Anda di halaman 1dari 157

1

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada


Allah SWT, karena atas rahmat dan izin-Nya, maka
kami dapat menyelesaikan buku mengenai
“Penanganan kegawat daruratan dental dan trauma
maksilofasial”.
Buku ini berisi ringkasan mengenai diagnosis, penyebab
utama dan penanganan kasus trauma dental dan maksilofasial
dengan berbagai multidisplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi
pada dokter gigi umum.
Penyusunan buku ini telah mendapatkan
beberapa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh
pihak yang sudah membantu dalam penyusunan
buku ini.

Kepala Departemen Ilmu Bedah


Mulut

2
Prof. Dr. drg. Harmas Yazid Yusuf, Sp.BM
(K)

3
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
----------------------------------------------------------------
Daftar Isi
-------------------------------------------------------------------------
BAB I Pendahuluan
---------------------------------------------------------
BAB II Isi
Materi--------------------------------------------------------------
BAB III Kesimpulan
-------------------------------------------------------
BAB IV Daftar
Pustaka----------------------------------------------------
BAB V Riwayat Penulis
---------------------------------------------------

4
MANAJEMEN PERDARAHAN

1. PENDAHULUAN

Trauma adalah suatu keadaan ketika seseorang


mengalami cedera karena salah satu sebab.
Penyebab utama trauma adalah kecelakaan lalu
lintas, industri, olahraga dan kekerasan rumah
tangga. Trauma maksilofasial biasanya menyebabkan
disfungsi struktur di sekitarnya dan struktur pada
bagian yang dilindungi atau disangganya. Kecelakaan
lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang
tinggi terjadinya kecacatan dan kematian pada orang
dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan
angka terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30
tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72%
kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
Tindakan kegawatdaruratan trauma maksilofasial
merupakan suatu penatalaksanaan tindakan darurat
pada orang yang baru saja mengalami trauma pada
daerah maksilofasial (wajah). Penatalaksanaan

5
kegawatdaruratan pada trauma maksilofasial oleh
dokter mencakup bantuan hidup dasar (basic life
support), kontrol perdarahan, penjahitan luka, yang
berguna menurunkan tingkat kecacatan dan
kematian pasien sampai diperolehnya penanganan
selanjutnya di rumah sakit. Oleh karena itu, para
dokter gigi diharapkan mampu memahami prosedur-
prosedur penanganan pasien yang mengalami
kegawatdaruratan medis di klinik gigi.
Pendarahan pada tindakan kedokteran gigi juga
merupakan salah satu masalah klinis yang memiliki
berbagai macam konsekuensi. Hampir semua jenis
tindakan yang akan menginterupsi pembuluh darah
dapat menyebabkan pendarahan. Dokter gigi harus
terbiasa dengan teknik umum kontrol perdarahan
untuk berbagai jenis episode perdarahan. Perdarahan
menunjukkan ekstravasasi darah karena pecahnya
pembuluh darah. Darah membawa oksigen dan
nutrisi ke jaringan dan sangat penting untuk fungsi
tubuh. Kehilangan darah karena alasan apa pun
berpotensi mengancam jiwa dan dapat menyebabkan
kematian. Manajemen perdarahan merupakan salah
satu tindakan yang harus diketahui oleh dokter gigi
6
dalam upaya melakukan tindakan penatalaksanaan
kegawatdaruratan medis di praktek sehari – hari.

2. JENIS PERDARAHAN

Perdarahan dapat diklasifikasikan menurut lokasi


yang terkena yaitu jaringan lunak, tulang dan
vaskular. Perdarahan tergantung pada jenis
pembuluh darah yang terlibat yaitu:

1) Pendarahan Arteri: pulsatil, cepat dan


berwarna merah cerah.
2) Perdarahan vena: darah berwarna gelap dan
mengalir dalam aliran yang merata.
3) Pendarahan Kapiler: tidak ada titik
perdarahan yang dapat dibuat.

Bergantung pada durasi perdarahan dapat


diklasifikasikan sebagai perdarahan primer,
pendarahan reaksioner / sedang dan pendarahan
sekunder:

- Pendarahan primer: terjadi pada saat cedera.


Mekanisme hemostatik dalam tubuh berusaha

7
menghentikan perdarahan dengan pembentukan
bekuan darah.

- Pendarahan sekunder: Jika luka mulai berdarah lagi


setelah 24 jam hingga beberapa hari yang mungkin
disebabkan oleh pemindahan clot, trauma sekunder
pada luka, infeksi, dan peningkatan tekanan darah
pasien yang cukup untuk mengatasi tekanan di luar
pembuluh darah.

- Pendarahan reaksioner: Terjadi dalam waktu 8


hingga 24 jam. Benda asing yang masuk pada luka
seperti kalkulus, potongan tulang, dan jaringan
granulasi luas yang ada sebelumnya dalam soket
ekstraksi adalah penyebab paling umum untuk
perdarahan sedang 4,5
.

3. HEMOSTASIS

Pengetahuan yang baik tentang fisiologi


hemostasis penting untuk memahami bagaimana
perdarahan dapat terjadi. Proses hemostasis
melibatkan:

8
- Vasokonstriksi - kejang pembuluh darah di otot
polos di dinding pembuluh darah;
- Formation Pembentukan sumbat trombosit -
adhesi, interaksi dan agregasi trombosit;
- Kaskade / jaringan koagulasi - faktor
pembekuan dalam jalur ekstrinsik, intrinsik,
dan umum menyebabkan pembentukan fibrin.

Pembentukan clot adalah proses dinamis yang


melibatkan keseimbangan antara sistem hemostatik
dan fibrinolitik. Keterlibatan banyak sel, bahan kimia
dan protein plasma diperlukan untuk keberhasilan
hemostasis. Gambar 1 menguraikan garis waktu
pembentukan gumpalan .
1,2

Gambar 1. Waktu pembentukan jendalan darah 12

Tabel 2 menguraikan kondisi yang dapat menimbulkan risiko


perdarahan pasca ekstraksi yang lebih tinggi.

9
`3.1 Tes Laboratorium untuk Skrining

Bleeding Time (BT): Ukuran sensitif fungsi platelet,


ada hubungan linier antara jumlah trombosit dan
waktu perdarahan. Waktu perdarahan lebih dari 10
menit meningkatan risiko perdarahan.

Hitungan Trombosit: Trombosit normal (1,50,000-


4,50,000/mm3) ketika menjadi 50.000-1.00.000,
terjadi perpanjangan waktu perdarahan ringan

10
(perdarahan terjadi setelah trauma parah atau
pembedahan). Prosedur bedah mulut minor dilakukan
dengan aman jika jumlah trombosit >
80.0001.000.000/mm3 darah, jika tidak pasien akan
memerlukan transfusi plasma kaya trombosit.

Prothrombin Time (PT): Waktu Prothrombin


berpengaruh pada pasien yang menggunakan terapi
antikoagulan warfarin, defisiensi vitamin K atau
defisiensi faktor V, VII, X, protrombin atau fibrinogen.
Hasil yang diperoleh dari waktu protrombin harus
terkait dengan nilai kontrol. Normal PT biasanya 12-
14 detik. Sebagai pedoman umum untuk prosedur
gigi, INR harus 1,0 hingga 1,5.

Partial Thromboplastin Time (PTT): Waktu


tromboplastin parsial menyaring ekstremitas jalur
koagulasi dan menguji kecukupan faktor VIII, IX, X, XI,
XII sistem intrinsik dan faktor I, II, V jalur umum.
Penyakit ini berkepanjangan pada penderita
hemofilia 6,7
.

3.2 Mengevaluasi Pasien Sebelum Prosedur


Pembedahan
11
Anatomi leher:

Berguna untuk membagi struktur anatomi leher


menjadi lima kelompok fungsional utama, untuk
memfasilitasi dan memastikan penilaian
komprehensif dan pendekatan bedah: 1. Jalan napas -
faring, laring, trakea, paru-paru; 2. Pembuluh darah
utama – a. karotis, a. innominate, lengkung aorta, v.
jugularis, v. subklavia; 3. Saluran pencernaan - faring,
kerongkongan; 4. Saraf - sumsum tulang belakang,
pleksus brakialis, saraf kranial, saraf tepi; 5. Tulang -
sudut mandibula, proses styloid, tulang belakang
leher .
6,7

3.3 Riwayat kasus yang tepat

Jenis kelamin pasien, usia ketika perdarahan


abnormal pertama kali dicatat, dan riwayat keluarga
sangat penting dalam mengevaluasi kelainan
hemostasis, karena sebagian besar kelainan
pembuluh dan trombosit diturunkan, sedangkan
kelainan koagulasi yang paling serius adalah
herediter dan lebih dari 90 persen hanya terjadi pada
pria. Tidak adanya riwayat keluarga yang mengalami

12
perdarahan, tidak mengesampingkan adanya
kelainan koagulasi herediter. Anamnesis
pembedahan, cedera besar, atau bahkan pencabutan
gigi multipel tanpa perdarahan abnormal adalah
bukti yang baik terhadap adanya kelainan koagulasi
herediter 6,7
.

3.4 Manajemen Pasien yang Mengonsumsi


Agen Antitrombotik dalam Bedah Mulut

Kondisi medis seperti tromboemboli vena atau


kejadian kardiovaskular, memerlukan obat-obatan
trombotik sebagai
Tabel 3 : klasifikasi profilaksis
prosedur tindakan atau
kedokteran gigi pengobatan
menurut resiko perdarahan 4 5

terhadap kekambuhan. Pasien yang menggunakan


antikoagulan dalam bentuk antagonis vitamin K,
antikoagulan langsung baru, atau agen antiplatelet,
yang memiliki intervensi gigi risiko rendah, tidak
memerlukan gangguan antikoagulan, karena mereka
memiliki risiko perdarahan rendah (Tabel 3). Dalam
kasus komplikasi perdarahan, tindakan hemostatik
lokal, seperti jahitan bedah lokal, lem fibrin,
pengobatan antifibrinolitik lokal dengan asam
traneksamat, atau asam e-aminokaproat cukup untuk
menghentikan pendarahan. Untuk periode
13
antikoagulasi jangka pendek, operasi gigi sebaiknya,
ditunda sampai akhir antikoagulasi bila
memungkinkan 4,5
.

Pada pasien yang membutuhkan pembedahan


oral atau intervensi gigi dengan risiko perdarahan
yang tinggi, penilaian individu tentang rasio
manfaat / risiko dari antikoagulasi yang mengganggu
harus dilakukan. Menjembatani antikoagulasi jangka
panjang dengan antikoagulan jangka pendek harus
direncanakan sesuai dengan pedoman nasional atau
internasional.

Pengenalan antikoagulan oral langsung yang


lebih baru, yang memiliki sifat farmakokinetik yang
lebih fleksibel dan dapat direproduksi, telah
memfasilitasi menjembatani, memungkinkan

14
gangguan jangka pendek tanpa meningkatkan risiko
kekambuhan kejadian trombotik atau kardiovaskular.
Tabel 4 . Aksi kerja Direct Oral Anti Coaugulants 4 5
\

Pasien dengan agen antiplatelet tunggal tidak


perlu menghentikan perawatan mereka sebelum
prosedur gigi dengan risiko perdarahan rendah.
Dalam kasus perawatan antiplatelet ganda atau
prosedur gigi invasif dengan risiko perdarahan tinggi,
penilaian individu dari rasio manfaat / risiko dari
antikoagulasi yang akan diberikan harus dilakukan
4,5.

15
3.5 Armamentarium untuk menangani
perdarahan pasca ekstraksi

Semua praktik gigi harus siap untuk menangani


manajemen perdarahan awal, bahkan jika rujukan ke
depan diperlukan untuk perawatan definitif. Tabel 5
menunjukkan daftar peralatan yang berguna dalam
menangani perdarahan pasca ekstraksi. Penggunaan
masing-masing yang tepat akan dijelaskan .
,1 2 3

3.6 Manajemen pasca ekstraksi segera

Tabel 5 : Daftar peralatan dalam


penanganan perdarahan 1 2 3

16
Setelah gigi dicabut, tekanan harus diletakkan
pada permukaan bukal dan lingual / palatal alveolus
di sekitar soket. Tekanan buccolingual langsung
mengurangi “dead space” luka dan merupakan
langkah pertama untuk membantu mendapatkan
hemostasis. Kasa steril yang cukup besar untuk
menutupi soket dapat ditempatkan langsung di atas
area soket dan pasien diminta untuk menggigit untuk
memberikan tekanan yang diperlukan. Jika area
edentulous menentang situs ekstraksi, menggigit
bersama mungkin tidak memberikan tekanan yang
cukup kuat. Dianjurkan dalam hal ini untuk
menggunakan tekanan jari pada kain kasa selama
beberapa menit 123
.

Tekanan kuat ini akan memungkinkan


hemostasis awal tercapai. Gumpalan harus dimulai
dari dasar soket. Sebaiknya periksa apakah bekuan
tidak dilepas dengan kain kasa. Sepotong kasa kedua
dapat ditempatkan dengan cara yang sama.
Penghapusan waktu ini seharusnya tidak
menunjukkan pendarahan baru. Sementara
menunggu hemostasis terjadi, atau begitu

17
hemostasis dikonfirmasi, pasien harus diberikan
instruksi yang jelas tentang manajemen soket pasca
operasi agar tidak menyebabkan perdarahan
sekunder. Instruksi harus diberikan secara lisan oleh
dokter yang melakukan prosedur. Pasien-pasien ini
mungkin tidak dapat mengingat daftar instruksi yang
panjang segera setelahnya. Oleh karena itu
disarankan untuk memberikan selebaran instruksi
singkat yang dapat dirujuk pasien pada waktunya
sendiri (Tabel 6). Namun, menyediakan selebaran
tanpa instruksi verbal yang komprehensif tidak dapat
diterima 123

18
Seperti disebutkan di atas, jika tekanan langsung ke
soket tidak mengontrol perdarahan, diagnosis harus
dilakukan mengenai etiologi.

a). Perdarahan jaringan lunak

Jaringan lunak intra oral sangat vaskularisasi


Tabel 6 : Leaflet instruksi pasca pencabutan gigi 1 2 3
dan mungkin merupakan tempat perdarahan
substansial. Anestesi lokal yang mengandung
vasokonstriktor dapat meminimalkan perdarahan
pada awalnya. Daerah infeksi yang luas
menyebabkan jaringan granulasi terbentuk di dasar

19
soket dan dapat merusak pembekuan dan
pendarahan hebat. Jika diagnosis adalah perdarahan
jaringan lunak, peralatan yang tepat harus digunakan
untuk mencapai hemostasis 123

b). Peralatan menjahit

Jahitan akan membantu penutupan soket dan


membantu menyatukan jaringan. Bahan jahitan
dapat diklasifikasikan ke dalam multifilamen atau
monofilamen; resorbable atau non-resortbable;
Sintetis atau alami. Jahitan 3.0 (Gambar 2) pada
jarum melengkung ½ lingkaran sangat berguna untuk
luka intra oral. Bahan resorbable, seperti vicryl® 3.08
(bahan sintetik, jalinan, dan resorbable)
direkomendasikan dengan 7-10 hari dukungan
sebelum diserap, cukup untuk penyembuhan. Jahitan
simple interrupted adalah yang paling umum
ditempatkan, namun, jahitan horizontal mattress
dapat memberikan penutupan soket yang sesuai .
123

20
c). Agen hemostatik kimia

Beberapa agen yang


dapat membantu
hemostasis tersedia
untuk praktisi gigi. Ini
termasuk:

- Asam
traneksamat

Pasien yang
menggunakan
antikoagulan oral dapat
diresepkan 5% obat
kumur asam
traneksamat sebagai pembilas, empat kali sehari,
selama dua hari pasca operasi. Asam
Gambar traneksamat
2 : Benang vycril dan
peralatan suturing 1 2 3
bukan merupakan pengaturan perawatan primer.

