BAB II
Para penguasa
yang seharusnya melindungi kaum pinggiran
dari tindakan pengusaha yang tidak adil
namun,
penguasa dan pengusaha
serta dibantu oleh aparat dan preman
melakukan kolaborisasi
untuk mengeksploitasinya
Kaum lemah itu
1
Muhidin M. Dahlan, “Gerakan Nirkekerasan Dibawah Bayang-bayang Utopia”, dalam
jurnal Wacana No. IX/2002, hal. 123-124. Pikiran ini sesungguhnya berasal dari Dom Hel
Camara dalam bukunya Spiral Kekuasaan dirensi oleh penulis. Lebih jauh lihat Donm Helder
Camara, Spiral Kekerasan. Yogyakarta : Insist Press dan Pustaka Pelajar, 2000.
21
Radikalisme Kaum Pinggiran
2
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani di Banten 1888. Jakarta : Pustaka Jaya,
1984, hal. 16.
3
Mansour Fakih, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial : Pergolakan Ideologi
LSM Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000, hal. 41.
4
Ibid.
5
Hanya saja, pandangan ini berasal dari kaum aristokrat seperti dikemukana oleh Ratu
Elizabeth, dalam melihat persoalan kemiskinan di Inggris. Lebih jauh lihat misalnya, David Smith
dan Phil Evan, Das Kapital untuk Pemula. Yogyakarta : Insist Press, 2000, hal. 102.
22
Radikalisme Kaum Pinggiran
ketidakadilan dan kezoliman yang mereka terima dari pihak pengusaha. Dalam
banyak kasus, pengusaha ternyata didukung oleh penguasa dan aparat keamanan
serta preman dalam mengeksploitasi kaum pinggiran itu.
6
Mansour Fakih, op. cit. hal. 49.
23
Radikalisme Kaum Pinggiran
7
Martin E. Olsen, The Proces of Social Organization. New Delhi : Oxford University
Press, 1977.
8
Robert Chambers, Pembangunan Desa : Dimulai dari Belakang. Jakarta : LP3ES,
1987.
24
Radikalisme Kaum Pinggiran
9
Robert Gurr, Why Men Rebel Princeton : Princeton University Press, 1971.
10
Mansour Fakih, op. cit., hal. 43.
25
Radikalisme Kaum Pinggiran
kepentingan dasar – dalam hal ini upaya peningkatan kesejahteraan- menjadi hal
yang signifikan dalam gerakan sosial. Lebih jauh lagi, teori konflik yang diyakini
adalah melihat gerakan sosial sebagai suatu kebutuhan yang memandang potensi
gerakan sosial akan menimbulkan akibat positif dan karenanya merupakan sarana
11
Ibid. hal. 46.
12
Kuntowijoyo, Radikalisme Petani. Bentang Press Intervisi Utama, 1993.
26
Radikalisme Kaum Pinggiran
dimulai dan berakhir setelah satu rencana selesai dijalankan, sebuah tindakan
tunggal yang pendek dari satu jenis yang tersubordinat, sebuah demonstrasi
pemogokan yang murni. 13
Pemogokan merupakan senjata ampuh yang dimiliki buruh. Jika buruh
sudah mulai melakukan mogok kerja, maka pihak perusahaan biasanya mulai
memperhatikan tuntutan mereka. Yang muncul dari segala bentuk gerakan buruh
adalah pemberontakan. Pemberontakan merupakan puncak dari gerakan buruh.
Salah satu karya terpenting tentang pemberontakan adalah buah karya Sartono
Kartodirdjo. Melalui karyanya yang sangat menumental dalam penulisan sejarah,
terutama terobosannya dalam pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam studi bukunya
tentang Pemberontakan Petani di Banten 1888, ia menggunakan pendekatan ilmu-
ilmu sosial dalam penulisan sejarah. Sartono berkesimpulan bahwa Gerakan
Petani di Banten ini tidak terlepas dari keikutsertaan pemerintah Belanda dalam
kehidupan masyarakat. Untuk menguasai Banten, pemerintah Belanda
menerapkan sistem birokrasi yang legal rasional, sehingga menimbulkan
perpecahan dalam masyarakat. Kondisi ini tidak dapat diterima oleh elite
masyarakat, sehingga petani di Banten, yang dipimpin oleh elite ulama melakukan
pemberontakan terhadap pemerintah Kolonial Belanda.14 Pemberontakan yang
berlangsung itu membawa akibat panjang bagi pendukungnya, ditandai dengan
terjadinya berbagai penangkapan dan pembuangan bagi mereka yang terlibat
dalam pemberontakan itu.
Pemikiran yang dikemukakan di atas merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Artinya berbagai persoalan buruh yang dimulai dari upah
rendah, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya sampai
pemberontakan merupakan satu kesatuan yang utuh. Walaupun tidak mesti
berurutan secara tegas, namun ia menjadi faktor yang menyatu dalam gerakan
buruh. Dalam hal ini, bayang-bayang ketakutan seringkali menghinggapi
kehidupan buruh, terutama menjelang berlangsungnya proses mobilisasi massa.
Sebagai individu-individu, mereka sangat lemah dan mudah sekali ditekan.
13
Rosa Luxemburg, Pemogokan Massa. Yogyakarta : Gelombang Pasang, 2000.
14
Sartono Kartodirdjo, op.cit.
27
Radikalisme Kaum Pinggiran
Namun, ketika terdapatnya ikatan emosional untuk bersatu, maka individu yang
begitu lemah dan gemulai itu bisa menjadi kekuatan darsyat, yang dapat
menghancurkan halangan apapun yang mereka hadapi. Kekuatan utama mereka
terletak pada massa yang banyak.15 Skema di bawah ini mencoba menggambarkan
tentang hubungan antar variabel dengan faktor-faktor yang saling berkait dalam
gerakan sosial.
Skema 3
Hubungan Variabel
Dalam Radikalisme Kaum Pinggiran
BURUH
KEBIJAKAN KEBIJAKAN
UPPAH
PENGUSAHA PEMERINTAH
MASALAH
KESEJAHTERAAN
JEBAKAN
KEMISKINAN
KERESAHAN
KONFLIK
RADIKALISME
MOGOK
DEMONSTRASI
PEMBERONTAKAN
15
Rosa Luxeeemburg, op.cit.
28
Radikalisme Kaum Pinggiran
16
James R. Scott, Moral Ekonomi Petani. Jakarta : LP3ES, 1985.
17
Sartono Kartodirdjo, op. cit.
29
Radikalisme Kaum Pinggiran
18
David Smith dan Phil Evan, op. cit.
19
Rejendra Singh, Social Movements : Old and New. New Delhi : Sage Publications,
2001.
30
Radikalisme Kaum Pinggiran
Skema 4
Skema radikalisme Kaum Pinggiran
Sebagai akibat dari Kebijakan Pengusaha dan Penguasa
Militer/
Preman
B. Penguasa
Pengusaha
Upah
Rendah Radikal
Survival
Ideolog/
LSM
Inti persoalan adalah bermula dari upah yang rendah. Ketika upah rendah,
maka mereka mencoba untuk bertahan hidup. Namun ketika daya tahan melemah,
sikap radikalpun tidak dapat dielakkan. Faktor di luar buruh juga menentukan
seperti partai politik, LSM dan mahasiswa. Bahkan, kesadaran kritis di kalangan
31
Radikalisme Kaum Pinggiran
buruh ini seringkali berasal dari pendidikan yang mereka dapatkan dari luar. Jika
dilihat dari kasus-kasus yang ada selama ini, tergambar secara jelas bahwa
akumulasi dari berbagai persoalan yang dihadapi buruh tidak hanya soal upah,
tetapi juga tanah dirampok, terusir dari kampung halamannya dan tindakan
kekerasan yang mereka terima dari pihak pengusaha, penguasa dan preman.
Skema diatas juga memperlihatkan bahwa interaksi yang tidak seimbang
berlangsung dari ke empat komponen diatas mengakibatkan munculnya gerakan
social. Dalam gerakan sosial, perlawanan yang dilakukan beragam coraknya.
Rajendra Singh menyebutkan bahwa gerakan social merupakan tindakan yang
mendayu-dayu (autopoietic) yang diterapkan masyarakat pada dirinya sendiri
untuk survival dan berkelanjutan. 20 Namun dalam prakteknya, gerakan seperti ini
berjalan dalam waktu yang panjang dan tidak membuahkan hasil dalam jangka
pendek. Dengan baik sekali Scott mengammbarkan pola gerakan kaum pinggiran
ini yaitu :
Sebagaimana jutaan binatang kecil di laut, mau tidak mau menciptakan
batu karang. Demikian juga ribuan aksi perlawanan individu menciptakan
tembok karang politik dan ekonomi. Namun, jarang sekali orang yang
melakukan tindakan-tindakan kecil itu berusaha menarik perhatian orang
kepada dirinya, sebab keamanan diri mereka justru terletak pada sikap
anonimitas mereka.21
20
P.M. Laksono (eds), Potret Perjalanan Pengorganisasian Masyarakat., Yayasan
Kehati, 2002, hal. iii. Lebih jauh lihat misalnya Rejendra Singh, op.cit.
21
James R. Scott, Senjatanya Orang-orang Kalah. Jakarta : Yayasan Obor, 2000.
32
Radikalisme Kaum Pinggiran
adil. Keempat disebabkan ekses dari pertikaian politik antar elite di tingkat
nasional, yang kemudian menemukan saluran dalam koinflik konflik di tingkat
lokal.22 Dari keempat faktor diatas, studi ini lebih menfokuskan pada bagian
kedua yaitu kesenjangan distribusi, terutama antara buruh dengan majikan
ataupun pemilik modal. Kesenjangan-kesenjangan dari upah ini kemudian
menjadi salah satu focus pembahasan dalam mengkaji kaum pinggiran.
Dalam mengkaji kelompok pinggiran yang melahirkan gerakan social
terdapat dua pola yaitu gerakan social yang berbentuk struktural dan gerakan
social yang berbentuk non struktural. Dalam ungkapan lain, Singh menyebutkan
bahwa gerakan social ada bentuk gerakan social lama dan baru. Gerakan social
yang lama bersifat menekankan unsur perbedaan kelas seperti perlawanan petani
buruh, sedangkan gerakan social baru yang menekankan pada perlawanan tanpa
kelas seperti gerakan mahasiswa, gerakan lingkungan, dan gerakan anti utang. 23
Analisis tentang gerakan sosial menjadi hal pokok dalam bagian buku ini.
Sebagai contoh pada bagian ideologi, dari pokok bahasan ini mahasiswa dapat
mengkaji berbagai ideologi yang berpengaruh dalam gerakan sosial seperti
Islamisme, Marxisme, Sosialisme, dan Nasionalisme. Hal yang utama adalah
penerapan ideologi itu secara nyata berpengaruh terhadap kehidupan dan
kemudian berdasarkan ideologi itulah masyarakat melakukan gerakan sosial.
Akan tetapi, dalam realitasnya ada juga kemungkinan bahwa tanpa ideologi pun
gerakan sosial itu dapat berjalan.
Pertanyaan pokok yang dikemukakan dalam gerakan sosial adalah
mengapa mereka melakukan gerakan. Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditelusuri
dengan pemahaman terhadap konsep dasar gerakan sosial. Gurr menyatakan
bahwa dasar gerakan sosial adalah the basic frustration.24 Mengikuti pendapat
Gurr di atas, tergambar bahwa gerakan sosial dimulai oleh rasa frustrasi atas
keadaan yang menimpa diri seseorang atau sekelompok orang. Rasa frustrasi yang
22
Loekman Soetrisno, Perilaku Kekerasan Kolektif : Kondisi dan Pemicu.
Yogyakarta : Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan UGM Yogyakarta, 1997, hal.
1-2.
23
Rejandra Singh, op. cit.
24
Robert Gurr, op.cit. hal. 9.
33
Radikalisme Kaum Pinggiran
dimiliki oleh seseorang pada awalnya tidak menimbulkan reaksi apapun juga.
Misalnya saja perwujudan dari sikap frustrasi, awalnya hanya diam saja atas
berbagai persoalan yang ada di sekitarnya. Sikap diam seperti itu sudah
merupakan bentuk yang paling dasar dari protes sosial dalam masyarakat. Seorang
anak misalnya, ketika disuruh oleh orang tuanya, ia tidak mau atau diam saja.
Sikap ini sudah merupakan pembangkangan paling awal terhadap kondisi yang
ada dan sudah merupakan bentuk yang paling dasar dari gerakan sosial.
Setelah orang-orang yang frustrasi ini bergabung, maka kumpulan orang-
orang ini memiliki potensi besar untuk memunculkan sebuah konflik, gerakan
ataupun pemberontakan. Tentu saja ini harus memenuhi berbagai persyaratan
lainnya seperti ideologi, issu, dan tokoh. Jadi, jika sikap seperti ini diwujudkan
oleh banyak orang, maka untuk melahirkan sebuah revolusi tinggal mencari
penyebab-penyebab langsungnya saja. Dalam gerakan sosial, antara keinginan dan
kenyataan seringkali berbanding terbalik. Sebagai contoh keinginan menjadi kaya
namun dalam kenyataannya tetap sebagai orang yang miskin. Perbedaan seperti
ini akan dapat memicu gejolak pada diri seseorang maupun dalam masyarakat.
25
Kondisi ini merupakan salah satu syarat dari terjadinya revolusi. Hal penting
yang perlu dicatat adalah kondisi awal dari masyarakat ketika mereka
menginginkan sesuatu dan keinginan itu tidak diwujudkan. Perbedaan antara ide
dengan realitas sosial ini mengakibatkan timbulnya kesenjangan. Kesenjangan itu
kemudian dapat semakin melebar dan pada akhirnya dapat menimbulkan
gelombang protes dalam masyarakat. Gelombang protes itu pada akhirnya dapat
menimbulkan berbagai bentuk seperti puncaknya muncul sebuah revolusi dalam
masyarakat. 26 Protes sosial dalam bentuk apapun juga memiliki tingkatan-
tingkatan. Tingkatan paling mendasar adalah diam dan tingkatan paling
puncaknya adalah peperangan. Robert Gurr merumuskannya : 27
1. Turmoil : Yaitu tindakan kekerasan politis yang tidak terorganisasi dan
partisipasi populer, termasuk serangan politis, kerusuhan, konflik
politik dan pemberontakan kedaerahan yang relatif spontan.
25
Ibid. hal. 37 .
26
W.F. Whertheim, Gelombang Pasang Emansipasi. Jakarta : ISAI, hal. 367.
27
Robert Gurr, op. cit. 11.
34
Radikalisme Kaum Pinggiran
28
Surat kabar Kompas, Juli 1997.
29
Regis Debray, Strategy for Revolution. New York : Monthly Review Press, 1969.
35
Radikalisme Kaum Pinggiran
30
T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah. Jakarta : Sinar Harapan, 1987.
31
Loekman Soetrisno, op. cit. hal. 4.
36
Radikalisme Kaum Pinggiran
32
Johan Galtung, “Kekerasan Kultural”, dalam jurnal Wacana, No. IX/2002, hal. 11.
37
Radikalisme Kaum Pinggiran
gilirannya, konflik dan kekerasan haruslah dilihat sebagai suatu fenomena sosial
yang bersifat natural. Oleh karena itu, maka konflik tidak harus dihindari akan
tetapi dihadapi dan ditngani. Kemudian, kekerasan bukanlah disebabkan oleh
keragaman ataupun konflik. Kekerasan muncul disebabkan carat pandang yang
salah terhadap femonena konflik.33
Teori-teori sosial itu dapat dilihat dari kualitas dan dampak yang
ditimbulkan. Untuk mengcu pada kasus –kasus yang dikemukakan dalam pokok
bahasan, maka akan dicoba dirumuskan beberapa teori. Untuk membatasi
pembahasan, dirumuskan beberapa teori dibawah ini yaitu :
1. Movement
2. Resistance
3. Revolution
4. Evolution
1. Movement
Pemberontakan petani di Banten 1888 merupakan contoh yang tepat dari
analisis tentang movement atau gerakan itu. Dalam pemberontakan petani di
Banten 1888 pemberontakan merupakan suatu akumulasi politik yang telah
berjalan dengan komplek. Jadi pemberontakan bukan sesuatu yang tiba – tiba
berlangsung demikian saja, akan tetapi sudah direncanakan dengan matang. Dari
hal ini dapat dirumuskan bahwa gerakan merupakan suatu bentuk perlawanan
secara kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok besar orang yang direncanakan
secara matang.34 Dalam menyusun gerakan, sudah terlibat beberapa eksponen
seperti elite, dana, perencanaan, pasukan, dan organisasi. Setiap komponen ini
memiliki peran penting dan jika salah satu tidak mencukupi, maka rencana
gerakan bisa menjadi berantakan. Realitas sejarah memperlihatkan bahwa
kegagalan suatu gerakan disebabkan mereka tidak memenuhi semua komponen
didalamnya. Gerakan – gerakan yang terjadi di Indonesia biasanya hanya
mengandalkan pemimpin saja, sehingga menimbulkan kegagalan.
33
Noer Fauzi Et.al., Konflik : Bahaya atau Peluang. Yogyakarya : Insist Pres, 2002,
hal. 37.
34
Sartono Kartodirdjo, op.cit.
38
Radikalisme Kaum Pinggiran
2. Resistance
Reisistance atau perlawanan merupakan bentuk gerakan sosial yang lebih
mengandalkan pola gerakanyang berbentuk spontan. Sikap radikal biasanya lebih
dominan dalam gerakan berbentuk reisistance. Kelompok pendukung dari
reisistance adalah masyarakat bawah. Mereka didukung oleh keyakinan bahwa
akan datang seorang ratu adil yang akan dapat menyelamatkan masyarakat dari
ketidakberdayaan. Ratu adil adalah seorang dewa penyelamat yang diutus oleh
sang pencipta untuk menyelamatkan masyarakat. Gerakan ini biasanya bercorak
gerakan keagamaan. Berbagai nama tentang gerakan ini seperti messianisme (juru
selamat), millinearinisme (ratu adil), nativisme (menghidupkan nilai lama),
prophetisme (kenabian), revitalisme (penghidupan kembali) dan revivalisme
(menghidupkan kembali).35
Pemikiran – pemikiran seperti ini biasa berkembang dalam masyarakat
yang masih bersifat tradisional. Artinya masyarakat yang masih memiliki
kepercayaan tentang mitos. Semua bentuk kebangkitan kembali diyakini sebagai
sebuah kepercayaan. Hal ini sesuai dengan periodesasi yang dikemukakan oleh
Kuntowijoyo bahwa ada tiga tahap dalam masyarakat yaitu tahap mitos, ideologi
dan ide. Pada tahap mitos, masyarakat mempercayai hal – hal yang berbau mistis
dan tidak masuk akal pikiran manusia. Namun masyarakat sangat
mempercayainya, sehingga mereka dapat mengikuti apapun yang dikatakan
rajanya. Sabda Pandita Ratu sebagai ucapan raja yang tidak dapat ditarik
kembali, begitulah keyakinan yang berkembang dalam masyarakat dalam
memepercayaiucapandati rajanya.
Pada tahap ideologi, kepercayaan masyarakat terhadap ideologi sangat
dominan. Dalam era reformasi misalnya, ada berbagai ideologi yang berperang
seperti Islam, nasionalisme, sekulerisme dan nasionalisme. Walaupun belum dapat
dibuktikan bahwa masyarakat pendukung memilih atau memasuki partai politik
berdasarkan ideologi namun bendera yang mereka kibarkan membawa ideologi
yang mereka kembangkan. Pada tahap ilmu, masyarakat lebih mempercayai ilmu.
Dalam masyarakat episode ini, ukuran sesuatu adalah akal pikiran manusia.
35
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil. Jakarta : Sinar Harapan, 1987.
39
Radikalisme Kaum Pinggiran
3. Revolusi
Pembicaraan tentang revolusi haruslah dari konteks penjajah dengan
terjajah ataupun penindas dengan tertindas. Kedua hal ini sangat berkaitan sekali
karena revolusi biasanya berlangsung dalam kondisi masyarakat tertindas atau
terjajah. Crane Brinton dalam bukunya Anatomi Revolusi melihat bahwa ada
tanda – tanda yang sama yaitu adanya pertanda pembelotan dari kaum intelektual
terhadap rezim. Sikap ini kemudian diperlihatkan dengan mengungkapkan ketidak
puasan secara terbuka. Mereaka kaum revolusioner ini melakukan
pembangkangan dalam bentuk tindakan- tindakan melawan hukum. Setelah
muncul perlawanan terbuka dan pihak penguasa membalas dengan senjata, tahap
ini menimbulkan korban yang besar. Mereka inilah tumbal dari revolusi yang
sesungguhnya. Dengan tumbal itu, maka perlawanan serentak untuk
menghancurkan rezim yang zalim itu tidak dapat dihindari lagi. Revolusi meletus
36
Kuntowijoyo, op. cit.
37
C.W. Mills, The Power Elite. London : Oxford University Press, 1967
40
Radikalisme Kaum Pinggiran
dengan melibatkan massa rakyat secara keseluruhan. Revolusi akan berhasil jika
rezim totaliter hancur dan diikuti oleh struktur kekuasaannya. 38
Dalam revolusi, harus juga memenuhi berbagai faktor untuk mencapai
keberhasilannya. Faktor itu meliputi faktor sosial, budaya, ekonomi, aspek
situsional, psikologi, pemicu, dan penyebab langsung. Pemenuhan persyaratan ini
akan lebih memudahkan untuk prose revolusi itu berlangsung. Wertheim
menyatakan bahwa tidak adanya satu komponen dapat revolusi itu tidak berjalan
sesuai dengan bentuk yang sesungguhnya yaitu perubahan secara cepat dan diikuti
oleh tindakan kekerasan.39
Pembicaraan tentang revolusi tidak dapat dilepaskan pada satu nama yaitu
Karl Marx. Melalui karya – karyanya, ia dianggap sebagai pencetus ide revolusi.
Marx melihat bahwa revolusi dapat dicetuskan, jika terdapat kesenjangan –
kesenjangan yang tajam dalam masyarakat. Kesenjangan itu terutama antara
buruh dengan majikan, antara petani dengan tuan tanah, dan antara terjajah
dengan dijajah.40 Pemikiran Marx yang dikutip oleh Crane Brinton ini sering
diajukan dalam kasus – kasus revolusi dinegara ketiga. Contoh kasus adalah
revolusi kemerdekaan Indonesia. Dalam revolusi kemerdekaan Indonesia, konflik
yang terjadi adalah antara antara terjajah dengan penjajah. Konflik keduannya ini
sampai puncaknya dengan kemerdekaan Indonesia.
Pemahaman revolusi disini jangan dilihat sebagai perubahan dalam waktu
singkat. Revolusi itu sendiri, sebagai mana evolusi juga melewati fase – fase
tertentu seperti berbagai perlawanan yang dilakukan terhadap kolonial Belanda.
Perlawanan, pemberontakan dan gerakan yang dikalangan penduduk merupakan
gelombang dari sebuah revolusi yang sesungguhnya. Gelombang itu dimulai sejak
adanya organisasi – organisasi yang melewati batas kultural seperti SI, PNI, PKI,
NU, Muhammadiyah, Budi Utomo, Jong Sumatera, Jong Java dan sebagainya.
Pergumulan organisasi ini untuk mencapai Indonesia merdeka tidaklah berjalan
dalam waktu yang singkat, akan tetapi melewati proses panjang yang klimatnya
38
Crene Brinton, Anatomi Revolusi. Jakarta : Pustaka Jaya, 1984.
39
W. F. Wertheim, op. cit.
40
Crene Brinton, op. cit.
41
Radikalisme Kaum Pinggiran
41
Tentang hal ini ,lihat misalanya George Mc. Turnan Kahim, Nationalisme dan
Revolution in Indonesia. Itacha New York : Cornell Univerisity Press, 1952.
42
F.R. Ankersmit, op. cit.
42
Radikalisme Kaum Pinggiran
43
Sartono Kartodirdjo, op. cit.
43
Radikalisme Kaum Pinggiran
2. Komunis/Marxisme
Corak gerakan yang dilakukan oleh komuis merupakan corak yang paling
beragam dan memiliki kualitas yang tinggi dalam gerakan sosial di Indonesia.
Massa pengikut ideologi ini umumnya memang berasal dari kaum pinggiran itu
sendiri seperti petani, buruh, dan nelayan. Sebagai contoh, kasus pemberontakan
buruh tambang batu bara Ombilin dan pemberontakan Silungkang merupakan
pemberontakan yang didukung oleh tokoh-tokoh Komunis.45
3. Nasionalisme
Sama dengan komunis, pendukung gerakan ini juga berasal dari kalangan
masyarakat kelas bawah. Mereka biasanya lebih bersifat cauvinisme suatu paham
yang terlalu membesar – besarkan kelompok etnis. Dalam pergerakan Indonesia,
organisasi – organisasi yang berbau lokal, namun bernuansa nasional biasanya
bercorak demikian seperti Budi Utomo, PNI dan PSI. pada tingkat elite, mereka
memiliki tingkat intelektual yang tinggi, namun dalam tingkat bawah atau masa
pendukung mereka tidak memiliki kecerdasan yang tinggi. Dalam istilah
kontemporer, mereka adalah orang pinggiran yang tidak mendapat tempat dalam
sistem masyarakat modern. Kelompok – kelompok pendukung Megawati
Soekarno Putri melalui PDI-P merupakan contoh menarik dari kelompok
nasionalis ini. Peristiwa Juli 1996 merupakan bentuk gerakan sosial yang
44
Surat kabar Singgalang, 12 Juni 1998.
45
Abdul Muluk Nasution , Pemberontakan Rakyat Silungkang Sumatera Barat 1927.
Jakarta : Mutiara, 1981.
44
Radikalisme Kaum Pinggiran
46
Rosa Luxemburg, op. cit.
47
Kuntiwojoyo, op. cit.
48
Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization. New York : Free
Press, 1966.
45
Radikalisme Kaum Pinggiran
49
Keith R. Legg, Tuan , Hamba, dan Politisi. Jakarta : Sinar Harapan, 83.
50
Kehadiran Pasukan Berani Mati merupakan salah satu indikator terhadap kepemipinan
Abdurrahman Wahid.
46
Radikalisme Kaum Pinggiran
47
Radikalisme Kaum Pinggiran
48