Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Darah merupakan suatu suspense sel dan fragmensito plasma yang

dapat dianggap sebagai jaringan pengikat dalam arti luas, karena pada

dasarnya terdiri atas unsur-unsur sel dan sub stansi interseluler yang

berbentuk  plasma. Fungsi utama dari darah adalah mengangkut oksigen yang

diperlukan oleh sel-sel diseluruh tubuh (Rudyatmi, 2014).

Sekitar 44% darah terdiri dari unsur-unsur sel yang membentuk bagian

terbesar adalah eritrosit. Eritrosit adalah sel tidak memiliki nukleus dan hidup

sekitar 120 hari dan merupakan sel paling banyak dalam darah. Berfungsi

untuk mengangkut oksigen dan karbondioksida melalui aliran darah. Sel

darah merah normal berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter kira-kira

7,8 mikrometer. Bentuk sel darah merah dapat berubah-ubah ketika sel

berjalan melewati kapiler.Faktor yang mempengaruhi pembentukan eritrosit

adalah kecukupan nutrisi. Kekurangan eritrosit secara garis besar mampu

memicu keberadaan anemia dengan beragam penyebab seperti gejala khas

anemia yakni pucatnya warna tubuh disertai mata yang cekung, gampang

lelah serta mudah sakit (Syuhada, 2014).

Sediaan apus darah ini tidak saja untuk mempelajari bentuk masing-

masing sel darah, tetapi juga dapat digunakan untuk menghitung

perbandingan antar masing-masing jenis sel darah. Selain itu dengan

pembuatan apus maka darah yang kita gunakan akan dapat bertahan lebih

lama dibandingkan apabila kita menggunakan preparat darah basah. Karena

1
darah mempunyai kemampuan cepat membeku apabila terkena udara

sehingga komponen darah menjadi rusak (Rudyatmi, 2014).

Kelainan yang terjadi pada sel darah merah yaitu kelainan bentuk

eritosit dimana bentuk eritrosit ini tidak sesuai dengan bentuk normal dari

eritorsit, kelainan warna eritrosit dimana warna eritrosit ini tidak sesuai

dengan warna normal dari eritrosit, kelainan ukuran eritrosit dimana warna

eritrosit ini tidak sesuai dengan ukuran normal dari eritrosit (Noviani dkk,

2015).

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana cara pemeriksaan kelainan eritrosit dengan menggunakan

apusan darah tepi (ADT)?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini yaitu agar praktikan mengetahui cara

pemeriksaan kelainan eritrosit dengan menggunakan apusan darah tepi

(ADT).

1.4 Manfaat

Adapun Manfaat dari praktikum ini yaitu agar praktikan mengetahui

cara pemeriksaan kelainan eritrosit dengan menggunakan apusan darah tepi

(ADT).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Darah

Darah adalah cairan yang terdapat pada makhluk hidup yang berfungsi

sebagai alat transportasi zat seperti oksigen, bahan hasil metabolisme tubuh,

pertahanan tubuh dari serangan kuman, dan lain sebagainya. Beda halnya

dengan tumbuhan, manusia dan hewan level tinggi punya sistem transportasi

dengan darah. Darah merupakan suatu cairan yang sangat penting bagi

manusia karena berfungsi sebagai alat transportasi serta memiliki banyak

kegunaan lainnya untuk menunjang kehidupan. Tanpa darah yang cukup

seseorang dapat mengalami gangguan kesehatan dan bahkan dapat

mengakibatkan kematian (Syuhada, 2014).

Darah vena adalah darah yang berasal dari pembuluh darah vena,

membawa darah kaya akan oksigen menuju ke jantung. Pembuluh darah vena

juga berdinding tiga lapis seperti arteri, tetapi lapisan tengah berotot lebih

tipis, kurang kuat, lebih mudah kempes, dan kurang elastis dari pada arteri.

Pada umumnya semua pembuluh vena cukup besar dan letaknya superficial

dapat dipergunakan pengambilan darah (Nursasi, 2016).

Darah kapiler adalah darah yang berada di pembuluh kapiler yang

sangat kecil, dimana tempat arteri berakhir. Makin kecil arteriol semakin

menghilang ketiga lapis dindingnya sehingga ketika sampai pada kapiler yang

sehalus rambut, dinding itu tinggal satu lapis saja yaitu lapisan endotelium.

Lapisan yang sangat tipis itu memungkinkan limfe merembes keluar

membentuk cairan jaringan membawa air, mineral dan zat makanan untuk sel,

3
dan melalui pertukaran gas antara pembuluh kapiler dan jaringan sel,

menyediakan oksigen dan menyingkirkan bahan buangan termasuk

karbondioksida. (Nursasi, 2016).