- Besi sulfat

Ferric sulphate adalah larutan astringent


(15,5%) dapat digunakan sebagai agen hemostatik
selama pulpotomi. Ini tidak banyak digunakan

21
terutama untuk mengontrol perdarahan pasca
ekstraksi, namun, ia dapat menawarkan bantuan bila
mukosa robek atau perdarahan yang tidak terkendali
dalam jaringan gingiva.

- Perak nitrat

Perak nitrat tersedia dalam bentuk pensil


(Gambar 3) yang mengandung 95% perak nitrat. Ini
dapat digunakan untuk membantu hemostasis di
daerah di mana penjahitan atau tekanan jari tidak
memungkinkan. Indikasi khas akan terjadi setelah
biopsi mukosa diambil dari daerah seperti palatum
keras atau pad retromolar. Perak nitrat adalah zat
pembakar kimia yang kuat; ujung pensil bisa ditekan
langsung pada area yang berdarah. Setelah beberapa
menit, perak nitrat harus dinonaktifkan dengan
menyeka area tersebut dengan larutan saline untuk
menghindari kerusakan pada struktur di sekitarnya 12

3
.

22
Gambar 3 : Pensil Silver Nitrate 123

3.7 Pendarahan dari soket

- Pendarahan tulang

Berada jauh di dalam soket yang terbuka,


dengan aliran darah, sehingga sulit untuk
divisualisasikan. Dalam kebanyakan kasus,
pendarahan dari dalam soket dapat ditangkap
dengan memasukkan paket. Tulang Cancellous dapat
dibakar dengan instrumen plastik datar atau
pemangkas Mitchell untuk membantu mengompres
tulang di daerah tersebut 123
.

- Kasa hemostatik

Penggunaan selulosa
regenerasi teroksidasi
(Surgicel® - Gambar 4),
spons kolagen
(Haemocollagen®) atau
spons gelatin resorbable
23
(Gelfoam®) direkomendasikan, bersama dengan
penempatan jahitan ketika pasien berisiko tinggi
pendarahan pasca operasi. Dressing non-resorbable
juga tersedia (Kaltostat®), namun, ini kurang
diinginkan karena mereka membutuhkan
pengambilan dan karena itu area soket harus
terganggu 123
.

- Lilin tulang

Lilin tulang (Gambar 5)


terdiri dari lilin lebah,
parafin, dan zat pelunak,
dapat digunakan untuk
mengontrol perdarahan di
dalam tulang kanselus.
Gambar 5 : Lilin Tulang 123
Lilin tulang tidak dapat
resorbable dan inang
dapat memperlakukannya

24
sebagai benda asing. Ini berarti lilin tulang harus
dihilangkan ketika hemostasis telah terjadi.
Penempatan lilin biasanya diikuti dengan
penempatan kasa hemostatik dan jahitan untuk
menjaga tekanan pada soket 123
.

- Perdarahan pembuluh darah

Sebuah pembuluh darah besar mungkin


memerlukan ligasi, sedangkan pembuluh darah yang
lebih kecil dapat dikauterisasi. Jika pembuluh darah
tidak terlihat, flap mungkin harus dinaikkan untuk
memungkinkan akses dan identifikasi. Jika praktisi
tidak merasa percaya diri dalam mengelola ini,
pasien harus segera dirujuk ke IGD setempat atau
unit maksilofasial 123
.

- Electrocautery

Electrocautery adalah proses menyegel ujung


pembuluh darah yang terbuka dengan konduksi
panas. Jika electrocautery tersedia, bejana
pendarahan harus diidentifikasi dan diauterisasi.
Gambar 6 merangkum manajemen perdarahan pasca
operasi yang sesuai 123
.
25
Pencabutan gigi utuh hingga akar
Lakukan pijatan buko lingual/palatal
Aplikasikan kasa steril pada soket
Soket dinilai baik

Hemostasis terjadi

Edukasi/intruksi post ekstraksi Lakukan Dab ulang 2-3 menit


Pasien dapat dipulangkan

Bila perdarahan masih terjadi


Bila pasien ada keluhan perdarahan
Cari penyebab perdarahan
2-14 hari

Pembuluh darah Jaringan lunak


Tulang
Lokal Kasa hemostasis
Identifikasi sumber
Penekanan Suturing perdarahan
Elektrocauteri atau ligase Agen kimiaKasa hemostatis &
Kasa hemostasis Suturing
suturing Aplikasi bone wax

Gambar 6 : Manajemen perdarahan post ekstraksi 1 2 3

4. OBAT DAN HAEMOSTATIK LAINNYA

26
4.1 Agen bertindak secara lokal

Agen-agen ini mengontrol keluarnya darah dari


pembuluh darah kecil tetapi tidak efektif dalam
mengendalikan perdarahan dari pembuluh darah
besar.

- Trombin: Trombin diperoleh dari plasma sapi.


Terapi trombin terbatas pada aplikasi lokal
dalam mengalirkan darah. Dengan asumsi
sistem pembekuan yang normal, trombin
topikal sering digunakan secara klinis. Jika
diberikan intravena, trombin menyebabkan
trombosis luas dan kematian. Trombin yang
diterapkan secara topikal beroperasi sebagai
hemostatik, terutama jika pasien memiliki
defisiensi koagulasi atau menerima
antikoagulan oral, karena semua yang
diperlukan untuk pembekuan adalah suplai
trombosit, fibrinogen, dan faktor XIII yang
normal dalam plasma.
- Tromboplastin: Tromboplastin adalah bubuk
yang digunakan untuk penentuan waktu

27
protrombin dan sebagai hemostatik lokal dalam
pembedahan
- Fibrin: Fibrin yang diperoleh dari plasma
manusia digunakan dalam bentuk dehidrasi
sebagai lembaran dari mana segmen dengan
ukuran yang diinginkan dapat dipotong untuk
digunakan pada permukaan yang berdarah.
Ketika digunakan dalam kombinasi dengan
larutan trombin, ia juga bertindak sebagai
penghalang mekanis dan menahan trombin
pada posisi di atas area perdarahan.

4.2 Agen Transfusi

- Fibrinogen: Fibrinogen. fraksi steril dari


plasma manusia, digunakan untuk
mengembalikan kadar fibrinogen normal pada
komplikasi hemoragik yang disebabkan oleh
afibrinogenemia akut. Fibrinogen & trombin
dapat digunakan bersama untuk hemostasis
lokal.
- Antihaemophilic Globuiin (Ahg): globulin
antihaemophilic atau konsentrat faktor VIII
(AHG) sangat efektif dalam pengobatan
28
hemofilia-A klasik. AHG manusia dengan
potensi tinggi dibuat dari plasma manusia yang
dikumpulkan dan normal; sekarang disiapkan
oleh teknik DNA rekombinan.
- Faktor Koagulasi: Faktor rekombinan murni
VIII, faktor IX dan faktor VII tersedia. Mereka
sangat mahal dan dapat dikaitkan dengan
risiko yang lebih besar untuk menginduksi
pembentukan inhibitor (antibodi IgG untuk VIII),
sehingga mengurangi kemanjuran terapi
spesifik.
- Fresh Frozen Plasma: FFP cocok untuk
pengobatan sebagian besar gangguan
koagulasi, karena mengandung semua faktor
pembekuan. Konsentrasi faktor VIII
(dimurnikan) dan preparasi yang dimurnikan
sebagian mengandung faktor II, VII, IX dan X
juga tersedia untuk defisiensi spesifik.

4.3 Agen non-transfusi

- Vitamin K: Vitamin K terdiri dari tiga senyawa


naphthoquinone yang larut dalam lemak dan
berperan dalam biosintesis beberapa faktor
29
pembekuan. Vitamin K sangat penting untuk
biosintesis protrombin 'aktif' dan faktor VII, IX
dan X.
- Aprotinin: Ini adalah enzim polipeptida yang
menghambat protease serin dan dengan
demikian menghambat aktivitas plasmin,
kallikrein, dan trypsin. Ini menghambat
fibrinolisis dan mengurangi perdarahan hingga
50% terutama pada operasi.
- Epsilon Amino Caproic Acid: Ini adalah
analog lisin yang larut dalam air yang berikatan
dengan situs pengikat lisin secara reversibel
pada plasminogen dan plasmin dan
menghambat pengikatan plasmin ke fibrin. Ini
diserap dengan cepat setelah pemberian oral 6

7
.

5. PEMANTAUAN SISTEMIK PASIEN

Peralatan pemantauan sangat membantu


dalam menilai pentingnya perdarahan pada
kesehatan sistemik pasien. Meskipun metode di atas
dapat mengelola perdarahan, seseorang harus

30
mempertimbangkan berapa banyak darah yang
mungkin telah hilang. Seorang pasien harus dirujuk
ke IGD jika tidak mungkin untuk menghentikan
perdarahan dan pemeriksaannya menunjukan:

- Tekanan darah diastolik secara konsisten < 60


(keadaan hipotensi) dalam periode pemantauan
singkat;
- Tekanan darah sistolik secara konsisten < 100
dalam periode pemantauan yang singkat;
- Denyut jantung meningkat secara konsisten
(takikardia) > 100 bpm, terutama dengan
pembacaan normotensif atau hipotensi.

Pasien yang menunjukkan tanda-tanda di atas akan


memerlukan penilaian segera dan penggantian
cairan karena ini adalah tanda-tanda syok bedah
(hipovolemik) 67

6. KESIMPULAN

Perdarahan merupakan salah satu keadaan


kegawatdaruratan medis yang paling sering terjadi
dalam praktek sehari – hari. Manajemen perdarahan
dalam hal ini meliputi kontrol perdarahan, penjahitan
31
luka, pemahaman mengenai obat-obatan yang dapat
mempengaruhi perdarahan, serta agent hemostatik
yang dapat digunakan merupakan hal – hal yang
harus dapat dikuasai oleh seorang dokter gigi.

32
DAFTAR PUSTAKA
1. Beyer-Westendorf, J.; Gelbricht, V.; Förster, K.;
Ebertz, F.; Köhler, C.; Werth, S.; Kuhlisch, E.;
Stange, T.; Thieme, C. Peri-interventional
management of novel oral anticoagulants in
daily care: Results from the prospective
Dresden NOAC registry. Eur. Heart J. 2014, 35,
1888–1896.
2. McCormick NJ,et al. Haemostasis Part 1: The

33
Management of Post-Extraction Haemorrhage.
Dent Update 2014; 41: 290–296
3. Godier, A.; Gouin-Thibault, I.; Rosencher, N.;
Delgado-Ruiz, R.A.; Markovic, A.; Calvo-
Guirado, J.L. Dental implant surgery in patients
in treatment with the anticoagulant oral
rivaroxaban. Prim. Dent. J. 2015, 3,
doi:10.1111/clr.12653
4. Martinez M, Tsakiris DA. Management of
Antithrombotic Agents in Oral Surgery. Dent. J.
2015, 3, 93-101; doi:10.3390/dj3040093
5. Sivolella, S.; De Biagi, M.; Brunello, G.; Berengo,
M.; Pengo, V. Managing dentoalveolar surgical
procedures in patients taking new oral
anticoagulants. Odontology 2015, 103, 258–
263
6. Thean, D.; Alberghini, M. Anticoagulant therapy
and its impact on dental surgery: A review.
Austr. Dent. J. 2015, Jun 3, in press.
7. V.K.Vignesh et al. Management of
Haemorrhage in Oral Surgery. Pharm. Sci. &
Res. Vol. 8(7), 2016, 642-644

34
35
Penatalaksanaan Kelainan Akut
Nyeri Orofasial Non-Odontogenik

Klasifikasi Nyeri Orofasial


Berdasarkan klasifikasi terbaru yang dikeluarkan oleh
Internasional Headache Society (IHS) (2020), maka
nyeri orofasial dapat diklasifikasikan menjadi enam
kelompok besar, yaitu: (IHS, 2020)
1. Nyeri orofasial yang terkait dengan gangguan
dentoalveolar dan struktur anatomi terkait
2. Nyeri orofasial myofascial
3. Nyeri sendi temporomandibular
4. Nyeri orofasial terkait dengan lesi atau penyakit
syaraf kranial
5. Nyeri orofasial yang dengan gejala yang
menyerupai nyeri kepala primer
6. Nyeri orofasial idiopatik

Berdasarkan klasifikasi yang dikeluarkan oleh IHS


tersebut, maka apabila digolongkan berdasarkan
penyebabnya, maka terdapat dua jenis nyeri
orofasial, yaitu nyeri orofasial yang bersifat
36
odontogenik (terkait dengan kelainan pada gigi),
serta nyeri orofasial yang bersifat non-odontogenik
(kelainan No. 2 – 6). Dalam penatalaksanaanya, agar
tidak terjadi kesalahan penatalaksanaan, maka
diperlukan pemahaman mengenai gejala klinis,
tehnik anamnesis yang tepat, serta pemeriksaan
penunjang yang tepat. Sebagai contoh, adanya
fraktur, karies, maupun restorasi yang tidak
sempurna, merupakan faktor-faktor yang terlibat
dalam kelainan nyeri orofasial yang bersifat
odontogenik. Selain itu, nyeri orofasial yang bersifat
odontogenik juga di gambarkan sebagai nyeri yang
bersifat unilateral, terlokalisasi dan akan mengalami
remisi atau hilang sama sekali dengan pemberian
anestesi lokal. (Sajjanhar, Goel, Tikku, & Chandra,
2017)

Sedangkan untuk nyeri yang bersifat non-


odontogenik, karakteristik nyeri yang dikeluhkan
pasien biasanya berupa nyeri yang bersifat panas
(burning sensation), menyetrum (electric shock like),
tajam (shooting pain), dan tidak terlokalisasi. Nyeri
orofasial non-odontogenik juga dapat terinduksi atau
37
diinisiasi oleh perawatan dental seperti perawatan
endodontik atau tindakan ekstraksi gigi yang tadinya
dimaksudkan untuk menghilangkan nyeri orofasial
yang dialami oleh pasien. (McCarthy, McClanahan,
Hodges, & Bowles, 2010) Nyeri orofasial non-
odontogenik juga seringkali terkait dengan nyeri
sendi, sakit kepala, nyeri otot, serta stres emosional.
(Sajjanhar et al., 2017) Apabila dalam
penatalaksanaan nyeri orofasial non-odontogenik
prinsip “3D” (diagnosis, dental treatment, dan
drugs) merupakan prinsip yang digunakan untuk
menunjang keberhasilan proses penatalaksanaan,
(Shaikh, 2019) maka dalam penatalaksanaan nyeri
orofasial non-odontogenik, dua hal yang akan
mempengaruhi keberhasilan perawatan adalah
diagnosis dan drugs (obat-obatan yang digunakan
untuk mengeliminasi rasa nyeri). Salah satu hal yang
memberikan tantangan di dalam proses diagnosis
nyeri orofasial non-odontogenik adalah apabila nyeri
bermanifestasi dalam bentuk nyeri oral yang
menyerupai nyeri gigi. Kelainan nyeri orofasial ini
dinamakan odontogenic pain of non-odontogenic
origin. Jenis nyeri ini memberikan tantangan
38
tersendiri bagi dokter gigi dalam menentukan
diagnosis yang tepat.

Penting untuk dicatat, untuk penatalaksanaan nyeri


orofasial non-odontogenik, maka salah satu jenis
penatalaksanaan adalah dengan menggunakan
pendekatan psikologis. Hal ini dikarenakan terdapat
beberapa kelainan nyeri orofasial non-odontogenik
akut yang di induksi oleh stres emosional yang
dialami oleh pasien. Sehingga dibutuhkan terapi yang
dapat menurunkan atau memghilangkan tingkat
ansietas, stres, maupun depresi yang dialami oleh
pasien. (Zakrzewska, 2007) Selanjutnya, pada bagian
berikut akan dibahas mengenai penatalaksanaan
nyeri orofasial non-odontogenik dengan intensitas
nyeri hebat yang paling sering terjadi dan
membutuhkan eliminasi rasa nyeri dengan segera.

