Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH MATA KULIAH SERVICE MARKETING

MEWUJUDKAN LOYALITAS PELANGGAN


Dosen pengampu : Ari Irawan, SE.,MM

Kelas B
Kelompok 9
Disusun oleh :

Achmad Reza F (185030201111037)


Riezvaldy Dwi P (185030207111086)
Sausan Nabiilah S (185030207111095)

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI BISNIS


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya kami diberi
kesempatan dalam menyusun makalah yang berjudul “Mewujudkan loyalitas pelanggan” ini dan
dapat menyelesaikannya tepat waktu. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Perilaku Konsumen dan menambah wawasan serta pengetahuan
sehingga dapat bermanfaat di kemudian hari.
Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Ari Irawan, SE.,MM

selaku dosen Service Marketing atas bimbingannya dalam penyusunan makalah ini.

Kami mohon maaf bila dalam makalah ini terdapat kesalahan kata atau bahasa yang
kurang berkenan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Malang, 10 Februari 2020

Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Loyalitas pelanggan merupakan hal yang sangat penting bagi perusahaan di era kompetisi
bisnis yang sangat ketat ini. Pentingnya loyalitas pelanggan bagi perusahaan sudah tidak
diragukan lagi, banyak perusahaan sangat berharap dapat mempertahankan pelanggannya dalam
jangka panjang, bahkan jika mungkin untuk selamanya. Perusahaan yang mampu
mengembangkan dan mempertahankan loyalitas konsumen akan memperoleh kesuksesan jangka
panjang. Salah satu kunci terbesar untuk meraih keberhasilan jangka panjang bisa disimpulkan
dalam empat kata sederhana ini: pelayanan yang berkualitas terhadap pelanggan (LeBoeuf,
1992).
Membangun loyalitas pelanggan bukanlah suatu hal yang mudah apalagi jika
menghendaki hal tersebut berlangsung secara instant. Rata-rata perusahaan hanya mendengar
keluhan 4% dari 100% pelanggannya yang tidak puas. Sedangkan 96% pelanggan yang tidak
puas tersebut pergi dan tak pernah kembali. Bagi manajer perusahaan yang tidak mengerti
bagaimana harus memperlakukan pelanggan, hal ini merupakan kerugian finansial yang serius.
Tapi sebaliknya, hal ini merupakan keuntungan luar biasa bagi perusahaan yang manajernya
mengerti bagaimana harus memperlakukan pelanggan (LeBoeuf, 1992). Dunia usaha selalu
mengalami perkembangan dan perubahan yang cepat, sehingga Ϯ menuntut perusahaan untuk
dapat merespon perubahanperubahan yang terjadi tersebut dengan cepat dan tepat.
Ketidakmampuan perusahaan merespon persaingan atau kondisi pasar yang ada secara
tepat dapat menurunkan loyalitas bahkan dapat berakibat pelanggan berpindah merek. Tanpa
adanya loyalitas dari pelanggan, perusahaan tidak akan berkembang dengan baik, bahkan dapat
mengalami decline atau penurunan usaha yang bisa mengancam eksistensi perusahaan tersebut.
Sehingga isu penting yang dihadapi perusahaan-perusahaan saat ini adalah bagaimana
perusahaan tersebut menarik pelanggan dan mempertahankan loyalitasnya, agar dapat terus
bertahan dan berkembang. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan loyalitas
pelanggan adalah dengan menentukan strategi yang tepat agar perusahaan tetap mampu bertahan
di tengah persaingan, mempunyai keunggulan kompetitif serta dapat meningkatkan
profitabilitasnya. Namun demikian, dalam melakukan strateginya perusahaan dapat mengalami
kegagalan apabila tanpa didukung oleh pihak internal perusahaan itu sendiri maupun pihak luar
perusahaan yang dalam hal ini adalah para pelanggan (Pritchard et al. 1999). Dengan kata lain
keberhasilan pemasaran suatu perusahaan akan dapat dicapai melalui penerapan strategi
pemasaran yang melibatkan perusahaan dan pelanggan.
Strategi pemasaran yang melibatkan perusahaan dan pelanggan yang terus mengalami
perkembangan, dan relevan dengan situasi dunia bisnis sekarang ini adalah relationship
marketing, yaitu strategi pemasaran yang berusaha membina hubungan yang lebih dekat dengan
pelanggan, mengelola ϯ suatu hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan. Strategi
relationship marketing diyakini dapat memberikan manfaat bagi pelanggan, dan memungkinkan
untuk mempersulit hambatan persaingan bagi pesaing, sehingga memampukan perusahaan untuk
meningkatkan loyalitas Penelitian mengenai relationship marketing terhadap loyalitas pelanggan
telah dilakukan oleh Sivesan (2012) di sektor bank. Penelitian tersebut merupakan penelitian
empiris dengan responden para konsumen dimana relationship marketing diukur berdasarkan
perspektifnya yang terdiri dari commitment, trust, communication, dan conflict handling.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa relationship marketing secara simultan berpengaruh
signifikan positif terhadap loyalitas pelanggan. Penelitian Velnampy dan Sivesan (2012) studi
tentang relationship marketing terhadap kepuasan pelanggan pada perusahaan mobile service
providing di Srilanka.
Penelitian tersebut merupakan penelitian empiris dengan responden para konsumen
dimana relationship marketing diproyeksikan menggunakan trust, commitment, equity, dan
empathy. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa relationship marketing memiliki
pengaruh signifikan positif secara simultan terhadap kepuasan pelanggan. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Sivesan (2012) dan Velnampy (2012), maka penulis ingin meninjau kembali
tentang strategi relationship marketing terhadap loyalitas konsumen dengan objek yang berbeda
dari penelitian terdahulu, yakni pada pusat kebugaran yang ada di Yogyakarta. Penulis memilih
objek pusat kebugaran karena bisnis atau usaha ϰ pusat kebugaran merupakan sebuah perusahaan
jasa dimana relationship marketing sering digunakan dalam perusahaan jasa yang mengutamakan
adanya pelayanan yang baik dalam hubungan dengan konsumen.
Selain itu penulis juga melihat fenomena yang terjadi saat ini dimana masyarakat
Indonesia khususnya di Yogyakarta sudah mulai sadar akan pentingnya kesehatan. Kesehatan
melalui olahraga di pusat-pusat kebugaran jaman sekarang sudah dipandang sebagai Life Style
oleh sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu, pada penelitian ini penulis ingin meninjau
kembali strategi-strategi apa saja yang cocok dan baik digunakan oleh pusat kebugaran yang ada
di Yogyakarta untuk meningkatkan kualitas dan layanan jasa demi terciptanya loyalitas
konsumen melalui empat dimensi relationship marketing.

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimanakah retensi pelanggan serta manfaatnya?


2. Bagaimanakah yang disebut defection management?
3. Bagaimana cara defection management?
4. Bagaimanakah konsep loyalitas pelanggan?
5. Apakah perbedaan antara customer relationship management dengan relationship
marketing?
6. Apakah yang disebut customer equity?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian retensi pelanggan dan manfaatnya


2. Untuk mengetahui untuk mengetahui strategi untuk mencapai retensi pelanggan
3. Untuk mengetahui seberapa penting defection management untuk retensi pelanggan
4. Untuk mengetahui konsep dari loyalitas pelanggan
5. Untuk mengetahui perbedaan antara customer relationship management dengan
relationship marketing
6. Untuk mengetahui apakah yang disebut customer equity
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Retensi Pelanggan


Tujuan utama bisnis adalah menciptakan dan mempertahankan pelanggan. Ironisnya, banyak
perusahaan lebih mengutamakan penciptaan pelanggan baru daripada retensi pelanggan yang
sudah ada. Biaya mempertahankan seorang pelanggan kerap kali hanyalah 25% dari biaya
mendapatkan seorang pelanggan baru. Lebih lanjut, retensi pelanggan kemampuan membangun
orientasi dapat memberikan manfaat seperti:
1. Peningkatan produktivitas, bersumber dari:
a. Efisiensi biaya
Efisiensi biaya dalam melayani repeat customers. Biaya yang dibutuhkan
untuk menarik pelanggan baru lebih mahal sekitar lima kali lipat dibandingkan
biaya mempertahankan pelanggan lama. Hal ini karena tiga factor utama.
Pertama, skala ekonomis dalam pemanufakturan dan operasi jada karena
perusahaan memproduksi produk atau jasa yang sama kepada pelanggan yang
sama. Keduam biaya pemasaran cenderung rendahm karena pelanggan lama lebih
familiar dengan produk atau jasa perusahaan. Ketiga, orientasi pelanggan dalam
menekan biaya akibat ketidakpuasan pelanggan. Pelanggan yang tidak puas dapat
memperlambat pembayarannya, menyampaikan komplain, beralih ke pemasok,
memaki karyawan, memboikot produk, menceritakan pengalaman buruknya
kepada orang yang dijumpainya, dan seterusnya.
b. Kesediaan untuk membayar harga premium.
Pelanggan yang puas cenderung menghadapi biaya pengalihan atau
switching cost. Ini dikarenakan adanya empat nilai atau manfaat yang diperoleh
dari perusahaan yang telah memuaskannya: (1) keunggulan produk, (2)
keunggulan layanan (3) reputasi merek dan (4) budaya berorientasi pelanggan
yang memberikan perhatian khusus bagi pelanggan individual.
c. Loyalitas pelanggan
Dalam masa krisis, pelanggan yang loyal bisa membantu perusahaan
untuk bangkit kembali, serta mempengaruhi daya survival perusahaan.
2. Pertumbuhan pendapatan melalui:
a. Gethok tular positif (positive word of mouth).
Berdasarkan konsep tangga loyalitas, pelanggan yang puas dan loyal bisa menjadi
duta besar terhadap produk perushaan yang berpotensi menyebarluaskan pengalaman
kepada orang lain. Selain itu, pelanggan yang loyal juga berpotensi membeli produk
lain dari perusahaan yang saa, sehingga pendapatan akan meningkat.
b. One stop shopping
Pelanggan yang puas tidak mudah beralih ke pemasok lain. Mereka bahkan
berkemungkinan membei produk dan jasa yang ditawarkan. Kenyamanan berupa one
stop shopping yang ditunjang pula dengan factor consumer trust bakal mewujudkan
ikatan relasi saling menguntungkan jangka panjang.
c. Inovasi produk dan jasa baru.
Pelanggan bisa menjadi sumber ide potensial bagi pengembangan produk dan jasa
baru. Kebutuhan yang belum terpenuhi dan permasalahan yang dihadapi pada produk
dan jasa saat ini apabila dikomunikasikan dapat memberikan inspirasi bagi organisasi
untuk berinovasi untuk menyempurnakan kekurangan yang ada.

