Anda di halaman 1dari 37

PENGKAJIAN PADA SISTEM PENGINDERAAN

OLEH :

AYU DYAH KUSUMADEWI WIDIARSA (P07120217019)


NI KADEK SINTA MUTIARA DEWI (P07120217020)
NI MADE NOLA SILPIA WARDANI (P07120217021)
LUH PUTU MAS SARASWATI (P07120217022)
KADEK MAHENDRA PRASETIA ADINATA (P07120217023)
KETUT HERMAWAN (P07120217024)
NI LUH GEDE DIPA LINDAYANI (P07120217025)
I PUTU YOAN SUGIANTARA (P07120217026)
KADEK MEGA ASRINI (P07120217027)

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN D-IV KEPERAWATAN

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
segala rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengkajian
Pada Sistem Penginderaan”. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar kita
semua mengetahui dan memahami mengenai pengkajian pada system penginderaan.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
diharapkan kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan makalah kami ini untuk ke
depannya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi peningkatan proses belajar mengajar
dan menambah pengetahuan kita bersama. Akhir kata kami mengucapkan terima
kasih.

Denpasar, 19 Agustus 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang..............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah........................................................................................1

1.3 Tujuan............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Mata...............................................................................................................2

2.2 Telinga............................................................................................................3

2.3 Indra Penciuman (Hidung)..........................................................................5

2.4 Lidah..............................................................................................................6

2.5 Kulit................................................................................................................7

2.6 Pengkajian Keperawatan Pada Sistem Penginderaan..............................9

2.7 Pengkajian Sistem Penglihatan.................................................................11

2.8 Pengkajian Sistem Pendengaran - Telinga...............................................19

2.9 Pengkajian Sistem Penciuman...................................................................24

2.10 Pengkajian Sistem Perasa..........................................................................25

2.11 Pengkajian Sistem Peraba..........................................................................26

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan......................................................................................................32

3.2 Saran............................................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan persepsi sensori merupakan permasalahan yang sering ditemukan
seiring dengan perubahan lingkungan yang terjadi secara cepat dan tidak terduga.
Pertambahan usia, variasi penyakit, dan perubahan gaya hidup menjadi faktor
penentu dalam penurunan sistem sensori. Seringkali gangguan sensori dikaitkan
dengan gangguan persepsi karena persepsi merupakan hasil dari respon stimulus
(sensori) yang diterima.
Persepsi merupakan respon dari reseptor sensoris terhadap stimulus eksternal,
juga pengenalan dan pemahaman terhadap sensoris yang diinterpretasikan oleh
stimulus yang diterima (Nasution, 2003). Persepsi juga melibatkan kognitif dan
emosional terhadap interpretasi objek yang diterima organ sensori (indra). 
Adanya gangguan persepsi mengindikasikan adanya gangguan proses sensori
pada organ sensori, yaitu penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan
pengecapan. Untuk itu, perlu adanya pemeriksaan fisik sistem sensori untuk
mengukur derajat gangguan sistem sensori tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa sajakah macam-macam system penginderaan ?
2. Bagaimanakah anatomi fisiologi dari system penginderaan?
3. Bagaimanakah pengkajian keperawatan dari system penginderaan?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui macam-macam system penginderaan.
2. Untuk memahami anatomi fisiologi dari system penginderaan.
3. Untuk mengetahui pengkajian keperawatan dari system penginderaan.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 MATA
A. Definisi
Mata adalah kompleks optik sistem yang mengumpulkan cahaya dari
lingkungan sekitarnya kemudian mengatur intensitas melalui diafragma,
memfokuskan itu melalui adjustable perakitan lensa untuk membentuk sebuah
gambar, mengubah gambar ini menjadi satu set sinyal listrik, dan
mengirimkan sinyal-sinyal ke otak, melalui jalur saraf yang kompleks yang
menghubungkan mata, melalui saraf optik, ke korteks visual dan area lain dari
otak.

B. Anatomi fisiologi
a. Anterior Chamber adalah bagian depan mata yang mengandung cairan
berair
b. Kapsul adalah membran transparan yang mengelilingi dan membungkus
lensa
c. Koroid adalah lapisan pembuluh darah di bawah sclera yang memasok
nutrisi ke seluruh bagian mata.
d. Lensa Kristal adalah lensa tipis untuk memfokuskan sinar cahaya pada
titik yang tepat pada retina
e. Ciliary Saraf adalah serabut saraf sensoris yang berjalan di bawah
endothelium.
f. Konjungtiva adalah adalah selaput tipis dan transparan garis segel yang
membuka mata dari tutup untuk tutup Itu bertindak seperti sebuah
penghalang untuk mencegah benda asing untuk menemukan jalan ke
bagian belakang mata.

2
g. Kornea adalah permukaan luar yang jelas dari mata, yang menyediakan
60% dari kekuatan fokus pada mata.
h. Kelopak mata adalah bagian mata terluar untuk melindungi mata dari
benda-benda asing.
i. Kelenjar Aparatur adalah kelenjar yang menjaga kelembaban mata.
j. Iris adalah mengontrol jumlah cahaya yang masuk mata.
k. Makula adalah area kecil yang terletak di bagian posterior retina yang
berfungsi sebagai daerah yang paling (pusat) penglihatan akut. Penyakit
yang mempengaruhi daerah ini dapat menyebabkan penurunan
penglihatan.
l. Retina adalah lapisan tipis jaringan saraf - perpanjangan dari saraf optik -
yang disebut retina, layar sel fotoreseptor.

2.2 TELINGA
A. Definisi
Telinga adalah anatomi organ yang mendeteksi suara . Hal ini tidak
hanya bertindak sebagai penerima untuk suara, tetapi juga memainkan peran
utama dalam pengertian keseimbangan dan posisi tubuh.

B. Anatomi Fisiologi
a. Telinga luar
Bagian luar merupakan bagian terluar dari telinga. Telinga luar terdiri
dari daun telinga, lubang telinga, dan saluran telinga luar. Telinga luar
meliputi daun telinga atau pinna, Liang telinga atau meatus auditorius
eksternus, dan gendang telinga atau membran timpani. Bagian daun telinga
berfungsi untuk membantu mengarahkan suara ke dalam liang telinga dan
akhirnya menuju gendang telinga. Rancangan yang begitu kompleks pada
telinga luar berfungsi untuk menangkap suara dan bagian terpenting adalah
liang telinga. Saluran ini merupakan hasil susunan tulang dan rawan yang
dilapisi kulit tipis. Di dalam saluran terdapat banyak kelenjar yang

3
menghasilkan zat seperti lilin yang disebut serumen atau kotoran telinga.
Hanya bagian saluran yang memproduksi sedikit serumen yang memiliki
rambut. Pada ujung saluran terdapat gendang telinga yang meneruskan
suara ke telinga dalam. Peradangan pada bagian telinga ini disebut sebagai
otitis Eksterna. Hal ini biasanya terjadi karena kebiasaan mengorek telinga
& akan menjadi masalah bagi penderita diabetes mellitus (DM/sakit gula)
b. Telinga tengah
Telinga tengah meliputi gendang telinga, 3 tulang pendengaran (martil
atau malleus, landasan atau incus, dan sanggurdi atau stapes). Saluran
Eustachius juga berada di telinga tengah. Getaran suara yang diterima oleh
gendang telinga akan disampaikan ke tulang pendengaran. Masing-masing
tulang pendengaran akan menyampaikan getaran ke tulang berikutnya.
Tulang sanggurdi yang merupakan tulang terkecil di tubuh meneruskan
getaran ke koklea atau rumah siput.
Pada manusia dan hewan darat lainnya, telinga tengah dan saluran
pendengaran akan terisi udara dalam keadaan normal. Tidak seperti pada
bagian luar, udara pada telinga tengah tidak berhubungan dengan udara di
luar tubuh. Saluran Eustachius menghubungkan ruangan telinga tengah ke
belakang faring. Dalam keadaan biasa, hubungan saluran Eustachius dan
telinga tengah tertutup dan terbuka pada saat mengunyah dan menguap.
Hal ini menjelaskan mengapa penumpang pesawat terbang merasa 'tuli
sementara saat lepas landas. Rasa tuli disebabkan adanya perbedaan
tekanan antara udara sekitar. Tekanan udara di sekitar telah turun,
sedangkan di telinga tengah merupakan tekanan udara daratan. Perbedaan
ini dapat diatasi dengan mekanisme mengunyah sesuatu atau menguap.
Peradangan atau infeksi pada bagian telinga ini disebut sebagai Otitis
Media
c. Telinga dalam
Potongan melintang koklea. Endolimfe terdapat di skala media -
daerah hijau terang pada tengah diagram. Telinga dalam terdiri dari labirin

4
osea (labirin tulang), sebuah rangkaian rongga pada tulang pelipis yang
dilapisi periosteum yang berisi cairan perilimfe & labirin membranasea,
yang terletak lebih dalam dan memiliki cairan endolimfe.
Di depan labirin terdapat koklea atau rumah siput. Penampang
melintang koklea trdiri aras tiga bagian yaitu skala vestibuli, skala media,
dan skala timpani. Bagian dasar dari skala vestibuli berhubungan dengan
tulang sanggurdi melalui jendela berselaput yang disebut tingkap oval,
sedangkan skala timpani berhubungan dengan telinga tengah melalui
tingkap bulat.
Bagian atas skala media dibatasi oleh membran vestibularis atau
membran Reissner dan sebelah bawah dibatasi oleh membran basilaris. Di
atas membran basilaris terdapat organo corti yang berfungsi mengubah
getaran suara menjadi impuls. Organo corti terdiri dari sel rambut dan sel
penyokong. Di atas sel rambut terdapat membran tektorial yang terdiri dari
gelatin yang lentur, sedangkan sel rambut akan dihubungkan dengan
bagian otak dengan saraf vestibulokoklearis.

2.3 INDRA PENCIUMAN (HIDUNG)


A. Definisi
Indra penciuman merupakan penentu dalam identifikasi aroma dan cita
rasa makanan-minuman yang dihubungkan oleh saraf trigeminus sebagai
pemantau zat kimia yang terhirup. Indra penciuman dianggap salah satu
sistem kemosensorik karena sebagian besar zat kimia menghasilkan persepsi
olfaktorius, trigeminus, dan pengecapan. Hal ini dikarenakan sensasi kualitatif
penciuman ditangkap neuroepitelium olfaktorius sehingga menimbulkan
sensibilitas somatic berupa rasa dingin, hangat, dan iritasi melalui serabut
saraf aferen trigeminus, glosofaringeus, dan vagus dalam hidung, kavum oris,
lidah, faring, dan laring

5
B. Anatomi Fisologi
Hidung manusia di bagi menjadi dua bagian rongga yang sama besar yang di
sebut dengan nostril. Dinding pemisah di sebut dengan septum, septum terbuat
dari tulang yang sangat tipis. Rongga hidung di lapisi dengan rambut dan
membran yang mensekresi lendir lengket.
1. Rongga hidung (nasal cavity) berfungsi untuk mengalirkan udara dari luar
ke tenggorokan menuju paru paru. Rongga hidung ini di hubungkan dengan
bagian belakang tenggorokan. Rongga hidung di pisahkan oleh langit-
langit mulut kita yang di sebut dengan palate. Di rongga hidung bagian atas
terdapat sel-sel reseptor atau ujung- ujung saraf pembau. Ujung-ujung saraf
pembau ini timbul bersama dengan rambut-rambut halus pada selaput
lendir yang berada di dalam rongga hidung bagian atas. dapat membau
dengan baik.
2. Mucous membrane, berfungsi menghangatkan udara dan melembabkannya.
Bagian ini membuat mucus (lendir atau ingus) yang berguna untuk
menangkap debu, bakteri, dan partikel-partikel kecil lainnya yang dapat
merusak paru-paru.

2.4 LIDAH
A. Definisi
Lidah adalah kumpulan otot rangka pada bagian lantai mulut yang
dapat membantu pencernaan makanan dengan mengunyah dan menelan.
Lidah dikenal sebagai indera pengecap yang banyak memiliki struktur tunas
pengecap. Menggunakan lidah, kita dapat membedakan bermacam-macam
rasa. Lidah juga turut membantu dalam tindakan bicara
Permukaan atas lidah penuh dengan tonjolan (papila). Tonjolan itu
dapat dikelompokkan menjadi tiga macam bentuk, yaitu bentuk benang,
bentuk dataran yang dikelilingi parit-parit, dan bentuk jamur. Tunas pengecap

6
terdapat pada parit-parit papila bentuk dataran, di bagian samping dari papila
berbentuk jamur, dan di permukaan papila berbentuk benang.
B. Anatomi Fisiologi
Sebagian besar lidah tersusun atas otot rangka yang terlekat pada
tulang hyoideus, tulang rahang bawah dan processus styloideus di tulang
pelipis. Terdapat dua jenis otot pada lidah yaitu otot ekstrinsik dan intrinsik.
Lidah memiliki permukaan yang kasar karena adanya tonjolan yang disebut
papila. Terdapat tiga jenis papila yaitu:
1. Papila filiformis berbentuk seperti benang halus.
2. Papila sirkumvalata berbentuk bulat, tersusun seperti huruf V di belakang
lidah.
3. Papila fungiformis berbentuk seperti jamur.

