Anda di halaman 1dari 5

Landasan Ilmiah Pelaksanaan Pendidikan Jasmani

MAY 02, 2018

Secara ilmiah pelaksanaan pendidikan jasmani mendapat dukungan dari


berbagai disiplin ilmu, di mana pandangan-pandangan dari setiap disiplin tersebut dapat
dijadikan sebagai landasan bagi berlangsungnya program penjas di sekolah-sekolah. Di
bagian ini, penulis akan menguraikan landasan ilmiah dari minimal tiga disiplin ilmu,
yaitu dari sudut pandang biologis, sudut pandang psikologis, dan yang terakhir sudut
pandang sosiologis.

a.     Landasan Biologis bagi Pendidikan Jasmani


Pendidikan jasmani adalah disiplin yang berorientasi tubuh, di samping
berorientasi pada disiplin mental dan sosial. Guru pendidikan jasmani karenanya harus
memiliki penguasaan yang kokoh terhadap fungsi fisikal dari tubuh untuk memahami
secara lebih baik pemanfaatannya dalam kegiatan pendidikan jasmani. Khususnya
dalam masa modern dewasa ini, ketika pendidikan gerak dipandang teramat penting,
pengetahuan tentang bagaimana tubuh manusia berfungsi dipandang amat krusial agar
bisa melaksanakan tugas pengajaran dengan baik.

Joseph W. Still telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk meneliti


perilaku fisikal dan intelektual manusia. Meskipun penelitiannya sudah berlangsung di
masa lalu, namun masih menemukan faktanya di masa kini, bahkan maknanya seolah
mendapatkan angin baru dalam era teknologi dewasa ini. Dalam penelitiannya, Still
menemukan bahwa keberhasilan manusia dalam pencapaian prestasi, baik dalam hal
prestasi fisikal maupun dalam prestasi intelektual, berhubungan dengan usia serta
dapat digambarkan dalam bentuk sebuah kurva, di mana kurva itu bisa menaik dan bisa
menurun, sesuai dengan perjalanan usia manusia.

Dalam kurva hasil penelitian Still ditunjukkan bahwa tidak lebih dari 5% populasi
manusia berhasil mendaki kurva keberhasilan, sedang selebihnya lebih banyak
mengikuti kurva kegagalan, terutama setelah melewati usia antara 25 hingga 35 tahun.
Yang menarik, menurut dugaan Still, kurva kegagalan dalam pertumbuhan fisik
menunjukkan bahwa perkembangan fisik manusia dewasa ini semakin berkurang.
Sebabnya, manusia modern sekarang dihadapkan pada rendahnya melakukan latihan
fisik, di samping karena terlalu banyak makan, minum, dan merokok; sehingga mereka
merosot kondisinya setelah usia 30 tahunan. Demikian juga dalam hal pertumbuhan
dan perkembangan psikologis, yang menunjukkan kurva kegagalan dalam hal
prestasinya. Ciri-ciri perkembangan mental menunjukkan puncak prestasi pada tahap
perkembangan yang berbeda.

Kemampuan mengingat dicapai pada usia muda, imajinasi kreatif mencapai


puncaknya pada usia dua puluhan hingga tiga puluhan, keterampilan menganalisis dan
sintesis suatu persoalan berakhir di usia pertengahan, sedangkan pada usia-usia
berikutnya berkembang kemampuan berfilsafat.

Secara biologis, manusia dirancang untuk menjadi mahluk yang aktif. Meskipun
perubahan dalam jaman dan peradaban telah menyebabkan penurunan dalam jumlah
aktivitas yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas-tugas dasar yang berkaitan
dengan kehidupan, sebenarnya tubuh manusia tidaklah berubah. Karenanya, manusia
harus tetap menyadari bahwa dalam hal kesehatan tubuhnya, dasar biologisnya
menuntut dan mengakui pentingnya aktivitas fisik yang keras dalam hidupnya. Jika
tidak, kesehatan, produktivitas, serta efektivitas hidupnya akan menurun drastis. Dalam
hal itulah pendidikan jasmani yang baik di sekolah dan di masa-masa berikut dalam
hidupnya dipandang amat penting dalam menjaga kemampuan bilogis manusia.
Dipandang dari sudut ini, pendidikan jasmani terikat dekat pada kekuatan mental,
emosional, sosial, dan spiritual manusia.
  

b.     Landasan Psikologis Pendidikan Jasmani


Pendidikan jasmani melibatkan interaksi antara guru dengan anak serta anak
dengan anak. Di dalam adegan pembelajaran yang melibatkan interaksi tersebut,
terletak suatu keharusan untuk saling mengakui dan menghargai keunikan masing-
masing, termasuk kelebihan dan kelemahannya. Dan ini bukan hanya berkaitan dengan
kelainan fisik semata-mata, tetapi juga dalam kaitannya dengan perbedaan psikologis
seperti kepribadian, karakter, pola pikir, serta tak kalah pentingnya dalam hal
pengetahuan dan kepercayaan.
Program pendidikan jasmani yang baik tentu harus dilandasi oleh pemahaman
guru terhadap karakteristik psikologis anak, dan yang paling penting dalam hal
sumbangan apa yang dapat diberikan oleh program pendidikan jasmani terhadap
perkembangan mental dan psikologis anak.

Studi dalam ilmu-ilmu psikologi mempunyai implikasi untuk para guru pendidikan
jasmani, terutama dalam wilayah atau sub-disiplin ilmu teori belajar, teori pembelajaran
gerak, perkembangan kepribadian, serta sikap. Kesemua sub-disiplin itu, memberikan
pemahaman yang lebih luas dalam hal bagaimana anak belajar, dan yang terpenting
upaya apa yang harus dipertimbangkan guru dikaitkan dengan menciptakan lingkungan
belajar yang memungkinkan anak belajar.

Kata psikologi berasal dari kata-kata Yunani psyche, yang berarti jiwa atau roh,
dan logos, yang berarti ilmu. Diartikan secara populer, psikologi adalah ilmu jiwa atau
ilmu pikiran. Para ahli psikologi mempelajari hakikat manusia secara ilmiah, dan untuk
memahami alam pikiran manusia, termasuk anak, termasuk ciri-ciri manusia ketika
belajar. Pendidikan jasmani lebih menekankan proses pembelajarannya pada
penguasaan gerak manusia. Pemahaman yang lebih mendalam terhadap
kecenderungan dan hakikat gerak ini, misalanya melalui teori gerak dan teori belajar
gerak, maka memungkinkan guru lebih memahami tentang kondisi apa yang perlu
disediakan untuk memungkinkan anak belajar secara efektif.

Jika dahulu para guru penjas lebih bersandar pada teori belajar behaviorisme,
yang lebih melihat proses pembelajaran dari perubahan perilaku anak, maka dewasa ini
sudah diakui adanya keharusan untuk memahami tentang apa yang terjadi di dalam diri
anak ketika mempelajari keterampilan gerak, yang ditunjang oleh berkembangan teori
belajar kognitivisme.

Bersandar secara berlebihan pada teori belajar behaviorisme tentu mengandung


kelemahan tertentu, karena mendorong dan membenarkan guru dengan proses
pembelajaran yang sangat mekanistis; sekedar terjadi persambungan antara stimulus
(aba-aba guru) dengan respons siswa (gerakan siswa), yang diperkuat oleh adanya
reinforcement (ucapan pujian dari guru). Akibatnya, guru pun umumnya abai dengan
bagaimana sebenarnya proses yang terjadi di dalam otak dan perangkat gerak anak,
sehingga guru tidak pernah terlalu mempertimbangkan kualitas dari proses
pembelajaran, termasuk keharusan untuk melibatkan proses berpikir dari anak.
Akhirnya, anak relatif tidak pernah punya gagasan apapun dalam pelajaran, dan klaim
bahwa penjas memiliki peranan dalam pengembangan kemampuan intelektual anak
tidak terbuktikan secara nyata.

Perkembangan teori belajar kognitivisme menguak fakta kekakuan proses


pembelajaran penjas tersebut. Dalam salah satu teori belajar pengolahan informasi
(information processing theory) diungkap bahwa idealnya pembelajaran gerak adalah
sebuah proses pengambilan keputusan, yang secara hirarkis akan selalu melalui tiga
tahapan yang tetap, yaitu tahap mengidentifikasi stimulus, tahap memilih respons, dan
tahap memprogram respons. Jika pada proses pembelajaran siswa diberi kesempatan
dan didorong untuk terus-menerus meningkatkan kemampuan pengambilan
keputusannya, maka secara pasti kemampuannya tersebut terlatih, karena masing-
masing perangkat yang berhubungan dengan ketiga tahapan pengambilan keputusan
itupun kemampuannya semakin meningkat pula.

Dari pemahaman terhadap landasan psikologis itulah, maka pembelajaran


penjas yang baik tidak cukup hanya dengan memberikan perintah dan tugas-tugas
gerak semata (misalnya dengan instruksi yang klasik seperti, “... ketika kamu menerima
bola, kamu lari ke arah sana, lalu kamu lempar bola itu ke si A, dan kamu kembali ke
sini”), melainkan harus pula dibarengi dengan upaya memberikan kesempatan pada
mereka untuk menganalisis situasi dan berikan kebebasan untuk mengambil keputusan
sendiri (misalnya: “... baik, ketika posisi lapangan ketat dan kamu dijaga terus oleh
lawan, kira-kira kemanakah kamu harus melempar bola? Coba kita praktekkan, apakah
keputusanmu sudah tepat atau tidak?”).

c.      Landasan Sosiologis dalam Pendidikan Jasmani


Pendidikan jasmani adalah sebuah wahana yang sangat baik untuk proses
sosialisasi. Perkembangan sosial jelas penting, dan aktivitas pendidikan jasmani
mempunyai potensi untuk menuntaskan tujuan-tujuan tersebut. Seperangkat kualitas
dari perkembangan sosial yang dapat dikembangkan dan dipengaruhi dalam proses
penjas di antaranya adalah kepemimpinan, karakter moral, dan daya juang.
Sosiologi berkepentingan dengan upaya mempelajari manusia dan aktivitasnya
dalam kaitannya dengan hubungan atau interaksi antar satu manusia dengan manusia
lainnya, termasuk sekelompok orang dengan kelompok lainnya. Di sisi lain, sosiologi
berhubungan juga dengan ilmu yang menaruh perhatian pada lembaga-lembaga sosial
seperti agama, keluarga, pemerintah, pendidikan, dan rekreasi. Singkatnya, sosiologi
adalah ilmu yang berkepentingan dalam mengembangkan struktur dan aturan sosial
yang lebih baik yang dicirikan oleh adanya kebahagiaan, kebaikan, toleransi, dan
kesejajaran sosial.

Dikaitkan dengan landasan tersebut, seorang guru penjas sesungguhnya adalah


seorang sosiologis yang perlu mengetahui prinsip-prinsip umum sosiologi, agar mampu
memanfaatkan proses pembelajarannya untuk menanamkan nilai-nilai yang dapat
dikembangkan melalui penjas. 
Sebagaimana dikemukakan Bucher, guru yang mengerti sosiologi dalam konteks
kependidikan akan mampu mengembangkan minimal tiga fungsi: 
(1) pengaruh pendidikan pada institusi sosial dan pengaruh kehidupan
kelompok  pada individu, seperti bagaimana sekolah berpengaruh kepribadian
atau perilaku individu; 
(2) hubungan manusia yang beroperasi di sekolah yang melibatkan siswa, 
     orang tua, dan guru dan bagaimana mereka mempengaruhi kepribadian 
    dan perilaku individu; dan 
(3) hubungan sekolah kepada institusi lain dan elemen lain masyarakat, 
      misalnya pengaruh dari pendidikan pada kehidupan masyarakat kota.

Anda mungkin juga menyukai