Anda di halaman 1dari 370

IDENTITAS DAN

KENIKMATAN
POLITIK BUDAYA LAYAR INDONESIA

Ariel Heryanto Penerjemah: Eric Sasono

pustaka-indo.blogspot.com
pustaka-indo.blogspot.com
IDENTITAS DAN KENIKMATAN
Politik Budaya Layar Indonesia

pustaka-indo.blogspot.com
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 1
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah
suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pidana
Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf
f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk
pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

pustaka-indo.blogspot.com
IDENTITAS DAN KENIKMATAN
Politik Budaya Layar Indonesia

Ariel Heryanto

Penerjemah: Eric Sasono

Jakarta:
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

pustaka-indo.blogspot.com
IDENTITAS DAN KENIKMATAN
Politik Budaya Layar Indonesia
© Ariel Heryanto

KPG 591501000
Cetakan Pertama, Juni 2015

Penerjemah
Eric Sasono

Penyunting
Christina M. Udiani

Tata Letak Isi


Dadang Kusmana

Perancang Sampul
Wendie Artswenda

Foto Sampul
Ariel Heryanto

HERYANTO, Ariel
Identitas dan Kenikmatan
Jakarta; KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2015
xvi + 350 hlm.; 14 cm x 21 cm
ISBN: 978-979-91-0886-9

This edition is a translation of Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian


Screen Culture, originally published in 2014 by NUS Press, Singapore.

Dicetak oleh PT Gramedia, Jakarta.


Isi di luar tanggung jawab percetakan.

pustaka-indo.blogspot.com
untuk Goo

pustaka-indo.blogspot.com
pustaka-indo.blogspot.com
Daftar Isi

Ucapan Terima Kasih xi

Bab 1
Mengenang Masa Depan 1
Kembali ke Masa Depan 4
Lingkungan Media Baru 13
Budaya Pop, Identitas, dan Kenikmatan 21

Bab 2
Post-Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan 37
Islamisasi 40
Era Baru, Kelompok Kaya Baru 48
Politik Islamis, Kebudayaan Post-Islamis 57
Menatap ke Depan 68

pustaka-indo.blogspot.com
viii Identitas dan Kenikmatan

Bab 3
Pertempuran Sinematis 75
Sukses Mempesona di Luar Dugaan 79
Pertempuran Sinematis 89
Kilas Balik 99
Melampaui Dikotomi Komoditas/Agama 107

Bab 4
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 111
Dosa Asal 116
Pertarungan Tanpa Akhir 127
Media Baru, Luka Lama 132
Tantangan dan Capaian 139
Beban Sejarah 152

Bab 5
Kemustahilan Sejarah? 157
Sejarah dan Defisit Politik 164
Kisah Jorok Habis 174
Premanisme, Film, dan Sejarah 184

Bab 6
Minoritas Etnis yang Dihapus 197
Etnisitas sebagai Fiksi 198
Etnisitas yang Dihapus 204
Sangat Dibutuhkan, Tapi Tak Diinginkan 213
Awal-Mulanya 221
Hibriditas Disangkal, Tetapi Berjaya 235

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Daftar Isi ix

Bab 7
K-Pop dan Asianisasi Kaum Perempuan 243
Asianisasi 247
Kelas Menengah Muda Perempuan 254
Hibriditas Remix 266

Bab 8
Dari Layar ke Politik Jalanan 279
Kehidupan Berkiblat Komunikasi-Lisan 281
Kampanye Pemilu 2009 284
Massa Orde Baru: Politik Penampilan 290
Kampanye Pemilu sebagai Budaya Populer 297
Catatan Penutup 304

PUSTAKA ACUAN 309


INDEKS 339
BIODATA 350

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Ucapan Terima Kasih

KEGIATAN PENELITIAN (20 0 9-20 12) khusus untuk m enyiap kan


buku ini dim ungkinkan berkat bantuan berlim pah dari lem baga
dan individu yang lebih banyak ketim bang yang dapat disebutkan
satu per satu di sini. Saya am at berterim a kasih untuk dukungan
m aterial dan kelem bagaan dari Dewan Riset Australia (Australian
Research Council, ARC). The University of Melbourne sangat ber-
jasa dalam m em persiapkan dua lam aran kepada ARC terkait pe-
nelitian ini pada tahun 20 0 8. Pada tahun 20 0 9 saya berpin dah ke
The Australian National University (ANU) yang kem udian m en-
jadi tuan-rum ah dan m engelola dua hibah penelitian yang sukses
ini. Saya ingin m enyam paikan terim a kasih kepada Fakultas Asian
Studies dan turunannya yaitu School of Culture, History and
Language; juga kepada Kantor Penelitian di College Asia dan Pa-
ciic di ANU untuk dukungan mereka yang istimewa dan tak ter­
pu tus sepanjang berlangsungnya proyek penelitian ini.
Merupakan pengalam an istim ewa bagi saya untuk bekerja
sam a dengan Em m a Bauch dalam salah satu dari dua penelitian

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
xii Identitas dan Kenikmatan

yang didukung oleh ARC pada m asa itu. Saya m enikm ati dukungan
sem angat m aupun intelektual dari rekan-rekan di ANU, khususnya
(berurutan m enurut abjad) Am rih Widodo, Hyaewol Choi, Ken
George, Kent Anderson, Khoo Gaik Cheng, Margaret J olly, Roald
Maliangkay, dan Tessa Morri-Suzuki. Untuk urusan adm inistratif,
saya berutang budi kepada dukungan yang luar biasa dan tanpa
henti dari Harriette Wilson, Malcolm Hayes, dan Thuy Pan. Dana
hibah dari ARC telah m eringankan beban m engajar saya. Pak Urip
Sutiyono dan Ibu Nenen Ilahi dengan baik telah m enyediakan diri
untuk m engam bil alih tanggung jawab tersebut. Saya m endapat
hikm ah besar dari pengalam an m em bahas beberapa persoalan
dalam buku ini dengan m ahasiswa saya di kelas yang saya ajar
(khususnya kelas “Budaya pop di Indonesia”). Saya juga beruntung
berdiskusi dengan tiga kandidat doktor di bawah bim bingan saya.
Mereka m enekuni topik penelitian yang berkaitan dengan topik
buku ini: Meg Downes, Maria Myutel, dan Evi Eliyanah.
Banyak orang di Indonesia m encurahkan dukungan ber lim pah,
keram ahan, dan m asukan m ereka kepada saya. Saya m e nye sal jika
tak dapat m enyebut nam a m ereka sem ua, atau m e rinci, bagaim ana
dan seberapa besar saya telah berutang budi ke pada m ereka yang
berada dalam daftar ini (juga m enurut abjad): Abduh Aziz, Agus
Mediarta dan Rani, Alex Sihar, Arie Kartika, Aryo Danusiri, Astrid
Reza, Aym ee Dawis, Bowo Leksono, Budiawan, Dianah Karm ilah,
Dim as J ayasrana, Ekky Im anjaya, Eri Sutrisno, Eric Sasono, Fadli
Rozi, Faisol Ahm ad, Gerry Rijkers, Gotot Prakosa, Habiburrahm an
El Shirazy, Heidi Arbuckle, Hellen Katherina, Hendi J ohari dan
Yohana, Hilm ar Farid, Im am Aziz, IGP Wiranegara, Irawan
Saptono, Ishadi SK, Katinka van Heeren, Lasja Susatyo, Lexy
Ram badeta, Lisabona Rahm an, Lulu Ratna, Markus J upri, Melani
Budianta, Otto Adi Yulianto, Putu Oka Sukanta, Rachm ah Ida,
Rama Astraatmadja, Rumekso Setyadi, Soia Setyorini, Stanley
Yoseph Adi dan Veronika Kusum a. Sepanjang paruh pertam a

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Ucapan Terima Kasih xiii

tahun 20 10 , Evi Eliyanah, Monique Rijkers, dan Yuli Asm ini


m em bantu sebagai asisten dalam penelitian ini. Dedikasi dan
kerja keras m ereka sangat m engesankan.
Banyak lagi orang-orang yang tinggal di Australia, dan di ba-
gian lain dunia, telah m enyediakan waktu m ereka yang ber harga
untuk m enulis surat atau berbincang dengan saya m e ngenai
berbagai aspek terkait proyek penelitian ini. Mereka juga m em -
berikan kom entar dan kritik dalam berbagai tahap sela m a proses
penulisan hasil penelitian ini, atau m engusulkan per baikan-
perbaikan. Terim a kasih saya jauh lebih besar daripada yang bisa
saya sam paikan dengan kata-kata di sini. Di Australia, m ereka
term asuk: Adrian Vickers, Barbara Hatley, Charles Coppel, Dan
Devitt, David Bourchier, David Hanan, J em m a Purdey, J essica
Melvin, J oel S. Kahn, J ustin Wejak, Kate McGregor, Keith Foulcher,
Koici Iwabuchi, Krishna Sen, Marshall Clark, Maxwell Lane,
Michelle Antoinette, Miriam Lang, Quentin Turnour, Rebecca
Conroy, Richard Chauvel, Siauw Tiong Djin, Sri Wahyuningroem ,
Vedi Hadiz, dan Virginia Hooker.
Mereka yang berada di luar Australia term asuk Andrew
Weintraub, Ben Abel, Bettina David, Chua Beng Huat, Hong
Lysa, J ennifer Gaynor, J oshua Coene, J oshua Oppenheim er,
Laurie Sears, Liew Kai Khiun, Loren Ryter, Mary Zurbuchen,
Michael Buehler, Nancy J Sm ith-Hefner, Nissin Otm azgin, Ram ya
Sreenivasan, Robert Hefner, Roger Desforges, Rom m el Curam ing,
Ronnie Hatley, Sum it Mandal, Thongchai Winichakul, dan Ward
Keeler.
Pada tahun 20 10 saya m endapat kehorm atan untuk m endis-
kusikan rancangan beberapa bab awal buku ini dalam beberapa
sem inar dan konferensi di Korea Selatan dan Am erika Serikat.
Dari setiap kesem patan, saya m em peroleh kom entar-kom entar
am at penting dari para hadirin. Ini m eliputi Sogang Institute
of East Asian Studies di Universitas Sogang (Seoul); panel pada

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
xiv Identitas dan Kenikmatan

“Dangerous Histories” (salah satu tuan rum ahnya adalah Center


for Southeast Asian Studies, University of Wisconsin-Madison)
dalam pertem uan tahunan Association of Asian Studies di
Philadelphia; Baldy Center for Law and Social Policy, University
of Buffalo Law School, State University of New York di Buffalo;
Program Asia Tenggara di Cornell University, Ithaca; dan Kajian
Internasional pada J ackson School, University of Washington
di Seattle. Pada tahun 20 11 saya m endiskusikan sebagian dari
tem uan-tem uan awal dari penelitian ini di Asia Research Institute
di National University of Singapore.
Pada tahun 20 12, saya m endapatkan cuti panjang dari ANU
yang telah m em ungkinkan saya untuk m enyelesaikan seba gian
besar naskah buku ini di J epang dan Eropa. Pada paruh awal
tahun 20 12, saya m enjadi Visiting Research Fellow pada Center
for Southeast Asian Studies, Kyoto University yang bergengsi itu.
Caroline Hau m enjadi sponsor saya. Bantuan J afar Suryom enggolo
dan Chiaki Abe m eringankan pekerjaan dan kebutuhan sehari-
hari saya selam a saya tinggal di J epang. Mikihiro Moriyam a
m engundang saya untuk m endiskusikan karya yang sedang saya
kerjakan di Center for Asia Paciic Studies pada Nanzan University
di Nagoya; Nobuhiro Aizawa m engatur diskusi serupa pada Inter-
disciplinary Studies Center, Institute of Developing Econom ies,
J ETRO di Tokyo.
Pada paruh kedua tahun 20 12, saya m enjadi Visiting Research
Fellow pada Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde
(KITLV), Leiden. Saya m endapat kehorm atan besar disponsori
oleh Henk Schulte Norholdt dan Bart Barendregt. Selam a tinggal
di Belanda, Gerry van Klinken (KITLV) dan Helen van der Minne
(IIAS) am at m em bantu m em buat saya sangat kerasan, sehingga
m eningkatkan daya-kerja dan proses penulisan yang saya kerja-
kan. Segera sesudah fellow ship di Belanda ini, saya m endapat
ke horm atan untuk m enjadi Visiting Researcher pada Institut fur

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Ucapan Terima Kasih xv

Ethnologie di Universitat Freiburg, J erm an dan terlibat dalam


proyek “Historische Lebenswelten in popularen Wissenkulturen
der Gegenwart” bersam a J udith Schlehe dan Sylvia Paletschek
yang bertindak bersam a sebagai sponsor saya. Terim a kasih
sedalam -dalam nya kepada m ereka berdua, juga kepada beberapa
kandidat doktor yang sangat ram ah: Agni Malagina, Evam aria
Sandkuhler, Melanie V. Nertz, Vissia Ita Yulianto, dan Tandy
Kurniawan.
Saya juga berterim a kasih pada dukungan luar biasa dari
Paul Kratoska, Peter Schoppert, Christine Chong, dan Lena Qua
(NUS Press), dan Yoko Hakam i (Kyoto University) dalam m ener-
bitkan buku ini dalam versi aslinya yang berbahasa Inggris. Rasa
terim a kasih yang tulus saya ucapkan kepada dua orang anonim
yang m enjadi pengulas naskah buku ini, atas kom entar, kritik,
dan usulan m ereka yang luar biasa dan penting. Terim a kasih
yang sebesar-besarnya saya sam paikan kepada Eric Sasono atas
kehorm atan besar yang diberikan kepada saya dengan m e ner-
jem ahkan buku ini ke dalam Bahasa Indonesia secara sangat
cem erlang. Heidi Arbuckle (Ford Foundation di J akarta), telah
m em berikan dukungan yang besar untuk proses penerbitan
buku ini dan peluncurannya di Indonesia. Christina M. Udiani
(Kepustakaan Populer Gram edia) m em berikan perhatian, ban-
tuan, dan kesabaran yang luar biasa sehingga buku ini dapat
diha dirkan di Indonesia dalam bentuk dan waktu sesuai dengan
rencana. Melani Budianta, Budiawan, Francis Dom ini Hera, dan
Bart Barendregt ikut m elancarkan usaha awal saya m enyiapkan
penerbitan buku ini dalam versi Bahasa Indonesia.
Biarpun daftar nam a-nam a lem baga dan rekan perorangan
yang telah saya sebutkan di atas sudah panjang, daftar itu jauh
dari lengkap. Perlu saya tegaskan pula, di balik sem ua bantuan itu,
pada akhirnya saya sendirilah yang bertanggung jawab terhadap
segala m acam kekurangan yang m asih ada pada buku ini.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
xvi Identitas dan Kenikmatan

Saya lahir dan dibesarkan pada m asa dan dalam lingkungan


sosial yang tidak terbiasa m engucapkan “terim a kasih” kepada se-
se orang yang am at dekat dan anggota keluarga sendiri. Na m un,
sesudah sekian lam a m eninggalkan tanah kelahiran saya se lam a
bertahun-tahun, dan kini m enggunakan bahasa dan cara kom u-
nikasi yang am at berbeda, saya hanya dapat m enya ta kan secara
canggung cinta dan terim a kasih saya yang tak berbatas kepada
dukungan m aterial, m oral, dan em osional yang tak terhingga dari
tem an-hidup saya, Yanti, dan kedua anak kam i, Arya dan Nina
yang selam a belasan tahun dengan penuh kesa baran m engikuti
saya berpindah-pindah tem pat tinggal. J uga kepada ibu dan
saudara-saudara laki-laki saya di Indonesia sepan jang periode
penelitian ini berlangsung. Secara khusus, saya am at berterim a
kasih kepada belahan jiwa saya untuk kesabaran tiada taranya
dan dukungan tak terhingga pada saat-saat terbaik, terberat, dan
tersulit dari proses penulisan buku ini.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bab 1

Mengenang Masa Depan

BUKU INI m em bahas bagaim ana sebagian besar penduduk Indo-


ne sia, khususnya kelas m enengah m uda perkotaan, m encoba m e-
ru m uskan ulang identitas m ereka pada dekade pertam a abad ke-
21. Ini adalah m asa yang tak terduga, penuh dengan janji akan
ke be basan tapi juga, pada saat yang sam a, ketakutan. Masa ini
juga ditandai oleh beberapa hal seperti: peningkatan politik islam i
yang belum pernah sedahsyat belakangan ini, perdebatan publik
tentang pelanggaran hak asasi m anusia di m asa lalu, perpecahan
yang berkepanjangan dan tak terdam aikan di kalangan elite poli-
tik, bangkitnya kekuatan ekonom i Asia, serta revolusi kom unikasi
digital yang disam but secara bergairah oleh kaum m uda di seluruh
dunia. Gejala-gejala kem asyarakatan dipengaruhi oleh lowongnya
kekuasaan yang terkuak sesudah berakhirnya rezim represif
yang telah m enikm ati kekuasaan yang panjang. Indonesia pada
dekade pertam a abad ke-21 sem pat m enikm ati periode singkat
yang gegap gem pita dan penuh optim ism e, tetapi segera diikuti
oleh kekecewaan, kebingungan arah, serta keputusasaan. Dengan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
2 Identitas dan Kenikmatan

latar belakang seperti ini, berbagai upaya kreatif dan percobaan


m encari jalan baru telah dilakukan, harapan baru benar-benar
berkem bang, sesekali diselingi oleh nostalgia keja yaan m asa lalu
dan bayangan ketidakpastian m asa depan.
Di tengah ekspansi industri m edia global m aupun nasional
yang belum pernah sehebat sekarang, juga jejaring global m edia so-
sial, kebanyakan pertem puran ideologis untuk m engisi keko songan
posisi hegem onik kekuasaan terjadi di arena budaya populer, da-
lam berbagai bentuknya, dan dirancang dengan sasaran kaum
pro fesional yang sedang berada di tengah-tengah karir m ereka,
serta kaum m uda perkotaan yang tengah m elonjak jum lahnya.
Ke lom pok-kelom pok sosial ini hanya m erupakan bagian kecil saja
dari 220 juta penduduk Indonesia, dan m ereka tidak m ewakili
aspirasi sebagian besar m asyarakat Indonesia. Nam un jum lah
m ereka bertam bah, dan suara m ereka am at lantang di ruang pu-
blik. Dapat diduga bahwa m ereka sangat m enarik perhatian para
elite politik dan ekonom i, entah sebagai calon sekutu m aupun
sebagai bibit m usuh. Bagaim anapun, lebih m udah bagi orang-
orang yang sedang berkuasa untuk bicara kepada kaum m uda
perkotaan dan kaum profesional ini ketim bang kelom pok sosial
lainnya yang terdiri dari kelom pok etnis yang am at beragam ,
tersebar di berbagai pulau di negara-bangsa bernam a Indonesia
ini. Sekalipun secara internal kaum m uda urban perkotaan dan
profesional ini am at beragam , m ereka, sebagaim ana kelom pok
sosial sejenis di berbagai tem pat lain di dunia, m em iliki kesam aan
satu sam a lain, terutam a apabila dibandingkan dengan generasi
yang lebih tua dan kelom pok m asyarakat jelata yang kurang ber-
untung. Kesam aan itu adalah: tingkat pendidikan, kem am puan
eko nom i, selera kultural, pola konsum si, dan ketertarikan ter-
hadap persoalan-persoalan nasional dan internasional.
Dengan m enggunakan analisis yang peka pada nuansa terha-
dap peran serta dan representasi m ereka dalam screen culture

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mengenang Masa Depan 3

atau budaya layar (sinem a, televisi, internet, dan m edia sosial),


serta m em perhitungkan berbagai lapisan konteks politis dan
his toris, kajian ini dengan hati-hati akan m enelisik aspirasi ke-
lompok demograis ini sesudah runtuhnya diktator militer Orde
Baru (1966-1998). Sem entara fokus buku ini tetap pada politik
ke budayaan kontem porer di Indonesia, setiap bab juga m enye-
dia kan banyak pertim bangan m engenai apa yang terjadi pada
abad yang sudah lewat, dari sudut pandang historis. Sekalipun
tu juan utam a buku ini adalah m enganalisa secara m en dalam
per saingan politik dan pencarian identitas yang terjadi dalam
satu bangsa, setiap bab m enam pilkan keterlibatan trans nasional
dan dim ensi global narasi tersebut. Pesan utam a yang disajikan
dalam buku ini: Indonesia telah diberkahi, tak hanya oleh keka-
yaan kem asyarakatan dan kebudayaan, tapi juga oleh sejarah
pan jang perkem bangan gagasan yang cem erlang. Berbagai ga-
gas an ini m erupakan hasil persaingan sekaligus percam puran
ber bagai pandangan yang m uncul dari orang-orang berwawasan
kos m opolitan yang berupaya m enjelajahi bentuk lokal m odern itas
hibrida. Sayangnya, sejak pertengahan abad lam pau, banyak ke-
ka yaan budaya ini telah dihapus dari sejarah resm i dan ingatan
bersam a. Sisa-sisa keragam an dan kosm opolitanism e itu kini
m enjadi sasaran serangan kelom pok-kelom pok m odernis yang
saling bersaing, dan sem uanya berupaya m em aksakan batasan
sem pit m engenai m akna m enjadi Indonesia. Untungnya, selalu
ada harapan di m asa depan, sebab serangan terhadap kekayaan
sejarah dan keragam an Indonesia tidak pernah berlangsung
habis-habisan atau sepenuhnya berhasil.
Bab ini m encakup tiga bagian. Pertam a, saya akan m enyedia-
kan sem acam uraian latar belakang yang akan m enjadi penting
untuk pem aham an bab-bab berikutnya. Term asuk di dalam bab
ini adalah gam baran singkat dan sederhana, tapi perlu, sejarah
politik dan budaya Indonesia. Kedua, saya akan m enawar kan
survei yang um um dari kondisi m edia (m ediascape) di Indo-

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
4 Identitas dan Kenikmatan

nesia, khususnya di Pulau J awa, pada m asa peralihan abad, yakni


periode yang m enjadi perhatian utam a buku ini. Terakhir, saya
akan m enyediakan beberapa patah kata tentang konsep-konsep
utam a dan m etode yang digunakan dalam kajian ini; juga alasan
lingkup kajian yang saya pilih dan beberapa pengakuan tentang
beberapa keterbatasan penelitian ini.

KEMBALI KE MASA D EPAN


Dalam beberapa hal, Indonesia pasca-1998 m engingatkan kita
pada negara ini ketika berada di dekade pertam a kem erdekaan-
nya yang diproklam asikan tahun 1945 dan m endapat pengakuan
inter nasional pada tahun 1949. Dalam dua periode berbeda ini,
Indonesia m encoba m em bangun ulang dirinya sebagai negara-
bangsa yang terhorm at, m odern, dan berdaulat, seiring dengan
run tuhnya pem erintahan represif yang telah m em erintah dalam
waktu lam a. Kedua periode ini m enyaksikan tum buh-kem bang-
nya harapan-harapan baru, tetapi juga terbukanya luka-luka so -
sial yang telah lam a ada, seiring dengan tum bangnya puing-puing
ke lem bagaan yang dihasilkan oleh peralihan kekuasaan yang ber-
langsung dengan penuh kekerasan. Dalam dua periode ter se but,
perjuangan m em bangun sebuah bangsa itu berjalan lebih sulit
ke tim bang yang sem ula diper kirakan oleh para pendukung dan
pelaksananya. Ada ledak an energi dan em osi (sebagian besarnya
tak tertata) yang tiba-tiba berham buran sesudah periode panjang
ketertiban yang dipaksakan lewat ketakutan dan penam pilan ber-
pura-pura patuh di perm ukaan. Kebanyakan energi ini tersa lur
untuk m elakukan berbagai percobaan penuh sem angat berupa
aspirasi dem okratis yang tak terpusat. Hal ini terjadi beriring
d engan harapan serba m uluk yang tak realistis yang biasanya m e-
nem ani pem bangunan ulang negeri-negeri yang baru m erdeka.
Tak lam a kem udian, upaya-upaya ini harus berbenturan
de ngan kenyataan-kenyataan buruk, sebagiannya disebabkan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mengenang Masa Depan 5

oleh penghancuran besar-besaran landasan yang dibutuhkan


untuk m em bangun sebuah m asyarakat ideal, dan sebagiannya
lagi disebabkan oleh trauma yang dihasilkan oleh konlik penuh
keke rasan yang telah m enaklukkan rezim sebelum nya. Sum ber
lain kesulitan m endasar dalam dua periode adalah keragam an
dan ketidak cocokan berbagai kekuatan sosial yang m em bentuk
Indonesia. Ketika kecenderungan untuk tercerai-berai yang se-
la m a ini ditekan oleh rezim yang represif akhirnya tam pil ke
per m ukaan, tingkat perselisihan yang m engem uka m em buat
banyak orang terkejut-kejut. Sebelum nya, banyak kelom pok
sosial m em bentuk persekutuan dem i kepentingan bersam a ber-
jangka -pendek, dalam rangka m enghajar rezim lam a yang diang-
gap se ba gai m usuh bersam a. Serupa dengan kondisi situasi
sesudah Musim Sem i Arab (post-Arab Spring) pada dekade 20 10 ,
orang Indo nesia dalam dua periode itu kaget ketika disadarkan
kenyataaan: segera sesudah m usuh bersam a m enghilang, m ereka
harus m enghadapi tantangan lebih berat dalam m em elihara per-
satuan sesam a m ereka agar bisa m elangkah m aju dan m enik m ati
buah kem enangan m ereka. Kesejajaran situasi antara Indonesia
m utakhir dan m asa sesudah kem erdekaan patut ditekankan de-
ngan tiga alasan, yaitu perlunya m em aham i kondisi m asa kini
dengan perspektif historis yang sepadan, perlunya m engenali
m asalah-ideologi hiper-nasionalis yang telah m enguasai im ajinasi
publik, dan perlunya m em bongkar am nesia publik Indonesia ten-
tang sejarahnya sendiri yang kom pleks. Dalam bab-bab berikut,
saya akan m enguraikan m asing-m asing dari ketiga butir, m eng-
ingat betapa pentingnya sem ua itu dalam m em aham i bab-bab
berikutnya.
Pertam a, perspektif historis yang lebih luas m em bantu kita
un tuk m enghindar dari kecenderungan penyam arataan yang ter-
jadi dalam berbagai diskusi (akadem is m aupun non-akadem is)
yang berlebihan dalam m em perhitungkan akibat dan nilai pen ting

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
6 Identitas dan Kenikmatan

kejatuhan rezim Orde Baru. Banyak analisa dan kom entar telah
m elebih-lebihkan kebaruan dari berbagai hal yang terjadi sesudah
1998, m enganggap kejatuhan Orde Baru sebagai titik berangkat
bagi banyak peristiwa dan kejadian penting sesudahnya. Sebagian
m elakukan hal itu dengan sikap atau niat m enyam butnya, sebagian
lain m enyesalinya, atau kom binasi keduanya. Kecenderungan
um um ini m elupakan fakta bahwa banyak perubahan yang dinya-
takan sebagai ‘pasca-1998’ sebenarnya telah dim ulai beberapa
tahun sebelum kejatuhan resm i Orde Baru. Contohnya yang juga
ber ten tangan dengan anggapan banyak pengam at adalah peng-
hentian penayangan ilm Pengkhianatan G 30 Septem ber/ PKI
yang sebelum nya diwajibkan tayang di jaringan televisi swasta
(lihat Bab 4), dibolehkannya lagi penam pilan barongsai pada pe-
rayaan Im lek (lihat Bab 6), dan transform asi pakaian m uslim ah
dari tindakan perlawanan m enjadi pernyataan busana (fashion
statem ent) di antara kaum kaya Indonesia (lihat Bab 2). Sebagian
dari gejala atau perilaku tersebut m em ang m em bawa sem acam
ke baruan atau m eningkat intensitasnya sejak 1998; m isalnya
per luasan industri m edia dan anjungan distribusi untuk m edia
baru, serta runtuhnya keabsahan bagi pemerintahan militerisme
atau hak-hak istim ewa m iliter dalam lem baga politik. Nam un, ba-
nyak hal lain m asih berlanjut, seperti lingkaran elite politik yang
terus m en dom inasi pem erintahan pusat, dan m asih digdayanya
wa cana anti-kom unis. Pada beberapa wilayah kehidupan publik,
kerun tuhan Orde Baru tam pil sebagai kem balinya Indonesia pada
dekade 1950 -an. Layak disesalkan, berbagai kem iripan kedudukan
Indo ne sia m utakhir dengan periode ini tak cukup banyak diba has
oleh mereka yang melakukan kajian mengenai Indonesia kon tem-
porer.1

1 Satu perkecualian penting dari kecenderungan um um ini adalah satu gugus


kecil sem inar yang dituanrum ahi oleh Herb Feith Foundation yang berkedu-
dukan di Melbourne, Australia. Karya utam a Feith m em bahas politik Indonesia

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mengenang Masa Depan 7

Kedua, sebuah perbandingan dengan m asa lalu penting untuk


dilakukan karena sentim en nasionalism e yang berlebihan (hy per-
nationalism ) terus berjaya di Indonesia kini. Tentu saja, hal itu
tak lebih seru ketim bang suasana gegap-gem pita ketika bangsa ini
baru m em erdekakan diri setengah abad sebelum nya. Sentim en
ini m enam pakkan diri tak hanya pada perayaan-perayaan publik
resm i, atau juga pada propaganda negara yang berlangsung dari
atas, tapi juga tam pil secara lum rah dalam kehidupan sehari-ha-
ri orang-orang kebanyakan, bahkan pada saat-saat yang sangat
pribadi ketika m ereka m enikm ati waktu senggang dan hiburan.
Selam a rezim Orde Baru, pem erintah telah m eram u sentim en ter-
sebut dengan m em buang unsur-unsur populisnya, m em uliakan
rum usan barunya setelah diselipi unsur-unsur fasis rezim m iliter
berupa seragam , upacara resm i, m askulinitas yang siap tem pur,
dan ketakutan terhadap segala sesuatu yang berbau asing. Nam un
berlangsungnya nasionalism e yang rom antis seperti itu berjalan
dengan baik tanpa langsung di bawah kendali dan sponsor
pem erintah. Beberapa contoh di bawah ini akan m enggam barkan
hal tersebut.
Menjelang akhir pendudukan Indonesia di Tim or Leste, ke-
banyakan orang Indonesia tak punya pilihan kecuali m em per cayai
pro paganda rezim Orde Baru yang m enggam barkan pen du dukan
berbasis m iliter (1975-1999) sebagai integrasi suka rela Tim or
Leste dengan Indonesia. Represi m iliter gerakan pro-kem er dekaan
Tim or Leste nyaris tak dilaporkan oleh m edia nasional. Ke tika
gerakan seperti itu (sedikit sekali) dilaporkan, peristiwa- peristiwa
itu digam barkan oleh m edia sebagai upaya aparat ke am anan
untuk m enegakkan aturan hukum dan ketertiban, m enyusul

pada dekade 1950 -an. Maka sem inar dan kuliah um um yang diselenggarakan
oleh lem baga ini pada tahun 20 0 0 -an, m au tak m au m em perhitungkan secara
serius dim ensi perbandingan antara dua periode yang terpisah lebih dari
setengah abad itu.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
8 Identitas dan Kenikmatan

terjadinya kerusuhan diiringi kekerasan yang konon dim ulai oleh


kelom pok separatis. Um um nya publik m enelan m entah-m en tah
penjelasan ini. Bocornya berita tentang kem atian warga sipil tak
bersenjata dan terbakarnya rum ah-rum ah m ereka telah m enim -
bulkan keresahan diam -diam di kalangan beberapa orang yang
peka dalam soal politik, tapi tidak ada satu pun dari berbagai pe-
ristiwa itu yang m em icu am arah publik secara terbuka. Hal yang
m em provokasi publik untuk protes secara nasional justru berita
tentang pem bakaran bendera Merah Putih pada saat terjadinya
protes m assa terhadap pem erintah Indonesia di beberapa Kon-
sulat J enderal dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Aus-
tralia. Pada saat penulisan buku ini, pengibaran bendera Bintang
Kejora yang m erupakan lam bang Papua Merdeka m asih dianggap
se ba gai kejahatan serius oleh banyak orang di Indonesia, dan bela-
kangan ini tindakan tanpa kekerasan seperti pengibaran bendera
itu m enerim a balasan keras dari aparat penegak hukum . Serupa
dengan hal itu, orang-orang di Indonesia turun ke jalan untuk
m e lakukan protes terhadap Malaysia karena m enggunakan lagu
“Rasa Sayange” dalam sebuah kam panye prom osi wisata pada
bulan Oktober 20 0 7, dan hal ini m em icu debat m engenai kepe-
m ilikan warisan budaya nasional.
Sejak pertengahan abad lalu, nasionalism e dan didaktism e
(gairah menggurui) masih kuat dalam ilm Indonesia (lihat
Heider, 1991). Dapat dim aklum i, hal ini telah berkem bang ber-
iringan dengan perjuangan di luar layar oleh bangsa ini untuk
m e nguatkan kem erdekaan yang baru diraih, sam bil berancang-
an cang m enghadapi ancam an disintegrasi nasional yang tak pu-
tus-putus, seraya m enyatakan pendirian nasional dalam m eng-
ha dapi serbuan hegem oni m odernitas m odel Barat yang terus
ber langsung, khususnya m elalui industri hiburan. Sesudah jeda
berupa satu dekade masa pragmatis dalam industri ilm—ber­
fokus pada tema­tema semi pornograi, kekerasan, dan thriller

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mengenang Masa Depan 9

pada dekade 1990­an—tema nasionalisme kembali berkobar de­


ngan dosis tinggi pada dekade 20 0 0 -an. Hal ini tam paknya m em i-
kat hati banyak pihak, baik lem baga-lem baga pem erintah yang
m asih dikontrol dengan ketat (Lem baga Sensor Film , kem ente-
rian ter kait, dan Festival Film Indonesia) m aupun bagi penonton
dom estik.
Salah satu ilm paling sukses secara komersial di Indonesia
adalah Laskar Pelangi (20 0 8, Riza); 4,6 juta orang dilaporkan
telah menonton ilm tersebut. Berdasarkan sebuah novel laris
semi­otobiograi, ilm tersebut dan sekuelnya, Sang Pem im pi
(20 0 9, Riza), bercerita tentang sekelom pok anak m uda Indonesia
yang berasal dari latar belakang yang sederhana tapi m am pu
m en capai cita-cita m ereka untuk m enem puh pendidikan tinggi
ber kat kerja keras m ereka dan dedikasi orangtua serta guru m e-
reka. Film seperti ini m enjam in penonton akan m erasa ber ba ha-
gia mengidentiikasi identitas mereka sebagai orang Indonesia,
sekalipun para tokoh ini datang dari latar belakang yang seder -
hana. Sebelum nya, sutradara yang sam a, Riri Riza, dan pro duser-
nya, Mira Lesmana, membuat ilm semi­sejarah Gie (20 0 5, Riza)
ten tang seorang aktivis hiper-nasionalis yang puritan secara m oral
yang m ati m uda. Merah Putih, m enjadi judul trilogi Merah Putih I
(20 0 9, Sugandi), Darah Garuda-Merah Putih II (20 10 , Allyn dan
Sugandi), dan Hati Merdeka-Merah Putih III (20 11, Allyn dan
Sugandi). Kem udian Garuda, burung m itos yang m enjadi logo
seragam tim sepakbola nasional Indonesia diadopsi m enjadi judul
ilm Garuda di Dadaku (20 0 9, Isfansyah) dan lanjutannya Garuda
di Dadaku 2 (20 11, Soedjarwo). Pada dekade yang sam a, produser
Nia Sihasale dan sutradara Ari Sihasale membuat satu seri ilm
yang m engelus-elus perasaan nasionalism e, term asuk King (20 0 9,
Sihasale), yang diam bil dari nam a salah seorang juara bulu tangkis
asal Indonesia. Lagu kebangsaan Indonesia Raya bergem a pada
adegan penutup ilm itu. Ketika organisasi mahasiswa Indonesia

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
10 Identitas dan Kenikmatan

di sebuah universitas di Australia m enyelenggarakan pem u taran


ilm ini di kampus mereka, separuh penonton yang umumnya me­
rupakan orang dewasa dari Indonesia, secara spontan berdiri saat
m endengar lagu kebangsaan itu dan ikut m enyanyikannya dengan
khidmat hingga ilm berakhir!2
Ketiga, perspektif historis diperlukan karena banyak orang
Indonesia m engalam i am nesia sejarah yang serius selam a bebe-
rapa dekade belakangan dan tak banyak peneliti asing yang m em -
bantu m em bongkar m asalah ini. Hal ini sepintas seperti ber ten-
tangan dengan pandangan saya di alinea sebelum nya m enge nai
hiper-nasionalism e. Masalahnya, sekalipun terjadi pengagung-
an terhadap kebangsaan dan rom antisasi m asa lalu, baik seja-
rah resm i yang dirayakan sebagai kisah perjuangan nasional ke-
m er dekaan m aupun kisah sulitnya hidup di bawah penjajahan
Belanda sam a-sam a am at berm asalah. Ini akibat dihapusnya
as pek-aspek rum it dan tak m enyenangkan sejarah bangsa In do-
ne sia dalam penulisan kitab sejarah resm i. Dalam karya sas tra
dan ilm, hal itu sering kali menjadi cerita karikatural hitam putih
yang terdiri dari pahlawan-pahlawan (terutam a dari kalangan
m iliter dan param iliter) m elawan m usuh-m usuh ‘jahat’ yang pasti
kalah (terutam a penjajah Belanda atau sesam a orang Indonesia
berorientasi ideologis kekiri-kirian, term asuk pengikut presiden
pertam a RI, Sukarno serta anggota Partai Kom unis Indonesia dan
para sim patisannya). Pada m asa pem erintahan Orde Baru, m ereka
yang berani m enggugat sejarah resm i dihukum berat. Wawasan
sejarah yang berm asalah itu m asih bertahan, m elam paui m asa
keruntuhan rezim Orde Baru. Akibatnya, banyak orang Indonesia

2 Salah satu pengulas ilm ini membuat komentar—yang jarang ditemukan—


tentang bendera Merah Putih yang dipakai dalam berbagai ilm Indonesia
sebagai pem ecahan segala jenis m asalah yang m enghadang tokoh-tokoh dalam
ilm (Pasaribu, 2013). Selain mengulas Hasduk Berpola (2013, Nizam), ia juga
mengkritik ilm 5 cm (20 12, Mantovani) dengan alasan serupa.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mengenang Masa Depan 11

yang lahir dan dibesarkan dalam dua generasi terakhir, hidup tan-
pa m engalam i pendidikan dasar dan berim bang m engenai seja rah
nasional m ereka sendiri.
Dam paknya bukan sekadar serangkaian ruang kosong dalam
kisah resm i bangsa ini, tapi yang lebih serius dari itu, tersebar
luasnya kepicikan wawasan historis dalam m endiskusikan m asa-
lah-m asalah m utakhir. Sekadar contoh, perdebatan yang terjadi
sebelum pengesahan undang-undang anti­pornograi pada tahun
20 0 8, atau pe nye rangan terhadap sekte kelom pok m inoritas
dalam Islam dan kelom pok agam a lain yang terjadi pada dekade
yang sam a, um um nya berpusar pada rincian m engenai rangkaian
konlik, pelik­pelik ayat dan pasal perundang­undangan, atau saka
guru moral, teologis, dan ilosoisnya. Yang luput dari berbagai
de bat publik itu adalah pertanyaan berkaitan dengan m om entum
sejarahnya: mengapa konlik­konlik dalam skala sebesar ini me­
ningkat sedem ikian rupa sejak tahun-tahun terakhir Orde Baru?
Ten tunya, hal itu dapat dihubungkan dengan islam isasi di Indo-
nesia. Pertanyaan berikutnya, m engapa islam isasi juga baru ter-
jadi sekarang? Mayoritas penduduk Indonesia telah m enganut
Islam sejak berabad-abad lalu. Lantas m engapa aspirasi politik
m ayoritas ini gagal m eraih posisi dom inan sejak dulu? Dalam Bab
2 dan 4, saya m encoba m encari jawaban yang belum utuh atas
pertanyaan itu.
Hiper-nasionalism e dan am nesia sejarah tak sepenuhnya sa-
ling bertentangan. Kecintaan nyaris tanpa syarat kepada bangsa
dibangun berdasarkan paduan antara pengetahuan dan pengabai-
an yang selektif, juga m engabaikan serta m elupakan bagian-ba gian
sejarah yang dianggap tak m enyenangkan. Dalam hal ini, Indo-
nesia tidak unik. Bukan hanya cinta itu buta, tapi sebagaim ana
diam ati oleh Ernest Renan lebih dari seabad lalu, “Melupakan,
bah kan saya akan m enyebutnya sebagai kekeliruan sejarah, m e-
ru pa kan faktor kunci dalam terbentuknya sebuah bangsa” (1990 :

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
12 Identitas dan Kenikmatan

11). Perbandingan keadaan Indonesia pada dekade 1950 -an dan


20 0 0 -an juga harus m em perhatikan beberapa perbedaan penting.
Tak seperti situasi pasca-kem erdekaan, kem balinya situa si yang
am at cair di Indonesia berlangsung bersam aan dengan ter ja dinya
ledakan m edia yang seakan-akan sedang m endekati titik jenuh,
yang disebabkan oleh cepat dan luasnya penyebaran m e dia baru
m elalui teknologi digital. Mayoritas orang-orang yang sedang
berkuasa di Indonesia saat ini dan yang sedang m engkaji sejarah
negeri ini m erupakan orang-orang yang term asuk dalam “ge-
nerasi terakhir m anusia yang m am pu m engingat kehidupan sebe-
lum adanya internet, walaupun itu baru saja” (Grossm an 20 10 :
tanpa halam an).
Pada pertengahan abad lalu, hanya sejum lah kecil orang ber-
pendidikan m engam bil bagian dalam rangkaian perdebatan yang
berlangsung lam a dan bergengsi m engenai bagaim ana negara-
bangsa yang baru m erdeka ini seharusnya dikelola, bagaim ana
arah m asa depan harus ditentukan, dan yang terpenting, apa se-
sungguhnya m akna m enjadi Indonesia. Berbeda sekali dengan
yang terjadi pada dekade pertam a abad ke-21, teknologi m edia
sosial telah m endem okratisasi nyaris seluruh perdebatan publik
hingga ke tingkat yang tak terbayangkan sebelum nya. Hal ini tak
berarti bahwa segala perkem bangan ini serba baik, kecuali jika
ada orang yang secara naif percaya bahwa dem okrasi selalu pen-
ting dan baik untuk segala hal.3 Dem okratisasi m edia telah m e-
ningkat sejak kejatuhan Orde Baru, sem entara kepedulian dan
ke m am puan negara serba terbatas untuk m engatur dan m engen-
dalikan kebebasan berbicara.
Akibat perpecahan yang tajam , faksi-faksi dalam elite politik
tak m em iliki banyak pilihan kecuali bernegosiasi m em bentuk per-

3 Untuk upaya sederhana dalam menguji secara kritis konsep dan praktik ‘demo­
krasi’, lihat Heryanto (20 0 8) dan Bab 8 buku ini.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mengenang Masa Depan 13

sekutuan atau bersaing satu sam a lain dalam m eraih dukungan


publik guna bertahan secara politik. Nam un, yang dinam akan
pu blik juga terpecah-belah. Sebagian kelom pok berusaha m ewu-
judkan agenda politik yang tertutup dan konservatif, dan hal ini
m erisaukan kelom pok m asyarakat lain yang berpikiran pluralis.
Yang sering terjadi, m ereka yang sedang m em erintah tak terlalu
peduli pandangan dan aspirasi yang m uncul dalam m asyarakat
ketika terjadi perdebatan berisik di berbagai tem pat di ranah
publik. Nam un hal ini tak berarti elite politik dapat sepenuhnya
m engabaikan kekuatan m edia baru atau budaya populer yang
belum pernah tercatat sebelum nya, yaitu kem am puan teknologi ini
dalam kelenturan, kem am puan beralih form at dari satu m edium
ke m edium yang lain, dan wataknya yang sangat interaktif.

LIN GKU N GAN MED IA BARU


Perubahan belakangan ini dalam m ediascape di Indonesia tidak
unik dan tak terpisah dari apa yang sedang terjadi di seluruh dunia.
Pada dekade kedua abad ini, m enjadi am at jelas bagaim ana m edia
baru telah cam pur tangan dan m em bentuk ulang kehidupan sosial
kita di seluruh dunia, dalam berbagai kadar. Hal itu bisa berarti
sesepele seseorang m em ajang fotonya di lam an Facebook ketika
bertem u seorang tem an lam a di sebuah kafe, dan m em buat foto
itu langsung bisa dilihat di seluruh dunia. Perubahan teknologi
ini m ewujud juga dalam hal yang lebih serius, sem isal bocornya
rahasia negara, atau serangan cy ber terhadap kekuatan intelijen
dan pertahanan negara pada tingkat tertinggi, seperti yang dipe-
ragakan oleh Wikileaks. Sekalipun wawasan Marshall McLuhan
(1964) m engenai ‘desa global’ tetap m erupakan sebuah utopia
yang naif bagi sebagian orang, perspektif dasarnya m asih ber-
m anfaat dan patut ditinjau ulang. Dari perspektif pem ikiran
McLuhan kita dapat m engajukan argum en yang substansial bah -
wa sistem percetakan dan bacaan yang m em bantu lahirnya im a ji-

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
14 Identitas dan Kenikmatan

nasi baru, revolusi, dan pranata sosial (seperti perbankan, sains,


dan m iliter suatu bangsa), m em ang telah m encapai puncaknya.
Sistem percetakan kini kelabakan dalam m enghadapi era baru
yang revolusioner ini, yang sebenarnya baru sedikit sekali dapat
kita ketahui pada m asa ini (lihat Bab 8).
Dunia kita adalah dunia yang m engubah

[c]ara-cara di m ana identitas secara tradisional telah dibentuk; kelas


sosial dan, keluarga inti, serikat pekerja, perasaan guyub, dan/ atau
lokasi geograis, seluruhnya itu menjadi amat cair dan tidak lagi
m enjadi pokok dalam m e nentukan siapa ‘kita’ sebagai anggota dari
kelom pok sosial tertentu.
(Rayner 2006: 346­7)

Gam baran itu secara khusus am at tepat bagi kaum m uda, di m ana
“ruang ngobrol online dan kom unikasi virtual yang m ereka tem pati
m enjadi lebih relevan dalam m enentukan siapa m ereka sebagai
pribadi, ketim bang televisi atau m usik populer yang, hingga batas
tertentu, masih mereka konsumsi” (Rayner 2006: 346). Teknologi
m edia dalam berbagai form at sudah dem ikian terpadu; alih-alih
bekerja secara terpisah dan bersaing satu sam a lain sebagaim ana
sebelum nya, isi m edia baru ini lebih m udah beralih wujud dari
satu m edium ke m edium lain, dan ini berlaku bagi jutaan orang.
Pada tahun 20 10 , m ajalah Tim e m em ilih Mark Zuckerberg
sebagai Tokoh Tahun Ini,4 sekalipun kandidat lainnya, salah satu
pe n diri Wikileaks, J ulian Assange, m em peroleh suara lebih ba-
nyak dari pem baca m ajalah itu beberapa hari sebelum pem ilihan
akhir. “Dalam kurang dari tujuh tahun, Zuckerberg telah m eng-

4 Pada saat buku ini disiapkan, Facebook telah “m enam bah 550 juta anggotanya.
Satu dari tiap 12 orang di dunia m em iliki akun Facebook. Mereka berbicara
dalam 75 bahasa dan secara bersam a m enghabiskan lebih dari 70 0 m iliar
m enit di Facebook setiap bulannya… Keanggotaannya kini bertam bah dengan
kecepatan sekitar 70 0 ribu orang per hari” (Grossm an, 20 10 : np)

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mengenang Masa Depan 15

hubungkan seperduabelas m anusia di bum i dalam satu jaringan…


nyaris dua kali lebih besar ketim bang jum lah penduduk Am erika.
J ika Facebook m erupakan sebuah negara, m aka ia akan m enjadi
negara terbesar ketiga di dunia, di belakang Tiongkok dan India”
(Grossm an, 20 10 ). Kala itu (20 10 ), Indonesia m erupakan negara
dengan pengguna Facebook keem pat di dunia, naik dari peringkat
ketujuh pada tahun sebelum nya. Dua tahun sebelum itu (20 0 7),
Indonesia sam a sekali tak tercatat pada peringkat yang dibuat oleh
Nick Burcher di blog-nya. Setahun kem udian (20 11), Indonesia
m elom pat ke posisi kedua di dunia (Burcher 20 12).
Sepuluh tahun sejak kejatuhan Orde Baru, jum lah m edia
ber izin di Indonesia m elonjak lebih dari dua kali lipat, dari 289
m en jadi lebih dari 1.0 0 0 . J um lah stasiun TV swasta m eningkat
dari lim a m enjadi lebih dari sepuluh pada periode yang sam a.
J a ringan televisi lokal tak ada sem asa kejatuhan Orde Baru, tapi
satu dekade kem udian sekitar 150 jaringan telah beroperasi di
seluruh negeri. Pada saat buku ini disiapkan pada pertengahan
tahun 2013, jumlahnya meningkat lagi hingga 415 (Tem po 2013:
87). Media m assa telah m enjadi salah satu lem baga paling kuat
di Indonesia dan m enjadi satu-satunya industri yang m em perluas
pasar tenaga kerjanya di tengah-tengah krisis ekonom i tahun
1998 (Heryanto dan Adi 20 0 2). Beberapa pengusaha m edia bah -
kan m enggandakan pem asukan m ereka sepanjang periode ter-
sebut (Hill 20 0 7: 10 ) ketika jutaan perusahaan lain m engalam i
penyusutan. Untuk pertam a kalinya dalam sejarah Indonesia
m e nonton televisi m enjadi salah satu kegiatan sosial dan budaya
bagi “lebih dari 90 persen orang Indonesia (yang berusia di atas
10 tahun)” (Lim 20 11: 1); jum lah itu lebih dari 220 juta jiwa, 15
per sen di antaranya, m enikm ati jaringan televisi kabel (Lim 20 11:
2). Antara 60 hingga 80 persen dari siaran di televisi swasta m e -
ru pakan hiburan sem isal sinetron, ilm, infotainmen, dan reality
show , yang m erupakan tem pat sebagian besar penonton m eng-

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
16 Identitas dan Kenikmatan

habiskan waktunya (lihat lebih jauh data angka-angka seperti ini


dalam Lim 20 11: 15). Tak ada satu pun lem baga sosial di Indo-
ne sia yang m am pu m enarik perhatian publik dalam lingkup dan
intensitas serupa dengan media elektronik—khususnya televisi—
di Indonesia. Tak ada pula di Indonesia yang m am pu m e na rik
per hatian, dalam arti jum lah jam yang dihabiskan se hari-harinya,
ketim bang acara-acara televisi. Fakta-fakta ini saja m enghendaki
adanya penelitian khusus, jika tidak kajian m enge nai Indonesia
m utakhir akan m engalam i cacat yang parah.
Sesudah am bruk selam a satu dekade, sebagiannya disebab kan
oleh ketidakpercayaan publik pada ilm domestik,5 ilm­ilm baru
dari generasi baru pembuat ilm telah membuat terobosan, baik
secara estetik maupun komersial, melampaui popularitas ilm­
ilm Hollywood (Van Heeren 2002). Salah satu ilm lokal laris
yang paling awal mendorong kebangkitan kembali ilm Indonesia
adalah Ada Apa Dengan Cinta? (20 0 2, Soedjarwo). Surat kabar
The Guardian yang terbit di Inggris melaporkan ilm ini telah
“melampaui pendapatan dua ilm paling sukses Hollywood yang
pernah ditayangkan di Indonesia yaitu The Lord of The Rings dan
Titanic” (Grayling 2002). Sekalipun pembuat ilm lokal masih
terus m enghadapi pertem puran berat (akibat nyaris nihilnya du-
kungan dari pem erintah, kontrol m oral dari kelom pok-kelom pok
yang gemar main hakim sendiri, dan persaingan ketat dari ilm
im por), daya tahan dan antusiasm e dari satu generasi ke generasi
berikutnya am at m engagum kan. Menurut data terakhir yang
tersedia, nyaris separuh (46 persen) dari 85 judul ilm panjang

5 Krisis industri ilm pada awal dekade 1990­an merupakan akibat beberapa
fak tor, term asuk di antaranya kebijakan sensor yang ketat; m eningkat dras-
tisnya jumlah ilm impor, khususnya dari Hollywood; m eningkatnya jum lah
stasiun televisi swasta yang hadir dengan acara hiburan yang lebih m em ikat;
dan distribusi video bajakan yang dijual dengan harga m urah (Sen dan Hill
2000: 137­41).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mengenang Masa Depan 17

kom ersial yang dirilis pada tahun 20 12 dan ditayangkan di bios-


kop-bioskop utam a, disutradarai oleh sutradara baru (46 dari 78
sutradara) yang m asuk ke industri ilm (Indrarto 2013).
Tak seluruh ilm yang beredar merupakan sesuatu yang da­
tang dari atas, dipaksakan oleh industri ilm kepada seluruh pen­
duduk Indonesia. Dari dekade pertam a abad ke-21, orang-orang
m uda di seluruh Indonesia punya kesibukan baru yaitu m em buat
ilm pendek dan dokumenter berbekal anggaran amat minim dan
perangkat digital sederhana.6 Ketika stasiun televisi besar SCTV
m em utuskan untuk m enggam it kerja kreatif ini dan m em buka
kompetisi ilm pendek pertama pada tahun 2002, mereka mene­
rima lebih dari 1.000 judul ilm, sekalipun hanya sekitar 800 yang
dianggap layak (Van Heeren 20 12: 58).
Dengan adanya kesem patan baru untuk m enjangkau sebagian
besar penduduk, tak m engherankan jika budaya pop telah m enjadi
arena pertem puran ideologi guna m encapai posisi hegem onis da-
lam kekosongan kekuasaan bangsa.7 Beberapa elite politik dan
ekonom i nasional m enyam bar kesem patan ini dan m engam bil
for m at serta m uatan budaya pop untuk m engam panyekan nilai-
nilai dan ideologi m ereka (lihat Bab 8), sem entara yang lain nya
dengan m odal keagam aan yang kuat m encoba untuk m ena han
per tum buhan budaya pop, serta dengan dasar m oralitas m eng-
usulkan pem batasan lewat hukum (lihat Bab 2).
Mengikuti kecenderungan dalam ekonom i kapitalism e lanjut,
kepem ilikan dan pengendalian m edia cenderung m engerucut ke

6 Perkem bangan serupa terjadi di seluruh Asia Tenggara, lihat Iwanganij dan
McKay (20 12) dan Baum gartel (20 12).
7 Dalam sebuah perbincangan inform al pada tahun 20 0 8, Ishadi SK yang
ketika itu m enjadi Presiden Direktur Trans TV (jaringan stasiun televisi ter-
besar kedua di Indonesia) m engatakan kepada saya bahwa ia m enganggap,
m edia saat ini m erupakan salah satu lem baga paling berkuasa di Indonesia;
dalam penilaiannya, siapa yang m engendalikan m edia akan m engendalikan
perpolitikan nasional.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
18 Identitas dan Kenikmatan

tangan sedikit orang kuat. Bagaim anapun, sebagai negara indus -


trial yang datang belakangan, Indonesia m asih berun tung m e-
nyaksikan keragam an dan persaingan di antara m uatan m edia
jika dibandingkan dengan negara kapitalis paling m aju di m ana
kepem ilikan m edia jauh lebih terpusat. Politisi profesio nal dan
lem baga-lem baga politik kini secara agresif m enanam kan sum ber
daya m ereka pada perm ainan kekuasaan di m edia, dengan
m inat baru dan lebih besar daripada sebelum nya. Sem entara
itu para m ogul m edia m enggeliatkan otot kekuasaan m ereka de-
ngan m em asuki arena politik form al, seperti diperlihatkan oleh
Aburizal Bakrie (pem ilik ANTV, TVOne, VIVA new s, dan Ketua
Um um Partai Golkar), Surya Paloh (MetroTV, harian Media
Indonesia, dan Ketua Um um Partai Nasional Dem okrat), Hary
Tanoesoedibjo (RCTI, Global TV, MNCTV, Trijay a FM, Partai
Nasional Dem okrat), dan Dahlan Iskan (Grup J awa Pos, Menteri
Negara BUMN).
Agak m enyederhanakan persoalan apabila m em andang lan-
skap politik-m edia sem ata sebagai jalan sem pit yang terdiri hanya
dari hal-hal yang terjadi pada elite di tingkat paling atas. Elite
politik tak dapat sepenuhnya m endikte dan m engendalikan teks,
suara, dan gam bar yang disebarluaskan, diterim a, dan dipaham i
ke seluruh penduduk yang kelewat m ajem uk ini. Dengan per-
se baran m edia baru yang am at luas ini, tak ada kelom pok elite
yang m am pu m em onopoli lom ba m encapai ketenaran di m edia
yang kian dem okratis, jauh m elam paui yang diperkirakan banyak
orang dalam dua atau tiga dekade terdahulu. Tekanan besar per-
saingan di pasar industri m edia m enetes ke bawah hingga ke ting-
kat wartawan di lapangan, dan hal ini m endorong m ereka untuk
m encari berbagai jalan untuk m encoba dan m enguji batas-batas
baru kepantasan yang bisa diterim a oleh m asyarakat dalam rangka
kebebasan yang baru mereka raih—upaya yang melahirkan sedikit
keberhasilan dan lebih banyak kegagalan.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mengenang Masa Depan 19

Am at bodoh jika kita m enelan m entah-m entah pandangan


yang pernah diterim a um um m engenai kekuatan m edia baru ini
dan dam paknya pada perubahan sosial dan politik seakan-akan
m edia tersebut bekerja secara bebas untuk m em bela kelom pok-
kelom pok politik progresif saja. Nam un dem ikian, sulit juga untuk
m engabaikan kekuatan m ereka begitu saja. Kam panye Presiden
Am erika Serikat, Barack Obam a, m em perluas operasi m ereka ke
Facebook dan pada tahun pertam a berhasil m encatat jum lah peng-
gem ar terbanyak pada lam an penggem ar Facebook m elam paui
lam an penggem ar m anapun (Burcher 20 10 ), dan hal ini terjadi
berbarengan dengan periode pem ilihan um um di Am erika Serikat.
Nam un, m engingat popularitas Barack Obam a di dunia nyata, se-
jarah karir, dan basis partainya yang kuat, patut diperdebatkan
apa kah lam an penggem ar Facebook-nya m em berikan sum bangan
pen ting terhadap keberhasilan Obam a m em enangkan pem ilihan
presiden. Posisi puncak lam an penggem ar Facebook Obam a
yang juga baik di tahun kedua m asa jabatannya sebagai presiden,
boleh jadi disebabkan oleh kepopulerannya, bukan sebaliknya,
m eningkatkan popularitasnya. Hal ini tak bisa disam akan de-
ngan naiknya Presiden Susilo Bam bang Yudhoyono (SBY) dan
peran m edia m assa, khususnya televisi. SBY tak pernah diper-
hitungkan sebagai seorang pem im pin politik, apalagi calon pre-
siden, sebelum secara resm i m encalonkan diri pada tahun 20 0 4.
Berbeda dengan Partai Dem okrat Obam a, Partai Dem okrat yang
didirikan SBY baru m engepakkan sayap ketika bersaing pada pe-
m ilihan um um . Partai Dem okrat tak dianggap sebagai pesaing
serius bagi partai-partai utam a, dan ketika berhasil m engesankan
banyak orang, partai itu hanya bisa m eraih sedikit kursi saja dalam
pem ilu parlem en. Segera sesudahnya, SBY m em enangkan pem ilu
presiden. Sulit untuk m enjelaskan naiknya SBY secara tiba-tiba ke
tam puk kekuasaan, serta keberhasilannya untuk dipilih kem bali

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
20 Identitas dan Kenikmatan

pada tahun 20 0 9, tanpa m em perhitungkan keberhasilan tim


kam panyenya dalam m engerahkan kekuatan m edia m assa.8
Pesaing utam a SBY, Megawati Soekarnoputri, adalah Ketua
PDI­P—partai yang sudah punya sejarah panjang, terbentang
hingga masa perjuangan kemerdekaan Indonesia—dan sudah
per nah m eraih suara terbanyak dalam pem ilu parlem en. Per be da-
an utam a di an tara kedua calon presiden ini adalah ke m am puan
kom u nikasi m e reka di hadapan m edia m assa. Megawati banyak
m enge cewakan publik Indonesia dengan m enghindari m edia;
ketika dikejar oleh wartawan ia hanya berkata sedikit saja, jika tidak
diam sam a sekali. Kebalikannya, SBY tak hanya m em perlihatkan
perhatian berlim pah pada m edia, bekas perwira m iliter ini bah-
kan bernyanyi pada beberapa acara publik (term asuk dalam per-
tem uan-pertem uan internasional), m engeluarkan tiga album
kum pulan lagu (yang ketiga pada m asa jabatannya sebagai pre-
siden), dan menghadiri inal acara Indonesian Idol. Penge lo la an
pencitraan publik yang berhati-hati m erupakan tiket SBY untuk
m eraih kursi kekuasaan. Sayangnya, ia tak m am pu m em bangun
dan m engelola m odal awal yang berhasil diraih nya guna m encapai
sesuatu yang lebih besar dalam m asa jabatannya. Ia m enyia-
nyiakan am anah yang luar biasa besar dari pem ilih. Sejak SBY
m em asuki m asa jabatan kedua, dukungan publik terhadapnya
terus m erosot. Parlem en juga m em perlihatkan sikap berm usuhan
kepada pem erintahannya. Dalam rangka berm ain am an dan
m em pertahankan koalisi di pem erintahan, terkadang SBYm em ilih
tak beraksi apa-apa di tengah situasi krisis. Putus asa akibat sikap
SBY yang tak tegas, para pengkritiknya m enggam barkan SBY
sebagai tak m em iliki tawaran apa pun kepada bangsa kecuali

8 Saya berterim a kasih kepada Mark Hobart yang m em bagi pandangannya ini
m elalui sebuah percakapan inform al. Peran m edia sosial sehubungan dengan
kem enangan J oko Widodo pada pem ilu gubernur di J akarta lebih m irip untuk
dibandingkan dengan Obam a daripada dengan Yudhoyono.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mengenang Masa Depan 21

aura pencitraan publik dan upayanya untuk m enghidupkan citra-


nya di m edia. Ironisnya, pencitraan publik itulah yang m enarik
seba gian besar orang Indonesia untuk m em ilihnya dua kali se cara
berturut-turut, sehingga ia m em enangkan pem ilu pada tahun
20 0 4 dan 20 0 9.
Contoh-contoh terkini m engenai percam puran antara m e-
dia baru, politik, dan hiburan, serta konlik dalam hubungan­hu­
bungan ketiganya am at berlim pah (untuk kasus terkini di Indo-
nesia, lihat Heryanto 20 10 ; Kartom i 20 0 5; Lindsay 20 0 7) dan
tersedia dalam berbagai arena kehidupan di m asyarakat. Bab-
bab berikutnya, terutam a Bab 8, akan m em perlihatkan dinam ika
perpolitikan seperti itu secara rinci. Tapi apa sebetulnya m akna
‘budaya populer’ dan m engapa, hingga kini, belum banyak kajian
yang m enghubungkannya dengan proses politik yang lebih luas di
Indonesia?

BU D AYA POP, ID EN TITAS, D AN KEN IKMATAN


Buku ini m engkaji politik identitas dan kenikm atan dalam bu-
daya layar m utakhir di Indonesia, khususnya dalam sinem a dan
sinetron. Budaya layar dalam kajian ini dapat dipaham i sebagai
ba gian dari pranata dan praktik sosial yang lebih luas yang secara
um um disebut ‘budaya populer’. Pada sem ua bab selanjutnya, saya
akan m em bahas politik budaya dan kesejarahan dalam pem ben-
tukan dan persaingan identitas yang tam pil pada beberapa judul
dalam budaya layar, term asuk seluk-beluk dinam ika produksi,
sirkulasi, dan penerim aan tontonan tersebut.
Deinisi budaya populer yang mana pun akan selalu menjadi
bahan perdebatan (Storey 20 0 6; Strinati 1995). Untuk keperluan
buku ini, saya m engam bil dua pengertian utam a yang secara
konseptual berbeda dan berpeluang bertolak belakang, sekalipun
dalam beberapa kasus, pengertian-pengertian itu tak sepenuhnya
terpisah satu sam a lain. Pertam a, budaya populer akan kita paham i

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
22 Identitas dan Kenikmatan

sebagai berbagai suara, gam bar, dan pesan yang diproduksi se cara
massal dan komersial (termasuk ilm, musik, busana, dan acara
televisi) serta praktik pem aknaan terkait, yang berupaya m en-
jangkau sebanyak m ungkin konsum en, terutam a sebagai hiburan.
Singkatnya, budaya populer dalam pengertian pertam a yang dije-
laskan di atas m erupakan proses m em asok kom oditas satu arah
dari atas ke bawah untuk m asy arakat sebagai konsum en. Dalam
pengertian kedua, buku ini juga m engakui adanya berbagai bentuk
praktik kom unikasi lain yang bukan hasil industrialisasi (non-
industrialized), relatif independen, dan beredar dengan m e m an-
faatkan berbagai forum dan peristiwa seperti acara keram aian
publik, parade, dan festival. Bentuk kedua ini kerap kali, tapi tak
selalu, bertentangan atau m enjadi pilihan alternatif bagi bentuk
budaya populer dalam arti pertam a; inilah budaya populer dalam
pengertian kedua: oleh m asy arakat.
Sebaiknya kita tidak m enekankan perbedaan kedua penger-
tian di atas secara berlebihan. Kita juga tidak perlu m em beri istilah
berbeda kepada keduanya. Chua (20 10 : 20 2-6) m enggunakan
istilah ‘budaya pop’ untuk yang pertam a dan ‘budaya populer’
untuk yang kedua. Walau dua pengertian itu tam pak saling ber-
tentangan, hubungan keduanya di sepanjang sejarah ditandai
de ngan upaya saling m em injam , penggabungan dan adaptasi da-
lam unsur-unsur pem bentuk dari satu kategori dengan lainnya.
Tak ada unsur-unsur sejati dalam satu produk atau praktik bu-
daya yang dapat m enentukan apakah produk dan praktik budaya
tersebut dapat digolongkan sebagai ‘budaya populer’ atau tidak.
Apa yang dulu, dan kini, disebut ‘budaya populer’ dalam konteks
historis atau konteks sosial tertentu dapat sangat berbeda di
m asa dan tem pat yang berbeda. Sem ua itu selalu bergantung
pada konteksnya. Walau m em punyai watak yang m udah berubah
dan bergantung pada konteks, ada hal-hal um um yang m em buat
suatu karya atau perilaku sosial secara konseptual (bukan secara

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mengenang Masa Depan 23

nyata haraiah) bisa dianggap sebagai contoh budaya populer,


yakni sifatnya yang m udah diakses dan langsung m enarik perha-
tian bagi orang banyak. Ketika diproduksi untuk dijual (m akna
yang pertam a) karya dan praktik itu relatif m urah dan m enarik
per hatian banyak orang dari segala ras, tem pat tinggal, usia, dan
gender. Ketika disebarkan secara kolektif (m akna yang kedua)
karya dan perilaku ini terbuka lebar bagi orang dengan tingkat
kecerdasan rata-rata dari berbagai latar belakang untuk bisa m e-
nik m ati, m enggunakan, berperan serta, m ereproduksi, atau m en -
distribusi ulang kepada yang lain. Kesederhanaannya, keakrab-
annya, dan kem udahannya ketika digunakan, sem ua ini m enjadi
daya tarik ‘budaya populer’ bagi banyak orang di m asyarakat
m ana pun.
Dengan rum usan pem aham an seperti di atas, budaya popu-
ler tidak m em iliki daya tarik universal. Kebanyakan orang yang
m engonsum si dan m em produksi budaya populer disebut “ke las
m enengah” yang hidup di kawasan urban dan industrial. Me reka
ini “bukanlah anggota kelompok elite dalam pengertian ilosois,
estetis, dan politis, dan bukan pula kaum proletariat atau kelas
bawah yang baru” (Kahn 20 0 1: 19). Seperti halnya dalam ‘de-
m o krasi’, di dunia budaya populer, sebagian orang “lebih se ta-
ra ke tim bang lainnya”. Kelom pok-kelom pok sosial yang lebih
berorientasi elitis m em andang rendah terhadap budaya populer,
m enghina, dan was-was, sem entara banyak kelom pok jelata ber-
sikap m endua, sebagian bercita-cita untuk naik kelas sosial de-
ngan m engikuti perkem bangan terbaru dalam dunia budaya po-
puler; sem entara kelom pok lainnya tetap saja m erasa grogi atau
tersinggung oleh hiruk-pikuk budaya po puler. Karena berbagai
m asalah seperti inilah m aka dapat disim pulkan bahwa secara
fundam ental budaya populer berwatak politis.
Budaya populer sulit untuk m endapatkan status terhorm at
dari lingkungan elite yang beragam karakter politiknya. Hal ini

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
24 Identitas dan Kenikmatan

disebabkan karena m esranya hubungan ‘tidak tahu m alu’ di an tara


budaya pop dan dunia industri hiburan yang hanya sibuk m enge jar
laba dagang. Kaum elite cenderung bersikap m erendahkan bu daya
populer dengan penggunaan istilah “budaya m assa” (Macdonald
1998: 22; Strinati 1995: 10 ) sebagai olok-olok terhadap budaya
pop yang dianggap sebagai “budaya rendahan, rem eh-tem eh,
dangkal, palsu dan seragam di pasaran” (Strinati 1995: 21). Dalam
upaya m em bela budaya populer, Dom inic Strinati m engam bil
posisi populis dan berpendapat:

[k]onsum si budaya populer oleh m asyarakat secara um um selalu


m enjadi persoalan bagi ‘orang-orang lain’ seperti kaum intelektual,
pem im pin politik, atau para pem baharu m oral dan sosial. ‘Orang-
orang lain’ ini berpandangan bahwa seharusnya m asyarakat m em -
perhatikan saja hal-hal yang lebih m encerahkan dan lebih berfaedah
ketim bang budaya populer.
(1995: 41)

Pandangan negatif di atas sedikit m enjelaskan m engapa ka-


jian budaya populer tak berkem bang lebih awal dan tidak lebih
m arak di seluruh bagian dunia, terutam a di banyak negara di
Asia.9 Dengan m engacu khusus pada Indonesia, dalam sebuah
tulisan lain saya pernah m enam bahkan tiga alasan lain m engapa
m inat kaum akadem is pada bidang ini sangat sedikit dan lam ban
(Heryanto 20 0 8: 6-7), yaitu ekspansi industrialisasi di wilayah
ini baru terjadi belakangan, kuatnya sebuah paradigm a dom inan
kajian-kajian Indonesia di sepanjang sejarahnya, serta bias m as-
kulin pada dunia akadem is pada um um nya.
Pertam a, budaya populer m erupakan produk m asyarakat in-
dustrialis serta m engandalkan teknologi produksi, distribusi, dan

9 Banyak contoh serangan kaum elite terhadap budaya populer, untuk analisanya
silakan lihat Henschkel (1994), Hobart (20 0 6), dan Weintraub (20 0 6).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mengenang Masa Depan 25

penggandaan besar-besaran. Industrialisasi di Indonesia dapat


dilacak lebih dari 10 0 tahun yang lalu, dan sejarah budaya populer
dapat dilacak hingga ke m asa penjajahan Belanda pada akhir abad
ke-19 (Biran 1976; Cohen 20 6; Sen 20 0 6; Winet 20 10 ). Sayangnya,
sebagian besar catatan sejarah itu disangkal bahkan dihapus dari
sejarah resm i kebudayaan Indonesia (lihat Bab 6 buku ini). Kita
juga harus m encatat bahwa ekspansi industrialisasi yang besar
dan berkelanjutan di m asa kem erdekaan baru ber langsung sejak
dekade 1980 an, setelah terjadinya pem bantaian m assal terhadap
golongan Kiri dan bangkitnya pem erintahan m iliter di m asa
Orde Baru (1966-98), yang m erupakan m itra penting Blok Barat
sem asa Perang Dingin (lihat Bab 4 buku ini). Sekalipun budaya
populer pernah m enjadi topik debat publik pada dekade 1970 -an
di kalangan kaum terpelajar di Indonesia, sebagian besar peserta
perdebatan tersebut m elihat budaya populer sebagai m asalah,
sem acam hasil yang tak dikehendaki atau ekses m odernisasi,
yang dianggap sebagai tanggung jawab negara (Foulcher 1990 b).
Sedikitnya kajian akadem is yang serius tentang budaya populer di
Indonesia am at berbeda dengan kajian m engenai aspek lain ke-
hidupan m odern negeri ini. Situasi di negara-negara tetangga tak
jauh berbeda. Bahkan di negara tetangga yang industrialisasinya
terjadi lebih awal atau lebih gencar, budaya populer tetap m eru-
pakan gejala baru, dan kajian terhadapnya belum lam a dim ulai.
Faktor kedua yang m enyebabkan kurangnya perhatian pada
budaya populer dalam kajian m engenai Indonesia secara um um
berkaitan dengan kokohnya sebuah paradigm a tertentu. Di satu
sisi, kerangka kajian kaum intelektual di Indonesia telah ke lewat
lam a terpaku pada m asalah pem bangunan negara-bangsa dan
m odernisasi (Bonura dan Sears 20 0 7; Heryanto 20 0 5, 20 0 6c;
McVey 1995) atau berbagai ham batannya (m iliterism e, pelang-
garan hak asasi m anusia, korupsi yang marak, konlik etno­reli­
gius dengan kekerasan, dan belakangan ini kaum Muslim m i-

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
26 Identitas dan Kenikmatan

litan). Terlalu lam a para akadem isi yang m eneliti ten tang Indo-
nesia tak m am pu atau tidak tahu bagaim ana harus m engha-
dapi hal-hal yang m enjadi obyek kesukaan jutaan warga negara
Indonesia. Di sam ping itu, terdapat sejarah panjang Orientalism e
dan esensialism e dalam kajian tentang Indonesia yang dilakukan
oleh para peneliti asing dan lokal, yang lebih suka m encari dan
m em aham i aspek eksotik Indonesia, sejalan dengan im ajinasi
kolonial tentang penduduk pribum i yang ‘asli’. Sudah terlalu lam a
kaum terpelajar Barat m em andang budaya populer di Indonesia
dan Asia secara um um , sem ata-m ata sebagai tiruan buruk dan
berselera-rendah budaya populer Barat.10 Akadem isi yang m e-
neliti budaya Indonesia kerap m em beri perhatian besar kepada
budaya ‘tradisional’ atau ‘etnik’, budaya nasional ‘resm i’ yang
diakui negara, atau budaya ‘avant-garde’ dan ‘adiluhung’ yang
lahir dari kaum terpelajar karena m enarik perhatian penonton
internasional yang um um nya adalah kritikus dan akadem isi seni
di kota-kota m etropolitan.
Faktor ketiga adalah bias maskulin (lihat Pambudy 2003). Hal
ini juga terjadi secara global (untuk ulasan lebih luas lihat O’Connor

10 Bandingkan m isalnya perbedaan yang m encolok antara pandangan Gerke


(20 0 0 ) dan Sen (1991) dalam kajian m ereka m asing-m asing tentang latar
belakang kelas m enengah Indonesia, pola konsum si, dan selera budaya
m ereka terhadap budaya populer. Pada kajian Gerke, fokusnya ada pada
orang-orang Indonesia yang m enghendaki gaya hidup Barat m odern tapi
tak m am pu m encapainya. Maka orang-orang Indonesia yang m alang ini
dianggap m em buat siasat “lifesty ling” atau m eniru-niru gaya hidup, yang
m erupakan tiruan m urahan gaya hidup “sejati” m asyarakat berpunya di Barat
(Gerke 20 0 0 ). Ia m enulis “hanya sebagian kecil kelas m enengah Indonesia
yang m am pu m enjalani gaya hidup kaum perkotaan di Barat. Sebagian besar
tak m am pu m engonsum si barang-barang yang tergolong pantas bagi kelas
m enengah” (Gerke 20 0 0 ). Berkebalikan dengan itu, kajian Sen (1991) tentang
sinem a Asia m eluncurkan kritik post-kolonial berkisar kegagalan para ahli di
Barat, juga di Asia, untuk menjelaskan mengapa kebanyakan penonton ilm di
Indonesia lebih suka menonton ilm­ilm lokal yang tanpa malu menyodorkan
tokoh­tokoh bergaya hidup berbau Amerika, ketimbang menonton ilm laris
Barat “yang asli”, ataupun ilm Indonesia yang memperlihatkan potret eksotis
m asyarakat tradisional Indonesia.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mengenang Masa Depan 27

dan Klaus 2000:379­82), di mana aspek material dan isu­isu


konseptual seputar m odernisasi, pem bangunan negara-bangsa,
ekonom i, agam a, perang atau korupsi utam anya dipandang sebagai
kegiatan tentang dan untuk kaum laki-laki. Baik dalam kehidupan
sehari-hari m aupun dalam kajian akadem is, gender selain laki-
laki dinilai lebih rendah dan diturunkan ke peringkat kedua yang
bersifat ‘privat’ ataupun ‘dom estik’, yakni ruang utam a bagi waktu
santai yang dihabiskan m elalui perantaraan m edia m assa (m ass-
m ediated leisure), hiburan, dan budaya populer. Bersam aan
itu tim bullah pem bagian yang telah kita kenali, tapi tidak kita
gugat, antara dunia m askulin siaran berita dan dunia fem inin
sinetron; atau antara m ajalah berita yang dianggap serius dan
baca an yang disebut ‘m ajalah wanita’. Nam un, sebagaim ana akan
dikem ukakan bab-bab berikut, pem bagian usang ini sulit untuk
diper tahankan lagi berkat m eluasnya penyebaran budaya layar di
berbagai perangkat digital yang m udah dibawa ke m ana-m ana.
Politik identitas sem akin sulit dipisahkan dari tuntutan m assa
akan kegem biraan dan hiburan serta legitim asi bagi kenikm atan
hidup dan hal-hal yang bersifat fem inin. Sem ua itu tam pil dan
bertatap-m uka dengan berbagai tanggapan yang kadang bertolak-
belakang sejak bangkitnya islam isasi di Indonesia.
Bab-bab dalam buku ini berisi kisah perjuangan yang sulit
tapi m enggairahkan kaum m uda kelas m enengah perkotaan dan
para profesional ketika m ereka berakrobat dengan urusan serius
m enegosiasikan (m em perbaiki, m erum uskan ulang, m ene gas-
kan) atau m entransform asikan identitas sosial m ereka yang su-
dah lam a diakrabi dengan kebebasan yang baru didapatkan, serta
upaya m em buru berbagai usaha baru yang m engasyikkan seka -
ligus usaha m ewujudkan cita-cita pribadi. Upaya m eraih kenik-
m atan duniawi serta hasrat terhadap gaya hidup yang baru dan
keren, diiringi kepuasan m engonsum si, m enjadi bagian penting
proses tersebut. Sekalipun penting, hal ini hanyalah satu bagian

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
28 Identitas dan Kenikmatan

saja dari sebuah proses, karena m edia m assa, m edia sosial, dan
budaya populer m enjadi lebih m udah dinikm ati dan m enjadi
sum ber godaan inform asi yang dibutuhkan guna m encapai aspi-
rasi m ereka.
‘Menjadi m odern’ dalam konteks ini selalu m enyiratkan pe-
ngertian m em iliki baik peluang khusus m aupun keteram pilan
ba ru m enikm ati kesenangan sehari-hari dengan m engonsum si
kom o ditas m odern, m enggunakan teknologi terbaru, dan m enja-
lani gaya hidup yang sedang m enjadi tren (Gerke 20 0 0 ; Heryanto
1999b; van Leeuwen 20 11). Sem enjak akhir m asa penjajahan,
m e nurut Henk S. Nordholt, bagi m ayoritas penduduk asli kelas
m e nengah di Indonesia, “m odernitas berarti gaya hidup yang
menggairahkan” (2011: 435). Selanjutnya ia berpendapat bahwa
gairah ini terpisah dari dan sekaligus lebih kuat ketim bang m inat
terhadap gerakan kebangsaan (Nordholt 2011: 438). Di Indonesia
kini, predikat “m enjadi m odern” dalam kehidupan sehari-hari
ber peran m em bedakan seseorang dari m asyarakat tradisional
(sebagai kaum yang ‘Lain” bagi kaum m odern). Predikat itu juga
berfungsi m em bedakan m ereka dari pandangan um um tentang
sesam a warga yang m asih ‘terbelakang’ baik di m asa kolonial m au
pun neokolonial. Atribut ini juga m enjadi penanda perbedaan
yang m em isahkan kelas m enengah dari status sebagai warga
negara yang dulu tertindas di era Orde Baru, dari m ayoritas
bangsa ini yang kurang beruntung (kaum m iskin perkotaan dan
rakyat pedesaan), dan dari kemungkinan—baik nyata maupun
yang dibayangkan—menjadi anggota masyarakat yang hanya
tunduk pada rezim yang berorientasi Islam is pada m asa pasca-
Orde Baru.
Sejak dekade 1980 -an konsep ‘kenikm atan’ telah dikem bang-
kan secara bersungguh-sungguh oleh para sarjana di banyak bi-
dang kajian, khususnya yang berkaitan dengan audiens dan resepsi
pada kajian sastra dan m edia di Barat (Ang 1991, 1996; O’Connor

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mengenang Masa Depan 29

dan Klaus 20 0 0 ; Ort 20 0 4; Kerr, Küklich, dan Brereton 20 0 6).


Ber bagai kajian ini am at berharga untuk m enjelaskan berm a-
cam -m acam arti kenikm atan, m ulai dari m enonton acara televisi
hingga m em baca m ajalah populer, dengan m em perhitungkan
ragam (genre), gender, dan perbedaan kelas. Kajian-kajian ini
ber bahasa Inggris, kebanyakan berdasarkan fakta yang terjadi di
belahan dunia lain, sehingga, sekalipun berm anfaat, tidak selalu
relevan dengan kajian dalam buku ini. Penelitian lapangan saya
kerap m enuntut saya untuk m em pertanyakan dan m enjelajah
lebih jauh daripada banyak asum si dan kerangka yang digunakan
oleh berbagai kajian tadi, khususnya dalam dua perkara. Pertam a,
yang telah m enjadi ciri khas m asyarakat berorientasi lisan,
pergaulan (tak hanya konsum si) dengan budaya layar di Indonesia
dilakukan dengan cara-cara yang am at kolektif dan kom unal,
ketim bang sebagai pengalam an individual di ruang-ruang privat,
sebagaim ana akan diperlihatkan dalam Bab 7 dan 8.11 Saya akan
m em bahas lebih jauh budaya berorientasi lisan dalam Bab 4
dan 8. Yang segera perlu untuk dicatat, saya dengan hati-hati
m enggunakan istilah ‘m asyarakat berkiblat pada kom unikasi
lisan’, ketim bang ‘budaya lisan’ untuk m engem ukakan sebuah
perbedaan penting atau ke cen derungan m ereka dalam kehidupan

11 Lihat analisis yang bermanfaat dari Dovey dan Impey (2011) untuk ilm asal
Afrika Selatan, African Jim (1949, Swanson) yang m enekankan pada aspek
“pendengaran/ lisan” yang berfungsi sebagai strategi subversif m elawan
ideologi dom inan dan otoritas sinem a pada saat itu, sekaligus juga sum ber
kenikm atan dan derita bagi para aktor dan penonton kulit hitam . Chan dan
Yung (20 0 6) m engungkapkan satu kasus m enyangkut perubahan orientasi
dari partisipasi kom unal m enuju konsum si yang bersifat suka rela dan
individualistik dari waktu luang dan kenikmatan yang dikomodiikasi di
Singapura. Kajian-kajian m ereka penting untuk m em perlihatkan tum pang
tindih dan dinam ika hubungan (ketim bang hubungan biner yang statis)
antara kehidupan sosial yang berorientasi lisan dan pola-pola ketergantungan
budaya tulis, sekalipun tetap keliru untuk m enganggap (seperti yang m ereka
sarankan) bahwa perubahan-perubahan satu arah dari satu bentuk ke bentuk
lain ini bersifat universal.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
30 Identitas dan Kenikmatan

sehari-hari dengan ‘m asya rakat berkiblat pada kom unikasi cetak’.


Hal ini tak dapat dire duksi m enjadi oposisi biner sederhana
budaya (atau tatanan sosial) lisan versus budaya tulisan.
Kedua, berkali-kali penelitian lapangan m engingatkan saya
bahwa kebanyakan teori yang saya baca m erupakan hasil para
pe nulis berpikiran liberal yang m elakukan kajian pada m asya-
rakat liberal untuk para pem baca yang juga liberal. Ikatan yang
m endalam antara liberalism e, privasi, dan kesenangan di Eropa
m odern m enem ukan perwujudannya dalam berbagai bentuk dalam
kehidupan sehari-hari, term asuk m isalnya kehadiran sekat-sekat
(cubicle) di berbagai ruang sosial (lihat Crook 20 0 7). Sekalipun
m odernitas dan kapitalism e telah m enjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari selam a lebih dari satu abad suatu m asyarakat yang
kini bernam a Indonesia, dan ekspansi kapitalism e industrial terus
m enerus m eningkat sejak pertengahan 1980 -an, orang Indonesia
m asih kesulitan m enem ukan padanan bagi kata ‘private’, ‘pri-
vacy ’, atau ‘liberal’, baik dalam bahasa nasional m aupun bahasa
daerah. Bagi banyak orang yang berpartisipasi dalam budaya
layar tontonan yang saya tem ui sepanjang penelitian saya, upaya
m engejar dan m endapatkan kenikm atan tidak pernah dipisahkan
dari persoalan-persoalan m oral dan sosial yang lebih serius. Apa
yang dianggap berm asalah bisa bersum ber dari wawasan yang
m ereka pilih sendiri, bisa juga berasal dari tekanan orang lain.12
Bagi banyak orang dan organisasi yang tak saling setuju dalam
berbagai persoalan, upaya m engejar dan m endapat kenikm atan
dianggap m em butuhkan sem acam keputusan atau fatwa resm i

12 Perbedaan di antara keduanya tak perlu terlalu dibuat berlebihan karena itu
soal derajat, bukan ragam . Cukuplah untuk kita sadari bahwa ada perbedaan
yang penting di antara lingkungan sosial di m ana liberalism e tak dipersoalkan
lagi, dari lingkungan sosial seperti Indonesia di m ana liberalism e– sebagai
keyakinan m aupun sebagai perilaku– diperdebatkan secara sengit. Liberalism e
diterim a oleh sebagian orang Indonesia, tetapi dikutuk secara publik dalam
pernyataan resm i yang dibuat oleh Majelis Ulam a Indonesia (MUI).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mengenang Masa Depan 31

dari lem baga pem erintah atau lem baga agam a, ketim bang sem ata-
m ata urusan pribadi bagi tiap-tiap konsum en sebagaim ana lazim -
nya dipaham i di negara-negara liberal di Barat. Bab-bab berikutnya
akan m engkaji bagaim ana banyak orang berjalan di titian sem pit
di atas jurang yang dalam ketika m encoba m enam pung atau
m endam aikan berbagai gairah, cita-cita, tekad, dan pantangan
yang, bisa tapi tak selalu, saling bertentangan.
Sekalipun m asalah pokok kajian ini telah m enarik perhatian
saya selam a dua dekade, buku ini m erupakan hasil riset m endalam
selam a em pat tahun (20 0 9-12), m encakup kerja di perpustakaan,
m enjadi partisipan dalam beberapa kelom pok yang berinteraksi
secara online di m edia sosial m aupun secara ofline, kerja etno-
grais, wawancara, pengamatan, dan diskusi terfokus. Tiga orang
asisten penelitian yang am at andal dan tinggal di Indonesia (Evi
Eliyanah, Monique Rijkers, dan Yuli Asm ini) telah am at m em -
bantu m engum pulkan bahan-bahan yang m elim pah (term asuk
audio dan video, foto, asesori, m em orabilia, dan poster), wawan-
cara dan pengam atan di acara-acara publik. Sekalipun dem ikian
saya sen diri yang bertanggung jawab terhadap analisa data dan
penulisan buku ini sebagai satu hasil proyek penelitian ini.
Kam i m engum pulkan data dari DKI J akarta dan berbagai
kota lain di J awa Tim ur, J awa Tengah, dan J awa Barat. Kerja m e-
ngum pulkan data m encakup urusan-urusan yang luas dan rum it,
jauh dari yang bisa ditam pung oleh buku ini. Mengingat m asih
terbilang langkanya kajian yang diterbitkan m engenai m asalah ini,
kajian ini sengaja m em fokuskan diri pada produk-produk budaya
populer arus utam a (m ainstream ) dengan distribusi yang paling
gam blang di Pulau J awa. Lebih dari separuh penduduk Indonesia
dari berbagai latar berlakang etnis, bahasa, agam a, dan ekonom i
tinggal di pulau ini. Di pulau ini juga persaingan dalam politik
identitas dan kenikm atan m enjadi pusat m edan tem pur politik di
tingkat nasional. Pada tahun 2013, sebanyak 79,63 persen bios­

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
32 Identitas dan Kenikmatan

kop di Indonesia terdapat di Pulau J awa; sedangkan Sum a tra


m enem pati tem pat kedua dengan hanya 7,41 persen dari total
bioskop secara nasional (Indrarto 2013). Dengan menyesal, harus
saya akui, beragam kasus spesiik dari daerah di luar Jawa absen
dari kajian ini; di J awa sendiri, m edan persoalan yang rum it tak
sepenuhnya dapat dibahas dengan pantas di buku ini.
Buku ini tak bertujuan untuk m enjadi kajian ensiklopedis dan
komprehensif. Ini adalah kajian etnograis dengan penekanan
pada data kualitatif yang m endalam , dan proyek ini tak dapat
m em buat klaim bahwa ini m ewakili isu-isu yang dikaji atau ge ne -
ralisasi dari argum en-argum en yang saya sam paikan. Dengan ke-
ter batasan itu, tak urung diharapkan bahwa buku ini m ena warkan
sum bangan yang berarti kepada kajian akadem is yang te rus ber-
kem bang tentang kehidupan budaya politik, dan politik dalam
kehidupan sehari-hari dalam m asyarakat Indonesia m utakhir.
Untuk m em pertajam fokus kajian ini, saya secara strategis
membatasi ruang lingkupnya dengan mengidentiikasi dan meng­
analisa dua wilayah penelitian utam a. Wilayah pertam a m enca-
kup sejum lah m asalah yang diperdebatkan dengan seru di arena
publik nasional, yakni politik identitas dan kenikm atan. Dua tem a
yang term asuk dalam kategori ini adalah: ledakan hebat budaya
populer yang m engandung m uatan atau tem a Islam di dalam nya
(Bab 2 dan 3); dan popularitas budaya layar dari Asia Tim ur Laut,
khu susnya Korea Selatan (Bab 7). Sisi buruk politik identitas
dan kesenangan ini adalah serangkaian duka, kesengsaraan, dan
pilu. Maka, di wilayah kedua yang m enjadi perhatian penelitian,
saya m engkaji budaya politik yang telah dihindari, ditindas, atau
dilupakan oleh m asyarakat secara um um . Hal ini m eliputi per-
tanyaan-pertanyaan seputar pem bunuhan m assal pada tahun
1965-66 yang telah m enghantui bangsa ini terus m enerus (Bab 4
dan 5); diskrim inasi terhadap etnis Tionghoa yang telah berlang-
sung selam a satu abad (Bab 6) dan kelas bawah (Bab 8). Tentu

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mengenang Masa Depan 33

saja, daftar yang saya buat ini terbuka untuk diperdebatkan. Pada
Bab 3 dan 5, saya akan lebih banyak membicarakan persoalan
metodologi dalam menggunakan ilm untuk keperluan analisa so­
sial dan budaya. Baik disengaja atau tidak, ilm yang diproduksi
secara kolektif m erupakan pernyataan kolektif tentang kenyataan
dan m engundang diskusi tanpa henti m engenai kenyataan itu
dalam berbagai lingkungan sosial di mana ilm itu diproduksi,
diedarkan, ditonton, dan dibicarakan. Dengan sendirinya kenya-
taan dipaham i, dibayangkan, atau dipertanyakan dengan cara
am at beragam atau bertentangan satu sam a lain oleh orang-orang
yang turut serta dalam aktivitas tersebut.
Dalam upaya m enyam paikan pesannya, setiap kajian punya
keterbatasan dan perlu bungkam terhadap m asalah-m asalah lain.
Tidak terkecuali buku ini. Sebagai satu cara untuk m engakhiri
bab ini, izinkan saya m engungkapkan lagi dengan ringkas apa
yang ingin dibahas oleh buku ini, dan apa yang tidak. Buku ini
bukan buku kajian mengenai ilm atau televisi di Indonesia. Buku
ini m erupakan upaya untuk m enyelidiki persoalan yang paling
m encolok dan paling ditekan dari politik identitas dalam hidup
sehari-hari di Indonesia saat ini, sebagaim ana tertanam dan ter-
jadi dalam budaya layar populer. Sebagai konsekuensinya, nilai si-
nematik ilm­ilm yang didiskusikan dalam bab­bab berikut buku
ini tak akan m enjadi perhatian utam a pem bahasan kita. Sur vei
umum tentang beragam produk ilm dan televisi di Indonesia juga
tak akan disajikan di sini. Hanya segelintir judul dan kajian aka-
dem is yang akan dipilih, sejauh ia punya relevansi dengan pokok
utam a bahasan buku ini. Pertim bangan ini m em buat saya m em ilih
judul­judul ilm yang paling diakrabi oleh banyak penonton, tanpa
terlalu m em perhatikan pandangan para kritikus tentang nilai
artistik ilm­ilm tersebut. Mengingat keterbatasan bahasa, karya­
karya yang saya acu terbatas pada karya berbahasa Indonesia dan
Inggris. Tak perlu disangsikan lagi, kajian seperti ini akan lebih

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
34 Identitas dan Kenikmatan

kaya seandainya saya bisa m em baca bahan-bahan yang relevan


dari berbagai bahasa Asia dan Eropa lainnya.
Kritik atas politik nasionalistik m erupakan salah satu tujuan
kajian ini, m aka saya m enggunakan ‘bangsa’ sebagai titik tolak
kajian. Sekalipun kritik terhadap perpolitikan nasional m en jadi
pusat perhatian buku ini, persoalan tersebut tak akan pernah
disajikan secara terpisah dari, atau secara eksklusif bertentangan
dengan, atau secara statis berhubungan dengan, kekuatan seja rah
lokal, sub-nasional, atau transnasional. Sejak awal pem bentuk-
annya, yang nasional selalu m enjadi bagian tak terpisahkan dari
yang global. Kaum nasionalis Indonesia sebagaim ana rekan-rekan
m ereka di berbagai belahan dunia lain m eyakini bahwa bangsa
m ereka sudah ada sejak sem ula, dan berdiri terpisah dari seluruh
dunia. Di Indonesia, unsur-unsur global (m isalnya tradisi Islam ,
Buddha, dan Hindu) dikenali dengan baik (Bab 2­3). Sementara
tradisi tersebut dianggap sudah m enjadi bagian dari warisan
sejarah bangsa sendiri, unsur-unsur lain (penjajahan Eropa,
liberalism e, dan kom unism e, atau budaya Tionghoa serta budaya
populer J epang dan Korea) dianggap bukan bagian dari warisan
sejarah bangsa, dan terus m enerus dianggap sebagai sesuatu yang
‘asing’ (lihat Bab 4-7).
Terdapat banyak kajian yang m em beri pengakuan dan per-
hatian serius terhadap keragam an di dalam satu kelom pok yang
sedang dikaji (m isalnya kom unitas Muslim atau etnis Tionghoa).
Nam un dem ikian, hanya sedikit yang m eninjau lebih dalam pada
persilangan yang rum it dan dinam is di dalam dan di antara ke-
lom pok-kelom pok yang berbeda, yang anggota-anggotanya m e-
ru pakan orang-orang dengan identitas berlapis-lapis, m isalnya
Tionghoa Muslim atau Muslim yang m enggem ari K-Pop (Bab 7).
J uga terdapat kecenderungan dalam banyak kajian m engenai po-
litik identitas di Indonesia yang beranggapan bahwa fenom ena
kon tem porer yang sedang diselidiki ini adalah dam pak kejatuhan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Mengenang Masa Depan 35

rezim Orde Baru yang baru-baru ini saja terjadi. Meskipun sulit
untuk m em bantah bahwa beberapa unsur tertentu m em ang m e-
ru pakan perwujudan yang baru, nam un sebuah kekeliruan yang
serius apabila m engabaikan konteks historis fenom ena yang se-
dang diselidiki itu. Untuk alasan itu, pada setiap bab kita akan
ber gerak bolak-balik antara m asa lalu yang relevan dan m asa
kini, sebagaim ana kita juga perlu m em pertim bangkan dinam ika
yang saling berhubungan untuk m asing-m asing persoalan dari
perspektif lokal, regional, nasional, dan global.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bab 2

Post-Islamisme: Iman,
Kenikmatan, dan Kekayaan

ISLAMISASI TELAH m enjadi satu-satunya ciri paling m encolok


yang m ewarnai dekade pertam a Indonesia sesudah Orde Baru
(1966-98), sekalipun islam isasi m em iliki sejarah lebih panjang
dengan kebangkitan dram atis Islam dalam kehidupan publik
pada dekade 1990 -an, nyaris satu dekade sebelum kejatuhan
pem erintahan Orde Baru. Hingga tingkat tertentu, islam isasi telah
m enentukan kerangka, batas-batas, dan isi pergulatan kekuasaan
di Indonesia pasca-Orde Baru, sekalipun dam paknya tak m erata
di seluruh area kehidupan publik. Bab ini berfokus pada islam isasi
dalam budaya populer (di m ana budaya layar m erupakan bagian
am at penting darinya) pada dekade pertam a abad ke-21, sekaligus
m engajukan pertanyaan apakah adaptasi konsep ‘ketakwaan
pasca-Islam ism e’ yang digunakan untuk m enganalisa gejala politik
dan kebudayaan di Tim ur Tengah, Asia Barat, dan Asia Selatan
dapat berm anfaat untuk situasi yang tengah diteliti di Indonesia,
dan jika ya, bagaim ana konsep itu berm anfaat. Konteks lebih

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
38 Identitas dan Kenikmatan

luas m engenai islam isasi Indonesia pada abad yang baru ini akan
dipertim bangkan untuk m enyoroti hal-hal khusus dari kasus yang
sedang dikaji jika dibandingkan dengan kecenderungan serupa di
tem pat lain.
Banyak pengam at tak sepakat dalam beberapa hal terkait ke-
bangkitan islam isasi yang tam pak jelas dalam budaya populer,
tapi kebanyakan dari m ereka m eletakkan kebangkitan itu dalam
pertentangan antara ketakwaan m oral berbasis agam a dan daya
rusak industri hiburan. Beberapa di antara pengam at tersebut
m em perlihatkan kecenderungan untuk m enjelaskan gejala ini se-
m ata-m ata sebagai kasus kom ersialisasi kehidupan kaum Muslim
dan komodiikasi simbol­sim bol agam a (Henschkel 1994; Hew
2013; Ivvaty 2005; Kom pas 20 0 8b; Murray 1991; Muzakki 20 0 7;
Nazaruddin 2008; Nu’ad 2008; Ramadhan 2003; Suryakusuma
20 0 8; Tem po 20 0 7; Widodo 20 0 8). Dalam pandangan m ereka
terkandung kesan bahwa Islam telah berhasil dijinakkan oleh
kapitalism e global dan dijadikan obyek pem anjaan diri para kon-
sum en. Pandangan yang bertolak belakang m elihat fenom ena
yang sam a sebagai kejayaan islam isasi dalam m enaklukkan dunia
yang sekuler, term asuk terhadap industri hiburan, yang secara
global didom inasi oleh gaya Am erika. Bab ini bertujuan untuk
sedikit m enyum bang m asukan bagi upaya yang sedang tum buh
untuk m encari tafsiran alternatif dengan m engarahkan perhatian
pada aspek-aspek yang lebih kom pleks, penuh nuansa, dan
am bivalen dari fenom ena tersebut, seperti yang pernah dibahas
pada kajian-kajian terdahulu (lihat Fealy dan White 20 0 8; J ones
20 0 7; Lukens-Bull 20 0 7; Nilan 20 0 6; Sm ith-Hefner 20 0 7).
Saya juga akan m engajukan sebuah kerangka baru untuk ke-
per luan analisa dan perdebatan. Ketidaknyam anan saya pada
diko tom i yang lazim dan kelewat m enyederhanakan persoalan
m en jadi ‘islam isasi versus kom ersialisasi’ bersum ber pada ke-
rangka perdebatan itu yang tam paknya berkem bang dari ke-

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Post-Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan 39

rangka besar dalam dikotom i yang dibayangkan, ketim bang


bersumber dari pandangan berdasar hal­hal rinci yang spesiik
dan data-data dari pengam atan em piris. Daripada m enyisip kan
per soalan-persoalan ini ke dalam salah satu kategori se m isal
‘komodiikasi/komersialisasi’ versus ‘islamisasi’, saya mengusul­
kan pentingnya m em aham i debat tersebut sebagai bagian dari
dia lektika antara bagaim ana ketaatan beragam a m e ne m u kan
perwujudan dalam sejarah kapitalism e industrial Indonesia yang
spesiik, dan bagaimana logika kapitalis m em berikan tanggapan
terhadap pasar yang sedang tum buh bagi revitalisasi dan gaya
hidup islam i. Dalam proses bertem unya kedua hal itu, baik Islam
m aupun kapitalism e industrial m engalam i perubahan, terkadang
kecil, terkadang besar di saat-saat lain. Dalam kasus tertentu,
substansi keduanya bah kan bisa bergabung, dalam bentuk yang
sam a sekali tidak m enyeluruh. Sebagaim ana diperlihatkan oleh
Darom ir Rudnyckyj (20 0 9) dalam kajiannya, gerakan terbaru
yang berkaitan dengan ketakwaan terhadap agama Islam—yang
sam a sekali tidak seragam dan tidak sem ata-m ata dapat dijelaskan
sebagai konsumerisme hedonistik dengan tampilan agama—dapat
dipan dang sebagai sebuah kom it m en baru terhadap kerja keras,
disiplin diri, produktivitas di tem pat kerja, dan penghorm atan
kos m o politan terhadap orang lain di dunia lain. Pada bab ini
dan bab berikutnya, dengan latar be la kang perdebatan yang saya
sam paikan secara singkat di atas, saya berharap dapat m em per-
timbangkan mengapa dan bagaimana sebuah modiikasi konsep
Asef Bayat tentang politik ‘post-Islam is’ dapat diadopsi se-
bagai kerangka alternatif guna m enganalisa budaya populer di
Indonesia saat ini. Ketim bang m eletakkan seluruh persoalan ke
dalam keranjang besar “islam isasi versus kom ersialisasi”, yaitu
sebuah pendirian yang m enganggap bahwa dua kekuatan tersebut
terpisah satu sam a lain, bersifat m onolitik dan ahistoris, teori
post-Islam is m enawarkan kerangka alternatif yang m enyoroti

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
40 Identitas dan Kenikmatan

gesekan-gesekan m endalam pada kom unitas Muslim yang taat,


serta transformasi mereka yang bersifat spesiik.

