Anda di halaman 1dari 16

Bismillahirrahmaniraahim...

Assalamu’alaikumwarohmatullaahiwa Barokatuhu.

‫صحْ بِ ِه أَجْ َم ِع ْينَ أ َ َّمابَ ْع ُد‬


َ ‫علَى ا َ ِل ِه َو‬ َ ‫علَى أَش َْرفِاْأل َ ْنبِيَاءِ َوا ْل ُم ْر‬
َ ‫س ِل ْينَ َو‬ َّ ‫ا ْل َح ْم ُد ِلل ِه َربِالْعَالَمِ ْينَ َوال‬
َّ ‫صالَةُ َوال‬
َ ‫سالَ ُم‬

Artinya :Segala puji bagi Allah Sang Penguasa alam semesta. Semoga salawat sertakeselamatan tercurahkan
selalu kepada Nabi dan Rasul termulia. Bersertakeluarga dan sahabat-sahabatnya, semuanya.

‫علَىا َ ِل ِه‬
َ ‫س ِي ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو‬
َ ‫علَى‬ َ ‫ض ِل ْلهُ فَالَهَاد‬
َ ‫ اَللَّ ُه َّم ص َِل َو‬.ُ‫ِي لَه‬
َ ‫س ِل ْم‬ ُ ‫ َم ْن يَ ْه ِد ِه‬.‫س ِيئ َاتِأ َ ْع َما ِلنَا‬
ْ ُ‫هللا فَالَ ُم ِض َّل لَهُ َو َم ْني‬ ِ ُ‫ش ُروْ ِر أ َ ْنف‬
َ َ‫سن‬
َ ‫اومِ ْن‬ ِ ‫ست َ ْغف ُِرهُ َونَعُوْ ذُ ِبا‬
ُ ‫هلل مِ ْن‬ ْ َ‫ست َ ِع ْينُه َُون‬
ْ َ‫نَحْ َم ُده َُون‬
‫َوصَحْ بِ ِه أَجْ َم ِع ْينَ أ َ َّما بَ ْع ُد‬

Artinya:Kami panjatkan segala puji padaNya dan kami meminta pertolonganNya. Serayamemohon ampun dan
meminta perlindunganNya dari segala keburukan jiwaku dan darikejelekan amaliahku. Barang siapa yang telah
Allah tunjukkan jalan baginya,maka tiada yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa yang telah Allah
sesatkanjalannya, maka tiada yang bisa memberinya petunjuk. Ya Allah limpahkanlahsalawat dan salam bagi
Muhammad berserta keluarga dan sahabat-sahabatnya,semuanya.

‫علَى ا َ ِل ِه َوصَحْ بِ ِهأَجْ َم ِع ْينَ أ َ َّما بَ ْع ُد‬ َ ‫س ِل ُمعَلَى َخي ِْر اْألَنَ ِام‬
َ ‫سيِ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو‬ ِ ‫ا ْل َح ْم ُد ِلل ِهالَّ ِذ ْيأ َ ْنعَ َمنَا بِنِ ْع َم ِة اْ ِإل ْي َم‬
ْ ‫ان َواْ ِإل‬
َ ُ‫ َونُص َِلي َْون‬.‫سالَ ِم‬

Artinya:Segala puji bagi Allah yang telah memberi sebaik-baik nikmat berupa iman danislam. Salawat dan doa
keselamatanku terlimpahkan selalu kepada Nabi AgungMuhammad Saw berserta keluarga dan para sahabat-
sahabat Nabi semuanya , AMMABA’DU

Di antara ayat-ayat Quran ada yang disebut ayat Muhkamat dan ayat Mutasyabihat.

Ayat Muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas arti dan maksudnya serta mudah dipahami. Ayat ini disebut
juga Qot’iy al-Dalalah, yaitu ayat yang artinya satu dan jelas serta bersifat absolut.

Sedangkan ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayatyang belum jelas pengertiannya dan mengandung arti lebih dari
satu. Sehingga untuk menentukan mana arti yang dimaksudkan ayat tersebut perlu diadakan penelitian dan
pengkajian yang lebih mendalam. Ayat ini disebut juga Zonnyal-Dalalah, yaitu ayat yang artinya tidak jelas dan
boleh mengandung arti lebih dari satu.Dari kedua macam ayat Quran tersebut di atas, ayat Mutasyabihatlah
yangmenyebabkan timbulnya pertentangan/perbedaan antara para ulama, karena dalam memahami ayat
tersebut mereka berbeda pendapat.

Perbedaan dalam memahami dan menginterpretasikan ayat Mutasyabihat inilah (di samping perbedaan dalam
memahami isi Sunah yang tidak bersifat absolut) yang kemudian melahirkan aliran-aliran (mazhab) dalam
Islam.
Dalam teologi (ilmu kalam) lahir lima mazhab, yaitu: Khawarij, Murji’ah,Muktazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah.

Sedangkan dalam hukum (ilmu fikih) lahir beberapa mazhab, di antaranya, mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hanbali (keempat mazhab ini adalah mazhab besar), serta mazhab-mazhab lainnya yang termasuk mazhab
kecil, yaitu mazhab at-Tauri, an-Nakha’i, at-Tabari, al-Auza’idan az-Zahiri.Khusus dalam bidang hukum Islam
(fikih), hal tersebut di atas merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat. Masih
banyak faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih. Faktor-faktor lain inilah
yang penulis ingin bahas dalam makalah ini.PEMBAHASAN
Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan Pendapat dalam Hukum Islam........
Jika kita memasuki kawasan hukum Islam (fikih), maka kita tidak akan lepas dari terjadinya perbedaan
pendapat dalam suatu masalah. Hal ini disebabkan obyekbahasan fikih biasanya adalah masalah-masalah
ijtihadiyah, yaitu masalah yanguntuk menentukan hukumnya harus dilakukan ijtihad lebih dahulu.

Sebagai contoh,
dalam masalah hukum membaca Quran bagi orang yang sedang haid, terjadiperbedaan pendapat di kalangan
para ulama. Ada yang mengatakan hukumnya tidakboleh, dengan alasan bahwa pada saat sedang haid,
manusia dalam keadaan tidaksuci dan ada Hadis yang melarangnya.

Ada pula yang membolehkannya, dengan alasan tidak ada dalil yang menunjukkanketidakbolehannya.Contoh
lainnya adalah ,
Ada sebagaian ulama mensyahkan thalaq dengan ucapan marah apalagi tanpa marah tanpa melalui rukun2 nya
yang disyariatkan ALLOH SWT dalam hukum Nya (al qur'an) ,sementara yang lain berpendapat bahwa
sebagaimana Nikah ada rukun nya demikianjuga dengan Thalaq ada rukun2 nya yang telah ALLOH tentukan di
dalam hukum nya (Al Quran) , kalau tidak mengikuti rukun2 dimaksud akan timbul banyak modhurat nya ,
akan banyak Istri dan anak2 bisa menjadi korban pendzaliman dari para suami , kalau suami se-enak nya saja
ucapkan thalaq dan disyahkan oleh ulama , contoh mau menikah lagi , istri yang mau dinikahi minta dia
menceraikan dulu , dan suami mengikuti permintaan dzalim perempuan itu , atau sudah punya istri empat mau
menikah lagi maka salah satu istri diceraikan s , ketika terjadi keributan diantara pasangan suami istri dan
setan yang bertugas menceraikan pasangan suami istri ikut peran , suami menalak istri dalam keadaan marah
tak terkendali ada ulama yang mengatakan syah cerai nya tanpa mengikuti rukun2 yang ALLOH SWT tentukan,
ada maszhab yang mensyahkan dan ada juga maszhab lain yang tidak mensyahkan kata cerai yang terlontar
dalam kondisi amarah tsb . . .

para ulama yang shahih berpendapat bahwa thalaq itu harus di persiapkan dan diucapkan dengan tekad yang
sungguh – sungguh (ber azham) ,dalam keadaan sadar , jelas alasan sar’i nya , di masa suci sebelum di gauli
(atau sedang tidaksedang haid) , adanya 2 saksi yang adil dll. . . .( ath Thalaq , 1) dan itu pun sebelum nya
harus ada hakim diantara kedua pasangan itu untuk lebih dulu menyelesaikan problem pasangan2 itu.

Contoh lain :

seorang istri yang ditalak tiga oleh suaminya dengan mengikuti rukun2 yang ditentukan Alloh dlm hukum2 Nya
( Al Qur'an). (Setelah ke -1 dan ke-2) Istri yang dalam keadaan seperti ini tidak boleh dirujuk oleh suaminya
kecuali jika ia telah menikah dengan suami baru dan suaminya yang baru itu telah menceraikannya. Inilah
hukum yang telah ditetapka oleh Allah dalam Quran surat al-Baqarah (2): 230.Yang diperselisihkan adalah :

apakah istri dan suaminya yang baru itu harus melakukan persetubuhan terlebih dahulu sebelum mereka
bercerai.
Sebagian besar ulama berpen-dapat bahwa sebelum diceraikan, istri harus disetubuhi dahulu oleh suaminya
yang baru.
Akan tetapi Sa’ied ibn Musyayyab berpendapat bahwa suami pertama boleh menikah kembali dengan istrinya
itu setelah diceraikan oleh suami barunya, walaupun belum disetubuhi.Kedua contoh ini merupakan masalah
yang masuk dalam wilayah fikih. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya, keduanya tidak luput dari
terjadinya perbedaan pendapat.Faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih sangat
banyak,sehingga di antara para ulama terjadi perbedaan argumentasi tentang faktor apa saja yang menjadi
penyebab terjadinya perbedaan-perbedaan itu dalam fikih.

Dalam makalah ini penulis mencoba menggabung argumentasi-argumentasi para ulama tersebut.Di antara
faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat itu adalah:

1. Perbedaan mengenai sahih dan tidaknya nash.....

Kesahihan suatu nash (dalam hal ini Hadis) kadang-kadang diperdebatkan. Ada ulama yang mau menerima
kesahihan suatu nash dan ada pula yang menolaknya. Hal ini terjadi karena mereka berbeda pendapat dalam
menilai tsiqat (terpercaya) tidaknya seorang perawi, lemah tidaknya matan dan sanad suatu Hadis jika
dibandingkan dengan matan dan sanad lain. Ada seorang mujtahid yang menggunakan suatu Hadis sebagai
hujjah karena perawinya ia anggap dapat dipercaya, tetapi oleh mujtahid lainnya Hadis tersebut ditolak, karena,
menurutnya, perawi Hadis itu tidak dapat dipercaya.2. Perbedaan dalam memahami nash.....

