Anda di halaman 1dari 14

TEORI KERUCUT PERMINTAAN (AUGUST LOSCH)

August Losch telah mengetengahkan suatu model keseimbangan regional


spasial. Ia termasuk yang pertama menguraikan prinsip-prinsip dasar analisis
spasial dan menginterpretasikan ekonomi spasial dalam pasar persaingan
monopolistic. Teori Losch merupakan perluasan dari teori tempat sentral yang
diformulasikan oleh Crishtaller.
Dalam mengembangkan modelnya Losch menggunakan beberapa asumsi,
yaitu sebagai berikut:
a. Tidak terdapat variasi dalam biaya dan tidak ada perbedaan spasial dalam
sumber daya, termasuk tenaga kerja dan modal di seluruh wilayah
(wilayah di anggap homogin). Berdasarkan anggapan ini, maka lokasi
perusahaan dapat ditempatkan dimana saja,
b. Penduduk tersebar merata, kepadatan dianggap uniform, cita rasa konstan,
dan perbedaan pendapatan diabaikan. Berdasarkan asumsi ini dapat
dijelaskan bahwa permintaan mempunyai korelasi negative terhadap jarak
secara langsung, hal ini berarti semakin jauh jaraknya dari lokasi parbik,
maka jumlah permintaan menjadi semakin berkurang.
c. Wilayah pasar dan permintaan terhadap barang-barang hasil suatu
perusahaan tidak di pengaruhi oleh lokasi perusahaan-perusahaan
saingannya. Anggapan ini diinterpretasikan bahwa untuk suatu industri
baru atau sebuah perusahaan yang ditempatkan di daerah non industri
tidak menimbulkan kesulitan, akan tetapi hal ini tidak relevan bagi
perusahaan yang menempatkan lokasinya di daerah indutri yang sudah
sangat maju, dimana lokasi dan kegiatan perusahaan yang sudah ada
sangat berpengaruh.

Menurut Losch terdapat tiga jenis wilayah ekonomi, yaitu wilayah pasar
sederhana, jaringan wilayah pasar dan sitem wilayah pasar. Wilayah pasar
individual tersebut nampaknya sangat sederhana dan sangat tergantung pada
perdagangan, sedangkan system wilayah pasar sangat kompelks, walapun
merupakan bentuk ideal yang menekankan pada swasembada, akan tetapi sulit
dijumpai dalam kenyataan. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak komoditas
diproduksikan dan di perdagangkan mencapai diluar lingkup system, maka
terjadilah wilayah-wilayah yang saling tumpah tindih. Wilayah ekonomi lebih
mencerminkan peristiwa-peristiwa yang berlangsung seperti apa adanya dari pada
sekedar pembagian alamiah wilayah-wilayah suatu negara.
Antara wilayah sederhana dan sistem regional lengkap terdapat jaringan
trayek transpor menghubungkan kota-kota dalam pengertian pusat sentral.
Walaupun jaringan dan daerah-daerah produksi dan konsumsi sudah nyata, akan
tetapi perlu dibedakan dengan sistem wilayah. Sistem wilayah merupakan
kesatuan dari banyak wilayah, merupakan suatu organisme dari pada sebagai
suatu organ.
Walaupun teori Losch dalam beberapa segi tidak memuaskan, akan tetapi
Losch telah merintis analisis tata ruang, oleh karena itu tidak dapat disangkal
bahwa tidak ada ahli-ahli teori lokasi dan ahli-ahli Ekonomi Regional melalaikan
hasil pekerjaan Losch.
Sumbangan teori Losch dalam pengembangan wilayah dapat disebutkan
yaitu wilayah-wilayah yang membentuk sistem jaringan wilayah pasar
diasosiasikan sebagai wilayah ekonomi, pusat-pusat wilayah pasar yang
mempunyai kedudukan sebagai unit-unit produksi dapat diinterpretasikan sebagai
pusat-pusat urban dan perumusan tentang hirarki dan hubungan fungsional antar
pusat-pusat urban.

5. TEORI KUTUB PERTUMBUHAN (FRANCOIS PERROUX)

Menurut Perroux, pertumbuhan ataupun pembangunan tidak dilakukan di


seluruh tata ruang, tetapi terbatas pada beberapa tempat atau lokasi tertentu. Tata
ruang diindetifikasikannnya sebagai arena atau medan kekuatan yang didalamnya
terdapat kutub-kutub atau pusat-pusat. Setiap kutub mempunyai kekuatan
pancaran pengembangan keluar dan kekuatan tarikan ke dalam. Teori ini
menjelaskan tentang pertumbuhan ekonomi dan khususnya mengenai perusahaan-
perusahaan dan industri-industri serta saling ketergantungannya, dan bukan
mengenai pola geografis dan pergeseran industri baik secara intra maupun secara
inter, pada dasarnya konsep kutub pertumbuhan mempunyai pengertian tata ruang
ekonomi secara abstrak.
Perroux menekankan pada dinamisme industri-industri dan aglomerasi
industri-industri dibagian-bagian tata ruang geografis. Konsep kutub pertumbuhan
dapat digunakan sebagai alat untuk mengamati gejala-gejala pembangunan, proses
kegiatan-kegiatan ekonomi, timbul dan berkembangnya industri-industri
pendorong serta peranan keuntungan-keuntungan aglomerasi. Secara esensial teori
kutub pertumbuhan dikategorisasikan sebagai teori dinamis. Proses pertumbuhan
digambarkan sebagian keadaan yang tidak seimbang karena adanya kesuksesan
atau keberhasilan kutub-kutub dinamis. Inti pokok dari pertumbuhan wilayah
terletak pada inovasi-inovasi yang terjadi pada perusahaan-perusahaan atau
industri-industri berskala besar dan terdapatnya ketergantungan antar perusahaan
atau industri.
Tiga ciri penting dari konsep pertumbuhan dapat dikemukakan, yaitu:
a. Terdapat keterkaitan internal antara berbagai industri secara teknik dan
ekonomi,
b. Terdapat pengaruh multiplier,
c. Terdapat konsentrasi geografis.
Di sekitar kutub geografis, pertumbuhan industri-industri yang menonjol
dan kegiatan-kegiatan yang mempunyai keterkaitan dengan industri-industri
tersebut lebih pesat dari pada di lokasi-lokasi lainnya, dan selanjutnya dari kutub
tersebut manfaatnya akan menyebar ke seluruh pelosok wilayah.

6. TEORI KUTUB PEMBANGUNAN YANG TERLOKALISASIKAN


(BOUDEVILLE)

Teori Boudeville berusaha menjelaskan mengenai impak pembangunan dari


adanya kutub-kutub pembangunan yang terlokalisasikan pada tata ruang
geografis, sedangkan teori lokasi berusaha untuk menerangkan dimana kutub-
kutub pembagunan fungsional berada atau dimana kutub-kutub dilokalisasikan
pada waktu yang akan dating. Jadi untuk menjelaskan persoalan-persoalan kutub
pembangunan harus ditunjang oleh teori-teori lokasi. Di antara teori lokasi, teori
tempat sentral di anggap sebagai teori global yang menjelaskan mengenai
ketergantungan di antara kegiatan-kegiatan jasa sebagai akibat dari adanya
pembagian kerja sacara spatial.
Teori Boudeville merupakan alat yang ampuh untuk menjelaskan tidak hanya
mengenai pengelompokan geografis semata-mata, akan tetapi juga mengenai
peristiwa-peristiwa geografis dan transmisi pembangunan di antara
pengelompokan-pengelompokan yang bersangkutan.
Dalam aplikasi teori dan konsep kutub pertumbuhan dalam konteks geografis dan
regional, nampaknya pendapat Boudeville dan konsep Perroux tidak searah.
Perroux menganggap tata ruang secara abstrak, yang menekankan karakteristik-
karakteristik regional tata ruang ekonomi. Menurut Boudeville, tata ruang
ekonomi tidak dapat dipisahkan dari tata ruang geografis, dalam mengembangkan
pemikirannya lebih lanjut, Boudeville menekankan pada tata ruang polarisasi.
Tata ruang polarisasi dikaji dalam pengertian ketergantungan antara berbagai
elemen yang terdapat didalamnya. Konsep ini erat berkaitan dengan pengertian
hirarki, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan untuk studi pusat-
pusat kota dan saling ketergantungannya.
Implikasi penting dari hubungan antara teori Boudeville dan teori tempat sentral
dalam konteks perencanaan dan pengawasan pembangunan yang dihadapi oleh
banyak negara dan dapat dikemukakan dua persoalan yang relevan yaitu: (1)
bagaimana merintis proses pembangunan di wilayah-wilayah yang terbelakang
secara terus menerus, dan (2) bagaimana mengarahkan proses urbanisasi
sedemikian rupa dapat diciptakan distribusi pusat-pusat kota secara geografis
yang mampu mendorong pembangunan selanjutnya.
Persoalan pertama merupakan salah satu usaha mengarahkan pengaruh-pengaruh
pembangunan dari instalasi-instalasi yang didirikan pada unit-unit diwilayah
terbelakang tersebut ketempat tertentu disekitarnya.
Persoalan kedua pada dasarnya merupakan usaha pemilihan lokasi yang tepat atau
cocok untuk pendirian perusahaan-perusaan industri dan jasa. Lokasi-lokasi
tersebut merupakan bagian-bagian dari kurub-kutub pembangunan.

7. DAMPAK TETESAN KEBAWAH DAN POLARISASI


(HIRSCHMAN)

Albert O. Hirschman (1958) adalah seorang penganjur teori pertumbuhan tidak


seimbang (unbalanced growth). Secara geografis, pertumbuhan ekonomi pasti
tidak seimbang. Dalam proses pertumbuhan tidak seimbang selalu dapat dilihat
bahwa kemajuan di suatu tempat (titik) menimbulkan tekanan-tekanan,
ketegangan-ketegangan, dan dorongan-dorongan kea rah perkembangan pada
tempat-tempat (titik-titik) berikutnya. Hirschman menyadari bahwa fungsi-fungsi
ekonomi berbeda tingkat intesitasnya pada tempat-tempat originalnya sebelum
disebarkan ke berbagai tempat lainnya. Ia menggunakan istilah titik pertumbuhan
(growing point) atua pusat pertumbuhan (growing center) dan bukan kutub
pertumbuhan (growth pole) seperti yang dipakai oleh Perroux dan ahli-ahli
Perancis lainnya.
Di suatu negara terdapat beberapa titik pertumbuhan, dimana industri-industri
berkelompok di tempat-tempat itu karena diperolehnya berbagai manfaat dalam
bentuk penghematan-penghematan dan kemudahan-kemudahan. Kesempatan-
kesempatan investasi, lapangan kerja, dan upah buruh yang relative tinggi, lebih
banyak terdapat di pusat-pusat pertumbuhan dari pada di daerah-daerah belakang.
Antara pusat dan daerah belakang terdapat ketergantungan dalam suplai barang
dan tenaga kerja. Pengaruh polarisasi yang paling hebat adalah migrasi penduduk
ke kota-kota besar (urbanisasi) akan dapat mengabsorsikan tenaga kerja yang
terampil dan dilain pihak akan mengurangi pengangguran tidak kentara di daerah
belakang. Hal ini tergantung pada tingkat komplementaritas antara dua tempat
tersebut.
Jika komplementaritas kuat akan terjadi proses penyebaran pembangunan ke
daerah-daerah belakang (trickling down effect), dan sebaliknya jika
komplementaritas lemah akan terjadi dampak polarisasi (polarization effect). Jika
polarisasi lebih kuat dari dampak penyebaran pembangunan maka akan timbul
masyarakat dualistik yaitu selain memiliki ciri-ciri daerah perkotaan modern juga
memiliki ciri-ciri daerah pedesaan terbelakang. Walaupun terlihat suatu
kecendrungan yang suram, namun Hircsman optimis dan percaya bahwa pada
akhirnya pengaruh tricking down akan mengatasi pengaruh polarisasi. Misalnya,
jika daerah perkotaan harus mendorong perkembangan daerah pedesaan, tetapi
apa yang terjadi mungkin tidak selancar seperti itu. Pada khususnya ada
kemungkinan besar bahwa elastisitas penawaran jangka pendek di daerah
pedesaan adalah sedemikian rendahnya sehingga dasar pertukaran ankan berubah
merugikan daerah perkotaan. Dalam jangka panjang penghematan-penghematan
eksternal dan tersedianya komplementaris di pusat-pusat akan menjamin
penyebaran pembangunan ke daerah-daerah di sekitarnya.

8. DAMPAK PENYEBARAN DAN PENGURASAN (MYRDAL)

Myrdal menggunakan istilah backwash effect dan spread effect yang artinya persis
serupa dengan dampak polarisasi dan dampak trickling-down. Namun demikian,
dalam hal penekanan pembahasan dan kesimpulan-kesimpulan tedapat perbedaan
yang cukup besar.
Analisis Myrdal memberikan kesan yang persimistis, ia berpendapat bahwa
polarisasi akan muncul lebih kuat dari penyebaran pembangunan, perpindahan
faktor-faktor produksi akan menumpuk di daerah-daerah perkotaan yang
memberikan manfaat-manfaat kepadanya, dan sebaliknya di daerah-daerah
pedesaan yang tidak menguntungkan akan menipis. Pesimisme tersebut dapat
dimaklumi karena Myrdal tidak memaklumi bahwa timbulnya titik-titik
pertumbuhan adalah suatu hal yang tidak terelakkan dan merupakan syarat bagi
perkembangan selanjutnya di mana-mana. Selain dari pada itu pusat pemikiran
Myrdal pada mekanisme kausasi kumulatif menyebabkan ia tidak dapat melihat
dengan jelas timbulnya kekuatan-kekuatan yang menimbulkan suatu titik balik
apabila perkembangan kearah polarisasi di suatu wilayah sudah berlangsung
untuk beberapa waktu. Kausasi sirkuler kumulatif selalu menghasilkan
penyebaran pembangunan yang lemah dan ketidakmerataan, atau dapat dikatakan
bahwa migrasi akan memperbesar ketimpangan regional.
Berdasarkan pada perbedaan pandangan di atas, maka kebijaksanaan perspektif
yang di anjurkan oleh Hirschman dan Myrdal berbeda pula. Hirschman
menyarankan agar membentuk lebih banyak titik-titik pertumbuhan supaya dapat
menciptakan pengaruh-pengaruh penyebaran pembangunan yang efektif,
sedangkan Myrdal menekankan pada langkah-langkah kebijaksanaan untuk
melemahkan backwash effects dan memperkuat speread effects agar proses
kausasi sirkuler kumulatif mengarah keatas, dengan demikian semakin
memperkecil ketimpangan regional.

9. TEORI MASUKAN TRANSPOR (WALTER ISARD)

Model Isard lebih fleksibel karena analisisnya dianggap dapat mengakomodasikan


struktur biaya transport secara lebih realistik. Konsep dasar yang digunakan dalam
analisis Isard adalah masuka transport (transport input). Masukan transport
diartikan sebagai perpindahan suatu berat unit atas jarak unit. Berat unit
dilukiskan sebagai garis transformasi (transformation line). Jarak unit lukiskan
sebagai garis perbandingan harga (Price ratio line) atau perbandingan transport
relative (relative transpor ratio). Jadi masukan transport dapat dinyatakan dalam
ton-mil. Masukan transport berkaitan dengan besarya usaha (man-hours) untuk
melakukan perpindahan melalui tata ruang. Dalam kenyataan terdapat perbedaan
biaya transport karena perbedaan panjang dan karakteristik jarak yang ditempuh,
tipe atau jenis komoditas yang diangkut, tingkat persaingan dalam sektor transpor,
topografi wilayah di atas mana muatan tersebut diangkut dan sebagainya.
Sumbangan pemikiran Isard lainnya adalah ia telah mengintroduksikan analisi
kompleks industri (industrial complex). Suatu kompleks industri didefinisikan
sebagai suatu perangkat kegiatan-kegiatan pada suatu lokasi spesifik yang
mempunyai saling keterhubungan secara teknis dan produksi. industri-industri
dapat bekerja sama secara optimal bila berkelompok bersama-sama secara tata
ruang dari pada mereka melayani sendiri perdagangan yang meliputi daerah yang
luas.
Meskipun suatu kompleks industri tidak mempunyai suatu industri pendorong
seperti dinyatakan dalam teori kutub pertumbuhan, akan tetapi kompleks industri
memberikan perhatian sama pentingnya pada keuntungan-keuntungan aglomerasi
atau konsentrasi tersebut akan menimbulkan keuntungan-keuntungan, yaitu
penghematan skala, penghematan lokalisasi, dan penghematan aglomerasi.

10. MODEL DAN TEORI HOOVER

E.M. Hoover (1948) menekankan pula pentingnya peranan biaya transport dalam
pemilihan lokasi indutri. Hoover membedakan biaya transport yaitu biaya
transport bahan baku yang selanjutnya disebut procurement cost dan biaya
transport produk akhir yang disebut sebagai distribution cost. Jumlah procurement
cost ditambah distribution cost sama dengan total transfer cost. Disamping itu
Hoover mengintroduksikan modelnya tentang korelasi tingkat biaya transport dan
jarak yang ditempuh menurut bebarapa moda (sarana) transport truk, kereta api
dan kapal laut (lihat gambar 10.1).
Kereta Api
Truk

Kapal Laut

Gambar 10.1 Tingkat Biaya Transport Menurut Beberapa Moda Transport

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa tingkat biaya transport untuk sarana truk
(angkutan jalan raya) menunjukkan bahwa untuk jarak pendek, tingkat biaya
traspornya adalah terendah tetapi untuk jaraj jauh adalah tertinggi dibandingkan
dengan kedua jenis sarana transport lainnya yaitu kapal laut dan kereta api.
Sedangkan tingkat biaya transport untuk jarak dekat tetapi rendah untuk jarak jauh
dibandingkan sarana transport truk dan kereta api.
Selanjutnya mengenai pemilihan lokasi industri, Hoover membedakan antara
transportasi bahan baku dan produk akhir yang yang dilakukan oleh (i) satu jenis
sarana angkutan dan (ii) yang dilakukan oleh lebih dari satu jenis sarana angkutan.
Jika bahan baku dan produk akhir di angkut oleh satu jenis sarana angkutan
(misalnya truk) maka lokasi industri optimum yang menguntungkan berada di
sumber bahan baku atau mendekati pasar.
Jika bahan baku dan produk akhir diangkut oleh lebih dari satu jenis sarana
angkutan (misaklnya truk dan kapal laut), maka maka lokasi industri optimum
yang menguntungkan terletak pada lokasi di antara sumber bahan baku dan pasar
yaitu pada titik pindah muat atau transshipment point. Lokasi pada sumber bahan
baku dan lokasi pasar ternyata kurang menguntungkan. Pada umumnya titik
pindah muat itu merupakan pusat-pusat jasa distribusi yang berbentuk kota-kota
besar yang merupakan pusat perdagangan dimana terdapat fasilitas angkutan jalan
raya yang menghubungkan ke/dari daerah belakangnya (hinterland) dan memiliki
pula fasilitas transportasi laut yang menghubungkan ke pelabuhan-pelabuhan yang
terletak di lain daerah.
Pemilihan lokasi yang menguntungkan di titik pindah muat ataupun mendekati
pasar (konsumen) akan mendorong berkelompoknya industri dan berbagai
kegiatan usaha di daerah-daerah perkotaan atau pusat-pusat jasa distribusi atau
simpul-simpul jasa distribusi (menurut istilah Poernomosidi Hadjisarosa yang
mengintroduksikan teori simpul jasa distribusi) akan menikmati berbagai
kemudahan yang diartikan sebagai kesempatan untuk memenuhi berbagai
kebutuhan untuk melakukan kegiatan usaha. Semakin tinggi tingkat kemudahan
pada suatu tempat, berarti semakin kuat daya tariknya mengundang berbagai
kegiatan industri untuk datang ke tempat tersebut, atau terjadi kecenderungan
aglomerasi (istilah Weber).
11. TEORI DAERAH/WILAYAH INTI (JOHN FRIEDMANN)
John Friedmann (1964) menganilisis aspek-aspek tata ruang, lokasi, serta
persoalan-persoalan kebijaksanaan dan perencanaan pengembangan wilayah
dalam ruang lingkup yang lebih general, Friedmann menampilkan teori daerah inti
yang berjudul “A General Theory of Polarized Development”, dalam N.M. Hasen
(ed), 1972, h. 83-101.

Di sekitar daerah inti terdapat daerah-daerah pinggiran


atau periphery regions. Daerah-daerah pinggiran seringkali disebut pula daerah-
daerah pedalaman atau daerah-daerah di sekitarnya, dilihat di gambar 10.1.

Daerah Inti

Gambar 10.1 Daerah Inti dan Daerah Pinggiran


Sehubungan dengan peranan daerah inti dalam pembangunan spasia, Friedmann
mengemukakan lima buah preposisi utama, yaitu sebagai berikut:
a. Daerah inti mengatur keterhubungan dan ketergantungan daerah-daerah
disekitarnya melalui system suplai, pasar dan daerah administrasi,
b. Daerah inti meneruskan secara sistematis dorongan-dorongan inovasi ke
daerah-daerah di sekitarnya yang terletak dalam wilayah pengaruhnya,
c. Sampai pada suatu titik tertentu pertumbuhan daerah inti cenderung
mempunyai pengaruh positif dalm proses pembangunan system spasial.
d. Dalam suatu system spasial, hararki daerah-daerah inti ditetapkan berdasar
pada kedudukan fungsionalnya masing-masing meliputi karakteristik-
karakteristiknya secara terperinci dan prestasinya,
e. Kemungkinan inovasi akan ditingkatkan ke seluruh daerah system spasial
dengan cara mengembangkan pertukaran informasi.

12. TEORI SIMPUL JASA DISTRIBUSI MENGGUNAKAN


PENDEKATAN ARUS BARANG (POERNOMOSIDI HADJISAROSA)

Teori simpul jasa distribusi berpijak pada hasil pengenalan atas faktor penentu
lokasi “kemudahan”. Dalam pengertian ini kemudahan menempati kedudukan
yang sentral karena:
a. Merupakan sumber dorongan bagi pengembangan kegiatan usaha yang
bersifat multi sektoral.
b. Disamping memberikan arti pada pendapatan dianggap pula sebagai sumver
ransangang bagi tumbuhnya dinamika masyarakat yang memungkinkan
terwujudnya daya pengembangan wilayah yang universal sifatnya.

Poernomosidi menjelaskan konsepsinya sebagai berikut : berkembangnya wilayah


ditandai oleh terjadinya pertumbuhan atau perkembangan sebagai akibat
berlansungnya berbagai kegiatan usaha, baik sektor pemerintah maupun sektor
swasta, yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan.
Simpul jasa distribusi dinyatakan sebagai titik tumpu bagi tumbuh dan
berkembangnya kota, menurut pertimbangan ekonomis atau dengan kata lain, kota
mempunyai fungsi ekonomi dalam perannya sebagai simpul jasa distribusi.
Sebagai pusat perdagangan, maka harga-harga yang berlaku pada simpul (kota)
merupakan ukuran harga pasar dari barang-barang yang dhasilkan oleh kegiatan
usaha prosuksi yang berada di sekitarnya. Sebaliknya dapat dikatakan, bahwa
kegiatan usaha prosuksi berusaha untuk dapat mencapai tingkat harga pasar yang
berlaku pada simpul (kota).
Dalam usahanya untuk mencapai tingkat harga pasar yang berlaku pada simpul
(kota) kegiatan usaha produksi memperhitungkan besarnya biaya angkutan yang
perlu ditutupnya. Untuk suatu jenis barang berlaku harga produksi minimum,
sehingga untuk suatu tingkat harga pada pasar pada simpul (kota) berlaku pula
suatu batas wilayah, yang menggambarkan apa yang disebut wilayah pengaruh
simpul (kota).

13. TEORI SIMPUL JASA DISTRIBUSI MENGGUNAKAN


PENDEKATAN ORIENTASI PEDAGANG (RAHARDJO ADISASMITA)

Salah satu fenomena ekonomi wilayah adalah masalah “simpul” yang rumit, tetapi
mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Banyak ahli ekonomi regional
menghindarkan diri untuk mengupasnya (H.W. Richardson, 1972, 223), tetapi
justru Poernomosidi dan Rahardjo Adisasmita tertarik dan berminat mengkajinya.
Dalam pembahasan sebelumnya dikemukakan bahwa Poernomosidi Hadjisarosa
telah memformulasikan teori “simpul jasa distribusi” menggunakan pendekatan
arus barang. Arus barang merupakan salah satu gejala ekonoi yang paling
menonjol, arus barang didukung oleh jasa distribusi yaitu perdagangan dan jasa
angkutan. Tingkat kepadatan arus barang dapat digunakan untuk mengetahui
tingkat interaksi antara simpul (jasa distribusi) besar dengan simpul-simpul kecil
dan daerah-daerah lainnya yang berada dalam wilayah pengaruhnya, hal ini
meripakan unsur yang penting dalam konsepsi Poernomosidi. Meskipun teori
simpul jasa distribusi memiliki beberapa kelebihan di bandingkan dengan teori-
teori lokasi dan pengembangan wilayah sebelumnya, namun masih terdapat
peluang untuk melengkapi dan memperkuat teori simpul jasa distribusi yaitu dari
pendekatan yang digunakan.
Pembahasan teori simpul dengan menggunakan arus barang sebagai variable
ternyata belum sampai menjangkau pengenalan gejala karakteristik simpul sampai
dengan tingkat efisiensi masing-masing simpul. Jika ditinjau dari proses
distribusi, maka arus barang hanyalah berstatus sebagai produk. Segala
pertimbangan, baik yang menyangkut jenis, asal dan tujuan maupun jumlah dan
harga barang, terjadi pada proses distribusinya. Bahkan, dalam rangka proses
distribusi itu sendiri, angkutan barang telah dapat dikategorikan pada tingkat
pelaksanaan suatu keputusan. Pengambilan keputusan, dengan segala
peetimbangannya, telah berlansung pada kegiatan perdagangan. Oleh karena itu,
dalam rangka upaya melengkapi serta memperkuat teori “simpul jasa distribusi”
pengkajian Rahardjo Adisasmita dilakukan melalui jalur perdagangan yakni
dengan mendekati para pedagang guna memperoleh data primer terutama yang
berkaitan dengan “orientasi” pedagang. Hingga terjadinya arus barang, segala
pertimbangan berada di tangan kaum pedagang.
Setelah dapat mengenai gejala karakterisitk terbentuknya simpul-simpul berikut
struktur hirarkis yang berlaku, Rahardjo Adisasmita berusaha lebih lanjut untuk
mengkaitkannya dengan fungsi-fungsi kota lainnya, sehingga dapat diperleh
gambaran tentang fungsi kota seutuhnya.
Variable yang dipilih adalah yang dapat digunakan untuk menyatakan : (1)
besaran simpul, dan (2) kaitan fungsional antar simpul serta besarnya pengaruh
simpul yang satu terhadap yang lain. Besaran simpul yang dimaksudkan haruslah
yang identic dengan ukuran tingkat “kemudahan” bagi masyarakat, khususnya
dalam memperoleh kebutuhan-kebutuhan berupa barang. Dalam hal in, sebagai
ukuran tingkat “kemudahan” dapat digunakan “kepadatan” jasa distribusi,
disamping “efisiensi-nya”. Dan kaitan fungsional yang dimaksudkan adalah
dalam hal distribusi dan merupakan bagian dari kelengkapan fungsi simpul,
sebagai akibat dari penerapan azas efisiensi dalam pelaksanaan system distribusi,
sedangkan yang dimaksudkan dengan besarnya pengaruh simpul yang satu
terhadap yang lain pada hakekatnya adalah besarnya kontribusi suatu simpul
dalam rangka penambahan ataupun pengurangan kepadatan jasa distribusi
sewaktu menuju simpul yang lain

Anda mungkin juga menyukai