KATA PENGANTAR
2
Prof. Dr. drg. Harmas Yazid Yusuf, Sp.BM
(K)
3
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
----------------------------------------------------------------
Daftar Isi
-------------------------------------------------------------------------
BAB I Pendahuluan
---------------------------------------------------------
BAB II Isi
Materi--------------------------------------------------------------
BAB III Kesimpulan
-------------------------------------------------------
BAB IV Daftar
Pustaka----------------------------------------------------
BAB V Riwayat Penulis
---------------------------------------------------
4
MANAJEMEN PERDARAHAN
1. PENDAHULUAN
5
kegawatdaruratan pada trauma maksilofasial oleh
dokter mencakup bantuan hidup dasar (basic life
support), kontrol perdarahan, penjahitan luka, yang
berguna menurunkan tingkat kecacatan dan
kematian pasien sampai diperolehnya penanganan
selanjutnya di rumah sakit. Oleh karena itu, para
dokter gigi diharapkan mampu memahami prosedur-
prosedur penanganan pasien yang mengalami
kegawatdaruratan medis di klinik gigi.
Pendarahan pada tindakan kedokteran gigi juga
merupakan salah satu masalah klinis yang memiliki
berbagai macam konsekuensi. Hampir semua jenis
tindakan yang akan menginterupsi pembuluh darah
dapat menyebabkan pendarahan. Dokter gigi harus
terbiasa dengan teknik umum kontrol perdarahan
untuk berbagai jenis episode perdarahan. Perdarahan
menunjukkan ekstravasasi darah karena pecahnya
pembuluh darah. Darah membawa oksigen dan
nutrisi ke jaringan dan sangat penting untuk fungsi
tubuh. Kehilangan darah karena alasan apa pun
berpotensi mengancam jiwa dan dapat menyebabkan
kematian. Manajemen perdarahan merupakan salah
satu tindakan yang harus diketahui oleh dokter gigi
6
dalam upaya melakukan tindakan penatalaksanaan
kegawatdaruratan medis di praktek sehari – hari.
2. JENIS PERDARAHAN
7
menghentikan perdarahan dengan pembentukan
bekuan darah.
3. HEMOSTASIS
8
- Vasokonstriksi - kejang pembuluh darah di otot
polos di dinding pembuluh darah;
- Formation Pembentukan sumbat trombosit -
adhesi, interaksi dan agregasi trombosit;
- Kaskade / jaringan koagulasi - faktor
pembekuan dalam jalur ekstrinsik, intrinsik,
dan umum menyebabkan pembentukan fibrin.
9
`3.1 Tes Laboratorium untuk Skrining
10
(perdarahan terjadi setelah trauma parah atau
pembedahan). Prosedur bedah mulut minor dilakukan
dengan aman jika jumlah trombosit >
80.0001.000.000/mm3 darah, jika tidak pasien akan
memerlukan transfusi plasma kaya trombosit.
12
perdarahan, tidak mengesampingkan adanya
kelainan koagulasi herediter. Anamnesis
pembedahan, cedera besar, atau bahkan pencabutan
gigi multipel tanpa perdarahan abnormal adalah
bukti yang baik terhadap adanya kelainan koagulasi
herediter 6,7
.
14
gangguan jangka pendek tanpa meningkatkan risiko
kekambuhan kejadian trombotik atau kardiovaskular.
Tabel 4 . Aksi kerja Direct Oral Anti Coaugulants 4 5
\
15
3.5 Armamentarium untuk menangani
perdarahan pasca ekstraksi
16
Setelah gigi dicabut, tekanan harus diletakkan
pada permukaan bukal dan lingual / palatal alveolus
di sekitar soket. Tekanan buccolingual langsung
mengurangi “dead space” luka dan merupakan
langkah pertama untuk membantu mendapatkan
hemostasis. Kasa steril yang cukup besar untuk
menutupi soket dapat ditempatkan langsung di atas
area soket dan pasien diminta untuk menggigit untuk
memberikan tekanan yang diperlukan. Jika area
edentulous menentang situs ekstraksi, menggigit
bersama mungkin tidak memberikan tekanan yang
cukup kuat. Dianjurkan dalam hal ini untuk
menggunakan tekanan jari pada kain kasa selama
beberapa menit 123
.
17
hemostasis dikonfirmasi, pasien harus diberikan
instruksi yang jelas tentang manajemen soket pasca
operasi agar tidak menyebabkan perdarahan
sekunder. Instruksi harus diberikan secara lisan oleh
dokter yang melakukan prosedur. Pasien-pasien ini
mungkin tidak dapat mengingat daftar instruksi yang
panjang segera setelahnya. Oleh karena itu
disarankan untuk memberikan selebaran instruksi
singkat yang dapat dirujuk pasien pada waktunya
sendiri (Tabel 6). Namun, menyediakan selebaran
tanpa instruksi verbal yang komprehensif tidak dapat
diterima 123
18
Seperti disebutkan di atas, jika tekanan langsung ke
soket tidak mengontrol perdarahan, diagnosis harus
dilakukan mengenai etiologi.
19
soket dan dapat merusak pembekuan dan
pendarahan hebat. Jika diagnosis adalah perdarahan
jaringan lunak, peralatan yang tepat harus digunakan
untuk mencapai hemostasis 123
20
c). Agen hemostatik kimia
- Asam
traneksamat
Pasien yang
menggunakan
antikoagulan oral dapat
diresepkan 5% obat
kumur asam
traneksamat sebagai pembilas, empat kali sehari,
selama dua hari pasca operasi. Asam
Gambar traneksamat
2 : Benang vycril dan
peralatan suturing 1 2 3
bukan merupakan pengaturan perawatan primer.
- Besi sulfat
21
terutama untuk mengontrol perdarahan pasca
ekstraksi, namun, ia dapat menawarkan bantuan bila
mukosa robek atau perdarahan yang tidak terkendali
dalam jaringan gingiva.
- Perak nitrat
3
.
22
Gambar 3 : Pensil Silver Nitrate 123
- Pendarahan tulang
- Kasa hemostatik
Penggunaan selulosa
regenerasi teroksidasi
(Surgicel® - Gambar 4),
spons kolagen
(Haemocollagen®) atau
spons gelatin resorbable
23
(Gelfoam®) direkomendasikan, bersama dengan
penempatan jahitan ketika pasien berisiko tinggi
pendarahan pasca operasi. Dressing non-resorbable
juga tersedia (Kaltostat®), namun, ini kurang
diinginkan karena mereka membutuhkan
pengambilan dan karena itu area soket harus
terganggu 123
.
- Lilin tulang
24
sebagai benda asing. Ini berarti lilin tulang harus
dihilangkan ketika hemostasis telah terjadi.
Penempatan lilin biasanya diikuti dengan
penempatan kasa hemostatik dan jahitan untuk
menjaga tekanan pada soket 123
.
- Electrocautery
Hemostasis terjadi
26
4.1 Agen bertindak secara lokal
27
protrombin dan sebagai hemostatik lokal dalam
pembedahan
- Fibrin: Fibrin yang diperoleh dari plasma
manusia digunakan dalam bentuk dehidrasi
sebagai lembaran dari mana segmen dengan
ukuran yang diinginkan dapat dipotong untuk
digunakan pada permukaan yang berdarah.
Ketika digunakan dalam kombinasi dengan
larutan trombin, ia juga bertindak sebagai
penghalang mekanis dan menahan trombin
pada posisi di atas area perdarahan.
7
.
30
mempertimbangkan berapa banyak darah yang
mungkin telah hilang. Seorang pasien harus dirujuk
ke IGD jika tidak mungkin untuk menghentikan
perdarahan dan pemeriksaannya menunjukan:
6. KESIMPULAN
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Beyer-Westendorf, J.; Gelbricht, V.; Förster, K.;
Ebertz, F.; Köhler, C.; Werth, S.; Kuhlisch, E.;
Stange, T.; Thieme, C. Peri-interventional
management of novel oral anticoagulants in
daily care: Results from the prospective
Dresden NOAC registry. Eur. Heart J. 2014, 35,
1888–1896.
2. McCormick NJ,et al. Haemostasis Part 1: The
33
Management of Post-Extraction Haemorrhage.
Dent Update 2014; 41: 290–296
3. Godier, A.; Gouin-Thibault, I.; Rosencher, N.;
Delgado-Ruiz, R.A.; Markovic, A.; Calvo-
Guirado, J.L. Dental implant surgery in patients
in treatment with the anticoagulant oral
rivaroxaban. Prim. Dent. J. 2015, 3,
doi:10.1111/clr.12653
4. Martinez M, Tsakiris DA. Management of
Antithrombotic Agents in Oral Surgery. Dent. J.
2015, 3, 93-101; doi:10.3390/dj3040093
5. Sivolella, S.; De Biagi, M.; Brunello, G.; Berengo,
M.; Pengo, V. Managing dentoalveolar surgical
procedures in patients taking new oral
anticoagulants. Odontology 2015, 103, 258–
263
6. Thean, D.; Alberghini, M. Anticoagulant therapy
and its impact on dental surgery: A review.
Austr. Dent. J. 2015, Jun 3, in press.
7. V.K.Vignesh et al. Management of
Haemorrhage in Oral Surgery. Pharm. Sci. &
Res. Vol. 8(7), 2016, 642-644
34
35
Penatalaksanaan Kelainan Akut
Nyeri Orofasial Non-Odontogenik
1. Trigeminal Neuralgia
Trigeminal neuralgia merupakan salah satu
kelainan nyeri orofasial non-odontogenik dengan
keluhan nyeri yang sangat intens. Salah satu
karakteristik nyeri trigeminal neuralgia yang
39
menjadi ciri khas dan sangat dikeluhkan pasien
adalah jenis nyeri yang bersifat paroksismal. Pada
saat ini, trigeminal neuralgia diklasifikasikan
menjadi trigeminal neuralgia klasik (tipe 1),
trigeminal neuralgia sekunder (tipe 2), dan
trigeminal neuralgia idiopatik (tipe 3). Trigeminal
neuralgia tipe 1 biasanya paling sering terjadi
dikarenakan kompresi neuravaskular. Tipe 2 paling
sering terjadi sebagai akibat dari adanya multiple
sklerosis yang diderita oleh pasien, dan
neuropathy. (Majeed et al., 2018)
40
Penggunaan fenitoin intra vena untuk
mengatasi nyeri orofasial pada trigeminal
neuralgia dengan efektif dilaporkan oleh Tate,
Krajewski, dan Rubin (2011), dimana dosis yang
digunakan adalah 15 mg/kg berat badan secara
intra vena. (Tate, Krajewski, & Rubin, 2011)
d. Lamotrigin
Dosis maksimal yang diperbolehkan adalah 400
mg per hari. (Sreenivasan, Raj, & Ovallath,
2014) Lamotrigin dapat diberikan sebanyak dua
kali dalam satu hari, dengan dosis antara 100-
150 mg untuk setiap kali pemberian. Dosis awal
adalah 25 mg selama 6-8 hari dan ditingkatkan
sebanyak 25-50 mg setiap 1-2 minggu. (Punyani
& Jasuja, 2012)
e. Gabapentin
Gabapentin dosis rendah apabila dipadukan
dengan lamotrigine maupun carbamazepine
memberikan efektifitas yang sangat baik.