3. Riset Bain & Company


Studi terhadap fenomena e-commerce menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
dalam hal manfaat utama loyalitas pelanggan untuk bisnis online dan offline yang
menghasilkan: Pertama, seiring dengan berkurangnya entry cost, biaya untuk
mendapatkan pelanggan online justru melonjak drastis. Kedua, kendati jumlah pelanggan
yang besar bisa membantu untuk menutupi biaya tetap, namun tidak ada jaminan akan
didapatkannya laba jangka panjang jika perusahaan tidak mampu menciptakan loyalitas
pelanggan di antara para pelanggan tersebut. Ketiga, profitable customers biasanya lebih
suka loyal pada pemasok spesifik. Profitable customers bukanlah bargain hunters yang
mencari harga termurah dimanapun. Profitable customers adalah mereka yang
mernghargai kenyamanan berbelanja online dan menekankan aspek trust dan bukan harga
sebagai kriteria terpenting dalam memilih vendpr. Mereka cenderung lebih suka
mengkonsolidasikan pembeliannya dalam sektor tertentu pada satu pengecer online
terpercaya.
4. Riset Van Trijp
Mengidentifikasi motif konsumen untuk beralih merek. Motif ini dikelompokkan
menjadi motif internal dan eksternal. Motif internal mencerminkan true variety seeking
behavior, sementara motivasi eksternal merefleksikan derived varied behavior. True
variety seeking behavior merupakan perilaku beralih merek yang dilakukan demi mencari
variasi semata dan disebabkan faktor intrinstik, seperti rasa ingin tahu, kebutuhan akan
perubahan untuk mengatasi kebosanan terhadap suatu merek atau menghindari kejenuhan
tertentu. Sementara itu derived varied behavior lebih dipicu oleh nilai fungsional dan
factor eksternal lainnya seperti merek baru dikemas secara berbeda, lebih murah dan
yang lain lain
5. Biaya beralih (switching costs)
Biaya beralih adalah one time costs yang dipersepsikan atau diasosiasikan pelanggan
dengan proses beralih dari penyedia jasa atau produk satu ke yang lain. Biaya semacam
ini tidak hanya terbatas pada ekonomik, namun bisa meliputi berbagai macam biaya.
Biaya beralih memiliki dampak pada perilaku pembelian ulang strategi pemasaran yang
harus diterapkan dan struktur industry dan persaingan. Selain itu berkontribusi pula pada
laba yang lebih besar, hambatan masuk, dan terciptanya keunggulan strategic
berkesinambungan. Dalam konteks pemasaran, terdapat beberapa jenis biaya beralih yang
mempengaruhi keputusan konsumen untuk bealik pemasok jasa:
a. Continuiuty costs, berupa:
• Kehilangan perlakuan khusus, seperti manfaat, perlakuan special, perlakuan
istimewa.
• Persepsi terhadap risiko berkaitan dengan tingkat kinerja penyedia jasa yang
baru. Pelanggan tidak yakin pada penyedia alternative lebih baik daripada
penyedia jasa saat ini.
b. Learning costs (setup costs), berupa:
• Biaya pencarian (search costs), meliputi waktu, tenaga dan dana yang
dibutuhkan untuk mencari dan mendapatkan penyedia jasa alternative yang
handal.
• Daya tarik alternative (attractiveness of alternative), yaitu estimasi pelanggan
terhadap kemungkinan kepuasan yang didapatkan dari relasi alternative.
Apabila pelanggan mempersepsikan bahwa penyedia jasa alternative tidak
lebih atraktif dibandingkan penyedia jasa saat ini, kemungkinan besar
pelanggan tersebut tidak akan berganti pemasok, bahkan sekalipun ia tidak
puas terhadap penyedia jasa saat ini.
• Keharusan untuk menjelaskan ulang preferensi dan kondisi pelanggan kepada
penyedia jasa baru, agar dapat memahami denga jelas keinginan, kondisi,
maupun preferensi.
c. Sunk costs
Persepsi konsumen terhadap waktu dan usaha emosional yang tekah susah payah
dicurahkan untuk membangun dan mempertahankan relasi yang akrab dengan
penyedia jasa.

