Anda di halaman 1dari 7

Gabungan Hukum

Latar Belakang
Hukum pidana atau fiqih jinayah merupakan bagian dari syari’at islam yang berlaku
semenjak diutusnya Rosulullah, yang berdasarkan al-qur`an dan hadist atau lembaga yang
mempunyai wewenang untuk menetakan hukuman. Oleh karenanya pada zaman Rosululah
dan Khulafaur Rasyidin, hukum pidana islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu hukum
yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri.
Hukum pidana menurut syari’at islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam
kehidupan setiap muslim dimanapun ia berada. Syari’at islam merupakan hukum yang harus
dilaksanakan oleh setiap muslim, karena syari’at islam merupakan bagian ibadah kepada
Allah SWT.
A.    Pengertian Gabungan Hukuman
Samenloop dapat diterjemahkan gabungan atau perbarengan yang dalam bahasa Belanda juga
disebut samenloop van strafbaar feit atau concursus. Dalam makalah ini akan digunakan
istilah “gabungan”. Hukuman dalam bahasa Arab disebut Iqab atau `uqubah merupakan
bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara` yang
ditetapkan Allah dan Rasul-NYA untuk kemaslahatan manusia. Menurut kamus bahasa
indonesia karangan S. Wojo Wasito Hukuman berarti, siksaan atau pembalasan kejahatan.

B.     Dasar Hukum
Gabungan tindak pidana merupakan perbuatan pidana yang sangat merugikan
kepentingan hukum, dimana pelakunya harus dihukum lebih berat dari pelaku yang hanya
melakukan satu tindak pidana. Adapun dasar hukum dapat dipidananya pelaku tindak pidana
gabungan adalah berdasarkan rumusan Pasal 63 sampai dengan Pasal 71 KUHP, yang secara
sistimatis dapat diuraikan sebagai berikut:
Dasar hukum gabungan dalam satu perbuatan (corcursus idealis)
Adapun dasar hukum mengenai gabungan dalam satu perbuatan ini adalah diatur
dalam Pasal 63 dan 64 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
Bunyi rumusan Pasal 63 KUHP :
1.      jika sesuatu perbuatan termasuk dalam beberapa peraturan ketentuan pidana, maka
hanyalah dikenakan satu saja dari ketentuan itu, jika hukumannya berlainan, maka yang
dikenakan ialah ketentuan yang terberat hukuman pokoknya.
2.      Jika bagi sesuatu perbuatan yang terancam oleh ketentuan pidana umum pada ketentuan
yang istimewa, maka ketentuan pidana istimewa itu saja yang akan digunakan.

C.    Macam-macam Gabungan Hukuman


1.      Gabungan anggapan (concurcus idealis)
Gabungan jarimah itu karena hanya bersifat anggapan, sedang pelakunya hanya
berbuat satu jarimah. Contoh: Seorang memukul petugas, ia diaggap melakukan jarimah
ganda, walaupun pelakunya menganggap melakukan jarimah tunggal, hal ini dikarenakan
yang dipukul adalah petugas sehingga oleh hukum dianggap berbuat jarimah ganda yaitu
memukul orang dan melawan petugas.

2.      Gabungan nyata (concurcus realis)


Yaitu seorang melakukan perbuatan jarimah ganda secara jelas, baik berkenaan
dengan jelas atau berbeda. Contoh: Sulaiman lakukan pemerkosaan terhadap habibah
sebelulm dijatuhi hukuman sulaiman melakukan pembunuhan terhadap ali sobri (contoh
jarimah ganda berbeda). Adapun jarimah sejenis adalah sulaiman melakukan pembunuhan
terhadap Syaikhun Adim sebelum dihukum dia melakukan pembunuhan lagi terhadap Azmi.
Daftar Pustaka

Muhammad, Gerry R, KUHP & KUHAP, Permata press, 2007.

Prof, Dr, Prodjodikoro Wirjono SH, Asas-asas HUKUM PIDANA Di Indonesia, retika aditama, 2003

Windari. Rusmilawati SH MH, Buku Ajar Hukum Pidana, Bangkalan, 2009.

www.google.com artikel pengulangan tindak pidana.

www.google.com Edwin H. Sutherland, Asas-Asas Kriminologi, Alumni, Bandung, 1969.

www.google.com Recedive.
RECIDIVE
Latar Belakang
Recidive terjadi dalam hal seseorang yang melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi
pidana dengan suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi. Sama seperti dalam concursus relais,
dalam recidive terjadi beberapa tindak pidana. Namun dalam recidive telah ada putusan
hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.

Recidive merupakan alasan yang dapat memperberat pemidanaan. Sebagai contoh,


seperti yang diatur dalam Pasal 12 KUHP bahwa karena alasan recidive pidana penjara boleh
diputuskan sampai 20 tahun, walaupun secara umum pidana penjara maksimum dijatuhkan
selama 15 tahun.

A. Pengertian Recidive
Recidive atau pengulangan tindak pidana terjadi pada dalam hal seorang yang
melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan Hakim yang
berkekuatan hukum tetap, kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi. Recidive ini
menjadi alasan untuk memperberat pemidanaan.

B.Recidive Kejahatan Beserta Unsur-unsur Kejahatan

Recidive kejahatan menurut KUHP adalah recidive ( kejahatan-kejahatan tertentu ), yang


membedakan antara lain :

Recidive terhadap kejahatan-kejahatan yang sejenis

Mengenai hal tersebut diatur secara tersebar dalam sebelas pasal-pasal tertentu dalam
buku II KUHP, yaitu pasal 137 ayat 2, 144 ayat 2, 157 ayat 2, 161 ayat 2, 163 ayat
2,208 ayat 2, 216 ayat 3, 321 ayat 2, 293 ayat 2, dan 303 bis ayat 2.

Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam kelompok jenis.

C.Recidive Pelanggaran

Terdapat 14 jenis pelanggaran di dalam Buku II KUHP yang apabila diulangi dapat
merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana, yaitu : pasal 489, 492, 495, 501, 512,
516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549.
Adapun yang menjadi syarat-syarat recidive pelanggaran adalah sebagai berikut :

Pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis dengan pelanggaran yang
terdahulu.

Harus sudah ada putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap untuk pelanggaran
terdahulu.

Tenggang waktu pengulangannya baru lewat 1 atau 2 tahun sejak adanya putusan
pemidanaan yang berkekuatan tetap.

Belum lewat 1 tahun untuk pelanggaran pasal 489, 492, 495, 536, 540, 541, 544,
545, dan 549.

Belum lewat 2 tahun untuk pelanggaran pasal 501, 512, 516, 517, dan 530.

Tujuan Penghukuman

Apabila berbicara mengenai penghukuman, maka pertanyaan yang kerapkali muncul


adalah apakah tujuan hukuman itu dan siapakah yang berhak menjatuhkan \ hukuman. Pada
umumnya telah disepakati bahwa yang berhak menghukum (hak puniendi) adalah di dalam
tangan negara (pemerintah). Pemerintah dalam menjatuhkan hukuman selalu dihadapkan
pada suatu paradoksalitas, yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut :

Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi


manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang sebaliknya,
pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan karena menjatuhkan hukuman
itu maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara sendiri diserang,
misalnya yang bersangkutan dipenjarakan.

Orang berusaha untuk menunjukkan alasan apakah yang dapat dipakai untuk membenarkan
penghukuman oleh karena menghukum itu dilakukan terhadap manusia-manusia yang juga
mempunyai hak hidup, hak kemerdekaan bahkan mempunyai hak pembelaan dari negara itu
juga yang menghukumnya. Maka oleh karena itu muncullah berbagai teori hukuman, yang
pada garis besarnya dapat dibagai atas tiga golongan :

a. teori absolut atau teori pembalasan

b. teori relatif atau teori tujuan

c. teori gabungan
a. Teori absolut

Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah
Kant dan Hegel. Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu konsekwensi
daripada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab melakukan kejahatan, maka akibatnya harus
dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan
yang temyata berlawanan dengan keadilan, harus menerima pembalasan.

b. Teori relatif atau teori tujuan

Para penganjur teori relatif tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan, dan karena itu
tidak mengakui bahwa hukuman itu sendirilah yanag menjadi tujuan penghukuman,
melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang lain daripada
penghukuman itu sendiri. Hukuman, dengan demikian mempunyai tujuan, yaitu untuk
melindungi ketertiban.

c. Teori Gabungan

Menurut teori gabungan hukuman hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan
mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan
menitikberatkan pada saiah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada
semua unsur yang telah ada.
Daftar Pustaka

Ahmad, Hanafi. 1968. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang.


Djazuli. 2007. Fiqih Jarimah. Ed. 2. Cet III. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kanter, E.Y. dan S.R. 2002. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika.
Mahrus Munajad, 2004. Dekontruksi Hukum Pidana Islam. Djogjakarta: Logung Pustaka.
Muslich, Ahmad Wardi. 2004. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Cet I. Jakarta: Sinar
Grafik.
Moeljatno. 1987. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Bina Aksara.
Rahmat, Hakim. 2000. Hukum Pidana Islam. Bandung: Pusataka Setia.
R. Soesilo. 1987. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana serta Komentar – Komentarnja Lengkap
Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia.

Anda mungkin juga menyukai