Dalam suatu nash, baik Quran maupun Hadis, kadang-kadang terdapat kata yangmengandung makna ganda
(musytarak), dan kata majazi (kiasan), sehingga artiyang terkandung dalam nash itu tidak jelas. Terhadap nash
yang demikian ini,para ulama berbeda-beda dalam memahaminya. Misalnya kata ‫( قُ ُروْ ء‬qur’) dalamsurah al-
Baqarah (2): 228 mempunyai 2 arti, “suci” dan “haid”, sehingga dalammenafsirkan ayat tersebut para mujtahid
berbeda pendapat.

Di samping itu, perbedaan pemahaman ini juga disebabkan perbedaan kemampuanmereka satu sama lain.3.
Perbedaan dalam menggabungkan dan mengunggulkan nash-nash yang salingbertentangan.....

Dalam suatu masalah kadang-kadangterdapat dua atau lebih nash yang bertentangan, sehingga hukum yang
sebenarnyadari masalah tersebut sulit diputuskan. Untuk memutuskannya biasanya para ulamamemilih mana
nash yang lebih kuat (arja¥) di antara nash-nash itu, atau mencarititik temu di antara nash-nash tersebut. Dalam
mengambil keputusan dan mencarititik temu inilah biasanya para ulama berbeda pendapat.4. Perbedaan dalam
kaidah-kaidah ushul sebagai sumber intinbath.....

Para mujtahid, dalam memilih suatu Hadis atau mencari suatu dalil, mempunyaicara pandang dan metode yang
berbeda-beda.
Suatu Hadis, yang oleh seorang mujtahid dijadikan sebagai dalil dalam suatumasalah, mungkin saja ditolak
oleh mujtahid lain dalam masalah yang sama. Halini disebabkan sudut pandang mereka terhadap Hadis itu
tidak sama.Ada mujtahid yang mengambil perkataan atau fatwa seorang sahabat Nabi dalammemecahkan
suatu masalah, tetapi ada pula mujtahid yang menolaknya, tidak maumengambil fatwa sahabat tersebut.Begitu
pula ada mujtahid yang menjadikan amaliah penduduk Medinah sebagaihujjah, tetapi oleh mujtahid lainnya
ditolak.Hal ini karena mereka mempunyai metode yang berbeda dalam menentukan suatuhukum.5. Perbedaan
dalam perbendaharaan Hadis.....

Di antara para sahabat, kemungkinan besar, banyak yang koleksi Hadisnya tidaksama dengan sahabat lainnya.
Hal ini karena tidak mungkin mereka selalubersama-sama berkumpul atau mendampingi Nabi. Mungkin saja
pada saat sahabatyang satu sedang bersama Nabi sedangkan sahabat yang lain tidak hadir, sehinggapada saat
Nabi mengemukakan suatu masalah ia tidak tahu
Oleh karena di antara para sahabat sendiri koleksi Hadisnya tidak sama, makasudah barang tentu di antara
para mujtahid pun akan terjadi hal yang sama.Perbedaan koleksi Hadis yang dimiliki para mujtahid ini pada
gilirannya akanmenyebabkan mereka berbeda pendapat.6. Perselisihan tentang ilat dari suatu hukum....
Perselisihan para mujtahid mengenai ilat (`illah=sebab) dari suatu hukum jugamerupakan salah satu sebab
terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih. Sebagaicontoh, dalam Islam kita diperintahkan untuk berdiri jika
bertemu denganusungan jenazah. Para mujtahid berbeda pendapat tentang siapa jenazah itu,orang Islam,
orang Kafir, atau kedua-duanya. Sebagian besar mujtahidberpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah kedua-
duanya, jenazah orang Islam danKafir. Jadi, umat Islam diperintahkan untuk berdiri jika bertemu dengan
usunganjenazah, baik jenazah orang Islam maupun orang Kafir. Akan tetapi ada yangberpendapat bahwa
perintah untuk berdiri itu hanya terhadap jenazah orangKafir. Hal ini karena di dalam sebuah Hadis diterangkan
bahwa pada suatu hari,ketika sedang berjalan, Rasulullah saw. bertemu dengan jenazah orang Yahudi,lalu
beliau berhenti dan berdiri.Sikap Kita Dalam Menghadapi Perbedaan Pendapat Dalam Hukum Islam..........

Perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah yang ada dalam fikih harus disikapi dengan arif dan
bijaksana.

Kita tidak boleh bersikap apriori dengan langsung menyalahkan satu pendapat dan membenarkan pendapat
lainnya. Sikap apriori yang semacam ini dapat memicu terjadinya perpecahan di kalangan umat. Masalah yang
biasanya menimbulkan perbedaan pendapat dalam fikih adalah masalah furu’iyah (cabang), bukan masalah
pokok.Oleh karena itu, mempertajam pertentangan atau perbedaan pendapat dalam masalah cabang ini
hanyalah membuang-buang waktu dan energi.Sebenarnya di antara para imam mazhab sendiri tidak ada satu
pun yang merasa pendapatnya paling benar. Mereka tidak saling menyalahkan, apalagi menjatuhkan. Bahkan
diantara mereka tidak ada yang menyuruh orang untuk hanya mengikuti pendapat mazhabnya, karena mereka
menyadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari salah dan lupa.Imam Malik pernah
berkata :“Saya ini tidak lain, melainkan manusia biasa. Sayaboleh jadi salah dan boleh jadi benar. Maka oleh
sebab itu, lihatlah danpikirlah baik-baik pendapat saya. Apabila sesuai dengan Kitab (Al Qur’an) danSunnah,
maka ambillah ia dan jika tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah, makatinggalkanlah ia.”Imam Syafi’i pernah
berkata kepada Imam Ar-Rabi’:“Apa saja yang telah berlaku menurut sunnah Rasulullah s.a.w. padahal
bersalahan dengan mazhabku, maka tinggalkanlah mazhabku itu karena sunnah itulah mazhab yang
sebenarnya.”Jadi jelaslah bahwa di kalangan imam mazhab sendiri tidak terjadi perselisihan,apalagi
perpecahan. Mereka sebenarnya telah benar-benar memahami HadisRasulullah saw. yang
berbunyi:“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalahsuatu rahmat.”Di sini Rasulullah memberikan isyarat
kepada umatnya bahwa perbedaan pendapatitu pasti terjadi di antara sesama umat Islam.

Dalam Hadis itu pula beliau mengajarkan umatnya bagaimana menyikapi perbedaanpendapat tersebut.

Di sini tampak bahwa beliau ingin agar perbedaan pendapat itu justrumempersatukan umat, bukan masalah
memecah-belah mereka.

Carilah hikmah di balik perbedaan-perbedaan itu.Oleh : Ahmad Seadie

KEPUSTAKAAN:

Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Hishni ad-Dimasyqi asy-Syafi’i, al-ImamTaqi ad-Din. Kifayat al-Akhyar fi
Hall Ghayat al-Ikhtishar. Semarang: TohaPutra, t.t., Jilid 1 dan 2.Arifin, Bey. et. al. Menuju Kesatuan Paham
Tentang Mazhab. Surabaya: Bina Ilmu,1985Al Bayanuni, Muhammad Abul Fath. Studi Tentang Sebab-sebab
Perbedaan Mazhab.Surabaya: Mutiara Ilmu, 1994.Dasuki, Hafizh. et. al. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve,1994, Jilid 4Al Dzarwy, Ibrahim Abbas. Teori Ijtihad dalam Hukum Islam. Semarang : DinaUtama,
1993Hasan, Drs. M. Ali. Bagaimana Sikap Muslim Menghadapi Masalah Khilafiyah,Jakarta (1975): Bulan
Bintang.Hasyim, Umar. Membahas Khilafiyah Memecah Persatuan, Wajib Bermazhab dan PintuIjtihad
Tertutup[?]. Surabaya: Bina Ilmu, 1984.Mujamma’ Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al
Mush-hafasy Syarif.Al Qur'an dan Terjemahnya,1413 H.Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta:
UI-Press, 1983, hlm. 34.

Sebab-Sebab Munculnya Perbedaan Dalam Islam

oleh: Dr. Yusuf Al-Qaradhawi

Kenyataan ini akan menyebabkanperbedaan hukum-hukum dalam masalah furu'iyah dikarenakan perbedaan
dalampemahaman dan hasil-hasil ijtihad. Mustahil pendapat-pendapat dan mazhab-mazhabyang ada bersatu
serta sepakat dalam menyikapi hal-hal yang bersifat furu'iyah.Hal ini dikarenakan beberapa sebab. Hasan Al-
Banna dalam risalahnya berjudulDa'watuna menyebutkan sebab-sebab yang paling esensial yaitu:

1. Perbedaan kekuatan akal dalammelakukan istinbath 'deduksi hukum', dalam memahami dalil-dalil,
menyelamikandungan2 makna, dan dalam menghubungkan antara hakikat yang satu denganhakikat yang lain.
Agama merupakan gabungan dari ayat-ayat, hadist-hadist, dannash-nash yang ditafsirkan oleh akal pikiran
melalui batasan2 bahasa dan kaidahnya.Dalamhal ini, setiap orng pasti saling berbeda. Karena itu, perbedaan
adalah suatukeniscayaan yang tidak dapat dihindari.
2. Adanya kenyataan perbedaan banyakdan sedikitnya ilmu seseorang. Dalam artian,ada ilmu yang telah
sampai kepadaseseorang, namun tidak sampai kepada orang lain, orang ini keilmuannya beginidan orang itu
keilmuannya begitu. Karena itu, Imam Malik pernah berkata kepadaAbu Ja'far al-Manshuri ketika ingin
memaksa semua orang untuk menggunakan kitabal-Muwaththa', "Adalah para sahabat Rasulullah tersebar di
berbagaipenjuru negeri, dan pada setiap kaum mempunyai corak keilmuan sendiri. Jika kaumambawa semua
orang kepada satu pendapat, maka hal itu akan menimbulkanfitnah."

