Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH JIWA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK

NARAPIDANA

Dosen Pengampu :

Ns. Wigyo Susanto, M.Kep

DISUSUN OLEH :

MESIHATUS SAFAAH (30901800114)

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG
TAHUN PELAJAR 2019/2020
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Segala puji bagi Allah SWT
yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Tanpa pertolongan-Nya mungkin saya tidak akan sanggup meyelesaikannya dengan
baik. Sholawat dan salam semoga terlimpa kepada baginda Muhammad SAW.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Asuhan
Keperawatan Pada Anak Narapidana”. Dalam penyusunan makalah ini pasti banyak
rintangan yang dihadapi oleh saya pribadi maupun dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah swt akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan. Makalah ini masih jauh dari sempurna dan memerlukan perbaikan
tetapi dapat dijadikan salah satu referensi bagi pembaca.

Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada
pembaca.Demi kesempurnaan makalah ini penulis mengajak pembaca memberikan
kritik dan saranyang membangun. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Semarang, 26 Maret 2020

(Mesihatus safaah)

                       
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Narapidana dan Lembaga Pemasyarakatan (LP) bukanlah sebuah istilah yang asing bagi
setiap orang. Narapidana adalah istilah yang sudah sangat jamak digunakan untuk disematkan
pada mereka yang sedang menjalani masa hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan, terkait
dengan keterli-batannya dalam suatu tindakan yang melanggar peraturan atau perundang-
undangan yang berlaku. LP adalah tempat yang diperuntukkan bagi mereka yang menderai
peran sosial mereka dengan perilaku yang cukup beralasan untuk dikenai hukuman.

Hidup sebagai pesakitan di dalam LP tentu bukanlah sesuatu yang menyenangkan.


Dengan keterbatasan ruang dan gerak akan sangat memungkinkan penghuninya untuk
mengalami goncangan-goncangan psikologis, mulai dari stres ringan sampai kepada tindakan
yang paling mengerikan, bunuh diri. Kondisi ini jelas merupakan gejala-gejala
ketidakmampuan seseorang secara psikologi dalam menghadapi cobaan hidup yang sedang
menderanya. Keputusasaan yang mereka rasakan tak jarang turut memenjarakan kesadaran
mereka bahwa, sebagai makhluk sosial mereka tetap memiliki tanggung jawab sosial baik
kepada dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat secara luas. Kondisi seperti inilah yang oleh
Frankl (2003) kemudian dianggap sebagai sindroma ketidakbermaknaan (syndrome of
meaningless).

Sedangkan menurut Harsono (1995), dalam bukunya yang berjudul “sistem baru
pembinaan narapidana” menyatakan bahwa kehidupan di lembaga pemasyarakatan
memberikan dampak dalam berbagai aspek seperti dampak fisik dan psikologis. Dampak
psikologis yang dialami oleh narapidana merupakan dampak yang paling berat untuk dijalani.
Dampak psikologis akibat hukuman LP tersebut antara lain kehilangan akan kepribadian,
kehilangan akan keamanan, kehilangan akan kemerdekaan, kehilangan akan komunikasi
pribadi, kehilangan akan pelayanan, kehilangan akan hubungan antar lawan jenis, kehilangan
akan harga diri, kehilangan akan kepercayaan, dan kehilangan akan kreatifitas.

Permasalahan di atas sangat rentan dihinggapi oleh semua narapidana baik narapidana
laki -laki maupun narapidana wanita. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang
dilakukan Bureau Of Justice Statistics yang menemukan fakta bahwa pada tahun 1998
sebanyak 23,6% narapidana wanita teridentifikasi mengalami gangguan kesehatan mental
dibanding pria yang hanya 15,8% bahkan setiap 1 dari 4 wanita di dalam LP teridentifikasi
mengalami gangguan kesehatan mental. Sedangkan pada tahun 2005 hampir sepertiga jumlah
narapidana wanita (73,1%) mengalami gangguan kesehatan mental dibandingkan pria yang
hanya sekitar 55%.4 Hasil penelitian ini memperjelas bahwa kecenderungan wanita
menderita tekanan kejiwaan lebih besar daripada laki- laki, oleh karena itu, perlu adanya
penanganan khusus dalam menyikapi permasalahan tersebut. Lembaga Pemasyarakatan
Wirogunan Kelas IIA Yogyakarta merupakan lembaga milik pemerintah yang tugas
utamanya menampung individu yang mengalami permasalahan hukum dan sekaligus
bertugas memberikan pembinaan dari berbagai aspek seperti keterampilan, kesenian, dan
intelektual.

Ryff dan Singer (dalamPapalia, 2002) menjelaskan mengenai kesehatan mental bahwa
orang yang sehat secara mental bukan hanya berarti ketiadaan sakit secara mental. Kesehatan
mental yang positif mencakup kesejahteraan psikologis, yang bisa didapat dengan perasaan
sehat dari diri sendiri.Individu yang mencapai kesejahteraan psikologis dapat meningkatkan
kebahagiaan, kesehatan mental yang positif, dan pertumbuhan diri.Menurut Jahoda (dalam
Linley dan Joseph, 2004), kebahagiaan merupakan kriteria utama dari kesehatan
mental.Menurut Ryff (dalam Papalia, 2008), individu yang memiliki kesejahteraan psikologis
yang positif adalah individu yang memiliki respons positif terhadap dimensi-dimensi
kesejahteraan psikologis, yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi,
penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

Menurut Campbell (dalam McDowell & Newel, 1996),kesejahteraan psikologis adalah


suatu kondisi individu tanpa adanya distress psikologis.Distres 7 merupakan keadaan sakit
secara fisik dan psikologis yangmerupakan salah satu indikator utama dalam kesehatan
mental.Distres psikologisdan kesejahteraan dapat dipengaruhi oleh masyarakat, lingkungan
sekitar, danketahanan individu secara mental dalam menghadapi kecemasan dan depresi.
Kaitan antara kesejahteraan psikologis dengan depresi atau masalah psikologislain yaitu pada
efek negatif psikis yang dialami individu tersebut akanmenghambat perkembangan dirinya
dan dapat mengakibatkan timbulnyaketidakberdayaandiri sehingga menerima keadaan apa
adanya tanpa ada usaha dari dirinya untuk membuat hidupnya menjadi lebih baik

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. Apa pengertian dari narapidana?
2. Apa faktor penyebab dari narapidana?
3. Bagaimana klasifikasi dari narapidana?
4. Apa masalah kesehatan pada narapidana?
5. Bagaimana penatalaksanaan gangguan jiwa pada narapidana?
6. Bagaimana asuhan keperawatan pada narapidana?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari narapidana
2. Untuk mengetahui faktor penyebab dari narapidana
3. Untuk mengetahui klasifikasi pada narapidana
4. Untuk mengetahui masalah kesehatan pada narapidana
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan gangguan jiwa pada narapidana
6. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada narapidana

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN
Narapidana adalah orang-orang sedang menjalani sanksi kurungan atau sanksi
lainnya, menurut perundang- undangan. Pengertian narapidana menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman
karena tindak pidana) atau terhukum.
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di
lembaga pemasyarakatan, yaitu seseorang yang dipidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum (UU No.12 Tahun 1995).
Narapidana yang diterima atau masuk kedalam lembaga pemasyarakatan maupun
rumah tahanan negara wajib dilapor yang prosesnya meliputi: pencatatan putusan
pengadilan, jati diri ,barang dan uang yang dibawa, pemeriksaan kesehatan,
pembuatan pasphoto, pengambilan sidik jari dan pembuatan berita acara serah terima
terpidana. Setiap narapidana mempunyai hak dan kewajiban yang sudah diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Narapidana yang ditahan dirutan dengan cara
tertentu menurut Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana
(KUHAP) pasal 1 dilakukan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
untuk disidangkan di pengadilan.Pihak-Pihak yang menahan adalah Penyidik,
Penuntut Umum, Hakim dan mahkamah agung. Pada pasal 21 KUHAP Penahanan
hanya dapat dilakukan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana termasuk
pencurian. Batas waktu penahanan bervariasi sejak ditahan sampai dengan 110 hari
sesuai kasus dan ketentuan yang berlaku.
2.2Etiologi
Faktor-faktor penyebab kejahatan sehingga sesorang menjadi narapidana
adalah:
a. Faktor ekonomi
Sistem Ekonomi baru dengan produksi besar-besaran, persaingan bebas,
menghidupkan konsumsi dengan jalan periklanan, cara 5 penjualan modern dan
lain-lain, yaitu menimbulkan keinginan untuk memiliki barang dan sekaligus
mempersiapkan suatu dasar untuk kesempatan melakukan penipuan-penipuan.
b. Pendapatan
Dalam keadaan krisis dengan banyak pengangguran dan gangguan ekonomi
nasional, upah para pekerja bukan lagi merupakan indeks keadaan ekonomi pada
umumnya. Maka dari itu perubahan-perubahan harga pasar (market fluctuations)
harus diperhatikan.
c. Pengangguran
Di antara faktor-faktor baik secara langsung atau tidak, mempengaruhi
terjadinya kriminalitas, terutama dalam waktu- waktu krisis, pengangguran
dianggap paling penting. Bekerja terlalu muda, tak ada pengharapan maju,
pengangguran berkala yang tetap, pengangguran biasa, berpindahnya pekerjaan
dari satu tempat ke tempat yang lain, perubahan gaji sehingga tidak mungkin
membuat anggaran belanja, kurangnya libur, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pengangguran adalah faktor yang paling penting.
d. Faktor Mental
1. Agama
Kepercayaan hanya dapat berlaku sebagai suatu anti krimogemis bila
dihubungkan dengan pengertian dan perasaan moral yang telah meresap
secara menyeluruh. Meskipun adanya faktor-faktor negatif , memang
merupakan fakta bahwa norma- norma etis yang secara teratur diajarkan oleh
bimbingan agama dan khususnya bersambung pada keyakinan keagamaan
yang sungguh, membangunkan secara khusus dorongan-dorongan yang kuat
untuk melawan kecenderungan-kecenderungan kriminal.
2. Bacaan dan film
Sering orang beranggapan bahwa bacaan jelek merupakan faktor
krimogenik yang kuat, mulai dengan roman-roman dari abad ke-18, lalu
dengan cerita-cerita dan gambar-gambar erotis dan pornografi, buku-buku
picisan lain dan akhirnya cerita- cerita detektif dengan penjahat sebagai
pahlawannya, penuh dengan kejadian berdarah. Pengaruh crimogenis yang
lebih langsung dari bacaan demikian ialah 6 gambaran suatu kejahatan
tertentu dapat berpengaruh langsung dan suatu cara teknis tertentu kemudian
dapat dipraktekkan oleh si pembaca. Harian- harian yang mengenai bacaan
dan kejahatan pada umumnya juga dapat berasal dari koran-koran. Di
samping bacaanbacaan tersebut di atas, film (termasuk TV) dianggap
menyebabkan pertumbuhan kriminalitas tertutama kenakalan remaja akhir-
akhir ini.
3. Faktor Pribadi
1. Umur
Meskipun umur penting sebagai faktor penyebab kejahatan, baik
secara yuridis maupun kriminal dan sampai suatu batas tertentu
berhubungan dengan faktor-faktor seks/kelamin dan bangsa, tapi faktor-
faktor tersebut pada akhirnya merupakan pengertian- pengertian netral
bagi kriminologi. Artinya hanya dalam kerjasamanya dengan faktor-faktor
lingkungan mereka baru memperoleh arti bagi kriminologi.
Kecenderungan untuk berbuat antisocial bertambah selama masih sekolah
dan memuncak antara umur 20 dan 25, menurun perlahanlahan sampai
umur 40, lalu meluncur dengan cepat untuk berhenti sama sekali pada hari
tua.
2. Alkohol
Dianggap faktor penting dalam mengakibatkan kriminalitas, seperti
pelanggaran lalu lintas, kejahatan dilakukan dengan kekerasan,
pengemisan, kejahatan seks, dan penimbulan pembakaran, walaupun
alcohol merupakan faktor yang kuat, masih juga merupakan tanda tanya,
sampai berapa jauh pengaruhnya.
3. Perang
Memang sebagai akibat perang dan karena keadaan lingkungan,
seringkali terjadi bahwa orang yang tadinya patuh terhadap hukum,
melakukan kriminalitas. Kesimpulannya yaitu sesudah perang, ada krisis-
krisis, perpindahan rakyat ke lain lingkungan, terjadi inflasi dan revolusi
ekonomi. Di samping kemungkinan orang jadi kasar karena perang,
kepemilikan senjata api menambah bahaya akan terjadinya perbuatan-
perbuatan kriminal.

2.3 Dasar Penggolongan Narapidana


Sifat pidana penjara dimaksudkan melukiskan watak masing-masing jenis pidana agar
dapat dibedakan antara pidana penjara dengan sifat pidana.

Urgensi Penggolongan Narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan misalnya pidana mati,


hukuman membayar bunga dan ganti rugi dalam utang piutang. Usaha untuk menyoroti
terhadap kedirian, peranan dan manfaat pidana penjara dimaksudkan untuk melukiskan agar
tida kehilangan sifat dasarnya sebagai suatu pidana sekalipun menerima pengaruh
perkembangan keadaan kriminologis dan sosiologis yang ada di sekitarnya, bahkan dari
pengaruh tersebut juga dapat mengarahkan perlakuannya agar memunyai hasil guna dan daya
guna bagi upaya ketertiban hukum serta kesejahteraan masyarakat.

Pidana penjara merupakan jenis sanksi pidana yang paling banyak ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan pidana selama ini. Dari seluruh ketentuan KUHP yang
memuat delik kejahatan yaitu sejumlah 587, pidana penjara tercantum di dalam 575
perumusan delik (kurang lebih 97,96 %), baik dirumuskan secara tunggal maupun
dirumuskan secara alternatif dengan jenis-jenis pidana lainnya. Hal ini membuktikan bahwa
pidana penjara masih merupakan salah satu sanksi yang menjadi primadona oleh perumus
undang-undang dalam setiap perumusan sanksi dalam peraturan perundang-undangan dengan
harapan bahwa hal itu dapat menimbulkan efek penjeraan. Bahkan pelaksanaan pidana
penjara tercermin dalam pembaharuan hukum pidana sebagaimana yang dikemukakan oleh
Bambang Poernomo.

Pertama, pidana tetap menjadi pidana dan berorientasi ke depan melalui usaha ke arah
pemasyarakatan, sehingga tidak hanya sekedar pidana perampasan kemerdekaan akan tetapi
mengandung upaya-upaya bersifat baru yang dirumuskan sepuluh butir prinsip
pemasyarakatan.

Kedua, pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan sebagai tujuan


harus memperahatikan aspek perbuatan melanggar hukum dan aspek manusianya sekaligus
menunjukkan dengan dasar teori pemidanaan, menganut asas pengimbangan atas perbuatan
dan sekaligus memperlakukan narapidana sebagai manusia sekalipun telah melanggar hukum.

Ketiga, pengembangan pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan


dengan segala kelemahannya, bukanlah untuk mencari jalan keluar dengan menghapus
pidana penjara dan perlakuan cara baru terhadap narapidana, disertai teknik dan metode
dalam rangka pembaharuan pidana yang bersifat universal.

Keempat, sistem pemasyarakatan sebagai proses melibatkan hubungan interrelasi,


interaksi dan integritas antara komponen petugas, penegak hukum yang menyelenggarakan
proses pembinaan, dan komponen masyarakat beserta budaya yang ada di sekitarnya dengan
segala potensinya untuk berperan serta membantu pembinaan sesuai dengan sepuluh prinsip
pemasyarakatan.

Kelima, pemasyarakatan sebagai metode mempunyai tata cara yang direncanakan


untuk menyelenggarakan pembinaan/bimbingan tertentu bagi kepentingan masyarakat dan
individu narapidana yang bersangkutan melalui upaya-upaya remisi, asimilasi, integrasi, cuti
prerelease treatment, lepas bersyarat, after care dan program pendidikan, latihan,
keterampilan yang realisasinya menjadi indikator dari pelaksanaan pidana penjara dengan
sistem pemasyarakatan.
Keenam, upaya pembinaan terpidana, berupa remisi dan cuti, seharusnya
dikembangkan lebih efektif, karena bukan sekedar pemberian kelonggaran pidana dengan
kemurahan hati, melainkan sebagai indikator awal pembaharuan harus dimanfaatkan
sedemikian rupa agar narapidana menyadari makna pembinaan melalui sistem
pemasyarakatan.

Ketujuh, pokok pikiran pembaharuan pidana penjara yang diterapkan dengan sistem
pemasyarakatan belum didukung oleh kekuatan hukum undang-undang.Pasal 12 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan menentukan bahwa dalam rangka
pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penggolongan atas
dasar :

a. umur

b. jenis kelamin

c. lama pidana yang dijatuhkan

d. jenis kejahatan; dan

e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

Dalam standar registrasi dan klasifikasi narapidana dan tahanan yang ditetapkan berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor: Pas- 170.Pk.01.01.02 Tahun 2015 tentang Standar Registrasi dan Klasifikasi
Narapidana dan Tahanan.

penggolongan narapidana berdasarkan umur terdiri atas:

a. Anak (12 s.d. 18 tahun)


b. Dewasa (diatas 18 tahun)
Penggolongan narapidana berdasarkan jenis kelamin, terdiri atas:
a. Wanita
b. Laki-laki
Penggolongan narapidana berdasarkan lama pidana, terdiri atas:
a. Pidana 1 hari sd 3 bulan ( Register B.II b )
b. Pidana 3 bulan sd 12 bulan 5 hari (1 tahun) (Register B.II a)
c. Pidana 12 bulan 5 hari (1 tahun keatas ) (Register B.I)
d. Pidana Seumur Hidup (Register Seumur Hidup)
e. Pidana Mati (Register Mati)
Penggolongan narapidana berdasarkan jenis kejahatan, terdiri atas:
a. Jenis kejahatan umum
b. Jenis kejahatan khusus

Penggolongan berdasarkan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau


perkembangan pembinaan. Rahmat Hi. Abdullah (hal. 54) dalam jurnalnya menjelaskan
bahwa adapun penggolongan narapidana sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 12 UU
12/1995 memang perlu, baik dilihat dari segi keamanan dan pembinaan serta menjaga
pengaruh negatif yang dapat berpengaruh terhadap narapidana lainnya. Jenis kejahatan juga
merupakan salah satu karakteristik ide individualisasi dalam pembinaan narapidana. Untuk
itu, di dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana haruslah dipisah-pisahkan
berdasarkan jenis kejahatannya, seperti narkotika, pencurian, penipuan, penggelapan,
pembunuhan, dan lain-lain. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan prisonisasi atas
narapidana.

Di Indonesia terdapat penggolongan lembaga pemasyarakatan, yaitu lapas umum dan


lapas khusus seperti Lapas Perempuan, Lapas Anak, Lapas Narkotika dan Lapas untuk tindak
pidana berat seperti yang ada di Nusakambangan Cilacap. Namun tidak di semua daerah di
Indonesia memunyai lapas-lapas khusus. Biasanya daerah yang tidak memunyai lapas khusus
contohnya untuk narapidana anak, maka akan dititipkan di lapas anak di daerah lain yang
paling dekat. Jadi seorang narapidana ditempatkan sesuai dengan penggolongan atas daras
umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan dan kriteria lainnya sesuai
dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. Artinya, seorang narapidana herus
ditempatkan dengan narapidana lainnya yang golongannya sama sebagaimana yang telah
ditentukan. Seperti halnya narapidana dengan jenis kejahatan berbeda tidak ditempatkan
dalam satu sel secara bersamaan.

Penempatan seorang tahanan pada prinsipnya jika dilihat dari aspek pengamanan
seperti yang telah disebutkan sebelumnya sangatlah berpengaruh terhadap privasi tahanan
tersebut, maka semakin longgar kesempatan yang diberikan pada suatu tahapan pengamanan
biasanya tahanan tersebut semakin berpengaruh di lingkungan tempat penahanannya.

2.4 Masalah Kesehatan Narapidana


a. Kesehatan Mental Menurut data dari Bureau of justice, 1999 kira-kira 285.000
tahanan dilembaga pemasyarakatan mengalami gangguan jiwa. Penyakit jiwa yang
sering dijumpai adalah skozofrenia, bipolar affective disorder dan personality
disorder. Karena banyak yang mengalami ganguan kesehatan jiwa maka pemerintah
harus menyediakan pelayanan kesehatan mental.
b. Kesehatan fisik Perawatan kesehatan yang paling penting adalah penyakit kronis dan
penyakit menular seperti HIV, Hepatitis dan Tuberculosis.
1. HIV
Angka kejadian HIV diantara para narapidana diperkiraan 6 kali lebih tinggi
daripada populasi umum. Tingginya angka infeksi HIV ini berkaian dengan
perilaku yang beresiko tinggi seperti penggunaan obat-obaan, sexual intercourse
yang tidak aman dan pemakaian tato. Pendekatan yang dilakukan utnuk menekan
angka kejadian yaitu dengan dilakukannya penegaan dan program pendidikan
kesehatan mengenai HIV dan AIDS.
2. Hepatitis
Hepatitis B dan C meningkat lebih tinggi dariopada populasi umum walaupun
data yang ada belum lengkap. Hal ini berkaitan dengan penggunaan obat-obat
lewat suntikan, tato, imigran dari daerah dengan insiden hepatitis B dan C tinggi.
National Commision on Correctional Healt Care (NCCHC) menyarankan agar
dilakukan skrining pada semua tahanan dan jika diindikasikan maka harus segera
diberikan pengobatan. NCCHC juga merekomendasikan pendidikan bagi semua
staf dan tahanan mengenai cara penyebaran, pencegahan, pengobatan dan
kemajuan penyakit.
3. Tuberculosis
Angka TB tiga kali lebih besar di LP dibanding populasi umum. Hal ini terkait
dengan kepadatan penjara dan ventilasi yang buruk, yang mempengaruhi
penyebaran penyakit. Pada tahun 196, lembaga yang menangani tuberculosis yaitu
CC merekomendasikan pencegahan dan pengontrolan TB di lembaga
pemasyarakatan yaitu:
1) Diadakannya skrining TB bagi semua staf dan tahanan
2) Diadakan penegahan transmisi penyakit dan diberikan pengobatan yang sesuai
3) Monitoring dan evaluasi skrining

2.5 Masalah Kejiwaan Narapidana


Narapidana yang terkucilkan dari masyarakat umum, akan mengalami berbagai
masalah kejiwaan narapidana kemungkinan akan muncul, diantaranya:
1) Harga Diri Rendah dan Konsep Diri yang Negative
a. Definisi
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri
yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negative terhadap diri sendiri atau
kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena
tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal diri (Keliat, 1998). Harga diri
rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang
negative, dapat secara langsung atau tidak langsung di ekspresikan. Seseorang
yang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang
bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa – apa, tidak
kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik
terhadap hidup. Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap
pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Akan ada dua
pihak yang bisa disalahkannya, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara negatif)
atau menyalahkan orang lain (Rini, J.F, 2002).
b. Konsep diri terdiri atas komponen-komponen berikut ini :
a. Citra Tubuh (Body Image) Citra tubuh (Body Image) adalah kumpulan dari sikap
individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya. Termasuk persepsi
masa lalu dan sekarang, serta perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan, dan
potensi. Yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan persepsi dan
pengalaman yang baru (Stuart & Sundeen, 1998).
b. Ideal Diri (Self Ideal) Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia
harus berperilaku sesuai dengan standar, aspirasi, tujuan atau nilai personal
tertentu (Stuart & Sundeen, 1998). Sering juga disebut bahwa ideal diri sama
dengan cita – cita, keinginan, harapan tentang diri sendiri.
c. Identitas Diri (Self Identifity) Identitas adalah pengorganisasian prinsip dari
kepribadian yang bertanggung jawab terhadap kesatuan, kesinambungan,
konsistensi, dan keunikkan individu (Stuart & Sundeen, 1998). Pembentukan
identitas dimulai pada masa bayi dan terus berlangsung sepanjang kehidupan tapi
merupakan tugas utama pada masa remaja.
d. Peran Diri (Self Role) Serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan
sosial berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok sosial. Peran
yang diterapkan adalah peran dimana seseorang tidak mempunyai pilihan. Peran
yang diterima adalah peran yang terpilih atau dipilih oleh individu (Stuart &
Sundeen, 1998).
e. Harga Diri (Self Esteem) Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai
personal yang diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang
sesuai dengan ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar
dalam penerimaan diri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan,
tetap merasa sebagai seorang yang penting dan berharga (Stuart & Sundeen,
1998).