Tipologi biaya beralih


a. Procedural switching cost (information switching costs)
Biaya risiko ekonomik, biaya evaluasi, setup costs, dan biaya belajar. Tipe ini
menyangkut waktu dan usaha yang dicurahkan.
• Biaya risiko ekonomi adalah biaya berkenaan dengan ketidakpastian dan
kemungkinan hasil negative dikarenakan menggunakan penyedia yang tidak
terlalu memahami konsumen. Ini dapat menimbulkan risiko kinerja, finansial
maupun kenyamanan.
• Biaya evaluasi adalah biaya waktu dan tenaga berkaitan dengan usaha pencarian
analisi yang diperlukan untuk membuat keputusan beralih penyedia jasa.
• Set up costs adalah biaya waktu dan tenaga berkaitan dengan proses memulai
relasi denga penyedia jasa baru atau menginstalasi produk baru sebelum bisa
digunakan pertama kali. Dalam konteks jasa, biaya ini meliputi pula pertukaran
informasi yang dibutuhkan agar penyedia jasa dapat menekan risiko penjualan.
• Biaya belajar adalah biaya waktu dan tenaga untuk medapatkan keterampilan.
b. Financial switching costs (contractual switching costs)
Menyangkut kehilangan sumber daya yang secara finansial bisa dihitung
• Benefit lost costs adalah biaya biaya dengan hubungan kontraktual yang
menciptakan manfaat ekonomi untuk tetap setia pada penyedia jasa.
• Monetary lost costs adalah onetime financial outlays yang dikeluarkan untuk
beralih ke penyedia jasa diluar biaya untuk membeli produk baru seperti deposit.
c. Relational switching costs
Berkenaan dengan ketidaknyamanan psikologis emosional dikarenakan kehilangan
identitas dan pemutusan hubungan
• Personal relationship loss costs merupakan biaya psikologis berkenaan dengan
pemutusan ikatan identifikasi yang telah dibina dengan staf yang berinteraksi
dengan pelanggan.
• Brand relationship loss costs merupakan biaya berkaita dengan pemutusan ikatan
identifikasi yang telah dibina dengan merk tertntu.

2.2 Defection management


Salah satu cara menaikkan tingkat retensi pelanggan adalah mengurangi defeksi
pelanggan. Manajemen defiksi merupakan proses sistematis yang secara aktif berusaha
mempertahankan pelanggan sebelum mereka membelot atau beralih ke pesaing. Di dalam
manajemen defeksi, perusahaan berusaha menemukan penyebab pelanggan beralih pemasok dan
memanfaatkan informasi untuk meyempurnakan sistem penyampain secara berkesinambungan.
1. Price defectors
Pelanggan yang beralih ke pesaing yang harga barang dan jasanya lebih murah. Ini
merupakan tipe yang paling rendah loyalitasnya, umumnya rela mengorbankan price
defectors guna menghindari diskon harga terus terusan.
2. Product defectors
Mereka yang pindah ke pemasok yang menawarkan barang dan jasa superior. Mereka
beralih ke perusahaan yang dipersepsikan lebih bagus kualitasnya, sangat sulit menarik
kembali ke perusahaan lamanya. Kunci utamanya adalah meminimalisasi dengan
memantai perubahan kebutuhan pelanggan dengan tidak mudah puas diri.
3. Service defectors
Mereka yang pindah ke perusahaan lain dikarenakan layanan pelanggan yang jelek, tipe
ini lebih dikarenakan factor eksternal. Service defectors meninggalkan perusahaan karena
masalah oerasi internal perusahaan.
4. Market defectors
Pelanggan yang meninggalkan pasar dikarenakan relokasi maupun kegagalan bisnis atau
bangkrut
5. Technological defectors
Merupakan pelanggan yang pindah ke produk diluar industry yang bersangkutan, akibat
puas diri yang berlebhan dan kelengahan dalam merespon perkembangan teknologi di
luar industry sejenis.
6. Organizational defectors
Pelanggan organisasional yang meninggalkan penyedia jasa dikarenakan pertimbangan
politis internal organisasi, misalnya kesepakatan imbal beli dengan pemasok lain.

Proses Manajemen defeksi


Menciptakan kultur zero defection didalam perusahaan, dengan langkah:
• Mengkomunikasikan kepada setiap karyawan pentingnya mempertahankan pelanggan
dan manfaat yang diperoleh dari penurunan defeksi
• Melatih karyawan mengenai manajemen defeksi. Terdiri atas, mengumpulkan informasi
mengenai pelanggan, memberikan instruksi spesifik mengenai apa yang harus dilakukan
dengan informasi tersebut, mengintruksikan para karyawan mengenai cara berekasi
terhadap informasi tersebut dan mendorong karyawan untuk merespon informasi tersebut.
• Mengkaitkan sistem insentif dengan tingkat defeksi. Dengan kata lain, bila perusahaan
jasa sangat mementingkan upaya mengurangi defeksi, maka struktur kompensasi harus
konsisten dan mencerminkan usaha retensi pelanggan.
• Perusahaan yang sukses juga berusaha menciptakan switching barriers yang bisa
mengikat oelanggan dan membuat mereka enggan pindah ke perusaha lain.

2.3 Loyalitas Pelanggan


Dalam dekade 2000an, orientasi perusahaan kelas dunia mengalami pergeseran dari
pendekatan konvesional ke arah pendekatan kontemporer (Bhote, 1996). Pendekatan
konvensional menekankan pada kepuasan pelanggan, reduksi biaya, pangsa pasar dan riset pasar.
Sedangkan pendekatan kontemporer berfokus pada loyalitas pelanggan, retensi pelanggan, zero
defection dan lifelong customers.
Pendekatan konvemsional dapat dikatakan belum cukup memadai. Dalam bahasa
matematika, pendekatan ini mempunyai istilah “necessary but not sufficient” untuk bersaing di
masa datang. Misalnya, pelanggan yang puas bisa saja berganti pemasok bila ada pesaing yang
memberikan diskon atau layanan lebih baik. Menurut Schnaars (1998), ada empat macam
kemungkinan hubungan antara kepuasan dan loyalitas pelanggan; failures, forced, loyalty
defectors dan successes.

Loyalitas Pelanggan

Rendah Tinggi
Failures Forced Loyalty
Tidak puas dan tidak loyal Tidak puas, namun
Rendah ‘terikat’ pada program
Pelanggan
Kepuasan

promosi loyalitas
perusahaan

Defectors Succesess
Puas tapi tidak loyal Puas, loyal dan paling
Tinggi
mungkin memberikan
gethok tular positif

Oleh sebab itu, kepuasan pelanggan harus dibarengi pula dengan loyalitas pelanggan.
Pelanggan yang benar benar loyal bukan saja sangat potensial menjadi word of mouth
advertisers, namun juga memungkinkan besar loyal pada portofolio produk dan jasa perusahaan
selama bertahun tahun.

KONSEP LOYALITAS PELANGGAN


Perilaku pembelian ulang kerap kali dhubungkan dengan loyalitas merk (brand loyalty).
Akan tetapi, ada perbedaan diantara keduanya. Bila loyalitas merek mencerminkan komitmen
psikologis terhadap merek tertentu, maka perilaku pembelian ulang semata mata menyangkut
pembelian merek tertentu yang sama secara berulang kali (bisa dikarenakan memang hanya satu
satunya merek yang tersedia, merek termurah dan sebagainya). Pembelian ulang bisa merupakan
hasil dominasi pasar oleh suatu perusahaan yang berhasil membuat produknya menjadi satu
satunya alternative yang tersedia. Konsekuensinya, pelanggan tidak akan memiliki peluang untuk
memilih. Selain itu, pembelian ulang bisa pula karena adanya promosi yang dilakukan secara
terus menerus dalam rangka memikat pelanggan untuk membeli kembali merek yang sama.
Menurut Kapferer & Laurent (1983), perilaku pembelian ulang (repeat purchasing
behavior) bisa dijabarkan menjadi dua kemungkinan, yaitu loyalitas dan inersia. Faktor
pembedanya adalah sensivitas merek (brand sensitivity) yang didefinisikan sebagai sejauh mana
nama merek mempermainkan peran kunci dalam proses pemilihan alternatif dalam kategori
produk tertentu. Sensitivitas merek ditentukan oleh persepsi terhadap perbedaan antar merek dan
tingkat keterlibatan konsumen dalam kategori produk. Perilaku pembelian ulang dalam situasi
sensitivitas merek yang kuat akan dikategorikan sebagai loyalitas, dimana konsumen cenderung
membeli ulang merek yang sama dan menganggap pilihan merek sangat penting baginya.
Sebaliknya, pembelian ulang dalam situasi sensitivitas merek yang lemah dikategorikan sebagai
inersia, yakni konsumen cenderung membeli ulang merek yang sama, namun ia tidak
menganggap nama merek itu penting karena ia tidak bisa membedakan berbagai merek yang ada
dan tidak terlibat secara intensif dalam pemilihan kategori produk.
Secara garis besar, literatur loyalitas merek dan loyalitas pelanggan didominasi oleh dua
aliran utama, yaitu aliran stokastik (behavioral) dan aliran deterministik (sikap). Dengan kata
lain, loyalitas merek dapat ditinjau dari merek apa yang dibeli konsumen dan bagaimana
perasaan atau sikap konsumen terhadap merek tertentu.

1. Aliran Stokastik atau Perspektif Behavioral


Berdasarkan persepektif ini, loyalitas merek diartikan sebagai pembelian ulang suatu
merek secara konsisten oleh pelanggan. Setiap kali seorang konsumen membeli ulang sebuah
produk (misalnya jasa travel, reparasi, carpet cleaning, dll), bila ia membeli merek produk yang
sama, maka ia dikatakan pelanggan yang setia pada merek tersebut dalam kategori produk
bersangkutan. Dalam praktik, jarang dijumpai pelanggan yang setia 100% hanya pada satu
merek.
Perspektif behavioral berpandangan bahwa perilaku loyalitas secara inharen tidak dapat
dijelaskan atau terlalu kompleks untuk dipahami. Banyaknya variabel eksplanatoris yang saling
berinteraksi menyebabkan penjelasan terhadap perilaku loyalitas sangat sukar dilakukan.
Kelemahan utama ancangan ini terletak pada anggapan bahwa perusahaan sulit mempengaruhi
perilaku pembelian ulang karena perusahaan bersangkutan tidak mengetahui secara pasti
penyebab aktual loyalitas. Dengan kata lain, perspektif behavioral mengukur perilaku pembelian
efektif, namun tidak mampu menjelaskan apakah pembelian ulang yang terjadi dikarenakan
faktor kebiasaan, alasan alasan situasional atau alasan alasan psikologis yang lebih kompleks.

2. Aliran Deterministik atau Perspektif Sikap


Dalam perspektif sikap, asumsi utamanya adalah bahwa terdapat sejumlah kecil faktor
eksplanatoris yang mempengaruhi loyalitas. Peneliti bisa mengisolasi dan memanipulasi faktor
faktor tersebut. Dalam rerangka ini, loyalitas dipandang sebagai sikap. Peneliti meninvestigasi
komitmen psikologis konsumen dalam pembelian, tanpa perlu mempertimbangkan secara
spesifik perilaku pembelian efektif. Selain itu, konsep loyalitas dioperasionalkan dalam skala
pengukuran interval. Dengan demikian, loyalitas tidak dipandang sebagai dikotomi antara loyal
dan tidak loyal, namun lebih sebagai kontinum (a degree of loyalty). Oleh sebab itu, tujuan
utama pengukuran loyalitas berdasarkan perpektif sikap bukanlah untuk mengetahui apakah
seseorang loyal atau tidak, namun untuk memahami intensitas loyalitas terhadap merek atau toko
tertentu.
Lau & Lee (1999) beragumen bahwa faktor trust terhadap sebuah merek merupakan
aspek krusial dalam pembentukan loyalitas merek. Mereka mendefinisikan trust terhadap sebuah
merek (trust in brand) sebagai kesediaan konsumen untuk mempercayai atau mengandalkan
merek dalam situasi risiko dikarenakan adanya ekspektasi bahwa merek bersangkutan akan
memberikan hasil positif.
Menurut Rundle-Thiele & Bennett (2001), loyalitas merek bisa diklasifikasikan menjadi
tiga kelompok berdasarkan tipe pasar, yaitu consumble goods markets, durable goods markets
dan service markets.
1. Consumble Goods Markets
Tipe pasar ini meliputi FMCG (Fast Moving Consumer Goods, seperti sabun mandi,
deterjen, pasta gigi, sereal, susu bayi, dan es krim) dan business to business markets dimana
barang dikonsumsi seperti alat tulis. Ukuran ukuran behavioral ini kerapkali merupakan hasil
dari perilaku kebiasaan (habitual behavior) dan keterlibatan rendah dalam pembelian produk.
2. Durable Goods Markets
Produk manufaktur yang berumur ekonomis lama (biasanya lebih dari 1 tahun) dan bisa
digunakan berkali kali, contohnya sepeda motor, mobil, TV, lemari es, mebel dan sebagainya. Ini
berarti bahwa sekali pelanggan membeli barang semacam ini, setidaknya sampai ia
membutuhkan produk pengganti atau melakukan pembelian ulang.
Karakteristik loyalitas pada pasar ini:
- Pembeli biasanya tidak berganti merek sesering pembelian consumble goods
- Dalam setiap periode waktu tertentu, pembelian tergolong sole loyal dan dual loyal,
artinya merek tertentu menikmati posisi share of category requirements 100%.
Misalnya, dalam satu keluarga hanya ada satu printer Canon, maka share of category
requirements printer Canon dirumah tersebut adalah 100%.
3. Service Martkets
Karakteristik loyalitas merek dalam pasar jasa meliputi:
- Konsumen jasa berkemungkinan tetap setia dengan penyedia jasa tertentu apabila
telah terjalin relasi yang akrab diantara mereka
- Pelanggan biasanya adalah sole loyal dengan 100% share of category requirements
untuk merek tertentu. Situasi semacam ini sering dijumpai dalam jasa pendidikan,
salon kecantikan, konsultasi hokum, dll.
- Sulitnya mengevaluasi kualitas jasa menyebabkan loyalitas merek lebih sering
dijumpai dalam sektor jasa, terutama apabila konsumen telah familiar dengan
penyedia jasa tertentu.