Gabapentin diberikan dalam rentang dosis 120 –
3600 mg per hari yang dibagi ke dalam tiga
hingga empat kali per hari. (Punyani & Jasuja,
2012)
41
f. Topiramat
Topiramat diberikan dengan rentang dosis 100-
400 mg per hari yang diberikan dalam dua kali
pemberian. (Sreenivasan et al., 2014)
g. Dekompresi mikrovaskular
Dekompresi mikrovaskular merupakan prosedur
invasif yang dilakukan untuk memperbaiki
abnormalitas yang terjadi pada saraf trigeminus
(pada kasus trigeminal neuralgia). Pada tehnik
ini, dilakukan pemberian spon diantara arteri
dan nervus trigeminus. Prosedur ini akan
melepaskan nervus trigeminus dari tekanan
yang diberikan oleh pembuluh darah.
42
h. Radiofrequency gangliolysis
i. Glycerol gangliolysis
j. Balloon compression
k. Stereotactic radiosurgery
l. Peripheral neurectomy
m. Injeksi blok alkohol
n. Transcranial magnetic stimulation
o. Elektroakupunktur
p. Cryotherapy
2. Odontalgia atipikal
Odontalgia atipikal yang dikenal juga dengan
phantom tooth pain atau persistent neuropathic
pain (Koratkar & Pedersen, 2008) saat ini
dikategorikan ke dalam persistent idiopathic facial
pain disorder atau kelainan nyeri fasial idiopatik
persisten (Abiko, Matsuoka, Chiba, & Toyofuku,
2012; Ahlawat, Malhotra, Sharma, & talwar, 2016)
oleh International Headache Society (IHS). IHS
menggambarkan bahwa odontalgia atipikal
merupakan kondisi nyeri kronis yang
bermanifestasi sebagai gejala nyeri persisten dan
43
berkelanjutan dan terjadi lebih dari 6 bulan setelah
pencabutan gigi selesai dilakukan, tanpa disertai
kondisi patologis. (Ahlawat et al., 2016) Selain
tindakan pencabutan gigi, beberapa tindakan yang
berpotensi untuk menimbulkan deaferensiasi pada
cabang nervus trigeminus sehingga menimbulkan
odontalgia atipikal adalah perawatan saluran akar
atau apikoektomi. (Koratkar & Pedersen, 2008)
47
Gambar 2. Splin Oklusal
Sumber: https://www.hindawi.com/journals/crid/2015/531618/
4. Postherpetic neuralgia
Postherpetic neuralgia merupakan jenis neuralgia
yang disebabkan karena terjadinya reaktivasi virus
herpes zoster, yang pada umumnya berdiam di
nervus kranial atau akar dorsal ganglio dari korda
spinalis, setelah pasien terinfeksi dan terkena
cacar air. Pengobatan dapat dilakukan dengan
pemberian gabapentin sebanyak satu kali per hari.
Dosis awal yang disarankan adalah 300 mg. Dosis
dapat ditingkatkan secara perlahan selama dua
minggu pada hari ke 2, 3, 7, 11, dan 15. Pada hari
ke 15, dosis maksimum yang diperbolehkan adalah
1800 mg per hari. (Shrestha & Chen, 2018). Obat
antikonvulsan lain yang dapat digunakan untuk
48
mengatasi postherpetic neuralgia adalah
pregabalin. Karena pregabalin lebih poten dari
gabapentin, maka pregabalin dimulai pada dosis
150 mg per hari. Selanjutnya dalam waktu satu
minggu dapat ditingkatkan menjadi 300 mg. Dosis
maksimum sebanyak 600 mg per hari dapat
dicapai dalam waktu dua hingga empat minggu.
(Nalamachu & Morley-Foster, 2012; Shrestha &
Chen, 2018)
49
Nyeri akut yang berkaitan dengan kelainan sendi
temporomandibular merupakan jenis nyeri
orofasial yang bermanifestasi pada area di sekitar
sendi temporomandibular serta otot-otot mastikasi.
Nyeri orofasial terkait kelainan sendi
temporomandibular biasanya terjadi disertai
dengan clicking, pembatasan bukaan mulut,
terkuncinya sendi pada posisi mulut terbuka atau
tertutup. (Gil-Martinez, Paris-Alemany, Lopez-de-
Uralde-Villanueva, & La Touche, 2018; Ravikumar
& Ramakrishnan, 2018)
50
Gambar 3. Penggunaan icepacks untuk mengurangi nyeri
karena kelainan sendi temporomandibular.