3. Perbedaan kondisi dan lingkungan.Karenanya, kita melihat fikih penduduk Irak berbeda dengan fikih
pendudukorang2 Hijaz. Bahkan kita menyaksikan bahwa pendapat seorang ahli fikih yangsama pada kondisi
dan lingkungan tertentu, dapat berbeda pendapatnya padakondisi dan lingkungan yang lain. Kita bisa melihat
bagaimana Imam Syafi'iberfatwa dengan menggunakan qaul qadiim (hasil ijtihadnya sebelum masuk mesirdi
Irak) dan berfatwa dengan menggunakan qaul jadiid (hasil ijtihad setelahmasuk mesir). Padahal, pada kedua
pendapat tersebut sama-sama ia ambil dari konsepdan pandangan yang jelas dan benar menurutnya. Hal ini
tidak berarti iamenyimpangkan kebenaran di dalam dua pendapatnya tersebut.

4. Perbedaan kemantapan hatiterhadap suatu riwayat ketika menerimanya. Kita menemukan seorang
perawimenurut seorang imam adalah tsiqah (terpercaya). Karenanya, imam tersebutjiwanya merasa tenang,
dan dirinya merasa baik. Maka,ia merasa baik mengambilriwayat darinya. Dan menurut imam yang lain perawi
itu cacat, setelah diketahuidari keadaanya (yang membuat cacat)

5. Perbedaan dalam menentukankualitas indikasi dalil. Misalnya, imam ini berpendapat bahwa praktek
yangdilakukan orang-orang didahulukan atas hadist ahad, namun imam yang lain tidaksetuju dengan hal
tersebut. Atau imam ini mengambil dan mengamalkan hadist mursal,tapi imam yang lain tidak.

Imam Hasan Al-Banna melanjutkan"semua sebab2 diatas menjadikan kita yakin bahwa kata sepakat
dalamcabang2 agama adalah suatu hal yang ustahil, bahkan bertentangan dengan tabiatagama itu sendiri.
Karena Allah menginginkan kelanggengan dan keabadian agamaini, menginginkan agama ini bisa berjalan
sesuai dengan ruang dan waktu. Karenaitu, agama ini sangat elastis, lembut, lentur, tidak kaku, dan tidak
keras.

Kita meyakini hal ini. Karena itu,konsekuensinya kita harus berlapang dada dan saling pengertian kepada
orang2yang tidak sesuai dengan kita dalam masalah2 furu'iyah.

kita memandang bahwa perbedaan2 initidaklah menjadi penghalang bagi terjalinnya tali kasih sayang dan
salingmembantu diantara kita. juga tidak menjadi penghalang bagi kita dan merekauntuk menggapai makna
Islam yang sempurna dengan ajaran2nya yang begitu luasdan indah, serta menghambat untuk mempraktekkan
undang2 yang paling baik, yangterkandung di dalamnya.

Bukankah kita adalah muslim seperti halnya mereka?

bukankah kita senang mengambil suatuhukum yang menenangkan jiwa kita, dan demikian pula dengan
mereka?

bukankah kita diperintahkan untukmencintai saudara kita sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri?

jadi, apalagi yang diperselisihkandan dipertentangkan?

Kita lihat bagaimana sahabat2 Nabisaw, saling berbeda pendapat. Namun, apakah perbedaan tersebut
menimbulkanperbedaan dalam hati mereka?

apakah perbedaan tersebut memecahbelah persatuan diantara mereka, atau dapat memutuskan tali hubungan
yangmengikat diantara mereka?

tentu saja tidak! Jika para sahabatsaja saling berbeda pendapat diantara mereka, padahal mereka adalah orang
yangpaling dekat dengan masa kenabian, lalu kenapa kita saling bertengkar danbermusuhan hanya karena
perbedaan2 kecil yang tidak penting sama sekali...

Allahu 'Alam

Penyebab Terjadinya Perbedaan Pendapat di Kalangan Fuqaha Menurut Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili

Tulisan kali ini merujuk kemuqaddimah kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Syaikh Dr.Wahbah az-Zuhaili
hafizhahullah. Mengawali pemaparan, Syaikh Dr. Wahbahaz-Zuhaili menjelaskan bahwa perbedaan pendapat
(ikhtilaf) antarmadzhab fiqih maupun ikhtilaf yang terjadi antar ulama dalam satumadzhab bukanlah sesuatu
yang tercela, selama perbedaan tersebut tidak padabagian pokok agama dan keyakinan. Selama dalam
perkara furu’i dan ijtihadi,perbedaan pendapat tersebut malah merupakan rahmat dan kemudahan bagi
umatserta merupakan bagian dari kekayaan tasyri’i pada umat ini.

Adanya perbedaan pendapat dikalangan fuqaha ini juga tidak menunjukkan adanya pertentangan dalam
syari’at,melainkan ini terjadi karena kelemahan manusia dalam memahami syari’at. Dandemi menghilangkan
kesempitan (haraj), maka kita dibolehkan beramaldengan salah satu pendapat fuqaha yang ada.
Menurut Syaikh Dr. Wahbahaz-Zuhaili, ada beberapa hal terpenting yang menjadi penyebab
terjadinyaperbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih, yaitu:
1. Perbedaan memahami maknalafazh-lafazh dalam bahasa Arab

Hal ini terjadi pada lafazh yang mujmal,musytarak, atau lafazh yang diragukan termasuk lafazh
yang ‘amm ataukhashsh, haqiqah atau majaz, haqiqah atau ’urf,muthlaq atau muqayyad. Bisa juga disebabkan
perbedaanpendapat dalam i’rab, atau perbedaan dalam memahami kata yang memilikiberagam makna, baik
dalam bentuk mufrad maupun murakkab.

Sebagai contoh adalah perbedaan memahami makna ‫القرء‬,apakah ia berarti suci dari haid, atau sebaliknya
artinya adalah haid.

2. Perbedaan dalam riwayat

Misalnya suatu hadits sampairiwayatnya kepada salah seorang fuqaha, sedangkan kepada fuqaha yang lain
tidaksampai. Atau sampai kepada seorang fuqaha melalui jalan yang dha’ifdan tidak bisa dijadikan hujjah,
sedangkan kepada fuqaha yang lain sampaimelalui jalan yang shahih, dan lain-lain.

3. Perbedaan sumber dalil

Ada beberapa dalil yangdiperselisihkan oleh fuqaha kebolehannya digunakan sebagai hujjah,
seperti istihsan,mashalih mursalah, qaulush shahabi, istishhab, danlain-lain. Sangat terbuka peluang terjadi
perbedaan pendapat fiqih, misalnya,antara yang menggunakan mashalih mursalah sebagai dalil dengan
fuqahayang tidak menggunakannya.

4. Perbedaan dalamkaidah-kaidah ushuli

Seperti kaidah ‘amm yangdikhususkan tidak menjadi hujjah, mafhum tidak menjadi hujjah, dansemisalnya.

5. Ijtihad denganmenggunakan qiyas

Misalnya tentang syarat-syarat danjalan-jalan‘illat, ini membuka peluang yang besar terjadinya
perbedaanpendapat. Menurut Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili, perbedaan dalam menggunakan qiyasini
merupakan penyebab paling banyak terjadinya perbedaan pendapat dikalangan fuqaha.

6. Pertentangan (ta’arudh)dan pemilihan (tarjih) di antara dalil-dalil

Perbedaan pendapat di kalangan fuqaha juga banyak terjadi karena hal ini, dan bahkan melahirkan perdebatan
diantara mereka. Pertentangan bisa terjadi antar nash, atau antar qiyas. Misalnya terjadi pertentangan dalam
sunnah, apakah yang diterima qaul,fi’l, atau taqrir. Perbedaan pendapat juga bisa terjadi dalam memahami sifat
tindakan Rasul, apakah merupakan bagian dari toleransi kasus perkasus terkait adat istiadat dan perilaku
bangsa arab ketika itu sebagai strategi untuk memenangkan mereka menerima Kebenaran ALLOH yang
UTAMA atau terkait dengan strategi lainnya atau yang merupakan FATWA RASULULLAH SHALLALAHU
ALAIHI WASALLM fatwa. Dan banyak yang lainnya.

*****

Enam hal di atas merupakan penyebab terpenting terjadinya perbedaan pendapat di kalangan fuqaha. Dari
memahami penyebab terjadinya perbedaan pendapat para fuqaha ini, semoga cakrawala berpikir kita semakin
luas dan hidayah furqon berlimpah bagi kita dan akhirnya bisa berlapang dada terhadap adanya perbedaan-
perbedaan pendapat tersebut , serta tidak menampakkan sikap mau menangd an benar sendiri.

Sebagai pelajaran, para mujtahid dikalangan shahabat bahkan menghindari menyebut hasil ijtihad mereka
sebagai‘hukum Allah’ dan ‘syari’at Allah’, mereka hanya berkata, ‘ini adalahpendapatku, jika pendapat tersebut
benar, itu berasal dari Allah, sebaliknya jika pendapat tersebut keliru, itu berasal dariku dan dari syaithan, dan
Allah dan Rasul-Nya terlepas dari kekeliruan tersebut’.
dan bisa memilih mana yang lebih dekat dengan Kebenaran ALLOH yang hahiki (al qur'an)

Semoga bermanfaat.

I. PENDAHULUAN

Ijtihad merupakan dinamika ajaran Islam yang keberadaannya harus dipertahankan untukmenciptakan
kehidupan yang kreatif. Hal ini disebabkan Al-Qur’an hanya mmemuatpermasalahan-permasalahan secara
garis besar. Manusia harus mampu menerjemahkandan menjabarkan nash-nash Al – Qur’an yang masih garis
besar itu kedalamrealitas kehidupan masyarakat yang dinamik dan selalu berubah. Jika semangatijtihad ini
ditinggalkan ummat Islam maka yang terjadi adalah stagnasi,padahal al-Qur’an selalu relefan denagan gerak
dan dinamika masyarakat.
Salah satu kenyataan dalam fiqihadalah adanya perbedaan pendapat, banyak penyebab perbedaan pendapat
dlamfiqih, bisa saja dari faktor metode atau faktor tempat tinggalnya para ulamatersebut. Dalam makalah ini
saya mencoba memaparkan dari pengertian ijtihad,ruang lingkup ijtihad dan faktor penyebab perbedaan dalam
berijtihad.

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad

Kata Ijtihad berakar dari al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya,kemampuan,kekuatan) ataudari kata al-jahd yang
berarti al-masyaqah (kesulitan,kesukaran)[1]. Daripengertian diatas bisa kita simpulkan bahwa ijtihad secara bahasa
adalahpengarahan semua kemampuan untuk suatu aktivitas yang berat atau sukar. Dalampengertian secara bahasa diatas
dapat kita ketahui ada dua unsur pokokyaitu pertama kemampuan dan yang kedua obyek yang berat atau sulit.

Ijtihad menurut ulama ushul ialahusaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya
untukmenggali hukum yang bersifat amaliah (praktisi) dari dalil-dalil yang bersifatterperinci[2].
Dari beberapa pengertian diatas dapat kita ketahui bahwaijtihad adalah suatu usaha untuk menentukan hukum.

B. Ruang lingkup ijtihad dan syaratmujtahid

Ada batasan dalam berijtihad, ruang lingkup berijtihadadalah hukum-hukum syara yang dalailnya bersifat
dzanni. Maksud dari dalil yangbersifat dzanni adalah dalil yang bersifat umum tidak pasti maknanya.
Syahnyahasil ijtihad yang di keluarkan mujtahid harus memenuhi beberapa syarat. Tidaksembarangan orang
bisa melakukan ijtihad, syarat-syaratnya yaitu:

1. Mengetahui bahasa Arab dengan segala seginya sehingga memungkinkan dia untuk menguasai pengertian
susunankata-katanya karena obyek pertama bagi mujtahid ialah pemahaman terhadapnash-nasah Al-Quran
dan hadis yang berbahasa Arab.

2.Mengetahui Al-Quran dan hadisterlebih yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’.

3.Mengetahui segi-segi pemakainaqiyas, seperti illat dan hikmah penetapan hukum, di samping fakta-fakta
yangada nashnya dan yang tidak ada nashnya.

4.Pandai menghadapi nash-nash yangberlawanan.

5.Mengetahui ilmu ushul fikih[3].

Dari syarat-syarat ini dapat kitaketahuai bahwa ijtihad adalah hal serius yang tidak bisa diwakilkan
ataudilakukan sembarang orang. Dan bila mana ada orang yang melakukan ijtihad tapitidak memenihi syarat di
atas, maka hasil ijtihadnya tidak kuat.

C. Penyebab Terjadinya PerbedaanIjtihad

Beberapa hal yang dapatmenyebabkan perbedaan ijtihad, sebab pertama yaitu berbeda dalam memahaminash
dan dalam menyusun metode ijtihad yang didasari sosio-kultural dangeografis mujtahid .adapun sebab
pertama itu adalah:

1.Karena perbedaan dalam memahami danmengartikan kata-kata dan istilah baik dalam Al-Quran maupun
Hadist. Misalkansaja, dalam Al-Qur’an terdapat kata quru,. Sebagian ulama’ ada yang mengartikanhaidh dan
sebagian yang lain ada yang mengartikan suci.

2.Berbeda tanggapan terhadap Hadist.Hal ini terjadi karena mereka berbeda pendapat dalam
menilai tsiqat(terpercaya) tidaknya seorang perawi, lemah tidaknya matan dan sanad suatuHadis jika
dibandingkan dengan matan dan sanad lain. Sehingga, ada beberapaulama’ yang berbeda dalam
mengkategorikan bahwa suatu hadits tersebutdimasukkan ke dalam hadits shohih, hasan, maupun dho’if.
Konsekuensinya,kehujjahannya pun akan berbeda satu sama lainnya.

3. Berbeda tanggapan tentang ta’arudl (pertentangan antara dalil) dantarjih (menguatkan satu dalil atasdalil
lainnya) seperti: Tentang nasakh dan mansukh, tentang pentakwilan, danlain sebagainya[4].

4.Perselisihan tentang ilat dari suatuhukum. Perselisihan para mujtahid mengenai ilat (`illah=sebab) dari suatu
hukum juga merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan hasil ijtihad[5]

Dan sebab kedua adalah metode yang disebabkan sosio-kultural dan geografis mujtahid, disini hanya akan
mengambil dari empat mujtahid yang mempengaruhi cukup luas dalam islam . Yaitu:

Sejarah singkat mengenai empat imam mengenai hasil metodenya yang disebabkan sosio-kultural dan
geografis. Pada masa sahabat ada dua kelompok (pandangan hukum) yaitu kelompok pertama Ali binAbi Thalib
bersama Bilal kelompok pertama lebih menekankan ke nash secara ketatdan kelompok kedua lebih kerasio
yang lebih luas tokoh kelompok ini diantaranyaUmar bin Khatab dan Ibnu Mas’ud. Dan selanjutnya kelompok
ini berkembang menyebar dan memeliki pengaruh. Kelompok pertama berkumpul disekitar hijazsedangkan
kelompok yang kedua berkumpul disekitar kufah. Sejarah kemudianmenceritakan kepada kita bahwa Imam
Malik tinggal di makkah (termasuk daerahhijaz) dan Imam Abu Hanifah tinggal di Kuffah. Imam Malik hidup
didalam yangmasih banyak menjumpai sahabat Nabi sehingga dalam berijtihad lebih kenashsecara ketat,
sedangkan Imam Abu Hanifah tinggal dimana sedikit sekali dijumpaisahabat Nabi. Fakta geografis ini
menimbulkan perbedaan dalam pemecahan kasus.

Berikutnya sejarah singkat mengenai Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal. Kedua Imam ini adalah murid
dari ImamMalik sehingga mereka berdua mengikuti dari gurunya yaitu lebih cenderung kekelompok Hijaz.

Metode-metode ijtihad imam empat:

I. Imam Abu Hanifah

1.Berpegang pada dalalatul Qur'an

- Menolak mafhum mukhalafah- Lafz umum itu statusnya Qat'i selama belum ditakshiskan- Qiraat Syazzah
(bacaan Qur'an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil

2. Berpegang pada hadis Nabi

- Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh))-
Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya

3. Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)

4. Berpegang pada Qiyas

- Mendahulukan Qiyas dari hadis ahad

5. Berpegang pada istihsan

II. Imam Malik bin Anas

1. Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)

- zhahir Nash- menerima mafhum mukhalafah2. Berpegang pada amal perbuatan penduduk
Madinah3.Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinahdaripada hadis
ahad)4. Qaulus shahabi5. Qiyas6.Istihsan7.Mashalih al-Mursalah

III. Imam Syafi'i

1.Qur'an danSunnah (artinya, beliau menaruh kedudukan Qur'an dan Sunnah secara sejajar,karena baginya
Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah satualasan yang membuat Syafi'i digelari "Nashirus
Sunnah". Konsekuensinya,menurut Syafi'i, hukum dalam teks hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teksAl-
Qur'an dalam kasus tertentu)2. Ijma'3. hadis ahad (jadi, Imam Syafi'i lebih mendahulukan ijma' daripada
hadisahad)4. Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i mendahulukan hadisahad daripada
Qiyas)5. Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinahsebagai dasar
ijtihadnya

IV. Imam Ahmad bin Haniibal

1.An-Nushush(yaitu Qur'an dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi'i yang tidakmenaruh Hadis
dibawah al-Qur'an)

- menolak ijma' yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafi'i)- menolak Qiyas yang
berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam AbuHanifah)

2.Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat)

3. Ijma'

4.Qiyas[6]

Dari beberapa sebab perbadaan diataspada perinsipnya disebabkan karena berbeda dalam memahami nash
dan metodepengambilan hukum yang dikarenakan sosio-kultural dan geografisnya..

III. KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan ijtihad yang yang terjadi di antara para
mujtahid memang bukanlah sesuatu yang tak dapat terhindarkan. Tanpa mengetahui latar belakang dan alasan-
alasan, akan memberikan kesan negative terhadap perbedaan-perbedaan ini. Faktor kultur atau budaya yang
ada pada masa di manamasing-masing mujtahid hidup merupakan salah satu penyebab terjadinya
perbedaanini. Bagaimana tidak, seorang mujtahid tentu akan menyesuaikan kultur masyarakat yang ada pada
saat itu.

IV. PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat sayapaparkan. Saya yakin dalam penulisan makalah ini masih ada
banyakkesalahan-kesalahan. Untuk itu, kritik yan bersifat membangun sangat sayaharapkan. Semoga dapat
memberikan manfaat pada kita semua. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Abuzahrah Muhammad, ushul fiqih, Jakarta : PT. Pustaka Firadaus (cetakankesepuluh) 2007
DjazuliH.A., Ilmu Fiqih Pengalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta:PT. Prenada Meia 2005
http://ahza.multiply.com/journal/item/13
http://ustadzmuis.blogspot.com/2008/07/pola-pola-ijtihad-dalam-hukum-islam.html
http://www.pkesinteraktif.com/edukasi/hikmah/572-mengapa-ulama-berbeda-pendapat.html
RusliNasrun,Konsep Ijtihad Al-Asyaukani, Jakarta: PT. Logos,1999

