TESIS
ANA LUSIYANA
NPM 1606947206
TESIS
ANA LUSIYANA
NPM 1606947206
ii
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Analisis Hubungan
Antara Kompetensi Case Manager dengan Burnout, Turnover Intention, dan
Kinerja Perawat”. Tesis ini diajukan untuk sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Keperawatan Peminatan Kepemimpinan dan Manajemen
Keperawatan pada Program Studi Magister Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu
Keperawatan, Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah
sulit bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Penulis mengucapkan terima kasih
secara khusus kepada Dr. Hanny Handiyani, S.Kp., M.Kep, selaku pembimbing
akademik dan pembimbing I; Hening Pujasari S.Kp., Ph.D, selaku pembimbing II, yang
telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, kritik, dan saran yang
membangun selama proses penyusunan tesis ini .
Akhir kata, semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.
Penulis
vi
Burnout atau kelelahan emosional, turnover atau sikap memutuskan untuk pindah kerja,
dan belum optimalnya kinerja perawat merupakan komponen mutu asuhan keperawatan
yang masih bermasalah. Resiko yang muncul akibat adanya burnout, turnover intention,
dan rendahnya kinerja perawat yaitu tidak efektifnya asuhan keperawatan pasien yang
dapat menurunkan kualitas pelayanan. Tujuan penelitian ini mengidentifikasi dampak
kompetensi manajerial case manager terhadap burnout, turnover intention, dan kinerja
perawat. Metode penelitian menggunakan desain cross sectional di tiga rumah sakit
dengan 235 responden. Hasil analisis menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
kompetensi manajerial case manager dengan burnout, turnover intention,dan kinerja
perawat. Alternatif solusi untuk meningkatkan efektifitas alur pasien yaitu
mengoptimalkan peran dan fungsi case manager. Perlu adanya peningkatan kompetensi
case manager melalui internalisasi peran dan fungsi manajerial case manager serta
pendidikan informal maupun formal untuk dapat menurunkan burnout, turnover
intention, dan kinerja perawat.
viii
Burnout or emotional fatigue, turnover or attitude deciding to quit from work, and low
nurse’s performances nurses are quality component of nursing care which still
problematic in hospotal management. Greatest risk arising from burnout, turnover
intention, and the low performance of nurses is ineffective nursing care which can
reduce the quality of service. The purpose of this study was to identified impact of
managerial competence of nurse case manager on burnout, turnover intention, and
nurse performance. Research method used in this research was cross sectional design
in three hospitals with 235 respondents. The results from analysis indicate that there is
a relationship between managerial competence case manager with burnout, turnover
intention, and nurse performance. Alternative solutions to improve the effectiveness of
the patient care is to optimize the role and function of the case manager. There needs to
be increased case manager competence through internalization of the role and function
of managerial case manager and informal and formal education to reduce burnout,
turnover intention, and nurse performance.
ix
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 8
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 9
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 10
Universitas Indonesia
4. METODOLOGI PENELITIAN..................................................................... 47
4.1 Desain Penelitian ....................................................................................... 47
4.2 Populasi dan Sampel .................................................................................. 47
4.2.1 Populasi .............................................................................................. 47
4.2.2 Sampel ................................................................................................ 48
4.3 Tempat Penelitian ...................................................................................... 50
4.4 Waktu Penelitian ........................................................................................ 51
4.5 Etika Penelitian .......................................................................................... 52
4.6 Instrumen Penelitian .................................................................................. 53
4.7 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen .................................................... 55
4.8 Prosedur Pengumpulan Data...................................................................... 57
4.8.1 Prosedur Administrasi ...................................................................... 57
4.8.2 Prosedur Teknis ............................................................................... 57
4.9 Pengolahan data ......................................................................................... 58
4.10 Analisis Data .............................................................................................. 59
4.10.1 Analisis Univariat ............................................................................... 59
4.10.2 Analisis Bivariat ................................................................................. 59
4.10.3 Analisis Multivariat. ........................................................................... 61
Universitas Indonesia
6. PEMBAHASAN ............................................................................................... 81
6.1 Interpretasi dan Diskusi Hasil .................................................................... 81
6.1.1 Gambaran karakteristik Perawat ......................................................... 81
6.1.2 Gambaran Kompetensi Manajerial Case Manager ............................ 84
6.1.3 Gambaran Burnout, Turnover Intention dan Kinerja Perawat............ 89
6.1.4 Hubungan Karakteristik Perawat dengan Burnout Perawat ............... 93
6.1.5 Hubungan Karakteristik Perawat dengan Turnover Intention Perawat96
6.1.6 Hubungan Karakteristik Perawat dengan Kinerja Perawat ................ 99
6.1.7 Hubungan Kompetensi Manajerial Case Manager dengan Burnout
Perawat ............................................................................................. 102
6.1.8 Hubungan Kompetensi Manajerial Case Manager denganTurnover
Intention Perawat .............................................................................. 104
6.1.9 Hubungan Kompetensi Manajerial Case Manager dengan Kinerja
Perawat ............................................................................................. 106
6.1.10 Kompetensi Manajerial yang paling berpengaruh terhadap Burnout
Perawat ............................................................................................. 109
6.1.11 Karakteristik Perawat dan Kompetensi Manajerial yang paling
berpengaruh terhadap Turnover Intention Perawat .......................... 110
6.1.12 Karakteristik Perawat dan Kompetensi Manajerial yang paling
berpengaruh terhadap Kinerja Perawat ............................................. 111
6.2 Keterbatasan Penelitian ........................................................................... 112
6.3 Implikasi terhadap Pelayanan, Pendidikan, dan Penelitian ..................... 113
6.3.1 Implikasi terhadap Pelayanan Keperawatan ..................................... 113
6.3.2 Implikasi terhadap Manajer Keperawatan ........................................ 113
6.3.3 Implikasi terhadap Pendidikan ......................................................... 114
6.3.4 Implikasi terhadap Penelitian ........................................................... 114
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
Angka burnout perawat di beberapa negara menunjukkan angka yang signifikan. Angka
burnout di Thailand telah mencapai 41% (Nantsupawat et al, 2011), 68,3% di Brazil
(Galindo, Feliciano, Lima, & de Souza, 2012), 42% di Inggris, 44% di Yunani(Ribeiro
et al., 2014), dan di Amerika mencapai 70% pada bulan Mei 2017. Tingkat burnout di
Indonesia memiliki prosentase yang bervariasi yaitu 56% di Samarinda (Ramdan &
Fadly, 2016), 26,67% di Kediri (Maharani, 2012), 19,8% di Bali (Surya & Adiputra,
2017), 3% di Purwokerto (Sulistyowati, 2007).
Universitas Indonesia
Kejadian burnout belum menjadi fokus utama. Belum adanya survey berkala terhadap
angka kejadian burnout yang terjadi pada perawat menandakan belum adanya
pemahaman tentang bahaya jika terjadi burnout. Berdasarkan pernyataan dari bagian
keperawatan Rumah Sakit X, Rumah Sakit Y, dan Rumah Sakit Z, sampai saat
pengumpulan data, belum ada survey mengenai tingkat burnout perawat.
Burnout yang tidak teratasi secara efektif dapat membahayakan pasien dan perawat.
Dampaknya meliputi keluhan kesehatan fisik dan mental yang dapat menimbulkan
kelalaian medis dan non medis selama proses perawatan (Ribeiro et al, 2014; Tawale,
2011; Wang et al, 2013). Keluhan kesehatan juga berisiko meningkatkan beban kerja
perawat lainnya sehingga menimbulkan keinginan untuk pindah ke tempat lain
(turnover)(Konstantinou et al, 2018; Lin, Jiang, & Lam, 2013).
Penilaian tingkat burnout menjadi sangat penting dalam manajemen sumber daya
perawat. Sebagian besar peneliti menggunakan instrumen Maschlah Burnout Inventory-
Human Service System (MBI-HSS) dalam mengukur burnout perawat (Lheureux et al,
2017; Ntantana, Matamis, Savvidou, & Giannakou, 2017), namun beberapa peneliti saat
ini menggunakan instrumen terbaru yaitu Oldenburg Burnout Inventory
(OLBI)(Demerouti & Bekker, 2008) yang lebih efektif mengukur burnout. Instrumen
OLBI secara kompleks mengukur dua dimensi utama burnout yaitu dimensi kelelahan
emosional dan depersonalisasi (Brislöv & Nordström, 2012). Penggunaan instrumen
OLBI menjadi lebih bermakna apabila digunakan dengan instrumen pendukung lain
(Bothma & Roodt, 2013; Giffen, 2015), salah satunya penilaian terhadap risiko
terjadinya turnover pada perawat.
Universitas Indonesia
37,1% (Fardiansyah, Muhith, Himawan Saputra, & Fenty, 2017). Angka turnover di
Rumah Sakit X mengalami peningkatan hampir mencapai 4% dengan rincian sebesar
6,34% pada tahun 2016 kemudian meningkat menjadi 10% pada tahun 2017. Prosentase
ini merupakan nilai yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan standar WCO terhadap
turnover sebesar 7% (Fardiansyah et al, 2017).
Dampak negatif turnover perawat dapat meningkatkan beban kerja bagi rumah sakit.
Tenaga perawat yang hilang saat turnover memaksa rumah sakit untuk melakukan
rekrutmen tenaga baru, wawancara, pelatihan yang sesuai dengan kualifikasi unit dan
melakukan program orientasi terhadap sistem organisasi Rumah Sakit(Arbianingsih et
al., 2016; Prabowo, 2017) sehingga mencapai kualitas yang sesuai dengan visi dan misi
Rumah Sakit(Prihanjana, 2013). Beban kerja ini merugikan Rumah Sakit dari sisi
manajemen pelayanan dan efektifitas sistem keuangan (Prabowo, 2017; Prihanjana,
2013) sehingga berisiko menyebabkan penurunan kinerja perawat.
Universitas Indonesia
optimalnya lingkungan kerja terutama beban kerja dan kerjasama antar tim kesehatan;
dan kurangnya dukungan dari pihak manajemen terutama terkait dengan sosialisasi
peran dan fungsi case manager dan penerapan kebijakan yang mengatur tentang
kepegawaian dan beban kerja di tiap unit kerja (Campagna & Stanton, 2010; Choi &
Lee, 2017; C. Duffield et al., 2015; Ebrahim & Ebrahim, 2017; Oh, Ph, Oh, & Ph,
2017).
Penurunan kinerja perawat masih menjadi masalah utama dalam manajemen Rumah
Sakit. Faktor eksternal dan internal perawat mempengaruhi penampilan kinerja perawat.
Beberapa faktor penyebab terjadinya penurunan kinerja meliputi karakteristik individu,
pengalaman dan koping individu yang tidak efektif, belum adanya dukungan organisasi
terhadap kompetensi perawat (Annisa, 2017). Faktor penyebab lain yaitu beban kerja
yang meningkat akibat kompleksitas pelayanan kesehatan, gaya kepemimpinan yang
tidak mendukung motivasi perawat, dan sistem remunerasi yang belum terstruktur
dengan baik (Murni, Bachtiar, & Sasmita, 2016; Royani, Sahar, & Mustikasari, 2012;
Sutrisno, Suryoputro, & Fatmasari, 2017).
Kinerja perawat secara umum masih belum optimal. Beberapa penelitian menyatakan
bahwa rata-rata kinerja perawat pelaksana dalam kategori rendah < 21,87% (Hartati,
Noor, & Maidin, 2013; Hastuti, 2014; Murni et al, 2016; Wahyuni, 2007), sedangkan
penelitian lain menyatakan kinerja perawat berada dalam kategori sedang 21,87%
(Gunawan, Anjaswarni, & Sarimun, 2017). Hal ini berbeda dengan kinerja perawat di
Rumah Sakit X, Y, dan Z yang masih dalam kategori baik. Kategori baik di Rumah
Sakit X, Y, dan Z terlihat dari beberapa indikator kinerja pelayanan yaitu penggunaan
tempat tidur (Bed Occupancy Rate/BOR) diatas 60 % dengan parameter ideal sebesar
60%-85% (Depkes), dan rata-rata lama perawatan di ruang rawat (Length of Stay/ LOS)
sebesar 6,67 hari dengan parameter ideal sebesar 6-9 hari (Depkes, 2016). Indikator
kinerja perawat berdasarkan indikator pelayanan di rumah sakit X pada tahun 2017,
diketahui tingkat kepuasan pasien sebesar 97%, tingkat kepuasan perawat 78%, tingkat
kepuasan tenaga kesehatan lain pada bulan agustus 98%, aktivasi code blue 25 kasus,
pemenuhan kebutuhan diri 71,90% dan angka kejadian luka tekan bulan Maret 3,1%.
Perbedaan hasil kinerja antara rumah sakit memperlihatkan adanya kesenjangan yang
membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Universitas Indonesia
Case manager dituntut harus mampu secara sistematis menerapkan manajemen yang
tepat untuk memperbaiki pencapaian hasil, mempengaruhi pelaksanaan pelayanan
keperawatan (Diane, 2010; Gunawan & Aungsuroch, 2017; Staheli, 2017; Tiderington,
Stanhope, & Henwood, 2013) dan menurunkan biaya pengeluaran Rumah
Sakit(Schuetze & Cunningham, 2007). Penurunan biaya pengeluaran rumah sakit dan
pemanfaatan sumber daya, ternyata tidak secara langsung dipengaruhi oleh case
manager. Faktor pasien dengan riwayat terpapar dengan fungsi case manager
sebelumnya turut berperan dalam keberhasilan case manager (Eisenberg, 2013).Fungsi
Universitas Indonesia
case manager dalam persepsi perawat di Indonesia secara komprehensif belum tergali
secara statistik karena beberapa penelitian terkait hanya menekankan penelitian
menggunakan metode kualitatif. (Kustriyani, 2016)
Fungsi manajerial yang tidak efektif akan mempengaruhi kinerja perawat. Manajemen
yang tidak efektif menyebabkan 30,9% perawat mengalami burnout selama bertugas
(Sulistyowati, 2007). Faktor penyebab tidak efektifnya proses perencanaan meliputi
case manager yang belum kompeten dalam merencanakan kebutuhan perawat,
keuangan, fasilitas dan sistem pendukung data informasi penunjang keperawatan
(Tawalujan, Umboh, & Kandou, 2016). Namun, hal ini belum didukung dengan
penelitian mengenai kompetensi manajerial case manager terhadap penurunan kinerja
perawat. Fenomena di Rumah Sakit X, Rumah Sakit Y, dan Rumah Sakit Z, case
manager memiliki tugas sebagai koordinator pelayanan pasien, namun banyaknya
pelaporan administratif dan kegiatan manajerial non pelayanan menyebabkan fungsi
case manager belum optimal.
Pemerintah secara berkala mendukung peningkatan kualitas dan kinerja perawat. Salah
satu dukungan pemerintah yaitu dengan adanya program peningkatan penilaian kinerja
perawat berlandaskan keputusan menteri kesehatan nomor HK. 02.02/Menkes/52/2015
(Kepala Pusat Komunikasi Publik, 2015) dan Kepmenkes No. 836 tentang Pedoman
Penilaian Kinerja. Program ini tertuang dalam rencana strategis tahun 2015-2019
dengan beberapa tahapan pelaksanaan bertahap sebagai upaya pemerintah dalam
Universitas Indonesia
Rumah Sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan memiliki beban berat dalam
mendukung program pemerintah terhadap kualitas perawat dan tenaga kesehatan lain.
Rumah Sakit X, Rumah Sakit Y, dan Rumah Sakit Z merupakan rumah sakit nasional
dengan beban kerja yang tinggi. Kejadian burnout, turnover intention, dan rendahnya
kinerja perawat menjadi salah satu tujuan utama dalam meningkatkan kualitas
pelayanan kepada mansyarakat. Angka kejadian burnout sebesar 64,75% dan turnover
intention sebesar 7% tidak sejalan dengan kinerja perawat yang masih dalam rentang
baik, namun karena akibat negatif dari burnout dan turnover intention pada umumnya
berisiko menurunkan kinerja perawat, sehingga peneliti berkeinginan untuk
menganalisis dampak negatif akibat ketiga masalah tersebut. Berbagai penelitian telah
dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, namun sampai saat ini belum ada strategi
yang efektif dan tepat.
Rumah Sakit X, Jakarta sebagai rujukan nasional memiliki tuntutan dan ekpektasi yang
tinggi terhadap penampilan kerja perawatnya. Nilai akreditasi KARS yang paripurna
dan penilaian JCI yang sempurna menyebabkan Rumah Sakit X menetapkan pencapaian
hasil yang sesuai dengan standar pencapaian internasional. Kompleksitas dan
modernisasi pelayanan kesehatan yang juga terus berkembang, memaksa Rumah Sakit
X mewajibkan seluruh tenaga kesehatan terutama perawat untuk menampilkan performa
yang optimal. Tuntutan kerja yang tinggi ini berisiko meningkatkan beban kerja yang
menyebabkan meningkatkan burnout, turnover intention, dan menurunnya kinerja
perawat.
Rumah Sakit Y merupakan rumah sakit swasta yang memiliki kewajiban untuk
mempertahankan nilai akreditasi yang sempurna sehingga tuntutan terhadap penerapan
asuhan keperawatan harus maksimal. Kewajiban dan tanggungjawab untuk
mempertahankan performa dan pencapaian hasil sesuai visi dan misi rumah sakit.
Universitas Indonesia
Rumah Sakit Z merupakan rumah sakit yang baru beralih dari rumah sakit kekhususan
menjadi rumah sakit umum. Perubahan yang status di Rumah Sakit Z membutuhkan
dukungan perawat pelaksana sehingga Rumah Sakit Z dapat mempertahankan nilai
akreditasi. Tuntutan dalam mempertahankan nilai akreditasi yang paripurna
menimbulkan beban kerja yang berisiko terjadinya burnout, turnover intention, dan
menurunnya kinerja perawat. Keterlibatan case manager sebagai manajer terdepan
dalam mewujudkan program rumah sakit sangatlah dibutuhkan dalam mempertahankan
dan meningkatkan kualitas pelayanan secara keseluruhan.
Universitas Indonesia
1.3.2.9 Fungsi manajerial yang paling berpengaruh terhadap turnover intention perawat
pelaksana.
1.3.2.10 Fungsi manajerial yang paling berpengaruh terhadap kinerja perawat
pelaksana.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat bagi RS dan penelitian selanjutnya. Manfaat dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Bagi Rumah Sakit
1.4.1.1 Penelitian ini menjadi data dasar dan gambaran tingkat burnout, turnover dan
kinerja perawat pelaksana dalam melakukan kegiatan atau program retensi untuk
menurunkan burnout, turnover intetion, dan meningkatkan kinerja perawat
pelaksana
1.4.1.2 Penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak manajemen dalam
rangka meningkatkan efektifitas penerapan kompetensi manajerial case manager
di ruangan sebagai informasi dasar dalam pengambilan keputusan terkait
program retensi perawat.
1.4.2 Bagi Penelitian Selanjutnya
1.4.2.1 Penelitian ini menjadi sebuah tantangan dalam mengembangkan manajemen dan
fungsi manajerial yang efektif untuk menurunkan burnout, turnover
intention,dan meningkatkan kinerja perawat.
1.4.2.2 Penelitian ini meningkatkan pengetahuan dan kerangka berfikir peneliti
mengenai fungsi manajerial case manager dalam metode berfikir kritis.
1.4.2.3 Penelitian ini memberikan sumbangsih ilmu dan cara pandang yang berbeda
terkait kompetensi manajerial case manager dan dampaknya terhadap burnout,
turnover intention,dan kinerja perawat pelaksana.
1.4.2.4 Penelitian ini memberikan informasi mengenai metodologi pelayanan yang
spesifik terkait konsep case manager dan dampaknya terhadap burnout,
turnover intention,dan kinerja perawat pelaksana.
1.4.3 Bagi Ilmu Keperawatan.
1.4.3.1 Penelitian ini menjadi landasan ilmiah terhadap konsep dasar burnout, turnover
intention, kinerja perawat, kompetensi manajerial case manager.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.1 Burnout
2.1.1 Definisi Burnout
Burnout merupakan respon psikologis dan fisiologis negatif terhadap stressor
lingkungan dalam rentang waktu tertentu. Sebagian besar peneliti bahkan menyatakan
bahwa burnout merupakan bentuk sindroma dan gangguan kesehatan yang
membahayakan bagi pasien dan perawat apabila terjadi dalam jangka waktu yang
panjang(Colquitt, Lepine, &Wesson, 2014; Galindo et al, 2012; Irawan, Soleman, &
Jamil, 2017; Lin et al, 2013; Surya & Adiputra, 2017). Penyataan burnout yang sering
digunakan berasal dari psikologis sosial Christina Maschlah. Maschlah menjelaskan
bahwa burnout memiliki tiga dimensi utama yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi,
dan penurunan kinerja perawat. Pernyataan ini masih mengalami perdebatan terhadap
dimensi penurunan kinerja perawat (Demerouti & Bekker, 2008). Beberapa ahli
menyatakan bahwa penurunan kinerja termasuk dalam dimensi pencapaian
keberhasilan, dan bukan dalam dimensi disengagement (Halbesleben & Demerouti,
2005; Kalliath, Gillespis & Bluedorn, 2000; Schaufeli & Enznamnn, 1998).
Kejadian burnout berhubungan erat dengan reaksi emosional dan sikap menjauhkan diri
dari hubungan sosial (disenggagement). Kelelahan emosional merupakan stress emosi
dasar (Lin et al, 2013) dan dapat teridentifikasi dalam bentuk reaksi mental (Irawan et
al, 2017; Wang et al, 2013; Zhang et al, 2014), sikap neuroticism, psikotik,
ketidakpuasan kerja, dan stress kerja (Lin et al, 2013). Interaksi negatif ini
menyebabkan terkurasnya sumber koping dan sumber emosi positif seperti rasa kasih,
empati, perhatian, tidak berdaya, tertekan, apatis terhadap pekerjaan, merupakan
dampak peningkatan beban kerja akibat interaksi dalam tim kesehatan (Canadas et al,
2014; Ramdan & Fadly, 2016) dan sistem manajemen Rumah Sakit yang tidak
mendukung staff (Bogaert et al, 2012). Disenggagement merupakan sikap, perasaan,
maupun pandangan negatif terhadap penerima pelayanan (Lheureux et al, 2017)yang
terlihat dalam sikap sinis, respon negatif terhadap teman dalam satu tim (Canadas et al,
2014), psikotisisme, koping pasif, dan tidak puas dalam bekerja (Lin et al, 2013).
13
Prevalensi dan kemungkinan terjadinya sindrom burnout lebih tinggi pada wanita,
belum menikah dan belum memiliki anak. Perawat yang rentan mengalami burnout
biasanya perawat yang memiliki intensitas bekerja malam lebih banyak, memiliki
banyak aktifitas di luar pekerjaan (Ribeiro et al, 2014). Keadaan ini akan diperburuk
dengan status emosi dan beban kerja akibat tuntutan pekerjaan dalam lingkungan
dengan produktifitas tinggi (Bogaert et al, 2012; Ribeiro et al, 2014; Wang et al, 2013).
Rumah sakit besar dengan variasi pelayanan kesehatan berisiko meningkatkan kejadian
burnout karena adanya tuntutan untuk bekerja dalam waktu yang lebih lama dan dengan
ekpektasi yang tinggi dari masyarakat dan organisasi (Galindo et al, 2012; Ribeiro et al,
2014).
Universitas Indonesia
Peningkatan beban kerja perawat akan menambah burnout perawat. Peningkatan beban
kerja terjadi akibat penurunan motivasi kerja, berkurangnya jumlah perawat yang masuk
kerja dan ketidakharmonisan perawat yang berisiko menimbulkan konflik. Dampak
negatif ini akan menimbulkan lingkungan yang tidak kondusif sehingga perawat merasa
tidak nyaman dan merasa ingin pindah ke tempat yang lebih kondusif (Bogaert et al,
2012; Casmiati, Fathoni, & Tri Haryono, 2015; Pahalendang, 2013; Wang et al, 2013).
validitas dan reliabilitas CBI menunjukkan bahwa instrumen CBI memiliki konsistensi
dan kekuatan dalam mengukur derajat burnout.
Instrumen Oldenburg Burnout Inventory (OLBI) mengukur tema utama burnout dan
hubungan kerja. Instrumen OLBI berfokus pada tema kelelahan/ respon apatis dan
pemisahan diri dengan lingkungan sekitar (Arora, Thawani, & Goel, 2015) yang
menuntut aktifitas fisik. Pengukuran tingkat burnout selalu menggunakan dua dimensi
utama yaitu kelelahan emosional dan disenggagement. Pemilihan dua dimensi ini
bertujuan untuk memberikan arah atau fokus utama dalam penilaian burnout dengan
lebih spesifik(Arora et al., 2015; Demerouti, Mostert, & Bakker, 2010b; Nur Santoso &
Hartono, 2016). Pertimbangan dalam pemilihan instrumen OLBI yaitu korelasi yang
kuat antara instrumen OLBI dan MBI melebihi p value 0,70 (p < 0,01) bukti empiris
dari penelitian validasi oleh Qiao dan Schaufeli (2011), dan kemudahan dalam
menggunakan OLBI secara umum. Kekuatan instrumen OLBI dalam dua dimensi yaitu
dimensi kelelahan emosional(Cronbach alpha = 0,798) dan disenggagement(Cronbach
alpha = 0,753) (Nur Santoso & Hartono, 2016).
Universitas Indonesia
Kompensasi yang tidak sesuai dengan spesifikasi dan beban kerja perawat juga berisiko
terhadap turnover intention. Kompensasi merupakan sebuah bentuk kompensasi yang
menguntungkan sebagai hasil penghargaan terhadap aktifitas yang dilakukan. Bentuk
kompensasi ada dua yaitu kompensasi langsung berupa gaji, bonus, tunjangan dan
komisi. Sedangkan kompensasi tidak langsung berupa fasilitas kemudahan,
Universitas Indonesia
pemeliharaan kesehatan (Lubis & Savitri, 2012; Saining et al, 2013) dan jenjang karir
(Ja Yeun et al, 2016). Seringkali, kompensasi tidak sesuai dengan harapan perawat dan
tidak menjadi prioritas dalam organisasi pelayanan kesehatan.
Sistem organisasi menjadi bagian dari stressor lingkungan yang berinteraksi secara tidak
langsung dengan perawat. Sebagian besar penelitian menyatakan bahwa komitmen
organisasi menjadi salah satu prediktor kuat dan yang berpengaruh terhadap keinginan
untuk pindah (Gellatly et al, 2014). Komitmen staf terhadap organisasi berhubungan
Universitas Indonesia
erat dengan kebijakan dan penerapan sumber daya manusia, termasuk pelatihan dan
pengembangan karir. Sistem organisasi yang tidak sesuai dengan harapan staf menjadi
awal dari sikap untuk pindah kerja akibat adanya stres, usia, pekerjaan, tugas dan
jenjang karing (Muliana, 2013; Yang et al, 2017). Kebijakan dan proses birokrasi
selama pelayanan yang tidak sesuai dengan proses pelayanan di ruangan menambah
tingginya kejadian turnover intention perawat. Faktor sistem organisasi yang
mempengaruhi turnover intention meliputi sistem birokrasi dan kebijakan dalam
menerapkan pelayanan di rumah sakit(Rondeau, 2016).
Manajer Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi salah satu strategi menurunkan
turnover intention. Strategi yang dapat menurunkan turnover intention perawat
pelaksana secara tidak langsung yaitu dengan menciptakan sumber daya manusia yang
kompeten dan memilih perawat yang memiliki kematangan psikologis (Ma, Namdari, &
Abedi, 2015). Pemilihan SDM yang tepat dan sesuai dengan tujuan rumah sakit dapat
secara tidak langsung mempengaruhi tingkat keterlibatan perawat terhadap lingkungan
kerjanya. Bentuk strategi lainnya yaitu penerapan kebijakan rumah sakit yang
mendukung terciptanya lingkungan yang ramah terhadap perawat (Rondeau, 2016).
pengetahuan sebagai pengganti perawat yang hilang (Aly & Hashish, 2015; Kurnat-
Thoma et al, 2017; Kusumaningrum & Harsanti, 2015). Turnover yang tinggi
mengindikasikan bahwa perawat tidak betah bekerja. Organisasi juga akan
mengeluarkan biaya yang cukup besar akibat sering melakukan recruitment, pelatihan
dengan biaya yang sangat tinggi, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi suasana
kerja menjadi kurang menyenangkan (Kusumaningrum & Harsanti, 2015)
Turnover intention menambah beban kerja perawat dan menurunkan kualitas pelayanan.
Berkurangnya jumlah perawat secara langsung akan beresiko menambah beban kerja
perawat lain (Hidayah, 2016) sehingga berisiko menimbulkan kejenuhan kerja yang
akan menurunkan motivasi kerja perawat lain (Fardiansyah et al, 2017), meningkatkan
beban kerja, stres kerja, dan burnout yang berkaitan langsung dengan keinginan untuk
pindah (intention turnover)(Choi & Lee, 2017; Fardiansyah et al, 2017). Tingginya
dampak negatif akibat peningkatan beban kerja, ternyata tidak sepenuhnya mendapatkan
dukungan secara keuangan dan penghargaan aktualisasi diri dari pihak manajemen
(Adams, 2017; Giffen, 2015; Ja Yeun et al, 2016). Kurangnya dukungan rumah sakit
akan meningkatkan turnover intention, dan penurunan kinerja dalam sebuah siklus.
Siklus ini akan terus berulang, berkembang dan membesar dalam sebuah lingkungan
yang statis sehingga melemahkan struktur sistem keperawatan dan mengganggu
pelaksanaan asuhan keperawatan (Fardiansyah et al, 2017). Pelaksanaan asuhan
keperawatan yang terganggu pada akhirnya berisiko meningkatkan insiden kejadian
yang tak diingingkan.
Universitas Indonesia
2.3 Kinerja
2.3.1 Definisi Kinerja
Sasaran utama dalam pencapaian tujuan organisasi berfokus pada kinerja staf yang baik.
Kinerja merupakan proses dan tingkat pencapaian dalam pelaksanaan kegiatan
berdasarkan kebijakan, aturan dan kebiasaan yang terukur secara kuantitas dan kualitas
(Ilyas, 2012; Rahmatina & Jumiati, 2014; Robbins & Judge, 2013; Sanjaya, Gunawan,
& Eddyman, 2016; Taurisa & Ratnawati, 2012). Tingkat pencapaian hasil kerja diukur
besar kecilnya pencapaian keberhasilan pelaksanaan kegiatan dalam rentang waktu
tertentu (Siahaan & Tarigan, 2012; Sutrisno et al, 2017). Batasan keberhasilan
pelaksanaan sesuai dengan perencanaan berdasarkan tanggungjawab, ketepatan waktu,
sikap, ketelitian pelaksanaan tugas dan kemampuan bekerjasama dalam tim secara tepat
Universitas Indonesia
waktu (Rahmatina & Jumiati, 2014). Kinerja merupakan gambaran perilaku rumah
sakit. Harapan dan keinginan rumah sakit lebih mudah terlihat dalam sikap dan perilaku
perawat rumah sakit. Manajer dan manajer keperawatan sebagai pengatur dan pengawas
kinerja perawat memiliki tugas pengawasan berlandaskan batasan keuangan dan
perubahan organisasional (Brady Germain & Cummings, 2010)
Manajemen kinerja merupakan upaya dari manajer/ case manager untuk mengelola
staffnya sesering mungkin guna mencapai kinerja yang baik. Manajemen kinerja dapat
menjadi pengalaman yang positif bagi case manager dan staf jika dipraktekkan setiap
hari, dan diberikan umpan balik dengan segera karena staff memiliki pengertian yang
jelas dari harapan kinerja. Kinerja seseorang dipengaruhi oleh karakteristik individu,
meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan, lama kerja (Ilyas, 2012;
Robbins & Judge, 2013). Robbins, (2013) menyatakan bahwa kinerja pegawai
bergantung pada dua faktor yaitu faktor kemampuan staf dan faktor motivasi.
Kombinasi kedua faktor ini dapat meningkatkan kinerja perawat pelaksana secara
positif berdasarkan uraian tugas menurut standar yang berlaku dan dikontrol oleh
atasannya. Fungsi kontrol manajer salah satunya yaitu menentukan kinerja staf dalam
melaksanakan tugas yang telah ditetapkan (Bessie L. Marquis, 2012). Deskripsi kinerja
terdiri dari tiga komponen penting seperti tujuan, ukuran dan penilaian (Ilyas, 2012).
Penentuan tujuan dari setiap unit organisasi merupakan strategi untuk meningkatkan
kinerja. Tujuannya dapat memberikan arah dan mempengaruhi bagaimana seharusnya
perilaku kerja yang diharapkan organisasi terhadap setiap staf.
Standar kinerja dalam sebuah jabatan atau pekerjaan merupakan landasan utama
penerapan pelayanan yang bermutu. Setiap jabatan dalam organisasi memiliki standar
kinerja yang berbeda sehingga dapat menentukan baik atau buruknya kinerja staf
(Hartati et al, 2013; Khanifah & Palupiningdyah, 2015). Implementasi kinerja dilakukan
oleh staf yang memiliki kemampuan, kompetensi dan motivasi yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan (Khanifah & Palupiningdyah, 2015).
Kinerja perawat dipengaruhi faktor positif dan negatif dalam penerapannya. Faktor
negatif yang dapat menurunkan kinerja karyawan, diantaranya adalah menurunnya
keinginan karyawan untuk mencapai prestasi kerja, kurangnya ketepatan waktu dalam
Universitas Indonesia
Motivasi yang tinggi akan meningkatkan kinerja perawat. Motivasi merupakan bentuk
karakteristik psikologis manusia yang berkaitan erat dengan tingkat komitmen staf
(Sanjaya et al, 2016). Motivasi dapat meningkatkan kinerja (performance) staf yang
berdasarkan motivasi, kemampuan, dan lingkungannya. Beberapa peneliti menyatakan
bahwa motivasi berbentuk dorongan untuk melaksanakan sesuatu sehingga motivasi
hanya dapat terlihat secara tidak langsung lewat hasil dari kegiatan dan menimbulkan
kepuasan saat pencapaiannya sesuai dengan harapan (Almidawati, Arif, & Vionalisa,
2015; Andyka, Abdullah, & Hasmin, 2017).
Penilaian kinerja merupakan fungsi pengendalian dari atasan untuk melihat apakah
pekerjaan staf sudah sesuai dengan uraian pekerjaan yang telah ditetapkan. Proses
penilaian kinerja perawat menentukan seberapa baik staf melakukan pekerjaannya yang
diuraikan dalam deskripsi pekerjaan (Al-Homayan, Shamsudin, Subramaniam, & Islam,
2013). Penilaian kinerja adalah suatu deskripsi sistematis mengenai kekuatan dan
kelemahan perawat, dapat digunakan sebagai alat informasi yang dipercaya untuk
penilaian efektif manajemen sumber daya manusia dengan melihat kualitas kerja staf
Universitas Indonesia
Penilaian kinerja merupakan prestasi kerja yang mempunyai dua tujuan utama yaitu
kemampuan penilaian kemampuan staf dan pengembangan staf(Faizin & Winarsih,
2008). Penilaian komponen staf menjadi landasan utama dalam proses penilaian
efektifitas manajemen sumber daya manusia sehingga dapat meningkatkan kinerja
organisasi secara keseluruhan (Fatmawati, Noor, & Alimin, 2014; Ilyas, 2012; Londok
et al., 2016). Penilaian dengan menggunakan format baku secara terstruktur berdasarkan
standar pada jabatan tertentu. (Londok et al, 2016). Salah satu metode dalam menilai
kinerja perawat yaitu dengan melihat standar praktek keperawatan, sehingga kualitas
pelayanan dapat dilihat melalui evaluasi penilaian kinerja perawat (Fatmawati et al,
2014; Hartati et al, 2013)
Universitas Indonesia
Kerangka konsep NPI dan proses pengembangan NPI yang sesuai dengan penelitian ini
menjadi alasan penggunaan instrumen NPI dalam penelitian ini.
Proses kolaboratif menjadi aspek penting dalam peran dan fungsi case manager. Case
Management Society of America (2010, p.6), menyatakan bahwa case management
merupakan integrasi kolaboratif terhadap tahapan penapisan masalah, perencanaan,
pemanfaatan sumber daya dan advokasi untuk menentukan memenuhi kebutuhan
kesehatan pasien. Case manager juga harus mampu mengidentifikasi empat area utama
dalam manajemen kasus di ruang rawat yaitu tanggung jawab terhadap tugas yang
diberikan, peran dan kewenangan, ketrampilan dan dukungan, serta mengembangkan
jejaring dengan stakeholder (pihak yang berkepentingan terhadap pasien seperti
asuransi, dinas sosial, dan organisasi dalam masyarakat) dan pasien (Marquis & Huston,
2010, p.25; Ross, 2011, p.16). Tugas utama case manager meliputi proses perencanaan,
pengaturan, pengarahan dan pengawasan dukungan keuangan, sarana dan sumber daya
manusia untuk memberikan asuhan keperawatan yang efektif dan efisien biaya kepada
pasien (Gillies, 2000).
Kemampuan kolaborasi menjadi hal sangat vital bagi case manager. Kompleksitas
pelayanan kesehatan dan tuntutan masyarakat yang cukup tinggi terhadap pelayanan
yang cepat mengharuskan case manager dapat berkolaborasi dengan tim kesehatan
dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan pasien. Strategi yang tepat dalam
Universitas Indonesia
Peran case manager menjadi sangat penting dalam meningkatkan kualitas perawat.
Case manager memiliki tanggungjawab untuk menciptakan lingkungan kerja yang
kondusif lewat sistem koordinasi antar profesional kesehatan untuk menurunkan beban
kerja perawat yang meyebabkan burnout, turnover, dan menurunnya kinerja perawat.
Kemampuan case manager dalam pengkajian sumber daya Rumah Sakit terutama
berkaitan dengan kemampuan dalam menyiapkan fasilitas, sarana dan prasarana yang
dibutuhkan dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan. Ketersediaan
fasilitas Rumah Sakit menjadi salah satu indikator adanya dukungan manajemen
terhadap kesinambungan pelayanan. Kehadiran case manager di Rumah Sakit
diharapkan dapat mempermudah menangani kasus per kasus yang terjadi di Rumah
Sakit, tetapi masih terdapat kekurangan dimana kemampuan dasar antara petugas tidak
Universitas Indonesia
sama yang dapat dilihat dari tingkat pendidikan case manager (Kamil & Noviasari,
2016).