Sumber: www.amazon.com
55
b. BMS tipe 2, dimana nyeri dimulai ketika pasien
terbangun di pagi hari dan terus terasa
sepanjang hari.
c. BMS tipe 3, dimana nyeri terasa dalam bentuk
intermiten.
56
Daftar Pustaka
57
Al-Qulity, K. W. (2015). Update on neuropathic pain
treatment for trigeminal neuralgia.
Neurosciences (Riyadh), 20(2), 107-114.
Battrum, D. E., & Gutmann, J. L. (1996). Phantom
tooth pain: a diagnosis of exclusion. Int
Endodod J, 29, 190-194.
Borg-Stein, J., & Simons, D. G. (2002). Myofascial
Pain. Arch Phys Med Rehabil, 83(Suppl 1), S40-
S47.
Bosch-Aranda, M. L., Vazquez-Delgado, E., & Gay-
Escoda, C. (2011). Atypical odontalgia: a
systematic review following the evidence-based
principles of dentistry. Cranio, 29(3).
Desai, M. J., Saini, V., & Saini, S. (2013). Myofascial
Pain Syndrome: A Treatment Review. Pain
Ther, 2, 21-36.
Furlan, R. M. M. M. (2015). The use of cryotherapy in
the treatment of temporomandibular disorders.
Rev CEFAC, 17(2), 648-655.
Gil-Martinez, A., Paris-Alemany, A., Lopez-de-Uralde-
Villanueva, I., & La Touche, R. (2018).
Management of pain in patients with
58
temporomandibular disorder (TD): challenges
and solutions. J Pain Res, 11, 571-587.
Gilmore, B., & Michael, M. (2011). Treatment of acute
migraine headache. A Fam Physician, 83(3),
271-280.
Hong, C.-Z. (2006). Treatment of myofascial pain
syndrome. Curr Pain Headache Rep, 10, 345-
349.
IHS, I.-H.-S. (2020). International Classification of
Orofacial Pain, 1st edition (ICOP). Cephalal,
40(2), 129-221.
Jørgensen, M. R., & Pedersen, A. M. (2017). Analgesic
effect of topical oral capsaicin gel in burning
mouth syndrome. Acta Odontol Scand, 75(2),
130-136.
Koratkar, H., & Pedersen, J. (2008). Atypical
odontalgia: a review. Northwest dent, 87(1),
37-38.
List, T., Leijon, G., Helkimo, M., Öster, A., & Svensson,
P. (2006). Effect of local anesthesia on atypical
odontalgia—a randomized controlled trial. Pain,
122(3), 306-314.
59
Majeed, M. H., Arooj, S., Khokhar, M. A., Mirza, T., Ali,
A. A., & Bajwa, Z. H. (2018). Trigeminal
neuralgia: A clinical review for the general
physician. Cureus, 10(12), e3750.
McCarthy, P. J., McClanahan, S., Hodges, J., & Bowles,
W. R. (2010). Frequency of localization of the
painful tooth by patients presenting for an
endodontic emergenvy J Endod, 36, 801-805.
Mellis, M., & Secci, S. (2007). Diagnosis and
Treatment of Atypical Odontalgia: A Review of
the Literature and Two Case Reports. J
Contemp Dent Prac, 8(3), 1-9.
Nalamachu, S., & Morley-Foster, P. (2012).
Diagnosing and managing postherpetic
neuralgia. Drugs Aging, 29(11), 863-869.
Obermann, M. (2010). Treatment options in
trigeminal neuralgia. Ther Adv Neurol Disord,
3(2), 107-115.
Pertes, R. A., Bailey, D. R., & Milone, A. S. (1995).
Atypical odontalgia - a nondental toothache. J N
J Dent Assoc, 66, 29-33.
60
Punyani, S. R., & Jasuja, V. R. (2012). Trigeminal
neuralgia: An insight into the current treatment
modalities. J Oral Bio Cranio Res, 2(3), 188-197.
Ravikumar, K. K., & Ramakrishnan, K. (2018). Pain in
the face: An overview of pain of
nonodontogenic origin. Int J Soc Rehab, 3(1), 1-
5.
Sajjanhar, I., Goel, A., Tikku, A. P., & Chandra, A.
(2017). Odontogenic pain of non-odontogenic
origin. Int J Applied Dent Sci, 3(3), 1-4.
Seifeldin, S. A., & Elhayes, K. A. (2015). Soft versus
hard occlusal splint therapy in the management
of temporomandibular disorders (TMDs). Saudi
Dent J, 27, 208-214.
Shaikh, S. (2019). Management of Odontogenic and
Nonodontogenic Oral Pain. In M. Cascella (Ed.),
From Conventional to Innovative Approach for
Pain Treatment (pp. 1-13): Intech Open.
doi:http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.83837
Shrestha, M., & Chen, A. (2018). Modalities in
managing potherpetic neuralgia. Korean J Pain,
31(4), 235-243.
61
Silvestre, F. J., Sivestre-Rangil, J., Tamarit-Santafé, C.,
& Bautista, D. (2012). Application of a capsaicin
rinse in the treatment of burning mouth
syndrome. Med Oral Patol Oral Cir Bucal, 17(1),
e1-4.
Sreenivasan, P., Raj, S. V., & Ovallath, S. (2014).
Treatment Options in Trigeminal Neuralgia an
Update. Eur J Gen Med, 11(3), 209-216.
Tate, R., Krajewski, K. C., & Rubin, L. M. (2011).
Treatment of refractory trigeminal neuralgia
with intravenous phenytoin. Am J Health-Syst
Pharm, 68(21), 2059-2061.
Tu, T. T. H., Miura, A., Shinohara, Y., Mikuzuki, L.,
Kawasaki, K., Sugawara, S., . . . Toyofuku, A.
(2019). Pharmacotherapeutic outcomes in
atypical odontalgia: determinants of pain relief.
J Pain Res, 12, 831-839.
Weiss, A. L., Ehrhardt, K. P., & Tolba, R. (2017).
Atypical Facial Pain: a Comprehensive,
Evidence-Based Review. Curr Pain Headache
Rep, 21(2), 8.
Zakrzewska, J. M. (2007). Diagnosis and Management
of Non- Dental Pain. Dent Update, 34, 1-5.
62
Manajemen Kedaruratan di Bidang Endodontik
1. Pendahuluan
Kegawatdaruratan di bidang endodontik
didefinisikan sebagai nyeri atau pembengkakan yang
63
disebabkan oleh berbagai tahap peradangan atau
infeksi jaringan pulpa atau periapikal. Diagnosis yang
tepat dan manajemen nyeri gigi akut yang efektif
merupakan cara yang paling memuaskan dalam
memberikan perawatan gigi. Penyebab sakit gigi
pada umumnya berasal dari karies, restorasi yang
dalam atau rusak, atau trauma. Rasa nyeri karena
oklusi traumatik gejalanya serupa dengan nyeri gigi
akut.
66
dengan tidak ada bengkak
67
Survei sebelumnya dalam beberapa dekade
mengalami beberapa perubahan yang berkaitan
dengan manajemen klinis dari keadaan darurat
endodontik. Banyak dari modifikasi perawatan ini
telah terjadi karena alat dan bahan yang lebih
modern serta penelitian berdasarkan bukti baru dan
keberhasilan klinis empiris. Klasifikasi lain menurut
Carrotte (2004) terbagi dalam 3 kelompok yaitu :
68
Abses Phoenix
70
1. Perawatan kedaruratan sebelum perawatan
1.1. Rasa sakit pulpa
Pasien datang dilakukan pemeriksaan
subyektif dan obyektif, ditanyakan seluruh riwayat
medis dan gigi serta kelainan sistemik,
pemeriksaan radigrafis dan penunjang lainnya,
yang bertujuan mendapatkan diagnosa yang tepat.
Tantangan terbesar dokter gigi adalah pada
pemeriksaan subyektif harus bisa mendapatkan
informasi tentang keluhan uatama pasien dengan
pertanyaan-pertanyaan seperti dibawah ini :
1) Di mana rasa sakitnya?
2) Kapan rasa sakit pertama kali terjadi?
3) Rasa sakitnya seperti apa?
4) Rasa sakit terjadi apakah ada penyebab
sebelumnya?
5) Apakah ada yang meringankan gejala
sakitnya?
6) Apakah ada pembengkakan.
7) Riwayat gigi sebelumnya:
a. perawatan ulang;
b. perawatan periodontal;
8) Apakah pernah ada trauma pada gigi?
71
Apabila ada setiap gangguan yang dapat
menyebabkan diagnosa banding dari nyeri gigi,
seperti myofascial pain dysfunction syndrome (MPD),
neurological disorders seperti trigeminal neuralgia,
vascular pain syndromes serta maxillary sinus
disorders. Pemeriksaan vitalitas dengan tes dingin,
tes panas, atau electrical pulp test serta pemeriksaan
perkusi dan tekan dilakukan untuk mengetahui
keadaan pulpa dan periapikal. Probe periodontal
digunakan untuk mengetahui keadaan gingiva dan
jaringan sekitar. Pemeriksaan penunjang untuk
membantu menentukan diagnosa pada umumnya
adalah radiografi periapikal yang diambil diambil
dengan teknik parallel.
72
ringan dapat diatasi dengan cara yang mirip dengan
jaringan lain, lapisan dentin reparatif dapat dibentuk
sebagai protein dari jejas lebih lanjut. Iritasi jika
terjadi lebih parah, dengan kerusakan yang luas,
peradangan lebih lanjut yang melibatkan sisa pulpa
dan menyebabkan gigi mengalami nekrosis pulpa.
75
Gejala klinis pada pulpitis irreversibel adalah:
76
pada orang yang lebih muda karena diposisi endapan
sekunder dan gantung lainnya pada jaringan pulpa.
Electrical Pulp Test (EPT) hanyalah indikasi kehadiran
jaringan saraf vital hanya pada sistem saluran akar
dan bukan indikasi kondisi kesehatan jaringan pulpa.
78
a. Anestesi infiltrasi tambahan di lingual dan
palatal.
b. Anestesi intraligamental (intra-osseous).
c. Anestesi intra-osseous
b. Anestesi intrapulpa
a. Sedasi inhalasi dengan anestesi lokal.
Tehnik-tehnik ini apabila hanya memberikan
hasil yang moderat sehingga rasa nyeri masih
dirasakan oleh pasien disarankan untuk memberikan
“sedative dressing” berupa cairan mengandung
anestesi lokal seperti lidokain untuk meredakan
peradangan sementara ditutup tambalan sementara
dan menunda terlebih dahulu pengambilan jaringan
pulpa. Aplikasi medikamen antibiotik/kortikosteroid
ditambah zinc oxide eugenol akan meredakan efektif
sementara.
80
visit (complete instrumentation) karena peningkatan
literatur tentang pengaruh instrumentasi lengkap dan
penempatan medikamen saluran akar terhadap
pengurangan racun bakteri dan sitokin yang secara
langsung mengaktifkan dan mensensor nosiseptor.
Perkembangan alat modern seperti apex locator
elektronik, mikroskop operasi bedah, instrument
ultrasonik dan cone beam computed tomography
(CBCT) telah hampir menghilangkan faktor
terbatasnya waktu dalam pertimbangan memilih
pulpotomi dan pulpektomi tanpa instrumentasi
lengkap. Kasus darurat banyak dengan pulpalgia dan
periodontitis apikalis simtomatik juga dapat
diselesaikan dalam satu kunjungan. Namun, masalah
ini akan fokus dan menyajikan keadaan terkait
dengan prosedur pulpotomi dan pulpektomi
endodontik secara sesuai.
81
akar yang meradang. Meskipun pulpektomi adalah
istilah yang paling cocok untuk pulpa vital, ini juga
digunakan sebagai referensi untuk pengangkatan
jaringan saluran akar nekrosis. Secara umum, kedua
prosedur memiliki tingkat keberhasilan lebih dari
90% pada pengurangan rasa sakit pasca operasi dari
sedang ke berat ke ringan menjadi tanpa rasa sakit.
Penelitian lanjutan mengenai protokol ini telah
mengarah ke kemajuan baru dan hasil yang sangat
dapat diprediksi.
Perawatan Tambahan
1) Pengurangan oklusal
Pengurangan oklusal secara signifikan
mengurangi nyeri pada pasien dengan pulpa
vital, gejala periradikular dan nyeri pra operasi,
48 jam setelah instrumentasi.
82
2) Analgesik pasca operasi
Ulasan sistematis terbaru dan meta-analisis
menunjukkan bahwa ibuprofen 600 mg atau
ibuprofen 600 mg dengan acetaminophen
(APAP) 1000 mg paling efektif dalam
mengurangi nyeri endodontik pasca operasi
pada pasien tanpa kontraindikasi. Selain itu,
formulasi ibuprofen baru, ibuprofen sodium
dihydrate dengan dosis 512 mg telah terbukti
memiliki onset kerja yang lebih cepat daripada
asam ibuprofen dalam mengurangi nyeri
spontan dan allodynia mekanik, meskipun tidak
ada perawatan endodontik dalam penelitian ini,
onset aksi ibuprofen sodium dehydrate yang
lebih cepat kemungkinan akan bermanfaat bagi
nyeri pasien post endodontik. Pasien semua
dalam contoh di atas dijelaskan diberi 600 mg
ibuprofen ditambah 325 mg APAP.
83
Pengurangan tekanan cairan, pengurangan
mediator inflamasi mikroba dan pencegahan
penyebaran infeksi ke fasia yang lebih dalam
adalah alasan untuk menggunakan insisi dan
drainase.
a. Penicillin V - 85%
b. Amoxicillin - 91%
84
c. Amoxicillin + calvulanic acid - 100%
d. Metronidazole - 45%
e. Penicillin + metronidazole - 93%
f. Amoxicillin + metronidazole - 99%
g. Clindamycin - 96%
Data ini sangat menyarankan penggunaan
antibiotik spektrum luas seperti Augmentin atau
amoksisilin dengan metronidazole untuk infeksi
endodontik. Bukti antibiotik mengurangi rasa
sakit tidak ada buktinya dan karena itu
pemberian antibiotik yang berlebihan tanpa
adanya keterlibatan sistemik harus dihindari
untuk mencegahnya resistensi antimikroba pada
pasien.
87
(scalpel) Bard Parker no #11 atau #15,
kemudian aspirasi menggunakan jarum yang
lebar dan sekali pakai. Jarum ini juga bisa
digunakan aspirasi pus melalui saluran akar.
Keuntungan dari teknik ini adalah bahwa
sampel yang dikirim untuk uji bakteriologi jika
diperlukan. Biasanya tidak perlu memasukkan
drain tetapi jika diperlukan bisa dimasukkan
kassa steril ke dalamnya. Teknik yang sama
berlaku untuk drainase ekstra oral, tetapi
apabila diperlukan bisa merujuk ke spesialis
bedah mulut.
88
infeksi ulang.
90
2. Kedaruratan selama perawatan:
2.1. Perawatan restorasi
Pasien yang sedang dalam perawatan
endodontik mungkin akan mengalami rasa
sakit maka dokter gigi harus memberitahu
pasiennya apa saja kemungkinan yang akan
terjadi. Pasien disarankan tidak melakukan
aktivitas berat pada gigi tersebut dan apabila
rasa sakit terjadi bisa diberi bekal obat NSAID
yang diminum bila sakit dan bila sakit terus
berlanjut segera ke dokter gigi. Rasa nyeri
biasanya yang berlanjut terjadi karena:
Restorasi sementara terlalu tinggi
Kebocoran mikro pada restorasi
Pulpa tereksponasi
Rangsangan panas atau jejas saat
preparasi gigi atau semen base yang tipis
dibawah restorasi amalgam/logam
Iritasi akibat semen base atau bahan
restorasi
Efek listrik akibat bertemunya 2 logam
91
yang berbeda
CONTOH KASUS
KASUS 1
96
Gambar 1. Gambar MPR view dinding sinus kiri sebelum
perawatan endodontik (Anna Muryani,Maret 2017)
97
Gambar 3. Gambar Sagital View Gigi Dinding Sinus
sebelum perawatan endodontik (Anna Muryani,Maret
2017)
98
Perawatan dimulai dengan pemasangan ring
di mahkota gigi. Kemudian dilakukan foto waters dan
pengobatan antibiotik. Gigi-gigi di kiri rahang atas
setelah 2 bulan sudah mulai tidak sakit (Gambar 5-8).
Pasien kembali mengalami kecelakaan sepeda motor
diduga ada benturan di area sinus kiri, dan luka di
wajah terutama bagian bawah hidung sebelah kiri
(pipi kiri dekat mata dilakukan penjahitan). Gigi 26
awalnya di lakukan occlusal adjustment, kemudian
pulp capping dan restorasi sementara kemudian
karena pasien mengalami tabrakan kembali, gigi
menjadi terasa sakit dan wajah bengkak kembali
maka dilakukan perawatan saluran akar dan follow
up endocrown. Pasien sudah tidak mengeluhkan rasa
sakit sampai sekarang (3 tahun) dan penebalan sinus
telah berkurang banyak
99
Gambar 5. Gambar MPR view dinding sinus kiri sesudah
perawatan endodontik (Anna Muryani,Oktober 2017)
100
Gambar 7. Gambar Sagital View Gigi Dinding Sinus sesudah
perawatan endodontic (Anna Muryani,Oktober 2017)
KASUS 2
101
sudah minum obat pereda sakit dan sakitnya hilang,
dan sekarang ingin dirawat giginya karena sakit dan
mengganggu penampilan.
Hasil pemeriksaan obyektif didapatkan gigi 11
mengalami fraktur hingga terlihat sisa mahkota
tinggal 1/3 insisal dan pulpa tereksponasi (Gambar
9). Tes dingin dan Electric Pulp Tester (EPT),
menunjukkan respon positif. Pemeriksaan perkusi
dan tekan menunjukkan respon negatif, tes palpasi
negatif. Pemeriksaan mobiliti menunjukkan respon
negatif. Kebersihan mulut baik.
Tatalaksana Kasus
a b
Gambar 11. a. Isolasi gigi dengan rubber dam, b. Pembukaan
akses kavitas (Anna Muryani,2011)
104
menggunakan paper point. (Gambar 12) Panjang
kerja ditentukan dengan file awal no. 15 (K-file,
Dentsply) menggunakan apex locator (Propex,
Dentsply) dan hasilnya 22 mm. Kemudian dilakukan
preparasi saluran akar dengan tehnik crown down
sesuai panjang kerja menggunakan jarum ProTaper
rotary (Protaper, Dentsply) dan sebagai lubricant
menggunakan EDTA gel 15% (glyde, Dentsply,
DeTrey, Swiss). Preparasi saluran akar dimulai
dengan jarum ukuran Sx, S1, S2, F1 sampai ukuran
F5. Setiap pergantian jarum dilakukan irigasi
dengan NaOC1 2,5%. Setelah irigasi terakhir
menggunakan NaOC1 2,5%, saluran akar
dikeringkan dengan menggunakan paper point.
105
Kemudian dilakukan trial foto sesuai panjang
kerja menggunakan gutaperca nomor F5. Hasil
radiografis terlihat panjang gutaperca sesuai
dengan panjang kerja (Gambar 13).
SIMPULAN
108
DAFTAR PUSTAKA
109
7. Chapnick L: External root resorption: an
experimental radiographic evaluation, Oral
Surg Oral Med Oral Pathol 67:578, 1989.
8. Carrotte.P. Endodontic Part 3: Treatment of
Endodontic Emergencies. BDJ; 2004:197;299-
305
111
BAB VI
113
kira-kira 2 per 10.000 penduduk sampai 5 per 10.000
penduduk.
6.1 Definisi
115
Beberapa golongan alergen yang sering
menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan,
obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang,
kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian,
buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan
yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis.
Obat-obatan yang bisa menyebabkan reaksi
anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat
anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID,
opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain- lain. Media
kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan
cuaca dingin juga bisa menyebabkan reaksi
anafilaksis.2
1. Penyakit Atopi
116
oleh latihan fisik, anafilaksis idiopatik, reaksi
terhadap radiokontras, dan reaksi terhadap latex.
Sementara, hal ini tidak didapati pada reaksi
terhadap penisilin dan gigitan serangga.
3. Asma
117
6.3 Patofisiologi
118
terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama sampai timbulnya gejala.2,3,5
119
Gambar 1. Patofisiologi Reaksi Anafilaksis
120
kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi
mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos.
123
laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala
disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan
kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi.
Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia
ventrikel atau renjatan yang irreversible.7,8
124
Dermatogica Urticaria, facial edema, pruritus
l
127
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit
untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji
cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau
berseri (skin end-point titration/SET). Pemeriksaan
lainnya antara lain analisa gas darah, elektrolit, dan
gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses
lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-
lain.2,5
II.6 Diagnosis
128
pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu
dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas,
bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan PEF,
hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau
gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ
sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).7
130
Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaksis sebagai
berikut 9:
Airway Problem :
131
- Pembengkakan jalan nafas seperti
tenggorokan dan lidah membengkak
(faring/laring edem). Pasien sulit bernafas
dan menelan dan merasa tenggorokan
tertutup.
- Suara Hoarseness
Breathing Problems :
- Wheezing
- Respiratory arrest
132
Circulation Problems :
- Cardiac arrest
6. 7 Diagnosis Banding
6.8 Penatalaksanaan
137
o Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas
harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan
sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi
kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke
belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan
melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi
kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus
segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
138
o Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi
pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis),
segera lakukan kompresi jantung luar.2,5,10
Obat-obatan
139
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada
lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada
sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada
penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki
onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler.
Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi
intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada
pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1:1000
(0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB
untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali
tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi
menunjukkan perbaikan.5,9,10
140
respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat
diberi dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari
pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan
injeksi intravena lambat selama beberapa menit.
Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk
mengalami syok anafilaksis perlu membawa
adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu
diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada
kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang
cepat orang lain dapat memberikan adrenalin
tersebut.9,10
141
Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat
diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300
mg) atau ranitidin (150mg) harus diencerkan dengan
20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit.
Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian
simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai
ranitidin. Antihistamin yang juga dapat diberikan
adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-
pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48
jam.9,10
142
dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason
2-6 mg/kg BB.9,10
Terapi Cairan.
144
Cairan intravena seperti larutan isotonik
kristaloid merupakan pilihan pertama dalam
melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan
volume intravaskuler, volume nterstitial, dan intra
sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna
untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler. 10
Observasi
145
Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan,
klinis (keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan
produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi,
dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas,
syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen
karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria
dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan,
infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah
dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin
lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah
sakit.10
146
Gambar 4.Algoritme Resusitasi Syok Anafilaksis
147
Pencegahan
148
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati,
encerkan obat bila pemberian dengan jalur subkutan,
intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan
observasi selama pemberian. Pemberian obat harus
benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat.
Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok
anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang
menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita
supaya menghindari makanan atau obat yang
menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah
harus selalu tersedia obat penawar untuk
mengantisipasi reaksi anfilaksis serta adanya alat-
alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi
alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan
jangka panjang.10
6.9 Prognosis
150
BAB III KESIMPULAN
151
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang
yang baik akan membantu seorang dokter dalam
mendiagnosis suatu syok anafilaktik.
Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan
tepat mulai dari hentikan allergen yang
menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan penderita
dengan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala;
penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru;
pemberian adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai
dosis; monitoring keadaan hemodinamik penderita
bila perlu berikan terapi cairan secara intravena,
observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke
rumah sakit. Pencegahan merupakan langkah
terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik
terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila
ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan
kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang
menyebabkan kematian.
152
BAB IV DAFTAR PUSTAKA
153
Clinical Anesthesiology. 5th edition. United
States: McGraw-Hill; 2013. p. 1217-22.
7. Sampson HA, et al. Clinical Immunology and
Allergy. Margaret and Fremantle Hospitals,
Western Australia; 2006.
8. Brown SGA. Clinical Feature and Severity
Grading of Anaphylaxis. Allergy Clinical
Immunology. Hobart, Australia; 2004. p.371-
376.
9. Simons FER, Camargo Jr CA. Anaphylaxis: Rapid
recognition and Treatment. In: Bochner BS.
August 8, 2013. Available at:
http://www.uptodate.com/contents/anaphylaxis
-rapid-recognition- and-treatment .
10. Mullins RJ, Gold MS, Brown SGA. Anaphylaxis:
Diagnosis and Management. 2006. Available
at:
https://www.mja.com.au/journal/2006/185/5/2-
anaphylaxis- diagnosis-and-management .
154
155
RIWAYAT PENULIS
1.Tantry Maulina
Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana
Kedokteran Gigi (SKG) pada tahun 2001 dan
menyelesaikan pendidikan profesi bidang Kedokteran
Gigi untuk meraih gelar Dokter Gigi pada tahun 2003.
Penulis selanjutnya menyelesaikan program Magister
di Universitas Padjadjaran pada tahun 2010.
Pendidikan terakhir penulis adalah program Doktoral
di University of Sydney, Australia dengan konsentrasi
utama nyeri orofasial, yang berhasil diselesaikan
pada tahun 2014. Sejak tahun 2005 hingga saat ini,
penulis bekerja di Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Padjadjaran sebagai staf pengajar di
Departemen Bedah Mulut. Penulis rutin menulis
artikel mengenai nyeri orofasial yang diterbitkan di
Jurnal Ilmiah Internasional bereputasi serta menjadi
penelaah ilmiah baik untuk jurnal nasional maupun
jurnal internasional.
2. Anna Muryani
156
Penulis dilahirkan di Bandung, 13 Juni 1979. Penulis
menyelesaikan pendidikan dokter gigi pada tahun
2004, lulus Spesialis Konservasi Gigi tahun 2013 di
Universitas Padjadjaran serta konsultan tahun 2018 .
Saat ini penulis merupakan staf pengajar di
Departemen Konservasi Gigi FKG Unpad dengan
keminatan endodontik, irigasi (cleaning) endodontik,
computational fluid dynamic, serta finite element.
157