2.4 Customer relationship management

Customer Relationship Management adalah strategi bisnis yang memadukan proses,


manusia dan teknologi. Membantu menarik prospek penjualan, mengkonfersi mereka menjadi
pelanggan, dan mempertahankan pelanggan yang sudah ada, pelanggan yang puas dan loyal.
Tujuan dari CRM adalah untuk mengetahui sebanyak mungkin tentang bagaimana kebutuhan
dan perilaku pelanggan, untuk selanjutnya memberikan sebuah pelayanan yang optimal dan
mempertahankan hubungan yang sudah ada, karena kunci sukses dari bisnis sangat tergantung
seberapa jauh kita tahu tentang pelanggan dan memenuhi kebutuhan mereka.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang mampu menghadirkan kemudahan
dan kecepatan akses informasi berkontribusi pada semakin cerdas dan canggihnya konsumen di
era millennium baru ini. Konsumen masa kini semakin sulit dipuaskan. Mereka menuntut
customized products, speed, flexibility, quality, superior services dan cost effective solutions.
Konsekuansinya, perusahaan tidak bisa survive tanpa kemampuan memahami setiap pelanggan
dan menawarkan produk dan jasa yang lebih ter-customized kepada mereka.
Selama decade 1990an dan awal 2000an, banyak perusahaan besar (terutama perusahaan
multinasional) yang menginstalasi system ERP (Enterprise Resource Planning). System
semacam itu memungkinkan perusahaan untuk mengelola semua operasinya (seperti keuangan,
sumber daya manusia, pemasaran dan pemenuhan pemesanan) dengan menggunakan basis data
korporat yang terintegrasi.
CRM (customer relationship management) berbeda dengan RM (relationship marketing).
RM merupakan pendekatan pemasaran pada pelanggannya yang meningkatkan pertumbuhan
jangka panjang perusahaan dan kepuasan maksimum pelanggan. Atau dalam arti lain adalah
interaksi antara penyedia jasa dan pelanggan. Menurut Batterley (2004) CRM lebih menyangkut
infrasturktur teknologi, baik perangkat keras maupun lunak yang digunakan untuk mengelola
data pelanggan dalam jumlah besar, sedangkan RM adalah cara menjalankan bisnis, bukan
sekedar proses atau infrastruktur teknologi.

Relation Marketing
Istilah relasi atau hubungan (relationships) mengandung berbagai konotasi. Shani &
Chalasani (1993) mendefinisikan RM sebagai upaya mengembangkan relasi berkesinambungan
dengan para pelanggan dalam kaitannya dengan serangkaian produk dan jasa terkait. Gronross
(1990) memandang RM sebagai upaya mengembangkan, mempertahankan, meningkatkan dan
mengkomersialisasikan relasi pelanggan dalam rangka mewujudkan tujuan semua pihak yang
terlibat.
Sejumlah riset menunjukkan bahwa dua pilar utama RM adalah trust dan komitmen.
Dengan kata lain, pelanggan harus mempercayai pemasar dan selanjutnya berkomitmen padanya
sebelum bisa terjalin relasi saling menguntungkan dalam jangka panjang. Trust merupakan faktor
paling krusial dalam setiap relasi dan sekaligus berpengaruh pada komitmen. Apabila tidak ada
trust, maka tidak akan ada pula komitmen.
Menurut Zeithaml & Bitner (2003) terdapat tiga faktor kunci sukses implementasi
relation marketing, yaitu kualitas jasa inti, segmentasi dan pemilihan pasar sasaran secara cermat
dan pemantauan berkesinambungan terhadap relasi yang di bina. Pertama, basis utama
kesuksesan relasi jangka panjang adalah kepuasan dan loyalitas yang terbentuk karena kualitas
jasa inti perusahaan kompetitif. Bila kualitas jasa tidak memenuhi standar, maka akan sulit bagi
organisasi jasa untuk menjalin relasi yang langgeng dengan para pelanggannya.
Kedua, penyedia jasa wajib mempelajari dan menentukan tipe atau segmen pelanggan
yang ingin dijadikan mitra relasi jangka panjang. Melalui proses segmentasi (demografis,
geografis, psikografis dan behavioral) penyedia jasa memilih segmen pasar yang ingin dijadikan
sasaran. Ketiga, pemantauan relasi yang di bina bisa dilakukan melalui beberapa cara, seperti
melakukan survey regular untuk memahami persepsi pelanggan terhadap nilai yang diterima,
dibandingkan pesaing; pengembangan database pelanggan (menyangkut identitas, prefensi
pembelian, pendapatan dari mereka, dll) dan kontak pelanggan (telepon ataupun sosial media).

2.5 Customer Equity


Istilah customer equity pertama kali dicetuskan dalam sebuah artikel di Harvard
Bussiness Review berjudul “Manage Marketing by the Customer Equity Test” yang ditulis oleh
Blattberg dan Deighton (1996). Customer Equity adalah “the total of the discounted lifetime
values summed over all of the firm’s customers”. Asumsi dasar Customer Equity adalah bahwa
pelanggan merupakan asset finansial yang harus diukur, dikelola dan dimaksimalkan oleh setiap
perusahaan atau organisasi, sama halnya dengan asset asset lainnya.
`Customer Equity (CEM) adalah sistem pemasaran integrative dandinamis yang
memanfaatkan teknik teknik penilaian finansial dan data mengenai pelanggan untuk
mengoptimalkan akuisisi, retensi, dan penjualan produk produk tambahan kepada para pelanggan
perusahaan dan untuk memaksimalkan nilai reaksi. CEM justru berusaha mewujudkan
pertumbuhan berbasis pasar secara simultan dengan peningkatan profitabilitas dan Return On
Investment (ROI) investasi pemasaran.
Memperlakukan pelanggan sebagai asset berbeda secara signifikan dengan
memperlakukan ekuitas merek sebagai asset utama pemasaran. CEM tergantung dengan 4 pilar
utama yaitu
1. Manajemen Customer Life Cycle
2. Pemanfaatan database pelanggan
3. Kuantifikasi nilai pelanggan secara akurat
4. Optimalisasi bauran antara akuisisis pelanggan, retensi pelanggan, dan add-on selling.
CEM memandang bahwa hubungan antara perusahaan dan pelanggan, sebagaimana
halnya jenis-jenis hubungan lainny, berlangsung sepanjang waktu. Calon pelanggan memiliki
kebutuhan yang berbeda beda dan seiring dengan perubahan hubungannya dengan perusahaan
tertentu, eskpektasi dan perilakunya juga ikut berubah. Hal ini mendasari berkembangnya konsep
Customer Life Cycle yang terdiri atas empat tahap
Apabila pelanggan telah melakukan pembelian pertama, maka ia beralih ke tahap First Time
Buyer. Mereka yang berada dalam tahap ini biasanya adalah mereka yang paling rendah tingkat
retensinya dalam basis pelanggan perusahaan. Walaupun mereka telah menyiratkan bahwa
produk perusahaan memenuhi spesifikasinya, mereka masih berada dalam tahap evaluasi.
Pelanggan akan memasuki tahap Core Customer manakala ia mulai melakukan
pembelian ulang secara rutin. Produk dan jasa perusahaan berhasil memenuhi spesifikasi dan
nilai yang diharapkan. Kecuali bila terjadi masalah besar berkaitan dengan proses pembelian,
pelanggan seperti ini jarang sekali mengevaluasi ulang produk perusahaan. Kegagalan produk
tidak secara otomatis berujung pada defeksi pelanggan. Core Customer adalah pelanggan special,
sehingga mereka diperlakukan secara special pula. Ironisnya, sejumlah perusahaan justru
mengabaikan Core Customer, karena beranggapan bahwa mereka sudah menjadi captive
customers yang tidak memerlukan perhatian khusus. Secara sederhana, ekuitas pelanggan sama
dengan:
• Laba dari first time customers yaitu jumlah prospek yang dikontak dikalikan dengan
probabilitas akuisisi dan marjin laba
• Dikurangi biaya mendapatkan pelanggan yaitu jumlah prospek dikalikan dengan biaya
akuisisi per prospek
• Ditambah laba yang diharapkan dari penjualan masa depan kepada para pelanggan yang
baru didapatkan tersebut ( yakni tingkat retensi pada masing masing periode masa depan
dikalikan dengan laba yang diperoleh dari pelanggan pada periode bersangkutan dan
dibagi dengan discount rate, kemudian dijumlahkan untuk semua periode masa depan)
• Lalu dijumlahkan untuk semua segneb dab cohort pelanggan.
BAB III
PENUTUP

Kompetisi global yang semakin intensif membuat setiap perusahaan agar mampu
menciptakan dan mempertahankan kepuasan dan loyalitas pelanggan. Bisnis modern
membutuhkan sistem penilaian kinerja yang komprehensif dan sistematis. Balanced scorecard
merupakan salah satu ukuran yang berusaha mengintegrasikan empat perspektif utama:
perspektif finansial, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan, serta pelanggan.
Ada 5 kategori pokok perspektif atas definisi kepuasan pelanggan: perspektif normative
deficit definition, equity definition, normative standard definition, procedural fairness definition,
dan attributional definition. Konseptualisasi kepuasan pelanggan mencakup berbagai teori dan
model, seperti expectancy disconfirmation model, equity theory, attribution theory,
experientally-based affective feelings, assimilation-contrast theory, dan opponent process
theory.
Kepuasan pelanggan saja tidak cukup, karena puas atau tidak puas hanyalah salah satu
bentuk emosi. Emosi-emosi lain seperti jengkel, kecewa, marah, senang, bahagia, dan seterusnya
juga tidak kalah pentingnya. Disamping itu, loyalitas pelanggan juga tidak kalah relevannya bagi
setiap organisasi. Loyalitas merek merupakan ukuran kedekatan antara pelannggan dengan
merek tertentu. Meskipun riset loyalitas merek telah lama dilakukan, hingga ini masih banyak
perdebatan mengenai konsep loyalitas merek telah lama dilakukan, hingga ini masih banyak
perdebatan mengenai konsep loyalitas merek.
Relationship marketing muncul sebagai paradigm pemasaran yang banyak diadopsi
dalam konteks pemasaran jasa dan pemasaran bisnis pada dua decade terakhir. Konsep ini
menekankan pentingnya membangun, mengembangkan dan mempertahankan jaliran relasi
jangka panjang yang saling menguntungkan dengan stakeholder organisasi melalui penciptaan
financial, social customization dan structural bonds. Terkait erat dengan konsep ini adalah
Customer Relationship Management dan Customer Equity Management yang banyak mewarnai
literature pemasaran dalam beberapa tahun terakhir.
DAFTAR PUSTAKA

Ujang Sumarwan, Perilaku Konsumen, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2015

Anda mungkin juga menyukai