1. Trigeminal Neuralgia
Trigeminal neuralgia merupakan salah satu
kelainan nyeri orofasial non-odontogenik dengan
keluhan nyeri yang sangat intens. Salah satu
karakteristik nyeri trigeminal neuralgia yang
39
menjadi ciri khas dan sangat dikeluhkan pasien
adalah jenis nyeri yang bersifat paroksismal. Pada
saat ini, trigeminal neuralgia diklasifikasikan
menjadi trigeminal neuralgia klasik (tipe 1),
trigeminal neuralgia sekunder (tipe 2), dan
trigeminal neuralgia idiopatik (tipe 3). Trigeminal
neuralgia tipe 1 biasanya paling sering terjadi
dikarenakan kompresi neuravaskular. Tipe 2 paling
sering terjadi sebagai akibat dari adanya multiple
sklerosis yang diderita oleh pasien, dan
neuropathy. (Majeed et al., 2018)

Penatalaksanaan trigeminal neuralgia meliputi:


a. Carbamazepin
Dosis yang dianjurkan adalah 200-1200 mg/hari
terbagi dalam 2-3 kali pemberian per hari. (Al-
Qulity, 2015; Obermann, 2010)
b. Oxcarbazepin
Dosis yang dianjurkan adalah 600-1800 mg /hari
terbagi dalam 2 kali pemberian/hari. (Al-Qulity,
2015)
c. Fenitoin

40
Penggunaan fenitoin intra vena untuk
mengatasi nyeri orofasial pada trigeminal
neuralgia dengan efektif dilaporkan oleh Tate,
Krajewski, dan Rubin (2011), dimana dosis yang
digunakan adalah 15 mg/kg berat badan secara
intra vena. (Tate, Krajewski, & Rubin, 2011)
d. Lamotrigin
Dosis maksimal yang diperbolehkan adalah 400
mg per hari. (Sreenivasan, Raj, & Ovallath,
2014) Lamotrigin dapat diberikan sebanyak dua
kali dalam satu hari, dengan dosis antara 100-
150 mg untuk setiap kali pemberian. Dosis awal
adalah 25 mg selama 6-8 hari dan ditingkatkan
sebanyak 25-50 mg setiap 1-2 minggu. (Punyani
& Jasuja, 2012)
e. Gabapentin
Gabapentin dosis rendah apabila dipadukan
dengan lamotrigine maupun carbamazepine
memberikan efektifitas yang sangat baik.
Gabapentin diberikan dalam rentang dosis 120 –
3600 mg per hari yang dibagi ke dalam tiga
hingga empat kali per hari. (Punyani & Jasuja,
2012)
41
f. Topiramat
Topiramat diberikan dengan rentang dosis 100-
400 mg per hari yang diberikan dalam dua kali
pemberian. (Sreenivasan et al., 2014)
g. Dekompresi mikrovaskular
Dekompresi mikrovaskular merupakan prosedur
invasif yang dilakukan untuk memperbaiki
abnormalitas yang terjadi pada saraf trigeminus
(pada kasus trigeminal neuralgia). Pada tehnik
ini, dilakukan pemberian spon diantara arteri
dan nervus trigeminus. Prosedur ini akan
melepaskan nervus trigeminus dari tekanan
yang diberikan oleh pembuluh darah.

Gambar 1. Dekompresi mikrovaskular


Sumber:
http://www.jeevanjyotihealthcare.com/neurosurgery/function
al-neurosurgery/microvascular-decompression

42
h. Radiofrequency gangliolysis
i. Glycerol gangliolysis
j. Balloon compression
k. Stereotactic radiosurgery
l. Peripheral neurectomy
m. Injeksi blok alkohol
n. Transcranial magnetic stimulation
o. Elektroakupunktur
p. Cryotherapy

2. Odontalgia atipikal
Odontalgia atipikal yang dikenal juga dengan
phantom tooth pain atau persistent neuropathic
pain (Koratkar & Pedersen, 2008) saat ini
dikategorikan ke dalam persistent idiopathic facial
pain disorder atau kelainan nyeri fasial idiopatik
persisten (Abiko, Matsuoka, Chiba, & Toyofuku,
2012; Ahlawat, Malhotra, Sharma, & talwar, 2016)
oleh International Headache Society (IHS). IHS
menggambarkan bahwa odontalgia atipikal
merupakan kondisi nyeri kronis yang
bermanifestasi sebagai gejala nyeri persisten dan
43
berkelanjutan dan terjadi lebih dari 6 bulan setelah
pencabutan gigi selesai dilakukan, tanpa disertai
kondisi patologis. (Ahlawat et al., 2016) Selain
tindakan pencabutan gigi, beberapa tindakan yang
berpotensi untuk menimbulkan deaferensiasi pada
cabang nervus trigeminus sehingga menimbulkan
odontalgia atipikal adalah perawatan saluran akar
atau apikoektomi. (Koratkar & Pedersen, 2008)

Penatalaksanaan odontalgia atipikal dapat


dilakukan dengan: (Battrum & Gutmann, 1996;
Bosch-Aranda, Vazquez-Delgado, & Gay-Escoda,
2011; List, Leijon, Helkimo, Öster, & Svensson,
2006; Mellis & Secci, 2007; Pertes, Bailey, &
Milone, 1995)
a. Pemberian gabapentin
b. Pemberian clonazepin
c. Pemberian baclofen
d. Pemberian amitriptilin
Dosis amitriptilin yang dianggap efektif dalam
mengatasi odontalgia atipikal adalah 10mg per
hari dalam satu kali pemberian. (Tu et al., 2019)
e. Injeksi anestetikum lokal (lidokain)
44
3. Nyeri myofascial pada otot mastikasi
Karena terdiri dari beberapa kumpulan gejala,
maka nyeri miofasial dikenal sebagai sindroma
nyeri miofasial (myofascial pain syndrome).
Berdasarkan penyebab dan lokasi terjadinya, maka
sindroma nyeri miofasial diartikan sebagai nyeri
regional yang berasal dari area atau titik (spot)
yang berlokasi di dalam taut bands dari otot
skeletal dan dikenal sebagai titik picu miofasial.
(Desai, Saini, & Saini, 2013)
Penatalaksanaan sindroma nyeri myofascial bisa
dilakukan dengan:
a. Pemberian Obat Anti Inflamasi Non Steroid
(OAINS)
b. Pemberian obat golongan opioid seperti
Tramadol.
c. Pemberian antidepresan seperti amitriptilin
d. Pemberian anti konvulsan
e. Penyuntikan botulinum toxin
f. Penggunaan tehnik spray and stretch
Pada tehnik ini, area otot yang dikeluhkan
diregangkan serta diberikan aplikasi termal
45
(dingin) yang diaplikasikan dengan intermiten.
Dengan meregangkan serabut otot yang
mengalami penegangan (taut band),
ketegangan otot dapat dieliminasi dan sirkulasi
lokal dapat diperbaiki, sehingga diharapkan
akan memutus lingkaran krisis energy. (Hong,
2006)
g. Deep pressure massage
Pada tehnik ini diharapkan penekanan pada
titik-titik picu akan menyebabkan terjadinya
inflamasi berdasarkan penekanan yang
dilakukan (counter-irritation) dan atau melalui
penghambatan “sirkuit titik-titik picu” pada
korda spinalis. Sirkulasi lokal dapat diperbaiki
melalui mekanisme “milking effect” tersebut.
(Hong, 2006)
h. Akupunktur
i. Injeksi pada titik picu dengan menggunakan
tehnik dry-needling. Dry needling telah
digunakan sebagai tehnik inaktivasi titik-titik
picu yang cepat dan paling efektif dalam
mengurangi nyeri. Jarum dimasukkan ke dalam
titik-ttik picu dengan menggunakan tehnik in
46
and out dengan arah multipel, dengan tujuan
untuk menonaktifkan titik-titik picu. (Borg-Stein
& Simons, 2002; Desai et al., 2013)
j. Eliminasi stress
k. Terapi Laser
l. Pemakaian splin oklusal
Insersi splin oklusal merubah posisi istirahat dari
rahang, dimana ketika penderita beradaptasi
terhadap posisi istirahat yang baru ini, otot-otot
mastikasi akan berfungsi dengan lebih efisien
ketika sedang berkontak, sehingga terjadi
pengurangan aktivitas pada saat berfungsi.
Selain itu, insersi splin oklusal akan
menyebabkan terjadinya penambahan dimensi
vertikal, yang akan menyebabkan menurunnya
“upaya” yang harus dilakukan oleh otot-otot
mastikasi, sehingga pada akhirnya akan terjadi
relaksasi otot-otot mastikasi serta sendi
temporomandibular. (Seifeldin & Elhayes, 2015)

47
Gambar 2. Splin Oklusal
Sumber: https://www.hindawi.com/journals/crid/2015/531618/

4. Postherpetic neuralgia
Postherpetic neuralgia merupakan jenis neuralgia
yang disebabkan karena terjadinya reaktivasi virus
herpes zoster, yang pada umumnya berdiam di
nervus kranial atau akar dorsal ganglio dari korda
spinalis, setelah pasien terinfeksi dan terkena
cacar air. Pengobatan dapat dilakukan dengan
pemberian gabapentin sebanyak satu kali per hari.
Dosis awal yang disarankan adalah 300 mg. Dosis
dapat ditingkatkan secara perlahan selama dua
minggu pada hari ke 2, 3, 7, 11, dan 15. Pada hari
ke 15, dosis maksimum yang diperbolehkan adalah
1800 mg per hari. (Shrestha & Chen, 2018). Obat
antikonvulsan lain yang dapat digunakan untuk
48
mengatasi postherpetic neuralgia adalah
pregabalin. Karena pregabalin lebih poten dari
gabapentin, maka pregabalin dimulai pada dosis
150 mg per hari. Selanjutnya dalam waktu satu
minggu dapat ditingkatkan menjadi 300 mg. Dosis
maksimum sebanyak 600 mg per hari dapat
dicapai dalam waktu dua hingga empat minggu.
(Nalamachu & Morley-Foster, 2012; Shrestha &
Chen, 2018)

Obat-obatan lain yang dapat digunakan untuk


mengatasi postherpetic neuralgia adalah
amitriptilin, obat golongan opioid (oxycodone,
morfin), krim capsaicin dan patch capsaicin 8%,
serta patch lidocaine 5%. (Nalamachu & Morley-
Foster, 2012). Sedangkan pendekatan yang lebih
invasif dapat dilakukan dengan penyuntikan
botulinum toxin-A, injeksi blok (stellate ganglion
blocks), dan neuromodulasi. Sedangkan tindakan
pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan
vaksinasi. (Shrestha & Chen, 2018)
5. Kelainan sendi temporomandibular

49
Nyeri akut yang berkaitan dengan kelainan sendi
temporomandibular merupakan jenis nyeri
orofasial yang bermanifestasi pada area di sekitar
sendi temporomandibular serta otot-otot mastikasi.
Nyeri orofasial terkait kelainan sendi
temporomandibular biasanya terjadi disertai
dengan clicking, pembatasan bukaan mulut,
terkuncinya sendi pada posisi mulut terbuka atau
tertutup. (Gil-Martinez, Paris-Alemany, Lopez-de-
Uralde-Villanueva, & La Touche, 2018; Ravikumar
& Ramakrishnan, 2018)

Penatalaksanaan nyeri akut untuk kelainan sendi


temporomandibular meliputi: (Furlan, 2015; Gil-
Martinez et al., 2018)
a. Pemberian thermotherapy (ice packs atau
vapocoolant spray) pada area nyeri (Gambar 1)

50
Gambar 3. Penggunaan icepacks untuk mengurangi nyeri
karena kelainan sendi temporomandibular.
Sumber: www.amazon.com

b. Pemberian anti-inflamasi non-steroid (AINS),


seperti sodium diklofenak.
c. Pemberian muscle relaxants, seperti baclofen.
d. Pemberian gabapentin
e. Pemberian patch lidokain
f. Pemberian anti depresan trisiklik seperti
amitriptilin atau doxepin.

6. Nyeri Fasial Atipikal


Nyeri Fasial Atipikal (NFA) digambarkan sebagai
nyeri yang sifatnya stabil, unilateral, dan tidak
terlokalisasi dengan baik. Kualitas nyeri biasanya
digambarkan sebagai nyeri yang dalam, konstan,
51
berdenyut (aching), menarik (pulling), dan
crushing. Tidak ada nyeri yang bersifat
paroksismal, nyeri selalu dalam intensita syang
sama sepanjang hari dan setiap harinya. Tidak
seperti jenis neuralgia lainnya, NFA tidak memiliki
titik picu. Meskipun demikian, pasien-pasien NFA
pada umumnya mengeluhkan adanya nyeri kepala,
nyeri pada leher, nyeri punggung, dermatitis atau
pruritis, lambung yang teriritasi, serta perdarahan
urinal yang bersifat disfungsional.(Agostoni,
Frigerio, & Santoro, 2005)

Penatalaksanaan nyeri fasial atipikal meliputi:


(Weiss, Ehrhardt, & Tolba, 2017)
a. Pemberian OAINS
b. Pemberian anti depresan seperti amitriptilin,
venlafaxine, atau fluoxetine.
c. Pemebrian anti konvulsan seperti gabapentin
dan pregabalin
d. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
e. Hipnosis
f. Akupunktur
g. Injeksi botulinum toxin A
52
h. Pulsed Radiofrequency Treatment (PRT)

7. Nyeri rahang bersumber dari kelainan jantung


Nyeri jantung iskemik dapat bermanifestasi
sebagai nyeri pada rahangdan gigi. Ketika nyeri
jantung muncul di daerah orofasial, maka nyeri
yang terjadi terdiri dari nyeri pada area leher,
tenggorokan, telinga, gigi, serta rahang bawah.
Gejala nyeri lain yang menyertai nyeri orofasial
yang disebabkan karena kelainan jantung adalah
sakit kepala. Dokter gigi selayaknya mulai
mempertimbangkan bahwa nyeri yang dialami
pasien bukan merupakan nyeri terkait gigi apabila
injeksi lokal dan analgesik tidak berhasil
mengeliminasi rasa nyeri. Pada kelainan nyeri ini,
maka penatalaksanaan harus diserahkan kepada
dokter ahli di bidang penyakit dalam. Penting
untuk dicatat bahwa pada jenis nyeri ini, agar
dokter gigi tidak melakukan kesalahan dalam
mendiagnosis, maka pemahaman mengenai jenis
nyeri yang dialami merupakan sesuatu yang
bersifat esensial. Nyeri yang dialami oleh pasien
(dapat) bersifat episodik, berlangsung selama
53
beberapa menit hingga beberapa jam, bervariasi
dalam intensitas, diendapkan oleh aktivitas
exertional (aktivitas yang bersifat aktivitas fisik)
dan diringankan dengan istirahat. Menariknya,
pasien yang mengalami nyeri jantung lebih sering
melaporkan adanya "tekanan", bila dibandingkan
dengan apa pun gangguan lainnya. (Ravikumar &
Ramakrishnan, 2018)

8. Nyeri kepala (Headache) dan Migraine


Kelainan fasial yang lazim dialami pasien meliputi
nyeri kepala (headache) dan migraine. Untuk
migraine, gejala biasanya disertai mual dan
muntah, dan didahului oleh gangguan kortikal
yang mungkin menghasilkan gejala visual, motorik,
atau sensorik. Hal ini dapat berlangsung selama
20-30 menit. Kadang-kadang pasien mengalami
serangan sinkop. Penatalaksanaan dapat berupa
pemberian prednisolon seperti kortikosteroid dosis
tinggi 80 mg setiap hari. (Ravikumar &
Ramakrishnan, 2018) Sedangkan untuk nyeri
kepala (headache), nyeri kepala ringan hingga
sedang dapat diatasi dengan aspirin,
54
asetaminofen, dan kafein. Sedangkan untuk nyeri
kepala sedang hingga berat, dapat diatasi dengan
triptan. Penting untuk dicatat bahwa triptan tidak
dapat diberikan pada penderita hipertensi, pasien-
pasien dengan penyakit atau kelainan pembuluh
darah, atau migraine hemiplegia. Pada kondisi
darurat, pemberian dihydroergotamine secara
intravena dapat dilakukan. Selain itu dapat pula
dilakukan pemberian deksametason (sebagai
terapi standar dalam mencegah rekurensi jangka
pendek) dan lidokain intranasal. (Gilmore &
Michael, 2011)

9. Burning mouth syndrome (BMS)


Burning mouth syndrome (BMS) terbagi menjadi
tiga golongan berdasarkan durasi nyeri yang
dialami oleh pasien, yaitu: (Ravikumar &
Ramakrishnan, 2018)
a. BMS tipe 1, dimana nyeri yang dialami tidak
terasa ketika pasien terbangun di pagi hari,
namun rasa sakit berangsur-angsur akan terasa
dan semakin meningkat seiring dengan
berjalannya hari.

55
b. BMS tipe 2, dimana nyeri dimulai ketika pasien
terbangun di pagi hari dan terus terasa
sepanjang hari.
c. BMS tipe 3, dimana nyeri terasa dalam bentuk
intermiten.

Penatalaksanaan farmakologis dapat dilakukan


dengan: (Jørgensen & Pedersen, 2017; Ravikumar
& Ramakrishnan, 2018; Silvestre, Sivestre-Rangil,
Tamarit-Santafé, & Bautista, 2012)
d. Pemberian chlordiazepoxide atau dothiepin
(termasuk ke dalam golongan obat penenang.
Digunakan untuk mengatasi nyeri dengan
menggunakan efek menenangkan yang
dihasilkan oleh kedua jenis obat tersebut).
e. Aplikasi lokal Lidokain dalam
carboxymethylcellulose 
f. Pemberian spray hidroklorid benzidamin
g. Pemberian capsaicin

56
Daftar Pustaka

Abiko, Y., Matsuoka, H., Chiba, I., & Toyofuku, A.


(2012). Current Evidence on Atypical
Odontalgia: Diagnosis and Clinical
Management. Int J Dent, 1-6.
doi:10.1155/2012/518548
Agostoni, E., Frigerio, R., & Santoro, P. (2005).
Atypical facial pain: clinical consideration and
differential diagnosis. neurol Sci, 26, S71-S74.
Ahlawat, J., Malhotra, A., Sharma, A., & talwar, S.
(2016). Atypical odontalgia: A non-odontogenic
toothache of neuropathic origin. Int J Res
Ayurveda Pharm, 7(Suppl 1), 98-101.

57
Al-Qulity, K. W. (2015). Update on neuropathic pain
treatment for trigeminal neuralgia.
Neurosciences (Riyadh), 20(2), 107-114.
Battrum, D. E., & Gutmann, J. L. (1996). Phantom
tooth pain: a diagnosis of exclusion. Int
Endodod J, 29, 190-194.
Borg-Stein, J., & Simons, D. G. (2002). Myofascial
Pain. Arch Phys Med Rehabil, 83(Suppl 1), S40-
S47.
Bosch-Aranda, M. L., Vazquez-Delgado, E., & Gay-
Escoda, C. (2011). Atypical odontalgia: a
systematic review following the evidence-based
principles of dentistry. Cranio, 29(3).
Desai, M. J., Saini, V., & Saini, S. (2013). Myofascial
Pain Syndrome: A Treatment Review. Pain
Ther, 2, 21-36.
Furlan, R. M. M. M. (2015). The use of cryotherapy in
the treatment of temporomandibular disorders.
Rev CEFAC, 17(2), 648-655.
Gil-Martinez, A., Paris-Alemany, A., Lopez-de-Uralde-
Villanueva, I., & La Touche, R. (2018).
Management of pain in patients with

58
temporomandibular disorder (TD): challenges
and solutions. J Pain Res, 11, 571-587.
Gilmore, B., & Michael, M. (2011). Treatment of acute
migraine headache. A Fam Physician, 83(3),
271-280.
Hong, C.-Z. (2006). Treatment of myofascial pain
syndrome. Curr Pain Headache Rep, 10, 345-
349.
IHS, I.-H.-S. (2020). International Classification of
Orofacial Pain, 1st edition (ICOP). Cephalal,
40(2), 129-221.
Jørgensen, M. R., & Pedersen, A. M. (2017). Analgesic
effect of topical oral capsaicin gel in burning
mouth syndrome. Acta Odontol Scand, 75(2),
130-136.
Koratkar, H., & Pedersen, J. (2008). Atypical
odontalgia: a review. Northwest dent, 87(1),
37-38.
List, T., Leijon, G., Helkimo, M., Öster, A., & Svensson,
P. (2006). Effect of local anesthesia on atypical
odontalgia—a randomized controlled trial. Pain,
122(3), 306-314.

59
Majeed, M. H., Arooj, S., Khokhar, M. A., Mirza, T., Ali,
A. A., & Bajwa, Z. H. (2018). Trigeminal
neuralgia: A clinical review for the general
physician. Cureus, 10(12), e3750.
McCarthy, P. J., McClanahan, S., Hodges, J., & Bowles,
W. R. (2010). Frequency of localization of the
painful tooth by patients presenting for an
endodontic emergenvy J Endod, 36, 801-805.
Mellis, M., & Secci, S. (2007). Diagnosis and
Treatment of Atypical Odontalgia: A Review of
the Literature and Two Case Reports. J
Contemp Dent Prac, 8(3), 1-9.
Nalamachu, S., & Morley-Foster, P. (2012).
Diagnosing and managing postherpetic
neuralgia. Drugs Aging, 29(11), 863-869.
Obermann, M. (2010). Treatment options in
trigeminal neuralgia. Ther Adv Neurol Disord,
3(2), 107-115.
Pertes, R. A., Bailey, D. R., & Milone, A. S. (1995).
Atypical odontalgia - a nondental toothache. J N
J Dent Assoc, 66, 29-33.

60
Punyani, S. R., & Jasuja, V. R. (2012). Trigeminal
neuralgia: An insight into the current treatment
modalities. J Oral Bio Cranio Res, 2(3), 188-197.
Ravikumar, K. K., & Ramakrishnan, K. (2018). Pain in
the face: An overview of pain of
nonodontogenic origin. Int J Soc Rehab, 3(1), 1-
5.
Sajjanhar, I., Goel, A., Tikku, A. P., & Chandra, A.
(2017). Odontogenic pain of non-odontogenic
origin. Int J Applied Dent Sci, 3(3), 1-4.
Seifeldin, S. A., & Elhayes, K. A. (2015). Soft versus
hard occlusal splint therapy in the management
of temporomandibular disorders (TMDs). Saudi
Dent J, 27, 208-214.
Shaikh, S. (2019). Management of Odontogenic and
Nonodontogenic Oral Pain. In M. Cascella (Ed.),
From Conventional to Innovative Approach for
Pain Treatment (pp. 1-13): Intech Open.
doi:http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.83837
Shrestha, M., & Chen, A. (2018). Modalities in
managing potherpetic neuralgia. Korean J Pain,
31(4), 235-243.

61
Silvestre, F. J., Sivestre-Rangil, J., Tamarit-Santafé, C.,
& Bautista, D. (2012). Application of a capsaicin
rinse in the treatment of burning mouth
syndrome. Med Oral Patol Oral Cir Bucal, 17(1),
e1-4.
Sreenivasan, P., Raj, S. V., & Ovallath, S. (2014).
Treatment Options in Trigeminal Neuralgia an
Update. Eur J Gen Med, 11(3), 209-216.
Tate, R., Krajewski, K. C., & Rubin, L. M. (2011).
Treatment of refractory trigeminal neuralgia
with intravenous phenytoin. Am J Health-Syst
Pharm, 68(21), 2059-2061.
Tu, T. T. H., Miura, A., Shinohara, Y., Mikuzuki, L.,
Kawasaki, K., Sugawara, S., . . . Toyofuku, A.
(2019). Pharmacotherapeutic outcomes in
atypical odontalgia: determinants of pain relief.
J Pain Res, 12, 831-839.
Weiss, A. L., Ehrhardt, K. P., & Tolba, R. (2017).
Atypical Facial Pain: a Comprehensive,
Evidence-Based Review. Curr Pain Headache
Rep, 21(2), 8.
Zakrzewska, J. M. (2007). Diagnosis and Management
of Non- Dental Pain. Dent Update, 34, 1-5.
62
Manajemen Kedaruratan di Bidang Endodontik

1. Pendahuluan
Kegawatdaruratan di bidang endodontik
didefinisikan sebagai nyeri atau pembengkakan yang
63
disebabkan oleh berbagai tahap peradangan atau
infeksi jaringan pulpa atau periapikal. Diagnosis yang
tepat dan manajemen nyeri gigi akut yang efektif
merupakan cara yang paling memuaskan dalam
memberikan perawatan gigi. Penyebab sakit gigi
pada umumnya berasal dari karies, restorasi yang
dalam atau rusak, atau trauma. Rasa nyeri karena
oklusi traumatik gejalanya serupa dengan nyeri gigi
akut.

Pasien yang memiliki gejala nyeri parah atau


yang dirujuk hampir selalu memiliki riwayat nyeri
sebelumnya dengan gigi yang berkontak antara gigi
atas dengan gigi bawah. Keadaan darurat gigi
muncul sekitar 85% dari semua akibat penyakit pulpa
atau periapikal, yang membutuhkan ekstraksi atau
perawatan endodontic.

Penelitian terbaru menurut Association


American of Endodontic (AAE) dilaporkan bahwa dari
semua kasus kedaruratan di kedokteran gigi terdapat
60%-82% kejadian kedaruratan endodontic. Kasus
pulipitis ireversibel. simptomatik dalam kelompok ini
terdapat 20-42%, serta 60% pasien pulpitis
64
ireversibel simtomatik ini juga mengeluhkan
periodontitis apikal simptomatik.

Rasa sakit karena peradangan pulpa parah


ditandai dengan sensasi nyeri yang tumpul,
berdenyut, dan menetap, bisa spontan atau sebagai
respons terhadap stimulus eksternal, seperti panas,
dingin atau pengunyahan. Kasus pulpitis ireversibel
simtomatik ini menjadikan bagian terbesar dari kasus
darurat yang terjadi di klinik gigi. Tujuan dari
manajemen kedaruratan di bidang endodontik adalah
mengelola nyeri dan infeksi dengan cepat dan efektif
serta meminimalkan perkembangan nyeri persisten
serta menghindari pembentukan terjadinya patologi
periapikal.

Penatalaksanaan farmakologi seperti injeksi


intramuskular atau infiltrasi NSAID yang dapat
disuntikan (ketorolac) dapat signifikan mengurangi
rasa sakit pada pasien dengan nyeri pulpa sedang
hingga berat selama tiga jam waktu uji atau
pemberian oral ibuprofen sodium dihydrate selama
periode satu jam. Perawatan ini belum dievaluasi
selama beberapa hari atau minggu setelah
65
pemberian obat tetapi sebelum dilakukannya
perawatan endodontic, oleh karena itu sampai
penelitian bukti efektivitas jangka panjang tersedia,
manajemen farmakologis dan intervensi prosedural
masih menjadi pilihan yang digunakan saat ini.

4.1 Klasifikasi kegawatdaruratan endodontik

Penentuan diagnosa yang tepat dengan


melakukan pemeriksaan subyektif dan obyektif
sebelumnya merupakan bagian yang sulit
membutuhkan ketelitian sehingga rencana
perawatan dapat ditetapkan dengan tepat. Klasifikasi
kegawat daruratan endodontik berdasarkan survei
dilihat dari gejala klinisnya :

1. Pulpitis ireversibel dengan periapex normal

2. Pulpitis ireversibel dengan periodontitis apikal


simptomatik

3. Pulpa nekrotik dengan periodontitis apikal


simptomatik

66
dengan tidak ada bengkak

4. Pulpa nekrotik, pembengkakan yang fluktuatif,


dengan

drainase melalui saluran

5. Pulpa nekrotik, pembengkakan fluktuatif, tanpa


drainase melalui saluran

6. Pulpa nekrotik, pembengkakan wajah difus,


dengan drainase melalui saluran

7. Pulpa nekrotik, pembengkakan wajah difus, tanpa


drainase melalui saluran

Keadaan darurat endodontik lain yang tidak


didiskusikan dalam survei ini yaitu

8. Keadaan darurat ini berkaitan dengan cedera gigi


traumatis,
9. flare-up endodontik yang terjadi di antara sesi
perawatan endodontik.
10. Nyeri wajah yang berasal nonodontogenic

67
Survei sebelumnya dalam beberapa dekade
mengalami beberapa perubahan yang berkaitan
dengan manajemen klinis dari keadaan darurat
endodontik. Banyak dari modifikasi perawatan ini
telah terjadi karena alat dan bahan yang lebih
modern serta penelitian berdasarkan bukti baru dan
keberhasilan klinis empiris. Klasifikasi lain menurut
Carrotte (2004) terbagi dalam 3 kelompok yaitu :

 Kedaruratan sebelum perawatan:


 Rasa sakit pulpa
 Pulpitis Reversibel
 Pulpitis irreversibel
 Abses Periapikal Akut
 Gejala gigi Fraktur

 Kedaruratan selama perawatan:


 Perawatan restorasi
 Perawatan periodontal
 Pulpa tereksponasi
 Fraktur mahkota dan akar
 Sakit karena instrumentasi
 Periodontitis apical akut

68
 Abses Phoenix

 Kedaruratan sesudah perawatan:


 Restorasi terlalu tinggi
 0verfilling
 Root filling
 Fraktur akar

4.2 Manajemen kegawatdaruratan endodontik

Manajemen nyeri gigi akut harus


mempertimbangkan gejala fisik dan status emosional
dari rasa sakit tersebut. Penilaian dan kemampuan
dokter untuk membangun hubungan antara dokter
gigi dengan pasien adalah faktor kunci keberhasilan
manajemen pasien seperti ini karena kebutuhan,
ketakutan pasien harus dipahami dengan penuh
kasih.

Langkah-langkah standar dalam menentukan


diagnosis yang akurat, berdasarkan evaluasi keluhan
utama pasien, riwayat medis, dan pemeriksaan
69
obyektif dan subyektif, harus dilakukan dengan tepat
dan kemudian dapat ditentukan rencana perawatan.
Rencana perawatan apabila hasilnya adalah harus
dilakukan perawatan endodontik maka dokter gigi
harus melakukan manajemen perawatan kedaruratan
pada gigi nyeri akut. Dokter gigi memiliki tanggung
jawab untuk memberi tahu pasien tentang rencana
perawatan yang direkomendasikan dan untuk
memberi saran kepada pasien tentang alternatif
perawatan, risiko dan manfaat yang berkaitan, dan
perkiraan prognosis dalam keadaan saat ini. Pasien
dengan informasi ini dapat memilih perawatan
endodontik, atau mungkin meminta pendapat kedua.
Rencana perawatan tidak boleh dipaksakan pada
pasien. Surat persetujuan tindakan medis (informed
consent) pengobatan dibuat bersama antara pasien
dan dokter. Keadaan darurat endodontik dokter gigi
harus menentukan jenis perawatan endodontik yang
optimal sesuai dengan diagnosis. Perawatan dapat
bervariasi tergantung pada keadaan pulpa atau
periapikal, intensitas dan durasi nyeri, dan apakah
ada pembengkakan difus atau berfluktuasi.

70
1. Perawatan kedaruratan sebelum perawatan
1.1. Rasa sakit pulpa
Pasien datang dilakukan pemeriksaan
subyektif dan obyektif, ditanyakan seluruh riwayat
medis dan gigi serta kelainan sistemik,
pemeriksaan radigrafis dan penunjang lainnya,
yang bertujuan mendapatkan diagnosa yang tepat.
Tantangan terbesar dokter gigi adalah pada
pemeriksaan subyektif harus bisa mendapatkan
informasi tentang keluhan uatama pasien dengan
pertanyaan-pertanyaan seperti dibawah ini :
1) Di mana rasa sakitnya?
2) Kapan rasa sakit pertama kali terjadi?
3) Rasa sakitnya seperti apa?
4) Rasa sakit terjadi apakah ada penyebab
sebelumnya?
5) Apakah ada yang meringankan gejala
sakitnya?
6) Apakah ada pembengkakan.
7) Riwayat gigi sebelumnya:
a. perawatan ulang;
b. perawatan periodontal;
8) Apakah pernah ada trauma pada gigi?
71
Apabila ada setiap gangguan yang dapat
menyebabkan diagnosa banding dari nyeri gigi,
seperti myofascial pain dysfunction syndrome (MPD),
neurological disorders seperti trigeminal neuralgia,
vascular pain syndromes serta maxillary sinus
disorders. Pemeriksaan vitalitas dengan tes dingin,
tes panas, atau electrical pulp test serta pemeriksaan
perkusi dan tekan dilakukan untuk mengetahui
keadaan pulpa dan periapikal. Probe periodontal
digunakan untuk mengetahui keadaan gingiva dan
jaringan sekitar. Pemeriksaan penunjang untuk
membantu menentukan diagnosa pada umumnya
adalah radiografi periapikal yang diambil diambil
dengan teknik parallel.

1.1.1. Pulpitis Reversibel


Keadaan nyeri pulpa dan penyakit periapikal
memberikan indikasi yang jelas tentang keadaan
pulpa yang meradang, yaitu apakah rusak secara
reversibel atau ireversibel. Iritasi pulpa menyebabkan
peradangan, dan tingkat respons akan tergantung
pada tingkat keparahan iritan. Proses inflamasi

72
ringan dapat diatasi dengan cara yang mirip dengan
jaringan lain, lapisan dentin reparatif dapat dibentuk
sebagai protein dari jejas lebih lanjut. Iritasi jika
terjadi lebih parah, dengan kerusakan yang luas,
peradangan lebih lanjut yang melibatkan sisa pulpa
dan menyebabkan gigi mengalami nekrosis pulpa.

Perbedaan tanda penting antara pulpitis


reversible dan pulpitis irreversibel adalah pada
pulpitis reversible rasa sakit akan mereda segera
setelah stimulus dihilangkan, apakah itu karena
cairan panas atau dingin, atau makanan manis, serta
gigi tidak sensitive terhadap perkusi dan tekan,
kecuali apabila riwayat trauma, maka yang harus
dilakukan:

1) Periksa oklusi dan hilangkan kontak


prematur
2) Lakukan aplikasi “sedative dressing”
setelah menghilangkan karies yang dalam.
3) Aplikasi varnish fluor atan dentin bonding
agent untuk dentin yang sensitive dengan
ditambah penggunaan pasta gigi non
detergent (sensitif)
73
Gejala klinis pada pulpitis reversibel adalah:

a. Nyeri berdurasi sangat singkat dan tidak


bertahan lama setelah terkena
rangsangan.
b. Gigi tidak sensitive untuk digunakan
pengunyahan
c. Nyeri berbeda dengan yang lain.
d. Gigi memberikan respons berlebihan
terhadap tes vitalitas.
e. Radiografi dalam batas normal normal dan
tidak terlihat pelebaran ligamen
periodontal.

1.1.2. Pulpitis irreversibel


Gigi Jika gejalanya menetap dan tingkat nyeri
dalam durasi dan intensitas yang berat, maka pulpa
kemungkinan tidak dapat dipulihkan terjadi pulpitis
irreversibel. Pasien mungkin tidak dapat menentukan
kapan gigi mengalami masalah, karena rasa sakit
sering disebut gigi pada rahang atas dan bawah pada
sisi yang sama. Pada tahap awal, gigi bisa
74
menunjukkan reaksi berkepanjangan terhadap panas,
sensitive terhadap perkusi dan tekan oleh karena itu
tidak disarankan tes perkusi dengan tangkai
instrumen tapi lembut dengan menggunakan tangan.

Peradangan apabila telah menyebar ke


seluruh pulpa serta melibatkan ligamentum
periodontal, gigi akan menjadi sensitive ketika
digunakan untuk menggigit. Gigi apabila
diaplikasikan panas akan mencegah dan
menghilangkan rasa sakit yang berkepanjangan.
Nyeri dari pulpa yang mengalami pulpitis ireversibel
akan menjadi spontan dan dapat berlangsung dari
beberapa detik hingga beberapa jam. Ciri khas dari
pulpitis ireversibel adalah ketika pasien bangun pada
malam hari karena rasa sakit giginya. Gejala pulpitis
irreversibel dapat pula tidak terdapat gejala
(asimptomatik) dan memilki diagnosa banding abses
periapikal akut karena setelah dilakukan
pemeriksaan vitalitas menggambarkan gigi telah
nekrosis, sehingga diperlukan pemeriksaan
penunjang seperti foto periapikal untuk lihat
gambaran ada radiolusen di pulpa dan periapikal.

75
Gejala klinis pada pulpitis irreversibel adalah:

a. Riwayat nyeri spontan yang bisa


berlangsung beberapa menit hingga
beberapa jam.
b. Rangsangan berupa cairan panas atau
lama diberikan, rasa sakitnya akan
berkepanjangan. Pada tahap selanjutnya,
panas akan lebih signifikan, lama lama dan
menghilangkan rasa sakit.
c. Nyeri pada awalnya mungkin menjalar,
tetapi pada ligamentum periodontal telah
terlibat, pasien akan dapat kehilangan gigi.
d. Gigi menjadi sensiti pada saat peradangan
telah menyebar ke ligamen periodontal.
e. Ligamen periodontal yang melebar dapat
terlihat pada radiografi pada stadium
lanjut.
Evaluasi harus terus dilakukan setiap
minggunya dengan mengulang semua pemeriksaan
subyektif dan obyektif. Tes vitalitas dapat menjadi
meragukan pada beberapa kondisi contoh, respons
pada orang yang lebih tua mungkin berbeda dari

76
pada orang yang lebih muda karena diposisi endapan
sekunder dan gantung lainnya pada jaringan pulpa.
Electrical Pulp Test (EPT) hanyalah indikasi kehadiran
jaringan saraf vital hanya pada sistem saluran akar
dan bukan indikasi kondisi kesehatan jaringan pulpa.

Peradangan pulpa telah menyebar ke


ligamentum periodontal, eksudat inflamasi yang
dihasilkan dapat mencegah ekstrusi gigi,
membuatnya sensitif untuk digigit pada saat
pengunyahan. Gejala penyakit ini pada periodontitis
apikalis akut disebabkan traumatik oklusi. Perawatan
ideal pada pulpitis irreversibel adalah pulpektomi
dengan preparasi biomekanis pada pulpa dan saluran
akar. Keadaan apabila tidak memungkinkan dengan
waktu yang terbatas pulpotomi bisa dilakukan atau
mengambil seluruh jaringan pulpa dengan irigasi
menggunakan sodium hipoklorit (NaOCl) 2,5% atau
5,2%. Sodium hipoklorit terbukti efektif untuk
desinfektan pulpa dan saluran akar khususnya
jaringan organik.

Kamar pulpa dikeringkan dengan cotton pellet


steril dan diberikan medikamen golongan fenol, atau
77
kortikosteroid atau antibiotik lalu ditutup tambalan
sementara. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan pada
golongan medikamen antibiotik. Medikamen
kortikosteroid harus diberikan secukupnya jangan
berlebihan karena ada bukti bahwa penekanan
terhadap respon inflamasi oleh steroid
memungkinkan bakteri memasuki aliran darah
dengan mudah, hal ini adalah pengaruh yang tidak
diinginkan pada pasien yang memiliki riwayat
rheumatic fever. Penelitian menjukkan bahwa
aplikasi pemberian medikasi antibiotik atau
kortikosteroid setelah pulpa dan saluran akar
dikeringkan dengan golongan obat ini tidak terlalu
efektif. Kapas dan kertas pada cotton pellet steril
atau paper point akan tertinggal di dalam pulpa dan
saluran akar dan menjadi yang baik bagi bakteri.

Masalah besar pada pulpitis irreversibel yang


sedang meradang adalah pemberian anestesi lokal
berbeda dengan dengan anestesi umum, sehingga
anestesi dengan Teknik tambahan diperlukan pada
saat melakukan pulpektomi atau pulpotomy
meliputi :

78
a. Anestesi infiltrasi tambahan di lingual dan
palatal.
b. Anestesi intraligamental (intra-osseous).
c. Anestesi intra-osseous
b. Anestesi intrapulpa
a. Sedasi inhalasi dengan anestesi lokal.
Tehnik-tehnik ini apabila hanya memberikan
hasil yang moderat sehingga rasa nyeri masih
dirasakan oleh pasien disarankan untuk memberikan
“sedative dressing” berupa cairan mengandung
anestesi lokal seperti lidokain untuk meredakan
peradangan sementara ditutup tambalan sementara
dan menunda terlebih dahulu pengambilan jaringan
pulpa. Aplikasi medikamen antibiotik/kortikosteroid
ditambah zinc oxide eugenol akan meredakan efektif
sementara.

Nyeri yang berlanjut dirasakan setelah


pengambilan jaringan pulpa disebabkan oleh:

a. Restorasi sementara overhang/tinggi


b. Infeksi jaringan pulpa telah terjadi
c. Ekstrusi debris ke apex instrumentasi dari
puncak atau kinerja dinding anal.
79
d. Over instrumentation atau perforasi ke
dinding saluran akar
e. Saluran akar tambahan ada yang belum
terbersihkan.
Prosedural pulpotomi dan pulpektomi telah
menjadi pilihan pertama perawatan darurat dengan
pulpektomi menjadi pilihan perawatan yang lebih
dipilih. Survei Diplomates of the American Board of
Endodontics menunjukkan bahwa lebih banyak
endodontis cenderung memilih pulpektomi
dibandingkan dengan prosedur pulpotomi saja untuk
kasus vital dan nekrosis. Dokter gigi spesialis
konservasi gigi di Amerika lebih dari 50% lebih
menyukai instrumentasi lengkap pada pulpektomi
dibandingkan pulpotomi, terutama dalam kasus
nekrosis dengan perawatan saluran akar (complete
intrumetation). Waktu yang kurang adalah alasan
utama untuk melakukan perawatan saluran akar
multi visit.

Kecendrungan perawatan ini berubah dan


mengalami peningkatan 27% selama jangka waktu
10 tahun lebih memilih perawatan saluran akar multi

80
visit (complete instrumentation) karena peningkatan
literatur tentang pengaruh instrumentasi lengkap dan
penempatan medikamen saluran akar terhadap
pengurangan racun bakteri dan sitokin yang secara
langsung mengaktifkan dan mensensor nosiseptor.
Perkembangan alat modern seperti apex locator
elektronik, mikroskop operasi bedah, instrument
ultrasonik dan cone beam computed tomography
(CBCT) telah hampir menghilangkan faktor
terbatasnya waktu dalam pertimbangan memilih
pulpotomi dan pulpektomi tanpa instrumentasi
lengkap. Kasus darurat banyak dengan pulpalgia dan
periodontitis apikalis simtomatik juga dapat
diselesaikan dalam satu kunjungan. Namun, masalah
ini akan fokus dan menyajikan keadaan terkait
dengan prosedur pulpotomi dan pulpektomi
endodontik secara sesuai.

Pulpotomi dan pulpektomi pada dasarnya


berbeda dikarenakan protokol pulpotomi terbatas
pada pengangkatan jaringan yang meradang hingga
ruang pulpa sementara protokol pulpektomi
membutuhkan ekstirpasi seluruh jaringan saluran

81
akar yang meradang. Meskipun pulpektomi adalah
istilah yang paling cocok untuk pulpa vital, ini juga
digunakan sebagai referensi untuk pengangkatan
jaringan saluran akar nekrosis. Secara umum, kedua
prosedur memiliki tingkat keberhasilan lebih dari
90% pada pengurangan rasa sakit pasca operasi dari
sedang ke berat ke ringan menjadi tanpa rasa sakit.
Penelitian lanjutan mengenai protokol ini telah
mengarah ke kemajuan baru dan hasil yang sangat
dapat diprediksi.

Perawatan Tambahan

Beberapa perawatan tambahan untuk


prosedur pulpotomi dan pulpektomi darurat tersedia
dan harus dipertimbangkan:

1) Pengurangan oklusal
Pengurangan oklusal secara signifikan
mengurangi nyeri pada pasien dengan pulpa
vital, gejala periradikular dan nyeri pra operasi,
48 jam setelah instrumentasi.

82
2) Analgesik pasca operasi
Ulasan sistematis terbaru dan meta-analisis
menunjukkan bahwa ibuprofen 600 mg atau
ibuprofen 600 mg dengan acetaminophen
(APAP) 1000 mg paling efektif dalam
mengurangi nyeri endodontik pasca operasi
pada pasien tanpa kontraindikasi. Selain itu,
formulasi ibuprofen baru, ibuprofen sodium
dihydrate dengan dosis 512 mg telah terbukti
memiliki onset kerja yang lebih cepat daripada
asam ibuprofen dalam mengurangi nyeri
spontan dan allodynia mekanik, meskipun tidak
ada perawatan endodontik dalam penelitian ini,
onset aksi ibuprofen sodium dehydrate yang
lebih cepat kemungkinan akan bermanfaat bagi
nyeri pasien post endodontik. Pasien semua
dalam contoh di atas dijelaskan diberi 600 mg
ibuprofen ditambah 325 mg APAP.

3) Insisi dan drainase (I &D)


Perawatan tambahan ini diindikasikan untuk
pembengkakan intra oral jaringan lunak yang
terlokalisasi, kencang atau berfluktuasi.

83
Pengurangan tekanan cairan, pengurangan
mediator inflamasi mikroba dan pencegahan
penyebaran infeksi ke fasia yang lebih dalam
adalah alasan untuk menggunakan insisi dan
drainase.

4) Antibiotik pasca operasi


Antibiotik pasca operasi sangat penting bahwa
dokter juga mengamati keadaan sistemik pada
semua pasien. Kasus abses apikal akut dengan
pembengkakan intra atau ekstraoral,
limfadenopati dengan atau tanpa demam adalah
tanda-tanda kritis tidak boleh dilewatkan. Ini
juga merupakan tanda bahwa infeksi dari pulpa
dan jaringan periradikular telah menyebar lebih
dalam dan daerah tubuh yang berpotensi
berbahaya, yang harus segera ditangani.
Beberapa antibiotik tersedia untuk dokter; sifat
bakterisidal / bakteriostatik dari berbagai
antibiotik untuk patogen endodontik telah diuji
dan terbukti sebagai berikut:

a. Penicillin V - 85%
b. Amoxicillin - 91%
84
c. Amoxicillin + calvulanic acid - 100%
d. Metronidazole - 45%
e. Penicillin + metronidazole - 93%
f. Amoxicillin + metronidazole - 99%
g. Clindamycin - 96%
Data ini sangat menyarankan penggunaan
antibiotik spektrum luas seperti Augmentin atau
amoksisilin dengan metronidazole untuk infeksi
endodontik. Bukti antibiotik mengurangi rasa
sakit tidak ada buktinya dan karena itu
pemberian antibiotik yang berlebihan tanpa
adanya keterlibatan sistemik harus dihindari
untuk mencegahnya resistensi antimikroba pada
pasien.

1.2. Abses Periapikal Akut


Perkembangan ini berasal dari kondisi penyakit
periodontitis periapikal akut. Tahap awal tidak ada
perbedaan gejala yang jelas diantara keduanya
Radiografi memberikan perbedaan jelas berupa
gambaran radiolusen yang difus di periapikal pada
abses periapikal akut. Gejala khas pada abses
85
periapikal akut adalah timbulnya pembengkakkan dan
kegoyangan gigi. Diagnosa banding adalah abses
periodontal lateral. Diagnosa dapat ditetapkan
dengan melakukan pemeriksaan vitalitas gigi, jika gigi
vital maka kemungkinan gigi mengalami abses
periodontal.
Tindakan awal yang harus segera dilakukan
adalah menghilangkan tekanan dengan membuat
drainase yang biasanya dengan melakukan
pembukaan atap kamar pulpa (access opening).
Tahap ini sangat sulit karena biasanya gigi sangat
sensitif. Gigi dipegang dengan lembut dan gigi di bor
dengan bor diamond bundar kecil untuk mengurangi
trauma. Anestesi lokal mungkin dibutuhkan, dan
apabila drainase tetap tidak terjadi maka harus
dilakukan eksplorasi dengan file kecil ukuran #8 atau
#10 (canal patency) sampai apikal tetapi foramen
apikal tidak boleh diperbesar dengan instrumentasi.
Irigasi saluran akar dengan cairan irigasi dibantu
dengan Teknik agitasi ultrasonik dapat membantu
drainase dalam saluran akar. Pembengkakan jarinagn
lunak bila masih ada di intraoral maka dapat
dilakukan insisi untuk drainase. Selulitis bila terjadi
86
maka menyebabkan drainase sedikit atau tidak ada
maka disarankan pada kasus selulitis pasien harus
mendapatkan dulu konsultasi medis penyebab dari
selulitis sebelum dilakukan perawatan.
a. Insisi Untuk Membuat Drainase
Insisi untuk membuat drainase adalah
satu-satunya cara yang dapat diambil saat
peradangan akut terjadi. Indikasi dilakukannya
insisi adalah Pus (nanah) yang muncul di
pembengkakan jaringan lunak. Membuat
drainase untuk membantu infeksi bisa
terkontrol adalah hal yang penting, dan harus
selalu dilakukan melalui saluran akar lebih baik
hasilnya dibandingkan hanya menggunakan
antibiotik saja.11,13

Fluktuasi pada pembengkakan jaringan


lunak harus diperiksa, untuk melihat apabila
pembengkakan di intra-oral. Maka anestesi
topikal harus diaplikasikan dimana anestesi
lokal tidak akan efektif karena terdapat nanah
dan menyebabkan penyebaran pus (nanah) ke
jaringan lebih dalam. Insisi menggunakan pisau

87
(scalpel) Bard Parker no #11 atau #15,
kemudian aspirasi menggunakan jarum yang
lebar dan sekali pakai. Jarum ini juga bisa
digunakan aspirasi pus melalui saluran akar.
Keuntungan dari teknik ini adalah bahwa
sampel yang dikirim untuk uji bakteriologi jika
diperlukan. Biasanya tidak perlu memasukkan
drain tetapi jika diperlukan bisa dimasukkan
kassa steril ke dalamnya. Teknik yang sama
berlaku untuk drainase ekstra oral, tetapi
apabila diperlukan bisa merujuk ke spesialis
bedah mulut.

b. Perawatan saluran Akar


Drainase awal apabila telah dilakukan
kemudian rubber dam bisa dipasang dan
dilakukan posedur preparasi biomekanis dengan
pembentukan menggunakan file dan irigasi
dengan sodium hipoklorit untuk membersihkan
saluran akar. Saluran akar kemudian
dikeringkan dan diberikan medikamen pada
umumnya kalsium hidroksida (Ca(OH)2) dan
ditutup tambalan sementara agar tidak terjain

88
infeksi ulang.

Kesalahan umum terjadi adalah untuk


membiarkan gigi terbuka sehingga prognosis
menjadi buruk. Dokter gigi atau pasien apabila
tidak memilki waktu cukup untuk melakukan
preparasi biomekanis maka harus segera dibuat
janji jadwal melakukan tahapan perawatn ini
sampai aplikasi medikamen bisa terjadi.
Antibiotik hanya diperlukan ketika ada
penyebaran sistem infeksi, pasien tidak sehat
dan terjadi peningkatan suhu. 11,13

1.3. Gejala Gigi Fraktur


Pemeriksaan bila terlihat gambaran
seperti “rumput” di enamel gigi itu bisa
membuat fungsi gigi menjadi terganggu dan
diindikasikan terjadi fraktur gigi. Fraktur gigi
apabila sampai dentin, akan menyebabkan rasa
nyeri pada saat pengunyahan. Keadaan ini
apabila dibiarkan karena pasien tidak sempat
perawatan fraktur bisa menyebar mencapai
pulpa dan terjadi pulpitis irreversibel. Gejala
lebih lanjut pada pasien dapat terjadi dengan
89
gejala menyerupai pulpitis ireversibel:

 Nyeri saat mengunyah.


 Sensitivitas terhadap cairan panas dan
lama.
 Nyeri yang berbeda dengan yang lain.
 Nyeri dirujuk ke area yang dilayani oleh
saraf kranial kelima.
 Nyeri pulpa yang halus.
 Abses alveolar.
Diagnosis sulit untuk ditetapkan karena
bergantung pada garis fraktur di gigi. Radiografi sulit
untuk memperlihatkan fraktur gigi kecuali fraktur
terjadi pada bidang bukolingual. Cahaya serat optik
dapat digunakan untuk melihat garis fraktur. Pada
pasien fraktur juga dilakukan “biting test” dengan
menggigitkan bantalan karet terlipat pada gigi, tetapi
hal ini harus hati-hati dilakukan karena dapat
memperpanjang garis fraktur Fraktur vertikal memilki
prognosis buruk. Fraktur bila terjadi horizontal atau
diagonal serta superficial terhadap tulang alveolar
maka prognosisnya lebih baik.

90
2. Kedaruratan selama perawatan:
2.1. Perawatan restorasi
Pasien yang sedang dalam perawatan
endodontik mungkin akan mengalami rasa
sakit maka dokter gigi harus memberitahu
pasiennya apa saja kemungkinan yang akan
terjadi. Pasien disarankan tidak melakukan
aktivitas berat pada gigi tersebut dan apabila
rasa sakit terjadi bisa diberi bekal obat NSAID
yang diminum bila sakit dan bila sakit terus
berlanjut segera ke dokter gigi. Rasa nyeri
biasanya yang berlanjut terjadi karena:
 Restorasi sementara terlalu tinggi
 Kebocoran mikro pada restorasi
 Pulpa tereksponasi
 Rangsangan panas atau jejas saat
preparasi gigi atau semen base yang tipis
dibawah restorasi amalgam/logam
 Iritasi akibat semen base atau bahan
restorasi
 Efek listrik akibat bertemunya 2 logam
91
yang berbeda

2.2. Perawatan periodontal


Saluran akar lateral merupakan
komunikasi dengan ligament periodontal dan
ini jumlahnya banyak sehingga apabila
prosedur desinfeksi tidak maksimal dapat
membuat lesi endo perio.

2.3. Pulpa tereksponasi


Pembersihan karies dilakukan harus gigi
dalam menggunakan rubber dam. Keputusan
jaringan pulpa diambil tidaknya bergantung
pada keberhasilan pulp capping atau
pulpotomy parsial dengan kalsium hidroksida.
Apabila waktu mencukup maka bisa dilakukan
pulpektomi dengan anestesi lokal.

2.4. Fraktur mahkota dan akar


Fraktur mahkota dan akar bisa terjadi
pada saat proses perawatan. Fraktur gigi bila
terjadi fraktur vertikal prognosisnya buruk.
92
Fraktur bila terjadi di salah satu akar gigi bisa
dilakukan hemi seksi atau pengambilan salah
satu akar.

2.5. Sakit karena instrumentasi


2.5.1. Periodontitis apikal akut
2.5.2. Abses Phoenix
Periodontitis dapat terjadi karena over
instrumentasi sampai melebihi apex, trauma
oklusi, aplikasi medikamen berlebihan. Irigasi
dengan sodium hipoklorit pada saluran akar
dengan dikeringkan dengan paper point
biasanya cukup untuk meringankan gejala.
Oklusi harus diperiksa karena akan
berpengaruh pada soket gigi. Istilah “Abses
Phoenix” berhubungan dengan perluasan
eksaserbasi tiba-tiba dari lesi periapikal yang
sebelumnya tidak bergejala. Ini masalah yang
paling sulit dihadapi dan terjadi setelah
instrumentasi awal gigi dengan lesi yang
sudah ada sebelumnya. Alasan untuk
fenomena ini tidak sepenuhnya dipahami,
tetapi diduga disebabkan oleh perubahan
93
lingkungan di dalam saluran akar. Penelitian
menyatakan bahwa bakteri pada kasus
nekrosis pulpa lebih kompleks dan melibatkan
bakteri anaerob. Perawatan yang meliputi
preparasi biomekanis dari saluran akar bisa
membentuk sebuah drainase pada kasus yang
parah dan akan lebih baik apabila diberikan
juga resep antibiotik.

3. Kedaruratan sesudah perawatan:


Faktor-faktor berikut ini harus dipertimbangkan
jika harus melakukan sealing pada saluran akar
3.1. Restorasi terlalu tinggi
3.2. 0verfilling
3.3. Underfilling
3.4. Root filling
Saluran akar apabila telah dilakukan
pengisian (obturasi) saluran akar, oklusi
harus diperiksa untuk mencegah
periodontitis dan fraktur gigi. Pengisian
(obturasi) saluran akar yang melebiihi atau
kurang sampai apeks gigi dapat
menyebabkan gejala ketidaknyamanan
94
sampai rasa nyeri. Nyeri disebabkan karena
preparasi bimekanis yang kurang adekuat.
Rasa sakit apabila masih ada setelah
meminum obat maka harus dilakukan
perawatan saluran ulang secara non bedah
atau bedah.

3.5. Fraktur akar


Pengisian saluran akar dengan
kondensasi lateral harus dengan hati-hati
terutama tekanan yang diberikan jangan
terlalu besar sehingga bisa menyebabkan
fraktur akar. Fraktur yang sering terjadi adaah
fraktur vertikal dengan prognosa buruk.
Fraktur vertikal bila terjadi maka disarankan
untuk diekstraksi giginya.

CONTOH KASUS

KASUS 1

Pasien datang dengan rujukan dari klinik


Bedah Mulut RSGM UNPAD dengan keluhan pasien
95
terpukul pemukul bola softball 2 minggu sebelumnya.
Pasien datang ke dokter gigi di konsul foto rontgen
periapikal dan terdapat gambaran epistaksis kanan
kiri. Pulang ke rumah dikompres dingin 1x, lalu
dikompres hangat sampai sekitar 3 hari, dan muka
masih bengkak. Hasil pemeriksaan pertama gigi 26
vitalitas (+) Perkusi (+) di seluruh regio kiri rahang
atas, tidak ada gigi yang goyang. pasien di konsul
kembali rontgen panoramik, kecurigaan ada fraktur
sinus dan gigi yg fraktur.

Pasien dikonsul ke spesialis konservasi gigi


dan difoto rontgen CBCT dengan hasil terdapat
fraktur dinding sinus kiri (penebalan dinding sinus)
pada gigi gigi 26 (Gambar 1-4).

96
Gambar 1. Gambar MPR view dinding sinus kiri sebelum
perawatan endodontik (Anna Muryani,Maret 2017)

Gambar 2. Gambar Coronal View Gigi Dinding Sinus sebelum


perawatan endodontik (Anna Muryani,Maret 2017)

97
Gambar 3. Gambar Sagital View Gigi Dinding Sinus
sebelum perawatan endodontik (Anna Muryani,Maret
2017)

Gambar 4. Gambar axial view gigi dinding sinus sebelum


perawatan endodontic (Anna Muryani,Maret 2017)

98
Perawatan dimulai dengan pemasangan ring
di mahkota gigi. Kemudian dilakukan foto waters dan
pengobatan antibiotik. Gigi-gigi di kiri rahang atas
setelah 2 bulan sudah mulai tidak sakit (Gambar 5-8).
Pasien kembali mengalami kecelakaan sepeda motor
diduga ada benturan di area sinus kiri, dan luka di
wajah terutama bagian bawah hidung sebelah kiri
(pipi kiri dekat mata dilakukan penjahitan). Gigi 26
awalnya di lakukan occlusal adjustment, kemudian
pulp capping dan restorasi sementara kemudian
karena pasien mengalami tabrakan kembali, gigi
menjadi terasa sakit dan wajah bengkak kembali
maka dilakukan perawatan saluran akar dan follow
up endocrown. Pasien sudah tidak mengeluhkan rasa
sakit sampai sekarang (3 tahun) dan penebalan sinus
telah berkurang banyak

99
Gambar 5. Gambar MPR view dinding sinus kiri sesudah
perawatan endodontik (Anna Muryani,Oktober 2017)

Gambar 6. Gambar Coronal View Gigi Dinding Sinus sesudah


perawatan endodontik (Anna Muryani,Oktober 2017)

100
Gambar 7. Gambar Sagital View Gigi Dinding Sinus sesudah
perawatan endodontic (Anna Muryani,Oktober 2017)

Gambar 8. Gambar axial view gigi dinding sinus sesudah


perawatan endodontic (Anna Muryani,Oktober 2017)

Kesan pada foto CBCT tampak penyatuan


tulang yang mengalami fraktur, pengurangan
penebalan mukosa sinus dari gambaran kontrol.

KASUS 2

Seorang pasien laki-laki berumur 24 tahun,


datang RSGM UNPAD, dengan keluhan gigi depan
atas kanan patah dan terasa sakit 4 hari sebelumnya.
Gigi terasa sakit bila terkena udara dingin, minum air
dingin atau makan makanan yang manis. Pasien

101
sudah minum obat pereda sakit dan sakitnya hilang,
dan sekarang ingin dirawat giginya karena sakit dan
mengganggu penampilan.
Hasil pemeriksaan obyektif didapatkan gigi 11
mengalami fraktur hingga terlihat sisa mahkota
tinggal 1/3 insisal dan pulpa tereksponasi (Gambar
9). Tes dingin dan Electric Pulp Tester (EPT),
menunjukkan respon positif. Pemeriksaan perkusi
dan tekan menunjukkan respon negatif, tes palpasi
negatif. Pemeriksaan mobiliti menunjukkan respon
negatif. Kebersihan mulut baik.

Gambar 9. Gambaran klinis gigi 11 fraktur 1/3 insisal.


(Anna Muryani,2011)

Pemeriksaan radiografis menunjukkan lamina


dura utuh, tidak ada kelainan di daerah periapikal
(Gambar 10). Diagnosa pada kasus ini adalah Gigi 11
102
pulpitis ireversibel dengan fraktur mahkota.
Prognosis baik. Rencana perawatan yang akan
dilakukan adalah perawatan satu kali kunjungan
dengan follow up fiber post serta mahkota all
porcelain.

Gambar 10. Foto diagnosis awal


(Anna Muryani, 2011)

Tatalaksana Kasus

Perawatan saluran akar pada gigi 11 diawali


dengan tindakan asepsis terlebih dahulu dengan
mengulaskan larutan povidone iodine pada bagian
labial dan palatal. Setelah itu, dilakukan anestesi
infiltrasi pada daerah labial dan palatal dengan
103
larutan anestetikum sebanyak masing-masing 0,5 cc.
Setelah gigi teranestesi dan gingiva terlihat pucat
lalu dilakukan isolasi gigi 11 dengan menggunakan
rubber dam (Gambar 11.a), kemudian dibuat akses
kavitas di bagian palatinal gigi 11 menggunakan bor
bundar berukuran kecil. Pelebaran orifis dilakukan
dengan menggunakan bor endo Z dan X-Gates
(Dentsply, mailefer, Swiss). (Gambar 11.b).

a b
Gambar 11. a. Isolasi gigi dengan rubber dam, b. Pembukaan
akses kavitas (Anna Muryani,2011)

Kamar pulpa setelah terbuka dengan baik


dibersihkan, dilakukan ekstirpasi jaringan pulpa di
dalam saluran akar, irigasi dengan NaOCl (Natrium
Hipokiorit) 2,5 %, kemudian dikeringkan

104
menggunakan paper point. (Gambar 12) Panjang
kerja ditentukan dengan file awal no. 15 (K-file,
Dentsply) menggunakan apex locator (Propex,
Dentsply) dan hasilnya 22 mm. Kemudian dilakukan
preparasi saluran akar dengan tehnik crown down
sesuai panjang kerja menggunakan jarum ProTaper
rotary (Protaper, Dentsply) dan sebagai lubricant
menggunakan EDTA gel 15% (glyde, Dentsply,
DeTrey, Swiss). Preparasi saluran akar dimulai
dengan jarum ukuran Sx, S1, S2, F1 sampai ukuran
F5. Setiap pergantian jarum dilakukan irigasi
dengan NaOC1 2,5%. Setelah irigasi terakhir
menggunakan NaOC1 2,5%, saluran akar
dikeringkan dengan menggunakan paper point.

Gambar 12. Pengambilan jaringan pulpa menggunakan jarum


ekstirpasi (Anna Muryani,2011)

105
Kemudian dilakukan trial foto sesuai panjang
kerja menggunakan gutaperca nomor F5. Hasil
radiografis terlihat panjang gutaperca sesuai
dengan panjang kerja (Gambar 13).

Gambar 13. Foto trial dengan gutap F5 (Anna


Muryani,2011)

Pengisian dilakukan kemudian dilakukan foto


radiografis untuk melihat hasil pengisian.
Gambaran foto radiografis menunjukkan hasil
pengisian yang hermetis dan sesuai panjang kerja,
kemudian dilakukan pengurangan gutaperca 2 mm di
bawah orifis. (Gambar 14) Pasien diminta untuk
kembali satu minggu kemudian untuk lakukan foto
kontrol.
106
a b
Gambar 14. Foto pengisian dengan gutap F5, a. Foto Klinis, b.
Foto radiografis

Kontrol dilakukan 1minggu setelah dilakukan


pengisian. Tidak ada keluhan sakit, tes perkusi dan
tes palpasi negatif dan kegoyangan gigi negatif. Dari
pemeriksaan radiografis, terlihat pengisian hermetis
dan tidak terdapat kelainan pada bagian periapikal.
107
Follow up direncanakan preparasi fiberpost,
pemasangan fiberpost, dan pembuatan all porcelain.

SIMPULAN

Tujuan utama dari prosedur darurat adalah


untuk memberikan penghilang rasa sakit yang
signifikan untuk durasi yang cukup sampai
didapatkan perawatan definitif. Dokter gigi juga
harus memberikan perawatan untuk mencegah
perkembangan nyeri persisten dan patosis periapikal
sehingga meningkatkan tingkat keberhasilan
perawatan endodontik, mengambil semua langkah
untuk mencegah keterlibatan sistemik,
memanfaatkan waktu ini untuk menentukan tingkat
keberhasilan gigi terkait.

108
DAFTAR PUSTAKA

1. Andreasen JO: Review of the root resorption


systems and models: etiology of root resorption
and the homeostatic mechanisms of the
periodontal ligament. In Davidotch D, editor:
The biological mechanisms of tooth eruption
and root resorption, Birmingham, Ala, 1988,
EBSCO Media.
2. Cvek M: Endodontic management and the use
of calcium hydroxide in traumatized permanent
teeth. In Andreasen JO, Andreasen FM,
Andersson L, editors: Textbook and colour atlas
of traumatic injuries to the teeth, ed 4, Oxford,
2007, Blackwell Munksgaard.
3. Ishijima M, Rittling SR, Yamashita T, et al:
Enhancement of osteoclastic bone resorption
and suppression of osteoblastic bone formation
in response to reduced mechanical stress do
not occur in the absence of osteopontin, J Exp
Med 193:399, 2001.
4. Bille ML, Kvetny MJ, Kjaer I: A possible
association between early apical resorption of
primary teeth and ectodermal characteristics of
the permanent dentition, Eur J Orthod 30:346,
2008.
5. American Association of Endodontic.
Management of endodontic emergencies:
pulpotomy versus pulpectomy. Fall 2017
6. Bille ML, Nolting D, Kvetny MJ, Kjaer I:
Unexpected early apical resorption of primary
molars and canines, Eur Arch Paediatr Dent
8:144, 2007.

109
7. Chapnick L: External root resorption: an
experimental radiographic evaluation, Oral
Surg Oral Med Oral Pathol 67:578, 1989.
8. Carrotte.P. Endodontic Part 3: Treatment of
Endodontic Emergencies. BDJ; 2004:197;299-
305

9. Bender IB: Pulpal pain diagnosis: a review, J


Endod 26:175, 2000.
10. Gatchel RJ: Managing anxiety and pain
during dental treatment, J Am Dent Assoc
123:37, 1992.

11. Holmes-Johnson E, Geboy M, Getka EJ:


Behavior considerations, Dent Clin North Am
30:391, 1986.
12. Rugh JD: Psychological components of
pain, Dent Clin North Am 31:579, 1987.
13. Dorn SO, Cheung GSP. Management of
endodontic emergencies. Hargreaves KM.
Cohen’s Pathways of the Pulp. 11 th
ed.Elsevier:St.Louis. 706-718
14. Watts A, Patterson R G. The response of
the menchanically exposed pulp of
prednisolone and triamcinoloneacetonide. Int
Endod J:1988;21:9-16
15. Baumgartner JC, xia T. Antibiotic
susceptibility of bacteria associated with
endodontic abscesses. J Endod, 2003; 29:44-7
16. Silveira
A.M,H.PLopes,J.FSiquiera,S.B.Macedo,A.Consola
ro. Periradicular repair after two visit
endodontic treatment using two different
intracanal medication compared to single visit
110
endodontic treatment. Braz Dent
J;18(4);2007;299-304.
17. Cohen, S., K.M. hargreaves. Pathway of
the Pulp. 10th ed. Ed. St. Louis:Mosby Eslsevier.
2011
18. Ingle J.I, Bakland L.K, Baumgartner J.C.
Endodontics 6. Ontario: BC Decker Inc. 2008.
19. Ruddle J. C. Cohen S, Burns C.R.
Pathways of the Pulp 8th ed. United State of
America: Mosby 2002.
20. Pekruhn RB. The incidence of failure
following single visit endodontic therapy.
JOE;2(2);1986;-68-72.
21. Inan U, et al. In Vitro Evaluation of
Matched Taper Single Cone obturation with a
Fluid Filtration Method. JCDA – Vol 75, No 2,
March 2009

111
BAB VI

PENATALAKSANAAN REAKSI ANAFILAKSIS DI


KLINIK GIGI

Anaphylaxis berasal dari bahasa Yunani yang


berarti Ana adalah jauh dari dan phylaxis adalah
perlindungan. Jadi menurut bahasa, Anaphylaxis
berarti menghilangkan perlindungan. Definisi dari
anafilaksis sendiri adalah reaksi alergi umum dengan
efek pada beberapa sistem organ terutama
kardiovaskular, respirasi, kutan dan gastro intestinal
yang merupakan reaksi imunologis yang didahului
dengan terpaparnya alergen yang sebelumnya sudah
tersensitisasi. 1

Tahun 2641 SM Raja Menes, seorang Pharao


meninggal mendadak tidak lama setelah disengat
tawon. Tahun 1902, Richet dan Portier menemukan
fenomena yang sama, mereka menginjeksi anjing
dengan ekstrak anemon laut, setelah beberapa lama
diinjeksi ulang dengan ekstrak yang sama anjing itu
mendadak mati. Fenomena ini mereka sebut aldquo
112
yang berarti anaphylaxis. Jika seseorang sensitif
terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak
lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi
hipersensitivitas yang merupakan suatu reaksi
anafilaksis yang dapat berujung pada syok
anafikaktik. 2

Reaksi anafilaksis merupakan reaksi alergi akut


sistemik dan termasuk reaksi Hipersensivitas Tipe I
pada manusia dan mamalia pada umumnya yang
berpotensial fatal dan menimbulkan reaksi pada
multiorgan yang disebabkan oleh dilepasnya
mediator-mediator inflamasi dari mast cells dan
basofil. Reaksi ini harus dibedakan dengan reaksi
anafilaktoid. Gejala, terapi, dan risiko kematiannya
sama tetapi degranulasi sel mast atau basofil terjadi
tanpa keterlibatan atau mediasi dari IgE. 3

Di Amerika Serikat, kematian akibat reaksi


anafilaksis sistemik kira-kira 1500-2000 kematian per
tahun. Kasus nonfatal lebih sering muncul, yakni
sekitar 0,2 % dari populasi setiap tahunnya.
Prevalensi kunjungan ke bagian kegawatdaruratan

113
kira-kira 2 per 10.000 penduduk sampai 5 per 10.000
penduduk.

Neugut et al memperkirakan bahwa 1-15 %


dari populasi Amerika Serikat berada dalam risiko
mendapatkan reaksi anafilaktik atau reaksi
anafilaktoid. Lebih lanjut, mereka memperkirakan
rata-rata reaksi anafilaksis akibat makanan adalah
0,0004%, 0,7-10% untuk penisilin, 0,22-1% untuk
media radiokontras, dan 0,5-5% untuk gigitan
serangga. 3

6.1 Definisi

Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata


ana yang berarti balik dan phylaxis yang berarti
perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang
seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak
jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada
melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).2

Syok anafilaktik adalah suatu respons


hipersensitivitas yang diperantarai oleh
Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang
ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri
114
yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya
suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera
setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam
sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu
manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan
syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang
nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh
darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang
dapat menyebabkan terjadinya kematian.2

6.2 Etiologi dan Faktor Resiko

Reaksi anafilaksis terjadi ketika sistem imun


tubuh berekasi dengan antigen yang dianggap
sebagai penyerang atau benda asing oleh tubuh. Sel
darah putih kemudian memproduksi antibodi dalm
hal ini adalah IgE yang bersirkulasi pada peredaran
darah dan bereaksi dengan benda asing yang masuk.
Perlekatan antigen-antobodi ini merangsang
pelepasan mediator-mediator seperti histamin dan
menyebabkan berbagai reaksi dan gejala pada
berbagai organ dan jaringan.4

115
Beberapa golongan alergen yang sering
menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan,
obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang,
kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian,
buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan
yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis.
Obat-obatan yang bisa menyebabkan reaksi
anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat
anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID,
opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain- lain. Media
kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan
cuaca dingin juga bisa menyebabkan reaksi
anafilaksis.2

Sedangkan faktor-faktor yang diduga


dapat meningkatkan risiko anafilaksis antara lain: 3

1. Penyakit Atopi

Pada studi berbasis populasi di Olmsted County, 53%


dari pasien anafilaksis memiliki riwayat penyakit
atopi. Penelitian lain menunjukkan bahwa atopi
merupakan faktor risiko untuk reaksi anafilaksis
terhadap makanan, reaksi anafilaksis yang diinduksi

116
oleh latihan fisik, anafilaksis idiopatik, reaksi
terhadap radiokontras, dan reaksi terhadap latex.
Sementara, hal ini tidak didapati pada reaksi
terhadap penisilin dan gigitan serangga.

2. Cara dan waktu pemberian bahan alergen

Cara dan waktu pemberian bahan alergen


berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis.
Pemberian secara oral lebih sedikit menimbulkan
reaksi, kalaupun ada biasanya tidak berat, meskipun
reaksi fatal dapat terjadi pada seseorang yang
memang alergi setelah menelan makanan. Selain itu,
semakin lama interval pajanan pertama dan kedua,
semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan
muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan
katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE spesifik
seiring waktu.

3. Asma

Merupakan faktor risiko yang berakibat fatal. Lebih


dari 90% kematian karena anafilaksis terjadi pada
pasien asma.

117
6.3 Patofisiologi

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan


anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I (Immediate
type reaction). Reaksi hipersensitivitas tipe I
diklasifikasikan menjadi reaksi atopi dan non-atopi.
Kelainan atopi biasanya menyerang kulit atau traktus
respiratorius contohnya pada rhinitis alergi,
dermatitis atopi, dan asma alergi. Kelainan
hipersensitivitas non-atopi contohnya urtikaria,
angioedema, dan anafilaksis. Ketika reaksi yang
terjadi ringan, maka hanya akan menyerang kulit
(urtikaria) atau jaringan subkutan (angioedema),
namun ketika reaksi yang terjadi berat maka akan
berakibat menyeluruh (generalisata) dan bersifat life-
threatening medical emergency (anafilaksis).6

Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu


fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi
merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor
spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.
Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama

118
terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama sampai timbulnya gejala.2,3,5

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa,


saluran nafas atau saluran makan ditangkap oleh
Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan
antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan
mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi
Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma
(Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik
untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.2,5

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang


berupa granula yang menimbulkan reaksi pada
paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi
akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya
reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif
antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan
beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di
sebut dengan istilah preformed mediators.2,5

119
Gambar 1. Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam


arakidonat dari membran sel yang akan
menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi
yang disebut newly formed mediators. Fase efektor
adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas
mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik
pada organ organ tertentu. Histamin memberikan
efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas

120
kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi
mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos.

Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme


dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi
dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik
menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin
leukotrien yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi.2,5

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak


menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi dari
volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan
penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung
menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan
darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi
yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia
jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang
membahayakan penderita. Hipotensi dan syok dapat
terjadi sebagai akibat dari kehilangan volume
intravaskular, vasodilatasi, dan disfungsi miokard.
Peningkatan permeabilitas vaskuler dapat
121
menyebabkan pergeseran 50 % volume vaskuler ke
ruang extravaskuler dalam 10 menit. 3

Gambar 2 . Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

II.4 Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi.


Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik,
yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit
sampai 1 jam setelah terpapar dengan alergen;
reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam
122
setelah terpapar dengan alergen, serta reaksi lambat
terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan
alergen.7

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal


baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung
berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga
dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat.
Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan
perifer, sensasi hangat, rasa sesak di mulut dan
tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung,
pembengkakan periorbital, pruritus, bersin- bersin,
dan mata berair. Gejala dimulai dalam 2 jam pertama
setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup
semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme
dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea,
batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat,
ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan
gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat
berat mempunyai awitan yang sangat mendadak
dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama
seperti yang telah disebutkan diatas disertai
kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema

123
laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala
disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan
kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi.
Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia
ventrikel atau renjatan yang irreversible.7,8

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar


dengan antigen dan dapat terjadi pada satu atau
lebih organ target, antara lain kardiovaskuler,
respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf
pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang
lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase
permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal
pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada
tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit
perut.2,5

Tabel 1 : Manifestasi Klinik Reaksi Anafilaksis

Organ Signs and Symptoms


Systems
Cardiovascul Hypotension, tachycardia, arrhytmias
ar
Pulmonary Bronchospasm, cough, dyspnea,
pulmonary edema, laryngeal edema,
Hypoxia

124
Dermatogica Urticaria, facial edema, pruritus
l

Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva,


edema, sekret mata yang berlebihan. Pada rhinitis
alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di
bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan
bengkak. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal,
urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin,
lembab/basah, dan diaphoresis.5

Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi,


aliran darah paru menurun, penurunan saturasi
oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas,
dan penurunan volume tidal. Obstruksi saluran napas
yang komplit adalah penyebab kematian paling
sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi
apabila saluran napas bawah terganggu karena
bronkospasme atau edema mukosa. 5

Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh


penurunan kesadaran sampai terjadi koma
merupakan gangguan pada susunan saraf pusat.
Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi,
125
takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda
iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel
yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula
dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi
hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan
pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat
penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan
terjadinya gagal ginjal akut. 5,7

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier


mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,
peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati.
Gejala yang timbul pada sistem gastrointestinal
merupakan akibat dari edema intestinal akut dan
spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-
muntah atau diare. 5,6,7

Depresi sumsum tulang yang menyebabkan


terjadinya koagulopati, gangguan fungsi trombosit,
dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi.
Sementara gangguan pada system neuroendokrin
dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal,
resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan
status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan
126
metabolisme dari aerob menjadi anaerob sehingga
terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara
histologis terjadi keretakan antar sel, sel
membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran
sel.5,7

II.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium jarang diperlukan


untuk membantu menentukan diagnosis pada reaksi
anafilaktik karena reaksi anafilaksis umumnya
didiagnosis secara klinis, namun jika diperlukan
penegasan diagnosis terutama pada sindrom yang
berulang atau untuk mengeliminasi kelainan lainnya,
maka pemeriksaan penunjang ini menjadi salah satu
indikasi. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal
atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total
sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan
lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik dengan
RAST (radioimmunosorbent test) atau ELISA (Enzym
Linked Immunosorbent Assaytest), namun
memerlukan biaya yang mahal.2,3,5

127
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit
untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji
cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau
berseri (skin end-point titration/SET). Pemeriksaan
lainnya antara lain analisa gas darah, elektrolit, dan
gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses
lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-
lain.2,5

II.6 Diagnosis

Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya


dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah terpapar
dengan alergen tertentu. Untuk membantu
menegakkan diagnosis maka American Academy of
Allergy, Asthma and Immunology telah membuat
suatu kriteria.7

Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu


penyakit (beberapa menit hingga beberapa jam)
dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau
kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan
pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan,

128
pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu
dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas,
bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan PEF,
hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau
gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ
sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).7

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut


yang terjadi secara mendadak setelah terpapar
alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa
menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan
jaringan mukosa kulit (misalnya bintik- bintik
kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan,
pembengkakan bibir- lidah-uvula); Respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,
stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia);
penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan
(misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan
gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri
abdominal, kram, muntah).7

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan


darah setelah terpapar pada alergen yang diketahui
beberapa menit hingga beberapa jam (syok
129
anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah
sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan
darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang
dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg
atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari
tekanan darah awal.7

Gambar 3. Mekanisme Penegakan Diagnosis

130
Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaksis sebagai
berikut 9:

1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresfi yang


cepat dari gejala

- Pasien terlihat baik atau tidak baik

- Kebanyakan reaksi terjadi dalam


beberapa menit, jarang reaksi terjadi
lebih lambat dari onset

- Onset reaksi anfilaksis tergantung tipe


trigger. Trigger intravena akan lebih
cepat onsetnya daripada sengatan, dan
cenderung disebabkan lebih cepat
onsetnya dari trigger ingesti oral.

- Pasien biasanya cemas dan dapat


mengalami “sense of impending”

2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or


Circulation Problems Pasien dapat mengalami
masalah A atau B atau C atau kombinasinya.

Airway Problem :

131
- Pembengkakan jalan nafas seperti
tenggorokan dan lidah membengkak
(faring/laring edem). Pasien sulit bernafas
dan menelan dan merasa tenggorokan
tertutup.

- Suara Hoarseness

- Stridor, tingginya suara inspirasi karena


saluran nafas atas yang mengalami
obstruksi.

Breathing Problems :

- Nafas pendek, pengingkatan frekuensi


nafas

- Wheezing

- Pasien menjadi lelah

- Kebingungan karena hipoksia

- Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada


late sign

- Respiratory arrest

132
Circulation Problems :

- Tanda syok, pucat, berkeringat.

- Peningkatan frekuensi nadi (takikardi)

- Tekanan darah rendah (hipotensi),


merasa ingin jatuh (dizziness), kolaps.

- Penurunan tingkat kesadaran atau


kehilangan kesadaran

- Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik


myokardial dan ECG berubah walaupun
individu dengan normal arteri kononer.

- Cardiac arrest

3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa

Sering muncul gambaran pertama dan muncul


lebih dari 80% dari reaksi anafilaksis.

- Dapat berlangsung halus atau secara


dramatis.

- Mungkin hanya perubahan kulit, hanya


perubahan mukosa, atau keduanya
133
- Mungkin eritema setengahnya atau
secara general, rash merah.

- Mungkin urtikaria yang muncul dimana


saja pada tubuh, berwarna pucar, merah
muda, atau merah dan mungkin
menunjukan seperti sengatan.

- Angioedema mungkin seperti urtikaria


tetapi termasuk pada jaringan lebih
dalam sering pada kelopak mata dan
bibir, kadang pada mulut dan
tenggorokan.

6. 7 Diagnosis Banding

Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi


anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak spesifik dari
anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit
dibedakan dengan penyakit lainnya yang memiliki
gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis
mempengaruhi seluruh sistem organ pada tubuh
manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam
mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-
masing mediator tersebut memiliki afinitas yang
134
berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ.
Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis
dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark
miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris,
Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome,
asma bronkiale, dan rhinitis alergika.2,3

Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah


pasien mandapat suntikan. Pasien tampak pingsan,
pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan
reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya
lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan
darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan
biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.
Sementara infark miokard akut, gejala yang menonjol
adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran.
Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak
tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.2,3

Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh


pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien
tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak
sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi
135
tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi
saluran napas. Pada reaksi histeris, tidak dijumpai
adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau
sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun
hanya sementara. Tanda-tanda diatas dijumpai pada
reaksi anafilaksis.2,3

Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala


seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare,
serangan sesak napas seperti asma. Chinese
restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa
keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada
beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih
dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa
menyebabkan asma. Namun tekanan darah,
kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak
berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan
tanpa MSG.2,3

Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa


sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas mengi
(wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor
pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan,
136
dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis
alergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti
pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-
timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor
pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.2,3

6.8 Penatalaksanaan

Jika terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah


masuknya alergen baik peroral maupun parenteral,
maka tindakan pertama yang paling penting
dilakukan adalah mengidentifikasi dan menghentikan
kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan
reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada
alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala
untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam
usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan
tekanan darah.2,5,10

Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway,


breathing, dan circulation dari tahapan resusitasi
jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan
hidup dasar.

137
o Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas
harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan
sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi
kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke
belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan
melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi
kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus
segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.

o Breathing support segera memberikan bantuan


napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas
spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke
hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem
laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi
jalan napas total atau parsial.

Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas


parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga
harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10
liter/menit.

138
o Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi
pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis),
segera lakukan kompresi jantung luar.2,5,10

Obat-obatan

Sampai sekarang adrenalin masih merupakan


obat pilihan pertama untuk mengobati syok
anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk
meningkatkan tekanan darah, menyempitkan
pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan
meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin
bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan
mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin
adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan
basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi
serta pelepasan histamine dan mediator lainnya.
Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu
denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan
tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam
waktu pendek.5,9,10

139
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada
lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada
sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada
penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki
onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler.
Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi
intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada
pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1:1000
(0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB
untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali
tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi
menunjukkan perbaikan.5,9,10

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara


intravena kecuali pada keadaan tertentu saja
misalnya pada saat syok (mengancam nyawa)
ataupun selama anestesia. Pada saat pasien tampak
sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan
absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar
diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi
intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5ml dari
pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan
dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika

140
respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat
diberi dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari
pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan
injeksi intravena lambat selama beberapa menit.
Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk
mengalami syok anafilaksis perlu membawa
adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu
diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada
kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang
cepat orang lain dapat memberikan adrenalin
tersebut.9,10

Pengobatan tambahan dapat diberikan pada


penderita anafilaksis, obat- obat yang sering
dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid,
dan bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna
untuk menghambat proses vasodilatasi dan
peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular
yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan
cara menghambat pada tempat reseptor-mediator
tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti
adrenalin. Tergantung beratnya penyakit,
antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral.

141
Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat
diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300
mg) atau ranitidin (150mg) harus diencerkan dengan
20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit.
Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian
simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai
ranitidin. Antihistamin yang juga dapat diberikan
adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-
pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48
jam.9,10

Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan


respon keradangan, kortikosteroid tidak banyak
membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan
hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat
untuk memperpendek episode anafilaksis atau
mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid
intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6
jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena
dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien
stabil (yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau
hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan

142
dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason
2-6 mg/kg BB.9,10

Apabila terjadi bronkospasme yang menetap


diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/KgBB selama
10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg
BB/jam, atau aminofilin 5-6mg/Kg BB yang
diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9%
dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.
Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol
(terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau
agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-
4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.9,10

Apabila tekanan darah tidak naik dengan


pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor
melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin
1:1000 dalam 250 ml dextrose (konsentrasi 4 mg/ml)
diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60
mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila
diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis
maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV
pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter
dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit,
143
atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus
dengan dextrose 5%. 9,10

Terapi Cairan.

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan


pemasangan jalur intravena untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang
ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung
serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis
cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap
merupakan mengingat terjadinya peningkatan
permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya,
bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan
jumlah 3-4 kali dari perkiraan kekurangan volume
plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari
volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan
koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama
dengan perkiraan kehilangan volume plasma.10

144
Cairan intravena seperti larutan isotonik
kristaloid merupakan pilihan pertama dalam
melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan
volume intravaskuler, volume nterstitial, dan intra
sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna
untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler. 10

Observasi

Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana


bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit,
karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau
terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di
tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai
dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi
penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu
dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan
kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah
teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan,
tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam,
6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan
fungsi membaik.

145
Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan,
klinis (keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan
produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi,
dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas,
syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen
karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria
dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan,
infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah
dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin
lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah
sakit.10

146
Gambar 4.Algoritme Resusitasi Syok Anafilaksis

147
Pencegahan

Pencegahan merupakan langkah terpenting


dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama
yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan
anamnesis riwayat alergi penderita dengan cermat
akan sangat membantu menentukan etiologi dan
faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai
riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai
riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai
resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya
syok anafilaktik.10

Melakukan skin test bila perlu juga penting,


namun perlu diperhatian bahwa tes kulit negatif pada
umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian
obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti
penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis.
Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai
riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi
sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan
terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.10

148
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati,
encerkan obat bila pemberian dengan jalur subkutan,
intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan
observasi selama pemberian. Pemberian obat harus
benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat.
Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok
anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang
menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita
supaya menghindari makanan atau obat yang
menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah
harus selalu tersedia obat penawar untuk
mengantisipasi reaksi anfilaksis serta adanya alat-
alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi
alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan
jangka panjang.10

6.9 Prognosis

Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai


dengan prinsip kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis
jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi
anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat
paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu
perlu dilakukan observasi setelah terjadinya
149
serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan
sistem organ yang lebih luas lagi.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi


prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan
menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut,
yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit
kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma,
keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan
yang dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE Inhibitor,
serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen
sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi
adrenalin.

150
BAB III KESIMPULAN

Syok anafilaktik adalah suatu respons


hipersensitivitas yang diperantarai oleh
Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang
ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri
yang menurun hebat. Syok anafilaktik memang
jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas
yang sangat tinggi. Beberapa golongan alergen yang
sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu
makanan, obat-obatan, dan bisa atau racun
serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan
risiko terjadinya anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur
pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan
paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam
reaksi hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase
sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada
vasodilatasi pembuluh darah yang mendadak,
keaadaan ini disebut syok anafilaktik. Manifestasi
klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat
dimulai dengan gejala prodormal kemudian menjadi
berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang
dapat terjadi pada satu atau lebih organ target.

151
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang
yang baik akan membantu seorang dokter dalam
mendiagnosis suatu syok anafilaktik.
Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan
tepat mulai dari hentikan allergen yang
menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan penderita
dengan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala;
penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru;
pemberian adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai
dosis; monitoring keadaan hemodinamik penderita
bila perlu berikan terapi cairan secara intravena,
observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke
rumah sakit. Pencegahan merupakan langkah
terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik
terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila
ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan
kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang
menyebabkan kematian.

152
BAB IV DAFTAR PUSTAKA

1. Anonym. Anafilaksis (Reaksi Alergi Akut). 2009.


Available at:
http://medicastore.com/penyakit/150/Anafilaksi
s_reaksi_alergi_ak ut.html .
2. Longecker, DE. Anaphylactic Reaction and
Anesthesia dalam Anesthesiology. 2008;
Chapter 88, hal 1948-1963.
3. Mustafa, SS. Anaphylaxis. April 8, 2013.
Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/135065
-overview .
4. Balentine, JR. Severe Allergic Reaction
(Anaphylactic Shock). 2008. Available at:
http://www.emedicinehealth.com/severe_allergi
c_reaction_anaphy
lactic_shock/page2_em.htm .
5. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies;
1998. BMJ. Vol 316. Hal 1442-1445.
6. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD.
Perioperative and Critical Care Medicine. In:
Belval B, Lebowitz H. Morgan & Mikhail’s

153
Clinical Anesthesiology. 5th edition. United
States: McGraw-Hill; 2013. p. 1217-22.
7. Sampson HA, et al. Clinical Immunology and
Allergy. Margaret and Fremantle Hospitals,
Western Australia; 2006.
8. Brown SGA. Clinical Feature and Severity
Grading of Anaphylaxis. Allergy Clinical
Immunology. Hobart, Australia; 2004. p.371-
376.
9. Simons FER, Camargo Jr CA. Anaphylaxis: Rapid
recognition and Treatment. In: Bochner BS.
August 8, 2013. Available at:
http://www.uptodate.com/contents/anaphylaxis
-rapid-recognition- and-treatment .
10. Mullins RJ, Gold MS, Brown SGA. Anaphylaxis:
Diagnosis and Management. 2006. Available
at:
https://www.mja.com.au/journal/2006/185/5/2-
anaphylaxis- diagnosis-and-management .

154
155
RIWAYAT PENULIS

1.Tantry Maulina
Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana
Kedokteran Gigi (SKG) pada tahun 2001 dan
menyelesaikan pendidikan profesi bidang Kedokteran
Gigi untuk meraih gelar Dokter Gigi pada tahun 2003.
Penulis selanjutnya menyelesaikan program Magister
di Universitas Padjadjaran pada tahun 2010.
Pendidikan terakhir penulis adalah program Doktoral
di University of Sydney, Australia dengan konsentrasi
utama nyeri orofasial, yang berhasil diselesaikan
pada tahun 2014. Sejak tahun 2005 hingga saat ini,
penulis bekerja di Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Padjadjaran sebagai staf pengajar di
Departemen Bedah Mulut. Penulis rutin menulis
artikel mengenai nyeri orofasial yang diterbitkan di
Jurnal Ilmiah Internasional bereputasi serta menjadi
penelaah ilmiah baik untuk jurnal nasional maupun
jurnal internasional.

2. Anna Muryani

156
Penulis dilahirkan di Bandung, 13 Juni 1979. Penulis
menyelesaikan pendidikan dokter gigi pada tahun
2004, lulus Spesialis Konservasi Gigi tahun 2013 di
Universitas Padjadjaran serta konsultan tahun 2018 .
Saat ini penulis merupakan staf pengajar di
Departemen Konservasi Gigi FKG Unpad dengan
keminatan endodontik, irigasi (cleaning) endodontik,
computational fluid dynamic, serta finite element.

157

Anda mungkin juga menyukai