Anda di halaman 1dari 28

Radikalisme Kaum Pinggiran

BAB II

DARI RASA FRUSTRASI SAMPAI PEMBERONTAKAN

Para penguasa
yang seharusnya melindungi kaum pinggiran
dari tindakan pengusaha yang tidak adil
namun,
penguasa dan pengusaha
serta dibantu oleh aparat dan preman
melakukan kolaborisasi
untuk mengeksploitasinya
Kaum lemah itu

Pokok-pokok pikiran dari gerakan sosial diawali dengan dua pemikiran


dasar kenapa ada anggota masyarakat yang frustrasi dan kemudian kenapa pula
harus memberontak. Kedua hal ini tidaklah berdiri sendiri, akan tetapi memiliki
hubungan yang significant. Artinya, jika dikaji lebih dalam, asal muasal setiap
pemberontakan adalah rasa frustrasi yang dialami oleh setiap angota masyarakat.
Akumulasi yang bertumpuk-tumpuk itulah klimatnya melahirkan sebuah
pemberontakan. Dengan kata lain, pemberontakan sebagai sebuah tindakan
kekerasan muncul ketika situasi ketidakadilan ditengah-tengah masyarakat. Secara
umum hal ini berkaitan erat dengan ketidakbecusan pemegang kekuasaan
menyediakanhidup yang adil dalam masyarakat. Dua hal pokok, disini adalah
ketika penguasa menolak tuntutan ketidakadilan, pengakuan yang berlangsung
atas dasar paksaan melahirkan penindasan.1
Dari pemikiran seperti itu, kemudian melahirkan nernagaio bentuk gerakan
sosial. Pendukung utama dari gerakan sosial itu biasanya ada dua kelompok
yaitu massa dan elite. Massa pendukung ini sudah jelas sekali adalah kelompok
kaum pinggiran yang umumnya memiliki massa dalam jumlah besar, sedangkan
eleitenya hanaya segelintir orang saja. Dalam gerakan kaum pinggiran, biasanya
eleite-elitenya tidak berasal dari strata sosial mereka sendiri, akan tetapi seringkali

1
Muhidin M. Dahlan, “Gerakan Nirkekerasan Dibawah Bayang-bayang Utopia”, dalam
jurnal Wacana No. IX/2002, hal. 123-124. Pikiran ini sesungguhnya berasal dari Dom Hel
Camara dalam bukunya Spiral Kekuasaan dirensi oleh penulis. Lebih jauh lihat Donm Helder
Camara, Spiral Kekerasan. Yogyakarta : Insist Press dan Pustaka Pelajar, 2000.

21
Radikalisme Kaum Pinggiran

berasal dari kelompok luar. Sartono Kartodordjo menyebutkan bahwa sepanjang


sejarah pemberontakan petani, pemimpinnya jarang sekali dari petani.
2
Pemimpinnya berasal dari elite-elite desa, kaum ningrat. Dalam gerakan kaum
pinggiran dewasa ini, hal ini juga terlihat bahwa elite dari gerakan itu umumnya
adalah aktivis buruh, aktivis LSM, dan mahasiswa. 3
Dapat dilihat dari dua sisi yaitu Mansour Fakih menyebutkan bahwa
gerakan sosial dapat dilihat dari dua sisi, pertama yaitu gerakan sosial sebagai
masalah penyakit masyarakat dan kedua konflik generasi antara yang muda
melawan kemapanan yang kalangan tua.4 Penyakit sosial masyarakat
sesungguhnya dapat dilihat dari berbagai persoalan yang dihadapi untuk bertahan
hidup, sedangkan pola kedua adalah dalam rangka perlawanan terhadap status
quo. Dalam bentuk lain dikatakan juga bahwa orang miskin ada dimana-mana dan
5
dimana-mana menjadi sumber masalah. Jika yang pertama lebih cenderung
terhadap gerakan buruh, tani dan kaum pinggiran lainnya, maka pola kedua dapat
dilihat dari berbagai gerakan mahasiswa, gerakan perempuan dan gerakan
lingkungan yang terjadi selama ini di Indonesia.
Dalam beberapa kasus yang dibahas dalam buku ini, terdapat juga kedua
pola yang terdapat diatas. Pola pertama adalah gerakan buruh tambang batu bara
Ombilin, gerakan buruh di Medan, gerakan buruh dan petani di Riau, eksploitasi
buruh semen Padang, pembangkangan petani Minangkabau terhadap Kolonial
Belanda, kehidupan buruh pasar Aur Kuning dan massa akar rumput dalam
pemilu 199 di Padang. Pada pola kedua dapat dilihat dari gerakan mahasiswa di
Sumatera Barat. Untuk lebih jelasnya, maka bahasan bagian berikut ini mencoba
merumuskan skema perlawanan yang dilakukan oleh kaum pinggiran terhadap

2
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani di Banten 1888. Jakarta : Pustaka Jaya,
1984, hal. 16.
3
Mansour Fakih, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial : Pergolakan Ideologi
LSM Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000, hal. 41.
4
Ibid.
5
Hanya saja, pandangan ini berasal dari kaum aristokrat seperti dikemukana oleh Ratu
Elizabeth, dalam melihat persoalan kemiskinan di Inggris. Lebih jauh lihat misalnya, David Smith
dan Phil Evan, Das Kapital untuk Pemula. Yogyakarta : Insist Press, 2000, hal. 102.

22
Radikalisme Kaum Pinggiran

ketidakadilan dan kezoliman yang mereka terima dari pihak pengusaha. Dalam
banyak kasus, pengusaha ternyata didukung oleh penguasa dan aparat keamanan
serta preman dalam mengeksploitasi kaum pinggiran itu.

A. Skema Perlawanan Kaum Pinggiran


Konsep-konsep pokok yang diterapkan dalam penelitian ini adalah upah,
kesejahteraan, kebijakan pengusaha, kebijakan pemerintah, jebakan kemiskinan,
keresahan, konflik, radikalisme, mogok, demonstrasi, dan pemberontakan.
Upah adalah jasa yang diterima oleh buruh atas kerja yang telah dilakukannya.
Persoalan yang mendasar adalah kecilnya jumlah upah yang mereka terima
sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Walaupun ada aturan-
aturan mengenai upah seperti Upah Minimal Regional atau Upah Minimal
Propinsi, namun tetap saja tidak dapat meningkatkan taraf hidupnya. Dari masalah
upah ini, maka kemudian diikuti oleh masalah kesejahtreran buruh. Dalam
pendekatan Marxisme tradisional, pendekatan ini lebih cenderung melihat
nasyarakat kapitalis dari persepektif perekonomian dimana masyarakat dibagi dua
yaiotu kaum proletar sebagai kelompok yang dieksploitasi ndan kapitalis sebagai
kelompok yang mengeksploitasi. Jadi, dari sudut pandang ini, masalah
perekonomian dilihat dengan carat made production, sehingga perubahan sosial
diturunkan menjadi perjuangan kelas dimana kelas yang dieksploitasi berjuang
melawan kelas mengeksploitadi dari kaum kapitalis.6
Untuk berbagai kasus, hal ini terlihat dari gerakan buruh dimana mereka
ibarat sapi perahan oleh penguasa. Pada hal, jika ada niat baik, maka buruh dapat
diberlakukan lebih manusiawi. Pada negara yang kapitalistik sekalipun, hak-hak
buruh justru mendapat perhatian dari majikan. Salah satu sebabnya adalah kuatnya
organisasi buruh, sehingga buruh memiliki daya tawar menawar dengan pihak
perusahan. Bahkan perusahan seperti Ford menempatkan buruh sebagai bagian
terpenting dari perusahan. Menurut Henry Ford, hubungan yang ideal antara
buruh dengan majikan adalah; Semakin banyak upah yang diberikan kepada
buruh, maka semakin banyak yang dapat dibelinya dari anda dan itu merupakan

6
Mansour Fakih, op. cit. hal. 49.

23
Radikalisme Kaum Pinggiran

keuntungan bagi perusahaan. Pada gilirannya, buruh juga akan menghargai


aturan-aturan yang ada, karena mereka juga mendapat bagian dari keuntungan
7
perusahaan. Catatan penting dalam hal pembagian upah ini adalah buruh
tidaklah merasa sebagai orang luar, terutama karena mereka mendapatkan bagian
keunutngan dari perusahaan.
Dalam temuan lapangan, hal ini akan sulit ditemukan. Pola eksploitasi
menjadi sejarah yang wajar dalam kehidupan buruh sejak zaman kolonial Belanda
sampai sekarang ini. Dalam kasus buruh Deli dan buruh tambang Ombilin
misalnya, tingkat gaji rendah menjadi hal wajar saja. Andema Bare Pirang,
Karajo dek Piti untuk urang (Kerja buruh yang melakukan, namun keuntungan
untuk pejabat) sudah suatu kewajaran. Hal yang muncul adalah untuk sekedar
bertahan hidup saja buruh sudah susah sekali. Tidak heran, ketika ada pikiran dari
luar untuk memperjuangkan nasib mereka, maka akan sangat mudah diterima
buruh. Gejolak, gerakan pun tidak dapat dihindarkan. Setelah masalah upah, maka
masalah kesejahteraan buruh merupakan permasalahan yang krusial dihadapi
buruh. Kesejahteraan adalah menyangkut berbagai jaminan yang diterima buruh
seperti jaminan kesehatan, jaminan sosial, jaminan hari tua, jaminan berserikat
dan jaminan mengeluarkan pendapat. Persoalan adalah konsep jaminan
kesejahteraan antara buruh dengan penguasa dan pengusaha tidaklah sama,
sehingga ini kembali menempatkan buruh sebagai kelompok yang lemah. Jebakan
kemiskinan merupakan persoalan dasar dari ketidakberdayaan buruh. Buruh sulit
untuk keluar dari persoalan yang ada. Jika tidak meninjau ulang kembali struktur
sosial dan ekonomi yang ada, maka selamanya mereka terbenam di dalamnya.
Dalam melihat jebakan kemisikinan itu, Chamber menyebutkannya bahwa
jebakan kemiskinan dalam masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
kebodohan, kemiskinan, keterasingan, cacat fisik, dan tidak memiliki sumber daya
alam.8 Dari berbagai persoalan ini, maka mulailah muncul keresahan-keresahan,
yang sesungguhnya menyimpan potensi konflik yang luar biasa dahsyatnya.

7
Martin E. Olsen, The Proces of Social Organization. New Delhi : Oxford University
Press, 1977.
8
Robert Chambers, Pembangunan Desa : Dimulai dari Belakang. Jakarta : LP3ES,
1987.

24
Radikalisme Kaum Pinggiran

Tidak diragukan lagi bahwa keresahan kaum pingiran diawali denggan


ketidakpuasan yang mereka terima. Hal ini kemudian diikuti dengan tindakan
untuk mempolitisir ketidakpuasan itu. Pada satu sisi ada relative deprivation
(keinginan relatif) yang muncul dari selisih antara Value Expectation (nilai
harapan) dan value capabilities (kemampuan). Nilai harapan adalah hal-hal dan
kondisi kehidupan yang menurut orang itu menjadi haknya, sedangkan nilai
kemampuan adalah kondisi yang menurut mereka dapat dilaksanakan.
Kesenjangan-kesenjangan antara nilai harapan dengan kenyataan mempercepat
proses terjadinya perlawanan.9 Pada gilirannya, berbagai persoalan yang
seharusnya dapat diperbincangkan sebagai suatu perdebatan berakhir dengan
tindakan kekerasan.
Hal seperti ini sudah menjadi gambaran kehidupan keseharian di kalangan
buruh. Konflik dalam gerakan buruh berawal dari keresahan. Keresahan ini dapat
menjurus menjadi konflik tertutup maupun konflik terbuka. Konflik tertutup bisa
dalam bentuk ketidakpatuhan buruh pada aturan kerja, sedangkan konflik terbuka
bisa dalam bentuk pemogokan, maupun tindakan kekerasan. Gerakan buruh yang
berbentuk kekerasan dapat terjadi dalam beberaapa tingkatan seperti demonstrasi,
kerusuhan, pemogokan dan pembakaran. Dalam konteks ini, sorotan adalah pada
usaha-usaha yang dilakukan oleh kaum pinggiran untuk mencapai tujuan mereka
yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Upaya pemenuhan kebutuhan
dasarlah yang sesunnguhnya menjadi persoalan utama mereka, sehingga ketika
hal ini tidak tercapai, maka muncullah perlawanan terbuka maupun tertutupo
terhadap pengusaha maupun penguasa. Dalam melihat konflik ini, Mansour Fakih
merumuskan tiga asumsi dasar yaitu : 10
Pertama, rakyat dianggap memiliki sejumlah kepentingan dasar dan
mereka akan berusaha secara keras memenuhinya.
Kedua, kekuasaan adalah inti dari struktur sosial dan melahirkan
perjuangan untuk mendapatkannya.
Ketiga, nilai dan gagasan adalah senjata konflik yang digunakan oleh
berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing.

9
Robert Gurr, Why Men Rebel Princeton : Princeton University Press, 1971.
10
Mansour Fakih, op. cit., hal. 43.

25
Radikalisme Kaum Pinggiran

Dengan demikian, dalam setiap gerakan sosial, maka perjuangan

kepentingan dasar – dalam hal ini upaya peningkatan kesejahteraan- menjadi hal

yang signifikan dalam gerakan sosial. Lebih jauh lagi, teori konflik yang diyakini

adalah melihat gerakan sosial sebagai suatu kebutuhan yang memandang potensi

gerakan sosial akan menimbulkan akibat positif dan karenanya merupakan sarana

membawa kepada perubahan sosial. 11

Radikalisme merupakan gerakan dari kaum pinggiran baik petani buruh


ataupun mahasiswa yang secara radikal baik strategi, taktik tujuan dan sasaran
dari garakan itu. Pola ini menerapkan strategi awal anti-imperalisme, anti-
feudalisme, anti tuan tanah. Dalam bahasa politik tahun 1965-an, dikenal dengan
sebutan setan desa seperti ulama dan tuan tanah. Taktik yang dijalankan adalah
kerusuhan, pembakaran, aksi sepihak. Tujuan dari gerakan ini adalah
meningkatkan anggota, landreform, dan perjuangan kelas. Adapun sasarannya
adalah perkebunan, partai politik, tuan tanah dan masyarakat tanpa kelas. Jadi
terlihat bahwa petani memiliki potensi yang besar untuk dapat menimbulkan
konflik. Hal ini akan semakin lebih cepat, jika ada kekuatan yang datang dari luar
mempengaruhi buruh. 12
Demontrasi adalah pola gerakan buruh dengan jalan memobilisasi massa.
Tindakan ini muncul ketika tuntutan masalah upah dan kesjahteraan tidak
mendapat perhatian dari pengusaha, maka buruh pun mulai melakukan
perlawanan. Dalam demonstrasi, biasanya mereka turun ke jalan, kantor-kantor
pemerintah. Dalam perkembangan selanjutnya, jika pola ini tidak berjalan, maka
buruh melakukan perlawanan yang lebih keras yaitu mogok massa. Mogok kerja
adalah berhentinya buruh bekerja baik secara sadar, sukarela maupun terpaksa.
Pemogokan adalah suatu indikasi, suatu ide-ide yang terkumpul, dari keseluruhan
periode perlawanan kelas yang berlangsung selama bertahun-tahun dan mungikin
selama berpluh tahun. Pemogokan massa merupakan gerakan politik yang suci,

11
Ibid. hal. 46.
12
Kuntowijoyo, Radikalisme Petani. Bentang Press Intervisi Utama, 1993.

26
Radikalisme Kaum Pinggiran

dimulai dan berakhir setelah satu rencana selesai dijalankan, sebuah tindakan
tunggal yang pendek dari satu jenis yang tersubordinat, sebuah demonstrasi
pemogokan yang murni. 13
Pemogokan merupakan senjata ampuh yang dimiliki buruh. Jika buruh
sudah mulai melakukan mogok kerja, maka pihak perusahaan biasanya mulai
memperhatikan tuntutan mereka. Yang muncul dari segala bentuk gerakan buruh
adalah pemberontakan. Pemberontakan merupakan puncak dari gerakan buruh.
Salah satu karya terpenting tentang pemberontakan adalah buah karya Sartono
Kartodirdjo. Melalui karyanya yang sangat menumental dalam penulisan sejarah,
terutama terobosannya dalam pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam studi bukunya
tentang Pemberontakan Petani di Banten 1888, ia menggunakan pendekatan ilmu-
ilmu sosial dalam penulisan sejarah. Sartono berkesimpulan bahwa Gerakan
Petani di Banten ini tidak terlepas dari keikutsertaan pemerintah Belanda dalam
kehidupan masyarakat. Untuk menguasai Banten, pemerintah Belanda
menerapkan sistem birokrasi yang legal rasional, sehingga menimbulkan
perpecahan dalam masyarakat. Kondisi ini tidak dapat diterima oleh elite
masyarakat, sehingga petani di Banten, yang dipimpin oleh elite ulama melakukan
pemberontakan terhadap pemerintah Kolonial Belanda.14 Pemberontakan yang
berlangsung itu membawa akibat panjang bagi pendukungnya, ditandai dengan
terjadinya berbagai penangkapan dan pembuangan bagi mereka yang terlibat
dalam pemberontakan itu.
Pemikiran yang dikemukakan di atas merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Artinya berbagai persoalan buruh yang dimulai dari upah
rendah, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya sampai
pemberontakan merupakan satu kesatuan yang utuh. Walaupun tidak mesti
berurutan secara tegas, namun ia menjadi faktor yang menyatu dalam gerakan
buruh. Dalam hal ini, bayang-bayang ketakutan seringkali menghinggapi
kehidupan buruh, terutama menjelang berlangsungnya proses mobilisasi massa.
Sebagai individu-individu, mereka sangat lemah dan mudah sekali ditekan.

13
Rosa Luxemburg, Pemogokan Massa. Yogyakarta : Gelombang Pasang, 2000.
14
Sartono Kartodirdjo, op.cit.

27
Radikalisme Kaum Pinggiran

Namun, ketika terdapatnya ikatan emosional untuk bersatu, maka individu yang
begitu lemah dan gemulai itu bisa menjadi kekuatan darsyat, yang dapat
menghancurkan halangan apapun yang mereka hadapi. Kekuatan utama mereka
terletak pada massa yang banyak.15 Skema di bawah ini mencoba menggambarkan
tentang hubungan antar variabel dengan faktor-faktor yang saling berkait dalam
gerakan sosial.

Skema 3
Hubungan Variabel
Dalam Radikalisme Kaum Pinggiran

BURUH

KEBIJAKAN KEBIJAKAN
UPPAH
PENGUSAHA PEMERINTAH

MASALAH
KESEJAHTERAAN

JEBAKAN
KEMISKINAN

KERESAHAN

KONFLIK

RADIKALISME

MOGOK

DEMONSTRASI

PEMBERONTAKAN

15
Rosa Luxeeemburg, op.cit.

28
Radikalisme Kaum Pinggiran

Skema ini memperlihatkan hubungan timbal balik dari masalah-masalah


yang terjadi. Titik pangkal masalah adalah upah yang rendah. Upah yang rendah
itu menbuat buruh sulit untuk bertahan hidup. Mereka sesungguhnya tidak
memiliki daya tahan terhadap gelombang pasang surut ekonomi, sehingga sangat
mudah dilumpuhkan. Ketika daya tahan mereka semakin mengecil, maka gejolak
dan gerakanpun tidak dapat dielakkan. Berbagai bentuk gerakan buruh dapat
dilihat dari kasus-kasus perlawanan yang dilakukan buruh, baik perlawanan
sebagai kaum yang kalah maupun perlawanan secara terbuka.

B. Gerakan Stuktural dan non Struktural


Ada dua hal yang penting dilihat dari kehidupan buruh yaitu survival dan
gerakan. Survival adalah bagaaimana mereka dapat bertahan hidup, sedangkan
gerakan reaksi buruh adalah dari ketidakmampuan mereka dalam menghadapi
realitas ekonomi. Kondisi ekonomi buruh sepanjang sejarah sesungguhnya sangat
menderita. Meminjam ungkapan dari Tawne, sebagai mana dikutip oleh Scott ia
menyatakan bahwa ada daerah-daerah dimana posisi penduduk pedesaan ibarat
orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher, sehingga
ombak yang kecil sekali pun sudah cukup menenggelamkannya.16 Sebenarnya,
survival dalam arti memenuhi kebutuhan dasar sangat tidak tercukupi. Namun,
konsep dasarnya adalah dapat makan asal tidak mati saja, sehingga hal-hal
demikian itulah yang membuat merkeka dapat bertahan hidup. Persoalannya
adalah bagaimana realitas kehidupan buruh sesungguhnya, sehingga mereka
sekedar dapat bertahan hidup. Dalam konteks ini, maka hal yang perlu dikaji
adalah manifestasi ekonomi seperti pemenuhan kebutuhan dasar meliputi
makanan, pakaian dan perumahan, kehidupan keluarga, dan pendidikan.17
Persoalan-persoalan di sekitar hal inilah yang menjadikan kaum pinggiran
mudah untuk digerakkan.
Dalam melihat gerakan sosial, terdapat dua bentuk yaitu pertama pola
struktural dan kedua pola non struktural. Dalam pola struktural, perlawanan yang

16
James R. Scott, Moral Ekonomi Petani. Jakarta : LP3ES, 1985.
17
Sartono Kartodirdjo, op. cit.

29
Radikalisme Kaum Pinggiran

dilakukan adalah terhadap pengusaha maupun penguasa. Secara strkutural, ada


kelompok lain yang sifatnya menindas. Dalam hal ini, terdapat perbedaan kelas
yang tajam seperti kelas buruh dengan pengusaha maupun budak dengan majikan.
Teori perbedaan kelas seperti inilah yang dikembangkan oleh Kar Marx dalam
memperlihatkan pola struktural dari gerakan ini. 18
Ketimpangan-ketimpangan ini menjadi hal yangtidak dapat dihindarkan
dalam masyarakat. Ia menjadi bagian yang integral dari kehidupan manusia.
Kondisi ini kemudian menimbulkan krtik-krtik terhadap ketimpangan itu. Namun
ia dapat dilihat dari perspektif dinamis dalam memajukan kehidupan manusia.
Dalam bentuk lain Singh menyebutkan bahwa inti dinamika sosial suatu proses
produksi dan reproduksi yang berlangsung terus menerus dari masalah sosial yang
belum terpecahkan. Hal ini kemudian memunculkan ledakan issue dalam
masyarakat sehubungan dengan ketidakadilan, ketimpangan sosial, super ordinasi
dan sub ordinasi dari individu, golongan dan struktur dominasi. Hal ini
melahirkan kelas , kasta, golngan, etnis, gender atau dalam pola global yaitu satu
19
negara menguasai negara lain. Penguasaan negara ini akan tercermin dari
penguasaan ekonomi, politik dan keamanan. Dalam kasus Indonesia
kontemeporer, pendiktean kebijakan dalam negeri Indonesia oleh pihak asing
misalnya merupakan bentuk kelas ini. Perekonomian Indonesia yang sangat
tergantung atas bantuan IMF melahirkan Indonesia sebagai suordinasi dari negara-
negara barat seperti Amerika dan Jepang.
Kalaborasi yang kuat antara pengusaha dengan penguasa untuk menekan
buruh. Artinya, para penguasa yang seharusnya melindungi kaum buruh dari
tindakan pengusaha yang tidak adil malah terlihat bekerjasama untuk
mengeksploitasi mereka. Dalam melihat hubungan timbal balik persoalan yang
dihadapi oleh kaum pinggiran, setidaknya terdapat 4 aspek yaitu masalah upah,
gerakan, eksploitasi oleh pengusaha, dan kebijakan Pemerintah yang tidak adil.

18
David Smith dan Phil Evan, op. cit.
19
Rejendra Singh, Social Movements : Old and New. New Delhi : Sage Publications,
2001.

30
Radikalisme Kaum Pinggiran

Skema di bawah ini mencoba menggambarkan potret hubungan timbal-balik


persoalan buruh dengan pengusaha dan penguasa.

Skema 4
Skema radikalisme Kaum Pinggiran
Sebagai akibat dari Kebijakan Pengusaha dan Penguasa

Militer/
Preman

B. Penguasa
Pengusaha

Upah
Rendah Radikal

Survival

Ideolog/
LSM

Inti persoalan adalah bermula dari upah yang rendah. Ketika upah rendah,
maka mereka mencoba untuk bertahan hidup. Namun ketika daya tahan melemah,
sikap radikalpun tidak dapat dielakkan. Faktor di luar buruh juga menentukan
seperti partai politik, LSM dan mahasiswa. Bahkan, kesadaran kritis di kalangan

31
Radikalisme Kaum Pinggiran

buruh ini seringkali berasal dari pendidikan yang mereka dapatkan dari luar. Jika
dilihat dari kasus-kasus yang ada selama ini, tergambar secara jelas bahwa
akumulasi dari berbagai persoalan yang dihadapi buruh tidak hanya soal upah,
tetapi juga tanah dirampok, terusir dari kampung halamannya dan tindakan
kekerasan yang mereka terima dari pihak pengusaha, penguasa dan preman.
Skema diatas juga memperlihatkan bahwa interaksi yang tidak seimbang
berlangsung dari ke empat komponen diatas mengakibatkan munculnya gerakan
social. Dalam gerakan sosial, perlawanan yang dilakukan beragam coraknya.
Rajendra Singh menyebutkan bahwa gerakan social merupakan tindakan yang
mendayu-dayu (autopoietic) yang diterapkan masyarakat pada dirinya sendiri
untuk survival dan berkelanjutan. 20 Namun dalam prakteknya, gerakan seperti ini
berjalan dalam waktu yang panjang dan tidak membuahkan hasil dalam jangka
pendek. Dengan baik sekali Scott mengammbarkan pola gerakan kaum pinggiran
ini yaitu :
Sebagaimana jutaan binatang kecil di laut, mau tidak mau menciptakan
batu karang. Demikian juga ribuan aksi perlawanan individu menciptakan
tembok karang politik dan ekonomi. Namun, jarang sekali orang yang
melakukan tindakan-tindakan kecil itu berusaha menarik perhatian orang
kepada dirinya, sebab keamanan diri mereka justru terletak pada sikap
anonimitas mereka.21

Dari kutipan diatas terlihat bahwa bentuk-bentuk radikalisme kaum


pinggiran ini merupakan perlawanan atas ketertindasan mereka oleh pihak
pengusaha dan penguasa. Salah satu bentuk perkembangan dari gerakan sosial ini
adalah radikalisme menjadi gerakan yang nyata dan seringkali berakhir dengan
tindakan kekerasan seperti perusakan gedung, kendraan, fasilitas umum, gereja,
masjid, dan pabrik. Dalam menjelaskan fenomena radikalisme ini, terdapat
beberapa faktor diantara yaitu : pertama, kerusuhan bersifat etnis. Kedua, akar
persoalan yang bisa ditemukan dalam bidang sosial-ekonomi yaitu kesenjangan
distribusi hasil pembangunan. Ketiga, disebabkan perubahan sosial yang cepat
tanpa diikuti pengembangan proses dan mekanisme politik dan ekonomi yang

20
P.M. Laksono (eds), Potret Perjalanan Pengorganisasian Masyarakat., Yayasan
Kehati, 2002, hal. iii. Lebih jauh lihat misalnya Rejendra Singh, op.cit.
21
James R. Scott, Senjatanya Orang-orang Kalah. Jakarta : Yayasan Obor, 2000.

32
Radikalisme Kaum Pinggiran

adil. Keempat disebabkan ekses dari pertikaian politik antar elite di tingkat
nasional, yang kemudian menemukan saluran dalam koinflik konflik di tingkat
lokal.22 Dari keempat faktor diatas, studi ini lebih menfokuskan pada bagian
kedua yaitu kesenjangan distribusi, terutama antara buruh dengan majikan
ataupun pemilik modal. Kesenjangan-kesenjangan dari upah ini kemudian
menjadi salah satu focus pembahasan dalam mengkaji kaum pinggiran.
Dalam mengkaji kelompok pinggiran yang melahirkan gerakan social
terdapat dua pola yaitu gerakan social yang berbentuk struktural dan gerakan
social yang berbentuk non struktural. Dalam ungkapan lain, Singh menyebutkan
bahwa gerakan social ada bentuk gerakan social lama dan baru. Gerakan social
yang lama bersifat menekankan unsur perbedaan kelas seperti perlawanan petani
buruh, sedangkan gerakan social baru yang menekankan pada perlawanan tanpa
kelas seperti gerakan mahasiswa, gerakan lingkungan, dan gerakan anti utang. 23
Analisis tentang gerakan sosial menjadi hal pokok dalam bagian buku ini.
Sebagai contoh pada bagian ideologi, dari pokok bahasan ini mahasiswa dapat
mengkaji berbagai ideologi yang berpengaruh dalam gerakan sosial seperti
Islamisme, Marxisme, Sosialisme, dan Nasionalisme. Hal yang utama adalah
penerapan ideologi itu secara nyata berpengaruh terhadap kehidupan dan
kemudian berdasarkan ideologi itulah masyarakat melakukan gerakan sosial.
Akan tetapi, dalam realitasnya ada juga kemungkinan bahwa tanpa ideologi pun
gerakan sosial itu dapat berjalan.
Pertanyaan pokok yang dikemukakan dalam gerakan sosial adalah
mengapa mereka melakukan gerakan. Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditelusuri
dengan pemahaman terhadap konsep dasar gerakan sosial. Gurr menyatakan
bahwa dasar gerakan sosial adalah the basic frustration.24 Mengikuti pendapat
Gurr di atas, tergambar bahwa gerakan sosial dimulai oleh rasa frustrasi atas
keadaan yang menimpa diri seseorang atau sekelompok orang. Rasa frustrasi yang

22
Loekman Soetrisno, Perilaku Kekerasan Kolektif : Kondisi dan Pemicu.
Yogyakarta : Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan UGM Yogyakarta, 1997, hal.
1-2.
23
Rejandra Singh, op. cit.
24
Robert Gurr, op.cit. hal. 9.

33
Radikalisme Kaum Pinggiran

dimiliki oleh seseorang pada awalnya tidak menimbulkan reaksi apapun juga.
Misalnya saja perwujudan dari sikap frustrasi, awalnya hanya diam saja atas
berbagai persoalan yang ada di sekitarnya. Sikap diam seperti itu sudah
merupakan bentuk yang paling dasar dari protes sosial dalam masyarakat. Seorang
anak misalnya, ketika disuruh oleh orang tuanya, ia tidak mau atau diam saja.
Sikap ini sudah merupakan pembangkangan paling awal terhadap kondisi yang
ada dan sudah merupakan bentuk yang paling dasar dari gerakan sosial.
Setelah orang-orang yang frustrasi ini bergabung, maka kumpulan orang-
orang ini memiliki potensi besar untuk memunculkan sebuah konflik, gerakan
ataupun pemberontakan. Tentu saja ini harus memenuhi berbagai persyaratan
lainnya seperti ideologi, issu, dan tokoh. Jadi, jika sikap seperti ini diwujudkan
oleh banyak orang, maka untuk melahirkan sebuah revolusi tinggal mencari
penyebab-penyebab langsungnya saja. Dalam gerakan sosial, antara keinginan dan
kenyataan seringkali berbanding terbalik. Sebagai contoh keinginan menjadi kaya
namun dalam kenyataannya tetap sebagai orang yang miskin. Perbedaan seperti
ini akan dapat memicu gejolak pada diri seseorang maupun dalam masyarakat.
25
Kondisi ini merupakan salah satu syarat dari terjadinya revolusi. Hal penting
yang perlu dicatat adalah kondisi awal dari masyarakat ketika mereka
menginginkan sesuatu dan keinginan itu tidak diwujudkan. Perbedaan antara ide
dengan realitas sosial ini mengakibatkan timbulnya kesenjangan. Kesenjangan itu
kemudian dapat semakin melebar dan pada akhirnya dapat menimbulkan
gelombang protes dalam masyarakat. Gelombang protes itu pada akhirnya dapat
menimbulkan berbagai bentuk seperti puncaknya muncul sebuah revolusi dalam
masyarakat. 26 Protes sosial dalam bentuk apapun juga memiliki tingkatan-
tingkatan. Tingkatan paling mendasar adalah diam dan tingkatan paling
puncaknya adalah peperangan. Robert Gurr merumuskannya : 27
1. Turmoil : Yaitu tindakan kekerasan politis yang tidak terorganisasi dan
partisipasi populer, termasuk serangan politis, kerusuhan, konflik
politik dan pemberontakan kedaerahan yang relatif spontan.

25
Ibid. hal. 37 .
26
W.F. Whertheim, Gelombang Pasang Emansipasi. Jakarta : ISAI, hal. 367.
27
Robert Gurr, op. cit. 11.

34
Radikalisme Kaum Pinggiran

2. Konspirasi : Kekerasan politis yang terorganisir rapi dan partisipasi


terbatas termasuk pembunuhan politis yang terorganisir,
terrorisme dalam skala kecil, kudeta dan pemberontakan.

3. Perang Internal : Kekerasan politis yang terorganisir rapi dan partisipasi


populer dari luar bertujuan untuk menumbangkan rezim tertentu,
merombak negara. Pola yang ditempuh adalah kekerasan yang
ekstensif termasuk terorisme, perang gerilya dalam skala besar
seperti perang saudara sampai kepada sebuah revolusi.

Dari kutipan yang terdapat di atas tergambar tingkatan sesuatu dengan


kualitas dari tingkatan kekerasan yang tercipta. Contohnya turmoil, gerakan ini
lebih bersifat spontan. Biasanya gerakan ini tidak memiliki pimpinan, tidak
terencana dan lebih tepatnya merupakan reaksi spontan terhadap persoalan yang
diikutinya. Misalnya seorang keturunan Cina diisukan menyobek – nyobek
Alquran. Hubungan yang tidak harmonis antara penduduk Cina dengan penduduk
pribumi berlangsung lama, maka dengan gossip penyobekan Alquran telah
menjadi pemicu gerakan anti Cina. Kasus anti Cina di Pekalongan Jawa Tengah
sesungguhnya merupakan reaksi spontan, namun menghasilkan gerakan yang
dapat menimbulkan korban.28
Konspirasi merupakan tingkatan gerakan sosial dengan kekerasan yang
lebih tinggi dari turmoil. Dalam konspirasi, telah muncul beberapa aspek seperti
organisasi, elite dan partisipasi dari pengikutnya. Contoh yang menarik dari
conspiracy adalah pemberontakan buruh tambang batu bara Ombilin tahun 1972.
Dalam pemberontakan itu buruh dimobilisasi oleh elite – elite organisasi buruh.
Organisasi buruh yang terkemuka adalah Persatuan Buruh Tambang. Organisasi
ini dipimpin oleh tokoh – tokoh buruh seperti Kasman, Abdul Muluk, dan Rajo
Bujang. Sebagai organisasi massa yang memiliki tokoh – tokoh terkemuka, maka
ideologi yang berpengaruh kuat dalam gerakan ini adalah komunis. Dapat disadari
karena komunis menjadi perbedaan kelas antara pemilik modal dengan buruh
dijadikan sebagai issue sentral dari gerakan komunis.29

28
Surat kabar Kompas, Juli 1997.
29
Regis Debray, Strategy for Revolution. New York : Monthly Review Press, 1969.

35
Radikalisme Kaum Pinggiran

Contoh yang menarik tentang internal war adalah perang etnis di


Kalimantan dan perang agama Islam-Kristen di Ambom. Perang yang melibatkan
dua etnis yaitu antara orang Dayak sebagai penduduk asli melawan orang Madura
sebagai pendatang. Perang kedua etnis ini menimbulkan ribuan orang meninggal
sudah sampai pada tahap civil war. Mereka yang berperang di Kalimantan itu
sesungguhnya merupakan warga sipil yang tidak dipersenjatai. Namun dengan
jumlah yang banyak mereka miliki, dapat menimbulkan korban dalam jumlah
yang besar terutama melalui pembakaran – pembakaran yang mereka lakukan di
kedua belah pihak. Dalam internal war ini sudah banyak persoalan yang
mengikutinya seperti provokator, pimpinan, pembakaran, sampai tahap
pembunuhan massal. Kasus Aceh merupakan contoh yang menarik dari bentuk
internal war. Sejarah Aceh merupakan sejarah perang, begitu ungkapan yang
sering disebut oleh para ahli tentang Aceh.30 Political violence yang dilancarkan
oleh ABRI terhadap Aceh menimbulkan tingkatan kekerasan yang luar biasa.
Dalam berbagai operasi militer yang dilancarkan di Aceh selalu saja menimbulkan
korban jiwa di kalangan rakyat Aceh. Korban tidak hanya jatuh pada pihak yang
berperang yaitu antara ABRI dengan GAM, namun korban juga berjatuhan di
kalangan rakyat yang tidak berdosa. Berbagai bentuk kekerasan, teror,
pembunuhan menjadi pemandangan rutin di Aceh. Pembunuhan terhadap H.
Bantaqiah misalnya merupakan tindakan kekerasan oleh aparat keamanan
terhadap rakyat. Pembunuhan ini semakin brutal, karena tokoh yang kritis sejak
zaman orde baru itu juga dihabisi bersama – sama muridnya sebanyak 52 orang.
Banyak kejadian serupa yang dilakukan oleh pihak keamanan terhadap penduduk
Aceh di tempat lainnya (Baca Laporan Kontras tentang Dom di Aceh, yang
memperlihatkan angka – angka pembunuhan yang dilakukan oleh pihak
keamanan). Politik kekerasan seperti ini menjadi ciri khas dari negara-negara
yang dikuasai oleh militer. Dalam politik kekerasan ini, Loekman Soetrisno
merumuskan atas dua bentuk kekerasan yaitu: 31
kekerasan langsung adalah yang dilakukan oleh satu atau kelompok aktor
kepada pihak lain (“violence-as-action”); kekerasan tidak langsung

30
T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah. Jakarta : Sinar Harapan, 1987.
31
Loekman Soetrisno, op. cit. hal. 4.

36
Radikalisme Kaum Pinggiran

merupakan sesuatu yang “built-in” dalam suatu struktur (“violence-as-


structure”). Sementara kekerasan langsung dilakukan seseorang atau
sekelompok orang dengan menggunakan alat kekerasan; kekerasan
struktural “terjadi begitu saja”, tidak ada aktor tertentu yang
melakukannya.

Masalah konsep pendekatan terhadap Aceh yang harus diubah. Melihat


contoh pada sejarah, C. S. Hurgronje untuk dapat menaklukan Aceh ia harus
belajar tentang Aceh dengan segala aspeknya. Hurgronje sampai pada kesimpulan
bahwa untuk menaklukan Aceh jangan dengan jalan kekerasan, karena mereka
akan melawan sampai mati. Ucapan Assalamu’alaikum terhadap orang Aceh
akan disambut dengan tali persaudaraan, namun ucapan Allahu Akbar untuk
berperang merupakan jalan mati yang dicari oleh orang Aceh.
Pertanyaan pokok dalam konteks ini adalah apakah kekerasan sudah
menjadi bagian yang integral dalam kehidupan masyarakat atau hanya letupan
sesaat saja, ketika ketidakadilan munmcul ditengah mereka. Ada pikiran bahwa
tindakan kekerasan yang muncul dapat dilihat sebagai suatu bagian yang tak
terpisahkan dari budaya kekerasan, sehingga kekerasan sudah menjadi budaya
yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Johan Galtung merumuskan,
bahwa budaya kekerasan adalah aspek-aspek budaya, wilayah simbolis eksistensi,
yang diwakili oleh agama, ideologi, bahasa, senin, ilmu pengetahuan empiris,
ilmu pengetahuan logika yang digunakan untuk menjustifikasi atau melegitimasi
32
kekerasan langsung maupun struktural. Jelas sekali disini bahwa tindakan
kekerasan kultural sesungguhnya merupakan jalan yang ditempuh oleh pegegang
kendali kekuasaan untuk melanggengkan jabatan yang dipegangnya, sehingga
diberi pembenaran trerhadap tindakan kekerasan.
Dalam kasus berbeda, cara yang sama juga dilakukan oleh pihak
keamanan untuk membebaskan tanah. Kasus di Riau misalnya memperlihatkan
cara –cara kekerasan untuk membebaskan tanah penduduk. Jika penduduk tidak
mau memberikan tanahnya untuk perkebunan besar, maka pihak keamananlah
yang maju untuk menyelesaikan konflik itu. Untuk dapat menjelaskan tentang
gerakan sosial, dapat dijelaskan berbagai teori yang mendukungnya. Pada

32
Johan Galtung, “Kekerasan Kultural”, dalam jurnal Wacana, No. IX/2002, hal. 11.

37
Radikalisme Kaum Pinggiran

gilirannya, konflik dan kekerasan haruslah dilihat sebagai suatu fenomena sosial
yang bersifat natural. Oleh karena itu, maka konflik tidak harus dihindari akan
tetapi dihadapi dan ditngani. Kemudian, kekerasan bukanlah disebabkan oleh
keragaman ataupun konflik. Kekerasan muncul disebabkan carat pandang yang
salah terhadap femonena konflik.33
Teori-teori sosial itu dapat dilihat dari kualitas dan dampak yang
ditimbulkan. Untuk mengcu pada kasus –kasus yang dikemukakan dalam pokok
bahasan, maka akan dicoba dirumuskan beberapa teori. Untuk membatasi
pembahasan, dirumuskan beberapa teori dibawah ini yaitu :
1. Movement
2. Resistance
3. Revolution
4. Evolution

1. Movement
Pemberontakan petani di Banten 1888 merupakan contoh yang tepat dari
analisis tentang movement atau gerakan itu. Dalam pemberontakan petani di
Banten 1888 pemberontakan merupakan suatu akumulasi politik yang telah
berjalan dengan komplek. Jadi pemberontakan bukan sesuatu yang tiba – tiba
berlangsung demikian saja, akan tetapi sudah direncanakan dengan matang. Dari
hal ini dapat dirumuskan bahwa gerakan merupakan suatu bentuk perlawanan
secara kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok besar orang yang direncanakan
secara matang.34 Dalam menyusun gerakan, sudah terlibat beberapa eksponen
seperti elite, dana, perencanaan, pasukan, dan organisasi. Setiap komponen ini
memiliki peran penting dan jika salah satu tidak mencukupi, maka rencana
gerakan bisa menjadi berantakan. Realitas sejarah memperlihatkan bahwa
kegagalan suatu gerakan disebabkan mereka tidak memenuhi semua komponen
didalamnya. Gerakan – gerakan yang terjadi di Indonesia biasanya hanya
mengandalkan pemimpin saja, sehingga menimbulkan kegagalan.

33
Noer Fauzi Et.al., Konflik : Bahaya atau Peluang. Yogyakarya : Insist Pres, 2002,
hal. 37.
34
Sartono Kartodirdjo, op.cit.

38
Radikalisme Kaum Pinggiran

2. Resistance
Reisistance atau perlawanan merupakan bentuk gerakan sosial yang lebih
mengandalkan pola gerakanyang berbentuk spontan. Sikap radikal biasanya lebih
dominan dalam gerakan berbentuk reisistance. Kelompok pendukung dari
reisistance adalah masyarakat bawah. Mereka didukung oleh keyakinan bahwa
akan datang seorang ratu adil yang akan dapat menyelamatkan masyarakat dari
ketidakberdayaan. Ratu adil adalah seorang dewa penyelamat yang diutus oleh
sang pencipta untuk menyelamatkan masyarakat. Gerakan ini biasanya bercorak
gerakan keagamaan. Berbagai nama tentang gerakan ini seperti messianisme (juru
selamat), millinearinisme (ratu adil), nativisme (menghidupkan nilai lama),
prophetisme (kenabian), revitalisme (penghidupan kembali) dan revivalisme
(menghidupkan kembali).35
Pemikiran – pemikiran seperti ini biasa berkembang dalam masyarakat
yang masih bersifat tradisional. Artinya masyarakat yang masih memiliki
kepercayaan tentang mitos. Semua bentuk kebangkitan kembali diyakini sebagai
sebuah kepercayaan. Hal ini sesuai dengan periodesasi yang dikemukakan oleh
Kuntowijoyo bahwa ada tiga tahap dalam masyarakat yaitu tahap mitos, ideologi
dan ide. Pada tahap mitos, masyarakat mempercayai hal – hal yang berbau mistis
dan tidak masuk akal pikiran manusia. Namun masyarakat sangat
mempercayainya, sehingga mereka dapat mengikuti apapun yang dikatakan
rajanya. Sabda Pandita Ratu sebagai ucapan raja yang tidak dapat ditarik
kembali, begitulah keyakinan yang berkembang dalam masyarakat dalam
memepercayaiucapandati rajanya.
Pada tahap ideologi, kepercayaan masyarakat terhadap ideologi sangat
dominan. Dalam era reformasi misalnya, ada berbagai ideologi yang berperang
seperti Islam, nasionalisme, sekulerisme dan nasionalisme. Walaupun belum dapat
dibuktikan bahwa masyarakat pendukung memilih atau memasuki partai politik
berdasarkan ideologi namun bendera yang mereka kibarkan membawa ideologi
yang mereka kembangkan. Pada tahap ilmu, masyarakat lebih mempercayai ilmu.
Dalam masyarakat episode ini, ukuran sesuatu adalah akal pikiran manusia.

35
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil. Jakarta : Sinar Harapan, 1987.

39
Radikalisme Kaum Pinggiran

Manusia telah memperlihatkan perkembangan yang tinggi dengan tergambar


karya-karyanya.36
Walaupun Indonesia sudah tahap ilmu, namun bukan berarti semuanya
dapat digeneralkan. Kasus Megawati dalam pemilu 1999 lalu merupakan contoh
yang menarik. Analisis terhadap figur Megawati tergambar ia merupakan seorang
ratu adil bagi pengikutnya. Sambutan yang luar biasa dari pengikutnya dan
pendewaan terhadap Megawati muncul sebagai hal yang tidak dapat dielakkan.
Namun jika memahami secara seksama setidaknya ada dua faktor yang
menyebabkan Megawati dapat menang. Mill menyebutkan kedua faktor yaitu
culture capital dan structural capital. Culture capital diartikan sebagai modal
budaya, yang dalam ini adalah nama besar Soekarno yang menempel di nama
Megawati. Walaupun Megawati tidak memiliki kemampuan untuk menjadi
politikus, namun ia memiliki dua modal yang membuat ia menang. Structur
Capital adalah penguasaan terhadap struktur politik yang ada, sehingga dengan
demikian dapat memobilisasi potensi politik yang dimiliki oleh orang itu 37

3. Revolusi
Pembicaraan tentang revolusi haruslah dari konteks penjajah dengan
terjajah ataupun penindas dengan tertindas. Kedua hal ini sangat berkaitan sekali
karena revolusi biasanya berlangsung dalam kondisi masyarakat tertindas atau
terjajah. Crane Brinton dalam bukunya Anatomi Revolusi melihat bahwa ada
tanda – tanda yang sama yaitu adanya pertanda pembelotan dari kaum intelektual
terhadap rezim. Sikap ini kemudian diperlihatkan dengan mengungkapkan ketidak
puasan secara terbuka. Mereaka kaum revolusioner ini melakukan
pembangkangan dalam bentuk tindakan- tindakan melawan hukum. Setelah
muncul perlawanan terbuka dan pihak penguasa membalas dengan senjata, tahap
ini menimbulkan korban yang besar. Mereka inilah tumbal dari revolusi yang
sesungguhnya. Dengan tumbal itu, maka perlawanan serentak untuk
menghancurkan rezim yang zalim itu tidak dapat dihindari lagi. Revolusi meletus

36
Kuntowijoyo, op. cit.
37
C.W. Mills, The Power Elite. London : Oxford University Press, 1967

40
Radikalisme Kaum Pinggiran

dengan melibatkan massa rakyat secara keseluruhan. Revolusi akan berhasil jika
rezim totaliter hancur dan diikuti oleh struktur kekuasaannya. 38
Dalam revolusi, harus juga memenuhi berbagai faktor untuk mencapai
keberhasilannya. Faktor itu meliputi faktor sosial, budaya, ekonomi, aspek
situsional, psikologi, pemicu, dan penyebab langsung. Pemenuhan persyaratan ini
akan lebih memudahkan untuk prose revolusi itu berlangsung. Wertheim
menyatakan bahwa tidak adanya satu komponen dapat revolusi itu tidak berjalan
sesuai dengan bentuk yang sesungguhnya yaitu perubahan secara cepat dan diikuti
oleh tindakan kekerasan.39
Pembicaraan tentang revolusi tidak dapat dilepaskan pada satu nama yaitu
Karl Marx. Melalui karya – karyanya, ia dianggap sebagai pencetus ide revolusi.
Marx melihat bahwa revolusi dapat dicetuskan, jika terdapat kesenjangan –
kesenjangan yang tajam dalam masyarakat. Kesenjangan itu terutama antara
buruh dengan majikan, antara petani dengan tuan tanah, dan antara terjajah
dengan dijajah.40 Pemikiran Marx yang dikutip oleh Crane Brinton ini sering
diajukan dalam kasus – kasus revolusi dinegara ketiga. Contoh kasus adalah
revolusi kemerdekaan Indonesia. Dalam revolusi kemerdekaan Indonesia, konflik
yang terjadi adalah antara antara terjajah dengan penjajah. Konflik keduannya ini
sampai puncaknya dengan kemerdekaan Indonesia.
Pemahaman revolusi disini jangan dilihat sebagai perubahan dalam waktu
singkat. Revolusi itu sendiri, sebagai mana evolusi juga melewati fase – fase
tertentu seperti berbagai perlawanan yang dilakukan terhadap kolonial Belanda.
Perlawanan, pemberontakan dan gerakan yang dikalangan penduduk merupakan
gelombang dari sebuah revolusi yang sesungguhnya. Gelombang itu dimulai sejak
adanya organisasi – organisasi yang melewati batas kultural seperti SI, PNI, PKI,
NU, Muhammadiyah, Budi Utomo, Jong Sumatera, Jong Java dan sebagainya.
Pergumulan organisasi ini untuk mencapai Indonesia merdeka tidaklah berjalan
dalam waktu yang singkat, akan tetapi melewati proses panjang yang klimatnya

38
Crene Brinton, Anatomi Revolusi. Jakarta : Pustaka Jaya, 1984.
39
W. F. Wertheim, op. cit.
40
Crene Brinton, op. cit.

41
Radikalisme Kaum Pinggiran

adalah berhasilnya Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17


Agustus 1945.41
4. Evolusi
Gerakan berbentuk evolusi biasanya berjalan secara lamban. Proses ini
biasanya berlansung secara alami, sehingga tidak menimbulkan dampak yang luar
biasa dalam masyarakat. Teori – teori tentang evolusi menyebutkan bahwa
berbagai perubahan tidaklah berdiri sendiri tetapi merupakan kelanjutan dari
gelombang perubahan sebelumnya. Persoalan yang menarik adalah debat antara
penganut teori evolusi ini dengan penganut teori revolusi. Penganut teori revolusi
yang berkiblat ke Marx jelas sekali ditentang oleh kelompok evolusi. Jika dalam
Marx seringkali disebut perbedaan kelas antara kelas pekerja dengan kelas buruh,
antara pemilik tanah dengan buruh, maka keduanya dijadikan sebagai dialektis
untuk membentuk masyarakat baru. Artinya, keduanya ini dipertentangkan
sebagai kelompok yang saling bertentangan.
Dalam teori evolusi, hal yang diajukan Marx ini merupakan omong
kosong. Mereka melihat bahwa perubahan merupakan suatu proses panjang dari
wilayah kebudayaan. Feodalisme yang berkembang di Eropah pada awal lalu
misalnya, dijadikan sebagai tolak ukur dalam melihat perkembangan selanjutnya.
Secara kronologis mereka mengambil rentang waktu dari abad pertengahan
sampai abad sekarang ini. Abad tengah yang dikuasai oleh gereja, kemudian
terjadi pengingkaran terhadap dominasi gereja. Pada tahap ini munculnya
renesaince sebagai bentuk dari kebangkitan kembali alam pikiran merdeka yang
pernah berkembang di Eropa pada zaman Yunani.42
Pada tahap selanjutnya, evolusi dari renaisance ini berlanjut dengan
berbagai penemuan besar dalam bidang ilmu pengetahuan. Berbagai episode
muncul seperti zaman afkalarung, rasionalisme, kapitalisme, sampai klimatnya era
modernisasi. Menurut teori evolusi, semuanya merupakan sebuah proses panjang
yang dilakukan umat manusia untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi
masa depannya.

41
Tentang hal ini ,lihat misalanya George Mc. Turnan Kahim, Nationalisme dan
Revolution in Indonesia. Itacha New York : Cornell Univerisity Press, 1952.
42
F.R. Ankersmit, op. cit.

42
Radikalisme Kaum Pinggiran

D. Ideologi Dalam Gerakan Sosial


Adakalanya faktor ideologi tidak ada dalam gerakan sosial. Massa akar
rumuput misalnya, walaupun berpihat pada gerakan, namun mereka tidak
mehamai ideologi yang dijadikan nuansa gerakan. Kasus buruh tambang batu bara
yang terpengaruh ideologi gerakan komunis, namun ditingkat massa akar rumput,
mereka tidak paham ideologi komunis itu. Begitu juga pengikut partai dalam
pemilu 1999 di Padang, mereka mengikuti satu partai bukanlah karena ideologi
yang dikembangkan oleh partai itu, namun lebih disebabkan iikatan emosional
saja seperti ikatan emosi agama Islam dan elite partai yang disukai oleh peserta
pemilu. Namun demikian, secara umum, tetap ada beberapa ideologi yang kuat
dalam gerakan sosial yaitu Islam, Marxis/komunis dan nasionalisme. Faktor
penting dari ideologi ini adalah upaya untuk menumbuhkan spirit dan solidaritas
dari massa. Mereka akan merasakan sebagai teman satu nasib, jika dapat
direkayasa dalam sebuah ideologi. Ketiga ideologi ini memiliki tipe tersendiri
dalam gerakannya. Dalam banyak, ketiga ideologi ini memiliki peranan penting
dalam menggerakkan massa pengikutnya. Untuk lebih jelasnya, akan dicoba
diuraikan secara singkat satu persatu dari ideologi yang dikemukakan itu.
1. Islam
Dalam banyak kasus gerakan sosial di Indonesia, Islam memiliki peranan
yang penting. Persoalan ini bertitik jumlah penduduk Islam yang memiliki jumlah
yang terbanyak di Indonesia. Dapat dengan mudah dipahami, dalam banyak kasus,
elite Islam dan ideologi Islamlah yang memiliki pengaruh besar. Ajaran yang
dikembangkan, dalam banyak hal juga menyangkut perbedaan antara yang kaya
dan yang miskin serta penjajah dan terjajah. Dalam berbagai kasus seperti
pemberontakan di Banten, pengaruh kyai sangat kuat sekali, sehingga memberi
43
warna Islam dalam kejadian itu. Walaupun ideologi komunis yang menonjol
dalam pemberontakan buruh di Ombilin, namun warna Islam juga ada. Hal ini
terlihat adanya sintesa anatara Islam dan Komunis dalam pemberontakan itu.
Dalam kasus-kasus lainnya, ideologi Islam juga memiliki pengaruh kuat. Dalam
gerakan mahasiswa di Sumatera Barat yang juga dijadikan kasus dalam bukuk ini,
maka kehadiran HMI, dan KAMMI sebagai organisasi mahasiswa yang

43
Sartono Kartodirdjo, op. cit.

43
Radikalisme Kaum Pinggiran

berideologi Islam memiliki peranan penting dalam berbagai demonstrasi pada


masa akhir kejayaan Soeharto. 44
Dalam kasus lain, ketika dilihat pemahanan ideologi massa akar rumput
dalam pemilu 1999 di Padang, hal yang terjadi adalah massapemilih
sesungguhnya tidak memiliki ideologi yang jelas. Hal ini disebabkan tingkat
pemahaman yang rendah terhadap azas partai, sehingga pilihan yang diambil
berdasarkan faktor –faktor agama, ketokohan dan ikatan emosionalnya saja.

2. Komunis/Marxisme
Corak gerakan yang dilakukan oleh komuis merupakan corak yang paling
beragam dan memiliki kualitas yang tinggi dalam gerakan sosial di Indonesia.
Massa pengikut ideologi ini umumnya memang berasal dari kaum pinggiran itu
sendiri seperti petani, buruh, dan nelayan. Sebagai contoh, kasus pemberontakan
buruh tambang batu bara Ombilin dan pemberontakan Silungkang merupakan
pemberontakan yang didukung oleh tokoh-tokoh Komunis.45

3. Nasionalisme
Sama dengan komunis, pendukung gerakan ini juga berasal dari kalangan
masyarakat kelas bawah. Mereka biasanya lebih bersifat cauvinisme suatu paham
yang terlalu membesar – besarkan kelompok etnis. Dalam pergerakan Indonesia,
organisasi – organisasi yang berbau lokal, namun bernuansa nasional biasanya
bercorak demikian seperti Budi Utomo, PNI dan PSI. pada tingkat elite, mereka
memiliki tingkat intelektual yang tinggi, namun dalam tingkat bawah atau masa
pendukung mereka tidak memiliki kecerdasan yang tinggi. Dalam istilah
kontemporer, mereka adalah orang pinggiran yang tidak mendapat tempat dalam
sistem masyarakat modern. Kelompok – kelompok pendukung Megawati
Soekarno Putri melalui PDI-P merupakan contoh menarik dari kelompok
nasionalis ini. Peristiwa Juli 1996 merupakan bentuk gerakan sosial yang

44
Surat kabar Singgalang, 12 Juni 1998.
45
Abdul Muluk Nasution , Pemberontakan Rakyat Silungkang Sumatera Barat 1927.
Jakarta : Mutiara, 1981.

44
Radikalisme Kaum Pinggiran

dilakukan oleh kelompok Megawati terhadap rezim otoriter. Terlepas dari


rekayasa yang dibuat oleh pihak penguasa, namun yang pasti adalah ide nasional
yang terdapat dalam tubuh PDI telah menimbulkan bentrok dengan pihak
keamanan pada bulan Juli 1996 lalu. Untuk kasus ini, maka rasa nasionalisme
akan disorot dalam bentuk keinginan Riau merdeka, karena berbagai ketidak
adilan yang mereka dapatkan selama ini.

D. Mobilisasi Massa Gerakan Sosial


Massa merupakan komponen yang wajib dan utama dalam gerakan sosial.
Keberhasilan dalam sebuah gerakan seringkali ditentukan jumlah massa yang
terlibat didalamnya.46 Geraka tidak akan efektif, jika massa pendukung tidak
dapat dimobilisasi massa, ini, banyak cara yang dapat ditempuh seperti melalui
organisasi, pamlek, selebaran, pengaruh elite dan agitasi-agitas terhadap massa
47
pengikut nya. Dalam upaya memobilisasi massa, hubungan antar elite dengan
massa sangat penting sekali. Memahami teori Weber tentang elite, maka ada 4
48
bentuk elite. Yaitu karisma, turunan, ekonomi dan legal intelektual. Kharisma
adalah kemampuan dalam dirinya untuk dapat menggerakan massa. Turunan atau
genetika adalah ia menjadi elite karena keturunan seorang raja. Faktor ekonomi
karena kekayaan yang dimilikinya. Legal intelektual biasanya muncul karena
kemampuan intelektual yang dipunyainya, sehingga ia dapat menjadi pemimpin
dalam masyarakat. Untuk dapat memobilisasi massa, maka bentuk pimpinan yang
mudah melakukannya adalah karisma dan turunan. Kedua bentuk ini sangat
mudah mempengaruhi rakyat banyak, atau massa mengambang. Massa biasanya
mempercayai mereka, sehingga apapun yang dikatakannya selalu diikuti oleh
pengikutnya. Hubungan antara Samin Surantiko dengan massanya, Soekarno
dengan rakyatnya, Sri Sultan Hamangkubuwono IX dengan rakyat Yogyakarta
merupakan pola – pola hubungan karisma dan turunan, yang dapat dengan mudah

46
Rosa Luxemburg, op. cit.
47
Kuntiwojoyo, op. cit.
48
Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization. New York : Free
Press, 1966.

45
Radikalisme Kaum Pinggiran

memobilisasi massa untuk dapat melakukan sebuah gerakan sosial. Hubungan


seperti ini biasanya bersifat hubungan patron client. Ada beberapa sebab
terbentunya hubungan seperti ini seperti masalah genetika, ekonomi, politik, dan
karisma.49
Dalam masyarakat yang masih tradisional, pengaruh elite sangat kuat
dalam memobilisasi massa. Misalnya saja seorang ulama, maka setiap
perkataannya akan dituruti oleh pengikutnya secara membabi buta. Biasanya ini
terdapat dalam sistem masyarakat yang feodalistik. Di Jawa hal ini sangat kentara
sekali. Ulama sedemikian pentingnya dimata santrinya, sehingga setiap ucapan
ulama dianggap sebagai sabda dan tidak dapat dibantah kebenarannya. Dalam
konteks ini, orang seperti Abdurrahman Wahid dapat dianggap sebagai manusia
50
setengah dewa oleh pengikutnya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu,
pandangan Kyai harus lebih dihormati dibandingkan dengan orang tua juga
melekat dalam masyarakat.
Dalam bentuk lain, mobilisasi massa ini juga dapat terjadi karena pola
ikut-ikutan saja. Tanpa memahami ideologi gerakan, maka massa mengikuti arus
umum yang terjadi dalam masyarakat. Kasus gerakan buruh di Medan memang
merupakan atas ketidaksenangan buruh atas perlakukan pengusaha selama ini
terutama rendahnya upah buruh. Namun untuk kasus di gerakan mahasiswa di
Padang, mobilisasi massa lebih bersifat euforia saja. Artinya, suasana umum yang
berlangsung adalah terjadinya demonstrasi mahasiswa di berbagai tempat,
sehingga demam itupun menjalar di Sumatera Barat. Akan tetapi, karena mereka
tidak memiliki idologi yang jelas dan spirit perjuangan yang terarah, maka setelah
euforia itu berakhir, maka kemudian mereka kembali ke bentuk asal seperti
perkelahian antar mahasiswa, musik kampus, lomba karoeke, ataupun orgen
tunggal. Kegiatan-kegiatan yang sifatnya bukanlah berbentuk perlawanan
terhadap ketidakadilan yang berlangsung di muka bumi ini. Pada akhirnya,
jangan terlalu berharap pada mahasiswa di Sumatera Barat akan muncul gerakan-

49
Keith R. Legg, Tuan , Hamba, dan Politisi. Jakarta : Sinar Harapan, 83.
50
Kehadiran Pasukan Berani Mati merupakan salah satu indikator terhadap kepemipinan
Abdurrahman Wahid.

46
Radikalisme Kaum Pinggiran

gerakan moral, sebagai perwujudannya terhadap berbagai persoalan yang sedang


dihadapi bangsa. Jika di tempat lain, berbagai kasus di tanah air direspon dalam
berbagai bentuk, maka mahasiswa di Sumatera Barat hanya diam seribu kata.
Sekali yang diminati adalah musik kampus, olah raga dan bercinta.

47
Radikalisme Kaum Pinggiran

48

Anda mungkin juga menyukai