Supositora merupakan salah satu sediaan farmasi yang masih kurang diketahui oleh masyarakat sekarang, karena penggunaanya yang sedikit susah dan masih kurangnya produksi supositoria karena bentuk supositoria tidak dapat menjamin kestabilan fisika dan kimianya dibandingkan dengan sediaan seperti tablet. Selain itu sediaan supositoria susah jika dibawa kemana-mana atau dengan jarak yang cukup jauh karena harus disimpan di tempat yang dingin agar tidak meleleh. Namun supositoria mempunyai beberapa keunggulan khusus dibandingkan dengan sediaan farmasi seperti tablet dan serbuk dimana supositoria dapat di berikan kepada seseorang yang pingsan atau tidak sadar. Selain itu mempunyai keuntungan untuk orang yang menderita penyakit maag karena tidak melewati lambung. Tetapi ada beberapa supositoria yang beredar sekarang ini tidak lagi memenuhi standar kualitas dari suatu supositoria. Hal ini dapat mempengaruhi kestabilan dari suatu obat. Jika kestabilan suatu obat terganggu akan mempengaruhi absorbsi obat di dalam tubuh dan jika absorbsi obat di dalam tubuh tidak baik maka akan mempengaruhi efek dari obat tersebut. Kita sebagai seorang farmasis harus bisa membuat suatu sediaan supositoria yang baik dan mengetahui bagaimana suatu supositoria dikatakan bagus atau layak untuk digunakan. Agar supaya nanti setelah kita turun ke masyarakat bisa dapat membuat supostoria yang baik dan memberikan informasi yang jelas bagi masyarakat tentang sediaan supositoria itu sendiri. Untuk itu pada praktikum kali ini kita akan belajar bagaimana mengetahui cara pembuatan supositoria dan melakukan beberapa uji yaitu mengenai penampilan umum, keseragaman bobot, waktu meleleh, dan waktu melunak. I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan I.2.1. Maksud Percobaan 1. Untuk mengetahui cara pembuatan supositoria dengan metode cetakan 2. Melakukan uji quality control terhadap supositoria . I.2.2 Tujuan Percobaan 1. Untuk mengetahui cara pembuatan supositoria asam borat dengan metode cetakan 2. Melakukan uji quality control terhadap supositoria asam borat BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
II.1.1 Definisi Supositoria Supositoria adalah bentuk sediaan padat yang pemakaiannya dengan cara memasukkan melalui lubang atau celah pada tubuh, dimana ia akan melebur, melunak atau melarut dan memberikan efek lokal atau sistemik. Supositoria umumnya dimasukkan melalui rektum, vagina, kadang-kadang melalui saluran urin dan jarang melalui telinga dan hidung (Ansel, 2008). Supositoria adalah sediaan sediaan padat, melunak, melumer, dan larut pada suhu tubuh, digunakan dengan cara menyisipkan ke dalam rektum, berbentuk sesuai dengan maksud penggunaannya, umumnya berbentuk torpedo (Dirjen POM, 1979). Bentuk dan ukuran supositoria harus sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah dimasukkan kedalam lubang atau celah yang diinginkan tanpa menimbulkan kejanggalan saat menggunakan. Supositoria dapat memberikan efek lokal dan efek sistemik yaitu utuk mendapatkan efek lokal basis supositoria meleleh, melunak, dan melarut menyebarkan obat yang dibawanya ke jaringan-jaringan di daerah tersebut. Obat yang dimaksudkan untuk ditahan dalam ruangan tersebut agar mendapatkan keja lokal. Sedangkan untuk efek