Disusun oleh :
Adeline 201806020051
Dino Claudio S.P.E. 201806020047
Gabriel Turnip 201806020056
Jessyca Virginia 201806020019
Ruth Septiana 201806020055
Olivia Stephanie H. 201806020022
Yovita Viona 201806020016
Diare
A.Etiologi
Etiologi merupakan cabang dari ilmu kedokteran yang mempelajari tentang sebab dan asal suatu
penyakit.
Diare ialah suatu penyakit yang dimana pasien akan mengalami peningkatan BAB dengan
konsistensi lebih cair atau lunak dari biasanya, frekuensinya minimal 3 kali dalam 24 jam.
Berdasarkan data dari World Gastroenterology Organization Global Guidelines 2005, diare akut
disebabkan oleh 4 hal, yaitu :
- Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Coronavirus, dan Astrovirus.
- Parasit : Protozoa, E. Histolytica, Giardia lamblia, Balantidium coli, dll.
- Bakteri : Shigella, Salmonella, E. coli, Bacillus cereus, dll.
- Non-infeksi : keracunan makanan, malabsorpsi, alergi, gangguan motilitas,
imunodefisiensi, dll.
B. Epidemiologi
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang cara penyebaran suatu penyakit menular
pada manusia.
Diare dapat menular secara faecal-oral (melalui makanan atau minuman terkontaminasi kuman),
dapat juga melalui sentuhan dengan penderita diare, atau terkontaminasi oleh lalat. (5F : faeces,
flies, food, fluid, finger).1
Berikut adalah beberapa factor yang menjadi penyebab terjadinya diare :
- Faktor perilaku : penggunaan botol susu bagi bayi (resiko terkontaminasi sangat
memungkinkan karena botol susu sulit dibersihkan); tidak pernah mencuci tangan
menggunakan sabun sebelum memberi ASI dan setelah BAB; tidak menjaga kebersihan
tempat penyimpanan makanan.
- Faktor lingkungan : kurangnya tingkat kualitas kebersihan air; kebiasaan buruk dalam
menjaga kebersihan tubuh.
Salah satu bagian dari studi epidemiologi adalah prevalensi. Prevalensi adalah bagian dari studi
epidemiologi yang membawa pengertian jumlah orang dalam populasi yang mengalami
penyakit, gangguan atau kondisi tertentu pada suatu tempoh waktu dihubungkan dengan besar
populasi dari mana kasus itu berasal. Berikut dibawah ini menggambarkan prevalensi penyakit
diare dari beberapa aspek, seperti kelompok umur, pendidikan, dan pekerjaan.
C.Patofisiologi
Dalam saluran pencernaan, keseimbangan ion, penyerapan cairan, dan sekresi
sangat penting untuk mempertahankan homeostasis yang memungkinkan pemeliharaan
potensi membran, asupan nutrisi yang memadai, motilitas usus normal, perlindungan
terhadap mikroba, dan kelangsungan hidup sel epitel. Keadaan homeostatis ini
bergantung pada fungsi fisiologis normal sel-sel usus kecil dan besar dan berbagai
mekanisme hormonal yang mengendalikan motilitas usus serta masuk dan keluarnya
cairan ke dalam lumen gastrointestinal. Kira-kira, 8-10 L cairan melewati lumen usus
kecil setiap hari. Sungguh luar biasa bahwa dalam kesehatan, usus kecil menyerap semua
kecuali 1,5 L dan usus besar menyerap sisanya meninggalkan sekitar 100 mL cairan yang
hilang dalam tinja. Mekanisme transportasi ion usus memainkan peran penting dalam
menentukan keseimbangan cairan keseluruhan dalam usus, yaitu sekresi klorida,
penyerapan natrium klorida elektroneutral, dan penyerapan natrium elektrogenik. Selain
itu, berbagai hormon dan neurotransmiter disintesis secara lokal di mukosa usus dan
memodifikasi transpor ion usus baik secara langsung dengan mengikat reseptor pada
membran basolateral enterosit atau secara tidak langsung melalui pelepasan efektor lain.
Pada keadaan patofisiologis tertentu, pertukaran cairan ionik yang tersetel menjadi tidak
berfungsi sebagai akibat dari kegagalan mekanisme kompensasi pro-absorpsi /
antisekresi. Berbagai mekanisme patofisiologis yang menyebabkan diare, terutama
sekretori, osmotik, inflamasi, transit usus yang berubah, dan hilangnya area penyerapan
fungsional.
Penyerapan dan sekresi air dan elektrolit di seluruh saluran pencernaan adalah
proses dinamis dan seimbang, dan, ketika ada kehilangan keseimbangan ini yang
disebabkan oleh penurunan penyerapan atau peningkatan sekresi, hasil diare. Diare tetap
menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia, yang menyebabkan
3 juta kematian per tahun pada anak kecil, dan oleh karena itu penting bagi mereka yang
merawat anak-anak untuk memiliki pemahaman yang jelas tentang patofisiologi diare.
Diare dapat dianggap sebagai osmotik atau sekretori. Diare osmotik terjadi ketika partikel
aktif osmotik berlebih ada di lumen, menghasilkan lebih banyak cairan yang secara pasif
pindah ke lumen usus ke bawah gradien osmotik. Diare sekretorik terjadi ketika mukosa
usus mengeluarkan jumlah cairan yang berlebihan ke dalam lumen usus, baik karena
aktivasi jalur oleh toksin, atau karena kelainan bawaan pada enterosit. Manajemen diare
akut didasarkan pada penilaian keseimbangan cairan anak dan rehidrasi. Rehidrasi oral
dengan larutan rehidrasi oral sangat efektif dan telah secara signifikan mengurangi angka
kematian anak-anak selama 40 tahun terakhir. Diare kronis memiliki sejumlah penyebab
infeksi dan non-infeksi, riwayat yang cermat dan investigasi serta manajemen spesifik
dalam perawatan sekunder atau tersier sering diperlukan. Banyak obat dapat
menyebabkan diare. Obat-obatan yang dapat menyebabkan diare termasuk antibiotik,
antasida yang mengandung magnesium, dan obat-obatan yang digunakan untuk
mengobati kanker.
Berdasarkan gangguan fungsi fisiologis saluran cerna dan macam penyebab diare,
maka patofisiologi diare dapat dibagi dalam tiga macam kelainan pokok yang berupa:
a. Kelainan Gerakan Transmukosal Air dan Elektrolit
Gangguan reabsorbsi pada sebagian kecil usus halus sudah dapat menyebabkan diare.
Disamping itu peranan faktor infeksi pada patogenesis diare akut adalah penting, karena
dapat menyebabkan gangguan sekresi (diare sekretorik), difusi (diare osmotik),
malabsorbsi dan keluaran langsung. Faktor lain yang cukup penting dalam diare adalah
empedu, karena dehidroksilasi asam dioksikolik dalam empedu akan mengganggu fungsi
mukosa usus, sehingga sekresi cairan di jejunum dan kolon serta menghambat reabsorbsi
cairan di kolon. Diduga bakteri mikroflora usus turut memegang peranan dalam
pembentukan asam dioksikolik tersebut. Hormon-hormon saluran diduga juga dapat
mempengaruhi absorbsi air pada manusia, antara lain gastrin, sekretin, kolesistokinin dan
glikogen. Suatu perubahan pH cairan usus seperti terjadi pada Sindrom Zollinger Ellison
atau pada jejunitis dapat juga menyebabkan diare.
2. Gangguan Gizi
Gangguan gizi pada penderita diare dapat terjadi karena: (1) masukan
makanan berkurang, (2) gangguan penyerapan makanan, (3) katabolisme
dan, (4) kehilangan langsung.
Orang yang mengalami diare biasanya akan mengalami gejala sebagai berikut:
● Mual
● Muntah
● Sakit perut
● Sakit kepala
● Demam
● Kedinginan
Orang yang mengalami diare kronis akan mengalami gelaja seperti diare akut namun juga
akan mengalami penurunan berat badan, anoreksia, dan mudah merasakan lelah.
E.Pengobatan
1. Farmakologis
1.1 Obat
1.1.1 Golongan Opioid (Kodein fosfat, Loperamide, dan Diphenoxylate)
1.1.2 Golongan adsorbent dan bulking agent (Kaolin, Pectine, Atapullgite, dan karbon
aktif)
1.3 Algoritma3
2. Non Farmakologis
Hal yang harus dilakukan untuk mengatasi diare dengan terapi non farmakologis adalah
dengan memperbanyak konsumsi makanan yang banyak mengandung pektin. Pektin dapat
menyerap cairan yang berlebih pada usus, sehingga feses yang dihasilkan akan lebih keras
teksturnya. Pektin dapat ditemukan pada buah-buahan seperti pisang, apel, dan lainnya.
Selain pektin, makanan yang mengandung probiotik juga dapat digunakan untuk mengatasi
diare. Probiotik adalah bakteri baik yang menyehatkan bagi tubuh kita/inangnya. Probiotik
yang baik dikonsumsi adalah jenis bakteri Lactobacillus dan Bifidobacterium dan
Saccharomyces boulardii. Bakteri ini dapat ditemukan pada olahan susu, makanan yang
telah difermentasi, dan lainnya.
F.Evaluasi Terapi
Upaya pengobatan penderita diare yang peling sering digunakan adalah terapi rehidrasi atau
dengan cara memberikan oralit yang berguna untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang
akibat adanya dehidrasi. Sebagian kecil penyakit diare disebabkan karena adanya infeksi.
Penanganan untuk diare karena infeksi yaitu melalui terapi antibiotika. Penggunaan antibiotik
pada pasien berdasarkan pertimbangan dan arahan medis sehingga efek terapi dapat tercapai.
Apabila penggunaan antibiotik yang tidak rasional, dapat menyebabkan supra infeksi serta
resistensi, dimana bakteri akan melawan kerja antibiotika.
Secara garis besar pengobatan diare dibagi menjadi empat jenis yaitu:
1. Pengobatan Kausal
Pengobatan ini akan diberikan setelah penyebab diare telah diketahui secara pasti. Jika
merupakan penyakit parenteral, maka dapat diberikan antibiotik sistemik.
2. Pengobatan simptomatik
Pengobatan ini meliputi pemberian obat-obat antidiare seperti anti spasmolitik atau
opium yang justru bisa memperburuk keadaan karena menyebabkan cairan di lumen usus
berkumpul sehingga menimbulkan adanya perlipatgandaan bakteri. Obat - obat tersebut
berkhasiat untuk menghentikan peristaltik saja, diare terlihat sudah tidak ada namun perut
menjadi kembung dan dehidrasi menjadi semakin parah. Selain itu ada juga stimulan
yang tidak dapat menghilangkan dehidrasi,karena penyebab dehidrasi adalah kekurangan
cairan sehingga harus diberikan cairan untuk menanganinya. Kemudian ada antiemenik,
seperti klorpromazin yang berfungsi untuk mencegah muntah, dan mengurangi hilangnya
cairan tubuh. Terakhir yaitu antipiretik, seperti preparat salisilat yang berguna untuk
menurunkan panas akibat dehidrasi yang terjadi di tubuh.
3. Pengobatan cairan
Pengobatan dengan cara pemberian cairan terbagi menjadi dua yaitu, pemberian cairan
rehidrasi oral dan cairan rehidrasi parenteral. Cairan rehidrasi oral menggunakan cairan
yang dikenal dengan nama oralit, mengandung NaCl, NaHCO3, KCl, dan glukosa. Cairan
rehidrasi parenteral pada umumnya menggunakan cairan ringer laktat. Dalam pemberian
cairan ini setiap jam perlu dievaluasi jumlah cairan yang bersamaan keluar dengan tinja
dan juga muntah.
4. Pengobatan dietetik
Pengobatan ini dilakukan dengan cara pengaturan jumlah makanan berdasarkan kondisi
kesehatan, kebutuhan gizi, serta sosial ekonomi pasien
Konstipasi
A.Etiologi
Konstipasi adalah suatu kondisi penurunan frekuensi defekasi yang disertai pembuangan feses
yang lama atau keras ataupun kering.
Upaya mengejan pada saat BAB dapat dianggap sebagai suatu tanda yang berkaitan dengan
konstipasi
Ketika motilitas usus halus melambat, maka feses akan memiliki waktu yang lebih lama untuk
menempel/bersentuhan dengan dinding usus. Hal ini akan menyebabkan air yang terkandung di
dalam feses sebagian besar akan terabsorbsi oleh dinding usus, nantinya akan menyebabkan
feses menjadi keras, kering, dan akan menyebabkan rasa nyeri pada rectum ketika feses
dikeluarkan.4
B.Epidemiologi
Secara umum, konstipasi dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
•Menahan rasa ingin BAB
•Konsumsi diet rendah serat, seperti : daging, telur, susu, dan karbohidrat murni.
Semuanya akan bergerak lambat di dalam saluran cerna.
•Rendahnya asupan cairan tubuh : cairan berfungsi untuk membantu peristaltik usus.
•Faktor usia : pada orang tua, kualitas otot semakin lemah (otot tonus sfinkter, otot
abdomen), mengalami perlambatan peristaltik.
•Kelainan saluran GI (Gastrointestinal) : obstruksi usus, ileus paralitik.
•Stress : stress akan memicu hormon epinefrin beserta sistem syaraf simpatis untuk
menghambat peristaltik.
•Gangguan impuls saraf ke kolon : cedera medula spinalis, tumor.
C.Patofisiologi
Konstipasi atau sembelit terjadi ketika usus besar menyerap terlalu banyak air. Ini
dapat terjadi jika otot-otot di usus besar berkontraksi dengan lambat atau buruk,
menyebabkan tinja bergerak terlalu lambat dan kehilangan lebih banyak air.
Defekasi yang normal memerlukan keadaan anatomi dan persarafan yang normal
dari rektum, otot puborectalis dan sfingter ani. Rektum adalah organ sensitif yang
mengawali proses defekasi. Tekanan pada dinding rektum oleh feses akan merangsang
sistem saraf intrinsik rektum dan menyebabkan relaksasi sfingter ani interna, yang
dirasakan sebagai keinginan untuk defekasi. Sfingter ani eksterna kemudian menjadi
relaksasi dan feses dikeluarkan mengikuti peristaltik kolon melalui anus. Apabila
relaksasi sfingter ani interna tidak cukup kuat, maka sfingter ani eksterna akan
berkontraksi secara refleks dan untuk selanjutnya akan diatur secara volunter. Otot
puborektalis akan membantu sfingter ani eksterna sehingga anus mengalami konstriksi.
Apabila konstriksi berlangsung cukup lama, refleks sfingter ani interna akan menghilang
diikuti hilangnya keinginan defekasi.
Patofisiologi konstipasi pada anak berkaitan dengan banyak faktor. Defekasi yang
menyakitkan adalah pencetus dari konstipasi. Nyeri saat defekasi akan membuat anak
cenderung menahan defekasinya. Selama proses tersebut, mukosa rektum akan
mengabsorbsi air dari feses, sehingga feses menjadi keras dan besar. Hal ini akan
mengakibatkan defekasi menjadi semakin sulit. Karena sulitnya defekasi, terkadang dapat
terjadi fisura anal yang akan memperburuk nyeri yang dialami anak. Hal ini akan
membuat anak semakin berusaha untuk menahan defekasinya. Siklus retensi feses ini
terjadi berulang-ulang dan menjadi reaksi otomatisasi. Seiring berjalannya waktu,
akumulasi feses di rektum akan menyebabkan dilatasi rektum. Dilatasi rektum akan
menyebabkan kemampuan sensorik rektum berkurang bersama dengan keinginan
defekasi. Proses tersebut terjadi terus menerus dan mencetuskan konstipasi.
Penyakit neurologis, baik secara terpusat di otak atau di persarafan tulang
belakang, mungkin merupakan penyebab umum berikutnya dari defekasi yang tidak
teratur. Usus besar tampaknya bergantung pada suplai saraf ekstrinsiknya untuk
mempertahankan fungsi normal, dengan usus besar distal menerima inervasi langsung
dari akar. Penyakit neurologis diremehkan baik pada orang dewasa maupun anak-anak.
Sebuah tinjauan terhadap 31 juta diagnosis kepunahan pada orang dewasa lanjut usia
menemukan bahwa kelompok terbesar yang berhubungan dengan konstipasi berhubungan
dengan penyakit neurologis dan kejiwaan. Meskipun data yang serupa tidak tersedia pada
anak-anak, pediatrican umumnya menangani masalah seperti itu pada anak-anak. Anak-
anak tersebut mewakili populasi yang sangat heterogen dengan mekanisme berbeda yang
penting dalam kelompok anak yang berbeda. Pada anak-anak yang diberi makan tabung,
kurangnya serat menyebabkan tinja yang keras. Tidak adanya tonus otot rangka normal
dan koordinasi akan mengakibatkan upaya defekasi lemah. Obat-obatan yang biasa
digunakan pada anak-anak dan anak-anak, seperti opiat, ikon-vulsant dan obat-obatan
dengan sifat antikolinergik, menyebabkan tambahan gangguan motilitas kolon. Sebuah
penelitian pada anak-anak dengan cerebral palsy menunjukkan transit yang tertunda pada
usus besar kiri yang mengalami konstipasi. Motilitas kolon dan rektum dimodulasi oleh
saraf ekstrinsik yang terdiri dari serat parasimpatis dan simpatis. Kolon proksimal
menerima interferensi kolinergik dari vagus dan kolon distal menerima input kolinergik
dari saraf panggul sakral. Saraf splanknikus, dengan badan saraf di ganglion mesenterika
superior, memberikan persarafan adrenergik ke kolon proksimal, dan saraf lumbar,
dengan badan saraf di ganglia mesenterika inferior, menyediakan persarafan ke usus
besar distal. Kerusakan pada saraf ekstrinsik dan dengan demikian hilangnya input
penghambatan ke usus menghasilkan motilitas kolon dan anorektal yang abnormal. Pada
anak-anak dengan cedera medula spinalis atau dis-rafisme, ada kehilangan respons gastro
kolon, refleks penghambatan rektoanal biasanya dipertahankan tetapi sphincter eksternal
sering lumpuh dan keinginan untuk deflasi dapat hilang. Sebagai akibatnya, anak-anak
dengan myelomeningocele mungkin mengalami konstipasi dan inkontinensia.
Penyakit yang didapat hampir selalu bersifat inflamasi dan dapat timbul ditengah
kondisi berat yang tidak dapat diobati atau episode pseudo-obstruksi berulang. Seringkali
mekanisme autoimun hadir dan menanggapi pengobatan imunosupresif. Pada orang lain,
terutama mereka yang atopik, konstipasi mungkin sekunder akibat alergi makanan. Juga
telah diakui bahwa perubahan dalam lingkungan neuromusculature, baik oleh gangguan
infor-matory atau lingkungan hormon yang beredar, dapat memiliki efek langsung pada
fungsi kolon. Hormon steroid telah diperiksa pada wanita muda dengan sembelit
idiopatik parah. Pasien dengan konstipasi mengalami penurunan yang konsisten dalam
konsentrasi sebagian besar hormon steroid di kedua fase siklus, dan tidak ada kelainan
pada hormon hipofisis atau globulin pengikat hormon seks. Tidak ada penelitian yang
dilakukan pada gadis remaja yang mengalami konstipasi tetapi tidak ada alasan untuk
percaya bahwa temuan akan berbeda. Hormon gastrointestinal yang bersirkulasi juga
telah dinilai pada pasien dengan konstipasi transit lambat idiopatik parah. Somatostatin
meningkat pada wanita yang mengalami konstipasi, namun hal ini belum dapat dijelaskan
lebih lanjut.
Ada tiga faktor dari dalam lumen yang dapat menyebabkan konstipasi,
yaitu:
● Pola makan yang rendah serat, kurang cairan, serta konsumsi alkohol dan
kafein yang berlebihan
● Penggunaan obat yang mempengaruhi neurotransmitter yang mengatur
gerakan kolon
● Gangguan sistemik seperti gangguan endokrin dan gangguan neurologi
1. Konstipasi primer
Jika terkena dalam waktu yang cukup lama, penderita akan mengalami ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit, lalu gastroenteropati akan kehilangan protein hipoalbuminemia dan akan
terkena sindrom seperti kolitis (radang usus).
E.Pengobatan
1. Farmakologis
1.1 Obat
1.1.1. Bulk-forming agents / osmotic laxative
● Osmotic Laxative
Metil selulosa 4-6 g/hari
Polycarbophil 4-6 g/hari
Psylium tergantung produk
● Emollien
Docusate sodium 50-360 mg/hari
Docusate calcium 50-360 mg/hari
Docusate potassium 100-300 mg/hari
1.3 Algoritma5
2. Non Farmakologis3
Hal yang harus dilakukan untuk mengatasi konstipasi dengan terapi non farmakologis
adalah dengan memperbanyak konsumsi makanan yang mengandung banyak serat seperti
buah-buahan dan sayur-sayuran. Buah dan sayur yang dapat dikonsumsi antara lain berry,
pir, apel, kiwi, buncis, dan lainnya. Dengan mengkonsumsi makanan ini frekuensi dari
defekasi akan meningkat, selain itu akan terjadi penurunan tekanan intraluminal pada
kolon dan rectum sehingga gejala Bowel Syndrom dapat menurun.
F. Evaluasi Terapi
Penanganan yang dilakukan ketika mengalami konstipasi yaitu dengan cara terapi non-
farmakologi dan terapi farmakologi. Terapi non-farmakologi meliputi modifikasi gaya hidup,
dengan cara meningkatkan aktivitas fisik, meningkatkan konsumsi makanan berserat, minum
yang cukup, BAB teratur, menghindari obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi.
Sedangkan terapi farmakologis dilakukan dengan cara melunakan feses, meningkatkan gerakan
usus atau gerakan peristaltik menggunakan pencahar osmotik (laktulosa) dan pencahar stimulan
(bisacodyl).[13]
Untuk konstipasi organik atau yang biasa disebut dengan konstipasi sekunder, penanganannya
dapat dilakukan dengan cara mengatasi penyakit dasarnya terlebih dahulu, dan mengatasi
konstipasinya.
Ada beberapa cara penanganan lain untuk konstipasi yaitu evakuasi feses dengan melakukan
terapi melalui rektum, terapi rumatan untuk membentuk kebiasaan defekasi yang teratur,
modifikasi perilaku untuk melatih pembuangan air besar, serta latihan fisik untuk memperbaiki
gerakan usus.
Konstipasi perlu penanganan sesegera mungkin, karena jika tidak, dapat menyebabkan konstipasi
kronik, berlanjut ke obstipasi, dan pada akhirnya menyebabkan kanker usus.[16]
.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kemenkes RI. Situasi Diare di Indonesia. [Internet]. 2011 [cited 30 August 2019];.
Available from:
http://file:///C:/Users/Asus/AppData/Local/Packages/Microsoft.MicrosoftEdge_8wekyb3
d8bbwe/TempState/Downloads/buletin-diare%20(1).pdf
2. Kongres Nasional VI : PERHIMPUNAN GASTROHEPATOLOGI DAN NUTRISI
ANAK INDONESIA (PGHNAI). In Bali; 2014.
3. Cecily V. DiPiro, Barbara G. Wells, Joseph T. DiPiro, Terry L. Schwinghammer.
Pharmacotherapy Handbook. Nineth Edition. McGraw-Hill Education; 2014.
4. Sintya S. ASKEP Konstipasi (Sistem Pencernaan). [Internet]. [cited 30 August 2019];.
Available from:
https://www.academia.edu/28137077/ASKEP_Konstipasi_Sistem_Pencernaan
5. Constipation - Symptoms, diagnosis and treatment | BMJ Best Practice [Internet]. [cited
2019 Sep 2]. Available from: https://newbp.bmj.com/topics/en-us/154
6. [Internet]. Repository.usu.ac.id. 2019 [cited 2 September 2019]. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/57939/Chapter%20II.pdf?
sequence=4&isAllowed=y
7. [Internet]. Eprints.undip.ac.id. 2019 [cited 2 September 2019]. Available from:
http://eprints.undip.ac.id/33641/3/Bab_2.pdf
8. Constipation symptoms and treatments [Internet]. Nhsinform.scot. 2019 [cited 2
September 2019]. Available from: https://www.nhsinform.scot/illnesses-and-
conditions/stomach-liver-and-gastrointestinal-tract/constipation#causes-of-constipation
9. Whyte L, Jenkins H. Pathophysiology of diarrhoea. Paediatrics and Child Health.
2012;22(10):443-447.
10. Information H, Diseases D, Causes S, Diarrhea S, Center T, Health N. Symptoms &
Causes of Diarrhea | NIDDK [Internet]. National Institute of Diabetes and Digestive and
Kidney Diseases. 2019 [cited 2 September 2019]. Available from:
https://www.niddk.nih.gov/health-information/digestive-diseases/diarrhea/symptoms-
causes
11. University of Illinois-Chicago S. Constipation: Causes, symptoms, and treatments
[Internet]. Medical News Today. 2019 [cited 2 September 2019]. Available from:
https://www.medicalnewstoday.com/articles/150322.php
12. J Clin Invest. 2003;111(7):931-943. https://doi.org/10.1172/JCI18326.
13. [Internet]. Repository.usu.ac.id. 2019 [cited 2 September 2019]. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/57939/Chapter
%20II.pdf;sequence=4
14. [Internet]. Ftp.unpad.ac.id. 2019 [cited 2 September 2019]. Available from:
https://ftp.unpad.ac.id/koran/republika/2010-11-30/republika_2010-11-
30_023.pdfhttps://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/41412/Evaluasi-Pengobatan-Diare-
15. [Internet]. Eprints.ums.ac.id. 2019 [cited 2 September 2019]. Available from:
http://eprints.ums.ac.id/28797/12/NASKAH_PUBLIKASI.pdf