A. Pengertian perbedaan pendapat

Perbedaan pendapat atau ikhtilaf, secara lingusitik dalam kajian bahasaInggris, dapat diterjemahkan beraneka
ragam, difference of opinion, distinctionatau controvercy. Akan tetapi, jika disimak secara mendalam, kata
contovercylebih tepat.
Dalam bentuk bahasa Arab, kata Ikhtilaf diambil dari kata Khalafa yang berartiberpisah, perselisihan. Menurut
istilah, Thaha Jabir menjelaskan, Ikhtilaf adalahproses yang dilalui dengan metode yang berbeda antara
seorang dan yang lainnyadalam bentuk perbuatan atau perkataan.
Perbedaan dalam bahasa Arab dikenal dengan kataikhtilaf atau khilaf. Perbadaan pendapat dalam fiqh
merupakan perbedaan yangdisebabkan oleh perbedaan akal fikiran, karena bila diitinjau darisebab-
musababnya secara global, perbedaan itu dibagi dua, yaitu perbedaan yangdisebabkan budi pekerti (moral)
dan perbedaan yang diseebabkan oleh akalfikiran. Perbedaan yang diseebabkan moral itu biasanya
dikarenakan terlalumenganggap cukup dengan melihat permukaan suatu masalah saja dan tidak
maumendalami dengan seksama dan teliti, seperti su’u dzon dengan orang lain,fanatik buta terhadap pendapat
seseorang atau madzhab dan golongan tertent. Initergolong ikhtilaf yang buruk dan tercela .
Adapun perbedaan yang disebabkan akal fikiran adalah perbedaan pandangan dalam suatu masalah, baik
masalah ilmiah seperti perbedaan dalam cabang Syari’at Islam, atau bersifat akidah, politik, dan lain-
lain.Perbedaan pandangan itu dikarenakan perbedaan kemampuan akal ditambahpengaruh-pengaruh
sampingan yang mempengaruhi akal, seperti lingkungan, zaman,situasi dan kondisi, baik bersifat positif atau
negatif.
Maka perbedaan dalam fiqh merupakan sesuatu hal yangpasti terjadi, karena tabiatnya agama, bahasa,
manusia juga tabiatnya alam ddankehidupan. Oleh karena itu orang-orang yang menghendaki bersatunya
semua orangdalam satu pendapat di bidang hukum-hukum ibadah, muamalah dan lain-lain daricabang agama
Islam, maka berarti ia menginginkan sesuatu hal yang mustahilterjadi. Bahkan perbedaan dalam fiqh ini
dianggap rahmat oleh mayoritas ulamadengan merujuk salah satu hadist Nabi SAW yang dikeluarkan Imam al-
Suyuthidalam “al-Jami’ al-Shogir” : ”ikhtilafu ummati rahmah” (perbedaan antarumat-umatku adalah suatu
rahmat).
Ikhtilaf fiqhi ini, tidak hanya dianggap sebagai halyang lazim dan rahmat, namun juga bisa merupakan harta
karun warisan yang amatberharga, karena perbedaan pendapat para ulama adalah peninggalan yang
bisadijadikan bahan kajian bagi perkembangan fiqh itu sendiri di masa mendatang,juga bahan pertimbangan
dan masukan yang tidak sedikit nilainya.
Namun sayang ada sebagian kelompok umat Islam yangtidak mengetahui hal ini atau pura-pura tidak
mengetahuinya. Mereka tidakmenganggap perbedaan umat Islam sebagai rahmat; mereka mengklaim bahwa
kelompokdan ibadah mereka yang paling benar; mereka membid’ahkan ibadah kelompok lain,mencacinya,
mengkritiknya bahkan mengkafirkannya; mereka menganggap dirinyasebagai satu-satunya kelompok ahlus
sunnah wal jama’ah yang sesuai dengan ulamasalaf (lampau), sehingga mereka menamakan dirinya dengan
Jama’ah Salafiyah atauKaum Salafi .
B. Sebab-sebab terjadinya Ikhtilaf
Dalam hukum kausalitas, ”ada sebab, ada akibat”.Begitu pula, dalam Ikhtilaf. Tidak mungkin ada Ikhtilaf, jika
tidak ada penyebabnya. Dalam hal ini, penyebab itu adalah faktor-faktor yang mempengaruhi para ulama dalam
menggali hukum Islam sehingga berbeda dengan ulama lainnya.
Karena sumber hukum Islam pada masa sahabat sepeninggalan Nabi SAW adalah al-Qur’an, Sunnah, dan
ijtihad Sahabat (termasukbagian dalam Ijtihad ialah Qiyas, Ra’yu dan Ijma’ ), maka sebab-sebab
perbedaanpendapat di kalangan Ulama juga dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori:
1. al-Qur’an
Sebab-sebab perbedaan pendapat yang diakibatkan sumberpertama ini, antara lain karena sebagai berikut:
sebab adanyaØkontadiksi antar sesama nash-nash al-Qur’an dan adanya upaya Ulama’ untukmencegah
pertentangan itu (dengan ijtihad tentunya), seperti perbedaan‘Iddahnya wanita hamil yang ditinggal mati
suaminya.
Disebabkan karenaperbedaan dalam memahami ayat-ayat mujmal (global),Ø seperti perbedaan‘Iddahnya
wanita yang ditalaq dalam keadaan haid.
Disebabkan karenasebahagian sahabat terkonsentrasi dengan zahirnyaØ teks atau nash(tekstual), sedangkan
yang lainnya lebih memilih makna yang tersirat(kontekstual), seperti perbedaan pendapat antara Ibn Abbas dan
Zaid Ibn Tsabitdalam hal waris.
Sebab sebagiansahabat berhenti pada zahirnya nash-nash umum dan tidakØmenemukan atau menganggap
nash lain sebagai peng-takhshish-nya, sedangkan yanglain menemukannya.
Sebab perbedaan pendapatdalam memahami suatu struktur kalimat dalam nash-nash al-Qur’an yang
memilikidua aspek pengertian.Ø

2. As-Sunnah

Adapun sebab-sebab perbedaan pendapat ulama dalam menyikapiSunnah-sunnah Rasul saw, baik qauliyah,
fi’liyah, taqririyah atau hammiyahsebagai sumber hukum dapat dikelompokkan menjadi enam faktor penyebab ,
yaitu:

Sampainya suatuØhadist (hukum atau fatwa) kepada sebagian sahabat, sedangkan yang lain tidak,maka ia
akan berijtihad dengan ra’yu-nya. Jika demikian, ada empat akibat,yaitu (a) Ijtihadnya akan sama dengan
hukum asli. (b) ulama akan Taroju’(menarik kembali fatwa ijtihadnya). (c) bertentangnya hasil Ijtihad
denganhadist yang baru didengarnya. (d) tidak sampai kepadanya hadist sama sekaliatau tidak mendengar
bantahan ijtihadnya dari sahabat yang lain yang memilikibukti hadist tertentu. Antara merekasama-sama
melihat perbuatan Nabi SAW (hadist Fi’liyah),Ønamun sebagian mereka menganggap perbuatan Nabi SAW itu
sebagai qurbah ataukesunnahan dan sebagian yang lain hanya mubah.

Karena lalai atau lupaakan sunnah yang didengar atau dilihatnya.Ø Perbedaan persepsi antara mereka dalam
memahami perkataan-perkataan Nabi SAW (sunnah Qauliyah).Ø

Perbedaan dalammenentukanØillat hukum suatu Sunnah. Perbedaan pemahamandalam menyikapi beberapa


sunnah yang saling kontradiktif.Ø Perbedaan kuantitasdan kualitas hafalan sunnah-sunnah Nabi diantara para
UlamaØ
3. Ijtihad
Ijtihad yang dilandaskan pada pemakaian ra’yu untukmenyempurnakan ijtihad fiqh yang berlangsung pada
periode ini tidak biasterelakkan, karena nash-nash sangat terbatas sedangkan peristiwa-peristiwa yangterjadi
begitu banyak, tidak berhentikan sebatas nash yang ada, sehinggasahabat harus mengembalikan
permasalahan-permasalahan itu kepada arahnya (yangbaru), agar diperoleh hukum kebenaran. Mereka
melakukan itu dengan mencaripetunjuk melalui tujuan-tujuan syara’ yang universal (maqashid al-Syari’ahal-
‘Ammah) serta prinsip-prinsip umum (mabadi Kulliyah).

Sebab-sebab perbedaan pendapat yang melalui pintu Ijtihaddengan ra’yu ini tidak bias dilepaskan dari
perbedaan yang ada antara mereka,berbagai hal termasuk ra’yu-nya atau pandangan intelektualitasnya yang
sangatdipengaruhi oleh akal, kepribadian, keluarga, dan lingkungannya. Yang samuanyaini diilhami oleh
ijtihadnya Nabi saw sendiri dan pemahaman mereka akanmaqashid syari’ah juga keshahihan atau kejelian
pandangan mereka terhadapmashlahat manusia, sehingga mereka tidak mungkin keliru dalam memandang
suatukemaslahatan. Ikhtilaf antara mereka dalam berijtihad bermuara padamasalah-masalah yang tidak
terdapat nash yang pasti, kemudian mereka menetapkanhukumnya dengan mengqiyaskan kepada sesuatu
yang manshush (mempunyai nash )atau memasukkannya ke dalam kaidah umum atau dengan memperhatikan
kemaslahatanmanusia yang di ketahui dan diyakini mereka bahwa syara’ sangat memberiperhatian dan selalu
menjaga kemaslahatan itu.

Di antara sahabat Nabi saw yang pandai dan terkenal dalammengunakan ra’yunya (ijtihad) adalah Ali bin abi
Thalib, Abu Bakar,Umar binKhotob,Ustman bin Affan,abdullah bin mas,ud,Zaid bin Tsabit,Mu’az bin Jabal
banlain-lain.Selain tiga faktor diatas, juga terdapat sebab yang lain ,yaitu:

>Perbedaan Qawa’id Ushuliyya

Sebab-sebab yang yang berkaitan dengan kaidah-kaidah ushuldiantaranya mengenai istisna,yakni: Jumhur
Fuqaha berpendapat,bahwa istisna(pengecualian) itukembali kepada keseluruhannya. Sedangkan menurut Abu
Hanifah,istisna itu hanyakembali kepada jumlah terakhir saja.

Bagi yang berpendapat bahwa istsna itu kembali kepada jumlahterakhir saja, maka bila orang itu telah
bertaubat tidak lagi dinyatakan fasik,dan tetap harus didikenakan hukuman dera dan belum bisa dijadikan
saksi. Adapunyang berpendapat kedua,yang menyatakan bahwa istisna kembali kepadasemuanya,orang yang
sudah taubat itu tidak lagi inyatakan fasik,dan juga jugadikembalikn haknya untukmenjadi saksi;tetapi masih
tetap dihukum dera, karenahukuman dera ini menyangkut hak adami (manusia) yang tidak bisa digugurkan
dengan taubat.

ABSTRAKS

Wahyu Allah yang salah satunya berisi tentang hukum Islam telah berhenti sejak empat belas abad yang lalu.
Wahyu tersebut telah final dan berhasil diabadikan hingga sekarang dalam bentuk mushaf Al-Qur’an dan kitab-
kitab hadits. Namun demikian, peristiwa-peristiwa baru yang terjadi di masyarakat tidak pernah berhenti. Untuk
menggali hukum dari peristiwa yang baru muncul pada setiap zaman tersebut dibutuhkan sebuah ijtihad.

Tulisan dalam makalah ini akan mengangkat tentang pola-pola ijtihad pada periode klasik hingga pertengahan.
Metode yang digunakan di sini ialah metode literatur, yaitu dengan mengkaji persoalan dari berbagai referensi.

Ijtihad pada periode klasik dimulai pada akhir masa shahabat dan dilanjutkan pada masa tabi’in dan tabi’ tabi’in.
Hanya saja, ijtihad pada periode shahabat belum dapat dikatakan sebagai alat penggali hukum karena keputusan
masih di tangan Rasulullah. Pola ijtihad pada periode tabi’in dilakukan melalui dua cara, yaitu mengutamakan
pendapat seorang shahabat dari pendapat shahabat yang lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang
tabi’in dari pendapat seorang shahabat, serta mereka sendiri berijtihad. Adapun cara yang digunakan oleh
mayoritas mujtahid pada periode berikutnya ialah melalui pendekatan yang mengedepankan teks (ahlul hadits)
dan logika (ahlur ra’yi).

Adapun pola ijtihad pada periode pertengahan tidak semaju pada periode berikutnya. Bahkan lebih cenderung
mundur dan hanya mengikuti hasil ijtihad para mujtahid sebelumnya.

Pendahuluan

Semua umat Islam sepakat bahwa sumber hukum Islam yang pertama adalah Al-Quran. Adapun sumber hukum
yang kedua adalah As-Sunnah yang merupakan penjelasan yang tersurat ataupun tersirat dari kehidupan
Rasulullah. Kedua dasar dan sumber hukum ini saling kait dan terikat. Apa yang ada di dalam Al-Quran adalah
sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya.

Dalam perjalanan sejarahnya yang awal, hukum Islam menjadi suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini
dapat dilihat dari instruksi Nabi kepada para sahabat dalam menghadapi realitas sosiologis umat pada waktu itu.
Dalam melakukan ijtihad, para sahabat waktu itu tidak mengalami problem metodologis apa pun karena bila
mendapatkan kesulitan dalam menyimpulkan hukum, mereka dapat langsung berkonsultasi dengan Nabi. Pada
masa ini ijtihad masih sangat terbatas terutama pada masalah-masalah keperdataan.

Keadaan demikian tiba-tiba berubah setelah Rasulullah wafat. Sejak itu para sahabat mulai dihadapkan pada
masalah-masalah baru dan krusial terutama tentang siapa yang pantas menggantikan Nabi untuk memimpin
umat dan kasus-kasus lain yang belum mendapatkan legalitas syara’. Satu-satunya pilihan bagi para sahabat
adalah melakukan ijtihad dengan berpedoman kepada Al-Quran, hadis, dan tindakan-tindakan normatif Nabi
yang pernah mereka saksikan.

Setelah periode tersebut, muncullah sejumlah mazhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri, sesuai dengan
latar belakang sosio kultur dan politik tempat mazhab hukum tersebut tumbuh dan berkembang. Secara khusus,
tulisan ini akan membahas pola-pola ijtihad dalam hukum Islam pada masa klasik-tengah dan beberapa hal yang
berhubungan dengannya.

A. Pengertian Ijtihad

Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang
sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Quran ataupun
hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan
selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan oleh para ahli agama Islam.

Secara bahasa, kata ijtihad memiliki beberapa makna. Menurut Louis Makhluf, ijtihad berasal dari kata kerja
(fi’il) jahada, yajhadu, dan bentuk mashdarnya jahdan yang berarti pengerahan segala kasanggupan untuk
mengerjakan sesuatu yang sulit. Atau bisa juga bermakna bersungguh-sungguh dalam bekerja dengan segenap
kemampuan.
Ada juga yang berpendapat bahwa ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti thaqah (daya, kemampuan,
kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari situ, ijtihad menurut
pengertian kebahasaannya bermakna pengerahan daya dan kekuatan atau pengerahan segala daya dan
kemampuan dalam suatu aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar.

Adapun ijtihad secara istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh ahli ushul fikih adalah pengerahan segenap
kemampuan oleh seorang ahli fikih atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum
syara’. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi ijtihad ialah untuk mengeluarkan hukum syara’ dan ia tidak berlaku
dalam bidang teologi dan akhlak.

Asy-Syaukani merumuskan bahwa ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan
hukum syara’ yang praktis dengan menggunakan metode istinbath.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, ijtihad ialah mencurahkan daya kekuatan untuk menghasilkan hukum syara’
dari dalil-dalil syara’ secara terperinci.
Adapun pengertian ijtihad menurut istilah hukum Islam ialah mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk
menemukan hukum agama (syara’) melalui salah satu dalil syara’, dan dengan cara-cara tertentu.

Walaupun definisi ijtihad di atas redaksinya berbeda-beda, namun pada prinsipnya mereka sepakat bahwa
ijtihad adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan energi yang banyak. Sejak terkodifikasinya ilmu ushul fikih
oleh Asy-Syafi’i, pengertian ijtihad hanya digunakan pada disiplin ilmu fikih dan ushul fikih, padahal istilah
ijtihad pada masa Rasulullah dan sahabatnya, dipergunakan pada hampir semua aspek ilmu pengetahuan.
Meskipun pada masa itu istilah ijtihad belum dipahami sebagai sumber hukum yang ketiga, namun pada masa
tabi’in, ijtihad disejajarkan dengan ra’yu yang terdiri dari qiyas, istishlah, istihsan, maslahah mursalah dan
sebagainya.

B. Dasar Hukum Ijtihad

Dasar hukum ijtihad banyak ditemukan dalam ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi yang nash-nashnya
memerintahkn untuk menggunakan pikiran dan akal serta mengambil pelajaran. Di antaranya ialah:
1.Dari Al-Quran
Dasar hukum ijtihad dalam Al-Qur’an antara lain:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
(QS. Ar-Ra’d: 3; Ar-Rum: 21; Az-Zumar: 42).
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Al-
Hasyr: 2)
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan kepada manusia agar menggunakan pikiran dan akal serta mengambil i’tibar
(pelajaran).

2.Dari Hadis
Dasar hukum ijtihad dalam hadits, antara lain:
‫اب ثمَ فَاجْ تَ َه َدَ ْال َحاكِمَ َحك َََم ِإذَا‬ َ َ‫ان فَلَهَ أ‬
ََ ‫ص‬ َ َ‫طَأ َ ثمَ فَاجْ تَ َه َدَ َحك َََم َو ِإذَا أ‬
َِ ‫جْر‬ َ ‫أَجْ رَ فَلَهَ أَ ْخ‬
“Apabila seorang hakim memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya itu benar, maka
baginya mendapat dua pahala. Dan apabila ia memutuskan suatu perkara, lalu ia berijtihad kemudian ternyata
ijtihadnya keliru, maka ia mendapat satu pahala.” (HR. Muslim).

َ َ‫ل أ‬
‫ن‬ ََ ‫ّللاِ َرسو‬
َ ‫صلى‬ َ ‫ن أَ َرا َدَ لَما َو‬
َ َ‫سل ََم َعلَ ْي َِه ّللا‬ َْ َ ‫ن إِلَى معَاذًا يَ ْبعَثََ أ‬ َِ ‫ل ْاليَ َم‬ََ ‫ْف قَا‬
ََ ‫ضي َكي‬ ِ ‫ض إِذَا تَ ْق‬ ََ ‫ضاءَ لَكََ َع َر‬َ َ‫ل ق‬ ََ ‫ضي قَا‬ ِ ‫ب أَ ْق‬ َِ ‫ّللاِ بِ ِكتَا‬
َ ‫ل‬ َْ ِ‫ب فِي ت َِج َْد لَ َْم فَإ‬
ََ ‫ن َقا‬ َِ ‫ّللاِ ِكتَا‬
َ ‫ل‬ ََ ‫قَا‬
‫ل فَبِسن َِة‬ َِ ‫ّللاِ َرسو‬َ ‫صلى‬ َ َ‫سل ََم َعلَ ْي َِه ّللا‬ ََ ‫ن قَا‬
َ ‫ل َو‬ َْ ِ‫ل سن َِة فِي ت َِج َْد لَ َْم فَإ‬
َِ ‫ّللاِ َرسو‬ َ ‫صَلى‬ َ َ‫سل ََم َعلَ ْي َِه ّللا‬ َ َ ‫ب فِي َو‬
َ ‫ل َو‬ َِ ‫ّللاِ ِكتَا‬
َ ‫ل‬ ََ ‫ل َرأْيِي أَجْ تَ ِهدَ قَا‬ َ َ ‫ب آلو َو‬ ََ ‫ض َر‬ َ َ‫ّللاِ َرسولَ ف‬ َ ‫صلى‬ َ َ‫ّللا‬
‫سل ََم َعلَ ْي َِه‬َ ‫صد َْرهَ َو‬
َ ‫ل‬ََ ‫لِلِ ْال َح ْمدَ َوقَا‬
َ ِ ‫ل َوفقََ الذِي‬ ََ ‫ل َرسو‬ َِ ‫ّللاِ َرسو‬َ ‫ضي ِل َما‬ ِ ْ‫ل ير‬ ََ ‫ّللاِ َرسو‬
َ

“Sesungguhnya, ketika Rasulullah ingin mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bertanya, ‘Bagaimana upayamu
dalam menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadamu?’ Mu’adz menjawab, ‘Akan aku putuskan
berdasarkan Kitabullah.’ Nabi kemudian bertanya lagi, ‘Bagaimana jika kamu tidak menjumpai dalilnya dalam
Al-Qur’an?’ Mu’adz menjawab, ‘Akan aku putuskan berdasarkan sunnah Rasulullah.’ Kemudian Rasulullah
bertanya lagi, ‘Bagaimana jika tidak kamu dapati dalilnya di dalam sunnah Rasulullah dan Kitabullah?’ Mu’adz
menjawab, ‘Aku akan berijtihad dengan rasioku dan tidak mengabaikannya.’ Kemudian Rasulullah menepuk
dada Mu’adz sambil bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada duta Rasul-Nya
terhadap apa yang diridhai oleh Rasulullah’.” (HR Abu Dawud).