sistemik membran mukosa rektum dan vagina memungkinkan absorpsi dari kebanyakan obat dapat larut (Ansel, 2008). II.I.2 Macam-Macam Supositoria Macam supositoria dapat dibagi sesuai penggunaannya yaitu (Ansel, 2008): a. Supositoria untuk rektum (rektal) Supositoria untuk rektum umumnya dimasukkan dengan jari tangan. Biasanya supositoria rektum panjangnya ± 32 mm (1,5 inchi), dan berbentuk silinder dan kedua ujungnya tajam. Bentuk supositoria rektum antara lain bentuk peluru, torpedo atau jari-jari kecil, tergantung kepada bobot jenis bahan obat dan basis yang digunakan. Beratnya menurut USP sebesar 2 g untuk yang menggunakan basis oleum cacao b. Supositoria untuk vagina (vaginal) Supositoria untuk vagina disebut juga pessarium biasanya berbentuk bola lonjong atau seperti kerucut, sesuai kompendik resmi beratnya 5 g, apabila basisnya oleum cacao. c. Supositoria untuk saluran urin (uretra) Supositoria untuk untuk saluran urin juuga disebut bougie, bentuknya rampiung seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan kesaluran urin pria atau wanita. Supositoria saluran urin pria bergaris tengah 3-6 mm dengan panjang ± 140 mm, walaupun ukuran ini masih bervariasi satu dengan yang lainnya. Apabila basisnya dari oleum cacao beratnya ± 4 g. Supositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya ½ dari ukuran untuk pria, panjang ± 70 mm dan beratnya 2 g, inipun bila oleum cacao sebagai basisnya. II.1.3 Beberapa Faktor Absorbsi Obat dari Supositoria Rektum Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi absorbsi obat dari supositoria rektum yaitu (Ansel, 2008): 1. Faktor Fisiologi Pada waktu isi kolon kosong, rektum hanya berisi 2-3 mL. Cairan mukosa yang inert. Dalam keadaan istirahat rektum tidak ada gerakan, tidak ada villi dan mikrovilli pada mukosa rektum. Akan tetapi terdapat vaskularisasi yang berlebihan dari bagian sub mukosa dinding rektum dengan darah dan kelenjar limfe. Diantara faktor fisiologi yang mempengaruhi faktor absorbsi obat dari rektum adalah kandungan kolon, jalur sirkulasi, dan pH serta tidak adanya kemampuan mendapar dari cairan rektum. 2. Faktor Fisika Kimia dari Obat dan Basis Supositoria Faktor fisika kimia mencakup sifat-sifat seperti kelarutan relatif obat dalam lemak dan air serta ukuran partikel dari obat yang menyebar. Faktor fisika kimia basis melengkapi kemampuannya melebur, melunak, atau melarut pada suhu tubuh. Kemampuannya melepaskan obat dan sifat hidrofilik atau hidrofobiknya. II.1.4 Bahan Dasar Supositoria Klasifikasi dari basis supositoria adalah sebagai berikut (Ansel, 2008): 1. Basis berminyak/ berlemak Basis berlemak merupakan basis yang paling banyak dipakai karena pada dasarnya oleum cacao termasuk kelompok ini. Diantara bahan-bahan yang bisa digunakan yaitu: macam-macam asam lemakyang dihigrogenasi dari minyak dari minyak palem dan minyak biji kapas. 2. Basis yang larut dalam air dan basis bercampur dengan air Komponen yang penting dari basis yang larut dalam air dan basis bercampur dengan air adalah gelatin gliserin dan basis PEG. Dimana basis gliserin paling sering digunakan dalam pembuatan supositoria vagiana dimana memang diharapkan efek setempar yang cukup lama dari unsur obatnya. 3. Basis lainnya Dalam kelompok ini termasuk campuran bahan bersifat lemak dan yang larut dalam air atau bercampur dengan air. Bahan-bahan ini mungkin berbentuk zat kimia atau cmpuran fisika. II.1.5 Metode Pembuatan Supositoria Metode yang bisa digunakan dalam pembuatan supositoria adalah sebagai berikut (Ansel, 2008): a. Dengan tangan Yaitu dengan cara menggulung basis supositoria yang telah dicampur homogen dan mengandung zat aktif, menjadi bentuk yang dikehendaki. Mula-mula basis diiris, kemudian diaduk dengan bahan- bahan aktif dengan menggunakan mortir dan stamper, sampai diperoleh massa akhir yang homogen dan mudah dibentuk. Kemudian massa digulung menjadi suatu batang silinder dengan garis tengah dan panjang yang dikehendaki. Amilum atau talk dapat mencegah pelekatan pada tangan. Batang silinder dipotong dan salah satu ujungnya diruncingkan. b. Dengan mencetak kompresi Hal ini dilakukan dengan mengempa parutan massa dingin menjadi suatu bentuk yang dikehendaki. Suatu roda tangan berputar menekan suatu piston pada massa supositoria yang diisikan dalam silinder, sehingga massa terdorong kedalam cetakan. c. Dengan mencetak tuang Pertama-tama bahan basis dilelehkan, sebaiknya diatas penangas air atau penangas uap untuk menghindari pemanasan setempat yang berlebihan, kemudian bahan-bahan aktif diemulsikan atau disuspensikan kedalamnya. Akhirnya massa dituang kedalam cetakan logam yang telah didinginkan, yang umumnya dilapisi krom atau nikel. II.2 Rancangan Formula Tiap supositoria 2 g mengandung: Asam borat 0,6 g Oleum cacao 77,5 % Cera alba 4% α-Tokoferol 0,05 % II.3 Alasan Penambahan II.3.1 Alasan Formulasi 1. Supositoria a. Supositoria adalah suatu bentuk sediaan padat yang pemakaiannya dengan cara memasukkan melalui lubang atau celah pada tubuh, dimana ia akan melebur, melunak atau melarut dan memberikan efek lokal atau sistemik (Ansel, 1989: 576) b. Supositoria adalah sediaan berbentuk tetap, bertakaran, dalam aturannya berbentuk silindris atau berbentuk kerucut, yang ditetapkan untuk dimasukkan kedalam rektum mereka melebur pada suhu tubuh atau larut dalam lingkungan berair (Voight, 1994: 282) 2. Keuntungan Sediaan Supositoria a. Dosis obat yang digunakan melalui rektum mungkin lebih besar atau lebih kecil daripada obat yang dipakai secara oral (Ansel, 1989: 579) b. Obat-obat dapat diberikan dalam bentuk supositoria, baik untuk efek lokal maupun untuk efek sistemik (Lachman, 1994: 1148) 3. Alasan Asam borat dibuat dalam supositoria a. Asam borat dibuat dalam bentuk supositoria rektal karena mempunyai beberapa keuntungan yaitu tidak membebani lambung, tanpa rasa yang tidak enak dan kesulitan dalam menelan (Voight, 1994: 283) b. Asam borat tidak dibuat dalam bentuk injeksi karena penggunaannya menimbulkan rasa sakit, menggunakan jarum suntik (Voight, 1994: 283) c. Supositoria dengan zat aktif asam borat dibuat dalam bentuk torpedo karena cara penggunaannya yaitu melalui rektal (Sutedjo, 2010: 51) d. Supositoria ini dimaksudkan untuk efek lokal yang umumnya tidak diabsorbsi misalnya obat-obat untuk wasir, anestetik lokal, dan anti piretik. Efek lokal umumnya terjadi dalam waktu setengah jam paling sedikit 4 jam (Lachman, 1994: 1186) e. Berat tiap supositoria yang digunakan adalah 2 gram, dimana hal ini sesuai dengan tetapan USP