Anda di halaman 1dari 7

Strategi pertumbuhan

Pertumbuhan (Growth Pole)

Pengembangan wilayah yang dijalankan melalui pendekatan

strategi pusat pertumbuhan sccara teoritis dilandasi olch konsep

kutub pertumbuhan yaitu, ditandai dengan adanya lokasi kutub-

kutub pertumbuhan ckonomi dalam suatu k.cteraturan ruang. Growth

pole atau kutub pertumbuhan pertama kali dikemukakan oleh

Francois Perroux (dalam Muta'ali 2014: 156) dengan tesisnya

sebagai herikut:

Pertumbuhan lidak akan terjadi di sembarang tempat dan

juga tidak terjadi sccara serentak, telapi pertumbuhan terjadi pada

titik-titik ataus kutub-kutub pertumbuhan dengan intensitas yang

berubah-ubah, lalu pertumbuhan itu menycbar sepanjang saluran

sini untuk mencarí yang baranekn ragam dan dengan penganuh yang dinamis terhadap

perekonomian wilayah.

Pengertian growth pole yang terkait dengan ruang sebagai

SAIatu kumpulan kekuntan ekonomi, yang didefinisikan oleh PerroOux

memiliki gaya tarik dan gaya tolak dalam suatu medan daya tarik

dan gaya dorong bersama dengan pusal-pusat lainnya. Pengertian ini

bermakana bahwa growth pole berperan memacu (menarik dan

mendorong) perkembangan ekonomi di wilayahnya. Perroux

menyatakan bahwa yang menjadi medan magnet merupakan

kegiatan industri yang manpu menjadi leading sectar

Pengembangan wilayah seperti ini secara nyata akan terlihat

dari perkembangan kota-kota schagai kutub pertumbuhan di suatu


wilayah yang membentuk suatu hierarki kota. Melalui hirarki kota

ini diharapkan dapat terjadi proses penycbaran kemajuan antar kota

di wilayah terscbut yang berlangsung dalam beberapa cara (Munir

dalam Lutfi 2014: 159) yaitu scbagai berikut:

1) Pcrluasan kegiatan ckonomi ke wilayah pasar yan baru yaitu

dari pusat terbesar kepada yang kecil.

2) Perpindahan kegiatan herupah rendah dari pusat yang hesar ke

pusal yang lebih kecil karcna meningkatnya upah di kota (pusat) yang lebih besar

3) Memberlkan alternatlf lokasi ynng lebih baik unnuk keglatan

Industri yang mempunyal wilayah pasac dan kebutuhan

prisarana yang berbeda sehingga operasinya lebih efisien.

4) Dorongan investasi dari wirausahawan yang disebarkan melaluli hirarki

Friedman (dalam Muta'ali, 2014: 159) memperkuat konsep

pusat pertumbuhan dengan mengemukakan konsep Center-

Periphery (pusar-pinggiran). Hubungan antara pusat dan pingiran

digambarkan dengan dua efek yaitu efek sebar (spread effect) dan

efek serap (backwash effect). Spread effect terjadi apabila ekspansi

kegiatan ekonomi pada Core (pusat) membutuhkan input bahan baku

dani daerah sekitarnya (mekanisme input-output). Sebaliknya

Backwash Effect terjadi jika industri populsif tertentu cenderung

hanya kan menarik modal dari dacrah sekitarmya sehingga output

kan Icbih tinggi.

Pusat pertumbuhan (growth pole) itu scndiri dapat diartikan

dalam dua cara yaitu sccarn fungsional dan gcografis. Pusat


pertumbuhan secara fungsional adalah sutu lokasi konsentris

kelompok usaha atau cabang cabang industri yang dinamis sehíngga

mampu menstimulasi kehidupan ckonomi baik ke dalam maupun ke

Juar (wilayah belakangnya). Pusat pertumbuhan seeara geografis

adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan

schingga menjadi pusat daya tank (pole of attraction), (Tarigan,2007: 162). Rasilitas yang dimnksaud
berlulnungan dengn daya tarik

austu wilayah merupakaun ketersedinan berbangni macam fasilitas

pelaynnan publik, haik pelayanan sosial muaupun ckonanni

Kemudahan sebagai daya tarik suatu wilayah erat knitannya dengan

aksesibilitas suatu wilayah.

b. Strategi Desentralisasi Teritorial

Pendekatan desentralisasi terotorial merupakan strategi

pembangunan dari bawah (developed from below) Pembangunan

dari bawah memperluas pengertian pembangunan tidak hanya

kemajuan ekonomi (pertumbuhan ekonomi semata) yang sentralistik

tetapi memberikan kesempatan bagi individu-individu, kelompok-

kelompok sosial dan organisasi masyarakat untuk memobilisasi

kemampuan dan sumberdaya lokal bagi kemajuannya. Pendekatan

ini menitikberatkan pada upaya untuk menciptakan dorongan bagi

pembangunan dinamis di wilayah-wilayah (perdesaan) yang relatif

terbelakang (Muta ali. 2014: 161)

c Strategi Agropolitan

Agropolitan merupakan pendekatan pengembangan wilayah

yang menitikberatkan pada upaya untuk menciptakan dorongan bagi

pembangunan dinamis di wilayah-wilayah perdesaan dan wilayah


yang relatil terhelakang. Dalam pendekatan agropolitan upaya untuk

mempercepat pembangunán di perdesaan dilakukan dengan memasukkan kegiatan non primer seperti
industri, perdagangan, jasa dan lain-lain yang menunjang sektor pertanian. Hal ini berrti bahwa

gropolitan adalah suatu wilayah yang struktur parekonomiannya

tidak hanya bertumpu poda sektoc pertanian. Setor pertanian yang

dikembangkan yakni sektor industri yang meminki inkages sccara

Iangsung, yaitu menghasilkan alat pertanian dan mengolah hasil

pertanian sccara agroindustri, (Muta'ali, 2014: 163-164)

d.

Strairgi Integrasi Spasial (Functional Spatial Integration)

Startegi integrasi spasial merupakan jalan tengah antara

pendekatan sentralisasi yang menckankan pertumbuhan pada

wilayah perkotaan dan desentralisasi yang menckankan penyebaran

investasi dan sumberdaya pembangunan pada kota-kota kecil dan

pedesaan. Pendekatannya adalah memacu perkembangan sektor

pertanian yang diintegrasikan dengan sektor industri pendukungnya

Berdasarkan asumsi tersebut, sasaran dari strategi mi adalah

meningkatkan produksi pertanian. memperluas lapangan kerja dan

meningkatkan pendapatan bagi scbagian besar penduduk terutama

penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dengan titik

perhatiannya aadalah pada wilayah pedesaan.

Rondinelli (dalam Mula ali. 2014

1651. mengkategorikan 7

(tujuh) keterkitan (spatial linkages), yaitu:

1.Keterkailan tisik (jaringan transortasi)


2.Keterkaitan ekonomi: kekrkaitan produksi kedepan ( forward linkages) dan ke belakang ( backward
linkages)

Keterkaitan pergerakan penduduk (inigrasi) dan tenaga kerja

4. Keterkaitan teknologi

5. Keterkaitan sosial

6.Keterkaitan pelayanan sosial

7.Keterkaitan administrasi, politik dan kelermbagam

c. Teori Lokasi

Lokasi menggambarkan posisi pada runag terscbut mengenai

keterkaitan antara kegiatan di suatu lokasi dengan berbagai kegiatan

Inin di lokasi lain Studi tentang lokasi adalah melihat kedekatan atau

jauhnya satu kegiatan dengan kegiatan lain dan menganalisis

dampak atas kegiatan karena lokasi yang berdckatan/herjauhan

tersebut (Tarigan, 2006: 78)

Tcori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata runag (spatial

order) terhadap berbagai kegiatan baik ckonomi maupun sosial

berdasarkan karakieristik potensi wilayah dan aspek geografis. Salah

satu hal yang banyak dibahas dalam teori lokasi adalah pengaruh

jarak terhadap intensitas orang bepergian dari satu lokasi ke lokasi

lainnya. Faktor penarik adanya intensitas interkasi terhadap suatu

wilayah ialah data tarik wilayah meliputi ketersediaan sarana

prasarana baik ckonomi maupun sosial serta tingkat aksesibilitas

wilayah (Tarigan, 2006:79)

Teori lokasi yang digunakan untuk pendistribusian ruang

dalam penelitian berdasarkan teori lokasi Von Thunen


1. Model Von Thunen

Johan Heinrich Von Thunen mengupas perbedaan lokasi

dari berbagai kegiatan perbedaan pertanian atas dasar perbedaan

sewa tanah (pertimbangan ckonomi). Von Thunen membuat

asumsi (Tarigan, 2006:93) scbagai berikut:

a)

Wilayah analisis bersifat terisolir (isolated statc) schingga

tidak terdapat pengaruh pasar dari kota lain.

b) Tipe permukiman adalah padat di

sat wilayah (pusat

pasar) dan kurang padat apabila menjauh dari pusat

wilayah.

c) Seluruh wilayah model memiliki iklim, tanah, topografi

d) Fasilitas pengangkutan adalah primitit (sesuai pada

zamannya) dan relatif seraga oim. Ongkos ditentukan leh

berat barang yang dibawa.

(a

Kecuali perbedaan jarak ke pasar. semua faktor alamiah

yang meimpengaruhi penggunaan lanah adalah seragam dan

konstan

Eerdasarkan sunsi di atas, Von Thunen menyinipulkan

ketertnubungan sewa tansh dengan jarak ke pasar. Sewa tanah

akan semakin mahal apabila tanah itu berada dekat dengan pusat

pasar dan akan semakin murah apabila berada jauh dari pusat

pasar. Pola keruangan yang dihasilkan oleh Model Von Thunen


sebagai berikut:

6 5 4 3 2 1P

Gambar 1. Pola Keruangan Model Von Thunen

Keterangan:

P : Pasar

Cincin 1 Pusat Industri/Kerajinan

Cincin 2 Pertanian intensif (produksi susu dan sayur mayur)

Cincin 3 : Wilayah hutan

Cincin 4 Pertanian ekstensif (dengan rotasi 6 atau 7 tahun)

Cincin 5 Wilayah peternakan

Cincin 6 Wilayah pembuangan sampah

Konsep Von Thunen bahwa sewa tanah sangat

mempengaruhi jenis kegiatan yang mengambil tempat pada

lokasi tertentu sampai saat ini masih herlaku dan hal ini

mendorong terjadinya konsentrasi kegiatan tertentu pada lokasi

tertentu. Model Von Thunen menggunakan asumsi sewa tanah

untuk produksi pertanian tetapi menurut beberapa ahli teori ini

masih sangat relevan untuk sewa tanah perkotaan saat ini

dengan menambah aspek tertentu, semisal kemudahan akses dan daya tarik suatu wilayah terhadap
yang lain (tarigan, 2006:95)

Anda mungkin juga menyukai