Anda di halaman 1dari 11

PENGEMBANGAN KURIKULUM POLITEKNIK (TEORI DAN PRAKSIS)

Disusun oleh:
Ucu Marlina (1907483), dan Mega Cahya Pratiwi (1907051)

1. Pendahuluan

Kemunculan era revolusi industri 4.0 mendorong peningkatan kebutuhan tenaga kerja
profesional yang siap terjun di dunia industri dan wirausaha. Industri 4.0 adalah tren di dunia
industri yang menggabungkan teknologi otomatisasi dengan teknologi cyber. Revolusi
Industri 4.0 menerapkan konsep automatisasi yang dilakukan oleh mesin tanpa memerlukan
tenaga manusia dalam pengaplikasiannya. Hal tersebut mencakup sistem cyber-fisik, internet
of things (IoT), komputasi awan, dan komputasi kognitif. Singkatnya, revolusi 4.0
menanamkan teknologi cerdas yang dapat terhubung dengan berbagai bidang kehidupan
manusia [CITATION Tre18 \l 1057 ].

Menyikapi fenomena tersebut, masyarakat harus berusaha untuk terus-menerus


meningkatkan kemampuan belajar, keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan era industri
4.0, sehingga kita akan mempunyai daya saing yang lebih kuat. Tentu diperlukan dukungan
institusi-institusi pendidikan, baik yang bersifat formal ataupun non-formal. Dalam ranah
pendidikan non-formal, saat ini banyak terdapat kelas-kelas daring (dalam jaringan) yang
tersedia bagi masyarakat untuk mengasah keterampilan yang dibutuhkan. Sedangkan dalam
pendidikan formal, masyarakat dapat memperolehnya dengan mengikuti program pendidikan
vokasi.

Pendidikan vokasi mempunyai misi mempersiapkan generasi siap kerja dan


profesional. Dalam pendidikan vokasi terdapat dua bagian pendidikan, yakni pendidikan
menengah kejuruan dan pendidikan tinggi vokasi [ CITATION Feb18 \l 1057 ]. Pendidikan
tinggi vokasi menjadi alternatif pilihan para lulusan sekolah menengah untuk memperoleh
kompetensi praktis yang diperlukannya untuk bekal di dunia kerja, terutama bidang industri
dan wirausaha. Tidak hanya sebatas dapat bekerja, lulusan politeknik juga didorong agar
dapat menghasilkan produk berteknologi tinggi dengan nilai manfaat yang besar untuk
memecahkan berbagai permasalahan yang terjadi dimasyarakat.

Namun dari tahun ke tahun jumlah pengangguran dari angkatan kerja lulusan diploma
atau vokasi mengalami peningkatan. Data dari Badan Pusat Statistik mencatat per Februari
2015 angka pengangguran meningkat cukup banyak menjadi 254.312 orang. Sementara pada

1
Februari 2016, jumlahnya menurun sedikit menjadi 249.362 orang. Terakhir pada Februari
2017, angka penganggurangan hampir sama dengan tahun lalu namun cenderung naik sebesar
249.705. Salah satu faktor penyebab permasalahan ini adalah adanya kesenjangan antara
permintaan dan keterampilan yang dimiliki tenaga kerja. Tentu ini menjadi masalah serius
yang perlu diperhatikan oleh para perancang sistem pendidikan, terutama di Politeknik.
Mereka harus mampu mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulum yang relevan
dengan perkembangan IPTEK, kebutuhan masyarakat, dan kebutuhan dunia industri.

2. Kajian Teori

2.1 Konsep Kurikulum


Terdapat berbagai konsep dan definisi kurikulum yang dinyatakan oleh ahli dalam
literatur. Definisi kurikulum tradisional mengacu pada filsafat perenialisme yang mengartikan
kurikulum sebagai kumpulan berbagai mata pelajaran yang terorganisasi Berbeda dengan
filsafat perenialisme, pendekatan behaviorisme lebih menekankan pada perubahan sikap dan
perilaku peserta didik. Kurikulum menurut pandangan behaviorisme bersifat logis dan
berprinsip teknis dan saintifik sehingga kurikulum dibentuk dengan paradigma, model, dan
strategi secara bertahap (Ornstein & Hunkins, 2016). Pendekatan humanistik memandang
kurikulum dengan menitikberatkan pada pembelajaran secara kooperatif, belajar mandiri, dan
belajar dalam kelompok-kelompok kecil (Ornstein & Hunkins, 2016). Menurut Beauchamp
(1975) kurikulum dinyatakan sebagai rencana pembelajaran dan pedoman pelaksanaan
instruksional. Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kurikulum
adalah keseluruhan pengalaman yang dialami oleh peserta didik selama pembelajaran
berlangsung dalam kerangka pendidikan untuk mencapai tujuan-tujuan kurikulum baik umum
maupun khusus yang dikembangkan berdasarkan teori, penelitian, dan praktik pendidikan,
serta kebutuhan-kebutuhan masyarakat saat ini.

S. Hamid Hasan (1988) mengemukakan bahwa pada saat sekarang istilah kurikulum
memiliki empat dimensi pengertian, di mana satu dimensi dengan dimensi lainnya saling
berhubungan. Keempat dimensi kurikulum tersebut yaitu:

a. Kurikulum sebagai suatu ide/gagasan, yaitu bahwa kurikulum adalah sekumpulan ide
yang akan dijadikan pedoman dalam pengembangan kurikulum selanjutnya
b. Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis yang sebenamya merupakan perwujudan dari
kurikulum sebagai suatu ide, sebagai seperangkat rencana dan cara mengadmistrasikan

2
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan tertentu.
c. Kurikulum sebagai suatu kegiatan yang sering pula disebut dengan istilah kurikulum
sebagai suatu realita atau implementasi kurikulum. Secara teoretis dimensi kurikulum ini
adalah pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu rencana tertulis. Dimensi ini
memandang bahwa kurikulum merupakan segala aktifitas dari guru dan siswa dalam
proses pembelajaran di sekolah.
d. Kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekuensi dari kurikulum sebagai
suatu kegiatan. Dimensi ini memandang bahwa kurikulum sangat memperhatikan hasil
yang akan dicapai oleh siswa agar sesuai dengan apa yang telah direncanakan dan yang
menjadi tujuan dari kurikulum tersebut.

Pandangan atau anggapan yang sampai saat ini masih lazim dipakai dalam dunia
pendidikan dan persekolahan di negara kita, yaitu kurikulum sebagai suatu rencana tertulis
yang disusun guna memperlancar proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan rumusan
pengertian kurikulum seperti yang tertera dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional bahwa "kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu".

2.2 Pendidikan Tinggi Vokasi


Pada masa awalnya pendidikan tinggi vokasi dimaksudkan untuk menjembatani
(interface) Insinyur dan Operator. Pendidikan tinggi vokasi belum secara spesifik menjawab
tantangan bangsa yang berkembang saat ini. Perguruan tinggi penyelenggara pendidikan
tinggi vokasi dapat berbentuk universitas, institute, sekolah tinggi, politeknik, dan akademi.
Mandat dan tanggung jawab hak untuk menyelenggarakan program pendidikan sampai pada
jenjang S2 terapan dan S3 terapan bisa dilakukan oleh universitas, institute, sekolah tinggi,
politeknik.

Dengan hak dan kewajiban baru ini, pendidikan tinggi vokasi harus berkembang dari
institusi yang berperan pada penyiapan lulusan pada level 5 & 6 Kerangka Kuaifikasi
Nasional Indonesia (KKNI), menjadi institusi yang dapat menyelenggarakan program
pendidikan sampai level 9 KKNI. Hal ini bukan hanya akan mengubah perangkat

3
operasionalnya, namun secara mendasar juga akan mengubah Visi dan Misi dari pendidikan
tinggi vokasi secara keseluruhan.

Gambar 1. Rancangan Pendidikan Tinggi Vokasi

Ciri khas pendidikan tinggi vokasi memberikan kemampuan aplikatif dan kemampuan
inovatif. Pada titik puncaknya, baik pendidikan tinggi vokasi, profesi dan pendidikan
akademik memiliki derajat yang sama namun memiliki domain dan peran yang berbeda untuk
saling berkomplementer. Jenjang pendidikan vokasi pada program pendidikan Diploma 1
(D1), Diploma 2 (D2), Diploma 3 (D3) dan Diploma 4 (D4) merupakan program terminasi
sebagai satu program utuh, setiap jenjang diploma akan menghasilkan keahlian atau
kompetensi sesuai dengan level pada KKNI. Sedangkan jenjang pendidikan vokasi S2
terapan dan S3 terapan merupakan jenjang pendidikan setelah lulus Diploma 4 atau sarjana
(S1) terapan.

Tabel 1. Perbandingan tingkatan program pendidikan vokasi

Jumlah Jumlah
Syarat Kelulusan Gelar
SKS Semester
D1 32 SKS 2 Semester  Kerja praktek A.P
 Laporan karya ilmiah Ahli Pratama
D2 64 SKS 4 Semester  Kerja praktek A.Ma
 Laporan karya ilmiah Ahli Muda
D3 112 SKS 6 Semester  Kerja praktek A.Md
 Laporan karya ilmiah Ahli Madya
D4 144 SKS 8 Semester  Kerja praktek S.ST
 Laporan karya ilmiah Sarjana Sains Terapan
Sumber: youthmanual.com

Pendidikan vokasi adalah pendidikan yang dirancang untuk mengembangkan


keterampilan, kemampuan/kecakapan, pemahaman, sikap, kebiasaan-kebiasaan kerja, dan

4
apresiasi yang diperlukan oleh pekerja dalam mamasuki pekerjaan dan membuat kemajuan-
kemajuan dalam pekerjaan penuh makna dan produktif. Menurut Pavlova, tradisi dari
pendidikan vokasi adalah menyiapkan mahasiswa untuk bekerja (Sudira, 2011). Pendidikan
dan pelatihan vokasi adalah pendidikan yang menyiapkan terbentuknya keterampilan,
kecakapan, pengertian, perilaku, sikap, kebiasaan kerja, dan apresiasi terhadap pekerjaan-
pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia usaha/industri, diawasi oleh masyarakat
dan pemerintah atau dalam kontrak dengan lembaga serta berbasis produktif. Apresiasi
terhadap pekerjaan sebagai akibat dari adanya kesadaran bahwa orang hidup butuh bekerja
merupakan bagian pokok dari pendidikan vokasi. Pendidikan vokasi menjadi tanpa makna
jika masyarakat dan peserta didik kurang memiliki apresiasi terhadap pekerjaan-pekerjaan
dan kurang memiliki perhatian terhadap cara bekerja yang benar dan produktif sebagai
kebiasaan. Oleh karena itu, pendidikan vokasi membutuhkan partisipasi penuh dunia usaha
dan dunia industri termasuk masyarakat pengguna pendidikan vokasi.

Menurut Wardiman, pendidikan vokasi dikembangkan melihat adanya kebutuhan


masyarakat akan pekerjaan. Peserta didik membutuhkan program yang dapat memberikan
keterampilan, pengetahuan, sikap kerja, pengalaman, wawasan, dan jaringan yang dapat
membantu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pilihan kariernya (Sudira, 2011).

2.3 Politeknik
Universitas merupakan institusi pendidikan yang terdiri dari banyak fakultas dan
bersifat umum, sedangkan Politeknik lebih mengkhusus dan terpusat. Dari segi pembelajaran,
Universitas menyelenggarakan pendidikan dalam berbagai rumpun ilmu dan lebih banyak
mempelajari teori dibandingkan praktik lapangan. Politeknik merupakan salah satu jenis
perguruan tinggi di Indonesia yang dalam pembelajarannya lebih bersifat praktis. Politeknik
umumnya menyelenggarakan pendidikan vokasi yang ditujukan untuk mempersiapkan
lulusan yang siap kerja dengan berbagai keterampilan (skill).

Secara umum, perbandingan teori dan praktik dalam lingkup pendidikan di Politeknik
sekitar 30%:70%. Maka dari itu, lulusan Politeknik secara umum juga mampu
mengaplikasikan langsung setiap ilmu terapan yang diterima selama menempuh masa studi.
Ilmu terapan yang didapat kemudian juga ditunjang dengan penempatan kerja (program
magang) untuk makin mengasah keterampilan praktis di lingkup profesional.

5
Politeknik merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi dan
pendidikan profesi dalam berbagai bidang pengetahuan khusus. Politeknik biasa disamakan
dengan Institut Teknologi, karena hanya menyelenggarakan bidang atau disiplin ilmu teknik
(terapan). Sebagai contoh, Politeknik Elektronik Negeri Surabaya, yang mengadakan jurusan
di antaranya Teknik Mekanika dan Energi, Teknik Elektro, dan Teknik Infromatika dan
Komputer.

Berbeda dengan universitas, institut, dan sekolah tinggi, perguruan tinggi berbentuk
politeknik ini tidak menyelenggarakan program akademik (keilmuan) atau sarjana
bekelanjutan. Politeknik cenderung bertujuan untuk mencetak tenaga-tenaga yang siap kerja
sesuai keterampilan atau bidang yang diambilnya. Masa perkulihannya relatif singkat dan
lebih banyak praktek dibanding teori. Lulusan politeknik memiliki gelar atau level
pendidikan D-III dan D-IV atau biasa disebut dengan sarjana terapan.

2.4 Quadruple Helix


Quadruple Helix hadir sebagai salah satu pendekatan terkini yang digadang-gadang
bisa menjadi alternative dalam menyiapkan Indonesia 4.0. Secara sederhana, Quadruple
Helix bercerita soal kolaborasi aktif dan harmonis antara pemerintah, akademisi/peneliti,
industri/swasta, dan masyarakat/komunitas. Pendekatan ini menekankan pada bagaimana
semua pihak harus terlibat aktif dan sama-sama menjadi objek dan subjek dalam
pembangunan itu sendiri. Kebijakan dan pendanaan didatangkan oleh pemerintah, akademisi
menyiapkan teorema dan penelitian yang tepat guna terhadap suatu masalah, kemudian pihak
industri hadir dengan segenap teknologi serta kalangan professional yang dimilikinya, serta
masyarakat pun turun tangan sebagai kunci untuk mengembangkan wilayahnya (Fauzan,
2018).

Sinergitas antar sektor yang ada dalam konsep Quadruple Helix dalam penelitian
Porlezza & Colapinto (2012) menunjukkan penekanan hasil pada terjadinya proses inovasi
dari sudut pandang penerapan model Quadruple Helix. Penelitian Aziz et al. (2017) juga
menjelaskan keterkaitan antar sektor dalam model Quadruple Helix pada usaha kecil dan
menengah pada industri kreatif dalam pengelolaan inovasinya dengan mengidentifikasikan
kunci sukses yang dimilikinya. Dinyatakan dalam penelitian tersebut bahwa aspek penting
dalam memenangkan persaingand alam industri kreatif adalah kreatifitas sehingga kinerja
inovasi dapat etrsu ditingkatkan. Hudani & Dhewanto (2015) menjelaskan model Quadruple

6
Helix merupakan sebuah konsep kolaborasi antara perguruan tinggi, industri, pemerintah dan
masyarakat dimana masing-masing peran helix sama pentingnya untuk mendorong inovasi
dan kreatifitas.

Sebagai contoh, Quadruple Helix bisa dijumpai pada Bandung Creative City Forum.
Dibentuk pada akhir tahun 2008, hingga kini BCCF telah menjalankan beragam kolaborasi
dan karya yang luar biasa untuk pengembangan kota Bandung. BCCF secara aktif menjalin
titik temu dengan beragam elemen semisal United Nations Environment Programme (UNEP)
dan Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia untuk menyelenggarakan TUNZA
International Children and Youth Conference, membentuk Creative Entrepreneur Network
yang mewadahi wirausaha kreatif kota Bandung, menyelenggarakan Helar Fest yang berupa
festival kota yang fokus pada pameran potensi ekonomi kreatif dan sebagainya. Bahkan
BCCF pun menyediakan ruang public seperti Bandung Creative Hub serta Simpul Space II
sebagai tempat pameran, diskusi, workshop, pertemuan komunitas dan sebagainya.

2.5 Tahapan Pengembangan Kurikulum

2.4.1 Perancangan Kurikulum


Tahapan penyusunan kurikulum pada pendidikan akademik, vokasi, maupun profesi secara
prinsip tidak berbeda. Kekhasan kurikulum dari ketiga jenispendidikan tinggi tersebut terletak
pada substansi atau isi dari setiaptahapannya. Tahap penyusunan KPT mencakup :
1) Menentukan Profil Lulusan dan Capaian Pembelajaran (CP)
2) Memilih dan merangkai Bahan Kajian
3) Menyusun Mata Kuliah, Struktur Kurikulum, dan menentukan SKS
4) Menyusun Rencana Pembelajaran

7
Gambar 2. Diagram alir langkah penyusunann kurikulum

2.4.2 Tahap Perancangan Pembelajaran

Tahapan perancangan pembelajaran dilakukan secara sistematis, logis dan terukur agar
dapat menjamin tercapainya capaian pembelajaran lulusan (CPL). Adapun tahapan
perancangan pembelajaran tersebut dilakukan dalam tahapan sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi CPL yang dibebankan pada matakuliah;


2) Merumuskan capaian pembelajaran mata kuliah (CP-MK) yang bersifat spesifik terhadap
mata kuliah berdasarkan CPL yang dibebankan pada MK tersebut;
3) Merumuskan sub-CP-MK yang merupakan kemampuan akhir yang direncanakan pada
tiap tahap pembelajaran, dan dirumuskan berdasarkan CP-MK;
4) Analisis pembelajaran (analisis kemampuan tiap tahapan belajar);
5) Menentukan indikator dan kreteria pencapaian kemampuan akhir tiap tahapan belajar;
6) Mengembangkan instrumen penilaian pembelajaran berdasarkan indikator pencapaian
kemampuan akhir tiap tahapan belajar;
7) Memilih dan mengembangkan model/metoda/strategi pembelajaran;
8) Mengembangkan materi pembelajaran;
9) Mengembangkan dan melakukan dan evaluasi pembelajaran.

2.4.3 Tahap Evaluasi Program Pembelajaran

Pembelajaran dilaksanakan selama 18 minggu persemester, dijalankan dengan sistem paket.


Setiap mata kuliah dimonitor pelaksanaannya melalui kehadiran dosen mengajar dan
mahasiswa serta pencapaian materi yang diajarkan sesuai dengan silabus matakuliah. Setiap
mahasiswa yang mengikuti mata kuliah praktek dan praktikum dinilai berdasarkan
kompetensi yang dicapai melalui:
1) Kuliah: ujian tengah semester, ujian akhir semester dan tugas-tugas kuliah.
2) Praktek: tes tutorial, pre-test, post-test praktek dan laporan praktek.
3) Magang: pre-test magang, penilaian selama magang (external evaluator), laporan
magang dan presentasi hasil magang.
4) Tugas Akhir: penilaian proposal, proses tugas akhir, membuat laporan tugas akhir dan
presentasi tugas akhir.

8
5) Setiap akhir semester dilakukan evaluasi pelaksanaan perkuliahan oleh pengelola dengan
melibatkan evaluasi dari mahasiswa melalui kuestioner. Kinerja dosen dievaluasi
berdasarkan kuesioner ini.
Pelaksanaan proses pembelajaran vokasi dilakukan secara terintegrasi dan
menggunakan pendekatan sistem. Proses pembelajaran yang dilakukan dari mulai input,
proses, dan output.

Gambar 3. Pendekatan sistem dalam pembelajaran vokasi

Tahap evaluasi pembelajaran vokasi dilakukan untuk melihat ketercapaian dan


pelaksanaan program pembelajaran. Program Pembelajaran terkait dengan beberapa hal,
diantaranya:

1) Kebijakan Mutu Perguruan Tinggi


2) Penerapan Standar Nasional Pendidikan Tinggi
3) Evaluasi Program Pembelajaran, melihat dari berbagai aspek, yaitu proses pembelajaran,
sarana pra sarana, sumber daya manusia, biaya, dan lainnya
4) Evaluasi yang dilakukan secara internal dan eksternal. Secara internal dilakukan oleh
komponen dalam perguruan tinggi dan eksternal dilakukan dengan komponen luar
perguruan tinggi, termasuk ciri khas pendidikan vokasi, yaitu melibatkan industri dan
asosiasi
5) Proses umpan balik, perbaikan, dan peningkatan kualitas

3. Analisis

9
Lulusan Politeknik tidak hanya harus bisa membuat, merekayasa, mengelola produk
IPTEK, namun juga harus bisa mengembangkan secara kreatif sehingga produk IPTEK
menjadi lebih sempurna. Politeknik harus menghasilkan produk inovatif yang efisien, murah,
kuat dan aman serta siap masuk ke pasar, bukan hanya berperan dalam paparan konsep dan
produk berupa jurnal. Oleh karena itu, sebuah Politeknik tidak cukup hanya berkutat di
tingkat kesiapan teknologi saja, tetapi juga harus bergerak secara cepat mengembangkan
pasar, menyiapkan organisasi dan tata-kelola, memperluas jaringan pasar, jaringan inovasi
dan klaster industri, mengembangkan kerjasama, serta mempu mengelola manajemen resiko.
Bahkan kemampuan teknopreneurship juga menjadi faktor penting meningkatkan kapasitas
Politeknik.

Permasalahan yang dihadapi perguruan tinggi politeknik adalah kesenjangan antara


kompetensi lulusan dengan kebutuhan di lapangan. Untuk mengatasi hal ini, dalam
pengembangan kurikulum digunakan konsep quadruple helix yaitu melibatkan unsur
pemerintah, industri, dan asosiasi profesi. Bentuk nyata kegiatan tersebut adalah dengan
mengundang alumni yang sudah bekerja di perusahaan untuk memberikan masukan terkait
proses belajar dan mengajar. Sedangkan pihak industri memberikan masukan atas perubahan
sistem dan kemampuan apa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sumber daya
manusia di industri. Kemudian pemerintah (Dikti) memberikan pengarahan atas konsep
kurikulum berbasis KKNI.

Isi kurikulum politeknik harus relevan dengan globalisasi teknologi, ekonomi,


pembangunan sosial, pembangunan politik, budaya, dan belajar. Kurikulum juga mencakup
kearifan-kearifan lokal untuk memastikan relevansi dan keterlibatan masyarakat lokal.
Kurikulum politeknik berbasis masyarakat merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
relevan lokal di lapangan. Desain dan isi kurikulum diharapkan fleksibel dan mudah
beradaptasi dengan individual mahasiswa sebagai subyek pembelajaran, serta dapat
memenuhi kebutuhan perkembangan individu mahasiswa, memfasilitasi mereka belajar
mandiri dan aktualisasi diri, serta mengoptimalkan potensi mereka sebagai pemimpin dan
warga.

4. Kesimpulan

Kurikulum pendidikan vokasi dituntut harus selalu beradaptasi dengan kondisi,


perubahan, dan kebutuhan dunia kerja yang mengarah kepada industri berbasis pengetahuan.
Pendidikan vokasi membutuhkan partisipasi penuh dunia usaha dan dunia industri termasuk

10
masyarakat pengguna pendidikan vokasi. Pendidikan ini untuk mempersiapkan peserta didik
untuk memasuki lapangan kerja. Pendidikan vokasi dikembangkan melihat adanya kebutuhan
masyarakat akan pekerjaan. Peserta didik membutuhkan program yang dapat memberikan
keterampilan, pengetahuan, sikap kerja, pengalaman, wawasan, dan jaringan yang dapat
membantu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pilihan kariernya. Pendidikan vokasi
didasarkan kebutuhan dunia kerja. Penekanannya terletak pada penguasaan kompetensi yang
dibutuhkan oleh dunia kerja di masyarakat lingkungannya.

5. Daftar Pustaka

Febrian, R. (2018, July 24). Nasib Pendidikan Vokasi yang Masih Dipandang Sebelah Mata.
Diambil kembali dari Tirto.id: https://tirto.id/nasib-pendidikan-vokasi-yang-masih-
dipandang-sebelah-mata-cPGw

Handayani, T. (2015). Relevansi Lulusan Perguruan Tinggi di Indonesia dengan Kebutuhan


Tenaga Kerja di Era Global. Jurnal Kependudukan Indonesia, 53-64.

Kemenristekdikti. (2016). Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Vokasi. Jakarta: ada


Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan.

Ornstein, A. C., & Hunkins, F. P. (2017). Curriculum: Foundations, Principles, and Issues.
London: Pearson Education.

Sudira, Putu (2011). Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan dan Pelatihan Vokasi
Menyongsong Skill Masa Depan. Diambil kembali dari
http://staffnew.uny.ac.id/upload/131655274/penelitian/KURIKULUM-VET-SKIL-
MASA-DEPAN.pdf

Tresya, V. (2018, April 4). Revolusi Industri 4.0: Pengertian, Prinsip, dan Tantangan
Generasi Milenial. Diambil kembali dari maxmanroe.com:
https://www.maxmanroe.com/revolusi-industri-4-0.html#

11

Anda mungkin juga menyukai