Ada juga kisah dua sahabat Nabi yang sedang dalam perjalanan. Mereka shalat dengan bertayamum karena
ketidakadaan air. Seusai shalat, tiba-tiba keduanya mendapatkan air. Kemudian di antara mereka ada yang
mengulangi shalatnya, dan yang lainnya lagi tidak mengulanginya. Setelah ditanyakan kepada Rasulullah, beliau
membenarkan kedua pendapat mereka.
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah mengakui ijtihad dijadikan sebagai salah satu sumber
hukum Islam, bila tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah dalil-dalil yang secara tegas digunakan untuk
menerapkan hukum masalah yang aktual, walaupun kemungkinan ijtihad yang dilakukan itu keliru menurut
pandangan Allah.

C. Ruang Lingkup dan Syarat Ijtihad

Tidak semua hukum Islam bisa menjadi lapangan ijtihad, kecuali beberapa lapangan tertentu. Lapangan yang
tidak boleh menjadi obyek ijtihad ialah:

1.Hukum yang dibawa oleh nash qath’i baik kedudukannya maupun pengertiaannya, atau dibawa oleh hadits
mutawatir, seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, haramnya riba, dan sebagainya. Demikian pula
penentuan bilangan-bilangan tertentu dari syara’ yang dibawa oleh hadits mutawatir juga tidak menjadi obyek
ijtihad, seperti bilangan rakaat shalat, waktu-waktu shalat, cara-cara melakukan haji, dan sebagainya.

2.Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh sesuatu nash dan tidak pula diketahui dengan pasti dari agama,
melainkan telah disepakati (diijma’kan) oleh para mujtahidin dari suatu masa, seperti pemberian warisan
sebesar seperenam harta warisan untuk nenek perempuan dan tidak sahnya perkawinan yang dilakukan antara
muslimah dengan lelaki kafir.

Adapun ruang lingkup ijtihad adalah sebagai berikut:


1.Hukum yang dibawa oleh nash-nash yang zhanny, baik dari segi wurud-nya maupun dari segi pengertiannya
(dalalah) yaitu hadis ahad. Sasaran ijtihad ini adalah dari segi sanad dan penshahihannya serta hubungannya
dengan hukum yang akan dicari.
2.Hukum yang dibawa oleh nash qath’i, tetapi dalalahnya zhanny, maka obyek ijtihadnya hanya dari segi
dalalahnya saja.
3.Nash yang wurudnya zhanny, tetapi dalalahnya qath’i, maka obyek ijtihadnya adalah pada sanad, kesahihan
serta kesinambungannya.
4.Tidak ada nash dan ijma’, maka di sini ijtihadnya hanya dilakukan dengan segenap metode dan cara.

Ijitihad dalam ruang gerak dan jangkaunnya mengenai materi-materi hukum zhanniyat adalah sangat luas.
Dalam praktiknya dimungkinkan adanya lebih dari satu interpretasi. Karena itu, ia menampung terjadinya
perbedaan pendapat di kalangan mujtahid. Maka, dimungkinkan adanya variasi dalam pelaksanaan suatu
ketentuan hukum yang tidak bersifat qath’iyah.

Dibukanya pintu ijtihad dalam hukum Islam tidak berarti bahwa setiap oang bisa melakukan ijtihad, melainkan
orang yang memiliki syarat-syarat tertentu, baik yang berhubungan dengan kelengkapan diri mujtahid maupun
sikap ketika menghadapi nash-nash yang berlawanan. Syarat-syarat tersebut ialah:
1.Mengetahui bahasa Arab dengan segala seginya sehingga memungkinkan dia untuk menguasai pengertian
susunan kata-katanya karena obyek pertama bagi mujtahid ialah pemahaman terhadap nash-nasah Al-Quran
dan hadis yang berbahasa Arab.
2.Mengetahui Al-Quran dan hadis terlebih yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’.
3.Mengetahui segi-segi pemakaina qiyas, seperti illat dan hikmah penetapan hukum, di samping fakta-fakta yang
ada nashnya dan yang tidak ada nashnya.
4.Pandai menghadapi nash-nash yang berlawanan.
5.Mengetahui ilmu ushul fikih.

D. Jenis-Jenis Ijtihad

Di antara jenis-jenis ijtihad ialah:


1.Ijmak
Yaitu kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Muhammad, setelah beliau wafat, pada suatau masa atas
hukum suatau masalah.
2.Qiyâs
Di antara definisi qiyâs' (analogi) ialah:
a.Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara
keduanya.
b.Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.
c.Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Quran atau hadis dengan kasus baru
yang memiliki persamaan sebab (illat).
Untuk melakukan ijtihad diperlukan empat unsur yang dalam ushul fikih disebut rukun-rukun qiyas. Keempat
rukun tersebut ialah al-ashl (pokok), yaitu pokok yang telah disebutkan di dalam nash, yang menjadi pangkal
qiyas; al-far’ (cabang), yaitu hal yang dicari hukumnya, yang tidak disebut dalam nash; hukm al-ashl (hukum atas
pokok); dan ‘illat hukm al-ashl (sebab hukum atas pokok).

3.Istihsân
Di antara definisi istihsân ialah:
a.Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
b.Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya.
c.Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
d.Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
Misal, dalil khusus sunnah menentukan bahwa harta wakaf tidak boleh dipindahtangankan dengan cara dijual,
diwariskan atau dihibahkan. Jika suatu harta wakaf tidak memenuhi fungsi yang sesuai dengan tujuan wakaf,
maka ia boleh dipindahtangankan untuk memenuhi fungsi yang sesuai dengan tujuan wakaf dan sekaligus
menghindari larangan memubazirkan harta.
4.Mashalat murshalah
Yaitu tindakan memutuskan masalah yang tidak ada nashnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia
berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

Misal, mengenai mengharuskan agar pernikahan dicatat, tidak ada satu nash pun yang membenarkan dan
membatalkannya. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk melindungi hak masing-masing suami istri. Tanpa
pencatatan, negara tidak mempunyai dokumen otentik atas terjadinya perkawinan.

5. Sad Adz-Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.

6. Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.

7. Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama
kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsip dalam Al-Qur’an dan Hadis.

E. Pola-Pola Ijtihad dari Periode Klasik hingga Pertengahan

Periodisasi dalam pemikiran Islam terbagi menjadi empat periode. Pertama, periode Rasulullah yang
berlangsung hingga tahun 634 M. Kedua, periode klasik yang dimulai tahun 650 sampai 1000 M. Ketiga, periode
pertengahan yang dimulai tahun 1258 hingga 1800 M. Keempat, periode modern yang dimulai tahun 1800
hingga sekarang.

Periodisasi pemikiran Islam tersebut berbeda dengan periodisasi pemikiran Barat yang hanya terbagi menjadi
tiga periode. Pertama, periode klasik yang dimulai tahun 500 SM sampai 600 M. Kedua, periode pertengahan
yang dimulai tahun 600 M hingga 1500 M. Periode ini dikenal dengan The Dark Age (Abad Kegelapan) yang hal
ini jelas tidak ada dalam Islam. Ketiga, periode modern yang dimulai tahun 1550 M hingga sekarang.
Pola ijtihad yang akan ditulis di sini ialah pola-pola ijtihad pada periode klasik hingga pertengahan, yaitu sekitar
tahun 650 hingga 1800 M.

1.Ijtihad pada periode shahabat

Ijtihad pada periode klasik ini dimulai pada akhir periode shahabat (101 H) dan awal dari periode tabi’in dan
tabiut tabi’in (abad 11 H-pertengahan abad IV H). Mayoritas ulama berpendapat bahwa para shahabat telah
melakukan ijtihad pada waktu Rasulullah hidup. Walaupun, nantinya ijtihad shahabat tersebut harus
mendapatkan legitimasi dari Rasulullah.

Contohnya ialah yang dilakukan oleh Umar bin Khattab dan Ammar ketika berhadast besar dalam suatu
perjalanan. Keduanya tidak menemukan air, sementara waktu shalat sudah tiba.Lalu, Ammar melumuri
badannya dengan tanah sebagai ganti air untuk menghilangkan hadats besar. Adapun Umar bin Khatab ia
menunda shalatnya sampai ia memperoleh air karena menurutnya tayamum hanya digunakan untuk
menghilangkan hadas kecil.

Ketika kedua shahabat ini melaporkan apa yang telah mereka lakukan, Rasulullah mengatakan bahwa kedua
pendapat itu adalah keliru. Pendapat Ammar bertentangan dengan cara penggunaan tanah (tayamum) yang
disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 6, yaitu:
“….Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan
kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur.”

Rasulullah menjelaskan kepada Umar bahwa tayamum tidak hanya digunakan untuk menghilangkan hadats
kecil, tetapi juga dapat digunakan untuk menghilangkan hadats besar, sesuai dengan ayat di atas.

Singkatnya, ijtihad shahabat pada masa Rasulullah belum dapat dianggap sebagai alat penggali hukum karena
ketentuan akhir masih ada di tangan Rasulullah. Tetapi, setelah beliau wafat, ijtihad shahabat sudah dapat
dijadikan alat penggali hukum karena tidak lagi menunggu keputusan Rasulullah.

2. Ijtihad pada periode tabi’in dan tabi’ tabi’in (imam-imam mazhab)


Periode ini terjadi kurang lebih pada abad II H hingga pertengahan abad IV H. Setelah berakhir masa shahabat,
muncul masa tabi’in. Generasi tabi’in ini terdiri atas murid-murid para shahabat. Mereka mendasarkan pendapat
mereka kepada perndapat para shahabat. Secara garis besar, para tabi’in melakukan ijtihad dengan dua cara:

a.Mereka mengutamakan pendapat seorang shahabat dari pendapat shahabat yang lain, bahkan kadang
mengutamakan pendapat seorang tabi’in dari pendapat seorang shahabat. Hal itu jika pendapat yang
diutamakannya itu menurut ijtihadnya lebih dekat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
b.Mereka sendiri berijtihad. Bahkan menurut Ahmad Hasan bahwa pembentukan hukum Islam sesungguhnya
secara professional dimulai pada periode tabi’in ini.

Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin meningkat. Para sejarawan bahkan menyebutnya dengan
periode ijtihad dan masa keemasan fikih Islam. Setiap kota memiliki mujtahid yang menjadi panutan dan
memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah yang bersangkutan. Di Mekah muncul tokoh
seperti Atha ibnu Abi Rabah, di Madinah muncul Sa’id bin Musayyab, Urwah bin Zubair, di Bashrah muncul
Muslim bin Yasar, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain.