2.2 Sel Darah Merah (Eritrosit)

Sel darah merah atau eritrosit adalah sel yang sangat penting untuk

makhluk hidup.Sel eritrosit termasuk sel yang terbanyak di dalam tubuh

manusia (Junitasari, 2017).Fungsi utama eritrosit adalah untuk mengangkut

oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh dan mengangkut CO 2 dari jaringan

tubuh ke paru-paru oleh Hb (Kemenkes RI, 2011).

Gambar 2.1 Eritrosit Normal

Jumlah sel darah merah yang normal kurang lebih adalah 5 juta sel/mm 3

darah. Sel darah merah dibentuk pada tulang pipih di sumsum tulang dan

dapat hidup hingga 120 hari.Jika sel darah merah rusak atau sudah tua maka

sel ini akan dirombak dalam limfa. Hemoglobin dari sel darah merah yang

dirombak akan terlepas dan dibawa ke dalam hati untuk dijadikan zat warna

empedu. Sel darah merah baru akan dibentuk kembali dengan bahan zat besi

yang berasal dari hemoglobin yang terlepas (Fitriani, 2012).

2.2.1 Morfologi Eritrosit

Eritrosit normal kelihatan bundar dengan diameter 7,5 μm

dengan ketebalan tepi 2 μm. Dari samping Eritrosit kelihatan

4
berbentuk seperti cakram dengan kedua permukaannya cekung

(biconcav disk). Eritrosit disebut juga discocyte karena bentuknya

seperti cakram. Tengah-tengah cakram tersebut lebih tipis dengan

ketebalan 1 μm.Bentuk biconcav ini menyebabkan hemoglobin

terkumpul lebih banyak di bagian tepi sel. Oleh sebab itu, bagian tepi

eritrosit kelihatan lebih merah (okisifilik) dari bagian sentralnya.

Bagian sentral yang kelihatan lebih pucat disebut akromia sentral yang

luasnya antara 1/3-1/2 kali diameter (Tahir dkk, 2012).Tiap-tiap sel

darah merah mengandung 200 juta molekul hemoglobin. Hemoglobin

(Hb) merupakan suatu protein yang mengandung senyawa besi hemin.

Hemoglobin mempunyai fungsi mengikat oksigen di paru-paru dan

mengedarkan ke seluruh jaringan tubuh (Noviani dkk, 2015).

Komposisi molekuler eritrosit menunjukan bahwa lebih dari

separuhnya terdiri dari air (60%) dan sisanya berbentuk substansi padat.

Secara keseluruhan isi eritrosit merupakan substansi koloidal yang

homogen, sehingga sel ini bersifat elastis dan lunak. Eritrosit

mengandung protein yang sangat penting bagi fungsinya yaitu globin

yang dikonjugasikan dengan pigmen hem membentuk hemoglobin

untuk mengikat oksigen yang akan diedarkan keseluruh bagian tubuh.

Seperti halnya sel-sel yang lain, eritrositpun dibatasi oleh membran

plasma yang bersifat semipermeable dan berfungsi untuk mencegah

agar koloid yang dikandungnya tetap didalam (Noviani dkk, 2015).

5
2.3 Kelainan Eritrosit

Menurut Tahir dkk (2012), dalam mengevaluasi morfologi eritrosit, ada

4 hal yang harus diperlihatkan bentuknya (shape), ukurannya (size), warnanya

(staining), dan struktur intraselluler (structure).

2.3.1 Kelainan Berdasarkan Ukuran

1. Macrocyte

Gambar 2.2 Makrosit

Sel-sel ini lebih besar dari normal (meancorpuscular

volume> 100) dan bentuknya agak oval. Beberapa ahli morfologi

menyebut sel-sel ini sebagai “macroovalocyte” (Longo, 2010).

Makrosit merupakan eritrosit lebih besar daripada eritrosit normal,

denganukuran > 8µm (Indriyani, 2013).

2. Microcyte

Gambar 2.3 Mikrosit

6
Mikrosit ialah lebih kecil dari sel darah merah normal

(diameter sel <7 µm) dan mungkin atau tidak memiliki hemoglobin

(hipokromik) (Longo, 2010).

3. Anisocytosis

Gambar 2.4 Anisositosis

Anisositosis banyak diantara sel eritrosit lebih banyak

bervariasidalam ukurannya daripada keadaan normal. Sering

didapat padaanemia berat(Indriyani, 2013).

2.3.2 Kelainan Berdasarkan Warna

1. Hipochromic

Gambar 2.5 Hipokromik

7
Hipokromia terjadi karena cadangan besi tidak memadai,

sehingga mengakibatkan penurunan sintesis hemoglobin. Pada

defisiensi hemoglobin, eritrosit akan tampak pucat pada ADT.

Hipokromia secara klinis terkait dengan anemia defisiensi

besi.Perubahan warna eritrosit juga menunjukkan keadaan

ketidakmatangan sel, sebagaimana ditunjukkan pada retikulosit

(Polikromatofilia) (Kiswari, 2014).

2. Hyperchromic

Gambar 2.6 Hiperkromik

Hiperkrom adalah eritrosit yang tampak lebih merah/gelap

dari warna normal.Keadaan ini kurang mempunyai arti penting

karena dapat disebabkan olehpenebalan membran sel dan bukan

karena naiknya Hb (oversaturation) (Indriyani, 2013).

3. Polychromic dan Anisochromic

8
Gambar 2.7 Polikrimik dan Anisokromik

Polikromasia terjadi ketika eritrosit matang menunjukkan

peningkatan pewarnaan dengan pewarna dasar (noda ungu) selain

pewarnaan hemoglobin. Biasanya berhubungan dengan

retikulositosis. Polikromasia terjadi pada sel darah merah yang

masih memiliki kandungan RNA tinggi dan di mana sintesis

hemoglobin belum lengkap terutama terjadi pada anemia hemolitik

kronik (Longo, 2010). Variasi warna normal atau warna abnormal

menunjukkan kandungan sitoplasmanya.Istilah umum untuk variasi

warna adalah anisokromia (Kiswari, 2014).

2.3.3 Kelainan Berdasarkan Bentuk

1. Target Cell

Target Cell (Mexican Hat Cells) dibedakan dari anulosit oleh

pewarnaan yang lebih dalam dari zona pusat dan tepi perifer.

Mereka sangat umum pada kelainan hemoglobin, terjadi juga pada

anemia hemolitik lainnya, defisiensi besi yang parah, dan setelah

splenektomi. Target cell dikenali oleh tampilan bull's-eyedi

selnya.Sejumlah kecil target cell terlihat dengan penyakit hati dan

thalassemia. Jumlah yang lebih besar adalah tipikal penyakit

hemoglobin C (Longo, 2010).

9
Gambar 2.8 Target Cell

2.

Stomatocyte

Gambar 2.9 Stomatosit

Stomatositosis merupakan sel-sel merah ditandai dengan

celah melintang lebar atau stoma.Ini sering dilihat sebagai artefak

dalam apusan darah terdehidrasi.Sel-sel ini dapat dilihat pada

anemia hemolitik dan dalam kondisi di mana sel darah merah

mengalami overhidrasi atau dehidrasi (Longo, 2010).

3. Acanthocyte (Burr Cell) dan Ecchinocyte

Gambar 2.10 Akantosit dan Ekinosit

Akantosit atau

"sel duri"

dibedakan

oleh permukaan bergerigi mereka, yang biasanya sangat terpotong.

10
Akantosit terlihat dalam anomali herediter langka, A-beta-

lipoproteinemia. Mereka juga merupakan fitur uremia dan

hepaticcoma, di mana sejumlah besar sel-sel ini dianggap sebagai

tanda prognostik yang buruk. Pembentukan Akantosit juga telah

dikaitkan dengan penggunaan alkohol dan obat-obatan tertentu. Sel-

sel merah spikula terdiri dari dua jenis, Akantosit adalah sel padat

yang dikontrakkan dengan proyeksi membran tidak teratur yang

bervariasi dalam panjang dan lebar.Ekinosit memiliki proyeksi

membran yang kecil, seragam, dan merata (Longo, 2010).

4. Drepanocyte (Sickle Cell)

Eritrosit berbentuk sabit kadang-kadang terbentuk secara

spontan, tetapi sabit secara konsisten diinduksi oleh penarikan

oksigen dalam tes sel sabit. Ini memicu hemoglobinopati umum,

penyakit HbS (anemia sel sabit), yang menyerang orang kulit hitam

hampir secara eksklusif. Sickle Cell juga terjadi pada penyakit HbC

yang kurang umum (Longo, 2010).

Gambar 2.11 Drepanosit


5.

Spherocyte

11
Sferosit merupakan eritrosit dengan permukaan yang rata

dan tanpa pucat di tengah, biasanya ukurannya lebih kecil dan

bundar. Sel mengalami peningkatan perbandingan volume-luas

permukaan sehingga kemampuannya untuk menampung air sebelum

membran permukaan teregang maksimal lebih terbatas

dibandingkan sel normal.Hal ini menyebabkan sferosit lebih rentan

terhadap lisis osmotik.Peningkatan fragilitas osmotik merupakan

ciri khas sel berbentuk sferoid tanpa dipengaruhi faktor penyebab

sferositosis itu sendiri (Daulay, 2013).

6. Schizocyte (Fragmentocyte)

Gambar 2.13 Skizosit

Skizosit (fragmentosit) dihasilkan dari fragmentasi eritrosit,

terdiri dari sel merah yang terfragmentasi atau fragmen yang

terlepas dari sel tersebut. Mereka menyerupai potongan cangkang

telur yang pecah. Mereka mungkin disebabkan oleh peningkatan

hemolisis mekanik (turbulensi dari katup jantung buatan) atau oleh

peningkatan koagulasi intravaskular (misalnya, pada sindrom

uremik hemolitik) karena aliran cepat sel darah merah diiris terpisah

oleh filamen fibrin (Longo, 2010).

12
7. Elliptocyte (Ovalocyte)

Gambar 2.14 Eliptosit (Ovalosit)

Elliptosit (ovalosit) merupakan hasil dari anomali warisan

bentuk eritrosit yangbiasanya tidak aktif tetapi mungkin terkait

dengan kecenderungan untuk anemia hemolitik (anemia

elliptocytic). Bentuk elips dari sel-sel merah yang berhubungan

dengan struktur membran yang melemah, biasanya karena mutasi

pada spektrin (Longo, 2010).

8. Poikilocytes (Tear Drop Cell)

Gambar 2.15 Poikilosit (Tear Drop Cell)

Poikilosit adalah eritrosit dismorfik dari bentuk bervariasi

yang terjadi dalam pengaturandari anemia berat. Kehadiran mereka

menunjukkan kerusakan yang parah pada sumsum tulang. Teardrops

13
dan bentuk pear sangat umum dan tidak spesifik untuk

osteomyelosclerosis atau fibrosis (Longo, 2010).

2.3.4 Kelainan Berdasarkan Benda Intraseluler

1. Basophilic Stippling

Gambar 2.16 Basofilik Stippling

Basofilik stippling tampak sebagai granula kecil, berbentuk

bulat, dan berwarna biru gelap.Granula biasanya terditribusi merata

ke seluruh sel dan membutuhkan ketelitian untuk mndeteksinya.

Basofilik stippling kadang-kadang berupa butiran kasar, yang

dikaitkan dengan tingkat keparahannya secara klinis. Stippling

merupakan butiran yang terdiri dari ribosom dan RNA yang

diendapkan selama proses pewarnaan dari apusan darah. Stippling

dikaitkan dengan terganggunya eritropoiesis (cacat atau

dipercepatnya sintesis heme), terjadi pada keracunan dan anemia

berat (Kiswari, 2014).

2. Howell-Jolly Body

14
Gambar 2.17 Howell-Jolly Body

Howell-jolly body berbentuk bulat, padat, berwarna gelap-

biru dan berukuran 1-2 μm.Jika ada, sel hanya berisi satu atau dua

howell-jolly body.Meskipun inklusi paling sering terlihat dalam

eritrosit berinti (belum matang).Howell-jolly body tidak terlihat

dalam eritrosit normal, dan merupakan sisa-sisa inti sel terutama

terdiri dari DNA.Howell-jolly body diyakini berkembang pada

periode eritropoiesis yang dipercepat atau tidak normal.Kehadiran

howell-jolly body dikaitkan dengan anemia hemolitik, anemia

pernisiosa, dan khususnya pascasplenektomi fisiologis pada atrofi

limpa (Kiswari, 2014).

3. Heinz Bodies

Heinz body adalah inklusi yang berukuran 0,2-2,0 , yang

dapat dilihat dengan pewarnaan seperti Kristal violet atau brilian

cresyl blue. Merupakan suatu endapan, didenaturasi hemoglobin

dan secara klinis terkait dengan anemia hemolitik bawaan,

defisiensi G6PD, anemia hemolitik sekunder karena obat-obatan

seperti phenecetin, dan beberapa hemoglobinopati.(Kiswari, 2014).

15
Gambar 2.18 Heinz Bodies

2.4 Pewarnaan Giemsa (Giemsa Stain)

Pewarnaan Giemsa (Giemsa Stain) adalah teknik pewarnaan untuk

pemeriksaan mikroskopis yang namanya diambil dari seorang peneliti malaria

yaitu Gustav Giemsa (Padoli, 2016).

2.4.1 Prinsip Pewarnaan Giemsa

Prinsip dari pewarnaan Giemsa adalah presipitasi hitam yang

terbentuk dari penambahan larutan metilen biru dan eosin yang

dilarutkan di dalam metanol. Pewarnaan Giemsa digunakan untuk

membedakan inti sel dan morfologi sitoplasma dari sel darah merah, sel

darah putih, trombosit, dan parasit yang ada di dalam darah. Pewarnaan

Giemsa adalah teknik pewarnaan yang paling bagus digunakan untuk

identifikasi parasit yang ada di dalam darah (blood-borne parasite)

(Padoli, 2016).

Pewarnaan giemsa merupakan campuran antara larutan metilen

blue dengan larutan eosin, bila sediaan darah diwarnai dengan larutan

tersebut, maka akan terlihat eritrosit berwarna merah muda, inti leukosit

menjadi lembayung tua, sitoplasma parasit malaria menjadi biru, inti

16
parasit berwarna merah, dan butir kromatin parasit menjadi merah-

karmin (Puasa, 2017).

2.4.2 Pembuatan Larutan Giemsa

1. Pembuatan Larutan Giemsa Stock

Menurut WHO (2016), pembuatan larutan Giemsa Stock

dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1) Tempatkan sekitar 50 kristal kaca metanol-cleaned kedalam

botol berwarna gelap atau amber

2) Seberat 3,8 gram bubuk Giemsa Stain ditimbang dan dituangkan

dalam botol yang terkandung Kristal tersebut melalui corong

3) Secara perlahan dituangkan 100 mL methanol, pastikan bahwa

semua serbuk kering terbasuh dalam botol

4) Tutup peutup botol dan kocok dalam gerakan melingkar selama

2-3 menit untuk melarutkan Kristal-kristal giemsa

5) Tambahkan 250 mL gliserol ke dalam campuran melalui

corong, dan kocok lagi selama 3-5 menit

6) Tambahkan sisa 150 mL metanol ke dalam campuran melalui

corong, pastikan bahwa metanol terakhir mencuci gliserol dari

corong ke dalam campuran

7) Tutup penutup botol dan lanjutkan kocokan selama 2-3 menit

sebanyak enam kali pada hari pertama

8) Kocok setiap hari selama 2-3 menit sebanyak enam kali

setidaknya dalam7 hari

17
9) Label botol dengan jelas beserta nomor batch, nama orang yang

menyiapkan stok, tanggal persiapan dan tanggal kadaluwarsa,

dan dokumen dalam buku log kontrol kualitas

10) Kencangkan tutup pada botol untuk mencegah penyerapan uap

air dari udara, dan simpan di tempat sejuk yang jauh dari sinar

matahari langsung

2. Pengenceran Larutan Giemsa Stock

Zat pulas Giemsa yang telah diencerkan tidak tahan lebih

lama dari satu hari, oleh sebab itu, oleh karena itu buatlah

secukupnya saja agar hemat (Gandasoebrata, 2013).Menurut Laode

(2016), pengenceran larutan Giemsa Stock ialah sebagai berikut :

1) Pengenceran 5%

Pengenceran larutan giemsa dengan konsentrasi 5%

yaituperbandingan antara giemsa dan buffer adalah 1:20.

Dimana 1 bagian Giemsa dan 19 bagian buffer.Waktu

pendiaman adalah 30 – 45 menit.

2) Pengenceran 10%

Pengenceran larutan giemsa dengan konsentrasi 10%

yaituperbandingan antara giemsa dan buffer adalah 1:10.

Dimana 1 bagian Giemsa dan 9 bagian buffer.Waktu pendiaman

adalah 20 – 25 menit.

3) Pengenceran 20%

Pengenceran larutan giemsa dengan konsentrasi 20%

yaituperbandingan antara giemsa dan buffer adalah 1:50.

18
Dimana 1 bagian Giemsa dan 4 bagian buffer.Waktu pendiaman

adalah 10 – 15 menit.

2.4.3 Uji Kualitas Giemsa

Menurut Kemenkes RI (2017), ada dua cara menguji mutu

giemsauntuk mengetahui apakah giemsa stok yang akan digunakan

masih baik:

1. Melakukan pewarnaan pada 1-2 SD, kemudian diperiksa di bawah

mikroskop. Kalau hasilnya sesuai dengan kriteria standar pewarnaan

yang baik, berarti giemsa pengencernya masih bagus dan dapat

digunakan. Pengujian seperti ini perlu dilakukan setiap kali akan

melakukan pewarnaan masal.

2. Melakukan test menggunakan kertas Whatman no.2 dan metanol

(metil alkohol) :

1) Letakkan kertas saring diatas gelas atau petridisk/cawan petri

supaya bagian tengah kertas tidak menyentuh sesuatu.

2) Teteskan 1-2 tetes giemsa stok pada kertas saring. Tunggu

sampai meresap dan menyebar.

3) Kemudian teteskan 3-4 tetes metanol absolut di tengah bulatan

giemsa perlahan dengan jarak waktu beberapa detik sampai

garis tengah giemsa menjadi 5-7 cm, maka akan terbentuk :

a) Lingkaran biru (methilen blue) ditengah

b) Lingkaran cincin ungu (methilen azur) diluarnya

c) Lingkaran tipis warna merah (eosin) pada bagian tepi.

19
Giemsa sudah rusak dan tidak boleh dipakai lagi, bila warna

ungu atau merah tidak terbentuk.

2.5 Apusan Darah Tepi (Peripheral Blood Smear)

Pemeriksaan preparat apus darah tepi merupakan bagian yang penting

dari rangkaian pemeriksaan hematologi. Keunggulan dari pemeriksaan apus

darah tepi ialah mampu menilai berbagai unsur sel darah tepi seperti

morfologi sel (eritrosit, leukosit, trombosit), menentukan jumlah dan jenis

leukosit, mengestimasi jumlah trombosit dan mengidentifikasi adanya parasi.

Tujuan dilakukannya pewarnaan pada preparat apus darah tepi yaitu agar

memudahkan dalam melihat berbagai jenis sel dan juga dalam mengevaluasi

morfologi dari sel-sel tersebut (Ardina dan Rosalinda, 2018).

2.5.1 Syarat-syarat Sediaan Apusan Darah Tepi (SADT) yang Baik

Menurut Santosa (2010), kriteria preparat darah hapus yang baik

adalah sebagai berikut :

1. Lebar dan panjangnya tidak memenuhi seluruh kaca benda.

2. Secara gradual penebalannya berangsur-angsur menipis dari kepala

ke ekor.

3. Tidak berlubang, tidak terputus-putus, tidak terlalu tebal dan

mempunyai pengecatan yang baik.

2.5.2 Pembuatan dan Pewarnaan Sediaan Apusan Darah Tepi (SADT)

Menurut Kemenkes RI (2017), pembuatan sediaan apusan darah

tepi dilakukan dengan cara berikut :

1. Teteskan 1 tetes kecil darah (2μl) di bagian tengah object glass.

20
Gambar 2.19 Pengambilan Sampel Darah

2. Letakkanobject glass yang berisi tetesan darah diatas meja

ataupermukaan yang rata.

3. Ambil object glass baru (object glass kedua) tetapi bukan cover

glass.Tempelkan ujungnya pada tetes darah kecil sampai darah

tersebut menyebar sepanjang object glass.

Gambar 2.20 Pembuatan Apusan Darah Tepi


4. Dengan

sudut

45ogeser object glass tersebut dengan cepat ke arah yang

21
berlawanandengan tetes darah, sehingga didapatkan sediaan hapus

(seperti bentuk lidah).

Gambar 2.21 Apusan Darah Tepi Telah Jadi


Menurut

WHO (2016), dilanjutkan dengan melakukan pewarnaan Giemsa pada

sediaan apusan darah tepi yang dilakukan sebagai berikut:

1. Fiksasi apusan darah dengan menambahkan tiga tetes metanolatau

dengan mencelupkannya ke dalam wadah berisi methanol.

2. Tuangkan larutan pewarna Giemsa, perlahan-Iahan, ke dalam rak

pewarnaan sampai semua kaca objek terendam sempurna.

3. Diamkandalam ruangan yang tak-terpajan cahaya matahari selama

30-45 menit.

4. Tuangkan air bersih, perlahan-Iahan, ke dalam rak pewarnaan

untuk membilas endapan di atas permukaan larutan pewarna.

5. Letakkan kaca objek tersebut dalam rak kaca objek dan biarkan

mengering.

22
Gambar 2.22 Sediaan Apusan Darah Tepi (SADT)
2.5.3 Kesalahan Pembuatan Sediaan Apusan Darah Tepi (SADT)

Menurut Kemenkes RI (2017), adapun kesalahan-kesalahan yang

sering dijumpai pada pembuatan sediaan darah ialah sebagai berikut :

1. Jumlah darah yang digunakan terlalu banyak, sehingga warna SD

menjadi gelap/terlalu biru.

2. Jumlah

darah

Gambar 2.23 Kesalahan SADT yang Tebal yang

digunakan terlalu sedikit, tidak memenuhi syaratyang diperlukan

untuk menyatakan bahwa SD tersebut negatif.

3. Gambar 2.24 Kesalahan SADT yang Tipis SD

yang

23
berlemak atau kotor dapat menyulitkan pemeriksaan. Selain itu pada

proses pewarnaan, sebagian SD dapat terlepas.

Gambar 2.25 Kesalahan SADT Berlobus


4. Ujung

object glass kedua yang bergerigi atau terlalu tajam akan

menyebabkan penyebaran SD tipis tidak rata dan ujungnya

tidakberbentuk lidah.

Gambar 2.26 Kesalahan SADT Bergerigi

24
5. SD yang terletak di ujungobject glass, dapat menyulitkan

pemeriksaan karena posisi meja sediaan sudah maksimal (tidak

dapat digeser).

Gambar 2.27 Kesalahan SADT yang Terletak Jauh

BAB III

25
METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat Praktikum

Pelaksanaan praktikum hematologi III dilaksanakan pada hari rabu,

tanggal 09 oktober 2019. Bertempat di laboratorium Fitokimia STIKES Bina

Mandiri Gorontalo.

3.2 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum kali ini ialah

kaca objek, rak pewarnaan, tabung EDTA, dispo, kapas, alkohol 70%, pipet

tetes, larutan giemsa 10%, methanol, akuades, oil emersi, dan mikroskop.

3.3 Prosedur Kerja

1. Siapkan alat dan bahan yang digunakan.

2. Buat sediaan apusan kemudian keringkan.

3. Setelah kering, fiksasi dengan methanol selama 3-5 menit.

4. Mewarnai sediaan apusan dengan larutan giemsa 10% tersebut selama 15-

30 menit.

5. Keringkan, kemudian periksa dibawah mikroskop dengan 1000X

perbesaran.

BAB IV

26
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Berdasarkan praktikum pemeriksaan kelainan sel darah merah maka

diperoleh hasil sebagai berikut :

Gambar Keterangan

Metode Giemsa :
1
1. Normokrom

2 2. Hipokrom

4.2 Pembahasan

Sediaan apusan darah tepi merupakan teknik membuat olesan (smear)

darah yang kemudian diratakan diatas gelas benda. Fungsi dari pembuatan

sediaan apus darah ini adalah untuk melihat struktur sel-sel darah dengan

mikroskop. Prinsip pemeriksaan sediaan darah tepi adalah dengan

meneteskan darah lalu dipaparkan diatas objek glass, kemudian dilakukan

pengecatan dengan zat warna khusus dan diperiksa dibawah mikroskop.

Tujuan dari pembuatan sediaan darah tepi ini adalah untuk evaluasi morfologi

dan jumlah dari sel – sel darah seperti eritrosit.

Pada praktikum hematologi kali ini, sediaan hapusan darah tepi dibuat

untuk mengevaluasi kelainan – kelainan pada eritrosit. Sebelum dilakukan

pengamatan pada mikroskop terlebih dahulu dilakukan pembuatan apusan

darah tipis. Kemudian dilakukan pewarnaan pada preparat apusan

27
menggunakan reagen methanol dan giemsa. Fungsi metanol adalah untuk

memfiksasi darah sehingga darah tidak hilang saat diamati sedangkan fungsi

giemsa adalah untuk mewarnai darah sehingga mudah dibedakan dan dapat

terlihat jelas saat diamati. Menguji giemsa dapat menggunakan kertas saring

whatman. Giemsa ditetes di kertas saring, lalu di teteskan dengan methanol,

giemsa yang baik akan membetuk warna biru ditengah ungu  dan paling luar

lapisan tipis merah. Waktu perendaman ini sebaiknya jangan terlalu lama

karena darah bisa tidak terlihat akibat pewarnaan yang terlalu pekat. Prinsip

pewarnaan giemsa adalah presipitas hitam yang terbentuk dari penambahan

larutan metilen blu dan eosin yang dilarutkan di dalam methanol.

Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop pembesaran

100x, dimana langkah pertama yang dilakukan adalah mengarahkan lensa

objektif ke pembesaran 10x berfungsi untuk mencari lapang pandang. Setelah

lapang pandang dittemukan lensa objektif diarahkan ke pembesaran 100x dan

preparat diberi oil imersi. Fungsi dari oil imersi adalah untuk mengurangi

indeks bias cahaya mikroskop dan sebagai pelumas agar preparat tidak

tergores dan pecah saat bergesekan dengan lensa mikroskop. Pengamatan

dilakukan pada counting area yaitu bagian tipis dari preparat apusan darah

tepi, hal tersebut dimaksudkan agar mendapatkan sel – sel yang tersebar

merata dan tidak bertumpukan sehingga lebih mudah dalam proses

pengamatan. Setelah diamati didapatkan beberapa kelainan eritrosit

berdasarkan warna yaitu normokrom dan hipokrom.

Normokrom adalah eritrosit dengan warna normal yaitu bagian central

pallornya 1/3 sampai dengan ½ bagian dari penampang eritrosit. Pada saat

28
dilakukan pengamatan dibawah mikroskop dengan menggunakan preparat

apusan darah tepi yang dibuat oleh mahasiswa, tampak sel eritrosit yang

normal dari segi warna. Pemeriksaan apusan darah tepi ini berfungsi untuk

mengevaluasi dan membantu dalam menegakkan diagnosis terhadap jenis dan

tipe penyakit anemia. Dalam keadaan tertentu eritrosit normokrom dapat

ditemukan pada penderita anemia yang disebabkan karena pendarahan akut,

menstruasi, dan hemolisis yang tidak mempengaruhi morfologi eritrosit.

Hipokrom adalah uatu keadaan dimana konsentrasi Hb kurang dari

normal ehingga sentral akromia melebah lebih dari ½ bagian selnya dan

terjadi penurunan warna eritrosit yaitu peningkatan diameter central pallor

melebihi normal sehingga tampak lebih pucat. Distribusi normal sel ini adalah

10 % dalam darah. Biasanya sel hipokromia ditemukan pada penyakit anemia

defisiensi besi karena sel darah merah mengalami kekurangan Fe yang

berfungsi untuk menangkap oksigen. Selain itu, sel eritrosit hipokromik juga

ditemukan pada anemia sideroblastik, gagal ginjal kronis, talasemia, dan Hb-

pati (C dan E), pada preparat ini terlihat sel – sel eritrosit hipokrom.

BAB V

PENUTUP

29
5.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa

pada pemeriksaan eritrosit menggunakan apusan darah tepi didapatkan

kelainan warna pada eritrosit yaitu Normokrom dan Hipokrom

5.2 Saran

Diharapkan dapat menyediakan reagen giemsa yang masih layak

digunakan sehingga hasil pewarnaan yang dilakukan baik dan jelas terlihat

bentuk sel eritrosit.

DAFTAR PUSTAKA

30
Ardina, Rinny., dan S. Rosalinda. 2018. Morfologi Eosinofil Pada Apusan Darah
Tepi Menggunakan Pewarnaan Giemsa, Wright, Dan Kombinasi Wright-
Giemsa. Jurnal Surya Medika 3(2): 5-12.

Daulay, M. C. G. 2013. Morfologi Eritrosit Pada Sediaan Apus Darah Tepi


(SADT) Sampel Dengan Hasil Pemeriksaan One Tube Osmotic Fragility
Test (Otoft) Positif. Universitas Kristen Maranatha. Bandung.

Fitriani, 2012.Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Darah.Univeritas Islam Negeri


Alauddin.Makassar.

Gandasoebrata, R. 2013. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat : Jakarta.

Indriyani, Ayu. 2013. Pengaruh Variasi Volume EDTA 10% Pada Darah Terhadap
Morfologi Krenasi Pada Eritrosit.Universitas Muhammadiyah Semarang.
Jawa Tengah.

Junitasari, Devi. 2017. Perbedaan Hasil Pemeriksaan Darah Rutin Pada


Pemberian Antikoagulan EDTA Konvesional Dengan EDTA
Vacutainer.Universitas Muhammadiyah Semarag. Jawa Tengah.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.2011. Pedoman Interpretasi Data


Klinik.Direktorat Kefarmasian : Jakarta.

Kiswari, Ruman. 2014. Hematologi & Transfusi. Erlangga. Jakarta.

Longo, Dan L. 2010. Harrison’s Hematology and Oncology.Edisi Ketujuh Belas.


The McGraw-Hill Companies, Inc : New York.

Noviani, N. W. D., D. P. M. Linsra., N. M. A. Larashati., N. K. D. Anjani., dan N.


P. Y. Yastrini. 2015.Kelainan Bentuk, Ukuran dan Warna pada Eritrosit.
Politeknik Kesehatan Denpasar. Bali.

Nursasi, Suci. 2016. Pengambilan Darah Vena dan Darah Kapiler.Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Mega Rezky. Makassar.

Santosa, Budi. 2010. Differential Counting Berdasarkan Zona Baca Atas Dan
Bawah Pada Preparat Darah Apus. Prosiding Seminar Nasional UNIMUS :
55-59.

Syuhada, Ayu. 2014. Analisa Darah Lengkap. Institut Sains dan Teknologi
Nasional. Jakarta.

Tahir, A., E. Warni., Indrabayu., dan A. Suyuti. 2012. Analisa Metode Radial
Basis Function Jaringan Saraf Tiruan untuk Penentuan Morfologi Sel
Darah Merah (Eritrosit) Berbasis Pengolahan Citra. Universitas
Hasanuddin. Makassar.

31
Padoli. 2016. Mikrobiologi dan Parasitologi Keperawatan. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia
Kesehatan. Jakarta.

Puasa, Rony. 2017. Studi Perbandingan Jumlah Parasit Malaria Menggunakan


Variasi Waktu Pewarnaan Pada Konsentrasi Giemsa 3% Di Laboratorium
RSUD Dr. H. Chasan Boesoirie. Jurnal Riset Kesehatan 6(2): 23-27.

World Health Organization. 2016. Preparation Of Giemsa Stock Solustion


Malaria Microscopy Standard Operating Procedure. Switzerland

32

Anda mungkin juga menyukai