Anda di halaman 1dari 6

1.

MOHAMMAD TOHA
a. RIWAYAT HIDUP SINGKAT
Mohammad Toha adalah komandan dari kelompok milisi pejuang di
era Perang Kemerdekaan Indonesia bernama Barisan Rakjat Indonesia. Ia
dikenal luas sebagai sosok pahlawan dalam peristiwa bersejarah Bandung
Lautan Api tanggal 24 Maret 1946.

Mohammad Toha dilahirkan di Jalan Banceuy, Desa Suniaraja, Kota


Bandung pada tahun 1927. Ayahnya bernama Suganda dan ibunya yang
berasal dari Kedunghalang, Bogor Utara, Bogor, bernama Nariah. Toha
menjadi anak yatim ketika pada tahun 1929 ayahnya meninggal dunia.
Ibu Nariah kemudian menikah kembali dengan Sugandi, adik ayah Toha.
Namun tidak lama kemudian, keduanya bercerai dan Muhammad Toha
diambil oleh kakek dan neneknya dari pihak ayah yaitu Bapak Jahiri dan
Ibu Oneng. Toha mulai masuk Volk School ( Sekolah Rakyat ) pada usia 7
tahun hingga kelas 4. Sekolahnya terhenti ketika Perang Dunia II pecah.

Saat masa pendudukan Jepang, Toha mulai mengenal dunia militer


dengan memasuki Seinendan. Sehari-hari Toha juga membantu kakeknya
di Biro Sunda, kemudian bekerja di bengkel motor di Cikudapateuh.
Selanjutnya, Toha belajar menjadi montir mobil dan bekerja di bengkel
kendaraan militer Jepang sehingga ia juga mampu bercakap dalam
bahasa Jepang. Setelah Indonesia merdeka, Toha terpanggil untuk
bergabung dengan badan perjuangan Barisan Rakjat Indonesia ( BRI ),
yang dipimpin oleh Ben Alamsyah, paman Toha sendiri. BRI selanjutnya
digabungkan dengan Barisan Pelopor yang dipimpin oleh Anwar Sutan
Pamuncak menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia ( BBRI ). Dalam
laskar ini ia duduk sebagai Komandan Seksi I Bagian Penggempur.

Menurut keterangan Ben Alamsyah, paman Toha, dan Rachmat


Sulaeman, tetangga Toha dan juga Komandannya di BBRI, pemuda Toha
adalah seorang pemuda yang cerdas, patuh kepada orang tua, memiliki
disiplin yang kuat serta disukai oleh teman – temannya. Pada tahun 1945
itu, Toha digambarkan sebagai pemuda pemberani dengan tinggi 1,65 m,
bermuka lonjong dengan pancaran mata yang tajam.

Dengan adanya peristiwa Bandung Lautan Api nama Mohammad


Toha muncul dan dikenal sebagai tokoh pahlawan. Mohammad Toha
meninggal karena ia dan temannya yang bernama Mohammad Ramdan
dengan gagah berani mengorbankan diri mereka sendiri untuk
menghancurkan gudang amunisi milik tentara Sekutu dengan cara
meledakkan dinamit dalam gudang amunisi tersebut. Ia dan temannya
meninggal pada 24 Maret 1946. Saat itu usia Mohammad Toha masih 19
tahun.

Walaupun begitu Mohammad Toha sampai sekarang belum


dinyatakan sebagai pahlawan nasional oleh Indonesia. Prof. Dr. Nina
Lubis, seorang sejarawan asal Jawa Barat sangat sering mempromosikan
kepahlawanan Mohammad Toha sebagai pahlawan nasional, tetapi salah
satu anggota penilai gelar nasional yang diduduki oleh sejarawan Anhar
Gonggong selalu menolaknya dengan alasan, Apabila seorang seperti
Mohammad Toha diberi gelar pahlawan, maka akan ada banyak sekali
pengajuan tokoh serupa dari berbagai daerah serta Mohammad Toha
tidak bisa dinyatakan pahlawan nasional karena kurang persyaratan dan
kekurangan bukti.

Maka hingga sekarang Mohammad Toha hanya diakui sebagai


pahlawan “lokal” saja. Karena selain bennyaknya kesimpangsiuran soal
peristiwa peledakan gudang mesiu Dayeuhkolot yang konon dilakukan
oleh dirinya, serta identitas Mohammad Toha pun belum jelas. Untuk
menghargai dan selalu menghormati beliau pemerintah Bandung memberi
nama sebuah jalan di Bandung dengan nama Jalan Muhammad Toha dan
sebuah monumen. Saat ini monumen yang digunakan untuk
memperingati jasa Mohammad Toha dapat ditemui di daerah
Dayeuhkolot, kota Bandung, tepat di depan kolam yang merupakan bekas
terjadinya ledakan.

b. PERANAN DALAM PERISTIWA BANDUNG LAUTAN API

 PENGHANCURAN GUDANG MESIU


Awal perjuangan Mohammad Toha itu dimulai ketika ada
panggilan untuk mengikuti perjuangan mempertahankan Proklamasi
Kemerdekaan, ia tergabung dengan Badan Perjuangan Barisan Benteng
Republik Indonesia ( BBRI ) wilayah Priangan. Pada badan perjuangan
ini ia diserahi tugas sebagai Komandan Seksi I bagian penggempur.

Pada waktu terjadi peristiwa Bandung Lautan Api ( 24-25 Maret


1946 ) , pasukannya ikut meninggalkan kota Bandung menuju ke arah
selatan dan bermakas di Kulalet, seberang Sungai Citarum di
Dayeuhkolot. Ikut bertempur melawan serdadu Belanda ( NICA ) dan
Sekutu berulang kali, baik ketika pasukannya masih berkedudukan di
kota Bandung maupun kerikan berkedudukan di Kulalet.

Pasukannya berada di bawah komando Markas Perjuangan


Pertahanan Priangan ( MP3 ). Dua hari setelah tentara Sekutu
meninggalkan kota Bandung ( 19 Mei 1946 ), serdadu Belanda
melancarkan serangan ke daerah Bandung Tenggara ( Sapan ) dan sore
harinya memborbardir Kulalet, tempat markas pasukan Mohammad
Toha.

Pada saat itu, Dayeuhkolot dijadikan basis serdadu Belanda


untuk menyerang dan menembaki daerah perjuangan RI yang berada di
seberangnya. Disana ada sebuah gedung bertingkat dua menjadi
tempat penyimpanan ( gudang ) senjata, mesiu, bahan peledak, dan
perlengkapan militer lainnya sejak masa pendudukan militer Jepang.
Sebelumnya gedung bertingkat dua itu berfungsi sebagai tempat
( gudangn) penyimpanan alat - alat listrik bagi wilayah Priangan
sehingga populer disebut gedung listrik.

Peristiwa dan kondisi tersebut membangkitkan amarah Moh.


Toha serta keinginan untuk menghancurkan gudang senjata musuh.
Ternyata atasannya tidak menyetujui keinginan itu, walaupun diajukan
sampai dua kali. Setelah menjalani cuti beberapa hari untuk menemui
ibunya yang mengungsi ke Garut, Moh. Toha makin bulat tekadnya
ingin menghancurkan gedung senjata tersebut.

Pada tanggal 9 Juli 1946, ia bersama anggota pasukannya


mendapat perintah untuk berangkat ke medan perang dengan tugas
sebagai penyelidik. Keberangkatannya terjadi pada hari Selasa malam
( 9 Juli 1946 ) disertai pasukan Hizbullah bernama Muhammad Ramdan.
Belum jauh perjalanan mereka, sekonyong – konyong musuh
menyerang dengan granat. Dengan suasana kalut, anak buahnya ada
yang terluka, Mohammad Toha meloncat dan maju seorang diri,
sedangkan para prajurit lainnya memundurkan diri. Kemudian diketahui
bahwa Mohammad Toha dan Muhammad Ramdan tidak kembali ke
induk pasukannya.

Bersama dalam misi berbahaya ini Toha dan Ramdhan juga rekan
seregu lainnya telah berbagi tugas, Toha menyusup mencari jalan untuk
menghancurkan gudang, Ramdhan dan rekan lainnya mengalihkan
perhatian penjaga demi mengamankan jalan bagi Toha sahabatnya. 
Satu tujuan mereka pasti, gudang mesiu dan persenjataan Belanda itu
hancur rata dengan tanah.
Gudang mesiu di selatan kota Bandung ini berada di daerah yang
terbuka. Gudang besar dan tampak angker. Sulit dicapai karena dijaga
ketat dan yang mendekati dapat terlihat dengan mudah oleh
penjaganya. Isinya lebih dari seribu ton berbagai jenis persenjataan,
granat, bom dan mesiu di dalamnya.
Moh.Toha berenang dari sungai Citarum, masuk lewat gorong -
gorong. Akhirnya Toha berhasil masuk ke dalam gudang mesiu,
mengunci diri didalam, beserta beratus - ratus bom berjajar, granat dan
senjata. Namun hatinya tak gentar, tekadnya sudah bulat. Muh.
Ramdan di luar sudah tewas tertembak sebagai pembuka jalan bagi
Moh. Toha.
Kemudian diketahui bahwa Moh. Toha dan Muh. Ramdan tidak
kembali lagi ke induk pasukannya, meskipun anak buahnya telah
mencari - cari. Menurut sejarawan Nina H. Lubis, bahwa Komandan
Rivai mendengar laporan bahwa Moh. Toha tetap bertahan disekitar
gedung mesiu, meski dalam keadaan terluka. Kemudian Komandan Rivai
memerintahkan agar Komandan Seksi S. Abbas mengadakan serangan
pengacauan ke kubu Belanda dari jurusan lain, untuk mengalihkan
perhatian musuh dan melapangkan jalan bagi Moh. Toha untuk
menghancurkan gudang mesiu.
Tapi esok harinya, pada Rabu 10 Juli 1946 sekitar pukul 12.30,
tiba – tiba terdengar ledakan dahsyat yang mengejutkan penduduk
sekitar kota Bandung, suaranya terdengar radius 70 km. Ternyata suara
ledakan itu berasal dari gedung listrik yang berfungsi sebagai gudang
senjata dan mesiu. Gedung itu hancur sampai kurang lebih 75% dan
isinya meledak serta terbakar. Rumah – rumah disekelilingnya juga turut
hancur dan korban manusia berjatuhan. Hasil penyelidikan MP3
mengungkapkan bahwa ledakan dahsyat di gedung mesiu itu
merupakan upaya jibaku Mohammad Toha dan Muhammad Ramdan
dengan tujuan menghancurkan  dan berbagai senjata api. Laporan yang
dibuat oleh Markas Daerah Barisan Benteng Priangan itu meyakini
bahwa Mohammad Toha dan Muhammad Ramdan turut tewas dalam
peristiwa tersebut.Peristiwa ini telah diabadikan dalam bentuk
monument Tugu di Dayeh Kolot, dan film yang berjudul “ Pahlawan dari
Bandung Selatan “

Anda mungkin juga menyukai