Golongan jumhur dalam menetapkan hukum terbagi atas dua golongan:


a.Ahlul Hadits
Golongan ini berkembang di Hijaz. Dalam menetapkan hukum golongan ini pertama-tama sangat terikat kepada
teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah. Jika dalam menetapkan suatu masalah tidak terdapat dalil dalam keduanya,
mereka berpaling kepada praktik dan pendapat shahabat. Mereka menggunakan ra’yu hanya dalam keadaaan
sangat terpaksa. Namun jika tidak didapatkan dalil dari ketiganya, mereka sepakat untuk menggunakan ijtihad
dengan metode dan proporsi yang berbeda. Tokoh-tokoh golongan ini yang terkenal ialah Sa’id bin Musayyab
kemudian diikuti oleh Al-Zuhry, Al-Tausry, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan Dawud Al-Zhawahiry.

b.Ahlul Ra’yi
Golongan ini berkembang di Kufah (Irak). Dalam menetapkan hukum, mazhab ini berlandaskan pada beberapa
asumsi dasar, antara lain:
1. Nash-nash syariah sifatnya terbatas, sedangkan peristiwa-peristiwa hukum selalu baru dan senantiasa
berkembang. Oleh karena itu, terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya, ijtihad didasarkan kepada
ra’yu, sebagaimana ucapan Mu’adz bin Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman.

2.Setiap hukum syara’ dikaitkan dengan illat tertentu dan ditujukan untuk tujuan tertentu. Tugas utama seorang
faqih ialah menemukan illat ini. Oleh karena itu, ijtihad merupakan upaya menghubungkan suatu kasus dengan
kasus lain karena illlatnya, atau membatalkan berlakunya satu hukum karena diduga tidak ada illatnya.
Dalam periode ini pula tampil tokoh-tokoh mujtahid yang paling berpengaruh dalam perkembangan fikih
selanjutnya. Mereka yang dikenal sebagai pendiri dan imam-imam mazhab ialah: Imam Abu Hanifah, Imam
Malik bin Anas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Keempat tokoh tersebut dikenal dengan sebutan A’immah Al-
Arba’ah (para imam yang empat) dari kalangan mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.

3. Ijtihad pada generasi setelah para imam mazhab


Periode ini terjadi pada pertengahan abad IV H- akhir abad XIII H. Pada periode ini ijtihad mengalami
kemunduran, bahkan bisa dikatakan menjadu beku. Dalam memecahkan masalah-masalah ijtihadiyah,
umumnya para mujtahid enggan mengistinbath hukum dengan secara langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan
Sunnah melalui metode ijtihad seperti yang dilakukan oleh mujtahid pendahulu mereka. Mereka lebih cenderung
untuk mencari dan menerapkan produk-produk ijtihad para mujtahid sebelumnya.

Para sejarawan menjuluki masa-masa kemunduran ijtitihad ini dengan periode taqlid dan pemutupan pintu
ijtihad. Hal itu karena paham dan sikap mengikuti pendapat-pendapat para ulama mujtahid sebelumnya
dianggap sebagai tindakan nyang tepat. Bahkan lebih dari itu, diberitakan bahwa sebagian fuqaha ada yang
merasa tidak keberatan dan seolah-olah merestui pintu ijtihad ditutup rapat.

Berdasarkan fakta sejarah, ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak awal Islam, yaitu pada masa shahabat dan
perkembangnannya bertambah pesat pada masa tabi’in serta generasi selanjutnya hingga kini. Dalam perjalanan
yang panjang tersebut, tentu perkembangannya mengalami pasang-surut dengan ciri khas masing-masing pada
setiap periode.

Para ulama telah menyusun seperangkat metodologi untuk menafsirkan ayat-ayat dan hadits dalam upaya lebih
mendekatkan pada maksud-maksud pensyariatan hukum di satu pihak dan mendekatkan hasil penalaan dengan
kenyataan yang ada di tengah masyarakat di pihak lain. Kerangka sistematis kaidah-kaidah tersebut, mula-mula
diperkenalkan oleh Imam Syafi’i (150-204 H). Secara umum metode penalaran tersebut dapat dibagi ke dalam
tiga pola, yaitu pola bayani (kajian semantik), pola ta’lili (penentuan illat), dan pola istislahi (pertimbangan
kemaslahatan berdasar nash umum).

1.Pola Bayani
Ke dalam pola pertama ini dimasukkan semua kegiatan yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (semantik):
kapan suatu lafal diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti dari lafal musytarak (anbigu), mana
lafal yang umum yang diterangkan (‘am mubayyan), dan mana pula yang khusus yang menerangkan, mana ayat
yang qath’i dan mana pula yang dzanny, kapan suatu perintah dianggap wajib dan kapan pula sunat, kapan
larangan itu haram dan kapan pula makruh, dan seterusnya.

Sebagai contoh di dalan hadis ada perintah untuk mempersaksikan nikah dan di dalam Al-Quran ada perintah
mempersaksikan ruju’ (At-Talaq: 2). Ulama memahami kesaksian nikah sebagai wajib sedang kesaksian ruju’
oleh sebagian ulama dianggap sunat. Ulama sepakat bahwa masa iddah perempuan yang telah digauli dan masih
kedatangan haid adalah tiga quru’. Adanya masa iddah ini dianggap qath’i. Akan tetapi terjadi perbedaan
pendapat tentang arti quru’ tersebut. Ada yang menyatakannya masa suci dan ada yang menyatakannya masa
haid. Pemilihan salah satu arti tersebut dianggap dzanny.

2. Pola Qiyasi (Ta’lili)


Ke dalam pola ini dimasukkan semua penalaran yang menjadikan illat (kaadaan atau sifat yang menjadi
tambatan hukum) sebagai titik tolaknya. Di sini dibahas cara-cara menemukan illat di dalam qiyas dan istihsan
serta pengubahan hukum itu sendiri sekiranya ditemukan illat baru (sebagai pengganti yang lama).

Sebagai contoh di dalam hadits ada perintah mengambil zakat hanya dari tiga jenis tanaman, yaitu gandum,
kurma (kering), dan anggur (kismis). Sebagian ulama kelompok zahiriyah memahami hadis ini melalui pola
bayani, hanya memegangi arti zahirnya. Jadi produk pertanian yang terkena zakat hanyalah ketiga jenis tanaman
tersebut.
Namun, sebagian besar ulama berupaya mencari illat dari jenis tanaman tersebut dan lantas memperluasnya
kepada tanaman lain yang mempunyai illat sejenis. Ada yang menyatakan, “mengenyangkan (makanan pokok)”,
ada yang menyatakan jenis biji-bijian, ada yang menyatakan ditanam bukan tumbuh sendiri, dan ada yang
menyatakan dibudidaya sebagai illatnya. Karena perbedaan ini terjadi perbedaan pendapat tentang zakat
cengkeh, kopi, sayuran, rotan, dan sebagainya. Ada yang menyatakan terkena zakat dan ada yang menyatakan
tidak, sesuai dengan illatnya yang dipilih tadi.

Biasanya pola ini digunakan apabila ada perasaan tidak puas dengan pola bayani. Mungkin untuk memperkuat
argumen, tetapi mungkin juga untuk mengalihkannya pada kesimpulan lain agar terasa lebih logis dan lebih
berhasil guna.

3. Pola Istislahi
Dalam pola ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan beberapa prinsisp umum yang digunakan
untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan
daruriyat (kebutuhan esensial), hajiyat (kebutuhan primer), dan tahsiniyat (kebutuhan kemewahan). Prinsip
umum ini didedukasikan kepada persoalan yang ingin diselesaikan.

Misalnya tranplantasi organ tubuh, bayi tabung, dan aturan lalu lintas kendaraan bermotor. Masalah-masalah ini
tidak mempunyai nash khusus sebagai rujukan. Karena itu untuk menentukan hukumnya, digunakan prinsip-
prinsip umum yang ditarik dari ayat-ayat, seperti: tidak boleh mencelakan diri sendiri dan orang lain, menolong
orang lain adalah kebajikan, dan lain-lain.

Melalui pendeduksian dan pertimbangan tingkatan keutamaan, para ulama menyimpulkan kebolehan sebagai
hukum dasar tranplantasi, boleh untuk bayi tabung sekiranya dilakukan oleh suami istri itu sendiri, sedang
pelanggran lalu lintas dianggap sebagai ta’zir.

Pola istislahi sesuai keadaannya, baru digunakan ketika tidak ada dalil khusus, hanya berhubungan dengan
persoalan-persoalan baru yang biasanya muncul karena penggunaan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Di dalam ushul fiqh, pola yang terakhir ini sangat sedikit mendapat perhatian.

Kesimpulan

Sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Allah. Dalam pandangan syariah semua orang wajib tunduk pada
hukum Allah yang berasal dari wahyu samawi. Jadi, perumusan hukum Islam tidak lain ialah usaha menemukan
kehendak Allah. Sumber untuk mengetahui kehendak Allah itu adalah Al-Quran dan Sunnah. Tujuan utama
kedua sumber ajaran itu adalah meletakkan sebuah way of life yang mengatur kehidupan manusia dalam
hubungan sesamanya dan dalam hubungan dengan Allah. Dengan demikian, adalah tugas kaum muslimin
melalui pemanfaatan akalnya untuk merealisasikan pedoman-pedoman pokok itu dalam wujud ketetapan-
ketetapan hukum dalam konteks yang berbeda-beda.

Kesimpulan dalam kajian ini ditemukan bahwa ijtihad pada periode klasik dilakukan melalui dua cara, yaitu
mengutamakan pendapat seorang shahabat dari pendapat shahabat yang lain, bahkan kadang mengutamakan
pendapat seorang tabi’in dari pendapat seorang shahabat, serta mereka sendiri berijtihad. Adapun cara yang
digunakan oleh mayoritas mujtahid pada periode berikutnya ialah melalui pendekatan yang mengedepankan teks
(ahlul hadits) dan logika (ahlur ra’yi).

Adapun pola ijtihad pada periode pertengahan tidak semaju pada periode berikutnya. Bahkan lebih cenderung
mundur dan hanya mengikuti hasil ijtihad para mujtahid sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai