Anda di halaman 1dari 16

KULTUR BIJI KACANG PANJANG (Vigna unguiculata), INDUKSI KALUS, DAN

INDUKSI TUNAS KACANG BUNCIS (Phaseolus vulgaris)

Tujuan:

1. Mengetahui prosedur kultur biji kacang panjang secara in vitro pada media MS 0.
2. Mengetahui cara menghasilkan kalus dari organ tumbuhan (eksplan) yang
ditumbuhkan pada media CIM (MS 0 + 1 ppm 2,4 D).
3. Memperoleh tanaman secara vegetatif (tunas) dengan sifat sama seperti induknya
yang ditumbuhkan pada media SIM (MS 0 + 2 ppm BAP).

2. KAJIAN TEORI

2.1 Kultur In Vitro

Tasya

2.2 Eksplan

Eksplan untuk kultur kalus dapat berasal dari tanaman, baik yang ditanam secara
konvensional (in vivo) maupun in vitro. Eksplan yang ditanam secara in vitro memiliki
kelemahan karena membutuhkan teknik sterilisasi yang lebih sulit. Untuk mengurangi tingkat
kegagalan kultur kalus karena kontaminasi, banyak peneliti menggunakan eksplan dari
tanaman yang ditanam secara in vitro. Eksplan tersebut umumnya diperoleh dengan
mengecambahkan biji (Anggraeni, 2016: 31).

Eksplan ditanam pada media tanam steril yang mengandung nutrisi. Adanya senyawa
fenol pada jaringan tanaman, seringkali menyebabkan eksplan berubah warna menjadi coklat
dan diakhiri dengan kematian jaringan eksplan. Warna coklat disebabkan oleh peran enzim
polyfenoloksidase yang mengoksidasi senyawa fenol yang keluar dari irisan eksplan.
Senyawa fenol merupakan metabolit sekunder dan tersimpan dalam vakuola sel tanamn.
Ketika eksplan diiris, vakuola pecah sehingga terjadi eksudasi senyawa fenol dan teroksidasi.
Istilah pencoklatan eksplan ini disebut browning. Efek oksidasi senyawa fenol ini juga bisa
menyebabkan pencoklatan pada media kultur. Istilah pencoklatan pada media ini pada
beberapa literatur disebut dengan istilah staining, namun kebanyakan masih menggunakan
istilah browning. Eksplan yang masih hijau pada media yang mengalami browning harus
dipindah ke media baru (Dwiyani, 2015: 3).

Pemindahan kultur ke media baru disebut dengan istilah subkultur. Ada beberapa
alasan dilakukannya subkultur selain pencoklatan media, diantaranya adalah: media
terkontaminasi oleh mikroorganisme, namun eksplan masih sehat; media kultur mengering;
populasi kultur sudah terlalu padat; dilakukannya pengakaran (rooting) sehingga harus
disubkultur ke ‘media induksi akar’. Eksplan yang ditanam akan membentuk bentukan baru
sebelum menjadi plantlet. Bentukan baru yang terbentuk setelah eksplan ditanam pada media
kultur disebut propagul. Propagul dapat berupa kalus, organ (tunas, akar) ataupun embrio
somatik (Dwiyani, 2015: 4).

2.3 Induksi Kalus

Kalus adalah kumpulan sel yang tidak terorganisir. Kalus terbentuk apabila eksplan
ditanam pada media yang ditambah dengan zat pengatur tumbuh (ZPT) untuk menginduksi
kalus, misalnya ZPT golongan sitokinin dan auksin dengan konsentrasi yang sama atau ZPT
2,4-Dichloropenoxy acetic acid (2,4-D). Istilah dediferensiasi diberikan untuk eksplan berupa
organ tanaman yang sudah terdiferensiasi seperti daun, batang, tunas, akar yang membentuk
kalus. Organ tanaman tersebut yang sel-selnya sudah terdiferensiasi dikembalikan lagi
menjadi tidak terdiferensiasi. Jika nanti kalus-kalus ini kembali membentuk tunas, disebut
mengalami rediferensiasi (Dwiyani, 2015: 4).

Dalam menginduksi kalus, sebaiknya dilakukan dengan banyak ulangan karena laju
pertumbuhan dan struktur kalus dapat bervariasi pada suatu spesies meskipun pada ulangan
yang berada pada media yang sama. Media yang digunakan juga dapat berupa media solid
atau media cair. Kalus yang friable (remah) lebih mudah untuk memperbanyak diri daripada
kalus yang terlalu padat. Banyak eksplan yang dapat digunakan untuk induksi kalus. Eksplan
tersebut dapat berasal dari akar, batang, daun, bunga, maupun polen. Asal eksplan akan
menentukan pertumbuhan kalus karena memerlukan proses pembelahan sel yang tidak akan
terdiferensiasi menjadi organ (Henuhili dkk, 2019: 14).

Hormon tumbuhan atau zat pengatur tumbuh yang ditambahkan di dalam media untuk
menginduksi kalus sangat bervariasi tergantung genotipe eksplan yang digunakan serta
hormon yang sudah ada di dalam tanaman induk (endogeneous hormone). Kalus dapat
diinduksi dengan penambahan hanya auksin, hanya sitokinin, atau campuran auksin dan
sitokinin dalam perbandingan tertentu. Selain tekstur kalus yang dapat berbeda (padat atau
remah), sifat lain seperti warna dan kemampuan untuk menyebar di dalam media cair juga
menentukan keberhasilan kultur kalus. Untuk produksi kalus dalam jumlah banyak biasanya
digunakan media cair karena beberapa alasan. Kalus pada media padat hanya bersentuhan
dengan permukaan media yang lebih sedikit daripada jika berada dalam media cair. Jika
dalam media cair, maka kalus dapat menyerap lebih banyak nutrisi dan pertukaran gas juga
lebih lancar dengan media cair (Henuhili dkk, 2019: 14-15).

Eksplan ditanam pada media padat CIM (dengan 2,4-D) untuk induksi kalus. Kalus
yang terbentuk selanjutnya di sub-kultur ke kultur cair atau kultur suspensi (suspension
culture) tanpa hormon untuk membentuk kultur sel. Kultur suspensi ini terus disubkultur
untuk pembentukan embrio. Dari kultur sel cair ini akhirnya terbentuk ’embrioid’, yaitu suatu
struktur yang menyerupai embrio. Selanjutnya struktur embrioid berkembang menjadi embrio
melalui fase ’globular’, ’hati’ dan ’torpedo’. Embrio muda ini dipindah ke media padat,
mengalami ’maturation’ membentuk ’mature embryos’ . Untuk pematangan embrio ini, pada
media ditambahkan Asam absisik (Abcissic Acid / ABA). ABA diketahui berperan dalam
pembentukan embrio normal. Embrio somatik yang sudah masak ini akhirnya berkecambah
membentuk tunas dan akar (plantlet) (Dwiyani, 2015).

2.4 Induksi Tunas

Tasya

2.5 Kacang panjang

Tasya

2.6 Kacang Buncis

Phaseolus vulgaris, juga dikenal sebagai kacang buncis adalah tanaman tahunan
herba yang ditanam di seluruh dunia untuk biji keringnya yang dapat dimakan atau buah
mentah (keduanya biasa disebut kacang). Kategori utama dari kacang umum, berdasarkan
penggunaan, adalah kacang kering (biji dipanen pada saat jatuh tempo lengkap), buncis (pod
lunak dengan serat berkurang dipanen sebelum fase pengembangan benih) dan biji (kulit
kerang) dipanen (biji dipanen secara fisiologis). kematangan). Daunnya juga sesekali
digunakan sebagai sayuran dan sedotan sebagai pakan ternak. Klasifikasi botani, bersama
dengan spesies Phaseolus lainnya, adalah sebagai anggota famili legum Fabaceae, yang
sebagian besar anggotanya memperoleh nitrogen yang mereka butuhkan melalui hubungan
dengan rhizobia, spesies bakteri pengikat nitrogen (Gentry, 1969).

Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae
Genus : Phaseolus

Species : Phaseolus vulgaris


Linnaeus

 
Mirip dengan kacang-kacangan lainnya, kacang buncis mengandung tinggi pati,
protein, dan serat makanan, dan merupakan sumber zat besi, kalium, selenium, molibdenum,
tiamin, vitamin B6, dan folat yang sangat baik. Kacang buncis kering akan disimpan tanpa
batas waktu jika disimpan di tempat yang sejuk dan kering, tetapi seiring berjalannya waktu,
nilai gizi dan rasanya menurun dan waktu memasaknya semakin lama (Escribano et
al.,1998).

Kacang buncis adalah spesies yang sangat bervariasi dengan sejarah panjang. Varietas
semak membentuk semak tegak setinggi 20–60 cm (8-20 in), sedangkan varietas tiang atau
berlari membentuk tanaman merambat 2–3 m (7-10 kaki). Semua varietas memiliki daun
bergantian, hijau atau ungu, yang dibagi menjadi tiga selebaran oval, bermata halus, masing-
masing panjangnya 6–15 cm (2-6 in) dan 3–11 cm (1–4 in). Bunga putih, merah muda, atau
ungu memiliki panjang sekitar 1 cm, dan memberi jalan panjang 8-20 cm (3–8 in) dan lebar
1–1.5 cm. Ini mungkin berwarna hijau, kuning, hitam, atau ungu, masing-masing
mengandung 4-6 biji. Kacang ini halus, padat, berbentuk ginjal, panjangnya hingga 1,5 cm,
warnanya luas, dan sering berbintik-bintik dalam dua atau lebih warna (Hidalgo, 1999).

Sesuai namanya, buncis mudah patah saat buahnya dibengkokkan, mengeluarkan


bunyi jepret yang terdengar jelas. Buah polong (warna hijau, kuning dan ungu) dipanen
ketika mereka tumbuh dengan cepat, berdaging, lunak (tidak keras dan berserat), berwarna
cerah, dan bijinya kecil dan kurang berkembang (8 hingga 10 hari setelah berbunga). Kacang
mentah atau setengah matang mengandung protein beracun yang disebut
phytohaemagglutinin (Bad Bug Book, 2017).

2.7 MS 0 (Murashige and Skoog Medium)

Pemberian nutrisi dalam jumlah dan perbandingan yang sesuai pada media in vitro
sangat diperlukan untuk menghasilkan planlet sesuai yang diinginkan. Medium kultur
jaringan yang terdiri dari unsur-unsur hara esensial makro maupun mikro, gula dan zat-zat
organik, seperti vitamin dan hormon. Susunan zat-zat tersebut di dalam medium kultur
jaringan bervariasi tergantung dari tujuan penggunaan media tersebut dalam kultur jaringan
dan bahan yang akan dipakai. Salah satu medium yang banyak dipakai, terutama untuk
tanaman-tanaman herba adalah medium dasar Murashige dan Skoog (medium MS). Media
MS mengandung konsentrasi garam mineral yang tinggi dan senyawa N dalam bentuk NO 3-
dan NH4+ . Konsentrasi sukrosa dan agar yang ditambahkan di dalam media juga akan
bervariasi tergantung kebutuhan eksplan. Untuk satu liter media MS biasanya digunakan 30
gram sukrose dan 8 gram agar. Konsentrasi agar dapat bervariasi tergantung media yang
diinginkan berupa media padat (solid), semi-solid atau cair (Henuhili dkk, 2019: 5).

Media Murashige dan Skoog (atau MSO atau MS0 (MS-zero)) adalah media
pertumbuhan tanaman yang digunakan di laboratorium untuk budidaya kultur sel tanaman.
MSO ditemukan oleh ilmuwan tanaman Toshio Murashige dan Folke K. Skoog pada tahun
1962 selama pencarian Murashige untuk regulator pertumbuhan tanaman baru. Sejumlah di
belakang huruf MS digunakan untuk menunjukkan konsentrasi sukrosa media. Sebagai
contoh, MS0 tidak mengandung sukrosa dan MS20 mengandung sukrosa 20 g / l. Bersamaan
dengan modifikasinya, ini adalah media yang paling umum digunakan dalam percobaan
kultur jaringan tanaman di laboratorium (Trigiano and Gray, 2010: 186).
2.8 CIM (Callus Induction Medium)

Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk menginduksi pembentukan kalus
adalah auksin. Rasio perbandingan yang sama antara sitokinin dan auksin juga dapat
menginduksi kalus. Diatara golongan auksin yang umum digunakan pada media kultur
jaringan adalah 2,4-dichlorophenoxy Acetic Acid (2,4-D) dan Indole Acetic Acid (IAA).
Dibanding dengan IAA, 2,4-D memiliki sifat lebih stabil karena tidak mudah terurai oleh
enzim-enzim yang dikeluarkan oleh sel tanaman ataupun oleh pemanasan pada proses
sterilisasi (Bustami, 2011: 138). Berdasarkan penelitian, penambahan 2,4-D pada media MS
padat dapat menstimulasi pembentukan kalus pada eksplan daun tebu.