Tunas pengecap adalah bagian pengecap yang ada di pinggir papila,


terdiri dari dua sel yaitu sel penyokong dan sel pengecap. Sel pengecap
berfungsi sebagai reseptor, sedangkan sel penyokong berfungsi untuk
menopang. Bagian-bagian lidah:

1. Bagian depan lidah, fungsinya untuk mengecap rasa manis.


2. Bagian pinggir lidah, fungsinya untuk mengecap rasa asin dan asam.
3. Bagian belakang/pangkal, fungsinya untuk mengecap rasa pahit.

Lidah memiliki kelenjar ludah, yang menghasilkan air ludah dan


enzim amilase (ptialin). Enzim ini berfungsi mengubah zat tepung (amilum)
menjadi zat gula. Letak kelenjar ludah yaitu: kelenjar ludah atas terdapat di
belakang telinga, dan kelenjar ludah bawah terdapat di bagian bawah lidah.

2.5 KULIT
A. Definisi
Kulit merupakan indra peraba yang mempunyai reseptor khusus untuk
sentuhan, panas, dingin, sakit, dan tekanan. Reseptor untuk rasa sakit
ujungnya menjorok masuk ke daerah epidermis. Reseptor untuk tekanan,

7
ujungnya berada di dermis yang jauh dari epidermis. Reseptor untuk rangsang
sentuhan dan panas, ujung reseptornya terletak di dekat epidermis. Kulit
berfungsi sebagai alat pelindung bagian dalam, misalnya otot dan tulang.

B. Anatomi Fisiologi
Kulit terdiri dari lapisan luar yang disebut epidermis dan lapisan dalam
atau lapisan dermis. Pada lapisan epidermis tidak terdapat pembuluh darah dan
sel saraf. Epidermis tersusun atas empat lapis sel yaitu:
 Stratum germinativum berfungsi membentuk lapisan di sebelah atasnya.
 Stratum granulosum yang berisi sedikit keratin yang menyebabkan kulit
menjadi keras dan kering. Selain itu sel-sel dari lapisan granulosum
umumnya menghasilkan pigmen hitam (melanin). Kandungan melanin
menentukan derajat warna kulit, kehitaman, atau kecoklatan.
 Stratum lusidum merupakan lapisan yang transparan.
 Stratum korneum merupakan lapisan yang paling luar.

Penyusun utama dari bagian dermis adalah jaringan penyokong yang


terdiri dari serat yang berwarna putih dan serat yang berwarna kuning. Serat
kuning bersifat elastis/lentur, sehingga kulit dapat mengembang.
Stratum germinativum mengadakan pertumbuhan ke daerah dermis
membentuk kelenjar keringat dan akar rambut. Akar rambut berhubungan
dengan pembuluh darah yang membawakan makanan dan oksigen, selain itu
juga berhubungan dengan serabut saraf. Pada setiap pangkal akar rambut
melekat otot penggerak rambut. Pada waktu dingin atau merasa takut, otot
rambut mengerut dan rambut menjadi tegak. Di sebelah dalam dermis terdapat
timbunan lemak yang berfungsi sebagai bantalan untuk melindungi bagian
dalam tubuh dari kerusakan mekanik.

8
2.6 PENGKAJIAN KEPERAWATAN PADA SISTEM PENGINDERAAN
A. RIWAYAT KESEHATAN
1. Keluhan Utama
Keluhan utama adalah alasan mengapa klien melakukan rujukan dan
memerlukan bantuan tenaga medis. Pada klien dengan gangguan system
persepsi sensori klien dapat mengeluhkan hal berikut:
 Pendengaran: pendengaran menurun, tinitis, rasa gatal dan tidak
nyaman pada telinga, nyeri
 Penglihatan: vertigo, pusing, penglihatan kabut / berkabut, double
vision, penurunan visus, ada kilatan cahaya, keluar air mata terus
menerus (misal pada pekerja las besi, adanya butir besi pada mata)
 Pembau: sinusitis
 Pengecap: stomatitis
Pada mata, terdapat gejala :
 Abnormal Vision: perubahan penglihatan yang tak normal, seperti
kelainan refraksi, lid ptosis, kekeruhan pada kornea, lensa, rongga
aqueous/vitreous, malfungsi retina, saraf optikus.
 Abnormal Appereance yaitu tampilan organ mata tak normal seperti,
mata merah (iritasi), perdarahan sub conjunctiva, infeksi, alergi,
trauma dan keadaan lain : lesi, edema, abnormal posisi.
 Abnormal Sensation adalah sensari tidak nyaman pada mata. Nyeri
mata : Sulit ditentukan lokasinya, seperti ditarik, ditekan, sakit kepala.
Mata gatal : reaksi alergi. Mata berair : iritasi, gangguan sistem
lakrimalis. Sekresi meningkat : iritasi, infeksi, alergi.

2. Riwayat Penyakit Sekarang


1) Tanyakan pada klien kapan timbulnya keluhan, mendadak, hilang
timbul atau progresif.

9
2) Kaji sifat keluhan, menetap ataukah kadang-kadang
3) Tanyakan faktor eksternalnya terjadinya keluhan, misal akibat ISPA,
setelah naik pesawat (gangguan pendengeran akibat perubahan
tekanan), berenang (telinga kemasukan air), lingkungan kerja dengan
tingkat kebisingan tinggi,
4) Apakah keluhan timbul denga gejala lain seperti: mual, muntah,
keringat dingin, tumor, gatal, dll.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


1) Riwayat ISPA, Alergi (bersin-bersin), hidung berair, sinusitis.
2) Usia berapa dapat berbicara, menirukan gerakan
3) HIpertensi
4) Diabetikum
5) Myestenia gravis – kelemahan pada otot akibat gangguan
neuromuscular
6) Pemakaian obat-obatan mata tanpa resep dokter, misal obat tetes mata
atau telinga tidak sesuai indikasi.
7) Riwayat operasi pd telinga, mata, hidung & tenggorokan, & trauma
kepala ?
8) Apakah ada perubahan pola bicara, melihat, makan, dan mendengar ?

4. Riwayat Kesehatan Ibu (Keluarga)


1) Kaji riwayat kehamilan. Adakah gangguan kemahilan, tanyakan pada
trimester berapa. Karena trimester berhubungan dengan waktu
pertumbuhan dan perkembangan janin.
2) Kaji obat-obatan yang dikonsumsi saat kehamilan, karena ada obat yang
dapat menimbulkan deformitas atau gangguan pada saraf dan sensori

10
B. RIWAYAT SOSIAL
1) Kaji bagaimana perilaku individu dalam kelompok.
2) Anggota keluarga yang punya masalah pendengaran, penglihatan,
penciuman,dan pengecapan ?
3) Perhatian anak di sekolah menurun, prestasi menurun (SLB, Alat bantu
yang digunakan type, lama)

C. RIWAYAT PSIKOLOGIS
1) Bagaimana persepsi dan perassan klien mengenai gangguan dan
bagaimana klien menyesuaikan diri
2) Perubahan sikap & kepribadian, penurunaan kepekaan terhadap
lingkungan
3) Reaksi anggota keluarga terhadap gangguan sensori

D. PEMERIKSAAN FISIK
1) Tanda-tanda vital: perubahan TD, Nadi, Respirasi, Suhu ?
2) Kesadaran Menurun? : KU lemah?, Gelisah?, Kejang ?
3) Neurologis : Nystagmus, Ataksia, Gangguan Keseimbangan, Kejang,
Meningeal sign, strabismus ?

2.7 PENGKAJIAN SISTEM PENGLIHATAN


1. Anamnesa Gangguan Penglihatan
a. Data Umum: nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan
b. Keluhan Utama: Mata merah, Mata berair, Mata gatal, Mata Nyeri,
Belekan, Gangguan penglihatan (Kabur, penglihatan ganda/diplopia,
buta), Timbilan, Kelilipan
c. Riwayat Penyakit Dahulu: Diabetes Mellitus, Hipertensi, Trauma

11
2. Mengkaji Keluhan Utama
a. Apakah gangguan terjadi pada saat melihat jauh atau dekat?
b. Onset mendadak atau gradual?
c. Di seluruh lapang pandang atau sebagian? Jika sebagian letaknya di
sebelah mana?
d. Diplopia satu mata atau kedua mata? Apakah persisten jika mata ditutup
sebelah?
e. Adakah gejala sistemik lain: demam, malaise

3. Pemeriksaan Mata
a. Inspeksi Mata
Bentuk dan penyebaran alis dan bulu mata. Apakah bulu mata lentik,
kebawah atau tidak ada. Fungsi alis dan bulu mata untuk mencegah
mauknya benda asing (debu) untuk mencegah iritasi atau mata
kemerahan. Lihat sclera dan konjungtiva.
Konjungtiva, dengan menarik palpebral inferior dan meminta klien
melihat keatas. Amati warna, anemis atau tidak, apakah ada benda asing
atau tidak
Sclera, dengan menarik palpebral superior dan meminta klien melihat
ke bawah. Amati kemerahan pada sclera, icterus, atau produksi air mata
berlebih.
Amati kedudukan bola mata kanan kiri simetris atau tidak, bola mata
keluar (eksoptalmus) atau ke dalam (endoftalmus).
Palpebral turun menandakan kelemahan atau atropi otot, atau
hiperaktivitas palpebral yang menyebabkan kelopak mata terus berkedip
tak terkontrol.
Observasi celah palpebral. Minta klien memandang lurus ke depan lalu
perhatikan kedudukan kelopak mata terhadap pupil dan iris. Normal jika

12
simetris. Adanya kelainan jika celah mata menyempit (ptosis,
endoftalmus, blefarospasmus) atau melebar (eksoftalmus, proptosis)
Kaji sistem lakrimasi mata dengan menggunakan kertas lakmus untuk
mendapatkan data apakah mata kering atau basah yang artinya lakrimasi
berfungsi baik ( Schime test).
Kaji sistem pembuangan air mata dengan uji anel test. Yaitu dengan
menggunakan spuit berisi cairan, dan berikan pada kanal lakrimal.

b. Reflek Pupil
Gunakan penlight dan sinari mata kanan kiri dari lateral ke medial.
Amati respon pupil langsung. Normalnya jika terang, pupil mengecil dan
jika gelap pupil membesar.
Amati ukuran lebar pupil dengan melihat symbol lingkaran yang ada
pada badan penlight dan bagaimana reflek pupil tersebut, isokor atau
anisokor.
Interpretasi:
 Normal : Bentuk pupil (bulat reguler), Ukuran pupil : 2 mm – 5
mm, Posisi pupil ditengah-tengah, pupil kanan dan kiri Isokor,
Reflek cahaya langsung (+) dan Reflek cahaya konsensuil atau
pada cahaya redup (+)
 Kelainan : Pintpoin pupil, Bentuk ireguler, Anisokor dengan
kelainan reflek cahaya dan ukuran pupil kecil atau besar dari
normal (3-4 mm)

c. Lapang Pandang / Tes Konfrontasi


Dasarnya lapang pandang klien normal jika sama dengan pemeriksa.
Maka sebelumnya, pemeriksa harus memiliki lapang pandang normal. LP
klien = LP pemeriksa
Normalnya benda dapat dilihat pada: 60 derajat nasal, 90 derajat
temporal, 50 derajat , dan atas 70 derajat bawah.

13
Cara pemeriksaan :
 Klien menutup mata salah satu, misalnya kiri tanpa menekan bola
mata.
 Pemeriksa duduk di depan klien dengan jarak 60cm sama tinggi
dengan klien. Pemeriksa menutup mata berlawanan dengan klien,
yaitu kanan. Lapang pandang pemeriksa dianggap sebagai referensi
(LP pemeriksa harus normal)
 Objek digerakkan dari perifer ke central (sejauh rentangan tangan
pemeriksa) dari delapan arah pada bidang ditengah pemeriksa dan
klien
 Lapang pandang klien dibandingkan dengan pemeriksa. Lalu
lanjutkan pada mata berikutnya.

d. Pemeriksaan Otot Ekstraokuler
Minta klien melihat jari, dan anda menggerakkan jari anda. Minta
klien mengikuti gerak jari, dengan 8 arah dari central ke perifer.
Amati gerakan kedua mata, simetris atau ada yang tertinggal

e. Sensibilitas Kornea
Bertujuan mengetahui bagaimana reflek sensasi kornea dengan
menggunakan kapas steril. Cara pemeriksaan meliputi:
 Bentuk ujung kapas dengan pinset steril agar runcing dan halus

14
 Fiksasi mata pasien keatas agar bulu mata tidak tersentuh saat
kornea disentuh
 Fiksasi jari pemeriksa pada pipi pasien dan ujung kapas yang halus
dan runcing disentuhkan dengan hati-hati pada kornea, mulai pada
mata yang tidak sakit.
 Intrepetasi : dengan sentuhan, maka mata akan reflek berkedip.
Nilai dengan membandingkan sensibilitas kedua mata klien.

f. Pemeriksaan Visus / Ketajaman Penglihatan Snellen Card


 Menggunakan kartu snellen dengan mengganttungkan kartu pada
jarak 6 atau 5 meter dari klien.
 Pemeriksaan dimulai dengan mata kanan, maka minta klien untuk
tutup dengan penutup mata atau telapak tangan tanpa menekan
bolamata
 Pasien disuruh membaca huruf SNELLEN dari baris paling atas ke
bawah. Hasil pemeriksaan dicatat, kemudian diulangi untuk mata
sebelahnya.
 HASIL :
 VOD 6/6 &VOS 6/6
 6/6 pasien dapat membaca seluruh huruf dideretan 6/6 pada
snellen chart
 6/12 pasien bisa membaca sampai baris 6/12 pada snellen chart
 6/30 pasien bisa membaca sampai baris 6/30 pada snellen chart

15
g. Hitung Jari
 Apabila tidak bisa membaca huruf Snellen pasien diminta menghitung
jari pemeriksa pada jarak 3 meter
 3/60 pasien bisa hitung jari pada jarak 3 meter.
 1/60 bila klien dapat membaca pada jarak 1 meter

h. Pergerakan Jari
Tidak bisa hitung jari, maka dilakukan pemeriksaan gerakan tangan
didepan pasien dengan latar belakang terang. Jika pasien dapat
menentukan arah gerakan tangan pada jarak 1 m:
Visus 1/300 (Hand Movement/HM) kadang kala sudah perlu menentukan
arah proyeksinya

i. Penyinaran
Jika tidak bisa melihat gerakan tangan dilakukan penyinaran dengan
penlight ke arah mata pasien. Apabila pasien dapat mengenali saat
disinari dan tidak disinari dari segala posisi (nasal,temporal,atas,bawah)
maka tajam penglihatan V = 1/ ~ proyeksi baik (Light Perception/LP).
Jika tidak bisa menentukan arah sinar maka penilaian V = 1/ ~ (LP,
proyeksi salah). Jika sinar tidak bisa dikenali maka tajam penglihatan
dinilai V= 0 (NLP). Bila tidak dapat melihat sinar senter disebut buta total
(tulis 00/000)

j. Pemeriksaan dengan Pinhole


 Bila responden tidak dapat melanjutkan lagi bacaan huruf di kartu snellen
atau kartu e maka pada mata tersebut dipasang pinhole

16
 Dengan pinhole responden dapat melanjutkan bacaannya sampai baris
normal (20/20) berarti responden tersebut gangguan refraksi
 Bila dengan pinhole responden tidak dapat melanjutkan bacaannya maka
disebut katarak
 Bila responden dapat membaca sampai baris normal 20/20 tanpa pinhole
maka responden tidak perlu dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan
pinhole

k. Pemeriksaan Buta Warna


 Pasien diminta menyebutkan berapa angka yang tampak di kartu
 Orang normal mampu meyebutkan angka 74 buta waran merah hijau
menyebutkan angka 21

l. Memeriksa Tekanan Intra Okuler


 Rata-rata Tekanan Intra Okular normal ± 15 mmHg, dengan batas
antara 12-20 mmHg
 Alat yang digunakan: Tonometer Schiotz, Lidocaine 2%/
Panthocaine tetes mata, Chloramphenicol zalf mata 2% ,Kapas
alkohol 70%

17
a. Pemeriksaan Subjektif
 Klien duduk tegak, melirik ke bawah dan menutup mata
 Jari telunjuk kanan dan kiri pemeriksa bergantian menekan bola mata
pada kelopak atas ke arah bawah (45º) dengan halus. Tiga jari yang
lain bersandar pada tulang pipi, bandingkan kanan dan kiri
 Hasil TN, TN+1, TN+2, TN+3, TN-1, TN-2, TN-3

b. Pemeriksaan Objektif
 Persiapan Alat :Tonometer ditera dengan meletakkan di permukaan
datar, jarum menunjukkan angka 0, Perm Tonometer dibersihkan
dengan kapas alkohol

18
2.8 PENGKAJIAN SISTEM PENDENGARAN - TELINGA
1. Anamnesa Gangguan Penglihatan
a. Faktor yang memperberat (riwayat sering mengorek kuping, sering
menyiram telinga dengann air)
b. Faktor-faktor lingkungan. Misalnya seperti tempat pekerjaan
dilingkungan yang bising ia akan mengalami penurunan pendengaran.

2. Tanda Dan Gejala


a. Sulit mengerti pembicaraan
b. Sulit mendengar dalam lingkungan yang bising
c. Salah menjawab
d. Meminta lawan bicara untuk mengulang pembicaraannya
e. Mengalami masalah mendengar pembicaraan di telpon

3. Inspeksi
a. Aurikel : bentuk, letak, masa, lesi ?
b. MAE : Patensi, Otore (jenis,warna,bau), cerumen, hiperemi, furunkel ?
c. Membrana timphany : intak, perforasi, hiperemia, bulging, retraksi,
colesteatoma?
d. Antrum mastoid : abces, hiperemia, nyeri perabaan
e. Hearing aid : tipe, jenis ?

19
4. Pemeriksaan Fisik
Pada telinga dapat menggunakan berbagai macam alat dan rangkaian
tes. Seperti otoskop, garpu tala, ear speculum, dan head lamp untuk membantu
pemeriksa mendapat sinar yang cukup

a. Otoskop
Untuk meluruskan kanal pada orang dewasa/anak besar tarik aurikula
ke atas dan belakang, pada bayi tarik aurikula ke belakang dan bawah
Masukkan otoskop ke dalam telinga ± 1,-1,5 cm .Jika telinga dalam
keadaan normal akan terlihat sedikit serumen, dasar berwarna pink, rambut
halus. Jika telinga abnormal maka akan terlihat merah (inflamasi), rabas,
lesi, benda asing, serumen padat. Membran timpani dapat terlihat,
normalnya tembus cahaya, mengkilat, abu-abu dan tampak seperti mutiara,
utuh.

b. Tes Berbisik
Kata-kata yang diucapkan merupaka satu atau dua kata untuk
menghindari menebak, dapat dikenal klien, bukansingkatan, kata benda
atau kata kerja. Cara yang dapat dilakukan meliputi:
 Pasien ditempat, pemeriksa berpindah-pindah dari jarak 1,2,3,4,5,6
meter.
 Mulai jarak 1 m pemeriksa membisikan 5/10 kata.

20
 Bila semua kata benar mundur 2 m, bisikan kata yang sama. Bila
jawaban benar mundur 4-5 m (Hanya dapat mendengar 80%  jarak
tajam pendengaran sesungguhnya)
 Untuk memastikan tes ulang pada jarak 3 M bila benar semua maju 2
– 1 M.

Intervensi Secara Kuantitas ( Leucher )

 6 meter : normal
 4-6 meter : praktis normal/ tuli ringan
 1-4 meter : tuli sedang
 < 1 meter : tuli berat
 Berteriak didepan telinga tidak mendengar : Tuli Total

Intervensi secara Kualitatif

 Tidak dapat mendengar huruf lunak (frekuensi rendah) mendakan


pasien mengalami tuli konduksi. misal susu : terdengar s s.
 Tidak dapat mendengar huruf desis (frekuensi tinggi) mendakan pasien
mengalami tuli sensori. Misal : Susu terdengar U U.

c. Tes Suara Bisik Modifikasi


Pelaksanaan tes suara bisik modifikasi yaitu dilakukan diruang kedap
suara. Pemeriksa duduk dibelakang klien sambil melakukan masking.
Bisikan 10 kata dengan intensitas suara yang lebih rendah. Untuk
memperpanjang jarak jauhkan mulut pemeriksa dari klien. Bila
mendengar 80 % pendengaran normal.

