Kelompok 9
Adisty Fadhillah Pohan 2011211044
Hanadia Charlina 2011211058
Murzaida Fatwa 2011212020
Putri Adelia Adresti 2011213022
Zil Mahendra 2011212058
1. Kaum Burjuis
Borjuis adalah sebuah kata serapan dari bahasa Prancis "bourgeoisie" atau "bourgeois"
dalam arti khusus yang dijelaskan di atas. Dalam tatanan feodal prarevolusi Prancis, "bourgeois"
adalah kelas untuk warga yang sebelumnya adalah anggota yang kaya dalam Golongan Ketiga.
Kata Prancis "bourgeoisie" berkembang dari kata Prancis Lama burgeis, yang berarti "seorang
warga sebuah kota" (bdk. bahasa inggris Abad Pertengahan burgeis, bahasa Belanda Tengah
burgher dan Jerman Bürger). Kata Prancis Lama burgeis sendiri berasal dari Bourg, yang berarti
sebuah "kota pasar" atau desa abad pertengahan, kata ini sendiri berasal dari bahasa Franka
"burg", yang berarti "kota".
Kata ini juga berevolusi yang kemudian berarti pedagang dan pengusaha, dan sampai
abad ke-19 umumnya bersinonim dengan "kelas menengah", yaitu orang-orang yang masuk
dalam spektrum sosial ekonomi yang luas antara bangsawaan dan petani atau kaum proletar.
Karena kekuatan dan kekayaan kaum bangsawaan memudar di paruh kedua abad ke-19, dan
karena kelas pedagang dan kelas komersial menjadi dominan, kaum borjuis muncul sebagai
pengganti dari digulingkannya kaum bangsawan dan kelas penguasa yang baru.
Setelah Revolusi Industri (1750-1850), pada pertengahan abad ke-19 ekspansi kelas
sosial borjuis yang besar menyebabkan stratifikasi (oleh aktivitas bisnis dan oleh fungsi
ekonomi) ke dalam borjuis besar (bankir dan industrialis) dan borjuis kecil (pedagang dan
pekerja kerah putih). Terlebih lagi, pada akhir abad ke-19, kaum kapitalis (borjuis asli) telah naik
ke kelas atas, sementara perkembangan teknologi dan pekerjaan teknis memungkinkan naiknya
laki-laki
dan perempuan kelas pekerja ke lapisan bawah borjuasi; namun kemajuan social itu tidak
disengaja.
Setidaknya kelompok kelas menengah Indonesia ada tiga kelompok utama, yaitu:
pertama, kelompok pedagang muslim yang terkonsentrasi diperdagangan dan komoditas dalam
skala kecil. Kelompok ini tetap berada dalam lingkungan kekuatan politik birokrat. Kedua,
kelompok aliansi dari birokrat sipil, siswa sekolah, intelektual, yang pada pokoknya sebagai
produk dari pembangunan. Dan yang ketiga adalah birokrasi militer.
Sementara itu Mangunwijaya (Wijaya, 1986) juga menyebutkan beberapa tipe kaum
Kelas menengah yang ada di Indonesia antara lain terdapat 5 golongan kaum Kelas menengah :
1. Golongan kaum Kelas menengah yang memiliki ruang diametral antara idealisme dan
pragmatisme dalam mengutarakan kejujuran dan kebenaran dalam berpendapat walaupun
berhadapan dengan maut,
2. Golongan kaum Kelas menengah ini adalah golongan yang memiliki ruang diametral
antara idealisme dan pragmatisme dalam mengutarakan kebenaran dan kejujuran tetapi
tidak berani berhadapan dengan maut, ketika dipaksa untuk tidak mengakui kebenaran
golongan ini mau mengakui ketidakbenaran, walaupun di belakang bergerak dan berbisik
melawan ketidakbenaran,
3. Golongan kaum Kelas menengah yang memiliki ruang diametral antara idealisme dan
pragmatisme yang mengikuti arus seperti misalnya melawan ketidakbenaran dan
kejujuran tetapi tidak punya keinginan dan ambisi untuk merubah keadaan dan tetap
netral saja,
4. Golongan kaum Kelas menengah yang sering berbuat onar dan rusuh serta mengutarakan
hal-hal yang sangat kritis terhadap penguasa walaupun golongan kaum Kelas menengah
ini merasa sungkan atau tidak enak dengan penguasa setempat, tetapi ketika di beri
kekuasaaan dan jabatan menjadi penguasa yang ―gendut dan berkepala botak tunduk
pada pemberi jabatan,
5. Kaum Kelas menengah golongan ini sama sekali tidak bisa berpikir logis dan kritis dalam
mengungkap ketidakbenaran serta tidak mampu mempelopori perubahan dalam melawan
ketidak benaran, seperti dalam ungkapan golongan yang dengan ungkapan disebut
sebagai golongan kaum Kelas menengah, kemana jas dan dasi melambai tertiup angin,
maka disitulah kaum Kelas menengah ini berlabuh.
Memiliki ilmu pengetahuan dan ilmu agama yang mampu diteorisasikan 10 dan
direalisasikan di tengah masyarakat
Dapat berbicara dengan bahasa kaumnya dan mampu menyesuaikan dengan lingkungan
Memiliki tanggung jawab sosial untuk mengubah masyarakat yang statis menjadi
dinamis.
3. Kaum Proletar
Pengertian proletar adalah kelas kedua yang ada dalam susun masyarakat berkelas, kaum
ini identik dengan seseorang yang menjual tenaga serta keahliannya untuk kepentingan kaum
borjuis, kaum borjuis adalah kaum yang menjadi pemilik faktor produksi. Tokoh kaum proletar
dalam ilmu sosiologi adalah Karl Marx yang lahir dari darah Yahudi. Karl Mark dikenal sebagai
“Nabi Kaum Proletar” lantaran karya fenomenalnya yaitu Das Kapital menjelaskan tentang
penggolongan kelaskelas sosial dalam masyarakat.
Karl Mark mengatakan bahkan selama ada kelas dalam kehidupan masyarakat, yaitu
kelas kaum proletar dan kelas kaum borjuis selama masyarakat tidak pernah bersatu, alasan ini
dikemukakan lantaran selalu ada perebutan kelas di dalamnya. Oleh karena itulah di akhir Das
Kapital ini menyebutkan bahwa agar masyarakat bisa bersatu dan kerukunan maka diperlukan
kepemilikan bersama, sama rasa, sama harta, dan sama dalam segi apapun. Tujuannya tentu saja
untuk menghilangkan penggelongan kelas dalam masyarakat.
Ciri melakat dalam kehidupan kaum proletar, antara lain adalah sebagai berikut;
Contoh yang menjadi identik adanya majikan dan pembantu. Majikan hadir sebagai kaum
borjuis yang memberikan gaji atau upah kepada kaum proletar, dalam hal ini adalah pembantu.
4. Lumpen Proletariat
Secara bahasa, lumpen proletariat dapat diartikan sebagai orang yang berpakaian
rombeng, orang jelata dan bawahan. Sementara itu, Karl Marx menajamkan pengertian
lumpenproletariat sebagai masyarakat, yang tersingkirkan hingga ke lapisan masyarakat paling
bawah. Keberadaannya dapat digunakan oleh politisi reaksioner maupun gerakan revolusioner,
oleh karena itu posisinya dalam masyarakat tidak kuat. Mereka tidak mempunyai pekerjaan yang
jelas, keinginan untuk memperoleh pekerjaan dan hidup sebagai parasit sosial. Termasuk di
dalamnya pencuri, pelacur, bandit, penjahat, penipu, gelandangan, pengangguran (dan calon
pengangguran), orang yang dibuang dari industri, dan semua yang tidak masuk klas (declassed
or nonclass) dan taraf manapun. Kaum ini dipandang sebagai cadangan industri oleh para
kapitalis. Setiap saat mereka bisa difungsikan untuk menurunkan posisi tawar buruh terhadap
majikannya.
Posisi mereka sangat dilematis: di satu sisi menginginkan kesetaraan dan perubahan
nasib, di sisi lain mereka tidak memiliki pekerjaan yang membuat posisi tawar mereka semakin
tinggi. Gelandangan dan pengemis tetaplah lumpen yang tersisihkan dari sistem klas sosial yang
dibuat Marx.
Dalam aspek bekerja, Gallup (2016) menyatakan para milenials dalam bekerja memiliki
karakteristik yang jauh berbeda dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya, diantaranya
adalah:
Para milenials bekerja bukan hanya sekedar untuk menerima gaji, tetapi juga untuk
mengejar tujuan (sesuatu yang sudah dicitacitakan sebelumnya)
Milennials tidak terlalu mengejar kepuasan kerja, namun yang lebih milenials inginkan
adalah kemungkinan berkembangnya diri mereka di dalam pekerjaan tersebut
(mempelajari hal baru, skill baru, sudut pandang baru, mengenal lebih banyak orang,
mengambil kesempatan untuk berkembang, dan sebagainya). Milennials tidak
menginginkan atasan yang suka memerintah dan mengontrol
Milennials tidak menginginkan review tahunan, milenials menginginkan on going
conversation. Milennials tidak terpikir untuk memperbaiki kekuranganya, milenials lebih
berpikir untuk mengembangkan kelebihannya. Bagi milennials, pekerjaan bukan hanya
sekedar bekerja namun bekerja adalah bagian dari hidup