menyatakan berat supositoria untuk orang dewasa dengan basis oleum cacao adalah 2 gram (Ansel, 1989: 576) f. Dosis asam borat sebagai zat aktif yang biasa digunakan dalam sediaan supositoria untuk pengobatan infeksi adalah 600 mg (Bubakar, 2012: 25) 4. Alasan dibuat dengan metode cetak tuang a. Metode pembuatan yang digunakan dalam formulasi ini adalah metode cetak tuang, karena metode cetak tuang adalah metode paling umum digunakan untuk membuat supositoria skala kecil dan skala besar. Selain itu, metode ini juga lebih mudah dibandingkan dengan metode mencetak dengan tangan dan mencetak kompresi (Lachman, 1994: 1180) b. Metode cetak tuang menjamin suatu pembekuan yang cepat dan untuk mengurangi satu sedimentasi dari bahan obat lebih lanjut (Voight, 1994: 291) c. Metode cetak tuang akan menghasilkan bentuk supositoria yang lebih padat dan seragam (Voight, 1994: 292) II.3.2 Alasan penambahan zat tambahan 1. Oleum cacao a. Basis supositoria yang paling banyak digunakan yaitu lemak coklat/ olum cacao. Dimana basis ini dapat melunak pada suhu 300C dan meleleh pada suhu 340C (Effionora, 2012: 269) b. Oleum cacao merupakan basis supositoria yang ideal, karena dapat meleleh pada suhu tubuh akan tetapi bertahan sebagai bentuk padat pada suhu kamar (Putri, 2014) c. Lemak coklat merupakan basis supositoria yang banyak digunakan sebagian besar sifat lemak coklat mengandung persyaratan basis ideal, karena minyak ini tidak berbahaya, lunak, dan tidak reaktif, meleleh pada temperatur tubuh (Lachman, 1994: 1168) d. Oleum cacao dapat melumer pada suhu tubuh tapi tetap dapat bertahan sebagai bentuk padat pada suhu kamar biasa (Ansel, 1989: 582) 2. Cera Alba a. Beberapa bahan dapat menurunkan titik lebur oleum cacao seperti kloral hidrat. Untuk itu digunakan tambahan cera alba yang dapat meningkatkan titik lebur dari oleum cacao. Penambahan cera alba tidak boleh lebih dari 6%, sebab akan memperoleh campuran yang memiliki titik lebur diatas 370C dan tidak boleh kurang dari 4%, karena akan memperoleh titik lebur dibawah suhu tubuh (≤330C) (Putri, 2014) b. Berdasarkan basis yang digunakan yaitu oleum cacao, maka dalam formulasi ini menggunakan cera alba karena menurut ansel oleum cacao dapat menunjukkan sifat polimerfisme atau keberadaan zat tersebut dalam berbagai bentuk kristal. Jika titik lebur menurun sedemikian rupa maka tidak mungkin lagi dijadikan supositoria yang padat dengan menggunakan oleum cacao sebagai basis tunggal, maka bahan pengeras seperti cera alba (±4%) dapat dilebur dengan oleum cacao untuk mengimbangi pengaruh pelunakkan dari bahan yang ditambahkan (Ansel, 1989: 583) c. Agar oleum cacao tidak mudah meleleh pada udara panas maka pada pembuatan supositoria ditambahkan cera alba 4% (Salman, 2010) d. Untuk meningkatkan suhu lebur oleum cacao dapat ditambahkan bahan pengeras (stiffening agent) seperti cera alba. (Widayanti, A.dkk: 2) e. Konsentrasi cera alba yang digunakan adalah 4% karena apabila konsentrasinya kurang dari 4% dapat menurunkan titik leleh oleum cacao dan apabila konsentrasinya lebih dari 4% dapat menaikkan titik leleh diatas suhu tubuh (Widayanti. A. dkk: 3) 3. Alfa tokoferol a. Alfa tokoferol digunakan sebagai antioksidan b. Penggunaan antioksidan ini untuk mengurangi atau meminimalisir timbulnya bau tengik dari basis oleum cacao (Lachman, 1994: 1168) c. Oleum cacao mempunyai beberapa kelemahan yaitu menjadi tengik. Oleh karena itu dibutuhkan antioksidan yang berfungsih untuk menghambat auto oksidasi dari oleum cacao yang dapat menyebabkan ketengikan. Contoh Oksida selektif salah satunya adalah alfa tokoferol (Ansel, 1989: 1191: Pharmaceutical excipient boolket, 15) d. Alfa tokoferol merupkan pelarut yang baik untuk obat yang kelarutannya rendah (Rowe, 2009: 31) e. Penggunaan alfa tokoferol ini karena menurut literatur alfa tokoferol juga bersifat lipofilik, hal ini sesuai dengan sifat kelarutan oleum cacao yang larut lemak (Lachman, 1994: 1191; Rowe, 2009: 32) f. Konsentrasi alfa tokoferol yang digunakan dalam formulasi ini sebagai antioksidan adalah 0,05% II.4 Uraian Bahan 1. Asam Borat (Rowe, 2009: 68) Nama Resmi : Acidum boricum Nama Lain : Asam borat RM/BM : H3BO3 / 61, 83 Pemerian : Hablur, serbuk hablur putih atau sisik mengkilap tidak berwarna, kasar, tidak berbau, rasa agak asam dan pahit kemudian manis Kelarutan : Larut dalam 20 bagian air, dalam 3 bagian air mendidih, dalam 16 bagian etanol (95%) P, dan dalam 5 bagian gliserol P Stabilitas : Asam borat bersifat higroskopis Inkompatibilitas : Asam borat tidak kompatibel dengan air, basa kuat dan alkali logam ini bereaksi hebat dengan kalium dan asam anhidrida. Membentuk kompleks dengan gliserin yang merupakan asam kuat dari asam borat Penyimpanan : Asam borat bersifat higroskopis dan karena itu harus disimpan dalam kedap udara, wadah tertutup, wadah harus diberi label “Bukan Untuk Penggunaan Oral Kegunaan : Sebagai Zat aktif 2. Oleum cacao (Dirjen POM, 1995: 456; Rowe, 2009: 725) Nama Resmi : Oleum cocos Nama Lain : Lemak coklat RM/BM : -/- Pemerian : Lemak padat, putih kekuningan, bau khas aromatik, rasa khas lemak, agak rapuh Kelarutan : Sukar larut dalam etanol (95%), mudah larut dalam kloroform, dalam eter, dan dalam eter minyak tanah Stabilitas : Pemanasan oleum cacao diatas suhu tubuh 360C selama persiapan supositoria dapat mengakibatkan penurunan titik beku karena terbentuknya metastabil, hal ini dapat mempersulit dalam pembuatan supositoria Inkompatibilitas : - Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat Konsentrasi : 77, 571% 3. Cera alba (Dirjen POM, 186) Nama Resmi : Cera alba Nama Lain : Malam putih Pemerian : Warna putih kekuningan, sedikit tembus cahaya dalam keadaan lapisan tipis; bau khas lemah dan bebas bau tengik Kelarutan : Tidak larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol dingin Kelarutan : Larut dalam air panas, membentuk larutan agak keruh Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik Konsentrasi : 5% 4. α-Tokoferol (Dirjen POM, 1979; Rowe, 2009: 32) Nama Resmi : Tocopherolum Nama Lain : α-Tokoferol, Vitamin E RM/BM : C29H50O2/430 Pemerian : Praktis tidak berbau dan tidak berasa bentuk α- tokoferol dan bentuk α-tokoferol asetat berupa minyak kental jernih, warna kuning atau kuning kehijauan Kelarutan : α-tokoferol asam suksinat tidak larut dalam air sukar larut dalam larutan alkali, larut dalam etanol, dalam eter, dalam aseton, dan dalam minyak nabati Stabilitas : α-tokoferol teroksidasi oleh oksigen dan garam besi serta perak. Bikoferol bebas yang biasanya mudah digunakan untuk bahan yang sedikit Inkompatibilitas : Tokoferol tidak kompatibel dengan peroksida dan ion logam, terutama zat besi, tembaga, dan perak Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik Kegunaan : Sebagai antioksidan BAB III METODE KERJA
III.1 Alat Yang Digunakan
Batang pengaduk Cawan porselin Cetakan supositoria Cutter Kaca arloji Lap halus Lemari pendingin Lumpang dan alu Neraca analitik (Cityzen) Sendok tanduk Sudip Waterbath (Memmert) III.2 Bahan Yang Digunakan Alkohol 70 % Asam borat Cera alba ∝_tokoferol Oleum cacao Kertas perkamen Paraffin cair Tissue III.3 Perhitungan Perhitungan bahan Asam borat = 600 Per batch = 600 × 20 ( sebanyak supositoria ) = 12000 mg→12 g Nilai tukar = 0,65 ×600 mg=390 mg →0,39 g α - tokoferol = 0,05% 0,05 = ×2 g=0,001 g 100 Per batch = 0,001 ×20=0 ,02 g Diketahui 1 mg = 1,49 Iu Dalam 1 kapsul = 100 Iu α - tokoferol = 20 mg ×1 ,45 Iu =29,8 Iu 100 Iu Penyelesaian = ×1 mg=67,11 mg 1,49 20 mg = ×4 ml=1,19 ml=20 tetes 67,11 mg 1 ml = 20 tetes 1 1,19 = = 20 × X = 20 ×1 ,19=23,8 tetes =24 tetes Cera alba = 4% 4 = ×2 g=0 ,08 g 100 Per batch = 0 ,08 g ×20=1,6 g Oleum cacao = 2,1 – ( 0,39 g+0,001 g+0,08 g ) =2,1-0,471=1,629 g Per batch = 1,629 ×20=32 ,58 g 1,629 g Persentase = ×100%=77,571 2,1 g III.4 Cara Kerja 1. Dibersihkan alat dengan menggunakan alkohol 70 % 2. Ditimbang oleum cacao 3,25 g, asam borat 1,2 g, cera alba 0,16 g. 3. Dimasukkan cera alba ke dalam cawan porselin, kemudian dileburkan di atas water bath. 4. Ditambahkan oleum cacao, diaduk hingga homogen. 5. Ditambahkan ∝-tokoferol sebanyak 2 tetes. 6. Ditambahkan zat aktif sedikit demi sedikit dileburkan hingga homogen. 7. Dibasahi cetakan dengan paraffin cair. 8. Dimasukkan hasil satu leburan ke dalam cetakan. 9. Didiamkan selama 5-10 menit. 10. Dimasukkan ke dalam lemari pendingin selama kurang lebih 15 menit. 11. Dikeluarkan supositoria dari cetakan. 12. Dimasukkan ke dalam kemasan supositoria. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Pengamatan
Gambar 4.1 Supositoria Asam Borat
Berdasarkan hasil uji penampilan supositoria, dapat dilihat bahwa
supositoria dengan zat aktif asam borat ini tidak terlihat adanya rongga- rongga yang berarti supositoria ini memenuhi syarat. IV.2 Pembahasan Pada praktikum ini dibuat supositoria rektal dengan zat aktif asam borat dengan zat tambahannya berupa oleum cacao sebagai basis supositoria yang ideal dimana basis ini tidak berbahaya, lunak dan dapat meleleh pada suhu tubuh dan dapat bertahan sebagai bentuk padat pada suhu kamar (Putri, 2014), cera alba 4% digunakan sebagai zat yang dapat meningkatkan suhu lebur oleum cacao (Widayanti, 2) dan alfa-tokoferol 0,05% sebagai antioksidan untuk mengurani atau meminimalisir timbulnyabau tengi dari basis oleum cacao (Lachman, 1994: 1168). Dosis asam borat yang digunakan dalam formulasi ini adalah 600 mg karena dosis tersebut yang biasa digunakan dalam sediaan supositoria untuk pengobatan infeksi (Bubakar, 2012: 25). Zat aktif asam borat dibuat dalam bentuk supositoria rektal karena mempunyai beberapa keuntungan yaitu tidak membebani lambung dan memiliki keuntungan untuk orang yang kesulitan dalam menelan. Asam borat dapat dibuat dalam bentuk injeksi namun pada penggunaannya menimbulkan rasa sakit jika menggunakan jarum suntik (Voight, 1994: 283). Supositoria dengan zat aktif asam borat ini dirancang untuk mengobati infeksi jamur pada area rektal dengan mekanisme kerjanya sebagai antiseptik. Antiseptik sebagai zat kimia yang sangat berpengaruh terhadap mikroba yaitu melalui unsur protein yang membentuk struktur seluler mikroba dengan akibat yang dapat ditimbulkan antara lain adalah rusaknya dinding sel karena adanya bahan kimia pada permukaan sel, adanya gangguan metabolisme sel karena terjadi perubahan struktur kimia enzim, terjadinya denaturasi protein serta rusaknya asam nukleat (Darmadi, 2008: 70). Asam borat yang diabsorbsi melalui rektum tidak seperti yang diabsorbsi setelah pemberian secara oral, tidak melalui sirkulasi portal sewaktu perjalanan pertamanya dalam sirkulasi lazim, dengan cara demikian obat dimungkinkan tidak dihancurkan dalam hati untuk memperoleh efek sistemik. Pembuluh hemoroid bagian bawah yang mengelilingi kolon menerima asam borat yang diabsorbsi lalu mulai mengedarkannya ke seluruh tubuh tanpa melalui hati. Sirkulasi melalui getah bening juga membantu pengedaran obat yang digunakan melalui rektum (Ansel, 2008). Sediaan supositoria ini dibuat dengan langkah pertama yaitu membersihkan alat dengan alkohol 70%. Hal ini bertujuan untuk mensterilkan alat sehingga bebas dari mikroba (Dirjen POM, 1979). Kemudian ditimbang asam borat sebanyak 0,6 g, oleum cacao 1,629 g dan cera alba 0,08 g. Selanjutnya cera alba dimasukkan ke dalam cawan porselin dan dileburkan di atas waterbath pada suhu 350C hal ini dikarenakan pada suhu ini adalah suhu peleburan waterbath untuk oleum cacao adalah 30-350C (Parrot, 264; Scoville, 377). Setelah itu ditambahkan oleum cacao ke dalam leburan cera alba dan dileburkan hingga homogen. Setelah kedua bahan dicampurkan, ditambahkan alfa-tokoferol sebanyak 2 tetes, yang dilanjutkan dengan penambahan zat aktif sedikit demi sedikit ke dalam leburan tersebut dan diaduk hingga homogen. Kemudian dimasukkan leburan tersebut ke dalam cetakan yang telah dibasahi dengan parafin cair. Tujuannya untuk memudahkan terlepasnya supositoria dari cetakan (Ansel, 1989; 587) lalu didiamkan selama 5-10 menit. Cetakan supositoria didinginkan dalam lemari pendingin pada suhu 2-80C selama 15 menit, dimana supositoria yang basisnya oleum cacao harus disimpan dibawah 300F dan akan lebih baik jika disimpan dalam lemari es yang suhunya 2-80C (Ansel, 1989; 592). Setelah itu dikeluarkan supositoria dari cetakan. Setelah itu dilanjutkan dengan evaluasi supositoria yaitu uji penampilan umum supositoria dengan cara membelah supositoria secara memanjang. Uji ini dilakukan untuk melihat adanya rongga dalam supositoria tersebut. Setelah pengamatan uji penampilan, dapat dilihat bahwa supositoria ini memenuhi syarat karena tidak memiliki rongga. BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Asam borat cocok dibuat supositoria dengan metode cetak tuang karena menggunakan basis oleum cacao. 2. Supositoria telah memenuhi standar uji quality control dari supositoria karena dari uji penampilan umum yang dilakukan tidak terdapat rongga. V.2 Saran Diharapakan kepada praktikan mampu memahami dan menguasai materi praktikum sebelum melakukan praktikum.