Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konflik antara Armenia-Azerbaijan dimulai pada akhir tahun 80-an karena


kekacauan yang terjadi akibat konflik etnis yang terjadi sebagai konsekuensi dari
perebutan wilayah yang melibatkan Azerbaijan dan Armenia. Kekacauan ini berbarengan
dengan kekacauan yang terjadi selama proses runtuhnya Uni Soviet, dimana
etnonasionalisme dari etnis non-Rusia di masing-masing wilayah mereka meningkat
hingga mengantarkan kepada kemerdekaannya. Dikenal sebagai Daghlyg-Garabagh
dalam bahasa Azerbaijan dan Nagorno-Karabakh dalam bahasa Rusia, ditilik dari sejarah
wilayah ini secara de facto merupakan bagian dari Azerbaijan, hingga wilayah itu
dikuasai Dinasti Romanov dari Kekaisaran Rusia. Setelah perjanjian yang dilakukan
antara Rusia dan Iran pada 1813 dan 1823, dan perjanjian dengan Turki, sekitar 130.000
warga Armenia yang berada di Iran dan Turki ditempatkan di Azerbaijan. dengan sekitar
50.000 warga Armenia berada di Nagorno-Karabakh. Jumlah itu terus meningkat hingga
komposisi orang Armenia di wilayah itu mencapai sekitar 76,9% di sana pada 1989.
Ketika Azerbaijan dianeksasi dan menjadi bagian dari Uni Soviet (setelah
kemerdekaan dari Kekaisaran Rusia dan tak bertahan lama), dengan nama Republik
Sosialis Sosialis (RSS) Azerbaijan, Nagorno-Karabakh menjadi entitas di RSS
Azerbaijan sebagai oblast dengan otonomi khusus, dikarenakan wilayahmayoritas
beretnis Armenia, sedangkan di Republik Soviet Sosialis (RSS) Armenia terdapat
wilayah mayoritas beretnis Azeri (sebutan bagi warga Azerbaijan) tetapi tidak dijadikan
sebagai wilayah otonom seperti halnya pada Nagorno-Karabakh.
Bermula dari adanya perbedaan budaya, Armenia merasa berhak memiki otoritas
atas Nagorno-Karabakh. Armenia memang berulang kali mengajukan klaim kepada Uni
Soviet atas Nagorno-Karabakh ketika menjadi bagian dari negara Komunis tersebut,
namun kenyataanya oblast otonom Nagorno-Karabakh tetap berada dalam otoritas RSS
Azerbaijan. Pada tahun 1989, sekitar 120.000 warga Armenia dan 40.000 warga
Azerbaijan hidup di Nagorno-Karabakh.Melihat keadaan Uni Soviet menunjukkan tanda-
tanda keruntuhan, Armenia menyusun agresi untuk menganeksasi Nagorno-Karabakh.
Konflik ini muncul dari 1988 sampai 1994 ketika genjatan senjata disetujui.
Seperti yang ditakutkan dalam konflik etnis, adanya pembersihan etnis (ethnic cleansing)
atau minimal pembantaian kepada etnis tertentu oleh etnis lainnya juga terjadi. Sebuah
tragedi yang akan selalu diingat oleh warga Azerbaijan adalah pembantaian terhadap
orang-orang Azerbaijan di Khojaly. Tragedi itu dikenal sebagai genosida Khojaly,
dimana terdapat pemusnahan atau penangkapan ribuan orang-orang Azerbaijan, dan

1
Khojaly pun di bumi hanguskan. Akibatnya, etnis Azeri berbondong-bondong
meninggalkan Nagorno-Karabakh.
Hingga kini wilayah Nagorno-Karabakh dan sekitarnya diduduki oleh militan
Armenia. Armenia melakukan berbagai upaya untuk menjadikan wilayahtersebut untuk
menjadi bagian mereka. Setelah berhasil diduduki, mereka berusaha mengubah
demografi dengan melakukan pemindahan penduduknya ke wilayah pendudukan
Nagorno-Karabakh. Selain itu, Armenia juga mengeksploitasi sumber daya alam dan
melakukan perusakan situs-situs sejarah Azerbaijan. Pendudukan itu tidak lantas
menyebabkan Nagorno-Karabakh menjadi bagian dari Armenia, karena secara de
jure pihak internasional tidak mengakui hal itu.

1.2 Rumusan Masalah


Dari uraian diatas maka permasalahan yang muncul adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Upaya Penyelesaian Konflik Azerbaijan – Armenia Memperebutkan
Nagorno Karabakh ?
2. Bagaimana Pengaruh Isu Kejahatan Perang terhadap Upaya Penyelesaian Konflik
Azerbaijan - Armenia Memperebutan Nagorno Karabakh ?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengkaji masalah masalah yang terjadi antara Armenia dan Azerbaijan, terutama
difokuskan pada permasalahan Nagorno Karabakh yang belum menemukan solusi
konflik dan perdamaian seperti yang di harapkan, serta mengetahui bagaimana Pengaruh
Kejahatan Perang yang terjadi dalam konflik Nagorno Karabakh yang mempengaruhi
Upaya Resolusi Konflik. Akibatnya dari konflik ini menimbulkan berbagai dampak dan
mengganggu stabilitas keamanan Internasional. Untuk itu penulis ingin meneliti
bagaimana Upaya Penyelesaian Konflik serta Pengaruh Kejahatan Perang terhadap
Peneyelesaian Konflik Azerbaijan – Armenia memperebutkan Nagorno Karabakh

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perang Nagorno Karabakh


Perang Nagorno Karabakh merupakan konflik bersenjata yang terjadi di Nagorno
Karabakh, Azerbaijan barat daya, dari bulan februari 1988 sampai Mei 1994. Perang
ini terjadi antara etnis Armenia di Nagorno Karabakh yang dibantu oleh Armenia
melawan Azerbaijan. Perang ini merupakan konflik etnis paling destruktif setelah
jatuhnya Uni Soviet pada Desember 1991.
Perang Nagorno Karabakh secara garis besar bisa dibagi menjadi dua fase: fase 1
(1988-1991) dan fase II (1992-1994). Fase I atau bisa disebut fase konflik antaretnis
sudah dimulai sejak wilayah Armenia, Azerbaijan, dan Nagorno Karabakh masih
menjadi bagian dari Uni Soviet. Menyusul kebijakan glasnost ( keterbukaan politik )
yang diberlakukan oleh Uni Soviet sejak pertengahan tahun 1980 an, sengketa atas
Nagorno Karabakh pun kemudian berubah menjadi konflik terbukab antaretnis.
Konflik pada fase ini sendiri umumnya berupa kontak senjata yang intensitas dan
ruang lingkupnya masih terbatas. Fase II atau Fase konflik antarnegara bermula
ketika Uni Soviet pecah sehingga wilayah Armenia dan Azerbaijan sama-sama
berubah menjadi menjadi negara merdeka, tetapi status wilayah Nagorno Karabakh
masih tetap mengambang. Fase ini bisa dikatakan sebagai fasae tersengit dalam
perang karena selama fase ini, masing-masing pihak mulai menerjunkan persenjataan-
persenjataan beratnya, seperti tank dan pesawat temput. Perang akhirnya berakhir
pada tahun 1994 dengan kemenangan kubu Armenia, tetapi persengketaan atas status
Nagorno Karabakh tetap berlanjut hingga sekarang di meja perundingan.
Kawasan Nagorno Karabakh selama berabad-abad ditaklukkan oleh berbagai
bangsa, tetapi sejak abad ke-19 wilayah tersebut menjadi bagian dari Rusia. Ketika
terjadi Revolusi Merah oleh kaum komunis Rusia di tahun 1917, wilayah kaukasus
(termasuk Nagorno Karabakh) sempat melepaskan diri untuk membentuk negara baru
bernama Federasi Transkaukasian. Konsep negara tersebut sayangnya tak bertahan
lama dan kawasan kaukasus lalu terpecah menjadi tiga negara berdasarkan komposisi
etnis dominannya Armenia, Azerbaijan, dan Georgia. Pada periode ini pula, untuk
pertama kalinya Armenia dan Azerbaijan terlibat perang terbuka karena
memperebutkan wilayah Nagorno Karabakh.
Perang antara Armenia dan Azerbaijan berakhir dengan sendirinya menyusul
invasi militer Uni Soviet ( Rusia ) ke kawasan Kaukasus pada tahun 1920. Uni Soviet
kemudian memasukkan wilayah Kaukasus sebagai bagian dari wilayahnya dan
masing-masing negara di kawasan tersebut dijadikan negara bagian ( Federasi )
berhaluan sosialis komunis yang loyal kepada Uni Soviet, kendati demikian, sengketa

3
atas Nagorno Karabakh tidak serta-merta berakhir begitu saja karena perwakilan dari
Armenia dan Azerbaijan kembali mempermasalahkan Nagorno Karabakh akan
dimasukkan ke wilayah mana. Setelah melalui diskusi yang alot, Uni Soviet pada
akhirnya memutuskan untuk menjadikan Nagorno Karabakh sebagai wilayah dari
Azerbaijan dengan memutuskan otonomi khusus pada tahun 1923. Kebijakan Unis
Soviet tersebut oleh sejumlah akademisi masa kini dianggap sebagai upaya memecah
belah wilayah Kaukasus secara halus sehingga Sang Beruang Merah sebutan lain Uni
Soviet ( Rusia ) bisa mengontrol wilayah Kaukasus dengan lebih mudah.
Intinya, Uni Soviet berusaha mengucilkan komunitas Armenia di Nagorno
Karabakh dari negara induknya, negara bagian Armenia dengan menempatkan
mereka di tengah-tengan wilayah yang didominasi komunitas Azerbaijan.
Pascakebijkan Uni Soviet tersebut, kondisi wilayah Kaukasus bisa dibilang stabil dan
sengketa soal Nagorno Karabakh nyaris pernah muncul ke permukaan lagi. Namun,
situasinya mulai berubah sejak Mikhail Gorbachev naik menjadi presiden Uni Soviet
pada tahun 1985 dan ia mulai memberikan kebebasan pada masing-masing wilayah
Uni Soviet untuk menentukan masa depannya sendiri ( dikenal sebagai glasnost ).
Kebijakan Gorbachev tersebut pada gilirannya memunculkan kembali masalah
sengketa Nagorno Karabkah yang saat itu, pemimpin wilayah Nagorno Karabakh
menyatakan kesediaannya agar Nagorno Karabakh menjadi bagian dari wilayah
Armenia, suatu upaya yang ditentang oleh Azerbaijan selaku pemilik resmi wilayah
Nagorno Karabak saat itu.
1. Perang Fase I ( 1988-1991 )
A. Dimulainya Pembantaian Antar Etnis
Seiring dengan semakin menguatnya upaya penyatuan wilayah Nagorno
Karabakh dengan Armenia, gesekan antara etnis Armenia dan etnis
Azerbaijan di Nagorno Karabakh pun timbul. Komunitas Azerbaijan di
Nagorno Karabakh mengklaim bahwa mereka terus diteror dan diintimidasi
oleh komunitas Armenia yang memang merupakan etnis mayoritas Nagorno
Karabakh. Gesekan-gesekan itu lantas pecah menjadi bentrokan besar pada
tanggal 22 februari 1988 di dekat kota Askeran, Nagorno Karabakh, yang
berujuang pada tewasnya dua pemuda Azerbaijan akibat dibakar hidup-hidup.
Bagikan api yang disiram bensin, bentrokan di Nagorno Karabakh kemudian
meluas ke wilayah lain Azerbaijan dengan cepat.
Pada tanggal 27 Februari 1988 menyusul beredarnya kabar angin bahwa
etnis Armenia du kota Ghapan melakukan aksi kekerasan kepada wanita
Azerbaijan, orang-orang Azerbaijan yang marah melakukan aksi penyerangan
kepada aksi etnis Armenia du kota Sumgait, Azerbaijan. Permukiman-
permukiman miliki komunitas Armenia dirusak, sementara orang-orangnya

4
dianiaya dan para wanita dilecehkan di jalanan. Aksi-aksi penyerangan yang
dilakukan terhadap etnis Armenia di wilayah Azerbaijan balik mengundang
kemarahan dan aksi balas dendam dari orang-orang Armenia. Akibatnya
sejak bulan November 1988, puluhan orang Azerbaijan yang mendiami
wilayah Armenia tewas dibunuh dan ratusa lainnya yang selamat harus
kehilangan tempat tinggal akibat serangan-serangan penduduk Armenia
setempat. Sebagai akibat dari semakin memanasnya konflik di masing-
masing wilayah, terjadi migrasi besar-besaran, sebagian besar etnis Armenia
yang bermukim di Azerbaijan mengungsi ke Armenia dan sebaliknya.
Situasi kemanan di kawasan Kaukasus yang semakin berlarut-larut pada
akhirnya membuat pemerintah pusat Unis Soviet memutuskan untuk turun
tangan. Komite Karabakh yang bertanggung jawab atas aktivitas
pemerintahan Nagorno Karabakh dibubarkan dan sejumlah petingginya
dipenjara oleh Uni Soviet pada akhir tahun 1988 karena dianggap
membiarkan sentimen nasionalisme masing-masing etnis berkembang
menjadi semakin ekstrim. Lebih lanjut, sejak awal tahun 1989 pemerintah
pusat Uni Soviet juga mulai mengambil alih aktivitas pemerintahan di
Nagorno Karabakh secara langsung.
B. Meningkatnya Gerakan Nasionalisme di Armenia dan Azerbaijan
Perkembangan situasi di Nagorno Karabakh yang semakin rumit
mengundang rasa tidak puas dari rakyat Azerbaijan yang menuduh
pemerintahan komunis Azerbaijan terlalu lunak dan terlalu patuh pada
pemerintahan pusat Uni Soviet. Seiring dengan makin mengikisnya pamor
kubu komunis, timbul aksi demonstrasi besar-besaran di pertengahan tahun
1989 oleh komunitas Azerbaijan yang berujung pada pendirian partai politik
baru bernama Azerbaycan Xalq Caphasi. Seapakat terjang AXC bisa dibilang
lebih radikal karena AXC tidak segan-segan memakai cara kekerasan demi
memperjuangkan status Nagorno Karabakh sebagai bagian dari Azerbaijan.
Aksi-aksi radikal AXC akhirnya memuncak menjadi aksi penyerangan dan
pembantaian kepada komunitas Armenia yang bermukim di Baku. Konflik
antara milisi Azerbaijan dengan tentara Uni Soviet pun akhirnya tak
terhindarkan sehingga sekitar 120 penduduk sipil Azerbaijan dan 8 tentara
Uni Soviet harus kehilangan nyawa. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan
sebutan Januari Hitam dan akibat peristiwa itu pula, hubungan antara
Azerbaijan dan pemerintah pusat Uni Soviet semakin memburuk.
Konflik antaretnis di Nagorno Karabakh masih terus berlangsung hingga
tahun 1991. Pada tahun yang sama, Uni Soviet menggelar pemungutan suara
(referendum) besar-besaran untuk menentukan masa depan masing-masing

5
negara bagian Uni Soviet. Armenia sendiri memboikot aktivitas pemungutan
suara yang digelar Uni Soviet tersebut dan memilih untuk langsung
memerdekakan diri pada tanggal 23 Agustus. Kemerdekaan Armenia lalu
diikuti dengan kemerdekaan negara-negara bagian Uni Soviet lainnya,
termasuk Azerbaijan yang mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 18
Oktober.
Merdekanya Armenia dan Azerbaijan lalu diikuti penarikan mundur
tentara Uni Soviet yang masih berda di Nagorno Karabakh. Menyusul
merdekanya wilaya Armeniab dan Azerbaijan, parlemen wilayah Nagorno
Karabakh juga turut menggelar referendum yang hasilnya lebih dari 90%
rakyat Nagorno Karabakh menginginkan kemerdekaan Nagorno Karabakh.
Namun perlu diperhatikan juga bawha dalam referendum itu, etnis Azerbaijan
melakukan pemboikotan sehingga hasil referendum tersebut bisa dikatakan
hanya mewakili opini etnis Armenia di Nagorno Karabakh. Usai
diumumkannya hasil referendum, wilayah Nagorno Karabakh kemudian
memproklamasikan dirinya sebagai negara baru dengan nama resmi Republik
Nagorno Karabakh. Merdekanya Armenia dan Azerbaijan yang diikuti
dengan deklarasi kemerdekaan oleh kawasan Nagorno Karabakh pun
sekaligus mengawali fase baru dalam perang di atas wilayah Nagorno
Karabakh.
2. Perang Fase II (1992-1994)
a. Serangan pembuka oleh pasukan Armenia
Usai kemerdekaan Armenia dan Azerbaijan, situasi keamanan di Nagorno
Karabakh tidak lantas membaik, bahkan cenderung semakin memanas.
Sebelum kedua wilayah tersebut merdeka, kegiatan bersenjata masing-masing
etnis masih bisa dibatasi pergerakannya oleh militier Uni Soviet. Namun
pascaruntuhnya Uni Soviet, masing-masing pihak mulai membeli
persenjataan sebanyak mungkin tanpa bisa dicegah, persenjataan yang dibeli
sudah mencakup tank, artileri, dan pesawat tempur. Untuk membeli aneka
persenjataan tersebut Azerbaijan mengendalikan pendapat dari sektor
minyaknya, sedangkan Armenia bergantung pada sumbangan uang dari
pengusaha-pengusaha Armenia di luar. Perang fase antarnegara ini juga
ditandai dengan mulai masuknya pengaruh asing pada masing-masing pihak
yang berperang. Turki menjadi salah satu sekutu utama Azerbaijamn karena
faktor keterkaitan sejarah dan agama, tetapi turki sendiri enggan ikut campur
telalu dalam ke dalam ke konflik karena khawatir campur tangannya akan
membuat perang Nagorno Karabakh menjurus jadi perang agama (Armenia
didominasi oleh pemeluk agama kristen, sementara Azerbaijan dan Turki

6
kebetulan mayoritas penduduknya penganut agama islam). Sebagai
akibatnya, bantuan yang diberikan Turki pun hanya terbatas pada dukungan
politis dan pengiriman bantuan logistik serta penasihat militer ke Azerbaijan.
Di lain pihak, Armenia sejak awal merasa khawatir bahwa Turki akan ikut
campur membantu Azerbaijan di tengah-tengah perang. Sebagai tindakan
antisipasinya, Armenia pun bergabung dengan Commonwealth Of
Independent States (CIS; Persemakmuran Negara-Negara Merdeka) yang
anggotanya terdiri dari mayoritas negara-negara bekas Uni Soviet. Armenia
berharap bisa mendapat bantuan militer dan keamanan dari negara-negara
anggota CIS yang lain bila situasi perang tak lagi menguntungkan Armenia.
Pertempuran skala besar pertama akhirnya meletus pada bulan Februari 1992
ketika pasukan Armenia dan Nagorno Karabakh menyerbu kota Khojali
(Xocali) di Azerbaijan. Hanya dalam waktu singkat, pasukan gabungan
Armenia-Nagorno Karabakh yang dibantu kendaraan lapis baja berhasil
mengalahkan pasukan milisi Azerbaijan yang berada dikota tesebut.
Keberhasilan pasukan gabungan Armenia-Nagorno Karabakh menduduki
kota Khojali lantas diikuti dengan peristiwa kelam yang dikenal dengan nama
pembantaian Khojali, dalam peristiwa itu ratusan penduduk sipil Khojali
dibunuh dan dimutilasi oleh tentara gabungan Armenia-Nagorno Karabakh.
Peristiwa pembantaian Khojali berbuntut panjang bagi Armenia karena akibat
peristiwa tersebut, pemerintah Armenia mendapat kecaman bertubi-tubi dari
dunia internasional. Kubu Armenia sendiri membela diri dengan menyatakan
bahwa mereka sudah memberi peringatan lebih dahulu kepada penduduk sipil
Khojali sebelum penyerbuan agar mereka meninggalkan kota. Di luar
perdebatan mengenai siapa yang salah atas peristiwa tersebut, jumlah korban
tewas dari peristiwa tersebut juga tidak jelas, tetapi diperkirakan julamnya
antara 200-1.000 orang.
b. Berebut Status sebagai Penguasa Nagorno Karabakh
Lepas dari misteri-misteri yang masih menyelimuti peristiwa pembantaian
Khojali, sebulan kemudian pasukan gabungan Armenia-Nagorno Karabakh
kembali melancarkan serangan untuk ke kota Shusha, Azerbaijan.
Pertempuran berlangsung sengit. Pasukan Azerbaijan yang dibantu oleh
milisi Mujahidin Chechnya melawan sekuat tanaga, namun meraka gagal
membendung pergerakan pasukan gabungan Armenia-Nagorno Karabakh.
Tak lama kemudian, pasukan gabungan Armenia-Nagorno Karabakh juga
berhasil merebut kota Lachin di dekatnya sekaligus mengamankan jalur darat
antara kawasan Nagorno Karabakh dengan Armenia.

7
Pasukan Azerbaijan yang selama ini berada dalam posisi tertekan akhirnya
melancarkan serangannya pada bulan Juni 1992 untuk merebut kembali
seluruh wilayah Nagorno Karabakh. Penyerbuan dimulai ketika pasukan
Azerbaijan melancarkan serangan besar-besaran dari utara dan selatan
kawasan Nagorno Karabakh dengan mengarahkan tank, helikopter dan ribuan
personil tentara. Kesulitan karena dikeroyok dari 2 arah sekaligus oleh
pasukan Azerbaijan, pasukan gabungan Armenia-Nagorno Karabakh dipaksa
mundur sehingga serangan pasukan Azerbaijan tersebut berakhir dengan
jatuhnya wilayah timur Nagorno Karabakh ke tangan Azerbaijan.
Konflik antara Armenia dengan Azerbaijan sempat mereda pada akhir
tahun 1992 menyusul musim dingin yang mendera kawasan tersebut, namun
konflik kembali memanas di tahun berikutnya. Bulan Januari 1993, pasukan
Armenia melancarkan serangan ke wilayah Nagorno Karabakh utara yang
sudah dikuasai oleh pasukan Azerbaijan sejak pertengahan tahun 1992.
Serangan tersebut berbuah manis bagi kubu Armenia karena usai serangan
tersebut, sebagian wilayah utara Nagorno Karabakh berhasil dikuasai kembali
oleh kubu Armenia.
c. Timbulnya Konflik Internal di Tubuh Azerbaijan
Jatuhnya kembali sebagian wilayah Nagorno Karabakh ke tangan Armenia
pada gilirannya menimbulkan perpecahan dalam tubuhb pemerintahan
Azerbaijan. Bulan Februari 1993, mentri pertahanan Rahim Gaziev
meletakkan jabatannya setelah berdebat panas dengan menteri dalam negeri
Isgandar Hamidov. Dalam periode yang kurang lebih bersamaan, Kolonel
Surat Huseynov yang selama ini ikut menyokong dan mendanai militer
Azerbaijan juga memutuskan untuk menghentikan sekongannya. Semakin
berlarut-larutnya kondisi internal Azerbaijan tersebut pada gilirannya
semakin meruntuhkan moral prajurit Azerbaijan yang sebenarnya sudah
terpuruk sejak kekalahan melawan pasukan Azerbaijan di awal tahun 1993.
Kembali ke medan perang, kemenangan atas pasukan Azerbaijan di awal
tahun 1993 membuat pasukan Armenia semakin bersemangat dan yakin
bahwa mereka bisa merebut kembali seluruh wilayah Nagorno Karabakh dari
tangan Azerbaijan. Maka pada bulan April 1993, pasukan Armenia pun
melacarkan serangan wilayah Kalbar, Azerbaijan, dari dua arah sekaligus.
Karena minimnya pasukan Azerbaijan yang dikerahkan untuk melindungi
Kalbar dan sekitarnya, pasukan Armenia berhasil merebut wilayah tersebut
dalam waktu singkat. Selama serangan tersebut, pasukan Armenia juga
berhasil merebut sejumlah kendaraan lapis baja milik Azerbaijan.

8
Kerberhasilan Armenia merebutb Kalbar ternyata memantik kecaman
internasional karena Kalbar sebenarnya termasuk ke dalam wilayah resmi
Azerbaijan dan serangan Armenia ke Kalbar diaanggap sebagai upaya
pencaplokan wilayah secara paksa. Maka pada tanggal 30 April 1993,
wialayah PBB pun mengeluarkan Resolusi 822 yang meminta tentara
Armenia untuk mrninggalkan wilayah Kalbar sesegera mungkin. Namun,
Armenia kembali membela diri dengan menyatakan bahwa tujuan mereka
merebut wilayah Azerbaijan di sekitar Nagorno Karabakh adalah untuk
menciptakan jaral yang aman antara wilayah Nagorno Karabakh dengan
markas militer Azerbaijan takkan bisa menjangkau wilayah Nagorno
Karabakh. Semakin berlarut-larutnya kondisi perang membuat campur tangan
negara-negara lain ke medan perang mulai menguat. Awal September 1993,
Turki mengirim ribuan pasukannya ke perbatasan Armenia-Turki, maka
Rusia meresponnya dengan mengirim puluhan ribu tentaranya ke wilayah
Armenia untuk mencegas adanya campur tangan Turki lebih jauh. Iran di lain
pihak juga mulai menggerakan pasukannya ke wilayah Azerbaijan menyusul
semakin banyaknya pengunsi Azerbaijan yang melarikan diri ke wilayah Iran.
Di bulan Oktober dan November, PBB juga mengeluarkan sejumlah resolusi
baru yang menyerukan Armenia dan Azerbaijan agar berhenti perang.
Di Azerbaijan sendiri, menyusul kekelahan berturut-turut yang dialami
oleh pasukan Azerbaijan, Kolonel Surat Huseynov yang sebelumnya mudur
dari aktivitas militer Azerbaijan memutuskan untuk melancarkan kudeta
kepada pemerintah berkuasa Azerbaijan pada bulan Juni 1993. Kudeta
tersebut berhasil dan pada tanggal 1 Juli, ia diangkat menjadi perdana menteri
oleh parlemen baru Azerbaijan. Usai naiknya Huseynov ke kursi
pemerintahan Azerbaijan, situasi di medan perang tidak lantas membaik,
bahkan cenderung memburuk karena satu demi satu wilayah Azerbaijan di
sekitar Nagorno Karabakh berhasil direbut oleh pasukan Armenia.
d. Konflik Terakhir Menjelang Akir Perang
Tak lama usai peristiwa kudeta di Azerbaijan, Heydar Aliyev (eks anggota
partai komunis Azerbaijan) terpilih sebagai presiden baru Azerbaijan pada
bulan Oktober 1993. Aliyev lantas menjanjikan akan memulihkan kembalik
kondisi internal Azerbaijan dan merebut kembali wilayah-wilayah Azerbaijan
yang dikuasi oleh pasukan Armenia. Sebagai langkah awal, pemerintah
Azerbaijan melakukan kebeijakan berupa perekrutan pemuda-pemuda
Azerbaijan dalam jumlah besar untuk menambah jumlah pasukan
Azerbaijan. Azerbaijan juga bergabung ke dalam CIS pada bulan yang sama
dan berhasil mendapatkan bantuan stok persenjataan dari Rusia. Serangan

9
balik pasukan Azerbaijan di bawah rezim baru pimpinan Huseynov dan
Aliyev akhirnya di mulai pada bulan Desember 1993, dalam serangan itu,
ribuan pasukan Azerbaijan yang dibantu oleh milisi Afganistan menerapkan
taktik yang dikenal sebagai human wave attack, yaitu taktik menerjunkan
langsung tentara dalam jumlah besar ke garis depan.
Keberhasilan pasukan Azerbaijan merebut kembali sejumlah wilayah
Nagorno Karabakh tidak lantas menunjukkan kehebatan pasukan Azerbaijan
karena pasukan Armenia saat itu bisa dibilang belum merespons serangan
pasukan Azerbaijan. Ketika pasukan Armenia akhirnya benar-benar
diterjunkan untuk menhadapi pasukan Surat Huseynov, pemimpin kudeta
Azerbaijan. Pasukan Azerbaijan berhasil dipukul mundur dan wilayah-
wilayah yang sebelumnya berhasil direbut pasukan Azerbaijan jatuh kembali
ke tangan Armenia. Pasukan Armenia juga sempat melancarkan serangan
susulan untuk memecah wilayah Azerbaijan menjadi dua bagian, tetapi gagal.
Lepas dari masih berlangsungnya perang, upaya untuk mengakhiri
peperangan semakin menemukan titik perang. Pada bulan Mei 1994,
perwakilan dari Armeniam, Azerbaijan, Nagorno Karabakh, dan Rusia
melakukan sejumlah perundingan di Bishkek (Kirgiztan, Asia Tengah) dan
Moskow (Rusia). Perundingan tersebut kahirnya melahirkan kesepakatan
damai yang secara efektif mengakhiri perang memperebutkan kawasan
Nagorno Karabakh yang sudah berlangsung selama 6 tahun, wilayah yang
sudah ditaklukan oleh pasukan Armenia dan Nagorno Karabakh kini menjadi
wilayah kekuasaan Republik Nagorno Karabakh. Usai perundingan damai
tersebut, perundingan-perundingan berikutnya dilakukan untuk membahas
masalah-masalah lain seputar Nagorno Karabakh yang masih belum
terselesaikan.
e. Kondisi Pasca Perang
Hingga sekarang, status Nagorno Karabakhb sebagai republik merdeka
tidak diakui oleh negara manapun, termasuk oleh Armenia selaku negara
induk mereka sendiri. Sebabnya adalah karena sebagaian wilayah mereka
khususnya yang berbatasan dengan Armenia merupakan wilayah berdaulat
milik Azerbaijan sehingga keberadaan negara Nagorno Karabakh diaanggap
ilegal oleh dunia internasional. Namun, kendati wilayah Nagorno Karabakh
hingga sekarang tetap dianggap sebagai bagian dari Azerbaijan, pemerintah
pusat Azerbaijan tetap kesulitan mengendalikan wilayah tersebut karena
keberadaan pasukan bersenjata Armenia dan Nagorno Karabakh yang
menentang keberadaan otoritas Azerbaijan di sana.

10
Pemerintah Azerbaijan menolak untuk mengizinkan Nagorno Karabakh
merdeka, namun mereka menjanjikan akan memberikan status otonomi
khusus selonggar mungkin kepada Nagorno Karabakh bila wilayah tersebut
mau menghentikan upayanya untuk memperoleh pengakuan sebagai negara
merdeka. Armenia di lain pihak mengklaim bahwa sudah sepantasnya rakyat
di Nagorno Karabakh diizinkan untuk menentukan nasibnya sendiri termasuk
untuk merdeka. Namun pemerintah Armenia sendiri enggan mengakui status
Nagorno Karabakh sebagai negara merdeka hingga sekarang karena khawatir
mereka akan dikucilkan dunia internasional dan keputusan mereka bakal
memicu timbulnya kembali perang di kawasan Nagorno Karabakh.
Masalah sosial lainnya yang belum terselesaikan usai perang Nagorno
Karabakh adalah soal pengunsi korban perang. Hingga sekarang ada sekitar
610.000 pengungsi Nagorno Karabakh mayoritasnya berasal dari etnis
Azerbaijan yang terpaksa tinggal di kompleks pengunsian sementara di
perbatasan Armenia dan Azerbaijan. Karena status politik wilayah Nagorno
Karabakh yang masih belum jelas, peluang para pengungsi tersebut untuk
kembali ke tempat asal mereka sangat kecil. Kondisi sebagian kompleks
pengungsian itu sendiri sangat memperhatinkan karena para pengungsi
dipaksa hidup berjejal-jejal dalam kompleks yang sempit dan minimnya
sarana-prasarana pendukung yang layak.
Status para pengunsi di masing-masing negara juga terkatung-katung.
Pemerintah Azerbaijan hingga sekarang tidak mengizinkan para pengungsi
tersebut mambau dengan komunitas Azerbaijan yang lain karena khawatir,
menerima para pengungsi tersebut dianggap sebagai pengakuan resmi atas
kemerdekaan Nagorno Karabakh karena para pengungsi dianggap takkan
pernah bisa kembali ke tempat tinggal awal mereka. Di Armenia, situasinya
sedikit lebih baik karena bagian dari para pengungsi diizinkan berbaur dengan
warga Armenia lainnya.
Masalah lainnya yang masih membayangi kawasan Nagorno Karabakh
hinga sekarang adalah ancaman ranjau darat di sejumlh wilayah bekas zona
perang. Menurut PBB, jumlah ranjau darat di kawasan Nagorno Karabakh
diperkirakan mencapai 100.000. tidak hanya itu, tim yang juga diterjunkan
PBB juga melaporkan bahwa sejak genjatan senjata di tahun 1994, sudah
ratusan sipil Nagorno Karabakh tewas atau terluka akibat menginjak ranjau
darat yang masih aktif. Aktivitas pembersihan ranjau darat sendiri tidak bisa
dilakukan dengan cepat karena sedikitnya bantuan dari pihak-pihak luar
untuk membantu membersihkan kawasan Nagorno Karabakh dari ranjau aktif
dan banyaknya jumlah ranjau darat yang masih tertanam.

11
Lepas dari masalah-masalah pasca perang yang masih belum terselesaikan
dan seiringnya timbul kontak senjata skala kecil antara tentara di perbatasan,
kondisi keamanan Nagorno Karabakh sekarang bisa dibilang sudah jauh lebih
kondusif. Perundingan-perundingan antara perwakilan Armenia dengan
Azerbaijan untuk mendapatkan solusi terbaik mengenai masa depan Nagorno
Karabakh juga terus berjalan. Berharap saja agar solusi damai atas wilayah
Nagorno Karabakh yang menguntungkan masing-masing pihak bisa segera
ditemukan agar kawasan Nagorno Karabakh bisa menjadi kawasan damai
yang bisa diterima masyarakat internasional dan yang terpenting, tidak lagi
menjadi medan pembantaian antar etnis.

12
DAFTAR PUSTAKA

RFE/RL – Nagorno Karabakh : Timeline Of The Long Road To Peace

Thomson Reuters Foundation – Nagorno Karabakh Conflict

Wikipedia – Azerbaijan

Wikipedia – History of Nagorno Karabakh

Wikipedia – Nagorno Karabakh Republic

Wikipedia – Nagorno Karabakh War

Cornell, S. E.. 1999 “ The Nagorno Karabakh Conflict

Ozkan, G.. 2006. “ Nagorno Karabakh Problem : Claims, Counterclaims and

Impasse

13

Anda mungkin juga menyukai