ISLAMISASI
Istilah “islam isasi” perlu dibongkar. Istilah ini m engacu kepada
se suatu yang jauh lebih beragam dan rum it daripada berkem -
bangnya politik Islam yang banyak dinyatakan dalam diskusi
m engenai Indonesia kontem porer. Istilah islam isasi ini tidak
saya gunakan sesederhana itu dan tidak saya deinisikan sekadar
sebagai proses perubahan sosial yang diusung dan didukung oleh
sebuah gerakan tunggal di antara anggota kom unitas Muslim
yang taat, yang bertujuan untuk m em peroleh ruang lebih luas bagi
pelak sanaan agam a atau pernyataan keim anan dalam urusan-
urusan kehidupan sosial dan agenda politik. Dalam buku ini,
istilah ini m engacu pada sebuah proses yang rum it dengan arah
beragam , m elibatkan berbagai kelom pok Muslim yang berbeda
yang belum tentu saling setuju dalam banyak hal, tanpa ada satu
pihak pun yang m engendalikan secara penuh proses tersebut.
Yang m em perum it m asalah, ada pihak-pihak yang tak m em iliki
m otivasi religius, serta faktor-faktor lain (sem isal politik post-
otoritarian, ekspansi kapitalism e global dalam barang dan jasa,
serta perkem bangan dalam teknologi m edia baru) turut m eng-
am bil peran dalam proses luas bernam a islam isasi ini. Ciri khas
utam a berbagai proses islam isasi yang berbeda-beda ini adalah
terjadinya perluasan dalam cara pandang, penam pilan, dan pera-
yaan besar-besaran terhadap unsur-unsur m aterial dan prak-
tik-praktik yang m udah dipaham i dalam m asyarakat Indo nesia
seba gai m engandung nilai-nilai islam i atau “yang ter islam kan”.1

1 Alina Kokoschka membuat pembedaan yang bermanfaat antara yang “islami”


dan “ter-islam-kan”. Istilah yang pertama mengacu kepada hal-hal yang secara
formal diakui dalam ajaran Islam , sedangkan istilah yang bela kangan m encakup
barang-barang dan jasa yang “tidak m asuk ke dalam kategori produk [atau

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Post-Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan 41

Tak perlu dikatakan lagi bahwa dalam kenyataannya setiap unsur


berwajah-m ajem uk ini bisa m em iliki m akna berbeda dalam kon-
teks yang berbeda. Islam isasi juga m encakup ragam yang luas
dari praktik-praktik sosial dan perjuangan politik yang tak bisa
disederhanakan sebagai persoalan agam a atau politik agam a
sem ata.
Kajian tentang naskah-naskah Islam , aktor-aktor politik dan
institusi sosial terkait islam isasi di Indonesia am at m elim pah,
sem entara kajian yang berfokus pada saling pengaruh yang rum it
dan bersifat m ulti-dim ensi antara politik Islam dan industri
budaya populer baru m uncul belakangan ini, dan kebanyakan
sebagai kum pulan esai dari penulis-penulis berbeda atau sebagai
artikel di jurnal (lihat Fealy 20 0 8; Heryanto 1999b, 20 0 8; Pink
20 0 9; Weintraub 20 11). Kajian-kajian ini m elihat beragam bentuk
di wilayah-wilayah yang khusus, term asuk pakaian perem puan
(Brenner 1996; J ones 20 0 7; Nisa 20 12; Saluz 20 0 7; Sm ith-Hefner
20 0 7), konsum erism e (J ones 20 10 ; Lukens-Bull 20 0 7; Schm idt
20 12), m edia cetak dan karya sastra (Brenner 1999, 20 11; Hefner
1997; Hellwig 20 11; Krier 20 11; Rani 20 12; Widodo 20 0 8), m edia
sosial (Ali 20 11; Nilan 20 0 6), m usik (Barendregt 20 0 6, 20 11;
Barendregt dan van Zanten 20 0 2; Berg 20 11; Frederick 1982;
Murray 1991; Sutton 20 11; Weintraub 20 0 8, 20 10 ), dan acara
tele visi (Arps dan van Heeren 20 0 6; van Heeren 20 12; Im anjaya
20 0 6; Subijanto 20 11; van Heeren 20 0 7; Widodo 20 0 2).2 Bab
berikut akan berfokus pada tantangan Islam m odern baik di

praktik-praktik] halal (m isalnya daging hewan yang dipotong sesuai ajaran


Islam ) juga barang-barang yang secara tradisional tak tergolong sebagai benda-
benda [atau perilaku] kaum Muslim (sem isal jilbab)” (Kokoschka 20 0 9: 226).
Islam isasi m engacu kepada ekspansi besar-besaran dalam cakupan kom oditas
barang, jasa, dan praktik-praktik lain yang dapat diterim a sebagai bersifat
‘islam i’ yang terjadi di ruang-ruang publik.
2 Daftar ini sam a sekali tidak dim aksudkan sebagai daftar yang lengkap. Apa
yang disebut di sini hanya contoh yang diam bil secara acak yang dim aksudkan
bagi pem baca yang kurang akrab dengan penelitian di bidang ini.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
42 Identitas dan Kenikmatan

dalam m aupun di luar layar bioskop, yang diharapkan da pat m e-


nyum bang kepada daftar literatur di bidang ini. Nam un sebe lum
itu, bab ini m enyajikan gam baran yang lebih besar m e ngenai
fenom ena tersebut, agar kita tak kehilangan pandangan m engenai
pentingnya persoalan ini dalam wawasan politis dan historis yang
lebih luas.
Pada puncak kejayaan Orde Baru pada dekade 1980 -an, tak
terbayangkan sebuah ilm panjang komersial menggambarkan
pegawai pem erintah sem isal prajurit m iliter atau polisi ber sera-
gam m enerim a uang sogok, apalagi m enjadi objek olok-olok.3
Saat ini, sesuatu yang berisiko tinggi, bahkan m ungkin suatu tin-
dakan bunuh diri, bila sebuah ilm menampilkan adegan yang
m enggam barkan seorang tokoh protagonis Muslim secara nega-
tif. Hal ini tak berarti bahwa tekanan untuk m engagungkan Islam
tak m engalam i tantangan sam a sekali, m elainkan setiap pe nyim -
pangan dari standar kepatutan politik dapat dianggap seba gai
sebuah provokasi atau sikap anti-Islam . Kini, norm a yang do-
minan dan telah bertahan lama adalah ilm panjang komersial
Indonesia harus m em iliki akhir cerita yang bahagia. Dalam konteks
islam isasi m utakhir, kecenderungan ini m enem ukan ungkapan
dalam keberhasilan tokoh Muslim m enyelesaikan persoalan yang
menghadang mereka atau orang lain. Atau alternatifnya, ilm­
ilm seperti ini kerap berakhir dengan salah satu tokoh utamanya

3 Untuk alasan ekonomi dan politik yang berbeda (lihat Sen 1994), industri ilm
di bawah Orde Baru tak pernah berkem bang m enjadi industri yang penting
dan dihorm ati. Festival Film Indonesia yang diselenggarakan di bawah
ampuan negara sempat tak berlangsung selama satu dekade (1993­2003),
terjadi jauh sebelum kejatuhan Orde Baru. Kebangkitan kem bali industri
ilm terjadi pada tahun 2004 berkat generasi baru para pembuat ilm. Film
laris pertam a sejak kejatuhan Orde Baru adalah Ada Apa dengan Cinta?
(2002, Soedjarwo) yang merupakan ilm panjang komersial pertama yang
m em perlihatkan petugas keam anan (di Bandara) m enerim a uang sogok dalam
jum lah kecil ketika m engizinkan orang yang tak m em egang tiket m em asuki
area khusus penum pang karena pertim bangan percintaan.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Post-Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan 43

m asuk Islam , sebagaim ana diperlihatkan dengan am at baik oleh


ilm laris Ay at-Ay at Cinta (20 0 8, Bram antyo); dan yang pasti
tokoh-tokohnya tak pernah m urtad m eninggalkan keim anan m e-
reka atau sam pai berpindah ke agam a lain. Dan penegasan hu-
bungan positif dengan Islam tak terbatas pada tokoh-tokoh di
dalam layar. Intan Param aditha m eneliti upaya-upaya di balik
layar orang-orang industri ilm untuk memeluk Islam atau me­
ningkatkan ‘keislam an’ m ereka (Param aditha 20 10 ).
Untuk m em beri gam baran m engenai kepatutan politik yang
berlaku saat ini, perlu disebutkan dua peristiwa yang terjadi pada
paruh pertam a tahun 20 12. Pada bulan J anuari, seorang pegawai
negeri sipil asal Sumatra Barat berusia 30­an bernama Alexander
Aan m em asang status di lam an Facebook-nya, m enyatakan diri
sebagai seorang ateis. Karena hal itu, ia dipukuli oleh beberapa
orang sekotanya, dikucilkan oleh rekan sekantor dan koleganya,
serta ditahan oleh polisi. Belakangan, pengadilan m engadili dan
m enjatuhinya hukum an penjara dua setengah tahun serta denda
seratus juta rupiah atas tuduhan penistaan agam a. Pada bulan
Juni, sebuah ilm berjudul Soegija (20 12, Nugroho) diedarkan.
Film ini bercerita tentang uskup ‘pribum i’ pertam a Indonesia,
Albertus Magnus Soegijapranata SJ (1896­1963). Di hadapan
publik, sejum lah orang m em pertanyakan m otivasi pem buatan
ilm itu, mencurigai bahwa ilm itu dimaksudkan untuk mendak­
wahkan Kristen di negeri yang m ayoritas penduduknya Muslim
guna mengimbangi promosi tokoh­tokoh Muslim di layar ilm
seperti ilm Sang Pencerah (20 10 , Bram antyo). Film ini dibuat
ber dasarkan kehidupan Ahmad Dahlan (1868­1923) yang pada
tahun 1912 m endirikan Muham m adiyah, organisasi Islam terbesar
kedua di Indonesia. Produser ilm Soegija m enanggapi tuduhan
itu secara sangat serius. Mereka m em bantah tudingan itu dan
sebagian besar bahan promosi ilm menekankan bahwa semangat
nasionalismelah yang diutamakan oleh ilm ini.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
44 Identitas dan Kenikmatan

Kem bali pada dekade 1970 -an dan 1980 -an, persentase ter-
besar tahanan politik saat itu adalah aktivis politik Muslim .
Dengan retorika yang digunakan oleh rezim yang berkuasa saat
itu, tahanan-tahanan ini adalah “ekstrem is kanan”, yang berbeda
dengan “ekstrem is kiri” (yaitu kom unis), yang lebih banyak di-
bunuh ketim bang dipenjarakan (lihat Bab 4). Banyak pengam at
tergoda untuk m em bandingkan Indonesia pada dekade 1980 -
an dengan Turki, di m ana kediktatoran m iliter sekuler yang
didukung Am erika Serikat m em erintah negeri m ayoritas Muslim
serta m enem patkan para aktivis politik Islam di bawah kendali
yang am at ketat atau di balik jeruji besi. Nam un, m eski terdapat
persam aan yang dangkal antara kedua negara ini, kesam aan
tersebut tak bertahan lam a. Situasi yang m uncul dari konteks
historis yang berbeda dan perkem bangannya kem udian nyaris
bertolak belakang sam a sekali. Setidaknya hingga pertengahan
reformasi Turki tahun 2013, negeri ini menganut politik yang
inklusif dan m ultikultural (Yilm az 20 11); sem entara sejak per-
tengahan 1990 -an Indonesia dengan cepat m engalam i per-
kem bangan ke arah yang berlawanan. Sebuah perubahan yang
dram atis dalam kehidupan publik di Indonesia dim ulai pada
tahun-tahun terakhir pem erintahan Orde baru, dan m eningkat
dengan cepat sesudah kejatuhan rezim tersebut.
Pada awal dekade 1990 -an, Presiden Soeharto beralih haluan
secara radikal dalam strategi politiknya dengan secara aktif
m engajak kelom pok-kelom pok Islam dari berbagai orientasi
ideologi untuk m asuk ke dalam pem erintahannya. Untuk m em a-
ham i alasan-alasan perubahan radikal yang dilakukan oleh pem e-
rintahan Orde Baru ini serta konsekuensi-konsekuensinya m em -
butuhkan diskusi yang jauh lebih rinci daripada yang dim ung-
kinkan di sini (lihat juga Heryanto 2008b: 13­5). Cukup untuk
dicatat di sini bahwa berbaliknya sikap dan perlakuan Soeharto
ter hadap kelom pok-kelom pok Islam politis dapat dipan dang

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Post-Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan 45

sebagai sebuah langkah tergesa-gesa dan darurat untuk m enye-


la m atkan kekuasaannya ketika gesekan-gesekan di dalam ling-
karan terdekatnya serta basis kekuasaannya m encapai titik yang
tak dapat diselam atkan lagi, serta m engancam kedikta toran-
nya yang telah berusia tiga dekade. Pada dekade 1970 -an dan
1980 -an, rezim Orde Baru m elakukan stigm atisasi terhadap
kelom pok-kelom pok Islam politis dan m enekan segala bentuk
aktivism e Islam politik. Segera sesudah Soeharto m engubah sikap
politiknya, jadwal persidangan di pengadilan sangat penuh hingga
ke tingkat yang tak pernah terjadi sebelum nya, oleh persidangan
warganegara yang dituduh m engeluarkan pernyataan di depan
um um yang m enghina Islam . Seakan-akan tuntutan hukum tak
cukup, sejak awal 20 0 0 -an, berbagai kelom pok m ilisi m eraih
posisi penting di m asyarakat dengan m em bawa bendera Islam ,
m e m am erkan kebebasan m ereka untuk m elancarkan serangan
dengan kekerasan terhadap kelom pok m inoritas, term asuk sekte
Muslim m inoritas dan kelom pok-kelom pok atau orang-orang
yang m endukung liberalism e, dem okrasi, hak asasi m anusia,
atau m ultikulturalism e. Pada pertengahan dekade 1980 -an, para
perem puan pelajar m endapatkan hukum an karena m enggunakan
jilbab di sekolah negeri; dua dekade kem udian, sejum lah provinsi
di Indonesia m em perkenalkan hukum syariah yang m engenakan
hukum an kepada pelajar perem puan yang tak m em akai jilbab.
Pada tahun 2003 Teater Kom a m encabut beberapa dialog gu-
rauan m ereka yang m engacu kepada kaum Muslim dari naskah
aslinya ketika m ereka m em entaskan ulang Opera Kecoa (1985)—
yang m erupakan salah satu produksi tersukses m ereka sepanjang
m asa; jelas sebagai upaya untuk m enghindar dari risiko serangan
oleh kelom pok Islam m ilitan.
Dengan pencabutan batasan-batasan politik yang dipaksakan
pada m asa Orde Baru beberapa tahun terakhir abad ke-20 serta
kemunculan generasi baru pembuat ilm, akan menarik untuk

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
46 Identitas dan Kenikmatan

diamati ilm­ilm jenis apa saja yang dibuat untuk memikat se­
banyak m ungkin penonton Muslim di Indonesia kontem porer.
Satu contoh yang jelas adalah Ay at-Ay at Cinta (sudah dibahas
sebelum nya), yang produksinya dianggap oleh banyak akadem isi
m aupun m asyarakat um um sebagai titik balik yang m enyatakan
kehadiran budaya populer Islam di dalam ilm. Film itu berdasar
novel laris berjudul sam a karya Habiburrahm an El Shirazy yang
latar belakang dan pengalam an pendidikannya m irip dengan tokoh
utama ilm ini. Kisah dalam ilm ini terjadi di Mesir, dengan m usik
latar dan adegan­adegan di sepanjang ilm yang memperlihatkan
karakter Tim ur Tengah dan islam i.
Tentu saja Ay at-Ay at Cinta bukan awal budaya populer di
Indonesia sejak m asa kem erdekaan. Ba nyak pengam at yang
m engakui kebangkitan Rhom a Iram a sebagai ‘Raja Dangdut’ pada
dekade 1970 -an (Frederick 1982; Lockhrad 1998; Weintraub 20 10 )
sebagai pelopor paling penting dalam budaya populer islam i.
Tak urung, dalam industri ilm, tingkat popularitas Ay at-Ay at
Cinta belum pernah tercatat sebelumnya, dan tak ada ilm­ilm
sebelum nya m aupun penirunya yang m am pu m eraih atau bahkan
m endekati sukses yang telah dicapainya. Ay at-Ay at Cinta yang
kerap secara longgar dan keliru disebut­sebut sebagai ilm islami
‘pertam a’ ataupun ‘sejati’ pada m asa pas ca-Orde Baru, m am pu
m enarik lebih dari tiga juta penonton pada beberapa pekan
pertama penayangannya di bioskop, melampaui ilm­ilm yang
pernah ditayangkan sebelum nya di Indo nesia, dari bahasa, asal
negara m ana pun, dan genre apa pun, hingga akhir tahun 20 0 8
ketika satu judul ilm laris lain, Laskar Pelangi (2008 Riza), ilm
dengan nuansa lebih nasionalis dan nuansa religius lebih m inim ,
berhasil m elam paui penjualan tiket Ay at-Ay at Cinta.4

4 Kecuali dinyatakan berbeda, seluruh angka penjualan tiket di buku ini diam bil
dari situs online Film Indonesia, http://ilmindonesia.or.id/, yang saat ini
m erupakan sum ber referensi paling lengkap dan paling andal yang tersedia.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Post-Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan 47

Sisa bab ini akan m enganalisa dan m em perlihatkan bahwa


sukses besar Ay at-Ay at Cinta dan perdebatan yang m uncul darinya
m erupakan sebuah tanda bagi era baru dalam kehidupan publik
di Indonesia. Bagi sebagian besar orang di negeri dengan jum lah
Muslim terbesar di dunia, terutam a bagi kaum m udanya, ketaatan
beragam a dan m odernitas sam a m enariknya dan tak selalu ke-
dua nya saling bertentangan. Bagi m ereka, ketaatan beragam a dan
konsum si budaya populer tersedia sebagai pilihan ketim bang hal
yang hanya bisa dipilih salah satu saja. Sem entara di m asa lalu
orang m em andang ketaatan dan hiburan sebagai hal yang tak co-
cok satu sam a lain, Muslim generasi baru m enem ukan cara (sekali-
pun banyak yang m em andangnya sebagai cara yang dangkal)
untuk m endam aikan hal-hal yang secara tradisional dipandang
sebagai bertolak belakang, yang m em buat m ereka m am pu terlibat
dengan agam a dan budaya populer secara berm akna dan sungguh-
sungguh. Bisa ditebak, langkah-langkah tersebut m em bawa hasil
beragam . Upaya pencarian m odernitas yang kokoh secara m oral
m e rupakan cerita tanpa akhir dan diselingi berbagai gesekan di
dalam m asyarakat besar Muslim yang beragam . Yang lebih pen-
ting, persoalan apa artinya m enjadi m odern sam a pentingnya (jika
tak lebih penting) dengan pertanyaan apa artinya m enjadi Muslim
di balik sem ua perdebatan yang m uncul dari kecenderungan baru
ini. Kaum Muslim m uda berusaha untuk berpartisipasi secara
penuh di dunia m odern tanpa m elepaskan keim anan m ereka.
Me reka bicara m engenai hak-hak sipil, persam aan, transparansi,
dan, tentu saja, hal-hal yang rutin dan kesenangan hidup sehari-
hari. Sebagai konsekuensinya, proses ini berdam pak lebih jauh
m elam paui lingkungan kaum yang taat beragam a, baik Muslim
m aupun bukan. Kelom pok perem puan, kelom pok queer, serta
ber bagai kelom pok m uda berpikiran liberal terkena dam pak m en-
dalam islam isasi ini. Mereka m em berikan tanggapan sendiri seca-
ra lantang, sekalipun tidak dalam bingkai-bingkai keagam aan.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
48 Identitas dan Kenikmatan

ERA BARU , KELOMPOK KAYA BARU


Modernitas bisa menantang atau mendeinisikan ulang bebe­
rapa aspek praktik- praktik keagam aan, juga m ereka yang m e m i-
liki wewenang di dalam kom unitas keagam aan, dan sebalik nya.
Sekalipun dem ikian, m odernitas dan agam a tidak saling m eng-
hancurkan satu sam a lain sebagaim ana anggapan banyak orang
selam a ini. Asef Bayat m engingatkan kita, “[salah satu] kesibu k-
an utam a ilm uwan sosial pada abad ke-19 adalah m engusir ke -
biasaan perbedaan antara yang religius dan yang non-religius.
Kini, sesudah lebih dari seabad m odernisasi, m ereka sibuk m em -
bedakan antara yang religius dan yang lebih religius” (20 0 7a: 5).
Ternyata agam a bukan hanya tetap bugar di berbagai belahan
dunia yang telah m enjadi m odern (Turner 20 0 6, 20 0 7), dunia juga
m enyaksikan pertum buhan luar biasa apa yang disebut sebagai
gerakan-gerakan baru keagam aan. “Tidak seperti agam a-agam a
m apan, Buddha, Kristen, dan Islam , yang tersebar… dalam cara-
cara ad hoc, pendiri gerakan-gerakan keagam aan baru… m eng-
adopsi fokus penyebaran yang m endunia sejak dari awal” (Sm ith
2008: 3). Ternyata agama dan kapitalism e bukan hanya dapat
hidup berdam pingan dan m em iliki keterkaitan, keduanya bahkan
dalam beberapa kasus bisa bersekutu hingga m am pu m endukung
kegiatan-kegiatan kolektif yang berjangka-panjang (Rudnyckyj
20 0 9).
Dalam rangka m enyatukan m odernitas dan religiusitas, m en-
jadi jelas bagi um at Muslim di Indonesia bahwa ketegangan-kete-
gangan yang m enghadang m ereka tak bisa disederhanakan m en-
jadi m odernitas sekuler yang berasal dari Barat m elawan tra di-
sionalism e agam a yang berasal dari belahan dunia lain. Sialnya,
seiring peristiwa 11 Septem ber, stereotip-stereotip seperti itu
terus disebarkan dan didaurulang oleh kedua pihak yang berse-
be rangan: pem erintahan Barat yang konservatif, think tank m e-
reka, serta m edia m assa arus utam a di satu pihak dan Muslim

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Post-Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan 49

kon servatif di pihak lain. Tak kalah serius dan m engganggunya


bagi um at Islam di Indonesia adalah ketegangan dan tan tangan
internal yang muncul dari fakta bahwa Islam—seperti halnya
agama lain di dunia—tak pernah sepenuhnya utuh atau seragam
di antara pengikutnya yang m ajem uk. Kem aje m uk an penuh ke-
te gangan ini tam paknya tak pernah cukup m em ikat perhatian
du nia seperti perhatian m ereka pada yang terjadi de ngan, m isal-
nya, Musim Sem i Arab tahun 20 11 dan buntut peris tiwa sesu-
dahnya yang berkepanjangan. Padahal ketegangan se perti ini
telah berkem bang di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir
pem erintahan Orde Baru.
Satu pendapat pokok yang akan diajukan dalam bab ini ada-
lah adanya tanda-tanda awal terbentuknya gugusan baru Muslim
m odern di Indonesia. Kelom pok ini cenderung berusia m uda dan
berasal dari kelas m enengah. Mereka beraspirasi untuk m en de-
inisikan ulang arti menjadi Muslim, secara bertolak belakang
dengan Muslim ideal yang direkom endasikan baik oleh otoritas
keagam aan lam a yang berada di lem baga-lem baga m apan atau pun
oleh elite politik saat ini. Sekalipun upaya ini dapat berkem bang
m enjadi sesuatu yang lebih subtansial dan tahan lam a, fe nom ena
ini sendiri tam paknya sulit untuk m endom inasi proses islam isasi,
setidaknya tidak dalam waktu dekat ini. Walau tidak dom inan,
sen tim en dan karakteristik Islam baru yang tersebar luas tapi tak
ter organisir ini m em bentuk varian Islam baru yang perlu dike -
nali dengan lebih serius untuk dapat diperhitungkan dalam per-
saingan politik dan m oralitas Islam . Kecenderungan ini jelas-jelas
terpisah dari tradisi lam a. Tam bahan lagi, ini juga m enghadirkan
perlawanan yang kuat terhadap kecenderungan Islam yang
eksklusif dan kelom pok-kelom pok yang condong pada kekerasan
dalam dinam ika islam isasi yang rum it. Perkem bangan serupa
juga telah terjadi di negara-negara lain dengan m ayoritas pendu-
duk Muslim , dan kita akan kelewat m enyederhanakan persoalan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
50 Identitas dan Kenikmatan

apa bila tak m engadopsi perspektif lebih luas yang ditawarkan oleh
fenom ena ini. Perbandingan seperti ini m em bantu kita dalam dua
hal: m enolong kita agar tak m em buat asum si-asum si yang tak pro-
duktif tentang keunikan kasus di Indonesia dan m em bantu m ene-
rangi ciri­ciri spesiik kasus Indonesia. Pertama­tama kita akan
m elihat pada persam aan um um yang dapat dite m ukan di negara-
negara berpenduduk m ayoritas Muslim , dan sesudah itu kita
akan m enguji kekhususan kasus Indonesia yang m em bedakannya
dengan negara-negara berpenduduk m ayoritas Muslim lainnya.
Asef Bayat m em bahas kecenderungan dalam budaya popu-
ler Islam – di Iran, Mesir, dan lebih banyak lagi di Tim ur Tengah
pada tahun 20 0 0 -an– yang paralel dengan apa yang saya am ati di
Indonesia kini. Ia m enggam barkan fenom ena ini sebagai kasus
‘ketakwaan post-Islam is’, dengan m enyodorkan konsepnya sendiri
‘post-Islam ism e’(1996). Bayat m em ulai analisanya dengan m elihat
pada kebangkitan bintang dakwah televisi (televangelist) Mesir,
Am r Khalid, yang “[p]ada tahun 1999 m enyam paikan sekitar 21
pelajaran per m inggu di rum ah-rum ah keluarga terpandang, dan
puncaknya adalah hingga 99 pelajaran pada bulan Ram adhan.”
Khalid m enyam paikan dakwahnya tak hanya pada pertem uan
tatap m uka, tapi juga m enggunakan “berbagai jenis m edia…
term asuk saluran TV satelit…internet dengan website pribadinya
yang canggih, serta kaset­kaset audio dan video—m edia yang se-
cara khusus dapat m enjangkau kelas m enengah dan kelas yang
lebih m akm ur” (Bayat 20 0 2a). Bayat m enam bahkan, “[k]aset-
kaset rekam an ceram ah Am r Khalid m enjadi barang terlaris
yang tak tertandingi di Pekan Buku Kairo pada tahun 20 0 2 dan
telah m elakukan perjalanan jauh hingga m encapai pasar gelap di
Yerusalem Tim ur, Beirut, dan kota-kota di Teluk Persia” (20 0 2a).
Khalid m erupakan salah satu pendakwah televisi di Tim ur Tengah
yang berhasil m engum pulkan banyak pengikut. Profesi ini tidak
ada sebelum periode post-Islam ism e. Kecenderungan serupa
m elanda Indonesia dengan nam a-nam a seperti AA Gym , J effry al-

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Post-Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan 51

Buchori, dan Muhammad Ariin Ilham sebagai pendakwah televisi


yang paling populer. Nam un beberapa akadem isi ahli Indonesia
(Hasan 2009: 234­41; Hew 2013; Hoesterey 2007, 2008; Howell
20 0 8; Muzakki 20 0 7) yang m enganalisa fenom ena ini um um nya
tak m em perlihatkan m inat m ereka terhadap kaitan gejala seje-
nis di luar Indonesia. Sem entara dim ensi internasional jelas
tam pak dalam diskusi m engenai politik Islam Indonesia, aspek
internasional dari kajian terhadap budaya populer di Indonesia
yang m engandung m uatan islam i, tidak banyak m endapat perha-
tian, dengan bebe rapa perkecualian langka seperti studi Howell
(20 0 8) dan Hoesterey (20 12).5
Diiringi kontroversi religius di antara kaum Muslim sendiri,
kebangkitan kelas m enengah perkotaan di kalangan um at Muslim
di seluruh dunia m enjadi tanda bahwa tum buhnya pem bagian
kelas di kalangan um at Islam m erupakan sebuah fenom ena glo-
bal. Kebangkitan kaum kaya baru di Asia di pengujung abad ke-
20 telah dicatat di banyak tem pat (Chua 20 0 0 ; Em bong 20 0 2;
Pinches 1999; Prasetyantoko 1999; Robinson dan Goodm an 1995;
Tanter dan Young 1990 ). Lonjakan kekayaan dari m inyak bum i
dan akses lebih besar pada pendidikan m em bawa perluasan dan
konsolidasi politik dari apa yang disebut sebagai “kelas m enengah
perkotaan”.6 “Pendakwah-pendakwah baru ini dengan sengaja
m engincar kaum m uda dan perem puan di kelom pok elite”, m eng-
antarkan “pesan-pesan [kelas m enengah perkotaan] ke depan pin-
tu rum ah m ereka, ke dalam kenyam anan rum ah-rum ah m ereka,
ke klub-klub m ereka, ke m asjid-m asjid, dan lingkungan tem pat
tinggal m ereka yang m ewah” (Bayat 20 0 2a).

5 Lihat juga Thom as dan Lee (20 12) untuk koleksi kajian-kajian yang berhu-
bungan dengan budaya populer di seluruh dunia, terutam a kajian dari negara
satu ke negara lain, tak seluruhnya m elibatkan Islam di dalam nya.
6 Terinspirasi dari karya-karya sebelum nya, pada kesem patan lalu saya pernah
m en diskusikan m asalah dan daya tarik yang tak pernah lekang dari istilah
“kelas menengah” (Heryanto 1993, 1999b, 2003).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
52 Identitas dan Kenikmatan

Iran pada dekade 1990 -an dan Indonesia pada 20 0 0 -an m e -


m iliki beberapa kesam aan dan perbedaan penting yang tak m u dah
ditem ukan di kebanyakan negeri berpenduduk m ayoritas Muslim .
Baik Iran m aupun Indonesia m engalam i kebingungan sebagai
dam pak dari pergeseran ideologi, dari am erikanisasi yang luas
dan mendalam—tercakup di dalamnya paparan gaya hidup dan
bu daya populer Amerika—kepada tuntutan akan ketaatan pada
kem urnian agam a (sepanjang 1980 -an hingga 1990 -an di Iran, dan
1990 -an hingga 20 0 0 -an di Indonesia). Kedua negara m engalam i
perubahan besar dari m asyarakat yang gandrung kesenangan
(fun-loving society ) m enjadi m asyarakat yang diperintah oleh
“anti­fun­damentalisme” (Bayat 2007c: 435). Di sisi lain, terdapat
banyak perbedaan yang penting antara kedua negara, setidaknya
pada otoritas keagam aan yang terkait dengan kepolitikan m ereka.
Contohnya, Indonesia tidak pernah secara resm i diperintah oleh
pe m erintahan Islam seperti halnya Iran. Sekalipun berkem bang
dari kekuatan dan konteks sejarah yang am at berbeda, m encatat
perbandingan ekspresi budaya populer pasca-Islam ism e di kedua
negara ini akan berm anfaat.
Dengan m enurunnya legitim asi politik kaum Islam is di Iran,
pergulatan kekuasaan baru telah m uncul. Orang m uda Iran sekali
lagi telah m ulai m enikm ati kegiatan yang berkaitan dengan
kesenangan dan budaya populer, bahkan dengan risiko m enerim a
hukum an berat dari lem baga sosial dan lem baga pem e rintahan
yang hingga kini m asih m em egang kendali terhadap situasi
sekalipun sudah tak sekuat di m asa lalu.

Dengan berakhirnya perang dan rekonstruksi pasca-perang sepan-


jang dekade 1990 -an, orang m uda m ulai secara terang-terangan
m engekspresikan diri m ereka, baik secara sendiri-sendiri m aupun
bersam a-sam a. Laporan-laporan m edia m em be ritakan anak laki-laki
yang ketahuan m enyam ar m enjadi perem puan di jalan-jalan di kota
bagian selatan Iran. Perem puan-pe rem puan tom boi m em akai baju

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Post-Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan 53

laki-laki untuk m enghindar dari pelecehan polisi m oral. Kelom pok-


kelom pok anak m uda ditahan karena m em ainkan m usik dan m em buat
berisik di tem pat um um , sem entara orang lain sedang m enari di jalan
untuk upa cara m enghukum diri sendiri dalam perayaan berkabung
di hari Ashura yang am at dihorm ati di Iran. Penjualan selundupan
re kam an audio dan video artis-artis Iran dalam pelarian terjadi
di jalan-jalan utam a di kota-kota besar, dan video m usik bergaya
MTV m endapatkan popularitasnya. Di segenap penjuru ibu kota,
ke lom pok m usik pop underground dan rock berjaya di pesta-pesta
rahasia, di m ana para rem aja m enikm ati m usik sekaligus sub kultur
pem akaian celana ketat dan baggy, juga penggunaan bahasa Inggris
jalanan yang vulgar dan tato pada tubuh m ereka.
Sejum lah anak perem puan, dalam m engejar individualitas dan
hasrat m em iliki pacar serta kebebasan dari pengawasan ke luarga,
kabur dari rum ah– jum lah m ereka 60 ribu orang pada tahun 20 0 2–
dan banyak dari m ereka berakhir di kom unitas jalanan, penjara, atau
tem pat-tem pat penam pungan.
(Bayat 20 0 7c: 440 )

Sebagaim ana sejawat m ereka yang sekuler dan non-Muslim , ge-


ne rasi baru dan terdidik Muslim di seluruh dunia berharap m e-
m iliki kem erdekaan dan uang yang m em ungkinkan m ereka un-
tuk m enikm ati selera kebudayaan m ereka sam bil m em elihara
kehorm atan diri tanpa m engorbankan keim anan m ereka. Nam un
lingkungan baru di tingkat global m enyulitkan m ereka untuk
m em elihara keim anan dan hubungan sosial tan pa perubahan
sam a sekali. Sedikitnya ada dua pergeseran pen ting yang patut
dicatat di sini: yang satu berurusan dengan pem ilik wewenang
keagam aan, dan yang lainnya adalah pada isi ketak waan m ereka.
Izinkan saya untuk m enjelaskan keduanya satu persatu.
Di Indonesia, sebagaim ana pada m asyarakat m ayoritas
Muslim lain di Tim ur Tengah, yang m em iliki latar belakang seja-
rah berbeda, status baru orang m uda Muslim telah m em unculkan
kebu tuhan baru di ruang-ruang politik, kebudayaan, dan juga
agam a. Di satu sisi, tipe-tipe baru Muslim ini, m ayoritas m asih

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
54 Identitas dan Kenikmatan

m uda, gem bira m enem ukan diri m ereka sejajar dengan kelas
m enengah lain di seluruh dunia dalam hal pendidikan, kecanggihan
budaya, kehorm atan diri, dan gengsi sem bari tetap se cara khusus
m em banggakan ketakwaan beragam a m ereka. Ber gan tung pada
kepribadian dan situasi khusus m asing-m asing individu, ketaatan
beragam a ini dapat m em bangkitkan berba gai m acam tanggapan:
perasaan unggul secara m oral bagi seba gian m ereka, kerendahan
hati yang penuh percaya diri dan terce rahkan, dan m ungkin
sesuatu yang berada di antara kedua titik ekstrem tersebut, atau
sebuah sikap yang beralih-alih antara perasaan keunggulan m oral
dan kerendahan hati. Yang terpen ting adalah: ketaatan beragam a
yang terpelihara dengan baik m em ungkinkan m ereka dengan
bangga m em pertahankan pera saan bahwa m ereka berbeda dari
war ga negara global lain. Di sisi lain, status baru ini berm anfaat
untuk m enjaga jarak antara m ereka dan saudara sebangsa dan
seim an yang kurang beruntung. Kelom pok yang belakangan ini,
kerap m ereka wakili dan m ereka bela dari ancam an-ancam an
luar berupa kekuatan—nyata maupun rekaan—anti­Islam (orang­
orang kair, kekuatan “Barat”, atau kaum bidah). Menikmati yang
terbaik dari kedua dunia yang dihasilkan oleh status seperti ini
sebenarnya sulit. Secara um um banyak dari kaum Muslim kaya
baru ini secara terang-terangan m enam pilkan hasrat yang besar
terhadap hal-hal yang berkilauan dari dunia kapitalism e industrial
yang tidak islam i, baik yang berasal dari Asia m aupun dari Barat.
Karenanya, m ereka harus m engatasi pertentangan yang m uncul
dari aspirasi untuk m enikm ati kenyam anan dan gengsi yang
ditawarkan oleh budaya konsum en kapitalism e m odern dan
integritas m oral (setidaknya atribut yang tam pak oleh publik)
seorang religius yang bisa m enjadi pem benaran bagi kenyam anan
dan gengsi yang m ereka peroleh tersebut. Kebutuhan baru ini
tum buh dengan cepat, tapi sebagian besar tetap tak terpenuhi
sebelum hadirnya pendakwah generasi baru.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Post-Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan 55

Pendakwah baru ini m erupakan tem uan m utak hir. Selam a


berabad-abad sebelum nya, para pendakwah dan ulam a m encapai
kewenangan dan wibawa m ereka dengan m engabdikan diri
bertahun-tahun m engaji secara m endalam . Sebaliknya, generasi
pendakwah baru yang merupakan igur­igur religius mentereng
tidak dihasilkan oleh pendidikan keagam aan form al yang ber-
langsung selam a bertahun-tahun. Kebanyakan dari m ereka sam a
sekali tak berlatar belakang pendidikan agam a. Modal utam a
m ereka adalah keteram pilan ko m unikasi yang hebat, keunggulan
dalam bicara di depan um um , dan penggunaan m edia baru. Di
m ata para pendengar m e reka, pendakwah baru ini m em iliki
penam pilan bak bintang m usik rock. Mereka m em perlihatkan
tren terbaru dan terkeren dalam pidato, pakaian, dan potongan
ram but m ereka. Mereka m e m uas kan kebutuhan generasi baru,
terutam a orang-orang kaya “yang telah belajar m engam bil jalan
pintas dalam m encari ilm u, atau belajar untuk m enjadi m urid
yang patuh” (Bayat 20 0 2a). Tak m engherankan, sem entara para
pendakwah keren ini m enjangkau dengan tepat generasi m uda,
kaum kaya baru, dan para pendam ba kekayaan, popularitas
m endadak m ereka telah m enjadi tantangan langsung bagi para
pem im pin agam a tradisional yang otoritasnya juga m endapat
ancam an dari dem okratisasi agam a yang terjadi belakangan ini
(lihat Mardani 20 12).
Di Indonesia dan di berbagai tem pat lain, para pendakwah
tradisional m elakukan apa yang selam a ini dilakukan oleh pen-
dakwah generasi sebelum nya: bertutur secara serius tentang
dogm a, m enawarkan nasihat berdasarkan kitab suci, serta m ene-
kankan pesan m ereka pada kewajiban dan kepatuhan dari para
pendengar. Sebaliknya, para pendakwah baru bicara secara ber-
semangat dalam bahasa sehari­hari—menggunakan frasa yang
sederhana dan m enarik, terkadang dengan hum or dan lawa kan
yang mengejek diri sendiri—untuk menawarkan nasihat­nasihat

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
56 Identitas dan Kenikmatan

pendek dan praktis untuk m enjawab beragam per soalan se hari-


hari yang dihadapi oleh para pendengar. Hal-hal yang ber kaitan
dengan studi, pacaran, diet, kosm etik, pakaian, hiburan, hu bungan
orangtua dengan anak, pengelolaan keuangan pribadi, pekerjaan,
hubungan kerja di kantor m enjadi topik pokok dakwah m ereka.
Mereka m enggunakan teknologi kom u nikasi terbaru yang sangat
diakrabi oleh generasi m uda dan kaum berada. Di Iran, m enurut
sebuah survei, peningkatan popularitas pen dakwah televisi sejalan
dengan cara-cara orang m enghabis kan waktu luang, di m ana
“lebih dari 83 persen orang muda menghabiskan waktu luang di
depan TV, tapi hanya 5 per sen dari m ereka yang m enonton acara
keagam aan; dari 58 persen yang m em baca buku, kurang dari 6
persen yang tertarik pada lite ratur keagam aan” (Bayat 1996: 50 ).
Di Indonesia kini, 55 persen dari pengguna internet berusia antara
15 hingga 19 tahun, dan 70 persen dari m ereka m enggunakan
Facebook (Tem po 20 12a), m en jadikan Indonesia sebagai pusat
jejaring sosial kedua ter besar di dunia (lihat Bab 1). Menurut satu
laporan pada tahun 20 12, Indonesia m erupakan pusat pengguna
Facebook terbesar kedua di dunia (Burcher 20 12). Masalah-
m asalah keagam aan m endom inasi segala bentuk m edia sosial di
Indonesia saat ini.
Sebuah pergeseran lain yang m asih terkait dapat dilihat pada
pesan dom inan dakwah baru ini, yaitu penekanan pada hak-
hak pribadi dan urusan personal. Di Tim ur Tengah, “[t]erdapat
pergeseran yang jelas dari fokus sebelum nya yaitu kelem bagaan
politik Islam kepada kesalehan personal dan etika; dari konstituen
yang berpusat pada kelas m enengah yang dilem ahkan ke pa-
da para pengikut yang lebih terfragm entasi, term asuk kaum
berpunya” (Bayat 2002a). Kritikus ilm Indonesia Eric Sasono
mengidentiikasi orientasi personal sebagai karakter terpenting
muatan ilm­ilm bertema islami di Indonesia masa kini. Eric
mencatat bahwa ilm­ilm bertema islami sebelum tren terkini

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Post-Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan 57

pada tahun 20 0 0 -an m enghadirkan tokoh utam a yang serupa yaitu


m enginginkan dunia m enjadi tem pat yang lebih baik, terutam a
bagi kaum yang kurang beruntung, dengan cara ber konfrontasi
dengan m asalah-m asalah yang dihadapi oleh m asya rakat secara
um um . Sebaliknya di Indonesia.

Hampir semua ilm­ilm bertema islami pada masa pasca­Soeharto


m enganggap capaian pribadi sebagai perwujudan dari ketak waan.
Capaian pribadi ini dalam beberapa ilm berarti kemakmuran
ekonom i, sem entara pada yang lainnya berm akna pendidikan yang
lebih tinggi (yang juga m enjadi alat bagi peningkatan kehidupan
ekonom i). Seberapa pun kuatnya ikatan kebersam aan dan persa-
habatan yang menjadi latar belakang karakter­karakter dalam ilm,
tujuan terpenting m ereka adalah untuk m encapai pendidikan yang
lebih tinggi atau m enjadi kaya.
(Sasono 20 10 : 57)

Harus diakui bahwa uraian di atas adalah sebuah penggam baran


yang agak kasaran, berfokus pada beberapa aspek paling m en-
colok praktik-praktik dan situasi-situasi yang teram at kom pleks.
Se kalipun berfokus pada kelas m enengah, aspirasi terhadap
gaya hidup bertakwa yang trendi ini tak terbatas pada kaum
berpunya dan orang kaya perkotaan. Penting untuk dicatat bahwa
ketakwaan baru ini adalah kekuatan apolitis yang berada jauh di
luar batas konsum si hedonistik, yang kerap direm ehkan dalam
liputan m edia dan kajian akadem is.

POLITIK ISLAMIS, KEBU D AYAAN POST-ISLAMIS


Sesudah m engusulkan sejum lah ciri yang dim iliki bersam a oleh
Islam di Indonesia dan Tim ur Tengah, kita sekarang berpaling
kepada perbedaan Indonesia dengan negara-negara berpenduduk
m ayoritas Muslim lainnya. Untuk itu, kita perlu kem bali kepada
konsepsi Bayat tentang post-Islam ism e: apa artinya, bagaim ana
terbentuknya, dan kem ungkinan apa yang bisa dicapai dalam

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
58 Identitas dan Kenikmatan

satu atau dua dekade ke depan dalam sebuah konteks sosial


tertentu. Sekalipun teori Bayat tidak sepenuhnya siap diterapkan
di Indonesia (ia m alah beranggapan teorinya tidak bisa begitu saja
diterapkan di sini), saya berpendapat bahwa dengan beberapa
penyesuaian dan perubahan, yang bahkan m ungkin tak pernah
dibayangkan oleh Bayat sendiri, konsepnya bisa berguna untuk
m enganalisa kasus di Indonesia. Guna m em pertahankan fokus bab
ini pada kebudayaan populer di Indonesia kontem porer (bukan
pada islam isasi secara um um ) dan m engingat rum itnya topik ini,
hanya garis besar saja dari wawasan Bayat, dalam rum usan paling
sederhana, yang akan diusahakan di sini. Mudah-m udahan ini
m em adai sebagai latar belakang m inim um bagi diskusi m engenai
m asalah utam a bab ini.
Budaya populer tak tam pil secara m encolok dalam diskusi
Bayat yang beragam tentang ‘post-Islam ism e’, yang kini m enjadi
bahan diskusi yang luas di kalangan akadem isi yang m eneliti politik
Islam .7 Pandangannya tentang ketakwaan post-Islam is dihasilkan

7 Karya Bayat memiliki dampak utama pada kajian kontemporer mengenai Timur
Tengah dan politik Islam secara lebih luas, terutama di Eropa, sekalipun sempat
disalahpahami. Ahli lain yang juga terkenal dalam ‘post-Islamisme’ di Timur
Tengah adalah Oliver Roy. Yang mengejutkan, sedikit sekali terdapat referensi
silang dalam karya kedua penulis ini sekalipun ter da pat kesamaan mereka pada
minat dan penggunaan konsep utama. Saya memilih untuk berfokus pada karya
Bayat ketimbang Roy karena karya Bayat lebih berhubungan langsung dengan
analisa saya ini. Karya Bayat lebih ber fokus pada post-Islamisme sebagai konsep
teoretis ketimbang sebagai analisa umum tentang perubahan politik dan proses
demokratisasi di Timur Tengah. Tak seperti Roy, Bayat meluaskan perspektif
post-Islamismenya ke area budaya populer. Satu faktor penting lain adalah,
karya Bayat aslinya berbahasa Inggris, sementara karya Roy berbahasa Prancis
dan hanya bisa saya akses me lalui terjemahannya.
Di Indonesia, karya Bayat telah m enarik perhatian beberapa ahli, seka-
lipun tidak terlalu m engem uka. Sebelum terjem ahan karyanya, Making Islam
Dem ocratic: Social Movem ent and the Post-Islam ist Turn (Bayat 20 0 7b) di-
edarkan pada tahun 20 11 oleh lem baga swadaya m asyarakat yang berpusat di
Yogya karta, LKiS, sedikit ahli yang sudah m engutip Bayat (m isalnya Kahar
20 11; Pontoh 20 11) dan satu sem inar sehari diselenggarakan di Universitas
Indo nesia pa da tanggal 14 Novem ber 20 11 dengan tem a “Post-Islam ism e:
Islam ism e Dem o kratis”.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Post-Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan 59

dari penelitiannya yang berfokus pada per ubahan-perubahan


politik di Tim ur Tengah dan negara-negara lain berpenduduk
Muslim dalam jum lah besar, tetapi wawas annya tentang post-
Islam ism e secara keseluruhan dan kom entar singkatnya tentang
budaya populer Islam berm anfaat untuk dis kusi di sini. Yang
dim aksud dengan ‘post-Islam ism e’ oleh Bayat adalah sebuah
kon disi dan sebuah proy ek. Kondisi post-Islam ism e “m engacu
kepada kondisi sosial dan politik di mana—sesudah sebuah fase
eksperimentasi—daya tarik, energi, dan sumber daya Islamisme
telah terkuras habis, bahkan bagi para pengikutnya yang tadinya
bersem angat” (Bayat 20 0 2b). Dalam m enanggapi kondisi ter se-
but, um at terlibat dalam proy ek post-Islam ism e yang “tidak anti-
Islam , tak juga non-islam i, dan tidak juga sekuler” (Bayat 20 0 7a).
Melainkan,

Mewakili sebuah upaya untuk m enyatukan religiusitas dan hak-hak,


keim anan dan kebebasan, Islam dan kem erdekaan…m e ne kan kan
hak daripada kewajiban, keragam an sebagai pengganti suara otoritas
yang tunggal, kesejarahan ketim bang teks keagam aan, serta m asa
depan ketim bang m asa lalu. Proyek ini ingin m engawinkan an tara
pilihan individu dan kebebasan, antara dem okrasi dan m o dernitas.
(Bayat 20 0 2b)

Untuk m enim bang gagasan Bayat ini, kita perlu m em per hi-
tungkan fakta-fakta em piris kasus-kasus yang berfungsi m enjadi
dasar bagi gagasannya, sekaligus m enjadi pokok-pokok penjelasan
yang ia tawarkan. Konsep Bayat m engenai Islam ism e tum buh dari
pengam atannya terhadap negara Turki (sebelum kem unculan
gerakan demokrasi pada pertengahan 2013) dan Iran, di m ana
satu periode pem erintahan Islam berujung pada ketidakpuasan,
kerisauan, dan kekecewaan di kalangan pengikutnya, bahkan
di antara m ereka yang tadinya m endukung kepolitikan islam is.
Konsep post-Islam ism e tidak diartikan Bayat berim plikasi pada
berakhirnya “agenda politik islam is”, dan tak juga dim aksudkan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
60 Identitas dan Kenikmatan

untuk mengidentiikasi sebuah fase historis dalam pengertian


yang m ekanis dan determ inistik. Malahan Bayat m enyatakan,
“Da lam kenyataannya kita dapat m enyaksikan proses yang terjadi
secara bersam aan dari islam isasi dan post-islam isasi” (20 0 7a:
20 ). Proses-proses yang bersam aan dan saling bertentangan ini
sedang berlangsung di Indonesia m asa kini dan beberapa negara
berpenduduk m ayoritas Muslim .
Post-Islam ism e pada dasarnya m erupakan kategori analitis
ketim bang deskriptif dan penerapannya ke m asyarakat-m asya-
rakat tertentu bukannya tanpa keterbatasan.8 Ahli-ahli lain telah
m eneliti dengan lebih rinci m engenai kom pleksitas kecenderungan
post-Islam ism e di dua negara yang m enjadi acuan utam a Bayat,
dengan hasil yang m em perlihatkan bahwa post-Islam ism e tak
selalu m enjadi obat jika m asalah Islam ism e dianggap sebagai
sem acam penyakit. Dalam kajian m engenai Turki sebelum gerakan
demokrasi 2013, Ihsan Yilm az m enem ukan sebuah gerakan yang
lebih baru dan lebih m enjanjikan ketim bang post-Islam ism e
(20 11) sem entara Mojtaba Mahdavi mengidentiikasi setidaknya
tiga arus utam a yang saling berkom petisi dalam pasca-Islam ism e
di Iran sekarang ini (20 11).
Secara konseptual, post-Islam ism e tak dapat dianggap terpi-
sah sam a sekali dari Islam ism e. Sebagaim ana kita tahu, berbagai
deinisi mengenai Islamisme diperdebatkan seru; debat itu tak
perlu kita ulas-ulang di dalam ruang terbatas buku ini (lihat Yilm az
20 11: 247-9 untuk ringkasan debat tersebut). Untuk keperluan
pen jelasan yang ringkas, saya m engadopsi perum usan sederhana
Islam ism e yang banyak digunakan di Indonesia dan sesuai de-
ngan penggunaan istilah ini oleh para ahli, yaitu: gerakan-ge-

8 Pada beberapa karya belakangan tentang Islam dan politik di Indonesia,


istilah “post-Islam ism e” telah m uncul, tetapi hanya selintas (terkadang dalam
separuh kalim at), dengan pengertian yang sering bersikap m erendahkan,
m isalnya pada karya Pintak dan Setiyono (20 11), dan Tom sa (20 12).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Post-Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan 61

rakan sosial yang m enyerukan dan m em aksim alkan penerapan


ajar an Islam (sebagaim ana dipaham i oleh para pendukungnya)
se luas m ungkin dalam kehidupan publik, term asuk tetapi tak ter-
batas pada, pengadopsian secara resm i dan penegakkan hukum
syariah sebagai dasar pem erintahan di sebuah negara-bangsa. Ke-
bangkitan gerakan-gerakan ini dan adopsi gagasannya berbeda-
beda tergantung pada konteks ruang dan waktu. Berbagai bentuk
Islam ism e m em iliki sedikit persam aan dalam beberapa hal:

Islam ism e m uncul sebagai bahasa guna m engungkapkan rasa per-


caya diri sendiri, untuk m em obilisasi kelom pok kelas m enengah
yang beram bisi, yang m erasa dipinggirkan oleh proses-proses do-
m inan ekonom i, politik, dan budaya dalam m asyarakat m ereka, dan
bagi m ereka kegagalan m odernitas kapitalism e dan utopia sosialism e
m em buka peluang wacana m oralitas (agam a) sebagai pengganti
kendaraan berpolitik.
(Bayat 20 0 7a: 14)

Menurut Bayat, pada awal dekade 1950 -an dan 1960 -an, di ba-
nyak tem pat di Tim ur Tengah, “Gerakan Islam is selam a tiga de-
kade telah berhasil m engaktifkan sebagian besar anggota m a sya -
rakat yang kecewa dengan apa yang [oleh Bayat] disebut islam -
isasi m urahan, yaitu, dengan kem bali kepada bahasa m oral dan
ke m ur nian budaya” (20 0 7a: 16). Kadang gerakan-gerakan ini
m engga bungkan ideologi keagam aan dengan ideologi nasionalis
dan so sialis yang kuat untuk m elawan dom inasi Barat. Nam un,
selam a tiga dekade proyek ini, banyak gerakan yang m enem ui
jalan buntu setelah terus m enerus gagal untuk m enyam paikan
“islam isasi yang lebih m ahal, yaitu, m endirikan lem baga politik
dan ekonom i Islam serta m enyelenggarakan hubungan inter na-
sio nal yang cocok dengan nasionalism e m odern dan ke warga -
negaraan global” (Bayat 20 0 7a: 16). Sebagai hasilnya, “Pem e -
rin tahan Islam is m enghadapi krisis m endalam di m ana pun ga-
gasan itu dijalankan (di Iran, Sudan, dan Pakistan); dan strategi

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
62 Identitas dan Kenikmatan

dengan kekerasan serta perjuangan bersenjata, yang diadopsi oleh


kelom pok Islam is radikal, telah gagal m enciptakan perkem bangan
yang berarti (seperti di Iran dan Aljazair)” (Bayat 20 0 7a: 16). Krisis
seperti ini m enciptakan kondisi yang m engarah kepada kebang-
kitan pem ikiran dan aspirasi baru yang disebut oleh Bayat sebagai
“post-Islam ism e”.
Sebelum beranjak m aju dengan diskusi soal ini, penting un-
tuk dicatat bahwa tak ada keniscayaan yang diusulkan dalam
pan dangan di atas. Satu perkem bangan politik (“kondisi”) tidak
harus m engikuti yang lainnya (satu tanggapan tertentu atau
“pro yek”). Kebangkitan pem erintahan Islam bisa diikuti dengan
krisis internal yang dibuatnya sendiri, sebagaim ana diperlihat-
kan di Iran, bisa juga tidak. Ketika krisis terjadi, tak ada jam inan
bah wa kekuatan-kekuatan antusias post-Islam ism e secara oto-
m atis m uncul.9 Sebagaim ana terdapat lebih dari satu m acam
pem erintahan Islam is, m aka bisa juga terdapat lebih dari satu
bentuk tanggapan post-Islam is dari pem erintahan tersebut. Karya
Bayat dan ahli-ahli lain yang dibangun berdasar argum en ini telah
m em perlihatkan keragam an di antara berbagai kasus di berbagai
negara di m ana terdapat gerakan-gerakan Islam is. “Di beberapa
negara (seperti Iran dan Turki), post-Islam ism e telah bangkit
sebagai gerakan sosial yang populer, di tem pat lain (seperti Arab
Saudi dan Mesir), jangkauan dan pengaruh sosialnya terbatas”
(Am in 20 10 : 242). Kajian Husnal Am in juga m enem ukan absen-
nya kekuatan post-Islam ism e yang berarti di Pakistan. Yilm az
(20 11) m em perlihatkan bagaim ana gerakan-gerakan baru di
Turki telah m engam bil langkah berikutnya m eninggalkan m odel
post-Islam ism e dunia, dan m enjadi lebih bersifat sekuler dan
kosm opolitan (“m elam paui post-Islam ism e”), dan protes yang

9 Dalam m em bandingkan konsep Islam ism e dan post-Islam ism e, tak ada gagas-
an bahwa yang satu lebih bersifat politik atau secara moral lebih progresif ke tim -
bang yang lain. Penilaian seperti itu tidak relevan dengan analisis saya di sini.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Post-Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan 63

terjadi di jalan­jalan di Turki pada pertengahan 2013 tampak­


nya m enawarkan gagasan segar ke arah penelitian lebih jauh m e-
ngenai soal ini. Menurut Yilm az, perkem bangan ini adalah akibat
gerakan pendidikan Fethullah Güllen yang sukses selam a em pat
dekade terakhir, yang berkem bang di seluruh benua serta m en-
dapat sam butan hangat di Indonesia.
Dengan sikap berhati-hati dan m enahan diri untuk tidak
ter buru m elakukan generalisasi dan m elebarkan konsep post-
Islam ism e ini ke negara-negara seperti Malaysia dan Indonesia,
Bayat (20 0 9) m enyatakan bahwa analisanya hanya relevan
untuk kawasan Tim ur Tengah. Sam bil m enghargai kewaspadaan
seperti itu, saya tetap berpendapat bahwa kerangka teori tersebut
ber guna untuk diterapkan kepada analisa kasus Indonesia de-
ngan beberapa modiikasi dan penyesuaian. Menurut saya, per­
lu dibedakan antara post-Islam ism e yang politis, yang ber hu-
bungan dengan pem erintahan secara resm i pada tingkat ne -
gara—yang menjadi perhatian utama penelitian Bayat—dengan
post-Islam ism e yang bersifat kultural, yang m encakup baik bu-
daya tinggi elite intelektual m aupun budaya rendah yang m e-
ne m ukan ekspresinya pada hiburan dan gaya hidup populer se-
hari-hari, yang m erupakan fokus kajian ini. Tentu saja, seba gai-
m ana diperlihatkan oleh keseluruhan buku ini, pem bedaan ini
tidak m em bantah bahwa yang politis dan yang kultural itu tak
terpisahkan. Sekalipun Indonesia tidak pernah berada di bawah
pem erintahan Islam , dengan m elihat pem erintah daerah di bebe-
rapa wilayah serta beberapa kasus berm otif politik di tingkat
nasional, bisa disim pulkan terdapat peningkatan dukungan bagi
retorika dan regulasi berorientasi Islam ism e. Nam un dem ikian,
proses tersebut tam paknya tidak akan m encapai pem erintahan
Islam is resm i sem ata-m ata. Sem entara situasi di Indonesia jauh
ber beda dengan Pakistan, kecenderungan politik di Indonesia yang
m em buat banyak pihak khawatir telah m em buat situasi Pakis tan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
64 Identitas dan Kenikmatan

lebih relevan dengan diskusi tentang islam isasi di Indonesia serta


kurangnya toleransi antar­agama (Aiyar 2013; Roger 2011).
Sem entara itu secara kultural, post-Islam ism e gaya Indo ne -
sia telah berkem bang pesat, dengan popularitas para pendakwah
televisi hanya sebagian darinya. Dengan m em a ham i perbedaan
lokal yang spesiik, saya berpendapat bahwa konsep Bayat ten­
tang Islam ism e dan post-Islam ism e berm anfaat untuk analisa
kecenderungan m utakhir di Indo nesia. Konsep-konsepnya m en je-
laskan watak perdebatan hangat yang terjadi di pusat perpolitikan
nasional, yang diiringi dengan insiden berdarah, yang sebagian
di antaranya dipicu, dikom entari, dan ditam pilkan dalam produk
bu daya populer m utakhir di Indo nesia. Untuk saat ini, cukup
disebut kontroversi m engenai pene rapan undang-undang anti-
pornograi tahun 2008 dan penerbitan majalah Play boy edisi
Indonesia pada tahun 20 0 6 sebagai contoh fenom ena ini yang
telah didokum entasikan dengan baik (lihat Allen 20 0 7; Heryanto
20 11: 69-70 ; Kitley 20 0 8; lihat Bab 2). Dalam kedua kasus
tersebut, kelom pok konservatif bangsa Indonesia m arah pada
upaya saudara sebangsa m ereka untuk m em perluas kebebasan
pers, juga pada ekspresi kultural dan artistik yang tak m elulu
m enyesuaikan diri dengan standar norm a Islam dan ketertiban.
Dalam kedua kasus, bentrokan dengan kekerasan terjadi di
ruang publik m enyusul ungkapan protes dan protes tandingan.
Sementara sulit untuk memperkirakan bagaimana konlik ini
akan m enem ukan pe nyelesaian akhir, pem aham an terhadap sifat
konlik amat penting bagi kita untuk dapat berspekulasi, dalam
pengertian luas, m engenai garis batas sebuah penyelesaian yang
bisa secara efektif mengakhiri konlik atau mendorongnya menuju
sebuah fase yang berbeda.
Tak seperti yang ditem ukan Bayat di Tim ur Tengah, ketak-
wa an post-Islam ism e di Indonesia tak berkem bang dari krisis
yang dihasilkan oleh pem erintahan Islam yang kehabisan te-

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Post-Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan 65

naga. Malahan, ketakwaan post-Islam ism e (atau sesuatu yang


m irip dengan kondisi yang digam barkan Bayat) telah m enjadi
kecen derungan kultural dan m oral di seluruh Indonesia bahkan
sebelum adanya pem erintahan Islam is, atau partai politik Islam is
m en jadi kekuatan dom inan dalam kehidupan bernegara. Perha-
tian utam a kita adalah pada “kondisi” dan “proyek” atau aspirasi-
aspirasi yang dapat diperbandingkan, bukan pada faktor-faktor
penyebab, atau istilah yang sam a persis untuk m enam ai kondisi-
kondisi dan aspirasi-aspirasi tersebut. Ketakwaan yang serupa
dengan “post-Islam ism e” di Indonesia justru bertum buh dari
kebangkrutan tindakan-tindakan represif rezim otoritarian Orde
Baru yang sekuler. Dengan dem ikian, m ungkin istilah “ketakwaan
post-sekularis” (Khalid 20 12) dapat dipertim bangkan sebagai
pengganti untuk istilah “post-Islam ism e” Bayat. Masalahnya, saya
enggan m enggunakan istilah “ketakwaan post-sekularis” ka rena
Bayat telah m enjelaskan bahwa kita sedang berbicara ten tang
orang-orang yang “tidak anti-Islam , bukan non-islam i dan bukan
juga sekuler” (20 0 7a: 19). Apa pun istilah yang dipilih, ketak wa-
an religius populer di Indonesia m engartikulasikan ko m it m en
berlandaskan m oral untuk m engoreksi m odernisasi yang terjadi
di bawah Orde Baru, tapi juga sebentuk penolakan terha dap ga-
gasan utopia Islam yang berlandaskan syariah. Orang-orang yang
m engadopsi ketakwaan seperti ini tidak pernah m em berikan ke-
percayaan m ereka sepenuhnya secara berlebihan terhadap par tai
politik Islam dalam pem ilihan um um , dan ini m endorong partai-
partai itu untuk m eninggalkan dogm a-dogm a dan retorika asli
m ereka.10

10 Untuk sebuah perbandingan dengan perform a partai politik berbasis Islam di


Turki (Partai Keadilan dan Pem bangunan [Adalet ve Kalkinm a Partisi, atau
AKP]) dan di Indonesia (Partai Keadilan Sejahtera atau PKS), lihat Hadiz
(20 11). Untuk tinjauan um um bagaim ana partai-partai politik bersaing dengan
partai-partai lain di tanah air m ereka, lihat Buehler (20 0 9a).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
66 Identitas dan Kenikmatan

Masalahnya jadi tam bah rum it karena partai-partai politik


besar yang konstituen utam anya bukan berdasarkan agam a juga
turut m engam bil retorika islam i dan m enggunakannya untuk
m eningkatkan kekuatan politik m ereka. Sekalipun kekuatan-ke-
kuatan pendukung Islam ism e m em iliki sejarah panjang di Indo -
nesia, m ereka pertam a kali m erasakan kekuasaan lewat m e ka-
nism e form al yang terlegitim asi dalam kehidupan ber negara baru
pada dekade 1990 -an. Sebagaim ana disebutkan sebe lum nya, ke-
tika itu Soeharto, penguasa Orde Baru, secara drastis berputar-
ha luan dengan tiba-tiba m engundang banyak pem im pin Islam
dari berbagai spektrum politik untuk ikut m e nikm ati kekuasaan
negara dalam upaya terakhirnya untuk m enyelam atkan rezim nya
yang sedang sekarat. Tak seluruh pe m im pin dan kelom pok Islam
m enerim a rayuan itu. Alm arhum Abdurrahm an Wahid m en jadi
penentang utam a politisasi agam a. Pada awal 20 0 0 -an, m en ja d i
jelas bahwa m enguatnya Islam , term asuk Islam ism e, te lah m e-
lam paui Soeharto, rezim Orde Baru, dan pem erintahan se m en ta ra
di bawah B.J . Habibie. Habibie m eneruskan upaya pen dahu lu nya
m em anfaatkan Islam untuk tujuan politiknya, ter m asuk m ela-
kukan perekrutan m assal m ilisi-m ilisi Islam is yang baru dibentuk.
Sem entara banyak orang di Iran dan Turki yang m erasa jenuh
de ngan Islam ism e, dan kejenuhan itu m endorong bangkitnya
post-Islam ism e, bagi kaum Islam is Indonesia, dekade pertam a
abad ini m eru pakan m usim sem i yang gem ilang. Dengan berbagi
sedikit jatah kendali kekuasaan negara dengan partai-partai po-
litik tak berbasis agam a, m ereka m enikm ati sebuah m asa bulan
m adu. Nam un, hal itu tak berlangsung lam a karena partai-partai
politik Islam is terus m enerus kalah dalam pem ilihan um um , m e -
m aksa m ereka m enghadapi kenyataan kondisi politik di Indo-
nesia. Para pem ain kunci dan analis dalam politik Indonesia ter-
lalu m enganggap rendah daya tahan dan keteram pilan politik para
bekas pejabat di m asa Soeharto, yang berhasil m engam bil alih

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Post-Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan 67

kem bali kekuasaan negara dengan m elakukan m anuver, m engo-


optasi, atau m em inggirkan partai-partai politik Islam is yang lebih
konsisten, serta elem en yang progresif dari m asyarakat sipil, yang
telah berjasa dalam m enum bangkan Orde Baru. Banyak para
peja bat dari partai penguasa Orde Baru (Partai Golkar) dan partai
oposisi yang sekuler (Partai Dem o krasi Indonesia-Perjuangan)
kini m endom inasi parlem en na sio nal dan pem erintahan daerah.
Tanpa banyak sum ber daya ideologis untuk m em bangun legiti-
m asi politis dan m oral dalam situasi pasca-Orde Baru (atau era
islam isasi), banyak elite politik, baik secara individu m aupun
kolek tif, dan kadang tanpa instruksi resm i dari partai, ikut-ikutan
m em anfaatkan retorika politik Islam untuk m engejar kepentingan
politik dan bisnis m ereka sendiri. Para politisi Orde Baru inilah,
dan bukan rekan m ereka dari partai politik Islam is, yang paling
bertanggung jawab atas diresm ikannya perda syariah di beberapa
daerah di luar Daerah Istim ewa Aceh (Buehler 20 11).
Taktik tersebut berhasil karena terjadi aliansi antara politisi
daerah yang oportunis dan prem an terorganisir serta kelom pok
m ilisi yang telah m enjadi yatim piatu politik sejak kejatuhan
pengayom m ereka, yakni rezim Orde Baru. Dalam banyak peris-
tiwa, adopsi hukum syariah ini bersifat sim bolis, tanpa penegakan
yang serius dan konsisten di sisi pem erintah daerah. Lem ahnya
penegakan hukum ini telah m em buat frustrasi kelom pok Islam is
yang lebih aktif dan telah m endorong kelom pok-kelom pok ini
untuk m ain hakim sendiri. Beberapa anggota dari kelom pok yang
sam a, atau kelom pok Islam is lain, dilaporkan telah m engam bil
m anfaat dari situasi ini untuk m elakukan pem erasan dengan dalih
perlindungan. Kelom pok-kelom pok m ilisi ini kerap tam pil sebagai
Muslim yang taat, m engum andangkan teriakan-teriakan islam i,
sembari secara isik menyerang atau memeras korban atau musuh
politik patron baru m ereka (lihat Buehler 20 11; Ryter 20 0 5, 20 0 9;
Wilson 20 0 8).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
68 Identitas dan Kenikmatan

MEN ATAP KE D EPAN


Sedikitnya dua ironi m enandai politik Islam is di Indonesia. Per-
tam a, kekuatan-kekuatan politik Islam is di Indonesia m ulai ber -
kem bang pada saat rekan m ereka di beberapa negara ber pen duduk
m ayoritas Muslim lain (m isalnya Iran, Turki, dan ke m ungkinan
besar Mesir) m ulai m engalam i krisis serius. Karena bu daya populer,
khususnya budaya layar, m erupakan fokus buku ini, patut dicatat
bahwa gelom bang post-Islam ism e di Iran ber jalan beriringan
dengan kebangkitan ilm­ilm mereka di arena internasional dan
m endapat penghargaan dari para kritikus. Kedua, Islam ism e di
Indonesia sem pat m enikm ati periode legitim asi form al dalam
kehidupan bernegara berkat tindakan para politisi sekuler, yang
tidak m em perlihatkan pengabdian yang berbobot dan m eyakinkan
terhadap agenda-agenda keagam aan. Sem entara itu, beberapa
partai Islam yang sejak se m ula beraspirasi untuk m engejar cita-
cita politik Islam , telah terpinggirkan sesudah berkali-kali gagal
meraih suara yang signiikan dalam pemilu. Kelompok Islamis
yang lebih kecil berhasil selam at dan tetap m engejar agenda poli-
tik Islam is. Dari waktu ke waktu sayap param iliter kelom pok yang
tak penting ini m enjadi bahan pem beritaan karena tin dakan keke-
rasan m ereka, nam un tak ada dari m e re ka yang berhasil m em -
buat dam pak berjangka panjang. Sekalipun dem ikian, ada ironi
lain, kelom pok inilah yang m en dapat perhatian m edia Barat lan-
taran sikap politik m ereka yang eks klusif, yang m engipas dan
m e reproduksi kepanikan dunia internasional atas segala yang
dianggap ancam an berbasis agam a terhadap Barat dan kekerasan
oleh ‘liyan’. Hal ini patut disesalkan, karena gam baran lebih besar
dari dinam ika kultural dan politik di negara-negara berpenduduk
m ayoritas Muslim yang tak sesuai dengan stereotip seperti itu
kurang m en dapat perhatian yang sepantasnya.
Sulit untuk diketahui bagaim ana kelak penyelesaian atas ke-
te gangan yang terjadi antara kekuatan kelom pok post-Islam ism e/

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Post-Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan 69

ketakwaan post-sekulerism e dan kelom pok Islam is ultra kon ser-


vatif yang disponsori negara. Kita hanya dapat m enduga-duga
dalam kerangka yang lebih luas m engenai bentuk penyelesaian
yang tak akan terjadi. Mengingat bahwa konlik yang terjadi se­
ca ra fundam ental bukan m erupakan persoalan agam a, m elain kan
persoalan politik, kem akm uran, dan m oralitas, m aka ke m ungkin-
an besar faktor-faktor non-religius akan m enentukan ba gaim a-
na konlik tersebut akan terselesaikan. Fakta bahwa elite politik
bersedia m enggunakan Islam untuk keuntungan politik jangka
pen dek m ereka juga m em perlihatkan sifat oportunis m e reka, dan
m engim plikasikan bahwa akan m udah bagi m ereka un tuk m e-
nanggalkan bendera Islam dan m engadopsi sim bol ber beda ketika
situasi baru m enuntut dem ikian.
Dengan kondisi di atas, upaya untuk m em aham i dengan lebih
baik konlik atau perkiraan penyelesaian persoalan, menuntut
kita untuk m em aham i lebih jauh ketim bang sekadar pem bacaan
teologis dan teks-teks keagam aan, ataupun analisis yang terlalu
ber fokus kepada lem baga-lem baga politik form al dan para anggota
elite politik. Perhatian yang lebih serius harus diarahkan kepada
bu daya populer dan bagaim ana itu terjelm a dalam kehidupan dan
im a jinasi sehari-hari jutaan orang, khususnya orang m uda dan
kaum perem puan, yang kurang terwakili dalam politik. Baik dalam
Musim Sem i Arab pada tahun 20 11 m aupun di Indonesia sejak
1998, orang m uda dan perem puan m em ainkan peran am at pen ting
dalam m enggugat status quo yang didom inasi oleh kaum orto doks
Islam is dan diujungtom baki oleh sebuah gerakan yang m em iliki
tujuan post-islam isasi. J uga patut untuk dicatat bahwa seka lipun
Bayat m enyam but kekuatan post-Islam ism e dalam ranah po litik
sebagai kekuatan progresif dalam pem bentukan m asyara kat sipil,
ia tak terlalu berharap pada dam pak ketakwaan post-Islam ism e
pada budaya populer. Oleh karena (dan bukan walaupun) ber ki-
blat pada kelas m enengah yang konservatif dan egois, ketakwaan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
70 Identitas dan Kenikmatan

post-Islam ism e di Indonesia telah m enjadi kekuatan yang penting


yang m enghalangi dan m em perlam bat tekanan dari kelom pok
m ilitan Islam is yang m em iliki “kecenderungan untuk m erayakan
‘kem atian m ulia’ atau m elakukan pengorbanan… pem usnahan
diri sendiri dan sem ua ‘liyan’ atas nam a tujuan-tujuan yang lebih
tinggi” (Bayat 2007c: 483), baik itu berdasarkan keyakinan agama
ataupun lainnya.
Indonesia m em iliki sejarah panjang ‘politik jalanan’ dan ‘ke-
kuatan rakyat’ (people pow er) serta berkelim pahan dengan kisah
rom antis seputar kom itm en yang tak m em entingkan diri sendiri
dan kekuatan gerakan semacam itu (lihat Heryanto 2003). Pada
kenyataannya, kem unculan pem berontakan m assa ini kerap
bersifat spontan, tak disengaja, dan tergan tung pada kehadiran
faktor-faktor tertentu (lihat Heryanto 20 10 a). Mereka pada
um um nya m erupakan reaksi atas krisis berke panjangan yang tak
bisa dikendalikan sepenuhnya hanya oleh satu pihak. J ika ada
hikm ah yang bisa diam bil dari sejarah Indonesia, barangkali ini:
kebanyakan perubahan besar terhadap status quo ter jadi beriring
dengan bangkitnya kediktatoran baru yang dihasilkan dari m e-
runcingnya konlik atau perpecahan total di dalam koalisi yang
tak bisa lagi bekerja sam a. Situasi seperti ini akan m engundang
cam pur tangan m asyarakat luas atau kekuatan internasional, atau
ke duanya. Selam a keadaan belum separah itu, perta nyaan apa
artinya m enjadi seorang Muslim m odern Indonesia tetap m en-
jadi isu utam a; di situ pertem puran politik kontem porer diper-
tarungkan dalam debat publik dan sidang-sidang parlem en, sese-
kali dengan letupan kekerasan isik kecil­kecilan.
Di parlemen, di media arus utama, dan jaringan media sosial—
sebagaimana dalam kehidupan sehari­hari—pertarungan masa
de pan Indonesia dalam dunia yang m engalam i lintas batas (trans-
nasional) terwujud dalam perdebatan m engenai soal-soal seperti
hak-hak perem puan, poligam i, dan volum e pengeras suara selam a
bulan Ram adan, serta tem pat yang tepat bagi kaum m inoritas,

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Post-Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan 71

term asuk bagi sekte-sekte kecil di dalam Islam , orang-orang non-


Muslim dan kaum non-heteroseksual. Contohnya, pergeseran
dinamika dan signiikansi politik perdebatan cara berpa kaian
Mus lim ah, khususnya seputar soal jilbab. Sekalipun terjadi da-
lam waktu yang relatif singkat, perdebatan itu m erupakan bukti
m eluasnya islam isasi dan sengitnya pertarungan nilai-nilai prak_
tik pem akaian jilbab.
Suzanne Brenner (1996) adalah salah seorang ahli yang paling
awal m engkaji secara m endalam kebaruan dan m akna politis
penggunaan jilbab di Indonesia. Ia m elakukan analisa berdasarkan
kajian etnograis Muslimah muda terpelajar perkotaan, di Solo,
pada akhir dekade 1980 -an. Ketika itu pelarangan pengguna-
an jilbab secara nasional m erupakan bagian dari tekanan yang
disponsori oleh negara terhadap gerakan politik yang ber lan-
das kan Islam ; penggunaan jilbab di m uka um um m erupakan
ungkapan terbuka dari pem bangkangan politik secara terbuka.
Brenner m em buat pengam atan penting bahwa, dalam konteks
dem ikian, tindakan m em akai jilbab m erupakan sebuah upaya
m odernis yang tegas untuk m erdeka baik dari tradisi lam a pem a-
kaian kerudung m aupun dari gagasan m odernitas bergaya Barat
saat itu (1996: 673­4). Kajian berikutnya dari Nancy Sm ith-
Hefner (20 0 7) m elengkapi kajian Brenner tersebut. Berdasarkan
kajian etnograi selama dua dekade di Yogyakarta, Sm ith-Hefner
m elaporkan perbedaan nyata antara pandangan perem puan
m uda yang belajar di perguruan tinggi sekuler dan yang belajar di
perguruan tinggi agam a. Selain m endapat kredensial yang lebih
kuat dalam soal Islam ketim bang saudari-saudari m ereka yang
bersekolah di sekolah sekuler, para aktivis dari sekolah agam a
tradisional

m em pertanyakan tak hanya m otivasi m ereka yang baru saja m em i-


lih m em akai jilbab, tapi juga m akna dan nilai penting jilbab itu
sendiri… para aktivis neotradisionalis ini m em pertanyakan apa kah
kewajiban yang lebih ketat dari pem akaian jilbab yang dipro m osikan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
72 Identitas dan Kenikmatan

oleh kelom pok-kelom pok m ahasiswa m ilitan m en cerm inkan usaha


untuk m em aksakan “budaya Arab” pada perem puan Indonesia, yang
telah m em iliki tradisi asli m ereka sendiri dalam pem akaian jilbab
dan kesederhanaan. Sebagian kecil bah kan m em pertanyakan apakah
m em ang perlu bagi perem puan Muslim untuk m em akai jilbab.
(Smith­Hefner 2007: 403)

Yang m asih kurang dikaji adalah pertum buhan pesat industri


busana Muslim , sesuatu yang sudah m encolok pada akhir dekade
1990 -an (Heryanto 1999b). Sesudah selam a berabad-abad m en-
jadi praktik yang biasa saja di kepulauan Indonesia, pem a kai-
an jilbab m em peroleh nilai politik dan kebaruan sebagai ung-
kapan pem berontakan pada puncak pem erintahan Orde Baru
di pertengahan 1980 -an; kem udian pem akaian jilbab ber trans-
form asi m enjadi tren m ode berpakaian sejak dekade 1990 -an;
lantas m enjadi sebuah bentuk kepatutan politik sejak per alih an
abad. Lebih belakangan lagi, sebuah tren baru telah ber kem -
bang: pem akaian jilbab telah m enjadi strategi di antara para pe-
rem puan terkenal yang m enjadi tersangka ketika m ereka m un-
cul di pengadilan. Contohnya, Nunun Nurbaeti, Neneng Sri
Wahyuni, dan Yulianis—semua diadili pada tahun 2012 karena
ka sus korupsi uang negara—memakai jilbab dalam proses persi­
dangan, m ungkin untuk m enarik sim pati m asyarakat um um yang
m engikuti kasus ini di m edia, serta m ungkin juga dari jaksa dan
hakim .11 Menariknya, salah satu dari tersangka terkenal yang
pertam a m enggunakan taktik m em akai jilbab ini bukan seorang
m uslim ah yang taat, bukan pula seorang Indonesia, m elainkan
m odel pakaian dalam terkenal asal Australia Michelle Leslie.
Pada tahun 20 0 5 ia tertangkap di Indonesia m em iliki obat-obat-
an terlarang. Taktik ini tam paknya jitu. Sekalipun pengadilan

11 Dalam sebuah wawancara dengan m edia cetak, Marcoes-Natsir (20 12) m em bi-
carakan soal ini.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Post-Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan 73

m e m u tuskan Leslie bersalah dan dihukum tiga bulan penjara, ia


m endapat keringanan lewat m asa tahanan dan tidak perlu m en-
jalani hukum an kurungan sesudah putusan dijatuhkan.
Di Indonesia kini, sebagaim ana di berbagai tem pat lain, tak
terlihat benturan besar antara kapitalism e dan kom itm en terhadap
ketakwaan beragam a. Keduanya dapat berjalan berdam pingan
un tuk alasan-alasan berbeda dan terkadang bertentangan satu
sam a lain. Agam a dapat m enawarkan keteduhan bagi orang-orang
yang tak m am pu secara ekonom i dan politik serta tak m em iliki
perwakilan atau kuasa dalam m eraih keadilan. Bagi orang kaya
urban yang kritis terhadap status quo, agam a dapat berperan se-
ba gai titik berangkat bagi pem bangkangan ketika seluruh jalur
yang sah untuk politik resm i sudah ditutup. Bagi m ereka yang
se dang berkuasa, dikelilingi oleh kem iskinan, korupsi, dan keke-
rasan yang disponsori oleh negara, ketakwaan dapat m em bantu
m e m ulihkan kecem asan tentang status m ereka, m e ngu rangi rasa
bersalah, atau m enetralkan persepsi publik ten tang kerakusan
m e reka. Apakah usaha-usaha itu sukses atau tidak, itu persoalan
lain.
Bab ini m em perlihatkan bahwa m akna islam isasi, seperti pe -
m akaian jilbab, tidak bersifat beku ataupun tunggal, dan tak se-
orang pun dapat m engendalikan m aknanya yang beragam dan
kadang bertolak belakang. Lebih dari sekadar m enggam barkan ke-
tegangan antara hasrat untuk m eraih kem akm uran dan penghar-
gaan m oral selam a proses islam isasi di Indonesia saat ini, produksi
dan penerimaan dari beberapa ilm Indonesia merupakan medan
penting bagi berlangsungnya konlik, negosiasi, dan upaya­upaya
untuk m erekonsiliasi pihak-pihak dan ideologi-ideologi yang
bertentangan. Bab berikutnya secara khusus akan m enganalisa
proses itu secara rinci.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bab 3

Pertempuran Sinematis

BAB SEBELUMNYA m em aparkan bagaim ana sem angat post-


Islam ism e di Indonesia m uncul dalam situasi yang berbeda
ketim bang sem angat sejenis di Tim ur Tengah, sekalipun terdapat
beberapa kesam aan cirinya. Saya juga m encatat bahwa, sekalipun
post-Islam ism e terus-m enerus m erangkak m asuk ke dalam insti-
tusi-institusi politik di Indonesia, post-Islam ism e tam pil lebih
m enonjol dalam budaya populer. Sekalipun dem ikian, baik
Islam ism e m aupun post-Islam ism e sam a sekali tidak bersifat
tunggal, atau m enyatu utuh. Bab ini bertujuan untuk m em per-
lihatkan secara rinci beberapa keragam an dan persaingan di an-
tara gagas an post-Islam ism e dalam ranah sinem a secara khusus.
Hal ini akan m enam pilkan ke perm ukaan upaya-upa ya sebagian
besar segm en m asyarakat Indonesia untuk m engako m o dasi, m e-
rundingkan, dan m erum uskan ulang, m odernitas dan bentuk-
bentuk Islam yang dom inan sebagaim ana yang diusung oleh
elite politik. Secara khusus, kita dapat m elihat bagaim ana orang
Indonesia yang tinggal di perkotaan berusaha untuk berakrobat
dengan m enggunakan tiga bola sekaligus: m enjadi Muslim taat

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
76 Identitas dan Kenikmatan

yang berpegang pada landasan m oral agam a, m enjadi warga ne-


gara yang terhorm at dan bertanggung jawab di negara-bangsa
m o dern dan berdaulat bernam a Indonesia, sekaligus m en jadi
anggota kom unitas produsen dan konsum en global.
Bab ini terdiri dari tiga bagian. Saya akan m ulai dengan tin-
jauan ulang terhadap perdebatan atas ilm populer Ay at-Ay at
Cinta (20 0 8, Bram antyo). Saya kem udian akan m endiskusikan
ilm Perem puan Berkalung Sorban (20 0 9, Bram antyo) seba gai
se buah upaya korektif atau pernyataan-tandingan (counter-state-
m ent) terhadap Ay at-Ay at Cinta. J uga saya akan m enun juk kan
bagaimana ilm Ketika Cinta Bertasbih tam pil sebagai tandingan
ber ikutnya terhadap Ay at-Ay at Cinta m aupun Perem puan Ber-
kalung Sorban. Kita tak dapat m em aham i secara m em adai m ak na
penting dan kebaruan peristiwa bersejarah ini tanpa m em pertim -
bangkan beberapa ilm dengan tema mirip yang pernah men­
dahului Ay at-Ay at Cinta. Pada bagian ketiga bab ini, saya akan
sedikit mendiskusikan bagaimana ilm­ilm seperti Kiam at Sudah
Dekat (Deddy Mizwar, 2003) dan Catatan Si Boy (Nasri Cheppy,
1987) dapat m em bantu pem a ham an kita atas apa yang khusus
dari Indonesia dan islam isasi pada dekade awal abad ini. Saya
juga akan m enjelaskan m engapa Ay at-Ay at Cinta m enikm ati
sukses besar jauh di luar dugaan para pem buatnya.
Muatan m aupun popularitas Ay at-Ay at Cinta sudah banyak
dibahas. Tam paknya tak m ungkin m em bincangkan budaya popu-
ler Islam tanpa menyebut ilm ini. Bab ini akan memfokuskan diri
lebih kepada kontroversi yang ditimbulkan oleh ilm tersebut serta
menganalisa tanggapan terhadap popularitas ilm tersebut, baik di
layar m aupun di luar layar. Kontroversi ini akan m enjadi titik be-
rangkat bagi sebuah analisa tentang soal yang lebih luas berkaitan
dengan politik identitas dan kesenangan pada m asa islam isasi di
Indonesia. Ay at-Ay at Cinta akan diteliti sebagai salah satu dari
sejum lah ungkapan yang tengah bersaing dan m enunjukkan posisi

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pertempuran Sinematis 77

sebagian kaum m uda perkotaan. Kaum m uda ini m enyatakan ko-


m itm en sejati m ereka untuk m em bangun kem bali m asyarakat
m odern berm oral tangguh sebagai penebusan bagi kem erosotan
m oral yang m ereka anggap terjadi di era yang baru saja berlalu
di bawah pem erintahan m iliter Orde Baru yang sekuler, sekaligus
juga tandingan terhadap ajakan m enerapkan syariah Islam . Upa-
ya m encapai utopia ini terbukti berat, sedikitnya karena hal itu
m e rupakan usaha m elawan politik Islam yang telah berjaya di
sejum lah lem baga pem erintahan di tingkat nasional m aupun
lokal seperti yang telah dibicarakan dalam bab sebelum nya. Bab
ini ber tujuan m em berikan sedikit sum bangan pada kajian yang
sedang bertum buh tentang budaya populer Islam di Indonesia
dengan berfokus pada persilangan persaingan Islam m odern, baik
di dalam m aupun di luar layar. Baik ‘budaya’ m aupun ‘sinem a’ tak
akan diper lakukan sebagai satuan-satuan otonom yang terpisah
dari ke kuatan-kekuatan politik dan ekonom i yang lebih luas.
Tentu saja, kita tak boleh memandang ilm yang dibuat secara
ko m ersial sebagai sebuah m edium yang m ewakili kenyataan so-
sial secara faktual dalam pengertian langsung dan em piris. Tentu
ilm­ilm itu biasanya juga tak dimaksudkan pembuatnya untuk
diperlakukan dem ikian. Ada alasan yang lebih penting ketim bang
ke tidakm am puan teknologi m edia untuk m enam pilkan kenya ta an
sosial apa adanya. Pencerminan kenyataan sosial di ilm sesung­
guhnya kurang menarik, baik bagi para pembuat ilm profesional
m aupun publik yang m engonsum sinya. Pem erintah Indo nesia
telah m enetapkan batasan-batasan m engenai apa yang bo leh dan
apa yang tidak boleh ditayangkan secara publik, dan kon sum en
biasanya lebih tertarik pergi ke bioskop untuk lari dari kenyataan
hidup sehari-hari ketim bang terus-terusan m enghadapinya. Seka-
lipun demikian, dengan faktor­faktor tersebut, ilm tetap meru­
pa kan bahan yang sangat m em bantu pene litian serius tentang
hu bungan-hubungan sosial yang nyata dalam suatu m a syarakat,
juga kesadaran publik, fantasi, dan kecem asan m ereka.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
78 Identitas dan Kenikmatan

Baik disengaja ataupun tidak, ilm panjang yang diproduksi


secara kom ersial m erupakan sebuah pernyataan kolektif m enge-
nai apa yang dianggap sebagai ‘norm al’ (dan dalam soal ini apa
yang ‘tidak norm al’ yaitu: hal-hal yang ‘aneh’, ‘lucu’, ‘m enarik’,
atau ‘m engerikan’) dalam sebuah lingkungan sosial di bawah ke-
daulatan suatu negara, serta apa yang diterim a dan dapat dito-
lerir oleh organisasi-organisasi kem asyarakatan serta lem baga-
lem baga yang diakui oleh negara. Sesekali, pernyataan sine m atis
dibuat dengan niatan untuk m em provokasi publik guna m e nan-
tang norm a-norm a tersebut serta m em perkenalkan m e reka ke-
pada pengertian-pengertian baru tentang kegairahan. Mengingat
watak dasar industri ilm yakni usaha mencari untung, serta
besarnya modal yang diperlukan dalam membuat sebuah ilm,
maka ilm lebih sering dibuat sesuai norma­norma yang telah
m apan dan m em uaskan harapan m asyarakat um um , dan akhirnya
m enarik penonton. Berdasarkan apa yang kita ke tahui tentang
norm a-norm a dalam m asyarakat Indonesia kon tem porer, analisa
berikut ini m elibatkan aspek-aspek apa saja dari m asyarakat yang
ditonjolkan ke depan, dibesar-besarkan, dise lewengkan, diabaikan
atau dihapus, atau “ditam pilkan untuk ke m udian ditolak”.1 Pada
gilirannya, penelitian seperti itu m enuntut pertim bangan atas
konteks sosial yang lebih luas di m ana sinem a m em ainkan peran,
dan hal ini m erupakan fokus utam a bagian berikut ini.

1 Dalam naskah aslinya, penulis m enggunakan istilah “under erasure”, sebuah


istilah teknis dari pem ikiran pasca-strukturalism e. Istilah ini akan dipakai
lebih banyak dan lebih penting dalam Bab 6. Secara singkat dan sederhana,
istilah itu dapat dijelaskan sebagai teknik m enulis dengan m enyebut sesuatu
yang kem udian disangkal atau ditolak sendiri oleh penulisnya. Ini berbeda
dari tindakan penulis untuk tidak m enyebut sam a sekali hal yang sam a.
Bandingkan m isalnya ungkapan “di sana ada Budi, Hasan, dan Tina” dan “di
sana ada Budi, Hasan, Rudi, Ali dan Tina”. Dalam pernyataan pertam a, penulis
bungkam tentang Rudi dan Ali. Dalam pernyataan kedua kehadiran Rudi dan
Ali disebut dan sekaligus disangkal.”

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pertempuran Sinematis 79

SU KSES MEMPESON A D I LU AR D U GAAN


Kejatuhan pem erintahan sentralistis Orde Baru yang sem pat
bertahan selam a tiga dekade, serta dam pak berkepanjangan krisis
ekonom i 1997, telah m engantar m asyarakat pada sebuah m asa
yang m em bingungkan. Masa pasca-otoritarian ini m enciptakan
ke ko songan kuasa politik yang m enganga besar, m elepas kekang
bagi proses liberalisasi. Dalam konteks ini, beredarnya Ay at-Ay at
Cinta m em enuhi hasrat terpendam jutaan Muslim yang m udah
ter pesona oleh sinem a. Film ini m enawarkan sebuah jalan tengah
(yang m enarik dan dibutuhkan) di antara citra kaum Islam is
m ilitan– yang banyak disebarkan oleh m edia Barat dan kelom pok-
kelom pok islam i dom estik– dan Muslim tradisional yang bertakwa
dan taat dari era pra-digital. Novel biasanya dinikm ati sendirian.
Lebih menggelitik indra dan fantasi ketimbang novelnya—yang
biasa dibaca secara sendiri­sendiri—ilm ini mampu menyedot
3,7 juta orang untuk datang ke bioskop dan menonton. Mereka
m e nyaksikan penam pilan seorang Muslim m odern idam an yang
m em ikat dan pantas diteladani. Sulit dipastikan berapa ratus atau
berapa ribu orang lagi yang juga menonton ilm ini dalam versi
resm i m aupun tak resm i secara online, atau m elalui DVD bajakan.
Film ini m enam pilkan citra seorang Indonesia dari ke luar ga se-
der hana yang ketakwaannya tak perlu dipertanyakan dan m e m i-
liki kesadaran m oral serta ketekunan intelektual; ia bercita-cita
m en jadi bagian dari kaum terpelajar kelas m enengah dan warga
negara pasca-kolonial yang akrab dengan naskah-naskah Islam
kla sik m aupun gaya hidup dan konsum si global yang dido m inasi
Barat.
Belum pernah ada sinem a Indonesia yang m enyentuh bagian
terdalam batin m ayoritas kaum m uda Muslim yang akrab dengan
pusat-pusat perbelanjaan, rum ah bagi bioskop-bioskop tem pat
mereka menonton ilm. Muda­mudi itu berkumpul untuk me­
non ton Ay at-Ay at Cinta karena inilah untuk pertam a kalinya di

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
80 Identitas dan Kenikmatan

layar lebar m ereka m enem ukan representasi diri m ereka, atau


setidaknya citra seseorang yang m ereka idam kan atau dam bakan.
Penyajian citra itu pun terbebas dari adegan-adegan yang terang-
terangan bersifat tak islam i seperti adegan seks, kekerasan, la-
wak an jorok, atau kekuatan takhayul yang m enjadi sajian pokok
industri ilm Indonesia. Kini untuk pertama kalinya sinema se­
ca ra ter horm at m enam pilkan seorang Muslim Indonesia yang
m uda, bergaya, m atang, dan taat beragam a, sebuah gam baran
yang secara berwibawa disahkan oleh institusi bergengsi, yak-
ni industri ilm komersial. Hal serupa pernah terjadi ketika ilm
Ada Apa dengan Cinta? (20 0 2, Soedjarwo) yang lebih sekuler
diedarkan. Dalam ilm ini, para aktor memerankan tokoh siswa
SMA di J akarta yang bicara dalam bahasa gaul dan secara terang-
te rangan m enyinggung perilaku orangtua pelaku kekerasan do-
m estik. Gaya bicara serta m uatan seperti itu pasti disensor jika
dibuat pada masa pemerintahan Orde Baru. Beberapa ilm ber­
tem a Islam datang dan pergi di bioskop sebelum kehadiran Ay at-
Ay at Cinta (akan didiskusikan nanti pada bab ini) tapi tak ada
yang berdam pak sedahsyat Ay at-Ay at Cinta terhadap kaum
m uda.
Yang tak kalah m enakjubkan dari rekor jum lah penjualan
tiket Ay at-Ay at Cinta adalah jenis penonton yang berhasil dipikat
ke bioskop oleh ilm ini. Para saksi mata secara konsisten menye­
butkan bahwa penonton ilm ini di antaranya adalah mereka yang
tak pernah datang ke gedung bioskop sebelum nya. Term asuk di
antara m ereka adalah perem puan dewasa kelas m enengah ang-
gota pengajian serta orang-orang yang tinggal di pinggiran kota
de ngan tingkat m elek huruf terbatas. Mereka tam pak kikuk ketika
m e lewati gedung bioskop, dan m elihat para perem puan m uda serta
poster­poster ilm yang memperlihatkan bagian tubuh perem puan
se cara seronok (Sasono 20 0 8a; Yum iyanti 20 0 8), tapi tam pak
senang dan puas di akhir pemutaran ilm Ay at-Ay at Cinta. Untuk

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pertempuran Sinematis 81

m e m aham i jurang yang m em isahkan dunia sosial penonton baru


ini dari mereka yang sudah lazim menjadi penonton ilm, kita bisa
melihat tanggapan kritis terhadap ilm Ay at-Ay at Cinta. Kritikus
ilm kurang terkesan oleh pencapaian estetika ilm ini, dan ilm
ini kurang sukses pada Festival Film Indonesia tahun itu. Bahkan
mungkin lebih buruk lagi, banyak kelompok islami mencaci ilm
itu dengan tuduhan m engabaikan ajaran Islam untuk m engejar
keuntungan m aterial dan popularitas.
Pada ujung lain dari hierarki sosial politik, para petinggi po-
litik berlomba memperlihatkan dukungan mereka terhadap ilm
ini dalam bulan-bulan m enjelang pem ilu parlem en dan pem ilu
presiden 20 0 9. Tam paknya m ereka ingin m engangkat derajat dan
citra m ereka sebagai seorang Muslim yang taat. Pada bulan Maret
20 0 8, untuk m engungguli kehadiran Wakil Presiden J usuf Kalla
dalam penayangan ilm itu yang banyak diliput media (Aprianto
20 0 8), lawannya dalam pem ilu, Presiden Susilo Bam bang Yudho-
yono m em buat kejutan yang dirancang dengan rapi sebagai se-
buah tontonan publik. Ia hadir di salah satu gedung bioskop paling
sibuk di ibu kota Jakarta diiringi oleh 107 orang politisi, 53 orang
diplomat asing, artis dan wartawan untuk menyaksikan ilm Ay at-
Ay at Cinta. Beberapa hari kem udian harian terbesar di Indonesia,
Kom pas (20 0 8a), m enurunkan laporan peristiwa ter sebut dengan
judul “Presiden Berkali-kali Menghapus Air Matanya”. Para pem -
buat ilm ini, pada gilirannya, memanfaatkan peristiwa tak biasa
ini dalam bahan pem asaran m ereka. Banyak kaum Muslim , warta-
wan, dan politisi memandang ilm ini mempromosikan gagasan
Islam sebagai agam a yang dam ai dan toleran. Dalam hal ini,
Ay at-Ay at Cinta diperlakukan sebagai sebuah bukti-tandingan
terhadap pencemaran agama Islam dalam ilm anti­Islam berjudul
Fitna (20 0 8, Pim pernel), yang disebarkan beberapa pekan sebe-
lum nya di internet. Presiden Yudhoyono m enekankan pesan
tersebut dalam pidatonya sesudah menyaksikan ilm itu. Pesan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
82 Identitas dan Kenikmatan

yang sam a juga disam paikan oleh J unus Effendi Habibie, Duta
Besar Indonesia untuk Negeri Belanda dalam rangka m enyam but
pemutaran ilm tersebut di Den Haag pada tanggal 26 Oktober
20 0 8 (Antara 20 0 8). Pada grup m ailing-list, banyak penonton
menyampaikan simpati mereka kepada ilm itu dengan alasan
yang sam a; ketika yang lain m em buat kom entar yang m engkritik
ilm tersebut, beberapa dari anggota mailing­list itu menganggap
kritik tersebut anti-Islam .
Ironisnya, tak seorang pun dari tokoh-tokoh utam a yang ter-
libat dalam pembuatan ilm Ay at-Ay at Cinta tergolong orang-
orang yang religius. Karier dan prestasi m ereka dibangun dalam
pembuatan ilm panjang bioskop tanpa muatan agama, tak terkait
dengan lembaga atau aktivitas keagamaan. Sukses besar ilm itu
m engejutkan pem buatnya sendiri selain banyak orang (Jaw a
Pos 20 0 8). Ini sem ua m em perlihatkan betapa buruknya kaum
cen dekia m em aham i kebangkitan post-Islam ism e di Indo nesia
dan apa yang dikehendaki oleh generasi baru Muslim Indo nesia
yang terdidik. Kegagalan m ereka m em aham i selera m asya ra-
kat juga tampak dari gagalnya banyak ilm­ilm yang kemu­
dian m encoba m engulangi sukses Ay at-Ay at Cinta. Sutra dara
Hanung Bram antyo m enyam paikan kepada wartawan bah wa ia
khawatir ilm itu merupakan ilm terakhirnya karena ia tak mam­
pu m em aham i apa yang telah m enarik penonton sebegitu besar
(Emond 2012). Alih­alih menghadiri pemutaran perdana ilm­
nya, Hanung bersem bunyi di luar bioskop, takut penonton, ter-
utama yang telah membaca novel sumber cerita ilm itu, akan
kece wa berat.2 Pernah saya uraikan dalam kesem patan lain (Her-

2 Mem baca blog panjangnya yang m irip dengan catatan harian, khususnya
bagian yang khusus tentang produksi ilm ini selama masih dalam proses
pem buatan, kita dapat m erasakan kekhawatiran dan pesim ism enya tentang
kemungkinan keberhasilan ilm ini. Pesimisme ini diakibatkan oleh banyaknya
kom prom i yang harus ia lakukan, terutam a disebabkan oleh kesulitan logistik
dan keterbatasan anggaran, yang digambarkannya secara rinci sebelum ilm

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pertempuran Sinematis 83

yanto 2011: 72) bahwa salah satu kunci keberhasilan ilm ini terl­
etak pada cerita yang tam pil di layar tidak sepenuhnya ber sifat
islami. Unsur­unsurnya mengingatkan pada ilm­ilm Holly­
wood dan Bollywood serta sinetron lokal. Sem ua unsur itu ter-
lihat gamblang sekali di ilm itu. Contohnya, Fahri, tokoh utama
dalam ilm itu, bisa menjadi tokoh ilm arus­utama apa saja, baik
di Asia m aupun di Barat. Alih-alih m engikuti tren baru Mu s-
lim Indonesia yang m em akai baju gaya Tim ur Tengah, ia m eng-
gunakan pakaian bergaya Barat yang santai serta potongan ram -
but yang keren. Wajahnya tercukur rapi tanpa jenggot, dan dalam
pesta pernikahannya, ia m em akai setelan jas m odel Barat dan
dasi. Adegan pernikahan dalam ilm ini amat mengingatkan pada
adegan­adegan sejenis di ilm­ilm Bollywood.
Penelitian lebih jauh atas proses pem buatan di balik layar
memperlihatkan bahwa ilm ini telah mengalami pencam pur-
adu kan besar-besaran dan tidak sem ata-m ata bersifat islam i.
Film ini dibuat berdasarkan sebuah novel, dan dalam prosesnya
m a teri tersebut dialihkan dari ketakwaan post-Islam ism e yang
didak tik kepada versi ketakwaan yang lebih berorientasi liberal
dan trendi, sebagaim ana dibahas dalam bab sebelum nya. Novel
Ay at-ay at Cinta sudah laris sebelum orang berpikiran untuk
mengubahnya menjadi ilm.3 Penulis Habiburrahm an El Shirazy,
seorang Muslim yang amat taat, mengaku menulis cerita ini—ber­
da sarkan pengam atannya m engenai kehidupan di Mesir ketika ia
menjadi mahasiswa di sana—dengan “sebuah tujuan yaitu men­

ini diedarkan. Bram antyo juga m engenang secara rinci m engenai kesulitan-
kesulitan ini dalam sebuah wawancara radio (Bram antyo 20 10 ).
3 Pada akhir tahun 2007, tiga bulan sebelum diedarkannya ilm Ay at-Ay at
Cinta, novelnya sudah mengalami cetak ulang sebanyak 30 kali, dan masih
terjual terus. Dari 12 persen royalti serta beberapa novel laris lain yang
ditulisnya, penerbit Republika m engaku telah m em bayar sang penulis sebesar
Rp1,5 m iliar dan telah m em berikan pem bayaran bulanan sebesar Rp10 0 juta
(Kartanegara 20 0 7), sekitar 40 hingga 50 kali lebih tinggi ketim bang rata-rata
gaji bulanan seorang dosen yang baru m eraih gelar doktor di Indonesia.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
84 Identitas dan Kenikmatan

dakwahkan Islam” (Hermawan 2008). Produser ilm ini adalah


Manoj Punjabi, seorang warga Indonesia keturunan India dan
pe waris MD Entertainm ent, pem asok terbesar sinetron di Indo-
nesia. Selam a bertahun-tahun MD Entertainm ent dan per usa-
haan induknya secara bebas m engam bil unsur-unsur sine m atis
gaya Bollywood dalam m enyebarkan banjir sinetron bagi jutaan
pem irsa TV di Indonesia. Manoj Punjabi m endekati sutra dara
Hanung Bram antyo dengan ide m engadaptasi novel itu ke dalam
layar lebar. Sekalipun juga seorang Muslim , Hanung m enga ku
tak pernah tertarik sebelumnya pada ilm maupun novel religi.
Term asuk juga Ay at-Ay at Cinta.4 Ia m em butuhkan waktu yang
panjang guna mempertimbangkan untuk membuat ilm itu,
sebelum akhirnya m enerim a juga tantangan tersebut. Sesudah
Hanung dan Manoj m encapai kesepakatan, m ereka m encari
cara untuk m erum uskan ulang cerita yang tak hanya tepat untuk
medium ilm, tetapi juga menarik penonton yang lebih banyak
daripada pem baca novelnya saja. Proses ini berm uara pada perse-
lisihan sengit dan berkepanjangan antara sang novelis, produser,
dan sutradara. Perselisihan itu berlanjut bahkan sesudah ilm itu
diedarkan di bioskop dan m em ecahkan rekor penjualan tiket, dan
sem akin banyak orang ikut dalam perdebatan.5

4 Dalam blognya Hanung m engenang, “Mem baca novel Ayat-Ayat Cinta m em -


buat ku m uak. Aku tidak tahan m elihat karakter Fahri yang too good to be
true. Ganteng, pintar, alim dicintai perem puan-perem puan cantik secara ber-
sam aan. Seolah begitu m udah perem puan datang kepadanya tanpa sedikit pun
Fahri aktif m elakukan pendekatan. Aku tidak selesai m em baca novel itu. . .”.”
5 Informasi mengenai ketegangan di balik produksi ilm tersebut dalam paragraf
ini dan paragraf-paragraf berikutnya diam bil terutam a dari seri catatan
sutradara Hanung Bram antyo, yang ditulis dengan gaya buku harian dan
diter bitkan di blognya: http:/ / hanungbram antyo.m ultiply.com , tertanggal
dari 29 Novem ber 20 0 7, ketika produksi tengah berlangsung, dan 22 April
2008 sesudah ilm itu terbukti sukses besar—ditambah dengan balasannya
kepa da sekitar 90 0 kom entar dan pertanyaan dari penggem arnya. Inform asi
tam bahan saya kum pulkan dari percakapan dengan penulis Habiburrahm an El
Shirazy (Canberra, 7 Maret 20 11) serta berbagai m ateri publikasi sebagaim ana
dikutipkan berikut ini.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pertempuran Sinematis 85

Inti perdebatan tersebut adalah sejauh mana ke­islaman ilm


Ay at-Ay at Cinta atau ilm islami itu seharusnya seperti apa.6 Sang
novelis dan banyak pem baca setianya kecewa dengan bagian-
bagian yang dihilangkan atau diubah dalam ilm. Hal ini meru­
pa kan sebuah situasi yang um um terjadi: konsum en cerita yang
am at populer dari satu m edium kerap kecewa ketika cerita itu
diubah ke dalam m edium yang lain.7 Sejak awal produksi ilm ini,
sutra dara Hanung Bram antyo sadar sepenuhnya terhadap tan-
tangan ini dan m encoba m enanganinya secara hati-hati. Na m un
kem arahan sang novelis dan para pem bacanya bukan ter utam a
atas penyuntingan materinya agar bisa tertampung ke dalam ilm
yang durasinya dibatasi hanya dua jam . Mereka m arah telebih ka-
rena merasa bahwa seluruh perubahan itu membuat ilm tersebut
kurang ‘islam i’, bahkan ‘tidak islam i’. Berdasarkan infor m asi yang
tersedia, dapat diasumsikan bahwa penggemar berat ilm itu tidak
m em baca novelnya atau telah m em baca novelnya tanpa ikatan
batin yang kuat dengan aspek religius novel itu.
Memang perubahan yang dilakukan oleh pembuat ilm ini jauh
m elam paui kebutuhan untuk m eringkasnya dalam batasan durasi
waktu. Film ini m alahan m enam bahkan sebuah sub-cerita yang

6 Hoesterey dan Clark berpendapat “bahwa popularitas ilm islami terletak pada
kem am puannya bukan dalam m engartikulasikan apa itu Islam tetapi apa yang
bisa dan seharusnya dilakukan oleh Islam ” (20 12: 20 8).
7 Sang novelis m erupakan salah satu anggota paling terkem uka jaringan penulis
paling sukses dengan kom itm en m endalam terhadap ketakwaan Islam dan
dakwah, yang disebut sebagai Forum Lingkar Pena atau FLP. Kebanyakan
karya m ereka berdakwah kepada orang-orang yang baru m em eluk Islam
atau m enegaskan kem bali keislam an m ereka. Novel Ay at-ay at Cinta sangat
penuh dakwah, m enyam paikan kem enangan Islam . Salah satu karakter dalam
novel adalah seorang perem puan Kristen Koptik yang am at cantik dan pintar,
m enjadi m ualaf kem udian m enikah dengan tokoh utam a, m enjadi istri kedua
dalam sebuah pernikahan poligam is. Novel ini juga m em asukkan sebuah sub
plot tentang seorang jurnalis perempuan Amerika yang stereotipikal, yang—
sekalipun memperlihatkan ketertarikan kepada Islam—tetap tidak sensitif
terhadap tata cara berpakaian setem pat. J urnalis ini pun kem udian m em eluk
Islam, dan ini tak digambarkan di dalam ilm.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
86 Identitas dan Kenikmatan

am at penting yang tidak ada di novel, yakni adegan yang m em -


perlihatkan kehidupan sehari-hari sebuah pernikahan poligam i.
Telah saya bahas di tempat lain (Heryanto 2011: 72­3) bahwa
tam bahan ini jelas sekali m erupakan kritik terhadap pernikahan
poligam i, sehingga m erupakan sebuah tandingan kam panye ‘pro-
poligam i’ yang digalakkan pada saat itu. Dengan m elakukan kritik
itu, ilm ini mempermasalahkan semangat ‘pro­islamisasi’ novel
aslinya. Patut diingat bahwa sekitar m asa itu terja di kam panye
na sio nal yang m endorong pernikahan poligam i bagi Muslim , yang
m erupakan bagian dari proses islam isasi yang tengah m elanda
Indonesia (lihat Brenner 20 11; Heryanto 20 11: 69-70 ). Masih be-
lum jelas mengapa pesan anti­poligami sang pembuat ilm tam­
paknya tenggelam di tengah-tengah gem pita kaum Muslim yang
bersorak menyambut datangnya ilm islami pertama yang amat
menarik hati pada dekade itu. Pesan anti­poligami di dalam ilm
juga luput dari perhatian dari mereka yang mengkritik ilm itu,
baik dari kelom pok Islam is m aupun gerakan perem puan Indo-
nesia, yang beranggapan bahwa ilm itu merendahkan martabat
perem puan.
Pokok sengketa lain di antara pembuat ilm, sang novelis, dan
juga penonton yang taat beragam a berkisar pada soal pem ilihan
pem eran utam a. Dalam sebuah wawancara yang saya laku kan
dengan Habiburrahm an El Shirazy tiga tahun sesudah diedar kan-
nya ilm ini, ia mengaku bahwa sang sutradara telah mengingkari
janji untuk berkonsultasi dengannya sebelum m em u tus kan se-
cara inal pemilihan pemain. Dalam blog­nya, Hanung Bram antyo
punya cerita lain:

Sebelum aku m elakukan casting, aku berdiskusi dulu de ngan kang


Abik [panggilan akrab Habiburrahm an El-Shirazy, penerjem ah].
Kang [A]bik sangat concern dengan sosok Fahri. Dia harus turut serta
m em ilih tokoh Fahri. Sem ula kam i m em buka casting di pesantren-
pesantren. Tetapi hasilnya Nol. Bukan berarti para santri tidak ada

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pertempuran Sinematis 87

yang ganteng dan pintar seperti [F]ahri. Tetapi ba nyak di antara


m ereka sudah m enganggap ‘Film ’ adalah produk sekuler. Oleh sebab
itu banyak di antara m ereka tidak m au ikut casting.
(20 0 7)

Menurut Hanung dalam lem a blog yang sam a, bahkan dalam


tahap awal produksi

Pada suatu hari ada sekelom pok orang datang ke kantor MD, m ereka
bilang dari organisasi Islam . Mereka datang dengan m em bawa
seorang lelaki berwajah putih dan seorang gadis berjilbab. Mereka
bilang ...
‘Ini calon pem ain Fahri dan ini calon pem ain Aisha’ sam bil m enunjuk
ke lelaki berwajah putih dan gadis berjilbab itu.
‘Kam i dari organisasi Islam ,’ lanjutnya. ‘Kam i sangat concern
terhadap dakwah islamiah. Kami tidak ingin ilm Ayat­Ayat Cinta
m elenceng dari novel dan ajaran Islam . Kang Abik (Nam a panggilan
Habiburrahm an El Shirasy) sudah tahu tentang ini.’
Kam i hanya saling pandang dan tersenyum . Aku ... m alu sekali.
Tentu saja kam i m enolaknya.
(20 0 7)

Sesudah lim a pekan m encari, Hanung m enem ukan pasangan


yang ia inginkan sebagai pem eran utam a, tetapi Habiburrahm an
m e nolaknya lantaran m ereka bukan Muslim . Sesudah tawar-
m enawar berkepanjangan dan m elelahkan, peran protagonis laki-
laki akhirnya jatuh pada Fedi Nuril. Keputusan ini m engece wa kan
banyak penggemar novelnya karena dalam ilm sebelumnya, sang
aktor bercium an dengan seorang perem puan yang bukan istrinya
(baik dalam cerita ilm maupun dalam kehidupan nyata). Kontro­
versi soal pemilihan pemain ini berlanjut bahkan sesudah ilm ini
beredar. Banyak Muslim taat yang menjadi penggemar ilm ini
kecewa ketika sebuah tabloid m enam pilkan gam bar salah satu
pemeran perempuan ilm ini sedang merokok.
Perselisihan m ereka tidak berakhir pada tahap pem ilihan pe -
m ain saja. Banyak penggem ar novel m enyesalkan penggam baran

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
88 Identitas dan Kenikmatan

tokoh utama laki­laki dalam ilm ini. Di dalam novel, ia merupa­


kan perwujudan seorang laki-laki Muslim ideal. Nam un di dalam
ilm ia tampil tak tegas, bahkan lemah ketika berurusan dengan
tokoh perem puan. Sang sutradara dilaporkan dengan sengaja
m em buang sifat m anusia suci yang ada di novel dan m engubah-
nya m enjadi “lelaki biasa yang juga bisa m im pi basah, bila m erin-
dukan Maria (tokoh lain di dalam ilm)” (Suyono dan Septian
20 0 8).
Hanung perlu m enjaga langkahnya untuk tetap berada di te-
ngah karena ia di bawah tekanan dua kelom pok yang bertolak
bela kang: novelis Muslim yang taat beserta para penggem arnya
di satu sisi, dan produser yang menuntut agar ilmnya punya
daya tarik seluas-luasnya.8 Contohnya, tanpa rasa-salah produser
Manoj Punjabi m engakui bahwa ia dengan sengaja m em asukkan
unsur-unsur Hollywood dan Bollywood ke dalam ilmnya itu
(Yum iyanti 20 0 8). Hanung tidak sendirian dalam posisi terjepit
dan terpaksa m engalah pada tekanan dua pihak yang berbeda
pendapat. Sang novelis juga m engatakan kepada saya dalam
sebuah percakapan bahwa kelom pok sekuler m engkritiknya
karena dianggap “islam i secara berlebihan” sem entara lingkaran
Islam is di sekitarnya m enuduhnya m engorbankan nilai Islam dem i
m engejar popularitas dan kekayaan. Satu m ajalah m enuduhnya
telah m enyem ai di dalam novelnya bibit-bibit berbahaya libe ral-
ism e, sejalan dengan konspirasi Zionism e internasional (Risalah
Mujahidin 20 0 8).
Uraian di atas m em perlihatkan bahwa sebuah pertarungan
sedang terjadi pada beberapa garis depan sekaligus: antara aspi-
rasi sekuler dan Islam is, dan antara ide-ide kelom pok Islam is
dengan post-Islam is. Lebih penting lagi, perdebatan-perdebatan

8 Sang produser dilaporkan berinvestasi sebanyak tujuh m iliar rupiah atau dua
kali lipat dari biaya rata­rata sebuah produksi ilm nasional.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pertempuran Sinematis 89

ini m enggam barkan aneka ragam posisi yang berbeda dalam


rentang post-Islam ism e, dengan sebagian beranjak lebih jauh
m eninggalkan Islam ism e ketim bang yang lain. Secara abstrak,
gagasan posisi ‘tengah’ tam pak dipuji oleh sem ua pihak yang
terlibat. Nam un, di m ana konkretnya posisi tengah itu, dipaham i
berbeda jauh antara satu pihak dan lainnya. Seluruh bahasan di
atas dan sebagian di bagian berikut bab ini m ewakili ketegangan
yang m enandai dunia Muslim kontem porer. Seluruh perdebatan
ini m em perlihatkan bahwa stereotip yang diprom osikan oleh ke-
dua pihak yang bertentangan—yaitu juru bicara pemerintahan
konservatif di Barat beserta kelom pok pem ikir dan m edia di satu
sisi dan kelom pok m ilitan Islam di sisi lain 9 —sesungguhnya amat
m enyesatkan. Dalam bagian berikut, kita akan lihat bagaim ana
persaingan antara m ereka yang m em buat Ay at-Ay at Cinta dan
m asyarakat secara um um berlanjut di layar lebar segera setelah
kesuksesan ilm itu.

PERTEMPU RAN SIN EMATIS


Kurang dari setahun setelah sukses besar Ay at-Ay at Cinta, terlihat
jelas bahwa kontroversi mengenai nilai­nilai Islam di dalam ilm
itu belum berakhir. Bahkan itu baru m erupakan awal persaingan
seru dan panjang yang m elibatkan serangkaian pertarungan di
dunia sinema. Dua judul ilm yang terpenting dalam pertarungan
itu adalah Perem puan Berkalung Sorban (20 0 9, Bram antyo)
dan Ketika Cinta Bertasbih (20 0 9, Um am ). Bagian ini khusus

9 Sebagai contoh, seorang penulis Am erika m enulis dalam kolom opini di m edia
internasional; tulisan itu gagal membedakan antara novel dan ilmnya, dan
m enggam barkan Ay at-Ay at Cinta sebagai “kendaraan untuk m em asarkan
fundam entalism e” yang telah “disam but oleh kaum Islam is di Indonesia”
serta “orang-orang lain yang tak berpikir secara kritis” (Bev 20 0 8). Artikel
ini m uncul di sebuah m edia online yang m engaku “independen dari segala
pem erintahan dan perusahaan m edia besar” serta “tak m em iliki ideologi selain
kepercayaan terhadap m anfaat baik yang tim bul dari kebebasan m edia”.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
90 Identitas dan Kenikmatan

mendiskusikan kedua ilm itu, tetapi patut dicatat sebenarnya


masih banyak ilm lain mengikuti resep Ay at-Ay at Cinta juga telah
diedarkan, dengan berbagai kualitas sinem atis dan m enawarkan
wawasan yang m em perjelas tanggapan terhadap pasar yang baru
terbuka ini.10 Harus juga diperhatikan bahwa tak ada di antara
ilm­ilm ini yang mampu mengungguli Ay at-Ay at Cinta dalam hal
penjualan tiket dan dam pak sosialnya. Mungkin ini m erupakan
tanda bahwa ketakwaan post-Islam ism e yang cukup konservatif
pada Ay at-Ay at Cinta, lebih diterim a ketim bang bentuk yang
lebih taat dan didaktik seperti dalam Ketika Cinta Bertasbih
atau keberagam aan yang tegas-tegas bersifat liberal seperti pada
Perem puan Berkalung Sorban.
Segera setelah tuntas kerja sam a antara sutradara Hanung
Bram antyo dan novelis Habiburrahm an El Shirazy, m ereka
ber pisah jalan. Hal ini terjadi bahkan setelah ada pernyataan
Hanung kepada publik bahwa ia berencana m enyutradarai novel
laris Habiburrahm an lainnya, Ketika Cinta Bertasbih (Jaw a Pos
20 0 8). Masing-m asing m engejar ketakwaan post-Islam ism e da-
lam bentuk yang berbeda. Konlik ideologi yang awalnya muncul
ke per m ukaan di antara para reform is post-Islam ism e di Indo-
nesia ketika Ay at-Ay at Cinta sedang diproduksi, kini sem akin
m enjadi-jadi.
Perem puan Berkalung Sorban diedarkan pada awal 20 0 9.
Hanung Bram antyo m enyutradarai dan m engadaptasi cerita itu
dari novel berjudul sam a yang diterbitkan pada tahun 20 0 1 karya

10 Saya pernah mendiskusikan pentingnya nilai ilm Ay at-Ay at Cinta sebagai


ilm komersial pertama dengan tokoh utama perempuan yang sepenuhnya
berjilbab (Heryanto 20 11). Alangkah anehnya dibutuhkan waktu sedem ikian
lam a untuk m enam pilkan tokoh berjilbab bila diingat islam isasi besar-besaran
telah terjadi lebih dari satu dekade sebelum ilm itu diproduksi. Pemakaian
jilbab di kalangan Muslim ah m erupakan bukti islam isasi yang paling awal,
tam pak jelas, dan trendi, pada pertengahan 1980 -an, jauh sebelum Ay at-
Ay at Cinta. Sesudah sukses Ay at-Ay at Cinta, ilm yang bermuatan Islam
diprom osikan dengan poster yang m enam pilkan perem puan berjilbab.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pertempuran Sinematis 91

seorang penulis fem inis Muslim ah, Abidah El Khalieqy. Kisah-


nya berpusat pada Annisa, putri seorang ulam a yang hidup di
sebuah pesantren lokal. Di situ Annisa belajar m elawan diskri-
m inasi gender yang ia hadapi sejak m asa kanak-kanak. Film ini
m enyebabkan geger lebih besar di kalangan kom unitas Muslim
ke tim bang Ay at-Ay at Cinta, dan m engasingkan sang sutradara
dari penggem ar-penggem arnya yang religius dan rekan-rekan -
nya di industri ilm. Jika sebelumnya ketidaksepakatan antara
Hanung dan Habiburrahm an dalam Ay at-Ay at Cinta m enye bab-
kan peluang kerja sam a m ereka di m asa depan m enjadi sebuah
tanda tanya, kontroversi dalam Perem puan Berkalung Sorban
telah m em angkas segala kem ungkinan rujuk di antara m ereka.
Ali Mustafa Yaqub, seorang ulam a senior yang m enjabat Wakil
Kom isi Fatwa Majelis Ulam a Indonesia (MUI) m em inta agar
kaum Muslim memboikot ilm itu. Di sisi lain, para feminis–
term asuk Siti Musdah Mulia, seorang intelektual terkem uka dan
bekas Penasihat Senior di Kem enterian Agam a dan bekas kepala
Divisi Riset MUI–secara menggebu mendukung ilm ini. Mulia
m em inta agar kaum Muslim m enolak boikot ini (Jakarta Post
20 0 9a). Menurut seorang narasum ber yang diwawancara untuk
keperluan buku ini, beberapa tokoh penting dalam industri ilm
berkum pul di J akarta untuk berbagi kem arahan m ereka tentang
ilm ini dan menyusun strategi perlawanan.
Ahli kajian ilm Indonesia terkemuka, Ekky Im anjaya, m e-
nerbitkan sebuah ulasan yang keras tentang ilm ini. Tulisan itu,
yang m em pertanyakan niatan ideologis sang sutradara, penge-
tahuannya tentang Islam , dan keteram pilan sinem atisnya, diberi
judul yang m enonjok: “Posisi Ideologis dan Representasi: Perem -
puan Berkalung Sorban, Mem bela atau Merusak Nam a Islam ?”
(20 0 9a). Ulasan ini terbit dalam jurnal daring yang dise gani,
Rum ah Film , di m ana Ekky adalah salah seorang pen dirinya. Me-
nariknya, rekan sejawat Ekky yang juga ikut m endirikan Rum ah

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
92 Identitas dan Kenikmatan

Film , Eric Sasono, memuji ilm ini sebagai barang langka: ketim­
bang mengikuti apa yang telah menjadi pola baku bagi ilm­ilm
lain– berfokus pada ketakwaan pribadi, karier, dan cinta yang sen-
timental–ilm ini berupaya membongkar persoalan sosial yang
serius (20 10 : 59).
Film Perem puan Berkalung Sorban m enyodorkan kritik ter-
keras terhadap sisi-sisi gelap patriarki yang m asih berlangsung di
dalam kom unitas Muslim di Indonesia.11 Dalam pernyataannya
kepada publik, Hanung menggambarkan ilm itu sebagai pelunas­
an terhadap “utang” kepada sem ua perem puan yang m engang-
gap bahwa Ay at-Ay at Cinta telah m erendahkan perem puan dan
m em iliki bias yang m endukung poligam i (Im anjaya 20 0 9a). Dalam
sebuah wawancara, novelis Abidah El Khalieqy m enyatakan, novel
Perem puan Berkalung Sorban ditulis untuk m em enuhi per m in-
taan Yayasan Kesejahteraan Fatayat cabang Yogyakarta, yang
berada di bawah payung Nahdlatul Ulam a, organisasi Muslim
terbesar di Indonesia, dengan tujuan “m ensosialisasi hak-hak re-
produksi perempuan yang sudah diratiikasi oleh PBB [Perseri­
katan Bangsa-Bangsa]” (Syaifullah 20 0 9). Dalam wawancara yang
sam a Abidah juga m engakui bahwa ia m endapat ilham dari novel
Nawal El Sadawi yang diterjem ahkan ke dalam Bahasa Indo nesia,
Perem puan di Titik Nol, dan beberapa karya literatur fem inis yang
beredar di kalangan aktivis dekade 1980 -an dan 1990 -an.
Sebagaim ana dalam novel El Sadawi, dalam buku Abidah tak
satu pun tokoh laki-laki patut dikagum i (kecuali Khudori yang
berusia singkat, orang yang pertam a kali dikasihi Annisa, dalam
novel Perem puan Berkalung Sorban). Kisah ini terjadi di dalam
kom unitas Muslim dan m enam pilkan guru-guru agam a Islam ;
para kritikus novel dan ilm ini menafsirkan minimnya lelaki yang

11 Lihat Hellwig (20 11) untuk diskusi m engenai tulisan-tulisan fem inis Abidah El
Khalieqy.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pertempuran Sinematis 93

bisa m enjadi panutan ini sebagai serangan yang disengaja terha-


dap petinggi Muslim dan karenanya terhadap Islam itu sendiri,
ketimbang serangan secara umum terhadap patriarki. Dalam ilm
tersebut, nyaris sem ua laki-laki Muslim , term asuk m ereka yang
m enjalani kehidupan poligam i, bersifat egoistik, m em ikirkan
diri sendiri, irasional, picik, dan intoleran. Mereka sem ua adalah
orang-orang konservatif yang konyol dan tak bernalar. Beberapa
berm oral korup dan yang lainnya suka m enindas dengan keke-
rasan. Dem i m endapat keuntungan m aterial, ayah Annisa m eni-
kahkan Annisa dengan seorang laki-laki pengangguran, pem abuk,
dan gem ar m elakukan penyiksaan seksual. Yang m enjengkelkan
kritikus seperti Ekky bukanlah penggam baran sisi gelap kom u-
nitas Muslim (m ereka tak m em bantah bahwa hal seperti itu bisa
saja terjadi), tetapi karena ilm itu tidak “meliput dari sisi yang
lain” atau m enam pilkan cahaya terang di ujung terowongan. Film
itu berakhir dengan adegan Annisa m enaiki kuda bersam a anak-
nya di pantai, m elem parkan sorbannya (bagian terhorm at dari
pakaian seorang laki-laki Muslim ) ke tanah. Turban yang jatuh itu
ditam pilkan di latar depan, ketika kedua orang tersebut m enjauh
dari kam era.
Mereka yang menolak ilm Perem puan Berkalung Sorban,
juga terhadap novelnya, berharap gam baran buruk kom unitas
Muslim diim bangi dengan gam baran indah kehidupan Muslim .
Masalahnya, sebagaimana dijelaskan Ekky, ilm ini tampaknya
m enyiratkan pesan bahwa Islam tak punya pem ecahan bagi
masalah yang digambarkan dalam ilm. Yang paling menyakitkan
dari sem uanya, para tokoh perem puan yang m enjadi korban ini
m endapat pencerahan dan jalan keluar dari novel Bum i Manusia
karya alm arhum Pram oedya Ananta Toer. Penting untuk dicatat
bahwa reputasi politis dan kesusasteraan Pram oedya di Indonesia
sam a kontroversialnya dengan Nawal El Sadawi di negerinya
sendiri, Mesir. Novel Bum i Manusia m erupakan buku pertam a

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
94 Identitas dan Kenikmatan

dari tetralogi sem i-historis yang ditulis oleh Pram oedya selagi
m enjalani pengasingan selam a lebih dari sepuluh tahun di Pulau
Buru. Ia dihukum tanpa diadili ketika Orde Baru secara sistem atis
m enghancurkan kekuatan politik kiri, dengan dukungan Blok
Barat serta organisasi-organisasi Muslim setem pat (lihat Bab 4).
Baik Pram oedya pribadi m aupun novel-novelnya telah m en-
jadi korban tindakan-tindakan brutal dan sum ber kontroversi.12
Buku-bukunya dilarang beredar oleh pem erintah. Pada tanggal
31 Oktober 1981, Kejaksaan Agung Republik Indonesia m enolak
tuduhan bahwa m ereka telah m em bakar sebanyak 10 .0 0 0
eksem plar buku Bum i Manusia dan lanjutannya, Anak Sem ua
Bangsa, dan m engaku m em bakar “hanya” 972 buku (Tem po 1981:
14). Pada akhir dekade 1980 -an, Pengadian Negeri Yogyakarta
m enghukum tiga aktivis m uda karena m em iliki dan m endisku-
sikan karya-karya Pram oedya yang dilarang, serta m em erintahkan
kepada pengadilan untuk menyita dan memusnahkan buku mereka.
Ketiga aktivis itu didakwa dengan Undang-Undang Anti-Subversi
dengan hukuman maksimal hukuman mati. Mereka dinyatakan
bersalah dan dihukum antara tujuh dan delapan setengah tahun
penjara (untuk rinciannya lihat Heryanto 20 0 6a).13
Dengan latar belakang ini, Perem puan Berkalung Sorban
merupakan ilm panjang bioskop pertama yang menampilkan
sam pul Bum i Manusia di layar lebar kepada penonton Indonesia.
Novel itu m uncul dalam sekurangnya lim a adegan, term asuk
ketika tokoh utama ilm ini membaca dan menentengnya. Juga

12 Tetralogi Buru m erupakan produk dari penelitian yang dilakukan oleh


Pram oedya dari awal dekade 1960 -an m engenai asal usul dan pem bentukan
bangsa Indonesia. “[I]tu m erupakan novel yang m enjelaskan m engapa novel-
novel lainnya bisa dilahirkan” (lihat Foulcher 1991: 1). Novel-novel itu telah
diterjemahkan ke dalam 33 bahasa. Ironisnya, di Indonesia keempat jilid
dalam tetralogi itu dinyatakan terlarang segera sesudah penerbitannya.
13 Segera sesudah kejatuhan Orde Baru pada tahun 1998, novel-novel itu tersedia
secara luas di toko-toko buku utam a, yang m erupakan pelanggaran jelas-jelas
terhadap larangan peredaran buku itu yang belum pernah dicabut.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pertempuran Sinematis 95

ada satu adegan, yang tak ada di dalam novel sumber ilm ini, yang
m enggam barkan sejum lah guru lelaki di pesantren itu m enyita
buku-buku Pram oedya dan m em bakarnya beserta beberapa buku
lain yang dianggap tak dikehendaki dan berbahaya. Orang-orang
yang mengkritik ilm itu membantah dengan mengatakan adegan­
adegan itu tak realistis dan m enam pilkan stereotip yang tak adil
terhadap Muslim yang taat. Menurut m ereka, sekonyol-konyol
seorang pesantren tak akan ada yang sam pai m em bakar buku.14
Yang tak kurang kontroversialnya bagi sebagian besar orang
Indonesia, khususnya Muslim , adalah keberanian seksual sang
tokoh utam a Annisa. Kisah yang berfokus pada penindasan
terhadap perempuan sudah jamak di televisi atau ilm di Indonesia,
tapi korban perem puan yang tidak m enyerah dan m elawan balik
sangat langka. Di antara yang sedikit itu, biasanya perem puan
itu digam barkan sebagai seorang yang berpikiran sesat dan
akhirnya terkutuk. Dem ikian pula, perem puan yang agresif secara
seksual bukan sesuatu yang jarang dalam ilm di Indonesia, tetapi
biasanya m ereka digam barkan sebagai penjahat. J ika sam pai
ada seorang tokoh utam a perem puan yang berani secara seksual
dan taat beragam a sekaligus, ini baru benar-benar kejutan besar
bagi banyak orang, khususnya dalam m asyarakat yang sedang
m engalam i islam isasi. Setelah bertahun-tahun m enderita dan
bertahan dari siksaan dan hinaan suam i dan anggota keluarganya

14 Satu jurnal Islam KabarN et (20 10 ) m enggam barkan Perem puan Berkalung
Sorban sebagai sebuah propaganda kom unis dan m enyebut Hanung
Bram antyo sebagai “Karl ‘Hanung’ Marx” dalam sebuah pendahuluan bagi
wawancara dengan penyair terkenal Tauiq Ismail, yang juga dikenal sikapnya
yang am at anti-kom unis. Pada satu kesem patan, sang pewawancara bertanya,
“Sebagaim ana saya ingat, Partai Kom unis Indonesia dan organisasi-organisasi
sosial yang m enginduk kepadanya m em bakar buku yang ditulis oleh kelom pok
anti-kom unis pada tahun 1964 atau 1965, betulkah dem ikian, Pak?”, dan Ism ail
m enjawab dengan m em benarkannya. Ironisnya, em pat bulan sebelum nya
buku Lekra Tak Mem bakar Buku karya Rhom a Dwi Yuliantri dan Muhidin M.
Dahlan m erupakan salah satu buku yang dilarang oleh Kejaksaan Agung.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
96 Identitas dan Kenikmatan

sendiri, Annisa bergairah pada kesem patan pertam a berjum pa


dengan Khudori yang baru kem bali dari belajar di luar negeri.
Khudori adalah satu-satunya tokoh laki-laki Muslim yang ‘baik’
dalam kisah ini, dan Annisa sejak usia m uda telah m enyim pan
rasa sayang kepadanya.
Ketika mereka berdua saja, Annisa mencopot jilbabnya dan
mengundang Khudori untuk bercinta, lalu bergegas memeluknya.
Khudori melangkah mundur, menenangkan Annisa dan meminta
kepadanya untuk bertobat (istiqfar), tapi terlambat. Pada saat itu-
lah suami Annisa menerobos masuk ke dalam ruangan ber sama
rombongannya, menangkap basah mereka melakukan pelanggaran
khalwat, yaitu aturan agama yang melarang dua orang dewasa
berlainan jenis kelamin yang tak terhubung oleh pernikahan berada
dalam kedekatan yang intim. Dengan tuduhan zina, pasangan ini
dijatuhi hukuman rajam. Ketika hukuman dimu lai, ibunda Annisa
menggugat kerumunan dan menantang mereka, barangsiapa yang
tak berdosa boleh melempar batu perta ma kepada para tertuduh.15
Secara diam-diam, kerumunan pun bubar.
Berlatar belakang kontroversi yang m uncul dari Ay at-Ay at
Cinta, ilm Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 dipersiapkan per edar-
annya. Orang-orang yang bertanggung jawab dalam pro duk si-
nya term asuk beberapa orang yang am at kecewa atau tersing-
gung oleh ilm Perem puan Berkalung Sorban. Mereka dan para
pendukungnya menyatakan bahwa ilm mereka berikutnya akan
berfungsi sebagai alat koreksi segala kekeliruan m engenai Islam
yang dibuat oleh Hanung Bram antyo dalam Ay at-Ay at Cinta
dan Perem puan Berkalung Sorban. Seperti Ay at-Ay at Cinta,

15 Sekalipun ilm ini tak eksplisit dalam membuat acuan, sulit bagi orang yang
akrab dengan agam a Kristen untuk tak m engenalinya sebagai kutipan dari
“Pericope Adulterae” dan kata-kata dari Yesus (Ia yang tanpa dosa di antara
kalian, silakan lem par batu pertam a kepadanya”, Kitab Yohannes 8:7) yang
dikatakan oleh ibunda Annisa. Sejum lah tokoh Islam m engangkat soal ini, tapi
tidak sam pai m enim bulkan keresahan publik.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pertempuran Sinematis 97

ilm yang lebih baru ini dibuat berdasarkan novel laris karya
Habiburrahm an El Shirazy. Banyak lagi kesam aan yang lain:
kedua cerita terjadi di Mesir, keduanya bertokohkan m ahasiswa
pasca-sarjana dari Indonesia yang m em pelajari Islam , keduanya
m em iliki tokoh utam a laki-laki yang digam barkan tegap dan tanpa
cela, keduanya m erupakan kisah cinta dan persaingan rom antis
antara orang-orang Indonesia, dan keduanya m enam pilkan
dialog-dialog m enggurui tentang etika Islam yang bersinggungan
dengan kehidupan sehari-hari, term asuk soal percintaan.
Sejak sem ula dirancang sebagai upaya korektif terhadap
ilm islami yang mendahuluinya, Ketika Cinta Bertasbih m em -
bedakan diri dalam beberapa cara yang penting dan hal tersebut
ditekankan dalam prom osi. Pertam a-tam a, bertentangan dengan
predikat utam a sutradara Hanung Bram antyo sebagai seorang
sutradara, dengan prioritas membuat ilm bermutu tinggi, prio­
ritas awak ilm yang memproduksi Ketika Cinta Bertasbih ada-
lah penyebaran pesan m engenai ketakwaan islam i yang ‘benar’.
Dalam perbandingan yang nyata, sekaligus kritik diam -diam
terhadap Ay at-Ay at Cinta, para awak ilm ini berkali­kali berjanji
kepada publik bahwa produksi ilm mereka sedapat mungkin
akan setia pada novelnya. Mereka m engandalkan nam a-nam a
besar beberapa tokoh sinem a paling terkenal dan m apan yang
karya­karya ilm islaminya telah beredar sebelum Ay at-Ay at
Cinta, term asuk Chaerul Um am sebagai sutradara dan Deddy
Mizwar sebagai pem ain. Mungkin sebagai satu cara untuk m e-
m as tikan bahwa m asalah yang terjadi pada Ay at-Ay at Cinta
tak berulang, novelis Habiburrahm an El Shirazy secara lang-
sung terlibat di dalam produksi, bahkan ikut berperan di dalam
ilm. Keseluruhan kerangka kerja produksi Ketika Cinta Ber tas-
bih diran cang untuk m em astikan adanya kepatuhan yang lebih
ketat kepada ajaran-ajaran Islam . Misalnya, aktor dan aktris
yang bukan pasangan suam i istri tak boleh tam pak di layar saling

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
98 Identitas dan Kenikmatan

menyentuh. Kemampuan para pemain ilm ini dalam mengaji Al­


quran m erupakan prasyarat dalam proses pem ilihan pem ain.16
Sebagaim ana disebutkan sebelum nya, pencarian ketakwaan
post-Islam ism e dalam budaya populer tak dapat disederhanakan
sem ata m enjadi urusan keim anan dan ketakwaan. Kem akm uran
m erupakan bagian penting dalam hal ini, dan m em iliki m odal
besar m erupakan syarat m utlak untuk pencarian tersebut. Dalam
hal ini, Ekky Im anjaya m encatat beberapa aspek Ketika Cinta
Bertasbih (KCB):

Dengan anggaran sebesar 40 miliar rupiah, KCB merupakan ilm


paling m ahal yang pernah diproduksi di Indonesia. Dalam pekan
pertama peredarannya, ilm ini ditayangkan di 148 layar bioskop
di seluruh negeri, m engalahkan rekor sebelum nya yang dibuat oleh
Laskar Pelangi karya Riri Riza (20 0 8) yang tayang di 115 layar
bioskop dalam pekan pertamanya. Lanjutan ilm ini, Ketika Cinta
Bertasbih 2 dijadwalkan untuk diedarkan secara nasional pada
tanggal 17 Septem ber, beberapa hari m enjelang Idul Fitri.
(20 0 9b)

Ketika Cinta Bertasbih dirancang untuk m engungguli capaian


Ay at-Ay at Cinta yang kilau suksesnya m em pesona di luar per -
kiraan. Usaha prom osi habis-habisan dilakukan untuk m enja-
m in sukses baik secara kom ersial m aupun m oral. Sokongan dari
politisi-politisi top yang berpredikat Islam dim asukkan ke dalam
pemasaran ilm ini. Dengan anggaran lima kali lebih besar dari­
pada Ay at-Ay at Cinta, proyek ini m enghasilkan penjualan tiket
lum a yan: Ketika Cinta Bertasbih I m eraih 2,4 juta penonton
pada pertengahan tahun dan Ketika Cinta Bertasbih II m eraih
1,4 juta penonton pada akhir tahun. Sekalipun dem ikian, tak ada
dari kedua ilm itu melampaui rekor yang dicapai oleh Ay at-Ay at

16 Dalam proses pemilihan pemain, penampilan para inalis ditayangkan secara


nasional di televisi dalam bentuk kontes pencarian bakat.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pertempuran Sinematis 99

Cinta. Kebanyakan pembahas ilm itu bersikap kritis terhadap


pencapaian sinem atis Ketika Cinta Bertasbih, dan m ereka tak bisa
tidak, membandingkan ilm itu dengan (dan menganggapnya tak
sebaik) Ay at-Ay at Cinta (m isalnya Hidayah 20 0 9). Akibat kurang
kontroversial, Ketika Cinta Bertasbih tidak m em bangkitkan
diskusi publik seram ai, dan yang tanpa disengaja telah dikobarkan
oleh, Ay at-Ay at Cinta.

KILAS BALIK
Sebelum peredaran Ay at-Ay at Cinta, Indonesia telah m em iliki
sejarah panjang dalam memproduksi ilm­ilm islami. Survei leng­
kap m engenai sejarah genre ini di luar cakupan lingkup bab ini.
Hanya saja, penting untuk dicatat, baik Chaerul Um am , sutra dara
Ketika Cinta Bertasbih, m aupun Deddy Mizwar, aktor dalam ilm
tersebut, m erupakan dua tokoh legendaris dan paling dise gani
dalam perilman nasional serta pelakon seni pertunjukan ber­
tem a Islam . Chaerul Um am telah m em peroleh reputasi sebagai
seorang sutradara yang peduli dengan penyam paian pesan-pesan
islam i jauh sebelum Indonesia m em asuki periode islam isasi yang
m enggelora. Di antara karya-karyanya adalah Al Kautsar (1977),
Titian Seram but Dibelah Tujuh (1982), Nada dan Dakw ah (1991),
dan Fatahillah (1997), untuk menyebut beberapa dari ilm­ilmnya
yang banyak dirayakan. Umam juga banyak menyutradarai ilm
tanpa tem a agam a, tapi m em peroleh penghorm atan yang besar
dari sumbangannya pada wilayah ilm­ilm islami. Ia merupakan
salah satu tokoh paling awal yang mengambil risiko membuat ilm
bertem a islam i di bawah pem erintahan Orde Baru ketika politik
islam i secara resm i dicurigai sebagai m usuh.
Kom itm en Deddy Mizwar m endakwahkan nilai-nilai Islam
dalam kebudayaan dan seni m elalui sinem a dan televisi m endapat
perhatian publik dalam beberapa dekade belakangan. Meski
dem ikian, tak seperti seniornya, Chaerul Um am , Mizwar telah

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
100 Identitas dan Kenikmatan

m em perlihatkan kom itm en yang nyaris total kepada agenda


Islam , khususnya selam a sekitar satu dekade terakhir. Dalam
m engungkapkan kom itm en keagam aan, kerja kreatif Mizwar
lebih m irip novelis Habiburrahm an El Shirazy. Selam a beberapa
tahun terakhir, predikat keislam an Deddy Mizwar dalam budaya
layar di Indonesia tak tertandingi.
Kedua tokoh ini mengajukan kritik terbuka pada ilm­ilm
islam i Hanung Bram antyo, dan m em pertanyakan penge ta huan -
nya m engenai Islam . Deddy Mizwar m enganggap rendah peng-
gambaran Islam dalam ilm Bramantyo. Chaerul Umam tak kenal
ampun dalam penilaian dan kritiknya terhadap ilm­ilm itu. Da­
lam se buah wawancara di m edia ketika ditanya m engenai ajak an
un tuk m em boikot Perem puan Berkalung Sorban, Um am m enya -
ta kan bahwa boikot itu tidak tepat: “Harusnya lebih dari itu. Film
ini sudah m elecehkan agam a. Im am (Im am Besar Masjid Istiqlal)
saja m enga takan ini penghinaan. Menurut saya, ini sudah term a-
suk dalam krim inal dan bisa disidangkan. Lem baga Sensor Film
(LSF) juga harus bertanggung jawab. Karena dia, ilm ini lolos ke
publik.” (Anshor 20 0 9). Tentu, dengan m engandalkan Chaerul
Um am dan Deddy Mizwar dalam produksi Ketika Cinta Ber tasbih,
konfrontasi antara ilm itu dan Perem puan Berkalung Sorban
m en jadi sebuah pertem puran ideologis atas islam isasi kon tem -
porer dalam budaya layar. Untuk m em aham i m engapa Ay at-Ay at
Cinta lebih kontroversial dan populer ketimbang ilm­ilm islami,
amat bermanfaat untuk membandingkannya dengan dua ilm ter­
dahulu: Kiam at Sudah Dekat (2003, Mizwar) dan Catatan Si Boy
(1987, Cheppy).
Salah satu karya Deddy Mizwar sebagai seorang sutradara
ada lah Kiam at Sudah Dekat. Awalnya ilm ini diedarkan sebagai
ilm panjang untuk bioskop pada tahun 2003; pada tahun 2005
diadaptasi m enjadi sinetron, dengan popularitasnya lebih besar.17

17 Pada tanggal 28 April 20 0 6 Festival Film Bandung m enganugerahkan lim a


penghargaan kepada sinetron tersebut (Koran Tem po 20 0 6). Pada tahun
20 0 7, sinetron itu m em asuki m usim ketiga.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pertempuran Sinematis 101

Amat menghibur dan penuh dialog cerdas, ilm ini berkisah tentang
per benturan peradaban dalam kerangka kisah cinta. Kiam at
Sudah Dekat bercerita tentang Fandy, seorang rocker Indonesia
yang am at terpengaruh gaya hidup Am erika. Ia baru saja kem bali
ke J akarta sesudah tinggal dan tum buh besar di Am erika Serikat;
dan ia tak sengaja bertem u Sarah, seorang perem puan cantik dan
pem alu anak Haji Rom li (diperankan oleh Deddy Mizwar sendiri),
seorang ayah yang sangat konservatif dan protektif, serta seorang
Muslim yang am at taat. Ketegangan-ketegangan kocak berkem bang
antara Fandy yang konyol dan canggung, karena jatuh cinta habis-
habisan pada Sarah, dan Haji Rom li yang curiga bahwa Fandy
sedang iseng m engusili putrinya. Di m ata Rom li, Fandy adalah
seorang anak m uda rusak tanpa harapan dan tak islam i. Meskipun
begitu, m enghadapi bujukan terus m enerus dari Fandy agar ia
boleh m endekati Sarah, Rom li akhirnya setuju, dengan syarat
bahwa Fandy harus sukses m elewati ujian tentang pengetahuan
agam a Islam , juga dalam sikap dan perilaku dalam waktu dua
minggu. Melalui serangkaian episode panjang, sang pembuat ilm
m engikuti perjalanan spiritual Fandy m enjadi Muslim yang baik.
Dalam menghadirkan perjalanan itu, sang pembuat ilm meng­
arah kan khotbahnya kepada penonton untuk m enem ukan pe nye-
lam atan, dengan m enunjukkan bagaim ana m encapai hal itu lang-
kah dem i langkah. Film itu m enyam paikan pesan yang jelas bagi
kaum m uda Indonesia secara um um : tak peduli separah apa pun
seorang pendurhaka, sekuler, ke-Barat-Barat-an, m ereka tak akan
per nah terlam bat untuk untuk m em perbaiki diri sendiri; selalu
ada harapan untuk m enjadi seorang Muslim yang baik; dan tidak
akan sia-sia untuk berusaha karena ia akan m endapatkan pahala
yang jauh m elam paui m im pi yang paling liar sekalipun. Fandy tak
hanya berhasil m elewati ujian untuk m endapatkan persetujuan
Rom li, dan juga m em bina hubungan dengan Sarah, ia juga secara
tulus m engubah dirinya dan keluarganya dalam proses belajar

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
102 Identitas dan Kenikmatan

m engenai Islam . Ketakwaannya terhadap agam a m elam paui du-


ga an sem ua orang dan Fandy m elam paui niatan asalnya untuk
seka dar m enikahi Sarah.
Kiam at Sudah Dekat tak kurang m enghibur dan patut secara
religius ketim bang Ay at-Ay at Cinta, atau bahkan kebanyakan
ilm­ilm Indonesia lainnya; bahkan mungkin lebih unggul. Film ini
m enerim a satu penghargaan dan cukup diterim a baik di kalangan
kritikus. Tetapi Kiam at Sudah Dekat tidak kelewat sukses dalam
penjualan tiket atau juga tak m em icu antusiasm e diskusi publik
seperti Ay at-Ay at Cinta. Mengapa? Menurut hem at saya, salah
satu penjelasannya dapat dilihat pada bagaim ana Ay at-Ay at Cinta
m em bedakan dirinya dari Kiam at Sudah Dekat dan nyaris selu ruh
ilm berorientasi islami lain sebelumnya. Dalam kebanyakan ilm
islam i, kaum m uda Indonesia ditam pilkan sebagai Muslim yang
teram at taat, yang perilaku, perkataan, dan pikirannya m em buat
m ereka tam pak lebih tua ketim bang usia m ereka sesungguhnya.
J ika tidak, seperti kasus Kiam at Sudah Dekat, kaum m uda Indo-
nesia ini tam pil sebagai bahan olok-olok lantaran kenaifan dan
kekurangan m ereka, sehingga m ereka m em butuhkan disiplin
yang ‘baik dan perlu’, pengawasaan orangtua dan koreksi dari
tokoh laki-laki tua.
Bandingkan dengan dunia pada Ay at-Ay at Cinta, yaitu dunia
orang m uda yang berada di pusat panggung, digam barkan tak
hanya m uda, keren, penuh sukacita dan pintar, tetapi juga pada
saat yang sam a berpikir m endalam , tak pura-pura dan sepenuhnya
sadar apa-apa yang pantas secara m oral dan agam a. Lebih penting
lagi, m ereka m em iliki sosok yang tegas, dengan kehendak sendiri
yang lebih besar. Pada ilm Ay at-Ay at Cinta (lebih daripada
novelnya), di luar fakta bahwa m ereka m em utuskan untuk m en-
jalankan pernikahan poligam i, tokoh perem puan di sini m em iliki
kehendak bebas lebih besar ketim bang tokoh utam a laki-laki. Ke-
tim bang sem ata m enjadi objek pendisiplinan dan olok-olok, atau

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pertempuran Sinematis 103

m odel yang dibuat berdasar im aji laki-laki Muslim konven sional


tua yang tak realistis, Ay at-Ay at Cinta m enyajikan sebuah dunia
orang m uda yang saling bicara satu sam a lain tentang hal-hal
yang paling penting bagi m ereka. Bahkan ketika orang m uda ini
m em inta nasihat kepada orang-orang tua, hal itu digam barkan
sebagai pelaksanaan kehendak bebas m ereka sendiri di m ana
tokoh-tokoh m uda ini m em utuskan untuk m em inta nasihat ke-
pada orang tua di waktu dan tem pat yang m ereka tentukan sen-
diri. Kehendak bebas yang lebih besar ini tentu bukan penyebab
tunggal sukses besar Ay at-Ay at Cinta. Di awal bab ini saya sudah
m enyodorkan beberapa kem ungkinan lain yang bisa m enjadi
penyebab kesuksesan ilm ini. Perbandingan dengan Kiam at
Sudah Dekat sem ata-m ata m enam bah satu kualitas lagi yang
m em buat Ay at-Ay at Cinta m enjadi sesuatu yang baru.
Film yang lebih pantas dibandingkan dengan Ay at-Ay at Cinta
adalah ilm yang menjadi hit besar pada dekade 1980­1990­an,
yakni Catatan Si Boy , terutam a dalam hal sukses kom ersial,
kem am puannya m em ulai sebuah tren, dan popularitas tokoh
utama laki­laki dalam ilm yang punya hubungan dengan banyak
perem puan sekaligus, serta tetap m enam pilkan kesalehan dalam
beragam a. Catatan Si Boy dibuat berdasarkan seri dram a radio
tahun 1985 yang disiarkan oleh stasiun radio swasta di J akarta,
Radio Pram bors. Radio ini m erupakan satu di antara radio paling
populer di kalangan anak m uda J akarta dan salah satu sponsor
paling penting kegiatan-kegiatan m usik pop Indonesia pada
dekade 1980­an. Empat sekuel ilm ini dibuat antara tahun 1988
dan 1990 . Untuk kebutuhan diskusi kali ini, saya m engacu kepada
lima judul ilm itu secara sekaligus sebagai satu kesatuan dan ter­
pisah dari cerita sem palan yang sem pat beredar dengan judul
Catatan Harian Si Boy (20 11, Tuta), di m ana tokoh utam a Si
Boy, sudah berum ur, hanya m uncul sekilas. Karena keterbatasan
ruangan, saya akan m enekankan hanya pada satu kesam aan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
104 Identitas dan Kenikmatan

dan satu perbedaan utama antara kedua ilm ini dalam kondisi­
kondisi yang lebih luas dengan tujuan khusus yaitu m em perkaya
pem bahasan yang sebelum ini sudah dilakukan orang lain.18 Ay at-
Ay at Cinta dan Catatan Si Boy m asing-m asing dapat diilihat
sebagai sebuah upaya untuk m enawarkan ideologi alternatif atau
pernyataan tandingan kepada logika m odernis yang dom inan
pada masa ilm­ilm ini diproduksi; yang satu sekuler (Catatan Si
Boy dibuat ketika Indonesia di bawah rezim Orde Baru) dan yang
satu lagi berdasar agam a (Ay at-Ay at Cinta dalam m asa pasca-
Orde Baru, ketika gelom bang islam isasi sedang m em uncak).
Film Ay at-Ay at Cinta dapat dibaca sebagai sebuah ungkapan
post-Islam ism e yang berkiblat liberal ketika terjadi kegairahan
Islam ism e di Indonesia yang telah berlangsung satu dekade dan
kebangkitan politik kaum Islam is. Fahri, tokoh utam a laki-laki
dalam ilm ini, adalah seseorang yang sangat religius. Ia juga
m em iliki banyak kualitas m enarik lainnya– jiwa m uda, bergaya,
akrab dengan tren dunia terkini– tapi predikat keagam aannyalah
yang m erupakan sifat utam anya, dan dari situ kualitas kedu nia-
annya dibangun. Lebih penting lagi, Fahri m enanggapi segala
se suatu di sekitarnya dari perspektif keim anan, bahkan pada
aspek-aspek kehidupan yang tidak berkait dengan soal agam a.
Dengan kata lain, hal-hal ini m erupakan aspek kehidupan sosial
yang m ungkin tidak ‘islam i’ tetapi ‘di-islam kan’ (Islam ized) (lihat
Bab 2). Meskipun am at patut dikagum i dalam soal kekuatan
im an, tokoh utam a dalam Ay at-Ay at Cinta sangat tidak siap un-
tuk berkelahi dan m em bela diri ketika tokoh lain m em ukulnya.
Ia terus m enerus bingung atau m enyerah pada tekanan perem -

18 Untuk komentar lebih jauh yang membandingkan kedua tokoh utama ilm,
lihat kolom opini Eric Sasono (20 0 8b). Krishna Sen (1991) term asuk salah satu
peneliti yang pertam a kali m elakukan analisa yang m engungkapkan banyak
hal tentang ilm Catatan Si Boy . Kom entar David Hanan tentang Catatan Si
Boy dibandingkan dengan ilm blockbuster nasional lainnya, Ada Apa dengan
Cinta? juga tak kalah relevannya dengan diskusi kita di sini (Hanan 20 0 8).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pertempuran Sinematis 105

puan yang jatuh cinta kepadanya. Film ini dapat dianggap m enye-
garkan bagi publik Indonesia setelah rezim Orde Baru jatuh dan
m achism o runtuh, serta setelah banyaknya pengebom an atas
nam a jihad kaum Islam is. Mungkin bukan kebetulan m om en
historis ini tecermin dengan baik pada proil presiden yang saat
itu sedang m enjabat (dan pertam a kalinya dipilih langsung oleh
rakyat), Susilo Bam bang Yudhoyono. Ia seorang pensiunan jen-
deral yang lebih banyak berpakaian sipil ketim bang seragam
m iliter. Selam a m asa jabatannya ia berulang kali m engecewakan
para pendukungnya dan m asyarakat um um karena sikapnya
yang tidak tegas. Pada saat yang sam a, ia am at m em banggakan
bakatnya dalam m enyanyi dengan m engedarkan album rekam an.
Ia adalah presiden yang sam a yang berkali-kali m engusap air
m ata pada saat m enonton Ay at-Ay at Cinta.
Sekalipun sam a-sam a tam pil sebagai sebuah penyataan tan-
dingan terhadap norm a yang sedang berlaku pada zam annya,
Catatan Si Boy m em iliki sifat yang bertolak belakang lantaran
konteks sosial dan politik yang sangat jauh berbeda dengan Ay at-
Ay at Cinta. Film yang jauh lebih dulu diedarkan ini m ewakili
sebuah ekspresi ‘post-sekularis’ (lihat Bab 2) yang terjadi pada
puncak rezim m iliter sekuler Orde Baru, yang m em elihara sebuah
proyek am bisius untuk m enghasilkan pertum buhan ekonom i
terus m enerus selam a dua dekade, pada saat politik Islam ditindas
habis-habisan, dan hingga tahun 1990 harus bergerak di bawah
tanah. Bertolak belakang dari Fahri dalam Ay at-Ay at Cinta, tokoh
utam a Si Boy dalam Catatan Si Boy m erupakan sosok dari kisah
sukses m aterial luar biasa kaum kaya baru di ibu kota J akarta pada
dekade 1980 -an dan 1990 -an. Ia seorang jago berkelahi dan perayu
perem puan. Banyak adegan dalam Catatan Si Boy m enam pilkan
gaya hidup gem erlap dengan berbagai em bel-em bel kehidupan
keluarga m aha-m akm ur Indonesia yang m enjalani kehidupan
m im pi Am erika yang banyak dipasarkan di Indonesia m elalui

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
106 Identitas dan Kenikmatan

ilm­ilm Hollywood: mobil mewah, rumah megah, perjalanan


ber kali-kali ke London atau Los Angeles, liburan di pantai, dan
pesta di klub malam. Satu aspek ilm Hollywood yang tak ditiru
di sini adalah adegan seks atau adegan yang m engarah ke tem a
itu. Dua kali tokoh utama ilm ini menolak ajakan bersetubuh dari
dua perem puan berbeda sekalipun m ereka sudah berada di dalam
kam ar tidur. Sekalipun dem ikian, di luar dugaan dan terasa janggal
dalam struktur cerita, ada serangkaian adegan pendek di m ana
tokoh utam a m enam pilkan sedikit kualitas religius nya sebagai
seorang Muslim : shalat atau m enggantungkan tasbih sebagai
hiasan di mobilnya yang mewah. Di ilm ini, hanya si tokoh utama
yang ditam pilkan m enjalankan kegiatan agam a seperti shalat dan
ini ia lakukan dengan jarang dan tidak konsisten. Misalnya, hanya
sesekali ia m enyapa orang lain dengan ucapan assalam ualaikum .
Berbeda dengan Ay at-Ay at Cinta, aspek religius tokoh utam a
dalam Catatan Si Boy am at sedikit dan hanya tam pil di kulit per -
m ukaan, sehingga bagian ini bisa sepenuhnya dihilangkan tanpa
merusak keutuhan ilmnya. Tak ada contoh di mana Si Boy me­
mandang serangkaian konlik yang terjadi sepanjang ilm dari
sudut pandang religius (seperti yang dilakukan oleh Fahri secara
konsisten di Ay at-Ay at Cinta). Biarpun sifatnya ha nya tem pelan
kecil di Catatan Si Boy , penggam baran elem en yang ter-islam -kan
itu m enim bulkan kehebohan di kalangan kaum m uda di Indonesia
dan m em icu banyak kom entar di m edia. Me reka terkejut tak hanya
karena hal ini belum pernah ditemui dalam ilm­ilm Indonesia
yang tak secara khusus dipromosikan sebagai ilm islami, tetapi
juga karena hal ini terjadi di m asa ketika Islam m asih dipandang
dengan penuh curiga. Dilihat dari m asa sekarang, Catatan Si Boy
dapat dianggap sebagai ekspresi sinem atik yang paling awal dan
paling sukses dari aspirasi post-Islam ism e (atau post-sekularis) di
Indonesia. Dua dekade kem udian, dan dalam kondisi sosial yang

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pertempuran Sinematis 107

jauh berbeda dan lebih m enguntungkan bagi apa pun yang berbau
islam i, sem angat ini tam pil sepenuhnya dalam Ay at-Ay at Cinta.

MELAMPAU I D IKOTOMI KOMOD ITAS/ AGAMA


Sem ua yang telah dibahas di atas m enunjukkan persaingan antara
berbagai ragam atau aliran post-Islam ism e di Indonesia di arena
budaya layar, yang berbeda dari ketegangan yang terjadi di antara
m ereka sem ua dengan pihak-pihak yang lebih berorientasi po-
litik Islamis, dan menilai dakwah agama melalui ilm komersial
m erupakan hal yang terlarang (haram ). Bahkan dengan sedikit
contoh pilihan ilm yang didiskusikan di atas, pertentangan kiblat
yang ditem puh oleh senim an seperti Hanung Bram antyo dan
Habiburrahm an El Shirazy sejak Ay at-Ay at Cinta m asih terus
ber lanjut sesudah Ketika Cinta Bertasbih selesai. Pada tahun
2010 Habiburrahman menyutradarai ilm Dalam Mihrab Cinta,
sebuah adaptasi dari novelnya yang lain. Pada tahun 2011, ilm
Hanung yang judulnya hanya satu tanda baca, yaitu ? (Tanda
Tany a), diserang oleh kelom pok m ilitan ganas Front Pem bela
Islam (FPI). Ironisnya, sepak terjang penuh kekerasan kelom pok
ini digambarkan (tanpa menyebut nama mereka) di dalam ilm
itu. Melalui ancam an kekerasan yang dilakukan secara terbuka
dan dipu blikasikan di m edia, FPI berhasil m enekan pem erintah
kota Bandung (Mei 20 11) dan stasiun televisi SCTV (Septem ber
2011) untuk membatalkan penayangan ilm tersebut. Semua itu
sekeping dari suatu perselisihan yang lebih besar dan rum it m e-
nge nai tem pat yang tepat untuk agam a dan m oralitas di da lam
pe m erintahan negara, ruang publik, dan wilayah privat, yang ter-
jadi di antara um at Islam dan m asyarakat Indonesia um um nya,
di negeri yang sangat m ajem uk ini. Meskipun dem ikian, seba gai-
m ana saya nyata kan sebelum nya, m enganalisa per se lisihan ini
sebagai persoalan agam a sem ata adalah sebuah kekeliruan.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
108 Identitas dan Kenikmatan

Pada bagian awal bab ini, sudah saya katakan bahwa satu alasan
penting keberhasilan Ay at-Ay at Cinta adalah hibriditasnya, pen-
cam puran unsur teks-teks Islam dengan form ula non-Islam yang
dipinjam dari industri hiburan global Hollywood dan Bollywood,
dan juga sinetron lokal. Perlu ditekankan bahwa ilm ini, berkat
keseim bangan unik dari kom posisi ini, telah m encapai puncaknya
baik secara kom ersial m aupun dalam per tem puran m oral yang
kini sedang hangat di masyarakat Indonesia mutakhir. Semua ilm
lain yang didiskusikan di atas juga m e ngandung hibriditas sam pai
derajat tertentu; sekalipun (dengan ke kecualian pada Catatan Si
Boy pada m asanya) tak ada yang m em iliki dam pak yang sam a
pada kehidupan publik seperti yang dicapai oleh Ay at-Ay at
Cinta. Film­ilm lainnya mengandung terlalu banyak atau terlalu
sedikit m uatan agam a dan pendidikan m oral ataupun unsur libe-
ralism e sekuler. Suksesnya Catatan Si Boy pada m asanya, m eng-
ungkapkan dua pesan penting: per tam a, tak ada form ula yang
statis untuk derajat hibriditas yang akan m enjam in sukses jangka
panjang ilm komersial secara lokal maupun internasional; dan,
kedua, efektivitas hibriditas ter tentu sangat bergantung pada
pertarungan ideologis dan hu bungan kekuasaan yang lebih luas,
terus berubah, dan sangat rum it di m asyarakat se cara um um .
Dalam salah satu esai yang paling penuh wawasan yang tem a-
nya berkait dengan topik ini, Mushthafa (20 0 8) m em bedakan dan
m em bandingkan karya sastra “islam i” versus “pesantren”. Me nu-
rutnya, karya islam i m enyuarakan sem angat islam i baru yang kini
sedang laku di Indonesia dan ini juga telah m enghasilkan pro duksi
dan perayaan yang meriah terhadap im­ilm islami. Menurut
Mus hthafa, gelom bang baru dakwah Islam yang kuat dan sadar ini
m erupakan kerja kelas m enengah cendekia Muslim urban dalam
m em erangi apa yang m ereka anggap sebagai ancam an terhadap
kehidupan Islam yang sejati di Indonesia. An cam an itu adalah
seku larism e dan hedonism e dalam budaya populer. Mushthafa

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pertempuran Sinematis 109

secara khusus m enyebut kerja Forum Lingkar Pena (lihat catatan


kaki no.7 bab ini) dan dugaan um um atas keterkaitan kelom pok
itu dengan Partai Keadilan Sosial se bagai kekuatan pendorong di
balik keberhasilan kampanye yang dipelopori ilm­ilm semacam
Ay at-Ay at Cinta. Mungkin sejalan dengan kepercayaan diri dan
m ilitanism e m ereka, karya-karya kelom pok ini ditandai dengan
“penggunaan sim bol yang berlebihan sehingga ia kadang terjatuh
pada pola keagam aan yang form alistik,” m enurut Mushthafa.
Mushthafa m em bedakan karya-karya sastra islam i ini dengan
karya yang disebutnya bergaya pesantren. Ia mengidentiikasi
novelis Ahm ad Tohari dan Abidah El Khalieqy (penulis Perem -
puan Berkalung Sorban) sebagai contoh kom itm en yang lebih
besar terhadap persoalan-persoalan substantif kebebasan m anu-
sia dan politik yang inklusif ketim bang kesibukan dengan nilai-
nilai sim bolis Islam . J elas Mushthafa berpihak pada karya sastra
pesantren ketim bang karya sastra islam i, nam un esainya juga
m e lancarkan kritik terhadap orang-orang yang m engelola pesan-
tren atas kegagalan m ereka untuk m engenali perbedaan antara
kedua jenis karya sastra yang dilahap oleh para santriwati m uda
yang m udah dipengaruhi. Pandangan Mushthafa ini sejalan
dengan tem uan Nancy Sm ith-Hefner tentang perbedaan antara
Muslim ah yang baru belakangan saja m endadak m enjadi taat
di lem baga pendidikan sekuler, dan aktivis fem inis Muslim dari
sekolah­sekolah agama (2007: 43). Kelompok yang pertama se­
cara konsisten m enyatakan ketaatan beragam a m ereka di m uka
um um , seakan secara tak sengaja m engungkapkan perasaan geli-
sah dan tak am an m ereka. Sebaliknya, karena m erasa am an de-
ngan keim anan m ereka, kelom pok kedua ini dapat m engejar ke-
pen tingan m ereka dalam hal-hal lain, seperti politik yang inklusif
terhadap perbedaan dan pluralism e.
Pernah saya bahas di tulisan lain (Heryanto 20 11) bahwa di
Indonesia sekarang ini kita m enyaksikan proses ‘islam isasi m o-

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
110 Identitas dan Kenikmatan

dernitas’ m aupun ‘m odernisasi Islam ’. Penelitian akadem ik ter-


hadap popularitas ilm­ilm islami yang membatasi diri secara
sem pit pada pertanyaan nilai-nilai religius (atau kurangnya nilai-
nilai itu) m engandung risiko besar tidak m elihat persoalan dalam
wawasan lebih luas dan kritis terhadap apa yang diungkapkan
oleh keberhasilan ilm­ilm ini mengenai situasi Indonesia saat
ini. Persaingan sinem atis seperti yang dibahas dalam bab ini m e-
rupakan sebagian dari proses yang rum it dari apa yang disebut
sebagai islam isasi. Persaingan yang sam a m erupakan tanggapan
terhadap konlik politik yang lebih besar di belakang layar se­
iring upaya bangsa ini untuk mendeinisikan ulang proyek mo­
dernitasnya. Dengan pertim bangan dem ikian, bab-bab berikut
dalam buku ini akan m em perlihatkan lebih jauh wilayah lain
pertem puran itu, sekalipun kaitannya dengan isu islam isasi di
m asa lalu dan kini tak selalu diakui secara publik dan terbuka.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bab 4

Masa Lalu yang Dicincang


dan Dilupakan

DUA BAB sebelum nya m em perlihatkan bagaim ana islam isasi


di Indonesia telah m enjadi satu-satunya faktor paling m enonjol
yang m engubah bangsa ini dan representasi visualnya, dalam
berbagai bentuk yang saling bersaing. Budaya populer di layar
seperti acara televisi dan ilm membentuk arena yang penting
untuk persaingan ini. Mereka yang belum atau kurang m engenal
Indonesia m ungkin heran dengan islam isasi yang baru terjadi
belakangan ini, terutam a bila m enim bang bahwa sudah berabad-
abad Indonesia m erupakan negara dengan penduduk Muslim
terbesar di dunia. Bahkan jika negara secara resm i m em ilih untuk
tetap sekuler, sebagaim ana yang telah dijalankan selam a ini, tetap
layak dipertanyakan m engapa baru belakangan islam isasi dalam
kehidupan sosial ini berlangsung sedem ikian luas dan dalam
hingga m encapai taraf yang belum pernah terjadi sebelum nya.
Boleh dibilang, ada faktor internal dan eksternal yang m enjadi
sebab. Untuk sem entara ini, kita tunda dulu analisa sejarah yang

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
112 Identitas dan Kenikmatan

lebih m endalam dan rum it m engenai hal itu. Untuk keperluan


buku ini, cukuplah dicatat beberapa faktor terpenting saja.
Secara internal, m ayoritas um at Islam di Indonesia ba nyak
m engadopsi pendekatan sinkretis dalam praktik keaga m a an m e-
reka selam a berabad-abad; m engaku Muslim sam bil m em per ta -
hankan berbagai tradisi setem pat dan unsur-unsur agam a Hindu
dan Buddha yang telah datang ke kepulauan Indo nesia se belum
m asuknya Islam . Hal ini terjadi terutam a di J awa, pulau yang
dihuni oleh lebih dari separuh penduduk Indonesia. Bagi seba-
gian kelom pok Muslim m odernis yang lebih terdidik, praktik
um um seperti ini m em prihatinkan karena dianggap praktik bidah
atau bentuk ketaatan beragam a yang m engalam i kem unduran
dan kem erosotan. Dalam kasus yang lain, ke te gangan terjadi di-
se babkan oleh adopsi dari aliran-aliran atau sekte-sekte yang
ber beda di dalam Islam . Ketegangan antara ber bagai bentuk ke-
taat an beragam a tak pernah berhenti sejak keda tangan Islam ke
pantai-pantai Indonesia. Sebagian besar ketegangan ini tak m en-
jurus pada konfrontasi dengan kekerasan dalam lingkup m assal.
Konlik berdarah lebih sering terjadi sejak abad ke­19 hingga masa
perjuangan kem erdekaan Indonesia, ketika kaum Islam is m odern
m engam bil langkah lebih aktif untuk m em prom osikan pan dangan
Islam yang lebih m urni dan m enge jar cita-cita Indonesia yang
lebih islam i. Kekerasan internal akhir-akhir ini m eningkat ketika
islam isasi terjadi dengan pesat, dan kadang-kadang dilakukan se-
cara tidak terkira. Berbagai percobaan oleh beberapa kelom pok
Islam is untuk m em asukkan syariat Islam ke dalam Undang-
Undang Dasar berkali-kali gagal. Sebagaim ana dicatat oleh bab-
bab sebelum nya, bahkan pada puncak islam isasi saat ini, partai
politik yang m engusung Islam ism e berkali-kali tidak berdaya da-
lam pem ilihan parlem en nasional; pada saat buku ini ditulis, tak
ada satu pun tanda-tanda m ereka akan m enjadi dom inan dalam
waktu dekat.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 113

Yang tidak kurang penting, dan lebih relevan dengan bab beri-
kut, ada dua kekuatan eksternal yang telah m enahan laju Islam
sehingga kekuatannya terbatas dalam politik Indonesia sela m a
lebih dari dua abad terakhir. Kekuatan pertam a adalah pe m e-
rin tahan sekuler, baik kolonial m aupun pem erintahan Indo nesia
m erdeka yang m enggantikannya, yang hingga tahun 1990 terus
berlaku tidak sim patik terhadap politik Islam is seraya m em -
perlihatkan sikap lunak terhadap partai politik Islam yang lem ah
atau dilum puhkan, serta kegiatan-kegiatan kebudayaan islam i.
Pa da bab sebelum nya, saya telah m em bahas bagaim ana dan m e-
nga pa kebijakan Presiden Soeharto berbalik haluan pada tahun
1990 dan m ulai bersikap ram ah kepada aktivis politik Islam untuk
m e nguatkan kem bali cengkeram annya terhadap kekuasaan.
Kekuatan eksternal kedua yang m engurangi kekuatan Islam
adalah kelom pok Kiri, terdiri dari Partai Kom unis Indonesia
(PKI) serta partai dan organisasi nasionalis sekular dan populis
lain yang telah m engham bat berbagai upaya untuk m em buat
Indonesia m enjadi lebih islam i. Sekalipun pernah terbina kaitan
dan persekutuan antara aktivis politik berkiblat kom unis dan
Islam is pada m asa perjuangan kem erdekaan pada dekade awal
abad ke-20 , keakraban itu berusia pendek, dan sebagian besar
seja rah itu telah dihapus dari ingatan publik di Indonesia saat
ini. Mem ang, proses islam isasi besar-besaran sejak dekade
akhir abad yang lalu telah dim ungkinkan, antara lain, oleh pe-
m us nahan kaum Kiri pada tiga bulan terakhir tahun 1965, yang
digam barkan oleh para ahli sejarah sebagai salah satu pem bu-
nuhan m assal terbesar dalam sejarah m odern. Siapa yang sesung-
guhnya bertanggung jawab terhadap pem bunuhan m assal itu
m asih m enjadi bahan perdebatan, sekalipun tulisan-tulisan yang
berm unculan m engenai topik itu m enunjukkan bahwa para jen-
deral Angkatan Darat, di bawah kepem im pinan Soeharto, telah
m em ainkan peran kunci serta m engam bil m anfaat terbesar dari

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
114 Identitas dan Kenikmatan

peristiwa itu, sebagaim ana juga banyak pihak sipil anti-kom u nis,
serta anggota berbagai organisasi Islam dan m ilisi lokal ber peran
aktif dalam operasi penuh kekerasan itu. Pada tahun-ta hun yang
penuh pergolakan itu, Blok Barat pada m asa Perang Dingin m em -
berikan dukungan besar kepada Soeharto, dan ikut m e nikm ati ke-
untungan politis dan ekonom is pem erintahan dik tator Soeharto
yang berusia panjang.1
Bab ini dan selanjutnya akan m eneliti peran yang sangat m e-
nentukan yang dim ainkan oleh ilm sebagai medium propaganda
di tangan pem erintahan Orde Baru, dan sebagai m edium yang
memungkinkan kisah­tandingan di tangan pembuat ilm inde­
pen den sejak kejatuhan Orde Baru pada tahun 1998. Pentingnya
hubungan antara ilm dan sejarah pembunuhan massal pada tahun
1965-66, yang telah m enyediakan jalan bagi kebangkitan rezim
Orde Baru (1965-98), bukan sesuatu yang dibesar-besarkan.2

1 Pada akhir J uli 20 12, dalam sebuah laporan penyelidikan setebal 840 halam an
yang ditujukan kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Kom isi Nasional
Hak Asasi Manusia (Kom nas HAM) secara resm i m enyatakan pem bunuhan
m assal itu sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi m anusia. Laporan
itu m enyebut beberapa nam a bekas pejabat m iliter (term asuk yang sudah
m eninggal dunia) yang bertanggung jawab terhadap pem bunuhan itu dan
m enuntut Kejaksaan Agung untuk m engam bil langkah untuk m em bawa m ereka
ke pengadilan. Kom nas HAM juga m engeluarkan pernyataan dalam sebuah
konferensi pers. Tak berselang lam a, Presiden Susilo Bam bang Yudhoyono
m engum um kan dukungannya terhadap rekom endasi Kom nas HAM itu.
Meskipun dem ikian, sekalipun banyak orang m enyam but pernyataan itu
sebagai sebuah kem ajuan sim bolis, hanya sedikit yang yakin bahwa dokum en
baru itu akan berdam pak terhadap m ereka yang bertanggung jawab, para
korban, dan buku-buku teks sejarah dan pengajarannya di sekolah. Beberapa
anggota parlem en m enanggapi sikap Presiden dengan m encem ooh laporan
tersebut dan m em pertanyakan m anfaat m enggali m asa lalu yang penuh
kekerasan dan berisiko m enim bulkan perpecahan nasional. Pada pertengahan
Novem ber 20 12, Kejaksaan Agung m engeluarkan tanggapan resm i m enolak
laporan Kom nas HAM itu beserta klaim bahwa pem bunuhan m assal pada
1965-66 m erupakan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia.
2 Dua buku utama dalam Bahasa Inggris tentang ilm Indonesia ditulis pada
m asa Orde Baru (tak secara khusus m em bahas gejolak yang terjadi pada 1965-
66) adalah karya Heider (1991) dan Sen (1994). Saya sangat bersyukur pada
sum bangan kedua karya pelopor ini bagi kerja awal saya di bidang ini.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 115

Berdasarkan kajian kritis terhadap ilm pendek dan dokumenter


yang ada tentang peristiwa 1965, serta m elalui pengam atan ter-
hadap peserta beberapa kegiatan pem utaran, wawancara, dan
tinjauan terhadap konteks lebih luas yang relevan bagi penelitian
ini, bab ini akan m enawarkan sebuah kesim pulan sem entara.
Berlawanan dengan harapan banyak penyintas represi brutal
Orde Baru, terbukanya ruang yang lebih besar bagi kebebasan
politik pada dekade pertam a kejatuhan Orde Baru ternyata tidak
banyak m em berikan m anfaat bagi upaya m em buka kebenaran,
m em bangun rekonsiliasi, atau m encapai keadilan. Propaganda
Orde Baru secara um um tetap bertahan dengan baik lebih dari
satu dekade sesudah pem erintahan itu bertekuk lutut. Lebih
buruk lagi, dan ini tak m engejutkan, banyak orang Indonesia dari
generasi yang lebih m uda, yang m enikm ati kehebatan teknologi
m edia baru dan kebebasan inform asi yang lebih besar, tam pak
kurang berm inat pada m asalah kekerasan politik di m asa lalu.
Mes kipun dem ikian saya akan m engajukan sebuah spekulasi
berupa skenario yang sedikit lebih optim istik pada bab berikut.
Untuk menganalisa ilm­ilm yang diperbincangkan dalam bab
ini, dan m engukur arti pentingnya secara politik, dua faktor akan
dipertim bangkan. Pertam a adalah seperangkat ham batan naratif
yang menghadang para pembuat ilm ketika mereka membahas
topik yang sensitif dan dibatasi seperti pem bunuhan m assal 1965-
66. Saya akan m em buat garis besar konteks yang relevan yang
akan m em bantu pem baca m em aham i betapa seriusnya ham -
batan tersebut. Pertim bangan kedua akan m enggarisba wahi latar
belakang dan tiga posisi berbeda para pembuat ilm sehubungan
dengan persoalan tersebut. Masing-m asing dari tiga posisi ini
sedikit banyak m enjelaskan di m ana kekuatan dan kele m ahan
karya m ereka. Nam un sebelum itu, izinkan saya terlebih dahulu
m enyajikan sebuah latar belakang singkat, yakni sebuah ringkasan
tentang terorism e negara Orde Baru, dan upaya m ereka m eng-
andalkan ilm sebagai medium populer bagi mesin propaganda.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
116 Identitas dan Kenikmatan

D OSA ASAL
Selam a sebagian besar periode kekuasaannya, pem erintahan
Orde Baru m em bina keabsahan politiknya dengan bersandar
pada sebuah kisah yang direkayasa dan am at dikendalikan m e-
nge nai banjir darah 1965-66. Pem erintah m elakukan apa saja
yang dapat dilakukan agar dapat sepenuhnya m em egang kendali
kesa daran publik dan wacana tentang peristiwa itu dengan terus-
m enerus m em aksakan sejarah peristiwa 1965-66 versi resm i.
Dua peristiwa penting m em iliki arti utam a bagi rezim Orde
Baru untuk m em pertahankan versi resm i peris tiwa sejarah ini.3
Yang pertam a m erupakan serangkaian peristiwa yang terjadi di
J akarta pada m alam m enjelang subuh tanggal 1 Oktober 1965
(ketika enam orang jenderal dan satu letnan diculik dan kem u-
dian dibunuh oleh sekelom pok perwira m enengah m iliter) dan
bebe rapa hari berikutnya (sesudah keberhasilan serangan balik
terhadap para penculik itu, yang dipim pin oleh Soeharto).4 Ber-
bagai pernyataan resm i tentang saat-saat yang sangat m enen-
tukan itu hanya sedikit, atau bahkan tak m em uat sam a sekali,
m e ngenai peristiwa kedua: pem bunuhan besar-besaran sejak Ok-
to ber 1965 hingga pertengahan 1966 terhadap anggota Partai Ko-
munis Indonesia, organisasi yang berailiasi dengannya, dan siapa
pun yang dianggap telah m elakukan atau m engatakan se suatu
yang dipandang bersim pati kepada organisasi (yang ketika itu)
resm i tersebut. Sekalipun sebagian besar pem bunuhan ini ter jadi

3 Ada banyak tulisan mengenai dua pokok ini. Misalnya daftar pustaka terbaru
tentang peristiwa seputar 1965, lihat Roosa (20 0 9).
4 Salah satu karya terbaru dan terpenting m engenai perdebatan peristiwa ini
ditulis Roosa (2006). Adam (2008:39) menyajikan ringkasan perbandingan
singkat versi yang berbeda-beda m engenai peristiwa tersebut. Untuk bebe-
rapa contoh tulisan sebelum nya m engenai pokok ini lihat (berurut abjad)
Anderson (1987), Anderson and McVey (1971), Bunnell (1990 ), Crouch (1978),
Holtzappel (1979), Kam m en and McGregor (20 12), May (1978), Scott (1986),
Sulistyo (20 0 0 ), Wertheim (1979).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 117

di Pulau J awa, Bali, dan Sum atra, kejadian serupa juga terjadi di
pulau-pulau di wilayah tim ur Indonesia.
Puluhan ribu tersangka PKI dan pendukungnya turut ditahan
tanpa proses pengadilan, dan selam a ditahan m ereka m engalam i
penyiksaan dan kerja paksa. Banyak yang m eninggal dunia selam a
dalam penahanan. Ketika m ereka dibebaskan pada akhir dekade
1970 -an, para penyintas dan anggota keluarga m ereka (keluarga-
inti m aupun keluarga-batih, bahkan anak-anak m ereka yang
belum lahir ketika itu) m enderita secara sistem atis. Hak-hak sipil
m ereka diram pas, kebebasan bergerak m ereka dibatasi, juga ke-
sem patan kerja, layanan publik, dan partisipasi dalam pem ilu.5
Sekalipun kesengsaraan yang berat itu tak disebutkan di dalam
buku-buku sejarah dan berbagai dokum en resm i, pem erintah tak
sepenuhnya m erahasiakan kekerasan tersebut. J ustru pem erintah
dan organisasi non-pem erintah pendukungnya secara rutin m e-
m a m erkan ke hadapan publik kekejam an m ereka terhadap para
korban dan keluarga m ereka un tuk m engancam para penyintas
dan sim patisan (jangan sam pai m ereka berani berm im pi sedikit
pun soal m enuntut balik atau balas dendam ) sekaligus juga
m enebar teror kepada m asyarakat luas (dari kelom pok m asyarakat
inilah kediktatoran m iliter Orde Baru m enuntut kepatuhan se-
lama memerintah lebih dari 30 tahun). Perburuan yang luas ter­
hadap ancam an kom unism e atau kebangkitan kem bali m ereka,
juga pem eriksaan secara m ental dan ideologis, dilakukan secara
am at teliti dan bersem angat sebagai sebuah tontonan bagi publik
sepanjang pem erintahan Orde Baru (Heryanto 20 0 6a: Bab 2).

5 Sedikit contoh saja, secara acak, tulisan yang m em bahas soal ini (m enurut
abjad) Budiardjo (1991); Caldwell (1975); Cribb (1990 ); Farram (20 10 ); Fealy
dan McGregor (2010); Fein (1993); Heryanto (2006a); Purwadi (2003);
Robinson (1995); Roosa, Ratih, dan Farid (20 0 4); Sasongko dan Budianta
(2003); Southwood dan Flanagan (1983); dan Zurbuchen (2002, 2005).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
118 Identitas dan Kenikmatan

Sejak dini, rezim Orde Baru telah mengenali pentingnya ilm


sebagai alat propaganda. Pada tanggal 15 April 1969, Kom an dan
KOP KAMTIB (Kom ando Operasi Pem ulihan Keam anan dan Ke -
ter tiban) m engeluarkan sebuah instruksi (Kep-16/ KOP KAM-
TIB/ 4/ 1969) untuk pem bentukan “Projek Film KOPKAMTIB”
yang bertanggung jawab m em produksi “ilm dokumenter” sebagai
“m edia psywar” m elawan m usuh-m usuh di Indonesia m au pun
di luar negeri. Nam un, butuh waktu lam a bagi m ereka untuk
memproduksi ilm propaganda yang cukup “bersifat subtil” dan
“harus m em enuhi persyarakatan [salah cetak dalam teks asli-
nya, mungkin yang dimaksud “persyaratan] perilman umum”,
sebagaimana yang dinyatakan oleh instruksi tersebut. Dua ilm
utam a yang pertam a-tam a disponsori oleh negara Orde Baru
Janur Kuning (1979, Surawidjaja) dan Serangan Fajar (1981,
Noer) m e rayakan peran kecil Soeharto dalam pertem puran m i-
liter selam a pergerakan nasional untuk kem erdekaan Indonesia
pada tahun 1945. Film propaganda yang paling berpengaruh,
Peng khianatan G 30 Septem ber (1984, Noer) diselesaikan pada
tahun 1984 sesudah diproduksi selam a dua tahun.6 Dua tahun
kemudian ilm propaganda lain diedarkan: Penum pasan Sisa-sisa
PKI di Blitar Selatan (Operasi Trisula) (1986, Kadaryono) yang
m enggam barkan perburuan lebih jauh terhadap para penyintas
kom unis oleh m iliter di Blitar Selatan, yang dianggap sebagai tem -
pat persem bunyian terakhir m ereka.

6 Ada beberapa variasi judul ilm ini. Adegan pembukaan memperkenalkan


ilm ini sebagai Pengkhianatan G 30 Septem ber. Berbagai iklan ilm ini,
juga sam pul album VCD yang dijual secara kom ersial, m enyebutnya sebagai
Penum pasan Pengkhianatan G 30 Septem ber. Sertiikasi resmi dari Lem baga
Sensor Film m enyebut judulnya sebagai G 30 S PKI. Dalam banyak dokum en
dan pernyataan resmi, sebutan pemerintahan Orde Baru terhadap ilm ini
adalah Pengkhianatan G30 S/ PKI. Lebih dari sekadar urusan rem eh tem eh,
penyusunan kata­kata ini—terutama penggunaan singkatan ‘PKI’ atau
‘Partai Komunis Indonesia’—merupakan sebuah soal yang amat politis bagi
pem erintah, seperti akan dibahas nanti.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 119

Pada tahun 1988, pem erintahan Orde Baru kem bali m em -


produksi satu ilm propaganda: Djakarta 1966 (1982, Noer) yang
m en ceritakan peralihan kekuasaan yang penuh kontroversi dari
Presiden Sukarno kepada Mayor J enderal Soeharto. Inti kontro-
versinya bersum ber pada dikeluarkannya Instruksi Presiden
tanggal 11 Maret 1996, yang ditandatangani oleh Presiden
Sukarno, dan penggunaan serta penyalahgunaan surat itu oleh
J enderal Soeharto (TAPOL 1989). Dokum en ini di Indonesia
dikenal de ngan nam a “Surat Perintah Sebelas Maret”. Pem erintah
m em asyarakatkan singkatan “Supersem ar”, m engum pam akannya
sebagai Sem ar, tokoh setengah dewa dari kisah wayang. Dokum en
ini m em beri wewenang kepada Mayor J enderal Soeharto untuk
m e m u lihkan ketertiban m asyarakat dan stabilitas pem erintahan,
m e m astikan keselam atan pribadi dan kewibawaan presiden, serta
m elaksanakan segala kebijakannya. Dua kontroversi m e naungi
surat perintah ini; yang satu berhubungan dengan bagaim ana
surat itu dikeluarkan, dan satu lagi berkaitan dengan penggunaan
dan penyalahgunaannya.
Seorang saksi m ata, Soekardjo Wilardjito, yang waktu itu ber-
tugas sebagai pengawal Istana Bogor, belakangan bersaksi bahwa
Presiden Sukarno m enandatangani surat itu sem entara kepala-
nya ditodong pistol oleh Brigadir J enderal Basuki Rahm at,7 satu
dari em pat perwira m iliter yang m endatangi Presiden di Bogor
dengan m em bawa rancangan surat berkepala surat kem iliteran,
bukan kepala surat istana presiden. Esoknya, Wilardjito ditahan;
ia dipenjara selam a 14 tahun tanpa proses pengadilan. Ia disiksa
sangat berat selam a dalam tahanan yang m enyebabkan ia cacat
secara isik. Sesudah kesaksiannya muncul ke ruang publik, me­
nyu sul kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, ia didakwa telah

7 Banyak jalan utam a di Indonesia diberi nam a ‘Basuki Rahm at’; ia dianugerahi
gelar Pahlawan Nasional dan m eninggal dunia pada tahun 1969.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
120 Identitas dan Kenikmatan

m elakukan pencem aran nam a baik. Akhirnya, sesudah satu de-


kade pertarungan hukum di segala tingkatan, Mahkam ah Agung
m em bebaskan dirinya dari segala tuntutan pada bulan Agustus
20 0 7 (Heru 20 0 8).
Hingga saat ini, dokum en asli yang m em icu kontroversi telah
dinyatakan hilang (Adam 20 10 ). Banyak pihak tepercaya m e-
ra gukan kisah Wilardjito. Terlepas dari kebenaran kesaksian
Wilardjito dan keberadaan dokum en asli Supersem ar, Soeharto
m ela kukan serangkaian tindakan yang jelas-jelas berten tangan
dengan isi Instruksi 11 Maret 1966. Sehari sesudah surat itu dike-
luarkan, ia m elarang Partai Kom unis Indonesia, sekalipun seba-
gian besar anggota partai tersebut telah dibantai enam bu lan
sebe lum nya. Pada pekan berikutnya, ia m em erintahkan pena-
han an terhadap m enteri pem erintahan Sukarno dan m em bentuk
se buah kabinet baru. Sukarno, sesudah disingkirkan, dikenakan
tahanan rum ah hingga m eninggal pada tahun 1970 .
Pada pem ilihan um um tahun 1987, lautan gam bar Sukarno
m em banjiri ruang publik selam a periode kam panye sebagai du-
kungan terhadap partai oposisi-loyal Partai Dem okrasi Indonesia.
Pem andangan seperti itu m enghentak pejabat pem erintahan,
sehingga gam bar Sukarno dilarang ditam pilkan pada pem ilu
berikutnya. Serangkaian kam panye m enjelek-jelekkan Sukarno
ter jadi segera sesudah partai penguasa Orde Baru m em astikan
kem e nangan (yang sudah diduga sebelum nya) pada pem ilu 1987.
Dengan latar belakang seperti itu, ilm Djakarta 1962 diedarkan
dan menjadi penting secara politik. Pada malam pemutaran ilm
itu di Istana Negara, Soeharto secara tegas m enandaskan ber-
ulang-ulang “kudeta m iliter tak pernah terjadi” dalam peralihan
kekuasaan 1965-66 (Kom pas 1988).
Tak ada m ateri propaganda, di layar m aupun di luar layar, yang
m enim bulkan dam pak sedahsyat Pengkhianatan G 30 Septem ber.
Film ini m em ecahkan rekor baru dalam durasi waktu tayang
(nyaris 4,5 jam ), jum lah pem ain pendukung (10 .0 0 0 orang), dan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 121

jumlah penonton, serta dalam investasi inansial dan pendapatan


(Kristanto 1984). Siswa sekolah diharuskan m em beli tiket untuk
menonton ilm itu pada jam sekolah.8 Meskipun berdurasi am at
panjang, ilm ini hanya bercerita tentang peristiwa selama lima
hari, antara 30 September hingga 5 Oktober 1965 (yang pertama
dari dua m asa kritis periode sejarah Indonesia seperti disebutkan
sebelum nya). Film ini berfokus pada serangan kom unis terhadap
Muslim pem ilik tanah sebelum Septem ber 1965, pem bunuhan
terhadap tujuh perwira m iliter pada m alam 1 Oktober 1965 yang
telah didram atisir, dan adegan terkenal pesta seks perem puan
kom unis, yang m erupakan sebuah penggam baran rekaan sem ata
tentang anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang digam -
barkan telanjang, m enari-nari, dan bernyanyi sam bil m em otongi
tubuh para jenderal, di Lubang Buaya (untuk lebih jelasnya, lihat
Weiringa 20 11).9 Sebagaimana disebutkan sebelumnya, ilm ini
sepenuhnya bungkam tentang episode kedua (yaitu pem bunuhan
massal), sekalipun ilm lanjutannya yang kurang terkenal diban­
ding ilm itu, yaitu Penum pasan Sisa-sisa PKI di Blitar Selatan

8 Adegan kekerasan dalam ilm itu begitu mengerikan sehingga patut diperta­
nyakan kepantasannya ditonton oleh anak-anak. Satu laporan jurnalistik ber-
judul “Demam dan Menjerit ketika Nonton Film G30 S/PKI” menggambarkan
pengalaman traumatik pelajar­pelajar muda yang menonton ilm itu
(Listyaningsih 1990 ). Nam un salah seorang yang hadir ketika penayangan
ilm itu di istana berkomentar bahwa adegan di Lubang Buaya (di mana terjadi
penyiksaan terhadap para jenderal yang diculik– penerjem ah) “kurang sadis”
(Tem po 1984: 78).
9 Adam berpendapat bahwa penggam baran perm usuhan kom unis terhadap
Muslim di Desa Panigoro seperti yang digambarkan dalam ilm itu dibesar­
besarkan (Adam 20 0 4). Cerita tentang pesta seks disebarkan oleh m edia cetak
m ilik m iliter dan segera m enyebar seperti api liar, m em arakkan sem angat
anti-kom unis yang m em babi buta pada situasi kacau di hari-hari pertam a
bulan Oktober 1965. Cerita yang sam a tentang pesta seks di Lubang Buaya
telah diabadikan dalam dioram a dan pahatan di Museum Lubang Buaya,
J akarta Tim ur, yang dibangun pada tahun 1990 . Sem ua penggam baran ini
bertentangan dengan hasil otopsi resm i oleh satu tim yang terdiri dari lim a
orang ahli forensik di bawah perintah langsung Mayor J enderal Soeharto.
Lihat Anderson (1987) untuk penerbitan dokum en hasil forensik tersebut
(dalam bahasa Inggris) dan catatan pengantarnya yang am at berguna.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
122 Identitas dan Kenikmatan

(1986, Kadaryono) m erayakan penghancuran terhadap kom unis


yang sedang m elarikan diri.
Nam un yang lebih penting ketim bang angka-angka yang m e-
m ecahkan rekor itu adalah fakta bahwa sekurangnya pada dekade
pertama peredarannya, ilm itu merupakan sumber utama—bah­
kan mungkin satu­satunya—sumber informasi rinci bagi orang
Indo nesia tentang apa yang m ungkin terjadi pada Septem ber
hingga Oktober 1965. J aringan televisi m ilik negara, TVRI, m e-
nayangkan ilm itu setiap tahun pada tanggal 30 September.
Sta siun televisi swasta diwajibkan m enayangkan juga.10 Film ini
m em bingkai kerangka induk dan m enyeluruh bagi diskusi publik,
angan-angan, dan kiasan sepanjang periode Orde Baru. Per nya-
taan atau pertanyaan publik yang m eragukan keabsahan sejarah
resm i 1965 atau m enyebut kisah berbeda dari para ahli luar negeri
tentang hal ini, dinyatakan sebagai pelanggaran hukum dan dapat
dijatuhi hukum an pidana. Sekalipun m enghadapi intim idasi se-
per ti itu, suara-suara sum ir tetap berm unculan dari waktu ke
waktu sem asa Orde Baru berkuasa, walau segera dilibas. Tekanan
ini terus berlanjut hingga saat penulisan buku ini, lebih dari satu
dekade sesudah kejatuhan Orde Baru.
Bagi banyak orang Indonesia, kom unism e pernah, dan m asih,
m enjadi subjek yang tabu untuk dibicarakan secara kritis, tapi
istilah “kom unis” sering dipakai sebagai m akian. Pada bulan

10 Seakan-akan sem ua itu tidak cukup, pem erintah juga m enghendaki selu ruh ja-
ringan televisi menayangkan drama seri untuk melengkapi ilm Pengkhianatan
G 30 Septem ber. Term asuk di antaranya adalah Terjebak pada tahun 1996
dan Ny any ian Dua Bersaudara pada tahun 1997 (Kom pas 1998). Pada bulan
Mei tahun berikutnya (1998) Soeharto kehilangan kekuasaan dan Wakil Pre-
sidennya, B.J . Habibie m engam bil alih posisinya. Untuk m em berikan kesan
pem e rintahannya berbeda dengan rezim Orde Baru, yang kini terhina, Habibie
menghentikan kewajiban stasiun televisi untuk menayangkan ilm Peng khia -
natan G 30 Septem ber. Nam un seluruh stasiun televisi tetap dim inta m ena -
yangkan seri dram a televisi propaganda lain yang anti-kom unis: Bukan Seke-
dar Kenangan pada tanggal 30 September, Melacak Jejak Berkabut pada
tanggal 14 Oktober, dan Sum pah Kesetiaan pada 28 Oktober (Kom pas 1998).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 123

Agustus 1985, dalam peringatan 40 tahun Kem erdekaan Indo-


nesia, m aja lah berita terkem uka di Indonesia, Tem po, m enyeleng-
garakan sebuah pem ungutan suara. Ketika ditanya apa ancam an
paling serius terhadap Indonesia, lebih dari sepertiga responden
(sekitar 90 0 orang, kebanyakan dari J awa dan Sum atra) m em beri
jawaban: potensi kebangkitan kem bali kom unism e (Tem po 1985).11
Lebih dari separuh responden berusia antara 21 dan 30 tahun.
Harian Kom pas m enyelenggarakan pem ungutan suara serupa
pada tahun 2002 dan 2003 (Satrio 2002, 2003) dengan hasil
yang m ene gas kan survei Tem po. Sesudah dua tahun m em asuki
m asa pasca-Orde Baru, Tem po m enyelenggarakan lagi satu ronde
pem ungutan suara m encakup 1.10 1 pelajar sekolah m enengah di
tiga kota ter be sar di Indonesia (J akarta, Surabaya, dan Medan).
Untuk perta nyaan dari m ana m ereka belajar m engenai sejarah
peristiwa tahun 1965, 90 persen menjawab “ilm”.12 Karena hanya
ada satu ilm tentang hal itu, tak perlu diragukan ilm mana yang
m ereka m ak sudkan. Sebanyak 97 persen m engatakan bahwa m e-
reka telah menonton ilm Pengkhianatan G 30 Septem ber. Dita-
nya mengenai berapa kali mereka telah menonton ilm itu, per­
sentase terbesar kelompok jawaban adalah 38 persen responden
dengan jawaban telah m enontonnya lebih dari tiga kali.
Pada awal dekade 20 0 0 -an, pem erintahan yang tergolong
libe ral nam un berusia pendek yaitu pem erintahan Abdurrahm an
Wahid (1999-20 0 1) m em utuskan untuk m erom bak kurikulum
sekolah m enengah, sedikit m engubah kisah yang ada, dan m e lu -

11 Hal kedua yang dianggap sebagai ancam an terbesar oleh responden adalah
“korupsi” (18,42 persen), cum a sedikit lebih dari separuh jawaban yang
menganggap bahwa komunisme sebagai ancaman paling berbahaya (33,65
persen). Menariknya, dilihat dari situasi sekarang, “Islam radikal” m engam bil
tem pat kedua terbawah dalam daftar potensi ancam an, dengan jum lah jawab-
an kurang dari 1 persen.
12 Responden survei ini diundang untuk m em beri lebih dari satu jawaban atas
pertanyaan yang diajukan. Pada puncak daftar jawaban adalah “guru dan buku
teks” (97 persen); “ilm” menempati urutan berikutnya (Tem po 20 0 0 ).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
124 Identitas dan Kenikmatan

nakkan tuduhan liar terhadap kom unis sebagai penjahat. Buku-


buku teks baru kem udian dipersiapkan dengan m enye suaikan
kurikulum baru serta diterbitkan oleh perusahaan swas ta. Na-
m un, pada pertengahan bulan J uni 20 0 5, Ketua DPR Agung
Laksono m em buat pernyataan yang m enjadi awal perde batan
ber ke panjangan dan em osional selam a dua tahun. Ia m em per-
tanya kan buku teks sejarah yang baru yang dalam pan dangannya
telah “m encuci bersih” kejahatan kom unism e. Sesu dah m elalui
se rangkaian penyidikan oleh Kem enterian Pen didikan dan Kebu-
dayaan dan Kejaksaan Agung Republik Indo nesia, pada tanggal
5 Maret 20 0 7 Kejaksaan Agung m engeluarkan larangan terhadap
26 buku teks sejarah yang telah beredar di sekolah dengan dalih
bahwa buku ini m enghilangkan tuduhan resm i kesalahan kom unis
dalam beberapa konlik politik seperti peristiwa Madiun tahun
1948 dan J akarta tahun 1965 (Kustiani 20 0 7).13 Penegak hukum
dikerahkan untuk m enarik kem bali buku yang telah diedarkan
dan m engawasi pem bakaran ribuan eksem plar buku-bu ku itu
(Baskoro 20 0 7; Febiana 20 0 7a; Ham luddin 20 0 7; Sutisna 20 0 7).
Se bagai tam bahan, pem erintah bertekad untuk m em buat buku
teks sejarah yang baru (Febiana 20 0 7). Sekalipun dem ikian, ke-

13 Dalam propaganda baku Orde Baru, Partai Kom unis Indonesia secara tetap
digam barkan sebagai pengkhianat bangsa sejak awal m ula sejarah karena
upaya m ereka yang terus m enerus untuk m enggulingkan pem erintahan yang
sah. Pada tahun-tahun awal Orde Baru, tuduhan itu dikem ukakan dengan
m enye but pengkhianatan kom unis pada tahun 1926, 1948, dan 1965. Pada
setiap m asa tersebut, PKI diserang habis-habisan, sebelum partai ini akhirnya
dim usnahkan untuk selam anya. Menurut propaganda Orde Baru, pem usnahan
terakhir itu belum cukup, karena “kom unism e tidak pernah m ati”, lihat
Heryanto (1999b). Dalam dongeng Orde Baru, yang punya cerita tetap
m em pertahankan kom unism e dalam lingkaran tanpa akhir: dibikin, diburu,
disiksa, dibunuh, dan kem udian hidup kem bali. Setelah beberapa tahun
disebar luaskan kepada publik, kisah pem berontakan tahun 1926 dihilangkan.
Belakangan, juru bicara Orde Baru m enyadari bahwa negara-bangsa Indonesia
belum ada pada m asa itu, m aka subversi kom unis pada tahun 1926 dapat
diartikan sebagai sebuah tindakan kepahlawanan perjuangan nasionalis untuk
kem erdekaan dari penjajahan Belanda, lihat Heryanto (20 0 6a: 141).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 125

ba nyakan buku teks terbaru yang condong kepada Orde Baru


yang kini tersedia di toko buku, com pang-cam ping dan saling ber-
tentangan (Tan 20 0 8).
Reproduksi kam panye anti-kom unis oleh Orde Baru tak ber-
henti di situ. Dengan cara-cara yang am at m engingatkan pada pun-
cak kejayaan Orde Baru dan m asa Perang Dingin global (Heryanto
20 0 6a), serangkaian tindakan dilakukan untuk m enghabisi tan-
da-tanda sekecil apa pun yang dapat dipandang sebagai upaya ke-
bangkitan kem bali kom unism e. Gam bar palu arit dalam sebuah
pam eran seni (Suara Merdeka 20 0 4), sebuah ucapan selam at
da lam buku teks bahasa Inggris (Syahirul 20 0 7) dan di kaos
(Kom pas 20 0 6), sem ua itu m engundang reaksi berlebihan dari
pe jabat keam anan setem pat. Mereka m enyita barang-barang itu
dan m enahan sem entara orang-orang yang dianggap bertanggung
jawab. Satu cara m udah untuk m em aham i sikap anti-kom unis
yang tam paknya sudah kuno ini adalah dengan m engenali betapa
kecil perubahan yang terjadi di dalam kelom pok inti yang m em -
bentuk elite politik tertinggi di Indonesia pasca-Orde Baru:

unsur-unsur dari rezim lam a jelas m asih berkuasa dalam ber ba-
gai aspek kehidupan politik Indonesia pasca-Soeharto. Meskipun
dem ikian, perubahan dalam lingkungan politik m enuntut per-
ubahan perwujudan dan m ekanism e kekuasaan. Tak urung peng-
gunaan lem baga publik dan sum ber daya bagi kepentingan pribadi,
yang m enjadi pola utam a Orde Baru, tetap m erupakan watak paling
m enentukan pada ekonom i politik pasca-Soeharto. Ke lom pok-ke-
lom pok m asyarakat yang tak beradab (uncivil) se per ti kelom pok
para m iliter dan organisasi induk bagi kelom pok preman—kerap
dihubungkan dengan partai politik atau organsasi m assa yang ter-
kait—juga telah menjadi pemain­pemain yang penting.
(Heryanto dan Hadiz 20 0 5: 256)

Karena m eningkatnya gugatan terhadap propaganda Orde Baru


(dan kekhawatiran akan kem ungkinan terjadinya balas-den dam
se bagai konsekuensi hukum keterlibatan m ereka dalam keja hatan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
126 Identitas dan Kenikmatan

Orde Baru), bisa jadi kecem asan telah m elanda elite politik yang
berkepentingan m em pertahankan status quo dan waris an rezim
lama. Dampak propaganda Orde Baru terhadap massa—juga
terhadap elite yang kepentingannya dilayani oleh pro pa ganda
itu—tak bisa dianggap remeh. Saat ini, anti­komunisme masih
hidup dan berkobar di antara LSM (Lem baga Swadaya Masya-
rakat) dan kelom pok-kelom pok sosial term asuk m ilisi dan gang
yang terorganisir, sebagaim ana halnya yang terjadi setengah abad
lalu (lihat Bab 5).
Pada bulan Oktober 20 0 4 sekelom pok orang di Surabaya m e-
m asang spanduk besar m engutuk kekejam an kom unis di dunia
dan m engingatkan penduduk m engenai kejahatan m asa lalu yang
dilakukan kom unis di Indonesia (Rahardjo 20 0 4). Di Bandung
pada tahun 20 0 8, FPI (Front Pem bela Islam ) dan PP (Pem uda
Panca sila) m enyelenggarakan pawai peningkatan kewaspadaan
ter hadap kom unism e. Dalam kedua peristiwa ini, tak terlalu
jelas apa yang m em icu m ereka sehingga m erasa perlu m em buat
pernyataan publik seperti itu. J angankan m em perlihatkan sim -
pati terhadap kom unism e atau korban 1965, hal-hal yang jauh
lebih sepele bisa m em bakar kem arahan kelom pok anti-kom unis
seperti itu. Misalnya, sebuah diskusi ilm iah m engenai Marxism e.
Pada akhir tahun 20 0 6 satu kelom pok yang m enyebut diri
Perm ak (Persatuan Masyarakat Anti Kom unis) m enyerbu satu
toko buku di Bandung yang sedang m enyelenggarakan diskusi
tentang Marxism e. Alih-alih m elindungi pihak yang sedang dise-
rang, polisi setem pat m enahan pem bicara dan penyelenggara
acara dan m endakwa m ereka dengan pelanggaran pidana berupa
penyebaran ide terlarang (Suwarni 20 0 6).14

14 Pada awal 1990 -an, tiga aktivis m uda dihukum penjara antara enam dan dela-
pan setengah tahun karena m enghadiri diskusi seperti ini dan m engedar kan
novel yang dilarang. Mereka dihukum berdasarkan Undang-Undang Anti-
Sub versi, yang hukum an tertingginya adalah hukum an m ati, lihat Heryanto
(2006a: Bab 3 dan 4).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 127

Pada akhir tahun 20 0 9, stasiun radio di Solo m enjadi sasaran


ancam an dan protes kelom pok yang m enam akan diri Korps
Hizbullah Divisi Sunan Bonang, yang datang dengan pakaian
loreng ala m iliter sem entara wajah m ereka ditutup dengan tu-
dung bergaya jihadis. Yang m em icu kem arahan para pem rotes
ini adalah sebuah lagu yang dulu pernah populer dalam bahasa
J awa berjudul “Genjer-Genjer”, yang disiarkan oleh stasiun radio
itu. Menurut propaganda Orde Baru, Gerwani m enyanyikan lagu
ini ketika m ereka m elakukan pesta seks dan m em otongi anggota
tubuh para perwira angkatan darat yang diculik pada 1965. Sejak
itu, lagu ini dilarang. Para pengunjuk rasa di Solo pada tahun
20 0 9 ini m enuntut perm intaan m aaf dari stasiun radio itu karena
“m enyebarkan sem angat kom unism e” dan m anajer stasiun radio
itu tunduk pada permintaan tersebut (Raiq 2009). Pada akhir
tahun 20 0 9, Kejaksaan Agung RI telah m elarang lim a judul buku,
dua di antaranya m enggugat cerita Orde Baru tentang 1965.

PERTARU N GAN TAN PA AKH IR


Sebagaim ana pada m asa Orde Baru, situasi sekarang juga sam a
sekali tidak seragam dan m erata. Pem aksaan narasi resm i dan
m unculnya segudang bentuk kisah-tandingan dapat ditem ukan
baik selam a m aupun sesudah pem erintahan Orde Baru. Pernah
saya uraikan dalam kesem patan lain, situasi di bawah pem erin-
tahan Orde Baru, dengan banyak contoh, guna m enyatakan bah-
wa tak ada pem erintahan otoriter yang bagaim anapun hebat nya
yang m am pu m em aksakan penindasan secara total tanpa adanya
kontradiksi internal, celah-celah kegagalan, dan tanggapan sub-
versif dari penduduk yang tertindas (Heryanto 20 0 6a). Pada
bagian berikut, saya berharap dapat m enyajikan sejum lah kasus
yang lebih m utakhir untuk m em beri gam baran lebih jauh tentang
kerum itan dan kontradiksi kondisi pasca-Orde Baru.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
128 Identitas dan Kenikmatan

Karena Orde Baru m elakukan stigm atisasi terhadap lagu


“Gen jer-Genjer”, m aka baik aparat propaganda Orde Baru m au-
pun m ereka yang anti-Orde Baru m enggunakan lagu ini untuk
keper luan yang bertolak belakang.15 Film propaganda Orde Baru
Pengkhianatan G 30 Septem ber/ PKI m enggunakan lagu itu untuk
m enggam barkan kelom pok kiri sebagai iblis (Heryanto 20 0 6a:
6-9, 11-16) sem entara sim patisan kaum Kiri m enggunakan lagu
itu untuk m enghargainya. Para senim an di Yogyakarta m em ain-
kan dan m enyanyikan lagu itu sebagai bagian dari penam pilan
yang condong pada ideologi Kiri (Fadjri 20 0 4). Lagu itu m uncul
pada ilm Gie (Riza, 20 0 5), ilm dokumenter Putih Abu-abu: Masa
Lalu Perem puan (20 0 6, Prim onik, Kum alawati, Yanuar, dan
Ramadhan) dan ilm dokumenter Amerika, 40 Years of Silence
(20 0 9, Lem elson). Lagu itu dikarang oleh Muham m ad Arief se be-
lum ia bergabung dengan Lekra (Lem baga Kebudayaan Rak yat),
sebuah organisasi yang berkait dengan PKI. Sekalipun ber bagai
kelom pok Kiri pada pertengahan dekade 1960 -an am at m enyukai
lagu itu dan m em bantu m em asyarakatkannya, popu laritasnya
jauh m elam paui lingkaran politik kelom pok kiri. Bebe rapa artis
terkenal yang sam a sekali tak punya kaitan dengan ke lom pok kiri
m enyertakan lagu ini dalam album rekam an m ereka (m isalnya
penyanyi pop Lilies Surjani dan Bing Slam et) atau pada pertun-
jukan wayang (m isalnya dalang terkenal Ki Nartosabdo) (Budi
20 0 9; Parlindungan 20 0 7; Utom o 20 0 5).
Pada bulan Mei 2003, Fakultas Hukum Universitas Indo-
nesia m engusulkan Ketetapan MPR No. Tap MPRS No.XXV/
MPRS/ 1966 untuk dibuang saja ke tem pat sam pah sejarah
(Kom pas 2003). Ketetapan inilah yang melarang Partai Kom unis

15 Kasus “Genjer-genjer” m enjadi contoh bagaim ana pihak yang dom inan m en-
cip takan dan m enentukan sifat perlawanan pem bangkangnya. Soal ini akan
disentuh lagi dalam diskusi ilm Djedjak Darah dan Mass Grave pada bagian
berikutnya.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 129

Indo nesia dan m enyatakan bahwa setiap penyebaran Marxism e-


Ko m unism e dan Leninism e bersifat terlarang di Indonesia,
dengan pengecualian sebagai bagian dari analisis akadem is di
pergu ruan tinggi. Bisa diduga, banyak lem baga pem erintah dan
non-pem e rintah m e nolak dengan keras usulan itu. Fakta bahwa
usulan itu dibawa oleh sebuah lem baga berwibawa telah m em icu
debat serius di kalangan elite negeri ini, m erupakan peristiwa
pen ting tersendiri. Toko-toko buku utam a di Indonesia sem pat
dipenuhi oleh buku-buku kiri pada awal 20 0 0 -an, term asuk
judul-judul yang m asih dilarang, seperti novel karya Pram oedya
Ananta Toer (Kom pas 20 0 0 a, 20 0 0 b). Pada tahun 20 0 5, aktivis-
aktivis m uda bekerja sam a dengan bekas tahanan politik tahun
1965 m erayakan terbitnya terjem ahan Indonesia dari buku Karl
Marx, Das Kapital (Tauiqurrahman 2005).
Pada akhir bulan Februari 20 0 4, Mahkam ah Konstitusi
m em buat putusan bersejarah yaitu m em ulihkan hak-hak korban
1965 dengan m engam andem en undang-undang sebelum nya
(yaitu UU No.3 tahun 1999 dan UU No.12 tahun 2003) yang
m em bolehkan warga negara seperti m ereka untuk m em beri
suara dalam pem ilu nam un tetap m em angkas hak m ereka seba-
gai calon terpilih dalam pem ilu parlem en bulan April 20 0 4
(Saraswati 20 0 4).16 Ada tanda-tanda kem ajuan yang lain, yakni
bekas tahanan politik m eluncurkan upaya hukum pada tahun
20 0 5 untuk m elawan ketidakadilan yang m enim pa m ereka sela-
m a ini, dengan m engajukan gugatan hukum terhadap sem ua
pre siden Indonesia sebelum nya (Soeharto, B.J . Habibie, Abdur-
rahm an Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bam bang
Yudhoyono) (Can 20 0 5). Yang m engejutkan banyak pihak, se-

16 UU yang diam andem en ini tidak cukup untuk m em perbolehkan bekas tahanan
politik tragedi 1965 untuk m enjadi calon presiden. Ketua Mahkam ah Konstitusi
J im ly Asshiddiqie juga m erupakan tokoh kunci dalam usulan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia untuk m em buang Tap MPRS No.XXV/ MPRS/ 1966 itu.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
130 Identitas dan Kenikmatan

sudah serangkaian penelitian adm inistratif, Pengadilan Negeri


m e nyatakan dakwaan m ereka sah, dan m em utuskan proses per-
sidangan dilanjutkan. Sekalipun kem udian pengadilan m em u tus-
kan untuk m enggugurkan dakwaan dan m em bebaskan para ter -
tuduh, putusan akhir ini sem pat m encem askan banyak pihak ber-
kepanjangan, term asuk tam pilnya ancam an kekerasan dari Front
Pem bela Islam (Diani 20 0 5).
Selain beberapa pertarungan yang digam barkan di atas, bebe-
rapa upaya rujuk telah berhasil m enyatukan m ereka yang berada
pada posisi politik yang bertentangan pada tahun 1960 -an. Salah
satu contoh terpenting adalah upaya sebuah lem baga non-pe m e-
rintah bernam a Syarikat, didirikan oleh aktivis Nahdlatul Ulam a,
organisasi Islam terbesar di Indonesia yang juga diduga terlibat
dalam pem bunuhan m assal pada tahun 1965.17 Reform asi hukum
luar biasa yang dilakukan oleh Mahkam ah Konstitusi tahun 20 0 4
(yang dibahas di atas) terjadi atas prakarasa dan usaha kelom pok
yang terdiri dari orang-orang yang berm usuhan pada tahun
1960 -an, kutub kiri m aupun kutub kanan dalam rentang ideologi
(Wijayanta 20 0 4).
Dalam satu upaya rujuk lain, sebuah pertem uan terjadi pada
akhir bulan Agustus 20 0 9 di Pesantren Sabilil Muttaqien di Desa
Takeran, Magetan, J awa Tim ur. Pertem uan ini disponsori oleh
Dahlan Iskan, ketika itu CEO kelom pok usaha m edia J awa Pos
Group, sebelum ia m enjabat sebagai Menteri Negara Pengawas
Badan Usaha Milik Negara (lihat Bab 1). Lokasi pertem uan ini
m erupakan salah satu tem pat terjadinya bentrok berdarah pada
tahun 1948 antara partai kom unis dan partai Islam , Masyum i.
Insiden ini dikenal sebagai Peristiwa Madiun. Sekalipun lim a
orang pim pinan Pesantren Sabilil Muttaqien terbunuh pada
insiden tersebut, pem bicara kunci pada pertem uan tahun 20 0 9

17 Kita akan kembali membahas Syarikat nanti dan ilm yang mereka produksi
tentang tahun-tahun yang berm asalah itu.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 131

itu adalah Soem arsono, ketua sayap m iliter organisasi kom u nis
dahulu (Dhyatm ika dan Wibowo 20 0 9). Pada m inggu berikut-
nya, dengan m em akai kostum jihadis, lebih dari seratus anggota
FPI m engadakan pawai di depan kantor harian Jaw a Pos di
Surabaya. Mereka m em bakar koran-koran Jaw a Pos dan buku
karangan Soem arsono berjudul Revolusi Agustus serta m enuntut
Dahlan Iskan m em inta m aaf secara terbuka. Yang m em buat
m arah para pem rotes itu bukanlah pertem uan di Magelang, m e-
lain kan serangkaian wawancara yang dilakukan oleh Dahlan
dengan Soem arsono. Berbeda dengan kasus pem utaran lagu
“Genjer-Genjer” stasiun radio di Solo yang tunduk pada tuntutan
gerom bolan ini, pihak Jaw a Pos m enolak tuntutan tersebut dan
m engundang m ereka untuk m enulis surat bantahan terbuka
untuk dim uat di Jaw a Pos (Tauiq 2009).
Untuk m eringkas bahasan pada bagian ini, saya tekankan
kem bali pem erintahan Orde Baru (baik pada saat m em erintah
dan sesudah kem atiannya) ditandai dengan berbagai pandangan
dan kisah yang saling bertentangan. Hubungan-hubungan antara
kisah yang bersaing ini tak pernah kaku dan juga tak beku m enuju
satu arah tertentu saja. Melainkan, berbagai pandangan dan
kisah tersebut berubah-ubah dalam m elintasi ruang dan waktu.
Sen tim en anti-Orde Baru am at kuat pada tahun-tahun pertam a
kejatuhan Orde Baru. Periode itu lantas diikuti beberapa tahun
langkah m undur berupa nostalgia terhadap stabilitas ekonom i
dan ketertiban yang m enjadi ciri rezim otoriter Orde Baru, yaitu
ketika dam pak krisis ekonom i tahun 1997 berkepanjangan tanpa
ada satu kekuatan m am pu m engelola negara pasca-Orde Baru
sendirian (Heryanto dan Hadiz 20 0 5). Sejak pertengahan 20 0 0 -
an tam pak terjadi perpecahan pandangan dan suara, dan sedikit
se kali tanda akan m ereda, atau akan terjadinya konsolidasi sebuah
kelom pok entah posisi kelom pok anti-kom unis ataupun anti-Orde
Baru.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
132 Identitas dan Kenikmatan

MED IA BARU , LU KA LAMA


Dengan pertum buhan teknologi m edia baru yang dem ikian cepat
pada pergantian m ilenium (lihat Bab 1), kesulitan untuk m enye-
lesaikan persoalan 1965 m em asuki tahapan baru. Di beberapa
wila yah, Indonesia telah m engalam i perubahan penting sejak
keja tuhan Orde Baru, tetapi perubahan ini tak langsung dan tak
se penuhnya dapat dikaitkan dengan kejatuhan Orde Baru. Per-
kem bangan dan penyebaran teknologi m edia adalah salah satu
contoh perubahan seperti itu. Bahkan, beberapa pengam at (m isal-
nya Garcia 20 0 4; Hill dan Sen 20 0 5; Sen dan Hill 20 0 0 ) berpen -
dapat kebalikan dari pandangan um um ; bahwa media—yang
bertumbuh pesat berkat bantuan Orde Baru—merupakan salah
satu dari banyak kekuatan yang m enyum bang kejatuhan rezim
Orde Baru. Bagian ini akan m eneliti beberapa upaya m e ninjau
kem bali kekerasan tahun 1965 yang dilakukan oleh bebe rapa
pembuat ilm pendek dan dokumenter di Indonesia. Saya akan
m erum uskan beberapa m asalah utam a yang ditem ukan oleh para
pembuat ilm Indonesia dan potensi sumbangan mereka untuk
proyek di m asa m endatang dengan tujuan serupa. Dengan bebe-
rapa kekecualian yang akan dibahas di bawah ini, beberapa ilm
bioskop panjang kom ersial m enghindari topik kontroversial ini.
Di tengah perkem bangan teknologi m edia secara luas, indus-
tri ilm nasional pada awal tahun 2000­an mengalami kebang­
kitan yang m engesankan baik dalam jum lah produksi per tahun
m aupun tingkat keberhasilannya secara kom ersial. Seiring de-
ngan perkembangan industri ilm dan televisi, dan sedikit banyak
sebagai ungkapan kekecewaan terhadapnya, kaum m uda Indo-
nesia menemukan kesibukan baru dalam membuat ilm pendek
dan dokum enter pada tahun 20 0 0 -an. Istilah ‘indie’ (singkatan
“inde penden”) banyak digunakan pada awal 20 0 0 -an untuk m e-
nye but kegem aran baru ini. Nam un, sebagaim ana di tem pat lain,
di sini istilah ini secara cepat kehilangan daya tariknya. Sebagian

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 133

sebabnya, karena beragam nya karya yang digolongkan dalam


kelompok ini, mulai dari ilm yang banyak dipuji seperti Eliana,
Eliana (20 0 2, Riza) hingga karya pelajar sekolah m enengah,
yang jum lahnya bisa m encapai ribuan. Istilah ini juga kehilangan
popu laritas seiring dengan perdebatan panjang tanpa kesim pulan
pada tahun 20 0 0 -an m engenai apa persisnya m akna istilah yang
penuh m uatan ideologis ini. Mereka yang awalnya digolongkan
sebagai pembuat ilm independen kemudian berada di garis
depan industri ilm arus­utama, sementara beberapa lainya ber­
pindah­pindah antara industri arus­utama dan produksi ilm ba­
wah tanah beranggaran rendah. Istilah ‘ilm indie’ tetap dipakai
di Indonesia kini, sekalipun sudah jarang dan dengan berhati-
hati. Sekalipun dem ikian, patut diperhatikan nasihat Katinka van
Heeren, yang m enyatakan bahwa penggunaan istilah ini di Indo-
nesia harus dipaham i dalam konteks historis yang khusus dan
jangan disamakan dengan penggunaan di tempat lain (2012: 53).
Istilah ‘ilm pendek dan dokumenter’ diterima secara luas karena
istilah itu bersifat deskriptif, bersih dari konotasi politik yang
terkandung dalam istilah ‘indie’.
Beberapa hal m enjadi ciri kecenderungan baru pem buatan
ilm pendek dan dokumenter di Indonesia pada awal abad ini: a)
popu laritasnya yang jauh m enjangkau kawasan tengah hingga ba-
rat ke pulauan Indonesia, khususnya di kota-kota besar dan kecil
di Jawa; b) jumlah total ilm yang diproduksi, mencapai ratusan
judul per tahun, m eskipun sebagian besar berkualitas rendah; 18
c) sem entara beberapa nam a terkenal ikut dalam perkem bangan
baru ini, proil demograis pembuat ilm menunjukkan bahwa
sebagian besar dari m ereka adalah pelajar sekolah m enengah

18 Ketika stasiun televisi SCTV m em buka lom ba tahun 20 0 2, lebih dari 1.0 0 0
ilm didaftarkan, sekalipun hanya sekitar 800 yang dianggap layak (van
Heeren 20 12: 58). Pada tahun-tahun berikutnya, jum lah peserta di SCTV dan
beberapa kom petisi lain tetap di angka sekitar 80 0 .

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
134 Identitas dan Kenikmatan

dan m ahasiswa S1 di akhir usia rem aja hingga pertengahan 20 -an


tahun; d) tem a-tem a yang paling banyak ditem ukan adalah gam -
baran kehidupan sehari-hari lingkungan terdekat para pem buat
ilm; dan e) nyaris tidak adanya dukungan yang bersinambungan
dari lem baga atau jaringan organisasi guna distribusi yang efektif,
menyebabkan lumpuhnya konsolidasi di antara para pembuat ilm
ini dan aktivitas m ereka, serta m enghalangi pertum buhan m ereka
secara keseluruhan.
Menurut para pengam at, gejala baru ini didukung oleh m u rah-
nya perangkat digital untuk membuat ilm dan penyuntingan. Saya
ingin m enam bahkan satu faktor lain. Hidup dalam lingkungan
yang berkiblat pada kom unikasi lisan, orang Indonesia lebih m u-
dah m enerim a pesona dari gam bar bergerak dan lebih tanggap
secara kreatif terhadap apa yang ditawarkan oleh kam era video,
ketim bang kata-kata tertulis atau program kom puter pengolah
kata. Sudah kerap dikatakan bahwa kom puter m em buat orang bia-
sa m enjadi penulis-sekaligus-penerbit atau “prosum er” (pro dusen
dan konsum en). Ini lebih kerap ada benarnya dalam m asyarakat
yang lebih bergantung pada tulisan ketim bang m asyarakat ber ki-
blat kom unikasi lisan. Dalam m asyarakat berkiblat kom unikasi
lisan, seperti Indonesia, m asuknya telepon, televisi, dan kam era
video dan pengenalannya m enim bulkan kegairahan m asya -
rakat yang lebih besar—seiring perannya dalam melahirkan ba­
nyaknya pembuat ilm otodidak—ketimbang komputer dalam
m em produksi penulis-sekaligus-penerbit. Banyak orang dalam
m asyarakat yang berkiblat kuat pada kom unikasi cetak m ungkin
kewalahan dengan cepatnya penggantian perangkat digital lam a
dengan yang baru di pasaran. Di Indonesia, hal ini terjadi baik
untuk perangkat digital m aupun buku. Banyak toko buku besar
di Indonesia hanya m em ajang buku yang baru terbit hanya
beberapa bulan saja. Kenyataannya tentu saja lebih beragam dan
dinam is untuk setiap m asyarakat tertentu, dan perbedaan antara

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 135

m ereka jauh lebih kom pleks ketim bang apa yang saya gam barkan
secara kasar di sini. Meskipun dem ikian, yang jelas ilm u sejarah
(historiograi) tidak pernah menjadi tradisi terkuat atau harapan
yang paling diunggulkan di Indonesia. Hal ini m enjadi lebih
parah ketika kita berurusan dengan sejarah pem bantaian m assal
1965-66, yang telah m eninggalkan luka segar dalam kehidupan
publik bangsa ini. Sebagaim ana akan segera dibahas di bagian
berikut, debat yang lebih tenang dan kritis tentang sejarah khusus
peristiwa ini tetap m ustahil untuk saat ini dan m ungkin sam pai
jauh di m asa m endatang.
Meskipun terjadi perkem bangan m edia baru di Indonesia
dan m eluasnya ruang untuk kebebasan berekspresi, hanya sege-
lintir ilm pasca­1998 yang meninjau ulang tragedi 1965. Hal ini
seharusnya tak m engherankan m engingat generasi yang lebih
m uda tak m em iliki alasan untuk tertarik secara khusus pada
tem a yang berat dan m enyedihkan itu. Dari sekitar seribu lebih
ilm pendek dan dokumenter per tahun, hanya sekitar selusin
judul yang secara khusus m eninjau ulang periode sejarah yang
penuh kontroversi ini. Bab berikut akan berfokus pada dua ilm
yang dibuat pada masa pasca­Orde Baru karya pembuat ilm
alternatif dengan tem a kekerasan 1965 atau peristiwa-peristiwa
yang m enyertainya. Bab ini tak akan m eneliti beberapa karya
krea tif lain yang tak relevan dengan perhatian utam a kita di sini.
Tak termasuk dalam pembahasan di sini adalah ilm­ilm yang
m enam pilkan peristiwa 1965 sekadar di latar belakang, seperti
The Years of Living Dangerously (1983, Weir) dan Gie (20 0 5,
Riza), yang pernah saya bahas di tem pat lain (Heryanto 20 0 8a).
Saya juga tak akan membahas ilm­ilm dokumenter asing yang
m em bahas m engenai gejolak politik 1965 dan peristiwa-peristiwa
yang m engikutinya, sem isal The Shadow Play (20 0 1, Hilton),
Ter lena: Breaking of a Nation (20 0 4, Vltchek), 40 Years of
Silence: An Indonesian Tragedy (20 0 9, Lem elson), dan The

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
136 Identitas dan Kenikmatan

W om en and The Generals (20 0 9, Wechselm ann). Saya akan


membuat pengecualian dan menyediakan alasannya: ilm bioskop
ko m er sial Sang Penari (20 11, Isfansyah) dan ilm dokumenter
yang diproduksi secara internasional, The Act of Killing (20 12,
Oppenheim er) (lihat bab berikutnya).19
Hampir semua ilm mengenai peristiwa 1965 yang dibahas
buku ini diproduksi oleh orang-orang yang berpengalam an dan
berkem am puan teknis serta kom itm en politik di atas rata-rata.
Nam un sayangnya, baik secara sendiri m aupun secara keselu-
ruhan, ilm­ilm ini hanya memiliki dampak terbatas pada publik;
dan jelas am at terbatas untuk bisa m engguncang propaganda
Orde Baru tentang 1965.20 Sedikitnya jumlah ilm­ilm ini dan
dam paknya yang terbatas dapat dengan m udah dipaham i bila
dilihat dari betapa besar dan berlapisnya kesulitan yang dihadapi
oleh siapa pun yang membuat ilm dengan tema yang peka ini.
Selain kekangan politik, setiap ilm yang bertema kekerasan 1965
harus berbenturan dengan serangkaian dilem a yang m uncul

19 Diskusi kita ini m ungkin m irip, berkait, atau bertum pang tindih dengan,
analisa terhadap ilm yang membahas isu­isu kekerasan politik di negara lain
atau di Indonesia dari periode yang berbeda, atau juga analisis dari banyak
karya kreatif lain yang m em bahas 1965-66 dalam m edium berbeda (seni visual,
tarian, teater, atau karya sastra) dan jenis-jenis karya audio visual (seni video
dan anim asi). Hal-hal terakhir ini terlalu luas dan rum it untuk dim asukkan ke
dalam buku ini.
20 Saya m engakui penilaian ini terbuka untuk diperdebatkan. Dalam percakapan
ketika sedang melakukan penelitian lapangan, beberapa pembuat ilm ini,
juga para pendukungnya, secara terpisah m enyatakan rasa puas m ereka
m engenai penerim aan terhadap karya-karya m ereka. Tam paknya, terdapat
perbedaan besar m engenai dam pak yang diharapkan. Mereka berharap sedikit
sekali dibandingkan saya. Juga ada kemungkinan bahwa ilm­ilm ini secara
perlahan akan m em punyai dam pak lebih besar dalam jangka panjang, dan
apa yang kita saksikan sekarang hanyalah perm ulaan yang lam bat dan kecil
saja. Saya m endasarkan penilaian saya ini pada inform asi yang tersedia selagi
saya m elakukan penelitian, yang m enunjuk pada m erajalelanya propaganda
anti-kom unis Orde Baru, sebagaim ana digam barkan dalam bagian berikutnya,
dan akan dibahas lebih jauh sebagai kasus yang lebih spesiik dalam bagian
kesim pulan bab ini.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 137

dari kerum itan pokok persoalannya sendiri dan ketidaksiapan


penonton Indonesia m enghadapinya. Bagian berikut ini akan m e-
nyodorkan hasil survei secara umum mengenai ilm­ilm tersebut
satu per satu, yang m enggam barkan kesulitan-kesulitan ter se but.
Untuk menganalisa ilm­ilm dengan fokus 1965 ini, dan melihat
nilai pentingnya secara politik, ada dua faktor yang perlu diper-
tim bangkan. Per tam a, dilem a yang harus dihadapi oleh para pem -
buat ilm, berupa serangkaian pilihan narasi dan keterbatasan
m asing-m asing pilihan ketika m engolah topik yang peka ini da-
lam situasi Indo ne sia m asa kini. Kedua, saya m engusulkan tiga
kategori yang m en jadi latar belakang dan posisi para pem buat
ilm, terkait dengan isu yang sedang dibicarakan dan pengaruhnya
terhadap kekuatan dan kelem ahan pencapaian m ereka.
Cerita apa pun—dalam ilm dan medium lain—mengenai isu
se rum it kekerasan 1965 yang ditujukan bagi khalayak pada tahun
20 0 0 -an akan m enghadapi persoalan m endasar berupa m enen-
tukan fokus pada bagian peristiwa tertentu yang sesungguhnya
rum it, untuk m engunggulkan perspektif tertentu yang m em iliki
bobot politik penting, dengan risiko m enyisihkan bagian peristiwa
yang lain. Secara singkat, sang pencerita akan berhadapan dengan
sedikitnya satu dari tiga dilem a berikut ini. Pertam a, dilem a di
satu sisi berupa kebutuhan untuk m enyediakan konteks sejarah
yang m em adai dan m eyakinkan di balik peristiwa 1965 (soal ini
sudah kontroversial) sem entara di sisi lain ada kebutuhan untuk
m enyajikan pesan utam a yang dapat diterim a dengan nyam an
dan m enarik diikuti oleh penonton m asa kini. Hal ini m erupakan
sebuah beban berat bagi para pembuat ilm mengingat mayoritas
penonton Indonesia m em iliki pengetahuan atau m inat yang rendah
pada persoalan ini, sementara sebagian lainnya menonton ilm
bertem a ini dengan serangkaian praduga berlebihan dan harapan
yang tak realistis. Kedua, para pembuat ilm menghadapi dilema
berupa tarik-m enarik kebutuhan yang saling bertolak belakang,

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
138 Identitas dan Kenikmatan

yakni kebutuhan untuk m em bahas apa yang sesungguhnya terjadi


dalam lingkaran politik elite di J akarta pada bulan Septem ber–
Oktober 1965―yang menjadi latar bagi serangkaian aksi yang
terjadi pada bulan­bulan sesudahnya―dan kebutuhan untuk
m enggam barkan pem bunuhan brutal di berbagai daerah yang
sangat jauh dari ibu kota, serta m elibatkan rakyat jelata yang tak
tahu m enahu dan tak berm inat terhadap pertarungan politik para
elite untuk m em perebutkan kekuasaan di sekitar istana. Dilem a
yang tak terhindarkan yang ketiga―dan yang mungkin secara
logistik dan naratif paling sulit ditangani oleh para pem buat
ilm ketimbang para kreator di bidang lain―berkaitan dengan
ketegangan untuk m em perlihatkan konteks dan struktur global
yang ‘abstrak’ (yaitu Perang Dingin) yang m em bentuk kondisi
bagi rangkaian peristiwa pada tahun 1965, dan pengalam an hidup
yang ‘konkret’ bagi individu yang dikisahkan dalam lingkungan
sosial m ereka serta hubungan sosial setem pat dan sesaat itu.
Setiap unsur ini sam a pentingnya pada setiap cerita tentang
kekerasan 1965 dan berbagai peristiwa lanjutannya. Sekalipun
begitu, tak ada cerita―dengan jangkauan, kerangka, dan fokus
yang terbatas―yang dapat mencakup seluruh elemen itu dalam
kadar yang setara. Bahkan dalam keadaan yang paling ideal
dan bebas sekalipun, para kreator yang m enceritakan soal ini
(termasuk pembuat ilm) tidak bisa tidak harus memilih untuk
fokus pada aspek tertentu saja, dan bungkam tentang beberapa
yang lain, atau m em biarkan sebagian persoalan lain dari peristiwa
itu tersisih ke pinggiran, atau m undur jadi latar belakang, dan
dengan risiko tidak m em uaskan para penonton.
Yang juga penting, latar belakang pembuat ilm menandai
karya m ereka dengan gaya m ereka sendiri. Ini dapat dibagi m en-
jadi tiga kategori. Kategori pertam a terdiri dari m ereka yang
m em perkenalkan diri sendiri, atau dikenal oleh pihak lain sebagai
bekas tahanan politik Orde Baru beserta lingkaran terdekat m e-

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 139

reka. Kelom pok kedua adalah aktivis dari berbagai organisasi


non-pem erintah, khususnya yang m em iliki m inat terhadap isu-
isu hak asasi m anusia. Kelom pok ketiga terdiri dari orang-orang
yang bersemangat menjadi pembuat ilm, dan minat mereka pada
pembuatan ilm lebih besar ketimbang pada isu­isu sosial dan
politik.

TAN TAN GAN D AN CAPAIAN 2 1


Lembaga Kreatiitas Kemanusiaan (LKK) merupakan pembuat
ilm tipe pertama dari tiga kategori di atas. Di bawah pimpinan
pe nyair dan novelis Putu Oka Sukanta, lem baga ini m erupakan
produser tunggal terbesar ilm dokumenter yang berfokus pada
akibat-akibat kekerasan politik 1965. Sebagaim ana Putu, m ere-
ka yang berada di balik lem baga ini adalah bekas tahanan poli-
tik (atau anggota keluarga m ereka) yang dipenjara karena keang-
gotaan aktif m ereka di Lekra, lembaga kesenian yang berailiasi
pada PKI.22 Dalam percakapan pribadi dengan saya pada tahun
20 10 , Putu m enyebutkan banyak orang m enyam akan LKK
sebagai Lekra baru. Pada saat penulisan buku ini, ada enam ilm
dokum enter yang sudah diproduksi oleh lem baga ini m engenai
korban peristiwa 1965. Film ini adalah (berdasar tahun produksi)
Meny em ai Terang Dalam Kelam (20 0 6, Wiranegara), Perem puan
Yang Tertuduh (2007, Munaidah), Tum buh Dalam Badai (20 0 7,
Wiranegara), Seni Ditating Jam an (20 0 8, Wiranegara), Tjidurian
19 (20 0 9, Azis dan Susatyo) dan Plantungan (20 11, Sukanta dan

21 Sebagian data dan argum en di bagian ini pernah m uncul dalam tulisan lam a
saya dengan versi yang berbeda, Heryanto (20 12b).
22 Sekalipun LKK dapat dianggap sebagai organisasi non-pem erintah, m ereka
bersifat khusus. Kebanyakan anggota organisasi non-pem erintah dapat ber-
ga bung dan keluar setiap saat, tergantung pada prosedur adm inistrasi, ke-
tika m enjadi anggota m ereka secara prinsip m em iliki status yang setara.
Kekhususan LKK, para pendiri dan pem im pin lem baga ini bersum ber dari
status m ereka yang secara tidak suka rela m enjadi tahanan politik akibat
kejahatan serius yang dilakukan oleh Orde Baru.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
140 Identitas dan Kenikmatan

Saleh). Dua ilm pertama melihat isu­isu politik yang lebih luas
daripada peristiwa 1965 dan akibatnya. Film­ilm berikutnya se­
ca ra perlahan m enyem pitkan fokus pada pengalam an senim an
Lekra dan rekan terdekat m ereka, sebelum kem bali kepada topik
korban perem puan pada Plantungan. Pem bahasan yang lebih
da lam m engenai Tjidurian 19 akan disam paikan dalam bab beri-
kutnya.
LKK m em ainkan peran sebagai pelopor dalam m em berikan
ruang bersuara kepada m ereka yang m enderita sebagai tahanan
politik 1965. Salah satu ciri konsisten ilm­ilm mereka adalah
kadar yang besar pada gam bar orang berbicara, kebanyakan dari
m ereka adalah bekas tahanan politik 1965 dan anggota keluarga
m ereka, ditam bah beberapa ahli sejarah yang am at bersim pati
terhadap perjuangan para korban ini. Satu perkecualian adalah
Seni Ditating Jam an yang m em uat wawancara dengan penyair
Leon Agusta, yang posisi politiknya bertentangan dengan Lekra.
Dengan menonton ilm ini, menjadi jelas bagi kita bahwa cara
penyajian bukan hal yang diutam akan, terutam a pada karya-karya
awal m ereka. Tam paknya keterbatasan anggaran m erupakan pe-
nye bab utam a kelem ahan ini. Ketika aspek teknis dan estetis
makin meningkat pesat di ilm­ilm mereka yang belakangan,
muatan politiknya amat menurun. Tak dapat dibantah, ilm­ilm
ini layak dihargai dengan pertim bangan khusus karena nilai yang
m e nem pel pada pengakuan otentik korban dan saksi m ata peris-
tiwa 1965. Nam un kem am puan m ereka sangat terbatas untuk
bisa m enarik hati penonton um um di Indonesia zam an sekarang
karena pokok soal yang berat dan penyam paian yang m elelahkan.
Kebanyakan tokoh yang direkam adalah orang-orang yang tam pak
renta di usia m ereka yang sekitar 60 -an, atau bahkan lebih tua
lagi. Mereka bicara dalam Bahasa Indonesia yang datar m engenai
pengalam an m ereka yang nyata dan pribadi, nam un topiknya

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 141

asing bagi kebanyakan orang Indonesia. Terlebih lagi, para pem -


bawa cerita ini tam pak kurang terlatih dalam bidang teknik ber -
bicara kepada um um yang m em ungkinkan m ereka m am pu m em -
bahas persoalan ini secara m em ikat dengan orang-orang di luar
lingkaran terdekat m ereka.
Pembuat ilm kategori kedua yang berfokus pada peristiwa
1965 dan akibat-akibatnya, m erupakan organisasi non-pem erintah
dengan kom itm en khusus pada isu-isu hak asasi m anusia. Pada
saat penulisan buku ini, saya berhasil menyaksikan lima ilm
m ereka. Yang paling awal dari jenis ini adalah Bunga-tem bok
(2003, Wiludiharto), diproduksi oleh Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, Elsam , yang berbasis di J akarta. Film ini tentang
pelanggaran hak asasi m anusia yang dilakukan oleh Orde Baru
dari tahun 1965 hingga 1998, dan tidak secara khusus m em bahas
pem bunuhan m assal 1965. Film ini berisi banyak wawancara
dengan korban dan keluarga m ereka, serta beberapa adegan
yang m em perlihatkan aktivis politik yang sibuk m endirikan per -
kum pulan keluarga korban kekerasan politik Orde Baru, de ngan
tujuan m encari keadilan bagi para korban. ELSAM juga m en -
jadi sponsor (bersam a dengan Pakorba, Solo) untuk sebuah ilm
dokum enter lain, Jem batan Bacem (2013, Wiludiharto) yang
m e nam pilkan korban dan orang-orang yang dipaksa untuk m em -
bantu pem bunuhan m assal pada 1965 di Solo, J awa Tengah.
Satu ilm dokumenter lagi Kaw an Tiba Senja: Bali Seputar 1965
(20 0 4, Wim ba) m erupakan produksi kerja sam a antara Lem baga
Pene litian Korban Peristiwa 65-Bali dan J epun Klopak Enam .
Sebagaimana dinyatakan oleh judulnya, ilm ini berfokus pada
pengakuan korban 1965 dari Pulau Bali, di m ana sebagian besar
pem bunuhan terjadi; diselingi oleh wawancara dengan para ahli.
Yang membedakan ilm ini dari yang disebut sebelumnya adalah
besarnya jatah yang diberikan untuk pem bahasan yang analitis,
dengan m enam pilkan banyak wawancara dengan para akadem isi.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
142 Identitas dan Kenikmatan

Yang sangat m enarik, ada dua ilm dokumenter yang khusus


dipersem bahkan bagi perem puan yang m enjadi korban kekerasan
1965. Yang pertam a adalah Kado Untuk Ibu (20 0 4, Setiadi)
dan yang kedua Putih Abu-Abu: Masa Lalu Perem puan (20 0 6,
Prim onik, Kum alawati, Yanuar, dan Ram adhan). Sebagaim ana
karya yang dibahas sebelumnya, sebagian besar narasi kedua ilm
ini menampilkan adegan orang yang berbicara―perempuan yang
dipenjara di penjara Plantungan, Kendal, J awa Tengah, karena
m enikah dengan anggota PKI atau status m ereka sebagai anggota
Gerwani. Penjara yang sam a dan para tahanan politik di sana
juga menjadi fokus ilm dokumenter yang lebih baru berjudul
Plantungan, juga diproduksi oleh LKK (lihat pem bahasan sebe-
lumnya). Para perempuan yang tampil dalam ilm ini dan ilm
dokum enter serupa adalah para perem puan yang gagah berani.
Mereka tam pil dengan kem am puan retorika yang baik dan ber-
sem angat ketika m enceritakan kisah m ereka, term asuk ketika
m engalam i hinaan seksual dari para interogator yang berasal
dari kalangan m iliter. Nam un di luar kualitas orang-orang yang
tampil di ilm ini dengan cerita mereka yang menarik, sulit untuk
membayangkan ilm sejenis ini mampu memikat kesan orang
selain aktivis hak asasi m anusia atau orang-orang dekat yang
m enjadi korban kam panye anti-kom unis Orde Baru.
Putih Abu-Abu: Masa Lalu Perem puan lebih m enarik, baik
secara m uatan m aupun nilai sinem atiknya. Film ini m erupakan
kumpulan dari enam ilm dokumenter pendek, semuanya
diproduksi oleh pelajar sekolah (usia 15-17 tahun) dari Bandung
dan Yogyakarta, sebagai hasil dari keikutsertaan m ereka dalam
lokakarya pembuatan ilm yang diselenggarakan oleh Syarikat
Indonesia dan Kom isi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Pe rem -
puan pada bulan Agustus 2006. Dalam beberapa ilm, teman­
tem an sekelas dan guru m ereka diwawancarai m engenai pan -
dangan dan pem aham an m ereka terhadap sejarah 1965. Se bagai-
m ana sudah saya katakan sebelum nya, pada pertengahan 20 0 0 -

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 143

an, sejum lah besar anak m uda Indonesia m enem ukan kege m aran
pembuatan ilm secara murah dengan perangkat sederhana.
Lokakarya pembuatan ilm untuk pelajar sekolah sering diadakan.
Putih Abu-Abu: Masa Lalu Perem puan dapat dicatat m em elopori
perkecualian langka terhadap pem aham an um um soal kurangnya
m inat anak m uda terhadap topik kekerasan 1965. Nam a ko-
produser dari dua ilm di situ adalah Syarikat yang merupakan
singkatan dari Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat.23 Orga-
nisasi yang berkedudukan di Yogyakarta ini didirikan oleh para
aktivis Nahdlatul Ulam a, yang dapat dianggap terlibat dalam
pem bunuhan terhadap kom unis pada 1965-66.24 Organisasi ini
m e wakili prakarsa pertam a dan istim ewa di antara um at Islam
yang bertanggung jawab terhadap pem bunuhan 1965-66 untuk
m em bangun rujuk nasional dengan korban dan anggota keluarga
m ereka. Bergerak m elawan arus utam a, Syarikat tetap m erupakan
prakarsa terbesar dan paling radikal serta terlem baga, dalam
upaya yang terus-m enerus tertunda.25
Syarikat juga memproduksi satu ilm iksi pendek Sinengker:
Sesuatu Yang Dirahasiakan (20 0 7, Aprisiyanto), yang secara

23 Patut dicatat bahwa kata serikat di Indonesia kini berkonotasi serikat buruh,
dengan kecenderungan politik Kiri, yang dulu dinistakan oleh Orde Baru dan
dinyatakan terlarang. Alih-alih m engadopsi ejaan sekarang ‘serikat’, organisasi
yang berbasis di Yogyakarta ini m enyebut diri ‘syarikat’, ejaan lam a kata ini,
yang m engingatkan kita pada Syarikat Islam dan Syarikat Dagang Islam , dua
organisasi m odern paling awal dan lintas-etnis di m asa kolonial Belanda.
24 Edisi khusus m ajalah Tem po (1-7 Oktober 20 12) m enurunkan serangkai
laporan panjang dan wawancara dengan beberapa pelaku pem bunuhan terha-
dap tersangka kom unis pada 1965-66, dan m ereka berada di bawah payung
orga nisasi Islam ini. Ham pir sem uanya bicara terbuka tentang perbuatan
m ereka tanpa tanda-tanda penyesalan.
25 Dalam wawancara dengan Chloe Olliver, Im am Aziz (koordinator program
Syarikat) m enjelaskan aktivitas utam a dan tujuan organisasi ini: “Syarikat
telah m elakukan penyelidikan terhadap pem bunuhan m assal dan berbagai
pelanggaran hak asasi m anusia lain pada 1966 guna m em ulai proses rekonsiliasi.
Proses ini terutam a m elibatkan NU, m engingat bahwa kaum m uda NU yang
m elakukan kekerasan tersebut” (Olliver 20 0 4). Untuk penjelasan konteks
yang lebih luas m engenai hal ini, lihat Fealy dan McGregor (20 10 ).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
144 Identitas dan Kenikmatan

kritis m em bahas ketidakadilan terhadap korban 1965, dengan gaya


yang puitis. Sekalipun terdapat berbagai m asalah dengan logika
cerita di paruh kedua ilm itu, presentasi visualnya merupakan
sebuah perubahan yang segar dari kebiasaan wawancara yang
monoton dalam ilm­ilm dokumenter sebelumnya. Pembuat ilm
ini m em perlihatkan kom itm en dan tingkat keteram pilan yang
cukup dalam aspek estetis fotograi. Persoalan ini mengantar kita
beralih pada pokok berikutnya mengenai ilm­ilm bertema 1965
dari para pembuat ilm yang lebih berdedikasi. Namun, sebelum
kita m engarah ke sana, sepatutnya kita m engam bil jeda sejenak
dan m enengok kem bali pem bahasan sebelum nya tentang tiga
dilem a dalam bercerita tentang peristiwa 1965.
Secara umum, ilm­ilm LKK berfokus pada konteks historis
dengan m engabaikan sejum lah m asalah lain yang m ungkin m em -
beri daya tarik lebih bagi penonton yang lebih m uda seka rang
ini. Sekalipun konteks global yang m endorong kondisi terjadinya
peristiwa 1965 digambarkan dalam ilm­ilm mereka, umumnya
fokus ilm­ilm ini adalah pada kekerasan yang terjadi di Jawa dan
Bali dan penderitaan mereka secara individual ―dengan sedikit
sekali pengungkapan m engenai apa yang terjadi di antara elite
politik pada tahun 1965. Dapat dim aklum i, satu benang m erah
yang menghubungkan ilm­ilm LKK adalah kisah penderitaan
para korban, dihadirkan m elalui suara otentik para korban itu
sendiri. Tak perlu diragukan, ilm­ilm mereka menarik bagi para
ahli dan orang-orang yang m elakukan penyelidikan sejarah keke-
rasan ketim bang m asyarakat luas, khususnya m ereka yang berusia
20 -an tahun atau rem aja. Film bertem a 1965 yang diproduksi
orga nisasi non-pem erintah hanya berbeda sedikit dari yang di-
pro duksi LKK; kesam aan m ereka berlim pah dengan sem angat
advo kasi dan penam pilan korban sebagai narasum ber yang
banyak bicara, baik di set ilm maupun digambarkan close up,
dengan kisah kesaksian yang sam a. Nam un, dengan perkecualian

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 145

ilm yang diproduksi oleh Syarikat, banyak ilm organisasi non­


pem erintah yang tak m em iliki suara-suara otentik, kurang latar
belakang inform asi sejarah dan konteks lebih luas sebagaim ana
disajikan dalam ilm­ilm LKK; serta tampak dibuat dengan kom­
petensi teknis pembuatan ilm tingkat dasar. Dalam hal tiga dile­
ma tadi, ilm­ilm buatan organisasi non­pemerintah hanya sedi­
kit lebih baik ketimbang ilm­ilm LKK dalam kemampuannya
m enarik perhatian penonton m uda. Sekalipun dem ikian, LKK le-
bih rajin dan berhasil dalam mempromosikan ilm mereka untuk
m enjangkau penonton lebih luas, ketim bang organisasi non-pe-
merintah, mungkin karena advokasi melalui ilm merupakan salah
satu kegiatan saja (m ungkin pinggiran) dalam daftar panjang
pekerjaan yang ada pada program kerja m ereka. Tak seperti karya
LKK, karya dari organisasi non-pem erintah ini (lagi, dengan
kekecualian buatan Syarikat) tak banyak diketahui dan ham pir tak
pernah disebut dalam liputan m edia atau dalam percakapan yang
saya lakukan dengan banyak aktivis organisasi non-pem erintah
yang bekerja di bidang tersebut ketika saya m elakukan penelitian
lapangan untuk buku ini.
Kategori ketiga dan terakhir dari pembuat ilm yang berfokus
pada pem bunuhan m assal 1965 adalah m ereka yang m inat uta-
manya adalah pada ilm sebagai sebuah bentuk seni. Tiga judul
yang berhasil saya dapatkan untuk analisa di sini m em punyai
panjang durasi, genre, dan gaya berbeda-beda. Yang sam a di antara
ketiganya―bertolak belakang dengan ilm­ilm yang saya bahas
sebelumnya―adalah perhatian serius terhadap teknik pembuatan
ilm, dibandingkan dengan aspek lain dari hasil akhirnya maupun
sum ber daya yang digunakan untuk m enghasilkan karya tersebut.
Dalam menghadapi tiga dilema di atas, ilm­ilm kategori terakhir
ini m em beri perhatian m aksim um untuk m engom unikasikan
secara efektif dan artistik kepada penonton um um nya, ter m a-
suk bagi m ereka yang tak m em iliki perhatian khusus ter ha dap

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
146 Identitas dan Kenikmatan

peristiwa 1965. Kualitas ini kadang dicapai dengan m engor bankan


infor m asi yang m enjadi latar belakang peristiwa, yang kerap
m enjadi prasyarat bagi penghayatan sepenuhnya terha dap pen-
tingn ya cerita ini bagi sejarah Indonesia. Dengan berfokus kepada
dam pak dan akibat tragedi nasional itu, serta m em bingkai cerita
sebagai drama kemanusiaan tentang warga negara biasa, ilm­
ilm artistik ini memperlihatkan bahwa mereka kurang berminat
terhadap perebutan kekuasaan di kalangan elite di J akarta, atau
juga terhadap konteks internasional pem bantaian tersebut.
Puisi Tak Terkuburkan (1999, Nugroho) merupakan ilm
pasca-Orde Baru pertam a yang m eninjau ulang peristiwa seputar
1965. Di Indonesia Garin Nugroho m enjadi sutradara dengan
popularitas dan otoritas tiada tandingannya di bidang pem buatan
ilm. Tak mengherankan apabila ilm ini menjadi ilm paling
terkenal dalam genre ini pada dekade pertam a abad kedua -
puluh.26 Film ini berfokus pada ingatan lisan Ibrahim Kadir, pe-
nyanyi didong, sebuah seni pantun Aceh. Ia dipenjara pada ta-
hun 1965 akibat salah-tangkap. Ibrahim , yang m em erankan diri-
nya sendiri di ilm itu, menyajikan pengakuan sebagai saksi bagi
situasinya sendiri di dalam sebuah sel penjara, dan sebagai par-
tisipan yang dipaksa untuk ikut m em persiapkan eksekusi rekan-
nya sesama tahanan. Secara sinematograis, tak bisa dipung­
kiri Puisi Tak Terkuburkan merupakan salah satu ilm terbaik
Indonesia m engenai peristiwa 1965. Ketegangan dram a dan
kesedihan terasa mencekam di sebagian besar ilm yang dire­
kam secara hitam putih, dan sebagian besar gam bar terbatas
pada dua sel penjara yang berdam pingan. Nam un, situasi para
tahan an ini terlihat tak teralu seram jika dibandingkan dengan
laporan m engenai korban serupa di J awa dan Bali, baik dalam

26 Untuk contoh analisa yang penuh pujian mengenai ilm ini, lihat Rutherford
(20 0 6).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 147

ilm maupun pada kenyataannya. Pandangan ini sama sekali tidak


dimaksudkan sebagai kekurangan ilm, atau kesalahan akurasi
historisnya. Film tak pernah dim aksudkan sebagai representasi
historis dari kenyataan, sekalipun acuan terhadap fakta sejarah
yang nyata tampil dalam adegan pembuka dan penutup ilm ini.
Rutherford berpendapat, “Nugroho m enekankan pilihannya
untuk m enghindari pendekatan historis dan bekerja dengan
catatan­catatan emosional dari ‘tradisi lisan’” (2006: 3).
Dua hal terlihat m enonjol dari Puisi Tak Terkuburkan bagi
orang-orang yang m engenal baik situasi di J awa dan Bali se ba-
gaimana digambarkan dalam karya para ahli maupun dari ilm
dokum enter lain. Pertam a, Ibrahim Kadir dilepaskan dari tahanan
22 hari sesudah para petugas m em astikan ia tak bersalah. Baik
kasus salah-tangkap m aupun penahanan secara sengaja orang-
orang yang tak m enjadi sasaran langsung selam a perburuan tahun
1965 m erupakan hal yang lazim di J awa. Sepanjang pengetahuan
saya, kebanyakan orang-orang tak bersalah di J awa tak dilepaskan
dan m ereka ditahan dulu selam a bertahun-tahun di pem buangan
diiringi penyiksaan dan penahanan tanpa prosedur pengadilan.
Yang kedua, yang aneh dalam Puisi Tak Terkuburkan adalah hanya
seorang penjaga penjara yang bertugas untuk sedem ikian banyak
tahanan politik, dan orang ini berwatak sangat lem ah. Menjelang
pengujung ilm, sang penjaga penjara ini terlihat tak berdaya
ketika seorang tahanan perem puan dengan berani m enentang
kekerasan yang disponsori oleh negara dan, lebih khusus lagi,
m engkritik bagaim ana eksekusi dilakukan di penjara tersebut.
Adegan seperti ini unik (baik dalam ilm maupun medium lain)
pada periode tersebut dan di daerah lain di Indonesia, sepanjang
yang pernah saya pelajari.
Sebaliknya, penggam baran kekerasan yang sangat m engerikan
dari aparat keam anan terhadap warga negara biasa m enjadi fo kus
dari Djedjak Darah: Surat Teruntuk Adinda (20 0 4, Aprisiyanto).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
148 Identitas dan Kenikmatan

Markus Aprisiyanto dan awak pembuat ilm ini tergabung da­


lam sebuah kelompok jaringan pembuat ilm yang berasal dari
Yogya karta, bernam a Déjà Vu Production. Pada tahun 2004 ilm
ini m e m enangkan dua penghargaan: Saraswati Award pada Bali
Inter national Film Festival dan Piala Citra yang bergengsi pada
Fes tival Film Indonesia. Dibandingkan dengan Kado Untuk Ibu
yang diproduksi Syarikat, Barbara Hartley menggambarkan ilm
ini sebagai berikut:

Karya yang lebih am bisius, dengan m enyelipkan fragm en-fragm en


musik dan puisi yang didendangkan, efek ilmis seperti kilas balik
dan teks Bahasa Inggris, dalam menggambarkan pengalaman ik­
sional pem ain ketoprak m uda yang diciduk dari rum ah nya karena
dicurigai sebagai seorang sim patisan Kom unis, yang ditarik secara
brutal untuk sebuah ‘interogasi’
(20 0 6: 6).

Pesan penting dari adegan penutup tak lepas dari analisis Hatley:

Kekerasan yang dipakai penangkapnya, dengan m enggunakan gerak


lam ban jejak darah sangat m engerikan yang ditinggalkan, m e nam -
pilkan kem baran dengan adegan yang m enggam barkan pen cu-
likan para jenderal oleh Komunis pada ilm Pengkhianatan G 30
Septem ber.
(20 0 6: 6).

Dalam adegan terakhir, pembuat ilm ini menghadirkan gam­


bar khas m ereka kepada penonton dalam bentuk close up darah
sang tokoh utam a di lantai dan jejak darah sepatu bot m iliter
(yang menjadi judul ilm). Dalam kajian mendalam mengenai
ilm independen dan alternatif di Indonesia, Katinka van Heeren
telah mengekspresikan keluhannya tentang ilm alternatif pasca­
Orde Baru yang m ereproduksi struktur sinem atis dan aspek vi-
sual serupa dengan ilm propaganda Orde Baru tetapi dengan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 149

m em balik peran pahlawan/ penjahat (van Heeren 20 12: 10 9-15).


Pe nelitiannya yang m endalam patut dikagum i, tapi m enurut he-
m at saya penilaiannya layak diperdebatkan.27 Saya setuju dengan
pandangan Hatley, justru dengan meniru kerangka ilm propa­
ganda Orde Baru tapi kem udian m enjungkir-baliknya m eru -
pakan siasat radikal m elawan dan m erongrong propagan da ter -
se but. Dalam kasus adegan penutup Djedjak Darah: Surat Ter-
untuk Adinda, dengan meniru adegan sama dengan adegan ilm
Pengkhianatan G 30 Septem ber (m enggam barkan darah di lantai
di m ana keenam jenderal ditem bak di rum ah m ereka) dan m em u-
tar balik pesannya, pembuat ilm pada masa pasca­Orde Baru ini
secara langsung “m elem parkan balik konstruksi ideologis m edia
Orde Baru” (Hatley 20 0 6: 7).
Kisah korban tak berdosa dari gejolak politik 1965-66 juga di-
kedepankan oleh ilm Sang Penari (2011, Isfansyah), sebuah ilm
bioskop kom ersial yang belum lam a diedarkan ketika bab buku
ini sedang ditulis. Film itu dibuat berdasarkan trilogi novel karya
Ahm ad Tohari berjudul Ronggeng Dukuh Paruk (2003). Adegan
pembuka ilm itu menggambarkan tahanan yang berdesakan di
ruang yang gelap―sebuah isyarat yang akan kembali di bagian
belakang ilm itu. Di novelnya, adegan seperti itu tidak muncul
hingga jauh di bagian belakang. Sebetulnya saya m enyebut Sang
Penari dengan sedikit rasa ragu. Karena dibuat untuk keperluan
komersial dan didistribusikan secara luas, ilm ini sebenarnya
tidak term asuk dalam pem bahasan di sini. Sejarah 1965-66 tidak
menjadi sajian utama ilm ini. Seperti Gie (20 0 5, Riza), sejarah
dalam Sang Penari berfungsi sebagai latar belakang cerita utam a

27 Salah satu dari dua ilm yang ia teliti sebagai dasar membangun argumen
adalah Mass Grave, ilm yang segera akan saya bahas berikut ini. Bertentangan
dengan penilaiannya yang kritis terhadap ilm itu, bagi saya ilm dokumenter
tersebut merupakan salah satu yang terbaik dari semua ilm yang saya bahas
di bab ini.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
150 Identitas dan Kenikmatan

belaka. Cerita utam a Sang Penari berpusat pada kisah rom antis
antara sepasang laki-laki dan perem puan yang dibuat dengan
gaya Hollywood, dan tak jauh berbeda dengan The Year of Living
Dangerously (1983, Weir). Yang membedakan―dan membuatnya
istimewa―Sang Penari dibandingkan dengan kedua ilm lain itu
ada dua hal. Pertam a, tokoh utam a dalam Sang Penari secara
langsung terkena dam pak gejolak politik 1965-66 (ketim bang
hanya sebagai seorang pengam at, sebagaim ana pada Gie dan The
Year of Living Dangerously ). Yang kedua, ilm itu amat bersimpati
pada korban pem bunuhan m assal 1965­66. Dalam hal ini, ilm
ini merupakan ilm komersial domestik pertama yang sejauh ini
m em iliki posisi paling kritis terhadap ideologi resm i.28 Srintil,
tokoh utam a dalam Sang Penari, m erupakan seorang tahanan
politik pada awal 1966. Rasus, tokoh utam a laki-laki yang juga
ke kasih Srintil, seorang prajurit TNI berpangkat rendah dengan
tugas utam a m em bantu perburuan terhadap kom unis.
Sayangnya, Sang Penari tidak m engam bil langkah berikutnya
yaitu m enggugat atau keluar dari kerangka ideologi Orde Baru,
yang telah dibangun oleh “narasi induk” yang ada dalam Peng-
khianatan G 30 Septem ber. Dengan beberapa perkecualian (ter-
utam a yang ditulis oleh para penyintas kam panye anti-kom u nis
1965), tokoh­tokoh beraliran Kiri di dunia iksi Indonesia dengan
latar belakang pem bunuhan m assal 1965-66 selalu tam pil sebagai

28 Sang Penari m em enangkan em pat penghargaan dalam Festival Film Indo -


nesia 20 11, term asuk untuk kategori Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Pe m e-
ran Utam a Wanita Terbaik, dan Pem eran Pem bantu Wanita Terbaik. Hikm at
Darm awan yang m enjadi kom ite seleksi untuk tahun itu m engakui bahwa salah
satu pertimbangan para anggota komite untuk menjagokan ilm itu adalah
“usahanya untuk m em balik sejarah resm i kelahiran Orde Baru” (Darm awan
2012b). Dalam esai terpisah, ketika membahas ilm­ilm yang diproduksi tahun
2012, kritikus ilm Eric Sasono (20 12) m enyam but baik keputusan berani para
pembuat ilm ini untuk secara langsung menunjukkan keterlibatan TNI dalam
pem bunuhan m assal tahun 1965, sekalipun seorang prajurit TNI ditam pilkan
sebagai tokoh utam a yang penuh pesona.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 151

penjahat, tokoh yang cerdas tetapi keji yang berniat m enyesatkan


m asyarakat, atau tokoh tak berdosa tetapi bodoh dan m udah
m enjadi korban em puk propaganda kom unis, atau orang yang
bernasib sial karena terkait dengan kom unism e gara-gara garis
keturunan atau hubungan pernikahan. Dengan dem ikian sem ua
kisah iksi itu menyampaikan satu pesan yang seragam bagi
penonton: jika m ereka terbunuh dalam peristiwa 1965, yah itu
salah m ereka sendiri. Sang Penari tidak berbeda dari praktik
um um seperti ini.
Film terakhir dari kategori ketiga yang ingin saya sebutkan
adalah ilm karya Lexy Ram badeta, Mass Grave (20 0 2). Menurut
saya ilm dokumenter ini paling istimewa di antara ilm­ilm
non-kom er sial yang telah dibahas di sini, secara teknis m aupun
kekuatan pesan politiknya. Diproduksi pada tahun 20 0 0 -1 dan
diedarkan pada 2002, ilm ini merupakan ilm dokumenter per­
tam a yang berfokus pada topik yang sensitif ini. Selain anggar an-
nya yang am at rendah,29 karya ini m erupakan satu dari beberapa
ilm yang mencapai standar tertinggi di antara ribuan ilm pendek
dan dokumenter pasca­Orde Baru. Yang membedakan ilm ini
dengan ilm dokumenter lain yang telah dibahas dalam bab ini
adalah pada isinya, yaitu rekam an langsung dari dua peristiwa
yang secara langsung berhubungan dengan topik ini, ketim bang
rekonstruksi narasi berdasarkan ingatan narasum ber yang
diwawancara. Peristiwa pertam a yang direkam adalah pengga-
lian kuburan m assal korban 1965. Peristiwa kedua adalah reak-
si komunal penduduk setempat—termasuk serangan isik dan
ancaman pembunuhan lanjutan―karena niat keluarga korban un­
tuk m enguburkan kem bali kerangka para korban. Dengan bahan-
bahan ini dan keterampilannya dalam membuat ilm, Lexy juga

29 Menurut Lexy, ia menghabiskan empat juta rupiah untuk ilm itu, dari kan­
tongnya sendiri.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
152 Identitas dan Kenikmatan

m em asukkan potongan-potongan arsip yang telah ia pilih dengan


hati-hati, dari berbagai sum ber dari dalam dan luar negeri. Se ba-
gai pengganti penjelasan narasum ber, potongan-potongan gam -
bar ini m uncul di layar sebagai kesaksian dan penjelasan yang
bertutur sepanjang ilm. Hasilnya adalah pesan yang kuat dibantu
oleh m ateri yang kaya suara, gam bar, dan gerak.
Mass Grave karya Lexy juga lebih baik daripada karya-karya
semasanya karena dua alasan tambahan. Pertama, ilm ini men­
capai keseim bangan dalam hal tiga dilem a yang telah diuraikan di
atas, yakni ketegangan antara a) inform asi latar belakang terkait
konfrontasi politik m asa lalu dan m asa kini yang bisa m enyapa
penonton m asa kini, b) pertarungan politik elite untuk m eraih ke-
kuasaan di J akarta dan pem bunuhan m assal di berbagai daerah,
c) inform asi tentang konteks global (Perang Dingin) dan ingatan
orang­orang yang menjadi korban peristiwa 1965. Kedua, ilm
dokum enter ini unik karena m em asukkan sejum lah besar gam bar-
gam bar asli kekuatan anti-kom unis dan suara m ereka (term asuk
adegan seorang pelaku m em bawa golok sam bil m engancam calon
korbannya). Berbeda dari perwira m iliter yang m eraup m anfaat
dari kekerasan 1965 dan seluruh dam pak ikutannya, di sini m ilisi
lokal dapat dipandang sebagai sesam a korban dalam tragedi
nasional, sebagaim ana halnya orang-orang yang m ereka serang
dan anggota keluarganya. Gam bar yang sangat m enantang seperti
itu tak muncul dalam ilm dokumenter yang dibuat pada tahun­
tahun itu, yang kebanyakan berupa m onolog yang diulang-ulang.
Masalah tersebut akan kita bahas dalam bab berikutnya.

BEBAN SEJARAH
Secara keseluruhan, ilm yang dibahas di atas mencerminkan
ha srat kuat di Indonesia pada m asa pasca-Orde Baru untuk m e-
ninjau kem bali sejarah 1965 yang m em ilukan, dan m enjelajahi
kisah alternatif terhadap propaganda resm i Orde Baru yang m asih

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 153

bertahan. Senim an Indonesia telah m enghasilkan beragam karya


bertem a dem ikian, baik sebelum m aupun sesudah kejatuhan Orde
Baru.30 Beberapa karya ini m em akai sejarah 1965 yang penuh lu-
m uran darah sebagai latar belakang, sem entara lainnya hanya
m em buat acuan selintas m engenai pem bunuhan yang terjadi.
Film pendek dan dokum enter m erupakan kecenderungan baru
dalam tahun-tahun awal abad ini.
Banyak pembuat ilm masih harus menghadapi beragam ma­
salah terkait sum ber daya, m anajem en, jaringan, dan distribusi.
Sebagaimana dinyatakan oleh sebagian pembuat ilm, membuat
ilm itu mudah, tetapi menayangkannya di hadapan penonton
massal, lain lagi perkaranya. Di luar popularitas pembuatan ilm
pendek dan dokum enter di Indonesia, dan di luar keresahan
dan perselisihan antar­kubu dalam industri ilm, tak ada tanda­
tanda bahwa rum ah produksi besar m enam pakkan m inat dan
kemampuan untuk memproduksi ilm panjang bioskop yang me­
lunasi utang persoalan yang sudah lam a m enuntut untuk dibong-
kar secara terbuka agar bangsa ini bisa berdam ai dengan peristiwa
1965 dengan berbagai pelik-pelik historis dan m oral.
Kasus terhentinya produksi ilm Lastri m enjadi sebuah con -
toh yang gam blang, betapa pekerjaan sem acam itu tidak m u-
dah. Film itu rencananya akan disutradarai oleh Eros Djarot,
yang sebelumnya menyutradarai ilm Tjoet Nja’ Dhien (1986)
dan mendapat banyak pujian dari kritikus. Ketika awak ilm
akan m e m ulai proses pengam bilan gam bar di Desa Colom adu,
Karang Anyar, J awa Tengah pada bulan Novem ber 20 0 8, FPI
dan Hizbullah Bulan Bintang memprotes, menuduh ilm itu
akan “m enye barkan Kom unism e”. Sekalipun m enurut laporan

30 Sekalipun karya-karya ini patut m endapat perhatian besar dan analisis yang
lebih serius, hal itu berada di luar lingkup buku ini. Untuk analisis awal dari
beberapa karya ini lihat Bodden (20 10 ) untuk teater, Foulcher (1990 a) untuk
karya sastra, dan Turner (20 0 7) untuk seni rupa.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
154 Identitas dan Kenikmatan

tak ada kekerasan yang terjadi, Khoirul Rus Suparjo, Ketua FPI
cabang setem pat m enyatakan bahwa pem batalan syuting harus
segera dilakukan. Sem inggu kem udian, m akin banyak kelom pok
bergabung dalam protes. Menurut sang sutradara, ilmnya meru­
pakan sebuah kisah cinta m elodram a sepasang kekasih dengan
latar belakang situasi 1965 yang penuh gejolak. Kantor polisi
setempat sudah mengeluarkan surat izin untuk produksi ilm
tersebut, dan pihak pabrik gula Colom adu yang m enjadi lokasi
syuting juga sudah m em beri izin penggunaan tem pat m ereka.
Syuting awalnya direncanakan untuk dilakukan di kota tetangga,
Klaten, tapi dibatalkan lantaran adanya ancam an serupa. Aliansi
J urnalis Independen (AJ I) dan sejum lah pim pinan harian m edia
m assa m engutuk peristiwa itu. Pawai tandingan dilakukan untuk
m endukung pem buatan Lastri, tetapi para pembuat ilm itu sudah
m em utuskan untuk tak m elanjutkan produksi.
Seperti banyak bangsa lain, Indonesia m em iliki m asa lalu yang
berm asalah dan penuh kekerasan dahsyat sehingga m ayoritas
pen duduknya m enderita berkepanjangan dalam kehidupan se-
hari­hari. Di beberapa negara, medium ilm telah muncul sebagai
ruang belajar untuk berdam ai dengan m asa lalu m ereka secara
bersam a-sam a. Indonesia hanyalah satu dari beberapa negara
yang paling tidak siap akan hal itu, sekalipun bangsa ini m em iliki
sejarah sinem a yang kaya dan panjang (lihat Bab 6). Sebagaim ana
diperlihatkan dari uraian tentang ilm dengan tema 1965­66 di
atas, bangsa Indonesia m asih tak m am pu m enyelesaikan, m eng-
abaikan, atau m elupakan persoalan-persoalan beragam yang
berinduk pada kekerasan dalam sejarah tersebut. Penyangkalan
dan pe nin dasan terhadap m asalah itu telah m enjadi strategi baku
bagi kebanyakan lem baga m aupun individu di Indonesia. Sikap
se perti ini m enjelaskan, setidaknya sebagian sebabnya, m engapa
ada kecenderungan um um untuk m em andang islam isasi di Indo-
nesia dengan cara ahistoris―sebagaimana diperlihatkan oleh

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan 155

bagian awal bab ini―tapi juga kegagalan untuk mengenali dan


m e ngendalikan warisan kekerasan m asa lalu dan im punitas yang
terus berlangsung dalam kepolitikan kita hingga hari ini. Tak
m engherankan kita m enyaksikan orang-orang Indonesia pada
um um nya terus m enerus kebingungan, terkaget-kaget, dan loyo
ketika menghadapi lingkaran konlik komunal yang menyebabkan
korban jiwa selam a lebih dari setengah abad terakhir.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bab 5

Kemustahilan Sejarah?

KAIDAH MORALIS sering m endorong para peneliti m eyakini,


baik secara naif m aupun sengaja, bahwa kebenaran dan keadilan
pada akhirnya akan berpihak kepada para korban pelanggaran hak
asasi m anusia. Karenanya m ereka yang optim istis berbondong-
bondong ikut serta, seberapa pun kecilnya, dalam perjuangan
m en capai tujuan ini, cepat ataupun lam bat. Masalahnya, keba-
nyakan kita tak m em iliki kem am puan, keberanian, ataupun ke-
inginan untuk m em pertim bangkan kem ungkinan yang kurang
ideal, yang kerap dipandang sebagai sikap m engalah, atau lebih
buruk lagi, berpihak pada ketidakadilan. Bahkan selintas tinjauan
kepustakaan kajian tentang Indonesia di m asa Orde Baru m em -
perlihatkan anggapan um um bahwa penindasan oleh negara
dengan sendirinya m enim bulkan kepatuhan penuh atau per-
lawanan―termasuk perlawanan diam­diam di kalangan masya­
rakat um um . Sebaliknya, berakhirnya penindasan sem acam ini
dianggap akan m em bebaskan suara-suara dan perasaan yang

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
158 Identitas dan Kenikmatan

sebelum nya tertekan. Pandangan optim istis seperti ini kuat te-
rasa dalam wacana seputar “transisi m enuju dem okrasi” di selu-
ruh dunia pada dekade 1960 -an, yang m asih saja dianut hingga
sekarang. Bertalian dengan bab ini, sem angat seperti ini tam pak
implisit dalam judul sebuah ilm dokumenter yang meninjau trauma
em pat orang korban kekerasan 1965, yaitu 40 Years of Silence:
An Indonesian Tragedy (20 0 9, Lem elson). Padahal, bahkan pada
puncak pem erintahan otoriter Orde Baru, kita dapat m enem ukan
suara-suara lantang di dalam m asyarakat yang m enentang, serta
adanya kesenjangan pandangan, inkonsistensi, dan pertentangan
di kalangan aparat negara dalam soal ini (Heryanto, 20 0 6a).
Sebagaim ana telah dibahas pada bab sebelum nya, serta telah
disusun teorinya oleh ahli lain,1 tak ada korelasi langsung antara
tum buhnya ungkapan atau tuntutan yang tegas terhadap keadilan
dan perkem bangan dem okrasi form al atau m eluasnya kebebasan
berbicara.
Sekalipun judulnya bisa disalahartikan sebagai m enyarankan
optim ism e serupa, Mary Zurbuchen m enulis dalam Beginning to
Rem em ber: The Past in The Indonesian Present (Mulai Meng-
ingat: Masa Lalu di Indonesia Kini) m em persoalkan harapan
optim istis sem acam itu sehubungan dengan kekerasan politik
1965. Dalam bab pengantar, ia m em perlihatkan dengan am at baik
beta pa sulit, rum it, dan besarnya risiko m engenang m asa lalu di
m asa kini (Zurbuchen 20 0 5).2 Bukan hanya waktu yang m enjadi
inti soalnya (seperti lazim nya pandangan bahwa penyem buhan

1 Raym ond William s m encatat, “andaikan ide, asum si, dan kebiasaan sosial,
politik, dan budaya kita sem ata m erupakan hasil m anipulasi pihak tertentu…
m aka m asyarakat akan jauh lebih m udah digiring dan diubah ketim bang yang
senyatanya terjadi dalam praktik selama ini” (1980: 37). Lihat juga komentar
Cohen dan Rogers (1991: 17) tentang kom binasi paradoks sikap tunduk
berlebihan m edia di Am erika Serikat dan m inim nya kendali negara terhadap
m edia-m edia di negara itu.
2 Untuk pem bahasan lebih jauh m engenai hal ini, lihat Kaplan dan Wang
(20 0 8b).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kemustahilan Sejarah? 159

itu butuh waktu, dan dengan berlalunya waktu sem uanya m enjadi
lebih m udah atau lebih baik) sebagaim ana direnungkan oleh
Zurbuchen (2005: 13­4). Sebagaimana dicatatnya dalam bab yang
sam a, siapa pun “yang selam at dari pengalam an traum atis m ung-
kin tak m am pu atau tak ingin m em bicarakan pengalam an itu”
(Zurbuchen 20 0 5: 7), bahkan dalam lingkungan kebebasan libe-
ralism e yang ideal. Kita dapat juga m enam bahkan m ungkin sekali
korban pelanggaran hak asasi m anusia dan keluarga m ereka lebih
suka m em ilih untuk tidak m em peroleh bantuan dari pihak lain
yang ingin m enyuarakan kenangan dan penderitaan m ereka, atau
juga perwakilan yang m enjadi juru bicara tentang kesengsaraan
m ereka. Beberapa korban 1965 m em ilih untuk diam selam a 40
tahun, sem entara bagi beberapa lainnya, 4 tahun diam saja sudah
cukup. Yang lain lagi m em ilih untuk diam selam a hidup m ereka.
Masalahnya m asih dibuat tam bah rum it oleh keterbatasan bahasa
dan ingatan untuk m engungkapkan pengalam an m ereka. Mengutip
Edith Wyschogord, Zurbuchen m enim bang “kem ustahilan untuk
m em ulihkan atau m ewakili m asa lalu sepenuhnya” dan bertanya
“[a]pa saja tanggung jawab m ereka yang m eneliti atau m engajukan
pertanyaan tentang m asa lalu, seperti pem bunuhan m assal, jika
kita tak pernah bisa yakin bisa m engetahui apa yang benar-benar
terjadi di m asa lam pau?” (20 0 5: 6).
Sejarah itu mustahil―apabila yang dimaksud dengan “sejarah”
adalah pem aham an sepenuhnya atas peristiwa-peristiwa “sebe-
narnya terjadi apa adanya”. Mengutip Walter Benjam in, Sarah
Lincoln m encatat bahwa “m engungkapkan sejarah m asa lalu ti-
dak berarti m engenalinya ‘sebagaim ana hal itu sungguh-sung-
guh terjadi’. Hal itu berarti m enangkap erat-erat sebuah ingatan”.
Pada akhirnya m engungkapkan sejarah m enyiratkan kegiatan
“m em bangun sebuah kisah rekaan tentang sebuah sejarah yang
utuh dari penggalan-penggalan kisah yang sebelum nya berse-
rak an tercerai-berai” (20 0 8: 40 ). Adrian Vickers juga m eyakini

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
160 Identitas dan Kenikmatan

kem ustahilan sejarah, dengan acuan khusus terhadap perdebatan


publik tentang sejarah 1965 dan beberapa topik terkait lain di
Indonesia m utakhir (20 0 9).3 Alasannya, m enurut Adrian, orang
Indonesia tak bersedia atau tak m am pu untuk “bertukar pan-
dangan yang berbeda” di m ana m asing-m asing pihak dalam
per debatan “sungguh-sungguh saling m endengarkan” dengan
tenang dan terbuka. Apa yang ia am ati di Indonesia adalah prak-
tik um um perdebatan, di m ana “pernyataan tidak dibuat untuk
m eya kinkan pihak lain m elalui logika dan bukti, m elainkan untuk
m e negaskan ‘kebenaran’ m utlak yang sudah diketahui. Upaya
m em bujuk dilakukan dari m enyusun pernyataan, dari ben tuk nya
ketim bang dari rincian m engenai isinya” (20 0 9: 7). Hal itu m em -
buat Vickers m em pertanyakan kegunaan karya-karya para ahli
m engenai “sejarah” dan “ingatan” yang m enganalisa ka sus-kasus
di Indonesia. Kesangsian Vickers ini m erupakan titik tolak yang
baik sekali untuk penelitian lebih lanjut, dan dapat diolah dengan
lebih m endalam di luar kajian buku ini. Nam un, saya berbeda
pandangan dengan Vickers ketika ia m elanjutkan pendapatnya
bahwa ketidakm am puan atau ketidakm auan untuk m elakukan
perdebatan rasional m erupakan dam pak “kekuatan m em bujuk”
“retorika Orde Baru yang m asih am puh” (20 0 9: 9). Saya akan
m engajukan dua pendapat lain dalam soal ini.
Pertam a, sebagaim ana saya bahas dalam buku saya yang lain
(Heryanto 20 0 6a), kebanyakan saka guru bagi awetnya kedik-
tatoran adalah kekerasan isik dan penghancuran dalam lingkup
besar-besaran, berbarengan dengan ancam an yang berke pan-
jangan akan kem ungkinan berulangnya kekerasan itu. Dalam
kasus Indonesia, yang m enjadi dasar kekuasaan itu adalah pem -
bu nuhan m assal pada 1965-66 digabungkan dengan beberapa
dekade selanjutnya berupa kekerasan yang disponsori negara,

3 Saya berterima kasih kepada Adrian yang bersedia berbagi makalahnya dan
m engizin kan saya untuk m engutip karyanya yang belum diterbitkan.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kemustahilan Sejarah? 161

kam panye teror-negara yang berjalan m elalui kekebalan hukum ,


dan ancam an berkepanjangan tentang kem ungkinan bangkitnya
kem bali kom unism e. Faktor-faktor ini m em bentuk kondisi bagi
pelaksanaan kekuasaan negara yang besar sejak tahun 1966, dalam
berbagai bentuk, term asuk dalam retorika. Terlepas dari seberapa
pun hebatnya retorika Orde Baru (sebagaim ana disam paikan oleh
Vickers), keam puhannya tak bergantung sem ata kepada kem ahir-
an para pejabat dan lem baga Orde Baru yang telah m engem bang-
kan dan m enggunakannya. Retorika tidak pernah terjadi di ruang
yang terbebas dari sejarah atau sem ata di dalam dunia sim bol
yang bebas terbang ke m ana-m ana. Sebagaim ana disam paikan
oleh Bourdieu dan Passeron, “setiap kekuasaan yang berhasil m e-
m ak sakan m akna, dan berhasil m em aksakan sebagai hal yang sah,
dengan m enyem bunyikan hubungan kekuasaan yang m enjadi
dasar kekuatannya, dengan sendirinya akan m enam bahkan bobot
kekuatan sim bolik bagi hubungan kekuasaan yang m endasar itu”
(1977: 4). Tidak berarti kekerasan 1965 m erupakan penyebab
tunggal dari segala yang terjadi sesudahnya. Pada gilirannya, ke-
ke rasan 1965 dapat dipandang sebagai sebuah dam pak sesuatu
yang lebih besar dan lebih tua ketim bang Perang Dingin, dan
sesuatu yang bersifat lokal dan khusus dalam sejarah m asyarakat
ini. Yang kita persoalkan di sini adalah pentingnya rasa takut yang
m endalam , dan m enyebar berlarut-larut serta luka sosial yang
m asih basah, telah m enjadi landasan terbentuknya kehidupan
bersam a, sehingga pem bicaraan tentang 1965-66 m enjadi m us-
tahil, tak dim inati, penuh risiko bahkan untuk dibahas pada
tingkat in te lek tual, dengan cara yang tenang “m elalui logika dan
bukti”, dengan tujuan m ulia untuk m em aham i sepotong ke be-
naran dari m asa lalu. Bahasa m utlak-m utlakan “kita atau m e reka”
dan logika fatalis yang hitam -putih “m em bunuh atau dibunuh”
terus bertahan dan m em iliki dam pak yang diam -diam m irip de-
ngan situasi perang.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
162 Identitas dan Kenikmatan

Yang kedua, tam paknya Vickers m em berikan penilaian yang


berlebihan atas kehebatan Orde Baru. Saya berpendapat rezim
Orde Baru ikut term akan “logika m utlak-m utlakan” sebagaim ana
para penentangnya yang m enggunakan logika dan retorika serupa
untuk m enyerang rezim ini. Logika ini sudah ada sebelum m asa
Orde Baru, dan tak hanya m ilik Indonesia. Kebanyakan, bahkan
m ungkin seluruh, m asyarakat di dunia pada periode tertentu
enggan atau tak m am pu “bertukar antar-posisi” di m ana tiap
pihak bisa “sungguh-sungguh m endengar satu sam a lain” dengan
tenang seputar bagian dari sejarah m ereka. Di Indonesia, logika ini
m enye babkan m araknya politik identitas dengan sem acam ikatan
kodrati terhadap identitas tersebut (Heryanto 2006a: 24­32)
yang m e m ecah belah bangsa tanpa cam pur tangan aparat negara.
Satuan sosial yang m enjadi tem pat hinggap ikatan kodrati itu bisa
berbeda dalam berbagai tem pat dan waktu: perasaan kebangsaan
di satu saat, agam a dan Tuhan di lain kesem patan, atau kesukuan,
bahkan kecintaan terhadap klub olahraga pada kesem patan lain.
Sem entara banyak aspek lain dari tersebarnya ikatan kodrati ini
m asih m enjadi m isteri bagi saya, situasi ini m enjadi tam bah rum it
dalam kehidupan yang berkiblat pada kom unikasi lisan, yang
berbeda dengan tingkat m elek huruf. “Ini adalah sebuah dunia di
m ana aksara, ram bu, atau lam bang dianggap tidak terpisah dari
realitas dunia yang diwakilinya” (Heryanto 2006a: 32).
Pendidikan di Indonesia, khususnya sejak Orde Baru berkuasa,
nyaris tak berbuat apa-apa untuk m enetralkan, m engurangi,
atau m em batasi kecenderungan m enggunakan ‘logika m utlak-
m utlakan’ dan ‘ikatan kodrati’ di kalangan kaum m uda Indonesia.
Malahan sekolah telah m em perparahnya. Teknologi digital hanya
sedikit m engubah keadaan tersebut, dan hanya m em ukau jutaan
kaum m uda Indonesia. Sayangnya, sebagaim ana diperlihatkan
dalam bab sebelum nya, perkem bangan teknologi tidak banyak
m em bantu untuk m em persiapkan m ereka atau generasi yang le -

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kemustahilan Sejarah? 163

bih tua untuk berurusan dengan sejarah 1965 yang sangat berm a-
salah itu. Sebagai sebuah fenom ena global, perangkat digital yang
m urah dan m udah tidak sem ata-m ata m em bantu orang m uda
untuk m elakukan apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang tua
m ereka dengan lebih cepat, akurat, m aupun m udah. Yang terjadi,
m edia baru telah m em beri orang m uda identitas baru, untuk
m elakukan hal-hal baru di sebuah dunia yang baru. Teknologi
telah m enyediakan kenikm atan untuk m engakses dengan kece-
pat an, lingkup, dan kem udahan sarana di m ana m ereka bisa
m e nyunting, berkom entar, dan berbagi pengalam an kehidupan
sehari-hari secara global di m ana saja dan kapan saja. Ini adalah
dunia Facebook dan Twitter, di m ana racauan sehari-hari, keluhan
dan kegiatan m em asuki balai cerm in berlapis-lapis dengan skala
global secara seketika.
Maka m uncullah paradoks, ketika jejaring orang m uda di Indo -
nesia berkem bang secara global dengan satu pencet tom bol di jari
tangan, wawasan sehari-hari m ereka m engerut hingga seukuran
lam an Facebook atau m enjadi sesem pit layar telepon genggam .
Secara teknis, telepon genggam pintar dan Facebook m em iliki ke-
m am puan untuk m enyim pan, m enyunting, m engubah, dan m e-
nyiarkan gagasan yang panjang dan m endalam , yang bisa dibuat
dengan teliti setelah m elalui beberapa rancangan dan perbaikan.
Nam un teknologi telepon pintar tidak dirancang untuk keperluan
itu. Bukan sebuah kebetulan cara bekerja teknologi dalam
kehidupan sehari-hari m enum buhkan perilaku kecanduan pada
penggunanya, yang m enim bulkan kegandrungan buta pada yang
sebaliknya, yaitu pertukaran pesan yang terus m enerus tapi serba
singkat, terpatah-patah, dan tergesa untuk kepingan kesadaran
yang sesaat. Ciri ini m irip dengan m asyarakat yang berkiblat
pada kom unikasi lisan. J ika pengam atan kasar ini m em berikan
petunjuk bagi fenom ena sosial dan psikologis yang lebih luas, tak
m engherankan jika kajian sejarah yang rinci tak pernah m em iliki

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
164 Identitas dan Kenikmatan

kedudukan istim ewa dalam m asyarakat Indonesia. Pengam atan


ini dibuktikan lebih jauh oleh bentuk dan tem a yang dom inan yang
muncul dalam kebanyakan ilm dokumenter Indonesia mutakhir
yang didiskusikan dalam bab di depan.
Dua bagian berikut dalam bab ini akan m enam pilkan dua upa-
ya yang m engagum kan untuk m enghadirkan dam pak peristiwa
1965 ke layar lebar. Bagian ini didasarkan pada pengam atan saya
terhadap pemutaran publik ilm dokumenter berjudul Tjidurian
19 (20 0 9, Aziz dan Susatyo), yang disutradarai bersam a oleh
dua orang m uda yang lahir dan dibesarkan di bawah Orde Baru.
Bagian berikutnya disusun dari pengalam an m enonton dan
berbincang dengan sutradara ilm dokumenter berjudul The Act
of Killing (20 12), yang saya tonton secara pribadi dengan para
pem buatnya sebelum pem utaran untuk um um . Film dokum enter
ini m enam pilkan pengakuan yang m engerikan dan tak m asuk akal
dari para pem bunuh orang-orang yang diduga sebagai kom unis di
Sumatra Utara pada tahun 1965. Dengan cara berbeda, kedua ilm
m em bantu kita m engungkapkan gagasan m engenai kem ustahilan
atau nyaris m ustahilnya “sejarah” 1965. Keduanya m em perkaya
wawasan kisah yang m em bantu pem bentukan pem aham an inte-
lektual dan em osional kita terhadap dam pak peristiwa 1965. Kedua
ilm dokumenter ini menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai
upa ya di Indonesia untuk berdam ai dengan m asa lalu yang penuh
ke ke rasan, yang tak bisa begitu saja diabaikan, diselesaikan, atau
dilupakan.

SEJARAH D AN D EFISIT POLITIK


Ketika Orde Baru tum bang dan aparatnya yang represif m elem ah,
layak jika banyak yang berharap inilah saat bertum buhnya kisah
tandingan. Mem ang, untuk sejenak, ada perasaan teram at lega
dalam diskusi publik m engenai topik-topik yang peka. Nam un
kegairahan itu lenyap dalam waktu singkat, tidak sem ata karena

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kemustahilan Sejarah? 165

hantu Orde Baru kem bali ke takhta. Bukan sensor dan teror oleh
negara yang m enghalangi m unculnya narasi-tandingan tentang
kekerasan 1965, m elainkan berbagai peristiwa sosial berlapis-
lapis yang m em buat peristiwa 1965 m enjadi kurang relevan,
atau setidaknya tidak m enjadi persoalan bagi m ereka yang
m endom inasi ruang publik. Perkem bangan seperti ini tidak dapat
diram alkan pada m asa pem erintahan Orde Baru.
Seiring berlalunya waktu dan wafatnya para korban 1965,
se m akin sulit bagi m ereka yang m asih hidup, keturunan, dan
para sim patisan m ereka untuk m em pertahankan tenaga dan ke-
m am puan yang diperlukan untuk m ewakili para korban 1965-66
dengan cara yang bisa secara nasional m enarik perhatian, dan
tetap m em elihara m inat m asyarakat pada topik itu dalam jangka
panjang. Dalam konteks lebih luas, Indonesia dalam beberapa de-
kade pertam a m ilenium ini bukan Indonesia lam a m inus rezim
otoriter Orde Baru. Sem akin banyak orang m uda yang tidak hanya
sedikit sekali m engetahui tentang m asa lalu Indonesia, tetapi juga
tak m enem ukan alasan m engapa m ereka harus peduli pada hal
tersebut.
Selintas m enengok waktu yang sedang berubah ini, dalam
bagian ini saya akan m elaporkan pengam atan dari keikutsertaan
saya dalam pemutaran ilm dokumenter Tjidurian 19 pada bulan
No vem ber 20 0 9. Saya juga akan berbagi catatan yang saya kum -
pulkan dari rangkaian percakapan dengan kedua sutradara ilm
tersebut. Film Tjidurian 19 m erupakan produk generasi m uda
pembuat ilm yang memiliki dedikasi. Hal ini mempertajam
gam baran soal kesenjangan generasi yang m em isahkan antara
m e reka yang m em iliki pengalam an langsung dengan peristiwa
1965, dan m ereka yang dibesarkan dalam propaganda berdosis
tinggi rezim Orde Baru. Judul ilm ini diambil dari alamat sebuah
rum ah di J akarta yang m enjadi kantor dan sanggar kelom pok
senim an anggota Lekra (Lem baga Kebudayaan Rakyat). Lekra

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
166 Identitas dan Kenikmatan

didirikan tahun 1950 dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang


pada tahun 1966 segera sesudah Orde Baru berkuasa (Foulcher
1986). Pem erintahan Orde Baru m enerapkan pelarangan um um
bagi hasil karya anggota Lekra karena m ereka terkait dengan
Partai Kom unis Indonesia. Sebelum pelarangan, rum ah di J alan
Tjidurian 19 merupakan milik pribadi Oey Hay Djoen, tetapi
juga berfungsi sebagai kantor dan sanggar bagi para seniman top
Lekra yang tinggal di J akarta. Segera sesudah Oey dipenjara dan
diasingkan ke Pulau Buru pada tahun 1966, rumah ini disita,
dijualbelikan, dan mengalami beberapa kali perpindahan kepe -
milikan. Ketika Oey dibebaskan dan kembali ke J akarta, tak ada
tanda bahwa rumah ini akan dikembalikan kepadanya atau ia akan
diberi ganti-rugi, atau permintaan maaf. Dalam hal ini, pengalaman
Oey mirip dengan pengalaman puluhan ribu korban 1965 lainnya
beserta anggota keluarga mereka. Mereka yang berasal dari latar
belakang keluarga tidak mampu, menjalani nasib yang lebih buruk
karena tidak pernah tercatat atau terwakili dalam sejarah.
Film Tjidurian 19 sebagian besar berisi wawancara yang di-
la kukan pada tahun 20 0 0 -an dengan para senim an Lekra yang
pernah tinggal atau m enghabiskan waktu di rum ah itu. Ter m asuk
di antara m ereka Am rus Natalsya, Am arzan Ism ail Ham id, S.
Anantaguna, Hersri Setiawan, Martin Aleida, Putu Oka Sukanta,
dan T. Iskandar. Wawancara dengan Oey dan istrinya ditam -
bahkan juga. Adegan-adegan wawancara tersebut diselingi dengan
beberapa potongan gam bar arsip J akarta pada dekade 1960 -an.
Saya menghadiri pemutaran perdana ilm ini di Goethe Institut
di J akarta pada tanggal 17 Novem ber 20 0 9 sebagai bagian dari
acara lebih besar, term asuk peluncuran dua buku dan pem bacaan
karya sastra, yang seluruhnya berfokus pada warisan keke rasan
1965. Tiga ratus orang lebih m enghadiri acara tersebut, keba-
nyakan para aktivis muda dan pembuat ilm alternatif yang ber­
usia akhir 20­an hingga awal 30­an. Di akhir pemutaran tepuk

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kemustahilan Sejarah? 167

tangan penonton m em bahana, kem udian dilanjutkan dengan


sesi tanya jawab. Di luar dukungan sepenuhnya dan pujian untuk
Tjidurian 19, beberapa penonton berusia m uda berkom entar
bahwa ilm ini sulit diikuti bagi mereka yang tidak akrab dengan
periode 1960 -an, dan khususnya ketidaktahuan m ereka terhadap
Lekra. Bagi mereka, terlalu banyak tokoh yang muncul dalam ilm
dengan sedikit sekali keterangan tentang siapa m ereka, apa yang
m ereka lakukan pada tahun 1960 -an itu, dan m engapa m ereka
m elakukannya.
Sepasang anak m uda yang duduk di sebelah saya tam pak ge li-
sah sepanjang pemutaran ilm dan meninggalkan tempat sebelum
tanya jawab selesai. Sebelumnya ketika ilm masih berlangsung
setengahnya, sang lelaki berbisik pada pasangannya bahwa ilm
itu m erupakan upaya m em bersihkan Lekra dari stigm a Partai
Kom unis Indonesia. Saya tak ingat apa persisnya kata-kata yang
ia ucapkan, tapi saya ingat bahwa saya tergelitik m endengar
pernyataan anak lelaki itu. J arak yang m em isahkan Lekra dari
PKI―berikut otonomi dan integritas para seniman ini dari campur
tangan PKI―jelas merupakan pesan utama yang dinyatakan oleh
mereka yang ditampilkan dalam ilm ini. Mengingat latar bela­
kang sejarahnya, pernyataan “kam i tak seperti PKI” dapat sepe-
nuhnya dipaham i, sekalipun bukan tanpa konsekuensi yang tak
diingin kan. Pernyataan ini jelas dim aksudkan sebagai koreksi
terhadap kam panye penistaan yang telah berlangsung selam a
tiga puluh tahun dalam propaganda Orde Baru, di m ana kom unis
dan sim patisannya digam barkan secara karikatural sebagai kaum
dogm atis, tak m anusiawi, dan jahat. Sayangnya, pem belaan diri
yang disam paikan dalam Tjidurian 19 m enyerupai, sekalipun
jauh lebih lem but, propaganda Orde Baru tentang kom unism e.
Sementara ilm itu berhasil memperlihatkan kualitas kemanu­
siaan anggota Lekra dengan m enekankan jarak dan perbedaan
mereka dengan PKI, pesan tersembunyi dan tak sengaja dari ilm

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
168 Identitas dan Kenikmatan

ini justru m em perlihatkan anggota PKI tidak sebaik anggota Lekra


yang muncul dalam ilm. Bukan hanya kejahatan Orde Baru pada
1965­66 tidak digugat di ilm ini, tuduhan rezim itu mengenai
kebuasan kom unis juga tidak ditolak sam a sekali, bahkan secara
tersirat seakan-akan dibenarkan.
Kem bali kepada kom entar anak m uda yang duduk di sebe-
lah saya, dalam hati saya bertanya-tanya apa persisnya yang
membuat ia tak menyukai ilm itu. Apakah ia kritis terhadap
pro paganda anti-kom unis Orde Baru, dan ia kecewa karena
ilm itu tidak mengkritiknya? Ataukah ia melihat para tokoh
dalam ilm itu kelewat sibuk dengan pembelaan diri sendiri dan
m em buat jarak dengan kom unis serta kehilangan kesem patan
untuk m engungkapkan gam bar lebih besar m engenai apa yang
‘sesungguhnya terjadi’ pada tahun 1965-66? Ataukah orang
muda ini merupakan produk 30 tahun propaganda Orde Baru
yang percaya bahwa m ereka yang telah dihukum oleh Orde
Baru pasti telah berbuat sesuatu yang am at buruk, m aka segala
penggam baran yang bersim pati terhadap kehidupan, pikiran, dan
kegiatan para bekas tahanan dalam Tjidurian 19 ini m erupakan
kebohongan dan tindakan penyangkalan yang tak m eyakinkan?
Apa yang sesungguhnya ia rasakan, m ustahil untuk dipastikan.
Terlepas dari apa yang sesungguhya terjadi, kom entar, bahasa
tubuh, dan sikapnya m eninggalkan tem pat sebelum acara ber-
akhir m enunjukkan sulitnya m enghasilkan cerita m engenai
pem bunuhan m assal tahun 1965 yang bisa diterim a dengan nya -
m an oleh penonton di Indonesia, khususnya orang m uda. Bah-
kan m ereka yang tetap tinggal di tem pat pertunjukan pada saat
tanya jawab menyatakan sulitnya mengikuti ilm tersebut. Ini bisa
terjadi sekalipun kedua sutradara ilm ini berasal dari generasi
muda pembuat ilm Indonesia.
Max Lane, seorang peneliti asal Australia yang juga sim patisan
gerakan kiri di Indonesia, menulis tinjauan kritis terhadap ilm

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kemustahilan Sejarah? 169

itu dalam blognya sesudah ia m enonton pem utaran pada bulan


Novem ber tersebut. Posisinya tak m em perlihatkan keraguan
sama sekali. Sementara ia menghargai kualitas artistik ilm ter­
sebut, ia juga beranggapan ilm itu gagal karena beberapa alasan
terkait dengan penggam baran posisi politik Lekra. Bukan hanya
po sisi Lekra terhadap PKI, tetapi juga dalam konteks sosial dan
situasi politik dom estik serta Perang Dingin global. Baginya,
dengan menekankan sifat halus seniman Lekra, ilm ini telah
m endepolitisasi Lekra:

Tentu, m enurut saya, LEKRA m erupakan bagian intelektual yang


paling radikal dari PKI. Nam un dengan tak m em beri penekanan dan
tak m em bahas sam a sekali peran LEKRA yang sesungguhnya sebagai
sekutu PKI dalam perjuangan politik untuk m encapai kekuasaan,
aktivitas para penulis ini telah dilucuti dari m uatan ideologis dan
konteks politik m ereka.
(Lane 20 0 9)

Di satu sisi, secara um um saya setuju dengan penilaian Max Lane.


Film ini, dan peristiwa pemutarannya, mewakili deisit parah
dalam politik dan sejarah yang m enjadi ciri khas narasi m enge -
nai pem bunuhan 1965-66 dan peristiwa susulannya. Tam pak-
nya deisit ini merupakan dampak politik peristiwa yang ingin
dikisahkan lewat gam bar, suara, dan kata-kata. Di sisi lain, saya
bersimpati pada upaya dan kesulitan para pembuat ilm ini.
Mereka m engakui dalam sebuah percakapan sesudah pem utaran
bahwa mereka―sebagaimana para penonton ilm ini―merupakan
produk sejarah yang berbeda dengan sejarah yang dialam i generasi
saya dan Max Lane.
Beberapa hari sesudah pem utaran, saya m elakukan serang-
kaian percakapan dengan sutradara ilm ini, Abduh Aziz (19
Novem ber dan 1 Desem ber) dan Lasja Susatyo (20 dan 24 No-
vem ber 20 0 9). Percakapan ini m engukuhkan banyak hal yang

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
170 Identitas dan Kenikmatan

saya sam paikan di atas. Kedua sutradara ini lebih tertarik pada
pembuatan ilm dan cerita tentang kondisi kemanusiaan ketim­
bang pada persoalan politik. Dalam hal latar belakang dan aspirasi
seperti yang saya bahas dalam bab sebelum nya, m ereka lebih dekat
dengan para pembuat ilm seperti Lexy Ram badeta ketim bang para
pegiat organisasi non-pem erintah, atau dengan Putu Oka Sukanta
dan Lembaga Kreatiitas Kemanusiaan (LKK) yang m ensponsori
pem buatan Tjidurian 19. Baik Abduh m aupun Lasja m engakui
bahwa m ereka m ungkin m erupakan produk sistem sekolah dan
propaganda Orde Baru. Sebelum membuat ilm, keduanya tidak
pernah kenal orang dalam lingkungan dekat m ereka yang m enjadi
korban peristiwa 1965. Mem buat Tjidurian 19 m erupakan sebuah
loncatan dan keputusan besar bagi kedua anak m uda Indonesia
ini. Ketim bang m enjadi penghalang, usia m uda m ereka dan
keterbatasan hubungan dengan tahanan politik 1965 berpeluang
m enjadi aset yang bisa m enjem batani kesenjangan generasi yang
telah dibahas sebelum nya. Nam un sebagaim ana diperlihatkan
dalam tanya jawab sesudah pemutaran ilm pada bulan November
20 0 9 tersebut, jem batan penting itu tak bisa ditem ui dengan
m udah ataupun pasti.
Dalam lingkaran terdekat m ereka, baik Abduh m aupun Lasja
tidak pernah diajar m engerti cita-cita utopis partai kom u nis apa
pun, apalagi kegiatan praktis partai tersebut. Abduh m e nya -
takan bahwa ia telah menonton ilm Pengkhianatan G 30 Sep-
tem ber lebih dari sepuluh kali dan telah m eresapi pesan-pesan -
nya. Sebagaim ana rekan-rekan sebayanya, ketika m arah, ia akan
m enggunakan kata “kom unis” sebagai um patan dan ejekan.
Tum buh dalam sebuah keluarga Muslim yang taat, ia ber pan -
dangan bahwa PKI “setan, penjahat, tidak berm oral, tidak ber-
agam a dan sebagainya”. Persepsi ini m ulai berubah ketika ia
kuliah di J urusan Sejarah di sebuah universitas di J akarta.
Sementara itu, sebelum membuat ilm, Lasja tak pernah

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kemustahilan Sejarah? 171

m en dengar tentang para tokoh m aupun m em iliki ketertarikan


terhadap apa itu Lekra. Menurutnya:

Mereka tidak pernah disebut dalam pendidikan kita. Di luar din-


ding sekolah, m ereka adalah kelom pok atau gerakan yang terkait
dengan PKI, m aka berbahaya untuk dipertanyakan apalagi untuk
dibicarakan. Keluarga dan tetangga saya adalah pegawai negeri. Para
pakde, pam an dan tante kalau bukan jendral, anggota DPR atau ya
pegawai negeri juga.

Hidup di bawah Orde Baru dan pasca-Orde Baru, Abduh tum -


buh m enjadi seorang yang tidak percaya pada partai politik, sikap
yang m engingatkan kita pada sem angat para pendu kung ketak-
waan post-Islam is sebagai reaksi terhadap politik Islam is (lihat
Bab 2 dan 3). Ketidakpercayaan itu menjadi salah satu alasan
yang mendorong pemuda ini untuk membuat ilm yang mene­
kankan sisi kemanusiaan dan kehidupan para tokoh ilmnya
dalam m enjalani kehidupan sehari-hari ketim bang politik partai,
dengan risiko m engecewakan penonton dari generasi yang lebih
tua seperti Max Lane. Abduh juga sadar adanya ilm yang telah
mencoba menandingi propaganda Orde Baru. Film­ilm itu tidak
m e nim bulkan kesan berarti baginya karena fokusnya yang sem pit
dan menggambarkan konlik politik antar­elite, dengan menge­
sam pingkan kesem patan m em perlihatkan perjuangan warga ne-
gara biasa. Ia m erasa, seandainya harus bicara m enge nai politik
tingkat tinggi seperti itu, ia akan m em ilih untuk m ela kukannya
lewat analisa akademis ketimbang lewat ilm.
Tanpa secara khusus m engacu pada karya LKK, Lasja m enam -
bahkan bahwa ia tak tertarik pada ilm yang membangkitkan rasa
kasihan dari penontonnya (dengan bercanda ia berkata, “Lihatlah,
betapa menderitanya kami”), juga pada ilm yang membangkitkan
amarah, atau ilm yang menggambarkan tragedi dan membuat
penonton tertekan sesudah m enonton. Abduh dan Lasja tum buh

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
172 Identitas dan Kenikmatan

di dunia yang tak hanya berbeda, tapi juga tam pak terputus
dengan orangtua dan kakek-nenek m ereka. Dipicu oleh faktor-
faktor per pe cahan politik global (dekolonialisasi, pem bentukan
negara-bangsa, Perang Dingin) hingga ke lingkungan sekitar,
keluarga, dan hubungan personal, m aka sulit, bahkan m ustahil,
bagi generasi terdahulu untuk kebal dari pengaruh narasi besar
tentang perubahan politik yang terkadang rom antis, kebal dari
jargon politik, serta dem am untuk terlibat dalam organisasi m assa
yang form al.
Am atlah m udah, nam un kerap keliru, untuk m erem ehkan
nilai politis Tjidurian 19, dan m engabaikan wawasan yang lebih
luas tentangnya. Saya m elihat Abduh dan Lasja m erupakan wakil
generasi m uda Indonesia yang tercerahkan secara politis dan
historis. Hasil wawancara seorang wartawan dengan beberapa
m ahasiswa sebuah universitas di J akarta pada pertengahan
tahun 20 0 9 m em perlihatkan gam baran um um tentang generasi
m uda Indonesia kini. Kebanyakan m ahasiswa ini (di usia 20 -an)
m engaku belum pernah m endengar pem bunuhan m assal 1965-
66. Ketika ditanya apakah cerita itu perlu disam paikan kepada
seluruh bangsa Indonesia, salah seorang dari m ereka, m ahasiswa
fakultas hukum , m enjawab, “Untuk apa? J am an Suharto sudah
berakhir” (Siahaan, 20 0 9). J udul laporan itu, “The Forgotten
History of 1965” atau “Sejarah 1965 yang terlupakan”,4 jelas ber-
m asalah. Sebagaim ana isi laporan itu, bagi banyak orang m uda
Indonesia, sejarah yang berm asalah itu belum dan jelas tidak
bisa “terlupakan” atau “terkenang” karena belum pernah tercatat
dalam benak m ereka. Hingga kini, sikap diam dalam m asyarakat
berarti ketidaktahuan, ketim bang m enahan diri, ketakutan,
traum a, atau penghindaran. Gejala ini tidak hanya terjadi di

4 Catatan penerjem ah: “Sejarah 1965 yang terlupakan”. J udul aslinya berbahasa
Inggris. Laporan ini diterbitkan dalam The Jakarta Globe, koran berbahasa
Inggris yang terbit di J akarta.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kemustahilan Sejarah? 173

Indonesia. “Sem akin sedikit saja orang m uda yang tahu tentang
Holocaust, Hiroshim a, pem erkosaan di Nanking atau Revolusi
Kebudayaan Cina” (Kaplan dan Wang 20 0 8a: 12). Daftar ini akan
segera bertam bah dengan peristiwa yang lebih baru seperti Perang
Vietnam , Soweto, Santa Cruz, dan Tiananm en.
Bahkan jika kita m elihat satu generasi ke belakang, kritik
politis dalam karya sastra dan ilm terkait kejahatan Orde Baru
pada 1965­66 amat jarang. Kebanyakan karya sastra dan ilm
dengan tem a ini cenderung m enyetujui ketim bang m enentang
propaganda Orde Baru tentang kebrutalan kom unis, bahkan
ketika m ereka m enggam barkan derita para korban 1965. Terdapat
beberapa kekecualian, kebanyakan ditulis oleh para penyintas
atau anggota keluarga korban propaganda anti-kom unis. Patut
dibahas lagi soal yang sudah saya sebut dalam bab sebelum nya
bahwa dalam kebanyakan karya sastra dan ilm mengenai 1965­
66, tokoh jahatnya cenderung kekiri-kirian, seorang licik yang
m em bujuk orang agar m enyukai ide-ide kom unism e dan m en-
dukung PKI; atau seseorang yang tak berdosa dan m udah ditipu
serta disesatkan; atau seseorang yang bernasib sial karena hu-
bungan darah atau perkawinan dengan kom unism e. Karya-karya
ini punya pesan yang relatif seragam : tokoh-tokoh ini harus dibu-
nuh atau dibim bing bertobat. J ika m ereka terbunuh, m ereka
sen diri yang disalahkan. Foulcher (1990 ) m enganalisa tem a ini
dalam novel Anak Tanahair: Secercah Kisah karya Ajip Rosidi
(1985), dan saya menemukan tema serupa dalam ilm Gie (20 0 5,
Riza) yang terpilih menjadi ilm terbaik pada FFI 2006 (Heryanto
20 0 8a). Yang absen secara m encolok pada karya-karya itu adalah
peran pelaku m iliter dan sipil dalam pem bantaian 1965, dengan
kekecualian pada ilm Sang Penari (20 11, Isfansyah). Film yang
m en dapat Piala Citra ini tetap m enggam barkan kom unis sebagai
penjahat, tetapi bersim pati terhadap penduduk desa yang m iskin
dan tak berdosa yang dibunuhi oleh m iliter. Meskipun dem i-

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
174 Identitas dan Kenikmatan

kian, dalam ilm ini, kematian penduduk desa yang malang itu
digam barkan sebagai akibat kesalahan m ereka sendiri, karena
terlalu dekat dengan kom unis sebagai buah dari sikap abai atau
kebodohan m ereka tentang bahaya kom unism e.
Kini, orang m uda Indonesia m enjadi sosok yang aktif, tetapi
tetap tunduk pada tekanan zam an dan lingkungan yang am at
berbeda dengan m asa-m asa Perang Dingin. Kebanyakan kelas
m e nengah perkotaan Indonesia saat ini tidak m engalam i tekan an
atau pun m endapat insentif untuk terlibat dengan gerakan po litik
untuk menghadapi isu global―dengan kekecualian penting ge­
rakan politik Islam (lihat Bab 2 dan 3). Bagi sebagian besar yang
le bih sekuler, atau lebih nyam an dengan pandangan post-Islam is,
keter libatan dengan isu global terpusat pada isu kon sum si atau
ko m oditas hiburan seiring tren internasional (lihat bab 7), atau
ke adilan sosial sebagaim ana beredar di jejaring m edia sosial
m ereka.
Dapat dipaham i jika tinjauan ulang atas pem bunuhan m assal
1965 tak pernah m enarik kebanyakan generasi m uda. Seba gai-
m ana ditulis Zurbuchen, pada saat perubahan sosial “representasi
m asa lalu bisa lenyap, berubah, m em peroleh atau kehilangan
kewibawaannya” (20 0 5: 8). Masa depan keterlibatan orang Indo-
nesia dengan m asa lalu yang berm asalah ini bukan hanya susah,
tetapi juga dipenuhi ketidakpastian. Tepat pada saat isu 1965-66
m ulai pudar, sebuah titik-balik besar terjadi, dan sebuah harapan
baru muncul: diedarkannya sebuah ilm dokumenter, dan bagian
selanjutnya dari bab ini akan membahas ilm ini secara khusus.

KISAH JOROK H ABIS


Sebelum nya saya sem pat m enyebutkan kekecualian dengan m e-
masukkan sebuah ilm dokumenter produksi internasional The
Act of Killing (20 12, Oppenheim er) dalam bab ini. Film karya
Oppenheim er ini am at tidak biasa dan setidaknya terdapat tiga

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kemustahilan Sejarah? 175

alasan teramat kuat untuk memasukkan ilm ini ke dalam pem­


bahasan saya. Pertama, metode produksi ilm ini sangat luar biasa.
Kedua, pembuatan ilm ini melibatkan sejumlah besar orang
Indonesia, termasuk mereka yang menjadi pembuat ilm, aktor,
dan sebagainya. Film ini dipuji oleh para pecinta ilm dan kritikus
top di seluruh dunia, dan secara radikal m enentang asum si-asum -
si tradisional dalam kajian m engenai politik dan kekerasan, serta
apa artinya ilm dokumenter. Ketiga, ilm ini kemungkinan besar
merupakan ilm paling dahsyat tentang pembunuhan 1965­66,
dengan kem ungkinan berdam pak besar secara politis, dan m oral
jika bukan hukum , di kalangan publik Indonesia. Tentu dengan
penyebaran ilm ini secara lebih luas, studi para ahli tentang
pem bunuhan 1965-66 serta studi tentang politik di Indonesia,
tidak akan pernah sam a lagi.
Disutradarai oleh J oshua Oppenheim er, bersam a dengan
Christine Cynn dan sejum lah orang Indonesia yang nam anya dira-
hasiakan, ilm dokumenter ini merupakan hasil kerja keras selama
tujuh tahun, m em buahkan rekam an gam bar sepanjang seribu jam
lebih. Film ini berpusat pada pengakuan dan renungan beberapa
tokoh utam a organisasi param iliter Indonesia, Pem uda Pancasila,
yang bertanggung jawab atas pem bunuhan anggota PKI dan para
terduga kom unis di Sum atra Utara pada 1965-66, sebagai bagian
dari pem bantaian nasional yang m em akan korban sekitar satu
juta jiwa.
Dalam bab sebelumnya, saya membahas beberapa ilm pro-
pa ganda anti-kom unis (juga dram a televisi) yang diproduksi
oleh pe m erintahan Orde Baru, yang sem uanya m enekankan pa-
da kisah fantasi tentang kekejam an dan sifat tidak m anusiawi
komunis. Dalam bab tersebut, juga sudah dibahas beberapa ilm
pendek pasca-1998 yang m enentang propaganda tersebut. Film -
ilm itu dengan tegas membalikkan penokohan baik dan jahat,
yang ditanam kan dengan kuat dalam sejarah nasional resm i

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
176 Identitas dan Kenikmatan

oleh beberapa pem erintahan dan pendukungnya, yang paling


mencolok dalam ilm Pengkhianatan G 30 Septem ber (1984,
Noer). Meski begitu, pem balikan seperti ini hanya m enghasilkan,
bukan m enghilangkan atau m enggugat, kerangka utam a dikotom i
baik-lawan-jahat yang m enjadi struktur propaganda pem erintah
dan alam berpikir publik. Dalam aspek penting lainnya, baik ilm
anti­komunis maupun ilm anti­Orde Baru memiliki ciri yang
sam a yaitu tidak hadirnya adegan yang m em perlihatkan wajah
dan suara orang-orang yang m engaku (ataupun dituduhkan)
m en jadi pelaku peristiwa 1965 itu sendiri, baik dalam penyiksaan,
pem bakaran, penjarahan, pem erkosaan, dan pem bunuhan. Dalam
ilm propaganda Orde Baru dan pernyataan­pernyataan yang tak
terekam , m ereka yang dicurigai m enjadi pelaku kejahatan m au -
pun “dalang” dan pendukungnya, m enyatakan diri entah seba gai
korban kom unis atau sebagai pahlawan nasional yang m e nye la-
m atkan Indonesia dengan m enghancurkan kom unism e. Dalam
ilm anti­Orde Baru, pelaku kejahatan 1965­66 dibahas, disebut
nam anya, dan dikutuk dengan perasaan m arah, tapi tanpa pernah
ada dari m ereka yang ditam pilkan di layar.
Yang am at m encolok berbeda dari sem ua itu, The Act of
Killing m em ukau sekaligus m erisaukan dengan m enyajikan wajah
dan suara asli orang-orang yang m engaku m enjadi pem bunuh
pada pem bantaian 1965-66 di Sum atra Utara. Bahkan m erekalah
yang menjadi tokoh utama dalam ilm berdurasi dua setengah
jam ini, yang sebagian besar berisi pengakuan m ereka yang jorok
dan rinci tentang tindak pem bunuhan yang m ereka lakukan. Film
dokum enter ini secara verbal dan blak-blakan m enggam barkan
tindakan kekerasan yang am at jauh m elam paui gam baran keke-
rasan dalam ilm­ilm anti­Orde Baru (mengacu pada para pen­
culik, penyiksa, dan pem erkosa anti-kom unis), m aupun da lam
ilm Pengkhianatan G 30 Septem ber (para penjahat yang ditu-
duh antek gerakan kom unis yang m enyiksa para perwira yang di-

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kemustahilan Sejarah? 177

culik). Tentu saja pengakuan para tokoh The Act of Killing yang
m erugikan m ereka sendiri ini jauh lebih serius ketim bang tuduh-
an terhadap mereka yang ditampilkan dalam ilm­ilm sebelum­
nya. Namun ilm dokumenter ini menyodorkan narasi yang lebih
jauh daripada sekadar m em benarkan atau m em buktikan tuduhan
para penyintas tentang kekejam an pem bunuhan berencana yang
dikom andoi oleh m iliter. Film ini m enyajikan kisah pem bunuhan
itu dalam sebuah cerita yang lebih rum it, dengan anak cerita
berlapis-lapis, penuh dengan ironi dan kontradiksi.
The Act of Killing penting dalam bahasan kita bukan karena
ilm ini membawa fakta atau bukti baru tentang kekerasan 1965­
66, m elainkan karena ia m enawarkan kisah m enarik tentang ke-
ke jam an yang sebugil-bugilnya dan habis-habisan. Film ini m e-
lim pah dengan pengakuan yang m em beratkan-pelaku-sendiri
dan dituturkan dengan gaya berlebihan oleh para pelaku pem -
bu nuhan, yang berbicara dengan bangga di hadapan kam era ten-
tang bagaim ana dengan sekejam -kejam nya m ereka m em bunuh
anggota PKI dan anggota keluarganya, serta m em perkosa para
perem puan, term asuk anak-anak, yang m en jadi korban m ereka.
Pada titik ini, gagasan tentang ‘sejarah’ sudah sangat rum it. Tapi,
pelaku sekaligus aktor ini lebih jauh m em peragakan langkah
dem i langkah, di depan kam era, bagaim ana m ereka m elakukan
pem bunuhan itu di lokasi kejadian pada tahun 1965. Sem ua ini
m em buat tuduhan para penyintas tentang kejahatan m ereka jadi
tak diperlukan lagi. The Act of Killing m e m aparkan, dengan cara
yang m engerikan, apa yang telah diha puskan dari sejarah dan
pernyataan resm i Indonesia oleh bebe rapa pem erintahan sejak
1966, serta apa-apa yang dengan susah payah berusaha disam -
paikan oleh para penyintas (yang kini sudah sepuh itu) m e la lui
pengakuan­pengakuan mereka dalam ilm maupun di luar layar.
Lebih dari satu pelaku dalam The Act of Killing m engaku bahwa
ilm mereka akan jauh mengungguli ilm buatan pemerintah,

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
178 Identitas dan Kenikmatan

Peng khianatan G 30 Septem ber dalam m enggam barkan adegan-


adegan kekerasan yang m engerikan. Mereka m enyatakan bahwa
m asyarakat um um telah salah beranggapan (sejalan dengan
propaganda Orde Baru) bahwa kom unis jahat dan kejam . Salah
seorang dari m ereka bicara dengan terus terang “Kam i lebih kejam
ketim bang Kom unis”, sam bil tertawa kecil. Mereka m enjelaskan
m aksud m ereka secara rinci m elalui kata-kata dan peragaan ulang
di depan kam era. Kenangan para pelaku ini tentang kejahatan
m ereka ditandai dengan tawa, nyanyian, dan tarian, serta sesekali
diselingi sesal atau m im pi buruk.
Saya beruntung diberi kesempatan oleh sutradara ilm ini un­
tuk melihat rangkaian rekaman mentah ilm dan versi akhirnya
sepanjang dua tahun terakhir produksi ilm ini. Pada saat buku ini
disiapkan, ilm tersebut sedang beredar di bawah tanah di Indo­
nesia lewat acara-acara dengan undangan terbatas dan pribadi
(karena alasan keam anan). Tentu saja, saya sem pat penasaran
bagaimana publik di Indonesia menanggapi ilm ini dan apakah
ilm ini akan tersedia untuk umum lewat bioskop atau DVD, atau
lewat internet. Kalaupun kita tinggalkan sejenak urusan reaksi
publik, ilm ini menimbulkan beberapa pertanyaan metodologis
dan etis yang m enjadi m inat khusus buku ini, selain persoalan
politik dan hukum nya.
Pertanyaan pertam a terkait dengan m etode. Bagaim ana para
pembuat ilm ini berhasil membujuk para pelaku untuk bicara
dengan bebas, dan m engakui tuduhan-tuduhan yang m erugikan
diri m ereka sendiri, dan tanpa m enyem bunyikan identitas m e-
reka? J elas tak ada kam era tersem bunyi yang digunakan dalam
produksi ilm ini. Dengan anggapan bahwa orang­orang ini
berperan secara aktif dalam proyek pembuatan ilm, pertanyaan
ini dapat dirum uskan ulang dari sudut pandang m ereka: m engapa
para pelaku m au m em beberkan tuduhan kejahatan m e reka
sendiri pada tingkatan yang am at serius dan bebas, sean dainya

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kemustahilan Sejarah? 179

m ereka tahu persis bahwa pernyataan m ereka pada akhir-


nya akan disebarluaskan kepada publik? Keuntungan apa yang
m ereka harapkan untuk diri m ereka sendiri, atau m ereka beri-
kan kepada penonton? Kalaupun m ereka m em ang kejam di usia
m uda, m ungkinkah m ereka (40 tahun kem udian) begitu bodoh-
nya sehingga tak m enyadari risiko m em buat pernyataan yang
m em beratkan diri sendiri m engenai perbuatan m ereka di m asa
lalu? Pertanyaan kedua terkait persoalan etis. Di luar ketepatan
politis dan kesadaran terhadap risiko yang dim iliki oleh para aktor,
saya sempat bertanya­tanya apakah para pembuat ilm memberi
kesem patan kepada para aktor untuk m enonton rekam an awal
yang sudah dibuat, sehingga m ereka dapat m enim bang ulang
untuk diri m ereka sendiri bagaim ana m ereka tam pil di layar
dan m em perkirakan dam paknya terhadap diri m ereka m aupun
penonton. Apakah para pembuat ilm sudah membahas soal­soal
ini dan m enyiapkan m ereka m enghadapi pertanyaan yang kiranya
akan diajukan oleh penonton kelak? Pertanyaan ketiga m erupakan
urusan kebenaran. Terlepas dari apa yang disam paikan oleh para
pelaku tentang yang telah m ereka lakukan terhadap kom unis pada
tahun 1965-66, sam pai sejauh m ana pernyataan dan peragaan
yang m ereka lakukan m ewakili peris tiwa yang sesungguhnya
terjadi pada 1965-66? Bagaim ana kita bisa m engetahui dan
menilainya? Seberapa banyak fakta dan atau iksi yang tersaji
dalam penyajian kisah di ilm ini? Apakah itu penting? Sisa dari
bagian ini akan digunakan untuk m em beri jawaban sem entara
kepada pertanyaan-pertanyaan ini.
Sebuah jawaban pada rangkaian pertanyaan pertam a sudah
tampil jelas dalam ilm ini, yaitu kesukaan para pelaku untuk
berom ong besar. Sutradara J oshua Oppenheim er m enyelidiki hal
ini lebih jauh secara terpisah tetapi m asih terkait dengan proyek
ini secara lebih luas (Oppenheim er dan Uwem edim o 20 0 9).
Para pelaku ini sadar betul m engenai risiko yang ada, dan uraian

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
180 Identitas dan Kenikmatan

mereka mengenai risiko ini terekam dalam ilm. Meskipun begitu,


sifat om ong besar ini m enim bulkan pertanyaan lebih jauh dan
lebih besar. Kita harus bertanya dalam situasi seperti apa―nyata
maupun dalam angan­angan―para pelaku 1965­66 ini dapat me­
m iliki kenik m atan dan hak istim ewa untuk m enyom bongkan diri
dengan bebas apa yang m ereka akui sendiri sebagai “kejahatan”
m ereka. Situasi seperti apa yang m em ungkinkan m ereka m e-
nikm ati kekebalan hukum secara penuh dan berkepanjangan?
Boleh jadi sesekali kita senang m enyom bongkan diri di hadapan
beberapa orang. Hal ini tak berarti bahwa sebagian besar orang
akan m enyom bongkan diri tentang apa saja, setiap waktu kepada
masyarakat umum. Para pemeran utama ilm ini menikmati per­
lindungan dari sesam a pelaku dan politisi Orde Baru yang anti-
kom unis yang berhasil m enaiki tangga politik hingga m enduduki
jabatan penting. Bebe rapa dari m ereka telah m em erintah negeri
ini atau provinsi tem pat m ereka tinggal selam a beberapa dekade
terakhir. Politisi terkenal di tingkat nasional dan lokal yang m en-
jadi pelindung mereka tampil di dalam ilm, memperlihatkan
hubungan yang sangat akrab dengan anggota param iliter lokal,
termasuk di antaranya tokoh utama ilm ini. Kita akan kembali ke
soal ini nanti.
Dengan berlim pahnya keyakinan diri para pelaku ini, pem -
buat ilm tak perlu bersusah­payah membujuk mereka untuk
bicara di depan kam era secara terus terang. Untuk m enjam in
persyaratan etis yang wajib, para pembuat ilm lebih dari sekadar
m en diskusikan proyek ini dan m endapatkan pernyataan form al
kesediaan mereka. Sutradara ilm berbagi hasil rekaman kasar
dengan para aktor sekaligus pelaku kejahatan politik ini (Per-
tanyaan 2). Para pelaku yang sedang m enonton rekam an itu, serta
komentar mereka tentang bahan mentah ilm, kemudian direkam,
dan adegan ini m enjadi bagian penting dari The Act of Killing.
Inilah yang menampilkan inovasi pembuat ilm, dan membuat

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kemustahilan Sejarah? 181

persoalan m enjadi teram at rum it. Ketim bang sekadar sem ata m e-
rekam orang-orang yang m enyom bongkan diri di depan kam era,
J oshua Oppenheim er m engundang m ereka m engam bil peran
lebih besar dalam proses pembuatan ilm. Oppenheimer mena­
warkan kebebasan untuk m en ceritakan kisah m ereka dalam ke-
rangka sinematis dengan cara membuat cerita iktif untuk proyek
kerja sam a m ereka, ber dasarkan ingatan dan fantasi m ereka ten-
tang pem bu nuhan 1965-66, serta tanggapan pribadi terhadap
pengalaman mereka sendiri―seluruhnya ditampilkan untuk dire­
kam di depan kam era. Para bekas jagal ini ikut berperan da lam
m enulis naskah, m en desain set, m usik, m em ilih pem ain lain, dan
merekam ilm yang secara hipotetis mereka produksi dan bintangi.
The Act of Killing m em perlihatkan bagaim ana m ereka m em -
persiapkan dan memproduksi ilm mereka, dan apa komentar
m e reka tentang rekam an yang dihasilkan dari proses kerja sam a
ini, serta akibat tak sengaja dari pengalam an hidup salah seorang
tokoh utama ilm. Oppenheimer juga bertanya kepada sebagian
dari m ereka dengan terus terang tentang kesiapan m ereka untuk
m enghadapi kem ungkinan tuduhan sebagai penjahat perang.
Salah seorang dari m ereka m enjawab sam bil m engejek, “Wah
saya siap. Supaya jadi orang terkenal. Tolong sam paikan supaya
saya dipanggil,” dengan percaya diri pada kekebalan hukum yang
dim ilikinya.
The Act of Killing merupakan ilm dokumenter tentang pelaku
sejarah, kesaksian m ereka, serta bagaim ana pelaku tersebut m em -
buat ilm (dalam ilm itu) untuk mengisahkan kejahatan mereka
pada tahun 1965-66. Film ini m enyajikan penyelidikan sejarah
lisan m asa-m asa berdarah itu serta ingatan beberapa pelaku. Film
ini juga bercerita tentang kisah iksi para pelaku itu yang secara
sadar dirancang dan diperagakan-ulang untuk m e nyam paikan
ingatan dan kom entar m ereka terhadap ingatan itu, sebagaim ana
terilham i oleh gam bar yang m ereka dapat dari ilm­ilm koboi dan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
182 Identitas dan Kenikmatan

gangster Hollywood dekade 1960 -an, tak berapa lam a sebelum


pem bunuhan itu terjadi pada tahun 1965 dan awal 1966. Maka,
ketim bang m enurunkan peran tokoh utam a sem ata sebagai
objek rekam an kam era, sang sutradara m em biarkan m ereka
turut m enjadi “penulis” kisah yang m em beratkan m ereka sendiri
dalam bentuk sinem atis, dan itu m ereka lakukan dengan bebas,
penuh sindiran, tawa, serta kenikm atan. Sem entara itu, dengan
m enggunakan kam era kedua, sang sutradara m erekam kegiatan
mereka membuat ilm tentang pembunuhan yang mereka lakukan,
yang pada akhirnya m enghasilkan The Act of Killing.
Tak ada yang dapat m em astikan apa yang hendak dicapai
oleh para pelaku dari proyek ini. Di layar, m ereka m enyatakan
niat untuk “m enyam paikan sejarah apa adanya” kepada dunia,
tidak hanya kepada Indonesia. Dalam gerak tubuh yang sangat
ironis, m ereka m em pertanyakan kebenaran tentang kekejam an
kom unis dan tuduhan pesta seks yang dilakukan oleh anggota
Gerwani di Lubang Buaya sebagaim ana disebarkan secara luas
oleh propaganda anti-kom unis Orde Baru. Nam un The Act of
Killing bukan kisah tentang penyesalan, bukan pula tentang
kepahlawanan sebagaim ana diharapkan oleh para aktornya. Se-
m entara Oppenheim er berhati-hati agar tidak m em beri ruang
bagi tokoh-tokoh utam a ini untuk m enobatkan diri sebagai pah-
lawan, ia juga berusaha m em buat m ereka tidak sepenuhnya tam pil
sebagai orang-orang bodoh atau iblis. Rupanya di luar rencana,
salah seorang yang paling senior, paling om ong besar, dan jagal
yang paling kejam , tiba-tiba tak m am pu m enahan em osi atau rasa
bersalah serta m em ungkiri sikap jantannya, sesudah serangkaian
akting dan peragaan-ulang bersam a rekan-rekannya, ketika
m ereka sedang bergiliran berperan sebagai tawanan kom unis
yang tertangkap.
“Fakta­fakta” terpilih itu—berupa hasil wawancara dan perbin­
cangan santai dengan pelaku pem bunuhan tentang kejahatan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kemustahilan Sejarah? 183

m ereka pada 1960 -an yang direkam pada tahun 20 0 0 -an itu,
dipadu dengan adegan kehidupan mereka sehari­hari—dalam The
Act of Killing dijalin dengan kisah iktif yang sengaja diciptakan
dan ingatan akan m asa lalu m ereka. Seluruhnya berpadu di depan
kam era untuk m enghasilkan cerita rum it yang am at surealistik,
dengan m om en-m om en penuh kengerian, tawa, diiringi nyanyian
dan tarian, penuh dengan ironi dan tikungan yang m engejutkan.
Lebih dari sekadar m enggam barkan apa yang terjadi pada 1965-
66, ilm ini lebih banyak bicara tentang Indonesia masa kini,
bagaim ana m asa lalu dikenang oleh para pelaku pem bunuhan
m assal 1965-66, dan bagaim ana m ereka ber harap dunia m enge-
nang perbuatan mereka melalui ilm yang mereka buat. Penting
untuk dicatat bahwa tak ada arsip rekam an dari dekade 1960 -an
yang muncul dalam ilm ini, yang memperlihatkan minat utama
pembuat ilm pada masa kini ketimbang pada masa lalu. The
Act of Killing secara mendasar amat berbeda dengan ilm yang
pernah diproduksi sebelum nya yang berfokus pada pem bunuhan
1965-66 dan dam pak ikutannya. Film ini tidak m enyerang sebuah
rezim kebenaran tertentu dan m enggan tikannya dengan yang
lain. Alih­alih, ilm ini merambah berbagai keping berlapis­lapis
kisah personal tentang kebenaran, ketakutan, kebanggaan, dan
kebencian yang berkaitan dengan peristiwa pada pertengahan
1960­an, di mana batas antara fakta dan iksi, pahlawan dan
penjahat, kekuasaan yang sah dan kejahatan kem anusiaan tak
dapat digariskan dengan m udah atau tegas. Akhirnya (berkaitan
dengan rangkaian pertanyaan ketiga), hasil akhir ilm ini tak
kalah dahsyatnya dalam m enyam paikan pesan dibandingkan
dengan ilm­ilm terdahulu seputar pokok yang sama, termasuk
yang dibuat dengan tujuan m ulia dan tunggal yakni m engungkap
kebenaran faktual (dalam bentuk kesaksian para penyintas di
ilm­ilm pasca 1998) atau dibuat dengan dusta liar (sebagaimana
ilm propaganda anti-kom unis yang dibuat Orde Baru). Sem ua

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
184 Identitas dan Kenikmatan

ilm itu bernilai. Nilai mereka tidak terletak pada ‘fakta’ yang
khusus, kasar, dan em piris yang disam paikan sebagai satu kisah
utuh yang m asuk akal tentang apa yang ‘sesungguhnya’ terjadi
di masa lalu. Namun yang lebih penting, semua ilm ini bernilai
karena pernyataan yang m ereka sam paikan pada m asanya punya
m akna tertentu bagi politik m utakhir Indonesia; m ereka juga
m en jelaskan tentang m asa lalu dan m asa kini m acam apa yang
m em ungkinkan perbuatan, ingatan, dan pera gaan tersebut
disajikan dalam bentuk ilm.
Beberapa adegan dalam The Act of Killing m em perlihatkan
bagaim ana para aktor sekaligus pem bunuh dan organisasi yang
m ereka wakili, m em bangun hubungan yang akrab dan langgeng
de ngan berbagai pejabat negara pada tingkat nasional (anggota
DPR, kantor kepresidenan, m enteri negara) hingga ke tingkat
lokal (DPRD, gubernur, m edia cetak kom ersial, dan TVRI lokal).
Alih-alih disibukkan dengan pengungkapan kisah nyata atau
sejarah tentang kejahatan besar kem anusiaan m asa lalu, The Act
of Killing juga m enggam barkan bagaim ana prem anism e ber lanjut
dan tertanam dalam politik form al, birokrasi negara, dan ke-
hidupan sehari-hari di Indonesia yang kerap dipuji sebagai negeri
dem okratis. Dengan m em pertim bangkan fakta-fakta ini, m aka
kita dapat m em aham i pengakuan, kepercayaan diri, dan om ong
besar para pelaku dalam ilm dokumenter tersebut.

PREMAN ISME, FILM, D AN SEJARAH


Apa yang m em bedakan pem erintahan pasca-Orde Baru dari pen -
da hulunya adalah pem bangunan kelem bagaan dem okrasi for m al
yang berhasil “m enorm alisasi” politik Indonesia (Aspinall 20 0 5).
Tercapainya keadaan m utakhir ini m enandai pem ba gian ke -
kuasaan di tangan politisi profesional yang punya seja rah pan jang
kepem im pinan dalam dunia prem an di m asa lalu, atau m e m iliki
pendukung di antara kelom pok-kelom pok m ilisi ter organisir.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kemustahilan Sejarah? 185

Pada m asa pasca-Orde Baru, m itos tentang ‘ke kuatan rakyat’ atau
‘people pow er’ telah kehilangan daya pikat dan rele vansi karena
alasan utama keberadaannya—yaitu melawan kekuasaan negara
terpusat dengan aparat yang amat represif―telah pudar. Represi
m elalui kekuasaan dan kekerasan telah tersebar ke seluruh negeri,
dan lebih daripada sebelum nya, ber jalan secara tersem bunyi,
otonom , dan horisontal m elibatkan pe la ku non-negara dan
kelom pok-kelom pok m ilisi. Perdebatan publik dalam urusan
politik tidak lagi berfokus pada kasus-kasus spektakuler seputar
kekejam an aparat negara terhadap m assa yang tak berdaya.
Sebagai gantinya, perdebatan telah berfokus pada konlik antar­
elite―sengketa personal, korupsi, dan skandal seks―yang hanya
m em iliki konsekuensi am at kecil terha dap kepentingan m asyarakat
um um , yang sebenarnya juga telah terpecah-belah oleh lingkaran
konlik yang berkecamuk (setidaknya di lapis permukaan) dalam
bentuk konlik agama atau etnis.
Beginilah ironi sejarah dan perubahan sosial. Beberapa deka-
de propaganda besar-besaran yang dilakukan oleh Orde Baru telah
m em bawa dam pak tak terduga yaitu m enghidupkan propaganda
tandingan dan m enyebabkan rom antisasi terhadap politik populis
di antara anggota m asyarakat, baik yang berada di spektrum politik
kiri m aupun kanan. Mereka yang hidup di bawah pem erintahan
otoriter Orde Baru, baik yang m enjadi korban m aupun tidak, akan
dengan m udah m engetahui, takut, atau m em benci kekejam an dan
jahatnya propaganda negara. Secara kiasan, bisa dikatakan untuk
setiap lim a orang Indonesia yang rentan terhadap propaganda
Orde Baru tentang “bahaya laten kom unism e”, bisa hadir satu
orang yang beranggapan propaganda itu justru berarti sebaliknya.
Setiap peristiwa penyensoran, pelarangan, dan propaganda
telah m enyebabkan beberapa pikiran kritis warganegara untuk
m em bayangkan, m eneliti, dan m encurigai kebalikannya, yaitu apa
saja hal-hal yang sengaja disem bunyikan atau ditelikung di balik

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
186 Identitas dan Kenikmatan

pernyataan, pelarangan, museum, hukum, dan ilm­ilm resmi.


Ke kuasaan, secara paradoks, justru m enciptakan, m engingkari,
dan m em produksi ulang perlawanan terhadap dirinya sendiri.
Kem atian Orde Baru berakibat m elem ahnya perlawanan rakyat
terhadap pem erintahan serta elite yang tidak rukun.
Masih ada ironi lebih lanjut. Ditinjau dari berbagai aspek, The
Act of Killing am at m engejutkan di layar. Nam un, hal ini sam a
sekali tak berarti bahwa sejarah resm i 1965-66 akan digantikan
dengan sejarah resm i yang baru yang lebih m eyakinkan. Tentu saja
tak mudah untuk memperkirakan kapan ilm itu akan membawa
dam pak kepada publik Indonesia m aupun buku pelajaran sejarah
di sekolah, serta seberapa besar pengaruhnya, jika m em ang ada.
Yang sudah terjadi selam a ini m em perlihatkan bahwa propaganda
Orde Baru tentang apa yang terjadi pada pertengahan 1960 -an
hidup lebih panjang ketim bang para pem buatnya. The Act of
Killing m enjanjikan sebuah perm ulaan dari akhir propaganda
resm i itu. Seandainya peristiwa itu benar-benar terjadi, kita akan
m enyaksikan sebuah ironi lebih besar yang harus dihadapi oleh
orang-orang yang berseberangan pandangan tentang sejarah
1965-66: ternyata dusta terbesar dan terkejam Orde Baru dikoyak-
koyak, tidak m elalui usaha gigih para penyintas dengan kesaksian
m ereka yang teram at pahit, atau oleh para ahli yang bicara dengan
cerdas untuk m ereka, tetapi berkat jasa para pem bunuh yang suka
m em bual.
Pada saat buku ini ditulis, sebagian publik Indonesia ber gairah
dengan laporan m edia tentang peluncuran The Act of Kiling di
Amerika Utara dan Eropa Barat, dan ulasan ilm ini diterbitkan
di m edia sosial dan m edia cetak di Indonesia. Yang paling dahsyat
di antara ulasan m edia tersebut adalah laporan khusus m ajalah
Tem po (1-7 Oktober 20 12) sepanjang 75 halam an, yang berisi cerita
dan analisis peristiwa pem bunuhan 1965 yang kebanyakan datang
dari para pem bunuh yang tak m enyesali perbuatan m ereka, dari

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kemustahilan Sejarah? 187

berbagai kota di J awa. Dalam beberapa hari saja, edisi tersebut


habis terjual di beberapa provinsi, dan beberapa eksem plar dijual
oleh tukang catut dengan harga dua kali lipat dari harga resm i
eceran. Segera sesudahnya, pada peringatan Hari Hak Asasi
Manusia Internasional yang jatuh pada tanggal 10 Desem ber
20 12,5 banyak organisasi non-pem erintah bekerja secara terpisah
menyelenggarakan pemutaran ilm gratis dan terbatas ilm Jagal
(versi Indonesia dari The Act of Killing) di 40 kota besar dan
kecil di Indonesia. Film ini diputar antara lain di Banda Aceh,
Medan, Padang, Pekanbaru, Lam pung, J akarta, Depok, Bandung,
Sum edang, Majalengka, Cirebon, Yogyakarta, Sem arang, Solo,
Salatiga, Blora, Surabaya, Malang, Denpasar, Ubud, Mataram ,
Lom bok Utara, Balikpapan, Sam arinda, Makassar, Palu, Kupang,
Ruteng, Manggarai, Ternate, Am bon dan J ayapura. Reaksi ter ha -
dap pem utaran yang ditam pilkan di m edia sosial um um nya se-
ragam : cam puran horor terhadap kekejam an yang ditam pilkan,
kem arahan akibat m erasa ditipu selam a berpuluh-puluh tahun
oleh propaganda pem erintah, lega karena m enem ukan kepingan
kebenaran tentang kekerasan 1965, dan penghargaan untuk ilm
tersebut.
Untuk m engakhiri bab ini, saya akan m em bahas lebih jauh
yang baru saya sebutkan di atas, dengan kem bali pada, dan m e-
nyoroti, persilangan beberapa persoalan yang dibahas di bab-bab
sebelum nya: (a) kekuatan m enindas dan kekerasan yang telah
m em bentuk bangsa ini m elalui pencincangan dan persatuan yang
dipak sakan lewat rasa takut; (b) kesulitan atau kem ustahilan pe-
nu lisan sejarah yang relatif stabil dan tepercaya tentang m asa
lalu bangsa ini yang penuh kekerasan, khususnya m engenai

5 Pada hari yang sam a, m ajalah Tem po m enerim a penghargaan Anugerah Yap
Thiam Hien di J akarta. Ini adalah m edia pertam a yang m endapatkan peng-
hargaan paling bergengsi di Indonesia untuk perlindungan terhadap hak asasi
m anusia.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
188 Identitas dan Kenikmatan

pem bunuhan m assal 1965-66; (c) kebangkitan Islam ism e dan


post­Islamisme; dan (d) pentingnya ilm sebagai perpanjangan
kekuatan sosial yang terlibat dalam persaingan untuk m encapai
ke kuasaan dan legitim asi, sekaligus sebagai m edium untuk m e-
nyam paikan dan m em persoalkan kategori yang berlawanan: fakta
dan iksi, dominasi dan subversi, kepahlawanan yang patriotik dan
kejahatan. Sebagaim ana telah dibahas di atas, The Act of Killing
m erupakan contoh sem purna tentang bagaim ana ilm dokumenter
m enggoyahkan pandangan um um tentang hal-hal yang dianggap
berlawanan itu. Sum bangan utam anya, sejauh yang dibahas bu-
ku ini, bukan berupa m enam bahkan inform asi faktual tentang
sejarah di Sum atra Utara, m elainkan berupa terbukanya ruang
baru bagi im ajinasi dan diskusi tentang apa artinya m engenang
dan m em bicarakan kejahatan m asa lalu di m asa sekarang ini, dan
dengan penggam baran yang m engerikan.
Di sini saya perlu m enghadirkan karya cem erlang Loren Ryter
tentang sejarah dan politik Pem uda Pancasila di Sum atra Utara,
khususnya di ibu kota provinsi itu, Medan. Dalam banyak hal,
The Act of Killing dan karya Ryter m erupakan dua pola berkisah
yang berbeda tetapi m elengkapi satu sam a lain dan sam a-sam a
am at m enarik, di m ana subjek, tokoh, dan perilaku m ereka saling
tum pang tindih. Beberapa episode yang diperagakan ulang di
The Act of Killing, diceritakan dengan rinci pada tesis doktoral
Ryter, yang ia selesaikan tahun 20 0 2 atau sepuluh tahun sebelum
peluncuran perdana ilm dokumenter itu. Bahkan, beberapa ku­
tipan dan pernyataan tanpa naskah dari pelaku pem bunuhan
1965­66 yang muncul di ilm dokumenter tersebut mirip sekali
de ngan kutipan langsung yang m uncul di karya Ryter, tanpa bisa
kita lihat wajahnya. Bahkan nam a m ereka disam arkan, sehingga
sulit untuk m em astikan apakah kata-kata yang dikutip dalam
karya Ryter itu m erupakan kata-kata dari orang yang sam a yang
iden titasnya sepenuhnya dibuka dalam The Act of Killing.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kemustahilan Sejarah? 189

Dengan m engandalkan kekuatan m edia yang berbeda, m a-


sing-m asing dengan kaidah yang berbeda, usaha Ryter dan
Oppen heim er m enghasilkan karya yang berbeda dalam hal kiblat,
cakup an, dan isi. Film dokum enter karya Oppenheim er m enukik
pada persoalan etika dan politik dalam penceritaan di m asa kini
ten tang kejahatan di m asa lalu. Sekalipun Ryter juga m engaku
bahwa karya nya m erupakan sejarah m asa kini (20 0 2: 9), karya
ini berhasil dengan m engagum kan m engum pulkan beragam
infor m asi tentang m asa lalu, m enyusunnya m enjadi sebuah kisah
terpadu sebagai sebuah karya akadem is, dan m em beri pertim -
bangan teoretis yang m em bantu kita di m asa kini m em iliki se-
buah bayangan apa yang m ungkin terjadi pada tahun 1965-66.
Ryter menyajikan lebih banyak bahan yang tak ada dalam ilm do­
kum enter karya Oppenheim er, yaitu konteks yang lebih luas dan
rincian lebih jauh tentang rangkaian peristiwa yang m engarah pada
terjadinya pem bunuhan 1965-66 di Medan. Contohnya, bukannya
ber fokus pada kejahatan, kesaksian, dan fantasi beberapa orang
(sebagaimana dilakukan oleh ilm dokumenter itu), Ryter mem­
bahas sengketa politik dan ekonom i di antara kelom pok pre m an
lokal―terkait perebutan lahan percaloan tiket bioskop―di mana
tokoh utam a dan pem bunuhan kejam yang ditam pilkan dalam
The Act of Killing, m enjadi bagian kecil (tapi penting) dari per-
soalan itu. Dalam rincian yang m em pesona, Ryter juga m em -
perlihatkan bagaim ana pertarungan di tingkat lokal paling bawah
ini berangsur-angsur ditarik dan m enjadi bagian politik kepar-
taian yang lebih besar dan ideologis sifatnya, sebagaim ana seluruh
bangsa terperangkap dalam ketegangan global Perang Dingin dan
m enanggung beban besar dari kobarannya yang terus m enjadi-
jadi sejak pertengahan 1960 -an.
Namun, dalam satu aspek penting, ilm dokumenter ini lebih
unggul dengan potensi dam pak yang lebih besar bagi m asyarakat
um um di Indonesia yang tak m ungkin m am pu dicapai oleh sebuah

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
190 Identitas dan Kenikmatan

karya akadem is. Yang saya m aksud adalah dram atisasi representasi
audio visual suara-suara otentik pelaku penting dalam peristiwa
tersebut, seakan m ereka bicara langsung kepada penonton; ini
m em beri kesan yang seakan-akan “langsung” (tanpa jasa m edia)
dalam m engungkapkan kebenaran dan kenyataan yang terjadi
pada tahun 1965-66. Tentu saja sensasi yang didapat penonton di
layar terasa am at otentik dan am at bugil; sem ua ini tidak m ungkin
dibangkitkan dari sebuah karya cetak (tekstual) akadem is.
Sem entara representasi yang seakan-akan langsung dan otentik
dalam bentuk gambar bergerak merupakan kekuatan utama ilm,
karya Ryter lebih unggul dalam kelengkapan dan analisa kritis.
Sekalipun ilm dokumenter ini mengaku tidak menggambarkan
peristiwa 1965 secara objektif, The Act of Killing berpeluang
untuk m enim bulkan dam pak besar berkat faktor kejutan yang
ditam pilkan. Film ini tak berupaya untuk m em perlihatkan kepada
kita apa yang terjadi pada 1965-66, m isalnya dengan m enam pilkan
rekaman dari periode tersebut. Alih­alih, ilm ini secara berlebihan
menampilkan serangkaian versi iksi yang menyiksa akal sehat
dari kesaksian yang riang gem bira serta peragaan penuh gaya di
m asa kini yang dilakukan oleh para pelaku penting pem bunuhan
1965-66.
Salah satu lapis pengungkapan politik dan sejarah Indo nesia
yang dihasilkan dari The Act of Killing berupa beberapa adegan
yang m em perlihatkan hubungan erat antara orang-orang yang
m engaku penjahat politik ini dan pejabat tinggi pem e rintahan.
Hubungan ini ada yang berbentuk persekutuan saling m eng-
untungkan antara pem bunuh dan pejabat negara yang terkadang
m em buahkan tawaran jabatan bagi para pem bunuh atas jasa
yang m ereka berikan kepada pejabat negara. Penonton The Act
of Killing m ungkin terkejut oleh ruang lingkup jejaring seperti
itu, dan keterus-terangan orang-orang itu m em bicarakannya di
depan kam era. Mereka ini, dan cerita m ereka yang diperlihatkan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kemustahilan Sejarah? 191

dalam ilm dokumenter ini, hanya sebagian kecil namun penting


dari gam bar lebih besar yang diungkapkan dan dianalisa dalam
karya Ryter (1998, 20 0 2, 20 0 9) dan Wilson (20 0 6, 20 0 8, 20 11).
Ke tim bang sekadar m endapat gam baran sekilas kekebalan
hukum luar biasa yang ditampilkan dalam ilm dokumenter ini,
karya Ryter dan Wilson secara terpisah m engukuhkan pandangan
um um dan m em bahas lebih jauh m engenai prem anism e yang
m enguasai seluruh negeri dan berakar kokoh, bahkan secara tak
resm i m enjadi terlem baga, di tingkat negara dan m enjadi bagian
dari kehidupan sehari-hari, jauh m elam paui Medan dan Sum atra
Utara, yang menjadi lokasi ilm The Act of Killing. Menurut
Wilson:

prem an dan para pelaku kekerasan lain terus m eningkatkan daya


tawar m ereka dengan m endiktekan syarat yang m ereka tetapkan
sepihak, sehingga m ereka beralih wujud dari kelom pok yang tunduk,
prem an sewaan, dan calo m enjadi pelaku sosial dan politik bagi diri
m ereka sendiri. Pengayom an dari kaum elite, sekalipun ‘berguna’,
tak lagi dibutuhkan untuk bertahan hidup. Hubungan saling
ketergantungan ini telah terjungkir, sem akin m enguntungkan para
prem an, sebuah proses ‘pem alakan terbalik’ di m ana elite politik
m akin m enjadi klien ketim bang penyedia perlindungan.
(20 11: 245)

Menurut Ryter, pada m asa pasca-Orde Baru, pem erintahan se-


pan jang 20 0 4 hingga 20 0 9, “ham pir setengah dari seluruh anggo-
ta DPR (45 persen) m em asukkan organisasi kepem udaan dalam
curriculum vitae m ereka” (20 0 9: 190 ). “Organisasi kepe m u daan”
m erupakan sebuah istilah penghalusan resm i untuk m e nyebut
jejaring organisasi m assa yang diakui pem erintah, yang didom inasi
oleh param iliter, m ilisi, dan prem an yang terorganisir.
Meskipun dem ikian, sebagaim ana dibahas oleh Ryter dan
Wilson, dengan terjadinya perubahan tata dan pem bagian ke kua-
saan di lingkungan elite politik tertinggi, m asa depan Indonesia

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
192 Identitas dan Kenikmatan

sebagai republik prem an m enjadi tak pasti. Sebagaim ana diam ati
Ryter (1998, 20 0 9) dan Wilson (20 0 6, 20 0 8, 20 11), telah terjadi
penyebaran, atau katakanlah ‘dem okratisasi’, kekerasan politis
yang terorganisir di dalam m asyarakat. Akibatnya, sejum lah
besar dari mereka mencari pelindung, ailiasi, dan kesempatan
baru di berbagai organisasi m assa berbasis Islam . Salah seorang
nara sum ber Wilson, seorang prem an yang baru saja bergabung
dengan Front Pem bela Islam , berkata, “sekarang zam an refor-
m asi, nasionalism e dan bela bangsa dan segala tetek bengek se-
perti itu tak laku. Sekarang ini kesem patan tersedia di sekeliling
kelom pok yang m em bela jihad dan m em erangi m aksiat” (Wilson
2008: 193). Dalam derajat berbeda­beda organisasi­organisasi
ini m enam pung pengangguran usia m uda dan m antan prem an
ke dalam organisasi m ereka, sam bil sekaligus juga m engejar k e-
pentingan ideologis m ereka, berdasarkan politik identitas berlan-
daskan etnis atau agam a. Hal ini m em bawa kita kem bali kepada
titik awal lingkaran seperti yang dibahas dalam Bab 2 dan 3 ten­
tang pem bajakan politik dan retorika Islam is oleh anggota partai
politik sekuler yang dom inan.
Salah satu yang terungkap, dan sam a sekali tak terduga, dalam
The Act of Killing adalah pentingnya peran ilm sebagai medium
yang m em bawa kepada pem bunuhan m assal 1965-66. Ada ber-
bagai hubungan di antara para pembunuh itu dengan ilm­ilm
Am erika yang ditayangkan di Medan ketika itu, juga dorongan
dan gaya m ereka dalam m elakukan pem bunuhan terhadap m u-
suh-m usuh m ereka. Saya sudah m enyebutkan, beberapa jagal
dalam ilm dokumenter ini bekerja sebagai calo tiket bioskop.
Di luar layar, para calo ini m enem pati wilayah di sekitar gedung
bios kop untuk m encari penghasilan m ereka; m ereka juga m e-
nonton dan mengagumi berbagai ilm Hollywood dari berbagai
genre. Sesudah ilm berakhir, mereka meninggalkan bioskop
dan berlaku seakan­akan mereka adalah tokoh di dalam ilm itu,

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kemustahilan Sejarah? 193

berjalan keluar layar m enuju jalan raya. Dem ikian pula dalam The
Act of Killing, banyak adegan dan kesaksian dari para jagal ini
yang m em perlihatkan bahwa m ereka m engam bil ilham dari gaya
pembunuhan kejam yang ada di ilm­ilm koboi dan horor, ketika
m ereka bicara tentang pem bunuhan dalam kehidupan nyata
terhadap tawanan kom unis pada tahun 1965-66. Sesuai dengan
hal itu, dalam m elakukan peragaan terhadap pem bunuhan itu,
para bekas penjagal itu m em ilih pakaian yang m enyerupai tokoh
ilm gangster Amerika yang mereka pernah lihat dan masih ingat.
Ada juga penyataan sambil lalu dari dua tokoh ilm dokumen­
ter itu yang m enyinggung soal kam panye boikot ilm Amerika
pada tahun 1960 -an yang m engancam pendapatan m ereka
sebagai calo tiket bioskop. Karena kelom pok kom unis m erupa kan
pendukung utam a gerakan boikot tersebut, aksi ini digunakan se-
bagai alasan untuk m enghancurkan kom unis setem pat. J oshua
Oppenheim er juga m enyebutkan salah satu dim ensi tam bahan
m engenai hubungan antara kisah di dalam The Act of Killing dan
industri ilm di Indonesia. Ia menyebut wartawan senior Ibrahim
Sinik, yang tampil dengan identitas sepenuhnya di dalam ilm. Di
situ Sinik m engaku bahwa ia terlibat jauh dalam m engorganisasi
pem bunuhan m assal yang terjadi di lantai dua kantornya, serta
m em ainkan peran sebagai perantara dengan kom andan m iliter.
Menariknya, m enurut Oppenheim er, Sinik ini adalah wartawan
senior yang

m enjadi sekretaris jenderal organisasi anti-Kom unis yang berperan


serta di dalam pem bunuhan dan secara langsung m em beri perintah
kepada pasukan pem bunuh yang dipim pin Anwar, teryata juga
seorang produser ilm bioskop, penulis skenario, dan bekas ketua
Festival Film Indonesia. (Oppenheim er 20 12)

Kita dapat m enduga bahwa sem ua itu sedikit aneh, nyentrik, atau
se penuhnya kebetulan saja, dan segala rincian itu tak akan tam pak

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
194 Identitas dan Kenikmatan

jika tak diperhatikan oleh pembuat ilm seperti Oppenheimer.


Ternyata, tidak ada yang aneh atau kebetulan ten tang hal ini
jika kita m em perhitungkan konteks sejarah yang lebih luas.
Bahkan sebagai seorang ahli politik yang tak punya perha tian
khusus terhadap industri ilm, Ryter merujuk pada aspek politik
dan ekonom i distribusi ilm lokal serta percaloan tiket di Medan
sebagai satu faktor paling penting, di antara beberapa faktor lain-
nya, untuk m enjelaskan m engapa Pem uda Pancasila m en jadi ke-
kuatan utam a dalam m elakukan pem bunuhan terhadap k o m u nis
di Sumatra Utara (2002: 31). Jika ilm dokumenter Oppenheimer
m em bantu banyak orang seperti saya untuk m elihat Indo nesia dan
ilm dokumenter dengan cara baru yang radikal, maka karya Ryter
m em bantu saya untuk m elihat Indonesia dan karya Oppenheim er
dengan cara yang lebih segar lagi.
Pada aliena ini, saya akan m enggarisbawahi beberapa hal
ter penting dalam studi Ryter (20 0 2) yang berhubungan secara
langsung dengan diskusi kita, tetapi tak tam pak dalam The Act
of Killing. Sejak tahun 1950­an, ilm merupakan medium hibur­
an terpenting bagi bangsa Indonesia yang tengah m enja lani m o-
dernisasi, term asuk di Medan, kota terbesar ketiga di Indo nesia.
Ryter m enggam barkan kedatangan perusahaan listrik di Medan
dengan sangat puitis, “di Medan, kedatangan ‘penerangan’ listrik
berhubungan dengan m asuknya gam bar bergerak, sehingga ke-
duanya m em buahkan sem acam persam aan antara pencerahan
modern dengan representasi sinematograis” (2002: 44). Secara
material, pajak dari distribusi ilm di Medan sangat besar bagi
pundi pendapatan pem erintah lokal, dem ikian pula bagi para calo
tiket. Menyusul pertum buhan dan keragam an etnis penduduk
Medan, kelom pok anak m uda bertum buhan bagai jam ur di m usim
hujan, dan percaloan tiket di beberapa bioskop m enjadi salah satu
bentuk persaingan dan perang berdarah di antara kelom pok-
kelom pok kaum pendatang m uda ini.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Kemustahilan Sejarah? 195

Ketika konlik kepartaian di tingkat nasional menajam pada


dekade 1960 -an, disulut oleh Perang Dingin global, kehidupan
sehari-hari orang Indonesia m enjadi am at terpolitisasi dengan
cepat, dan bangsa ini terpecah-belah. Pada saat inilah prem anism e
lokal yang sudah lam a ada m em peroleh status dan dim ensi baru,
dan m em ulai langkah m aut m ereka. “Pada awal 1960 -an, per-
saingan penguasaan ‘percaloan’ tiket bioskop berpadu dengan
per ubahan pada peta persaingan di tingkat nasional untuk m eraih
kekuasaan politik” (Ryter 20 0 2: 47). Satu kelom pok yang kalah
bersaing untuk m enguasai satu lahan percaloan yang bergengsi
di sekitar Medan Theatre m em ilih m endukung boikot terhadap
ilm Amerika yang berakibat hilangnya sarana bertahan hidup
kelom pok lawannya yang dekat dengan Pem uda Pancasila.
Maka, di m ata kelom pok yang belakangan ini, kelom pok pertam a
merupakan segerombolan “komunis”—setidaknya berdasarkan
lingkungan pergaulan m ereka, walau bukan karena keyakinan
ideologis mereka. Konlik politik di antara elite tertinggi negara
di J akarta m enjadi berantakan disebabkan peristiwa yang terjadi
pada bulan Septem ber dan awal Oktober 1965 (lihat Bab 4), dan
dam paknya m enetes ke bawah ke berbagai provinsi di Indonesia.
Di Medan, hal ini m em icu pem bunuhan m assal 1965-66 dalam
ben tuknya yang terjadi, dengan Pem uda Pancasila sebagai ujung
tom bak pem bunuhan terhadap para terduga kom unis beserta
kelom pok-kelom pok prem an yang dianggap dekat dengan PKI.
Posisi penting industri ilm yang sangat menggelitik dalam
sejarah Indonesia m odern dan kekerasan politik tidak berhenti di
situ. Dalam bab berikut, saya akan m eneliti serangkaian peristiwa
penting baik sebelum dan sesudah 1965, ketika upaya pencarian
identitas nasional m elibatkan sejarah panjang penghapusan
kelom pok m inoritas yang pernah m em ainkan peran kunci, antara
lain, dalam industri ilm.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bab 6

Minoritas Etnis yang Dihapus

EMPAT BAB sebelum nya telah m em perlihatkan betapa serius,


sampai terkadang mematikan, konlik yang dapat berkobar
ketika kelom pok tertentu m em anfaatkan kekuatan m ereka guna
m em aksakan identitas sosial dengan cara m enyingkirkan kelom -
pok lain dan m enyangkal kedudukan sah kelom pok lain tersebut
dalam kehidupan publik. Bab ini akan m endiskusikan salah satu
bentuk politik penyingkiran seperti itu, yaitu m ereka yang disebut
atau m enyebut diri sebagai etnis ‘Tionghoa’ di Indonesia, baik di
layar m aupun di belakang layar.1 Bab ini m enunjukkan, m anfaat
penelitian tentang diskrim inasi terhadap etnis m inoritas ini tak
sesederhana atau terbatas pada upaya m em bangun argum en dem i

1 Untuk kenyam anan, saya akan m em buang tanda kutip yang dipakai untuk
m enyebut etnis m inoritas ini, kecuali dalam beberapa kasus tertentu ketika
penekanan terhadap posisi iktif mereka diperlukan. Dalam versi terjemahan
ini digunakan istilah “Tionghoa” ketim bang “Cina” sesuai preferensi baik
penerbit m aupun banyak warga dari kaum m inoritas ini, kecuali bila istilah
“Cina” dipakai dalam kutipan langsung dari sum ber aslinya atau acuan dari
sum ber lain yang m engandung sikap rasis.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
198 Identitas dan Kenikmatan

keadilan atau pengakuan bagi m ereka sebagai korban. Nam un, hal
ini m em ungkinkan kita bisa m engam bil langkah berikutnya dan
m enghadapi dua persoalan lebih besar yang hanya bisa disinggung
selintas dalam bab ini. Pertam a, kita perlu m engenali sifat iktif
etnisitas yang telah begitu luas diterim a sebagai se suatu yang
alam iah. Kedua kita berkesem patan m enem ukan kem bali sejarah
yang kaya dan m em ukau tentang m odernitas aw al dan interaksi
antar-etnik dalam kehidupan sehari-hari m asyarakat di Hindia
Belanda. Ini adalah sejarah kehidupan sosial yang sangat hidup
yang m elahirkan bangsa Indonesia dan sinem a pada awal abad
ke-20 , di m ana etnis Tionghoa hanyalah bagian darinya. Mem ang,
kasus yang akan diteliti berikut m enggam barkan bagaim ana pem -
bentukan versi lokal modernitas di wilayah ini—sebagai proyek
lintas-etnis dan transnasional—tak terpisah dari sejarah khas
etnis m inoritas terkem uka ini. Maka bab ini akan juga akan
m engaju kan kritik terhadap sejarah resm i bangsa Indonesia yang
telah m enikm ati pengesahan dan telah diproduksi ulang dalam
diskusi popular dan karya akadem is dalam bahasa Inggris dan
Indonesia.

ETN ISITAS SEBAGAI FIKSI


Seperti cerita di dalam ilm, etnisitas secara fundam ental, sekalipun
tidak seluruhnya, merupakan sebuah iksi. Serupa belaka dengan
‘bangsa’, seperti halnya ‘kom unism e’ di Indonesia sejak 1966,
atau ‘Islam ’ di berbagai belahan dunia sejak peristiwa serangan
9/11 di Amerika Serikat. Meski demikian, iksi ini memiliki per­
wujudan material yang nyata. Jika kisah ilm menemukan eks­
presi publiknya secara m aterial di layar sebagai serangkaian
gam bar bergerak, m aka ke-tionghoa-an di Indonesia hadir dalam
kehidupan sosial secara m aterial dalam KTP yang ditandai secara
khu sus, m akanan khas, penggunaan bahasa, atau perayaan
beberapa festival. Namun, tak ada cara untuk mendeinisikan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 199

kelom pok etnis ini (atau kelom pok etnis m anapun) dengan cara
tertentu yang sepenuhnya objektif dan m aterial, karena apa yang
tam pak nyata sebenarnya selalu cair dan hanya sebagian kecil saja
dari yang diangan-angankan bersifat tetap dan statis. Ber lawanan
dengan pemahaman umum, iksi itu sesungguhnya mendahului
dan m enciptakan yang nyata.2
Baik sosok etnisitas sebagai sebuah iksi sebagaimana diper­
kenalkan oleh pem erintahan kolonial Belanda m aupun kehidupan
cam pur-aduk yang m eriah di Indonesia telah dihapus dari sejarah
resm i bangsa Indonesia, juga pada penulisan sejarah popular dan
jurnalistik. Penghapusan ini m erupakan ulah lingkaran kecil, tapi
am at kuat di tingkat elite politik, dan kaum terpelajar guna m em beri
hak istim ewa kepada konsepsi ‘nativistik’ atau kepribum ian yang
dideinisikan dengan amat sempit sebagai orang Indonesia ‘murni’
atau ‘asli’ sejak pertengahan abad ke-20 dan sesudahnya. Se jum -
lah ahli dalam kajian Indonesia telah m engkritik penulisan seja rah
seperti itu, dari berbagai bidang dalam berbagai bentuk. Na m un,
sebagaim ana telah diperlihatkan oleh beberapa karya yang am at
m enarik (beberapa contohnya dalam bahasa Inggris Anderson

2 Untuk diskusi terkait kelahiran etnisitas secara legal di wilayah ini pada tahun
1870 , lihat Anderson (1991: 164-70 ) dan Kahn (1989). Dalam kasus khusus
orang Tionghoa di bawah rezim kolonial Belanda, sejarawan Kem asang bahkan
lebih jauh lagi berpendapat bahwa dem i m em isahkan kelom pok etnis ini,
pem erintah kolonial Belanda m em buat hukum yang m enciptakan perbedaan
m ereka:
untuk pem isahan orang Tionghoa, m aka m ereka secara hukum dipaksa untuk m eng-
gunakan gaya ram but dan contoh atribut lain yang m em bedakan m ereka secara
visual dengan kelom pok etnis lainnya. Setelah m em aksa orang Tionghoa, Belanda
m em ajaki m ereka untuk “hak istim ewa” tersebut … juga terdapat beberapa bentuk
pem erasan lagi yang berlaku hanya untuk orang Tionghoa, seperti pajak pem akam an,
perkawinan dan pertunjukan wayang (opera)…pajak khusus untuk versi dari upacara
universal kem atian… pungutan untuk m em anjangkan kuku… Pungutan-pungutan
ini, lagi-lagi, m elayani lebih dari satu kepentingan Belanda. Dengan cara itu m ereka
tak hanya bisa m em eras orang Tionghoa, tapi pungutan-pungutan ini, dengan segala
“kekhususan”-nya, juga m em bantu untuk m em astikan pem isahan korban m ereka
dengan m asya rakat luas.
(Kem asang 1985: 71)

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
200 Identitas dan Kenikmatan

1991; Barker 20 10 ; Cohen 20 0 6, 20 0 9; Coppel 1999; Sen 20 0 6;


Strassler 20 0 8; Winet 20 12), kebanyakan karya ilm iah m engenai
topik ini terus terjebak dalam penulisan sejarah yang berm asalah
dan ikut m ereproduksi sejarah resm i tersebut.
Kaum etnis Tionghoa di Indonesia bukan satu-satunya kelom -
pok m inoritas di negeri yang am at m ajem uk ini yang m enjadi
korban kebijakan negara yang diskrim inatif dalam waktu yang
panjang. Nam un, karena berbagai alasan berikut ini, bahasan
etnis Tionghoa dalam Indonesia m utakhir secara historis am at
khas, sehingga kasus diskrim inasi terhadap m ereka agak khu sus.
Pertam a, selain saudara-saudara setanah air keturunan India,
tak ada kelom pok m inoritas lain yang m enem pati posisi eko nom i
seistim ewa etnis Tionghoa sejak era kolonialism e hingga kini. Maka
diskrim inasi terbuka dan resm i terhadap m inoritas ini m enjadi
aneh karena tak sesuai dengan anggapan um um bahwa kekuatan
ekonom i dapat dialihkan m enjadi kekuatan politik dan m oral dan
sebaliknya. Tentu saja ini adalah contoh istim ewa pepatah ‘uang
tak bisa m em beli segalanya’. Sekalipun dem ikian, m em bicarakan
kekuatan ekonom i kelom pok etnis ini, atau kelom pok etnis apa
pun, bukan tanpa m asalah, sebab gagasan paling pokok m engenai
etnisitas itu sendiri sudah am at berm asalah (lihat Philpott 20 0 0 :
84-7).3 Tam bahan lagi, angan-angan publik dan diskusi tentang
kem akm uran kelom pok etnis ini kerap diwarnai oleh pernyataan
yang berlebihan dan stereotip. Kalaupun kita andaikan sejenak
bahwa “Tionghoa Indonesia” adalah kategori yang jelas, sejauh
m ana skala kekayaan kelom pok ini m erupakan sum ber perdebatan
dan spekulasi.4

3 Philpott mengutip karya Richard Robison sebagai contoh utama bagaimana


analisa politik ekonom i yang inovatif, dengan perhatian serius pada proses
dinam ika sejarah, dapat terjatuh m enjadi “pandangan statis tentang etnisitas”
yang telanjur lazim (Philpott 20 0 0 : 85).
4 Sem entara kesenjangan ekonom i am at jelas dalam pengam atan sehari-hari,
jum lah persis dan nilai pentingnya m asih terbuka untuk diperdebatkan. Banyak

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 201

Kedua, sebagaim ana dengan m ereka yang dinyatakan sebagai


Indonesia keturunan India dan m ereka yang keturunan Eropa,
banyak orang Indonesia dari latar belakang etnis Tionghoa m enjadi
tokoh penting dalam seni pertunjukan, baik di panggung m aupun
layar perak. Ironisnya, hingga baru-baru ini, peran berbagai
kelom pok etnis ini nyaris dihapus sepenuhnya, atau disebut untuk
dicoret m enyilang (tidak dikehendaki) 5 dalam sejarah resm i dan
ingatan publik. Penghapusan ini secara langsung berkait dengan
perhatian utam a buku ini, m aka persoalan itu akan dibahas dalam
sebagian besar bab ini.
Ketiga, lebih dari etnis m inoritas lain (term asuk keturunan
India dan Eropa), orang Indonesia-Tionghoa m erupakan satu-
satu nya sasaran paling em puk dari kekerasan m assa yang di-
spon sori negara pada abad ke-20 , term asuk peristiwa 1998, yang
m en dahului keruntuhan secara resm i rezim Orde Baru, dan m eru-
pa kan kekerasan terhadap etnis Tionghoa terburuk dalam bebe-
rapa dekade (lihat Purdey 20 0 6). Dalam kesem patan berbeda,
saya telah m em bahas bahwa kekerasan m assa ini m erupakan
teror bercorak rasialis yang disponsori negara, dan bukan seperti
pan dangan um um bahwa peristiwa itu m erupakan serangkaian
“kerusuhan m assa” yang rasis (Ricklefs 20 0 1: 40 6).6

warga etnis Tionghoa Indonesia di ibu kota J akarta m aupun di luar J awa yang
tergolong dalam kelom pok m iskin. J uga dapat diperdebatkan apakah bisa
diterim a bicara tentang para pebisnis kaya sebagai wakil dari kelom pok etnis
m ereka kecuali pada dokum en resm i atau pada khayalan seseorang.
5 Catatan penerjemah: Seperti sudah dijelaskan dalam Catatan­kaki 1, Bab 3,
dalam naskah aslinya, penulis m enggunakan istilah “under erasure”, se buah
istilah teknis dari pem ikiran pasca-strukturalism e. Secara singkat dan seder-
hana, istilah itu dapat dijelaskan sebagai teknik m enulis dengan m enyebut
sesua tu yang kem udian disangkal atau ditolak sendiri oleh penulisnya. Ini ber -
beda dari tindakan penulis untuk tidak m enyebut sam a sekali hal yang sam a.
6 Istilah “kerusuhan” mengimplikasikan tindakan dari bawah ke atas dan bersifat
spontan, ditandai dengan kehendak bebas para pelaku, yaitu kerumunan yang
marah. Skenario yang banyak diterima ini menyalahkan kriminalitas pada massa
kolektif yang dibayangkan, padahal mereka tak pernah ada, atau pen duduk kota
yang miskin, yang sebagian besar tak punya suara untuk membantah tuduhan
tersebut. Kebanyakan dari mereka kehilangan pekerjaan atau hidup mereka

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
202 Identitas dan Kenikmatan

Siapa pun yang m engenal Indonesia m enyadari sepenuhnya bahwa


tak ada kelom pok sosial di luar negara yang m em iliki ke kuatan–
bahkan tidak separuhnya– yang diperlukan untuk m ela kukan keke-
rasan dengan skala sebesar dan sem ulus yang terjadi di J akarta dan
Surakarta…
Tak ada kelom pok rasial dan etnis di Indonesia, betapapun m a-
rah nya, yang m am pu m em icu kekerasan sistem atis dengan m e m a-
kan korban 1.198 jiwa (diantaranya 27 tewas karena tem bakan),
150 orang perem puan diperkosa, 40 pusat perbelanjaan dan 4.0 0 0
toko, ribuan kendaraan dan rum ah dibakar secara berbarengan di
27 lokasi di ibukota berpenduduk sepuluh juta jiwa, kurang dari 50
jam . Se m uanya dilakukan pelakunya tanpa dihalang-halangi petugas
keamanan, dan tidak seorang pun didakwa di pengadilan!
(Heryanto 1999b)

Selam a kekerasan anti-kom unis 1965-66, slogan anti-Tionghoa


juga m uncul berdam pingan dengan slogan anti-kom unis. Sede-
m ikian erat keduanya didam pingkan sehingga banyak pengam at
beranggapan keliru bahwa orang Indonesia-Tionghoa m en jadi
korban pem bunuhan terbesar dalam pem bantaian m assal 1965.
Kecuali di beberapa daerah seperti Medan (seperti digam barkan
dalam ilm The Act of Killing, dibahas dalam Bab 5), “korban
[pem bantaian 1965-66] m erupakan anggota dan sim pa tisan
PKI. Orang Indo nesia-Tionghoa m engalam i gangguan serius tapi
hanya sedikit yang terbunuh” (Cribb dan Coppel 20 0 9: 447). Me-
nurut Robert Cribb dan Charles Coppel, “m itos m engenai geno-
sida, ada di luar Indonesia—di antara orang Barat dan orang
Tionghoa-ketim bang di dalam m asyarakat Indonesia sendiri”
(20 0 9: 458). Menariknya, m itos serupa terjadi lagi sebagai reaksi
atas kekerasan m assa yang rasis pada 1998, khususnya di J akarta
(dan dalam tingkat yang lebih kecil di beberapa kota lain), di
m ana lebih dari 1.20 0 jiwa m enjadi korban, kebanyakan dari latar
belakang etnis non­Tionghoa (Heryanto 1999a: 315).

sebagai akibat langsung kekerasan 1998 (Heryanto 1999a: 314).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 203

Peristiwa di atas m enggarisbawahi soal yang saya sam paikan


sebelum nya, dan akan saya bahas lebih jauh lagi dalam bab ini,
bahwa orang Indonesia-‘Tionghoa’, seperti halnya etnis lain, m e-
rupakan sebuah iksi yang tak pernah menggambarkan secara
pasti atau konsisten pada orang atau kelom pok orang tertentu.
Pem berian cap ‘Cina’ yang berm asalah bagi warga Tionghoa ini,
beserta kekebalan hu kum m eluas yang dinikm ati oleh para pe laku
kekerasan terhadap kelom pok m inoritas, m em buat ke ben cian dan
stigm a tisasi terhadap etnis Tionghoa m enjadi kelazim an. Pada
gilirannya, dis krim inasi yang di-norm al-kan ini m e m ungkinkan
m ereka yang m en dom inasi wacana di Indonesia dan per debatan
publik untuk m em anipulasi kategori etnisitas kelom pok ini seba-
gai sebuah cap atau label yang m udah dibengkak-bengkok, dan
dapat diperalat secara lentur dengan berbagai m ak na berbeda-
beda, sem isal istilah ‘Cina’ atau ‘non-pribum i’, tergan tung kepen-
tingan m ereka pada saat itu (lihat Aguilar J r. 20 0 1).
Kita perlu m em balik logika yang sudah akrab ini di pangkalnya
untuk dapat m em aham i dengan lebih baik bagaim ana politik
etnis berjalan di Indonesia. Banyak orang Indonesia sesudah 1966
ditahan secara ilegal dan disiksa, sebelum diram pas hak-hak sipil
m ereka dan dinistakan sebagai ‘kom unis’ seum ur hidup. Sesung-
guhnya hal itu terjadi bukan karena m ereka pernah m enyatakan
diri sebagai kom unis atau m engungkapkan dukungan terhadap
‘kom unis yang asli’ (yang ketika itu sah). J ustru sebalik nya.
Mereka yang telah babak-belur m engalam i kekerasan dan per-
lakuan sem ena-m ena akan selam anya dicap ‘kom unis’ atau ‘sim -
patisan’ atau ‘saudara’ dari ‘kom unis’ atau ‘sim patisan’ lewat hu-
bungan darah atau pernikahan (lihat Bab 4 dan 5, juga Heryanto
20 0 6a). Hanya karena m ereka telah m enderita akibat kekerasan
yang disponsori negara, m aka banyak yang m enganggap m ereka
pasti pernah bersalah. Dem ikian pula dengan tubuh yang dilukai
dan jendela yang dipecah dalam kekerasan anti-Tionghoa secara

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
204 Identitas dan Kenikmatan

berkala (seperti pada 1998), bukan lantaran tubuh atau jendela itu
m ilik etnis Tionghoa. Nam un, karena dilukai dan dirusak, m aka
m ereka “m enjadi Tionghoa” atau “Cina” atau lebih tepatnya “di-
tionghoa-kan”. Luka dan kerusakan itu m enjadi sem acam stem pel
atau m eterai yang diterakan kepada sejum lah besar tubuh dan
jendela untuk m enandai secara pasti bahwa pem iliknya adalah
‘Cina’.
Bab ini terdiri dari tiga bagian. Bagi pem baca yang kurang
akrab dengan sejarah Indonesia, saya akan m em ulai dengan sket-
sa tentang status politik m inoritas etnis ini dalam setengah abad
bela kangan. Kem udian saya akan gunakan satu bagian untuk
m em bahas posisi m ereka yang dilabeli sebagai orang Indo nesia-
‘Tionghoa’ dalam industri ilm. Dalam kedua bagian ini, sesekali
per bandingan dengan status kom unism e yang m engalam i stigm a-
tisasi akan dicatat secara singkat. Bagian ketiga, yakni bagian
ter akhir, akan m enyelidiki bagaim ana sejarah nasionalism e ber -
upaya untuk m elupakan atau m enyangkal sum bangan etnis m i-
no ritas ini (serupa dengan keturunan India dan Eropa) dalam
sejarah industri ilm nasional. Sejarah resmi ilm Indonesia dicip­
takan tahun 1962, dan disahkan pada akhir tahun 1999. Sejarah
tersebut m enghapus bersih sum bangan etnis non-pribum i (ketu-
runan Tionghoa dan Eropa) m aupun senim an aliran kiri. Bab ini
tak akan memasukkan analisa terhadap muatan ilm­ilm yang
m em bahas dinam ika hubungan antar-etnis. Kajian sejenis itu
sudah dila kukan beberapa pihak (untuk contoh dalam Bahasa
Inggris, lihat Heryanto 2008a; Sen 2006; Setijadi­Dunn 2013).

ETN ISITAS YAN G D IH APU S


Tidak sulit m engam ati kesam aan dan perbedaan antara politik
penistaan terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia dengan
golongan Kiri (baik yang nyata m aupun yang dibayangkan) di
Indonesia, khususnya pada masa rezim Orde Baru (lihat Bab 3

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 205

dan 4). Kedua nya secara m endasar dinyatakan sebagai para liyan
yang berba haya bagi Indonesia, dengan dua perbedaan penting:
etnis Tionghoa tidak sepenuhnya dim usnahkan sebagaim ana
kaum kom u nis. Di luar status politik nista yang disandang orang
Indonesia-Tionghoa serta kerapnya m ereka m enjadi sasaran ke-
ke rasan m assa, sejum lah besar pengusaha etnis Tionghoa m e -
nik m ati posisi ekonom i yang diuntungkan selam a periode Orde
Baru. Posisi ekonom i istim ewa m inoritas etnis ini tam pak jelas di
tiga kota paling industrial, yaitu J akarta, Surabaya, dan Medan.
Kesam aan dan perbedaan dengan kelom pok Kiri tak sepe nuh-
nya kebetulan. Sebagaim ana kita lihat sebelum nya, pem us nah an
kom unis dan m ereka yang dianggap sim patisan pada per tengahan
1960 -an m erupakan bagian dari dinam ika politik Perang Dingin
global di tingkat nasional m aupun lokal.
Setelah ditolak secara sistem atis sebagai bukan bagian dari
jati diri nasional selam a berpuluh tahun, serta sesekali disuruh
untuk ‘pulang kam pung’ (ke Tiongkok daratan), kom unitas
Indonesia-Tionghoa dinyatakan bersalah atas beberapa tuduhan
oleh rezim Orde Baru. Pertam a, m ereka dianggap sebagai ras yang
be r bahaya secara politik karena dianggap m engidap hubungan
ke ke rabatan dengan leluhur di Tiongkok daratan, yang hidup di
bawah salah satu dari dua partai kom unis terkuat di dunia. Pada
gilirannya, propaganda anti-kom unis global pada m asa Perang
Dingin m enuduh Partai Kom unis Cina (CPC) telah m endukung
PKI, yang dituduh m endalangi pem bunuhan terhadap tujuh orang
per wira m iliter anti-kom unis pada tahun 1965.7 Walaupun sudah

7 Dalam artikel baru-baru in i un tuk sebuah kajian m en gen ai warga In don esia-
Tionghoa pada awal abad ke­21, Sai dan Hoon (2013: 4­5) mencatat gagasan
populer m en gen ai “sikap an ti diskrim in asi” m en doron g organ isasi den gan
ideologi beragam , yakn i Baperki (yan g an ggotan ya didom in asi oleh Cin a
In don esia) den gan suka cita beralian si pada PKI. Sekalipun ben ar bahwa kedua
organ isasi in i m em iliki kepen tin gan bersam a, pen elitian yan g lebih cerm at
m en gen ai persahabatan dan persain gan pribadi di an tara para pem im pin

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
206 Identitas dan Kenikmatan

m engalam i berbagai penindasan, tidak sedikit pengusaha dengan


latar belakang etnis Tionghoa m enjadi kelom pok dom inan dalam
kelas kapitalis dom estik di Indonesia. Setidaknya secara teoretis,
sem estinya m ereka bersatu dalam posisi kelas yang sam a dengan
kelom pok kaya dari berbagai kelom pok etnis lainnya, dalam upaya
m elawan PKI. Nam un, kenyataannya tak sesuai dengan skenario
tersebut.
Naiknya kekuasaan negara Orde Baru m enandai pem balikan
segera dan total dari retorika dan propaganda politik (ber ki-
blat sosialis m aupun anti-Barat) yang berjaya pada m asa pem e-
rintahan sebelum nya. Modal asing dari Blok Barat segera kem bali
m em asuki Indonesia dalam skala besar. Berkat bantuan besar-
besaran dari International Monetary Fund (IMF), dan Bank Dunia,
serta penindasan terhadap serikat buruh, pertum buhan ekonom i
nasional terus bertahan dengan m enakjubkan. Lalu m uncullah
paradoks yang m enyilaukan: ketika negara Orde Baru m enyatakan
status politis dan budaya Indonesia-Tionghoa sebagai sebuah nista
ataupun dianggap berbahaya, kerajaan bisnis beberapa anggota
kelom pok etnis ini m eluas hingga ke tingkat yang belum pernah
tercatat sebelum nya, di bawah perlindungan rezim yang sam a.
Untuk m enjelaskan kontradiksi tak lazim ini, kita hanya perlu
mengingatkan diri kita sendiri mengenai sifat iktif dan plastisnya
etnisitas ini di tangan rezim ketika itu, serta m engenali strategi
Orde Baru dalam m engelola apa yang disebut etnis Tionghoa di
Indonesia.

politik di dalam dan di an tara kedua organ isasi itu dapat m en gun gkapkan
cerita yan g lebih rum it. Misaln ya, ikatan politik an tara Ketua Baperki Siauw
Giok Tjhan dan Tan Lin g Djie; persain gan sen git an tara Tan dan Aidit
yan g pada tahun 1951 m en yin gkirkan Tan dari kepem im pin an PKI, serta
kem un gkin an adan ya sen tim en an ti-Tion ghoa yan g m en odai persain gan
antara dua orang komunis ini (lihat Lev 1991: 105, ck.13; Anderson, 2002:
130­1, ck.2). Saya berterima kasih pada Siauw Tiong Djin dan Charles Coppel
atas m asukan m ereka soal in i.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 207

Para ahli dalam bidang hum anoria telah bersepakat m enge-


nai sifat iktif etnisitas dan nyaris seluruh identitas sosial, khu­
susnya setelah diterbitkannya dua buku, yaitu The Invention of
Tradition (1983) karya Eric Hobsbawm dan Terence Ranger dan
karya Benedict Anderson, Imagined Communities: Relections
on the Origin and Spread of Nationalism (1983; edisi revisinya
tahun 1991 berisi dua bab tam bahan, term asuk satu bab m engenai
pem bentukan kategori rasial dengan penem uan sensus pada
tahun 1870 -an). Walau kesadaran di antara para ahli tentang hal
itu telah m enyebar, gagasan m engenai ras dan etnisitas seba -
gai sesuatu yang nyata, objektif, atau alam iah m asih tetap ber-
jaya baik dalam wacana publik secara um um m aupun dalam
berbagai pernyataan resm i pejabat publik. Mengom entari “gairah
petugas sensus terhadap kelengkapan dan kejelasan” pada m asa
kolonial, Anderson m encatat “sikap tak toleran m ereka terhadap
identiikasi yang jamak, ‘banci’ secara politis, kabur atau berubah­
ubah…Fiksi sensus m enuntut sem ua orang harus m asuk di dalam
kotak-kotak dan kolom sensus, dan setiap orang hanya m em iliki
satu—dan hanya satu—tempat yang amat sangat jelas. Tak terbagi­
bagi” (1991: 166). Selam a dan sesudah dekolonisasi negara-negara
bekas jajahan, penghayatan atas kategori-kategori kolonial itu
bukannya berkurang, tetapi m alah m engeras dan m enjadi lebih
popular serta m endapat dukungan politik lantaran hal itu ber-
m anfaat bagi kepentingan elite politik dan para pendukungnya di
m asa Indonesia m erdeka.
Di bawah pem erintahan Orde Baru, terdapat pem batasan ak -
ses bagi warga Indonesia-Tionghoa untuk m endapatkan pendi-
dik an dan layanan publik. Peluang untuk m em asuki profesi selain
per dagangan dan industri am at terbatas, atau m ustahil. Secara
budaya, ‘ke-tionghoa-an’ dipandang asing; secara politis dan m o-
ral dianggap berbahaya bagi jati diri Indonesia sebagaim ana yang
dibayangkan secara resm i. Nam a-nam a Tionghoa untuk orang,

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
208 Identitas dan Kenikmatan

organisasi, dan bisnis harus diindonesiakan. Bahasa Mandarin,


m edia m assa, dan organisasi Tionghoa dibubarkan dan dinyatakan
terla rang. Hingga berakhirnya abad ke-20 , aksara Cina term asuk
dalam daftar barang terlarang seperti halnya bahan peledak,
pornograi, dan narkotika dalam formulir bea cukai yang harus diisi
oleh seluruh pendatang yang m em asuki Indonesia. Hingga awal
1990 -an, senam popular Cina, lagu Mandarin di pusat karaoke,
dan penjualan kue­kue Cina dilarang (Indrakusuma 1993; McBeth
and Hiebert 1996; Subianto 1993; Suryadinata 1985). Di tahun
1990 , di kota-kota di Provinsi J awa Tengah, lagu Mandarin tak
boleh diperdengarkan dalam perayaan m alam Tahun Baru Lunar
(dikenal di Indonesia sebagai Tahun Baru Im lek, penerjem ah)
(Kedaulatan Raky at 1990 ). Sem ua ini dilakukan dengan dalih ne-
gara Orde Baru bertekad m em baurkan m inoritas ke dalam tubuh
politik Indonesia, dengan m em bersihkan unsur asingnya (yaitu
‘ke-tionghoa-an’). Meskipun begitu, program pem bauran Orde
Baru m em ang dirancang untuk gagal, karena suksesnya program
ini berm akna runtuhnya kepentingan sponsornya sendiri. Meng-
hapuskan identitas Tionghoa dalam program pem bauran yang
m u jarab berarti m enanggalkan pem bagian kerja berdasar ras
yang m en jadi dasar bagi status quo (Heryanto 1998a: 10 4).
Tak sulit untuk m em aham i bagaim ana paradoks kebijakan
Orde Baru terhadap etnis Tionghoa berlangsung. Kebijakan itu
m en jelek-jelekkan etnis Tionghoa dalam bidang politik dan bu-
daya, tapi pada saat yang sam a berpihak kepada sekelom pok ang-
gota etnis ini dalam bidang bisnis. Birokrasi Orde Baru lebih suka
m em beri kem udahan ekonom i kepada m ereka yang dipan dang
sebagai ‘ Indonesia-Tionghoa’ dan orang asing, dengan m engor-
bankan rekan-rekan m ereka yang dipandang berasal dari kom u-
nitas ‘pribum i’. Tak seperti orang pribum i, m ereka ini tak m em iliki
peluang untuk bangkit m enjadi kekuatan sosial (m isalnya sebagai
borjuasi dom estik) dengan potensi m enjadi oposisi politik elite

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 209

Orde Baru. Kecilnya peluang kom unitas bisnis Tionghoa untuk


m enjadi borjuasi dom estik, pada gilirannya, disebabkan oleh
kem u dahan ekonom i yang dinikm ati oleh kelom pok bisnis dari
etnis ini. Favoritism e ini berfungsi untuk m enghasut m asyarakat
atau m engipas-ipasi sem angat anti-Tionghoa di m asyarakat, juga
sem angat anti-asing yang terus dipertahankan, terutam a terhadap
Barat yang diangan-angankan.
Dalam diskusi publik, Barat dan Indonesia-Tionghoa digam-
barkan sebagai pihak yang paling diuntungkan dari pertum buhan
ekonomi dan dampak-dampak imoralnya, dengan mengor bankan
mayoritas pribumi. Setiap kali terjadi ketegangan politik dalam
lingkaran elite rezim, atau terjadi pelambatan pertumbuhan eko -
nomi, maka pemerintah akan memicu kekerasan massal anti-
Tionghoa, yang memberikan tiga keuntungan. Pertama, hal ini
akan mengalihkan kemarahan publik agar tidak tertuju kepada
elite yang sedang memerintah. Kedua, hal ini memastikan etnis
minoritas yang kaya ini—yang tak memiliki perwakilan di peme­
rintahan—akan terus bergantung pada bantuan perlindungan dari
individu pejabat tertentu di pemerintahan, sekaligus terus me ning-
katkan ongkos pemerasan yang harus mereka bayar untuk ban-
tuan tersebut. Ketiga, lingkaran kekerasan massa anti-Tionghoa
yang dirancang ini membuat aparat keamanan memiliki alas an
untuk menjelek-jelekkan, menahan, atau menghukum tokoh-tokoh
oposisi baik dari kalangan elite sendiri atau dari ko mu nitas pribumi
yang aktif secara politis. Tokoh-tokoh ini dituduh men dalangi apa
yang tampak di permukaan sebagai kerusuhan anti-Tionghoa.
Strategi ini tidak selalu berhasil meyakinkan se mua orang. Namun
di bawah kendali ketat negara, media massa tak me miliki pilihan
kecuali menyampaikan versi resmi berita dan pen jelasannya terkait
kekerasan massa yang terjadi secara berkala ini.
Penting untuk dicatat di sini bahwa yang kita hadapi ini bukan
kasus yang m urni bersum ber dari kebencian dan penindasan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
210 Identitas dan Kenikmatan

antar-ras. Nam un, ini m erupakan kasus paradoks pengelolaan


negara terhadap politik etnis, yang telah terbukti keam puhannya
selam a berpuluh tahun di bawah Orde Baru, dengan sejarah yang
panjang sejak m asa kolonial. Sem entara kelom pok m inoritas
ini dihinakan dan disalahkan karena m em iliki tanda-tanda ke-
tionghoa-an, dan dinyatakan ‘tak-Indonesia’, pem erintah Orde
Baru secara aktif m em produksi dan m em elihara ke-tionghoa-an
yang dinistakan, walau kem udian diserang untuk dihapuskan.
Maka, ini adalah kasus ‘etnisitas’ (terhapus dengan coretan) yang
sem purna. Tak peduli sejauh m ana seorang Indonesia-Tiong-
hoa telah m em baur, terutam a laki-laki, aparat negara akan m e-
m astikan bahwa jejak m asa lalu etnis m ereka akan terus dibawa
ke perm ukaan untuk diskrim inasi lebih jauh.
Dalam berbagai dokum en hukum yang penting seperti surat
nikah atau akta kelahiran, ada kode khusus bagi warganegara
dengan latar belakang etnis Tionghoa. Mereka yang sudah m e m a-
tuhi tekanan pem erintah untuk m engganti nam a Tionghoa dan
m engadopsi nam a ‘Indonesia’, m asih saja harus m enyebutkan
nam a lam a m ereka ketika m engisi form ulir. Mereka harus m em -
bawa akta resm i ganti-nam a, yang m em bedakan m ereka dari
warga negara lain dan m engharuskan m ereka m em enuhi syarat-
syarat tam bahan, baik syarat resm i m aupun silum an. Seorang
laki-laki keturunan ‘Tionghoa’ dapat m enikahi perem puan pri-
bum i dan hidup seperti pribum i lain, tetapi m ereka, anak m e-
reka, dan keturunan m ereka akan terus diberi cap ‘Tionghoa’
oleh logika negara Orde Baru. Ke-tionghoa-an m erupakan nista
yang ter wariskan dan abadi, m engikuti garis keturunan laki-laki
yang dianggap kekal dan sudah sejak awalnya nista. Beberapa
hal sudah berubah sedikit sejak kejatuhan Orde Baru pada 1998,
tetapi kebiasaan lam a susah m enghilang.
Kebanyakan pem bahasan m engenai etnis Tionghoa di Indo-
nesia m ene kankan secara berlebihan tindakan represif terhadap

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 211

m ereka, atau sebaliknya, m em besarkan kekuatan eko nom i diban-


dingkan proporsi status m inoritas m ereka di Indonesia.8 Sebagai
kon se kuensinya, pem bahasan m ereka gagal untuk m engenali hu-
bungan m endasar yang tam paknya saling bertolak-belakang, seba-
gai sebuah paradoks yang dengan sangat jitu m em elihara status-
quo. Maka, tak m engherankan sesudah kejatuhan Orde Baru,
kebanyakan pem bahasan (jurnalistik m aupun akadem is) tentang
etnis Tionghoa di m asa pasca-Orde Baru dikisahkan terutam a
sebagai cerita pem bebasan, pengakuan-kem bali, pem berdayaan,
dan ke bangkitan sebuah kelom pok yang selam a ini ditekan.
Nam un, ga gasan utam a tentang etnisitas yang am at berm asalah
tidak pernah dipersoalkan. Menyam but fajar baru keterbukaan
untuk m endiskusikan nasib etnis Tionghoa di Indonesia pasca
1998, Tickell m enyesali tidak m eratanya penulis yang m enikm ati
kebe basan ini, berdasarkan etnisitas m ereka, baik Indonesia-
Tionghoa m aupun pribum i. Dalam pengam atan Tickell

Apa yang absen…adalah, presentasi m asalah-m asalah pen ting ter baru
kom unitas Indonesia-Tionghoa yang berasal dari penu lis Indo nesia-
Tionghoa sendiri…am at sedikit karya tulis kreatif yang diter bitkan
oleh orang Indonesia keturunan Tionghoa dengan m enceritakan
pengalam an Indonesia-Tionghoa sendiri…Yang m enon jol, penulis
pribum i m engajukan pertanyaan-pertanyaan ini dan pertanyaan
lebih luas terkait dasar integrasi nasional.
(20 0 9: 277, 289)

Kita telah diingatkan pada soal yang dinyatakan oleh Anderson,


seperti dikutip di atas; seakan­akan “setiap orang memiliki satu—
dan hanya satu—tempat yang amat sangat jelas. Tak terbagi­

8 Salah satu contoh belakangan ini, Tickell m enggam barkan “di bawah rezim
Orde Baru, ke-tionghoa-an lebih ditandai oleh ketiadaan diskursus ketim bang
keberadaannya, oleh hal yang tak terkatakan ketim bang yang dikatakan… Di
bawah Orde Baru, etnisitas Tionghoa m enjadi tak terkatakan dan tak terlihat”
(20 0 9: 276).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
212 Identitas dan Kenikmatan

bagi” (1991: 166). Lebih jauh lagi, tentu tak ada alasan m e nga-
pa orang dari ‘latar belakang etnis’ tertentu harus m en ja di yang
per tam a atau paling produktif ketim bang kelom pok lain nya
dalam m engisahkan atau m enganalisis politik etnis yang m e -
nim pa m ereka atau kelom pok tersebut. Tickell tak sendirian atau
yang pertam a yang beranggapan dem ikian, sebagaim ana pernah
saya diskusikan di tem pat lain (Heryanto 20 0 8a: 78). Se buah
penelitian yang lebih belakangan tentang m asalah sejenis m en-
catat sudah lebih banyak senim an dari berbagai latar bela kang
telah mengungkapkan tema ini (Setijadi­Dunn 2013); sekalipun
dem ikian, dualism e (Indonesia-Tionghoa/ Indonesia-pribum i) ini
m a sih terus dipertahankan.
Dalam Bab 3, saya telah mendiskusikan panjang lebar ilm
kon troversial karya sutradara Hanung Bram antyo. Ia tam pil da-
lam posisi yang m enentang konsepsi etnisitas yang esensialis,
juga dualism e (pribum i/ non-pribum i) yang m engikutinya. Ia
m engalam i sendiri tirani etnis dan agam a di keluarganya. Ayah
dan kakeknya m enduduki jabatan penting di Muham m adiyah,
tapi ia m engaku bahwa

Saya separuh Cina m elalui ibu saya, yang m asuk Islam . Ketika m uda,
keluarga ibu saya datang ke Yogyakarta turut m erayakan Idul Fitri,
lalu kam i akan pergi ke Salatiga pada saat Natal. Begitulah pluralism e
berlangsung.
(Em ond 20 12)

Seiring waktu, banyak yang berubah dalam keluarganya seba-


gaimana juga dengan politik di negeri ini (lihat Bab 2 dan 3): “Kita
tak lagi m elakukan perjalanan, dan bahkan kita juga tak m engirim
ucapan selam at lewat SMS… J ika saya m em akai gam is putih, saya
akan dianggap Muslim yang baik, tapi jika saya m em akai jins,
m aka saya m enjadi Muslim yang buruk” (Em ond 20 12).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 213

Bukannya secara fatal m enjadi “Indonesia-Tionghoa” atau


“Indo nesia-pribum i”, orang Indonesia, sebagaim ana halnya
m akhluk sosial lain, m em iliki identitas yang beragam dan
kom pleks. Identitas ini am at cair dan tak pernah tetap. Bukannya
se m ata-m ata m enindas dengan m otivasi rasial terhadap kelom -
pok etnis m inoritas ini, Orde Baru secara aktif m enciptakan
serangkaian stereotip tentang Indonesia-Tionghoa dalam berbagai
ben tuk, m edia dan genre agar m ereka bisa dicela dan dinyatakan
berbahaya. Ini adalah kasus produksi identitas yang aktif dan
beragam , yang dapat dibandingkan dengan konstruksi kom unis
selam a kekuasaan Orde Baru, atau Islam di berbagai belahan
dunia sesudah peris tiwa 9/ 11. Tindakan untuk m em produksi se-
suatu yang tercoret atau terhapus ini am at berbeda dengan ber-
bagai bentuk tindak penghilangan, penolakan, penekanan, dan
penyensoran. Sekalipun dem ikian, dengan ber bagai alasan lain
yang layak diteliti lebih jauh, kecenderungan um um ini tidak ber-
laku seragam untuk karya sastra Indonesia (lihat Heryanto 1997)
atau ilm (lihat Sen 2006) sebagaimana akan ditinjau lebih jauh di
bagian berikut.

SAN GAT D IBU TU H KAN , TAPI TAK D IIN GIN KAN


Peran etnis Tionghoa dalam masa­masa awal pembuatan ilm di
Indonesia dan sumbangan khusus mereka terhadap industri ilm
bagi yang kini dikenal sebagai Indonesia, akhir-akhir ini telah
m enjadi perhatian para ahli. Yang m enyulut perdebatan m e reka
bukanlah penyangkalan atau kelalaian m utlak terhadap peran
utam a etnis Tionghoa dalam industri ilm. Sesungguhnya, pem­
bahasan di Indonesia mengenai perkembangan awal ilm Indonesia
sudah m em berikan pengakuan terhadap karya kelom pok ini,
sebagaim ana juga orang-orang keturunan Eropa. Yang m enjadi
m a salah adalah apakah karya m ereka dipandang sebagai warisan
atau bahkan pelopor kebudayaan nasional. Pada saat penulisan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
214 Identitas dan Kenikmatan

buku ini, sem ua karya yang diterbitkan di Indonesia yang berhasil


saya kum pulkan m enganggap karya-karya tersebut bukan bagian
dari sejarah ilm nasional. Kita akan kembali kepada persoalan
ini lebih dalam dalam bagian berikutnya. Pada bagian ini, kita
akan m elihat soal yang berkaitan: nyaris absennya tokoh-tokoh
beretnis Tionghoa dalam ratusan ilm Indonesia,9 yang sebagian
besar diproduksi oleh kelom pok etnis ini.
Krishna Sen, salah seorang pelopor kajian bidang ini dalam
Bahasa Inggris, m enyatakan keganjilan itu dengan baik. Di satu
sisi, ia m engingatkan bahwa “im igran Tionghoa telah m eletakkan
lan dasan industri ilm pada tahun 1930­an dan industri modal
Tionghoa menjadi tulang punggung industri ilm sepanjang seja­
rahnya” (Sen 20 0 6: 171). Ia m enam bahkan bahwa etnis m inoritas
ini m em a sok tak hanya

produser, pem odal dan distributor tapi juga sum ber tenaga kreatif
sinem a seperti sutradara dan penata kam era…[dan ironisnya] seluk-
beluk orang Indonesia-Tionghoa jarang ditam pilkan sebagai pokok
utama dalam ilm mereka, bahkan sebelum lenyapnya kehadiran
m ereka dituntut oleh kebijakan pem erintahan Orde Baru.
(Sen 20 0 6: 171)

Sesudah menonton sekitar 200 judul ilm Indonesia masa


Orde Baru (tam bah beberapa lagi yang dipelajarinya dari sum ber
bacaan lain), Sen m enem ukan hanya satu judul (yaitu Putri Giok,
1980 ) yang m enam pilkan keluarga Indonesia-Tionghoa. Nam un,
keluarga ini hanya m uncul di layar untuk dijelek-jelekkan sebagai
m asalah bagi bangsa sehingga perlu m engalam i ‘penghapusan’,
sejalan dengan propaganda Orde Baru m engenai ‘pem bauran’

9 Nam un, seiring dengan sifat paradoks kebijakan Orde Baru dalam m engelola
m inoritas etnis, selam a 1970 -an, pem erintah m engizinkan sejum lah besar
impor ilm Mandarin (lihat Tem po 20 12b: 18).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 215

(Sen 20 0 6: 177).10 Nyaris total lenyapnya kom unitas etnis ini


terus berlangsung hingga kejatuhan Orde Baru pada tahun 1998,
sekalipun etnis m inoritas ini m erupakan topik yang dom inan
dalam perbincangan publik (um um nya sebagai ‘m asalah’ nasional)
di berbagai genre dan m edia, term asuk acara obrolan di televisi,
berita, dan hiburan, term asuk dalam opera sabun.
Guna m endapatkan gam baran m engenai kerum itan dan posisi
paradoks orang Tionghoa dalam industri ilm Indonesia, analisa
Krishna Sen m engenai karya dan kepolitikan Teguh Karya am at
berm anfaat. Teguh Karya m erupakan salah satu tokoh m enonjol
dalam sinem a Indonesia kontem porer, “seorang auteur-sutradara
nasionalis terkemuka di antara rekan segenerasinya!” (Sen 2006:
172) dan ia seorang warga negara keturunan Tionghoa atau non-
pribum i. Pada tahun 1996, salah seorang kritikus paling senior di
Indonesia, J .B. Kristanto, m erenungkan m engapa seluruh karya
Teguh Karya m enam pilkan pandangan m uram tentang dunia ini
(Kristanto 1996). Kristanto m engim bau adanya penelitian serius
m engenai hal ini. Seakan-akan m em enuhi im bauan tersebut,
analisis Sen terhadap sang sutradara sepuluh tahun kem udian
m enyediakan satu jawaban kunci terhadap pertanyaan Kristanto.
Sen m enunjuk sesuatu yang m enarik tentang Teguh Karya: “di satu
sisi, Teguh Karya (etnis Tionghoa) m em iliki status sebagai auteur/

10 Ternyata, keganjilan sinem atis ini tidak hanya hadir di Indonesia, tetapi juga
dapat ditem ukan di Malaysia sepanjang pertengahan abad ke-20 . Setidaknya,
ini kasus ilm yang disutradarai dan dibintangi oleh P. Ram lee, “tokoh paling
terkenal dalam ilm Melayu, pertama sebagai aktor kemudian sebagai penulis
skenario, sutradara, dan bintang utama dalam ilm roman di sekitar 64 judul
ilm panjang” (Kahn 2006: 127). Menurut Kahn, dalam ilm­ilm Ramlee,
“tokoh­tokoh dalam ilm­ilmnya semuanya beretnis Melayu. Orang Malaysia
-Cina dan Malaysia-India tidak ditam pilkan secara stereotipikal m aupun secara
rasial, m ereka lenyap total … non-Melayu tidak ada sam a sekali” (20 0 6: 120 ).
Ram lee am at terkenal di kalangan penutur Bahasa Melayu yang m encakup
wilayah yang kini terdiri dari beberapa negara berbeda yaitu Malaysia,
Singapura, Brunei, dan Indonesia. Salah satu ilm Indonesia mutakhir yaitu
ilm Koper (20 0 6, Oh) m enam pilkan seorang tokoh Indonesia yang m engoleksi
rekam an lagu P. Ram lee.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
216 Identitas dan Kenikmatan

guru/ bintang dalam tarikh sinem a Orde Baru, nam un di sisi lain,
tak ada seorang tokoh Tionghoa pun di dalam karya-karyanya”
(20 0 6: 171). Salah satu pengam atan Sen paling m engagum kan
dalam kajiannya m engacu pada pertem uan awalnya secara pri-
badi de ngan sang sutradara. Karena am at berguna untuk pokok
ba hasan bab ini, m aka patut untuk dikutip agak berpanjang lebar:

Ketika saya m ewawancarai Teguh Karya untuk pertam a kalinya,


sebagai seorang m ahasiswa pasca-sarjana di tahun 1979 (saya baru
tiba untuk penelitian lapangan saya), ia baru saja m enyelesaikan
N ovem ber 1828 … Dengan kehangatan yang khas, ia m enarik saya
m asuk ke dalam keluarga ‘Teater Populer’. Dalam beberapa jam ,
seorang perem puan m uda yang duduk di pinggiran berbisik kepada
saya ‘kam u tahu ia Cina. Tapi jangan tanya-tanya kepadanya tentang
itu’ (kurang-lebih begitu kalim atnya). Setelah beberapa pekan, orang-
orang di lingkaran terdekat dia (m aupun yang jauh) m engulang pesan
yang kurang lebih sam a. Saya segera sadar sem ua orang tahu bahwa
Teguh Karya adalah ‘Cina’, dan m ereka hanya bisa berbisik-bisik saja
soal ini, nam un lebih dari itu, m ereka tam pak tidak tahan untuk tidak
berbisik tentang ini. Bisikan-bisikan itu m em iliki perwujudan yang
ganjil yaitu ketika m edia cetak kerap m enulis di dalam kurung (Steve
Lim) di sebelah namanya, Teguh Karya! Membaca ‘otobiograinya’
sepanjang sepuluh halam an, ketika ia akhirya m enyebut leluhur Cina
di dalam tulisannya, di tahun 1993, bagi saya, ia telah mengulang
bisikian-bisikan tentang ke-Cina-annya yang pernah saya dengar
berkali­kali sebelumnya—garis leluhur ini diakui hanya dan segera
diperlakukan seakan-akan tidak penting.
(Sen 20 0 6: 178)

Di luar kebiasaannya berbicara dengan lemah lembut, pe nam pilan-


nya sebagai orang yang berbakti secara menyeluruh pada per nik-
pernik untuk mencapai inovasi artistik, dan ketidakter tarikannya
pada soal politik pada masanya, Teguh Karya se per tinya sedang
menyampaikan pendirian politik seputar isu ras, de ngan cara amat
halus. Sesudah melakukan analisis men dalam terhadap karya-
karya ilm Teguh Karya, Sen mencapai kesim pulan:

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 217

Dalam bangsa yang digambarkan oleh ilm­ilm Teguh Karya, tam -


pak tiada tem pat bagi anak dari ayah orang asing dan ibu orang
Indonesia… Setiap ilm­ilmnya yang amat nasionalis, merupakan
sebuah gugatan terhadap sebuah sistem yang m enolak m em beri
kewarga negaraan penuh kepada keturunan Cina dan terus-terusan
tak m em beri tem pat bagi m ereka untuk m engeksplorasi ke-Cina-an.
(20 0 6: 180 )

Sedem ikian halusnya sikap kritis ini sehingga gam pang luput dari
perhatian publik terhadap ilm­ilmnya ketika (di bawah retorika
rasis Orde Baru yang gamblang), secara umum produser ilm etnis
Tionghoa diserang dengan cara blak-blakan dan jelas-jelas rasis.
Kelompok yang dibungkam ini disalahkan atas berjayanya ilm­
ilm jorok. Dengan mengambil posisi sebagai kaum yang lebih
suci, para kritikus, bersam a dengan sekelom pok kecil lingkaran
elite intelektual Indonesia, mengkritik dengan keras isi ilm­ilm
dom estik: penam pilan gaya hidup m ewah yang berlebihan dari
orang kaya baru, serta adegan kekerasan dan seks yang kasar.
Keluhan-keluhan ini tertam pung, m isalnya, dalam edisi khusus
m engenai “budaya pop” dalam sebuah jurnal paling bergengsi
saat itu, Prism a (No.6/ J uni 1977). Menariknya, sem entara para
sutradara dan kritikus m enikm ati ruang berlim pah untuk m ela-
kukan serangan, suara para produser ilm yang diserang sebagai
biang kerok bencana budaya dan sinem a nasional, tidak diberi
tem pat sam a sekali dalam edisi tersebut. Ham pir sem ua penulis
artikel, serta para pembuat ilm yang diwawancarai dalam edisi
tersebut, m enggam barkan para produser itu m em iliki standar yang
rendah dan selera budaya yang buruk. Pada gilirannya, selera buruk
ini dilekatkan ke latar belakang etnis m ereka, yaitu ‘Tionghoa’.
Berlawanan dengan para pembuat ilm berlatar belakang etnis
pribum i yang m endapat sanjungan sebagai individu (dengan nam a
mereka disebutkan), tak ada satu pun produser ilm Tionghoa
dianggap layak dipuji; nam a-nam a atau perusahaan m ereka tidak

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
218 Identitas dan Kenikmatan

pernah disebut. Mereka hanya dipandang sebagai satu kelom pok


yang seragam , yakni dicirikan oleh ras. Pem bahasan ini, yang
m elibatkan beberapa cendekiawan dan kritikus paling terke m uka
di Indonesia, am at kuat m engingatkan kepada kebijakan Orde
Baru terhadap soal khusus m inoritas Tionghoa: investasi ekonom i
m ereka dibutuhkan dan disam but, tetapi suara atau kehadiran
m ereka dalam perpolitikan nasional sam a sekali tidak dihargai.
Dua pertim bangan penting hilang dalam pem bahasan sem a-
cam itu, sebagaim ana dicontohkan lewat penerbitan di Prism a
terse but. Pertam a, sem entara m inoritas etnis dengan posisi m e reka
sebagai kaum pariah disalahkan atas buruknya kualitas ilm yang
disutradarai oleh orang-orang yang m engkritik m ereka (kecuali
satu dua kom entar tak lebih panjang dari setengah kalim at), tiada
penyebutan—apalagi kutukan—yang berarti terhadap tekanan,
penyensoran, dan campur tangan negara dalam proses produksi ilm
pada periode tersebut. Dengan kata lain, bahasan m engandaikan
seakan­akan produksi ilm berlangsung dalam keadaan yang bebas
dan bersahabat, dalam lingkungan pasar yang sepenuhnya bebas.
Seakan-akan para produser yang dituduh berselera rendah itu
bebas m encari keuntungan sebesar-besarnya dari usaha m ereka
dengan cara m engeksploitasi seks dan kekerasan sem au m ereka
tanpa kendali, cam pur tangan dan pengawasan negara. Padahal
kenyataannya sebaliknya: produksi ilm mengalami pembatasan­
pem batasan yang am at parah yang dilaksanakan di segala bidang
oleh pem erintahan Orde Baru.11 Maka bukan kejutan bahwa “[s]

11 Sekalipun produksi ilm menanggung beban terberat dalam pengawasan


dan penyensoran oleh negara, m edia dan berbagai acara budaya lain m eng-
alam i tekanan yang kurang lebih serupa. Hingga pertengahan 1980 -an,
sebelum pem erintah m engeluarkan izin bagi anggota keluarga presiden
untuk m eluncurkan stasiun televisi m ereka sendiri, hanya ada satu stasiun
televisi—yang dimiliki oleh negara—yaitu Televisi Republik Indonesia atau
TVRI. Di bawah kekuasaan Orde Baru, izin dan pem eriksaan awal oleh petugas
keam anan terhadap naskah puisi disyaratkan untuk pem bacaan puisi di depan
um um .

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 219

kenario ilm membutuhkan persetujuan… sebelum pengambilan


gam bar dim ulai. Pada saat pengam bilan gam bar selesai, gam bar-
gam bar yang didapat (sebelum disunting) perlu diserahkan ke-
pada pem erintah” (Sen 1994: 66). Kedua, bahkan seandainya kritik
terhadap produser etnis Tionghoa ini benar adanya, agak gegabah
bila kita tak m em perhitungkan bagaim ana rezim Orde Baru telah
m em batasi ruang bagi m inoritas etnis untuk berpartisipasi dalam
kehidupan publik.
Selain sutradara legendaris Usm ar Ism ail, sutradara lain
yang m endapat pujian besar dalam Prism a edisi 1977 itu adalah
Sjum an Djaya. Sjum an Djaya ditam pilkan saat itu sebagai legenda
hidup yang m enjadi wujud bagi tokoh teladan, sem entara seluruh
produser ilm Tionghoa (tanpa ada nama yang disebut) dikutuk.
Prism a m ewawancarai Sjum an Djaya dalam edisi yang sam a, dan
da lam percakapan yang terjadi, ia m erendahkan para produser
Indo nesia-Tionghoa sebagai borjuis kecil, karena “m ereka berasal
dari Shantung” (Tiongkok). Maka, ia berpendapat, “Bagaim ana
bisa m engharapkan sesuatu yang sifatnya kulturil dan artistik dari
orang-orang sejenis ini? Asalnya saja dari borjuasi kelas bawah.
Maka yang dihasilkan betul-betul kerdil” (Djaya 1977: 42). Pada
tahun 1973, sebuah tabloid yang terbit di Jakarta menerbitkan
artikel berjudul Cukong-cukong Cina Ham burkan Uang untuk
Matikan Perilman Nasional (lihat Moham ad 1980 : 80 , m engutip
tabloid Nusantara, 19 September 1973). Judul ini diambil dari
pernya taan Sandy Suwardi, produser ilm yang menuduh adanya
komplotan perusahaan ilm milik orang Indonesia­Tionghoa yang
hendak membunuh ilm domestik dengan berpihak kepada ilm
im por dari Am erika dan Hong Kong.
Situasinya m engalam i perubahan besar-besaran sejak awal
2000­an, menyusul keruntuhan rezim Orde Baru. Sejumlah ilm
bioskop m em ecahkan rekor dengan m enam pilkan tem a-tem a
baru. Sebelum ilm bertema Islam menjadi populer menyusul

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
220 Identitas dan Kenikmatan

diedarkannya Ay at-Ay at Cinta (20 0 8, Bram antyo) (sudah kita


diskusikan dalam Bab 2 dan 3), sejumlah ilm komersial de­
ngan sadar berupaya m enabrak tabu dengan bercerita tentang
warga Indonesia-Tionghoa dan kenyataan pahit sehubungan
dengan status m ereka dalam m asyarakat Indonesia m utakhir.
Diedarkannya Ca-bau-kan (20 0 2, Dinata) dan Gie (20 0 5, Riza)
secara um um dirayakan sebagai pelopor dalam hal ini. Sam pai
berapa jauh kedua ilm ini dan ilm­ilm lain yang menyusulnya
m am pu m e nantang dan m em balikkan pandangan dom inan,
m asih m enjadi perdebatan yang terbuka di antara para ahli (Sen
206; Setijadi­Dunn 2013; Tickell 2009). Dalam hal ini, saya ingin
kem bali ke soal yang m enjadi awal diskusi kita, yaitu pem bahasan
Krishna Sen tentang Teguh Karya serta satu hal tam bahan tentang
Hanung Bram antyo.
Dalam Bab 3, saya membahas jalur amat kontroversial yang
dengan berani diam bil oleh Hanung Bram antyo untuk terlibat
dalam pem bahasan m asalah yang peka tentang politik Islam di
abad baru ini. Sebelum nya dalam bab ini, saya m enyebutkan
pengakuan Hanung tentang dirinya yang separuh Tionghoa lewat
ibunya, serta ketidaknyam anannya terhadap cara yang ditem puh
oleh pejabat negara dan organisasi kem asyarakatan untuk m en-
capai tujuan dalam politik terkait keim anan. Dalam banyak hal
terkait biograi dan perkembangan karirnya, biasanya ada acuan
terhadap pengalam an Hanung pada tahun 1995-96 sebagai
seorang m agang junior di Teater Populer Teguh Karya. Hasrat
untuk m enjadi seorang aktor profesional m em bawa Hanung ke
J akarta dan di sana ia bergabung dengan kelom pok tersebut.
Nam un, pergaulannya dengan Teguh Karya dan pengam atan dari
dekat bagaimana Teguh Karya menyutradarai ilm Perkaw inan
Siti Zubaidah (diedarkan sebagai dram a televisi pada tahun 1977)
m engubah pikirannya dan m em bangkitkan m inat Hanung untuk
menjadi sutradara ilm. Pada tahun 1996 ia meninggalkan Teater

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 221

Populer dan mendaftar di jurusan ilm di Institut Kesenian J akarta


(IKJ ). Nam un sebagaim ana kita lihat dalam diskusi sebelum nya,
berbeda dengan m entornya yang bertutur lem ah-lem but dan
apolitis, Hanung m em bahas soal-soal kepatutan politik pada
zam annya, m enantang secara terbuka bagaim ana agam a dan
etnisitas dipolitisasi di Indonesia.
Sebagaimana dibahas dalam Bab 3, dalam ilm ? (20 11), Ha-
nung m endorong posisinya yang kontroversial ke batas terjauh
yang masih bisa diterima oleh kelompok konservatif. Dalam ilm
ini, ia m enam pilkan kem ungkinan dan hasrat pernikahan antar-
etnis dan antar-agam a, serta kehidupan keragam an beragam a
di Indo nesia.12 Bagi pihak luar yang tak akrab dengan sejarah
soal ini, m ungkin sulit m em aham i bagaim ana hubungan sosial
seperti ini bisa dianggap sangat sensitif secara politik. Sebaliknya,
orang-orang m uda di Indonesia bisa terkejut bila m engetahui
betapa interaksi lintas etnis dan lintas agam a m erupakan hal yang
sangat lazim terjadi seabad lalu dalam m asyarakat Indonesia.
Ini m erupakan salah satu dari beberapa hal penting yang m en-
dapatkan penyensoran atau dikaburkan dalam sejarah resm i
periode kolonial dan awal-awal kem erdekaan. Penghilangan
serupa sedikit banyak ikut bertanggung jawab atas sikap yang
terus-m enerus m em usuhi karya etnis m inoritas Tionghoa dalam
pembentukan industri ilm di negara kepulauan ini. Bagian berikut
ini secara khusus disiapkan untuk m em bongkar persoalan itu.

AW AL-MU LAN YA
Dalam Konvensi Dewan Film Nasional pada tanggal 11 Oktober
1962, para peserta mengumumkan bahwa sejarah ilm nasional
Indonesia dimulai dengan pengambilan gambar hari pertama ilm

12 Dalam hal ini, ? mengingatkan pada ilm­ilm karya almarhum Yasm in Ahm ad
(1958-20 0 9). Sebagai perbandingan dengan Indonesia, Malaysia m em iliki
sejarah larangan secara legal seputar perbedaan etnis dan agam a.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
222 Identitas dan Kenikmatan

Darah dan Doa, yang dikenal juga dengan judul The Long March
of Siliw angi, pada tanggal 30 Maret 1950. Sutradara Usm ar Ism ail
(1921­71) juga disebut sebagai bapak ilm nasional, bersama
dengan Djam aludin Malik (1917-70 ). Sekalipun Indonesia m ulai
m erayakan Hari Film Nasional pada tahun 1963, baru 37 tahun
kem udian segala hal yang diputuskan pada tahun 1962 diresm ikan
lewat Keputusan Presiden pada tahun 1999; ditandatangani oleh
B.J . Habibie yang saat itu m enjadi pejabat presiden m enggantikan
Soeharto yang baru m engundurkan diri.
Hingga saat buku ini disiapkan, tiada satu pun orang di Indo-
nesia yang tam paknya m enggugat sejarah resm i ini. Sejarah resm i
itu telah diterim a secara luas di Indonesia dan selalu diproduksi
ulang dalam berbagai bentuk, walau sudah ada kesadaran dalam
masyarakat bahwa produksi, penayangan, dan kritik ilm telah
berlangsung di m asyarakat ini selam a tiga dekade sebelum nya.
Sem ua produksi sebelum 1950 diakui, tapi m ereka tak dianggap
sah, dan bukan karena kem erdekaan Indonesia diproklam asikan
pada tahun 1945 dan baru diakui tahun 1949. Nam un, m enurut
para pendukung sejarah resmi, ilm Darah dan Doa dianggap
m enjadi pendobrak judul-judul sebelum nya sem ata-m ata karena
dianggap m em iliki sem angat dan jiwa “ke-indonesiaan” sejati
(Purs 2013). Namun, tak ada deinisi yang jelas dan bisa diterima
de ngan luas m engenai “ke-indonesia-an” ini. Tiada orang di Indo-
nesia yang secara serius mempertanyakan kekaburan deinisi se­
pen ting itu di ruang publik. Tak ada juga yang m encoba untuk
m enya tukan kontradiksi antara penghargaan yang diberlakukan
m undur (retroaktif) bagi Usm ar Ism ail yang dianggap otentik
itu, dengan pengakuannya bahwa ia penganut neo-realism e Italia
dalam pembuatan ilmnya. Usmar bekerja dalam divisi propagan­
da tentara pendudukan J epang ketika Indonesia berada di ba wah
penjajahan Jepang dan ia belajar di Amerika pada tahun 1953.
Seorang peneliti berpendapat bahwa Darah dan Doa “lebih dihar -

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 223

gai sekarang ini ketimbang pada tahun 1950” (Barker 2010: 13).
Pandangan umum tentang kelahiran ilm nasional biasanya
m enyinggung sejum lah pernyataan sam ar-sam ar yang dikaitkan
pada sutradara Usmar Ismail bahwa ia bercita­cita membuat ilm
yang m engungkapkan watak, sem angat, dan pengalam an hidup
sejati orang Indonesia. Hal lain dan tak kurang pentingnya, dan
dipakai untuk memberikan pembenaran bagi sejarah resmi ilm
nasional adalah, Darah dan Doa sebagai ilm pertama yang di­
pro duksi dan disutradarai oleh orang Indonesia ‘asli’ (yaitu orang
‘pribumi’ Indonesia). Semua ilm sebelumnya dianggap tidak­
Indonesia karena yang berperan paling besar dalam produksi
m erupakan keturunan Eropa atau Tionghoa (sepenuhnya ataupun
sebagian). Tak m engejutkan, bila anggapan-anggapan seperti itu
m elekat dalam sejarah (apa m akna ke-indonesia-an dan siapa yang
dianggap tidak Indonesia) dan telah dipertanyakan oleh sejum lah
besar sarjana (term asuk sarjana yang lahir di Indonesia) yang
tertarik pada topik ini. Karya-karya sarjana ini cenderung ditulis
dalam Bahasa Inggris dan beredar di luar Indonesia (m isalnya
Barker 20 10 ; Sen 20 0 6; Setijadi-Dunn dan Barker 20 10 ).13
Sekalipun terkubur dalam khazanah pustaka berbahasa
Indonesia mutakhir, peran dan sumbangan penting peranakan
Tionghoa mau pun Indo dalam masa awal perkembangan budaya
layar di Indonesia baru-baru ini dikemukakan oleh para sarjana
dalam bidang seni pertunjukan (lihat Cohen 20 0 6, 20 0 9; Winet
2010) dan fotograi (Strassler 2008) dari masa Hindia Belanda.
Semua ini merupakan sebagian belaka dari sejarah yang lebih
panjang dan kajian yang lebih luas. Beberapa dekade sebelumnya,
para peneliti telah menemukan peran penting etnis Tionghoa dalam
bidang media cetak, bahasa, dan kesusastraan (lihat Damono 1984;

13 Karena keterbatasan, saya hanya m elihat karya dalam bahasa Indonesia dan
Inggris.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
224 Identitas dan Kenikmatan

Heryanto 1987, 1995; Rosidi 1967; Salmon 1982; Siregar 1964;


Sumardjo 1981, 1983, 1985, 1986; Tickell 1987; Toer 1982, 1985,
1987; Watson 1971). Secara keseluruhan, karya mereka menggugat
secara langsung dan mendasar pandangan palsu yang terus berjaya
di Indonesia tentang status ‘asing’ minoritas etnis Tionghoa dalam
kebangsaan Indonesia, serta anggapan terpisahnya kehidupan sosial
mereka di hari-hari akhir penjajahan dan masa awal dekolonisasi.
Implikasinya, mereka juga menggugat pemahaman yang diterima
luas di Indonesia mengenai lahirnya bangsa ini, dengan melawan
pandangan khayalan etno-nasionalis tentang identitas Indonesia
yang asli, yang dianggap terpisah dari kekuatan kolonialisme Eropa
atau pun semata-mata menjadi korban darinya.
Pihak luar dapat dengan m udah m elihat Indonesia sebagai
sebuah bangsa produk kolonialism e Belanda, baik tanah m au-
pun wilayahnya, bahasa dan budayanya, negara serta hukum nya
(Anderson 1999; Cribb 1999). Nam un, sebagian besar orang Indo-
nesia belakangan ini, terutam a m ereka yang tum buh di bawah
rezim fasis Orde Baru, telah m enerim a sejarah resm i yang m eng-
gam barkan bangsa ini telah ada berabad-abad sebe lum keda -
tangan kekuatan Eropa. Secara um um am at kecil atau bahkan
tidak sedikit pun terbayangkan bahwa bangsa yang am at m ereka
cintai ini m erupakan produk suatu proses sejarah tertentu dan
baru bela kangan dibentuk oleh kekuatan-kekuatan luar (m usuh-
m usuh bangsa) yang paling berjasa atas kelahirannya pada awal-
awal abad ke-20 . Malahan, m ereka percaya bahwa kolonialism e
Eropa m e rupakan sebuah m asa gangguan luar yang tak diundang
bagi utuh nya kedaulatan bangsa yang sebe lum nya sudah
ditakdirkan akan m aju berkem bang.14

14 Dalam hal ini, kaum nasionalis Indonesia tidak berbeda dengan rekan-rekan
m ereka di m ana pun di dunia, setidaknya seperti pendapat seorang analis
berikut ini: “J ika negara-bangsa sudah diakui banyak pihak sebagai benda

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 225

“Melu pakan, bahkan saya berani m enyebutnya kekeliruan


sejarah, m erupakan faktor penentu terbentuknya sebuah bangsa,”
m e nurut pendapat Ernest Renan (1990 : 11). Bagian dari sejarah
penjajahan Belanda dan tahun-tahun awal kem erdekaan yang
dipilih untuk dilupakan oleh kaum nasionalis Indonesia adalah
per gaulan lintas-etnis yang m eriah, beragam , bersem angat kos-
m o politan dan m odern dalam kehidupan sehari-hari ketika itu.
Dengan berbagai cara, kelom pok etnis yang berbeda-beda ini turut
serta m enjalankan dan m em produksi ulang, juga m erongrong dan
m enentang tata-kehidupan kolonial.
Sebaliknya, sejarah resm i Indonesia m em berikan kisah ten-
tang sebuah m asyarakat yang dibayangkan terbagi secara tegas
dan jelas berdasar kotak-kotak ras. Sejarah resm i ini m enam pil-
kan kisah sim plistik tentang orang Indonesia yang ‘tak ber dosa’,
diserang dan diperas oleh non-Indonesia (baik Eropa dan orang
Asia lainnya term asuk etnis Tionghoa), sebelum m ereka m am pu
untuk m em berontak dan m eraih kem erdekaan. Ironisnya, penu-
lisan sejarah seperti ini m erupakan sebuah upaya canggung m em -
pro duksi ulang m entalitas dan strategi kolonial (yang telanjur
disalah kaprahi) yakni ‘adu-dom ba’, nam un dengan susunan jen-
jang terbalik, yaitu dengan penduduk asli yang m enjadi korban
tetapi kini dim uliakan.
Ham pir seabad lam anya, gagasan bahwa m asyarakat kolo -
nial Belanda dibagi ke dalam tiga kategori berdasar ras (Eropa,
Tim ur Asing dan pribumi)—masing­masing dengan hak berbe­
da-beda yang m encerm inkan hirarki sosial m asyarakat kolo -
nial—telah menjadi pandangan dominan di antara para pene­
liti Indonesia dan asing. Sikap anti-Tionghoa dalam m asyarakat
Indo nesia belakangan ini telah dirasionalisasi dan dibenarkan

‘baru’ dan ‘historis’, bangsa-bangsa yang m enjadi wujud sem angat m ereka
selalu dipandang sudah ada jauh di m asa lam pau, dan, lebih penting lagi,
berlanjut hingga ke masa depan yang tak terbatas” (Anderson 1983: 19).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
226 Identitas dan Kenikmatan

ber da sarkan kesalahpaham an sejarah tentang ketim pangan dan


ten tang posisi penduduk asli sebagai korban. Penelitian Coppel
(1999) m e nam pilkan pandangan yang lebih kaya nuansa dan
m em berikan ralat yang penting. Dua tem uan dari analisanya
am at pen ting bagi bab ini. Pertam a, pem bagian hukum kolonial
ber da sar kan ras (Aturan Konstitusional 1854) m em bedakan m a-
sya rakat m enjadi dua, bukan tiga, jenis warga: “Eropa dan m e-
reka yang dise tarakan (gelijkgestelde) dengan Eropa” dan “pen-
duduk asli dan m ereka yang disetarakan (gelijkgestelde) dengan
pen duduk asli” term asuk Tionghoa, Arab, J epang, dan lainnya
(Coppel 1999: 34). Kedua, alih­alih diberlakukan dengan tegas
dan kon sisten, peraturan ini m enjadi bahan kritikan baik dari
dalam aparat kolonial sendiri m aupun dari luar, sehingga harus
m en jalani perubahan terus m enerus. Kategori ketiga, yakni Tim ur
Asing (Vreem de Oosterlingen) sebenarnya m erupakan hasil per-
tem puran legal tersebut dan baru m enjadi kategori yang lebih
stabil pada m asa paling akhir pem erintahan kolonial Belanda
(awal 1930­an). Kategori ketiga merupakan pengecualian parsial
dari aturan um um yang m em ungkinkan “sem ua orang Tim ur
Asing di J awa” untuk m enikm ati penerapan “Hukum Dagang dan
Sipil Eropa dan m enem patkan m ereka di bawah hukum adat di
bagian yang lain… Pengecualian ini dirancang untuk m elindungi
kepentingan bisnis orang Eropa dari pebisnis Tionghoa yang
bangkrut, bukan untuk m eningkatkan status Tionghoa sebagai
satu kelompok” (Coppel 1999: 34). Salah satu kesimpulan Coppel
am at penting untuk diskusi kita di bab ini:

Selain pengecualian ini dan beberapa hal lain dari klasiikasi dualistik
yang ditetapkan tahun 1854, hingga akhir abad, kategori ‘Tim ur Asing’
secara legal m asih m erupakan bagian dari m ereka yang disetarakan
dengan ‘Pribum i’ ketim bang sebuah kategori baru di tengah-tengah
‘Eropa’ dan ‘Pribum i’.
(1999: 34­5)

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 227

Studi cem erlang Karen Strassler tentang fotografer am atir m au -


pun studio di J awa m enam pilkan tiga pandangan yang am at pen-
ting. Pertam a, sekalipun jum lahnya dom inan, etnis Tionghoa
yang secara aktif berpartisipasi dalam perkem bangan dua jenis
fotograi pada masa akhir kolonialisme dan awal kemerdekaan
ter libat dalam kerja sam a antar-etnis “dalam proyek pem ben tuk-
an bangsa, m em perlihatkan dengan jelas asal-usul kosm o polit an
dalam pembentukan kebangsaan” (Strassler 2008: 395). Bahkan
di antara m ereka yang berlatar belakang etnis Tionghoa, ter dapat
perbedaan “internal” yang lebih besar di antara m ereka ketim -
bang dualism e yang lazim dikenal sebagai perbedaan antara yang
“totok” (berdarah Tionghoa sepenuhnya dengan orientasi yang
kuat pada Tiongkok) dan “peranakan” (yang lebih bercam pur de-
ngan budaya lokal Indonesia). Kedua, Strassler m encatat bah wa
fotograi amatir dan studio mengungkapkan dua aliran nasio-
nalism e yang berbeda dan saling bersaing. Fotografer am atir m e-
nam pilkan “ideologi nostalgis tentang yang asli” (otentik, orisi-
nal, dan pribum i), sem entara fotografer studio bicara tentang
“visi yang berkiblat keluar tentang Indonesia sebagai sebuah
titik be rangkat untuk turut serta dalam m odernisasi global”
(Strassler 2008: 395). Sebagaimana kita lihat sebelumnya, tipe
na sio nalism e pertam alah yang telah berjaya di Indonesia sejak
perte ngahan abad ke-20 . Ironisnya kejayaan itu tercapai dengan
m engor bankan etnis m inoritas yang berada di garis depan dalam
memperjuangkan nasionalisme melalui fotograi amatir. Ketiga,
Strassler m em perluas argum ennya tentang nilai penting dua tipe
foto grafer yang tak hanya sebagai representasi dua visi tentang
Indonesia, tetapi juga tentang dua posisi kelas yang berbeda:

Visi am atir cenderung bernostalgia sem entara fotografer studio


lebih m enyam but visi berm asa depan. Ini tidak m engherankan
jika diingat bahwa kebanyakan pem otret am atir m endapat status
istim ewa m ereka berkat struktur hirarki kolonial yang sedang

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
228 Identitas dan Kenikmatan

m elem ah, sem entara fotografer studio m erupakan im igran baru


yang, sebagaim ana orang-orang yang m ereka potret, bertekad untuk
naik kelas sosial.
(20 0 8: 426)

Menyim pang dari penelitian Strassler, beberapa pem bela pa ling


galak “ideologi nostalgis” nasionalism e pribum i sejak kem er-
dekaan tidak terbatas pada m ereka yang pernah m em iliki “status
istim ewa berkat struktur hirarki kolonial yang sedang m elem ah”.
Sebaliknya, sebagian besar dari m ereka kini m erupakan anggota
kelas m enengah yang m enikm ati kem ajuan ekonom i, politik, dan
budaya yang pesat dan stabil sejak kem erdekaan. Nam un, ke-
m ajuan ini bukannya tanpa batasan. Di Indonesia kini, m ereka
gen tar ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan global. Di-
pan dang dari kacam ata tua m asa kolonial, kekuatan yang m eng-
ancam ini tam pak seperti hantu tua ‘Tim ur Asing’ dari m asa akhir
kolonialism e sekaligus sebagai Barat Asing yang ‘baru’. Perasaan
nostalgis tentang sosok ‘pribum i’ yang tersisih ini m enawarkan
ruang pelarian m oral dan ideologis, serta perlindungan dari kom -
petisi keras hubungan kapitalism e global dalam dunia hiburan
dan lain-lainnya.
Sejarah ilm nasional di Indonesia merupakan “sejarah kepen­
tingan kultural kaum elite yang berupaya mendeinisikan ilm na­
sional sebagai budaya yang sah dan m enaklukkan bentuk-bentuk
kerakyatan” (Barker 20 10 : 17). Kelom pok elite ini terdiri dari
segolongan pembuat ilm dan kaum terpelajar yang membedakan
dirinya dari massa yang membentuk mayoritas penonton ilm.
Tentu, bukan berarti elitism e seperti ini m erupakan sesuatu
yang khas hanya terjadi di Indonesia. Hal ini m alah tam paknya
m erupakan norm a yang um um , ketim bang kekecualian. J uga ha-
rus dicatat bahwa sejarah resm i tersebut m erupakan produk dari
usaha baru-baru ini saja, khususnya sejak 1960 -an. Selain m assa
penonton ilm, yang juga tersingkir dari penjelasan semacam ini
adalah para sutradara dan produser dengan latar belakang etnis

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 229

yang ‘keliru’ (yaitu Tionghoa dan Indo), atau berkiblat ideologis


dan politik yang keliru (khususnya kelom pok kiri di era sesudah
pertengahan abad ke-20 ). Untuk m enolak posisi kelom pok kiri
relatif m udah, m engingat penghancuran besar-besaran hasil karya
periode ini yang dianggap sebagai buah tangan m ereka, beriring
dengan dim atikannya pem bahasan karya senim an kelom pok ini.
Sedangkan untuk m enolak atau m erendahkan karya sutradara
non-pribum i, kategori rasis yang usang dan lazim dari m asa
kolonial, tanpa rasa m alu dihidupkan lagi dan lebih digalakkan.
Sekalipun pem erintah kolonial Belanda berkeinginan m ene-
rapkan sistem hukum yang m irip dengan sistem apartheid dengan
cara m em bagi-bagi penduduk di tanah jajahan m enjadi dua (atau
tiga) kelom pok besar, kehidupan sosial di tanah jajahan di antara
penduduk dengan latar belakang etnis yang beragam jauh lebih
cair dan dinam is, m enabrak pem bagian rasial yang terlalu sering
disederhanakan atau diabaikan dalam banyak ulasan. Nam un,
dem i kepentingan ideologis m ereka sendiri, banyak para ideolog
nasionalis Indonesia lebih suka m em ilih gam baran pem bagian
m asyarakat berdasar ras yang dikehendaki oleh pem erintah kolo -
nial sebagai cerm inan kenyataan, baik m asa lalu m aupun m asa
kini. Kehidupan di Indonesia m asa kini dipandang sebagai ter diri
dari pem bagian yang m utlak antara Barat (kini um um nya ber arti
Am erika Serikat ketim bang Belanda); etnis Tionghoa, ter le pas
dari status kewarganegaraan m ereka (non-pribum i seba gai ganti
Tim ur Asing); dan pribum i sebagai orang Indonesia sejati, karena
dianggap m ewarisi bangsa ini dari leluhur m ereka.15 Kerangka

15 Anderson m enjelaskan bagaim ana orang Indonesia, seperti halnya banyak


nasionalis lain, telah “keliru” m em aham i nasionalism e:
Terlalu banyak orang Indonesia cenderung beranggapan bahwa Indonesia adalah
‘warisan’, ketim bang sebagai tantangan atau proyek bersam a. J ika ada warisan,
tentu ada ahli warisnya, dan kerap kali terjadi perselisihan sengit di antara m ereka
m engenai siapa yang m em iliki ‘hak’ terhadap warisan tersebut: kadang hingga terjadi
kekerasan besar. Orang-orang yang berpikir bahwa Indonesia yang ‘abstrak’ adalah
‘warisan’ yang harus dilestarikan dengan segala cara, dapat bertindak buruk terhadap
warga negara yang tinggal di ruang geograis yang abstrak ini. (1999: 4)

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
230 Identitas dan Kenikmatan

pikir seperti ini tam pak jelas dan konsisten dalam nyaris seluruh
pem bahasan tentang sejarah industri ilm Indonesia.
Salah seorang tokoh paling senior dan dihorm ati dari kalang-
an pencinta ilm dalam tiga dekade terakhir adalah almarhum
Misbach Yusa Biran (1933­2012). Pengabdiannya bagi kajian
dan pengarsipan ilm di Indonesia tiada taranya. Tulisannya
tentang sejarah ilm nasional Indonesia menjadi sumber utama
bagi m asya rakat luas. Sayangnya, perspektif kolonial yang rasial
tampak jelas dalam tulisan­tulisannya mengenai sejarah ilm
Indonesia. Bukunya berisi cerita tentang pihak yang baik m ela-
wan yang jahat (ilm dan pembuat ilm yang berniat dagang versus
yang berkiblat artistik) sejalan dengan propaganda etno-nasio-
nalis. Biran mengabaikan pembuat ilm dan karyanya yang men­
jadi pelopor pada paruh pertam a abad ke-20 lantaran m ereka
adalah orang-orang keturunan Eropa dan Tionghoa, yang diduga
bertujuan utama mengejar keuntungan inansial. Pihak­pihak
non­pribumi dalam lingkaran perilman dipandang semata­mata
ber das arkan ras m ereka, dan nyaris selalu dipandang buruk
(eskploitatif, rakus, dan tidak beretika), sem entara orang-orang
pribum i dirayakan karena patriotism e m ereka dan ditam pilkan
sebagai individu dengan menyebut nama dan biograi mereka
secara utuh.
Untuk m engenal nada tulisan Misbach, kutipan berik ut berasal
dari karyanya yang berbahasa Inggris:

Kegiatan menonton ilm datang di negeri ini pada tahun 1900 sebagai
prakarsa orang Belanda, dan penayangan ilm awalnya dilakukan
di gedung yang disewa atau lewat layar tancap. Pertunjukan ilm
kem udian didom inasi oleh orang Cina. Pada tahun 1925, m ayo ritas
bioskop dim iliki oleh orang Cina.
(20 0 1: 211)

…di tahun 1928, orang Cina terlibat dalam produksi ilm. Awalnya,
m otivasi m ereka adalah untuk m eningkatkan gengsi. Orang Belanda

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 231

m asih m em andang orang Cina dengan status rendah, dan hal itu
benar adanya di m ata orang pribum i, sekalipun posisi ekonom i
etnis Cina selalu lebih unggul ketim bang pribum i. Orang Cina selalu
dipandang m em uja berhala, m akan babi, dan m elihat uang sebagai
hal terpenting.
(2001: 213)

Ketika pahlawan nasional (Usm ar Ism ail) hadir dalam penu-


turan Biran, ia hadir sebagai seorang individu lengkap dengan
nam anya:

Prakarsa Usm ar ketika itu tidak didukung oleh sikap yang um um


industri ilm Indonesia. Kebanyakan ilm dibuat di studio Cina…
lingkaran produser ilm Cina, yang sejak awal lebih tertarik untuk
m enghasilkan uang, tidak tersentuh oleh pengalam an terkait perang
dan revolusi… Film­ilm yang dibuat oleh studio Cina yang dibuka
lagi sesudah 1950 tidak berbeda dari ilm­ilm yang mereka buat
pada awal 1940­an. Film­ilm itu adalah ilm hiburan semata yang
tak m em iliki m akna.16
(20 0 1: 220 )

Salah satu tokoh lainnya dalam penulisan sejarah ilm Indo­


nesia adalah Salim Said. Dalam beberapa bab di bukunya, Proil
Dunia Film Indonesia (1982), soal ras ditam pilkan dengan lebih
bernuansa, dan pembuat ilm atau produser non-pribum i sesekali
disebut nam anya. Nam un, secara um um , ideologi pribum i yang
sam a tam pak m em enuhi karya Said dan terwakili dalam sejarah
ilm Indonesia secara lebih luas dalam persaingan antara dua ku­
tub yang berbeda orientasi, m asing-m asing diwakili oleh ras m e-
reka.17

16 Kita akan kembali kepada soal mengenai ilm yang dituduh “tidak memiliki
makna”. Fakta bahwa beberapa ilm ini menarik penonton dalam jumlah
besar tentu berarti bahwa m ereka m em iliki m akna bagi yang m enontonnya,
sekalipun jika hal itu tidak m em uaskan selera para elite m asa itu m aupun pada
m asa sesudahnya.
17 Menariknya, ketika Salim Said beralih dari cara pandang yang luas dalam

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
232 Identitas dan Kenikmatan

Karya­karya pelopor orang Cina dalam ilm Indonesia dapat dikenali


dari tujuan ekonom inya. Sebagai orang Tim ur Asing pada periode
tersebut, tak banyak yang bisa diharapkan dari m ereka… Sesudah
Indonesia m eraih kem erdekaan, Usm ar Ism ail m em ulai tradisi yang
sama sekali baru dalam ilm Indonesia. Berbeda dengan kebiasaan
pembuat ilm Cina, baik sebelum maupun sesudah Perang, … Usmar
Ismail memproduksi ilm dengan cerita berdasarkan kehidupan
nyata di sekitarnya yang m em beri inspirasi baginya. Dengan
demikian, wajah Indonesia dapat dilihat dalam ilm­ilm ini lewat
tangan Usm ar dan rekan-rekannya…
(Said 1982: 6-7)

Patut untuk dicatat sebuah ironi yang bertolak belakang de ngan


pembagian rasial antara para pembuat ilm sebagaimana diba­
yangkan di Indonesia kini. Karya Usm ar Ism ail Darah dan Doa
(disahkan sebagai awal sejarah ilm—yang bersifat etno­nasio­
nalis—karena ilm itu memisahkan diri dari praktik sebelumnya
yang dido m inasi oleh etnis Tionghoa) “hanya bisa diselesaikan
berkat ban tuan keuangan dari seorang pem ilik bioskop, Tong
Kim Mew” (Barker 20 10 : 11), satu hal yang sebelum nya juga di-
catat oleh Said (1982: 51). Lebih jauh lagi, Djam aludin Malik
(dianggap bersam a-sam a dengan Usm ar Ism ail sebagai pendiri
ilm nasional) lebih jelas lagi memperumit stereotip rasial terang­
terangan yang membentuk narasi tentang ilm nasional Indonesia,
karena Dja m a ludin Malik secara konsisten m engejar keuntungan
ko m er sial dalam karya-karyanya. Latar belakang etnisnya telah
m enye la m atkannya, dan kom ersialism enya dim aafkan (Barker
20 10 : 10 ). Bahkan Usm ar Ism ail tidak m engabdikan seluruh
tenaganya untuk m engejar inovasi artistik atau cita-cita nasionalis
dengan mengorbankan tanggung jawab inansial, sebagaimana

melihat sejarah ilm Indonesia dan menyorot lebih dekat peristiwa historis
tertentu, ia m enyajikan rincian yang rinci dan kaya, dan kerap m em ungkiri
dikotom i rasial yang sim plistik, m engacu pada bab-bab sebelum nya pada
bukunya. Dalam lingkup bahasan m ikro, tokoh non-pribum i m uncul sebagai
m anusia nyata dengan nam a dan pencapaian yang m engagum kan.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 233

yang ingin diyakini oleh para pengagum nya di Indonesia saat ini.
Sebagaimana kebanyakan sutradara ilm di mana pun, termasuk
m ereka yang disebut di awal bab ini, kegiatan artistik Usm ar
Ism ail beralih antara percobaan artistik dan proyek kom ersial.
Maka, sangat m ungkin bagi Usm ar tak ada yang istim ewa
dalam mendapatkan “bantuan inansial dari pemilik bioskop
Tionghoa” untuk m enyelesaikan Darah dan Doa. Kita bahkan
layak ber tanya-tanya apakah Usm ar sadar soal asal-usul etnis
Tong, dan juga sebaliknya. Banyak alasan untuk m eragukan apa-
kah per be daan etnis antara m ereka m em iliki arti penting atau
sebesar yang dipikirkan oleh para ideolog nasionalis Indonesia
m asa kini, m engingat akrabnya pergaulan berjangka panjang
Usm ar dan kebanyakan orang pada m asa itu dalam bisnis dengan
orang dari beragam latar belakang etnis. Keganjilan sikap sadar-
etnis di Indo nesia m asa kini dapat dilihat dalam pem bahasan
Misbach Yusa Biran terhadap karya Teguh Karya. Mungkin karena
Teguh Karya berbeda dari segala stereotip tentang etnis Tionghoa
seba gai m akhluk ekonom i, latar belakangnya sebagai keturunan
Tionghoa diabaikan atau disebutkan dengan cara berbisik-bisik
sebagaim ana dicatat oleh Krishna Sen. Ketika Teguh Karya berada
dalam kesulitan inansial serupa dengan Usmar Ismail, etnisitas
teman­teman ‘Tionghoa’­nya—dan hanya etnisitas dari kelompok
ini saja—yang datang membantunya amat ditekankan oleh Biran:

Dengan dukungan dari tem an-tem annya produser Cina, Teguh


membuat ilm yang lebih komersial, Cinta Pertam a (1973) yang mem­
perkenalkan Christine Hakim ke layar lebar dan m em asangkannya
untuk pertam akali dengan Slam et Rahardjo. Film ini sangat sukses
penjualannya.
(Biran 2001: 234)

Sem angat kosm opolitan dan keintim an antar-etnis di antara para


pekerja kreatif dalam ilm industri tidak hanya milik lingkaran

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
234 Identitas dan Kenikmatan

Usm ar Ism ail saja. Menurut Krishna Sen “sutradara pribum i


pertama—Raden Ariefin, Anjar Asm ara, Suska, Inoe Perbatasari,
dan Mohammad Said—semua dilatih dalam industri yang didanai
dan secara budaya dipim pin oleh m igran dari Tiongkok” (Sen
2006: 173).18 Esai Anjar Asm ara tahun 1955 tentang “Masa
depan ilm Indonesia” amat bersemangat dan optimistis, tanpa
kekhawatiran ataupun keluhan tentang m asalah yang diciptakan
oleh etnis dan kelom pok tertentu dalam m asyarakat. Sam pai-
sam pai dari tulisan itu orang bisa m endapat kesan bahwa industri
ilm di mana Anjar Asmara berpartisipasi berbeda sama sekali
dengan yang digam barkan oleh Misbach Yusa Biran dan Salim
Said. Ketim bang m engungkapkan kom itm en atau harapan pada
ilm­ilm yang secara unik bersifat “Indonesia”, Anjar Asm ara
m enyam paikan visinya dalam lim a hal term asuk m enem ukan
sebuah form ula produksi yang dapat m enarik perhatian seluruh
m asyarakat. Ketim bang m engkritik produser-produser sebagai
picik secara ekonom i, Anjar Asm ara m em uji dan bangga dengan
para produser di Indonesia. Mem bandingkan m ereka dengan
Malaya, Anjar Asm ara m encatat, “alangkah bahagianya produser-
produser ilem Indonesia yang jauh lebih kaya dengan bahan­
bahan yang lebih hidup, lebih hangat dan berjiwa di sekitar alam
kita yang terbuka”. Perbedaan antara visinya dan m ereka yang
m enulis tentang dirinya di Indonesia kini tak bisa lebih besar ketika

18 Di Malaya yang bertetangga dengan Indonesia, kerja sam a antar etnis juga hal
yang um um , dengan pem bagian kerja yang m enjadi pola. J oel Kahn m encatat,
“[d]i tahun 1950­an, pola yang khas adalah sebuah ilm diproduksi oleh modal
Cina (Shaw Brothers), disutradarai oleh orang India, dengan cerita versi
Melayu dari kisah Cina dan India, serta dibintangi oleh orang Melayu dengan
dialog berbahasa Melayu. Rum usan ini terbukti sukses secara kom ersial dan
ini m erupakan struktur yang m enjadi tem pat bagi karir P. Ram lee. Sebanyak
25 ilm pertama Ramlee diproduksi antara tahun 1948 dan 1955 oleh MFB
(Malayan Film Board, anak perusahaan Shaw Brothers yang membuat ilm
Melayu) dengan sejum lah sutradara India, term asuk B.S. Rjahans, L. Krishnan,
S. Ram anathan, K.M. Basker dan B.S. Rao” (Kahn 20 0 6: 128).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 235

ia m em bahas bahwa “Disam ping hasil artistik yang kita sebutkan


diatas, ilem harus dipandang sebagai usaha dagang (business).
Dagang sem ata-m ata.” Dengan cara yang sam a bersahabatnya,
Usm ar Ism ail m enyatakan

pujian untuk Dr. Huyung, … dan untuk Basuki Effendi, sutradara


ilm asal LEKRA, antara lain, sesudah 1965, tokoh-tokoh ini nyaris
dihapuskan dari sejarah ilm. Dr. Huyung yang sebenarnya kelahiran
Korea, menunjukkan sebuah sejarah ilm yang rumit dan lintas­
nasional, m aka ini sebuah gugatan terhadap etno-nasionalism e yang
tertutup.
(Barker 20 10 : 10 )

Kem bali kepada pernyataan Misbach Yusa Biran yang diku tip
sebelumnya bahwa “ilm yang dibuat oleh studio Cina” diang­
gapnya “tak m em iliki m akna” (20 0 1: 220 ), penting untuk dicatat
bahwa pribumi juga turut serta dalam produksi ilm­ilm pada
tahun 1930­an ini, sebagai penonton, pemain, dan penulis dan
beberapa ilm ini bermakna bagi sebagian besar masyarakat.
Contohnya, Salim Said m enyebutkan sukses besar Njai Dasim a
(1929, Lie) yang m engarah pada pem buatan sekuel Njai Dasim a II
(1930, Lie) dan Nancy Bikin Pem balesan (Njai Dasim a III) (1930,
Lie). Said m engutip Biran yang m enilai rahasia sukses ini pada
partisipasi “orang Indonesia” (etnis pribum i) sebagai aktor dalam
ilm­ilm tersebut. Baik Said maupun Biran berpendapat bahwa
sutradara etnis Tionghoa telah m erekrut aktor non-Tionghoa dan
menyebutkan fakta ini dalam publikasi ilm­ilm tersebut, berkat
bujukan Anjar Asm ara, seorang pribum i lainnya (Said 1982: 20 ).

H IBRID ITAS D ISAN GKAL, TETAPI BERJAYA


Tentu banyak yang harus ditinjau ulang dalam sejarah resmi ilm
Indonesia, sebagaim ana halnya dengan sejarah bangsa ini, yang
kini dipenuhi oleh stereotip, penyederhanaan, penghilangan, dan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
236 Identitas dan Kenikmatan

kerangka pikir kolonial. Meninjau kasus peran warga Indonesia-


Tionghoa yang dihapus, kita bisa m endapatkan keuntungan dalam
m eninjau soal-soal yang lebih luas berkaitan dengan strategi
rezim kolonial yaitu adu-dom ba berdasar garis rasial, juga kerja
bergairah serta bersem angat kosm opolitan dari para senim an,
pengusaha, dan kaum intelektual lintas-etnis dalam pem bentukan
sebuah bangsa yang baru dan m odern. Dalam m enganalisa proses
ini, sifat iktif etnisitas sebagai kategori sosial jelas tam pil ke
m uka. Untuk m enutup bab ini, saya ingin m enyebutkan secara
singkat m asalah yang hadir di m asa depan, dalam hal analisis;
saya m enyarankan perlunya penelitian lebih jauh dalam soal yang
luas dan kom pleks ini, khususnya seputar isu kelas sosial.
Sen (20 0 6) m engakui kehadiran sinem atis dari etnis m ino-
ritas Tionghoa tum buh dengan luar biasa segera m enyusul
kejatuhan rezim Orde Baru, dengan karya-karya baru diproduksi
oleh senim an yang berasal dari luar etnis tersebut. Nam un, di
luar perkem bangan ini, Sen m enem ukan bahwa stereotip lam a
terhadap kelom pok etnis tersebut dan perspektif rasis yang m en-
dasarinya, m asih awet hingga sekarang.19 Nam un sebagaim ana

19 Kritik Sen terhadap Ca-bau-kan am at m encerahkan, saya kutip panjang


lebar di bawah ini. Ini merupakan ilm Indonesia pertama dalam lebih dari
setengah abad yang m enam pilkan tokoh utam a dari keturunan Tionghoa,
dan dim aksudkan untuk m enggugat penghapusan atau penistaan terhadap
kelom pok etnis ini.
Kom unitas bisnis Tionghoa, dan sepak-terjang m ereka… m engam bil porsi lebih
dari separuh ilm, ditampilkan secara umum sebagai korup, kejam dan kaya dengan
sedikit sekali em pati terhadap penduduk Indonesia dan cita-cita nasional. Mereka
m enggadaikan diri kepada orang J epang untuk m em ajukan kepentingan individu
m ereka sendiri. Tiada yang berbeda dari gam baran seperti ini dari stereotip
kom unitas Tionghoa yang dituduh hidup tertutup dan m elakukan eksploitasi seksual
dan ekonom i kepada sebagian besar m asyarakat Indonesia. Tak ada satu pun tokoh
Tionghoa dalam ilm ini (bahkan termasuk tokoh utama) yang tidak korup, kejam,
dan kaya. Sedangkan orang pribum i digam barkan sebagai m akhluk norm al dalam
berbagai rentang sosial: orang m iskin, pelacur, tapi juga jurnalis yang penuh tekad,
pejuang yang berani, dan bangsawan J awa. (Sen 20 0 6: 181)
Dengan sedikit perbedaan, analisa saya (Heryanto 20 0 8a) m enegaskan
tem uan-tem uan Krishna Sen ini.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 237

saya sebutkan di tempat lain (Heryanto 2008a), beberapa ilm


yang lebih belakangan yang diedarkan sesudah Sen m enerbitkan
tulisannya pada 20 0 6, m em perlihatkan perkem bangan yang lebih
m em besarkan hati. Lebih dari sekadar m em perlihatkan kesadaran
m enerim a perbedaan etnis, kelas m ene ngah m uda Indonesia
di layar m aupun di luar layar tam pak lebih nyam an bercam pur
baur dengan orang beragam latar bela kang etnis, bahasa, dan
kebangsaan; m eskipun dem ikian kesenjangan antar-kelas m ele-
bar dan sering luput dari perhatian banyak pihak. Solidaritas baru
antar-etnis sudah tam pak jelas di akhir 1990 -an (lihat Heryanto
1999b). Maka tak m engherankan apabila kerusuhan anti-Tionghoa
1998 m enim bulkan reaksi balik yang buruk, dikutuk oleh kelas
m enengah dan profesional non-Indonesia-Tionghoa yang m erasa
amat malu (Aguilar Jr. 2001: 53). Ini tak berarti prasangka atau
ketegangan rasial telah hilang sepenuhnya, sem entara publik
kini disibukkan oleh konlik antar­agama (termasuk konlik
antar-sekte di dalam kom unitas Muslim , lihat Bab 2). Meskipun
dem ikian, dapat dikatakan bahwa sem entara ketegangan rasial
m ereda, hal itu jauh dari selesai, dan bisa m uncul lagi dan m eletus
jika pem icu yang tepat datang di waktu yang tepat di m asa depan.
Dekade pertam a abad ini juga m enyaksikan penam bahan
jumlah ilm bioskop yang belum pernah tercatat sebelumnya yang
m engam bil cerita di daerah beratus kilom eter dari ibu kota J akarta
dan m enggam barkan kehidupan di daerah terpencil di m ana para
tokohnya bicara dalam bahasa daerah, sehingga m em butuhkan
teks terjemahan ketika ilm­ilm ini diedarkan (Yuliawan 2012).
Nam un, stereotip lam a tentang baik/ buruk dan pusat/ pinggiran
m asih bertahan (Darm awan 20 12). Menurut hem at saya, peluang
untuk kritik yang efektif dan radikal terhadap cara pandang kolo -
nial dan esensialis di publik Indonesia tentang soal-soal di atas
menuntut kemampuan publik untuk mengenali sifat iktif etni­
sitas, serta m enem ukan kem bali kekayaan dan kerum itan serta

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
238 Identitas dan Kenikmatan

kekacauan sejarah sosial Hindia Belanda pada awal abad ke-20


yang m engarah pada kelahiran bangsa Indonesia.
Etno-nasionalism e m enobatkan Usm ar Ism ail untuk m ewakili
cita-cita elitis dan nativis yang bertentangan dengan apa yang
m ereka pandang sebagai dom inasi oleh non-pribum i dalam
industri ilm dan komersialisme yang dipandang terwakili olehnya.
Nam un sebagaim ana dicatat sebelum nya di m asa-m asa paling
produktif dari karirnya, Usm ar Ism ail terlibat dalam pem buatan
ilm komersial. Menjelang akhir karir profesionalnya pada akhir
1960 -an, Usm ar Ism ail m enjadi orang Indonesia pertam a yang
memiliki klab malam (Purs 2013), bertentangan dengan dikotomi
yang dipaham i um um berdasar ras, antara pribum i/ non-pribum i
yang dianggap sam a dengan patriotism e/ kolonialism e. Se pan-
jang gegap gem pita perburuan anti-kom unis pada 1970 -an dan
1980 -an, penghapusan sum bangsih dari m ereka yang dicap Kiri
atau Tionghoa sem akin digencarkan. Ini juga m erupakan perio-
de pertum buhan ekonom i dan pengem bangan industri di selu-
ruh negeri, sementara industri ilm menikmati pertumbuhan
tetap yang m em bawa karya-karya sejum lah sutradara pribum i
m en jadi m engem uka, term asuk Am i Priyono, Sjum an Djaja, dan
Wim Um boh. Nam un m ereka m asing-m asing, juga Teguh Kar-
ya, m em iliki hubungan yang penting dengan orang Kiri m au-
pun Tionghoa, ataupun keduanya (Sen 20 0 6: 177). Upaya jang-
ka panjang untuk membersihkan sejarah ilm Indonesia dari
unsur-unsur yang tak dikehendaki, atau untuk m enciptakan atau
mencapai kemurnian dan keaslian keindonesiaan dalam ilm
nasional tidak pernah sukses. Tentu saja pertanyaannya bukan
kapan atau akankah proyek seperti ini di suatu m asa m en capai
tujuannya. Alih-alih, pertanyaannya adalah m engapa upaya ini
dianggap perlu sam a sekali? Sebagaim ana pendapat yang disam -
paikan dengan jernih oleh Setijadi-Dunn dan Barker, dengan
mengupayakan proyek eksklusi berdasarkan deinisi sempit me­

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 239

ngenai siapa yang term asuk orang ‘Indonesia’ asli, dan im pli-
kasinya apa yang membentuk ilm Indonesia—kelompok etno­
nasionalis Indo ne sia telah m engabaikan dan m erongrong keka-
yaan sejarah ilm Indonesia itu sendiri (2010: 25).
Bab ini m enawarkan sebuah kritik terhadap pandangan tentang
ilm Indonesia sebagaimana dipahami secara resmi atau dalam
im ajinasi popular. Sem entara kritik ini m engkaji upaya yang tak
bisa dipertahankan untuk m enyangkal dan m enghapus kan peran
dan sum bangsih m ereka yang dicap sebagai ‘Eropa’ atau ‘Tionghoa’
dalam pem bentukan industri ilm Indonesia, bukan niat saya
untuk sekadar m engem balikan m ereka yang disingkirkan kem bali
ke tem pat yang selayaknya dalam sejarah bangsa dan tradisi per-
ilmannya. Upaya semacam itu beda dari tujuan utama saya, karena
itu artinya berusaha m enghidupkan kem bali m asyarakat kolo nial
beserta pem bagian rasial m ereka, sebuah ide yang secara ironis
telah m enggoda banyak warga Indo nesia-Tionghoa di awal ke run-
tuhan Orde Baru pada per alih an abad dan m engarahkan m e reka
kepada serangkaian peng-tionghoa-an kegiatan-kegiatan m ereka.
Se bagaim ana saya bahas di tem pat lain (20 0 8: 76-6, 90 ) juga di
awal bab ini, kajian kritis terhadap kasus Tionghoa di Indonesia
yang dihapus m eru pakan satu langkah m aju untuk m engenali
sejarah yang lebih besar. Yang saya m aksud adalah sejarah
m asyarakat sepanjang dekade terakhir penjajahan Belanda, yang
m erupakan m asa yang diabaikan, terlupakan atau disangkal oleh
kaum na sionalis yang bersem angat di Indonesia m aupun oleh
peneliti asing. Ini m erupakan sejarah kebersam aan sosial yang
m engalam i trans for m asi m enuju m odernitas m elalui serangkaian
peristiwa yang rum it, penuh pertentangan, kegairahan, harapan
dan juga ke kha watiran, kejutan dan ketidakpastian. Itulah sejarah
yang menghasilkan iksi yang kuat bernama etnisitas.
Sem entara dinam ika m asyarakat terlalu rum it untuk diring-
kas di sini, saya hanya berharap m enutup bab ini dengan m eng-

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
240 Identitas dan Kenikmatan

garisbawahi dua hal dari uraian di atas yang relevan dengan bab ini.
Pertam a, m asyarakat kolonial Hindia Belanda bukan lah m asya-
rakat yang tersekat-sekat ke dalam tiga kelom pok berdasarkan
garis rasial (Eropa, Tim ur Asing, dan Pribum i) sebagaim ana di-
harapkan oleh pem erintah kolonial, dan diba yangkan orang
Indo nesia berideologi kepribum ian dan juga oleh para peneliti.
Produksi dan konsumsi ilm merupakan dua wilayah dan format
yang penting di m ana penduduk tanah jajahan m engalam i
getaran m odernitas industrial dan pertem uan kosm opolitan yang
m e libatkan orang dari beragam latar belakang etnis, bahasa,
dan budaya, menyimpang dari iksi tentang ras dan pembagian
ras yang disahkan secara hukum . Dalam bidang ini nilai penting
dan keberlanjutan sum bangsih m ereka yang dilabeli secara rasial
sebagai ‘Tionghoa’ terhadap dinam ika m odernitas di kepulauan
ini layak m endapat penghargaan. Sum bangsih ini bukan sesuatu
yang sem purna tapi tetap penting bagi pem bentukan Indonesia
sebagai negara-bangsa yang m erdeka.
Kedua, pem bentukan bangsa Indonesia m erupakan bagian
dari proses dan sekaligus produk dari gejala universal sepanjang
kolonialism e Eropa di seluruh dunia. Sebaliknya, sebuah proyek
untuk memurnikan Indonesia dan ilm Indonesia dengan mem­
bersihkannya dari berbagai unsur yang m em perkayanya (yang
selam a ini telah m enjadi bagian tak terpisahkan darinya), m e ru-
pakan sebuah upaya untuk m em enggal sebagian tubuh sendiri,
jika tak bisa dikatakan bunuh diri. Dengan m enolak sifat ko lektif
m ereka yang berbagi cita-cita untuk m enjadi setara dan ber tekad
untuk m ewujudkan cita-cita (atau kisah) tentang kebangsaan,
dan dengan m em biarkan sebagian dari kebersam aan ini m em -
pertahankan hak istim ewa yang palsu, bencana m aut nyaris tak
terhindarkan. Sayangnya, sebagaim ana diperlihatkan da lam
bab sebelum nya, insiden tragis telah kerap terjadi, dan da lam
skala yang besar. Bab ini dan em pat bab sebelum nya telah m em -

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Minoritas Etnis yang Dihapus 241

perlihatkan bagaim ana orang Indonesia terus bertarung dengan


soal-soal pem ecah belah bangsa ini. Dalam bab berikutnya,
kita akan kem bali ke m asa kini dan kem ungkinan m asa depan
sebagaim ana dialam i oleh kaum m uda Indonesia dengan jasa
budaya layar pada awal abad ke-21

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bab 7

K-Pop dan Asianisasi


Kaum Perempuan

BAB SEBELUMNYA berfokus pada sinem a. Pada dua bab berikut,


kita akan m em pertim bangkan dinam ika politik identitas dalam
cakupan budaya layar yang lebih luas, term asuk yang beredar
m elalui televisi, internet, dan ponsel. Dibandingkan dengan bab
sebelum nya, perhatian lebih besar akan diberikan kepada peran
dan sosok m andiri kaum perem puan dengan latar belakang kelas
m enengah perkotaan. Pada bab berikutnya, perhatian khusus
akan diarahkan kepada kelas bawah dalam politik jalanan. Budaya
pop Korea Selatan yang dikenal juga sebagai Gelom bang Korea
akan disebut berulang kali dalam pem bahasan berikut. Nam un,
bab ini tidak sem ata berniat m em berikan sum bangan terhadap
penelitian yang sedang m enjam ur tentang Gelom bang Korea
atau pengaruhnya. Melainkan bab ini akan m elihat bagaim ana
kaum m uda Indonesia m engam bil peran dan posisi tersendiri,

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
244 Identitas dan Kenikmatan

dengan m em anfaatkan budaya populer dari Korea Selatan dan


beberapa negara tetangganya di Asia Tim ur. J enis m usik yang
terkenal dengan nam a K-Pop m erupakan bagian penting dari
sem ua gelom bang budaya ini. Untuk m enyingkatnya dan dem i
m udahnya, saya akan m enggunakan istilah K-Pop dalam judul bab
dan diskusi dalam bab ini sebagai acuan pada gejala Gelom bang
Korea yang jauh lebih luas, beragam , dan rum it.
Tam paknya banyak orang Indonesia m enem ukan keasyikan
dari kegiatan m enjelajahi dan m engungkapkan sebuah identitas
baru sebagai seorang Asia yang m odern dan kosm opolitan,
sedikitnya lantaran ham batan yang harus m ereka hadapi terkait
ke kangan politik dan norm a-norm a m oral yang khusus dalam
kon teks kesejarahan m asyarakat. Pada tahapan sejarah ini, im pian
seperti ini beririsan dengan politik identitas yang sedikit berbeda
tapi m asih berhubungan, yakni m erosotnya budaya m askulin
seiring jatuhnya pem erintahan m iliteristik Orde Baru, hasrat
seluruh bangsa untuk m encari m odel alternatif untuk m enjadi
laki-laki dan perem puan di Indonesia m odern (Clark 20 10 ; Nilan
20 0 9), m enebalnya perasaan kebebasan dan kepentingan di antara
sebagian kelas m enengah baru dalam m engejar tren global dalam
budaya konsum en (Gerke 20 0 0 ; Heryanto 1999b; van Leeuwen
20 11), berkurangnya secara m encolok ketegangan ras terhadap
m inoritas Tionghoa (Bab 6), dan kebangkitan islam isasi (Bab 2
dan 3).
Bab ini dibangun berdasarkan pustaka terkait yang sudah ada,
dan secara besar-besaran diperkaya oleh penelitian lapangan pada
tahun 20 0 9-11, term asuk pengam atan terlibat di beberapa acara
yang dikelola oleh kelom pok penggem ar, dan wawancara dengan
beberapa puluh perem puan m uda di kota-kota di J awa Tim ur
dan J awa Barat. Kebanyakan yang kam i (saya dan tiga asisten
saya) wawancarai dan am ati adalah m ahasiswi berusia 18 hingga
30 tahun; yang lain sejumlah sarjana dan kaum professional

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
K-Pop dan Asianisasi Kaum Perempuan 245

yang baru m em ulai karirnya. Pada sebuah acara kum pul yang
diselenggarakan oleh penggem ar m usik Korea, salah seorang
asisten saya m ewawancarai nenek berum ur 77 tahun yang datang
dengan cucunya yang m asih rem aja. Mereka sam a-sam a punya
kaitan em osional dengan para bintang artis itu, dan sam a-sam a
m engikuti perkem bangan berita tentang K-Pop di seluruh dunia.
Beberapa konsum en budaya populer Asia Tim ur yang diwa-
wancarai untuk buku ini terdiri dari perem puan yang bekerja dan
m engaku bahwa m ereka kesulitan m encari waktu untuk tetap ber-
hubungan dengan tem an-tem an m ereka dan m em uaskan hasrat
m engikuti serial televisi terbaru atau berita tentang bintang televisi
pujaan m ereka. Berbeda dari m ereka, kelom pok perem puan yang
lebih m uda– kelom pok yang m enjadi fokus buku ini– m em iliki
waktu dan tenaga berlim pah serta jaringan penggem ar lokal yang
luas untuk m em bentuk kelom pok di kota m ereka atau jaringan
m aya lintas-negara yang m enjadi tem pat m ereka berbagi catatan,
klip suara, dan video.
Di luar perbedaan-perbedaan tersebut, baik perem puan yang
sudah bekerja m aupun yang lebih m uda m em iliki ciri serupa
sebagai anggota kelas m enengah: pendidikan perguruan tinggi,
daya beli m enengah untuk hiburan, dan kiblat transnasional
dalam konsum si dan gaya hidup. Banyak dari perem puan pekerja
pernah m enjadi penggem ar budaya pop Asia Tim ur pada saat
m ereka kuliah. Maka, kajian yang lebih dekat terhadap kegiatan
serta ekspresi kelom pok yang lincah, enerjik, dan m uda berguna
untuk m em aham i aspirasi yang lazim di antara kelom pok kelas
m enengah ini, yang telah m enjadi target industri hiburan. Tak
seperti m ayoritas perem puan pekerja, yang m enikm ati dram a
Korea um um nya dalam lingkaran privat yang kecil, para penggem ar
yang lebih m uda patut m endapat perhatian khusus lantaran hasrat
m ereka yang kuat untuk m engungkapkan sentim en kolektif secara
terbuka, baik secara lokal m aupun transnasional.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
246 Identitas dan Kenikmatan

Lebih dari sekadar m enyelenggarakan kum pul-kum pul sesam a


m ereka, penggem ar m uda m enarik perhatian khalayak di ruang
publik pada jam -jam puncak keram aian untuk m em perlihatkan
identitas yang baru m ereka adopsi ini dan m erayakan kenikm atan
m ereka.1 Tingkah m ereka lebih dari sekadar adegan teriakan
penyam butan saat m ereka m elihat kedatangan artis di bandara
atau di aula pertunjukan, sebagaim ana terjadi pada penggem ar
idola m usik pop di Barat dan di m ana pun di seluruh dunia. Secara
khusus, bentuk yang paling khas dari tindakan para penggem ar
K-Pop di awal abad ini m eliputi lom ba m enyanyi (dalam Bahasa
Korea), “cover dance” yakni tarian yang m eniru para idola m ereka
(termasuk pakaian, potongan rambut, koreograi kelompok
m usik idola hingga rinci), atau lash mob, yakni penam pilan
pertunjukan tari dadakan di pusat perbelanjaan. Berdasarkan
riset tentang penggem ar K-Pop di Indonesia pada tahun 20 10 ,
J ung m elaporkan

Para penggem ar ini bekerja sam a m enciptakan-ulang teks dan


gam bar, lalu m enyebarkan isi yang m ereka ubah itu… Meniru tarian
m erupakan salah satu bentuk kerja sam a penggem ar yang paling
um um ditem ui di dunia. Istilah ‘cover dance’ biasanya berarti satu
versi dari lagu yang dinyanyikan oleh seorang artis yang berbeda dari
penyanyi aslinya. Nam un, dalam kasus kegiatan penggem ar, istilah itu
m engacu pada satu versi nyanyian atau tarian yang ditam pilkan oleh
penggem ar…Di Thailand, beberapa kelom pok yang m endedikasikan

1 Siriyuvasak dan Shin m enggam barkan gejala serupa di seluruh Asia sebagai
sebuah “industri [yang] telah m enciptakan…idola-idola laki-laki untuk dikon-
sum si kaum perem puan m uda” (20 0 7: 124). Sebagaim ana rekan-rekan m ereka
di Indonesia,
Perem puan-perem puan Thailand tidak lagi m alu-m alu dalam m engungkapkan
hasrat seksual m ereka m elalui “idola yang dikhayalkan”. Nam un, pada kenyataannya,
m ereka am at pem alu dan kebanyakan dari m ereka tak bisa berdansa m engikuti m usik.
Mereka tak pernah m engungkapkan diri di ruang publik kecuali untuk m enyam but
idola m ereka di bandara atau di konser. Biarpun m enahan rasa m alu, sungguh luar
biasa perem puan dari latar belakang sosial ekonom i kelas m enengah Thailand bisa
m enem ukan pem bebasan m elalui K-Pop dan Asian-pop.
(20 0 7: 124)

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
K-Pop dan Asianisasi Kaum Perempuan 247

diri untuk m eniru kelom pok idola K-Pop m ereka telah m endapatkan
popularitas di YouTube dan m enjadi pesohor kecil tersendiri.
(20 11: 4.2)

Tindakan seperti ini belum pernah ada sebelum nya di Indo nesia,
dan m ungkin di m ana saja di dunia “[D]i tahun 20 10 , lebih dari
120 acara K-Pop yang diselenggarakan penggem ar diadakan, ter-
m asuk kum pul penggem ar dan festival pop Korea dan konser”
(J ung 20 11: 2.2).2

ASIAN ISASI
Salah satu konteks lebih luas dari diskusi berikut adalah m e nguat-
nya kesadaran ‘Ke­Asia­an’—sebuah ranah yang lebih luas dan
lebih tua ketimbang pemujaan terhadap K­Pop—yang telah me­
nyu burkan berkem bangnya m inat di kalangan para sarjana. Walau
K-Pop sedang m arak pada saat buku ini sedang ditulis, bab ini
m em pertim bangkan konteks sedikit lebih luas dan dapat disebut
sebagai ‘asianisasi Asia’, ‘intra-/ inter-Asia’, atau m om en-m om en
‘trans-Asia’ (Chua 20 0 4, 20 0 8; Iwabuchi 20 0 2a; Otm azgin 20 0 7).
Gejala ini m engacu secara longgar pada bertum buhnya m inat di
kalangan orang-orang yang lahir dan dibesarkan di Asia pada
sebagian dari kehidupan sosial di wilayah Asia yang lain. Ga gasan
asianisasi ini tak berarti m enyiratkan sebuah kesadaran proyek
lokalism e atau regionalism e yang puritan. Beberapa m aha-
siswa yang diwawancarai untuk buku ini dengan tegas m enolak
jika dikatakan bahwa kecintaan m ereka terhadap K-Pop berkait
dengan latar belakang m ereka sebagai sesam a orang Asia. Salah
seorang dari m ereka secara langsung m enyatakan bahwa m ereka

2 Penggem ar Michael J ackson atau Beyonce Knowles m ungkin akan terkesim a


oleh nyanyian dan tarian artis pujaan m ereka, tapi penggem ar jenis ini tidak
didom inasi oleh satu jenis kelam in. Mereka tidak m enyelenggarakan rangkaian
pesta atau lom ba m eniru nyanyian dan tarian idola m ereka dalam sebuah
acara kum pul-kum pul, yang diselenggarakan secara teratur, atau m engunggah
rekam an video kegiatan itu di internet.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
248 Identitas dan Kenikmatan

m encintai boy band favorit m ereka, dan bukan boy band lain dari
Asia, karena m usik m ereka “yang terbaik, juga bagaim ana pe nam -
pilan m ereka di panggung dan klip video m usik, serta kom u nikasi
yang bersahabat dengan penggem ar”. Beberapa lagi yang diwa-
wan carai m engaku, sekalipun am at m encintai bintang-bintang
Korea pujaannya, m ereka juga secara teratur m enikm ati buda ya
populer dari Bollywood atau produksi lokal dengan m uatan Islam .
Ketim bang m elihat proses ini sebagai ‘de-Westernisasi’ Asia
dalam pengertian yang sem pit, asianisasi m elibatkan sebuah per-
ubahan penting serta pengolahan ulang apa yang sebelum nya
dianggap secara stereotip sebagai ciri-ciri budaya Barat. Lebih
ba nyak orang Asia, khususnya yang tinggal di perkotaan, m uda,
dan terpelajar yang m endom inasi ruang publik, sedang m eng-
alih kan keterpesonaan m ereka ke arah representasi lewat m edia
m assa dari sesam a orang Asia yang telah ter-barat-kan. Sekalipun
tiada cara untuk m engukurnya secara objektif atau secara kuan-
titatif, m eningkatnya popularitas produk-produk yang berwajah
atau bersuara Asia di Asia berhubungan—sekalipun tidak eks­
klusif, setidaknya sebagiannya—dengan indikator global yang do­
m in an, dan resep kecantikan dan kenikm atan, yang ujung-ujung
produksinya dapat dilacak secara um um bersum ber pada industri
hiburan Am erika.
Dengan kata lain, unsur budaya populer ‘Barat’ selalu terkan-
dung dalam pergeseran sosial dan kultural yang diacu dalam
analisis ini sebagai ‘asianisasi’. Pergeseran ini tidak m ewakili per-
ubahan dari satu entitas tunggal kepada entitas tunggal lainnya.
Alih-alih, gagasan tentang ‘asianisasi’ m engacu pada sebuah
per ubahan penekanan pada unsur-unsur terpilih dalam sebuah
gugus budaya lintas-nasional yang tercam pur baur dan terus ber-
ubah. Maka dari itu, sebagaim ana halnya seperangkat gagasan
biner yang telanjur kuat tapi berm asalah dan telah didiskusikan di
bab se belum nya (‘Tionghoa’ versus Indonesia ‘asli’), istilah-istilah

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
K-Pop dan Asianisasi Kaum Perempuan 249

seperti ‘Tim ur’ atau ‘Asia’ atau ‘Barat’ dalam pem bahasan berikut
ini jangan dipahami sebagai sesuatu yang material ataupun isik
dan m engacu pada benda, lokasi, m aupun orang-orang atau ciri
ter tentu. Sem ua ini adalah kosa-kata yang hanya punya nilai se-
m antik dalam bahasa m utakhir. Yang disebut sebagai ‘Barat’,
m isalnya, m engacu pada arti yang beragam tentang hal-hal dan
orang-orang dalam atau dari kehidupan sosial yang didom inasi
oleh orang kulit putih di Am erika Utara, Eropa Barat, dan Aus-
tralia. Untuk m udahnya, saya akan m enanggalkan tanda kutip
ketika m em akai kata-kata ini untuk keseluruhan bab ini.
Untuk pertam a kali pada abad ini, Barat tiba-tiba tidak lagi
m enjadi satu-satunya pusat kiblat konsum si budaya populer di
Indonesia, dan m ungkin secara lebih luas lagi di berbagai wilayah
Asia lainnya. Musik populer Amerika dan ilm Hollywood tentulah
m asih am at berpengaruh. Nam un m ereka tak lagi secara eksklusif
m em egang tam puk kekuatan dom inan, sebagaim ana pada abad
sebelum nya. Dalam dekade yang sam a, yang sering dijuluki
sebagai ‘Abad Asia’, kita tak lagi m endengar dikotom i ‘Tim ur ver-
sus Barat’ sebagai kerangka pikir atau kiasan yang diobral da-
lam diskusi publik, m enandai perubahan penting dalam jalinan
ke kuasaan transnasional.3 Nilai penting perubahan diskursif ini
perlu ditekankan, terutam a bila diingat bagaim ana dikotom i
‘Tim ur versus Barat’ m enjadi kunci bagi diskusi publik sepanjang
seja rah dekolonisasi wilayah ini hingga akhir abad lalu ketika
para pem im pin politik di Malaysia dan Singapura m engajukan ide
esensialis ‘Nilai-nilai Asia’.
Sebagaim ana disebutkan dalam bab sebelum nya, pertukaran
antar-wilayah dalam kerja produksi dan kegiatan konsum si

3 Sebagaimana disarankan dalam Bab 2, hanya di kalangan Islamis yang militan


dan m usuh-m usuh m ereka di Washington, London, J akarta, atau Canberra
kita bisa m enem ukan reinkarnasi dikotom i ‘Tim ur versus Barat’ atau ‘Islam
versus Barat’ atau berbagai turunannya yang sejenis.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
250 Identitas dan Kenikmatan

hiburan populer dalam bentuk yang m odern bukan m erupakan


hal yang sam a sekali baru untuk Asia Tenggara atau di m ana pun
di dunia. Hibriditas m enjadi ciri produksi dan konsum si budaya
di wilayah ini, dan sudah ada sejak perkem bangan m odernitas dan
teknologi yang m em fasilitasi lajunya m obilitas dan m ekanism e
produksi industri hiburan pada tahun-tahun akhir abad ke-19.
Beberapa ahli telah m elacak asal-usul pokok soal yang m enarik
ini—dengan pusat perhatian pada apa yang sekarang disebut
sebagai Indonesia—dalam seni pertunjukan (Cohen 2006, 2009;
Winet 2010), ilm (Biran 1976), dan fotograi (Strassler 2008).
Musik populer India (David 2008) dan ilm India (Biran 1976)
sa ngat digem ari sepanjang pertengahan abad ke-20 . Film silat
dan ilm sejarah dari Hong Kong, Taiwan, dan Tiongkok, sebagai­
m ana telenovela dari Am erika Latin m enem ukan banyak sekali
penggem ar yang penuh antusias sepanjang dekade 1970 -an dan
1980 -an ketika Indonesia di bawah pem erintahan Orde Baru.
Dalam dua dekade berikutnya, komik, mainan, ilm animasi,
m usik populer, dan dram a televisi sem uanya dari J epang berjaya
di Asia dan tem pat lain di dunia (Iwabuchi 20 0 2a; Otm azgin 20 0 7,
20 0 8). Mereka juga m enyihir generasi pertam a orang Indonesia
yang lahir sesudah siaran televisi berubah dari m esin propaganda
negara m enjadi industri swasta dengan sejum lah besar program
hiburan yang m enarik bagi kelas m enengah yang baru tum buh,
juga bagi para pengiklan. Di m ilenium yang baru, peningkatan po-
pularitas yang pesat m usik, dram a televisi, dan video-gam es dari
Korea di seluruh wilayah (lihat Shim 20 0 6; Shim , Heryanto, dan
Siriyuvasak 20 10 ; Siriyuvasak dan Shin 20 0 7) term asuk Indonesia
(lihat Merdikaningtyas 20 0 6; Setijadi 20 0 5), hanya m erupakan
satu dari sejum lah perkem bangan terbaru dalam sejarah panjang
arus budaya lintas-wilayah.
Para analis cukup cepat m enanggapi sukses kilat industri hi-
buran Korea Selatan, khususnya di negara-negara tetangganya di

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
K-Pop dan Asianisasi Kaum Perempuan 251

Asia Tim ur, sekalipun gejolak penggem ar m ereka di Asia Tenggara


dapat dianggap cukup hebat. Banyak kajian terkait penerim aan
transnasional terhadap budaya pop Asia Tim ur di negara-negara
Asia lain, yang berfokus pada ibu kota negara atau kota-kota
industri lainnya (m isalnya Chua 20 0 4; Otm azgin 20 0 7; Siriyuvasak
dan Shin 20 0 7). Berbeda dengan kajian-kajian itu, sebagian besar
analisis tentang situasi yang sam a di Indonesia m engkaji kasus-
kasus di luar J akarta, term asuk di banyak pusat kebudayaan dan
kota-kota yang tak terlalu industrial. Ida m enyelenggarakan pe-
nelitian lapangan di Surabaya (20 0 8); Merdikaningtyas (20 0 6)
dan Pravitta (20 0 4) m em buat penelitian di Yogyakarta. Se m en-
tara itu Setjiadi (20 0 5) m em asukkan responden yang tinggal di
J akarta, juga di Bandung dan Medan. Tinjauan terhadap pustaka
yang ada tentang subjek ini berada di luar lingkup bab ini, yang
lebih m em usatkan perhatian secara khusus pada pentingnya
sosok dan peran perem puan m uda perkotaan di Indonesia m asa
kini berhadapan dengan tiga konteks yang spesiik: konsolidasi
ber sinam bungan kelas m enengah, sentim en anti-Tionghoa yang
sudah berusia seabad (lihat Bab 6), dan islam isasi yang terjadi
belakangan ini dan belum pernah sehebat sekarang (lihat Bab 2).
Setiap konteks akan didiskusikan bersam bungan di tiga bagian
berikut.
Posisi kelas para penggem ar K-Pop m em ang penting di selu-
ruh wilayah Asia, nam un persoalan rasial dan religius yang akan
didiskusikan di bawah ini m em bedakan kasus Indonesia (dan
m ungkin di negara tetangga Malaysia) dari tem pat-tem pat lain di
Asia Tim ur. Stereotip, berdasar etnis atau yang lain-lain, selalu
m enjadi bagian dari kehidupan kita di seluruh dunia. Sekalipun
banyak orang di Indonesia yang sadar bahwa Tiongkok, J epang,
Hong Kong, dan Korea Selatan m erupakan negara-bangsa yang
berbeda-beda, orang yang tak dikenal di ruang publik dengan
tampang oriental biasanya diidentiikasi sebagai keturunan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
252 Identitas dan Kenikmatan

Tionghoa, dengan segala stereotip yang akrab dilekatkan kepada


kelom pok etnis tersebut. Beberapa predikat untuk m ereka ini
adalah pekerja keras, kaya, terikat erat pada ke lom poknya, opor -
tunistik, kurang sopan, berselera rendah, dan kurangnya patriot-
ism e.4 Dalam bab sebelum nya, kita telah m elihat bagaim ana
sastra dan ilm lokal telah menentang stereotip seperti ini ber­
sam a dengan pem belaan yang lebih besar bagi etnis m inoritas
serta pencabutan kebijakan dan hukum yang diskrim inatif. Meski
dem ikian, sangat keliru jika kita m erem ehkan budaya populer
dari Asia Tim ur dalam m em bantu m engurangi stereotip seperti
ini. Tak seperti produk dom estik, produk-produk budaya Asia
Tim ur datang ke Indonesia dalam gelom bang besar yang terjadi
terus m enerus selam a lebih dari satu dekade, dengan m engalirnya
berbagai ilm, drama televisi, pertunjukan panggung, dan video
m usik yang m erajalela di m edia sosial, serta tersedianya DVD
bajakan di m ana-m ana di pusat perbelanjaan dan di pinggir-
pinggir jalan di kota besar.
Bisa dibilang, toleransi yang lebih besar terhadap etnis m ino-
ritas Tionghoa bukan hal yang sepenuhnya baru dalam seja rah
Indo nesia. Sem ua itu m irip dengan Indonesia pra-1965, ke tika
kete gangan rasial bisa terjadi sewaktu-waktu tapi tanpa du kung-
an resm i dari negara atau pernyataan m enghasut dari pejabat
negara sebagaim ana kerap didengar pada m asa pem e rin tahan
Orde Baru. Yang lebih baru dan m em ukau adalah fenom ena
terkait K-Pop yang dapat diam ati di antara kaum m uda Muslim ,

4 Serupa dengan itu, terdapat pula seperangkat stereotip yang berbeda untuk
orang kulit putih, atau m ereka yang berkulit gelap. Am at lazim bagi orang
Indonesia untuk m engacu pada orang kulit putih sebagai Bule atau Londo,
bentuk singkat dari Belanda, bekas penjajah. Atribut yang dilekatkan kepada
m ereka um um nya: m odern, rasional, kaya, Kristen, berpikiran liberal, dan
individualistik. “Londo yang ada dalam pikiran populer, um um nya m ereka
yang tampil dalam ilm Hollywood atau serial televisi. Im aji tentang m ereka
amat kerap direproduksi lewat iklan, ilm dan industri hiburan” (Heryanto
1999b: 162).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
K-Pop dan Asianisasi Kaum Perempuan 253

khususnya kaum perem puan. Kebanyakan penggem ar K-Pop la-


hir dan dibesarkan di m asa puncak islam isasi. Mereka harus m en-
dam aikan dua hal yang tam pak bertolak-belakang: ketak waan
beragam a dan tekad kuat untuk m enjalankan disiplin terhadap
diri sendiri dan ketaatan terhadap kesalehan di satu sisi, dan di
sisi lain m erayakan kenikm atan konsum erism e duniawi yang
sudah menjadi gejala global. Dalam Bab 2 dan 3, kita telah melihat
kecenderungan serupa, di m ana post-Islam ism e budaya berhasil
m e rujukkan kom itm en untuk m enjadi Muslim m odern di satu
sisi, dengan m enjadi seorang yang trendi dan bergaya dalam gaya
hidup konsumen dan terkomodiikasi ala Barat. Yang akan kita
lihat berikut ini tidak sepenuhnya berbeda, karena budaya populer
dari Asia Tim ur m engadopsi dan m engadaptasi dalam jum lah
besar unsur-unsur budaya populer Barat. Nam un ada beberapa
perbedaan penting yang akan dirinci di bawah ini.
Di lapis perm ukaan, pengaruh K-Pop terhadap ketegangan
etnis yang ada selam a ini tam pak tak berhubungan dengan per -
tum buhan post-Islam ism e budaya yang saya sam paikan dalam
Bab 2. Yang m enjadi kesam aan dari dua gejala ini adalah per-
ubah an-perubahan yang m endasar yang terjadi di Indonesia
bela kangan ini, yaitu konsolidasi lintas-etnis yang tengah ber-
langsung (Bab 6), m enguatnya sosok m enengah perkotaan, aspi-
rasi kultural dan m oral m ereka, serta gaya hidup dan etos yang
baru. Proses ini telah terjadi be berapa dekade sebelum nya se perti
yang pernah saya tulis di tem pat lain (Heryanto 1999b), de ngan
selingan interupsi, seperti gejo lak rasial yang m eletus saat per-
ubah an rezim pada tahun 1998 (lihat Bab 6). Perubahan sosial
ini juga m endorong tum buhnya post-Islam ism e budaya (Bab 2
dan 3), dan menjelaskan sambutan antusias terhadap ilm Ay at-
Ay at Cinta (20 0 8, Bram antyo). Se ba gaim ana disebutkan da-
lam bab sebelumnya, ilm ini memberikan sebuah representasi
yang telah lam a dinantikan di Indonesia pada m asa pergantian

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
254 Identitas dan Kenikmatan

abad: seorang Indonesia rajin yang berasal dari latar belakang


keluarga sederhana dengan ke tak waan dan kesadaran m oral
tanpa kom prom i, sekaligus juga m enjadi seorang kelas m enengah
Asia serta m am pu m endam aikan teks Islam klasik dan gaya hidup
serta konsum si global yang didom inasi Barat. Post-Islam ism e
seperti ini populer baik untuk laki-laki m aupun perem puan, dan
ini berbeda dengan apa yang akan kita bahas, yaitu sosok dan
peran kaum m uda perem puan yang m enam pilkan diri m ereka di
ruang publik sebagai tanggapan terhadap K-Pop.

KELAS MEN EN GAH MU D A PEREMPU AN


Meskipun m ayoritas penggem ar K-Pop adalah perem puan, para
analis telah m em aham i perbedaan penting dalam pola peneri-
m aan dan respons di antara para penggem ar ini berdasarkan usia,
jalur profesi, dan kelas. Misalnya, kajian Yang (20 0 8) m ene m u-
kan perbedaan antara perem puan kelas pekerja dan perem puan
kelas m e nengah terdidik di Taiwan dalam hal penerim aan serta
tanggapan m ereka terhadap dram a televisi Korea. Perem puan kelas
pe kerja um um nya m enyam but nilai-nilai pedagogis dalam sifat
berbakti dan pekerjaan dom estik yang digam barkan lewat dram a
televisi, sem entara kelas m enengah terdidik m elihat program yang
sam a sem ata-m ata sebagai hiburan dan kenikm atan, atau untuk
pe m u takhiran inform asi gaya hidup dan petunjuk untuk m em beli
barang-barang m ahal. Di tem pat lain, Ida (20 0 8) juga m e ne m u-
kan perbedaan penting antara dua kelas penonton dram a televisi
Taiwan, Meteor Garden (lihat di bawah) di Surabaya.
Sekalipun produk populer Korea Selatan telah m endom inasi
per sebaran budaya populer Asia Tim ur sejak awal 20 0 0 -an, pro-
duk-produk dari beberapa negara tetangga (J epang, Tiongkok, dan
Taiwan) juga m em ainkan peran yang besar. Tentu di Indo nesia,
dan di tem pat lain, produk budaya pertam a yang m e m e cahkan
rekor tertinggi, yang berada dalam rangkaian gerbong arus m asuk

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
K-Pop dan Asianisasi Kaum Perempuan 255

budaya Asia Tim ur, bukanlah berasal dari Korea. Saya m engacu
pada serial dram a Taiwan Meteor Garden (Liúxīng Huāyuán)
(20 0 1). Asal-usul transnasional Meteor Garden m em berikan
banyak hikm ah. Diedarkan pada tahun 20 0 1, serial ini dibuat
berdasarkan m anga J epang Hana Yori Dango (1992) karya Yoko
Kam io yang banyak m endapat penghargaan. Hingga kini, tak ada
dram a televisi kom ersial lain yang m am pu m enandingi sukses
penjualan Meteor Garden di Indonesia. Keberhasilan di tingkat
internasional m endorong para produser untuk segera m em buat
lan jutannya (Meteor Garden II) pada tahun 2003. Perlu sekitar
dua tahun sebelum cerita m anga J epang diangkat dalam versi
serial televisi J epang. Sekalipun keduanya tidak benar-benar gagal,
tak ada satu pun yang m am pu m eraih popularitas atau kesuk-
sesan kom ersial seperti seri pertam a Meteor Garden. Versi Korea
serial ini diproduksi tahun 20 0 9 dengan judul Kkotbodanam ja,
atau lebih dikenal dengan Bahasa Inggris-nya Boy s Over Flow er.
Ketika itu, K-Pop telah m endom inasi pasar Indonesia, m e nyusul
sukses m ereka di tahun sebelum nya lewat beberapa seri se perti
Endless Love: Autum n in My Heart (20 0 0 ), W inter Sonata
(20 0 2), Sum m er Scent (2003) dan Spring W altz (20 0 6), dan Full
House (20 0 4).
Pada awal tahun 2003, para bintang Meteor Garden J erry
Yan, Vaness Wu, Ken Chu, dan Vic Chou berkunjung ke Indonesia
se bagai anggota kelom pok boy band Flower Four atau yang lebih
dikenal sebagai F4. Kedatangan m ereka m em buat heboh rem aja
perem puan yang berteriak-teriak m enyam but m ereka di bandara.
Perilaku ini m engundang perhatian para wartawan dan analis,
antara lain karena kebanyakan dari m ereka tidak pernah m elihat
hal seperti ini sebelum nya, atau dalam waktu yang sudah lam a.
Adegan di bandara juga kontroversial karena terjadi pada saat
perhatian m edia m assa nasional terpusat pada debat seputar
protes publik terhadap rencana pem erintahan Megawati untuk

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
256 Identitas dan Kenikmatan

m e naikkan tarif listrik, bahan bakar m inyak, dan sam bungan tele-
pon. Bahkan, terjadi dem onstrasi m assa ketika F4 tiba di J akarta.
Banyak kom entator yang m elihat kedua peristiwa itu secara
hitam putih, m enggam barkan bahwa penggem ar F4 m eru pakan
perwakilan dari anak-anak m anja tak tahu m alu dari ke lom pok
kaya yang tak m em iliki kepekaan terhadap kesulitan yang sedang
dihadapi m ayoritas penduduk yang tak m am pu. Yang tersebut
belakangan ini didukung oleh jurnalis dan para kelas m enengah
aktivis dan kaum m uda perkotaan yang lebih sadar politik, sebagai
bagian dari oposisi yang lebih besar kepada pem erintahan.
Dalam kesem patan lain saya sudah m endiskusikan bagaim ana
kontroversi yang berpusat pada kelas m enengah terkait kedua
peristiwa yang berbeda di J akarta tersebut (Heryanto 20 10 b: 227-
8). Kontroversi itu gagal m elihat peristiwa lain yang terkait pada
tingkat m asyakarat yang lebih rendah, khususnya di J awa, yang
segera m engubah perdebatan publik tentang integritas bangsa,
m oralitas, dan industri seni pertunjukan. Yang saya m aksud adalah
‘Inul-m ania’ (tergila-gilanya penggem ar penam pilan dangdut Inul
Daratista) yang m elanda m asyarakat m iskin pada periode yang
sama. Pada pertengahan tahun 2003, media nasional menemukan
Inul dan m engubahnya sehingga ia m enjelm a m enjadi ikon bu-
daya. Inul, bergantung siapa yang m enilai, dapat dilihat sebagai
contoh dekadensi m oral yang m engancam bangsa (khususnya
ketika sedang m engalam i islam isasi secara sungguh-sungguh)
atau ungkapan baru (dalam konteks lebih luas di Indonesia pasca-
otoritarianism e) tradisi lam a untuk m erayakan seksualitas kaum
perem puan di beberapa kom unitas etnis di Indonesia.
Inul m enyebabkan kepanikan m oral yang harus ditekan. Sen-
sualitasnya terbukti kelewat cabul untuk selera budaya dan sen-
sibilitas m oral kelas m enengah di Indonesia dan negara-ne gara
tetangga. Ia jelas tidak term asuk dalam jagad Meteor Garden.
Karena ia terlalu penting untuk dilupakan dan terlalu liar untuk

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
K-Pop dan Asianisasi Kaum Perempuan 257

diabaikan, m aka elite bangsa ini kem udian secara resm i m ela-
rang pertunjukannya di wilayah m ereka, sem entara yang lain
m engusulkan undang-undang anti­pornograi kepada parlemen.
Per debatan seputar Inul m encapai kelokan yang radikal ketika
industri hiburan m elihat peluang keuntungan besar dengan ber-
inves tasi pada penam pilannya di stasiun televisi nasional, dan
m engubahnya m enjadi bintang pop baru sesudah ia diperm ak dan
ta riannya dijinakkan (untuk rinciannya, lihat Heryanto 20 0 8b).
Bagi banyak kelas m enengah perem puan urban, perselisihan poli-
tik ini tidak relevan dengan m inat utam a m ereka, yaitu untuk m e-
m an jakan kenikm atan m elahap budaya populer dari Asia Tim ur.
Sebagaim ana akan diperlihatkan di bawah ini, bertentangan
dengan pandangan para kritikus yang m erem ehkannya pada tahun
2003, drama televisi populer dari Asia Timur tidak semata­mata
berfungsi m em prom osikan nikm atnya m enjadi konsum en pasif
terhadap barang m ewah dan gaya hidup tertentu. Salah satu ciri
utam a yang um um nya ada dalam dram a televisi seperti ini adalah
penggam baran dan pem uliaan etika kerja keras kapitalistik, sikap
rajin, dan kegigihan, khususnya di antara para tokoh perem puan
yang m em im pikan kem erdekaan ekonom i dan kesetaraan gender.
Ciri ini jelas sekali absen dari kebanyakan ilm populer dan drama
televisi di Indonesia. Sekalipun pencapaian personal dan ekonom i
melalui pendidikan tinggi menjadi ciri dominan di banyak ilm
islami pasca­1998 (lihat Bab 2 dan 3; Sasono 2010: 57), dengan
beberapa kekecualian, aspirasi seperti ini nyaris selalu dim iliki
oleh tokoh laki-laki dalam m asyarakat yang jelas tidak setara
secara gender.
Meteor Garden m enceritakan kisah cinta antara Shan Cai
dan Dao Ming Tse, dengan segenap kerum itan dan anak-cerita
tam bahan berupa kisah cinta yang m elibatkan tokoh lain. Tokoh
perem puannya, Shan Cai, datang dari latar belakang keluarga
yang sederhana. Sem entara itu, Dao Ming Tse anak m anja yang
berasal dari keluarga kaya raya, m enjadi pem im pin geng sekolah

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
258 Identitas dan Kenikmatan

yang ditakuti, yakni “F4”. Keem patnya diidolakan, sekaligus


dita kuti karena kekayaan, ketam panan, dan kebiasaan m ereka
dalam m engganggu rekan sekolah. Hubungan antara Shan dan
Dao m erupakan contoh ekstrem dari daya tarik yang bertolak
belakang. Di luar kekayaan m ereka yang am at kontras, Shan sam a
keras kepalanya dengan Dao. Nam a Shan, sebagaim ana ia sam -
paikan kepada penonton dalam satu adegan, berarti “tanam an
yang tak boleh diinjak-injak”. Ketika m em bela tem annya yang
sem pat berbuat salah pada Dao, dan kem udian m endapatkan
pem ba lasan yang kasar, Shan berulang-ulang m enjadi objek risak
dari F4 dan tem an-tem an sekolahnya yang bertindak atas nam a
F4. Ketim bang pasrah terhadap serangan dan hinaan itu, Shan
sendirian m elawan. Dalam satu adegan, ia m enjotos Dao hingga
jatuh ke tanah!
J alan cerita m ulai berbelok dan m enjadi m enarik ketika kita
kem udian paham bahwa Dao suka pada Shan. Ternyata, ke keras-
kepalaan Shan m enjadi sum ber daya tariknya. Yang m enge jut kan
Dao, dan semua yang ada dalam cerita ilm itu, Shan menolak Dao
m entah-m entah. Penolakan ini m em perdalam ha srat Dao untuk
m enaklukkan dan m em iliki Shan dengan segala cara, term asuk
dengan m em perm alukan dirinya sendiri di ha dap an um um dan
m em bahayakan reputasinya sebagai cowok pa ling perkasa di se-
ko lah. Akhirnya, sesudah m elalui berbagai upaya yang panjang
dan m elelahkan, Dao berhasil m enaklukkan hati Shan. Nam un,
di luar ketertarikan m ereka satu sam a lain, hubungan m ereka
riuh rendah oleh pertengkaran tak berujung, yang m enim bulkan
banyak adegan lucu bagi penonton. Sepanjang hubungan asm ara
Shan dan Dao, keduanya tetap m em elihara harga diri m asing-
m asing dan dengan keras kepala terus saja m e nekan rasa suka
m ereka satu sam a lain.
Sepanjang cerita, Shan tetap m em elihara kepribadian seba-
gai seorang pekerja keras, bertekad kuat untuk m em elihara

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
K-Pop dan Asianisasi Kaum Perempuan 259

kehor m atan pribadi dan keluarganya. Dem i sem ua itu, ia harus


m enahan diri dari godaan m enikm ati pahala secara m udah,
terutam a bila hal itu berkait dengan hubungannya dengan Dao.
Sekalipun akhirnya m enerim a cinta Dao, Shan tak pernah tertarik
m ene rim a lim pahan hadiah dan keuntungan m aterial karena
berpa caran dengan pem uda kaya itu, sekalipun ada desakan
dari keluarga Dao dan keluarga Shan sendiri agar ia m enerim a
hadiah-hadiah itu. Sedem ikian kokoh kesadaran pribadi gadis itu
akan latar-belakang ekonom inya yang sederhana. Kesenjangan
ekonom i yang m em bedakan Shan dan Dao m enjadi duri yang
m engancam hubungan m ereka, ketika ibunda Dao tak hanya
ke beratan terhadap hubungan m ereka, tetapi juga m enghina
Shan. Sem entara unsur Cinderella com plex bisa tercium dalam
kisah ini, Shan tetap bertahan sebagai seorang tokoh yang patut
dikagum i integritas dan kekuatannya, serta sikapnya yang tak
pantang m undur, yang m em buatnya tak bisa disam akan begitu
saja dengan Cinderella.
Seperti Meteor Garden yang berkisah seputar kehidupan
sehari-hari dan cinta rem aja sekolah m enengah, kom edi percek-
cokan juga m endom inasi hubungan rom antis antara dua orang
dewasa yang sam a-sam a keras kepala dalam Full House (20 0 4),
sebuah hit besar dari Korea Selatan. Tokoh-tokoh dalam serial
ini m em elihara tekad untuk bekerja keras dan m enahan diri,
serta m em endam perasaan m ereka yang sejati satu sam a lain.
Dalam satu dari tetralogi paling terkenal dari Korea Selatan
Endless Love (sudah disebutkan di atas), ada kisah yang am at
berbeda nuan sanya. Di sini, kom binasi kelem butan dan sendu
m em adati jalan cerita tentang pasangan heteroseksual dewasa
yang m engungkapkan cinta m ereka yang m atang dan lem but
dengan cara-cara yang halus. Selain hal itu, yang terus m enerus
m uncul dalam berbagai dram a televisi yang paling populer di
dalam dan luar Indonesia, adalah pengekangan diri yang luas

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
260 Identitas dan Kenikmatan

biasa dari para tokohnya, beriring dengan peragaan gaya hidup


m ewah di beberapa adegan. Ham pir sem ua responden yang diwa-
wancarai untuk buku ini m engukuhkan studi sebelum nya bahwa
daya tarik utam a produk budaya ini terletak pada adegan-adegan
pem andangan alam dan perkotaan yang indah, serta penam pilan
aktor tam pan dengan gaya hidup yang trendi.
Tentunya tak ada kaitan yang m enghubungkan m aupun m em -
pertentangkan dua unsur yang berbeda dari seri televisi ini: antara
tekad bekerja keras, sifat rajin, dan ketekunan di satu sisi dan, di
sisi lain, sikap konsum tif m em anjakan diri yang m elim pah de ngan
gam baran serba indah, keanggunan, dan ke m ewahan yang tam pil
dalam gaya hidup para tokoh kaya. Ke duanya tak terpisahkan satu
sam a lain, sebab napas kapitalism e hanya bisa bertahan dengan
m engandalkan pada kecenderungan dan keseim bangan antara
kegiatan produktif dan konsum tif. Dem ikian pula, kedua hal itu
punya hubungan sebab-akibat. Tak se m ua tokoh yang bekerja
keras dalam dram a televisi akhirnya hidup berlim pah ke kayaan.
Tak juga sem ua yang bekerja keras m e lakukan hal itu dengan niat
untuk m enjadi kaya. Tak sem ua tokoh yang kaya tam pak bekerja
lebih keras ketim bang yang kurang kaya. Melalui dram a televisi
populer ini kita bisa m em peroleh gam baran kuat apa artinya
bagi perem puan m uda untuk bertahan di tengah tekanan sosial
m asyarakat kapitalis Asia yang tengah m engalam i industrialisasi
pesat. Sekalipun gaya hidup yang nyam an dan cinta yang rom antis
penting dan m enjadi idam an, perhatian utam a dram a televisi ini
terpusat pada soal lain.
Kisah cinta tam pak dalam dram a televisi Asia Tim ur ini dan
kerap m enjadi kerangka bagi keseluruhan jalan cerita. Nam un,
tak seperti dram a Indonesia, pikiran atau ungkapan sentim ental
tidak m enjadi pokok persoalan. Alih-alih, penonton diundang
untuk m engikuti perjuangan yang rum it dan m elelahkan sang to-
koh perem puan yang bertekad m em enangkan berbagai pertem -

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
K-Pop dan Asianisasi Kaum Perempuan 261

puran akibat budaya patriarkal, sebagai warga negara kelas dua


akibat jenis kelam in m ereka, pada saat Asia sedang berubah
pesat m e nuju m asyarakat industrial kapitalistik. Tantangan-tan-
tangan ini m encakup persaingan gencar di sekolah dan tem pat
kerja; tekanan berat dari keluarga (um um nya dari generasi le-
bih tua), tem an dekat dan kom unitas; beriring dengan alotnya
tawar-m enawar tradisi usang, dan berjuang dengan persoalan-
per soalan kesehatan. Pada pertem uan berbagai tekanan dari
ber bagai konteks, para tokoh perem puan m em perlihatkan kom -
binasi yang m engagum kan yaitu strategi bertahan hidup dan
m en capai keberhasilan: ketekunan, kesabaran, pengekangan diri
ketim bang reaksi yang agresif. Dalam kajiannya tentang Muslim
perem puan di J awa, Sm ith-Hefner m encatat kecenderungan baru
yang m encolok di Indonesia: 95 persen m em prioritas kan ke -
am anan pekerjaan dan kem andirian keuangan ketim bang per ni-
kahan—aspirasi yang sama diungkapkan oleh orangtua bagi anak
perem puan m ereka (Sm ith-Hefner 20 0 7: 412).
Dalam banyak dram a seri ini, ketika krisis m encapai puncak-
nya dan tokoh utam anya sedang berada dalam keadaan sedih atau
m arah luar biasa, kita sering m elihat adegan panjang tanpa kata
dan tanpa gerak, ketim bang ledakan em osi sebagaim ana m udah
ditemukan dalam ilm Indonesia maupun Hollywood. J elas bahwa
penggam baran berulang-ulang aspirasi m ilik tokoh perem puan
dan strategi non-konfrontatif m ereka diterim a dengan baik oleh
m ayoritas kelas m enengah perem puan perkotaan di Indonesia
dan negara-negara tetangga. Terlebih lagi, serial dram a ini lebih
sering berakhir dengan kebahagiaan tokoh utam a. Kerja keras,
kesabaran, dan ketekunan para tokoh ini berbuah pahala—bisa
dianggap ini untuk m enyenangkan para penonton. Kesetaraan
gender, pada taraf m enengah dan perlahan m eningkat secara
bertahap, tam pak seperti janji sejati atau ilham yang berkilau bagi
penggem ar dram a televisi.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
262 Identitas dan Kenikmatan

Tentunya, kerja keras, ketekunan, dan hasrat untuk im balan


m a terial m erupakan hal yang universal dalam m asyarakat kapi-
talis, dan ditam pilkan sebagai sesuatu yang alam iah dalam ber-
bagai kisah iksi dan non­iksi. Yang menonjol dalam drama tele­
visi Asia Tim ur ini adalah penolakan berulang-ulang atau peng-
ungkapan alternatif hubungan satu sam a lain. Pekerjaan bukan
hanya cara untuk m endapatkan im balan ekonom is dan kem an-
dirian; bahkan tak ada jam inan bahwa pekerjaan m enja m in kedua
hal tersebut. Dalam dram a televisi dari Asia Tim ur ini, kerja keras
dan pengekangan diri ditam pilkan sebagai suatu keba jikan m oral
dalam dirinya sendiri ketim bang sebagai cara untuk segera m eraih
imbalan sebagai hak. Dapat dipahami, bagi banyak penonton ilm
Indonesia yang nyata m aupun yang potensial, ke bajikan kerja
keras dan pengekangan diri m em iliki landasan ke agam aan pula.
Dengan dem ikian, ini m erupakan sebuah pe nyim pangan yang luar
biasa dari pola yang selam a ini diajukan oleh kisah yang sudah
diakrabi penonton dari berbagai sum ber dan ber bagai m asa,
m isalnya Hollywood, yakni kerja keras dan sengaja m enunda
kenikm atan pahala kerap m uncul sebagai syarat tidak enak tetapi
perlu untuk m endapatkan im balan m aterial di kem udian hari.
Masih perlu diteliti lebih jauh apakah dan sam pai sejauh
m ana perem puan m uda kelas m enengah perkotaan tertarik ter-
hadap dram a televisi kontem porer dari Asia Tim ur karena alas-
an-alas an yang saya sebutkan di atas. Masalah ini terkait per-
de batan pada awal tahun 20 0 0 -an m engenai tesis ‘kedekatan
budaya’ untuk m enjelaskan m engapa konsum en bu daya populer
di Indonesia m engalihkan kesetiaan m ereka dari pro duk-produk
Am erika Utara dan Eropa Barat ke Asia Tim ur (lihat Setijadi
2005; Iwabuchi 2002a: 130­4; Otmazgin 2007). Perdebatan ini
terlalu rum it untuk kita bahas di sini. Berikut ini, saya hanya
ingin m encatat beberapa pengam atan sebagai tanggapan saya ter-
hadap hal itu. Mungkin perlu untuk ditekankan kem bali bahwa

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
K-Pop dan Asianisasi Kaum Perempuan 263

Asia tidak pernah m enjadi satu benda yang sera gam dan ber-
ada secara terpisah dari bagian dunia lainnya. Para pengkritik
tesis kedekatan budaya m engingatkan kita bahwa tidak sem ua
produk budaya dari Asia dapat ditem ui atau m enjadi popu ler
di seluruh wilayah Asia. Lee (2009: 131­3) berpendapat bahwa
K-Pop populer tidak hanya di wilayah Asia Tim ur yang didom inasi
Konfusianism e, tetapi juga di beberapa wilayah yang didom inasi
Katolik di Am erika Latin, serta di negara-negara m ayoritas
Muslim . Lee lebih jauh berpendapat bahwa bahkan di wilayah
yang dido m inasi Konfusianism e di Asia Tim ur, aspek dan unsur
yang ber beda dari K-Pop m enarik perhatian m asyarakat di negara
yang berbeda. Lebih penting lagi, banyak orang Korea, juga para
analis di sana, yang beranggapan bahwa K-Pop tidak sepenuhnya
m ewa kili kebudayaan Korea. Beberapa produk ini dianggap “anti-
Konfusianism e” (Shin 20 0 9: 514). Seperti halnya produk dalam
industri budaya populer kontem porer, K-Pop am at blasteran atau
hibrid dan transnasional. “Bagi banyak agen bintang-bintang
Korea, ketiadaan karakter pem beda khas telah m enjadi faktor
yang disengaja dalam m em asarkan produk m ereka ke luar negeri”
(Maliangkay 20 10 : 6).
Di sisi lain, m enarik untuk ditengok m engapa popularitas
K-Pop terkuat ditem ui di berbagai bagian Asia (Utara, Tim ur Laut,
dan Tenggara) bila dibandingkan dengan wilayah lain. Upaya un-
tuk m em asarkan m ereka di Am erika dan m asyarakat ‘Barat’ lain-
nya tidak terlalu sukses (Choe dan Russell 20 12; Shin 20 0 9).5
Maka tesis kedekatan budaya m em iliki argum en yang tak bisa
dibuang begitu saja, tapi m em butuhkan sem acam tinjauan-ulang
dan perbaikan. Bagian yang kerap digugat para pengkritik tesis
kedekatan budaya adalah istilah ‘budaya’ ketim bang ‘kedekatan’.

5 Lihat pula Iwabuchi (20 0 2b) yang m em bahas sejum lah kecil kasus suksesnya
upaya m em perluas budaya populer J epang ke pasar Am erika Serikat.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
264 Identitas dan Kenikmatan

Tesis ini ada benarnya apabila yang dim aksud dengan ‘budaya’
adalah arena pertarungan dan seperangkat praktik pem aknaan
di dunia yang ditandai oleh hubungan-hubungan kekuasaan yang
tak im bang secara m aterial dan non-m aterial, ketim bang gagasan
usang m engenai budaya sebagai suatu sistem nilai yang statis dan
tak berubah, pandangan dunia serta cara hidup yang dim iliki oleh
suatu kelom pok sosial yang terbatas.
Yang meresahkan saya adalah logika dasar tesis kede katan
budaya itu sendiri. Dalam sejarah budaya populer, hal yang asing
dan jauh dapat menjadi sumber daya tarik, sama halnya de ngan
hal yang akrab dan dekat. Sebagaimana telah ditunjukkan se-
belum nya (dan dikukuhkan oleh banyak responden yang kami ta-
nyai selama penelitian lapangan), aktor tampan, potongan rambut,
pakaian dan rumah yang bergaya, pemandangan indah, serta san -
tapan merupakan sebagian dari daya tarik utama bagi para peng-
gemar drama televisi Asia Timur ini. Dapat dikatakan semua hal
itu memukau para penonton, justru karena asing dan bukan ba gian
dari kehidupan sehari-hari para penonton itu.6 Na mun tak seperti
rekan sebangsa mereka yang jauh kurang berun tung, orang mu da
kelas menengah ini tahu, atau yakin, bahwa gaya hidup seperti ini
tidak sepenuhnya di luar jangkauan mereka di masa depan.
Bagi sebagian dari m ereka, m enjadi penggem ar setia K-Pop
tidaklah m urah. Pada tanggal 27-29 April 20 12, Super J unior
(boy band K-Pop paling populer di Indonesia) m em ecahkan rekor
tam pil selam a tiga m alam berturut-turut di sebuah tem pat per-

6 Kim Seong-kon, seorang profesor Sastra Inggris pada Seoul National University
m eletakkannya dalam sebuah wawasan yang sederhana tapi m engena: “K-Pop
m erupakan cam puran dari berbagai budaya, Korea dan Barat. Mungkin budaya
hibrida Tim ur dan Barat ini yang m enarik bagi orang m uda di berbagai negara.
Mereka dengan m udah m enyam but K-Pop karena aspek-aspek kehidupan
Baratnya sudah m ereka akrabi. Sem entara pada saat yang sam a m ereka
terpesona oleh unsur-unsur yang eksotik dan asing yang juga bisa ditem ukan
di K­Pop” (2012: 39).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
K-Pop dan Asianisasi Kaum Perempuan 265

tun jukan di J akarta. Setiap m alam , sebanyak 8.0 0 0 tiket ter jual
dengan harga m ulai dari 50 0 ribu rupiah hingga dua juta rupiah
(Tobing dan Budiartie 20 12: 69). Angka yang belakangan itu lebih
besar ketim bang upah pekerja m inim um di J akarta waktu itu
(Rp1.529.150 ) yang besarnya sudah dua kali lipat diban dingkan
daerah-daerah term iskin di Indonesia, dan nyaris m ende kati
pen dapatan rata-rata bulanan nasional.7 Tidak sedikit orang
kaya Indonesia m elakukan perjalanan ke luar negeri untuk m e-
nonton pertunjukan idola m ereka secara langsung (Sianipar
20 10 ). Dalam salah satu acara kum pul-kum pul yang kam i da-
tangi, yang diselenggarakan oleh dan untuk penggem ar K-Pop
di J akarta (bulan J uni 20 10 ), ratusan peserta m enjawab dengan
sem angat sebuah survei yang diadakan oleh sebuah per usahaan
penyelenggara acara. Survei itu bertanya, m ereka ingin grup
Korea apa yang datang berkunjung ke Indonesia untuk m eng-
adakan pertunjukan langsung dan kisaran harga tiket yang rela
m e reka bayar untuk m enonton pertunjukan seperti itu. Keba-
nyak an m enjawab pertanyaan yang kedua dengan angka sekitar
20 0 ribu hingga satu setengah juta rupiah.
Debat tentang kedekatan budaya tak akan berlalu seluruhnya
dari diskusi lanjutan di antara penggem ar setia K-Pop dan para
analis m ereka. Ketim bang m enyelidiki soal ini lebih jauh, pada
bagian sebelum nya saya telah m encoba m em bahas pertanyaan
lain yang tak kurang pentingnya yaitu posisi kelas para pengge m ar
tersebut. Posisi kelas m ungkin lebih penting ketim bang derajat
kedekatan budaya atau peradaban penggem ar dengan Asia Tim ur.
Tak peduli berapa jauh dan luas K­Pop— atau musik ragam lain—

7 Badan Pusat Statistik (2013) memperkirakan Pendapatan Nasional Bruto


pada tahun 2012 sebesar Rp30.516.670. Menurut Bank Dunia pada bulan
Maret 2013 “lebih dari 32 juta orang Indonesia saat ini hidup di bawah garis
kem iskinan dan kira-kira separuh rum ah tangga tetap berada di sekitar garis
kem iskinan dengan pendapatan sekitar Rp20 0 .262 per bulan.”

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
266 Identitas dan Kenikmatan

berjaya di pasar dunia, m ereka akan dikonsum si dan dim aknai


secara berbeda di antara para penggem ar setia m ereka karena
beberapa alasan. Bertolak dari posisi kelas, dalam bagian berikut
saya ingin m em bahas bagaim ana penggem ar K-Pop m enyam but
konteks kesejarahan yang khusus pasca-otoritarianism e, ber-
kurangnya ketegangan rasial dan kebangkitan Islam ism e dan
post-Islam ism e.

H IBRID ITAS R EM IX
Dalam Bab 2 saya m engajukan pendapat bahwa baik Islam ism e
m aupun post-Islam ism e m engalam i m om entum pertum buhan
yang belum pernah ada bandingannya. Keduanya terjadi m enyu-
sul runtuhnya rezim m iliter yang telah lam a berkuasa, yang m e-
ninggalkan kekosongan rongga kekuasaan yang besar di berbagai
bidang, term asuk dalam ranah m oral dan budaya. Bisakah m o m en
yang sam a ikut m enjadi penyebab derasnya perm intaan terha-
dap budaya populer dari Asia Tim ur di Indonesia, sebagaim ana
pada kasus K-Pop? Sun J ung (20 11: 4.22) berpendapat dem ikian.
Ia m enyodorkan kesejajaran dalam perubahan sosial dan politik
besar-besaran yang terjadi di Tiongkok, Vietnam , dan Indo nesia
serta kekosongan budaya yang m enyusulnya ketika K-Pop hadir
di negara-negara tersebut. Dari sudut pandang ini, ia m elihat
populernya cover dance (tarian tiruan) di antara para pengge-
m ar m uda di Indonesia sebagai sebuah “upaya untuk m en de-
kon struksi representasi gender yang norm atif, yang pada gilir-
an nya m em perkuat konstruksi fem ininitas baru di Indonesia”
(J ung 20 11: 4.18). Saya beranggapan pandangan tersebut m asuk
akal, tapi kese jajaran yang dibahasnya tidak lebih dari itu. Dalam
bagian terakhir bab ini, saya ingin m endiskusikan lebih jauh
kekhasan sejarah kasus Indonesia dengan m elihat bagaim ana de-
m am K-Pop bertem u dengan sentim en anti-Tionghoa dan islam -
isasi pasca-Orde Baru.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
K-Pop dan Asianisasi Kaum Perempuan 267

Dalam sebagian besar abad ke-20 , tam pang oriental atau


segala atribut ketionghoaan lain dianggap sebagai beban dalam
kehidupan publik di Indonesia. Sem entara kebanyakan orang
Indo nesia m engenal ada perbedaan bangsa Tiongkok, J epang,
atau Korea Selatan, kesadaran ini cenderung lenyap dari kehi-
dup an sehari-hari dan ditaklukkan oleh prasangka yang kerap
ber cam pur dengan persepsi. Dengan kehadiran etnis Tionghoa
yang dianggap berm asalah dalam politik nasional Indonesia,
mudah bagi banyak orang untuk mengidentiikasi atau mengang­
gap bahwa setiap orang asing yang bertam pang oriental di ruang
publik atau di m edia m assa sebagai Tionghoa. Hingga kejatuhan
Orde Baru pada tahun 1998, kaligrai Cina sama sekali tak tampak.
Sebagaim ana dibahas di bab sebelum nya, bahasa dan aksara Cina
dilarang. Orang Indonesia-Tionghoa jarang tam pil sebagai tokoh
dalam kisah iksi produksi lokal (lihat Bab 6). Ketika sesekali
ditampilkan dalam acara televisi atau ilm, mereka tampil secara
karikatural dan kasar. Sem uanya berubah pada dekade pertam a
abad ini, tak hanya dibuktikan dengan perayaan Tahun Baru Im lek
yang direstui oleh negara sesudah kejatuhan Orde Baru (lihat Bab
6), tetapi juga m engalirnya budaya populer J epang, Taiwan, dan
Korea Selatan setiap hari.
Pada tahun-tahun awal pem erintahan Orde Baru, warga
negara keturunan Tionghoa ditekan untuk m engganti nam a dan
m em bayar untuk keperluan m endaftarkan “nam a Indonesia” m e-
reka, tetapi kem udian m ereka didiskrim inasi lebih jauh ketika
m em butuhkan pelayanan publik. Setengah abad kem u dian,
banyak orang m uda penggem ar K-Pop dari berbagai latar bela-
kang etnis secara suka rela m engam bil nam a Korea, sekalipun
hanya iseng atau m ain-m ain. Banyak dari m ereka, ter m asuk
yang kam i wawancarai untuk buku ini, m enuliskan nam a Korea
m ereka dalam aksara Korea. Seorang perem puan etnis Tionghoa

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
268 Identitas dan Kenikmatan

m enjelaskan ia m em ilih nam a Korea karena ada kesa m a an an-


tara penulisan aksara Cina untuk nam anya dan aksara Korea.
Da lam lingkungan liberal baru pasca-Orde Baru, kursus Bahasa
Man darin m enjam ur bersam a dengan kursus Bahasa Korea.
Sem entara Bahasa Mandarin punya sejarah panjang sebe lum
periode Orde Baru, Bahasa Korea m erupakan sesuatu yang baru,
begitu juga m eningkatnya m inat khalayak pada m akanan Korea,
ketertarikan pada pakaian tradisional dan kontem porer Korea,
serta popularitas Korea Selatan sebagai tem pat tujuan wisata.
Pada awal m asuknya budaya populer Asia Tim ur, perem puan
m uda penggem ar di Indonesia dikejutkan oleh persepsi m ereka
sendiri tentang laki-laki bertam pang oriental, karena m engalam i
perubahan. Contohnya, dalam satu kajian beberapa penggem ar
perem puan m engaku terkejut ketika tahu bahwa m ereka
m enyukai tokoh Dao Ming Tse (diperankan oleh J erry Yan) di
Meteor Garden: “tak biasanya kita m elihat cowok ganteng dalam
ilm Mandarin” (Pravitta 2004­5: 7). Dua responden dalam studi
yang sam a m engatakan m ereka tak m enduga bahwa tam pang
oriental dan kegantengan bisa ada pada satu orang. Pengam atan
Pravitta patut dikutip agak panjang:

Kekaguman terhadap igur Dao Ming Tse tidak sekedar mengubah


selera dalam memilih ilm, tetapi juga dalam memilih laki­laki.
Beberapa waktu yang lalu kita akan m enem ui kenyataan bahwa
sebagian besar m asyarakat pribum i m em iliki kecenderungan untuk
berjarak dengan warga etnis Cina, apalagi untuk urusan m em ilih pacar.
Sangat jarang terjadi seorang pribum i berpacaran dengan seseorang
beretnis Cina. Sangat jarang pula perem puan pribum i yang m enilai
laki-laki Cina dengan sebutan tam pan, keren, dan sebagainya. Sejak
Meteor Garden m eledak, perlahan-lahan kenyataan bergeser. Para
m ahasiswi m ulai m elirik laki-laki keturunan Cina dan m em unculkan
berbagai istilah, seperti cica (cina cakep), cihuy (cina uhuy ).
(20 0 4-5: 18-9)

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
K-Pop dan Asianisasi Kaum Perempuan 269

Lebih dari satu abad, m odel dan artis bertam pang Indo telah
mendominasi peran ilm dan wajah dalam iklan di seluruh Indo­
nesia, sebagai salah satu bekas koloni Eropa. Bahkan hingga tahun
2005 ketika seorang pembuat ilm paling terhormat di Indonesia,
Riri Riza m em buat Gie (sebuah ilm yang mengidolakan aktivis
mahasiswa legendaris Soe Hok Gie dan dianggap sebagai ilm
biopik politik paling berani) ia m erasa harus m em ilih Nicholas
Saputra yang bertam pang Indo untuk m em ainkan peran utam a
sebagai Soe Hok Gie di ilm itu. Pada kurun waktu yang sama,
terjadi peningkatan perm intaan artis dan m odel bertam pang
Tionghoa sehingga tren ini m enjadi topik untuk liputan utam a
sebuah tabloid (Genie 20 0 5). Bersam aan dengan itu, Meteor
Garden m enjadi topik pem bicaraan sehari-hari orang biasa,
sam pai-sam pai ada bahasan lum ayan jauh tentang dram a televisi
itu dalam ilm komedi Indonesia, 30 Hari Mencari Cinta (2003,
Avianto) yang berkisah tentang tiga perem puan yang berlom ba
mencari hubungan romantis dalam waktu 30 hari. Dalam salah
satu adegan, salah seorang tokoh dalam ilm menyanyikan lagu
tem a Meteor Garden.
Di luar segala hal di atas, saya m erasa perlu buru-buru m e-
nam bahkan bahwa prasangka rasial atau ketegangan terhadap
etnis m inoritas Tionghoa tidak m enghilang. Kita tidak dapat
m enggeneralisir persepsi yang berubah terhadap etnis Tionghoa
ini berlaku bagi sem ua perem puan dalam m asyarakat secara na-
sional. Di Surabaya, Ida m enem ukan kom entar sinis seorang pe-
rem puan berum ur 29 tahun m engenai tergila-gilanya banyak
perem puan terhadap Meteor Garden: “Saya bertanya-tanya m e-
nga pa banyak perem puan yang suka pada cowok ini (Dao Ming
Tse) … Lucu, m ereka suka F4, tapi m ereka tetap tidak suka Cina
[di Indonesia]!... Mereka hanya suka melihat cowok Cina di TV”
(Ida 20 0 8: 10 6).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
270 Identitas dan Kenikmatan

Kegandrungan baru yang ditam pilkan secara m assal di depan


publik terhadap laki-laki bertam pang oriental ini luar biasa;
sedikitnya ka rena hal ini terjadi dalam m asyarakat di m ana
sem angat anti-Tionghoa telah m enjadi arus yang m engalir dalam -
dalam di batin kehidupan berbangsa ini lebih dari satu abad, dan
belum lagi setengah dekade ketika negeri ini m enyaksikan salah satu
kekerasan m assa paling m engerikan terhadap kelom pok m inoritas
ini (lihat Bab 6). Meski dem ikian, yang lebih m enakjubkan adalah
bagaim ana perem puan m uda Muslim dengan jilbab mereka—pada
puncak islamisasi—berlomba untuk menyambut idola oriental
non-Muslim . Di sini kita m enyaksikan bagaim ana politik identitas
di Indonesia telah m encapai sebuah tahap hibriditas baru. Untuk
m enggam barkan gejala um um ini, saya akan m engutip catatan
lapangan saya tertanggal 14 Novem ber 20 10 :

Evi (salah seorang asisten riset saya) dan Fadli (suam inya) m en-
jem put saya dari hotel dan kam i pergi ke pusat perbelanjaan Malang
Olym pic Garden untuk m enghadiri acara Hallyu Explosion 20 10 . Ini
adalah hari kedua dari acara yang berlangsung dua hari. Menurut
publikasi di lam an Facebook m ereka, sehari sebe lum nya m ereka
m engadakan serangkaian penam pilan dada kan berom bongan (lash
m ob) di beberapa ruang publik paling sibuk di kota itu, m eniru
penam pilan boy band terkenal Korea se perti DBSK, Super J unior,
dan SHINee. Pada hari kedua, m e reka m em persiapkan sebuah
daftar acara yang sangat panjang, ter m asuk “Parade Tarian Tiruan
K­pop” dengan 33 penari dan 29 kelompok cover dance (tari peniru);
serangkaian kom petisi cover dance (solo, group, silang gender dim ana
laki-laki berperan seba gai perem puan dan sebaliknya). Sem entara
pertunjukan ber langsung di panggung di satu ujung ruangan luas
pusat perbe lanjaan, di bagian yang sam a dari ruang yang dilengkapi
pe nyejuk udara ini, terdapat kios untuk beragam pam eran, pera gaan
atau ke giatan yang terdaftar di buku panduan berbahasa Inggris: Ko-
rean Food Festival, Goodies Center, Korean Culture corner, Ko rean
Traditional Fashion Corner, Korean W riting Tutorial, dan Stu dio
Hanbok. Seluruh kegiatan berlangsung dari pagi– sebe lum kam i
tiba– hingga lepas m aghrib– ketika saya sudah kele lahan. Diban-

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
K-Pop dan Asianisasi Kaum Perempuan 271

dingkan dengan kegiatan serupa di J akarta atau Bandung yang


disponsori oleh kedutaan atau perusahaan Korea, kegiat an di Malang
ini sepenuhnya m enjadi tanggung jawab para penggem ar ini.
Pusat perbelanjaan Malang Olym pic Garden m erupakan pusat
perbelanjaan terbaru dan kedua terbesar di J awa Tim ur. Seperti di
Bandung, Malang terletak di ketinggian beberapa ratus m eter dari
perm ukaan laut dan lebih tinggi daripada kota-kota lain di negara
kepulauan ini, m enjadikannya sebagai kota yang m enarik bagi orang
lokal m aupun asing karena udaranya yang sejuk dan pem andangan
alam nya yang m enarik. Pusat Perbelanjaan Malang Olypm ic Garden
adalah sebuah bangunan yang dipaksakan secara vulgar terhadap
lingkungan sekitarnya yang pernah m enjadi salah satu bagian terbaik
dari tata kota warisan kolonial. Kawasan itu dulunya m erupakan
kawasan pem ukim an yang terpelihara dengan baik dan rindang
untuk orang kaya kota Malang, dengan ruang terbuka, barisan
lapangan tenis dan kolam renang. Penduduk setem pat berbagi
kepada saya cerita yang lazim didengar di daerah bekas koloni
tentang bagaim ana aparat negara m enggunakan kekerasaan dan
paksaan untuk m em bungkam m ereka yang m enentang penggusuran
pedagang kecil dan pem bangunan pusat perbelanjaan itu.
Ketika kam i tiba di lokasi acara, kam i m elihat arus perem puan
m uda yang baru tiba m enuju pintu m asuk. Harga tanda m asuk 20
ribu rupiah; dan para kontestan harus m em bayar lim a kali lipat
untuk ikut serta dalam kom petisi. Lebih dari sekali Evi m engata kan
kepada saya, apa yang paling istim ewa tentang para pengge m ar ini
adalah jarak yang m em isahkan m ereka dengan kontak langsung dari
artis yang m ereka idolakan. Evi m em bandingkan de ngan penggem ar
yang tinggal di J akarta yang pernah m elihat, setidaknya turut serta
dalam perbincangan radio dengan bebe rapa artis Korea, produser
atau m anajernya. Penggem ar K-pop di kota di J awa Tim ur ini harus
sepenuhnya m engandalkan sum ber kedua atau ketiga, dan angan-
angan m ereka sendiri tentang idola m ereka itu. Sekalipun begitu, di
acara kum pul-kum pul ini, m ereka m enjadi begitu ceria dan bergairah
seakan-akan artis-artis Korea itu benar-benar hadir di situ.
Tak seperti Evi (seorang perem puan m uda Muslim berjilbab)
yang m engejutkan saya (seorang pengam at non-Muslim yang lebih
tua) adalah besarnya kerum unan ini, sebagian besar m ereka adalah
perem puan m uda Muslim berjilbab yang m enjadi anggota panitia
penyelenggara, dan juga para tam u. Lebih dari seribu orang di sana,
lebih dari 90 persennya adalah perem puan di akhir usia belasan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
272 Identitas dan Kenikmatan

dan awal 20 -an tahun. Lebih dari separuh m em akai baju Muslim
dan kepala m ereka ditutup jilbab. Di panggung, banyak perem puan
yang m enari dan m enyanyi dengan sem angat diiringi m usik yang
m enggelegar dari pengeras suara bertegangan tinggi. Beberapa
dari perem puan ini berpakaian m inim , beberapa m em akai pakaian
Muslim dan jilbab. Beberapa pengunjung m engantri di “Hanbok
Studio”, bergantian m em akai pakaian tra disional Korea (Hanbok)
yang tersedia untuk disewa dari lem ari jinjing di sudut. Kem udian
m ereka berpose dengan gaya yang dianggap khas Korea sem entara
tem an m ereka m em otret berkali-kali dengan m enggunakan telepon
genggam . Di latar belakang, ada beberapa gam bar-latar m em per-
lihatkan gam bar ukuran sesungguhnya bagian depan sebuah rum ah
Korea. Unsur non-Korea yang tam pak m encolok dalam penam pilan
perem puan-perem puan itu adalah jilbab m ereka. Mereka m em akai
baju Korea m enutupi pakaian m ereka, dan tetap m em pertahankan
penam pilan jilbab m ereka.
Di sisi lain ruangan itu, saya m elihat kerum unan perem puan
Muslim bertingkah dengan lebih seru. Gam bar para bintang artis
Korea yang lebih besar dari ukuran sesungguhnya dipajang di sebuah
tiang yang m enopang langit-langit gedung. Kerum unan pengunjung
berjilbab bergantian berdiri di atas sebuah kursi di sam ping tiang
itu sehingga m ereka bisa cukup tinggi untuk m em eluk gam bar foto
itu, m engelus atau m encium pipi laki-laki di poster itu, sem entara
teman mereka—juga berjilbab—mengambil rangkaian foto dengan
telepon genggam m ereka. Kem udian m ereka m em eriksa foto itu di
layar telepon genggam m ereka, cekikikan, berbagi kom entar dan
m engulang sesi foto atau pindah untuk m engam bil gam bar dengan
poster lain. Tak ada dalam ilm atau televisi Indonesia yang pernah
m enam pilkan adegan yang m enyerupai perilaku para perem puan
muda berjilbab ini. Jika ini muncul dalam ilm Indonesia, mungkin
banyak yang beranggapan hal ini tak m asuk akal, sem entara kelom -
pok konservatif tak diragu kan lagi, akan bertindak dengan m arah.

Sejum lah studi kasus tentang Indonesia dan tem pat lain m e la-
porkan bahwa m inim nya kontak seksual antara tokoh pa sangan
(hete roseksual) yang sedang jatuh cinta m enjadi salah satu alasan
disukainya dram a televisi Korea dan Asia Tim ur lainnya. Mereka
bahkan jarang bercium an, apalagi m elakukan hubungan seks

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
K-Pop dan Asianisasi Kaum Perempuan 273

sebelum atau di luar pernikahan, bahkan ketika m ereka m eng-


ha biskan m alam bersam a di tem pat tidur. Serial Meteor Garden
ada lah salah satu contohnya. Perem puan Indo nesia yang m e-
non tonnya berulang kali m enekankan faktor ini sebagai hal yang
m ereka horm ati dan puji (lihat Merdikaningtyas 20 0 6; Pravitta
20 0 4). Dapat dipaham i bila m ereka dapat m enolerir siaran televisi
Am erika yang m em uat adegan yang m enggam bar kan hubungan
erotis atau yang m enyiratkan hu bungan in tim para tokohnya.
Penggam baran seperti ini hanya m e ne gas kan lagi persepsi um um
ten tang pem bagian ‘Tim ur versus Barat’. Tole ransi seperti ini
tidak berarti bahwa penonton kelas m ene ngah Indo nesia siap
mengidentiikasi diri dengan tokoh berpikiran liberal seperti itu,
se bagaim ana yang m ereka lakukan de ngan tokoh yang m engekang
diri secara seksual dalam Meteor Garden. J ika pengandaian itu
ber laku, m aka tesis ‘kedekatan budaya’ datang m enghantui kita
lagi.
Sebelum ada yang m enelan m entah-m entah pandangan de-
m ikian, saya ingin m engajukan tiga sanggahan. Pertam a, Indo-
nesia merupakan negeri yang kaya akan ilm dan drama televisi
yang berpusat seputar perzinahan. Namun, berbeda dengan iksi
Amerika, kebanyakan ilm dan drama televisi Indonesia mem­
per lihatkan tokoh perem puan jahat ketim bang yang baik seba-
gai pihak yang terlibat dalam aktivitas seksual di dalam cerita.
Ke dua, ketelanjangan dan erotism e di panggung dan budaya
layar di m asyarakat Indonesia diterim a secara berbeda ber dasar -
kan garis etnis, agam a, dan kelas. Sebagaim ana di tem pat lain
di dunia, beberapa orang paling konservatif (secara m oral dan
ideologis) di Indonesia dapat ditem ukan di kalangan kelas m ene-
ngah.8 Sebagaim ana disebutkan sebelum nya, kasus pedangdut

8 Saya telah membahasnya di tempat lain (Heryanto 2003); lihat juga Heryanto
(1996, 1999b), Kahn (1996a, b), Lev (1990 ), Tanter dan Young (1990 ), dan
Wright (1987, 1989).

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
274 Identitas dan Kenikmatan

Inul Daratista dan penggem arnya yang berasal dari kelas bawah
m em bantah dan sekaligus m enggugat apa yang biasa diterim a
sebagai kelayakan dan kesantunan, sebagaimana dideinisikan
oleh kelom pok konservatif di negeri ini. Ketiga, sebaik nya kita cu-
kup bijak untuk tidak beranggapan, se m ua perem puan pengge-
m ar budaya populer dari Asia Tim ur ter te kan secara seksual ke-
timbang penonton kisah iksi bergaya Hollywood. Kerap terjadi,
pu blik Indonesia terganggu oleh hasil survei yang m em perlihat-
kan tingginya kegiatan seksual pranikah di antara orang m uda
(lihat Heffner-Sm ith 20 0 9), term asuk di Yogya karta di m ana
Mer dikaningtyas (20 0 6) dan Pravitta (20 0 4) m enyelengga ra kan
pene litian dalam kesem patan terpisah. Dalam kajiannya, Pra vitta
(2004) memasukkan bagian (2004: 13­9) yang mendiskusikan
pengakuan fantasi seksual para penonton perem puan ini se su dah
m enonton Meteor Garden, m ulai dari m em belai hingga kha yalan
berhubungan seks dengan karakter iktif Dao Ming Tse (2004:
16-7).
Dalam sebuah studi tentang Muslim ah m uda terpelajar di
J awa, Nancy Sm ith-Heffner m em peroleh pengakuan dari banyak
di antara m ereka bahwa m ereka

kebingungan dan m erasa cem as ketika pertam a kali datang ke uni-


versitas dan m engalam i kebebasan dan keragam an yang berle bihan…
Bagi banyak perem puan m uda, kam pus m erupakan saat pertam a
kali m ereka hidup jauh dari rum ah. Kebanyakan perem puan yang
tinggal jauh dari rum ah tinggal di kam ar sewa atau tem pat kost
dengan sesam a m ahasiswi lain.
(20 0 7: 40 1)

Dalam penelitian terpisah terhadap kelom pok yang sa m a, Sm ith-


Heffner m enem ukan “bahwa sebagian besar dari m ereka hanya
m enerim a sedikit sekali, atau tidak sam a sekali, pan duan konkret
di sekolah atau dari orangtua m ereka bagaim ana ber interaksi

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
K-Pop dan Asianisasi Kaum Perempuan 275

dengan lawan jenis” (20 0 9: 227). Bisa dim engerti, dalam suasana
yang m em bingungkan ini, para perem puan m uda ini m engam bil
langkah yang berbeda-beda. Beberapa dari m ereka m erasa
nyaman dan nikmat dengan ilm­ilm dan drama televisi yang
konservatif secara seksual m aupun politis dari post-islam ism e
yang sedang tumbuh (lihat Bab 3) atau dalam K-Pop, tanpa
harus m em bahayakan identitas keislam an m ereka. Sebagian lagi
m enem ukan kebebasan baru dan kenikm atan dalam jaringan
yang sedang tum buh di antara kelom pok-kelom pok penggem ar
dan kelom pok cover dance. Mereka yang lebih berjiwa ingin tahu
dan petualang m engeksplorasi lebih jauh dan m encoba-coba
batasan norm a baru yang diperkenankan. Tetap saja sebagian lagi
berkonsentrasi untuk m endalam i tekad spiritual m ereka untuk
m enjadi lebih bertakwa (Rinaldo 20 0 8).
Dari berbagai penjelajahan identitas yang beragam itu, yang
secara visual paling m enarik dari penelitian lapangan saya adalah
seorang perem puan m uda berjilbab yang m enam pilkan nya nyian
dan tarian Korea di depan um um . Ketika beberapa dari m ereka
kam i tanya apakah m erasakan kejanggalan atau per tentangan
antara m enjadi seorang Muslim yang baik dan m enjadi anggota
aktif sebuah kelom pok penggem ar, m ereka m enjawab dengan
tegas “tidak”. Nam un, beberapa dari m ereka m engaku bahwa
ke giatan m ereka telah m enim bulkan keheranan dari sekitar
m ereka, dan m endatangkan kom entar tak m enyenangkan. Pada
pertengahan 1980 -an, ketika aktivis m aha siswi m em akai jilbab
se bagai ungkapan pem bangkangan politik, m ereka m enerim a
ejekan dari anggota keluarga dan tem an-tem an dekat (Brenner
1996: 674-5). Tiga dekade kem udian, ketika berjilbab sudah
m enjadi norm a di kalangan Muslim ah, beberapa Muslim ah m uda
ini kem bali m engejutkan publik dengan m enam bahkan satu lapis
identitas dan pakaian di atas pakaian islam i m ereka. Lagi-lagi,
m ereka m enerim a cem ooh yang tak m enyenangkan.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
276 Identitas dan Kenikmatan

Bab ini telah m em perlihatkan sosok dan peran aktif perem -


puan m uda Indonesia dalam m enam pung budaya populer dari
Korea Selatan dan beberapa negara Asia Tim ur lainnya, dalam
upaya untuk m engeksplorasi dan m em bangun sebuah identitas
yang baru sebagai m anusia m odern dan kosm opolitan. Mereka
m elakukannya pada titik persim pangan sejarah yang khusus,
yang m em bedakan pengalam an m ereka dengan rekan m ereka di
kebanyakan tem pat lain di Asia atau di m ana pun di tem pat K-Pop
diterim a dengan hangat. Kasus Indonesia ini ditandai oleh ber-
m uaranya seperangkat faktor ke titik yang sam a: runtuhnya bu-
daya m askulin yang kuat m enyusul kejatuhan pem erintahan m i-
liter Orde Baru dan kekosongan ideologis dan budaya yang m eng-
iringinya; hasrat nasional untuk m encari m odel alternatif untuk
m enjadi m anusia Indonesia m odern beriring dengan ekspansi
dram atis m edia baru dan jaringan sosial yang m em berdayakan
perem puan untuk m engonsum si sekaligus m em produksi m ateri
tekstual, audio, dan visual dengan m udah di seluruh dunia; dan
terakhir, m enebalnya perasaan kebebasan di antara segm en
kelas m enengah baru untuk m engejar tren global dalam budaya
konsum en. Bab ini secara khusus m engam ati bagaim ana dem am
K-Pop di Indonesia dan asianisasi di Asia beririsan dengan warisan
ketegangan rasial terhadap etnis m inoritas Tionghoa (Bab 6) dan
kebangkitan islamisasi (Bab 2 dan 3).
Keseluruhan gam bar yang kita dapatkan dari diskusi di atas
m enyarankan satu tahap pem berdayaan perem puan m uda peng-
gem ar budaya populer dari Asia Tim ur, m eredanya pra sangka
rasial dan ketegangan yang telah lam a m ewabahi kehidupan pu-
blik di Indonesia, dan sebuah bentuk baru hibriditas di ka langan
post-Islam is. Politik identitas dan kenikm atan yang digam bar-
kan sebelum nya ini dapat m engganggu kelom pok-kelom pok
kon servatif yang dom inan di Indonesia m asa kini. Hal ini dapat
berkembang—atau tidak—menjadi sesuatu yang lebih besar dengan

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
K-Pop dan Asianisasi Kaum Perempuan 277

kem ungkinan untuk m enantang status quo. Nam un, energi baru di
kalangan penggem ar K-Pop tak dapat secara pasti dianggap sebagai
tren atau gerakan politik yang progresif. Sebagaim ana telah saya
paparkan sebelum nya, kontroversi besar seputar Inul Daratista
(lihat juga Heryanto 20 0 8b) m enggarisbawahi bagaim ana dem am
K-Pop m erupakan tren di tengah kelas m enengah urban. Sem entara
anggota kelas m enengah yang lebih politis telah m engkritik K-Pop
m ania, seperti diperlihatkan sewaktu kunjungan F4 pada tahun
2003, politik kaum yang memproklamasikan diri sebagai progresif
ini juga patut mendapat perhatian. Bab berikutnya—berfokus
pada politik jalanan dari mereka yang kurang beruntung—akan
m encoba untuk m em perhatikan pokok tersebut.

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bab 8

Dari Layar ke Politik Jalanan

BAB SEBELUMNYA m em aparkan bagaim ana gelom bang baru


budaya populer dari Asia Tim ur telah m em pesona kaum m uda kelas
m enengah perkotaan m elalui acara televisi, DVD, dan perangkat
telepon pintar. Bab terakhir ini m elihat bagaim ana m erasuknya
budaya layar ini berakibat dan dim anipulasi oleh kelom pok non-
elite, yang oleh para pengam at kerap disebut dengan sem ba-
rangan sebagai “m assa” dalam politik jalanan. Ilustrasi terbaik
fenom ena ini adalah pem ilu 20 0 9 di Indonesia, yang m erupakan
salah satu pem ilu terbesar di Asia. Untuk m elengkapi dan m eng-
im bangi anggapan um um tentang kekuatan m edia sosial di m a-
syarakat seba gai kekuatan pem berdayaan dalam m enjalankan
proses dem okratisasi, bab ini akan m em perlihatkan sisi gelap
wajah ganda teknologi m edia. Di satu sisi, teknologi m edia baru

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
280 Identitas dan Kenikmatan

m em berda ya kan sebagian kehidupan sosial sehingga m engelabui


banyak pihak seakan-akan sem ua warga negara setara di hadapan
hukum . Di sisi lain, teknologi yang sam a dalam jalinan sosial
yang khusus, dapat m em bawa kepada ketidakberdayaan politik,
m em ecah-belah kom unitas dengan cara yang tak terduga. Dengan
sem akin cepat, m udah, dan m urahnya akses pada kom unikasi
yang intim dengan berbagai belahan dunia dalam waktu 7 kali 24
jam , orang lebih sering terasing dari tetangga di sekitarnya.
Sebelum nya, pada akhir Bab 5, saya m enyebutkan sebuah
ironi: tekanan dan propaganda Orde Baru yang gencar telah m e-
nye babkan segarnya oposisi, propaganda tandingan, dan perla-
wanan terhadapnya. Sebuah pendekatan yang lebih halus untuk
m en capai dom inasi dengan baju lain terbukti lebih jitu dalam
m enguras tenaga dan m elum puhkan gerakan politik progresif.
Misalnya, pada kasus di bawah ini, sedikit banyak karena m edia
lam a dan baru bagi budaya layar telah tersebar dengan baik,
m assa di Indonesia saat ini tam paknya tercerai dan dijinakkan
se cara suka rela. Ini adalah situasi yang am at diinginkan tetapi
gagal dicapai oleh Orde Baru. Liberalisasi politik yang lebih luas di
m asya rakat tak selalu berarti pem berdayaan m assa.
Untuk keperluan perbandingan, satu bagian dari bab ini akan
m enggam barkan dan m enggarisbawahi beberapa watak m e non -
jol perilaku m assa dalam politik jalanan di m asa Orde Baru ke-
tika budaya layar dikendalikan dengan ketat dan internet m a sih
m erupakan hal yang baru. Dalam bagian berikutnya, saya akan
m enggarisbawahi perilaku m ereka satu dekade sesudah rezim itu
runtuh. Bab ini akan diakhiri dengan satu bagian yang m e nin jau
pengaruh besar-besaran industri hiburan ter ha dap pe m ilu 20 0 9,
dengan kam panye yang m eniru form at acara tele visi dan m assa
m enukar partisipasi politik dengan penjinakan po litik m elalui
hiburan. Nam un, ada baiknya terlebih dahulu saya sam paikan di
bagian berikut ini, konsep Indonesia sebagai m a syarakat berkiblat

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Dari Layar ke Politik Jalanan 281

kom unikasi lisan, untuk m em aham i per ubahan sosial yang di-
analisa di bagian berikutnya.1

KEH ID U PAN BERKIBLAT KOMU N IKASI LISAN


Pada pertengahan Bab 4, ketika m endiskusikan popularitas pem -
buatan ilm secara independen, saya menyebut Indonesia seba­
gai sebuah lingkungan sosial yang sangat kuat berkiblat pada ko-
m unikasi lisan. Ini yang m enjelaskan m engapa orang Indonesia
lebih peka m enerim a pesona gam bar bergerak dan m enjadi lebih
tanggap pada kam era video ketim bang m esin pengolah kata. Saya
akan m enjabarkan gagasan ini lebih jauh lagi, karena ini am at
ber guna untuk m em aham i apa yang tam pak di perm ukaan seba-
gai kegandrungan yang obsesif terhadap budaya layar m asa kini.
Indonesia secara resm i m em iliki tingkat m elek huruf yang tinggi
(di atas 90 persen). Nam un di luar data statistik itu, angka resm i
itu mengacu pada kemampuan untuk mengenali—ketimbang
kecenderungan sebagian besar penduduk untuk m enggunakan
secara maksimal—huruf­huruf dan angka­angka. Dalam bab ini,
penggam baran Indonesia sebagai m asyarakat berkiblat kom u-
nikasi lisan m enyiratkan rendahnya m elek huruf fungsional, yang
berbeda dengan m elek huruf nom inal yang diukur oleh statistik;
prioritas tinggi terhadap m ode kom unikasi yang cair, sesaat,
dan kolektif (ciri yang m enandai kom unikasi lisan) ketim bang
tindakan diam dan statis individu dalam m enulis dan m em -
baca rangkaian teks yang seragam . Gagasan Indonesia seba gai
m asyarakat yang berkiblat kom unikasi lisan diam bil dari sepe-
rangkat gagasan rum it yang asalnya bisa dilacak ke karya Marshall

1 Versi awal bab ini pernah terbit dengan judul “Entertainm ent, Dom estication,
and Dispersal: Street Politics as Popular Culture” dalam Problem s of Dem o-
cra tisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society , ed. Edward
Aspinall dan Marcus Meitzner (20 10 ), 181-98. Artikel tersebut ditulis ulang
dengan perubahan lum ayan penting dan diperbaharui dengan seizin penerbit
awalnya, Institute of Southeast Asian Singapore, http:/ / bookshop.iseas.edu.sg

pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
282 Identitas dan Kenikmatan

McLuhan (1964). Lingkup bahasan dalam bab ini tidak m ungkin


m enam pung uraian lebih rinci tentang karya McLuhan,2 tapi
beberapa ciri utam anya perlu untuk digarisbawahi berikut ini.
Dibandingkan dengan m asyarakat lain yang lebih bergantung
pada kom unikasi tertulis, kebanyakan orang di Indonesia, ter-
m a suk para sastrawan dan sarjana, berbagi inform asi dan pe-
san penting m elalui kom unikasi tatap m uka. Kom unikasi begini
m em butuhkan kehadiran orang yang diajak bicara; m ereka
m engungkapkan diri m elalui kata-kata yang dituturkan, dan
terlebih lagi yang tak terucap, bahasa tubuh, dalam suasana ruang
dan waktu dalam sebuah interaksi yang ‘seketika’ (real tim e).
Orang luar yang bahasa ibunya am at m engandalkan kom unikasi
verbal, acap gagal untuk m em aham i gaya kom unikasi seperti
ini. Dalam m asyarakat berkiblat kom unikasi lisan, kehidupan
sehari-hari cenderung berwatak kom unal, dengan hanya sedikit
saja ruang pribadi atau privasi.3 Seluruh ciri ini dapat dibedakan
dengan m asyarakat yang lebih bergantung pada tulisan, di m ana
pem isahan m endasar antara penulis, teks, dan pem baca, dengan
otonom i m asing-m asing dirayakan secara luas. Sedangkan akurasi
serta kepercayaan pada objektivitas tekstual yang dibendakan
am at dihargai. Sum pah suci biasanya digunakan untuk m eres-
m ikan perjanjian pada m asyarakat yang berkecenderungan lisan,
sedangkan kontrak tertulis digunakan pada bangsa-bangsa yang
bergantung pada tulisan. Mem baca dengan tenang di ruang
publik yang sibuk m erupakan hal yang biasa pada m asyarakat
yang bergantung tulisan, sem entara hal itu akan tam pak sebagai
hal yang aneh atau anti-sosial pada m asyarakat berkiblat pada
kom unikasi lisan, di situ percakapan dengan orang asing di ruang

2 Lihat juga Carey (1998), Comor (2013), Genosko (1999), McLuhan dan Zing­
rone (1995), dan Trem blay (20 12).
3 Sesungguhnya, hingga kini belum ada terjemahan untuk kata ‘privacy’ di Indo­
nesia. (Catatan penerjem ah: kecuali diserap secara langsung m enjadi privasi).

pustaka-indo.blogspot.com
Dari Layar ke Politik Jalanan 283

publik (sem isal orang duduk bersebelahan di angkutan um um


atau ruang tunggu) tentang urusan keluarga dianggap sebagai
praktik sehari-hari yang lum rah.
Yang jelas, tak ada m asyarakat m odern sekarang ini yang pada
kenyataannya m urni berkiblat pada kom unikasi lisan saja atau
bergantung pada tulisan saja. Dalam setiap m asyarakat, perbedaan
m ode kom unikasi saling berkom petisi satu sam a lain, dan pada
kurun sejarah tertentu satu bentuk yang lebih dom inan ketim bang
lainnya. Sejak paruh kedua abad lalu, ketegangan antara m ode
kom unikasi lisan dan tulisan telah diperum it oleh berkem bang dan
m enyebarnya secara pesat teknologi m edia digital. Berlawanan
dengan dugaan m ereka yang terdidik Pencerahan abad ke-20 dan
ke-21, kekuatan revolusioner teknologi baru ini lebih m enantang
bagi orang-orang (khususnya generasi yang lebih tua) pada
m a syarakat yang am at bergantung pada kom unikasi tertulis
(Fernback 2003) ketimbang mereka yang lebih berkiblat pada
kom unikasi lisan. Teknologi serupa dapat diterim a dengan hangat
di m asyarakat berkiblat kom unikasi lisan seperti Indonesia,
karena hal itu cocok dengan pola kom unikasi yang m enghendaki
partisipasi kolektif tinggi (Heryanto 20 0 7).
Seperti halnya negara-bangsa m odern, pem ilu sebagaim ana
yang kita kenal kini m erupakan produk tatanan sosial yang
berkiblat pada kom unikasi tertulis. Nam un, ini tak berarti bahwa
pem ilu atau dem okrasi tak cocok dengan m asyarakat non-Barat. Di
antara m asyarakat berkecenderungan lisan dan bangsa terjajah di
Asia dan Afrika, pem ilu telah diselenggarakan secara sukses dengan
derajat berbeda-beda. Terlepas dari apakah pe m ilu diperkenalkan
dengan kekerasan kepada m asyarakat ber kiblat kom unikasi
lisan, pem ilu kerap m enghadapi berbagai kesulitan selain soal-
soal teknis dan logistik. Hingga kini, standar pengelolaan pem ilu
m elibatkan perundang-undangan yang ditulis dengan bahasa yang
analitis m ilik kaum terpelajar, serta upacara di m ana para pem ilih

pustaka-indo.blogspot.com
284 Identitas dan Kenikmatan

m asuk ke bilik suara sebagai individu; m e reka m em baca dan


m eninggalkan tanda di kertas suara dalam kesu nyian yang ‘privat’,
dan ini diikuti oleh penghitungan suara yang birokratis. Tentu
saja pem ilu bisa m engam bil bentuk dan proses yang berbeda di
m asa depan dengan pengem bangan teknologi digital yang sudah
diantisipasi, m isalnya dengan prosedur pem ungutan suara seperti
yang digunakan dalam acara reality show televisi (lihat uraian di
bawah). Degan latar belakang ini, bagian ini akan m endiskusikan
ciri khas pem ilu 20 0 9 di Indonesia dan m enunjukkan perbedaan
historisnya dengan pem ilu sebelum nya.

KAMPAN YE PEMILU 2 0 0 9 4
Sebagaim ana pem ilu sebelum nya di Indonesia, hasil pem ilu par-
lem en nasional 20 0 9 m udah diduga, sekalipun derajat kem e-
nangan partai hanya dapat dijadikan bahan spekulasi sebelum
hari pem ungutan suara.5 Kem enangan Partai Demokrat—dan ter­
pilihnya kembali Presiden bertahan Susilo Bambang Yudhoyono—
juga berarti bersam bungnya dan m enguatnya status quo politik.6
Nam un, satu inovasi penting telah m em bedakan pem ilu 20 0 9
dengan yang sebelum nya, yakni peraturan baru yang m enjatahkan
kursi yang dim enangkan oleh partai-partai kepada para calon
dengan jum lah suara pem ilih terbanyak, dan bukan m ereka yang
berada di peringkat tertinggi dalam daftar calon yang dikeluarkan
oleh partai. Sistem daftar partai yang terbuka ini m erupakan
hasil keputusan Mahkam ah Konstitusi pada bulan Desem ber

4 Saya berterim a kasih atas pertolongan besar Ahm ad Faisol dan tim nya dari
ISAI (J akarta) dalam pengum pulan sejum lah besar bahan em piris pem ilu
20 0 9 untuk bab ini.
5 Pem ilu 1955 dan 1999, yang terjadi pada saat-saat krisis, jauh lebih tak
terduga.
6 Taylor (1996a: 4) m engam ati bahwa hal ini m erupakan hasil pem ilu yang lazim
di Asia Tenggara. Mungkin perlu ditam bahkan bahwa hal serupa juga terjadi
di banyak negara lain di luar wilayah ini.

pustaka-indo.blogspot.com
Dari Layar ke Politik Jalanan 285

20 0 8 yang m em utuskan peringkat daftar partai sebagai tidak


konstitusional. Peraturan ini m em iliki dua dam pak yang bertolak
belakang terhadap m asyarakat: m ereka diberdayakan sekaligus
dilum puhkan pada saat yang sam a.
Di luar persoalan logistik, pem ilu 20 0 9 m em iliki dam pak yang
m em berdayakan dengan m em perluas dan m em perkuat pendidik-
an politik kepada seluruh m asyarakat. Melalui berbagai m acam
cara, warga negara Indonesia—khususnya yang kurang beruntung
secara sosial—memperoleh informasi mengenai prinsip­prinsip
dasar dan nilai-nilai pem ilu sebagai bagian esensial berdem okrasi.
Nam un hal ini bukan m erupakan pengalam an yang sepenuhnya
baru. Bahkan pada puncak kebijakan politik Orde Baru yang m en-
depolitisasi m assa, beberapa inform asi terkait keteram pilan dan
pengetahuan praktis untuk berpartisipasi dalam pem ilu telah
disediakan. Sejak tahun 1999 dengan berakhirnya otoritarianism e
negara serta propaganda dan indoktrinasi dari atas ke bawah,
pendidikan politik—khususnya mengenai pemilu—mengambil
bentuk yang lebih m em bangkitkan kesadaran dem okrasi. Terlebih
penting lagi, perubahan ini ditem ani oleh tingginya tingkat
kesukarelaan dan partisipasi dari bawah.
Sebelum pem ilu 20 0 9, pejabat Kom isi Pem ilihan Um um (KPU)
dan partai-partai politik m enjelajahi daerah-daerah terpencil
untuk m em perkenalkan aturan prosedur baru. Banyak kegiatan
ini dirancang secara khusus dengan sasaran hadirin dari beragam
latar belakang geograis, etnis, dan bahasa dan kebanyakan me­
reka berkiblat pada kom unikasi lisan. Maka, acara penyam paian
in for m asi am at bergantung pada interaksi tatap m uka, term asuk
penggunaan seni pertunjukan tradisional (dengan aktor m anusia
dan berbagai alat bantu visual lain), konser m usik m odern dan
upacara dalam bahasa sehari-hari, sebagian besar dalam bentuk
pertem uan yang santai. Beberapa penyuluh dari KPU dan partai
politik m enem puh perjalanan jauh ke pasar tradisional sehingga

pustaka-indo.blogspot.com
286 Identitas dan Kenikmatan

dapat berkom unikasi tatap-m uka dengan penduduk se tem pat.


Di beberapa wilayah, m obil m ini bus dengan pengeras suara
berjalan perlahan di kam pung-kam pung m enyiarkan inform asi
penting secara langsung. Upaya untuk m endidik m assa bahkan
terjadi pada m ereka yang terlalu m uda untuk m em ilih. Misalnya,
di J akarta pusat guru-guru dari enam sekolah dasar m enghabiskan
waktu berjam -jam m elatih m urid m ereka hal-hal dasar seputar
pem ilu. Pelatihan itu tak hanya m eliputi pengajaran dan diskusi
tapi juga kegiatan peragaan, dan m urid-m urid dari kelas 5 dan
6 m elakukan uji coba pem ilu. Anak-anak kecil ini berpidato dari
m im bar di halam an sekolah, m erancang poster, terlibat dalam
debat tentang kebijakan, m encoblos kertas suara, dan m enilai
keabsahan kertas suara. Kegiatan seperti ini dapat ditem ukan di
seluruh negeri, sehingga pem ilu 20 0 9 m enjadi pengalam an yang
edukatif dan terbuka bagi banyak orang.
Sem entara pem ilu telah m em berikan sem angat dan m em ber-
dayakan orang kebanyakan di Indonesia, sem ua itu diim bangi
oleh kecenderungan sentrifugal yang dipicu oleh undang-undang
pem ilu yang baru. Terlebih penting, peraturan baru ini m engadu
antar-calon dari partai yang sam a. Salah satu dam pak paling nyata
dari aturan yang baru ini adalah terhapusnya kebiasaan usang di
m ana pem im pin partai m enem patkan diri pada puncak peringkat
nom er urut partai dan m engam ankan posisi m ereka agar terpilih
(kem bali). Di bawah peraturan baru, politisi tak m em iliki pilihan
kecuali bekerja keras dalam kam panye yang baru dan m eluas
untuk m em pertahankan kedudukan m ereka. Sebagai akibat
sam pingan dari sistem pem ilu yang kom petitif ini, tipe baru calon
m uncul untuk m enantang dom inasi fungsionaris partai lam a: para
‘pesohor’ (atau selebritas), khususnya bintang ilm dan televisi,
m usisi, dan pelawak.
Sekalipun jum lah total para pesohor ini hanya 61 orang, sangat
kecil saja dari 11.0 0 0 calon di seluruh negeri yang bersaing untuk

pustaka-indo.blogspot.com
Dari Layar ke Politik Jalanan 287

kursi parlem en (Messakh 20 0 9), m ereka m enyedot perhatian besar


publik. J um lah pesohor yang berhasil m asuk ke parlem en lebih
besar ketim bang yang diperkirakan sebelum nya.7 Dalam beberapa
kasus perolehan suara m ereka lebih besar ketim bang para politisi
senior m ereka sendiri. Misalnya, pem ain dram a televisi Rieke
Diah Pitaloka m em peroleh jum lah suara perorangan terbesar dari
pem ilih PDIP di daerah pem ilihan J awa Barat II, m engalahkan
pem im pin partai Tauiq Kiemas. Serupa dengan itu, bintang ilm
Nurul Ariin menjadi peringkat pertama di daerah pemilihan
J awa Barat VII m engalahkan politisi senior Ade Kom arudin yang
berasal dari partai yang sam a, Golkar (Dariyanto 20 0 9). Tak m au
kalah, pelawak Mandra berada di depan pejabat Ketua DPR Agung
Laksono (Bayuni 20 0 9). Pada tahun 20 0 8, aktor Rano Karno dan
Dede Yusuf m asing-m asing terpilih m enjadi Walikota Tangerang
dan Wakil Gubernur J awa Barat (Khoiri dan Ivvaty 20 0 9). Nam un,
sukses besar para pesohor ini hanya sebagian saja terkait dengan
hukum dan peraturan baru pem ilu. Faktor lain turut berm ain,
sebagaim ana akan didiskusikan di bagian berikut.
Dam pak yang tak kalah penting dari diubahnya hukum pem ilu
adalah peningkatan hasrat warga negara biasa untuk bersaing
dalam pem ilu daerah. Orang-orang inilah yang akan m enjadi
fokus bab ini. Seorang pengam at m enggam barkan pem ilu DPR
20 0 9 di Indonesia yang diselenggarakan dari pusat, turun hingga
ke provinsi, kabupaten, dan kecam atan sebagai “pem ilu terbesar
di dunia yang diselenggarakan dalam sehari” (McDowell 20 0 9),

7 Menurut satu sumber tak resmi (KDPI 20 0 9), sebanyak 18 artis memiliki peluang
besar untuk mendapat kursi parlemen, termasuk: Okky Asokawati (PPP), Rachel
Maryam Sayidina (Gerindra), Rieke Diah Pitaloka (PDIP), Theresia EE Pardede
(Demokrat), Ingrid Maria Palupi Kansil (Demokrat), Nurul Ariin (Golkar),
Tetty Kadi Bawono (Golkar), Nurul Qomar (Demokrat), Primus Yustisio (PAN),
TB. Dedi S. Gumelar (PDIP), J amal Mirdad (Gerindra), Angelina Sondakh
(Demokrat), M. Guruh Irianto Soekarnoputra (PDIP), CP. Samiadji Massaid
(Demokrat), Venna Melinda (Demokrat), Eko Hendro Purnomo (PAN), Ruhut
Poltak Sitompul (Demokrat), dan Tantowi Yahya (Golkar).

pustaka-indo.blogspot.com
288 Identitas dan Kenikmatan

di m ana 11.219 calon bersaing m em perebutkan 560 kursi di DPR;


32.263 calon memperebutkan satu dari 1.998 kursi DPRD Provin­
si; dan 246.588 calon m em perebutkan 16.270 kursi DPRD ka bu -
paten/ kota. Di sisi lain, angka-angka ini m em benarkan sinis m e
m asyarakat bahwa ada hal di luar soal politik atau m o ralitas yang
m endorong para politisi ini untuk bersaing.
J alan m asuk untuk turut serta dalam pem ilu bagi warga
negara yang hanya punya sedikit atau tanpa pengalam an dalam
pengelolaan negara bukan m erupakan hal baru di Indonesia. Khu-
susnya sejak kejatuhan Orde Baru di tahun 1998, pejabat partai
m erekrut prem an dan tokoh-tokoh bawah tanah untuk m enjadi
perantara politik atau m em obilisasi pem ilih (lihat bagian terakhir
Bab 5). Bedanya, pem ilu 20 0 9 m em perlihatkan sejum lah besar
warga negara biasa-term asuk beberapa orang tua yang tam pak
sangat rentan-ikut bersaing di pem ilu lokal. Banyak dari m ereka
yang tak m em iliki kekuatan ekonom i, pengalam an politik, atau
dukungan kelem bagaan. Contohnya bertebaran di seluruh negeri,
term asuk seorang penarik becak Abdul Wahid (PPP Tegal) dan
Karseno (Partai Matahari Bangsa, Banyum as); pengojek m otor
Soleem an Mooi (tak jelas partainya, Kupang); pedagang pinggir
jalan Lasim an (Partai Dem okrasi Pem baruan, Solo) dan Erni
Wahyuni (Partai Bintang Reform asi, Sam arinda); pencuci m obil
J oko Prihatin (Partai Am anat Nasional, Kudus); petugas parkir
pinggir jalan Sukardji (Partai Dem okrasi Pem baruan, Ponorogo)
dan supir angkot Benedictus Adu (calon independen, Serikat Rak-
yat Miskin Indonesia, J akarta). Sepintas lalu, gejala ini m erupakan
tanda suksesnya pendidikan politik m assa.
Satu dari fenom ena paling m enakjubkan dalam pem ilu 20 0 9
adalah m unculnya juru kam panye tunggal. Tam paknya, banyak
kalangan dalam m asyarakat Indonesia telah terkecoh oleh ga-
gasan bahwa siapa saja bisa m encalonkan diri dalam pem ilu tanpa
peduli sum ber daya keuangan dan politik m ereka. Tam paknya,

pustaka-indo.blogspot.com
Dari Layar ke Politik Jalanan 289

m ereka juga percaya bahwa kam panye dapat dilakukan secara jitu
dalam bentuk perorangan. Ini tak berarti bahwa acara kum pul-
kum pul terkait pem ilu yang m ereka lakukan m enam pilkan
seorang bintang tunggal sebagai fokus dari acara itu. Nam un
ini berarti sang calon m enam pilkan dirinya sendiri di depan
publik, terkadang tanpa kehadiran pendukung yang terorganisir.
Contohnya, Enteng Sanjaya yang dijuluki “Manusia Contreng”
m engecat badannya dengan warna kuning dan putih sebagai con-
toh kertas suara. Ia m enari sedirian di tepi jalan utam a di Pasu-
ruan, J awa Tim ur, dan m endorong sepedanya berkeliling kota un-
tuk “m ensosialisasikan” hal ini. Pengem udi ojek kelahiran Sragen
yang tinggal di J akarta, Agus Suwarno, berkeliling Indo nesia
dengan sepeda m otornya untuk m em perlihatkan du kungannya
dan m enarik dukungan pihak lain kepada partai Gerindra. Di
Banten, Hudi Yusuf juga m elakukan kam panye tunggal untuk
pencalonan dirinya, dengan m enggunakan kostum superhero.
Calon lain dari Partai Matahari Bangsa, Tony Wangsit, m engun-
jungi penduduk desa di sekitar Tulungagung dari pintu ke pintu,
bernyanyi dan “m ensosialisasikan” pesan kam panyenya. Secara
keseluruhan, ke giatan individual ini m enandai pergeseran penting
dari prak tik kam panye sebelum nya, yang m em peroleh kekuatan
dari penam pilan kekuatan m assa.
Idealnya, kita tak boleh tergesa-gesa m enghakim i dan m ere-
m ehkan perilaku tersebut sebagai pem im pi di siang bolong.
Nam un, dengan m elihat arena politik yang lebih luas, sulit untuk
tidak m elihat hal ini sebagai kedunguan yang m enyedihkan. Bab
ini tidak punya ruang untuk m engkaji dinam ika psikologis para
calon ini. Saya tertarik m enyebut hal-hal itu karena aspek eksternal
fenom ena ini dan hubungannya dengan konteks politik Indonesia
yang lebih luas dan ekspansi dari m edia baru dan industri hiburan.
Pada awal bab ini, saya telah m enyebut kecenderungan kuat terha-
dap kom unalism e ketim bang individualism e di Indonesia; saya

pustaka-indo.blogspot.com
290 Identitas dan Kenikmatan

juga berpendapat bahwa kecenderungan ini berkaitan dengan


kiblat orang Indonesia pada kom unikasi lisan. Kecenderungan
ini m e ne m ukan ungkapannya dalam politik di jalanan. Inilah
yang terjadi selam a pekan-pekan kam panye ketika Orde Baru
sedang ber kuasa. Dari perspektif sejarah dem ikian, kita dapat
m engajukan argu m en bahwa kam panye pem ilu 20 0 9 (dan dalam
skala lebih kecil pem ilu 20 0 4) m erupakan penyim pangan besar-
besaran nor m a dari dua dekade sebelum nya. Perubahan ini
m erupakan perwujudan dari apa yang sangat diinginkan tapi tak
m am pu dicapai oleh Orde Baru, yaitu pen jinakan m assa secara
um um dengan m encerai-beraikan m ereka.

MASSA ORD E BARU : POLITIK PEN AMPILAN


Pada m asa Orde Baru, pem ilu diselenggarakan secara teratur. Na-
m un, tak ada sedikit pun tanda-tanda berlangsungnya sem a cam
persaingan antar-partai politik. Hasil dari enam kali pem ilu ber-
turut-turut selam a Orde Baru selalu sam a dan selalu bisa diduga
sebe lum nya. Tak urung, pem erintah tetap m au berepot-repot
m em buat penam pilan retoris seakan-akan ada partisipasi populer
dan persaingan politik. Mereka m em obilisasi m assa dan berupaya
untuk m em buatnya seakan-akan seperti pendukung dari partai
po litik yang bersaing, yang sudah am at dikendalikan dengan ke-
tat. Nam un kenyataannya, yang terjadi justru m assa bertingkah
m enyim pang jauh dari yang diinginkan pem erintah dan tentu
berbeda dari apa yang diam ati dan dipaham i oleh banyak kaum
intelektual perkotaan dan pengam at dari kejauhan.
Berbeda dari situasi sejak 1999, ketika sejum lah partai politik
telah m em ecah kesetiaan m assa yang aktif secara politik, m assa
pada pem ilu Orde Baru pasca-1971 dikerahkan untuk hanya tiga
m esin pem ilu yang diakui pem erintah. Konsentrasi besar dari ke-
ru m unan yang bersaing satu sam a lain m em ungkinkan anggota
tiap kelom pok untuk m em bay angkan dan bertindak seakan-

pustaka-indo.blogspot.com
Dari Layar ke Politik Jalanan 291

akan m erupakan bagian dari kekuatan yang luar biasa besar,


biarpun yang satu jelas lebih besar ketim bang lain nya. Hal ini
luar biasa karena di luar m asa kam panye pem ilu, pe m e rintah
tak m enyediakan ruang publik untuk kekuatan politik m andiri.
Kebalikan yang ironis dari situasi pasca-Orde Baru, m assa tak
m em iliki kekuasaan di antara pem ilu lim a tahunan, tapi pada
m om en singkat pem ilu, m ereka m enjelm a m enjadi kekuatan
publik raksasa. Dari perspektif rezim , pem ilu dim aksudkan tak
lebih dari tontonan iktif belaka. Namun pada kenyataannya, ke­
hadiran dan aksi dari m assa nyata dan kuat.
Massa ini m ewujudkan kekuatannya tak sem ata-m ata m elalui
kehadiran m ereka dalam jum lah besar di jalanan, stadion, dan
alun-alun, tapi yang lebih penting m elalui suara ribut dan warna-
warni penam pilan m ereka. Kekuatan ini tak sepenuhnya politis,
m e m iliki dorongan ideologis, atau terorganisir m elalui struktur
tertentu. Mereka tak m em iliki kem am puan atau pun hasrat untuk
m e nantang, apalagi m enggantikan, pem erintahan petahana. Tak
ada alasan untuk m erom antisirnya. Nam un, dam pak dari pe-
nam pakan kekuatan ini sem pat m engancam elite politik dan
pe nam pilan politik yang ‘stabil dan tertib’ yang dipercaya oleh
pe m e rintah. Perilaku m assa yang tak tertib m engam bil bentuk
ber beda-beda, tetapi yang paling kerap m uncul adalah pawai se-
pe da m otor tak berknalpot. Para pesepeda m otor m acho de ngan
dandanan dan asesori m encolok berkeliaran di jalanan dan m e-
m a m erkan berbagai pelanggaran terhadap peraturan dan kebia -
saan berlalu lintas. Mereka berkendara m elebihi batas yang diper -
bolehkan, yaitu dua orang, di satu sepeda m otor, tanpa m e m akai
helm , beberapa bahkan berdiri di atas kursi sepeda m otor. Me reka
m engabaikan seluruh ram bu-ram bu dan aturan arah lalu lintas
dan pem bagian lajur di jalan. Dengan knalpot dica but, m ereka
m em buat pertunjukan dengan suara sepeda m o tor, ngebut jauh

pustaka-indo.blogspot.com
292 Identitas dan Kenikmatan

m elebihi batas kecepatan dan m enam pilkan ber ba gai adegan be-
risiko yang mendatangkan tontonan dan—sesekali—kecelakaan.
Beberapa dari m ereka m enum pang truk yang m uat annya m ele-
bihi batas, biasanya dilengkapi dengan penge ras suara yang m e-
m asang m usik dengan keras. Sebagaim ana bisa diduga, kegiatan
ini m enyebabkan kem acetan, kecelakaan, dan per ke lahian dengan
pendukung partai lain atau penonton non-partisan.
Ini sem ua m erupakan pesta yang m em bum i dan sangat m as-
kulin serta peragaan pem bangkangan terhadap hukum . Sem ua
itu tam paknya yang dianggap paling penting bagi m ereka yang
ter libat. Ini m erupakan penam pilan raksasa dari politik non-
iden titas dan kenikm atan. Proses dan hasil dari pem ilu yang
m e nyediakan ruang bagi kegiatan m ereka ini jadi tidak penting.
Ber lawanan dengan aktivis perkotaan dan pegiat politik yang sa-
ngat serius m enghadapi pem ilu dan m erem ehkan pem ilu ka rena
ketidak absahannya dan kekurangan kredibilitas, m assa tam pak-
nya tidak peduli m engenai pem ilu yang dim anipulasi atau kepura-
puraan negara.

Ketika diberi ‘janji palsu’ m ereka m elahapnya m entah-m en tah,


tanpa terkecoh, dan m ereka m enanggapi dengan cara sa m a. Ke-
tika diberi kemunaikan, kontradiksi dan iksi, mereka merespon­
nya dengan cara sama—namun dalam skala lebih besar atau dengan
intensitas lebih kuat. Ketika negara bertindak ‘irasional’ atau dengan
cara kekerasan, atau tidak tulus, m assa m e nanggapinya seperti cer-
min—tapi dengan tenaga berlipat­ganda. Lima tahun sekali massa
yang diasingkan dari politik dan dieksploitasi secara ekonom i ini
m en jadi subyek anonim tertinggi yang m en dom inasi ruang publik
sela m a beberapa hari dan m alam . Mereka m erayakan kem enangan
ini dengan khazanah diskursif serupa yang m ereka pelajari dari
aparat negara, seperti warna-warni m encolok, suara berisik, pawai
m assa, pam eran kekuatan m as kulin dan kekerasan agresif yang pada
kesem patan lain lebih banyak dim onopoli oleh negara.
(Heryanto 20 0 6a: 151)

pustaka-indo.blogspot.com
Dari Layar ke Politik Jalanan 293

Untuk m em aham i m assa ini, kita perlu m em aham i lebih jauh


dan m elam paui kerangka konseptual McLuhan tentang m asya-
rakat berkiblat kom unikasi lisan. Di perm ukaan, m assa berlaku
dengan cara yang m irip teori Bakhtin soal politik jungkir-balik
dalam karnaval tradisional di Eropa. Nam un sebagaim ana saya
sampaikan di tempat lain (Heryanto 2006a: 149­53), konsep Jean
Baudrillard tentang m assa terasa lebih tepat. Ketim bang m em baca
aktivitas m ereka sebagai sebentuk perlawanan politik, m ungkin
kita harus m enganggapnya sebagai subversi yang tak disengaja
dari m assa yang ‘apolitis’. Baudrillard m enjelaskan perbedaan di
antara keduanya:

perlawanan tradisional m erupakan interpretasi ulang pesan-pesan


m enurut kode-kode kelom pok itu sendiri dan untuk tujuan m ereka.
Sedangkan, m assa m enelan seluruhnya dan m em untahkan ulang
seutuhnya secara serentak m enjadi sesuatu yang dahsyat, tanpa
m ensyaratkan adanya kode, tanpa m ensyaratkan m akna, dan yang
terpenting, tanpa perlawanan.
(1983, 43)

Politik kebudayaan selam a ini, m alangnya, kurang dipelajari dan


sering disalahpaham i dalam kajian-kajian tentang Indonesia.
Tak m engejutkan subversi yang tak disengaja dari jenis m assa
yang teram at patuh ini berlalu begitu saja tanpa diperhatikan,
atau telah direm ehkan oleh kaum cerdik pandai Indonesia dan
para pengam at asing.8 Berbeda dari sem ua itu, pejabat Orde Baru

8 Yang m enarik, dalam bagian “Penutup” untuk buku R.H. Taylor, The Politics
of Election in Southeast Asia (1996b), seorang ilm uwan politik, alm arhum
Daniel Lev, m engungkapkan kelegaannya saat m enem ukan bahwa “budaya”
dan “pendekatan budaya” telah sepenuhnya diabaikan dalam kum pulan esai
itu. Lev (sebagaim ana ilm uwan sem asanya) m enjelaskan kejengkelannya
m engenai aspek budaya dari penelitian tentang pem ilu secara khusus dan
politik secara um um . Pem aham annya tentang “budaya” bersum ber dari konsep
usang tentang ‘budaya’ sebagai sesuatu yang unik atau esensial atau statis pada

pustaka-indo.blogspot.com
294 Identitas dan Kenikmatan

lebih paham m engenai kekuatan potensial m assa. Harus diingat


bahwa negara Orde Baru m eraih kekuasannya pada tahun 1966
berkat keberhasilan m em icu histeria m assa dalam m elawan
dan m elakukan pem bunuhan m assal terhadap kaum Kiri (Bab
4). Dengan dukungan terus m enerus yang berlim pah dari para
pem bela dem okrasi liberal, rezim ini m em elihara kekuasaannya
untuk tiga dekade berikutnya dengan sejum lah besar prem anism e
(Bab 5).
Pandangan Baudrillard tentang m assa diam bil dari disku sinya
tentang dam pak teknologi m edia, terutam a di m asyarakat liberal
m asa kini. Pandangannya sejalan dengan diskusi Achille Mbem be
tentang sosok postkolonial dalam hubungan kekuasaan di Afrika.
Pem bahasan Mbem be sejalan dengan pem aham an saya m enge nai
Indonesia di bawah Orde Baru:

agar dirinya dapat dipaham i oleh sejum lah be sar rakyatnya, [negara
postkolonial] harus m em ublikasikan dirinya sendiri. Mereka
harus m enguasai bahasa dan suara. Mereka harus m e nuliskan
dirinya sendiri dalam gerakan tubuh… Untuk m e m am erkan diri
dan untuk m enam pakkan diri… Agar terlihat dan didengar oleh
sem ua, m ereka tak perlu ragu untuk m engobral ukuran serba besar,
m enggunakan jum lah yang besar, terkadang sam pai tum pah ruah
dalam hal-hal sepele, m enggelem bung, dan m engulang-ulang yang
dinyatakannya…
(Mbembe 1992: 130)

Dengan gaya patuh-berlebihan yang tipikal, m assa Orde Baru


m enanggapi pem ilu palsu dengan m enam pilkan kepatuhan dan
ketaatan yang riang dan amat bergaya—bukan berpura­pura untuk

m asyarakat tertentu. Menyedihkan bahwa bahkan hingga tahun 20 0 9 saya


m asih m enem ukan banyak ahli yang m erem ehkan ‘kajian budaya’ (cultural
studies) berdasarkan pra-anggapan serupa dan konsepsi keliru m engenai
apa yang dilakukan oleh kajian budaya dan kurangnya pem aham an m ereka
tentang bagaim ana ‘budaya’ telah dikritik dan dipersoalkan oleh m ereka yang
m erasa nyam an m enekuni kajian budaya.

pustaka-indo.blogspot.com
Dari Layar ke Politik Jalanan 295

m enutupi kebencian m ereka atau m enipu elite yang berkuasa,


sekurangnya tidak dem ikian hingga saat yang tepat untuk balas
dendam . Mengutip Mbem be lagi:

diktator bisa tidur nyenyak di m alam hari terbuai oleh raungan


pujian dan dukungan.. tetapi terbangun di pagi harinya m en dapati
ber hala em as m ereka hancur dan aturan hukum m ereka dijungkir-
balikkan. Kerum unan yang kem arin bersorak telah m enjadi m assa
yang m engutuk dan m enyerang.
(1992: 14-5)

Pejabat Orde Baru bisa dianggap m udah bersepakat dengan


Mbem be. Dalam tindakan yang tam paknya bertentangan, sejak
pem ilu 1992 dan seterusnya pem erintah Orde Baru m elakukan
upaya untuk m enghentikan apa yang tadinya m ereka sponsori
sendiri, yaitu pengerahan m assa perkotaan untuk m enghidupkan
dan m eram aikan pem ilu palsu yang sebelum nya m em bosankan.
Sebagai gantinya, pem erintah m engusulkan kam panye pem ilu
di m asa depan harus dilakukan di tem pat tertutup dan terbatas
(aula atau stadion dengan penjagaan), dan lebih dipuji bila dilang-
sungkan m elalui m edia m assa (khususnya televisi), yang diken-
dalikan oleh pem erintah. Dengan m enem patkan m assa berjarak
jauh dari tem pat-tem pat kam panye dan m em buat m ereka m en-
jadi penonton pasif m edia m assa, pem erintah berharap bisa
m em bangun kem bali ‘stabilitas dan keam anan’.9
Sebagaim ana kebijakan yang lain, usulan pem batasan pawai
sepeda m otor tidak pernah ditegakkan sepenuhnya di seluruh
ne geri. Yang terjadi adalah pem batasan berangsur-angsur dan
com pang-cam ping, dan berbuah pada hasil yang beraneka. Mi-
salnya, di Yogyakarta di tahun 1992, pem erintah setem pat m em -

9 Ada lapisan ironi lain dalam pem ilu sebelum nya. Pem erintah yang sam a m en-
coba untuk m elarang m edia m enerbitkan laporan kegiatan pem ilu pada tahun
1977 (van Dijk 1977: 12­3).

pustaka-indo.blogspot.com
296 Identitas dan Kenikmatan

buat upaya sporadis dan tak konsisten untuk m em batasi pawai


sepeda m otor. Dengan kepatuhan yang tinggi, m assa partai yang
tam paknya bersaing m enanggapi secara seragam . Mereka bukan
sekadar m enahan diri dari pawai dan m enantang aparat ke am an-
an, m ereka bahkan m encopot segala tanda dan aksesori kam panye
pem ilu, dan jadinya m alah m engancam hancurnya ton tonan
politik yang disponsori negara yang bernam a ‘pesta dem okrasi’.
Hingga Orde Baru secara resm i dijatuhkan pada tahun 1998,
pawai sepeda m otor tidak pernah sepenuhnya absen dari politik
jalanan. Tentu saja, pada pem ilu 1999, pem ilu pertam a pasca-Orde
Baru, kita m elihat m assa perkotaan m elepaskan hasrat m e reka
yang lam a dikekang dengan m elakukan sebuah pawai m otor ter-
besar. Ironisnya, hingga 20 0 9 ketika pem ilu benar-benar m enjadi
liberal, kerum unan yang berjum lah besar itu m em bu bar kan diri
secara suka rela, pawai m enyusut, m enjadi sem a kin sedikit dan
jarang, serta m asyarakat kelas bawah tercerai berserakan dalam
kepingan kecil-kecil. Lebih dari sepuluh tahun sejak bangsa
Indonesia m em ulai upaya untuk m enjalankan reform asi, ke-
ta kutan terhadap ancam an m assa m asih hidup.10 Nam un kini
m assa telah benar-benar tercerai berai ke sejum lah partai politik,
dan-lebih buruk lagi-banyak anggota m asyarakat kelas bawah ter-
libat dalam pem ilu sebagai calon.
Maka, boleh disim pulkan sem entara bahwa upaya pem erin-
tahan sesudah Orde Baru untuk m elarang pawai sepeda m otor
terbukti tidak perlu. Sedikit sekali m asyarakat yang tertarik ter-
hadap larangan ataupun m enghidupkan kem bali pawai sepeda
m otor. Sekalipun ada pem baharuan terhadap larangan pawai
m otor, pawai sepeda m otor sebagai bagian dari politik jalanan

10 Untuk “m engam ankan” pelantikan anggota DPR pada tanggal 1 Oktober


20 0 9, kepolisian m engerahkan tak kurang dari 10 .0 0 0 personel (Jakarta Post
20 0 9b).

pustaka-indo.blogspot.com
Dari Layar ke Politik Jalanan 297

terus terlihat hingga pem ilu 20 0 9, tetapi lebih jarang terjadi,


dengan jum lah peserta yang lebih sedikit, dan tak ada yang
bergaya sem eriah sebelum nya. Sem entara itu penggunaan ham -
paran m ultim edia yang berkilauan pada kam panye pem ilu telah
m eningkat drastis dan telah m endom inasi pem andangan pada
pem ilu nasional m aupun lokal. Kam panye di m edia m assa m enjadi
unsur paling banyak diuraikan dalam UU pem ilu 20 0 9 dan am at
sangat dianjurkan. Secara tak sengaja, tren baru ini teram at cocok
dengan usulan Orde Baru tahun 1992 untuk m engebiri partisipasi
m assa yang tak m am pu m ereka kendalikan.

KAMPAN YE PEMILU SEBAGAI BU D AYA POPU LER


Di awal bab ini saya katakan bahwa tren pada pem ilu 20 0 9 tak
bisa dikatakan sem ata-m ata akibat UU pem ilu baru yang sangat
m erangsang terjadinya persaingan. Tak ada hubungan langsung
antara undang-undang yang baru dan pem olesan antusiasm e
di kalangan m asyarakat bawah untuk m encalonkan diri dalam
pem ilu. Ekspansi m edia baru dan industri hiburan telah turut
m e m ainkan peran penting. Bagian ini akan m enjabarkan hal
tersebut.
Para ahli kajian m edia telah lam a m enyadari dam pak ganda
teknologi m edia. Teknologi m edia-baru m am pu m enghubungkan
sekaligus m engasingkan, m em berdayakan di satu bagian, m ele-
m ahkan di bagian lain. Undang-undang pem ilu 20 0 9 m engha-
silkan prosedur dem okratis yang lebih setara, m em buat banyak
orang terkecoh ilusi bahwa setiap warga negara setara di hadapan
pem ilu, tak peduli kekuatan sosial ekonom i dan koneksi m ereka.
Pada tahun 20 0 9, banyak penduduk desa m encalonkan diri untuk
pem ilu DPRD, m em ecah kom unitas lokal m ereka, dan m enutup
kem ungkinan dukungan m assa yang berm akna terhadap seorang
calon tertentu. Dalam perkem bangan terpisah, tapi beririsan,
teknologi m edia baru telah m engubah dunia industrial yang baru

pustaka-indo.blogspot.com
298 Identitas dan Kenikmatan

pertengahan abad ke-20 m enuju apa yang disebut oleh McLuhan


sebagai ‘desa global’. Yang tak disigi oleh McLuhan adalah efek
tandingan yang datang dengan ketersediaan perangkat m edia
digital. Dengan m akin m udah, m urah, dan cepatnya akses ter-
ha dap kom unikasi intim bagi orang-orang yang terpisah jauh di
zona waktu berbeda, m ereka tetap m enjadi orang asing bagi te-
tangga sebelah rum ah m ereka.
Kajian m engenai pem ilu dan budaya populer di Indonesia
akhir-akhir ini telah m enggarisbawahi peran pesohor dalam partai
politik dan m eningkatnya m inat politisi profesional untuk m enari
dan m enyanyi di depan um um . Koran dan m ajalah, juga karya
para ahli, telah m encatat, m isalnya petahana presiden berhasil
m enarik pem ilih potensial dengan lagu-lagu yang dikarangnya.
Kebanyakan karya tulis m engenai hubungan antara politik/ po-
litisi dan budaya populer/ artis berfokus pada pem anfaatan yang
satu terhadap yang lain, atau keterlibatan satu kelom pok pro-
fesional dalam bidang kelom pok yang lain (lihat Kartom i 20 0 5;
Lindsay 20 0 7, 20 0 9; McGraw 20 0 9). Kerap kajian-kajian ini
berfokus pada artis dan politisi terkenal serta bagaim ana m ereka
‘m em anipulasi’ m assa. Nam un, saya ingin m em pertim bangkan
dua proses yang berhubungan, tetapi berbeda. Telah saya bahas
dalam Bab 1 pertum buhan besar m edia dan industri hiburan. Kini,
saya ingin m em pertim bangkan daya tarik sem angat ‘prakarya’
(do-it-y ourself, DIY) pada m asyarakat um um , tren akhir-akhir
ini yang dipercepat oleh perkem bangan m edia baru, term asuk
gelombang mutakhir dalam pembuatan ilm secara independen
(lihat Bab 4). Kedua pem bahasan ini m enarik hubungan yang
tak terlalu langsung dan tak terlalu personal antara politik dan
budaya populer, ketim bang apa yang secara um um ditekankan
dalam karya yang sudah ada. Hubungan antara kedua proses ber-
langsung pada tingkat yang lebih fundam ental dan berdam pak
lebih luas ketim bang apa yang dibahas oleh kajian-kajian sejauh

pustaka-indo.blogspot.com
Dari Layar ke Politik Jalanan 299

ini, karena proses tersebut m ewakili m odalitas baru dalam per-


spektif dan karakternya. Keduanya berfokus pada m asyarakat
yang kurang beruntung.
Sejak 1998, Indonesia m engalam i satu dekade perkem bangan
m edia yang am at fenom enal baik dalam cakupan m aupun inten-
sitasnya. Di puncak liberalisasi besar-besaran m engenai apa yang
dapat didiskusikan oleh publik, pada periode ini ter jadi lom patan
besar dalam berbagai arah. Perkem bangan ini bersanding dengan
pertum buhan fenom enal dalam industri hiburan. Untuk pertam a
kali dalam sejarah, satu generasi baru m usisi Indonesia berhasil
m enjual album m ereka di atas satu juta. Film Indonesia berhasil
memecahkan rekor jauh di atas ilm produksi negara lain, termasuk
ilm­ilm top Hollywood (Grayling 2002; Heryanto 2008b: 6;
van Heeren 20 0 2). Di televisi, sinetron m elodram a dan reality
show m erupakan dua jenis program paling populer dan terus
m endom inasi jam siaran secara keseluruhan. Dari sub-kategori
reality show , ajang pencarian bakat penyanyi seperti ‘Indonesian
Idol’ (RCTI) dan ‘Akadem i Fantasi Indosiar’ (Indosiar) tam pak
m enonjol (untuk rinciannya, lihat Coutas 20 0 8). Tentu cukup adil
untuk dikatakan bahwa salah satu bidang kehidupan publik paling
dinam is di Indonesia kini adalah industri m edia dan hiburan (Sen
dan Hill 20 0 0 ).
Ketika kekuatan industri m edia dan hiburan di Indonesia
telah berjaya dalam bidang ekonom i dan politik bangsa, kita
dapat m engam ati kem ajuan penting terkait fem inisasi kehidupan
publik, yang bergerak lebih jauh ketim bang penam pilan perem -
puan dalam kam panye pem ilu dan keterwakilan perem puan di
parlem en. Terlalu lam a, tubuh utam a bangsa m odern telah ter-
fokus terutam a pada bias sejarah m askulin pem bangunan ne -
gara-bangsa atau penghalang-penghalangnya (m iliterism e, pe-
langgaran hak asasi m anusia, korupsi yang merajalela, konlik
ber darah etnis-religius, dan belakangan ini kelom pok m ilitan

pustaka-indo.blogspot.com
300 Identitas dan Kenikmatan

Islam is) (Heryanto 20 0 8b: 7). Budaya populer, khususnya dalam


ben tuk industri hiburan televisi, diturunkan derajatnya ke ranah
‘pribadi’ atau ‘dom estik’, khususnya bagi kategori gender kelas
dua. Dari sini, terikut pula pem bagian yang berm asalah antara
dunia m askulin seputar berita, dunia akadem is, serta konferensi
dan dunia fem inin opera sabun, m ajalah gosip, dan urusan ke-
luarga.11 Pada tahun 20 0 9, ketika pawai m otor yang m acho ber-
kurang, serangkaian kem eriahan baru dalam pem ilu terlihat
sedang dalam tahap pertum buhan.
Kita perlu m enahan diri untuk tidak m erom antisir pawai yang
m acho di jalanan m asa Orde Baru ataupun politik fem inin lewat
m edia m assa berfokus hiburan. Keduanya m em iliki akibat yang
serius terhadap m asyarakat Indonesia. Pawai-pawai itu terkadang
m em icu konfrontasi penuh kekerasan di antara para pesertanya,
beberapa dengan akibat berupa kem atian. Dapat dipaham i, ada
sem acam kelegaan, setidaknya dari polisi dan anggota kelas
m e nengah, ketika pem erintah dan partai-partai peserta pe m i-
lu serta anggota m asyarakat bertekad untuk m enjalankan ke-
giatan “Kam panye Dam ai” pada tahun 20 0 9.12 Beberapa calon
perem puan secara terbuka m em buat pernyataan yang m enya-
takan m ereka m em ilih jenis kam panye yang tertib. Bentuk baru
kegiatan kam panye yang m ereka pilih ini m engingatkan pada
perayaan tradisional Hari Kem erdekaan: lom ba olahraga, lom ba

11 Menurut survei Kom pas tahun 20 0 7, ham pir separuh responden m engindi-
kasikan bahwa alat pengendali saluran televisi keluarga berada di tangan
anak-anak m ereka, dan lebih dari 20 persen m engatakan di tangan ibu, jauh
lebih besar di atas responden yang m enyatakan alat itu berada di tangan ayah
(Satrio 20 0 7).
12 Di J awa Barat, pem erintah m em perluas aturan pelarangan. Selain pawai,
“segala kegiatan yang m enarik m assa” seperti konser m usik dan pertandingan
sepakbola selam a m asa kam panye pem ilu dinyatakan terlarang (Fikri 20 0 9).
Pada bulan Septem ber 20 0 9 dalam perayaan Idul Fitri ketika orang-orang
tak terlalu m endiskusikan pem ilu, Gubernur J akarta Fauzi Bowo am at tidak
m enyarankan penduduk J akarta m enjalankan tradisi m alam takbiran di jalan
(Zuharon dan Sjafari 20 0 9).

pustaka-indo.blogspot.com
Dari Layar ke Politik Jalanan 301

m enyanyi karaoke, peragaan busana, dem onstrasi m em asak, dan


lom ba m em ancing. Nam un kelokan baru tradisi kam panye pem ilu
ini datang dengan beberapa persoalan baru, terutam a di antara
perem puan, seperti yang akan dibahas sebentar lagi.
Dam pak gelom bang besar dan baru dari m eledaknya hiburan
televisi ter hadap orang Indonesia, khususnya anak m uda dan
kaum perem puan, m asih kurang dibahas walau sudah ada
pertum buhan m inat di kalangan peneliti kajian m edia dan kajian
budaya. Dengan acuan khusus terhadap pem ilu, perhatian para
pengam at biasanya diarahkan kepada keseluruhan ekonom i,
estetika atau politik pem bangunan citra publik, khususnya
m elalui m edia m assa dan iklan, dengan m eningkatnya peran agen
konsultan profesional (lihat Hill 20 0 9; untuk Indonesia, lihat
Setiyono 20 0 8; untuk kasus negara tetangga lihat Chua 20 0 7).
Minat saya lebih luas, dengan fokus pada kelom pok non-elite. Di
antara tum buhnya jaringan televisi lokal, penduduk desa term asuk
pe tani penggarap, supir truk, pensiunan guru, dan m urid-m urid
sekolah dasar m em peroleh keteram pilan baru dan keriangan
dalam m em pertahankan penam pilan m ereka di televisi (Pradityo
20 0 8). Di kalangan kaum m uda perkotaan dapat kita saksikan
sesuatu yang lebih serius ketim bang kecanduan pada hiburan
televisi. Pada beberapa tahun terakhir, saya m em perhatikan
kecenderungan orang Indonesia untuk m enjadikan acara televisi
sebagai patokan bersam a untuk kegiatan sehari-hari m ereka
dan percakapan santai m aupun resm i atau proyek rencana
m asa depan; sem ua dalam kehidupan nyata. Apa yang saya
perhatikan adalah reality show yang terbalik: ketika acara televisi
m enam pilkan gam bar bergerak dari peristiwa tak terencana
yang m elibatkan aktor non-profesional seakan segala sesuatu
m encerm inkan kehidupan nyata secara langsung, orang-orang
di dunia nyata m enjadi cerm in acara televisi dengan bertindak,
bicara, dan bernyanyi seakan m ereka berada dalam acara televisi.

pustaka-indo.blogspot.com
302 Identitas dan Kenikmatan

Satu contoh um um adalah pem bawa acara pertem uan dan


kum pul-kum pul, term asuk upacara form al. Sepasang anak m uda,
laki-laki dan perem puan yang berpenam pilan rapi, m eniru gaya
pem bawa acara televisi: m ereka bicara bergantian, m elem par
hum or ringan, dan berkom entar terhadap acara tersebut, sem ua
dalam upaya untuk m enghibur sebaik m ungkin dengan gaya
khas pem bawa acara televisi. Bahkan tanpa adanya niatan sedikit
pun untuk tam pak lucu atau ironis, dalam sebuah acara m ereka
m enggunakan m antera ungkapan acara televisi untuk jeda di
antara dua m ata acara: “jangan ke m ana-m ana, tetaplah bersam a
kam i setelah pesan-pesan berikut.”
Dengan latar belakang terurai di atas, tak heran bahwa pem ilu
20 0 9 m engalam i desakan serupa untuk dirancang dan diha dir-
kan dengan watak sebagai hiburan ketim bang pendidikan poli-
tik dan propaganda. J enis-jenis pertunjukan m odern dan tra-
disional (dari wayang kulit hingga dangdut) dikerahkan untuk
m enarik m assa, seperti pada pem ilu sebelum nya. Gam bar m usisi
pop nasional (Dewa dan Slank) dan juga tokoh internasional
terkenal (Barack Obam a, David Beckham , Osam a bin Laden, dan
Superm an) dibajak dan ditem pelkan di atas poster kam panye.
Yang paling m engejutkan saya adalah penggunaan pem andu
sorak (cheerleaders) di Bengkulu dan peragaan busana di dua
kota lainnya untuk kam panye pem ilu. Salah satu peragaan busana
itu dilakukan di Tem anggung, disponsori oleh kom isi pem ilu se-
tem pat, rem aja perem puan berjalan dan berpose dalam baju
seksi berkilauan m eniru peserta kontes dan m odel profesional di
televisi. Di Medan, calon Him atul Fadillah (Golkar) m ensponsori
peragaan busana lain m enam pilkan lim a puluh perem puan
dewasa (sem uanya berusia di atas 45 tahun dan seorang di anta-
ranya 70 tahun) m em eragakan busana m uslim ah. Kita bisa saja
kesulitan m enem ukan apa hubungan antara tujuan kam panye

pustaka-indo.blogspot.com
Dari Layar ke Politik Jalanan 303

pem ilu dan pertunjukan-pertunjukan tersebut. Medium adalah


pesan. Hiburan m enjadi raja tak tertandingi di seluruh periode
kam panye pem ilu.
Dari sem ua jenis hiburan yang bersum ber dari acara televisi,
‘Indonesian Idol’ jelas paling m enarik bagi para juru kam panye
dalam pem ilu 20 0 9. Program ini am at populer di televisi berkat
“penekannya pada sistem pem ilihan yang ‘dem okratis’ lewat SMS
untuk ‘memilih’ idola” (Coutas 2008: 113). Tak mau kalah oleh
televisi yang m eniru politik, para calon dengan latar belakang
yang kurang beruntung m enggunakan acara itu sebagai sum ber
sem angat dan harapan yang diperlukan untuk m em bangun alas-
an m encalonkan diri. Terlepas dari ideologi, platform , bah kan
gaya retoris yang kosong dari partai yang m ereka wakili, ideo-
logi ‘Indonesian Idol’-lah yang m enentukan arah peristiwa poli-
tik ini. Ini adalah ideologi-sudah dianut secara nasional dan
inter nasional-yang m em bujuk orang dari berbagai latar bela kang
kehidupan untuk m eyakini peluang dan kebajikan bagi setiap
orang untuk m enjalani kisah dari-gem bel-jadi-hartawan. Ideo-
logi ini m enyebar luas bersam a sem angat prakarya yang juga ber-
kem bang pada dekade yang sam a, diujungtom baki khususnya
oleh generasi pertama musisi indie dan pembuat ilm independen
(Baulch 20 0 7; van Heeren 20 0 2, 20 12; Wallach 20 0 8).
Sayangnya, individualisasi, prakarya, dan fem inisasi yang m e -
nandai pem ilu 20 0 9 juga m enyodorkan akibat tragis yang datang
dalam bentuk tak terduga. Sebagaim ana pawai sepeda m otor
m acho yang lekat dengan kekerasan m em udar ke m asa lalu, kom -
petisi yang m eningkat di antara jum lah calon yang m em bengkak
tak terhindarkan, telah m engarah pada fenom ena baru. Tak hanya
m assa m enjadi terpecah dan tersebar, tapi te kanan-jiwa yang
berat m enim pa banyak orang yang tidak berhasil m endapat kursi
dalam pem ilu. Media m assa m elaporkan bangsal rum ah sakit
jiwa dipenuhi oleh para bekas calon yang m engalam i gangguan

pustaka-indo.blogspot.com
304 Identitas dan Kenikmatan

m ental m enyusul kekalahan m ereka di penghitungan suara. Pe-


gawai sebuah rum ah sakit jiwa di Solo harus m enggandakan gi-
liran kerjanya dengan kedatangan 20 0 orang pasien yang m asuk
kategori ini dalam sehari (Bayuni 20 0 9). Di tem pat lain, sejum lah
besar para calon yang gagal telah bunuh diri. Menurut satu ka-
jian, jum lah perem puan lebih banyak dalam kasus ini (Buehler
20 0 9b). Sebagaim ana acara televisi favorit m ereka, Indonesian
Idol, tam paknya banyak calon yang term akan janji palsu akan
sukses luar biasa dan m em bayar m ahal ketika kenyataan berbalik
m enghantam m ereka.

CATATAN PEN U TU P
Dalam bab ini, saya telah m em perlihatkan bagaim ana selam a
serangkaian pem ilu palsu di bawah pem erintahan Orde Baru
m assa berperilaku dengan cara yang dari luarnya terlihat vulgar
dan kacau. Nam un ketika diperhitungkan dalam konteks politik
yang spesiik waktu itu, perilaku mereka dapat dipandang sebagai
lebih rasional dan berdaya subversif lebih ganas ketim bang yang
biasanya digam barkan, yang jelas lebih ganas ketim bang aktivism e
politik kaum terpelajar perkotaan. Nam un pada tahun 20 0 9,
situasi politik telah berubah besar-besaran, dem ikian pula dengan
undang-undang pem ilu dan prosedurnya. Kekuatan subversif
m assa telah bubar. Ironisnya, itu justru terjadi saat dem okrasi
Indonesia m enjadi sem akin liberal.
Perkem bangan baru ini tidak boleh dipandang sebagai keke-
cualian. Benedict Anderson m engingatkan kita bahwa “di bawah
suasana norm al, logika pem ilu berada dalam arah penjina kan”
(1996: 14). Ketika politik Indonesia m enjadi sem akin “ter nor-
m alisasi” (Aspinall 20 0 5) dapat diram alkan bahwa m ayoritas
m a syarakat akan sem akin “terjinakkan”. Bagaim ana proses pen -
jinakan lewat pem ilu terjadi, berbeda-beda bergantung pada
situasi sosial-historis m asing-m asing. Bab ini sam a sekali tidak

pustaka-indo.blogspot.com
Dari Layar ke Politik Jalanan 305

m enyatakan bahwa kasus Indonesia m erupakan sesuatu yang


unik, atau secara asali bersifat Indonesia. Bab ini telah m enun-
juk dan menganalisa tiga faktor yang spesiik secara historis amat
penting dalam m engakibatkan perpecahan m assa yang serius:
undang-undang pem ilu baru pada tahun 20 0 9 yang m em ungkin-
kan para calon untuk bersaing sebagai perorangan berdasarkan
suara terbanyak; dam pak tidak terbendung dari m edia baru,
khususnya—tapi tak hanya—industri hiburan televisi; dan konteks
yang lebih luas yakni interaksi berkiblat kom unikasi lisan dalam
m asyarakat.
Mitos dan irasionalitas m erupakan hal yang um um ditem ukan
di sem ua pem ilu (lihat m isalnya Chua 20 0 7; Heryanto 20 0 6a:
149­53; Taylor 1996b). Namun upacara politik yang mahal ini
diselenggarakan di seluruh dunia sebagai prasyarat bagi tekad
yang ham pir universal terhadap utopia m odern bernam a ‘dem o-
krasi’. Kebanyakan kita m em bayangkan dem okrasi sebagai
sesuatu yang nyata; dan kita dengan penuh sem angat m em pro-
m osikannya sebagai sesuatu yang didam bakan secara universal
(Heryanto 2009b; Heryanto dan Mandal 2003; Lev 2005). Obsesi
terhadap dem okrasi yang di-ideal-kan ini kerap m engarah pada
kesalahpaham an terhadap perilaku m assa, baik dalam rezim
dem okratis m aupun otoriter.
Pada tahun 1992, dalam sebuah upaya untuk m enahan m assa
yang telah m engam bil alih ‘pesta dem okrasi’, Orde Baru m engatur
agar seluruh kegiatan kam panye dipindahkan ke m edia m assa
yang dikendalikan oleh pem erintah. Tak ada dari pem erintah
m askulin Orde Baru m aupun penggantinya yang lebih dem okratis
m em iliki kem am puan untuk m enjinakkan m assa yang kuat,
yang sem ula m ereka kerahkan untuk m elayani kepentingan elite
itu sendiri. Pada tahun 20 0 9, kekuatan lem but industri m edia
m enolong para penguasa ini. Dengan m em peroleh m om entum
yang diawali oleh UU pem ilu 20 0 9, industri m edia m elebarkan

pustaka-indo.blogspot.com
306 Identitas dan Kenikmatan

ideologi hiburan dan kerajaan kom ersial m ereka ke politik jalanan


dan m enuju ke pem ilu. Pada akhirnya, perusahaan m edia inilah
yang tertawa girang m em etik kem enangan di penghujung. Pada
tahun 20 14, Indonesia akan m enyelenggarakan pem ilu lagi. Kita
dapat m em bayangkan bahwa budaya layar yang kuat akan berjaya
di jalanan, dan akan disiarkan kepada jutaan layar televisi, sabak
digital (tablet), dan telepon pintar m ilik warga negara Indonesia.
Kelas bawah Indonesia m erupakan fokus dalam bab ini,
tapi tidak dari buku ini secara keseluruhan, yang lebih banyak
m engam ati dinam ika kelas m enengah perkotaan untuk alasan
yang telah dibahas dalam Bab 1. Akan terasa janggal jika kelas
m enengah itu dianalisa secara terpisah dengan kelas bawah. Di
seluruh bab, saya telah m encoba untuk m em perlihatkan bagai-
m a na berbagai segm en m asyarakat Indonesia (yang dapat diiden-
tiikasi dan mengidentiikasi diri berdasarkan kelas, jenis kelamin,
agam a, dan garis ideologi) m engam bil bagian dalam upaya yang
kom pleks (terkadang tum pang tindih dan bertentangan satu sam a
lain) untuk mendeinisikan ulang identitas kolektif mereka pada
dekade pertam a abad ke-21. Ini m erupakan periode yang am at m e-
riah dan m udah sekali berubah dengan janji yang m enggoda akan
terbukanya kesem patan-kesem patan baru, dan juga risiko serta
kekhawatiran. Ini m erupakan kurun pasca-Orde Baru otoriter
yang ditandai dengan kebangkitan politik Islam is yang tak pernah
sehebat ini, perdebatan publik tentang pelanggaran hak asasi
m anusia di m asa lalu, perpecahan yang tajam dan sulit dirujukkan
kem bali di kalangan para elite politik, kebangkitan kekuatan
ekonom i Asia, dan revolusi kom unikasi digital di seluruh dunia.
Kebanyakan pertem puran ideologis untuk m endapat posisi
hegem onik guna m engisi kekosongan kekuasaan yang terjadi
sesudah kejatuhan pem erintahan Orde Baru berlangsung di pang-
gung budaya populer dalam berbagai bentuk. Sem entara buku ini
berfokus pada budaya politik kontem porer di Indonesia, setiap

pustaka-indo.blogspot.com
Dari Layar ke Politik Jalanan 307

bab m enyediakan wawasan kesejarahan yang lebih luas. Analisa


m endalam tentang identitas dan politik persaingan da lam bangsa
Indonesia m erupakan fokus buku ini, tapi keterlibatan trans-
nasional dan dim ensi global m erupakan bagian yang pen ting
dalam cerita yang dituturkan dalam setiap bab buku ini. Sebuah
pesan utam a dalam seluruh buku ini: Indonesia m e m iliki kekayaan
suku bangsa, sejarah, dan budaya yang sangat beragam . Kekayaan
ini m erupakan berkah dari cam puran ber bagai pandangan, kerja
kreatif orang-orang berpikiran kos m o politan yang m engupayakan
versi lokal m odernitas cam pur an. Sayangnya, tak lam a sesudah
kem erdekaan Indonesia, keba nyakan dari kekayaan budaya yang
luar biasa ini telah disangkal, dibengkokkan, atau dilupakan dalam
sejarah resm i dan ingatan publik, karena berbagai kelom pok
modernis bersaing untuk mencoba memaksakan satu deinisi
yang lebih sem pit m engenai arti m enjadi Indonesia yang sah dan
terhorm at.
Kajian ini m em bahas dua bidang kajian utam a yang saling
m elengkapi. Yang pertam a m engacu kepada soal-soal yang tam pak
jelas dan diperdebatkan secara seru di ruang publik nasional dan
m enyangkut politik identitas dan kenikm atan, term asuk budaya
populer dengan tema Islam yang kuat (Bab 2 dan 3); dan juga
popu laritas budaya layar dari Asia Tim ur, terutam a dari Korea
Sela tan (Bab 7). Bidang kajian utam a kedua m enyangkut soal
yang lebih m enyedihkan yang selam a ini dihindari, dibungkam ,
dilu pakan, atau disalahpaham i oleh m asyarakat luas. Ini m e-
nyangkut pertanyaan m engenai pem bunuhan m assal 1965-66
yang telah m enghantui bangsa ini sejak peristiwa itu terjadi (Bab
4 dan 5), seabad diskrim inasi terhadap etnis Tionghoa (Bab 6) dan
kelas bawah (Bab 8). Di bawah politik identitas dan kenikm atan,
terdapat kisah derita, bencana, dan pilu.
Buku ini dim aksudkan sebagai sebuah sum bangan kecil ter-
hadap upaya yang terus bertum buh belakangan ini di kalangan

pustaka-indo.blogspot.com
308 Identitas dan Kenikmatan

para ahli untuk m em beri pengakuan bagi kekayaan budaya politik


dan sejarah Indonesia. Saya sadar akan rum itnya pokok bahasan
ini dan juga keterbatasan saya sendiri, serta keterbatasan yang bisa
dicakup oleh sebuah buku. Buku ini tidak dim aksudkan m enjadi
ensiklopedia dalam cakupannya m aupun sebagai sesuatu yang
teramat lengkap dalam pembahasan. Sebagai kajian etnograis,
dengan penekanan pada data kualitatif m endalam , buku ini tak
dapat m endaku telah m ewakili segala soal yang dibahasnya, atau
gene ralisasi dari argum en yang diajukannya. Terlepas dari segala
keter batasan tersebut, saya berharap upaya ini m enawarkan sum -
bangan penting pada kancah akadem is yang tum buh dalam kajian
budaya politik Indonesia dan kajian atas politik kehidupan sehari-
hari baik di m asa lalu m aupun kini.

pustaka-indo.blogspot.com
Pustaka Acuan

Adam , Asvi Warm an (20 0 4) “Menciptakan Beragam Narasi Tragedi


1965”, Kom pas, 18 Septem ber.
(2008) “Versi Mutakhir G30S”, Tem po, 37 (39).
(20 10 ) “Supersem ar dan Arsip Bangsa”, Kom pas, 11 Maret.
Aguilar J r., Filom eno (20 0 1) “Citizenship, Inheritance, and the Indige-
nizing of ‘Orang Chinese’ in Indonesia”, positions, 9(3): 501­33.
Aiyar, Pallavi (2013) “The Pakistanisation of Indonesia”, The Hindu,
< www.t h e h in d u .co m / o p in io n / o p - e d / t h e - p a k is t a n is a t io n - o f-
indonesia/article4815062.ece>, diunggah 15/06/2013, dibaca
15/06/2013.
Ali, Muham ad (20 11) “The Internet, Cyber-religion, and Authority”,
dalam A. Weintraub (ed.), Islam and Popular Culture in Indonesia
and Malay sia, London: Routledge, hal. 10 1-122.
Am in, Husnul (20 10 ) “From Islam ism to Post-Islam ism : A Study of a
New Intellectual Discourse on Islam and Modernity in Pakistan”,
skripsi doktoral pada International Institute of Social Studies, The
Hague, The Netherlands.
Anderson, Benedict (1983) Imagined Communities: Relections on the
Origin and Spread of N ationalism , London: Verso.
(1987) “How Did the Generals Die?”, Indonesia, 43 (April): 109­34.

pustaka-indo.blogspot.com
310 Identitas dan Kenikmatan

(1991) Imagined Communities: Relections on the Origin and


Spread of N ationalism , edisi revisi, London dan New York: Verso.
(1996) “Elections and Participation in Three Southeast Asian
Countries”, dalam R.H Taylor (ed.), The Politics of Elections in
Southeast Asia, Cam bridge: Woodrow Wilson International Centre
for Scholars, hal. 12–33.
(1999) “Indonesian Nationalism Today and in the Future”,
Indonesia, 67 (April): 1-11.
(2002) “Twilight Dogs—Jangled Nerves”, Indonesia, 73 (April):
129-144.
dan McVey, Ruth (1971) A Prelim inary Analy sis of the October 1,
1965, Coup in Indonesia, Ithaca: Modern Indonesia Project, SEAP,
Cornell University.
Ang, Ien (1991) Desperately Seeking the Audience, London: Routledge.
(1996) Living Room W ars: Rethinking Media Audiences for a
Postm odern W orld, London: Routledge.
Anshor, Saiful (20 0 9) “Chaerul Um am : Munculnya Liberalism e
di Industri Film ”, Suara Hiday atullah, Maret 20 0 9, <http:/ /
majalah.hidayatullah.com/?p=223>, diunggah 26/05/2010, dibaca
28/ 0 7/ 20 12.
Antara (20 0 8) “Masyarakat Belanda Nikm ati Film ‘Ayat-Ayat Cinta’“, 4
Oktober, <www.antara.co.id/ arc/ 20 0 8/ 10 / 4/ m asyarakat-belanda-
nikmati­ilm­ayat­ayat­cinta>, dibaca 4/10/2012.
Aprianto, Anton (20 0 8) “Kalla Puas dengan Ayat-Ayat Cinta”, Koran
Tem po, 24 Maret.
Arps, Bernard dan Van Heeren, Katinka (20 0 6) “Ghosthunting and
Vulgar News: Popular Realities on Recent Indonesian Television”,
dalam H.S. Nordholt (ed.), Indonesian Transitions, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, hal. 289­325.
Asm ara, Andjar (1955) “Menjelang Hari Datang: Filem Indonesia”, Star
N ew s, 4 (1), diterbitkan ulang daring tanggal 12/3/2013.
Aspinall, Edward (20 0 5) “Elections and the Norm alization of Politics in
Indonesia”, South East Asia Research, 13(2): 117­56.
Badan Pusat Statistik (2013) “Per Capita National Income, 2000­2012
(Rupiahs)”, <www.bps.go.id/ eng/ tab_ sub/ view.php?tabel=1&daftar
=1&id_subyek=11&notab=76>, dibaca 2/6/2013.
Barendregt, Bart (20 0 6) “Cyber-nasyid; Transnational Soundscapes in
Muslim Southeast Asia”, dalam T. Holden dan T. Scrace (eds) m ed@
Asia; Global Mediation in and out of Context, London: Routledge,
hal. 170 -87.

pustaka-indo.blogspot.com
Pustaka Acuan 311

(20 11) “Pop, Politics and Piety; Nasyid Boy Band Music in Muslim
Southeast Asia”, dalam A. Weintraub (ed.), Islam and Popular
Culture in Indonesia and Malay sia, London: Routledge, hal. 235­56.
dan Van Zanten, Wim (20 0 2) “Popular Music in Indonesia since
1998, in Particular Fusion, Indie and Islam ic Music on Video Com pact
Discs and the Internet”, Yearbook for Traditional Music, 34: 67­113.
Barker, Thom as (20 10 ) “Historical Inheritance and Film Nasional in
Post-Reform asi Indonesian Cinem a”, Asian Cinem a, 21 (2): 7-24.
Baskoro, Sandy (20 0 7) “Depok Musnahkan 1.247 Buku Sejarah”, Koran
Tem po, 21 J uli.
Baudrillard, Jean (1983) In the Shadow of the Silent Majorities,
Sim otext(e), New York, NY.
Baulch, Em m a (20 0 7) Making Scenes; Reggae, Punk, and Death Metal
in 1990 s Bali, Durham : Duke University Press.
Baum gärtel, Tilm an (ed.) (20 12) Southeast Asian Independent Cinem a,
Hong Kong: Hong Kong University Press.
Bayat, Asef (1996) “The Com ing of a Post-Islam ist Society”, Critique:
Critical Middle East Studies, 9: 43­52.
(20 0 2a) “Piety, Privilege and Egyptian Youth”, ISIM New sletter
(10): 23.
(20 0 2b) “What is Post-Islam ism ”, ISIM New sletter (16): 5.
(20 0 7a) Islam and Dem ocracy : W hat is the Real Question?, ISIM
Papers, 8. Am sterdam : Am sterdam University Press.
(20 0 7b) Making Islam Dem ocratic: Social Movem ents and the
Post-Islam ist Turn, Stanford: Stanford University Press.
(20 0 7c) “Islam ism and the Politics of Fun”, Public Culture, 19(3/
Fall): 433­59.
(20 0 9) “Dem ocracy and the Muslim World: the ‘Post-Islam ist’
Turn”, openDem ocracy , <http:/ / www.opendem ocracy.net/ article/
democratising­the­muslim­world>, diunggah 06/3/2009, dibaca
20 / 4/ 20 12.
Bayuni, Endy (20 0 9) “Indonesia’s Do-it-yourself Cam paign”, New York
Tim es, 3 Mei.
Berg, Birgit (20 11) “Musical Modernity, Islam ic Identity, and Arab Aes-
the tics in Arab-Indonesian Orkes Gam bus”, dalam A. Weintraub
(ed.), Islam and Popular Culture in Indonesia and Malay sia, Lon-
don: Routledge, hal. 166-84.
Bev, J ennie S. (20 0 8) “Rom ancing the Koran in Indonesia”, Asia Sentinel,
20 Maret, <http:/ / www.asiasentinel.com / index.php?option=com _
content&task=view&id=1110&Itemid=35>, dibaca 27/7/2012.

pustaka-indo.blogspot.com
312 Identitas dan Kenikmatan

Biran, Misbach Y (1976) “Pasang Surut Perkem bangan Filem Indonesia”,


Berita Yudha, 7 Oktober, dikutip dari penerbitan ulang di footage,
<http:/ / jurnalfootage.net/ v4/ kronik/ pasang-surut-perkem bangan-
ilem­indonesia­1>, diunggah 21/3/2013, dibaca 8/4/2013.
(20 0 1) “The History of Indonesian Cinem a at a Glance”, dalam D.
Hanan (ed.), Film in South East Asia: View s from the Region, Hanoi:
SEAPAVAA Vietnam Film Institute dan NSSAA, hal. 211-52.
Bodden, Michael (20 10 ) “Modern Dram a, Politics, and the Postcolonial
Aesthetics of Left-Nationalism in North Sum atra: The Forgotten
Theater of Indonesia’s Lekra, 1955-65” dalam T. Day dan M. Liem
(ed.), Cultures at W ar: The Cold W ar and Cultural Expression in
Southeast Asia, Ithaca: Cornell University Southeast Asia Program
Publications, hal.45-80 .
Bonura, Carlo dan Sears, Laurie (20 0 7) “Knowledges that Travel in
Southeast Asian Studies”, dalam L. Sears (ed.), Know ing Southeast
Asia, Seattle: University of Washington, hal. 3­32.
Bourdieu, Pierre dan Passeron, J ean Claude (1977) Reproduction in
Education, Society and Culture, terj. R. Nice, London dan Beverly
Hills: SAGE Publications.
Bram antyo, Hanung (20 0 7) “Kisah Di Balik Layar AAC I”, http:/ /
h a n u n gb r a m a n t yo . m u lt i p ly. co m / j o u r n a l/ i t e m / 8 , d i u n gga h
29/11/2007, dibaca 27/3/2012.
(20 0 8) “Ayat-ayat Pribadi Seorang Sutradara”, http:/ / hanung
bramantyo.multiply.com/journal/item/13, diunggah 22/4/2008,
dibaca 31/3/2012.
(20 10 ) “Agam a Hanyalah Medium ”, wawancara dengan Vivi
Zabkie dan Saidim an Ahm ad, wawancara radio KBR68H tanggal
27/ 10 / 20 10 , <http:/ / islam lib.com / id/ artikel/ hanung-bram antyo-
agam a-hanyalah-m edium >, diunggah tanggal 1/ 11/ 20 10 , dibaca
9/3/2013.
Brenner, Suzanne (1996) “Reconstructing Self and Society: J avanese
Muslim Wom en and ‘the Veil’“, Am erican Ethnologist, 23 (4): 673­
97.
(1999) “On the Public Intim acy of the New Order: Im ages of
Wom en in the Popular Indonesian Print Media”, Indonesia, 67
(April): 13­37.
(20 11) “Holy Matrim ony? The Print Politics of Polygam y in
Indonesia”, dalam A. Weintraub (ed.), Islam and Popular Culture in
Indonesia and Malay sia, London: Routledge, hal. 212­34.

pustaka-indo.blogspot.com
Pustaka Acuan 313

Budi, Muchus (20 0 9) “Genjer-genjer, Karya Seni Korban Politik”,


detikN ew s, 14 Septem ber.
Budiardjo, Carm el (1991) “Indonesia: Mass Exterm ination and the Conso-
lidation of Authoritarian Power”, dan A. George (ed.) W estern State
Terrorism , New York: Routledge, hal. 180 -211.
Buehler, Michael (20 0 9a) “Islam and Dem ocracy in Indonesia”, Insight
Turkey , 11(4): 51­63.
(20 0 9b) “Suicide and Progress in Modern Nusantara”, Inside
Indonesia, 97 (J uli– Septem ber).
(2011) “Whodunit? Politicians Afiliated with Secular Parties
Im plem ent Most Sharia Regulations”, Tem po, 12 (1): 58-59.
Bunnell, Frederick (1990 ) “Am erican ‘Low Posture’ Policy Toward
Indonesia in the Months Leading up to the 1965 ‘Coup’”, Indonesia,
50 (Oktober): 29-60 .
Burcher, Nick (2010) “Top 30 Facebook Fan Pages by Number of Fans ­
October 2010”, <www.nickburcher.com/2010/10/top­30­facebook­
fan-pages-by-num ber-of.htm l>, diunggah 26/ 10 / 20 10 , dibaca
7/ 4/ 20 12.
(20 12) “Facebook Usage Statistics by Country Decem ber 20 0 8 -
Decem ber 20 11”, <www.nickburcher.com / 20 12/ 0 1/ facebook-usage-
statistics-by-country.htm l>, diunggah 4/ 1/ 20 12, dibaca 4/ 4/ 20 12.
Caldwell, Malcolm (ed.) (1975) Ten Years’ Military Terror in Indonesia,
Nottingham : Spokesm an Books.
Can, Edy (20 0 5) “Korban Peristiwa 1965 Gugat Lim a Presiden”, Koran
Tem po, 10 Maret.
Carey, J am es (1998) “Marshall McLuhan: Genealogy and Legacy”, Cana -
dian Journal of Communication, 23 (3), http://www.cjc­online.ca/
index.php/ journal/ article/ view/ 10 45/ 951, terakhir dibaca 10 / 0 8/
2013.
Chan Kwok-Bun dan Yung Sai-Shing (20 0 5) “Chinese Entertainm ent,
Ethnicity, and Pleasure”, Visual Anthropology , 18(2): 103­42.
Choe Sang-Hun dan Russell, Mark (20 12) “Bringing K-Pop to the West”,
The New York Tim es, 4 Maret.
Chua Beng-Huat (ed.) (20 0 0 ) Consum ption in Asia: Lifesty les and
Identities, London: Routledge.
(20 0 4) “Conceptualizing an East Asian Popular Culture”, Inter-
Asia Cultural Studies, 5(2): 20 0 -21.
(ed.) (20 0 7) Elections as Popular Culture in Asia, London:
Routledge.

pustaka-indo.blogspot.com
314 Identitas dan Kenikmatan

(20 0 8) “East-Asian Pop Culture; Layers of Com m u nities”, dalam


Y. Kim (ed.), Media Consum ption and Every day Life in Asia, London
dan New York: Routledge, hal. 99­113.
(20 10 ) “Engendering an East Asia Pop Culture Research
Com m unity”, Inter-Asia Cultural Studies, 11(2): 20 2-6.
Clark, Marshall (20 10 ) Maskulinitas; Culture, Gender and Politics in
Indonesia, Caulield: Monash University Press.
Cohen, J oshua dan Rogers, J oel (1991) “Knowledge, Morality and Hope:
The Social Thought of Noam Chom sky”, New Left Review , 187 (Mei/
J uni): 5-27.
Cohen, Matthew (20 0 6) The Kom edie Stam boel: Popular Theater in
Colonial Indonesia, 1891-190 3, Athens: Ohio University Press.
Cohen, Matthew (20 0 9) “Hybridity in Kom edi Stam bul”, dalam D.
J edam ski (ed.), Chew ing Over the W est, Am sterdam : Rodopi, hal.
275­301.
Comor, Edward (2013) “Digital Engagement: America’s Use (and Misuse)
of Marshall McLuhan”, N ew Political Science, 35(1): 1­18.
Coppel, Charles (1999) “The Indonesian Chinese as ‘Foreign Orientals’ in
the Netherlands Indies”, dalam T. Lindsey (ed.), Indonesia; Law and
Society , Leichhardt, NSW: The Federation Press, hal. 33­41.
Coutas, Penelope (20 0 8) “Fam e, Fortune, Fantasi”, dalam A. Heryanto
(ed.) Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-autho-
ritarian Politics, London: Routledge, hal. 111– 29.
Cribb, Robert (1999) “Nation: Making Indonesia”, dalam D. Em m erson
(ed.), Indonesia Bey ond Suharto, Armonk: Asia Society, hal.3­38.
(ed.) (1990 ) The Indonesian Killings of 1965-1966; Studies from
Java and Bali, Clayton: Centre of Southeast Asian Studies, Monash
University.
dan Coppel, Charles (20 0 9) “A Genocide that Never was:
Explaining the Myth of Anti-Chinese Massacres in Indonesia, 1965–
66”, Journal of Genocide Research, 11(4): 447-65.
Crook, Tom (20 0 7) “Power, Privacy and Pleasure”, Cultural Studies,
21(4): 549-69.
Crouch, Harold (1978) The Arm y and Politics in Indonesia, Ithaca:
Cornell University Press.
Dam ono, Sapardi D. (1984) “Sosiologi Sastra Indonesia Modern”, m aka-
lah untuk National Sym posium on Modern Indonesian Literature,
Yogyakarta, 26-27 Oktober.
Dariyanto, Erwin (20 0 9) “Dari Panggung Hiburan ke Senayan”, Koran
Tem po, 26 April.

pustaka-indo.blogspot.com
Pustaka Acuan 315

Darm awan, Hikm at (20 12a) “Catatan Film Indonesia 20 11 (1): Beban,
Potensi, Aktualisasi Film Nasional 20 11”, Rum ah Film , <http:/ /
new.rumahilm.org/artikel­feature/catatan­ilm­indonesia­2011­1­
beban­potensi­aktualisasi­ilm­nasional­2011>, diunggah 11/1/2012,
dibaca 27/ 12/ 20 12.
(2012b) “Catatan Film Indonesia 2011 (2): Pada Mula nya, dan pada
Akhirnya, Proses”, Rum ah Film , < http://new.rumahilm.org/artikel­
featu r e/ catatan -film -in d on esia-20 11-2-pad a-m u la n ya-d an -pad a-
akhirnya-proses>, diunggah 12/ 1/ 2012, dibaca 27/ 12/ 2012.
David, Bettina (20 0 8) “Intim ate Neighbors: Bollywood, Dangdut Music,
and Globalizing Modernities in Indonesia”, dalam S. Gopal dan S.
Moorti (ed.), Global Bolly w ood; Travels of Hindi Song and Dance,
Minneapolis: University of Minneapolis Press, hal. 179-199.
Dhyatm ika, Wahyu dan Wibowo, Kukuh (20 0 9) “Mengubur Dendam di
Pusara Kiai”, Tem po, 38(30).
Diani, Hera (20 0 5) “FPI Mem bers Stage Protest during PKI Court
Session”, The Jakarta Post, 4 Agustus.
Djaya, Sjum an (1977) “Di Tangan Borjuis Kelontong, Film Hanya Barang
Dagangan”, wawancara, Prism a, 6 (J uni): 42-44.
Dovey, Lindiwe dan Im pey, Angela (20 10 ) “African Jim : Sound, Politics,
and Pleasure in Early ‘Black’, South African Cinem a”, Journal of
African Cultural Studies, 22(1): 57­73.
Em bong, Abdul (20 0 2) State-led Modernization and the New Middle
Class in Malay sia. Basingstoke, UK: Palgrave.
Em ond, Bruce (20 12) “As He Likes It”, W eekender, 25 April.
Fadjri, Raihul (20 0 4) “Kepingan Kiri (yang) J alan Terus”, Koran Tem po,
23 Agustus.
Farram , Steven (20 10 ) “The PKI in West Tim or and Nusa Tenggara Tim ur;
1965 and Beyond”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde,
166 (4): 381­403.
Fealy, G. dan White, S. (eds) (20 0 8) Expressing Islam ; Religious Life and
Politics in Indonesia, Singapura: ISEAS.
Fealy, Greg (2008) “Consuming Islam: Commodiied Religion and
Aspirational Pietism in Contem porary Indonesia”, dalam G. Fealy
dan S. White (ed.) (20 0 8) Expressing Islam ; Religious Life and
Politics in Indonesia, hal. 15­39.
dan McGregor, Katharine (20 10 ) “Nahdlatul Ulam a and the
Killings of 1965-66; Religion, Politics and Rem em brance”, Indonesia,
89 (April): 37­60.

pustaka-indo.blogspot.com
316 Identitas dan Kenikmatan

Febiana, Fanny (20 0 7a) “Penarikan Tuntas Tahun Ini”, Koran Tem po,
22 Mei.
(20 0 7b) “Pem erintah Akan Keluarkan Buku Sejarah Baru”, Koran
Tem po, 2 Oktober.
Fein, Helen (1993) “Revolutionary and Antirevolutionary Genocides:
A Com parison of State Murders in Dem ocratic Kam puchea, 1975
to 1979, and in Indonesia, 1965 to 1966”, Com parative Studies of
Society and History , 35 (4): 796­823.
Fernback, Jan (2003) “Legends on the Net: an Examination of Computer­
Mediated Com m unication as a Locus of Oral Culture”, New Media
and Society 5(1): 29-45.
Foulcher, Keith (1986) Social Com m itm ent in Literature and the Arts:
the Indonesian “Institute of Peoples’ Culture” 1950 -1965, Clayton:
Centre of Southeast Asian Studies, Monash University.
(1990 a) “Making History: Recent Indonesian Literature and the
Events of 1965”, dalam R. Cribb (ed.) The Indonesian Killings 1965-
1966; Studies from Java and Bali, Clayton: Centre of Southeast Asian
Studies, hal. 10 1-19.
(1990 b) “The Construction of an Indonesian National Culture:
Patterns of Hegem ony and Resistance”, dalam A. Budim an (ed.) State
and Civil Society in Indonesia, Clayton: Centre of Southeast Asian
Studies, hal. 301­20.
(1991) “Bum i Manusia and Anak Sem ua Bangsa: Pram oedya
Ananta Toer Enters the 1980 s”, Indonesia, 32 (October): 1­15.
Frederick, William (1982) “Rhom a Iram a and the Dangdut Style”,
Indonesia, 34 (Okt): 103­30.
Garcia, Michael (20 0 4) “The Indonesian Free Book Press”, Indonesia, 78
(Okt): 121-45.
Genie (20 0 5) “Artis Keturunan China Makin Merangsek”, 24 (8-21
Maret).
Genosko, Gary (1999) McLuhan and Baudrillard: Masters of Im plosion,
London: Routledge.
Gerke, Solvay (20 0 0 ) “Global Lifestyles under Local Conditions; the New
Indonesian Middle Class”, dalam Chua Beng-Huat (ed.) Consum ption
in Asia; Lifesty les and Identities, London: Routledge, hal. 135­158.
Grayling, A.C. (20 0 2) “It Started with a Kiss”, Guardian, 1 J uli.
Grossm an, Lev (20 10 ) “Mark Zuckerberg”, TIME, <www.tim e.
com/time/specials/packages/article/0,28804,2036683
_2037183_2037185,00.html>, diunggah 15/12/2010, dibaca
4/ 4/ 20 12.

pustaka-indo.blogspot.com
Pustaka Acuan 317

Hadiz, Vedi (20 11) “No Turkish Delight: The Im passe of Islam ic Party
Politics in Indonesia”, Indonesia, 92 (Oktober): 1-18.
Ham luddin (20 0 7) “Lagi, 775 Buku Sejarah Dim usnahkan”, Tem po
Interaktif, 6 September, <www.tempointeraktif.com/ hg/ jakarta/ 2007/
09/ 06/ brk,20070906-107114,id.html>, dibaca 7 / 09/ 2007.
Hanan, David (20 0 8) “Changing Social Form ations in Indonesian and
Thai Teen Movies”, dalam A. Heryanto (ed.), Popular Culture in
Indonesia, London: Routledge, hal. 54-69.
Hasan, Noorhaidi (20 0 9) “The Making of Public Islam : Piety, Agency and
Commodiication on the Landscape of the Indonesian Public Sphere”,
Contem porary Islam (Springer) 3(3): 229­50.
Hatley, Barbara (20 0 6) “Recalling and Re-presenting the 1965/ 1966
Anti-Com m unist Violence in Indonesia”, m akalah dipresentasikan
pada the 16th Biennial Conference of the Asian Studies Association of
Australia di Wollongong 26-29 J uni 20 0 6.
Hefner, Robert (1997) “Print Islam : Mass Media and Ideological Rivalries
am ong Indonesian Muslim s”, Indonesia, 64: 77­103.
Heider, Karl (1991) Indonesian Cinem a; National Culture on Screen,
Honolulu: University of Hawaii Press.
Hellwig, Tineke (20 11) “Abidah El Khalieqy’s novels: Challenging
Patriarchal Islam ”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde,
167 (1): 16­30.
Henschkel, M. (1994) “Perception of Popular Culture in Contemporary
Indonesia”, Review of Indonesian and Malay an Affairs, 28 (2): 53­70.
Herm awan, Ary (20 0 8) “Habiburrahm an El Shirazy: No Intentions to
Counter ‘Satanic Verses’”, The Jakarta Post, 4 April.
Heru CN (20 0 8) “Soekardjo Wilardjito”, Koran Tem po, 25 J uni.
Heryanto, Ariel (1987) “Kekuasaan, Kebahasaan, dan Perubahan Sosial”,
Kritis , 1(3): 4­53.
(1993) “Memperjelas Sosok yang Samar”, dalam R. Tanter dan K.
Young (ed.) Politik Kelas Menengah Indonesia, Jakarta: LP3ES, hal.
ix-xxv.
(1995) Language of Developm ent and Developm ent of Language,
Canberra: Paciic Linguistics, The Australian National University.
(1996) “Indonesian Middle-class Opposition in the 1990 s, dalam
G. Rodan (ed.) Political Oppositions in Industrialising Asia, London
dan New York: Routledge, hal. 241-71.
(1997) “Silence in Indonesian Literary Discourse: The Case of the
Indonesian Chinese”, Sojourn, 12 (1): 26-45.

pustaka-indo.blogspot.com
318 Identitas dan Kenikmatan

(1998a) “Ethnic Identities and Erasure; Chinese Indone sians in


Public Culture”, dalam Southeast Asian Identities; Culture and the
Politics of Representation in Indonesia, Malay sia, Singapore, and
Thailand, J oel S. Kahn (ed.), Singapura: Institute of Southeast Asian
Studies, hal.95-114.
(1998b) “Flaws of Riot Media Coverage”, The Jakarta Post, 15
J uli.
(1999a) “Rape, Race, and Reporting”, dalam A. Budim an, B.
Hatley, dan D. Kingsbury (ed.), Reform asi: Crisis and Change in
Indonesia? Clayton: Monash Asia Institute, hal. 299­334.
(1999b) “The Years of Living Luxuriously”, dalam M. Pinches
(ed.) Culture and Privilege in Capitalist Asia, London dan New York:
Routledge, hal. 159-87.
(1999c) “Where Com m unism Never Dies”, International Journal
of Cultural Studies, 2 (2): 147-77.
(2003) “Public Intellectuals, Media and Democratization” dalam
A. Heryanto dan S.K. Mandal (ed.), Challenging Authoritarianism
in Southeast Asia; Com paring Indonesia and Malay sia, London:
Routledge Curzon, 2003, hal. 24­59.
(20 0 5) “Ideological Baggage and Orientations of the Social
Sciences In Indonesia”, dalam V. R. Hadiz dan D. Dhakidae (ed.)
Social Science and Pow er in Indonesia, J akarta dan Singapura:
Equinox dan ISEAS, hal. 69-10 1.
(20 0 6a) State Terrorism and Political Identity in Indonesia:
Fatally Belonging, London
(20 0 6b) “Then There were Languages: Bahasa Indonesian
was One Am ong Many”, dalam S. Makoni dan A. Pennycook (ed.),
Disinventing and Reconstituting Languages, Clevedon [UK] dan
Buffalo: Multilingual Matters, hal. 42-61.
(20 0 7) “New Media and Freedom of Expression in Asia”, pidato
utam a, Freedom of Expression dalam Asia Workshop, COMBINE
Resource Institution dan Global Partners and Associates, Yogyakarta,
4 Novem ber.
(20 0 8a) “Citizenship and Indonesian Ethnic Chinese in Post-1998
Film s”, dalam A. Heryanto (ed.), Popular Culture in Indonesia: Fluid
Identities in Post-Authoritarian Politics, London dan New York:
Routledge, hal. 70 -92.
(20 0 8b) “Pop Culture and Com peting Identities”, dalam A.
Heryanto (ed), Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post
- Authoritarian Politics, London dan New York: Routledge, hal. 1­36.

pustaka-indo.blogspot.com
Pustaka Acuan 319

(20 0 9) “The Bearable Lightness of Dem ocracy”, dalam T. Reuter


(ed.), Ten Years of Political Reform in Indonesia: Reasons for Hope,
Monash Asia Institute, Clayton, hal. 51­63.
(20 10 a) “Entertainm ent, Dom estication, and Dispersal: Street
Politics as Popular Culture”, dalam E. Aspinnal dan M. Mietzner (ed.),
Problem s of Dem ocratisation in Indonesia: Elections, Institutions
and Society , Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, hal.
181-98.
(20 10 b) “The Look of Love: New Engagem ents with the Oriental
in Indonesian Popular Culture”, dalam D. Shim , A. Heryanto, dan U.
Siriyuvasak (ed.), Pop Culture Form ations Across East Asia, Seoul:
Jimoondang, hal. 209­31.
(20 11) “Upgraded Piety and Pleasure: the New Middle Class and
Islam in Indonesian Popular Culture”, dalam A. Weintraub (ed.),
Islam and Popular Culture in Indonesia and Malay sia, London:
Routledge, hal. 60 -82.
(20 12a) “Screening the 1965 Violence”, dalam J .T. Brink dan J .
Oppenheim er (ed.) Killer Im ages: Docum entary Film , Mem ory and
the Perform ance of Violence, New York: Colum bia University Press,
hal. 224-40 .
(20 12b) “The 1965-6 Killings: Facts and Fictions in Dangerous
Liaisons”, IIAS N ew sletter, 61 (Musim Gugur): 16-17.
dan Adi, Stanley (20 0 2) “Industrialized Media in Dem o cratizing
Indonesia”, dalam Russell Hiang-Khng Heng (ed.) Media Fortunes,
Changing Tim es – ASEAN States in Transition, Singapura: Institute
of Southeast Asian Studies, hal. 47-82.
dan Hadiz, Vedi (20 0 5) “Post-Authoritarian Indonesia: A
Com parative; Southeast Asian Perspective”, Critical Asian Studies,
37 (2): 251­76.
dan Mandal, Sumit K. (2003) “Challenges to Authoritarianism
in Indonesia and Malaysia”, dalam A. Heryanto dan S.K. Man dal
(ed.), Challenging Authoritarianism in Southeast Asia: Com paring
Indonesia and Malay sia, Routledge Curzon, London, hal. 1-24.
Hew, Wai­Weng (2013) “Expressing Chineseness, Marketing Islam; The
hybrid Perform ance of Chinese Muslim Preachers”, dalam SM Sai
dan CY Hoon (ed.), Chinese Indonesians Reassessed; History , Reli-
gion and Belonging, London: Routledge, hal. 178-99.
Hidayah, Aguslia (20 0 9) “Tem pe, Cinta, dan Poligam i”, Tem po, 4 J uni.
Hill, D. dan Sen, K. (20 0 5) The Internet in Indonesia’s New Dem ocracy ,
London dan New York: Routledge.

pustaka-indo.blogspot.com
320 Identitas dan Kenikmatan

Hill, David (20 0 7) “Manoeuvres in Manado: Media and Politics in


Regional Indonesia”, South East Asia Research, 15(1): 5-28.
(20 0 9) “Assessing Media Im pact in Local Elections in Indo nesia”,
dalam M. Erb dan P. Sulistiyanto (ed.), Deepening Dem o cracy in
Indo nesia?, Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, hal. 229-
55.
Hobart, Mark (20 0 6) “Entertaining Illusions: How Indonesian Élites
Im agine Reality TV Affects the Masses”, Asian Journal of Com m u-
nication, 16 (4): 393­410.
Hobsbawm, Eric dan Ranger, Terence (ed.) (1983) The Invention of
Tradition, Cam bridge: Cam bridge University Press.
Hoesterey, J am es (20 0 7) “Aa Gym ; The rise, Fall, and Re-branding of a
Celebrity Preacher”, Inside Indonesia, 90 (Okt-Des), http:/ / inside-
indonesia.org/ content/ view/ 10 11/ 29/ .
(20 0 8) “Marketing Morality: The Rise, Fall and Rebranding of Aa
Gym ”, dalam G. Fealy dan S. White (ed.) Expressing Islam ; Religious
Life and Politics in Indonesia, Singapura: ISEAS, hal. 95-112.
(20 12) “Prophetic Cosm opolitanism : Islam , Pop Psychology, and
Civic Virtue in Indonesia”, City & Society , 24(1): 38–61.
dan Clark, Marshall (20 12) “Film Islam i: Gender, Piety and Pop
Culture in Post-Authoritarian Indonesia”, Asian Studies Review ,
36(2): 207­26.
Holtzappel, Coen (1979) “The 30 September Movement: A Political Move­
m ent of the Arm ed Forces on an Intelligence Operation?”, Journal of
Con tem porary Asia, 9 (2): 216-40 .
Howell, J ulia (20 0 8) “Modulations of Active Piety: Professors and
Televangelists as Prom oters of Indonesian ‘Suisme’“, dalam G. Fealy
dan S. White (ed.), Expressing Islam ; Religious Life and Politics in
Indonesia, Singapura; ISEAS, hal. 40 -62.
Ida, Rachm ah (20 0 8) “Consum ing Taiwanese Boys Culture”, dalam A.
Heryanto (ed.) Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in
Post-Authoritarian Politics, London dan New York: Routledge, hal.
93­110.
Im anjaya, Ekky (20 0 6) “Tentang Sinetron Mistis Berbum bu Relijius”,
lay arperak.com , www.layarperak.com / news, dibaca 28/ 7/ 20 0 6.
(20 0 9a) “Posisi Ideologis dan Representasi: Perem puan Berkalung
Sorban, Mem bela atau Merusak Nam a Islam ?, Rum ah Film , <http:/ /
old.r u m ah film .or g/ r esen si/ r esen si_ per em pu an ber kalu n gsor ban .
htm >, diunggah 2/ 25/ 20 0 9, dibaca 28/ 4/ 20 12.

pustaka-indo.blogspot.com
Pustaka Acuan 321

(2009b) “When Love Gloriies God”, Inside Indo nesia, <http:/ /


www.in s id e in d o n e s ia .o r g/ we e k ly- a r t icle s - 9 7- ju l- s e p - 2 0 0 9 /
when­love­gloriies­god­09081774>, diunggah 3/8/2009, dibaca
30/4/2012.
Indrakusuma, Danny (1993) “Imlek dan Larangan Menjual Kue Ranjang”,
Sury a, 25 J anuari.
Indrarto, Totot (2013) “Risalah 2012: Ditinggalkan Bioskop, Diabaikan
Pem e rintah”, ilm indonesia, <http://ilmindonesia.or.id/article/
r is a la h - 2 0 12 - d it in gga lk a n - b io s k o p - d ia b a ik a n - p e m e r in t a h # .
UbU6Tpz4Lux>, diunggah 24/4/2013, dibaca 26/4/2013.
Ingawanij, May dan McKay, Benjam in (ed.) (20 12) Glim pses of Freedom
Independent Cinem a in Southeast Asia, Ithaca: Cornell Southeast
Asia Program Publications.
Ivvaty, Susi (20 0 5) “‘Industri’ Dai di Layar Kaca”, Kom pas, 6 Novem ber.
Iwabuchi, Koichi (20 0 2a) Recentering Globalization; Popular Culture
and Japanese Transnationalism , Durham dan London: Duke Uni-
versity Press.
(20 0 2b) “‘Soft’ Nationalism and Narcissism : J apanese Popular
Culture Goes Global”, Asian Studies Review 26 (4): 447-69.
Jakarta Post , The (2009a) “MUI Cleric Seeks Boycott of New Movie”, 2 J uli.
(20 0 9b) “10 ,0 0 0 Personnel to Guard Inauguration of DPR, DPD
Mem bers”, 28 Septem ber.
Jaw a Pos (20 0 8) “Hanung Bakal Filmkan Ketika Cinta Bertasbih”, 5 Maret.
J ones, Carla (20 0 7) “Fashion and Faith in Urban Indonesia”, Fashion
Theory , 11 (2/3): 211­32.
(20 10 ) “Materializing Piety: Gendered Anxieties about Faithful
Consum ption in Contem porary Urban Indonesia”, Am erican
Ethnologist, 37(4): 617–37.
J ung, Sun (20 11) “Race and Ethnicity in Fandom : Praxis K-pop,
Indonesian Fandom , and Social Media”, dalam “Race and Ethnicity
in Fandom ,” diedit oleh R. A. Reid dan S. Gatson, terbitan khusus,
Transform ative W orks and Cultures, (8). doi:10.3983/twc.2011.0289,
dibaca 7/ 1/ 2012.
KabarNet (20 10 ) “Hanung, Kau Keterlaluan: Pesantren dan Kiyai Begitu
Kau Burukkan”, kata pengantar untuk publikasi ulang wawancara
Tauik Ismail dengan Suara Islam, <http://kabarnet.wordpress.
com / 20 10 / 0 6/ 28 / h an u n g-kau -keter lalu an -pesan tr en -d an -kiyai-
begitu-kau%C2%A0 burukkan/ >, diunggah 28/ 6/ 20 10 , dibaca
11/3/2013.

pustaka-indo.blogspot.com
322 Identitas dan Kenikmatan

Kahar, Novriantoni (2011) “ Marhaban Pasca­Islamisme!”, Jaringan


Islam Liberal, http:/ / islam lib.com / id/ artikel/ m arhaban-pasca-
islam ism e, diunggah 28/ 11/ 20 11, dibaca 28/ 4/ 20 12.
Kahn, J oel (1989) “Culture: Dem ise or Resurrection?” Critique of Anthro-
pology , 9 (2): 5-26.
(1996a). “Growth, Econom ic Transform ation, Culture and the
Middle Classes Malaysia’, dalam R. Robison dan D. Goodm an (ed.),
The N ew Rich in Asia: Mobile Phones, Mcdonalds and Middle Class
Revolution, London dan New York: Routledge, hal. 49-75.
(1996b) “The Middle Class as a Field of Ethnological Study”, dalam
M. I. Said dan Z. Em by (ed.) Malay sia: Critical Perspectives; Essay s
in Honour of Sy ed Husin Ali. Petaling J aya: Malaysian Social Science
Association, hal.12­33.
(20 0 1) Modernity and Exclusion, London: Sage.
(20 0 6) Other Malay s; N ationalism and Cosm opolitanism in the
Modern Malay W orld, Singapura: Singapore University Press.
Kam m en, Douglas dan McGregor, Katharine (ed.) (20 12) The Contours of
Mass Violence in Indonesia: 1965-1968, Singapura: NUS Press.
Kaplan, Ann dan Wang, Ban (20 0 8a) “From Traum atic Paralysis to
the Force Field of Modernity”, dalam A. Kaplan dan B. Wang (ed.)
Traum a and Cinem a; Cross-Cultural Explorations, Hong Kong:
Hong Kong University Press, hal. 1-22.
(ed.) (20 0 8b) Traum a and Cinem a; Cross-Cultural Explorations,
Hong Kong: Hong Kong University Press.
Kartanegara, EH (20 0 7) “Berkah Ayat-ayat Cinta Rp.1.5 m iliar”, Koran
Tem po, 30 Desember.
Kartomi, Margaret (ed.) (20 0 5) The Year of Voting Frequently : Politics and
Artists in Indonesia’s 20 0 4 Elections, Clayton: Monash Asia Institute.
KDPI [Kampanye Damai Pemilu Indonesia] (2009), “Daftar Artis Yang Men-
jadi Anggota DPR”. <http:/ / ekampanyedamaipemiluindonesia2009.
blogspot.com/>, dibaca 30/9/2009.
Kedaulatan Raky at (1990 ) “Lagu-lagu Mandarin Dilarang Diputar Pada
Malam Tahun Baru”, 24 Desem ber: 5.
Kem asang, ART (1985) “How Dutch Colonialism Foreclosed a Dom estic
Bourgeoisie in J ava: the 1740 Chinese Massacres Reappraised”,
Review , 9(1): 57-80 .
Kerr, A., Kücklich, J ., dan Brereton, P. (20 0 6) “New m edia-New Plea-
sures?”, International Journal of Cultural Studies, 9: 63­82.
Khalid, Ahm ad Ali (20 12) “Post-secularism , Post-Islam ism and
Current Arab Revolution”, View point, daring, 97, <http:/ / www.

pustaka-indo.blogspot.com
Pustaka Acuan 323

viewpoin ton lin e.n et/ post-secularism -post-islam ism -an d-curren t-
arab-revolutions.htm l>, diunggah 6/ 4/ 20 12, dibaca 12/ 4/ 20 12.
Khoiri, Ilham dan Ivvaty, Susi (20 0 9) “Pencitraan Masih Tanpa Isi”,
Kom pas, 1 J uni.
Kim Seong-kon (20 12) “Hallyu: From Pop To Highbrow”, AsiaNew s, Mei
4-17.
Kokoschka, Alina (20 0 9) “Islam izing the Market? Advertising, Products,
and Consum ption in an Islam ic Fram ework in Syria”, dalam J . Pink
(ed.), Muslim Societies in the Age of Mass Consum ption, Newcastle
upon Tyne: Cam bridge Scholars, hal. 225-40 .
Kom pas (1988) “Presiden Soeharto: TNI tak Pernah Lakukan Kup”, 6
Nopem ber.
(1998) “‘Bukan Sekedar Kenangan’ Diputar Malam Ini”, 30
Septem ber.
(20 0 0 a) “Buku-buku Kiri Menyerbu Pasar”, 15 April.
(20 0 0 b) “Marx dan Che di Rum ah Kontrakan”, 14 April.
(2003) “UI Usulkan Pencabutan Tap MPRS Pembubaran PKI”,
17 Mei.
(20 0 6) “Pengedar Kaus Bergam bar Palu-Arit Ditangkap”, 20
Agustus.
(2008a) “Presiden Berkali­kali Menghapus Air Matanya”, 31 Maret.
(20 0 8b) a series of reports on the com m ercialization of the Holy
m onth of Ram adhan, 14 Septem ber.
Koran Tem po (20 0 6) “Penghargaan untuk Kiam at Sudah Dekat”, 1 Mei.
Krier, Sarah (20 11) “‘Sex sells, or Does It?’; Discourses of Sex and Sexuality
in Popular Wom en’s Magazines in Contem porary Indonesia”, dalam
A. Weintraub (ed.), Islam and Popular Culture in Indonesia and
Malay sia, London: Routledge, hal. 123­44.
Kristanto, JB (1984) “‘Pengkhianatan G 30 S’ Pemecah Rekor Komersial”,
Kom pas, 21 Oktober: 6.
(1996) “Wajah Teguh Karya dalam Film Pertam anya”, ilm
indonesia, http://ilmindonesia.or.id/post/wajah­teguh­karya­
dalam­ilm­pertamanya>, dibaca tanggal 31 Juli 2011.
Kustiani, Rini (20 0 7) “Buku Sejarah Kurikulum 20 0 4 Dilarang”, Koran
Tem po, 10 Maret.
Lane, Max (20 0 9) “INDONESIA: Docum entary Review: ‘Tjidurian 19’”,
<m axlan eon lin e.com / 20 0 9/ 11/ 18 / in don esia-docum en tary-review-
tjidurian-19>, dibaca 18/ 11/ 20 0 9.
Lee Geun (20 0 9) “A Soft Power Approach to the ‘Korean Wave’”, The
Review of Korean Studies, 12 (2/Juni): 123­37.

pustaka-indo.blogspot.com
324 Identitas dan Kenikmatan

Lev, Daniel (1990 ) “Notes on the Middle Class and Change in Indonesia,
dalam R. Tanter dan K. Young (ed.) The Politics of Middle Class
Indonesia, Clayton: Centre of Southeast Asian Studies, Monash
University, hal. 44-48.
(1991) “Becom ing an Orang Indonesia Sejati: The Political J ourney
of Yap Thiam Hien” Indonesia, edisi khusus: 97-112.
(1996) “Afterword”, dalam R.H Taylor (ed.), The Politics
of Elections in Southeast Asia, Cam bridge: Woodrow Wilson
International Centre for Scholars, hal. 243­52.
(20 0 5) “Conceptual Filters and Obfuscation in the Study of
Indonesian Politics”, Asian Studies Review , 29 (Desember): 345­56.
Lim , Merlyna (20 11) “@crossroads: Dem ocratization & Corporatization
of Media in Indonesia”, <http:/ / participatorym edia.lab.asu.edu/
iles/Lim_Media_Ford_2011.pdf>, dibaca 23/2/2012.
Lincoln, Sarah (20 0 8) “‘This Is My History’: Traum a, Testim ony, and
Nation-Building in the ‘New’ South Africa”, dalam A. Kaplan dan
B. Wang (ed.) Traum a and Cinem a; Cross-Cultural Explorations,
Hong Kong: Hong Kong University Press, hal. 25-44.
Lindsay, J ennifer (20 0 7) “The Perform ance Factor in Indonesian
Elections”, dalam Chua B-H (ed.), Elections as Popular Culture in
Asia, London: Routledge, hal. 55-71.
(20 0 9) “Pom p, Piety and Perform ance: Pilkada in Yogyakarta,
20 0 5”, dalam M. Erb dan P. Sulistiyanto (ed.) Deepening Dem ocracy
in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders, Singapura: Institute
of Southeast Asian Studies, hal. 211-28.
Listyaningsih, D. (1990) “Demam dan Menjerit ketika Nonton Film G30
S/ PKI”, Yogy a Post, 30 September: 3.
Lockhard, Craig (1998) Dance of Life; Popular Music and Politics in
Southeast Asia, Honolulu: University of Hawaii Press.
Lukens­Bull, Ronald (2007) “Commodiication of Religion and the
‘Religiication’ of Commodities: Youth Culture and Religious Iden­
tity”, dalam P. Kitiarsa (ed.), Religious Commodiications in Asia:
Marketing Gods, London: Routledge, hal. 220­34.
Macdonald, Dwight (1998) “A Theory of Mass Culture”, dalam J . Storey
(ed.), Cultural Theory and Popular Culture, edisi kedua, Athens: The
University of Georgia Press, hal. 22­36.
Mahdavi, Mojtaba (20 11) “Post-Islam ist Trends in Postrevolutionary
Iran”, Com parative Studies of South Asia, Africa and the Middle
East, 31(1): 94­109.

pustaka-indo.blogspot.com
Pustaka Acuan 325

Maliangkay, Roald (20 10 ) “The Effem inacy of Male Beauty in Korea”, The
N ew sletter, 55 (Musim Gugur/ Dingin): 6-7, <http:/ / www.iias.nl/
sites/default/iles/IIAS_NL55_0607.pdf>.
Marcoes-Natsir, Lies (20 12) “J ilbab, Identitas Kebangsaan, dan
Pem bajakan Makna”, wawancara, Republika, 17 J anuari.
Mardani (20 12) “MUI Nilai Ustaz Pesohor Kurang Mendidik Publik”,
Merdeka.com , <www.m erdeka.com / peristiwa/ m ui-nilai-ustaz-
pes0 hor-kurang-m endidik-publik.htm l>, diunggah 0 4/ 0 8/ 20 12,
dibaca 06/05/2013.
May, Brian (1978) The Indonesian Tragedy , London: Routledge dan
Kegan Paul.
Mbem be, Achille (1992) “The Banality of Power and The Aesthetic of
Vulgarity in the Postcolony”, Public Culture 4 (2): 1­30.
McBeth, J ohn dan Murray Hiebert (1996) “Try Next Door”, Far Eastern
Econom ic Review , 7 Maret: 17.
McDowell, Robin (20 0 9) “Successful Election Marks a Decade of
Dem ocracy”, The Jakarta Post, 9 April.
McGraw, Andrew (20 0 9) “The Political Econom y of the Perform ing Arts
in Contem porary Bali”, Indonesia and the Malay W orld, 37 (109):
299­325.
McLuhan, Eric dan Frank Zingrone (ed.) (1995) Essential McLuhan,
London: Routledge.
McLuhan, Marshall (1964) Understanding Media, edisi kedua, New
York: McGraw-Hill Book.
McVey, Ruth (1995) “Change and Continuity in Southeast Asian Studies”,
Journal of Southeast Asian Studies, 26 (1): 1-9.
Merdikaningtyas, Y.A. (20 0 6) “Dem am K-Dram a dan Cerita Fans di
Yogyakarta”, Clea, (9 Des): 41-60 .
Moham ad, Goenawan (1980 ) “Film Indonesia; Catatan Tahun 1974”,
Seks, Sastra, Kita, J akarta: Sinar Harapan, hal. 71-89.
Murray, Alison (1991) “Kam pung Culture and Radical Chic in J akarta”,
Review of Indonesian and Malay an Affairs, 25 (Musim Dingin): 1-16.
Mushthafa, M (20 0 8) “Perem puan Pesantren dan Sastra Islam ”, blog, dan
sebelum nya diterbitkan di Jurnal Srinthil (17/ 20 0 8), 20 / 12/ 20 0 8,
< h t t p :/ / r in d u p u la n g.b lo gs p o t .co m .a u / 2 0 0 8 / 12 / p e r e m p u a n -
pesantren-dan-sastra-islam .htm l>, dibaca 25/ 7/ 20 12.
Muzakki, Akh (20 0 7) “Islam as a Sym bolic Com m odity: Transm itting and
Consum ing Islam through Public Serm ons in Indonesia”, dalam P.
Kitiarsa (ed.), Religious Commodiications in Asia: Marketing Gods,
London: Routledge, hal. 20 5-19.

pustaka-indo.blogspot.com
326 Identitas dan Kenikmatan

Nazaruddin, Muzayin (20 0 8) “Islam Representations in Religious Elec-


tro nic Cinem as in Indonesia”, m akalah untuk konferensi Repre-
senting Islam : Com parative Perspectives, University of Manchester
dan the University of Surrey, Surrey (UK): 5-6 Septem ber 20 0 8.
Nilan, Pam (2006) “The Relexive Youth Culture of Devout Muslim
Youth in Indonesia” dalam P. Nilan dan C. Feixa (ed.) Global Youth?;
Hy brid Identities, Plural W orlds, London: Routledge, hal. 91-110 .
(20 0 9) “Contem porary Masculinities and Young Men in
Indonesia”, Indonesia and the Malay W orld, 37 (109): 327­44.
Nisa, Eva F. (20 12) “Em bodied Faith: Agency and Obedience am ong Face-
veiled University Students in Indonesia”, The Asia Paciic Journal of
Anthropology , 13:4, 366­81.
Nordholt, Henk S. (20 11) “Modernity and Cultural Citizenship in the
Netherlands Indies: An Illustrated Hypothesis”, Journal of Southeast
Asian Studies, 42(3): 435­57.
Nu’ad, Ism atillah A. (20 0 8) “‘Culture’ no Substitute”, The Jakarta Post,
26 Septem ber.
O’Connor, B. dan Klaus, E. (20 0 0 ) ‘Pleasure and Meaningful Discourse:
An Overview of Research Issues’, International Journal of Cultural
Studies, 3(3): 369–87.
Olliver, Chloe (20 0 4) “Reconciling NU and the PKI”, Inside Indonesia, 77
(J an-Feb), http:/ / www.insideindonesia.org/ edition-77/ reconciling-
nu-and-the-pki, dibaca 18/ 2/ 20 10 .
Oppenheim er, J oshua (20 12) “The Act of Killing – Context, Background,
Production and Method”, Catatan Produksi diterbitkan seiring
pemutaran ilm, dan bisa diakses lewat situs daring resmi produser
ilm ini di <http://theactofkilling.com/?page_id=682>.
dan Uwem edim o, Michael (20 0 9) “Show of Force: a Cinem a-
séance of Power and Violence in Sum atra’s Plantation Belt”, Critical
Quarterly , 51(1): 84-110 .
Otm azgin, Nissim K (20 0 7) “J apanese Popular Culture in East and
Southeast Asia: Tim e for a Regional Paradigm ?”, Ky oto Review of
South east Asia 8/ 9 (Maret/ Oktober), http:/ / kyotoreviewsea.org/
Issue_ 8-9/ Otm azgineng.htm l, dibaca 29/ 11/ 20 0 7.
(20 0 8) “Contesting Soft Power: J apanese Popular Culture in
East and Southeast Asia”, International Relations of the Asia-Paciic,
8(1): 73­101.
Ott, Brian L. (20 0 4) “(Re)locating Pleasure in Media Studies: Toward an
Erotics of Reading”, Com m unication and Critical/ Cultural Studies,
1(2): 194-212.

pustaka-indo.blogspot.com
Pustaka Acuan 327

Pambudy, Ninuk (2003) “Inul di Dalam Budaya Pop”, Kom pas, 5 Mei.
Param aditha, Intan (20 10 ) “Passing and Conversion Narratives: Ay at-
Ay at Cinta and Muslim Perform ativity in Contem porary Indonesia”,
Asian Cinem a, 21(2): 69-91.
Parlindungan, Utan (20 0 7) Musik dan Politik : Genjer-genjer, Kuasa,
dan Kontestasi Makna, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Pasaribu, Adrian J. (2013) “Jimat Sakti Bernama Nasionalisme”,
ilm indonesia, <http://ilmindonesia.or.id/movie /review/
rev51407eac4f63b_jimat­sakti­bernama­nasio nal isme#.UbEp­
px7xxU>, diunggah 13/03/2013, dibaca 16/3/2013.
Philpott, Sim on (20 0 0 ) Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory ,
Authoritarianism and Identity , Basingstoke: Macm illan.
Pinches, Michael (ed.) (1999) Culture and Privilege in Capitalist Asia,
London: Routledge.
Pink, J ohanna (ed.) (20 0 9) Muslim Societies in the Age of Mass
Consum ption, Newcastle upon Tyne: Cam bridge Scholars.
Pintak, Lawrence dan Setiyono, Budi (20 11) “The Mission of Indonesian
J ournalism : Balancing Dem ocracy, Developm ent, and Islam ic
Values”, International Journal of Press/ Politics, 16(2).
Pontoh, Coen (20 11) “Agam a dan Negara: J ejak Persilangan Kekerasan”,
Indo Progress, http:/ / indoprogress.com / agam a-dan-negara-jejak-
persilangan­kekerasan/, diunggah 4/10/2011, dibaca 11/6/2013.
Pradityo, Sapto dkk. (20 0 8) “Ki Sudrun di Layar Beling”, Tem po, 37 (15).
Prasetyantoko, A (1999) Kaum Professional Menentang Rezim Otoriter,
J akarta: Grasindo.
Pravitta, G.M.M. (20 0 4) “Menonton Perem puan Penonton Meteor
Garden”, Clea (6 Des-J an): 1-29.
Purdey, J em m a (20 0 6) Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999,
Singapore: ASAA-SEA Publications Series dan Singapore University
Press.
Purs, Dicky (2013) “Penghayatan Ke­Indonesia­an Usmar Ismail”, Kultur-
Majalah, http://kultur­majalah.com/index.php/ilm­sosok/304­
penghayatan­ke­indonesia­an­usmar­ismail, dibaca 9/3/2013.
Purwadi, Budiawan (2003) Breaking the Im m ortalized Past; Anti-
Com m unist Discourse and Reconciliatory Politics in Post-Suharto
Indo nesia, disertasi tidak dipublikasikan, Singapura: National Uni-
versity of Singapore.
Raiq, Ahmad (2009) “Diprotes Gara­gara Lagu Genjer­genjer”, Koran
Tem po, 15 Septem ber.

pustaka-indo.blogspot.com
328 Identitas dan Kenikmatan

Rahardjo, Agus (20 0 4) “Spanduk Antikom unis Bertebaran di Surabaya”,


Koran Tem po, 1 Oktober.
Rahim , Lily Z. (20 11) “Towards a Post-Islam ist Secular Dem ocracy in the
Muslim World”, m akalah untuk Contem porary Challenges of Politics
Research Workshop, 31/10/2011, Crowne Plaza Hotel Coogee Beach,
Coogee, NSW, Australia.
Ramadhan, Said (2003) “Ideologi Pasar dalam Tayangan Ramadhan?”
Kom pas, 27 Oktober.
Rani, Mohd. Zariat Abdul (20 12): “Islam , Rom ance and Popular Taste in
Indonesia”, Indonesia and the Malay W orld, 40(116): 59­73.
Rayner, Philip (20 0 6) “A Need for Postm odern Fluidity?” Critical Studies
in Media Com m unication, 23 (4, Oktober): 345­9.
Renan, Ernest (1990 ) ‘What is A Nation?’, Martin Thom (penerjemah),
Nation and Narration, H. Bhabha (ed.), London: Routledge, hal. 8– 22.
Ricklefs, M (20 0 1) A History of Modern Indonesia since c.120 0 , third
edition, Basingstoke, Ham pshire: Palgrave Macm illan.
Rinaldo, Rachel (20 0 8) “Muslim Wom en, Middle Class Habitus, and
Modernity in Indonesia”, Contem porary Islam , 2 (1): 23­39.
Risalah Mujahidin (20 0 8) “Misi Pluralism e di Balik Novel Ayat-ayat
Cinta”, 17 (Feb-Maret).
Robinson, Geoffrey (1995) The Dark Side of Paradise : Political Violence
in Bali, Ithaca, NY: Cornell University Press.
Robison, Richard (1990 ) “Problem s af Analysing the Middle Class as a
Political Force in Indonesia”, dalam R. Tanter dan K. Young (ed.) The
Politics of Middle Class Indonesia, Clayton: Centre of South-East
Asian Studies, Monash University, hal. 127­37.
dan Goodm an, David (ed.) (1995) Mobile Phones, McDonalds and
Middle-class Revolution, London: Routledge.
Rogers, Benedict (20 11) “Could Indonesia ‘Pakistanize’?”, The W all Street
Journal, 8 J uni.
Roosa, J ohn (20 0 6) Pretext for Mass Murder; The Septem ber 30 th Move-
m ent & Suharto’s Coup D’etat in Indonesia, Madison: The University
of Wisconsin Press.
(20 0 9) “Bibliography on the Events of 1965-66 in Indonesia”,
weblog Institut Sejarah Sosial Indonesia, <http:/ / sejarahsosial.
org/?p=38>, dibaca 6/2/2010.
, Ratih, A, dan Farid, H. (ed.) (20 0 4) Tahun y ang tak Pernah
Berakhir: Mem aham i Pengalam an Korban 65; Esei-esei Sejarah
Lisan, J a karta: Elsam , Tim Relawan untuk Kem anusiaan, dan Insti-
tut Sejarah Sosial Indonesia.

pustaka-indo.blogspot.com
Pustaka Acuan 329

Rosidi, Ajip (1967) “Peranan Sastra dan Pem bangunan Bangsa”, Horison
2(9):283­86.
(1985) Anak Tanahair: Secercah Kisah, J akarta: Gram edia.
Rudnyckyj, Darom ir (20 0 9) “Spiritual Econom ies: Islam and Neo-
liberalism in Contem porary Indonesia”, Cultural Anthropology , 24
(1): 10 4– 41.
Rutherford, Anne (20 0 6) “Garin Nugroho: Didong, Cinem a and the
Em bodim ent of Politics in Cultural Form ”, Screening the Past, 20 ,
<www.latrobe.edu.au/ screen in gth epast/ 20 / garin -n ugroho.htm l>,
dibaca 12/ 2/ 20 10 .
Ryter, Loren (1998). “Pem uda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of
Suharto’s Order?”, Indonesia, 66 (Okt): 47­73.
(20 0 2) Youth, Gangs, and the State in Indonesia, skripsi doktoral
tak diterbitkan, diajukan di University of Washington.
(20 0 5) “Reform asi Gangsters”, Inside Indonesia, <http:/ / www.
in sid ein d on esia.or g/ weekly-ar ticles-8 2-apr -ju n -20 0 5/ r efor m asi-
gangsters­2407177>, diunggah 1/4/2005, dibaca 15/3/2012.
(20 0 9) “Their Mom ent in the Sun: The New Indonesian
Parliam entarians from the Old OKP”, dalam G. van Klinken dan J .
Barker (ed.) State of Authority : The State in Society in Indonesia,
Ithaca: Cornell Southeast Asia Program , hal. 181-218.
Sai Siew­Min dan Hoon Chang­Yau (ed.) (2013) Chinese Indonesians
Reassessed; History , Religion and Belonging, London: Routledge.
Said, Salim (1982) Proil Dunia Film Indonesia, Jakarta: Graiti Pers.
Salm on, Claudine (1981) Literature in Malay by the Chinese of Indonesia,
Paris: Association Archipel.
Saluz, Claudia (20 0 7) Islam ic Pop Culture in Indonesia; An Anthro-
polo gical Field Study on Veiling Practices am ong Students of
Gadjah Mada University of Yogy akarta, Bern: Institut für Sozial-
anthropologie, Universität Bern.
Saraswati, Muninggar Sri (20 0 4) “Ex-PKI Mem bers Regain Rights”, The
Jakarta Post, 25 Februari.
Sasongko, Haryo dan Budianta, Melani (2003) Menem bus Tirai Asap;
Kesaksian Tahanan Politik 1965, J akarta: Am anah-Lontar.
Sasono, Eric (2008a) “Fenomena Ayat-ayat Cinta”, Koran Tem po, 28 Maret.
(20 0 8b) “Pertemuan Baru Islam dan Cinta”, Kom pas, 4 April.
(20 10 ) “Islam ic-them ed Film s in Contem porary Indonesia:
Commodiied Religion or Islamisation?”, Asian Cinem a, 21(2): 48-68.
(20 12) “Mencatat Film Tahun 20 11”, Rum ah Film , <http:/ /
n ew.r u m ah film .or g/ ar tikel-featu r e/ m en catat-film -tah u n -20 11> ,
diunggah 10 / 1/ 20 12, dibaca 27/ 12/ 20 12.

pustaka-indo.blogspot.com
330 Identitas dan Kenikmatan

Satrio, BE (20 0 2) “Ketakutan Yang Tak Kunjung Pudar”, Kom pas, 30


Septem ber.
(2003) “Nasib Komunisme, Si Hantu Laten”, Kom pas, 4 Agustus.
(20 0 7) “Rating Tak Cerm inkan Mutu Sinetron”, Kom pas, 30
Desem ber.
Schm idt, Leonie (20 12): “Urban Islam ic Spectacles: Transform ing the
Space of the Shopping Mall during Ram adan in Indonesia”, Inter-
Asia Cultural Studies, 13(3): 384­407.
Scott, Peter Dale (1986) “The United States and the Overthrow of Sukarno,
1965-1967”, Paciic Affairs, 58 (2, Summer): 239­64.
Sen, Krishna (1991) “Si Boy Looked at J ohnny: Indonesian Screen at the
Turn of the Decade”, Continuum , 4 (2): 136­51.
(1994) Indonesian Cinem a; Fram ing the New Order, London:
Zed Books.
(20 0 6) “‘Chinese’ Indonesians in National Cinem a”, Inter-Asia
Cultural Studies, 7 (1): 171-84.
dan Hill, David (20 0 0 ) Media, Culture and Politics in Indonesia,
Melbourne: Oxford University Press.
Setijadi-Dunn, Charlotte (20 0 5) “Questioning Proxim ity; East Asian TV
Dram as in Indonesia”, Media Asia 32(4): 197­202.
(2013) “Chineseness, Belonging and Cosmopolitan Subjectivities
in Post-Suharto Independent Film s”, dalam S.M. Sai dan C.Y. Hoon
(ed.), Chinese Indonesians Reassessed; History , Religion and
Belonging, London: Routledge, hal. 65-82.
dan Barker, Thom as (20 10 ) “Im agining ‘Indo nesia’: Ethnic Chi-
nese Film Producers in Pre-independence Cinem a”, Asian Cinem a,
21(2): 25-47.
Setiyono, Budi (20 0 8) Iklan dan Politik; Menjaring Suara dalam Pem i-
lihan Um um , J akarta dan Yogyakarta: AdGoal.com dan Galang Press.
Shim , Doobo, Heryanto, Ariel, dan Siriyuvasak, Ubonrat (ed.) (20 10 ) Pop
Culture Form ations Across East Asia, Seoul: J im oondang.
Shim , Doobo (20 0 6) “Hybridity and the Rise of Korean Popular Culture
in Asia”, Media, Culture & Society , 28(1): 25-44.
Shin Hyunjoon (20 0 9) “Have You Ever Seen the Rain? And Who’ll Stop
the Rain?: the globalizing project of Korean pop (K-pop)” Inter-Asia
Cultural Studies 10(4): 507­23.
Siahaan, Arm ando (20 0 9) “The Forgotten History of 1965”, Jakarta
Globe, 30 Juni, <www.thejakartaglobe.com/culture/the­forgotten­
history­of­1965/315358>, dibaca 17/2/2010.

pustaka-indo.blogspot.com
Pustaka Acuan 331

Sianipar, Tito (20 10 ) “Tergila-gila Serba Korea”, Tem po, 1 Novem ber,
<http://majalah.tempo.co/konten/2010/11/01/GH/134954/
Tergila­gila­Serba­Korea/36/39>, dibaca 1/11/2010.
Siregar, Bakri (1964) Sedjarah Sastera Indonesia Modern, Djakarta:
Akadem i Sastera dan Bahasa Multatuli.
Siriyuvasak, Ubonrat dan Shin, H., J . (20 0 7) “Asianizing K-pop: Pro duc-
tion, Consumption and Identiication Patterns among Thai Youth”,
Inter-Asia Cultural Studies, 8 (1): 109­36.
Sm ith, Wendy (20 0 8) “Asian New Religious Movem ents as Global
Organisations”, IIAS Newsletter (47/Musim Semi): 3.
Sm ith-Hefner, Nancy J . (20 0 7) “J avanese Wom en and the Veil in Post-
Soeharto Indonesia “, The Journal of Asian Studies, 66 (2/ Mei):
389–420.
(20 0 9) “‘Hypersexed’ Youth and the New Muslim Sexology in
J ava, Indonesia”, Review of Indonesian and Malay sian Affairs,
43(1): 209­44.
Southwood, Julie dan Flanagan, Patrick (1983) Indonesia: Law , Propa-
ganda and Terror, London: Zed Press.
Storey, J ohn (20 0 6) Cultural Theory and Popular Culture, New York:
Pearson Prentice Hall.
Strassler, Karen (20 0 8) “Cosm opolitan Visions: Ethnic Chinese and the
Photographic Im agining of Indonesia in the Late Colonial and Early
Postcolonial Periods”, Journal of Asian Studies, 67(2/Mei): 395–432.
Strinati, Dom inic (20 0 4) An Introduction to Theories of Popular Culture,
London: Routledge.
Suara Merdeka (20 0 4) “98 Lukisan Berlam bang Palu Arit Dibredel”, 11
Desem ber.
Subianto, Benny (1993) “Tahun Baru Imlek: Boleh atau Tidak’?”, Jakarta-
Jakarta, 344 (30 Januari­5 Februari): 24­5.
Subijanto, Rianne (20 11) “The Visibility of a Pious Public”, Inter-Asia
Cultural Studies, 12(2): 240­53.
Sulistyo, Herm awan (20 0 0 ) Palu Arit di Ladang Tebu, J akarta: Kepus-
takaan Populer Gram edia.
Sum ardjo, J akob (1981) “Sum bangan Golongan Tionghoa daIam Sastra
Indonesia”, Sinar Harapan, 14 Novem ber: 6.
(1983) “Sastra Melayu­rendah Indonesia”, Horison (18)77: 325­36.
(1985) “Sastra Minoritas”, Kom pas, 3 Februari: 8.
(198 6) “Masalah Sastra Melayu-Ren dah”, Kom pas, 23 Novem­
ber: 10 .

pustaka-indo.blogspot.com
332 Identitas dan Kenikmatan

Suryadinata, Leo (1985) “Governm ent Policies towards the Ethnic


Chinese: A Com parison between Indonesia and Malaysia”, Southeast
Asia Journal of Social Sciences, 13 (2): 15­28.
Suryakusum a, J ulia (20 0 8) “Interest in a J ilbab?”, Tem po, 3 (IX), 16­22
Septem ber.
Sutisna, Nanang (20 0 7) “295 Buku Sejarah tanpa ‘PKI’ Dim usnahkan”,
Koran Tem po, 24 J uli.
Sutton, Anderson (20 11) “Music, Islam, and the Commercial Media in Con-
tem porary Indonesia”, dalam A. Weintraub (ed.), Islam and Popu lar
Culture in Indonesia and Malay sia, London: Routledge, hal. 85-10 0 .
Suwarni, Yuli Tri (20 0 6) “Police Break up Discussion on Marxism ”, The
Jakarta Post, 17 Desem ber.
Suyono, Seno dan Septian, Anton (20 0 8) “Seribu Tangis untuk
Fachri”, Tem po Online, <http:/ / m ajalah.tem pointeraktif.com /
id/arsip/2008/03/10/FL/mbm.20080310.FL126587.id.html>,
diunggah 10/3/2008, dibaca 27/4/2012.
Syahirul, Anas (20 0 7) “Solo Razia Buku Bergam bar Palu-Arit”, Koran
Tem po, 8 Agustus.
Syaifullah, Muham m ad (20 0 9) “Saya Cinta Kiai dan Pesantren”, wawan-
cara dengan Abidah El Khalieqy, Koran Tem po, 15 Februari.
Tan, Paige J ohnson (20 0 8) “Teaching and Rem em bering”, Inside
Indonesia, 92 (Apr-J un), <www.insideindonesia.org/ edition-92/
teaching-and-rem em bering>, dibaca 17/ 2/ 20 10 .
Tanter, Richard dan Young, Kenneth (ed.). (1990 ). The Politics of Middle
Class Indonesia, Melbourne: Monash University, Centre of Southeast
Asian Studies.
TAPOL Bulletin (1989) “Looking back at Super Semar”, 92 (April): 11­13.
Tauiq, Rohman (2009) “Massa FPI Geruduk Kantor Jawa Pos”, Koran
Tem po, 3 September.
Tauiqurrahman, M. (2005) “‘Das Kapital’ Unveiled in Bahasa Indonesia”,
The Jakarta Post, 21 Februari.
Taylor, R.H. (1996a) “Introduction: Elections and Politics in Southeast
Asia”, dalam R.H Taylor (ed.) The Politics of Elections in Southeast
Asia, Cam bridge: Woodrow Wilson International Centre for Scholars,
hal. 1-11.
(ed.) (1996b) The Politics of Elections in Southeast Asia,
Cam bridge: Woodrow Wilson International Centre for Scholars.
Tem po (1981) “Pem bakaran”, 14 Novem ber: 14.
(1984) “Penghianatan, Bersejarah dan Berdarah”, 7 April, 6(14):
78-79.

pustaka-indo.blogspot.com
Pustaka Acuan 333

(1985) “Suara Rakyat Setelah 40 Tahun”, 25 (25/ 17 Agustus).


(2000) “Tanda Tanya untuk G30s ‘Versi Resmi’“, 29 (31/2­8
Oktober).
(2007) “Kaya Dunia, Selamat Akhirat”, editorial, 33 (XXXVI/8­14
Oktober).
(20 12a) “Indonesia di J agad Maya”, 41 (1/ 11 Maret): 12.
(20 12b) “Film Mandarin Kem bali Berjaya”, 22 J uli: 18.
(2013) “Mengawal Penyiaran Bermartabat”, 42 (13): 86­87.
Thom as, Pradip dan Lee, Philip (ed.) (20 12) Global and Local
Televangelism , New York: Palgrave Macm illan.
Tickell, Paul (1987) “The Writing of Indonesian Literary History, Review
of Indonesian and Malay an Affairs (RIMA) 21(1): 29­43.
(20 0 9) “Indonesian Identity after the Dictatorship: Im a gining
Chineseness in Recent Literature and Film ”, dalam M. Sakai, G. Banks,
dan J . Walker (ed.), The Politics of the Periphery in Indonesia: Social
and Geographical Perspectives, Singapura: National University of
Singapore Press, hal 274-95.
Tobing, Sorta dan Budiartie, Gustidha (20 12) “Invasi Korea”, TEMPO, 13
Mei: 68-70 .
Toer, Pram oedya A. (1982) Tem po Doeloe, J akarta: Hasta Mitra.
(1985) Jejak langkah. J akarta: Hasta Mitra.
(1987) Hikay at Siti Mariah, sebuah Kisah oleh Haji Mukti,
J akarta: Hasta Mitra.
Tom sa, Dirk (20 12) “Moderating Islam ism in Indonesia: Tracing Patterns
of Party Change in the Prosperous J ustice Party”, Political Research
Quarterly , 65(3): 486­98.
Trem blay, Gaetan (20 12) “From Marshall McLuhan to Harold Innis, or
From the Global Village to the World Em pire”, Canadian Journal of
Com m unication, 37: 561­75.
Turner, Bryan (20 0 6) “Religion”, Theory Culture Society , 23 (2­3): 437­55.
(20 0 7) “Religious Authority and the New Media”, Theory , Culture
& Society , 24(2): 117­34.
Turner, Caroline (20 0 7) “Wounds in Our Hearts; Identity and Social
J ustice in the Arts of Dadang Christanto”, dalam K. Robinson (ed.),
Asian And Paciic Cosmopolitans: Self and Subject in Motion,
London: Palgrave, hal. 77-99.
Utom o, Paring Waluyo (20 0 5) “Genjer-genjer dan Stigm atisasi Kom unis”,
Sinar Harapan, 23 April.
Van Dijk, Cees (1977) “The Indonesian Elections”, Review of Indonesian
and Malay sian Affairs 11(2): 1-44.

pustaka-indo.blogspot.com
334 Identitas dan Kenikmatan

Van Heeren, Katinka (20 0 2) “Revolution of Hope: Independent Film s are


Young, Free and Radical”, Inside Indonesia 70 (April-J uni).
(20 0 7) “Return of the Kyai: Representations of Horror, Com m erce,
and Censorship in Post-Suharto Indonesian Film and Television”,
Inter-Asia Cultural Studies, 8(2): 211-26.
(20 12) Contem porary Indonesian Film : Spirits of Reform and
Ghosts from the Past, Leiden: KITLV Press.
Van Leeuwen, Lizzy (20 11) Lost in Mall; an Ethnography of Middle-class
Jakarta in the 1990 s, Leiden: KITLV Press.
Vickers, Adrian (20 0 9) “Fram es and Public Reasoning: What Do De-
bates about the Coup and Killings Tell Us about Indonesian Public
Culture?”, m akalah untuk konferensi “The 1965-1966 Indonesian
Killings Revisited”, 17-19 J uni 20 0 9, Singapura.
Wallach, J erem y (20 0 8) Modern N oise, Fluid Genres; Popular Music in
Indonesia, 1997-20 0 1, Madison: University of Wisconsin Press.
Watson, C.W. (1971) “Som e Prelim inary Rem arks on the Antecedents of
Modern Indonesian Literature”, Bijdragen, (4) 127, hal. 417­33.
Weintraub, Andrew N. (20 0 6) “Dangdut Soul: Who are ‘the People’ in
Indonesian Popular Music?”, Asian Journal of Com m unication, 16
(4): 411­31.
(20 0 8) “‘Dance Drills, Faith Spills’: Islam , Body Politics, and
Popular Music in Post-Suharto Indonesia, Popular Music, 27(3):
367–92.
(20 10 ) Dangdut Stories: A Social and Musical His tory of
Indonesia’s Most Popular Music, New York: Oxford University Press.
(ed.) (20 11) Islam and Popular Culture in Indonesia and
Malay sia, London: Routledge.
Wertheim , W.F. (1979) “Whose plot? -- New light on the 1965 events”,
Journal of Contem porary Asia, 9( 2) 197-215.
Widodo, Am rih (20 0 2) “Consum ing Passions; Millions of Indonesians
Must Watch Soap Operas”, Inside Indonesia, 72 (Okt-Des), <http:/ /
insideindonesia.org/content/view/351/29/>, dibaca 16/7/2004.
(20 0 8) “Writing for God; Piety and Consum ption in Po pular
Islam ”, Inside Indonesia, 93 (Agt­Okt), <http://insideindonesia.org/
content/ view/ 1121/ 47/ >, dibaca 28/ 9/ 20 0 8.
Wieringa, Saskia (20 11): “Sexual Slander and the 1965/ 66 Mass Killings
in Indonesia: Political and Methodological Considerations”, Journal
of Contem porary Asia, 41(4): 544-65.
Wijayanta, Hanibal (20 0 4) “J alan Berliku Dua Seteru”, Tem po, 33(1).

pustaka-indo.blogspot.com
Pustaka Acuan 335

William s, Raym ond (1980 ) Problem s in Materialism and Culture,


London: Verso.
Wilson, Ian (20 0 6) “Continuity and Change; the Changing Contours of
Organized Violence in Post-New Order Indonesia”, Critical Asian
Studies, 38(2): 265­97.
(20 0 8) “‘As Long As It’s Halal’: Islam ic Prem an in J akarta”,
dalam G. Fealy dan S. White (ed.) Expressing Islam ; Religious Life
and Politics in Indonesia, Singapura: ISEAS, hal. 192-210 .
(2011) “Reconiguring Rackets; Racket Regimes, Protection and
the State in post-New Order J akarta”, dalam E. Aspinall dan G. van
Klinken (ed.), The State and Illegality in Indonesia, Leiden, KITLV
Press, hal. 239­59.
Winet, Evan (20 10 ) Indonesian Postcolonial Theatre, London: Palgrave
Macm illan.
World Bank, The (2013) “Indonesia Overview”, <www.worldbank.org/
en/country/indonesia/overview>, dibaca 2/6/2013.
Wright, Erick (1987) Classes, London and New York: Verso.
(ed.) (1989) The Debates on Classes. London dan New York:
Verso.
Yang, Irene Fang-chih (20 0 8) “Engaging with Korean Dram as: Discourses
of Gender, Media, and Class Form ation in Taiwan”, Asian Journal of
Com m unication, 18(1): 64-79.
Yilm az, Ihsan (20 11) “Beyond Post-Islam ism : Transform ation of
Turkish Islamism Toward ‘Civil Islam’ and Its Potential Inluence
in the Muslim World”, European Journal of Econom ic and Political
Studies, 4 (1): 245-80 .
Yuliawan, Krisnadi (20 12) “The Last Decade of Indonesian Films: Is it Voice-
less? Or is it being Lost in Voicing Indonesia?”, Rum ah Film , <http:/ /
new.rumahilm.org/esai­opini/the­last­decade­of­indonesian­ilms­
is-it-voiceless-or-is-it-being-lost-in-voicing-indonesia>, diunggah 17
/ 5/ 20 12, dibaca 27/ 12/ 20 12.
Yum iyanti, Iin (20 0 8) “Kisah Fahri Hipnotis J utaan Orang”, detikNew s,
18 Maret.
Zurbuchen, Mary (20 0 2) “History, Mem ory, and the ‘1965 Incident’ in
Indonesia”, Asian Survey , 42 (4): 564-82.
(ed.) (20 0 5) Beginning to Rem em ber; the Past in the Indonesian
Present, Singapura dan Seattle: Singapore University Press dan
University of Washington Press.

pustaka-indo.blogspot.com
336 Identitas dan Kenikmatan

Daftar ilm/video

• ? (Indonesia 20 11, Hanung Bram antyo)


• 30 Hari Mencari Cinta (Indonesia 2003, Upi Avianto)
• 40 Years of Silence (USA 20 0 9, Robert Lem elson)
• 5 cm (Indonesia 20 12, Rizal Mantovani)
• Ada Apa dengan Cinta? (Indonesia 20 0 2, Rudi Soedjarwo)
• African Jim (South Africa 1949, Donald Swanson)
• Al Kautsar (Indonesia 1977, Chaerul Um am )
• Ay at-Ay at Cinta (Indonesia 20 0 8, Hanung Bram antyo)
• Bukan Sekedar Kenangan (Indonesia 1998, J onggi Sihom bing)
• Bunga-tem bok (Indonesia 2003, Yayan Wiludiharto)
• Ca-bau-kan (Indonesia 20 0 2, Nia Dinata)
• Catatan Harian Si Boy (Indonesia 20 11, Putram a Tuta)
• Catatan Si Boy (Indonesia 1987, Nasri Cheppy)
• Dalam Mihrab Cinta (Indonesia 20 10 , Habiburrahm an El Shirazy)
• Darah dan Doa (Indonesia 1950 , Usm ar Ism ail)
• Darah Garuda - Merah Putih II (Indonesia 20 10 , Conor Allyn dan
Yadi Sugandi)
• Djakarta 1966 (Indonesia 1982, Ariin C. Noer)
• Djedjak Darah: Surat Teruntuk Adinda (Indonesia 20 0 4, Markus
Aprisiyanto)
• Eliana, Eliana (Indonesia 20 0 2, Riri Riza)
• Fatahillah (Indonesia 1997, Chaerul Um am )
• Fitna (The Netherlands 20 0 8, Scarlet Pim pernel)
• Garuda di Dadaku (Indonesia 20 0 9, Ifa Isfansyah)
• Garuda di Dadaku 2 (Indonesia 20 11, Rudi Soedjarwo)
• Gie (Indonesia 20 0 5, Riri Riza)
• Hasduk Berpola (Indonesia 2013, Harris Nizam)
• Hati Merdeka - Merah Putih III (Indonesia 20 11, Conor Allyn dan Yadi
Sugandi)
• Janur Kuning (Indonesia 1979, Alam Sura)
• Jem batan Bacem (Indonesia 2013, Yayan Wiludiharto)
• Kado Untuk Ibu (Indonesia 20 0 4, Rum ekso Setiadi)
• Kaw an Tiba Senja: Bali Seputar 1965 (Indonesia 20 0 4, Kuntjara
Wim ba)

pustaka-indo.blogspot.com
Pustaka Acuan 337

• Ketika Cinta Bertasbih (Indonesia 20 0 9, Chaerul Um am )


• Kiam at Sudah Dekat (Indonesia 2003, Deddy Mizwar)
• King (Indonesia 20 0 9, Ari Sihasale)
• Koper (Indonesia 20 0 6, Richard Oh)
• Laskar Pelangi (Indonesia 20 0 8, Riri Riza)
• Mass Grave (Indonesia 20 0 2, Lexy Ram badeta)
• Melacak Jejak Berkabut (Indonesia 1998, J onggi Sihom bing)
• Meny em ai Terang Dalam Kelam (Indonesia 20 0 6, IPG Wiranegara)
• Merah Putih (Indonesia 20 0 9, Yadi Sugandi)
• N ada dan Dakw ah (Indonesia 1991, Chaerul Um am )
• N ancy Bikin Pem balesan (N jai Dasim a III) (Indonesia 1930, Lie Tek
Swie)
• N jai Dasim a (Indonesia 1929, Lie Tek Swie)
• N jai Dasim a II (Indonesia 1930, Lie Tek Swie)
• N y any ian Dua Bersaudara (Indonesia 1997, Dedi Setiadi)
• Pengkhianatan G 30 Septem ber (Indonesia 1984, Ariin C. Noer)
• Penum pasan Sisa-sisa PKI Blitar Selatan (Indonesia 1986, Bazar
Kadarjono)
• Perem puan Berkalung Sorban (Indonesia 20 0 9, Hanung Bram antyo)
• Perem puan Yang Tertuduh (Indonesia 2007, Lilik Munaidah)
• Plantungan (Indonesia 20 11, Fadillah Vam p Saleh dan Putu Oka
Sukanta)
• Puisi Tak Terkuburkan (Indonesia 1999, Garin Nugroho)
• Putih Abu-abu (Indonesia 20 0 6, Nendra Prim onik, Lessy Kum alawati,
Christian Yanuar, dan Muham m ad Azka Ram adhan)
• Putri Giok (Indonesia 1980 , Mam an Firm ansjah)
• Sang Pem im pi (Indonesia 20 0 9, Riri Riza)
• Sang Penari (Indonesia 20 11, Ifa Isfansyah)
• Sang Pencerah (Indonesia 20 10 , Hanung Bram antyo)
• Seni Ditating Jam an (Indonesia 20 0 8, IGP Wiranegara)
• Serangan Fajar (Indonesia 1981, Ariin C.Noer)
• Sinengker: Sesuatu Yang Dirahasiakan (Indonesia 20 0 7, Markus
Aprisiyanto)
• Soegija (Indonesia 20 12, Garin Nugroho)
• Sum pah Kesetiaan (Indonesia 1998, J onggi Sihom bing)
• Terjebak (Indonesia 1996, Dedi Setiadi)

pustaka-indo.blogspot.com
338 Identitas dan Kenikmatan

• Terlena: Breaking of a N ation (USA 20 0 4, Andre Vltchek)


• The Act of Killing (Denm ark 20 12, J oshua Oppenheim er)
• The Shadow Play (USA 20 0 1, Chris Hilton)
• The W om en and the Generals (The Netherlands 20 0 9, Maj
Wechselm ann)
• The Years of Living Dangerously (Australia 1983, Peter Weir)
• Titian Seram but Dibelah Tujuh (Indonesia 1982, Chaerul Um am )
• Tjidurian 19 (Indonesia 20 0 9, M. Abduh Aziz dan Lasja F. Susatyo)
• Tum buh Dalam Badai (Indonesia 20 0 7, IGP Wiranegara)

Pertunjukan panggung
• Opera Kecoa (Indonesia 1985, Nano Riantiarno)

pustaka-indo.blogspot.com
Indeks

5 cm , ilm 10 Aleida, Martin 166


11 Septem ber, peristiwa serangan Aliansi J urnalis Independen (AJ I)
48, 198, 213 154
30 Hari Mencari Cinta, ilm 269 Aljazair 62
40 Years of Silence, ilm 128 Al Kautsar, ilm 99
1965­66, pembantaian 32, 114- Am erika
116, 135-136, 143, 150 , 160 , budaya populer 52
169, 172, 173, 176, 20 2, 307 ilm 181, 192-193
gangster 181
A gaya hidup 10 1
im pian 10 5
industri hiburan 248
AA Gym 50
am erikanisasi 52
Aan, Alexander 43
Am in, Husnal 62
Act of Killing, The, ilm 136, 164,
174–193, 20 2 am nesia 5, 10
reaksi atas pem utaran 187 Anak Sem ua Bangsa, buku 94
Ada Apa dengan Cinta?, ilm 16, Anak Tanahair: Secercah Kisah,
42, 80 , 10 4 buku 173
Adalet ve Kalkinm a Partisi, atau Anantaguna, S. 166
AKP 65 Anderson, Benedict 20 7, 229
African Jim , ilm 29 “anti-fun-dam entalism e” 52
Afrika Selatan 29 anti-kom unis 6, 95, 114, 121-122,
Agusta, Leon 140 125-126, 131, 136, 142, 150 ,
Ahm ad, Yasm in 221 182-183, 193, 238
Albertus Magnus Soegijapranata dan anti-Tionghoa 20 2
SJ 43 global 20 5
al-Buchori, J effry 50 penyintas 150 , 173

pustaka-indo.blogspot.com
340 Identitas dan Kenikmatan

anti­pornograi 11, 64, 257 Beginning to Rem em ber: The


anti-subversi, undang-undang 94, Past in The Indonesian
126 Present, buku 158
anti-Tionghoa 20 2, 203, 237 Benjam in, Walter 159
anti-Tionghoa, sentim en 20 6, bias m askulin 24, 26, 299–300
251, 266 Bintang Kejora, bendera Papua
ANTV 18 Merdeka 8
Aprisiyanto, Markus 148 Biran, Misbach Yusa 230, 233,
Arab, budaya 72 234, 235
Arab Saudi 62 Blok Barat 25, 94, 114, 20 6
Ariefin, Raden 234 boikot, kampanye 193
Arief, Muham m ad 128 Bollywood 83, 84, 88, 10 8, 248
Ariin Ilham, Muhammad 51 Bowo, Fauzi 300
Ariin, Nurul 287 Boy s Over Flow er, serial televisi
artis di parlem en 286– 288 255
Ashura, hari berkabung 53 Bram antyo, Hanung 82, 84, 86-
Asia Barat 37 88, 90 -92, 95-97, 10 0 , 10 7,
Asia, nilai-nilai 249 212, 220
asianisasi 247– 254 Brenner, Suzanne 71
Asia Selatan 37 budaya m assa 24
Asia Tenggara 17, 250 , 251, 284 budaya pop 17, 217, 243, 245, 251
Asia Timur Laut 32, 263 budaya populer 21, 23–28, 32,
Asmara, Anjar 234 10 8, 245, 248, 249, 262-
Assange, J ulian 14 264, 274
Asshiddiqie, J im ly 129 Asia Tim ur 252, 268
Australia 6, 8, 9, 249 deinisi 21, 22
Australia, seorang m odel 72 industri 263
Ay at-Ay at Cinta, ilm 43, 46-47, islam i 46, 50 , 59, 75, 77, 98, 248
76, 79-85, 89, 90 , 92, 97, pemilu sebagai 297–304
99, 10 2, 10 4, 10 6, 253 Buddha, tradisi 34
Ay at-ay at Cinta, novel 83 Bukan Sekedar Kenangan, dram a
Aziz, Abduh 169, 170 – 172 televisi 122
Aziz, Imam 143 buku, pelarangan 124
Bum i Manusia, buku 94
B Bunga-tem bok, ilm 141
Burcher, Nick 15
Badan Pusat Statisik 265
Bakrie, Aburizal 18 C
Bank Dunia 20 6, 265
Baperki 20 5 Ca-bau-kan, ilm 220, 236
Baudrillard, Jean 293 Catatan Si Boy 76, 10 0 , 103- 10 5,
Bayat, Asef 39, 48, 50 , 57-59, 61, 10 8
63-65, 69 Cinta Pertam a, ilm 233

pustaka-indo.blogspot.com
Indeks 341

Colom adu, pabrik gula 154 83-86, 90 , 97, 10 0 , 10 7


Coppel, Charles 20 2, 20 6, 226 Endless Love: Autum n in My
Cribb, Robert 20 2 Heart, serial televisi 255
Cynn, Christine 175 esensialis 26, 212, 237, 249
etnisitas 236
D sebagai iksi 198–203
under erasure 20 1, 20 4– 212
etnis, pem bagian berdasarkan
Dahlan, Ahmad 43
hukum kolonial 199
Dahlan, Muhidin M. 95
etno­nasionalisme 235, 238
Dalam Mihrab Cinta, ilm 107
Darah dan Doa, ilm 222, 232,
233 F
Darah Garuda-Merah Putih II,
ilm 9 Facebook 13, 14, 19, 43, 56, 163,
Daratista, Inul 256 270
Darm awan, Hikm at 150 Fadillah, Himatul 302
Das Kapital 129 Fatahillah, ilm 99
Déjà Vu Production 148 fem inin 27, 266, 300
desa global 13, 298 festival ilm
Dewan Film Nasional 221 Bali International Film Festival
didaktism e 8, 97 148
didong, seni pantun Aceh 146 Festival Film Bandung 10 0
diskrim inasi oleh negara 20 0 Festival Film Indonesia 9, 42,
Djaja, Sjuman 238 81, 148, 150, 193
Djakarta 1966, ilm 119 Fethullah Güllen, gerakan pen-
Djarot, Eros 153 didikan 63
Djaya, Sjum an 219 ilm dokumenter 118, 128, 135-
Djedjak Darah: Surat Teruntuk 136, 139, 141-142, 149, 151,
Adinda 128, 147, 149 188-189
dram a televisi Korea 254, 272 ilm indie 133
Film Indonesia, situs daring 46
E ilm, industri 9, 16-17, 42-43, 46,
78, 132-133, 193, 195, 20 4,
213-214, 230-231, 234,
Effendi, Basuki 235
238-239
ekstrem is kanan 44
distribusi ilm 194
ekstrem is kiri 44
percaloan tiket 189, 194, 195
Eliana, Eliana, ilm 133
ilm, sebagai media propaganda
El Khalieqy, Abidah 91, 92, 10 9
114– 125, 175
El Sadawi, Nawal 92
Fitna, ilm 81
Elsam (Lem baga Studi dan Ad-
Flower Four, boy band 255, 256
vokasi Masyarakat) 141
“Forgotten History of 1965”, lapo-
El Shirazy, Habiburrahm an 46,
ran 172

pustaka-indo.blogspot.com
342 Identitas dan Kenikmatan

Forum Lingkar Pena 85, 10 9 ilm 9


Front Pem bela Islam (FPI) 10 7, Hatley, Barbara 148, 149
126, 130, 192 Herb Feith Foundation 6
Full House, serial televisi 255, hibrid 3, 83, 10 8, 235, 250 , 263,
259 264, 266, 270 , 276
Hindia Belanda 198, 223, 238,
G 240
Hindu 34, 112
hiper-nasionalism e 5, 10
Garuda di Dadaku 2, ilm 9
Hizbullah Bulan Bintang 153
Garuda di Dadaku, ilm 9
Hobart, Mark 20
gaya hidup 26-28, 39, 63, 79, 10 1,
Hobsbawm , Eric 20 7
253, 260 , 264
Hollywood 16, 150 , 182, 192, 249,
bertakwa 57
252, 261, 262, 274
Gelombang Korea 243
hukum adat 226
Genjer-Genjer, lagu 127, 128, 131
Hukum Dagang dan Sipil Eropa
Gerwani (Gerakan Wanita Indo-
226
nesia) 121, 127, 142
hukum syariah 45, 61, 67, 112
Gie, ilm 9, 128, 135, 149, 173,
220 , 269
Global TV 18 I
Goethe Institut 166
Golkar 18, 67, 287, 302 Ilham, Muhammad Ariin 51
Guardian, The 16 Imagined Communities: Relec-
tions on the Origin and
H Spread of Nationalism ,
buku 20 7
Im anjaya, Ekky 91– 92
Habibie, B.J . 66, 122, 129, 222
Im lek, Tahun Baru 6, 20 8, 267
Habibie, J unus Effendi 82
India 15, 234
hak asasi m anusia 25, 45, 114,
indie, ilm 133
139, 141-143, 157, 159, 187
Indonesia keturunan India 84,
Hakim, Christine 233
20 0 , 20 1
hak sipil 47, 114, 203
Indonesian Idol 20 , 299
halal, produk 41
industrialisasi 24– 25
Hallyu Explosion 20 10 270
Institut Kesenian J akarta (IKJ )
Ham id, Am arzan Ism ail 166
221
Hana Yori Dango, m anga 255
International Monetary Fund
Hanung 95
(IMF) 20 6
Hari Film Nasional 222
Invention of Tradition,The, buku
Hari Hak Asasi Manusia Interna-
20 7
sional 187
Iram a, Rhom a 46
Hasduk Berpola, ilm 10
Iran 50 , 52, 56, 59-62, 68
Hati Merdeka-Merah Putih III,
Ishadi SK 17

pustaka-indo.blogspot.com
Indeks 343

Iskan, Dahlan 18, 130, 131 kebarat-baratan 26


Iskandar, T. 166 kedekatan budaya, tesis 262,
Islam is 28, 52, 57– 68 262– 266, 273
islam isasi 11 ke­indonesia­an, deinisi 222
Islam ism e 266 Kejaksaan Agung 94, 95, 114, 124,
Islam radikal 123 127
Ismail, Tauiq 95 kekuatan rakyat (people power)
Ism ail, Usm ar 219, 222, 223, 231, 70 , 185
232, 235, 238 kelas
kapitalis 20 6
J kelas bawah 243, 274, 296, 306
kelas menengah 23, 26, 27, 28
kelas pekerja 254
Jagal. Lihat Act of Killing, The
pem bagian 51
Jawa, bangsawan 236
warga negara kelas dua 261,
Jawa Pos Group 130
300
Jem batan Bacem , ilm 141
kelas dua, gender 300
J epun Klopak Enam 141
kem urnian 52, 61
jihad 10 5, 127, 131, 192
kerusuhan m assa 20 1, 20 9
jilbab 45, 71–73, 90 , 270 , 272,
Ketika Cinta Bertasbih, ilm 76,
275
89, 96-10 0 , 10 7
Ketika Cinta Bertasbih II, ilm 98
K Khalid, Am r 50
khalwat 96
KabarN et, jurnal 95 Kiam at Sudah Dekat, ilm 76,
Kadir, Ibrahim 146 10 0 , 10 1, 10 2
Kado Untuk Ibu, ilm 142, 148 Kiemas, Tauiq 287
kair 54–55 King, ilm 9
kajian budaya 294, 301 Kokoschka, Alina 40
Kalla, J usuf 81 Kom arudin, Ade 287
Kam io, Yoko 255 Kom isi Nasional Anti Kekerasan
Kampanye Damai 300 Terhadap Perem puan 142
kapitalis 20 6, 260 Kom isi Nasional Hak Asasi Manu-
kapitalisme 30, 39, 48, 54, 61, 73, sia (Kom nas HAM) 114
260 Kom isi Pem ilihan Um um (KPU)
kapitalisme global 38, 40 , 228 285
Karno, Rano 287 Kom pas, surat kabar 123, 300
Karya, Teguh 215, 217, 220 , 233, kom unis 44, 113, 121, 124-126,
238 148, 193-194, 203
Kaw an Tiba Senja: Bali Seputar dan Islam 130, 143
1965, ilm 141 pengkhianatan oleh 124
kaya baru, orang 48, 51, 54, 10 5, perm usuhannya terhadap Mus-
217 lim 121

pustaka-indo.blogspot.com
344 Identitas dan Kenikmatan

persekutuan dengan Islamis 113 Leninism e 129


propaganda 95, 151 Leslie, Michelle 72
sebagai m akian 122 Lesm ana, Mira 9
kom unism e liberalisme 30, 34, 45, 88, 10 8,
pelarangan buku diduga ber- 159
m uatan 124 lifesty ling, siasat 26
konsumerisme 39, 41 Lincoln, Sarah 159
Koper, ilm 215 lintas­etnis 143, 198, 225, 236,
KOPKAMTIB (Kom ando Operasi 253
Pem ulihan Keam anan dan lisan, m asyarakat berkiblat
Ketertiban) 118 komunikasi 134, 162, 281,
Korea Selatan 32, 243-244, 250 , 281–283
251, 254, 259, 267-268, LKiS 58
276, 307 logika kapitalis 39
Korps Hizbullah Divisi Sunan logika m utlak-m utlakan 162
Bonang 127 Long March of Siliw angi, The,
korupsi 25, 72-73, 123, 185, 299 ilm 222
kosmopolitan 3, 39, 225, 227, Lord of The Rings, The, ilm 16
233, 236, 240 , 307
K-Pop 245-246, 252-254, 263- M
266, 270 -271, 275-277
krisis ekonom i 1998 15
Madiun 1948, peristiwa 124
Kristanto, J .B. 215
Mahdavi, Mojtaba 60
kudeta 120
Mahkam ah Konstitusi 129, 130
Majelis Ulam a Indonesia (MUI)
L 30, 91
Making Islam Dem ocratic: Social
lagu kebangsaan 9 Movem ent and the Post-
Laksono, Agung 124, 287 Islam ist Turn, buku 58
Lane, Max 168, 169, 171 Malayan Film Board (MFB) 234
Laskar Pelangi, ilm 9, 46, 98 Malaysia 8, 63, 215, 221, 249, 251
Lastri, ilm 153 Malik, Djam aludin 222
Lekra (Lem baga Kebudayaan Mandra 287
Rakyat) 128, 139, 165-169, Marxism e 126, 129
171, 235 Marx, Karl 129
Lekra Tak Mem bakar Buku, buku “Masa depan ilm Indonesia”, esai
95 234
Lembaga Kreatiitas Kemanusiaan Mass Grave, ilm 128
(LKK) 139, 142, 144, 170 Masyarakat Santri untuk Advokasi
Lem baga Penelitian Korban Peris- Rakyat. Lihat Syarikat
tiwa 65-Bali 141 Masyumi, partai Islam 130
Lem baga Sensor Film (LSF) 9, Mbem be, Achille 294
10 0 , 118 McLuhan, Marshall 13, 282, 293,

pustaka-indo.blogspot.com
Indeks 345

298 Muhammadiyah 43, 212


MD Entertainm ent 84 m ultikulturalism e 45
Medan Theatre 195 Musdah Mulia, Siti 91
m edia 7, 17, 28, 40 , 50 , 52, 130, Museum Lubang Buaya 121
132, 149, 154, 187 Mushthafa 10 8, 10 9
dem okratisasi 12 Musim Sem i Arab 5, 49, 69
industri 2, 6, 18, 299, 305 Muslim ah 6, 72, 90 , 10 9, 274, 275
ledakan 12, 15
pem ilik 15, 17 N
m edia baru 6, 12- 14, 18, 21, 55,
132, 135, 163
N ada dan Dakw ah, ilm 99
m edia cetak 41, 121, 184, 186, 216,
Nahdlatul Ulam a 92, 130, 143
223
N ancy Bikin Pem balesan (Njai
Media Indonesia, harian 18
Dasim a III), ilm 235
“m edia psy w ar” 118
nasionalism e 7, 8, 43, 61, 192,
m ediascape 3, 13
20 4, 227-229
m edia sosial 2, 12, 20 , 31, 41, 56
Natalsya, Am rus 166
Melacak Jejak Berkabut, dram a
nativistik 199, 240
televisi 122
nilai Asia 249
m elek huruf fungsional 281
N jai Dasim a, ilm 235
m elek huruf nom inal 281
N jai Dasim a II, ilm 235
Meny em ai Terang Dalam Kelam ,
non­pribumi 203-20 4, 212, 215,
ilm 139
229-231, 238
Merah Putih I, ilm 9
Nordholt, Henk S. 28
Mesir 46, 50 , 62, 68, 83, 93, 97
N ovem ber 1828, ilm 216
Meteor Garden, serial televisi
Nugroho, Garin 146
254-256, 259, 268-269,
Nurbaeti, Nunun 72
273, 274
Nuril, Fedi 87
MetroTV 18
N y any ian Dua Bersaudara, ilm
m ilisi 45, 66-67, 114, 126, 152,
122
184-185, 191
m iliterism e 6, 25
m iliteristik 244 O
m inoritas, kelom pok 11, 45, 70 ,
195, 197, 20 0 , 210 Obama, Barack 302
Mizwar, Deddy 97, 99, 10 0 Oey Hay Djoen 166
MN CTV 18 Olliver, Chloe 143
modernis 3, 71, 10 4, 112, 307 Opera Kecoa, dram a 45
m odernisasi 25, 27, 48, 110 , 194, Operasi Trisula, ilm 118
227 Oppenheim er, J oshua 175, 179,
modernitas 3, 8, 28, 30, 47-48, 181, 193
59, 61, 71, 75, 10 9, 198, Orde Baru
239, 240 , 250 , 307 pem ilu sem asa 290 – 297

pustaka-indo.blogspot.com
346 Identitas dan Kenikmatan

Orientalism e 26 nesia 265


otentik 140 , 144, 145, 190 , 222, pendudukan J epang 222
227 Pengkhianatan G30 S/ PKI, ilm
118, 122-123, 128, 148-150 ,
P 170 , 176
Penum pasan Sisa-sisa PKI di Bli-
tar Selatan, ilm 118, 121
Pakistan 61– 62
peranakan 223, 227
Paloh, Surya 18
Perang Dingin 25, 114, 125, 138,
Papua Merdeka 8
152, 161, 169, 172, 174, 189,
Paramaditha, Intan 43
195
param iliter 10 , 68, 125, 175, 180 ,
Perbatasari, Inoe 234
191
perem puan 45, 51, 69-71, 80 , 86,
Partai Dem okrasi Indonesia
20 2, 210 , 245-246, 301,
(PDI) 120
304
Partai Dem okrasi Indonesia Per-
dalam ilm 95
juangan (PDIP) 287
dalam pem ilu 299, 300, 302
Partai Dem okrat (PD) 19, 284
dan dunia hiburan 301
Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
dan islam isasi 47, 71
65
kelas m enengah 254
Partai Kom unis Cina (CPC) 20 5
m ajalah 27
Partai Nasional Dem okrat (Nas-
pakaian 41, 52, 71, 275
dem ) 18
Perem puan Berkalung Sorban,
Pekan Buku Kairo 50
ilm 76, 89, 90
pem bantaian 25, 135, 173, 175,
Perem puan di Titik Nol, buku 92
20 2
Perem puan Yang Tertuduh, ilm
pem bauran (asim ilasi), program
139
20 8
Pericope Adulterae 96
pem ilihan um um (pem ilu) 19, 65,
Perkaw inan Siti Zubaidah, ilm
117, 129, 283-284
220
dan budaya populer 297–304
Perm ak (Persatuan Masyarakat
hak para kom unis dalam 129
Anti Kom unis) 126
m asa Orde Baru 290 – 297
pesantren 86, 91, 95, 10 8
pilkada 287
Pesantren Sabilil Muttaqien 130
presiden 19, 81
Piala Citra 148, 173
tahun 1987 120
Pitaloka, Rieke Diah 287
tahun 20 0 4 129
PKI (Partai Kom unis Indonesia)
tahun 20 0 9 279-280 , 284– 289,
10 , 95, 113, 116, 118, 120 ,
297
124, 128, 139, 142, 166-171,
Pem uda Pancasila 126, 175, 188,
173, 175, 177, 195, 20 2,
194, 195
20 5-20 6
pendakwah generasi baru 50 , 51,
Plantungan, ilm 139, 142
54-55
Play boy , m ajalah 64
Pendapatan Nasional Bruto Indo-

pustaka-indo.blogspot.com
Indeks 347

pluralisme 13, 109, 212


poligam i 70 , 85, 86, 92
R
politik identitas 27, 34, 76, 162,
192, 243-244, 270 , 276, Radio Prambors 103
307 Rahardjo, Slamet 233
politik jalanan 70 , 243, 277 Rahm at, Basuki 119
politik kebudayaan 3, 293 Raja Dangdut 46
politik penam pilan 290 – 295 Ram adan 70
politik populis 185 Ram badeta, Lexy 151, 170
post­Islamis 39 Ram lee, P. 215, 234
post-Islam is, ketakwaan 50 , 58, Ranger, Terence 20 7
64, 83, 90 , 98, 171 “Rasa Sayange”, lagu 8
post­Islamisme 37–56, 57, 59, ras, pem bagian berdasarkan hu-
62, 64, 66, 68, 69, 75, 10 7, kum kolonial 226– 227
253-254, 266, 275 RCTI 18, 299
post-sekularis, ketakwaan 65 reality show 15, 284, 299, 301
prasangka rasial 225, 269, 276 reform asi, zam an 192
prem an 125 Renan, Ernest 11, 225
premanisme dan ilm 184–193 Republika, penerbit 83
pribum i 26, 43, 199, 20 8-212, Revolusi Agustus, buku 131
215, 217, 225-228, 230-231, Revolusi Kebudayaan Cina 173
234-236 Rhom a Dwi Yuliantri 95
Prism a, jurnal 217, 218 Riza, Riri 9, 98, 269
privat, ranah 27, 29, 10 7 Ronggeng Dukuh Paruk, buku
Priyono, Ami 238 149
Proil Dunia Film Indonesia, buku Rosidi, Ajip 173
231 Roy, Oliver 58
Projek Film KOPKAMTIB 118 Rudnyckyj, Daromir 39
propaganda, m edia propaganda Rum ah Film , jurnal daring 91
148 Ryter, Loren 188
prosumer 134
Puisi Tak Terkuburkan, ilm 146 S
Punjabi, Manoj 84
puritan/ kem urnian 52
Said, Mohammad 234
Putih Abu-abu: Masa Lalu Per-
Said, Salim 231, 234
em puan, ilm 128, 142
Sang Pem im pi, ilm 9
Putri Giok, ilm 214
Sang Penari, ilm 136, 149, 150
Sang Pencerah, ilm 43
Q Saputra, Nicholas 269
Saraswati Award 148
queer, kelom pok 47 Sasono, Eric 56, 150
SCTV 17, 10 7, 133

pustaka-indo.blogspot.com
348 Identitas dan Kenikmatan

Seni Ditating Jam an, ilm 139, Super J unior, boy band 264, 270
140 Supersem ar 119, 120
Sen, Krishna 10 4, 214, 215, 216, Surjani, Lilies 128
220 , 233-234, 236-237 Susatyo, Lasja 139, 169
sensor oleh negara 9, 16, 165 Suska 234
sensus, petugas 20 7 Suwardi, Sandy 219
Serangan Fajar, ilm 118 Syarikat Dagang Islam 143
Setiawan, Hersri 166 Syarikat Islam 143
Shadow Play , The, ilm 135 Syarikat, lem baga non-pem erin-
Shaw Brothers 234 tah 130, 142, 143, 145, 148
Siauw Giok Tjhan 20 6
Sihasale, Ari 9 T
Sihasale, Nia 9
simbol agama, komodiikasi 38
tahanan politik 44, 129, 138-139,
sinem atis, pertem puran 89– 98
142, 147, 150 , 170
Sinengker: Sesuatu Yang Diraha-
Tanoesoedibjo, Hary 18
siakan, ilm 143
Teater Kom a 45
sinetron 15, 21, 27, 83, 84, 10 0 ,
Teater Populer 216, 220
299
Tem po, majalah 123, 143, 186,
Singapura 29, 215, 249
187
Sinik, Ibrahim 193
Terjebak, ilm 122
Slam et, Bing 128
Terlena: Breaking of a Nation,
Sm ith-Hefner, Nancy 71, 10 9, 261
ilm 135
Soegija, ilm 43
Tim e, m ajalah 14
Soeharto 44, 57, 66, 113-114, 116,
Tim or Leste 7
118-119, 121-122, 125, 129,
Tim ur Asing, kategori ras 225,
222
226, 228
Soekarnoputri, Megawati 20 , 129,
Tionghoa
255
anti-Tionghoa 20 2, 203, 20 6,
Soemarsono 131
20 9, 225, 237, 251, 266,
sosialis 61, 20 6
270
Spring W altz, serial televisi 255
bahasa Mandarin 20 8, 267
Sri Wahyuni, Neneng 72
barongsai 6
Strassler, Karen 227, 228
dan industri ilm 213–240
Strinati, Dom inic 24
im igran 214
Sudan 61
Indonesia-Tionghoa 20 8, 20 9,
Sukanta, Putu Oka 139, 166, 170
210 , 211, 214, 219, 220
Sukarno 10 , 119, 120
kekuatan ekonom i 20 0
Sum m er Scent, serial televisi 255
ke-tionghoa-an 198, 20 7, 210
Sum pah Kesetiaan, dram a televisi
Muslim 34
122
totok 227
Sun J ung 266
Titanic, ilm 16
Suparjo, Khoirul Rus 154

pustaka-indo.blogspot.com
Indeks 349

Titian Seram but Dibelah Tujuh,


W
ilm 99
Tjidurian 19, ilm 139, 164, 165,
168, 170 , 172 Wahid, Abdurrahm an 66, 123,
Tjoet N ja’ Dhien, ilm 153 129
Toer, Pramoedya Ananta 93, 129 wayang, kisah 119
Tohari, Ahm ad 10 9, 149 Widodo, J oko 20
Tong Kim Mew 232 Wikileaks 13, 14
tradisionalism e 48 Wilardjito, Soekardjo 119, 120
transnasional 3, 34, 70 , 198, 245, William s, Raym ond 158
249, 251, 255, 263, 307 W inter Sonata, serial televisi 255
transparansi 47 W om en and The Generals, The,
Trijaya FM 18 ilm 136
Tum buh dalam Badai, ilm 139 Wyschogord, Edith 159
Turki 44, 59, 60 , 62, 65, 66, 68
TVOne 18 Y
TVRI 122, 184, 218
Twitter 163 Yap Thiam Hien, Anugerah 187
Yaqub, Ali Mustafa 91
U Yayasan Kesejahteraan Fatayat
92
Um am , Chaerul 97, 99 Yilm az, Ihsan 60 , 62
Umboh, Wim 238 Yoko Kam io 255
Universitas Indonesia 58, 128 Yulianis 72
Yusuf, Dede 287
V
Z
van Heeren, Katinka 133, 148
Vickers, Adrian 159 Zionism e 88
VIVA news 18 Zuckerberg, Mark 14
Zurbuchen, Mary 158

pustaka-indo.blogspot.com
BIODATA

ARIEL HERYANTO (penulis), lahir di Malang, J awa Tim ur. Kini


profesor School of Culture, History and Language, The Aus tra-
lian National University. Sebelum nya ia m enjabat sebagai Ketua
South east Asian Studies Centre di universitas yang sam a; Senior
Lecturer dan Ketua Program Indonesia di The University of
Melbourne; Senior Lecturer di National University of Singapore;
dan dosen Program Pasca-sarjana di Universitas Kristen Satya
Wacana.

ERIC SASONO (penerjem ah), m ahasiswa program doktoral pada


Departemen Film Studies, King’s College, London, kritikus ilm
dan Sekretaris Dewan Pem bina Yayasan Masyarakat Mandiri Film
Indonesia.

pustaka-indo.blogspot.com
pustaka-indo.blogspot.com
IDENTITAS DAN

KENIKMATAN
POLITIK BUDAYA LAYAR INDONESIA

“Heryanto memiliki kemampuan yang langka untuk mengaitkan analisa tajam atas
bentangan masalah media dengan pertanyaan-pertanyaan teoretis yang lebih luas
dalam kajian budaya.” (Profesor Krishna Sen, Dekan Fakultas Sastra-Budaya, The
University of Western Australia)

“Buku ini bukan hanya meneroka berbagai isu dalam masyarakat mutakhir, mulai
dari islamisasi budaya kaum muda perkotaan hingga K-Pop, politik jalanan, minoritas
Tionghoa, dan representasi tragedi 1965-66, tetapi juga memperlihatkan kebertautan
antarisu tersebut; dan bermuara pada problematisasi narasi-narasi besar seperti
nasion dan nasionalisme, globalisme dan globalisasi, modernisme dan modernitas,
yang selama ini diterima begitu saja.” (Dr Budiawan, Universitas Gadjah Mada)

“Kekuatan buku ini adalah kajian lintas disiplin yang cair, yang dapat mengaitkan
hal-hal yang tak terlihat berkaitan, seperti K-Pop dengan identitas Tionghoa dan
gaya hidup islami, representasi kekerasan 1965 dengan premanisme dan tatanan
politik formal. Buku ini menjawab kebutuhan akan pemahaman yang lebih kompleks
tentang politik identitas dan budaya populer di Indonesia sesudah Reformasi. Buku
ini perlu dibaca oleh mahasiswa, ilmuwan, dan pegiat budaya di bidang kajian
budaya, kajian Indonesia, dan kajian Asia Tenggara. (Profesor Melani Budianta,
Universitas Indonesia)

“Dalam buku ini, Ariel Heryanto membawa kita ke suatu perjalanan yang secara visual
amat memukau, dan tampaknya menjadi awal kebangkitan budaya layar Indonesia.
Karya sang pelopor kajian budaya Indonesia ini menunjukkan bahwa gejala budaya
yang seakan-akan ‘baru lahir’ ini—yang diproduksi baik di atas layar maupun di balik
layar—sekaligus bersifat global, punya sejarah panjang, dan berakar mendalam
pada kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Buku ini wajib dibaca oleh semua
yang ingin memahami budaya pop Indonesia mutakhir dengan berbagai kontradiksi
yang ada di dalamnya.” (Associate Professor Bart Barendregt, Leiden University)

SOSIAL BUDAYA
KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA) ISBN: 978-979-91-0886-9
Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3
Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
Telp. 021-53650110, 53650111 ext. 3362,3364
Fax. 53698044, www.penerbitkpg.com
facebook: Penerbit KPG ; twitter: @penerbitkpg KPG: 59 15 01000

pustaka-indo.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai