Surya Dharma Ali (SDA) merupakan seorang politikus asal Jakarta yang
pernah dipercaya untuk memimpin lembaga negara sebesar Kementrian Agama
1 Hamzah, Andi. 2005. Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional. Jakarta : Grafindo Persada
2 Echols, John dan Hassan Sadily. 2007. Kamus Inggris-Indonesia (an English-Indonesia
Dictionary). Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Republik Indonesia.3 SDA sendiri lahir tepat pada tanggal 19 September 1956,
dalam perkembangannya SDA tercatat sebagai anggota Alumni Institute Agama
Islam Negeri Syarief Hidayatullah. Pada tahun 2001 SDA diketahui tercatat
sebagai Ketua Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat hingga tahun 2004. Dalam
karir politiknya SDA juga diketahui terlibat dalam Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebelum menduduki
sebagai Menteri Agama Indonesia, Suryadharma menjabat sebagai Menteri
Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah di Kabinet Indonesia Bersatu masa
kepemimpinan pasangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf
Kalla. Sebelumnya jabatan tersebut diduduki oleh Alimarwan Hanan yang konon
merasa belum berhasil mengangkat Kementerian Negara KUKM menjadi
Departemen Koperasi. Saat ini posisi tersebut diduduki oleh Mari Elka Pangestu.
Suryadharma menduduki sebagai menteri Agama tertanggal 22 Oktober hingga
2014. Beliau adalah orang ke 20 yang menjabat di kursi kementerian tersebut.
Kementerian Agama Indonesia didirikan pada tanggal 19 Agustus 1945 yang
diawali oleh K.H Wahid Hasyim.
3 Taufiqurrochman. 2013. Sang Nakhoda : Biografi Surya Dharma Ali. Malang : UIN-
Maliki
4Dwi, Inggried. 2014. “KPK Tetapkan Menteri Agama Suryadharma Ali Tersangka”
(http://nasional.kompas.com/read/2014/05/22/1832203/KPK.Tetapkan.Menteri.Agama.Su
ryadharma.Ali.Tersangka), diakses pada tanggal 15 Juni 2014 Pukul 19:00 WIB
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Dalam hal ini KPK memiliki
tugas untuk melakukan kordinasi, supervise, penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pengawasan terhadap instansi penyelenggara negara sebagai
bentuk pencegahan terhadap tindak pidana korupsi. Meskipun demikian KPK juga
memiliki kewenanangan untuk mengkordinasikan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, penyerapan informasi dsb sebagai wujud pemberantasan tindak
pidana korupsi dalam instansi pemerintahan selaku penyelenggara.
Berkaitan dengan apa yang dikatakan oleh Johan GL dari Pusat Pelaporan
dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) diketahui ada informasi kepada KPK
bahwa terdapat transaksi keuangan yang dianggap mencurigakan dengan
melibatkan Surya Dharma Ali. Hal ini kemudian ditegaskan oleh Wakil Kepala
PPATK Agus Santoso yang mengatakan adanya indikasi tindak pidana pencucian
uang kepada SDA selaku pejabat negara dalam jumlah yang besar. Dalam hal ini
hasil audit PPATK dijelaskan bahwa nilai transaksi mencurigakan tersebut
mencapai Rp 230 Milliar. Hal ini menjadi semakin jelas ketika Johan Budi
menggambarkan posisi SDA sebagai aktor yang diduga melakukan
penyalahgunaan wewenang ataupun perbuatan melawan hukum yang merugikan
negara itu sendiri. Misalnya Johan Budi menjelaskan bahwa bentuk
penyalahgunaan wewenang dan upaya memperkaya diri sendiri orang lain,
maupun korporaasi termanifestasikan dalam tindakannya untuk memanfaatkan
dana setoran awal haji untuk membiayai pejabat Kementrian Agama beserta
keluarganya untuk dapat naik haji. Hal ini menjadi menarik manakala KPK
menduga adanya penggelembungan nominal harga terkait biaya catering, biaya
pemondokan, dan biaya transportasi jemaah haji.
Dalam konsep ekonomi politik neo-klasik, hal ini masuk dalam kategori
rent seeking beuaucrat model dan power seeking politician. Disini rent seeking
beuraucrat model menjelaskan bahwa pada dasarnya birokrat adalah makhluk
hidup yang memiliki rasa yang memiliki emosi dan tata nilai, dimana mereka juga
memiliki tujuan tertentu. Sedangkan power seeking politician memandang dari
perspektif politisi, dimana ia merupakan individu yang rasional yang tidak lepas
dari kalkulasi untung-rugi dalam sebuah pengambilan keputusan. Dalam hal ini
Delianov (2006 : 68) bahwa model para birokrat pemburu rente merujuk pada
perilaku birokrat itu sendiri, dimana ia memiliki emosi, tata nilai, dan tujuan
pribadi yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan birokrasi itu sendiri sebagai
sebuah organisasi. Hal ini secara tidak langsung menjelaskan bahwa peranan dan
campur tangan pemerintah (elit birokrat) pada dasarnya tidak akan selalu sejalan
untuk melayani kepentingan publik, melainkan ada peluang pendayagunaan untuk
kepentingan individu, badan usaha, ataupun golongan tertentu. Hal ini senada
dengan pandangan Bates (1994) yang melihat adanya kecenderungan untuk
menciptakan intensif dikalangan birokrat itu sendiri, dimana akan tercipta pola
hubungan patron-client yang mengarah pada terbentuknya political machine
dalam kehidupan bernegara. Dalam hal ini pemerintah (birokrat) terkait akan
melakukan pengorganisiran kelompok-kelompok yang mendukung kebijakannya.
Jika kita kembali pada permasalahan awal yang melibatkan Surya Dharma
Ali yang menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan instansi dan
dirinya sendiri. Hal ini tentu menjadi ironi ketika kita dihadapakan pada Tugas
Pokok dan Fungsi (Tupoksi) dari Kementrian Agama yang menjamin
terpenuhinya kebutuhan publik terkait pengelolaan dana haji yang dihimpun.
Disini jelas ada pertentangan yang cukup mendasar manakala Surya Dharma Ali
sebagai seorang elit birokrat yang seharusnya memiliki tugas dan fungsi untuk
melayani kepentingan publik bertolak belakang dengan tindakannya yang
memberangkatkan keluarga instansi Kementrian Agama (Kemenag) untuk naik
haji, serta melakukan penggelembungan dana kordinasi, transportasi, dan
akomodasi untuk kepentingan privat. Padahal jika memang Surya Dharma Ali
memiliki pemikiran rasional dan berupaya melayani masyarakat maka hal-hal
semacam aktivitas yang menguntungkan diri sendiri ataupun kelompok tertentu
tidak perlu dilakukan karena bertentangan dengan prinsip pelayanan publik
sebagaimana diamanatkan oleh UU.
Menurut Soewartojo (2005 : 20) ada beberapa bentuk tindak pidana korupsi,
yakni pertama korupsi uang negara, menghindari pajak dan bea cukai, pemerasan
dan penyuapan, kedua pungutan liar yang sulit untuk dibuktikan (komisi kredit
bank, komisi proyek tender, imbalan jasa pemberian izin, kenaikan pangkat, uang
transportasi), ketiga pungutan liar yang tidak sah (pungutan yang dilakukan tanpa
ketetapan peraturan yang berlaku).6 Jika melihat kembali pada apa yang dilakukan
oleh Surya Dharma Ali terkait penyalahgunaan kewenangan pengelolaan ibadah
haji, instansi terkait justru menyatakan mereka tidak melakukan penyimpangan
dalam mengelola dana haji. Misalnya soal pengelolaan bunga Ongkos Naik Haji
(ONH) yang dituding PPATK tidak transparan. PPATK mencatat, ONH calon
jemaah haji yang mencapai Rp80 triliun menghasilkan bunga sebesar Rp2,3
triliun. Bunga sebesar itu, menurut PPATK, sesungguhnya bisa dimanfaatkan
untuk membeli apartemen sebagai tempat tinggal jemaah selama menjalankan
ibadah haji.
Kemenag mengatakan, bunga Rp2,3 triliun itu adalah nilai manfaat dari
ONH yang memang akan dialokasikan dalam bentuk pelayanan kepada jemaah
haji. “Outstanding dana setoran awal BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji) hingga
19 Desember 2012 berjumlah Rp48,7 triliun, termasuk nilai manfaat –-bunga,
bagi hasil, dan imbal hasil sebesar Rp2,3 triliun,” kata Direktur Jenderal
Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Anggito Abimanyu, dikantor
6 Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : Sinar Grafika
Kemenag, Kamis 3 Januari 2013. Nilai manfaat ini nantinya dialokasikan
mengurangi BPIH seperti biaya pemondokan di Mekkah, Madinah, dan Jeddah,
biaya pelayanan umum di Saudi Arabia, biaya katering dan transportasi, biaya
pengurusan paspor, pelayanan embarkasi, bimbingan, buku manasik, asuransi,
serta biaya operasional haji dalam dan luar negeri. Soal pendapat PPATK untuk
menggunakan nilai manfaat itu guna membeli apartemen demi kepentingan
jemaah haji, Anggito mengatakan hal itu tidak bisa dilakukan karena pemerintah
Arab Saudi tidak membolehkan pemilikan aset berupa properti. “Yang bisa
dilakukan adalah menyewa perumahan untuk jangka panjang (sebagai tempat
tinggal jemaah selama beribadah haji), dan saat ini kami sedang menjajaki hal
tersebut,” ujar Anggito.
Ketiga, soal penggunaan dana haji untuk rehabilitasi kantor Kemenag dan
pembelian mobil operasional kementerian yang dianggap PPATK tidak pada
tempatnya. Dana haji yang merupakan tabungan calon jemaah haji, menurut
PPATK, seharusnya digunakan untuk kepentingan para jemaah sendiri, bukan
melayani Kementerian Agama. “Kenapa merehabilitasi kantor dan membeli
kendaraan operasional menggunakan dana haji, bukannya uang kementerian
sendiri?” kata Yusuf. Atas pertanyaan PPATK ini, Kemenag memberi jawaban
singkat. “Pengadaan dana untuk rehabilitasi kantor dan pembelian kendaraan
operasional dilakukan pada 2009 dan 2011 dengan sumber dana dari Biaya
Perjalanan Ibadah Haji atas persetujuan DPR,” ujar Anggito. Keempat, soal
proses penukaran valuta asing di mana Kemenag memerintahkan oknum tertentu
untuk membeli valas dalam jumlah besar. “Kenapa orang ini terus yang membeli
valas? Kapan waktu dia membeli valas? Jangan-jangan beli valasnya lebih
murah,” kata Yusuf. Menanggapi kecurigaan itu, Anggito mengatakan proses
penukaran valas dilakukan melalui pelelangan terbuka. “Pengadaan valuta asing
dilakukan bank devisa peserta LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) dengan
metode pelelangan terbatas berdasarkan prinsip efisiensi beban jemaah,” ujarnya.
Referensi :
Echols, John dan Hassan Sadily. 2007. Kamus Inggris-Indonesia (an English-
Indonesia Dictionary). Jakarta : Gramedia Pustaka Utama