Konsep teori case manager berlandaskan fungsi manajerial perawat manajer. Fungsi
manajerial perawat manajer memiliki enam sub kompetensi dalam mendukung
optimalisasi kerjasama antara tim kesehatan. Enam sub kompetensi manajerial perawat
manajer meliputi kompetensi perencanaan, kompetensi pengarahan, kompetensi
staffing, kompetensi manajemen keuangan, kompetensi penyelesaian masalah (problem
solving), dan kompetensi komunikasi (Munyewende, Levin, & Rispel, 2016a). Fungsi
case manager yang terintegrasi dengan fungsi manajerial secara umum meliputi
pengkajian sumber daya rumah sakit, perencanaan pelayanan yang komprehensif,
fasilitasi kesinambungan pelayanan antar profesional kesehatan, dan advokasi
kebutuhan pasien. Tugas case manager meliputi pengelolaan pasien dan pemantauan
kualitas pelayanan yang terfokus dalam case management. Empat bidang utama tugas
case manager yaitu tanggung jawab dengan tugas yang diberikan, peran dan
kewenangan, keterampilan dan dukungan, dan membangun hubungan dengan
Universitas Indonesia
stakeholder dan termasuk juga dengan pasien (Kamil, 2016). Penerapan tugas case
manager secara umum terdiri dari 9 kegiatan seperti penapisan, pengkajian, penetapan
risiko, perencanaan tindakan, pelaksanaan, penerapan tindak lanjut, pelayanan transisi,
koordinasi pasca transisi, dan pengendalian.
Universitas Indonesia
Kemampuan komunikasi case manager sangat penting dalam menjalin kerjasama antar
tim kesehatan. Kemampuan ini terutama berperan saat case manager bertindak sebagai
konsultan bagi semua tim kesehatan yang terlibat. Kemampuan komunikasi yang efektif
juga berfungsi sebagai sebuah strategi dalam mencegah terjadinya konflik dalam tim
dan saat berkolaborasi sesuai dengan ketrampilan yang sesuai dengan tujuan pelayanan
(Phaneuf, 2008). Komunikasi memiliki hubungan dengan kinerja yaitu kemampuan
berkomunikasi kepala bidang yang baik/tinggi akan berpengaruh terhadap kinerja
pegawai yang baik atau tinggi dan sebaliknya apabila kemampuan berkomunikasi
kepala bidang yang buruk atau rendah maka kinerja pegawai akan buruk atau rendah
(Londok et al., 2016).
Universitas Indonesia
Teori kompetensi merupakan cara efektif bagi organisasi untuk mencapai kinerja yang
maksimal dan bertahan dalam waktu yang lama. Manajemen strategis berbasis
kompetensi menghubungkan domain ekonomi, organisasi, dan perilaku sebagai suatu
pola yang dinamis, sistemik, kognitif, dan holistik (Chase, 2010). Sebagian besar
organisasi atau rumah sakit menetapkan standar kompetensi bagi perawat. Model
kompetensi perawat manajer masih belum memiliki standar nasional maupun
internasional (DeOnna, 2006). Perawat manajer yang mampu menciptakan rencana
pengembangan diri strategis dan sesuai dengan karakteristik pribadi dapat
meningkatkan kompetensi dan menurunkan turnover perawat (McKinney et al, 2016).
Universitas Indonesia
pada pasien, (5) pengarahan lewat komunikasi efektif, edukasi, dan advokasi, dan (6)
kolaborasi antar profesi kesehatan (KARS, 2016)
Jenjang karir perawat manajer berperan penting dalam menentukan kompetensi case
manager. Berdasarkan keputusan Departemen Kesehatan, (2006), terdapat lima jenjang
karir perawat manajer secara umum, yaitu Perawat Manajer I (PM I) merupakan kepala
ruangan, Perawat Manajer II (PM II) merupakan supervisor unit, Perawat Manajer III
Universitas Indonesia
Case manager dalam rumah sakit memiliki spesifikasi khusus. Spesifikasi khusus case
manager yaitu pendidikan minimal S-1 keperawatan, pernah mengikuti kursus/
pelatihan manajemen pelayanan keperawatan ruang/bangsal, memiliiki pengalaman
kerja sebagai perawat pelaksana 3-5 tahun, serta sehat jasmani dan rohani (Almidawati
et al, 2015; Parmin, 2010; Putra & Subekti, 2010). Latar belakang case manager
terutama memiliki registrasi keperawatan, kemampuan klinik yang kuat, memiliki
pengalaman dalam mengelola pasien rawat inap, baik dari segi klinis maupun
administrasi. Manajemen pelayanan pasien menitikberatkan pada kemampuan case
manager dalam berkomunikasi dengan pasien, teman sejawat, dan tenaga kesehatan
lainnya (Kustriyani, 2016).
Lingkup tanggungjawab case manager di ketiga rumah sakit berlandaskan tugas yang
tercantum dalam kewajiban case manager yang dikeluarkan oleh KARS.Tugas pokok,
tugas dan tanggungjawab, serta kegiatan case manager telah tertuang dalam buku
pedoman manajemen pelayanan keperawatan. Tugas pokok case manager meliputi
kegiatan untuk (1) mempertahankan mutu asuhan keperawatan dan kepuasan pasien dan
(2) memberikan dukungan dan penilaian kebutuhan pasien yang akan atau sedang
dirawat. Case manager akan bertanggungjawab kepada kepala bidang keperawatan dan
secara operasional bertanggungjawab kepada kepala unit perawatan. Kompetensi dasar
yang wajib dimiliki case manager di Rumah Sakit (1) pendidikan minimal S1
Keperawatan dengan pengalaman klinis 5 tahun, (2) memiliki pengetahuan klinik
keperawatan terutama identifikasi kondisi pasien, (3) memiliki kemampuan dalam
pengelolaan jaminan pasien, (4) memiliki pengalaman sebagai Perawat Primer/ Ketua
Universitas Indonesia
Grup, (5) memiliki kemampuan klinis, kepemimpinan, inovatif, percaya diri, suka
menolong, dan rasional, (6) memiliki kemampuan komunikasi yang baik, (7) memiliki
kemampuan edukasi pasien/ keluarga, (8) memiliki kemampuan manajemen konflik, (9)
memiliki kemampuan penyelesaian masalah, (10) memiliki keterampilan menggunakan
komputer, (11) memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam riset, dan (12) bersedia
bekerja purna waktu.
Gambaran tugas case manager di Rumah Sakit X berfokus terutama kepada asuhan
keperawatan individual per pasien. Fungsi case manager di Rumah Sakit X meliputi (1)
mengidentifikasi kebutuhan pelayanan pasien meliputi: obat obatan, tindakan intervensi
atau diagnostik, pemeriksaan laboratorium dan konsultasi selama proses perawatan; (2)
mengkaji persiapan tindakan pasien (kondisi klinik, pemeriksaan penunjang,
persyaratan administrasi); (3) mengidentifikasi sumber daya yang dibutuhkan untuk
pelayanan tindakan; (4) mengidentifikasi ketersediaan sumber daya meliputi sumber
daya manusia, fasilitas, obat obatan, alat kesehatan, barang medis habis pakai, ruang
perawatan, ruang tindakan dan lainnya; (5) menyusun jadwal tindakan; (6)
mengkoordinasikan jadwal tindakan dengan pasien, tenaga kesehatan, ruangan
pelayanan tindakan/ pemeriksaan penunjang, ruangan rawat inap; (6) memantau dan
mengevaluasi alur proses pelayanan tindakan; (7) merekapitulasi dan menganalisis data
pelayanan pasien dalam manajemen kasus.
Gambaran tugas case manager di Rumah Sakit Y meliputi manajemen kasus. Fungsi
case manager di Rumah Sakit Z meliputi (1) skrining pasien yang membutuhkan
manajemen pelayanan pasien (MPP) seperti pasien dengan risiko tinggi, biaya tinggi,
potesi komplain tinggi, kasus dengan penyakit kronis, kasus kompleks/ rumit,
kemungkinan sistem pembiayaan yang kompleks; (2) pengkajian tentang kebutuhan
kesehatan dan aspek psikososiokultural; (3) menyusun rencana manajemen pelayanan
pasien berkolaborasi dengan pasien, keluarga dan pemberi asuhan, termasuk discharge
terintegrasi dengan PPA; (4) memfasilitasi komunikasi dan koordinasi antar PPA dalam
konteks keterlibatan pasien dalam pengambilan keputusan; (5) memberikan edukasi dan
advokasi kepada pasien, keluarga, dan pemberi asuhan, serta PPA terkait alternatif
pelayanan, sumber daya di komunitas, manfaat asuransi, aspek psiko-sosiokultural; (6)
memberikan advokasi kepada pasien dan keluarga; (7) mendorong pemberian pelayanan
Universitas Indonesia
yang memadai untuk kendali mutu dan biaya berbasis kasus; (8) membantu pasien
untuk transisi pelayanan yang aman; (9) meningkatkan kemandirian advokasi dan
pengambilan keputusan; (10) memberikan advokasi kepada pasien dan pembayar untuk
memfasilitasi hasil yang positif.
Gambaran tugas case manager di Rumah Sakit Z berfokus terutama kepada pasien.
Fungsi case manager di Rumah Sakit Z meliputi (1) skrining pasien yang membutuhkan
manajemen pelayanan pasien (MPP) seperti pasien dengan risiko tinggi, biaya tinggi,
potesi komplain tinggi, kasus dengan penyakit kronis, kasus kompleks/ rumit,
kemungkinan sistem pembiayaan yang kompleks; (2) pengkajian tentang kebutuhan
kesehatan dan aspek psiko-sosiokultural; (3) menyusun rencana manajemen pelayanan
pasien berkolaborasi dengan pasien, kelluarga dan pemberi asuhan, termasuk discharge
terintegrasi dengan PPA; (4) memfasilitasi komunikasi dan koordinasi antar PPA dalam
konteks keterlibatan pasien dalam pengambilan keputusan; (5) memberikan edukasi dan
advokasi kepada pasien, keluarga, dan pemberi asuhan, serta PPA terkait alternatif
pelayanan, sumber daya di komunitas, manfaat asuransi, aspek psiko-sosiokultural; (6)
memberikan advokasi kepada pasien dan keluarga; (7) mendorong pemberian pelayanan
yang memadai untuk kendali mutu dan biaya berbasis kasus; (8) membantu pasien
untuk transisi pelayanan yang aman; (9) meningkatkan kemandirian advokasi dan
pengambilan keputusan; (10) memberikan advokasi kepada pasien dan pembayar untuk
memfasilitasi hasil yang positif.
Universitas Indonesia
tepat. Manajemen staf (delapan pernyataan) mengkaji aspek manajemen staf (absensi)
dan pelatihan staf. Komunikasi ( lima pernyataan) mengkaji kemampuan manajer dalam
mendengarkan kebutuhan staf , melaporkan, dan mampu mendiskusikan ide dengan staf
dan tenaga kesehatan lain. Pengaturan keuangan yaitu kemampuan daam mengatur
keuangan secara komprehensif. Sub skala yang terakhir yaitu kemampuan memecahkan
masalah (enam pernyataan) merupakan kemampuan manajer dalam mengawasi
lingkungan kerja terhadap adanya risiko yang dapat mempengaruhi staf dan pasien,
mengatur lingkungan saat ada situasi darurat, dan melakukan tindakan perbaikan
terhadap masalah yang terjadi. Setiap pernyataan terukur dalam rentang skala 10, (nilai
1 merupakan kemampuan rendah dan membutuhkan pelatihan sampai nilai 10 yang
tidak membutuhkan pelatihan khusus)(MunCuyewende et al., 2016a). Cut of point
instrumen dalam setiap item pernyataan sebesar 8/10 atausebesar 320 untuk 40 item
pernyataan.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Intensi turnover dengan jenis kelamin perempuan cenderung lebih tinggi dibandingkan
dengan laki-laki. Hal ini berdasarkan dengan yang dikemukakan oleh Robbins & Judge
(2008), wanita memiliki tingkat turnover yang lebih tinggi daripada pria, dengan kriteria
wanita yang sudah menikah dimana wanita memiliki dua peran dan tanggung jawab
yang besar, baik sebagai ibu rumah tangga maupun wanita karir (Fardiansyah et al,
2017). Perawat laki-laki rata-rata terindikasi mengalami tingkat depersonalisasi yang
lebih tinggi daripada wanita (Canadas et al, 2014), dan kejenuhan kerja ringan yang
lebih dominan (Maharani, 2012).
Tingkat pendidikan perawat dapat menurunkan dampak terhadap burnout, turnover, dan
kinerja perawat. Pendidikan formal yang semakin tinggi, berakibat pada peningkatan
harapan dalam hal karier dan perolehan pekerjaan dan penghasilan (Faizin & Winarsih,
2008). Peningkatan harapan untuk mendapatkan penghargaan dan remunerasi yang
sesuai dengan tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
munculnya burnout dan turnover intention pada perawat dengan tingkat pendidikan S-1
dibandingkan dengan D-III. Kurang adekuatnya hubungan interpersonal yang kurang
adekuat dan jenis pekerjaan yang monoton juga menjadi faktor penyebab terjadinya
burnout dan turnover intention pada perawat (Maharani, 2012). Tenaga keperawatan
Universitas Indonesia
yang berpendidikan tinggi, kinerjanya akan lebih baik karena telah memiliki
pengetahuan dan wawasan yang lebih luas dibandingkan dengan perawat yang
berpendidikan lebih rendah.
Beberapa penelitian lain menyatakan hal yang berbeda, bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara lama bekerja dengan burnout perawat (Ntantana et al, 2017;
Wang et al, 2013). Lama kerja berpengaruh besar terhadap kejadian turnover intention.
Lama kerja perawat, terdiri atas pengalaman kerja dan adaptasi lingkungan kerja.
Perawat dengan pengalaman kerja >5 tahun, namun belum memiliki kesempatan untuk
mengembangkan kemampuannya, berisiko untuk pindah ke tempat lain yang memiliki
dukungan manajerial yang besar. Perawat yang tidak memiliki kemampuan untuk
Universitas Indonesia
Lama kerja merupakan faktor penting dalam proses pembentukan employability. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Roffey Park Management Institute menyebutkan bahwa
employability terbentuk dari gabungan antara pengalaman, track record, dan
kemampuan utama (Faizin & Winarsih, 2008). Kemampuan utama perawat termasuk
unsur adalah fleksibilitas, kreativitas, manajemen perubahan, kerjasama tim, serta
keinginan untuk terus belajar. Beberapa manajer membentuk employability-nya melalui
peningkatan pelatihan, jaringan kerjasama, dan mengerjakan tugas yang sulit.
Level kompetensi dalam jenjang karir menjadi landasan utama dalam penyusunan
remunerasi, proses promosi, mutasi dan rotasi perawat. Penerapan jenjang karir perawat
berdasarkan kompetensi akan meningkatkan dampak positif dalam pengelolaan sumber
daya perawat (Suroso, 2011; Wang et al, 2013). Perawat akan mendapatkan pengakuan
terhadap kemampuan dan kompetensinya yang akan meningkatkan kepuasan dan
kinerja perawat (Djestawana, 2012; Suroso, 2011) sehingga menurunkan keinginan
untuk pindah ke tempat lain (Ko, Kim, Yoon, & Sook, 2015; Kornela, Hariyanto, &
Pusparahaju, 2014)
Universitas Indonesia
Kinerja
a. Peran
b. Penampilan Kerja
(Baker, 2009)
41
Kerangka konsep memberikan hubungan antara variabel yang terkait dalam masalah
penelitian dan sesuai dengan rumusan masalah dan tunjauan pustaka. Kerangka teori
manajemen Koontz, (1981) menjadi tinjauan teoritis dalam penelitian ini. Koontz,
(1981) menyatakan bahwa kompetensi manajerial perawat manajer dapat
mempengaruhi kualitas asuhan keperawatan. Peneliti mencoba menganalisis hubungan
antara kompetensi case manager dengan tingkat burnout, turnover dan kinerja perawat
melalui sebuah kerangka konsep. Kerangka konsep terdiri atas penerapan enam faktor
pendukung kompetensi manajerial case manager. Faktor pendukung kompetensi
manajerial case manager terdiri atas fungsi perencanaan, pengarahan, staffing,
manajemen keuangan, komunikasi, dan problem solving.
Variabel bebas dalam penelitian ini berupa kompetensi manajerial case manager,
dengan variabel terikat berupa burnout, turnover intention, dan kinerja perawat. Kedua
variabel ini akan dipengaruhi oleh faktor perancu yang berupa usia, jenis kelamin, lama
bekerja, tingkat pendidikan, dan jenjang karir perawat. Kerangka konsep dalam
penelitian ini secara lengkap digambarkan dalam skema 3.1.
42
3.2 Hipotesis
3.2.1 Hipotesis mayor penelitian ini adalah ada hubungan kompetensi manajerial case
manager dengan burnout, turnover intention, dan kinerja perawat.
3.2.2 Hipotesis minor penelitian ini adalah
3.2.2.1 Ada hubungan fungsi manajerial case manager dengan burnout perawat.
3.2.2.2 Ada hubungan fungsi manajerial case manager dengan turnover intention
perawat.
3.2.2.3 Ada hubungan fungsi manajerial case manager dengan kinerja perawat
3.2.2.4 Ada hubungan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama bekerja dan
jenjang karir dengan burnout, turnover intention, dan kinerja perawat
Universitas Indonesia
Bab ini menjelaskan tentang desain penelitian, populasi, dan sampel yang digunakan ,
serta prosedur penelitian, waktu penelitian, etik penelitian, alat pengumpul data,
pengujian instrumen, prosedur pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis univariat, bivariat dan
multivariat.
47
4.2.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari populasi keseluruhan yang dipilih
(Gelling, 2015). Metode pengambilan sampel pada rumah sakit tersebut menggunakan
proportionate random sampling yaitu dengan cara mengacak calon responden
berdasarkan urutan absen genap di rumah sakit di setiap ruangan. Peneliti bersama
Kepala Bidang Keperawatan mengidentifikasi dan mengocok calon responden di tiap
ruangan. Peneliti menemui kepala ruangan sesuai tujuan penelitian, dan meminta jadwal
dinas para calon responden. Peneliti menemui calon responden sesuai dengan jadwal
dinas di ruangan.
Kriteria drop out responden yaitu responden yang di tengah penelitian yang mengalami
sakit dan cuti. Penambahan 10 persen dari sampel bertujuan untuk mengatasi adanya
sampel yang drop out (Notoatmojo, 2002). Faktor yang berperan penting dalam
menentukan ukuran sampel agar dapat memenuhi statistic power analysis yaitu sample
size, significancy, directionality and effect size (Gelling, 2015). Berikut adalah rumus
menggunakan kekuatan dampak (effect size)
Keterangan:
N = Ukuran sampel(sampel size)
= Effect Size (sebesar 10%) pada penelitian terdahulu.
u = Banyaknya ubahan yang terkait dalam penelitian
t = t tabel diperoleh dari tabel disignifikansi 1%
p = 0,95 dan effect size (f2) =0,1 dengan terdapat 5 ubahan yang terkait dalam penelitian
(u). Nilai t tabel dengan taraf signifikan 1% dan p =0,95 dan u = 5 adalah 19,76
N= , total 213,6 dibulatkan menjadi 214.
Universitas Indonesia
sakit. Rumah Sakit X berjumlah 140 sampel, Rumah Sakit Y berjumlah 45 sampel, dan
Rumah Sakit Z berjumlah 50 sampel pada tabel 4.1.
Universitas Indonesia
Rumah Sakit X merupakan rumah sakit vertikal rujukan nasional di daerah Jakarta
Pusat. Rumah sakit ini berdiri pada tahun 1896 sebagai bagian dari fakultas kedokteran
Universitas Indonesia. Visi Rumah Sakit X yaitu ―Menciptakan Pengalaman Istimewa
untuk Semua melalui Academic Health System‖ membuat rumah sakit ini terbuka
terhadap setiap perkembangan ilmu pengetahuan yang mendukung visinya dan memiliki
sumber daya manusia yang dapat menyesuaikan diri dengan cepatnya perkembangan
ilmu pengetahuan modern saat ini. Case manager sebagai sebuah konsep manajerial
yang baru menjadi salah satu upaya rumah sakit ini untuk mengoptimalkan pelayanan
kesehatan dan meningkatkan kemampuan seluruh tenaga kesehatan termasuk tenaga
perawat dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan secara umum.
Rumah Sakit Y merupakan rumah sakit swasta di daerah Jakarta Pusat juga telah
mendapatkan akreditas KARS yang paripurna dan telah menerapkan case manager yang
terpisah dari kepala ruangan. Visi Rumah Sakit Y yaitu menjadi rumah sakit pilihan
keluarga yang profesional, aman dan berbelarasa dan misi memberikan pelayanan
Universitas Indonesia
kesehatan bermutu dengan sikap bela rasa, hormat terhadap kehidupan tanpa
membedakan agama, ras, golongan dan sosial. Selain visi misi tersebut ada nilai-nilai
dasar (core value) yang dianut oleh Rumah Sakit yaitu bermutu, kerendahan hati, aman
dan peduli. Case manager yang bertugas di Rumah Sakit Y berjumlah 20 orang serta
berinteraksi dengan sekitar 250 perawat yang tersebar di rawat inap.
Rumah Sakit Z merupakan rumah sakit vertikal daerah Tangerang. Pada awal
pembentukannya, rumah sakit ini merupakan rumah sakit kekhususan, namun sejak
tahun 2017 mulai mengalami perubahan menuju rumah sakit umum. Case manager
yang bertugas di Rumah Sakit Z berjumlah dua orang serta berinteraksi dengan sekitar
198 orang perawat yang tersebar di rawat inap. Peran dan fungsi case manager terutama
berkaitan dengan kemampuan untuk mengkoordinasikan pelayanan interdisiplin ilmu
dan berhubungan dengan instansi diluar rumah sakit sesuai dengan kebutuhan pasien.
Jenis pasien yang mendapatkan penanganan case manager yaitu pasien yang memiliki
kasus penyakit dengan kombinasi multidisplin ilmu.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
tiga item, dan pernyataan favourable berjumlah satu buah. Nilai cut off point baku pada
kuesioner C yaitu 2,93.
Tabel 4.5
Kisi-Kisi Instrumen Turnover Intention Scale
No Sub Variabel Jenis Jumlah
Favourable Unfavourable
1 Keinginan untuk pindah 0 2 2
2 Mencari pekerjaan lain 1 1 2
Total 1 3 4
Cara penghitungan nilai p pada kuesioner turnover intention scale (TIS), total skor
dibagi dengan (4 jumlah pernyataan). Hasil rata-ratanya kemudian dibandingkan dengan
cut off point baku TIS. Proses adaptasi instrumen penilaian keinginan untuk pindah
dilakukan dengan menggunakan penterjemahan lewat lembaga bahasa tersumpah.
Penterjemahan dalam bahasa Indonesia akan disesuaikan dengan tata bahasa Indonesia
yang baku dan terstandar.
Tabel 4.6
Kisi-Kisi Instrumen Nursing Performance Indicator
No Variabel Jenis Jumlah
Favourable Unfavourable
1 Penampilan Kerja 3,4,5,6,8 1,2,7,9 9
Jumlah 5 4 9
Universitas Indonesia
mahasiswa perawat karena semua mahasiswa perawat ini memiliki latar belakang
perawat pelaksana dan perawat manajer yang pernah berinteraksi dengan case manager
di tempat mereka bertugas. Pada proses penyebaran instrumen, peneliti menggunakan
instrumen elektronik (google form). Setiap responden telah menyetujui untuk
berpartisipasi dalam uji keterbacaan dengan mengisi tanda (√) dalam kuesioner
elektronik.
4.7.1 Validitas
Peneliti menggunakan uji korelasi pearson product moment sebagai uji validitas.
Pernyataan yang dinyatakan valid jika r hitung ≥ r tabel. Pernyataan tidak valid jika r
hitung < r tabel.
Hasil uji validitas kuesioner tentang efikasi diri memperlihatkan nilai >0,364 dengan df
28. Pada kuesioner kompetensi manajerial case manager, semua pernyataan nya
menunjukkan nilai > 0,364, deangan df 28, pada kuesioner burnout, pernyataan ke 16
memiliki nilai r 0,219 < 0,364 dengan df 28, sedangkan pada turnover intention semua
pernyataan valid 0,651- 0,866.
Berbeda dengan kuesioner yang lain, pada kuesioner kinerja terdapat 4 pernyataan valid
(3,4,5,7) dan 5 pernyataan tidak valid (1,2,6,8,9) dengan r hitung 0,364, df=28. Variabel
yang telah diperbaiki kemudian masuk kembali kedalam kuesioner, karena peneliti
mengganggap semua pernyataan mewakili konsep yang akan diteliti. Kuesioner
kemudian disebarkan kepada responden sebenarnya. Hasil uji validitas menunjukkan
masih ada 3 pernyataan yang memiliki r hitung < r tabel, yaitu pernyataan nomor 1 (r =
-0,001), nomor 2 (r =0,023) , dan nomor 9 (- 0,139) sehingga ketiga pernyataan ini tidak
dimasukkan dalam analisis statistik univariat, bivariat, dan multivariat.
4.7.2 Reliabilitas
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dengan kode yang huruf yang berbeda untuk tiap rumah sakit. Hal ini bertujuan untuk
memudahkan peneliti dalam memisahkan data per rumah sakit.
4.9.3 Processing berupa proses memasukkan data kedalam aplikasi komputer untuk
tiap responden. Proses analisis terdiri dari tiga tahap, yaitu analisis univariat, bivariat,
dan multivariat.
4.9.4 Cleaning merupakan proses membersihkan data yang salah atau memeriksa
kembali data yang memiliki rentang nilai ekstrim dibandingkan dengan nilai yang lain.
Pemeriksaan terhadap data yang hilang atau tidak sesuai dengan pengkode-an.
Setiap variabel dalam penelitian ini dikelompokkan dalam dua kategori. Penyajian data
setiap variabel menggunakan distribusi frekuensi dan prosentase dalam bentuk tabel.
Jenis data pada setiap variabel berbentuk ordinal, kecuali jenis kelamin yang berbentuk
nominal
Uji chi square digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel kategorik dengan
variabel kategorik. Teknik analisa menggunakan program komputer dengan tingkat
signifikansi 5% (0,05), dengan Coeficient Interval (CI) 95%.).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Variabel yang memiliki p <0,05 akan menjalani seleksi kandidat uji multivariat. Seleksi
kandidat multivariat dilakukan pada variabel yang memiliki p <0,25. Semua variabel
yang memiliki p <0,25 akan masuk dalam uji regresi logistik. Setiap variabel yang telah
melalui uji regresi logistik kemudian diliat kembali terhadap p <0,05. Variabel dengan p
>0,05 akan dikeluarkan dari pemodelan sehingga menghasilkan pemodelan akhir.
Pemodelan menggunakan pemodelan matematis untuk menentukan interaksi antara
variabel satu dengan variabel lainnya.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Bab ini akan menyajikan data hasil penelitian mengenai hubungan kompetensi
manajerial case manager dengan burnout, turnover intention, dan kinerja perawat. Hasil
penelitian dalam bab ini meliputi analisis univariat, bivariat, dan multivariat dalam
bentuk tabel beserta penjelasan mengenai isi tabel. Penelitian ini berlangsung di
duarumah sakit umum pusat di jakarta dan satu rumah sakit di tangerang pada tanggal
28 April sampai tanggal 15 Mei 2018. Jumlah responden di Rumah Sakit X 140
responden, Rumah Sakit Y 45 responden dan Rumah Sakit Z 50 responden.
Perbedaan hasil analisis terjadi di Rumah Sakit Y terutama pada usia dan lama kerja.
Berbeda dengan Rumah Sakit X, perawat pelaksana di Rumah Sakit Y sebagian besar
berusia ≥35 tahun (75,6%) dan telah bekerja di rumah sakit ≥ 10 tahun (80%).
Sedangkan, empat karakteristik lain memiliki karakteristik yang serupa dengan Rumah
Sakit Y. Karakteristik responden yang memiliki hasil yang serupa dengan rumah sakit
63
Y, yaitu jenis kelamin yang sebagian besar merupakan perempuan (88,9%), berlatar
belakang pendidikan DIII keperawatan (68,9), dan jenjang karir PKII (33,3%),
Tabel 5.1
Karakteristik Responden di Rumah Sakit
Mei 2018 (n= 235 responden)
Rumah Sakit X Rumah Sakit Y Rumah Sakit Z Total
Karakteristik (n=140) ( n= 45) (n = 50)
n % n % n % n %
Umur
< 35 tahun 102 77,9 11 24,4 20 40,0 133 56,6
≥ 35 tahun 38 22,1 34 75,6 30 60,0 102 43,4
Jenis Kelamin
Perempuan 113 80,7 40 88,9 30 60,0 183 77,9
Laki-Laki 27 19,3 5 11,1 20 40,0 52 22,1
Tingkat Pendidikan
SPK 5 3,6 2 4,4 3 4,4 10 4,3
DIII keperawatan 114 81,4 31 68,9 36 68,9 181 77,0
S1+Ners 21 15,0 12 26,7 11 26,7 44 18,7
Lama Kerja
< 10 tahun 98 70,0 9 20 30 60,0 137 58,3
≥ 10 tahun 42 30,0 36 80 20 40,0 98 41,7
Jenjang Karir
Pra PK 5 3,6 3 6,7 0 0.0 8 3,4
PK I 46 32,8 8 17,8 8 16,0 62 26,4
PK II 57 40,7 15 33,3 26 52,0 98 41,7
PK III 32 22,9 14 31,1 16 32 62 26,4
PK IV 0 0,0 5 11,1 0 0,0 5 2,1
Total 140 100,0 45 100,0 50 100,0 235 100,0
Sedangkan di Rumah Sakit Z, sebagian besar responden berusia ≥35 tahun (60%),
berjenis kelamin perempuan (60%), berlatar belakang pendidikan DIII keperawatan
(68,9%), lama kerja < 10 tahun (60%), dan jenjang karir PKII (52%).
Universitas Indonesia
Tabel 5.2
Kompetensi Manajerial Case Manager di Rumah Sakit
Mei 2018 (n= 235)
Rumah Sakit Rumah Sakit Rumah Sakit Total
Karakteristik X (n=140) Y ( n= 45) Z (n = 50)
n % n % n % n %
Perencanaan
Rendah 122 87,1 35 77,8 44 88,0 201 85,5
Tinggi 18 12,9 10 22,2 6 12,0 34 14,5
Pengarahan
Rendah 83 59,3 21 46,7 35 70,0 139 59,1
Tinggi 57 40,7 24 53,3 15 30,0 96 40,9
Staffing
Rendah 119 85,0 39 86,7 48 96,0 206 87,7
Tinggi 21 15,0 6 13,3 2 4,0 29 12,3
Manajemen Keuangan
Rendah 125 89,3 35 77,8 48 96,0 208 88,5
Tinggi 15 10,7 10 22,2 2 4,0 27 11,5
Manajemen Problem
Solving
Rendah 91 65,0 27 60,0 30 60,0 148 63,0
Tinggi 49 35,0 18 40,0 20 40,0 87 37,0
Komunikasi
Rendah 86 61,4 25 55,6 34 68,0 145 61,7
Tinggi 54 38,6 20 44,4 16 32,0 90 38,3
Total 140 100,0 45 100,0 50 100,0 235 100,0
Hasil yang sedikit berbeda terjadi pada kompetensi pengarahan yang menunjukkan
Rumah Sakit Y memiliki kompetensi case manager yang tinggi (53,3%) jika
dibandingkan dengan kompetensi pengarahan di Rumah Sakit X (59,3%) dan Rumah
Sakit Z (70%) yang mayoritas masih berada dalam tingkat yang rendah.
Universitas Indonesia
serupa terjadi pada tingkat turnover intention perawat pelaksana di ketiga rumah sakit
yang masih dalam tingkat rendah (79,3%; 86,7%; 78,0%).
Tabel 5.3
Tingkat Burnout, Turnover Intention, dan Kinerja Responden di Rumah Sakit
Mei 2018 (n= 235)
Rumah Sakit X Rumah SakitY Rumah Sakit Z
Total
Karakteristik (n=140) ( n= 45) ( n= 50)
n % n % n % n %
Burnout
Rendah 87 62,1 29 64,4 18 36,0 134 57,0
Tinggi 53 37,9 16 35,6 32 64,0 101 43,0
Turnover Intention
Rendah 111 79,3 39 86,7 39 78,0 189 80,4
Tinggi 29 20,7 6 13,3 11 22,0 46 19,6
Kinerja
Rendah 73 52,1 14 31,1 21 42,0 108 46,0
Tinggi 67 47,9 31 68,9 29 58,0 127 54,0
Total 140 100,0 45 100,0 50 100,0 235 100,0
Berbeda dengan burnout dan turnover intention perawat pelaksana, gambaran tingkat
kinerja perawat pelaksana di ketiga rumah sakit memiliki perbedaan. Mayoritas perawat
pelaksana di tiga rumah sakit memiliki kinerja tinggi (54,0%), dengan komposisi di
Rumah Sakit Y dan Rumah Sakit Z memiliki kinerja yang tinggi (68,9%; 58,0%),
berbeda dengan perawat pelaksana di Rumah Sakit X yang memiliki kinerja rendah
(52,1%).
Hasil analisis bivariat tercantum pada tabel 5.4. Karakteristik perawat yang
berhubungan secara signifikan terhadap burnout yaitu usia (p 0,001), sedangkan
Universitas Indonesia
karakteristik yang tidak berhubungan dengan burnout yaitu jenis kelamin (p 0,557),
lama kerja (p 0,088), tingkat pendidikan (p 0,890), dan jenjang karir ( p 0,058).
Tabel 5.4
Hubungan Karakteristik Responden dengan Burnout Perawat di Rumah Sakit
Mei 2018 (n= 235)
Burnout
Karakteristik
Rendah Tinggi Total p*
Responden
n % n %
Usia
< 35 tahun 89 66,9 44 33,1 133
0,001*
≥ 35 tahun 45 44,1 57 55,1 102
Jenis Kelamin
Laki-Laki 32 61,5 20 38,5 52
0,557
Perempuan 102 55,7 81 44,3 183
Lama Kerja
< 10 tahun 85 62,0 52 38,0 137
0,088
≥ 10 tahun 49 50,0 49 50,0 98
Tingkat Pendidikan
Vokasional 108 56,5 83 43,9 191
0,890
Profesional 26 59,1 18 39,1 44
Jenjang Karir
Rendah 47 67,1 23 32,9 70
0,058
Tinggi 87 52,7 78 47,3 165
*Bermakna pada α<0.05
Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar perawat yang berusia < 35 tahun
mengalami burnout rendah (66,9%) jika dibandingkan dengan perawat berusia ≥ 35
tahun yang sebagian besar mengalami burnout tinggi (55,1%).
Pada perawat laki-laki, lebih dari setengah dari responden laki-laki mengalami burnout
yang rendah (65,1%) dan pada perawat perempuan, sebanyak 55,7 % nya mengalami
burnout yang rendah. Hasil yang sama terlihat pada sebagian besar perawat yang telah
bekerja selama kurang dari 10 tahun ternyata mengalami burnout yang rendah (62,0%),
sedangkan pada perawat dengan lama kerja lebih dari 10 tahun ternyata mengalami
burnout rendah dan tinggi (sama-sama memiliki prosentase 50,0%). Sebagian besar
perawat dengan tingkat pendidikan vokasional (SPK dan DIII keperawatan) dan tingkat
pendidikan profesional (ners) ternyata sama-sama mengalami burnout yang rendah
(56,5% dan 59,1%). Pada perawat yang memiliki jenjang karir rendah (PK I dan PK II)
Universitas Indonesia
dan jenjang karir tinggi (PK III dan PK IV) ternyata sama-sama mengalami burnout
yang rendah (67,1% dan 52,7%).
Karakteristik perawat lainnya seperti jenis kelamin, lama kerja, tingkat pendidikan, dan
jenjang karir ternyata tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap burnout
perawat pelaksana. Hasil ini ditunjang dengan prosentase kejadian burnout perawat
pelaksana terhadap jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan jenjang karir yang mayoritas
mengalami burnout yang rendah. Berbeda dengan karakteristik lainnya, ternyata
perawat yang telah bekerja lebih dari 10 tahun mengalami prosentase kejadian burnout
tinggi dan rendah yang sama yaitu 50%.
Universitas Indonesia
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas perawat pelaksana yang berusia kurang
dari 35 tahun dan lebih dari 35 tahun, sama-sama mengalami turnover intention yang
rendah (78,9%; 82,4%), mayoritas perawat laki-laki dan perawat perempuan, sama-
sama mengalami turnover intention yang rendah (82,7% dan 79,8%). Hasil yang sama
terjadi pada perawat yang telah bekerja selama kurang dari 10 tahun dan yang telah
bekerja selama lebih dari 10 tahun, ternyata sebagian besarnya sama-sama mengalami
turnover intention yang rendah (78,1%; 83,7%), serta pada perawat dengan tingkat
pendidikan vokasional (SPK dan DIII keperawatan) dan perawat dengan tingkat
pendidikan profesional, sama-sama mengalami turnover intention yang rendah ( 80,1%;
81,8%, serta perawat yang memiliki jenjang karir rendah (PK I dan PK II) dan jenjang
karir tinggi, juga sama-sama mengalami turnover intention yang rendah (85,7% ;78,2%)
Universitas Indonesia
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas perawat pelaksana yang berusia kurang
dari 35 tahun memiliki kinerja yang rendah (54,9%) dan sebagian besar perawat
pelaksana yang berusia lebih dari 35 tahun memiliki kinerja yang tinggi (65,7%). Pada
sebagian besar perawat laki-laki dan perawat perempuan, ternyata sama-sama memiliki
kinerja yang tinggi (59,6%; 52,5%). Sedangkan, mayoritas perawat yang telah bekerja
kurang dari 10 tahun memiliki kinerja rendah (51,8 %) dan mayoritas perawat dengan
lama kerja lebih dari 10 tahun ternyata memiliki kinerja tinggi. Lebih lanjut, pada
perawat dengan tingkat pendidikan vokasional (SPK dan DIII keperawatan) dan perawat
dengan jenjang karir profesional (ners), sama-sama memiliki kinerja yang tinggi (
54,5% ; 52,3%). Pada perawat yang memiliki jenjang karir rendah (PK I dan PK II) dan
jenjang karir tinggi (PK III dan PK IV), sama-sama meniliki kinerja yang tinggi (57,1
%; 52,7 %)
Universitas Indonesia
Kompetensi manajerial case manager yang tidak berhubungan dengan tingkat turnover
intention peawat yaitu kompetensi perencanaan (p 0,140), kompetensi staffing (p 0,112),
dan kompetensi manajemen keuangan (p 0,151).
Universitas Indonesia
Tabel 5.8
Hubungan antara Kompetensi Manajerial Case Manager dengan Turnover Intention Di Rumah Sakit
Mei 2018 (n= 235)
Turnover Intention
Kompetensi Manajerial
Rendah Tinggi Total p
Case Manager
n % n %
Perencanaan
Rendah 158 78,6 43 21,4 201
0,140
Tinggi 31 91,2 3 8,8 34
Pengarahan
Rendah 96 69,1 43 30,9 139
0,001*
Tinggi 93 96,9 3 3,1 96
Staffing
Rendah 162 78,6 44 21,4 206
0,112
Tinggi 27 93,1 2 6,9 29
Komunikasi
Rendah 101 69,7 44 30,3 145
0,001*
Tinggi 88 97,8 2 2,2 90
Mnajemen Keuangan
Rendah 164 78,8 44 21,2 208
0,151
Tinggi 25 92,6 2 7,4 27
Problem Solving
Rendah 106 71,6 42 28,4 148 0,001*
Tinggi 83 95,4 4 4,6 87
*Bermakna pada α<0,05
Universitas Indonesia
Sub variabel kompetensi manajerial case manager yang tidak berhubungan signifikan
dengan kinerja yaitu kompetensi perencanaan (p 0,125), kompetensi staffing (p 0,467),
dan kompetensi manajemen keuangan (p 0,233).
tinggi (66,7%), sama-sama memiliki kinerja yang tinggi. Lebih lanjut, sebagian besar
perawat pelaksana yang mempersepsikan kompetensi problem solving case manager
rendah ternyata memiliki kinerja yang rendah (53,4%) dan sebagian besar perawat
pelaksana yang mempersepsikan kompetensi problem solving case manager tinggi
ternyata memiliki kinerja yang tinggi juga (66,7%)
Tabel 5.10
Hasil Seleksi Bivariat Variabel Dependen dan Variabel Konfonding dengan dengan Tingkat Burnout
Perawat di Rumah Sakit
Mei 2018(n=235)
No Sub Variabel p
1 Usia 0,001*
2 Jenis kelamin 0,557
3 Lama kerja 0,088*
4 Jenjang karir 0,058*
5 Tingkat pendidikan 0,673
6 Kompetensi perencanaan 0,001*
7 Kompetensi pengarahan 0,001*
8 Kompetensi staffing 0,002*
9 Kompetensi keuangan 0,035*
Universitas Indonesia
No Sub Variabel p
10 Kompetensi komunikasi 0,001*
11 Kompetensi problem solving 0,001*
*Variabel dengan α<0.25 (kandidat yang akan dimasukkan dalam analisis multivariat)
Tabel 5.10 menunjukkan terdapat 9 variabel yang menjadi kandidat untuk pemodelan
multivariat yaitu kompetensi manajerial case manager (kompetensi perencanaan,
pengarahan, staffing, komunikasi, manajemen keuangan, dan penyelesaian masalah) dan
karakteristik responden yang terdiri dari usia, lama kerja, dan jenjang karir.
Tahap pemodelan dilakukan dengan cara mengelompokkan variabel utama dalam blok
satu variabel konfonding dalam blok dua. Metode multivariat menggunakan model enter
yang dilakukan pengujian secara bersamaan. Hasil pemodelan multivariat tercantum
dalam tabel 5.11.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 5.12
Hasil Seleksi Bivariat Variabel Dependen dan Variabel Konfonding dengan
Tingkat Turnover Intention Di Rumah Sakit
Mei 2018 (n=235)
No Sub Variabel p
1 Usia 0,877
2 Jenis kelamin 0,437
3 Lama kerja 0,820
4 Jenjang karir 0,250
5 Tingkat pendidikan 1,000
6 Kompetensi perencanaan 0,004*
7 Kompetensi pengarahan 0,001*
8 Kompetensi staffing 0,011*
9 Kompetensi komunikasi 0,001*
10 Kompetensi manajemen keuangan 0,014*
11 Kompetensi problem solving 0,001*
* α<0.25 (kandidat yang akan dimasukkan dalam analisis multivariat)
Tabel 5.12 menunjukkan terdapat enam variabel yang menjadi kandidat untuk
pemodelan multivariat yaitu kompetensi manajerial case manager (kompetensi
perencanaan, pengarahan, staffing, manajemen keuangan, komunikasi dan problem
solving).
Tabel 5.13 merupakan pemodelan akhir dari keseluruhan variabel yang masuk dalam
pemodelan multivariat. Hasil akhir pemodelan menunjukkan adanya dua variabel yang
mempengaruhi turnover intention perawat dengan p <0,05 yaitu kompetensi pengarahan
dan kompetensi komunikasi.
Universitas Indonesia
Tabel 5.13
Hasil Pemodelan Uji Multivariat Variabel Independen dan Variabel Konfonding terhadap
Tingkat Turnover Intention Di Rumah Sakit
Mei 2018 (n=235)
No Sub Variabel B Wald p OR 95% CI
Tabel 5.14
Kandidat Seleksi Bivariat Uji Regresi Logistik Variabel Dependen dan Variabel Konfonding dengan
Kinerja Perawat Di Rumah Sakit
Mei 2018 (N=235)
No Sub Variabel p
1 Usia 0,003*
2 Jenis kelamin 0,450
3 Lama kerja 0,045*
4 Jenjang karir 0,633
5 Tingkat pendidikan 0,654
6 Kompetensi perencanaan 0,125*
7 Kompetensi pengarahan 0,002*
8 Kompetensi staffing 0,339
9 Kompetensi komunikasi 0,001*
10 Kompetensi manajemen keuangan 0,233*
11 Kompetensi problem solving 0,004*
*Variabel dengan α<0.25 (kandidat yang akan dimasukkan dalam analisis multivariat)
Tabel 5.14 menunjukkan terdapat tujuh variabel yang menjadi kandidat untuk
pemodelan multivariat yaitu kompetensi manajerial case manager (kompetensi
perencanaan, staffing, manajemen keuangan, komunikasi, dan problem solving dan
karakteristik responden yang terdiri dari usia dan lama kerja karena memiliki p<0,25.
Pentingnya variabel kompetensi manajerial case manager menjadi alasan bagi peneliti
untuk mengikutsertakan variabel kompetensi staffing, meskipun kompetensi staffing
tidak memenuhi syarat untuk masuk kedalam pemodelan multivariat (p 0,339> 0,25).
Variabel yang termasuk dalam uji multivariat selanjutnya yaitu variabel kompetensi
manajerial case manager, usia, dan lama kerja
Uji multivariat pada variabel independen yaitu komposit kompetensi manajerial case
manager, usia, dan lama kerja dengan kinerja menggunakan metode enter. Variabel
kompetensi manajerial masuk dalam blok pertama dan variabel konfonding seperti usia
dan lama kerja masuk dalam blok kedua. Hasil uji multivariat tercantum dalam tabel
5.15.
Universitas Indonesia
Hasil akhir pemodelan menunjukkan dua variabel yang mempengaruhi kinerja perawat
dengan p <0,05 yaitu kompetensi komunikasi (p 0,048) dan usia perawat (p 0,025)
Hasil penelitian juga menunjukkan fungsi manajerial yang paling berpengaruh terhadap
kinerja perawat pelaksana yaitu kompetensi komunikasi sebesar 2 kali (CI 95%, 1,006;
3,953)
Universitas Indonesia
Bab ini akan menguraikan interpretasi dan pembahasan hasil penelitian. Peneliti akan
membandingkan hasil penelitian dengan hipotesis penelitian yang menghubungkan
karakteristik perawat, faktor perancu dengan burnout, turnover intention, dan kinerja
perawat. Pembahasan juga meliputi keterbatasan yang muncul selama proses penelitian
dengan kondisi ideal sesuai perencanaan. Implikasi terhadap pemberian asuhan
keperawatan, pendidikan, dan penelitian selanjutnya menjadi langkah selanjutnya pada
tahap pembahasan ini.
Karakteristik fisiologis yang berkaitan dengan usia menjadi salah faktor pendukung
dalam menentukan usia perawat yang bekerja di suatu unit tertentu. Rumah Sakit X
yang merupakan rumah sakit rujukan nasional yang memiliki beban kerja yang cukup
tinggi dan memerlukan mobilitas pelayanan yang cukup tinggi. Beban kerja dan
mobilitas yang tinggi memerlukan kondisi fisik yang optimal. Berbeda halnya dengan
Rumah Sakit Y dan Rumah Sakit Z yang menekankan pada kompetensi pengalaman
untuk memenuhi kebutuhan terhadap pelayanan yang berkualitas. Kemampuan dalam
melayani sesuai dengan berbagai bentuk pelayanan sesuai harapan pasien dan
keluarganya.
81
Berbeda halnya dengan karakteristik usia menengah lanjut. Bertambahnya usia akan
mempengaruhi proses kedewasaan dalam berfikir dan bertindak. Teori perkembangan
sosial Erikson menyatakan bahwa kategori usia dibedakan menjadi tiga, yaitu: dewasa
muda 19-29 tahun, dewasa 30–50 tahun, dan diatas usia 50 tahun dewasa tua (Yanto &
Rejeki, 2017). Rentang perbedaan usia perawat baru yang jauh menyebabkan tingkat
kedewasaan psikologis menjadi sangat berbeda (Yanto & Rejeki, 2017). Usia dewasa
awal merupakan tahap usia yang memiliki berbagai tantangan sesuai dengan tujuan
hidup seseorang (Potter, 2009). Proses kedewasaan merupakan proses kematangan
manusia dalam menjalankan tugas sesuai peran dan kemampuannya secara psikologis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar perawat pelaksana adalah
perempuan. Ketiga rumah sakit tempat penelitian menunjukkan bahwa sampai saat ini
perempuan masih mendominasi profesi perawat bila dibandingkan dengan laki-laki.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lain yang menunjukkan adanya dominasi
perempuan yang menjadi perawat (Sulistyowati, 2007; Yanto & Rejeki, 2017).
Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa perempuan mendominasi petugas
kesehatan di rumah sakit (Kusumaningrum, Sunardi, & Saleh, 2016). Tingginya
Universitas Indonesia
Lama kerja dalam rentang waktu yang cukup lama akan meningkatkan pengalaman
kerja. Beberapa penelitian menujukkan bahwa lama kerja 10 tahun akan mendapatkan
berbagai pengalaman. Pengalaman ini sangat penting dalam melaksanakan pelayanan,
namun lama kerja yang ≥ 10 tahun juga beresiko mengalami kejenuhan kerja. Hal ini
perlu mendapatkan dukungan manajerial untuk memodifikasi lingkungan yang
menunjang optimalisasi kerja perawat.
Universitas Indonesia
Sebagian besar perawat berpendidikan vokasional keperawatan. Hal ini sejalan dengan
beberapa penelitian yang dilakukan oleh Maharani, (2016) yang menyatakan bahwa
sebagian besar perawat yang ada di rumah sakit merupakan perawat yang berlatar
belakang pendidikan vokasional. Pendidikan vokasional merupakan pendidikan
keperawatan dari jenjang SPK dan DIII keperawatan, sedangkan pendidikan profesional
merupakan pendidikan keperawatan tinggi mulai dari S1 keperawatan+ ners.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar perawat pelaksana merupakan
perawat dengan jenjang karir PK II. Kesamaan mayoritas jenjang karir pada ketiga
rumah sakit tempat penelitian menunjukkan bahwa perawat pelaksana yang melakukan
proses pelayanan keperawatan masih berada pada tingkat PK II (Reza, 2015; Suroso,
2011). Kemampuan PK II berfokus pada kemampuan dalam melaksanakan asuhan dasar
keperawatan tanpa memiliki spesifikasi terhadap ketrampilan tertentu tanpa adanya
tuntutan dalam melakukan kolaborasi integrasi dengan tenaga kesehatan lain
(Kesehatan, 2017; Kornela et al., 2014).
Universitas Indonesia
Kewajiban penerapan case manager dalam penilaian akreditasi KARS masih menjadi
tantangan bagi rumah sakit. Belum adaya pemahaman peran dan fungsi case manager
pemahaman peran dan fungsi case manager secara berkala kepada case manager dan
sosialisasi peran case manager kepada seluruh perawat dan tenaga kesehatan lain
merupakan penyebab kurangnya dukungan manajemen terhadap case manager. Salah
satu strategi untuk mendekatkan interaksi antara case manager dengan perawat
pelaksana yaitu dengan menetapkan case manager sebagai manajer keperawatan yang
dapat memodifikasi lingkungan kerja yang tidak memberikan beban kerja berlebihan
kepada perawat (Miyata, Arai, & Suga, 2015; Wong & Spence, 2015).
Dualisme fungsi case manager menurunkan kompetensi case manager. Uraian tugas
case manager yang mengharuskan case manager menangani pasien secara langsung
ditambah dengan tugas enjalankan fungsi administratif berisiko meningkatkan beban
kerja case manager secara umum. Secara khusus case manager memiliki kompetensi
perencanaan, pengarahan, staffing, manajemen keuangan, manajemen problem solving,
dan kompetensi komunikasi, namun dilain pihak case manager bertugas
mengkoordinasikan semua lini yang berhubungan dengan perawatan pada pasien
tersebut yang terdiri dari dokter penanggung jawab pasien, perawat laboratorium dan
berbagai fasilitas yang berhubungan dengan perawatan pasien (Ahmed, 2016;
Campagna & Stanton, 2010; Stutz, 2013). Kelebihan case manager yaitu membuat
pelayanan lebih cepat dimana manajemen rumah sakit memberikan akses seluas-luasnya
kepada case manager untuk berkomunikasi, memfasilitasi dan mengkoordinasi
pelayanan yang berpusat kepada pasien yang berdampak pada memendeknya hari
perawatan pasien dan efisiensi pembiayaan (Hines & Mercury, 2013; Schuetze &
Cunningham, 2007).
Kendala dalam penerapan tugas case manager memerlukan strategi intervensi yang
efektif untuk mencegah ekibat buruk. Perlu adanya perhatian khusus untuk menciptakan
manajer yang baik lewat proses seleksi kandidat, program mentoring, dukungan
organisasi, dan kualifikasi pendidikan (Duffield et al., 2015). Kompetensi case manager
Universitas Indonesia
yang berkaitan dengan fungsi manajerial belum pernah dilakukan, sehingga belum ada
perbandingan antara hasil penelitian saat ini dengan penelitian sebelumnya.
Universitas Indonesia
optimalnya fungsi case manager perawat pelaksana (Sunaringtyas & Sulisno, 2015).
Sampai saat ini, belum ada penelitian terkait dampak penerapan kompetensi pengarahan
case manager terhadap burnout, turnover intention¸ dan kinerja perawat yang bisa
dijadikan perbandingan hasil penelitian.
Universitas Indonesia
terbantu oleh peran dari bidang keperawatan sebagai manajemen tingkat atas dalam
menentukan jumlah perawat yang bertugas pada unit-unit spesifik. Hal ini bertujuan
untuk mengoptimalkan kerja case manager terutama dalam proses interaksi langsung
kepada pasien sebagai bagian dari proses case management.
Universitas Indonesia
Case manager selalu mengkomunikasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan pasien
kepada disiplin lain, agar pasien dapat memperoleh pelayanan yang berkesinambungan,
tidak terjadi duplikasi tindakan maupun terapi. Apabila terjadi sengketa atau konflik
antara pasien dengan tenaga kesehatan maka case manager melakukan mediasi untuk
menyamakan persepsi dan dapat di ambil keputusan yang terbaik (Sunaringtyas &
Sulisno, 2015).
peneliti sebelumnya (Canadas et al., 2014; Zhang et al., 2014). Beberapa penyebab
terjadinya burnout terutama akibat beban dan tuntutan kerja yang tinggi, lingkungan
kerja yang monoton, reward yang kurang dan tidak didukung oleh pihak manajemen
(Poghosyan et al., 2010). Hal ini menyebabkan perawat merasa tidak dihargai dan
cenderung merasa kelelahan akibat pekerjaan yang sama.
Sebagian besar peneliti menyatakan bahwa faktor eksternal menjadi penyebab. Stressor
lingkungan dan komitmen organisasi paling besar menyebabkan. Faktor lingkungan
kerja perawat yang tidak mendukung berupa gaya kepemimpinan yang tidak tepat
(Ramdan & Fadly, 2016), lingkungan kerja yang tidak mendukung (Hooper et al, 2010;
Apiradee Nantsupawat et al, 2016), metode staffing yang tidak efektif, sistem
penjadwalan yang tidak sistematis (Ora, Griffiths, Ball, Simon, & Aiken, 2015; Zhang
et al, 2014), jam kerja yang panjang (Ribeiro et al, 2014), beban kerja meningkat
(Bogaert et al, 2012; Ramdan & Fadly, 2016). Stressor lingkungan ini mempengaruhi
kemampuan koping perawat akibat dampak interaksi individu terhadap stressor yang
ada dalam lingkungan kerja. Keberhasilan koping perawat dalam mengatasi stressor
lingkungan terbukti dapat mempengaruhi tingkat burnout perawat dan meningkatkan
kinerja perawat (Ntantana et al, 2017).
Kondisi burnout terjadi akibat lingkungan kerja yang tidak kondusif. Rumah Sakit X
merupakan rumah sakit rujukan yang menjadi tujuan akhir dari berbagai pasien yang
ada di Indonesia. Jumlah pasien yang mencapai tinggi setiap harinya menuntut perawat
Rumah Sakit X harus memiliki daya tahan fisik dan mentalitas yang kuat dan bertahan
lama, Bagi perawat baru, Rumah Sakit X merupakan rumah sakit pendidikan yang
memiliki berbagai macam kasus kompleks yang biasanya sudah mengalami komplikasi.
Hal ini ditunjang pula dengan mayoritas usia perawat di Rumah Sakit X berusia < 35
tahun, yang masih membutuhkan pengalaman dan mobilisasi tinggi, sehingga tingkat
burnout cenderung rendah.
Sama halnya dengan Rumah Sakit Z yang baru saja berubah menjadi rumah sakit
umum. Suasana organisasi yang baru dan harapan baru terhadap status rumah sakit yang
baru meningkatkan semangat dan motivasi untuk bekerja. Tingkat burnout pun akan
Universitas Indonesia
Prosentase burnout yang sedikit lebih tinggi di Rumah Sakit Z berhubungan erat dengan
berbagai faktor. Mayoritas usia yang ≥ 35 tahun (kategori dewasa menengah lanjut) dan
lama kerja ≥ 10 tahun meningkatkan kecenderungan perawat di Rumah Sakit Z
mengalami burnout. Pekerjaan yang monoton, lingkungan kerja yang kurang bersaing,
serta mulai adanya penurunan kondisi fisik menjadi beberapa penyebab terjadinya
burnout. Kondisi ini harus menjadi perhatian khusus, karena kondisi burnout sangatlah
merugikan terhadap kualitas psikologis perawat dan kualitas asuhan keperawatan
kepada pasien. Perawat manajer level atas perlu memberikan dukungan dalam bentuk
program penyegaran dan manajemen konflik kepada perawat yang mengalami burnout.
Sebagian besar perawat memiliki turnover intention yang rendah. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa sebagian besar
responden mengalami tingkat turnover intention yang rendah (Widhi Putra & Sariyathi,
2017). Penyebab rendahnya tingkat turnover intention berkaitan dengan adanya
dukungan manajemen. Kemampuan manajemen untuk memenuhi kebutuhan staf nya
akan menurunkan keinginan perawat untuk pindah (Hayward et al., 2016; Widhi Putra
& Sariyathi, 2017). Hayward et al, (2017) menyatakan bahwa penyebab terjadinya
stress yang berakibat pada keinginan untuk pindah terutama adanya lingkungan kerja
yang tidak kondusif, kurangnya dukungan manajer keperawatan, dan adanya gangguan
kesehatan. Kurangnya dukungan manajemen biasa dapat teratasi jika manajer
keperawatan terutama case manager memiliki kemampuan staffing dan kepedulian
terhadap peningkatan pengetahuan lewat penyediaan informasi. Ketersediaan informasi
ini dapat meningkatkan kapasitas perawat untuk mengenali tanda-tanda perburukan
kesehatan pasien dan melakukan intervensi berbasis ilmiah serta bekerjasama secara
efektif yang memiliki berbagai ketrampilan yang berbeda.
Prosentase tingkat turnover intention yang cukup rendah tetap harus mendapatkan
perhatian khusus. Angka ini akan terus meningkat jika tidak mendapatkan intervensi
langsung. Hasil penelitian yang serupa belum pernah dilakukan. Beberapa penyebab
Universitas Indonesia
rendahnya tingkat turnover intention karena sudah mulai meningkatkan kesadaran pihak
manajemen dan SDM untuk memberikan penyegaran bagi staff nya. Kompleksitas
pelayanan dan dukungan manajerial terhadap kemampuan perawat juga dapat
meningkatkan motivasi dan kepuasan perawat sehingga turnover intention tidak
berkembang (Kadir, Kamariah, Saleh, & Ratnawati, 2017).
Penelitian yang dilakukan oleh Koy; et al., (2015) menyatakan bahwa lingkungan kerja
yang kondusif dan manajemen staffing pada umumnya dapat menurunkan turnover
intention di sebuah unit kerja. Lingkungan kerja kondusif merupakan bentuk
infrastruktur yang dibutuhkan untuk mencapai sebuah asuhan keperawatan yang
berkualitas (Koy, Yunibhand, Angsuroch, & Fisher, 2015). Keadaan ini merupakan
dampak positif dari adanya kepuasan kerja perawat pelaksana selama pelaksanaan
asuhan keperawatan.
Tingginya kinerja perawat di rumah sakit menjadi gambaran mendasar terhadap tingkat
kinerja perawat di Rumah Sakit. Karakteristik rumah sakit dengan hasil akreditasi
paripurna di ketiga rumah sakit tempat penelitian dan dukungan manajemen menjadi
faktor predisposisi pentingnya mempertahankan perawat yang memiliki kinerja tinggi
untuk mewujudkan visi dan misi rumah sakit. Kinerja menjadi faktor penting dalam
meningkatkan dan mengoptimalkan mutu asuhan keperawatan. Komponen kinerja
perawat menjadi salah satu bagian penting dalam sebuah integrasi perawatan pasien,
menjadi faktor penentu penting kualitas pelayanan, mengembangkan sikap disiplin diri,
dan konsisten mencapai cita-cita perawat (Ilyas, 2002; muthmainah, 2017). Kinerja
perawat yang tinggi menjadi pendukung terhadap perawatan keehatan, memberikan
Universitas Indonesia
Salah satu penyebab rendahnya kinerja perawat yaitu belum optimalnya manajer
keperawatan dalam mengatasi perawat dengan kinerja yang rendah.Kinerja perawat
yang rendah juga beresiko terhadap adanya kelalaian dan kesalahan medis sebagai
bagian dari tindakan kolaboratif antara perawat dengan pasien.
Usia mempengaruhi burnout perawat. Pengaruh ini lebih berdasarkan pada adanya
perbedaan karakteristik fisik dan kematangan psikologis yang berbanding terbalik. Usia
< 35 tahun masuk dalam kategori dewasa menengah awal yang memiliki karakteristik
kondisi fisik yang optimal sehingga memiliki mobilisasi yang tinggi, energik,
bersemangat, dan cekatan. Kondisi fisik yang optimal meningkatkan kemampuan
perawat dalam melakukan tugas-tugas keperawatan yang menantang. Perawat pada usia
ini juga cenderung memiliki produktifitas yang tinggi (Orsal, Orsal, Duru, Unsal, &
Barlas, 2017).
Universitas Indonesia
kemungkinan mengalami burnout lebih besar daripada orang yang berusia lebih muda
(Girindra Swasti, Ekowati, & Rahmawati, 2017). Beban kerja yang monoton dan jenis
pekerjaan yang sama selama bertahun-tahun meningkatkan risiko kelelahan kerja jika
perawat manajer tidak menciptakan lingkungan kerja yang kreatif dan heterogen.
Hasil analisis menunjukkan bahwa perawat perempuan dan laki-laki sebagian besar
mengalami burnout rendah. Hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian lain yang
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan perawat laki-laki dan perawat perempuan
terhaadap tingkat burnout yang rendah (Galindo et al., 2012; Orsal et al., 2017; Ramdan
& Fadly, 2016). Orsal et al., (20017) menyatakan persamaan tingkat burnout pada laki-
laki dan perempuan menunjukkan bahwa burnout dapat menyerang siapa saja.
Penyebab terbesar dari terjadinya burnout terutama lingkungan kerja dan beban kerja
tinggi yang dapat dirasakan dan dialami oleh perawat laki-laki dan perempuan.
Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
jenis kelamin dengan tingkat burnout perawat (p 0,557). Hasil ini sejalan dengan
beberapa penelitian lain yang menyatakan bahwa tidak adanya hubungan antara jenis
kelamin dengan burnout perawat (Yanto & Rejeki, 2017; Zees, 2011). Persebaran
tingkat burnout perawat yang hampir merata pada perawat laki-laki dan perempuan
menurunkan keeratan hubungan antara jenis kelamin dengan burnout perawat.
Perawat pelaksana yang memiliki lama kerja < 10 tahun lebih banyak mengalami
burnout rendah dan perawat pelaksana yang memiliki lama kerja ≥ 10 tahun tetap
mengalami burnout rendah. Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara lama kerja dengan tingkat burnout perawat (p 0,088).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Prestina & Purbandini,
(2012) yang menyatakan bahwa perawat dengan lama kerja kurang dari 10 tahun
sebagian besar mengalami burnout yang tinggi. Beberapa penelitian sebelumnya juga
menyatakan bahwa lama kerja tidak berhubungan dengan burnout (Novia Pandean,
Kairupan, & Rompas, 2018; Orsal et al., 2017). Prosentase tingkat burnout yang tidak
jauh berbeda antara kelompok lama kerja < 10 tahun dengan kelompok lama kerja ≥ 10
tahun menjadi salah satu kemungkinan penyebab tidak bermaknanya hubungan antara
lama kerja dengan tingkat burnout perawat.
Universitas Indonesia
Penyebaran tingkat burnout yang hampir merata ini dapat disebabkan dengan mulai
adanya dukungan manajemen terhadap tingkat burnout perawat, namun belum
terlaksana bagi seluruh perawat. Kurangnya timbal balik positif dari pasien maupun dari
pihak manajemen dan kebiasaan melakukan pekerjaan yang sama setiap harinya
beresiko menimbulkan kebosanan dan kejenuhan yang dapat meningkatkan burnout
perawat (Prestiana & Purbandini, 2012). Program penyegaran bagi perawat pelaksana
dapat menjadi salah satu strategi untuk menurunkan tingkat burnout perawat sehingga
tidak membebani tenaga kesehatan dalam unit kerja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat
pendidikan dengan tingkat burnout perawat (p 0,890). Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat
pendidikan dengan burnout perawat (Orsal et al., 2017). Namun, hasil ini tidak sejalan
dengan beberapa penelitian lain terkait burnout perawat wanita (Girindra Swasti et al.,
2017).
Universitas Indonesia
Perawat pelaksana yang memiliki jenjang karir rendah dan tinggi sama-sama mengalami
burnout rendah. Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara jenjang karir dengan tingkat burnout perawat (p 0,058). Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian Suroso, (2011) yang menyatakan tidak adanya
hubungan antara jenjang karir dengan burnout perawat.
Jenjang karir tidak mempengaruhi burnout perawat. Tidak adanya hubungan antara
jenjang karir dengan burnout perawat pada umumnya berkaitan erat dengan beban kerja
yang merata di semua perawat tanpa memandang jenjang karir. Jenjang karir akan
mempengaruhi burnout perawat jika didukung oleh faktor lain seperti lingkungan kerja,
dukungan manajemen, dan kerjasama tim (Suroso, 2011). Proses pengelolaan sumber
daya perawat harus memperhatikan sistem jenjang karir perawat untuk mengoptimalkan
kualitas pelayanan. Marquis & Huston, (2015) mendeskripsikan proses pengembangan
karir perawat merupakan bagian dari sebuah perencanaan dengan mempertimbangkan
ketrampilan dan spesifikasi yang sesuai. Proses ini bertujuan untuk menempatkan
perawat berdasarkan tingkatan keahlian dalam rentang waktu tertentu (Marquis &
Huston, 2015).
Turnover intention tidak berhubungan dengan usia. Tidak adanya hubungan signifikan
antara usia dengan turnover intention, dapat disebabkan oleh kurangnya faktor
pendukung keinginan untuk pindah perawat. Stres kerja, rendahnya kepuasan kerja, dan
kurangnya komitmen perawat menjadi beberapa penyebab yang bersiko meningkatkan
turnover intention bersama dengan faktor usia. Peningkatan usia juga menurunkan
keinginan untuk pindah karena ketidakmampuan untuk bersaing dengan perawat yang
berusia lebih mudah dengan kemampuan mobilisasi dan kreatifitas tinggi.
Universitas Indonesia
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perawat perempuan dan perawat laki-laki
sebagian besar mengalami turnover intention rendah. Hasil uji statistik juga bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan tingkat turnover
intention perawat (p 0,788). Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa
tidak ada perbedaan tingkat turnover intention antara perempuan dan laki-laki.
Persamaan beban kerja antara perawat perempuan dan laki-laki serta adanya faktor
pendukung lainnya seperti stres pekerjaan dan dukungan manajemen menjadi salah satu
penyebab tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dengan turnover intention (Ja
Yeun et al., 2016; Lin et al., 2013).
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sebagian besar perawat tanpa memandang lama
kerja, memiliki turnover intention yang tinggi. Hasil uji statistik juga menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara lama kerja dengan tingkat turnover
intention perawat (p 0,371). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya
yang menyatakan bahwa lama kerja tidak berkaitan dengan turnover intention
(Arbianingsih et al., 2016).
Tidak ada hubungan antara lama kerja dengan turnover intention. Lama kerja akan
mempengaruhi turnover intention perawat jika didukung dengan faktor lain seperti
beban kerja, stressor di tempat kerja, dan dukungan pihak manajemen. Sebagian besar
perawat dengan lama kerja kurang dari 10 tahun dan yang lebih dari 10 tahun memiliki
turnover intention yang rendah. Rendahnya turnover intention pada perawat tanpa
memandang lama kerja disebabkan karena telah adanya kegiatan pelatihan, penyegaran,
dan modifikasi lingkungan yang berpengaruh terhadap kepuasan dan motivasi perawat
sehingga turnover intention dapat berkurang dibawah 50% (Kurnat-Thoma et al., 2017;
Neeley, 2016).
0,962). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian mengenai turnover intention yang
dilakukan oleh Arbianingsih et al., (2016) dengan p 0,38.
Pembagian tugas dan tanggungjawab antara perawat vokasional dan perawat profesional
masih merata. Anisa, (2015) menyatakan bahwa belum adanya perbedaan yang spesifik
terhadap tugas dan tanggungjawab antara perawat vokasional dengan perawat
profesional menjadikan persebaran tingkat turnover intention menjadi lebih luas dan
merata. Tingginya turnover intention tanpa memandang latar belakang pendidikan,
menjadikan fenomena ini masih sulit untuk teratasi (Gellatly et al., 2014). Perlu adanya
dukungan manajemen dalam menciptakan lingkungan kerja yang kondusif sehingga
dapat menekan angka turnover intention.
Turnover intention dapat terjadi pada semua perawat tanpa memandang latar belakang
pendidikan. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan khusus, karena persebaran
turnover intention yang cukup merata dan tinggi di kedua kelompok perawat,
menjadikan tugas manajemen lebih berat dalam menentukan strategi dan program
retensi yang sesuai dengan semua perawat namun dengan latar belakang pendidikan
yang beragam. Perbedaan tingkat pendidikan perawat dalam unit kerja tidak berdampak
langsung terhadap turnover intention yang terjadi pada perawat (Gellatly et al., 2014;
Okafor, Chima, Okoye, & Ifensinachi, 2017).
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perawat pelaksana di semua jenjang karir (PKI-
PKIV) mengalami turnover intention yang rendah. Hasil uji statistik juga menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenjang karir dengan tingkat turnover
intention perawat. Proses kenaikan ke jenjang berikutnya membutuhkan waktu yang
lama dan tenaga yang memadai. Kesulitan dan kurang responsifnya pihak manajemen
terhadap penjadwalan ujian kompetensi berisiko meningkatkan turnover intention (Ko
et al., 2015; Kornela et al., 2014; Suroso, 2011). Perawat dengan jenjang karir yang
rendah beresiko mengalami penundaan akibat kurangnya informasi dan sulitnya
mengatur pemberkasan untuk uji kenaikan jenjang karir.
Jenjang karir tidak berhubungan dengan turnover intention perawat. Tidak adanya
perbedaan antara jenjang karir PK I – PK IV mengindikasikan adanya faktor penyebab
Universitas Indonesia
lain yang dapat mempengaruhi terjadinya turnover pada perawat. Penyebab utama yang
berasal dari lingkungan kerja dan dukungan manajerial menjadi salah satu penyebab
yang terbukti dapat meningkatkan turnover intention pada perawat (C. Duffield et al.,
2015; Rachman & Dewanto, 2016; Saining et al., 2013). Lebih lanjut, rendahnya
prosentase perawat yang mengalami turnover intention disebabkan karena mulai adanya
beberapa strategi untuk menurunkan turnover meskipun belum dapat menghilangkan
angka turnover secara keseluruhan (Muhammad Lukman Hakim dan Arum Darmawati,
S.E, 2015; O’Brien-Pallas et al., 2010).
Usia berpengaruh besar terhadap kinerja perawat. Semakin tinggi usia perawat, maka
semakin tinggi kinerja perawat. Optimalisasi kinerja terutama disebabkan karena
banyaknya pengalaman kerja sehingga memberikan kemampuan untuk melaksanakan
tugas seecara efektif dan efisien sesuai pengalaman yang didapat bertahun-tahun di
rumah sakit. Kinerja yang optimal menjadi sebuah kewajiban bagi setiap perawat yang
bertugas di rumah sakit dengan beban kerja yang tinggi. Keadaan ini ditunjang pula
dengan mayoritas usia responden berusia < 35 tahun sehingga dapat menciptakan
budaya kerja dengan kinerja yang tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat laki-laki dan perempuan, sebagian besar
memiliki kinerja yang tinggi. Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kinerja perawat (p 0,450). Tidak
adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kinerja perawat berkaitan erat dengan
makin berkembangnya konsep kesamaan gender antara perempuan dan laki-laki (Zees,
2011).
Universitas Indonesia
Standar kinerja dalam sebuah jabatan atau pekerjaan tidak berhubungan langsung
dengan jenis kelamin. Standar kinerja setiap jabatan dan pekerjaan dalam sebuah
organisasi memiliki kategori yang berbeda-beda (Hartati et al, 2013; Khanifah &
Palupiningdyah, 2015). Pembagian kategori kinerja sangat bergantung pada kemampuan
dan kemauan perawat, dan dinilai secara obyektif untuk meningkatkan kualitas
pelayanan (Khanifah & Palupiningdyah, 2015).
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lama
kerja dengan kinerja perawat (p 0,045). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
sebelumnya yang menyatakan bahwa lama kerja yang lebih panjang, ternyata
menyebabkan kinerja perawat menjadi menurun (Muliyadi, S. Hamid, & Mustikasari,
2014; Mulyono et al., 2013). Penyebab terjadinya penurunan kinerja pada perawat
biasanya terjadi akibat beban kerja yang meningkat, pekerjaan yang monoton setiap
harinya, dan ketidakmampuan manajer keperawatan dalam menciptakan lingkungan
kerja yang adaptif dan aktif.
Berbeda dengan beberapa penelitian lain menyatakan tidak adanya hubungan antara
lama kerja dengan kinerja perawat. Bertambahnya pengalaman seiring dengan lamanya
lama kerja tidak memberikan dampak positif terhadap kinerja perawat(Kambey,
Universitas Indonesia
Umboh, & Rattu, 2016). Kinerja perawat akan meningkat dengan adanya dukungan
terhadap sarana dan prasarana, lingkungan kerja yang kondusif serta tingginya motivasi
kerja perawat (Karuh, Maramis, & Mandagi, 2016; Zees, 2011).
Berdasarkan hasil analisis, ternyata jenjang karir tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan turnover intention perawat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya (Djestawana, 2012; Reza, 2015). Persepsi
perawat yang menilai kinerjanya tinggi, dialami oleh semua perawat dengan berbagai
jenjang karir.
Jenjang karir dalam profesi perawat menentukan kinerja perawat. Jenjang Pra PK, PKI,
PKII, PKIII, PKIV, dan PKV memiliki kompetensi dasar yang berbeda-beda.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti berasumsi bahwa semakin tinggi jenjang karir, maka
semakin tinggi pula kinerja perawat. Peningkatan kinerja perawat ditunjang oleh adanya
proses ujian dan seleksi yang ketat oleh manajer keperawatan. Tujuan proses ini
terutama untuk menilai kinerja perawat berdasarkan observasi dan lewat angka statistik.
Perawat yang memiliki jenjang karir lebih tinggi seharusnya memiliki kompetensi dan
Universitas Indonesia
kewenangan klinis yang lebih luas lagi jika dibandingkan dengan PK1 yang merupakan
jenjang karir pemula (Kornela et al., 2014; Suroso, 2011).
Perencanaan sistem manajemen yang tepat dapat menurunkan burnout perawat. Liu &
phar,(2013) menyatakan bahwa penanggungjawab unit dapat menurunkan burnout
secara efektif dengan cara mengurangi stressor yang ada, memberikan kesempatan bagi
perawat untuk berpartisipasi aktif, menyediakan sumber daya yang dibutuhkan,
menciptakan sistem manajemen yang efektif, dan memperkerjakan tim perawat yang
tepat. Case manager dapat berkolaborasi dan memberikan masukan kepada manajemen
tingkat atas dalam perencanaan kegiatan yang dapat menurunkan beban kerja dan
menciptakan lingkungan kerja yang kondusif bagi perawat(Wang et al., 2013).
Universitas Indonesia
kualifikasi dan kompetensi perawat pelaksana sebagai bagian dari tim kesehatan. Case
manager perlu berkolaborasi kepada kepala ruangan mengenai ketrampilan dan
kemampuan yang wajib dimiliki oleh perawat pelaksana untuk mencapai keberhasilan
asuhan keperawatan. Tingginya burnout pada perawat pelaksana yang menilai
kompetensi manajerial case manager, terjadi akibat belum optimalnya peran dan fungsi
case manager sebagai mitra dan kolega dalam tim asuhan keperawatan. Perawat
pelaksana lebih banyak berkonsultasi dengan kepala ruangan maupun dengan tim
kesehatan lain daripada dengan case manager.
Manajemen keuangan menjadi faktor penting dalam peran case manager. Genrich &
Neatherlin (2001) menyatakan bahwa akunting keuangan, efektifitas biaya, dan sistem
reimbursement memiliki hubungan yang kuat dengan peran case manager selama masa
pengumpulan data. Kemampuan manajemen keuangan ini memberikan gambaran bagi
case manager terhadap keseluruhan biaya kesehatan selama proses perawatan. Biaya
yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien akan dievaluasi dan menjadi bahan diskusi
dengan tim kesehatan sehingga tidak terjadi adanya pembengkakan biaya. Hal ini dapat
meningkatkan kepercayaan pasien kepada case manager dan terhadap keseluruhan
pelayanan asuhan keperawatan di rumah sakit.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
manager tanpa masukan dari perawat pelaksana. Analisis keuangan sesuai kebutuhan
pasien menjadi sumber informasi bagi perawat pelaksana jika dibutuhkan oleh keluarga
pasien (Munyewende et al., 2016a).
Schuetze & Cunningham, (2007), menyatakan bahwa case manager memiliki peran
dalam mengkoordinasikan asuhan keperawatan yang sesuai dengan kemampuan
Universitas Indonesia
unit dalam proses kolaborasi antar tim kesehatan. Oleh karena itu case manager harus
memiliki kemampuan komunikasi yang baik dan terbuka dengan tujuan
mengintegrasikan tujuan asuhan keperawatan kepada pasien.
Hasil penelitian juga menunjukkan adanya tiga kompetensi yang ternyata tidak
memberikan pengaruh terhadap kinerja perawat pelaksana. Kompetensi manajerial case
manager yang tidak mempengaruhi kinerja perawat yaitu kompetensi perencanaan,
kompetensi manajemen staffing, dan manajemen keuangan. Prosentase kinerja yang
tinggi terjadi pada perawat yang berpersepsi kompetensi perencanaan, kompetensi
manajemen staffing, dan manajemen keuangan baik dan rendah.
case manager harus dapat memanfaatkan sumber daya yang ada untuk mencapai hasil
yang maksimal lewat manajemen keuangan. Manfaat utama dan dampak dari
kompetensi manajemen keuangan yang optimal berdampak langsung terhadap pasien
namun tidak memberikan dampak langsung terhadap perawat pelaksana.
Case manager harus mampu mendeteksi adanya penyimpangan yang beresiko menjadi
masalah. Ketepatan dan kecepatan case manager dalam mendeteksi penyimpangan dan
masalah menjadi fokus utama. Masalah yang mungkin dan muncul selama proses
pelaksanaan asuhan keperawatan harus segera dikoordinasikan dengan seluruh tim
kesehatan untuk mendapatkan berbagai macam perspekstif dan masukan yang optimal
(Ahmed, 2016). Perencanaan terutama meliputi intervensi dan strategi pelaksanaan
asuhan keperawatan yang mendukung efiektifitas dan efisiensi pelayanan .
Universitas Indonesia
(Campagna & Stanton, 2010; Jeffs et al., 2014). Bentuk kerjasama ini menjadi salah
satu keberhasilan dalam proses pengarahan case manager(Carr, 2009)
Case manager menjadi sumber informasi terhadap kondisi pasien, sehingga perawat
pelaksana dapat berkonsultasi mengenai kebutuhan pasien secara menyeluruh. Perawat
bersama case manager dapat menentukan kebutuhan pasien sejak pasien masuk,
mendapatkan informasi mengenai bentuk pelayanan kesehatan yang sesuai bagi pasien
dan mendapatkan rekomendasi tentang fasilitas yang dapat digunakan oleh pasien
maupun keluarga pasien (Campagna & Stanton, 2010). Case manager harus tetap
mengarahkan dan menekankan kepada perawat yang melakukan pengkajian, bahwa
pengkajian bukan hanya melakukan pemeriksaan saja, namun berfungsi sebagai alat
komunikasi yang efektif bagi pasien dan pemberi asuhan keperawatan (Ahmed, 2016).
Peran fasilitator pengarahan terhadap pelayanan pasien melekat kuat pada peran dan
fungsi case manager. Case manager memilliki data dasar keseluruhan proses perjalanan
penyakit pasien. Hal ini menjadikan case manager sangat penting untuk mengendalikan
alur perjalanan perawatan kepada perawat lain(Gray & White, 2012). Perawat pelaksana
dapat berkonsultasi dan mendapatkan informasi mengenai data dasar pasien yang
dikelolanya, sehingga mampu menjadi perpanjangan tangan dari case manager
(Hankey, 2017; A. C. Smith & Larew, 2013). Kemudahan akses dan kemudahan
informasi akan menurunkan keinginan perawat untuk pindah ke unit kerja yang lain.
Case manager menjadi role model sebagai salah satu strategi kompetensi pengarahan
untuk menurunkan turnover intention. Dawson, (2014) menyatakan berdasarkan hasil
penelitiannya bahwa perilaku role model dapat menciptakan lingkungan kerja yang
sehat dan mendukung hubungan efektif dengan perawat pelaksana. Case manager dan
perawat senior menjadi contoh dalam pelaksanaan asuhan keperawatan sehingga dapat
berinteraksi dengan perawat di semua posisi (Dawson et al., 2014). Kondisi ini akan
mengurangi celah antara manajer dengan perawat pelaksana, sehingga perawat
pelaksana dapat berkonsultasi dan memberikan masukan atau saran dengan lugas.
Universitas Indonesia
Hasil akhir uji interaksi antara variabel utama, variabel konfonding terhadap kinerja
perawat pelaksana yaitu kompetensi komunikasi case manager yang paling
mempengaruhi kinerja perawat. Pemodelan akhir terhadap hubungan karakteristik
perawat dan kompetensi manajerial case manager memperlihatkan bahwa persepsi
perawat terhadap kompetensi komunikasi berpeluang 2 kali lebih besar meningkatkan
kinerja perawat. Kompetensi komunikasi berfokus pada kemampuan case manager
dalam menciptakan lingkungan kerja informatif bagi perawat dalam melaksanakan
asuhan keperawatan(Munyewende et al., 2016a).
data sekunder atau data observasi untuk memperkuat tingkat burnout, turnover
intention, dan kinerja perawat.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
menjadi salah satu rekomendasi dalam melakukan penelitian selanjutnya terkait fungsi
case manager. Yang ketiga, penelitian saat ini hanya melibatkan perawat sebagai mitra
kerja case manager tanpa melibatkan pasien sebagai pihak yang merasakan dampak
penerapan fungsi manajerial case manager. Penelitian selanjutnya perlu melibatkan
pasien sebagai fokus utama dampak penerapan fungsi manajerial case manager.
Universitas Indonesia
Bab ini akan membahas kesimpulan dari hasil pembahasan yang merupakan upaya
dalam menjawab tujuan dan hipotesis penelitian. Beberapa saran dan kesimpulan yang
berkaitan dengan hasil pembahasan kesimpulan akan dijelaskan secara spesifik sebagai
berikut:
7.1 Kesimpulan
Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa
7.1.1 Sebagian besar perawat pelaksana di ketiga rumah sakit berada pada rentang
usia dewasa menengah awal, berjenis kelamin perempuan, berlatar belakang
pendidikan vokasional atau DIII keperawatan, memiliki lama kerja < 10 tahun,
dan memiliki jenjang karir di PK2 di ketiga rumah sakit tempat penelitian.
7.1.2 Sebagian besar perawat pelaksana di ketiga rumah sakit tempat penelitian
merasakan tingkat burnout yang tinggi, tingkat turnover intention yang rendah,
dan kinerja yang masih rendah di ketiga rumah sakit tempat penelitian.
7.1.3 Sebagian besar perawat pelaksana menilai kompetensi manajerial case manager
masih rendah. Kompetensi manajerial case manager yang terdiri dari
kompetensi perencanaan masih rendah, kompetensi pengarahan masih rendah,
kompetensi staffing masih rendah, kompetensi manajemen keuangan masih
rendah, kompetensi manajemen problem solving masih rendah, dan kompetensi
komunikasi masih rendah di ketiga rumah sakit tempat penelitian.
7.1.4 Tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, lama kerja, tingkat
pendidikan, dan jenjang karir terhadap tingkat burnout perawat
7.1.5 Tidak ada hubungan yang bermakna antara usia, jenis kelamin, lama kerja,
tingkat pendidikan, jenjang karir, kompetensi perencanaan case manager,
kompetensi staffing case manager, dan kompetensi keuangan case manager
terhadap tingkat turnover intention perawat.
7.1.6 Tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, lama kerja, tingkat
pendidikan, jenjang karir, kompetensi perencanaan case manager, kompetensi
staffing case manager, dan kompetensi keuangan case manager terhadap tingkat
kinerja perawat.
116
7.1.7 Adanya hubungan yang bermakna antara usia dengan tingkat burnout.
7.1.8 Ada hubungan yang bermakna antara usia, lama kerja dengan kinerja perawat.
7.1.9 Terdapat hubungan yang bermakna antara kompetensi manajerial case manager
yang terdiri atas kompetensi kompetensi perencanaan, kompetensi pengarahan,
kompetensi staffing, kompetensi manajemen keuangan, kompetensi manajemen
problem solving, dan kompetensi komunikasi terhadap tingkat burnout perawat.
7.1.10 Terdapat hubungan yang bermakna antara kompetensi manajerial case manager
yang terdiri atas kompetensi pengarahan, kompetensi komunikasi, dan
kompetensi problem solving terhadap tingkat turnover intention perawat.
7.1.11 Terdapat hubungan yang bermakna antara kompetensi manajerial case manager
yang terdiri atas kompetensi pengarahan, kompetensi komunikasi, dan
kompetensi problem solving terhadap kinerja perawat.
7.1.12 Faktor yang paling berhubungan dengan tingkat burnout perawat yaitu
kompetensi perencanaan case manager.
7.1.13 Faktor yang paling berhubungan dengan tingkat turnover intention perawat yaitu
kompetensi pengarahan case manager.
7.1.14 Faktor yang paling berhubungan dengan kinerja perawat yaitu kompetensi
komunikasi case manager.
7.2 Saran
Saran peneliti terhadap pihak rumah sakit terkait hubungan kompetensi manajerial case
manager terhadap tingkat burnout, turnover intention, dan kinerja perawat yaitu sebagai
berikut:
7.2.1 Manajemen Rumah Sakit
7.2.1.1 Perlu adanya dukungan dari rumah sakit terhadap peningkatan kompetensi
manajerial case manager melalui pelatihan yang mendukung kemampuan case
manager di unit tempat kerjanya. Dukungan rumah sakit dapat berbentuk
pemberian izin untuk mengikuti pelatihan eksternal maupun pelatihan internal
rumah sakit. Pemberian reward dapat menyesuaikan beban kerja harian yang
menjadi beban kerja case manager.
7.2.1.2 Rumah sakit juga perlu memberikan kewenangan khusus dalam bentuk Surat
Keputusan terhadap pelaksanaan peran dan fungsi case manager serta
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
7.2.2.3 Bidang keperawatan perlu memberikan penghargaan bagi perawat kompeten dan
mendelegasikan tugas yang sesuai dengan kemampuan.
7.2.6 Peneliti
7.2.6.1 Hasil penelitian ini dapat menjadi data dasar bagi pengembangan kompetensi
case manager dan kualitas perawat pelaksana. Penelitian selanjutnya dapat
memfokuskan pada kompetensi manajerial case manager terhadap keberhasilan
pelayanan keperawatan di rumah sakit, baik dalam bentuk kualitatif dan
kuantitatif. Responden peneliti selanjutnya dapat ditujukan kepada tenaga
kesehatan lain, pasien maupun keluarga pasien terhadap dampak kompetensi
peran dan fungsi case manager. Penelitian terkait burnout, turnover intention,
dan kinerja perawat dalam bentuk penelitian kualitatif dapat menjadi bentuk
penelitian selanjutnya.
Universitas Indonesia
Abd, S., Rashed, E., Mohamed, P., Mohamed, A., & Torky, A. (2015). Performance of
head nurses management functions and its effect on nurses â€TM productivity at
Assiut University Hospital. Jlournal of Nursing and Health Science, 4(5), 38–49.
https://doi.org/10.9790/1959-04523849
Abdullah, E., Idris, A., & Saparon, A. (2017). Effects of work environment and job
characteristics on the turnover intention of experienced nurses. ARPN Journal of
Engineering and Applied Sciences, 12(10), 3218–3221.
https://doi.org/10.1111/ijlh.12426
ACHE, & HLA. (2016). 2017 Competencies Assessment Tool. America. Retrieved
from
http://www.ache.org/pdf/nonsecure/careers/competencies_booklet.pdf%0Ahttps://
www.ache.org/pdf/nonsecure/careers/competencies_booklet.pdf
Adams, S. L. (2017). Influences of turnover, retention, and job embeddedness in nursing
workforce. Online Journal of Rural Nursing and Health Care, 16(c), 168–195.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.14574/ojrnhc.v16i2.405
Adhi Wicaksono, G. C., & Wardoyo, P. (2017). Job satisfaction & job environment:
Pengaruhnya terhadap intention turnover di Semarang Medical Centre. USM, 1–16.
Aeni, W. N. (2014). Case manager. Jurnal Manajemen Keperawatan, 2(2), 126–134.
Ahmed, O. I. (2016). Disease management, case management, care management, and
care coordination. Profesional Case Management, 21(3), 137–146.
https://doi.org/10.1097/NCM.0000000000000147
Al-Hamdan, Z., Manojlovich, M., & Tanima, B. (2017). Jordanian nursing work
environments, intent to stay, and job satisfaction. Journal of Nursing Scholarship,
49(1), 103–110. https://doi.org/10.1111/jnu.12265
Al-Homayan, A. M., Shamsudin, F. M., Subramaniam, C., & Islam, R. (2013). Impacts
of job performance level on nurses in public sector hospitals. American Journal of
Applied Sciences, 10(9), 1115–1123.
https://doi.org/10.3844/ajassp.2013.1115.1123
Alharbi, A. Y. (2017). Research Article Leadership Styles of Nurse Managers and Their
Effects on Nurse and Organisational Performance , Issues and Problems, 4, 4516–
4525.
Almidawati, Arif, Y., & Vionalisa. (2015). Analisis Kompetensi dan Kinerja Kepala
Ruangan dalam Melaksanakan Fungsi Manajerial Bangsal menurut Perspektif
Perawat Pelaksana dan Faktor Determinannya di IRNA Ambun Pagi RSUP Dr. M
DJamil Padang. Universitas Andalas.
Aly, E., & Hashish, A. (2015). Relationship between ethical work climate and nurses ’
perception of organizational support , commitment , job satisfaction and turnover
intent. Nursing Ethics, 1–16. https://doi.org/10.1177/0969733015594667
Ancona, Kochan, Scully, Maanen, V., & Westney. (2009). Managing For The Future.
Organizational Behaviour & Processes (3rd Ed). USA.
Andrew Chin, R. W., Chua, Y. Y., Chu, M. N., Mahadi, N. F., Wong, M. S., Yusoff, M.
S. B., & Lee, Y. Y. (2018). Investigating validity evidence of the Malay translation
of the Copenhagen Burnout Inventory. Journal of Taibah University Medical
120
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Soundres Elsevier.
Dirik, H. F., & Intepeler, S. S. (2017). The work environment and empowerment as
predictors of patient safety culture in Turkey. Journal of Nursing Management.
https://doi.org/10.1111/jonm.12458
Djestawana, I. G. G. (2012). Jenjang Karir terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja
Pegawai Puskesmas The Influence of Organizational Development , Leadership ,
and Career Path towards Employee Satisfaction and Performance of Puskesmas
Workers. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 6(6), 261–266.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21109/kesmas.v6i6.79
Duffield, C. M., Roche, M. A., Blay, N., & Stasa, H. (2011). Nursing unit managers,
staff retention and the work environment. Journal of Clinical Nursing, 20(1–2),
23–33. https://doi.org/10.1111/j.1365-2702.2010.03478.x
Duffield, C., Roche, M., Dimitrelis, S., & Frew, B. (2015). Leadership skills for nursing
unit managers to decrease intention to leave. Nursing: Research and Reviews,
Volume 5, 57. https://doi.org/10.2147/NRR.S46155
Ebrahim, Z. H., & Ebrahim, A. (2017). International Journal of Nursing & Clinical
Practices Factors Influencing Job Satisfaction and Turnover Intention among
Coronary Care Unit Nurses in Bahrain. International Journal of Nursing &
Clinical Practices, 4(4), 251. https://doi.org/10.15344/2394-4978/2017/251
Eisenberg, J. M. (2013). Effectiveness of Outpatient Case Management for Adults With
Medical Illness and Complex Care Needs. AHRQ, (august), 4.
Elia, K. P., Josephus, J., & Tucunan, A. T. (2016). Hubungan antara kelelahan kerja dan
mas akerja dengan produktivitas kerja pada tenaga kerja bongkar muat di
pelabuhan Bitung tahun 2015. Jurnal Ilmiah Farmasi, 5(2), 107–113.
Faizin, A., & Winarsih. (2008). Hubungan Tingkat Pendidikan dan Lama Kerja Perawat
dengan Kinerja Perawat di RSU Pandan Arang Kabupaten Boyolali. Berita Ilmu
Keperawatan, 1(3), 137–142.
Fardiansyah, A., Muhith, A., Himawan Saputra, M., & Fenty. (2017). Gambaran tingkat
turnover perawat, motivasi, dan kinerja perawat di rumah sakit islam hasanah
mojokerto. In Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat seri Ke-1 Tahun 2017
(pp. 100–103). Mojokerto: STIKES Mojokerto.
Fatmawati, E., Noor, N. B., & Alimin, M. M. (2014). Gambaran Faktor Kinerja
Perawat dalam Mendokumentaikan Askep di RSUD Syekh Yusuf Gowa.
Universitas Hasanudin.
Galindo, R. H., Feliciano, K. V. de O., Lima, R. A. dos S., & de Souza, A. I. (2012).
[Burnout syndrome among general hospital nurses in Recife]. Revista Da Escola
de Enfermagem Da U S P. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22576547
Gellatly, I. R., Cowden, T. L., & Cummings, G. G. (2014). Staff nurse commitment,
work relationships, and turnover intentions: A latent profile analysis. Nursing
Research, 63(3), 170–181. https://doi.org/10.1097/NNR.0000000000000035
Gelling, L. (2015). Stages in the research process. Nursing Standard, 29(27), 44–49.
https://doi.org/10.7748/ns.29.27.44.e8745
Genrich, S. J., & Neatherlin, J. S. (2001). Case Manager Role, 3(1), 14–20.
Germain, B., & Cummings. (2010). The influence of nursing leadership on nurse
performance: a systematic literature review. J Nurs Manager, 18(4), 425–439.
Retrieved from http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-2834.2010.01100.x
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Irawan, H., Soleman, S. R., & Jamil, N. A. (2017). Faktor-faktor yang mempengaruhi
kejenuhan kerja (burnout) pada perawat di RSUD Dr. Soedirman Kabupaten
Kebumen. Universitas Islam Indonesia, 2–3.
Ja Yeun, E., Mi Kwon, Y., Soon Jeon, M., & Hwa An, J. (2016). Factors influencing
hospital nurse’s turnover intention: A cross sectional survey. The Journal of the
Korea Contents Association, 16(1), 94–106.
https://doi.org/10.5392/JKCA.2016.16.01.094
Jeffs, L., Beswick, S., Lo, J., Lai, Y., Chhun, A., & Campbell, H. (2014). Insights from
staff nurses and managers on unit-specific nursing performance dashboards: A
qualitative study. BMJ Quality and Safety, 23(12), 1001–1006.
https://doi.org/10.1136/bmjqs-2013-002595
Kadir, A. R., Kamariah, N., Saleh, A., & Ratnawati. (2017). The effect of role stress,
job satisfaction, self-efficacy and nurses’ adaptability on service quality in public
hospitals of Wajo. International Journal of Quality and Service Sciences, 9(2),
184–202. https://doi.org/10.1108/IJQSS-10-2016-0074
Kahya, E., & Oral, N. (2018). Measurement of clinical nurse performance: Developing
a tool including contextual items. Journal of Nursing Education and Practice, 8(6),
112. https://doi.org/10.5430/jnep.v8n6p112
Kambey, F. V. ., Umboh, J. M., & Rattu, A. J. . (2016). Faktor-faktor yang berhubungan
dengan kinerja perawat di Rumah Sakit Pancaran Kasih Manado Tahun 2016.
Community Health, 1(2), 112–128. Retrieved from
https://ejournalhealth.com/index.php/CH/article/view/41
Kamil, H., & Noviasari. (2016). Pelaksanaan standar case management oleh case
manager di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Unsyiah, 2–6.
Kang, C. M., Chiu, H. T., Hu, Y. C., Chen, H. L., Lee, P. H., & Chang, W. Y. (2012).
Comparisons of self-ratings on managerial competencies, research capability, time
management, executive power, workload and work stress among nurse
administrators. Journal of Nursing Management, 20(7), 938–947.
https://doi.org/10.1111/j.1365-2834.2012.01383.x
Kantanen, K., Kaunonen, M., Helminen, M., & Suominen, T. (2017). Leadership and
management competencies of head nurses and directors of nursing in Finnish
social and health care. Journal of Research in Nursing, 22(3), 228–244.
https://doi.org/10.1177/1744987117702692
KARS. (2016). Panduan praktik manajer pelayanan pasien - MPP di rumah sakit (case
manager). Indonesia.
Karuh, An., MAramis, F., & Mandagi, C. (2016). Hubungan antara kepemimpinan dan
motivasi kerja dengan kinerja kerja pada perawat di RS Bhayangkara Tingkat II
Manado. Universitas Sam Ratulangi, 1–10.
Katarina, K., Caganova, D., & Milos, C. (2012). Key managerial competencies and
competency models in industrial enterprises. In 23rd International DAAM
Syimposium (p. 5). Bratislawa: ResearchGate.
Kepala Pusat Komunikasi Publik. (2015). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta, Indonesia: Republik
Indonesia. Retrieved from http://www.depkes.go.id/article/view/1422/menkes-
buka-pertemuan-who-asia-tenggara--bahas-penanggulangan-penyakit-tidak-
menular-.html
Kesehatan, M. (2017). Pengembangan jenjang Karir Profesional Perawat Klinis.
Universitas Indonesia
Indonesia.
Khanifah, S., & Palupiningdyah, . (2015). Pengaruh Kecerdasan Emosional dan
Budaya Organisasi pada Kinerja dengan Komitmen Organisasi. Management
Analysis Journal, 4(3). Retrieved from http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/maj
Ko, S. N., Kim, I. S., Yoon, I. S., & Sook, K. (2015). Effect of perception of career
ladder system on job satisfaction, intention to leave among perioperative nurses. J
Korean Acad Nurs Adm, 21(3), 233–242.
Konstantinou, A. K., Bonotis, K., Sokratous, M., Siokas, V., & Dardiotis, E. (2018).
Burnout evaluation and potential predictors in a greek cohort of mental health
nurses. Archives of Psychiatric Nursing, (December 2017), 0–1.
https://doi.org/10.1016/j.apnu.2018.01.002
Kornela, F., Hariyanto, T., & Pusparahaju, A. (2014). Pengembangan model jenjang
karir perawat klinis di unit rawat inap rumah sakit. Jurnal Kedokteran Brawijaya,
28(1), 59–64.
Koy, V., Yunibhand, J., Angsuroch, Y., & Fisher, M. L. (2015). Relationship between
nursing care quality , nurse staffing , nurse job satisfaction , nurse practice
environment , and burnout: Literature review. International Journal of Research in
Medical Sciences, 3(8), 1825–1831. https://doi.org/10.18203/2320-
6012.ijrms20150288
Kristensen, T. S., Borritz, M., Villadsen, E., & Christensen, B. (2012). The Copenhagen
Burnout Inventory : A new tool for the assessment of burnout. An International
Journal of Work, Health & Organisations, 19(May 2012), 197–207.
https://doi.org/10.1080/02678370500297720
Kurnat-Thoma, E., Ganger, M., Peterson, K., & Channell, L. (2017). Reducing annual
hospital and registered nurse staff turnover—A 10-element onboarding program
intervention. SAGE Open Nursing, 3, 1–13.
https://doi.org/10.1177/2377960817697712
Kurnia Sari, N., Handiyani, H., & Sri haryati, R. T. (2012). Penguatan peran dan fungsi
manajemen kepala ruang melalui faktor kepribadian dan sosial organisasi.
Muhammadiyah Journal of Nursing, 45–54.
Kustriyani, M. (2016). Pelaksanaan manajemen konflik interdisiplin oleh case manager
di ruang rawat inap rsud tugurejo semarang. University of Diponegoro.
Kusumaningrum, D., & Harsanti, I. (2015). Kontribusi kepuasan kerja terhadap intensi
turnover pada perawat instalasi ruang inap. In Psikologi, Ekonomi, Sastra,
Arsitektur & Teknik Sipil (Vol. 6, pp. 21–28). Depok: PESAT.
Kusumaningrum, Sunardi, & Saleh, C. (2016). Pengaruh beban kerja dan karakteristik
individu terhadap kinerja perawat melalui burnout sebagai variabel intervening
pada PT Nusantara Medika Utama Rumah Sakit Perkebunan (Jember Klinik).
Jurnal Bisnis Dan Manajemen, 10(3), 329–342.
Labrague, L. J., Gloe, D. S., McEnroe-Petitte, D. M., Tsaras, K., & Colet, P. C. (2018).
Factors influencing turnover intention among registered nurses in Samar
Philippines. Applied Nursing Research, 39(March 2017), 200–206.
https://doi.org/10.1016/j.apnr.2017.11.027
Langitan, R. E. (2010). Faktor- faktor yang mempengaruhi kejadian turnover perawat
pelaksana tahun 2009 di Rumah Sakit Bhakti Yuda, Depok. Universitas Indonesia.
Lheureux, F., Borteyrou, X., & Truchot, D. (2017). The Maslach Burnout Inventory –
Human Services Survey ( MBI-HSS ):Factor structure , wording effect and
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
kepuasan kerja dan turnover intention perawat ( Studi pada Rumah Sakit Wava
Husada Kepanjen Malang ). Jurnal Aplikasi Manajemen, 14(2), 12.
https://doi.org/DOI: http://dx.doi.org/ 10.18202/jam23026332.14.2.14
Rahman, A. W. (2015). Pengaruh kompetensi dan lingkungan kerja terhadap kinerja
perawat bagian rawat inap pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Petala Bumi
PekanBaru. JOM FEKON, 2(1), 1–13.
Rahmatina, A., & Jumiati, S. (2014). Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan Kepuasan
Kerja dan Kepemimpinan Terhadap Kinerja Perawat Rawat Inap di RSUD
Kabupaten SIAK. Jurnal Tepak Manajemen Bisnis, VI(2), 63–72.
Ramdan, I. M., & Fadly, O. N. (2016). Analisis faktor yang berhubungan dengan
Burnout pada perawat kesehatan jiwa. Universitas Mulawarman.
Reza, R. S. (2015). Hubungan persepsi tentang jenjang karir dengan motivasi kerja dan
kepuasan kerja perawat di rumah sakit umum daerah tugurejo semarang. Retrieved
from http://eprints.undip.ac.id/47263/1/BAB_I_-_III.pdf
Ribeiro, V. F., Filho, C. F., Valenti, V. E., Ferreira, M., De Abreu, L. C., De Carvalho,
T. D., … Ferreira, C. (2014). Prevalence of burnout syndrome in clinical nurses at
a hospital of excellence. International Archives of Medicine, 7(1), 1–7.
https://doi.org/10.1186/1755-7682-7-22
Richmond A., P., Book, K., Hicks, M., Pimpinella, A., & Jenner, C. A. (2009). C.o.m.e.
be a nurse manager. Nursing Management, 40(2), 52–54.
https://doi.org/10.1097/01.NUMA.0000345875.99318.82
Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2013). Organizational behaviour (15 Ed). USA:
Prentice-hall.inc.
Rondeau, K. V. (2016). Human resource management practices and nursing turnover.
Journal of Nursing Education and Practice, 6(10), 101–109.
https://doi.org/10.5430/jnep.v6n10p101
Royani, Sahar, J., & Mustikasari. (2012). Sistem penghargaan terhadap kinerja perawat
melaksanakan asuhan keperawatan. Jurnal Keperawatan Indonesia, 15(2), 129–
136. Retrieved from http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/view/38/38
Saining, J., Hamzah, A., & Indar. (2013). Analisis faktor keinginan pindah kerja
(Intention Turnover) Perawat di Rumah sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten
Buol Provinsi SUlawesi Tengah. Universitas Hasanudin.
Sanjaya, H., Gunawan, & Eddyman. (2016). Pengaruh kompetensi dan motivasi
terhadap kinerja perawat pada dokumentasi asuhan keperawatan di ruang rawat
inap RSU Wisata Universitas Indonesia Timur, Makassar. Jurnal Mirai
Management, 1(1).
Schuetze, K., & Cunningham, B. (2007). The case manager connection taking a
leadership role to i Patient outcomes. Nurse Leader, (February), 48–50.
https://doi.org/10.1016/j.mnl.2006.07.013
Siahaan, D. N., & Tarigan, M. (2012). Kinerja Perawat dalam Pemberian Asuhan
Keperawatan di RS Tk II Putri Hijau Medan. Jurnal Keperawatan Holistik, 1(2),
29–34.
Sihotang, H., Santosa, H., & Salbiah. (2016). Hubungan fungsi supervisi kepala ruangan
dengan produktivitas kerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Daerah dr. Pringadi
Medan. Idea Nursing Journal, VII(1), 13–19.
Smith, A. C., & Larew, C. (2013). Strengthening Role Clarity in Acute Care Nurse Case
Managers. Professional Case Management, 18(4), 190–198.
Universitas Indonesia
https://doi.org/10.1097/NCM.0b013e3182901f5d
Smith, A., Mackay, S., & McCulloch, K. (2013). Case management: developing
practice through action research. British Journal of Community Nursing, 18, 452–
4, 456–8. https://doi.org/10.12968/bjcn.2013.18.9.452
Staheli, R. (2017). A Guide to Care Management : Five Competencies Every Health
System Must Have. US.
Stanton, M. P., & Packa, D. (2001). Nursing case management: a rural practice model.
Lippincott’s Case Management : Managing the Process of Patient Care, 6(3), 96–
103. https://doi.org/10.1097/00129234-200105000-00002
Stutz, L. (2013). The evolution of Banner health’s case management program.
Professional Case Management, 18(3), 138–41.
https://doi.org/10.1097/NCM.0b013e31828495b1
Sudariani, P. W., Utomo, B., & Fitriyasari, R. (2016). Model kompetensi kepemimpinan
kepala ruang meningkatkan motivasi dan kinerja perawat pelaksana. Jurnal NERS,
11(2), 176–185. https://doi.org/10.20473/JN.V11I22016.176-185
Sugiyono. (2007). Metodologi penelitian administrasi (Edisi 13). Jakarta: CV. Alfabeta.
Suharno, P., Ketut, S., Setyadi, & Farida, E. (2017). The effect of organizational
commitment toward turnover intention at Narada School, Indonesia. RJOAS,
2(February), 55–66. https://doi.org/https://doi.org/10.18551/rjoas.2017-02.07
Sukrang, Ake, J., & Budu. (2014). Hubungan kompetensi peran kepala ruangan dalam
perencanaan strategis rumah sakit bidang keperawatan. Universitas Hasanuddin,
1–14.
Sulistyowati, P. (2007). Hubungan antara burnout dengan self efikasi pada perawat di
ruang rawat inap Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto. Jurnal Keperawatan
Sudirman, 2(3), 162–167.
Sunaringtyas, W., & Sulisno, M. (2015). Strategi Case Manager dalam Mengelola
Kasus Pasien Rawat Inap di RS B Kediri. The Indonesian Journal of Health
Science, 6(1), 26–33.
Supriatna, U. (2012). Analisa pengaruh konflik peran ganda dan kelelahan kerja
terhadap kinerja perawat RSUD Pandeglang. Universitas Indonesia.
Suroso, J. (2011). Penataan Sistem Jenjang Karir Berdasar Kompetensi Untuk
Meningkatkan Kepuasan Kerja dan Kinerja Perawat Di Rumah Sakit. Eksplanasi,
6(September), 123–131.
Surya, P. A. A. S., & Adiputra, I. N. (2017). Hubungan antara masa kerja dengan
burnout pada perawat di ruang rawat inap anak RSUP Sanglah. E-Jurnal Medika,
6(4), 10–19.
Sutrisno, Y. N., Suryoputro, A., & Fatmasari, E. Y. (2017). Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Kinerja Perawat Rawat Inap di RSUD Kota Semarang.
Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5(1), 142–149. Retrieved from http://ejournal-
s1.undip.ac.id/index.php/jkm
Taurisa, C. ., & Ratnawati, I. (2012). Analisis Pengaruh Budaya Organisasi dan
Kepuasan Kerja terhadap Komitmen Organisasional dalam Meningkatkan Kinerja
Karyawan, 19(2).
Tawale, E. N. (2011). Hubungan antara motivasi Kerja perawat dengan kecenderungan
mengalami burnout pada perawat di RSUD Serui – Papua. INSAN. Universitas
Hang-Tuah Surabaya.
Tawalujan, K. s., Umboh, J. M. L., & Kandou, G. D. (2016). Analisis kinerja kepala
Universitas Indonesia
ruangan di ruang rawat Inap RSUP Prof. dr.R.D. Kandou Manado. Universitas
Sam Ratulangi, 36–46.
Tiderington, E., Stanhope, V., & Henwood, B. F. (2013). A qualitative analysis of case
managers’ use of harm reduction in practice. Journal of Substance Abuse
Treatment, 44(1), 71–77. https://doi.org/10.1016/j.jsat.2012.03.007
Triwibowo, C. (2013). Manajemen pelayanan keperawatan di Rumah Sakit. Jakarta:
Trans Info Media.
Wahyuni, S. (2007). Analisis kompetensi kepala ruang dalam pelaksanaan standar
manajemen pelayanan keperawatan dan pengaruhnya terhadap kinerja perawat
dalam mengimplementasikan model praktik keperawatan profesional di Instalasi
Rawat Inap BRSUD Banjarnegara. Universitas Diponegoro.
Wang, Liu, Y., & Wang, L. (2013). Nurse burnout: personal and environmental factors
as predictors. International Journal of Nursing Practice, (5), 9.
https://doi.org/10.1111/ijn.12216
Waspodo, A. A., Handayani, N. C., & Paramita, W. (2013). Pengaruh kepuasan kerja
dan stres kerja terhadap turnover intention pada karyawan PT. Unitex di Bogor.
Jurnal Riset Manajemen Sains Indonesia (JRMSI), 4(1), 97–115.
Widhi Putra, P. A. S., & Sariyathi, N. K. (2017). Pengaruh komotmen organisasional
dan kepuasan kerja terhadap turnover intention di CV Bengkel Bintang Pesona
Group. E-Jurnal Manajemen Unud, 6(2), 579–603.
Wilson, C., Curtis, J., Lipke, S., Bochenski, C., & Gilliland, S. (2005). Nurse case
manager effectiveness and case load in a large clinical practice : implications for
workforce development, 1116–1120.
Wong, C. A., & Spence, H. K. (2015). International Journal of Nursing Studies The
influence of frontline manager job strain on burnout , commitment and turnover
intention : A cross-sectional study. International Journal of Nursing Studies,
xxx(4), 10. https://doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2015.09.006
Yang, H., Lv, J., Zhou, X., Liu, H., & Mi, B. (2017). Validation of work pressure and
associated factors influencing hospital nurse turnover: A cross-sectional
investigation in Shaanxi Province, China. BMC Health Services Research, 17(1),
1–11. https://doi.org/10.1186/s12913-017-2056-z
Yanto, A., & Rejeki, S. (2017). Faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan
stress kerja perawat baru di Semarang. Jurnal Keperawatan Dan Pemikiran Ilmiah,
3(1), 1–10.
Yatnikasari, A. (2010). Hubungan program retensi dengan komitmen organisasi
perawat pelaksana di RSAB Harapan Kita. Universitas Indonesia.
Yurumezoglu, H. A., & Kocaman, G. (2016). Predictors of nurses ’ intentions to leave
the organisation and the profession in Turkey. Journal of Nursing Management, 1,
235–243. https://doi.org/10.1111/jonm.12305
Zees, R. F. (2011). Analisis faktor budaya organisasi yang berhubungan dengan
perilaku caring perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUD Prof. Dr. H ALoei
Saboe Kota Gorontalo. Universitas Indonesia.
Zhang, L., You, L., Liu, K., Zheng, J., Fang, J., Lu, M., … Zhu, X. (2014). The
association of Chinese hospital work environment with nurse burnout , job
satisfaction , and intention to leave. Nursing Outlook, 62(2), 128–137.
https://doi.org/10.1016/j.outlook.2013.10.010
Universitas Indonesia
INFORMED CONSENT
Assalamualaikum Wr. Wb
Saya Ana Lusiyana, mahasiswa Program Magister Keperawatan, peminatan
Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan, FIK UI, saat ini sedang menjalani
penelitian mengenai Manajemen dan Kepemimpinan dalam Keperawatan. Tesis ini
bertujuan untuk mengidentifikasi“ Analisis Hubungan Penerapan Fungsi Manajerial
case manager terhadap Burnout, Turnover dan Kinerja Perawat”
Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka mengaplikasikan teori yang telah dipelajari
untuk memberikan kontribusi terhadap peningkatan mutu pelayanan di RSUPN dr.
Cipto Mangunkusumo. Manfaat yang dapat diambil dari tesis kali ini adalah kontribusi
dalam peningkatan kemampuan manajerial untuk meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan.
Pengkajian yang dilakukan dengan cara pengumpulan data sangat diperlukan. Saya
mohon kesediaan bapak/ibu/saudara untuk memberikan data yang diperlukan.
Mahasiswa akan menjamin kerahasiaan identitas bapak/ibu/saudara. Kegiatan
pengumpulan data ini tidak akan memberikan dampak negatif terhadap
bapak/ibu/saudara maupun terhadap rumah sakit.
Demikian informasi ini diberikan. Semoga dapat dipahami. Atas kesediaan
bapak/ibu/saudara, saya ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum wr. wb.
Ana
Lusiyana
____________________
PENJELASAN PENELITIAN
Ana Lusiyana
Kode Responden =
Petunjuk pengisian:
1. Bacalah dengan teliti setiap pernyataan yang telah disediakan
2. Berilah bapak/ibu centang (√ ) pada kolom yang telah disediakan.
Sangat Setuju: Jika pernyataan tersebut sangat sesuai dengan persepsi bapak/ibu
Hampir Setuju : Jika pernyataan tersebut sesuai dengan persepsi bapak/ibu.
Tidak Setuju : Jika pernyataan tersebut tidak sesuai dengan persepsi bapak/ibu
Sangat Tidak Setuju:Jika pernyataan tersebut sangat tidak sesuai dengan persepsi
bapak/ibu
3. Jika terdapat pernyataan yang tidak dimengerti dapat menyakan kepada pihak
kami.
4. Sebelum mengumpulkan kuesioner dimohon memeriksa kembali jawaban
bapak/ibu, dan dimohon tidak mengosongkan satu pertanyaan pun.
A. Identitas Responden
Nama : .........................................................................................
Usia : .........tahun
Sangat
Tidak Hampir Sangat
No Uraian Pertanyaan Tidak
Setuju Setuju Setuju
Setuju
1 Saya merasa bersemangat dalam bekerja (R)
Tidak Hampir
No Uraian Pertanyaan Pernah Selalu
pernah selalu
Saya seringkali berfikir untuk berhenti
1
bekerja.
Saya mungkin akan meninggalkan rumah
2 sakit ini dan bekerja di tempat lain tahun
depan.
Saya merencanakan untuk tetap bekerja di
3 rumah sakit ini untuk mengembangkan
karir saya untuk waktu yang lama.
Saya mungkin tidak memiliki masa depan
4 yang cerah jika saya tetap bekerja di rumah
sakit ini.
Adaptasi dari Turnover Intention Jehanzeb et al., (2015)
Sangat Setuju : Jika pernyataan tersebut sangat sesuai dengan persepsi bapak/ibu
Hampir Setuju : Jika pernyataan tersebut sesuai dengan persepsi bapak/ibu.
Agak Setuju : Jika pernyataan tersebut tidak sesuai dengan persepsi bapak/ibu
Sangat Tidak Setuju:Jika pernyataan tersebut sangat tidak sesuai dengan persepsi
bapak/ibu