari
Thailand. Pemberian Enceh ini tentunya memberi petunjuk penting dimana Sultan Agung dalam
perjanjian politik maupun sebagai hadiah. Sebagaimana seorang sultan yang membina
hubungan dengan orang luar. Sultan agung pun turut melakoni hal ini yang dalam
cinderamatanya bisa dilihat dengan adanya enceh yang ditaruh dalam dua keraton Solo dan
Jogja. Dalam hal ini bisa diambil kesimpulan apabila Sultan Agung menjalin banyak hubungan
baik dengan negara-negara yang ada bahkan bagian daerah Turki yang disebutkan memberi
salah satu enceh merupakan bagian dari Sultan Agung.

Berikut merupakan daftar enceh yang dipunyai sultan Agung (Rokhim, 2013)

1. Nyai Danumurti

2. Kyai Danumaya

3. Kyai Mendung

4. Nyai Siyem

Penggunaan Siwur tidak sembarangan sebagai gayung yang di. Dikarenakan penggunaan
Batok kelapa untuk gayung sebagai awal mula dibukanya prosesi nguras enceh ini. siwur dalam
kepercayaan ini mempunyai arti atau lebih masuk ke dalam akronim dalam bahasa jawa yaitu nek isi ora
ngawur (Rokhim, 2013) salah satu ciri khas dari kebudayaan jawa yang tentunya dikenal di golongan
orang jawa itu sendiri. Penyebutan akronim-akronim seperti ini yang membentuk satu kata yang bahkan
dikenal luas. Merupakan hal yang dapat ditemui di jawa seperti di antaranya penyebutan guru yang di
akronimkan menjadi digugu lan ditiru . atau
Dari keterangan CLW 14 dapat diketahui bahwa makna dari gunungan yaitu sebagai tanda ucapan
syukur atas hasil panen yang melimpah. Adanya gunungan di kirab budaya ngarak siwur juga dilatar
belakangi oleh sebagian penduduk di Kecamatan Imogiri berprofesi sebagai petani, hal ini juga diperkuat
oleh Dalam keterangan tersebut juga didapat makna filosofi yang terdapat dalam sebuah gunungan,
menurut keterangan tersebut gunungan memiliki kata dasar gunung berasal dari kata gu dan dunung.
Gu berarti gumregah (dari bahasa jawa) atau bangkit, dan dunung (dari bahasa jawa) atau benar, tepat
dan pintar.

“Sesaji itu hanya gambaran, sebenarnya memiliki makna, seperti nasi gurih itu berwarna putih, lha putih
itu berarti suci. Jadi orang itu harus suci atau bersih hatinya. Ingkung, orang yang suda meninggal itu
tidak bisa apa-apa seperti ingkung yang kaku, jadi manusia itu jangan sampai sombong, angkuh karena
toh besok kalau meninggal juga hanya kaku. Lha kalau ketan kolak apem ,ketan ktan itu lengket orang
harus selalu dekat dengan Allah .Kolak itu manis, orang harus berbicara yang baik-baik jangan sampai
berbicara jelek. Apem itu dari kata ampun, jadi orang haru suka memohon ampun kepada Allah agar
dimaafkan segala dosanya. Pisang sanggan artinya menyangga, kita harus menyangga para leluhur kita,
mendoakanlah. Dan yang terakhir tumpeng robyong, tumpeng itu bentuknya lancip, yang lancip itu
diibaratkan tempatnya Allah , kalau robyongnya itu lambang kesuburan dan kemuliaan jadi atas
limpahan kemuliyaan dan kesuburan dari Allah tersebut, kita harus bersyukur kepada Gusti Allah.
Tumpeng itu juga bisa dimaknai kalau metu kudu mempeng (kalau keluar ya harus bersungguh-
sungguh).”

E. SIMPULAN
F. DAFTAR RUJUKAN
Akbar, Muhammad Firly, (2018). Makam Raja-Raja sebagai Destinasi Wisata
Imogiri Yogyakarta. Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta
Rokhim, Maliki Nur, (2013). “Unsur Religi dalam Tradisi Nguras Enceh di
MakamRaja-rajaImogiri”. https://eprints.uny.ac.id/25830/1/Maliky%20Nur
%20Rokhim%2008205241059.pdf . Diakses pada 24 Maret 2021
Suharta, Rudy (2014). Pengembangan Produk Andalan dengan Pendekatan One
Village One Product (OVOP) Di Kecamatan Imogiri. Jurnal Riset Daerah Vol. XIII,
No.1
Hinaya, Nindyasti Dilla. (2017). Pengaruh Budaya Jawa-Hindu dalam Kompleks
Makam Imogiri, Yogyakarta. Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan
Indonesia (IPLBI) 1, B 205-210 https://doi.org/10.32315/sem.1.b205. diakses
pada 24 Maret 2021

Anda mungkin juga menyukai