21
d. Tes Rinne

Tes rinne adalah membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran


melalui tulang. Menggunakan garpu tala dengan frekuensi 128, 256, dan
512 Hz. Dilakukan dengancara tekan garpu tala di tulang mastoid sampai
tidak terdengar lalu pindahkan ke depan telinga. Rinne + menandakan
depan telinga masih bisa mendengar.

Interpretasi :

 Normal HU : HT = 2:1
 Masih terdengar Rinne (+) : intensitas HU > HT  Telinga normal
atau tuli saraf
 Tidak terdengar Rinne (-) : intensitas HU < HT  Tuli Konduktif

e. Tes Weber
Tujuan tes weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang telinga
kiri dengan telinga kanan Cara pemeriksaannya meliputi, penala
digetarkan, asar penala diletakkan pada garis tengah kepala : ubun-ubun,
glabella, dagu, pertengahan gigi seri paling sensitif). Jika telinga normal
dapat mendengar bunyi sama di kedua telinga .Jika bunyi lebih keras pada
telinga yang sehat menandakan klien mengalami tuli saraf. Jika bunyi
lebih keras pada telinga yang sakit menandakan klien mengalami tuli
konduksi

22
f. Tes Schwaback

Tes schwaback adalah membandingkan hantaran tulang telinga


orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal

- Hasil tes Schwabach dan interpretasinya:


 Sama: normal
 Memanjang: Tuli konduktif
 Memendek: Tuli sensorineural

Tes Rinne Tes Weber Tes Schwabach Interpretasi


Positif Lateralisasi tidak Sama dengan Normal
ada pemeriksa
Negatif Lateralisasi ke Memanjang Tuli Konduktif
telinga yang sakit
Positif Lateralisasi ke Memendek Tuli sensorineural
telinga yang sehat

2.9 PENGKAJIAN SISTEM PENCIUMAN

23
a. Anamnesa Sistem Penciuman
a. Anamnesa pada hidung eksternal, meliputi:
 Bentuk, ukuran, warna kulit
 Normalnya : simetris, warna sama dengan wajah
 Abnormal: deformitas, bengkak, merah
b. Nares Anterior
Inspeksi warna mukosa, lesi, rabas, perdarahan (epistaksis), bengkak.
Jika mukosa dalam keadaan normal akan terlihat berwarna merah muda,
lembab, tanpa lesi. Jika dalam keadaan abnormal akan namapak rabas
mukoid (rinitis), rabas kuning kehijauan (sinusitis)

c. Septum & turbinat


Dilakukan dengan cara kepala ditengadahkan. Selanjutnya, septum
diinspekssi kesejajaran, perforasi atau perdarahan, normal septum dekat
dengan garis tengah, bagian anterior lebih tebak dan padat daripada
posterior. Serta lihat adanya polip.

2. Palpasi
Palpasi dilakukan dengan hati-hati, punggung hidung dan jaringan
lunak dengan menempatkan 1 jari di setiap sisi lengkung hidung dan secara
hati-hati menggerakkan jari dari batang hidung ke ujung hidung. Periksa
apakah terdapat nyeri tekan, massa, dan penyimpangan. Struktur hidung yang
normal adalah keras dan stabil. Kepatenan lubang hidung dapat dikaji dengan
jari diletakkan disis hidung dan menyumbat 1 lubang hidung, klien bernapas
dengan mulut tertutup

3. Pemeriksaan N.I Olfaktorius

24
1) Membau

a. Siapkan bahan-bahan berbau seperti kopi, jeruk, kamper.

b. Minta klien menutup mata

c. Lalu minta klien membau dan meneba hasilnya

2) Tes Odor stix


Tes Odor stix yaitu menggunakan sebuah pena ajaib mirip
spidol yang menghasilkan bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak
sekitar 3-6 inci dari hidung pasien untuk memeriksa persepsi bau oleh
pasien secara kasar.
3) Tes alkohol 12 inci
Adalah tes yang dapat memeriksa persepsi kasar terhadap bau,
tes alkohol 12 inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru
saja dibuka dan dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung pasien.
4) Scratch and sniff card (Kartu gesek dan cium)
Tersedia scratch and sniff card adalah kartu yang mengandung
3 bau untuk menguji penciuman secara kasar.

2.10 PENGKAJIAN SISTEM PERASA


Gangguan indera pengecap biasanya disebabkan oleh keadaan yang
mengganggu tastants atau zat yang memberikan impuls pengecap pada sel
reseptor dalam taste bud (gangguan transportasi) yang menimbulkan cedera
sel reseptor (gangguan sensorik) atau yang merusak serabut saraf aferen
gustatorius serta lintasan saraf sentral gustatorius (gangguan neuron).
Manifestasi klinis dari indera pengecap apabila dilihat dari sudut pandang
psikofisis, gangguan pada indera pengecap dapat digolongkan menurut
keluhan pasien atau menurut hasil pemeriksaan sensorik yang objektif missal
sebagai berikut.

25
1. Ageusia total adalah ketidakmampuan untuk mengenali rasa manis, asin,
pahit, dan asam.

2. Ageusia parsial adalah kemampuan mengenali sebagian rasa saja.

3. Ageusia spesifik adalah ketidakmampuan untuk mengenali kualitas rasa


pada zat tertentu.

4. Hipogeusia total adalah penurunan sensitivitas terhadap semua zat


pencetus rasa.

5. Hipogeusia parsial adalah penurunan sensitivitas terhadap sebagian


pencetus rasa.

6. Disgeusia adalah kelainan yang menyebabkan persepsi yang salah ketika


merasakan zat pencetus rasa.

Pasien dengan keluhan hilangnya rasa bisa dievaluasi secara psikofisis


untuk fungsi gustatorik selain menilai fungsi olfaktorius. Langkah pertama
melakukan tes rasa seluruh mulut untuk kualitas, intensitas, dan persepsi
kenyamanan dengan sukrosa, asam sitrat, kafein, dan natrium klorida.

Tes rasa listrik (elektrogustometri) digunakan secara klinis untuk


mengidentifikasi defisit rasa pada kuadran spesifik dari lidah. Biopsi papilla
foliate atau fungiformis untuk pemeriksaan histopatologik dari kuncup rasa
masih eksperimental akan tetapi cukup menjanjikan mengetahui adanya
gangguan rasa.

2.11 PENGKAJIAN SISTEM PERABA


Pemeriksaan fisik indra perabaan didasarkan pada sensibilitas.
Pemeriksaan fisik sensori indra perabaan (taktil)  terbagi atas 2 jenis,
yaitu basic sensory modalities dan testing higher integrative functions. Basic
sensory modalities (pemeriksaan sensori primer) berupa uji sensasi nyeri dan
sentuhan, uji sensasi suhu, uji sensasi taktil, uji propiosepsi (sensasi letak), uji

26
sensasi getar (pallestesia), dan uji sensasi tekanan. Sedangkan testing higher
integrative functions (uji fungsi integratif tertinggi) berupa stereognosis,
diskriminasi 2 titik, persepsi figure kulit (grafitesia), ekstinksi, dan lokalisasi
titik.
Sensasi raba dihantarkan oleh  traktus spinotalamikus ventralis. Sedangkan
sensasi nyeri dan suhu dihantarkan oleh serabut saraf menuju ganglia radiks
dorsalis dan kemudian serabut saraf akan menyilang garis tengah dan akan
masuk menuju traktus spinotalamikus lateralis kontralateral yang akan
berakhir di talamus sebelum dihantarkan ke korteks sensorik dan
diinterpretasi.  Adanya lesi pada traktus-traktus tersebutlah yang dapat
menyebabkan gangguan sensorik tubuh.

1. Basic sensory modalities (pemeriksaan sensori primer)

a. Uji sensasi nyeri dan sentuhanUji sensasi nyeri dan sentuhan terbagi
menjadi 2 macam, yaitu nyeri superficial (tajam-tumpul) dan nyeri
tekan.

1) Nyeri superficial
Merupakan metode uji sensasi dengan menggunakan
benda yang memiliki 2 ujung, yaitu tajam dan tumpul. Benda
tersebut dapat berupa peniti terbuka maupun jarum pada reflek
hammer. Pasien dalam keadaan mata terpejam saat dilakukan uji
ini dan dilakukan pengkajian respon melalui pertanyaan “apa
yang anda rasakan?” dan membandingkan sensasi 2 stimulus
yang diberikan. Apabila terjadi keraguan respon maupun
kesulitandan ketidakmampuan  dalam membedakan sensasi,
maka hal ini mengindikasikan adanya deficit hemisensori berupa
analgesia, hipalgesia, maupun hiperalgesia pada sensasi nyeri.
Sedangkan gangguan pada sensasi sentuhan berupa anestesia dan
hiperestesia.
2) Nyeri tekan

27
Merupakan metode uji sensori dengan mengkaji nyeri
melalui penekanan pada tendon dan titik saraf. Metode ini sering
digunakan dalam uji sensori protopatik (nyeri superficial, suhu,
dan raba) dan uji propioseptik (tekanan, getar, posisi, nyeri
tekan). Misalnya, berdasarkan Abadie sign pada daerah dorsalis,
tekanan ringan yang diberikan pada tendon Achilles normalnya
adalah ‘hilang’. Dengan kata lain tidak dapat dirasakan sensasi
nyeri bila diberikan tekanan ringan pada tendon Achilles.

b. Uji sensasi suhu

Uji sensasi suhu pada dasarnya lebih direkomendasikan apabila


pasien terindikasi gangguan sensasi nyeri. Hal ini dikarenakan
pathways dari indra nyeri dan suhu saling berbuhungan. Metode ini
menggunakan gelas tabung yang berisi air panas dan dingin. Pasien
diminta untuk membedakan sensasi suhu yang dirasakan tersebut.
Apabila pasien tidak dapat membedakan sensasi,maka pasien dapat
diindikasikan mengalami kehilangan “slove and stocking” (termasuk
dalam gangguan neuropati perifer).

c. Uji sensasi taktil

Uji sensasi taktil dilakukan dengan menggunakan sehelai


dawai (senar) steril atau dapat juga dengan menggunakan bola kapas. 
Pasien yang dalam keadaan mata terpejam akan diminta menentukan
area tubuh yang diberi rangsangan dengan memberikan hapusan bola
kapas pada permukaan tubuh bagian proksimal dan distal.
Perbandingan sensitivitas dari tubuh proksimal dan distal akan
menjadi tolak ukur dalam menentukan adanya gangguan sensori.
Indikasi dari gangguan sensori pada uji sensasi taktil ini berupa
hyperestetis, anastetis, dan hipestetik.

28
d. Uji propiosepsi (sensasi letak)

Uji ini dilakukan dengan menggenggam sisi jari pada kedua


tungkai yang disejajarkan dan menggerakkannya ke arah gerakan jari.
Namun yang perlu diperhatikan adalah menghindari menggenggam
ujung dan pangkal jari atau menyentuh jari yang berdekatan karena
lokasi sensasinya mudah ditebak (memberikan isyarat sentuh).  Pasien
yang dalam keadaan mata terpejam diminta untuk menentukan lokasi
jari yang digerakkan.

Selain itu, uji ini juga dapat dilakukan dengan menguji posisi
sensasi di sendi metakarpalia palangeal untuk telapak kaki besar.
Orang muda normal memiliki derajat diskriminasi sebesar 1 sampai 2
derajat untuk gerakan sendi distal jari dan 3 sampai 5 derajat untuk
kaki besar.

e. Uji sensasi vibrasi (pallestesia)

Uji sensasi vibrasi  dilakukan menggunakan garpu tala


frekuensi rendah (128 atau 256 Hertz) yang diletakkan pada bagian
tulang yang menonjol pada tubuh pasien. Kemudian pasien diminta
untuk merasakan sensasi yang ada dengan memberikan tanda bahwa ia
dapat merasakan sensasi getaran. Apabila pasien masih tidak bisa
merasakan sensasi getaran, maka perawat menaikkan frekuensi
garputala sampai pasien dapat merasakan sensasi getaran tersebut.
Pasien muda dapat merasakan getaran selama 15 detik di ibu jari kaki
dan 25 deti di sendi distal jari. Sedangkan pasien usia 70 tahun-an
merasakan sensasi getaran masing-masing selama 10 detik dan 15
detik.

f. Uji sensasi tekanan

Uji sensasi tekanan menerapkan kemampuan pasien dalam


membedakan tekanan dar sebuah objek pada ujung jari. Uji ini

29
dilakukan dengan cara menekan aspek tulang sendi dan subkutan
untuk mempersepsikan tekanan. Rekomendasi untuk uji tekanan ini
diutamakan pada penderita diabetes dan dilakukan minimal sekali
setahun.

2. Testing higher integrative functions(uji fungsi integratif tertinggi)


a. Stereognosis
Stereognosis merupakan kemampuan untuk mengenali objek
dengan perasaan. Uji ini merupakan identifikasi benda yang dikenal
dan diletakkan di atas tangan pasien sehingga pasien dapat
mengidentifikasi benda yang berada di tangannya. Adanya kesulitan
identifikasi benda (gangguan stereognosis) mengindikasikan adanya
lesi pada kolumna posterior atau korteks sensori.
b. Diskriminasi 2 titik
Diskriminasi 2 titik merupakan metode identifikasi sensasi 2
titk dari penekanan 2 titik pin yang berada pada permukaan kulit. Uji
ini terus dilakukan berulang hingga pasien tidak dapat
mengidentifikasi sensasi 2 titik yang terpisah. Lokasi yang sering
digunakan untuk uji ini adalah ujung jari, lengan atas, paha, dan
punggung. Adanya gangguan identifikasi 2 titik mengindikasikan
adanya lesi pada kolumna posterior atau korteks sensori.
c. Identifikasi angka (grafitesia)
Grafitesia merupakan metode penggambaran angka di mana
nantinya pasien diminta untuk mengidentifikasi angka yang tergambar
pada telapak tangan. Metode grafitesia dapat menggunakan ujung
tumpul pulpen sebagai media stimuli. Kesulitan pada identifikasi
angka menunjukkan adanya glesi pada kolumna posterior atau korteks
sensori.

30
d. Ekstinksi
Ekstinksi merupakan salah satu uji sensori yang menggunakan
metode sentuhan pada kedua sisi tubuh. Uji ini dilakukan pada saat
yang sama dan lokasi yang sama pada kedua sisi tubuh, misalnya
lengan bawah pada kanan dan kiri lengan. Apabila pasien tidak bisa
menggambarkan jumlah titik lokasi sentuhan (biasanya psien hanya
merasakan satu sensasi), maka dapat dipastikan pasien teridentifikasi
adanya lesi sensoris.
e. Lokalisasi titik
Lokalisasi titik merupakan metode didentifikasi letak lokasi
sensasi stimulus. Metode ini dilakukan dengan cara memberikan
sensasi sentuhan ringan pada permukaan kulit dan meminta pasien
untuk menyebutkan atau menunjukkan letak sensasi yang dirasakan.
Adanya penurunan sensasi sensori dibuktikan dengan adanya ketidak-
akuratan identifikasi lokalisasi. Hal ini disebabkan adanya lesi pada
korteks sensori sehingga terjadi penurunan maupun hilangnya sensasi
sentuhan pada sisi tersebut.

31
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
Sistem indera berperan penting dalam hantaran informasi ke sistem saraf
pusat mengenai lingkungan sekitarnya. Pemeriksaan fisik pada sistem indera ini
sangat kompleks karena harus melibatkan pemeriksaan pada kelima sistem indra
tubuh yaitu penglihatan, pendengaran, pengecap, pembau, dan peraba.
Gangguan pada sistem indera disebabkan oleh adanya lesi pada saraf yang
mengatur sensori tubuh. Lesi-lesi tersebut dapat menghambat hantaran impuls
saraf. Pemeriksaan fisik sensori dapat dilakukan pada berbagai usia dan dilakukan
untuk dapat menentukan atau mengetahui apakan pasien tersebut mengalami
gangguan pada saraf sensorinya.
Pengkajian pada sistem penglihatan dapat dimulai dengan anamnesa, lalu
mengkaji keluhan utama, riwayat keluhan, riwayat keluarga, riwayat psikososial
dan yang lainnya. Pemeriksaan mata dimulai dengan inspeksi mata secara
keselurahan. Pemeriksaan pada mata dapat berupa uji reflwk pupil, tes lapang
pandang, pemeriksaan otot ekstraokuler, sensibilitas kornea, pemeriksaan visus
dengan menggunakan snellen card, hitung jari, pergerkan jari, penyinara,
pemeriksaan dengan pinhole, pemeriksaan buta warna.
Pengkajian pada sistem pendengaran dapat dimulai dengan anamnesa, lalu
mengkaji keluhan utama, riwayat keluhan, riwayat keluarga, riwayat psikososial
dan yang lainnya. Lakukan pengkajian tentang tanda dan gejala pada klien lalu
lakukan inspeksi pada telinga. Pemeriksaan fisik pada telinga dapat berupa
menggunakan otoskop, tes berbisik, tes berbisik modifikasi, tes rinne, tes weber,
dan tes schwaback.
Pengkajian pada sistem penciuman dapat dimulai dengan anamnesa pasien
tentang apa yang dikeluhkannya. Selanjutnta inspeksi hidung eksternal, nares
anterior, serta septum dan turbinat. Selanjutnya lakukan pemeriksaan pada N.I

32
olfaktorius dengan cara tes membau, tes odor stix, tes alkohol 12 inchi, dan tes
scratch and sniffcard.
Pengkajian pada sistem peraa dapat dilakukan secara psikofisis untuk fungsi
gustorik. Perawat dapat melakukan tes rasa seluruh mulut untuk mengetahui
kualitas, intensitas, dan persepsi kenyamanan dengan sukrosa, asam sitrat, kafein,
dan nantrium klorida. Tes lain yang dapat dilakukan yaitu tes rasa listrik
(elektrogustometri) dan biopsi papilla.
Pemeriksaan fisik indra perabaan didasarkan pada sensibilitas. Pemeriksaan
fisik sensori indra perabaan (taktil)  terbagi atas 2 jenis, yaitu basic sensory
modalities dan testing higher integrative functions. Basic sensory
modalities (pemeriksaan sensori primer) berupa uji sensasi nyeri dan sentuhan, uji
sensasi suhu, uji sensasi taktil, uji propiosepsi (sensasi letak), uji sensasi getar
(pallestesia), dan uji sensasi tekanan. Sedangkan testing higher integrative
functions (uji fungsi integratif tertinggi) berupa stereognosis, diskriminasi 2 titik,
persepsi figure kulit (grafitesia), ekstinksi, dan lokalisasi titik.

3.2 Saran
Seluruh mahasiwa keperawatan hendaknya dapat mempraktikkan dan
menguasai teknik dalam pemeriksaan fisik sistem indera. Agar saat sudah menjadi
perawat dapat melakukan pemeriksaan fisik secara professional dan dapat
menentukan dan melakukan tindakan asuhan keperawatan secara efektif.

33
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2016. Pemeriksaan Fisik telinga.


http://ners.unair.ac.id/materikuliah/MP_PEMERIKSAAN%20FISIK
%20TELINGA_NEW.pdf. Diakses pada 01 Oktober 2017.

Guyton, A.C dan Hall, J.E. 2000. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 10.
Philadelphiia: Saunders.

Berman et al, Kozier & Erb. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Edisi 5.
Jakarta: EGC.

Saputri, Deah Karina. 2016. Pengkajian dan Pemeriksaan Fisik Sistem Indera.
http://dokumen.tips/documents/pemeriksaan-fisik-sistem-indera.html. Diakses
pada 01 Oktober 2017.

34

Anda mungkin juga menyukai