2.6 Penatalaksanaan Narapidana


a. Psikoterapi
Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang
lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan
diri lagi karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik.
Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama.
(Maramis,2005,hal.231).
b. Keperawatan
Terapi aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu terapi aktivitas kelompok
stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi aktivitas
kelompok stimulasi realita dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (Keliat dan
Akemat,2005,hal.13). Dari empat jenis terapi aktivitas kelompok diatas yang paling
relevan dilakukan pada individu dengan gangguan konsep diri harga diri rendah
adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi.Terapi aktivitas kelompok (TAK)
stimulasi persepsi adalah terapi yang mengunakan aktivitas sebagai stimulasi dan
terkait dengan pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil
diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian
masalah.(Keliat dan Akemat,2005).
c. Terapi kerja
Terapi kerja atau terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan
partisipasi seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu yang telah ditetapkan. Terapi
ini berfokus pada pengenalan kemampuan yang masih ada pada seseorang,
pemeliharaan dan peningkatan bertujuan untuk membentuk seseorang agar mandiri,
tidak tergantung pada pertolongan orang lain (Riyadi dan Purwanto, 2009).
1. Terapi kerja pada narapidana laki laki
a. Pelatih binatang
Bekerja sebagai pelatih sekaligus merawat binatang- binatang
dianggap dapat membantu narapidana untuk mendapatkan terapi secara
psikologis dan menjadi lebih terlatih secara emosional. Binatang yang
dilatih tidak hanya binatang peliharaan, namun juga binatang yang
ditinggalkan atau dibuang oleh pemiliknya. Diharapkan nantinya binatang-
binatang ini juga dapat berguna di masyarakat, sama seperti narapidana
yang mendapatkan pelatihan untuk dapat diterima dan bekerja dengan
masyarakat lainnya.
b. Bidang kuliner
Dapur yang ada di penjara juga dapat dimanfaatkan sebagai pelatihan
memasak bagi para narapidana. Meskipun ada yang mendapatkan
pekerjaan sederhana seperti membuka kaleng, banyak pula yang
mendapatkan pelatihan memasak secara khusus, mulai dari membuat menu
hingga menyusun anggaran. Beberapa penjara juga bekerja sama dengan
restoran lokal untuk memberi pelatihan ini. Selain itu, dengan pekerja di
dapur, mereka tidak perlu banyak berinteraksi dengan masyarakat yang
mungkin memandang negative
c. Konseling
Meskipun Anda mungkin tidak berencana untuk berkonsultasi pada
mantan penjahat, namun di penjara, narapidana diberikan pengetahuan
mengenai rehabilitasi dan terapi konseling. Hal ini dikarenakan narapidana
memiliki pengalaman yang membuat mereka lebih mengerti mengenai
tindak kejahatan. Dengan pelatihan ini, mereka diharapkan untuk dapat
memberikan konseling dengan lebih baik kepada orang-orang yang
bermasalah berdasarkan pengalaman pribadi mereka serta pelatihan yang
mereka terima.
2. Terapi kerja pada anak
a. Keterampilan
Agar narapidana anak menjadi terampil dan juga sebagai bekal baginya
setelah kembali kemasyarakat nantinya, kepada mereka di berikan latihan
kerja. Pemberian latihan kerja ini dapat dilakukan oleh lembaga
pemasyarakatan sedangkan tempat penentuan kerja dan jenis pekerjaan
yang akan diberikan kepada narapidana ditetapkan oleh Tim Pengamat
Pemasyarakatan. Latihan kerja ini berupa latihan kerja di bidang pertanian,
Perkebunan, Pengelasan, Penjahitan dan lain sebagainya.
3. Terapi kerja pada narapidana perempuan
Program pembentukan perilaku wirausaha narapidana di Lapas IIB
Sleman dilaksanakan melalui pembinaan soft kill dan hard skill dengan
pendekatan perilaku wirusaha. Pembinaan soft skill yang dilaksanakan yaitu
pembinaan intelektual, pembinaan kerohanian dan pembinaan rekreatif.
Pembinaan hard skill yang dilaksanakan yaitu pembinaan keterampilan dan
kemandirian melalui bimbinQgan kerja.Ketrampilan khusus yang di latihkan
pada naraidana perempuan berupa ketrampilan hidup seperti pertukangan
kayu, kerajinan sapu, las listrik, batik tulis, kerajinan sangkar
burung,perkebunan, dan pembuatan souvenir
2.7Konsep Asuhan Keperawatan
I. Pengkajian
a. Identitas klien
1. Nama
2. Umur
3. Jenis kelamin
4. Tanggal dirawat
5. Tanggal pengkajian
6. Nomor rekam medis
II. Alasan Masuk

Tanyakan kepada klien / keluarga:

1. Apa yang menyebabkan klien / keluarga datang ke Rumah Sakit saat ini ?
2. Apa yang sudah dilakukan oleh keluarga mengatasi masalah ini ?
3. Bagaimana hasilnya ?
III. Faktor Predisposisi
1. Tanyakan kepada Klien / keluarga apakah klien pernah mengalami gangguan jiwa
dimasa lalu
2. Apabila ”YA” maka tanyakan bagaimana hasil pengobatan sebelumnya apakah
dapat beradaptasi di masyarakat tanpa gejala - gejala gangguan jiwa, atau dapat
beradaptasi tapi masih ada gejala - gejala sisa atau bahkan tidah ada kemajuan
atau gejala - gejala bertambah atau menetap
3. Tanyakan pada klien apakah klien pernah melakukakan atau mengalami atau
menyaksikan penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan. Dan juga
dikaji pasien menjadi korban, saksi atau pelaku dan juga dikaji pada usia berapa
kejadian itu terjadi
4. Tanyakan kepada klien / keluarga apakah ada anggota keluarga Iainnya yang
mengalami gangguan jiwa atau tidak , jika ada anggota keluarga lama yang
mengalami gangguan jiwa maka tanyakan bagaimana hubungan klien dengan
anggota keluarga tersebut. Tanyakan apa gejala yang dialami serta riwayat
pengobatan dan perawatan yang pernah diberikan pada anggota keluarga tersebut
5. Tanyakan kepada klien/keluarga tentang pengalaman yang tidak menyenangkan
(kegagalan, kehilangan/ perpisahan/ kematian, trauma selama tumbuh kembang)
Yang pernah dialami klien pada masa lalu.
IV. Fisik

Pengkajian fisik difokuskan pada sistem dan fungsi organ

1. Ukur dan observasi tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan
klien.
2. Ukur tinggi badan dan berat badan klien.
3. Tanyakan kepada klien/keluarga, apakah ada keluhan fisik yang dirasakan oleh
klien
4. Kaji Iebih lanjut sistem dan fungsi organ dan jelaskan sesuai dengan keluhan
yang ada..
V. Psikososial
1. Genogram
genogram minimal tiga generasi yang dapat menggambarkan hubungan
klien dan keluarga
2. Konsep diri
a. Gambaran diri
Tanyakan persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian tubuh yang disukai dan
tidak disukai.
b. Identitas diri, tanyakan tentang
Status dan posisi klien sebelum dirawat, Kepuasan klien terhadap status dan
posisinya (sekolah, tempat kerja, keompok), dan juga Kepuasan klien sebagai
laki-Iaki/perempuan.
c. Peran: Tanyakan,
a) Tugas/ peran yang diemban dalam keluarga/kelompok/ masyarakat
b) Kemampuan klien dalam melaksanakan tugas/ peran tersebut
c) Ideal diri : Tanyakan,
d) Harapan terhadap tubuh, posisi, status, tugas/peran.
e) Harapan klien terhadap lingkungan (keluarga, sekolah, tempat kerja,
masyarakat)
f) Harapan klien terhadap penyakitnya
d. Harga diri : Tanyakan,
a) Hubungan klien dengan orang lain sesuai dengan kondisi.
b) Penilaian/ penghargaan orang lain terhadap diri dan kehidupannya.
3. Hubungan sosial
a. Tanyakan pada klien siapa orang yang berarti dalam kehidupannya, tempat
mengadu, tempat bicara, minta bantuan atau sokongan.
b. Tanyakan pada klien kelompok apa saja yang diikuti dalarn masyarakat.
c. Tanyakan pada klien sejauh mana ia terlibat dalam kelompok dimasyarakat
4. Spiritual
a. Nilai dan keyakinan : Tanyakan tentang:
- Pandangan dan keyakinan, terhadap gangguan jiwa sesuai dengan norma
budaya dan agama yang dianut.
- Pandangan masyarakat setempat tentang gangguan jiwa.
b. Kegiatan ibadah : Tanyakan:
- Kegiatan ibadah dirumah secara individu dan kelompok.
- Pendapat klien/ keluarga tentang kegiatan ibadah.

VI. Status Mental


1. Penampilan.
Data ini didapatkan melalui hasil observasi perawat / keluarga

a. Penampilan tidak rapih jika dari ujung rambut sampai ujung kaki ada yang tidak
rapih. Misalnya : rambut acak-acakan, kancing baju tidak tepat, resleting tidak
dikunci, baju terbalik, baju tidak diganti-ganti.

b. Penggunaan pakaian tidak sesuai misalnya : pakaian dalam, dipakai diluar baju.
c. Cara berpakaian tidak seperti biasanya jika. penggunaan pakaian tidak tepat
(waktu, tempat, identitas, situasi/ kondisi).
d. Jelaskann hal-hal yang ditampilkan klien dan kondisi lain yang tidak tercantum.
2. Pembicaraan

Amati pembicaraan yang ditemukan pada klien, apakah cepat, keras, gagap,
membisu, apatis dan atau lambat Aktivitas motorik

3. Aktivitas motorik
a. Lesu, tegang, gelisah sudah jelas.
b. Agitasi = gerakan motorik yang menunjukkan kegelisahan
c. Tik = gerakan-gerakan kecil pada otot muka yang tidak terkontrol
d. Grimasen = gerakan otot muka yang berubah-ubah yang tidak dapat Dikontrol
klien.
e. Tremor = jari- jari yang tampak gemetar ketika klien menjulurka tangan dan
merentangkan jari-jari.
f. Kompulsif = kegiatan yang dilakukan berulang-ulang dan seperti berulang kali
mencuci tangan, mencuci muka, mandi, mengeringkan tangan dan sebagainya.
4. Alam perasaan.
Data ini didapatkan melalui hasil observasi perawat / keluarga.
a. Sedih, putus asa, gembira yang berlebihan sudah jelas
b. Ketakutan = objek yang ditakuti sudah jelas.
c. Khawatir = objeknya belum jelas.
5. Afek
Data ini didapatkan melalui hasil observasi perawat/keluarga.
a. Datar = tidak ada perubahan roman muka pada saat ada stimulus yang
menyenangkan atau menyedihkan.
b. Tumpul = hanya bereaksi bila ada stimulus emosi yang kuat.
c. Labil = emosi yang cepat berubah-ubah.
d. Tidak sesuai = emosi yang tidak sesuai atau bertentangan dengan stimulus yang
ada.
6. lnteraksi selama wawancara
Data ini didapatkan melalui hasil wawancara dan observasi perawat dan keluarga
a. Bermusuhan, tidak kooperatif, mudah tersinggung sudah jelas.
b. Kontak mata kurang - tidak mau menatap lawan bicara.
c. Defensif - selalu berusaha mempertahankan pendapat dan kebenaran dirinya.
d. Curiga - menunjukan sikap/ perasaan tidak percaya pada orang lain

7. Persepsi.
a. Jenis-jenis halusinasi sudah jelas, kecuali penghidu sama dengan penciuman.
b. Jelaskan isi halusinasi, frekuensi, gejala yang tampak pada saat klien
berhalusinasi.
8. Proses pikir
Data diperoleh dari observasi dan saat wawancara
a. Sirkumstansial : pembicaraan yang berbelit-belit tapi sampai pada tujuan
pembicaraan.
b. Tangensial : pembicaraan yang berbelit-belit tapi tidak sampai pada tujuan.
c. Kehilangan asosiasi : pembicaraan tak ada hubungan antara satu kalimat dengan
kalitnat lainnya, dan klien tidak menyadarinya.
d. Flight of ideas : pembicaraan.yang meloncat dari satu topik ke topik lainnya,
masih ada hubungan yang tidak logis dan tidak sampai pada tujuan.
e. Bloking : pembicaraan terhenti tiba-tiba tanpa gangguan eksternal kemudian
dilanjutkan kembali.
f. Perseverasi : pembicaraan yang diulang berkali-kali.
g. Jelaskan apa yang dikatakan oleh klien pada saat wawancara.
9. Isi pikir
a. Obsesi : pikiran yang selalu muncul walaupun klien berusaha menghilangkannya.
b. Phobia : ketakutan yang phatologis/ tidak logis terhadap objek/ situasi tertentu.

c. Hipokondria : keyakinan terhadap adanya gangguan organ dalam tubuh yang


sebenarnya tidak ada.
d. Depersonalisasi : perasaan klien yang asing terhadap diri sendiri, orang atau
lingkungan.
e. Ide yang terkait : keyakinan klien terhadap kejadian yang terjadi lingkungan yang
bermakna dan terkait pada dirinya.
f. Pikiran magis : keyakinan klien tentang kemampuannya melakukan hal-hal yang
mustahil/ diluar kemampuannya.
g. Waham.
a) Agama : keyakinan klien terhadap suatu agama secara berlebihan dan
diucapkan secara berulang tetapt tidak sesuai dengan kenyataan.
b) Somatik : klien mempunyai keyakinan tentang tubuhnya dan dikatakan secara
berulang yang tidak sesuai dengan kenyataan.
c) Kebesaran : klien mempunyai keyakinan yang berlebihan terhadap
kemampuannya yang disampaikan secara berulang yang tidak sesuai dengan
kenyataan.
Curiga : klien mempunyai keyakinan bahwa ada seseorang atau kelompok
yang berusaha merugikan atau mencederai dirinya yang disampaikan secara
berulang dan tidak sesuai dengan kenyataan.
d) Nihilistik : klien yakin bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/ meninggal
yang dinyatakan secara berulang yang tidak sesuai dengan kenyataan.
e) Sisip pikir : klien yakin ada ide pikiran orang lain yang disisipkan didalam
pikiran yang disampaikan secara berulang dan tidak sesuai dengan kenyataan.
f) siar pikir : klien yakin bahwa orang lain mengetahui apa yang dia pikirkan
walaupun dia tidak menyatakan kepada orang tersebut yang dinyatakan secara
berulang dan tidak sesuai dengan kenyataan.
g) Kontrol pikir : klien yakin pikirannya dikontrol oleh kekuatan dari luar.
10. Tingkat kesadaran
Data tentang bingung dan sedasi diperoleh melalui wawancara dan observasi,
stupor diperoleh melalui observasi, orientasi klien (waktu, tempat, orang) diperoleh
melalui wawancara
a. Bingung . tampak bingung dan kacau.
b. Sedasi : mengatakan merasa melayang-layang antara sadar/ tidak sadar.
c. Stupor : gangguan motorik seperti kekakuan, gcrakan-gerakan yang diulang,
anggota tubuh klien dapat dikatakan dalam sikap canggung dan dipertahankan
klien, tapi klien mengerti semua yang terjadi dilingkungan.
d. Orientasi waktu, tempat, orang jelas
e. Jelaskan data objektif dan subjektif yang terkait hal-hal diatas.
11. Memori
Data diperoleh melalui wawancara
a. Gangguan daya ingat jangka panjang : tidak dapat mengingat kejadian yang
terjadi lebih dari satu bulan
b. Gangguan daya ingat jangka pendek : tidak dapat mengingat kejadian yang terjadi
dalam minggu terakhir.
c. Gangguan daya ingat saat ini : tidak dapat mengingat kejadian yang baru saja
terjadi.
d. Konfabulasi : pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan dengan memasukan
cerita yang tidak benar untuk menutupi gangguan daya ingatnya.
12. Tingkat konsentrasi dan berhitung
Data diperoleh melalui wawancara :

a. Mudah dialihkan : perhatian klien mudah berganti dari satu objek ke objek lain.
b. Tidak mampu berkonsentrasi : klien selalu minta agar pertanyaan diulang/ tidak
dapat menjelaskan kembali pembicaraan.
c. Tidak mampu berhitung : tidak dapat melakukan penambahan/ pengurangan pada
benda-benda nyata.
13. Kemampuan penilaian
a. Gangguan kemampuan penilaian ringan: dapat mengambil keputusan yang
sederhana dengan bantuan orang lain. Contoh : berikan kesempatan pada klien
untuk memilih mandi dulu sebelum makan atau makan dulu sebelum mandi. Jika
diberi penjelasan, klien dapat mengambil keputusan.
b. Gangguan kemampuan penilaian bermakna : tidak mampu mengambil keputusan
walaupun dibantu orang lain. Contoh : berikan kesempatan pada klien untuk
memilih mandi dulu sebelum makan atau makan dulu sebelum mandi. Jika diberi
penjelasan klien masih tidak mampu mengambil keputusan.
14. Daya tilik diri
Data diperoleh melalui wawancara
a. Mengingkari penyakit yang diderita : tidak menyadari gejala penyakit (perubahan
fisik, emosi) pada dirinya dan merasa tidak perlu pertolongan
b. Menyalahkan hal-hal diluar dirinya : menyalahkan orang lain/ lingkungan yang
menyebabkan kondisi saat orang lain/ lingkungan yang menyebabkan kondisi saat
ini.
VII. Kebutuhan Persiapan Pulang
1. Makan
a. Observasi dan tanyakan tentang frekuensi, jumlah, variasi, macam (suka/ tidak
suka/ pantang) dan cara makan.
b. Observasi kemampuan klien dalam menyiapkan dan membersihkan alat makan.
2. BAB/BAK,
Observasi kemampuan klien untuk BAB / BAK.
a. Pergi, menggunakan dan membersihkan WC
b. Membersihkan diri dan merapikan pakaian
3. Mandi
a. Observasi dan tanyakan tentang frekuensi, cara mandi, menyikat gigi, cuci
rambut, gunting kuku, cukur (kumis, jenggot dan rambut)
b. Observasi kebersihan tubuh dan bau badan.
4. Berpakaian
a. Observasi kemampuan klien dalam mengambil, memilih dan mengenakan pakaian
dan alas kaki.
b. Observasi penampilan dandanan klien.
c. Tanyakan dan observasi frekuensi ganti pakaian.
d. Nilai kemampuan yang harus dimiliki klien: mengambil, memilih dan
mengenakan pakaian.
5. lstirahat dan tidur
Observasi dan tanyakan tentang:
a. Lama dan waktu tidur siang / tidur malam
b. Persiapan sebelum tidur seperti: menyikat gigi, cuci kaki dan berdoa.
c. Kegiatan sesudah tidur, seperti: merapikan tempat tidur, mandi/ cuci muka dan
menyikat gigi.
6. Penggunaan obat
Observasi dan tanyakan kepada klien dan keluarga tentang :
a. Penagunaan obat: frekuensi, jenis, dosis, waktu dan cara.
b. Reaksi obat.
7. Pemeliharaan kesehatan
Tanyakan kepada klien dan keluarga tentang :
a. Apa, bagaimana, kapan dan kemana, perawatan dan pengobatan lanjut.
b. Siapa saja sistem pendukung yang dimiliki (keluarga, teman, institusi dan lembaga
pelayanan kesehatan) dan cara penggunaannya.
8. Kegiatan di dalam rumah
Tanyakan kemampuan klien dalam :
a. Merencanakan, mengolah dan menyajikan makanan
a) Merapikan rumah (kamar tidur, dapur, menyapu, mengepel).
b) Mencuci pakaian sendiri

b. Mengatur kebutuhan biaya sehari-hari


9. Kegiatan di luar rumah
Tanyakan kemampuan klien
a. Belanja untuk keperluan sehari-hari
b. Dalam melakukan perjalanan mandiri dengan jalan kaki, menggunakan kendaraan
pribadi, kendaraan umum)
c. Kegiatan lain yang dilakukan klien di luar rumah (bayar listrik/ telpon/ air, kantor
pos dan bank).
VIII. Mekanisme Koping

Data didapat melalui wawancara pada klien atau keluarganya. koping yang
dimiliki klien, baik adaptif maupun maladaptif.

IX. Masalah Psikososial dan Lingkungan

Data didapatkan melalui wawancara pada kilen atau keluarganya. Pada tiap
masalah yang dimiliki klien beri uraian spesifik, singkat dan jelas.

X. Pengetahun

Data didapatkan melalui wawancara pada klien. Pada tiap item yang dimiliki oleh
klien simpulkan dalam masalah.

XI. Aspek Medik

Tuliskan diagnosa medik klien yang telah dirumuskan oleh dokter yang merawat.
Tuliskan obat-obatan klien saat ini, baik obat fisik, psikofarmaka dan terapi lain.

1. Analisi hasil
2. Pohon masalah
3. Diagnosa keperawatan
XII. Diagnosa yang muncul pada narapidana
1. Perilaku kekerasan
a. Pengertian
Beresiko membahayakan secara fisik, emosi dan/atau seksual pada diri
sendiri atau orang lain.
b. Faktor resiko
- Curiga pada orang lain
- Halusinasi
- Disfungsi system keluarga
- Kerusakan kognitif
- Kerusakan kontrol impuls
- Lingkungan tidak teratur
- Ilusi
c. Kondisi klinis terkait
- Penganiayaan fisik, psikologis atau seksual
- Abnormalitas neurotransmitter otak
2. Gangguan interaksi sosial
a. Pengertian
Kuantitas dan/atau kualitas huungan sosial yang kurang atau berlebih
b. Faktor resiko
- Hambatan perkembangan/maturase
- Ketiadaan orang terdekat
- Disfungsi system keluarga
- Ketidakteraturan atau kekacauan lingkungan
- Hubungan orang tua-anak tidak memuasakan
- Perilaku menentang
- Perilaku agresif
c. Kondisi klinis terkait
- Gangguan uatistik
- Ganggaun perilaku
- Sindrom down

3. Keputusasaan
a. Pengertian
Kondisi individu yang memandang adanya keterbatasan atau tidak
tersedianya alternative pemecahan pada masalah yang dihadapi
b. Faktor resiko
- Stress jangka panjang
- Kehilangan kepercayaan pada kekuatan spiritual
- Kehilangan kepercayaan pada nilai-nilai penting
- Pembatasan aktivitas jangka panjang
- Pengasingan
c. Kondisi klinis terkait
-
4. Harga diri rendah situasional
a. Pengertian
Evaluasi atau perasaan negative terhadap diri sendiri atau kemampuan
klien sebagai respon terhadap situasi saat ini
b. Faktor resiko
- Perubahan peran sosial
- Kegagalan hidup berulang
- Riwayat kehilangan
- Riwayat penolakan
- Transisi perkembangan
c. Kondisi klinis terkait
- Penyalahgunaan zat
- Pengalaman tidak menyenangkan
XIII. Intrevensi dari diagnosa narapidana
1. perilaku kekerasan
- monitor perubahan status keselamatan lingkungan
- hilangkan bahaya keselamatan lingkunan (mis. Fisik,biologis,kimia)
- modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya
- sediakan alat bantu keamanan lingkungan (mis. Pegangan tangan)
- hubungi pihak berwenang sesuai masalah komunitas(mis. Polisi, bnn,dll)
- lakukan program skrining bahaya lingkungan
2. gangguan interaksi sosial
- Motivasi kesabaran dalam mengembangkan suatu hubungan
- Motivasi berpartisipasi dalam aktivitas baru dan kegiatan kelompok
- Diskusikan perencanaan kegiatan dimaasa depan
- Berikan umpan balik positif dalam perawatan dirianjurkan ikut serta dalam kegiatan
sosial dan kemasyarakatan
- Anjurkan berbagi pengalamn dengan orang lain
- Anjurkan meningkatkan kejujuran siri dan menghormati hak orang lain
- Latih bermain peran untuk meningkatkan keterampilan komunikasi
- Latih mengekspresikan marah dengan tepat
3. Keputusasaan
- Identifikasi fungsi marah, frustasi, dan amuk bagi pasien
- Identifikasi hal yang memicu pasien emosi
- Fasilitasi mengungkapkan perasaan, cemas, marah, atau sedih
- Lakukan sentuhan untuk memberikan dukungan
- Tetap bersama pasien dan pastikan keamanan pasien selaama ansietas, jika perlu
- Jelaskan konsekuensi tidak menghadapi rasa bersalah dan malu
- Anjurkan mengungkapkann pengalaman emosiaonal sebelumnya dan pola respon
yang biasa digunakan
- Ajarkan mekanisme pertahan yang tepat
4. Harga diri rendah situasional
- Identifikasi harapan untuk mengendalikan perilaku
- Diskusikan tanggung jawab terhadap perilaku
- Jadwalkan kegiatan terstruktur
- Ciptakan dan pertahankan lingkungan dan kegiatan perawatan konsisten setiap dinas
- Tingkatkan aktivitas fisik sesuai kemampuan
- Cegah perilaku pasif dan agresif
- Beri penguatan positif terhadap keberhasilan mengendalikan perilaku
- Lakungan pengekangan fisik sesuai indikasi
- Hindari bersikap menyudutkan dan menghentikan pembicaraan
- Hindari sikap mengancam dan berdebat
- Hindari berdebat atau menwar batas perilaku yang telah ditetapkan
- Informasikan keluarga bahwa keluarga sebagai dasar pembentukan kognitif

BAB III

Penutup

A. Kesimpulan
Narapidana adalah orang yang sedang menjalankan pidana atau hukuman
dalam penjara (lembaga pemasyarakatan). Lembaga pemasyarakatan merupakan suatu
elemen berinteraksi membentuk satu kesatuan yang integral, berbentuk konsepsi
tentang perlakuan terhadap orang yang melanggar hukum pidana diatas dasar
pemikiran rehabilitas, resosialisasi yang berisi unsur edukatif, korelatif, dan defensive
yang beraspek pada individu dan sosial. Lembaga pemasyarakatan adalah tempat
stressfull atau menekan, dimana narapidana mengalami pidana secara fisik dan pidana
secara psikologis, seperti hilangnya kebebasan individu, kasih sayang dari anak,
pasangan, ataupun orangtua. Dampak fisik dan psikologis yang dialami oleh
narapidana dapat membuat narapidana merasakan perasaan tidak berharga, tidak
bermakna (meaningless) yang ditandai dengan perasaan hampa, gersang, bosan, dan
penuh dengan keputusasaan.
B. Saran
Saya mengharapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita, menambah
ilmu pengetahuan, Serta wawasan bagi para pembacanya Khususnya Mahasiswa
keperawatan, namun saya menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka saya
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi memperbaiki makalah
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai