Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Secara sederhana, kebudayaan berarti suatu aktivitas yang dilakukan
manusia yang dilakukan terus-menerus dan karena dianggap baik akhirnya
diwariskan kepada generasi berikutnya secara turun-temurun yang kemudian
disebut sebagai superorganic. Aktivitas yang dilakukan dalam kebudayaan
tersebut memiliki nilai yang bermanfaat bagi manusia.
Pewarisan kebudayaan tersebut melalui tiga bentuk, yaitu dimulai dengan
pembiasaan dan penciptaan perilaku, internalisasi nilai-nilai budaya bangsa
dalam pendidikan nasional, dan kebijakan politik yang berorientasi pada
pewarisan dan pelestarian budaya bangsa.
Kebudayaan dapat dilestarikan dengan cara terjun langsung ke dalam sebuah
pengalaman kultural dan/atau membuat suatu pusat informasi mengenai
kebudayaan yang dapat difungsionalisasi ke dalam banyak bentuk
Seni tradisi sebagai pewaarisan kebudayaan menjadi pemersatu dan sarana
persamaan identitas masyarakat Nusantara. Dari kebudayaan Nusantara dapat
kita pelajari bahwa budaya merupakan penanda kemunculan dan keruntuhan
suatu bangsa.
Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan tradisi yang dimilki
oleh setiap daerah. Setiap daerah melahirkan berbagai macam budaya yang
menjadikan hal tersebut sebagai ciri khas masing-masing daerah.
Budaya di setiap daerah pasti ada yang tetap dipertahankan, ada juga yang
akan punah dengan sendirinya karena semakin ditinggalkan oleh generasi
penerus, dan ada juga yang tidak berubah melainkan mengalami perkembangan
kebudayaan sesuai zaman.
Jawa Timur adalah salah satu daerah yang sampai saat ini masih
mempertahankan tradisi yang biasa dilakukan sejak zaman nenek moyang,
meskipun ada yang hilang karena perubahan zaman. Tradisi yang masih
dipertahankan tersebut salah satunya adalah Tedhak Siten yang berarti turun
tanah. Turun tanah adalah tradisi yang dijalankan oleh orang Jawa dan beberapa

1
daerah lainnya, namun dengan prosesi dan istilah yang bisa jadi berbeda dengan
yang dilakukan di daerah Jawa, khususnya Jawa Timur.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah sejarah dan perkembangan Tedhak Siten ?
2. Bagaimana proses dilaksanakan Tradisi Tedhak Siten ?
3. Apa perbedaan Tedhak Siten di Jawa Timur dengan yang ada di daerah lain ?
4. Bagaimana cara mempertahankan Tradisi Tedhak Siten ?

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan Tedhak Siten.
2. Untuk mengetahui proses dilaksanakannya Tradisi Tedhak Siten.
3. Untuk mengetahui perbedaan Tedhak Siten di Jawa Timur dengan yang ada di
daerah lain.
4. Untuk mengetahui cara mempertahankan Tradisi Tedhak Siten.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH PERKEMBANGAN TEDHAK SITEN

Menurut Murniatmo,dkk (2000;243), Tedhak Siten adalah upacara pada saat


anak turun tanah untuk pertama kali, atau disebut juga mudhun lemah atau unduhan.
Masyarakat beranggapan bahwa tanah mempunyai kekuatan gaib, disamping itu juga
adanya suatu anggapan kuno bahwa ada sosok yang menjaga tanah, yaitu
Batharakala. Maka dari itu, sianak diperkenalkan kepada Batharakala sang penjaga
tanah agar tidak marah dan mengganggu si anak. Apabila Batharakala sampai marah
berarti bencana akan menimpa si anak.

Tedhak Siten adalah upacara daur hidup yang dilakukan oleh masyarakat Jawa
untuk memperingati seorang anak (bayi) yang telah berusia sekitar tujuh lapan atau
delapan bulan. Tedhak Siten berasal dari kata “tedhak” yang artinya turun dan “siti”
yang artinya tanah sehingga upacara ini juga disebut dengan istilah upacara turun
tanah. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, upacara ini dimaksudkan sebagai
simbul bagi anak untuk bersiap-siap menjalani hidup melalui tuntunan orang tua agar
nantinya dapat tumbuh menjadi anak yang mandiri.

Sebagai sebuah tradisi, upacara ini bersifat anonim, artinya tidak dapat diketahui
dengan pasti siapa yang pertama kali melaksanakan atau penciptanya. Namun, yang
jelas, bahwa tradisi ini telah berlangsung secara turun-temurun dalam kehidupan
masyarakat pendukungnya. Para leluhur melaksanakan upacara ini sebagai bentuk
penghormatan kepada bumi tempat si anak mulai belajar menginjakkan kakinya ke
tanah dengan diiringi doa-doa dari orangtua dan para sesepuh.

Tedhak Siten dapat dilihat sebagai bentuk pengharapan orang tua terhadap buah
hatinya agar si anak kelak siap dan sukses menapaki kehidupan yang penuh dengan
rintangan dan hambatan dengan bimbingan orang tuanya. Selain itu, juga sebagai
wujud penghormatan terhadap siti (bumi) yang merupakan sumber kesucian
sekaligus sumber kehidupan yang memberi banyak hal dalam kehidupan manusia.

3
Pelaksanaan Tedhak Siten dianggap penting bagi masyarakat Jawa, baik bagi
orang yang melaksanakan dan semua lapisan masyarakat Jawa. Pelaksanaan Tedhak
Siten ini dianggap wajib dilaksanakan bagi masyarakat Jawa karena menurut
masyarakat Jawa jika tidak melaksanakan Tedhak Siten, sang anak akan menjadi
manja dan selalu bergantung kepada orang tua kelak hingga dewasa. Selain itu,
upacara ini berguna juga sebagai acuan pengembangan potensi anak kelak saat
dewasa.

Pada dasarnya upacara Tedhak Siten pada masyarakat Jawa dilaksanakan secara
turun–temurun, walaupun terkadang ada yang tidak memiliki pengetahuan yang jelas
mengenai nilai upacara tersebut. Akan tetapi, upacara ini biasanya akan dihadiri oleh
sanak saudara bahkan tetangga sekitar sehingga upacara ini juga akan semakin
mempererat tali silaturahmi antarumat manusia. Oleh karena itu, upacara ini sendiri
merupakan suatu kewajiban dan masyarakat justru akan merasakan kurang lengkap
apabila tidak melaksanakannya karena banyaknya nilai-nilai positif yang didapatkan
apabila melaksanakan upacara Tedhak Siten ini.

B. PROSES TEDHAK SITEN

Proses pertama Upacara Tedhak Siten ini di mulai dengan menapaki jadah tujuh
warna. Jadah disini terbuat dari beras ketan dicampur dengan parutan kelapa muda
dengan ditambahi garam agar rasanya gurih dan tujuh warna disini, yaitu putih, biru,
hijau, jingga,merah, kuning, dan hitam. Si anak akan dipijakkan kakinya dari warna
yang paling terang, yaitu putih, ke warna yang paling gelap, yaitu hitam.

Warna-warna ini mempunyai makna sebagai berikut :

1. Putih : Watak dasar


2. Biru : Jati diri

4
3. Hijau : Lambang kehidupan
4. Jingga : Matahari
5. Merah : Semangat
6. Kuning : Harapan tercapai cita-cita
7. Hitam : Keagungan

Ketujuh warna tersebut memiliki makna-makna tersendiri yaitu:

1. Warna merah memiliki arti keberanian. Si anak di tuntun untuk memijak warna
tersebut agar sianak yang melakukan Upacara Tedhak Siten tersebut memiliki
keberanian untuk menjalani kehidupannya kelak.
2. Warna putih memiliki arti kesucian. Setelah memijak warna tersebut, si anak
diharapkan dapat memiliki kesucian hati kelak di kemudian hari.
3. Warna hitam mimiliki arti kecerdasan. Setelah memijak warna tersebut, si anak
diharapkan dapat memiliki kecerdasan di kemudian hari.
4. Warna kuning memiliki arti kekuatan.Setelah memijak warna tersebut, si anak
diharapkan dapat memiliki kekuatan dalam menjalankan hidupnya.
5. Warna biru memilliki arti kesetian.Setelah memijak warna tersebut, si anak
diharapkan memiliki sifat setia dimasa yang akan datang.
6. Warna merah jambu memiliki arti cinta kasih. Setelah memijak warna tersebut,
si anak diharapkan kelak memiliki rasa cinta kasih.
7. Warna ungu memiliki arti ketenangan.Setelah memijak warna tersebut, si anak
diharapkan dapat bersikap tenang dalam mengambil keputusan pada masa yang
akan datang.

Proses kedua, si anak akan menaiki tangga yang terbuat dari tebu jenis arjuna,
yaitu tangga yang dibuat dari batang tebu wulung dan dihiasi kertas warna-warni.
Hal ini dimaksudkan agar dalam menapaki (menjalani) hidupnya yang di lakukan
seorang anak diharapkan semakin meningkat dan mampu melewati halangan dan
rintangan hidupnya kelak.

5
Proses ketiga, yaitu diteruskan dengan menapaki pasir. Proses ini dimaksudkan
agar dalam menjalani hidupnya seorang anak siap dengan halangan atau rintangan
apapun yang menghadangnya.

Proses keempat, si anak di bimbing di sebuah kurungan ayam yang telah dihiasi
dan didalamnya terdapat beberapa mainan, alat tulis, uang, hp, stetoskop, dan
sebagainya, kemudian si anak di suruh mengambil barang yang disukainya. Barang
yang dipilih si anak merupakan gambaran dari kegemaran dan juga pekerjaan yang
diminatinya kelak saat dewasa.

Proses kelima, sebar beras kuning yang telah dicampur dengan uang logam
untuk diperebutkan (dalam hal ini yang menaburkan adalah bapaknya). Prosesi ini
menggambarkan agar si anak kelak menjadi anak yang dermawan yang suka
bersedekah.

6
Proses terakhir, yaitu si anak dimandikan dengan bunga setaman dan banyu
gege. Banyu gege adalah air yang telah didiamkan selama satu malam di tempat
yang kemudian anak tersebut dimandikan dengan air bunga setaman dengan
maksud membawa nama harum keluarga di kemudian hari dan bertujuan agar ia
dapat menjalani kehidupan yang bersih dan lurus. Selain itu, air yang dibuat mandi
merupakan air yang telah diembunkan, lalupada pagi harinya dijemur di bawah
sinar matahari. Kemudian, pada pagi harinya si anak harus tersinari cahaya
matahari sampai jam 8 pagi, lalu mengenakan baju yang baru. Tujuannya adalah
agar si anak tetap sehat, membawa nama harum bagi keluarga, dan punya
kehidupan yang layak, makmur, serta berguna bagi nusa dan bangsa.

Setelah semua prosesi tersebut dilaksanakan, kemudian dilanjutkan dengan


memotong tumpeng yang dilengkapi dengan sayur urap. Tumpeng melambangkan
permohan orang tua kepada Tuhan agar si anak kelak menjadi anak yang berguna,
sayur kacang panjang bermakna agar si anak berumur panjang, sayur kangkung
bermakna agar si anak mampu tumbuh dan berkembang, sayur kecambah
merupakan simbol kesuburan, dan ayam mengartikan kelak si anak dapat hidup
mandiri.

C. PERBEDAAN TEDHAK SITEN DI JAWA TIMUR DENGAN DAERAH LAIN

7
Tedhak Siten tidak hanya ada di Jawa Timur, tetapi juga di beberapa daerah
lainnya dengan penamaan yang berbeda dan prosesi yang juga memiliki perbedaan
sesuai kearifan lokal daerah tersebut.

Salah satu contohnya, yaitu Peutron Aneuk yang berasal dari Aceh. Peutron
Aneuk adalah membawa bayi turun ke tanah dengan suatu upacara atau ritual yang
dilakukan oleh masyarakat Aceh dengan praktek yang berbeda-beda. Arti dari
istilah peutron aneuk ialah menurunkan bayi dari rumah ke tanah karena pada
umumnya rumah masyarakat Aceh tempo dulu merupakan rumah panggung atau
yang sering disebut sekarang sebagai rumah Aceh. Adat Peutron Aneuk disebut
juga dengan Peugidong Tanoh yang merupakan kebiasaan masyarakat Gampong
Tokoh membawa anak turun ke tanah. Ada juga sebagian bayi dibawa ke masjid,
kemudian dimandikan oleh salah satu orang tua Gampong yang paham agama atau
alim. Berbagai macam tempat mandi dikunjungi untuk dimandikan bayi sesuai
dengan tujuan yang memiliki hajatan Peutroen Aneuk apakah di masjid, sungai,
ataukah tempat lain yang dinazarkan khusus. Setelah upacara pemandian bayi
selesai, maka dilanjutkan dengan acara baerzanji, yaitu mengumandangkan lagu-
lagu atau shalawat yang bernuansa Islam. Setelah serangkaian acara selesai barulah
bayi dibawa turun ke tanah.

Adapun persiapan yang dilakukan masyarakat Gampong sebelum upacara


Peutron Aneuk adalah sebagai berikut:
1. Rapat keluarga yang punya hajatan Peutron Aneuk (penentuan hari kenduri
Peutron Aneuk).
2. Mengundang kerabat terdekat, tokoh adat dan agama serta masyarakat
lainnya untuk datang pada hari dan tanggal yang sudah ditetapkan pada ritual
Peutron Aneuk.
3. Mempersiapkan bahan-bahan kenduri sesuai dengan kemampuan yang
punya hajatan Peutron Aneuk.
4. Mempersiapkan bahan-bahan yang digunakan pada saat Peutron Aneuk.

Secara keseluruhan Tradisi Peutron Aneuk di masyarakat disesuaikan dengan


syariat Islam. Oleh karenaya Peutron Aneuk itu sendiri dilakukan dengan sunnah
Rasul, yaitu aqiqah dan pemberian nama, yang dilakukan pada hari ketujuh. Prosesi

8
Muzaki Saifurrohman kenduri tergantung pada kemampuan pelaksana acara
peutroen aneuk, yaitu dilakukan secara mewah maupun secara sederhana. Bagi
orang yang mampu biasanya jika yang di turun tanahkan anak pertama, maka
biasanya diadakan upacara yang cukup besar dengan menyembelih kerbau atau
lembu. Pada upacara ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang dan baik
perangai dan budi pekertinya. Orang yang menggendong memakai pakaian yang
bagus, kemudian berlangsunglah proses upacara Peutron Aneuk.
Upacara Peutron Aneuk meliputi Peusijuk, Cuko’ok, Geuboh Nan, Peucicap
Bayi, dan peugidong tanoh. Cuko’ok (cukur rambut) bayi adalah sunnah rasul,
yang dilakukan pada hari ke-7 (tujuh) atau ada juga yang telah berumur sebulan
atau lebih. Cuko’ok dilaksanakan pada acara ritual Peutron Aneuk, Cuko’ok
sebagai sunah Rasul suatu keharusan yang dilaksanakan, sehingga menjadi bagian
dasar dalam proses Peutron Aneuk. Proses ini biasanya dilakukan dalam acara
kenduri keluarga kedua belah pihak. Lazimnya Cuko’ok diikuti dengan pemberian
nama bayi. Tujuan cukur rambut untuk menghilangkan rambut bawaan dan agar
tumbuh rambut baru yang lebih sehat, subur dan lebat. Peucicap bayi atau
mencicipi gula, srikaya atau sejenis makan lain yang berzat manis pada lidah bayi.
Pada hari itu keluarga atau pihak orang tua ayah bayi membawa seperangkat
kebutuhan bayi seperti bedak, sabun mandi, alat pesijuk, nasi ketan, naleung sambo,
oen sinijuk, beras pupon taweu, dan minyak wangi sebagai suatu kewajiban adat
(menurut kemampuan dan perubahan zaman). Pada acara tersebut bayi dan ibunya
di peusijuk oleh pihak keluarga yang diikuti dengan mengenalkan bayi kepada
pihak keluarga yang berhadir. Dalam ritual peusijuk juga disertai dengan pemberian
uang adat dan sebentuk emas (cincin/anting-anting atau gelang) pihak keluarga
pada bayi, yang besarnya menurut garis jarak-dekat hubungan keluarga dan
kemampuan masing-masing. Ritual ini merupakan deklarasi/komitmen kekuatan
keluarga, dalam membangun persatuan dan tolong-menolong sebagai penegakan
harkat dan martabat keluarga besar (kaya miskin menyatu di dalamnya).

D. CARA MEMPERTAHANKAN TRADISI TEDHAK SITEN

Indonesia merupakan negara yang kaya akan keragaman budaya. Keragaman


budaya yang dimiliki Indonesia menjadi identitas atau ciri khas bagi bangsa

9
Indonesia. Pada tahun 2017, UNESCO mengatakan bahwa Indonesia adalah
negara super power di bidang budaya. Dunia sudah mengakui Indonesia sebagai
negara dengan ekosistem budaya yang sangat besar. Oleh karena itu, label yang
disematkan kepada negara Indonesia tersebut sudah seharusnya dipertahankan dan
dikembangkan terus hingga kebudayaan Indonesia semakin dikenal khalayak
ramai. Salah satu budaya yang perlu dilestarikan dan masih dilakukan oleh sebagian
warga Indonesia khususnya di wilayah Jawa Timur adalah Budaya Tedhak
Siten,yaitu suatu adat yang dimaksudkan untuk memperkenalkan anak kepada tanah.
Lebih jauh lagi, Upacara Tedhak Siten ini bertujuan untuk memohon keselamatan
bagi si anak dan mengharapkansi anak bisa cepat berjalan.

Cara untuk melestarikan Tedhak Siten di Jawa Timur, yaitu adanya kesadaran
dari masyarakat Jawa Timur itu sendiri untuk paham betul tradisi ini dan terjun
langsung atau dengan kata lain mempraktikannya serta menurunkan tradisi ini
kepada generasi yang berikutnya. Dengan dilakukannya cara-cara tersebut, Tradisi
Tedhak Siten seharusnya akan menjadi suatu tradisi yang sudah biasa untuk
dilakukan kepada setiap generasi mereka karena merasa tradisi tersebut adalah
sesuatu yang sakral sehingga bila tidak dilakukan akan terasa seperti ada hal yang
kurang lengkap.

10
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kebudayaan adalah suatu kebiasaan yang dilakukan manusia, yang dianggap


baik, lalu diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Kebudayaan
yang dimiliki oleh setiap daerah menjadi identitas dan/atau ciri khas bagi daerah itu
sendiri. Agar tidak kehilangan ciri khas, kebudayaan yang dimiliki setiap daerah
harus dipertahankan. Upaya pemertahanan ini dapat dilakukan dengan pengalaman
kebudayaan dan pengetahuan kebudayaan. Kebudayaan sering kali dikaitkan dengan
hal-hal yang berbau sakral, mistis, dan religi. Hal-hal seperti itulah yang
menyebabkan adanya budaya karena diteruskan dari nenek moyang untuk generasi
penerusnya karena apabila tidak dilakukan maka nestapa akan menimpa keturunan
mereka. Salah satu contoh tradisi tersebut adalah Tedhak Siten. Tedhak Siten adalah
tradisi menurunkan bayi ke tanah untuk diperkenalkan dengan permukaan tanah
sekaligus dibimbing untuk bisa berjalan. Tedhak Siten melalui berbagai prosesi yang
setiap proses memiliki makna atau filosofinya sendiri untuk kehidupan si anak yang
dipercaya akan membuahkan hasil yang baik untuk masa depan si anak nantinya.
Tedhak Siten dijalankan di beberapa daerah dengan nama yang berbeda dan/atau
prosesi yang berbeda, tetapi yang pasti semua tradisi ini bermaksud untuk tujuan

