Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI

SISTEM PERNAFASAN DAN PENCERNAAN


DIARE NON-INFEKSIUS

DISUSUN OLEH KELOMPOK A2

ANGGOTA:
Itharotun Nuriyyah (185070500111001)
Jasisca Nurlitasari (185070507111001)
Lailatul Fitriyah (185070501111019)
Lilis Ika K (185070501111025)
Lung Ayu Asti Wulan (185070500111003)
Luthfiyah Kamila Afandi (185070501111031)
Mayumi Laura N (185070501111001)
Mellyana Ayu M. W. (185070500111013)
M. Asro’fianto (185070500111033)
M. Fakhri Al Faruq (185070500111031)
Nandya Dasa Safira (185070507111013)
Nazula Zunaina (185070500111011)
Putri Tarisa (185070501111027)

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
TA 2019/2020
1. DEFINISI
Diare adalah peningkatan frekuensi dan penurunan konsistensi tinja
dibandingkan dengan pola buang air besar normal seseorang. Pasien dengan diare serius
mungkin memiliki berat tinja harian lebih dari 300 g. Ini sering merupakan gejala
penyakit sistemik. Diare akut umumnya didefinisikan sebagai durasi lebih pendek dari
14 hari, diare persisten lebih lama dari 14 hari, dan diare kronis lebih lama dari 30 hari.
Diare dapat dikaitkan dengan penyakit spesifik usus atau sekunder akibat
penyakit di luar usus. Misalnya, disentri basiler secara langsung memengaruhi usus,
sedangkan diabetes melitus menyebabkan episode diare neuropatik. Lebih lanjut, diare
dapat dianggap sebagai penyakit akut atau kronis. Sebagian besar kasus diare akut
disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, atau protozoa, dan umumnya sembuh sendiri.
Gangguan bawaan pada mekanisme transportasi ion GI adalah penyebab lain dari diare
kronis. (Dipiro, dkk, 2017).

2. EPIDEMIOLOGI
Diare masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang perlu
mendapat perhatian karena angka morbiditas dan mortilitasnya masih tinggi. Prevalensi
diare untuk Provinsi Jawa Timur sendiri mencapai 7,9% . Provinsi Jawa Timur
menduduki peringkat ke-10 dari 33 prevalensi menurut provinsi di Indonesia. ia.
Prevalensi diare berdasarkan kelompok umur pada kelompok usia 55-64 tahun yaitu
sebesar 8,9% (Hidayah, 2018).

Diare kronik merupakan suatu keadaan yang sering dikeluhkan oleh pasien.
Berbeda dari diare akut yang studi epidemiologinya banyak dilaporkan, studi
epidemiologi prevalensi diare kronik di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 3%-5%.
Dataa diare kronik di Indonesia masih belum ada namun dari RISKESDAS Kemenkes
Republik Indonesia tahun 2007 dikatakan prevalensi diare di Indonesia sekitar 9% dan
merupakan peyebab kematian terbanyak ke 13 (Purbayu, 2015).

3. ETIOLOGI
Menurut World Gastroenterology Organization Global Guidelines 2005, etiologi
diare non infeksi disebabkan oleh di antaranya malabsorpsi, keracunan makanan, alergi,
gangguan motilitas, imunodefisiensi, kesulitan makan, dll (WGO, 2005).
 Faktor Malabsorbsi
1) Malabsorbsi karbohidrat
Disakarida (intoleransi laktosa, maltose dan sukrosa), monosakarida
(intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang
terpenting dan tersering ialah intoleransi laktrosa.
2) Malabsorbsi lemak
3) Malabsorbsi protein
 Faktor makanan
Makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
 Faktor psikologis
Rasa takut dan cemas. Walaupun jarang dapat menimbulkan diare terutama pada
anak yang lebih besar.
 Faktor Pendidikan
Menurut penelitian, ditemukan bahwa kelompok ibu dengan status pendidikan
SLTP ke atas mempunyai kemungkinan 1,25 kali memberikan cairan rehidrasi
oral dengan baik pada balita dibanding dengan kelompok ibu dengan status
pendidikan SD ke bawah. Diketahui juga bahwa pendidikan merupakan faktor
yang berpengaruh terhadap morbiditas anak balita. Semakin tinggi tingkat
pendidikan orang tua, semakin baik tingkat kesehatan yang diperoleh si anak.
 Faktor pekerjaan
Ayah dan ibu yang bekerja Pegawai negeri atau Swasta rata-rata mempunyai
pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan ayah dan ibu yang bekerja sebagai
buruh atau petani. Jenis pekerjaan umumnya berkaitan dengan tingkat
pendidikan dan pendapatan. Tetapi ibu yang bekerja harus membiarkan anaknya
diasuh oleh orang lain, sehingga mempunyai risiko lebih besar untuk terpapar
dengan penyakit.
 Faktor umur balita
Sebagian besar diare terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun. Balita yang
berumur 12-24 bulan mempunyai resiko terjadi diare 2,23 kali dibanding anak
umur 25-59 bulan.
 Faktor lingkungan
Penyakit diare merupakan merupakan salah satu penyakit yang berbasisi
lingkungan. Dua faktor yang dominan yaitu sarana air bersih dan pembuangan
tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama dengan perilaku manusia.
Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta
berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula, yaitu melalui
makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare.
 Faktor Gizi
Diare menyebabkan gizi kurang dan memperberat diarenya. Bayi dan balita yang
gizinya kurang sebagian besar meninggal karena diare. Hal ini disebabkan
karena dehidrasi dan malnutrisi.
 Faktor makanan dan minuman yang dikonsumsi
Kontak antara sumber dan host dapat terjadi melalui air, terutama air minum
yang tidak dimasak dapat juga terjadi secara sewaktu mandi dan berkumur.
Kontak kuman pada kotoran dapat berlangsung ditularkan pada orang lain
apabila melekat pada tangan dan kemudian dimasukkan kemulut dipakai untuk
memegang makanan. Kontaminasi alat-alat makan dan dapur. Bakteri yang
terdapat pada saluran pencernaan adalah bakteri Etamoeba colli, salmonella,
sigella. Dan virusnya yaitu Enterovirus, rota virus, serta parasite yaitu cacing
(Ascaris, Trichuris), dan jamur (Candida albicans).
 Faktor terhadap Laktosa (susu kaleng)
Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan. Pada
bayi yang tidak diberi ASI resiko untuk menderita diare lebih besar daripada
bayi yang diberi ASI penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat juga
lebih besar. Menggunakan botol susu ini memudahkan pencemaran oleh kuman
sehingga menyebabkan diare. Dalam ASI mengandung antibody yang dapat
melindungi kita terhadap berbagai kuman penyebab diare seperti Sigella dan V.
Cholerae.

4. PATOFISIOLOGI
Diare adalah ketidakseimbangan dalam penyerapan dan sekresi air dan elektrolit.
Ini mungkin terkait dengan penyakit tertentu saluran gastrointestinal (GI) atau dengan
penyakit di luar saluran cerna. Empat mekanisme pathophysiologic umum mengganggu
keseimbangan air dan elektrolit, menyebabkan diare;
- perubahan dalam transportasi ion aktif dengan penurunan penyerapan natrium
atau sekresi klorida meningkat,
- perubahan motilitas usus,
- peningkatan osmolaritas luminal, dan
- peningkatan tekanan hidrostatik jaringan.

Mekanisme ini telah berhubungan dengan empat kelompok diare klinis yang luas:
secretory, osmotik, eksudatif, dan mengubah transit usus.

- Diare sekresi terjadi ketika zat merangsang (misalnya, peptida usus vasoaktif
[VIP], obat pencahar, atau racun bakteri) meningkatkan sekresi atau mengurangi
penyerapan sejumlah besar air dan elektrolit.
- Penyakit inflamasi saluran cerna dapat menyebabkan diare eksudatif dengan
pembuangan lendir, protein, atau darah ke dalam usus. Dengan mengubah transit
usus, motilitas usus diubah dengan mengurangi waktu kontak di usus kecil,
pengosongan prematur usus besar, atau pertumbuhan berlebih bakteri. (Wells et
al., 2015)

5. TERAPI NON-FARMAKOLOGI
 Pengaturan diet merupakan prioritas utama untuk pengobatan diare. Klinisi
merekomendasikan untuk menghentikan makanan padat selama 24 jam dan
menghindari produk produk yang mengandung susu.
 Pemberian diet makanan lunak dimulai seiring adanya penurunan gerakan usus.
 Minum yang banyak agar dapat mencegah dehidrasi
 Menghindari makanan dan minuman yang tidak bersih untuk menghindari
masuknya patogen ke dalam organ GI yang juga dapat menyebabkan diare
 Mencuci tangan sebelum makan dan minum
 Menyarankan untuk melakukan istirahat yang cukup.
 Apabila muntah dan dehidrasi tidak parah, pemberian makanan eneral
merupakan metode yang terpilih (Sukandar dkk, 2013).

6. TERAPI FARMAKOLOGI
Terapi farmakologi untuk pasien diare antara lain : (Amin, 2015)
a) Penggantian cairan dan elektrolit
Aspek paling penting adalah menjaga hidrasi yang adekuat dan keseimbangan
elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral, yang harus
dilakukan pada semua pasien, kecuali jika tidak dapat minum atau diare hebat
membahayakan jiwa yang memerlukan hidrasi intavena. Idealnya, cairan rehidrasi
oral harus terdiri dari 3,5 gram natrium klorida, 2,5 gram natrium bikarbonat, 1,5
gram kalium klorida, dan 20 gram glukosa per liter air. Jika terapi intravena
diperlukan, dapat diberikan cairan normotonik, seperti cairan salin normal atau
ringer laktat, suplemen kalium diberikan sesuai panduan kimia darah.
b) Obat anti-diare
- Kelompok opiate
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl, serta kombinasi
difenoksilat dan atropin sulfat. Penggunaan kodein adalah 15-60 mg 3x sehari,
loperamid 2-4 mg/3-4 kali sehari. Efek kelompok obat tersebut meliputi
penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi cairan, sehingga dapat
memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekuensi diare. Bila diberikan
dengan benar cukup aman dan dapat mengurangi frekuensi defekasi sampai 80%.
Obat ini tidak dianjurkan pada diare akut dengan gejala demam dan sindrom
disentri.
- Kelompok adsorben
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit
diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyerap bahan infeksius
atau toksin. Melalui efek tersebut, sel mukosa usus terhindar kontak langsung
dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit.
- Probiotik
Kelompok probiotik terdiri dari Lactobacillus dan Bifi dobacteria atau
Saccharomyces boulardii, bila meningkat jumlahnya di saluran cerna akan
memiliki efek positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan reseptor saluran
cerna. Untuk mengurangi/ menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah
adekuat.

Sedangkan menurut Pharmacotherapy Handbook Edisi 9, terapi farmakologi


untuk pasien diare dikelompokkan ke dalam beberapa kategori yakni antimotilitas,
adsorben, senyawa antisekresi, antibiotik, enzim, dan mikroflora usus. Biasanya, obat-
obatan ini tidak bersifat kuratif tetapi paliatif.

a. Antimotilitas
- Opiat dan turunan opioid menunda transit intraluminal content atau
meningkatkan kapasitas usus, memperpanjang kontak dan penyerapan.
Keterbatasan opiat adalah potensi kecanduan (kekhawatiran nyata dengan
penggunaan jangka panjang) dan memburuknya diare pada diare menular
tertentu.
- Loperamide sering direkomendasikan untuk mengatasi diare akut dan kronis.
Diare yang berlangsung 48 jam setelah memulai loperamide memerlukan
perhatian medis.
b. Absorben
- Adsorben (seperti kaolin-pektin) digunakan untuk menghilangkan. Adsorben
tidak spesifik dalam mekanisme aksinya. Mereka menyerap nutrisi, racun, obat-
obatan, dan digestive juices. Pemberian bersama dengan obat lain dapat
mengurangi ketersediaan hayati.
c. Antisekresi
- Bismuth subsalisilat sering digunakan untuk pengobatan atau pencegahan diare,
memiliki efek antisekresi, antiinflamasi, dan antibakteri. Bismuth subsalisilat
mengandung banyak komponen yang mungkin beracun jika diberikan
berlebihan untuk mencegah atau mengobati diare.
- Persiapan Lactobacillus dimaksudkan untuk menggantikan mikroflora kolon. Ini
seharusnya mengembalikan fungsi usus dan menekan pertumbuhan
mikroorganisme patogen. Namun, produk susu yang mengandung 200 hingga
400 g laktosa atau dekstrin sama efektifnya dalam rekolonisasi flora normal.
- Obat antikolinergik, seperti atropin, menghambat tonus vagus dan
memperpanjang waktu transit usus. Nilai mereka dalam mengendalikan diare
dipertanyakan dan dibatasi oleh efek samping.
d. Octreotide
- Octreotide, analog octapeptide sintetik dari somatostatin endogen, diresepkan
untuk pengobatan simtomatik tumor karsinoid dan tumor yang mensekresi
peptida lainnya. Kisaran dosis untuk mengelola diare yang terkait dengan tumor
karsinoid adalah 100 hingga 600 mcg setiap hari dalam dua hingga empat dosis
terbagi, secara subkutan, selama 2 minggu.
-

7. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI


SOAL TUTORIAL FARMAKOTERAPI SISTEM PERNAFASAN DAN
PENCERNAAN

DIARE NON-INFEKSI

Tn KL berusia 56 tahun dirawat di rumah sakit dengan keluhan utama nyeri


abdominal bagian atas dan perut terasa membengkak setelah makan selama hampir 4
bulan. Pasien didiagnosa mengalami gastric antrum adenocarcinoma melalui biopsy
endoskopi dan menjalani operasi open distal gastrectomy. Tiga minggu setelah operasi,
pasien menerima kemoterapi (5-flurouracil). Pada hari ke-21 setelah kemoterapi, pasien
mengeluhkan nyeri pada abdomen dan diare parah (tidak berdarah, berwarna kuning
gelap, berair, 3 kali sehari) sehingga dirawat kembali di rumah sakit. Bowel sound
menunjukkan hipereactive (12 x /min). Pasien mengaku sering mengkonsumsi Mylanta
dan omeprazole untuk meredakan rasa mual dan muntah yang dialami pasien. Setelah
diobservasi di rumah sakit, dokter memutuskan untuk menghentikan kemoterapinya dan
memberikan terapi suportif. Walaupun demikian kondisi pasien tidak mengalami
perbaikan dan kondisi pasien menurun. Hasil kultur menunjukkan clostridium difficille
negative.

1. Jelaskan permasalahan terapi yang terjadi pada pasien ini?

2. Jelaskan target terapi untuk pasien ini?

3. Jelaskan terapi non-farmakologi yang dapat diberikan untuk menunjang


keberhasilan terapi diare pada pasien ini?

4. Buatlah regimen terapi farmakologi untuk mengatasi diare pada pasien ini
dan carilah guideline terapi yang dapat digunakan untuk mengatasi diare
pasien!

5. Jelaskan gejala klinis dan data lab yang perlu diperhatikan untuk
mengevaluasi efektivitas dan efek samping terapi diare pada pasien!
8. PEMBAHASAN KASUS

1. Jelaskan permasalahan terapi yang terjadi pada pasien ini?

Jawab :

a. Keluhan utama nyeri abdominal bagian atas dan perut terasa membengkak
setelah makan selama hampir 4 bulan. Pasien didiagnosa mengalami gastric
antrum adenocarcinoma melalui biopsy endoskopi. Menjalani operasi open
distal gastrectomy
b. Pasien mengeluhkan Diare parah (tidak berdarah, berwarna kuning gelap,
berair, 3 kali sehari) dikarenakan 3 minggu setelah operasi, pasien
menerima kemoterapi (5-flurouracil). Menurut Kementerian Kesehatan
RI, 5-Flourourasil (5-FU) merupakan obat kemoterapi golongan
antimetabolit pirimidin dengan mekanisme kerja menghambat metilasi asam
deoksiuridilat menjadi asam timidilat dengan menghambat enzim timidilat
sintase, terjadi defisiensi timin sehingga menghambat sintesis asam
deoksiribonukleat (DNA), dan dalam tingkat yang lebih kecil dapat
menghambat pembentukan asam ribonukleat (RNA). DNA dan RNA ini
penting dalam pembelahan dan pertumbuhan sel, dan efek dari 5- FU dapat
membuat defisiensi timin yang menimbulkan ketidakseimbangan
pertumbuhan dan menyebabkan kematian sel. Patofisiologi terjadinya diare
diduga akibat adanya efek antimitotik terhadap sel-sel pada usus yang
menyebabkan terjadi penurunan pembelahan enterosit yaitu sel-sel pada usus
yang berperan dalam absorpsi sehingga terjadi pula penurunan luas
permukaan absorpsi
c. Pasien mengaku sering mengkonsumsi Mylanta dan omeprazole untuk
meredakan rasa mual dan muntah yang dialami pasien. Mylanta merupakan
obat golongan antasida yang mengandung kombinasi aluminium hidroksida
dan magnesium hidroksida yang bekerja menetralkan asam lambung.
Aluminium hidroksida dapat menyebabkan konstipasi, dan Magnesium
Hidroksida yang dapat menyebabkan diare, serta Simetikon. Kehadiran zat
aktif secara osmotik dalam saluran pencernaan mengurangi penyerapan
cairan ke dalam aliran darah sehingga menyebabkan diare pada pasien
(BPOM, 2008). Kemudian Omeprazole merupakan obat golongan proton
pump inhibitor yang digunakan untuk menurunkan produksi asam berlebih
pada lambung. Pemberian Omeprazole ini juga seharusnya dihentikan karena
Omeprazole merupakan salah satu obat yang dapat menginduksi diare. Obat
golongan PPI dapat mempengaruhi pertahanan saluran pencernaa serta
gangguan dari proses normal patofisiologi dari cairan dan absorpsi dan
sekresi elektrolit. (Flood, dkk., 2015)
d. Pada Bowel sound pasien, menunjukkan hipereactive (12 x /min). Bowel
sound sering dicatat oleh dokter yang memeriksanya menjadi hiperaktif
ketika pasien mengalami diare. Meningkatnya pergerakan peristaltik usus
disertai dengan peningkatan akumulasi cairan dan gas usus meningkatkan
suara tinja berair yang mengalir melalui usus. Keadaan malabsorpsi tertentu
dikaitkan dengan bising usus yang berlebihan. Sebagai contoh, berkurangnya
kadar enzim dalam usus yang diperlukan untuk mencerna gula susu laktosa,
memungkinkan gula untuk mencapai usus besar di mana ia difermentasi oleh
bakteri usus. Organisme ini melepaskan hidrogen dan produk yang menarik
cairan ke dalam usus dan merangsang kontraksi. Ini memperkuat tiga kondisi
yang menghasilkan bunyi perut: gerakan usus, gas, dan cairan (IFFGD,
2019).
e. Hasil kultur menunjukkan clostridium difficille negative. Clostridium
difficille negative artinya tidak terdapat bakteri clostridium difficille di usus
besar pasien. Sehingga dapat dikatakan pasien ini diare bukan karena adanya
bakteri clostridium difficille dan tidak mengalami infeksi walaupun banyak
kasus yang terjadi pada pasien menjalani kemoterapi dengan banyak
penyakit yang mereka miliki. Apabila ada di usus besar, bakteri komensal
yang melindungi inang memberikan pertahanan yang kuat terhadap patogen.
Gangguan populasi komensal ini dengan terapi antibiotik dapat
mengakibatkan Clostridium difficile supra-infeksi yang menyebabkan diare
melalui produksi toksin. Ini sangat penting pada pasien lansia yang
menjalani kemoterapi untuk keganasan dan mereka yang memiliki banyak
penyakit. Organisme merespons vankomisin, metronidazol, dan bacitracin.
Metronidazole adalah obat pilihan yang disarankan, dengan vankomisin
dicadangkan untuk kambuh (Ratnaike, 1998).

2. Jelaskan target terapi untuk pasien ini?

Jawab :

- Menghilangkan gejala yang diderita pasien seperti : mual, muntah, nyeri


abdominal bagian atas, perut terasa membengkak setelah makan dan diare.
- Mencegah pasien agar tidak mengalami dehidrasi
- Menyeimbangkan kembali kebutuhan elektrolit pasien
- Mengatasi diare pasien dengan melihat warna dan tekstur feses pasien kembali
normal.

3. Jelaskan terapi non-farmakologi yang dapat diberikan untuk menunjang


keberhasilan terapi diare pada pasien ini?

Jawab :

Terapi non farmakologi yang dapat diberikan, yaitu :

1. Menghindari makanan yang berserat tinggi seperti susu, lemak yang dapat
memperparah diare yang dialami
2. Menghindari makanan dan minuman yang tidak bersih untuk menghindari
masuknya patogen ke dalam organ GI yang juga dapat menyebabkan diare yang
lebih parah
3. Menyarankan untuk melakukan istirahat yang cukup
4. Mengatur pola makan
5. Memberikan KIE kepada pasien untuk menghentikan konsumsi PPI dan
omeprazole tanpa saran dokter atau apoteker yang dapat memperparah diarenya
6. Memberikan KIE kepada pasien agar tidak mengkonsumsi obat secara
sembarangan tanpa resep dokter atau saran dari apoteker
7. Minum yang banyak agar dapat mencegah dehidrasi
8. Mencuci tangan sebelum makan dan minum untuk menghindari patogen masuk
yang dapat memperparah diare
9. Mengkonsumsi makanan yang mudah dicerna

4. Buatlah regimen terapi farmakologi untuk mengatasi diare pada pasien ini
dan carilah guideline terapi yang dapat digunakan untuk mengatasi diare
pasien!

Jawab :

NO OBAT METO MESO


1 Loperamide Mengurangi propulsiperistaltik Dapat menyebabkan
4 mg pada dan memperpanjang waktu Ileus, konstipasi,
awalnya, kemudian transit feses, sehingga distensi abdominal,
2 mg setelah setiap meningkatkan penyerapan air sakit perut, tinja
tinja longgar dan elektrolit. berdarah, sinkop
hingga terkontrol, Mekanisme kerja : (pingsan), takikardi
dan kemudian 4-8 Loperamide meningkatkan aventrikel.
mg/hari dalam tone pada sfingter anal. (MIMS,2020)
dosis terbagi. (MIMS, 2020). Loperamide
Maksimal 16 bekerja dengan mengurangi
mg/hari. kecepatan kerja usus, sehingga
(Medscape, 2020) konten yang masuk ke usus
seperti makanan tetap berada di
usus lebih lama. Hal ini
memungkinkan lebih banyak
air diserap kembali kedalam
tubuh dan menghasilkan tinja
yang lebih padat.
2 NaCl infus (i.v) NaCl 0,9% diindikasikan untuk Infus dengan volume
28 tetes/menit terapi keseimbangan elektrolit yang berlebihan
diberikan secara iv. pada dehidrasi yang dapat menyebabkan
(5 kolf/hari) disebabkan oleh semua jenis beban yang berlebih
kasus, seperti kasus dehidrasi, pada sirkulasi dan
diare, hipoosmolalitas, kasus kegagalan
koma yang disebabkan oleh pengendapan jantung
hipertonisitas non ketosis (terbukti dari
diabet, selain itu juga meningkatnya
diindikasikan untuk keracunan tekanan nafas,
metabolik basa klorida rendah, mengi,
dan penggunaan luar NaCl menggelembungnya
dapat digunakan untuk tekanan darah leher).
mencuci mata dan luka. (McEvoy, G. K.
Mekanisme kerja : Natrium 2002)
klorida digunakan untuk
mengatasi ketidakseimbangan
elektrolit. Natrium klorida
dalam larutan isotonik
menyediakan ion ekstrasel
yang paling penting dalam
kadar yang mendekati
fisiologis. Infus natrium
klorida dapat langsung masuk
ke dalam sirkulasi sistemik
sehingga bioavailabilitasnya
100%. Kelebihan sodium akan
disekresi paling banyak
melalui ginjal dan sebagian
kecil hilang melalui feses dan
keringat.
3 Ondansentron Antiemetik pasca operasi dan sakit kepala,
8mg /hari secara iv. kemoterapi konstipasi, aritmia
Mekanisme kerja : 5- (Pionas, 2020).
hydroxytryptamine tipe 3 (5-
HT3) antagonis reseptor
mengurangi sensasi visceral,
memperlambat kolon, dan
mengurangi respons kontraktil
dan tonik untuk menelan
makanan. Ondansetron,
antagonis reseptor 5-HT3
selektif yang dikembangkan
pada pertengahan 1980-an,
telah digunakan sebagai
antiemetik untuk
mengendalikan pasca operasi
dan kemoterapi. Ondansetron
memiliki catatan keselamatan
yang panjang dan sangat baik,
dan sebuah studi baru-baru ini
menunjukkan bahwa itu
meningkatkan konsistensi tinja,
mengurangi frekuensi tinja,
dan memperlambat transit
kolon di IBS-D (Lee, 2015)
4 Kodein Dapat digunakan untuk diare Bisa terjadi mual,
30 mg 3-4 kali ringan, grade 1-2 dengan muntah, konstipasi,
sehari (antara 15- memperlambat motilitas rasa mengantuk.
60 mg) saluran pencernaan. Nyeri (Pionas, 2020)
ringan sampai sedang
Mekanisme kerja : Kodein
adalah agonis opiat derivat
fenantrena yang mengubah
persepsi dan respons terhadap
nyeri dengan mengikat reseptor
opiat di SSP .
5 Octreotide Mengobati diare pada pasien anoreksia, mual,
100- 600 mcg/hari dengan sindrom carcinoid atau perut kembung
selama 2 minggu VIPomas, diare akibat
(Wells et al., 2015) kemoterapi, HIV, dan sindrom
dumping setelah operasi
lambung.
Mekanisme kerja :
Merupakan analog penghambat
hipotalamus hormon
somatostatin diindikasikan
untuk mengobati gejala yang
timbul akibat tumor
neuroendokrin (terutama
karsinoid) dan akromegali.
Okreotid digunakan untuk
mencegah komplikasi akibat
pembedahan pankreatik.
Menghambat
pelepasan hormon
pertumbuhan, glukagon,
dan insulin, serta mengurangi
aliran darah ke saluran
pencernaan. Obat ini juga akan
menghambat pelepasan
hormon-hormon pencernaan,
seperti serotonin, gastrin,
peptida vasoaktif usus,
sekretin, motilin, dan
polipeptida pankreas. (Pionas,
2020)

5. Jelaskan gejala klinis dan data lab yang perlu diperhatikan untuk
mengevaluasi efektivitas dan efek samping terapi diare pada pasien!

Jawab :
Evaluasi efektivitas dan efek samping terapi diare pada pasien dapat
dipantau dalam 24 jam.

a. Untuk mengevaluasi efektivitas dan efek samping terapi berdasarkan gejala


klinis adalah
 Pasien tidak merasakan nyeri abdominal bagian atas.
 Pasien tidak merasakan lagi adanya diare kronis
 Pasien sudah tidak merasakan gejala mual dan muntah
 Pasien tidak merasakan dehidrasi
b. Pemeriksaan laboratorium pada penyakit diare untuk mengevaluasi efektivitas
dan efek samping terapi berdasarkan data lab adalah
 Melakukas pemeriksaan tes darah rutin dapat memberikan petunjuk etiologi
dan status cairan dan elektrolit. Tes darah lainnya harus diperoleh hanya jika
diminta oleh presentasi klinis. Tes darah lengkap bertujuan untuk
mengetahui kondisi kesehatan pasien secara keseluruhan yang meliputi
hemoglobin, hematokrit, trombosit, sel darah merah, sel darah putih, dan
gula darah (Andrianto, P., 1995).
 Studi analisis feses untuk monitoring adanya gangguan saluran pencernaan
pasien. Dengan ciri – ciri feses pasien yang normal adalah feses bewarna
coklat dan konsistensi (padat, tidak berair atau longgar).
 Monitoring bowel sound pasien agar kembali normal dengan cara pasien
disarankan untuk periksa ke dokter dengan pemeriksaan fisik abdomen
menggunakan alat stetoskop.
 Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal,
pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium, kalsium, dan fosfor
dalam serum (terutama pada penderita diare yang disertai kejang.

9. DAFTAR PUSTAKA

Amin, Lukman Z. 2015. Tatalaksana Diare Akut. CDK-230/ vol. 42 no. 7: 504-508.

Andrianto, P., 1995, Penatalaksanaan dan Pencegahan diare Akut, 1-4, EGC, Jakarta
Dipiro, Joseph T., Robert L. Talbert, Gary C. Wee, Gary R. Matzke, Barbara G. Wells,
L. Michael Posey. (2017). Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach :
Tenth Edition. USA : Mc-Graw Hill.
Flood, P., Rathmell, J. P., Shafer, S. 2015. STOELTING'S Pharmacology and
Physiology in Anesthetic Practice Fifth Edition. United States of America :
Library of Congress Cataloging.
Hidayah, Y.W., 2018. Asuhan Keperawatan Pada Diare Akut Dehidrasi Sedang Fokus
Studi Kekurangan Volume Cairan Di Rsud Temanggung. Jurnal Ilmiah
Kebidanan (Scientific Journal of Midwifery), 4(2), pp.139-142.

International Foundation for Gastrointestinal Disorders (IFFGD). 2019. A Noisy


Tummy: What Does it Mean?. [Online]. (https://www.iffgd.org/symptoms-
causes/abdominal-noises.html?showall=1) . Diakses 24 April 2020.
Kementerian Kesehatan RI. Panduan Penatalaksanaan Kanker Kolorektal. Jakarta:
Kemenkes RI.
Lee, Kwang Jae. 2015. Pharmacologic Agents fos Chronic Diarrhea. Intestinal
Reasearch. 13(4):306-3012.
McEvoy, G. K. 2002. AHFS Drug Information. United State of America : American
Society of Health System Pharmacist.
Pionas BPOM. Kodein fosfat. (Onlline). ( http://pionas.pom.go.id/monografi/kodein-
fosfat-1, diakses 26 April 2020.
Pionas BPOM. Oktreotid. (Online). (http://pionas.pom.go.id/nama-generic/oktreotid,
diakses 22 April 2020.
Pionas BPOM. Ondansetron. (Online). (http://pionas.pom.go.id/monografi/ondansetron,
26 April 2020.
Purbayu, H., 2015. Diare Kronik. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed. 2: Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo
Surabaya, p.234.
Ratnaike, R. N., & Jones, T. E. 1998. Mechanisms of Drug-Induced Diarrhoea in the
Elderly. Drugs & Aging. Vol. 13 (3) : 245–253.
Sukandar,E.Y.,dkk. 2013. ISO Farmakoterapi Farmakope. Jakarta: PT.ISFI Penerbitan.
Wells, B. G., DiPiro, J. T., Schwinghammer, T. L., DiPiro, C. V. 2015.
Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. US: McGraw Hill Education.
World Gastroenterology Organisation. 2005. World Gastroenterology Organisation
Practice Guideline: Acute Diarrhea.

Anda mungkin juga menyukai