Anda di halaman 1dari 5

LAPORAN PRAKTIKUM

SHOCKWAVE TERAPI (SWT)


“KRONIK TENDINITIS SUPRASPINATUS”

OLEH

AHMAD SYARIF JUNAID


II B/D.IV FISIOTERAPI
PO714241181041

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR
PROGRAM STUDI D.IV JURUSAN FISIOTERAPI
TAHUN 2020
LAPORAN PRAKTIKUM SHOCKWAVE TERAPI (SWT)

KASUS “KRONIK TENDINITIS SUPRASPINATUS (VAS 5,6)”

A. Patologi Kasus
1. Definisi :
Tendinitis Supraspinatus adalah peradangan pada tendon supraspinatus akibat
gesekan terhadap tulang bahu (yang dibentuk oleh caput humeri dengan bungkus kapsul sendi
glenohumeral joint sebagai alasnya, dan acromion serta ligamentum coraco acromiale sebagai
penutup bagian atasnya) secara berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama, terutama
dalam pekerjaan overhead : berenang, melukis, tenis.

2. Etiologi :
 Penyebab paling umum adalah Sindrom Impingemen (trauma tendon rotator cuff).
 Kalsifikasi.
 Trauma/kecelakaan.
 Infeksi.
 Penyakit autoimun.
 Latihan yang berlebihan (seperti aerobic).
 Minor stresses oleh trauma yang berulang meskipun ringan tetapi dalam waktu relatif
lama.
 Penekanan dan gesekan yang berulang dan berkepanjangan oleh tendon biceps dalam
melakukan gerakan fleksi lengan.

3. Patogenesis :
Tendon otot supraspinatus sebelum berinsersio pada tuberkulum majus humeri, akan
melewati terowongan pada daerah bahu yang dibentuk oleh kaput humeri (dengan bungkus
kapsul sendi glenohumerale) sebagai alasnya, dan acromion serta ligamentum coraco
acromiale sebagai penutup bagian atasnya. Tendon mendapatkan suplay darah dari pembuluh
darah yang mengalir melalui tendon. Pembuluh darah tendon rentan terhadap penguluran,
tekanan dan trauma yang berulang-ulang. Adanya cedera atau trauma menyebabkan terjadinya
kerobekan serabut-serabut tendon, sehingga akan terjadi perubahan pada tendon. Cairan yang
keluar dari sistem sirkulasi akan mengambil tempat ke arah celah tendon yang robek dan
dapat menjalar ke sekitarnya kemudian cairan tersebut mengendap dan membentuk hematom.
Hematom ini akan menekan ujung-ujung saraf sensoris di sekitarnya hingga akan menambah
rasa nyeri. Apabila penekanan yang mengakibatkan peradangan ini terjadi berulang-ulang
maka akan mengalami degenerasi dimana tendon semakin menebal. Hal ini mengakibatkan
gerakan tendon terbatas atau terhambat. Sehingga suplay darah terganggu yang akan
mengakibatkan tendinitis. Tendon tersebut akan saling bertumpang tindih dengan tendon dari
kaput longus biseps. Adanya gesekan dan penekanan yang berulang-ulang serta dalam jangka
waktu yang lama oleh tendon biseps ini akan mengakibatkan kerusakan tendon otot
supraspinatus sehingga akan terjadi supraspinatus tendinitis. Penyakit ini biasanya sembuh
sendiri tetapi bila disertai impingiment yang lebih lama dan terutama pada orang tua dapat
terjadi robekan kecil dan ini dapat diikuti dengan pembentukan jaringan parut, metaplasia
fibrokartilageinous atau pengapuran tendon. Tendon biceps caput longum yang terletak
bersebelahan dengan supraspinatus juga dapat terlibat dan sering robek.

4. Tanda dan Gejala :


Tanda dan gejala supraspinatus tendinitis berupa nyeri tekan pada tendon otot
supraspinatus karena tendonnya mengalami peradangan. Adapun tanda dan gejala yang umum
dijumpai pada kondisi tendinitis supraspinatus antara lain:

 Nyeri bila di tekan pada tendon otot supraspinatus yaitu tepatnya pada daerah tuberculum
mayus humeri sedikit proximal. Nyeri tekan juga terjadi pada otot deltoid medial sebagai
nyeri rujukan. Painfull arc untuk tendinitis suprapinatus antara 600–1200. Bila ditelusuri,
daerah rasa nyerinya adalah di seluruh daerah sendi bahu. Rasa nyeri ini dapat kumat-
kumatan, yang timbul sewaktu mengangkat bahu. Keluhan umum yang biasanya
disampaikan adalah kesulitan memakai baju, menyisir rambut, memasang konde atau kalau
akan mengambil bumbu dapur di rak gantung bahunya terasa nyeri.
 Keterbatasan gerak pada sendi bahu terutama untuk gerakan abduksi dan eksorotasi.
Keterbatasan ini disebabkan oleh karena adanya rasa nyeri.
 Kelemahan otot dan Atrofi.
 Nyeri tekan pada daerah tendon otot supraspinatus.
B. Prosedur Pelaksanaan
1. Persiapan Alat : (mencakup persiapan operasional alat)
a. Letakkan Compressor dan unit utama ke troley yang dijelaskan di nuku panduan trolley.
b. Hubungkan power cord (strker) unit utama dan power cord (steker compressor ke stop
kontak (PLN)).
c. Hubungkan unit utama dengan compressor menggunakan kabel komunikasi data.
d. Menghubungkan aplikator :
- Pasang konektor aplikator sejajar dengan titik merah yang ada di konektor
- PERHATIAN : jangan menghubungkan konektor secara paksa karena akan
menyebabkan kerusakan pada alat.
- Ketika melepas konektor , pegang bagian belakang aplikator, kemudian Tarik
kenelakang dengan perlahan.
e. Tekan tombol “ON” yang ada di belakang unit utama (posisi”I”) dan juga di belakang
compressor (posisi”I”).
f. Mengopasikan unit dengan menekan tombol on/off di panel depan unit/display menyala.
g. Tekan tombol “DAG/PROG” dan pilih protocol pengobatan yang sesuai.
h. Tekan tombol/knop “TIME/STOP” untuk memulai pengobatan/therapy.
i. Tekan tombol ON yang berada di aplikator untuk memulai/berhenti therapy.
2. Persiapan Pasien :
a. Posisikan pasien pada posisi tengkurap
b. Pastikan pasien merasa nyaman dan rileks.
c. Periksa area yang akan di terapi dalam hal ini: kulit harus bersih dan bebas dari lemak,
lotion.
d. Oleskan Gel
e. Lalu letakkan transducer pada tendon supraspinatus
f. Periksa sensasi kulit. Lepaskan semua metal diarea terapi.
g. Sebelum memulai intervensi, terapist memberi penjelasan mengenai cara kerja dan efek
yang dapat ditimbulkan dari SWT.

3. Teknik Pelaksanaan :
Kasus Kronik Tendinitis
Supraspinatus 1. Posisi transducer SWT : diletakkan pada tendon
Nilai VAS : 5,6 supraspinatus
2. Pemilihan dosis :

a. Bentuk SWT : Continual Frequency

b. Frekuensi SWT : 22 MHz

c. Intensitas SWT : 2,0 W/cm2

d. Jumlah Shock SWT : 1500 kali

C. Evaluasi
Setelah melakukan praktikum shock wave therapy untuk kasus kronik tendinitis supraspinatus
didapatkan hasil bahwa:
 Pasien mengalami sedikit nyeri pada bagian supraspinatus. Tetapi, tidak mengalami hal
tersebut dalam jangka waktu yang lama.
 Pasien bisa diberi terapi sekitar 2-3 kali seminggu.
 Setelah diberi terapi SWT nilai VAS pada pasien mengalami penurunan.

Anda mungkin juga menyukai