11
yang baik demi si anak itu sendiri. Dengan beragamnya budaya yang ada di
Indonesia, sudah sepatutnya masyarakat Indonesia menjunjung tinggi dan
menghargai keberagaman tersebut. Perbedaan dalam adat istiadat setiap individu
yang berbeda suku, ras, agama, lingkungan, dan lain-lain, tidak menjadikan hal
tersebut menjadi pemecah persatuan Indonesia, melainkan justru memperkuat
persatuan masyarakat Indonesia itu sendiri.

B. SARAN

Kami sebagai penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Dalam melakukan riset untuk isi makalah ini, kami tidak bisa
mencantumkan perbedaan Tedhak Siten dari berbagai daerah yang awalnya
ingin kami cantumkan ke dalam makalah ini karena sumber yang kami miliki
belum cukup kredibel untuk kami jadikan referensi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Belajar.kemdikbud.go.id, “Tedhak Sinten”, Rumah Belajar: Belajar Untuk Semua, 3


Juni 2016, <https://belajar.kemdikbud.go.id/PetaBudaya/Repositorys/TedhakSinten/>
[Diakses pada 12 November 2019]

Eprints.uny.ac.id, “Budaya Tedhak Siten (Mudun Lemah), prosesinya adalah...”,


Handout Tedak Folio, <http://eprints.uny.ac.id/51240/17/HANDOUT%20TEDAK
%20FOLIO.pdf>
[Diakses pada 9 November 2019]

Ervina, Intan (2017). Ritual Peutron Aneuk Dan Dampaknya Terhadap Kehidupan


Masyarakat Di Gampong Tokoh Kecamatan Manggeng Kabupaten Aceh Barat Daya.
Banda Aceh: Fakultas Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
Darussalam. [Diakses pada 11 November 2019]

Inibaru.id, “Ada Doa dan Harapan Orang Tua dalam Tradisi Tedak Siten”, Inibaru.id:
Ini Baru Indonesia, 12 Juni 2018, <https://www.inibaru.id/nuploads/58/20837441-

13
468839710165408-2949474494521016320-n-
4f9a09053d62c81cbe05fe36ad9389d3.jpg> [Diakses pada 12 November 2019]

Javaans.net, “Upacara Tedak Siten: Upacara turun tanah”, Traditional Javanese


Ceremonies: Upacara Tedak Siten Jawa, <http://www.javaans.net/c-tedak-siten-
ind.html> [Diakses pada 12 November 2019]

Kebudayaan.kemdikbud.go.id, “Indonesia Negara Adidaya Kebudayaan”, Kementerian


Pendidikan dan Kebudayaan, <https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/indonesia-negara-
adidaya-kebudayaan/> [Diakses pada 12 November 2019]

Kumparan.com, “Melihat Ritual ‘Peutron Aneuk’, Tradisi Turun Tanah Bayi di Aceh,
Kumparan: Aceh Kini, 9 Juni 2019, <https://kumparan.com/acehkini/melihat-ritual-
peutron-aneuk-tradisi-turun-tanah-bayi-di-aceh-1rFBNPswEsJ> [Diakses pada 11
November 2019]

Nyonyamelly.com, “Tedhak Siten – Tradisi Jawa Yang Penuh Warna”, Anang dan
Ashanty memotong tumpeng dalam acara Tedhak Siten Arsy, 3 Agustus 2016,
<https://www.nyonyamelly.com/blogs/news/tedhak-siten-tradisi-jawa-yang-penuh-
warna> [Diakses pada 12 November 2019]

Researchgate.net, “Peutron Aneuk dalam Budaya Aceh”, ResearchGate, Desember


2018,
<https://www.researchgate.net/publication/329923460_Peutron_Aneuk_dalam_Budaya
_Aceh> [Diakses pada 12 November 2019]

14

Anda mungkin juga menyukai