2,4 D merupakan jenis dari auksin sintetik yang banyak ditambakan ke dalam medium
kultur jaringan. 2,4 D merupakan senyawa sintetis yang dapat digunakan sebagai alat
pengatur tumbuh maupun sebagai herbisida. Pemberian 2,4 D dalam jumlah kecil dapat
memberikan respon pertumbuhan tapi jika diberikan dalam jumlah yang banyak dapat
berfungsi sebagai herbisida yang menyebabkan kematian pada jaringan (Hendaryono dan
Wijayani, 1994).

2.9 SIM (Shoot Induction Medium)

Tasya
PEMBAHASAN

Kultur jaringan  adalah teknik menumbuhkan dan memperbanyak sel, jaringan dan
organ pada media pertumbuhan secara aseptik dalam lingkungan yang terkontrol secara
in vitro. Teknik kultur jaringan mengisolasi, sel, protoplasma, jaringan, dan organ dan
menumbuhkan bagian tersebut pada nutrisi yang mengandung zat pengatur tumbuh
tanaman pada kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri
dan beregenerasi menjadi individu baru. Prinsip utama dari kultur jaringan ini adalah
perbanyakan tanaman dengan memakai bagian vegetatif tanaman yang menggunakan
media buatan dan dilakukan dalam tempat yang steril. Berbeda dari teknik untuk
memperbanyak tanaman secara konvensional, teknik kultur jaringan merupakan teknik
yang dilakukan dalam kondisi aseptik di dalam sebuah botol kultur dengan medium serta
pada kondisi tertentu. Dikatakan in vitro yang merupakan kata dari bahasa Latin yang
berarti “didalam kaca”. Di dalam kaca berarti jaringan dibiakkan di dalam tabung  kaca, 
botol kaca,  cawan Petri,  atau material tembus pandang lainnya (Anitasari dkk, 2018).
Pada praktikum yang telah dilakukan, terdapat tiga sesi kegiatan, yaitu kultur biji
kacang panjang dengan media MS 0, induksi kalus batang kacang panjang dengan media
CIM, dan induksi tunas batang kacang panjang dengan media SIM.

A. Kultur Biji Kacang Panjang secara In Vitro dengan media MS 0


Kegiatan penanaman biji dilaksanakan pada Rabu, 19 Februari 2020. Penanaman biji
dimulai dengan sterilisasi biji terlebih dahulu. Biji disterilisasi secara bertahap dengan
sabun, klorox (pemutih), fungisida, alkohol, serta dibilas dengan aquades steril. Sterilisasi
biji dilakukan dengan aseptik di LAF supaya meminimalisir peluang kontaminasi pada
media maupun biji kacang karena saat ini adalah kesempatan media dan biji kacang dapat
berkontak dengan lingkungan luar. Sterilisasi dilakukan dengan menggojog biji dalam
botol jam, hal itu agar biji benar-benar terlepas dari semua kotoran yang menempel pada
kulitnya. Penggojogan biji dilakukan di dekat api spiritus agar meminimalisir mikroba
yang akan masuk ke botol. Peletakan biji pada media diatur agak berjauhan agar biji tidak
terlalu berdekatan supaya memperkecil peluang berebut nutrisi dari media. Biji ditanam
di media MS 0 , diinkubasi pada lingkungan yang stabil intensitas cahaya dan suhunya,
yaitu di ruangan dengan lampu yang selalu menyala dilengkapi AC sehingga suhu
berkisar antara 24-26°C.
Tumbuh
akar

Hari kedua setelah dikultur (ulangan 1 tumbuh akar, ulangan 2 belum tumbuh)

Hari ketujuh setelah dikultur (ulangan 1 tumbuh tanaman, ulangan 2 tidak tumbuh)

Hari kedua puluh satu setelah dikultur (terjadi kontaminasi pada media)

Tahap awal kultur in vitro yang memiliki peranan penting dalam keberhasilan kultur
tersebut adalah sterilisasi bahan tanaman atau eksplan agar terbebas dari kontaminasi.
Sterilisasi merupakan penghancuran atau pemusnahan terhadap semua kontaminan. Hal
yang terpenting dalam sterilisasi adalah mengkombinasikan antara usaha untuk
mendapatkan eksplan yang steril dan menjaga agar jaringan eksplan tidak rusak akibat
tingginya konsentrasi desinfektan (Pancaningtyas, 2011: 5).
Sterilisasi dapat dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan deterjen dan alkohol
70%. Deterjen adalah bahan sterilan yang digunakan untuk menghilangkan lapisan lilin
yang melekat di permukaan eksplan dan menghilangkan sebagian mikroba yang melekat.
Alkohol merupakan denaturan protein, suatu sifat yang memberikan aktivitas
antimikrobial pada alkohol. Alkohol yang umum dipakai untuk sterilisasi adalah alkohol
konsentrasi 70% karena efektif memecah protein yang ada di dalam mikroorganisme.

Alkohol 70% merupakan larutan untuk sterilisasi yang bekerja secara kimia.
Kelebihan alkohol 70% adalah sifatnya stabil, ideal untuk kulit, tidak merusak
material, dan dapat mengalami biodegradasi, sedangkan kelemahannya
adalah cepat menguap dan berbahaya jika dekat dengan api (Adji, 2007: 2).
Metoda fisik sterilisasi objek kultur meliputi: (1) Perlakuan objek dengan kondisi
kering selama 3 - 4 minggu sebelum pekerjaan kultur jaringan dimulai; (2) Pada awal
pekerjaan, tanaman dibersihkan secara menyeluruh dan bagian-bagian yang tidak akan
dikulturkan dibuang. Pembersihan dapat meliputi pencucian, penyikatan, dan bahkan
dipotong untuk membuang semua partikel tanah dan daun-daun yang mati. Pembersihan
juga meliputi pemotongan sebagian besar daun, karena dalam beberapa hal, daun-daun
bukan merupakan bagian dari kultur; (3) Bahan tanaman selanjutnya dicuci dengan air
mengalir selama 20 menit sampai beberapa jam, tergantung pada asal-usul bahan
tanaman. Hal ini dapat merupakan pencucian jutaan mikroba di bawah keran air (Taji et
al., 2006: 43).
Metode kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan larutan natrium hipoklorit
(NaOCl). Kebanyakan laboratorium menggunakan pemutih (atau detergen) yang banyak
dipakai di rumah tangga seperti Bayclin. Oleh karena terjadi disosiasi menyeluruh,
hipoklorit memiliki aktifitas yang relatif rendah pada pH di atas 8,0, dan jauh lebih aktif
bila pH larutan ditetapkan kira-kira 6,0 (Behagel, 1971). Untuk meningkatkan laju
keberhasilan penggunaan klorin, dapat ditempuh langkah-langkah berikut: (1)
Tambahkan deterjen ke dalam larutan klorin; (2) Berikan tekanan rendah selama
perlakuan klorin. Hal ini dapat dilakukan menggunakan desikator vakum yang
dihubungkan ke pompa air atau pompa jenis lain; (3) Kocok larutan klorin baik secara
manual maupun menggunakan penggojok (shaker) selama waktu disinfestasi. Ketiga
teknik tersebut meningkatkan kontak antara bahan tanaman dengan larutan klorin.
Lamanya perlakuan dengan larutan klorin bervariasi menurut jenis dan kepekaan bahan
tanaman (Taji et al., 2006: 44).
Pencucian biji dilakukan juga dengan menggojagnya dalam fungisida. Pencucian

benih dengan fungisida berujuan sebagai penyuci hama benih (seed


strelilant), dengan membersihkan benih agar tidak terkontaminasi oleh spora
jamur dll yang mungkin dibawanya.
Pada praktikum yang dilakukan, tidak satupun individu kacang panjang
kelompok 2 yang dapat dijadikan eksplan, karena pada gelas jam ulangan 1
terkontaminasi jamur, sementara itu pada ulangan 2 tidak ada biji yang
tumbuh. Biji yang tidak tumbuh dapat disebabkan berbagai hal, diantaranya
yaitu viabilitas rendah, biji terlalu lama disimpan, atau terjadi hambatan dalam
perkecambahan. Menurut Lestiana (2015: 9), faktor yang mempengaruhi persentase
perkecambahan biji secara in vitro antara lain tingkat kematangan biji, kesterilan ruang,
alat, dan media yang digunakan dalam kultur jaringan. Selain itu, keadaan biji yang
belum masak juga akan terhambat dalam pertumbuhannya. Menurut Kuswanto (2003: 20)
laju penurunan viabilitas biji dipengaruhi oleh sifat genetis dari varietas atau spesies,
kondisi biji pada waktu disimpan, kondisi ruang penyimpanan biji, keseragaman seed lot,
dan serangan cendawan.

B. Induksi Kalus Batang Kacang Buncis dengan Media CIM


Kegiatan induksi kalus dengan eksplan batang kacang buncis dilaksanakan pada
Rabu, 11 Maret 2020. Kegiatan diawali dengan memotong batang tanaman buncis yang
sudah berumur kira-kira tiga minggu. Potongan batang diseragamkan supaya berukuran 1
cm. Pemotongan batang dilakukan secara aseptik di dalam LAF. Setelah dipotong, batang
lalu ditanam pada media CIM yang mengandung MS 0 + 1 ppm 2,4 D dalam petridish
kecil. Karena keterbatasan waktu pengamatan, tidak dilakukan pengamatan terhadap hasil
induksi kalus, sehingga yang akan dibahas adalah hasil penelitian jurnal.
Objek pengamatan saat hari ke-0
Beberapa teknik kultur jaringan antara lain yaitu fusi protoplas, keragaman
somaklonal, seleksi in vitro dan transformasi genetik, dimana langkah awal dari semua
kegiatan tersebut adalah menginduksi kalus yang bersifat embrionik. Induksi kalus
dilakukan dengan jalan memacu pembelahan sel secara terus menerus dari bagian
tanaman tertentu seperti daun, akar, batang, dan sebagainya dengan menggunakan zat
pengatur tumbuh hingga terbentuk massa sel. Massa sel (kalus) tersebut selanjutnya akan
beregenerasi melalui organogenesis ataupun embriogenesis hingga menjadi tanaman
lengkap. Keberhasilan pelaksanaan kultur jaringan ditentukan oleh beberapa faktor antara
lain komposisi zat pengatur tumbuh, sumber eksplan dan jenis tanaman. Zat pengatur
tumbuh berguna untuk menstimulasi pembentukan kalus dan organ tanaman (Bustami,
2011).
Media CIM yang digunakan saat praktikum terdiri atas MS + 1 ppm 2,4-
Dichloropenoxy acetic acid. 2,4-D dikenal superior untuk pembentukan kalus. Menurut
(Bustami, 2011), auksin meningkatkan kuantitas sel-sel embriogenik dengan cara
memacu pembelahan sel untuk membentuk massa proembriogenik, serta mencegah
inisiasi pertumbuhan yang teratur pada sel-sel tersebut. 2,4-D merupakan auksin kuat
yang sering digunakan secara tunggal untuk menginduksi terbentuknya kalus dari
berbagai jaringan tanaman.

Pembahasan Jurnal :
Mirni Ulfa Bustami. (2011). Penggunaan 2,4-D untuk Induksi Kalus Kacang Tanah.
Media Litbang Sulteng IV (2).
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi 2,4-D yang paling efektif untuk
menginduksi kalus pada eksplan daun kacang tanah yang berasal dari kecambah steril.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Media dasar yang digunakan
adalah media MS yang ditambahkan berbagai konsentrasi 2,4-D yaitu M1 = 1,0 mg/l, M2
= 1,5 mg/l, M3 = 2,0 mg/l, M4 = 2,5 mg/l, M5 = 3,0 mg/l, M6 = 3,5 mg/l. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian 2,4-D pada konsentrasi 1,0 mg/l sampai 3,5 mg/l dapat
menginduksi kalus pada eksplan daun kacang tanah. Semakin rendah konsentrasi 2,4-D
maka pembentukan kalus semakin cepat, dan semakin tinggi konsentrasi 2,4-D maka
pembentukan kalus semakin lambat. Kalus yang terbentuk pada semua perlakuan
memiliki tekstur yang sama (keras dan kompak) dengan warna putih kehijauan.
Konsentrasi 2,4-D yang efektif untuk induksi kalus dari daun kacang tanah
adalah 1,5 mg/l dan 3,5 mg/l.

C. Induksi Tunas Batang Kacang Buncis dengan Media SIM


Tasya

Daftar Pustaka: (Belum Lengkap)

Adji, Dhirgo. (2007). Perbandingan Efektivitas Sterilisasi Alkohol 70%, Inframerah,,


Otoklaf, dan Ozon terhadap Pertumbuhan Bakteri Bacillus subtilis. Jurnal Sain Veteriner,
Volume 25, Nomor 1. Hlm. 17-24.
Anitasari, S. D., Sari, D. N. R., Astarini, I. A., Defiani, M. R. (2018). Dasar Teknik Kultur
Jaringan Tanaman. Yogyakarta: Deepublish.
Anggraeni, Anisa. (2016). Sterilization Techniques and Growth Regulator Hormone to
Germination of Kenikir Seed. Jurnal Biologi Vol 5 No 5.
Bad Bug Book SE. (2017). Foodborne Pathogenic Microorganisms and Natural Toxins
Handbook Phytohaemagglutinin. US Food and Drug Administration. 
Behagel, H.A. (1971). The pH and Sterilization. In: Effects of Sterilization on Components in
Nutrient Media, ed. J. Van Bragt, D.A.A. Mossel, R.L.M. Pierik, and H. Veldstra, pp.
117-120. Wageningen: H. Veenman and Zonen.
Bustami, M. U. (2011). Penggunaan 2,4-D untuk Induksi Kalus Kacang Tanah. Media
Litbang Sulteng IV (2).
Dwiyani, Rindang. (2015). Bahan Ajar Teknik Kultur Jaringan (Sistem Regenerasi
Tanaman). Bali: Universitas Udayana.
Dwiyani, Rindang. (2015). Kultur Jaringan Tanaman. Bali: Pelawa Sari.

Escribano M.R., Santalla M.,


Casquero P.A. and De Ron A.M.
bean production in Portugal.
Gratitude is also extend-
1998. Patterns of genetic diversity
in landraces of common bean
ed to the Centro
Internacional de Agricultura
Tropical
(Phaseolus vulgaris L.) from Galicia.
Plant Breeding 117: 49–
(CIAT, Cali, Colombia) for its
information on the 56.
Escribano M.R., Santalla M.,
Casquero P.A. and De Ron A.M.
bean production in Portugal.
Gratitude is also extend-
1998. Patterns of genetic diversity
in landraces of common bean
ed to the Centro
Internacional de Agricultura
Tropical
(Phaseolus vulgaris L.) from Galicia.
Plant Breeding 117: 49–
(CIAT, Cali, Colombia) for its
information on the 56.)
Escribano M.R., Santalla M., Casquero P.A. and De Ron A.M. (1998). Patterns of genetic
diversity in landraces of common beaned to the Centro Internacional de Agricultura
Tropical (Phaseolus vulgaris L.) from Galicia. Plant Breeding 117: 49.
Gentry, Howard Scott (1969). Origin of the Common Bean, Phaseolus vulgaris. Economic
Botany. New York: New York Botanical Garden Press. 23 (1): 55–69. 
Hendaryono, S. dan Wijayani, A. (1994). Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Henuhili, V., Cahyaningrum, P., Mercuriani, I. S., Aloysius, S., Sugiyarto, L. (2019).
Petunjuk Praktikum Kultur Jaringan Tumbuhan. Yogyakarta: FMIPA UNY.
Hidalgo R. (1999). CIAT’S world Phaseolus collection. In: traits and their implications for
selection. Field Crop ResearchSchoonhoven A. and Voysest O. (eds), Common Bean:
Research 36: 185–189.for Improvement. C.A.B. International and CIAT, pp. 163–199
Kuswanto, Hendarto. (2003). Teknologi Pemrosesan Pengemasan & Penyimpanan Benih.
Yogyakarta: Kanisius.
Lestiana, Afif. (2015). Pertumbuhan Biji Anthurium secara in vitro pada Media Alternatif
Pupuk Daun dan Lama Pencahayaan yang Berbeda. Skripsi. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Pancaningtyas, Sulistyani dan Cahya Ismayadi. 2011. Sterilisasi Uang pada Perbanyakan
Somatic Embryogenesis Kakao (Theobroma cacao L.) untuk Penyelamatan Embrio
Terkontaminasi. Pelita Perkebunan, Vol 27, No. 1. Hlm. 1-10.
Taji, A. M., Dodd, W. A., Williams, R. R. (2006). Teknik Kultur Jaringan Tanaman Edisi
Ketiga. Jambi: Fakultas Pertanian Universitas Jambi.
Trigiano, Robert N. & Gray, Dennis J. (2010). Plant Tissue Culture,Development and
Biotechnology. Boca Raton: CRC Press.
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai