Anda di halaman 1dari 239

PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DALAM

PELESTARIAN KAWASAN CAGAR BUDAYA LAWEYAN


SURAKARTA

Tesis
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana S-2

Program Studi
Magister Perencanaan Wilayah dan Kota

Diajukan oleh :
Elok Ayu Fa’izati
17/419393/PTK/11503

kepada
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
“setiap perjuangan tidak akan pernah berakhir merugi, kepekaan mata hati

yang mampu melihat begitu banyak yang bisa disyukuri”

(Fa’izati, 2019)

“karena segala sesuatu yang dikerjakan dengan hati,

akan sampai juga ke hati yang lain”

(Marchella FP, 2018: @nkcthi)


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Segala Puji dan Syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia yang telah dilimpahkanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini
dengan judul “Pengendalian Pemanfaatan Ruang dalam Pelestarian Kawasan Cagar
Budaya Laweyan Surakarta” untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
memperoleh gelar Magister dari Program Studi Magister Perencanaan Wilayah dan
Kota Universitas Gadjah Mada.
Penyelesaian tesis ini tidak lepas dari adanya dukungan, bantuan, petunjuk,
bimbingan dan pengarahan dari semua pihak. Untuk itu penulis mengucapkan
terimakasih yang tulus kepada yang terhormat:
1. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) yang telah
memberikan beasiswa sehingga dapat menempuh pendidikan pascasarjana.
2. Bapak Walikota Surakarta beserta segenap jajaran terkait yang telah
memberikan kesempatan untuk dapat mengikuti dan menyelesaikan tugas
belajar ini.
3. Ibu Dr. Ir. Dwita Hadi Rahmi, MA selaku dosen pembimbing yang telah
banyak memberikan ilmu dan arahan yang sangat bermanfaat dalam
penyusunan tesis ini.
4. Dosen penguji Bapak M. Sani Roychansyah, S.T., M.Eng., D.Eng. dan Prof
Bambang Hari Wibisono, M.UP., M.Sc., Ph.D yang telah memberikan
masukan dan saran guna perbaikan tesis ini
5. Ibunda tercinta dan tersayang yang selalu mendukung lewat doanya,
tenaganya dan perhatiannya demi kelancaran studi ini dan juga kesuksesan
di masa yang akan datang.
6. Suami tercinta Mas Gunawan yang telah memberikan dukungan penuhnya
kepada penulis selama menjalani studi dan penyusunan tesis ini.
Semangatnya untuk terus berjuang, terus belajar dan berusaha menjadi
manusia yang lebih baik lagi telah menginspirasi penulis untuk terus
bersemangat.
7. Putra tercinta Exander Dzu Alqarnayn Gunawan, ceria dan canda tawanya
yang selalu memberi kekuatan bagi penulis. Ketika penat dan jenuh mulai
menghampiri diri, melihat senyumannya membuat semangat di raga ini
menjadi berkobar lagi.
8. Rendi Haditya adik tersayang yang selalu bersedia membantu meluangkan
waktu dan tenaganya demi kelancaran studi penulis. Sukses untuk karir
barumu kali ini.

ii
9. Pengelola Program Pasca Sarjana Magister Perencanaan Wilayah dan Kota
UGM dan para Dosen MPWK UGM yang telah memberikan bekal ilmu
yang sangat bermanfaat selama masa perkuliahan. Semoga ilmu yang
penulis dapatkan selama kuliah di MPWK UGM dapat bermanfaat bagi
dunia kerja dan masyarakat.
10. Para staf sdministrasi dan pengajaran MPWK UGM yang telah membantu
dalam setiap kebutuhan administrasi penulis selama masa perkuliahan.
11. Rekan-rekan mahasiswa Perencanaan Wilayah Angkatan XIV (PW-14)
Program Studi Magister Perencanaan Wilayah dan Kota yang telah sangat
mewarnai hari-hari selama masa perkuliahan. Terimakasih sudah menjadi
bagian keluarga kedua bagi penulis. Kenangan bersama kalian tidak akan
pernah terlupakan. Sukses untuk semua rekan-rekan PW-14.
12. Para pihak yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu yang
telah membantu dan mendukung selesainya tesis ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa terdapat kekurangan dalam penyusunan
tesis ini sehingga jauh dari sempurna karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman
dan wawasan penulis. Untuk itu penulis mengharapkan kelapangan hati dan pikiran
agar dapat dimaklumi oleh setiap pembaca. Akhir kata semoga tesis ini dapat
memberikan manfaat bagi semua yang membacanya.

Yogyakarta, Februari 2019

ELOK AYU FA’IZATI

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN

HALAMAN PERNYATAAN……………………………………………. i

KATA PENGANTAR……………………………………………………. ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………….. iv

DAFTAR TABEL ………………………………………………………... viii

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….. x

INTISARI………………………………………………………………… xi

ABSTRACT………………………………………………………………. xii

BAB I …………………………………………………………………….. 1

PENDAHULUAN ……………………………………………………….. 1

1.1. Latar Belakang …………………………………………… 1


1.2. Permasalahan …………………………………………….. 5
1.3. Pertanyaan Penelitian ……………………………………. 5
1.4. Tujuan Penelitian ………………………………………… 5
1.5. Manfaat Penelitian ……………………………………….. 6
1.6. Keaslian Penelitian ………………………………………. 6

BAB II …………………………………………………………………… 10

TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………. 10

2.1. Pengendalian Pemanfaatan Ruang ………………………. 10


2.1.1. Peraturan Zonasi …………………………………………. 12
2.1.2. Perizinan (IMB) ………………………………………….. 15
2.1.3. Insentif dan Disinsentif …………………………………... 16
2.1.4. Sanksi …………………………………………………….. 17
2.2. Peraturan dan Panduan Pelestarian Cagar Budaya di
Beberapa Negara …………………………………………. 18
2.2.1. Pengawasan KCB (Pasal 82 Perda No. 10/2013 tentang
Pelestarian Cagar Budaya) ………………………………. 19

iv
2.2.2. Kyoto City Landscape Policy ……………………………. 20
2.2.3. Conservation Guideline of Melaka ………………………. 20
2.3. Pengertian Bentuk dan Fungsi …………………………… 23
2.3.1. Bentuk…………………………………………………….. 24
2.3.2. Fungsi ……………………………………………………. 26
2.4. Pelestarian Kawasan Cagar Budaya …………………….. 27
2.4.1. Pelestarian………………………………………………… 29
2.4.2. Kawasan Cagar Budaya ………………………………….. 34
2.5. Teori Evaluasi Program/Kebijakan ………………………. 36
2.6. Penelitian Terdahulu ……………………………………... 38
2.7. Landasan Teori …………………………………………... 41

BAB III …………………………………………………………………... 48

METODE PENELITIAN ………………………………………………... 49

3.1. Pendekatan Penelitian ……………………………………. 49


3.2. Batasan Penelitian ………………………………………... 49
3.3. Variabel dan Indikator
Penelitian…………………………………………………. 50
3.4. Teknik Pengambilan Sampel …………………………….. 60
3.5. Teknik Pengumpulan Data ……………………………….. 62
3.5.1. Pengumpulan data dalam tujuan mendeskripsikan kondisi
bentuk dan fungsi bangunan di Laweyan…………………. 62
3.5.2. Pengumpulan data dalam rangka mengevaluasi
pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang…………… 64
3.6. Teknik Analisis Data ……………………………………... 65
3.7. Tahapan Penelitian ………………………………………. 67
3.7.1. Tahap Persiapan ………………………………………….. 67
3.7.2. Tahap Pelaksanaan ……………………………………...... 68
3.7.3. Tahap Pengolahan Data ………………………………….. 68
3.7.4. Tahap Penyajian Hasil Analisis ………………………….. 69

BAB IV …………………………………………………………………... 71

GAMBARAN UMUM FOKUS PENELITIAN …………………………. 71

4.1. Kawasan Cagar Budaya Laweyan ……………………….. 71


4.1.1. Kondisi Geografis ……………………………………….. 72
4.1.2. Sejarah Kampung Laweyan ……………………………… 74
4.1.3. Nilai Penting Kawasan Cagar Budaya “Laweyan” ………. 77
4.1.4. Fungsi Baru Pendukung Pariwisata di Laweyan ………… 79

v
4.2. Pengendalian Pemanfaatan Ruang ……………………….. 83
4.2.1. Regulasi ………………………………………………….. 84
4.2.2. Pengendalian Pemanfaatan ruang sebagai Upaya
Pelestarian Kawasan Cagar Budaya ……………………... 85

BAB V …………………………………………………………………… 87

HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………….. 87

5.1. Kondisi Bentuk dan Fungsi Bangunan di KCB Laweyan... 87


5.1.1. Fungsi Banngunan ……………………………………….. 87
5.1.2. Fasad Bangunan KCB Laweyan …………………………. 90
5.1.3. Tahun Renovasi dan Pembangunan ……………………… 94
5.1.4. Intensitas Bangunan ……………………………………… 96
5.1.5. Kesimpulan Kondisi Bnetuk dan Fungsi Banngunan di
KCB Laweyan ……………………………………………. 98
5.2. Evaluasi Pengendalian Pemanfaatan Ruang ……………... 107
5.2.1. Penerapan Peraturan Zonasi ……………………………… 111
5.2.2. Peraturan Terkait………………………………………….. 119
5.2.3. Penerapan Perizinan (IMB) ………………………………. 125
5.2.4. Penerapan Insentif……………….. ………………………. 140
5.2.5. Penerapan Sanksi ………………………………………… 147
5.2.6. Pengawasan dan Penertiban ……………………………… 152
5.2.7. Edukasi Kepada Masyarakat …………………………...... 157
5.2.8. Peran Tim Ahli Cagar Budaya …………………………… 161
5.2.9. Kesimpulan Evaluasi Elemen Pengendalian Pemanfaatan
Ruang …………………………………………………….. 168
5.3 Diskusi Komprehensif Penelitian ………………………... 176

5.4 Diskusi Teoritik Penelitian……………………………….. 179

BAB VI …………………………………………………………………... 182

KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….. 182

6.1. Kesimpulan ………………………………………………. 182


6.2. Saran ……………………………………………………... 182
6.2.1. Kepada Pemerintah ………………………………………. 183
6.2.2. Kepada Penelitian Selanjutnya …………………………... 184

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 185

vi
LAMPIRAN ……………………………………………………………… 190
Lampiran 1 Kuisioner bagi pemilik bangunan di Laweyan …………... 190
Lampiran 2 Daftar pertanyaan wawancara bagi warga dan TACB …… 191
Lampiran 3 Daftar Pertanyaan bagi Petugas Pengendalian
Pemanfaatan Ruang ……………………………………… 192
Lampiran 4 Tabel arahan intensitas bangunan dalam Perda no. 6/2016 194
Lampiran 5 Notulensi Rapat Pertimbangan “De Laweyan Hotel” ……. 199
Lampiran 6 SK Pembentukan Tim Penertiban tahun 2013 …………… 205
Lampiran 7 SK Pembentukan Tim Ahli Cagar Budaya ………………. 209
Lampiran 8 Foto per fasad bangunan Jl. Sidoluhur Laweyan…………. 213

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1 Fokus, Lokasi, dan Metode pada penelitian sebelumnya........................7


Tabel 2. 1 Bentuk-bentuk Insentif..........................................................................16
Tabel 2. 2 Bentuk-bentuk Disinsentif ....................................................................17
Tabel 2. 3 The Propose New Conservation Planning and Guidelines in Melaka .21
Tabel 2. 4 Elemen Pembentuk Ruang menurut para ahli .......................................24
Tabel 2. 5 Daftar Kawasan Cagar Budaya di Kota Surakarta ................................28
Tabel 2. 6 Aspek-aspek pengelolaan bangunan/kawasan cagar budaya ................42
Tabel 2. 7 Perumusan variabel untuk tujuan penelitian mengevaluasi pengendalian
pemanfaatan ruang ................................................................................................46
Tabel 2. 8 Perumusan variabel untuk tujuan penelitian mendeskripsikan kondisi
bentuk dan fungsi bangunan di Laweyan ...............................................................47
Tabel 3. 1 Variabel dan Indikator untuk tujuan penelitian “mendeskripsikan
kondisi bentuk dan fungsi bangunan di kawasan Laweyan” .................................51
Tabel 3. 2 Keterangan Indikator untuk variabel “Fasad Bangunan” .....................51
Tabel 3. 3 Variabel “Peraturan Zonasi” .................................................................53
Tabel 3. 4 Variabel “Peraturan terkait” ..................................................................53
Tabel 3. 5 Variabel “Perizinan IMB” .....................................................................54
Tabel 3. 6 Variabel “Insentif” ................................................................................54
Tabel 3. 7 Variabel “Sanksi” ..................................................................................55
Tabel 3. 8 Variabel “Pengawasan dan Penertiban” ................................................55
Tabel 3. 9 Variabel “Edukasi kepada Masyarakat” ...............................................56
Tabel 3. 10 Variabel “Peran Tim Ahli Cagar Budaya” ..........................................56
Tabel 3. 11 Matriks Logical Frame Approach Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Sebagai Upaya Pelestarian KCB Laweyan ...........................................................58
Tabel 3. 12 Responden Penelitian untuk Tujuan Penelitian Evaluasi Pengendalian
Pemanfaatan Ruang................................................................................................61
Tabel 4. 1 Instansi pengemban tupoksi pengendalian pemanfaatan ruang ............83
Tabel 5. 1 Hasil Kuisioner Variabel “Fungsi Bangunan” ......................................88
Tabel 5. 2 Keterangan Indikator untuk Variabel “Fasad Bangunan”.....................90
Tabel 5. 3 Hasil Pengamatan Fasad Bangunan di sepanjang Jl. Sidoluhur............91
Tabel 5. 4 Hasil Kuisioner “Tahun Renovasi/Bangun” .........................................95
Tabel 5. 5 Hasil Pengamatan Lapangan Mengenai “Jumlah lantai” ......................97
Tabel 5. 6 Hasil Analisa dari Evaluasi Kondisi Bentuk dan Fungsi Bangunan di
Laweyan ...............................................................................................................104
Tabel 5. 7 Logical Frame Approach (LFA) Pengendalian Pemanfaatan Ruang
sebagai Upaya Pelestarian ....................................................................................107
Tabel 5. 8 Kriteria Evaluasi (Dunn, 1994 dan Bappenas, 2009)..........................110
Tabel 5. 9 Karakteristik dan Visualisasi Zona Cagar Budaya .............................112
Tabel 5. 10 Ketentuan Kegiatan Zona Cagar Budaya ..........................................113
Tabel 5. 11 Keterangan Lanjut Kegiatan Terbatas dan Bersyarat Zona Cagar
Budaya..................................................................................................................114
Tabel 5. 12 Arahan Pemanfaatan Ruang Zona Cagar Budaya .............................116

viii
Tabel 5. 13 Tabel Koefisien Dasar Bangunan, Koefisien Daerah Hijau dan
Koefisien Ruang Terbuka Non Hijau ...................................................................120
Tabel 5. 14 Kutipan Perda Terdahulu Acuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Sebelum Tahun 2012............................................................................................123
Tabel 5. 15 Matriks SWP RUTRK 1993-2013 Surakarta ....................................124
Tabel 5. 16 Kutipan Perda Terkait Perijinan IMB ...............................................125
Tabel 5. 17 Daftar SK IMB 2007-2018 ...............................................................129
Tabel 5. 18 Hasil Kuisioner Variabel “Tahun SK IMB” .....................................132
Tabel 5. 19 SK IMB yang Terbit Khusus di Jl. Sidoluhur (2007-2018) ..............136
Tabel 5. 20 Hasil kuisioner jenis insentif yang diterima oleh warga di Jl.
Sidoluhur Laweyan ..............................................................................................146
Tabel 5. 21 Hasil kuisioner warga yang mendapatkan informasi keringanan
pajak ....................................................................................................................147
Tabel 5. 22 Kutipan Amanat “Sanksi” di dalam Perda .......................................147
Tabel 5. 23 Hasil Temuan Evaluasi Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang
Dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Surakarta ....................................................169
Tabel 5. 24 Faktor-faktor tidak efektifnya pengendalian pemanfaatan ruang dalam
mencapai kelstarian KCB Laweyan .....................................................................175

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1 Peta Kepadatan di salah satu segmen Jl. Sidoluhur Laweyan .............3
Gambar 1. 2 Bangunan Toko Modern di Jl. Sidoluhur Laweyan ............................4
Gambar 2. 1 Peta Posisi Kawasan II di Kota Surakarta .........................................13
Gambar 2. 2 Alur Perizinan IMB ...........................................................................16
Gambar 2. 3 Laweyan di dalam situs Sistem Registrasi Nasional .........................28
Gambar 2. 4 Matriks Kerangka Kerja Logis ..........................................................36
Gambar 3. 1 Koridor Amatan di Kawasan Kampung Batik Laweyan ...................60
Gambar 3. 2 Proses Analisa Data ..........................................................................67
Gambar 4. 1 Foto Bangunan Indis di Kampung Laweyan .....................................72
Gambar 4. 2 Peta Rencana Pola Ruang Kota .........................................................73
Gambar 4. 3 Peta Administrasi Kecamatan Laweyan ............................................73
Gambar 4. 4 Peta Citra Delineasi Kelurahan Laweyan..........................................74
Gambar 4. 5 Peta Desa Sala tahun 1500an sebagai embrio Kota Solo ..................75
Gambar 4. 6 Morfologi Kota Solo dari Tahun 1500an sampai dengan tahun
2000an ....................................................................................................................75
Gambar 4. 7 Bagan peralihan karakteristik aglomerasi industry di Laweyan .......79
Gambar 4. 8 Dominasi showroom batik di Laweyan .............................................80
Gambar 4. 9 Sebaran usaha/showroom batik dan fasilitas pendukung wisata di
Laweyan .................................................................................................................82
Gambar 4. 10 Bagan hubungan antara pengendalian dan pelestarian kawasan
cagar budaya...........................................................................................................86
Gambar 5. 1 Peta sebaran fungsi bangunan di sepanjang Jl. Sidoluhur .................89
Gambar 5. 2 Peta sebaran fasad bangunan di sepanjang Jl. Sidoluhur ..................92
Gambar 5. 3 Foto tahun 2003 dan tahun 2018 pada sudut pengmbilan gambar
yang sama ...............................................................................................................93
Gambar 5. 4 Keterangan posisi pengambilan gambar ...........................................94
Gambar 5. 5 Peta sebaran informasi tahun renovasi/bangun di Jl. Sidoluhur .......96
Gambar 5. 6 Peta sebaran jenis bangunan berdasarkan jumlah lantai bangunan di
Jl. Sidoluhur ...........................................................................................................98
Gambar 5. 7 Peta hasil overlay antara peta fasad bangunan, fungsi bangunan dan
tahun renovasi/bangun ...........................................................................................99
Gambar 5. 8 Segmen 3 (tiga) Jl. Sidoluhur Laweyan ..........................................100
Gambar 5. 9 Foto per fasad bangunan di segmen 3 (tiga) sebelah selatan Jl.
Sidoluhur ..............................................................................................................101
Gambar 5. 10 Foto per fasad bangunan di segmen 3 (tiga) sebelah utara Jl.
Sidoluhur ..............................................................................................................102
Gambar 5. 11 Peta Peraturan Zonasi sub BWP II kawasan II Kota Surakarta ....111
Gambar 5. 12 Peta citra sebaran bangunan kuno inventaris BPCB Jateng ..........112
Gambar 5. 13 Rencana Tampak Bangunan Hotel ................................................117
Gambar 5. 14 Konten arahan pemanfaatan ruang di zona cagar budaya .............119
Gambar 5. 15 Kutipan tentang cagar budaya dalam Perda RTRW......................122

x
Gambar 5. 16 Peta pembagian SWP (Sentra Wilayah Pengembangan) RUTRK
Surakarta Tahun 1993-2013 .................................................................................124
Gambar 5. 17 Peta rencana struktur pemanfaatan ruang berdasarkan dominasi
kegiatan ................................................................................................................124
Gambar 5. 18 Alur Perizinan IMB .......................................................................128
Gambar 5. 19 Dagram lingkaran persentase kepemilikan IMBdi Jl. Sidoluhur
Laweyan ...............................................................................................................133
Gambar 5. 20 Peta sebaran kepemilikan IMB di Jl. Sidoluhur Laweyan ............134
Gambar 5. 21 Peta hasil overlay bangunan tidak ber IMB dan peta sebaran Fasad
bangunan dan peta sebaran tahun renovasi ..........................................................135
Gambar 5. 22 Notulensi rapat koordinasi pengajuan IMB gedung eks RS Kadipolo
Surakarta ..............................................................................................................137
Gambar 5. 23 Notulensi rapat koordinai pengajuan IMB gedung eks Gedung
Joeang...................................................................................................................138
Gambar 5. 24 Contoh arsip SP1 dan SP2 yang sudah pernah diterbitkan ...........151
Gambar 5. 25 Jadwal Patroli Ruang di Bulan Juli 2018 ......................................154
Gambar 5. 26 Daftar pertanyaan dari peserta sosialisasi RAKP tahun 2016 .......159
Gambar 5. 27 Suasana acara sosialisasi RAKP tahun 2016 di Surakarta ............160
Gambar 5. 28 RKA tahun 2016 bidang pelestarian cagar budaya DTRK ...........166
Gambar 5. 29 Faktor Komitmen yang mempengaruhi tercapainya kelstarian
kawasan cagar budaya ..........................................................................................176
Gambar 5. 30 Keterkaitan antara upaya-upaya penegndalian pemanfaatan ruang
yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Surakarta dengan kondisi bentuk dan
fungsi bangunan di Laweyan ...............................................................................177

xi
PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DALAM PELESTARIAN
KAWASAN CAGAR BUDAYA LAWEYAN SURAKARTA
Elok Ayu Fa’izati1., Dwita Hadi Rahmi2.
INTISARI
Pengendalian menurut UU nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang adalah upaya
untuk mewujudkan tertib tata ruang. Dengan kata lain pengendalian berfungsi menjaga
agar pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh semua pihak sesuai dengan arahan dalam
rencana tata ruang, termasuk di dalamnya adalah menjaga ketertiban pemanfaatan ruang
dalam kawasan cagar budaya. Laweyan sebagai kawasan bersejarah yang sudah ditetapkan
sebagai kawasan Cagar Budaya dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
PM.03/PW.007/MKP/2010 tentang penetapan kawasan Laweyan sebagai kawasan cagar
budaya, Surat Keputusan Walikota Surakarta No. 646/1-R/I/2013, dan masuk dalam salah
satu dari 51 obyek vital pariwisata berdasarkan SK Menteri Pariwisata RI No.
KM.70/UM.001/MP/2016 sehingga keberadaannya baik itu secara fisik, spasial dan sosial
budayanya harus dilestarikan. Melihat kecenderungan di lapangan, kawasan bersejarah
Laweyan telah bertransformasi menjadi kawasan yang bercirikan perdagangan jasa.
Statusnya sebagai kampung wisata, bangunan kuno berarsitektur indis sudah mengalami
perubahan fasad karena direnovasi dan dibongkar oleh sang pemilik. Muncul bangunan-
bangunan baru berlanggam modern. Kondisi seperti ini mengancam kelestarian kawasan
cagar budaya yang jika terus dibiarkan dapat mengurangi ke khasan kawasan Laweyan.
Studi ini menggunakan pendekatan Metode deskriptif kualitatif yang mencakup pendekatan
teori bentuk dan fungsi dalam upaya pelestarian dan teori evaluasi kebijakan publik yang
digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kemudian melahirkan variabel dan
indikator. Dalam studi ini secara keseluruhan ditemukan bahwa bangunan kuno di JL.
Sidoluhur lebih dari separuh telah mangalami renovasi, dimana tembok-tembok tinggi dan
regol-regol besar khas laweyan mulai berubah menjadi showroom-showroom modern.
Laweyan yang tengah tertekan oleh pembangunan dan modernisasi menyebabkan
terjadinya perubahan fisik kawasan yang mengancam kelestarian Laweyan sebagai
kawasan cagar budaya. Hal tersebut juga disebabkan oleh peraturan dan pengendalian
pemanfaatan ruang yang belum optimal dalam menjaga kelestarian nilai penting fisik dari
kawasan cagar budaya Laweyan. Faktor-faktor yang menyebabkan kurang optimalnya
pengendalian pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta dalam
mengendalikan perubahan fisik yang terjadi adalah kurangnya komitmen dalam
penganggaran, komitmen dalam melibatkan TACB secara optimal dan komitmen dalam
penerapan aturan dan sanksi yang tegas.

Kata Kunci: Kawasan Cagar Budaya, Laweyan, Pelestarian, Pengendalian, Surakarta

1
Mahasiswa, Magister Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Gadjah Mada
2
Dosen, Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah
Mada

xi
CONTROL OF SPATIAL UTILIZATION IN PRESERVATION
OF CULTURAL HERITAGE AREA LAWEYAN SURAKARTA
Elok Ayu Fa’izati1., Dwita Hadi Rahmi2.
ABSTRACT
Controlling spatial utilization according to The Constitution Law Number 26 of 2007
concerning spatial planning is an effort to realize orderly spatial planning. In other
words, control functions to ensure that the use of space by all parties is in accordance
with the directions in the spatial plan, including maintaining order in spatial use in the
cultural heritage area. Laweyan as a historical area that has been designated as a
Cultural Heritage area in the Regulation of the Minister of Education and Culture No.
PM.03 / PW.007 / MKP / 2010 concerning the determination of Laweyan area as a
cultural heritage area, Surakarta Mayor Decree No. 646/1-R / I / 2013, and included in
one of 51 vital tourism objects based on Minister of Tourism Decree No. KM.70 / UM.
001 / MP / 2016 so that its existence, physically, spatially and socially, must be preserved.
Seeing the tendency in the field, the historic area of Laweyan has transformed into an
area characterized by service and trade. Its status as a tourism area, an ancient building
with an indische architecture has undergone a change in facade because it was renovated
and demolished by the owner. New buildings with modern designs appear. Conditions like
this threaten the preservation of cultural heritage area which if allowed to continue can
reduce the repertoire of the Laweyan area. This study uses a qualitative descriptive
method approach that includes the approach to form and function theory in conservation
efforts and public policy evaluation theory used to answer research questions which then
give birth to variables and indicators. In this study as a whole, it was found that ancient
buildings at JL. Sidoluhur more than half has undergone renovation, where high walls
and large laweyan regols have begun to turn into modern showrooms. Laweyan, which is
under pressure from development and modernization, has caused a physical change in the
area that threatens Laweyan's sustainability as a cultural heritage area. This is also
caused by the regulation and control of the use of space that has not been optimal in
maintaining the preservation of the physical importance of the Laweyan cultural heritage
area. The factors that led to the less optimal control of space utilization carried out by the
Surakarta City Government in controlling physical changes that occurred were a lack of
commitment in budgeting, a commitment to involving TACB (cultural heritage expert
team) optimally and a commitment in the application of strict rules and sanctions.

Key Words: Cultural Heritage Area, Preservation, Control of Spatial Utilization,


Laweyan, Surakarta

1
Student, Master Program in Urban and Regional Planning, Gadjah Mada University
2
Lecturer, Department of Architecture and Planning, Gadjah Mada University

xii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengertian pengendalian pemanfaatan ruang menurut UU nomor 26 tahun

2007 tentang penataan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang,

dengan kata lain pengendalian pemanfaatan ruang berfungsi menjaga agar

pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh semua pihak sesuai dengan arahan dalam

rencana tata ruang, termasuk di dalamnya adalah menjaga ketertiban pemanfaatan

ruang dalam kawasan cagar budaya.

Pelindungan sebagai upaya pelestarian menurut UU no. 11 tahun 2010

tentang cagar budaya adalah mencegah dan menanggulangi dari kerusakan,

kehancuran atau kemusnahan dengan cara penyelamatan, pengamanan, zonasi,

pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya. Kaitannya terhadap penataan ruang

di kawasan cagar budaya, peraturan zonasi (zoning regulation) menjadi penting

artinya terutama yang berkenaan dengan upaya pengendalian pemanfaatan ruang di

kawasan cagar budaya (Mulyadi, 2012), karena peraturan zonasi yang terdapat di

dalam RDTR Kota Surakarta menjadi instrumen dalam pengendalian pemanfaatan

ruang sehingga bisa menjadi acuan dalam perizinan, penerapan insentif/disinsentif,

pengawasan dan penertiban ruang.

Kampung Batik Laweyan sebagai kawasan bersejarah yang sudah ditetapkan

sebagai kawasan Cagar Budaya dalam Surat Keputusan Walikota Surakarta No.

646/1-R/I/2013 tentang penetapan bangunan-bangunan dan kawasan kuno

1
bersejarah di Kota Surakarta, sehingga keberadaannya baik itu secara fisik, spasial

dan sosial budayanya harus dilestarikan.

Pada tahun 1930-1970 merupakan masa kejayaan batik tulis dan cap

Laweyan, namun mulai 1970an sampai 2000an batik mengalami kemerosotan

dikarenakan serangan batik print dari China yang dapat memproduksi lebih banyak

serta motif dan warna yang jauh lebih bervariasi, hal tersebut menyebabkan banyak

saudagar batik Laweyan yang gulung tikar, hingga tersisa sekitar 9 pengusaha batik

saja yang setia memproduksi batik tulis dan cap. Sampai pada akhirnya batik mulai

bangkit dan bersinar lagi pada tahun 2006/2007 dimana pemerintah dan para

saudagar batik sepakat untuk membangkitkan kembali Batik Laweyan sehingga

lahirlah “Kampung Batik Laweyan” yang kemudian mendapatkan beberapa

bantuan dari Pemerintah Kota Surakarta berupa penataan lingkungan kampung

pada tahun 2008, dan bantuan dari Pemerintah Kota Surakarta berupa IPAL

pengolahan limbah produksi batik, pada tahun 2004 didirikanlah FKPBL (Forum

Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan) berdasarkan penunjukan dan

penugasan dari Bappeda Kota Surakarta nomor : 050/I 250.

Keberadaan kawasan kampung batik Laweyan telah melalui sejarah yang

cukup panjang, sehingga tidak heran jika arsitektur yang mendominasi di kawasan

ini adalah berciri kan arsitektur Indis dengan tembok-tembok tinggi, bukaan-bukaan

serta ornamen khas perpaduan kolonial dan jawa yang mampu menciptakan

atmosfer kawasan yang unik dan khas, sehingga terus menarik pengunjung yang

tidak sebatas wisatawan domestik namun juga wisatawan mancanegara. yang pada

akhirnya kawasan bersejarah ini makin lama makin menampakkan ciri sebagai

2
kawasan ekonomi/perdagangan sebagai respon atas tingginya peminat seni batik

tulis dan cap khas Laweyan. Kawasan cagar budaya Kampung Batik Laweyan yang

sudah ditetapkan di dalam SK Walikota sehingga perlakuannya haruslah sesuai

sebagaimana kawasan cagar budaya yang diatur di dalam UU nomor 11 tahun 2010

tentang cagar budaya, namun yang terjadi adalah kawasan cagar budaya kampung

batik laweyan telah banyak mengalami perubahan wajah kawasan yang mengancam

kelestarian cagar budaya di dalamnya. Menurut Priyatmono (2004) faktor utama

yang menjadi penyebab terjadinya perubahan morfologi di Laweyan adalah fungsi

kawasan yang awalnya sebagai sentra industri batik berubah menjadi multifungsi,

dan faktor pendukungnya adalah adanya pembagian warisan yang kemudian diikuti

dengan perubahan bantuk dan ukuran kapling yang kemudian mendorong

perubahan fisik lainnya.

Gambar 1.1 (a). Peta Kepadatan di salah satu segmen Jl. Sidoluhur Laweyan
tahun 1960. (b) Peta Kepadatan di Laweyan tahun 2003.
Sumber: Priyatmono, 2004

3
Menurut Sunaryo dalam situs https://www.merdeka.com/peristiwa/

bangunan-cagar-budaya-di-kampoeng-batik-laweyan-solo-berubah-modern.html/

menyatakan bahwa kondisi bangunan kuno di Laweyan sudah banyak yang

terlantar, sekitar 30% dari 100 bangunan kuno sudah mengalami perubahan bentuk

menjadi toko, ruko dan resto yang bergaya modern. Hal senada juga dinyatakan

oleh Budi dalam situs https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/3179567/banyak-

bangunan-kuno-di-solo-jadi-agunan-bank-dan-dijual-eceran/ menyatakan bahwa

kondisi kawasan bersejarah Laweyan berdasarkan keterangan dari salah satu

anggota paguyuban di sana, sudah banyak bangunan kuno di Laweyan yang

dirobohkan bahkan bagian-bagian bangunan yang dinilai antik sudah dijual eceran.

Gambar 1.2 Bangunan toko modern di Jl. Sidoluhur Laweyan (a dan b).
Kondisi tembok kuno Laweyan yang terbengkalai (c dan d).
Sumber: Dokumentasi Penulis, 2018

4
1.2. Permasalahan

Melihat kecenderungan di lapangan, kawasan Laweyan sedikit demi sedikit

bertransformasi menjadi kawasan yang bercirikan perdagangan jasa, statusnya

sebagai kampung wisata bangunan-bangunan kuno berarsitektur indis sudah

mengalami perubahan fasade karena direnovasi dan dibongkar oleh sang pemilik.

Kondisi seperti ini mengancam kelestarian kawasan cagar budaya, yang jika terus

dibiarkan dapat mengurangi ke khasan kawasan Laweyan.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Melihat kondisi permasalahan yang mengancam kelestarian kawasan cagar

budaya, mendorong munculnya pertanyaan berikut :

a. Bagaimanakah kondisi bentuk dan fungsi bangunan di Laweyan,

terutama di sepanjang Jl. Sidoluhur?

b. Bagaimanakah hasil pengendalian pemanfaatan ruang, khususnya di

kawasan cagar budaya Laweyan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota

Surakarta?

1.4. Tujuan Penelitian

a. Mendeskripsikan kondisi bentuk dan fungsi bangunan, terutama yang

berada di sepanjang Jl Sidoluhur Laweyan

b. Mengevaluasi hasil pengendalian pemanfaatan ruang, khususnya di

kawasan cagar budaya Laweyan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota

Surakarta

5
1.5. Manfaat Penelitian

1. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan :

a. Menambah khasanah pengetahuan tentang pengendalian pemanfaatan

ruang di kawasan Cagar Budaya

b. Menambah pengetahuan tentang keefektivitasan pengendalian

pemanfaatan ruang sebagai bentuk pelestarian kawasan cagar budaya

2. Bagi praktek pembangunan :

Perlakuan khusus bagi kawasan cagar budaya dalam proses pengendalian

pemanfaatan ruang

1.6. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian terkait pelestarian, pengelolaan cagar budaya sudah

banyak dilakukan, masing-masing memiliki fokus dan metode yang berbeda-beda

serta lokasi yang berbeda pula. Seperti yang akan dijelaskan pada tabel di bawah

ini :

6
Tabel 1. 1 Fokus, Lokasi, dan Metode pada Penelitian Sebelumnya

Judul Penelitian Penulis dan Fokus Penelitian Lokasi Metode Penelitian


tahun Penelitian
Kawasan Riouwstraat Denny Santika - Faktor yang mempengaruhi alih Kawasan Deduktif Kualitatif
(L.L.R.E. Martadinata) di 2013 fungsi bangunan cagar budaya Rioustraat SWOT
Bandung dari Perspektif - Strategi pengelolaan sumber daya Bandung
Cultural Resource budaya di Kawasan Riouwstraat
Management (CRM)
Peran Masyarakat dan M. Fakhrizanul - Peran pemerintah dan masyarakat Kawasan Studi Kasus
Pemerintah dalam Akbar dalam upaya pelestarian bangunan Kesawan Kota Eksploratif
Pelestarian Bangunan Cagar 2014 cagar budaya Medan
Budaya di Kawasan - Faktor-faktor yang mempengaruhi
Kesawan atau Kota Lama di peran pemerintah dan masyarakat
Kota Medan dalam pelestarian
Peran Pemerintah dalam Hari Prasetyo Kesesuaian peran pemerintah dalam Kotagede, Deduktif Kualitatif
Upaya Pelestarian dan 2014 upaya pengelolaan dan pelestarian Yogyakarta
Perlindungan KCB kawasan cagar budaya dengan
Kotagede Berdasarkan Undang-undang no.11 tahun 2010
UUCB no. 11/2010 tentang Cagar Budaya
Implementasi Pengendalian Risa Risdiasari Menjelaskan Implementasi Kota Studi Kasus
dalam Pelestarian Bangunan 2018 pengendalian dan mengidentifikasi Yogyakarta Eksploratif
Cagar Budaya di Kota faktor-faktor yang mempengaruhi
Yogyakarta implementasi pengendalian dalam
pelestarian bangunan cagar budaya
Harmonisasi Ketentuan Ulfia C. Kleden Keselarasan antara ketentuan zona Kotabaru, Pendekatan empiris
Peruntukan Bangunan dan Fahril Fanani budidaya dengan kaidah pelestarian Yogyakarta dan kepustakaan
Cagar Budaya dalam 2015 pada kawasan Kotabaru yang
Perspektif Regulasi di didalamnya terdapat bangunan-
bangunan cagar budaya.

7
Kawasan Budaya Kotabaru
Yogyakarta
Studi Penyusunan Kriteria Iskandar Kriteria Perencanaan pelestarian Kawasan Deduktif Kuantitatif
Perencanaan Pelestarian Zulkarnain kawasan bersejarah yang diuji coba Sunda Kelapa Analytical
Kawasan Bersejarah Sunda 2010 pada stakeholders menggunakan AHP Jakarta Hierarchycal Process
Kelapa Menggunakan (AHP)
Metode Analytical
Hierarchy Process (AHP)
Pengaturan Zoning sebagai Ayu - Perubahan fisik dan non fisik Kawasan Evaluatif
Pengendali Pemanfaatan Wahyuningtyas Kotagede Kotagede
Ruang (Studi Kasus dan Westi Utami - Peraturan Zonasi di kawasan Yogyakarta
Kawasan Preservasi Budaya 2015 Kotagede yang mengakomodir
Kotagede) arahan preservasi
Strategi dalam Pelestarian Nur Ikhwan - Strategi pelestarian cagar budaya Perkotaan Deskriptif Kualitatif
Warisan dan Cagar Budaya: Rahmanto - Faktor-faktor yang mempengaruhi Yogyakarta
Kasus Perkotaan 2018 strategi yang dilakukan oleh
Yogyakarta pemilik cagar budaya.
Preservation Urban Heritage Agus Sukirno - Faktor-faktor yang menyebabkan Kotabaru Studi Kasus
Through Building Permit 2010 IMB gagal memberikan Yogyakarta Eksploratory
Implementation and The perlindungan pada kawasan Deskriptif
Role of Institutional bersejarah Kotabaru
Framework the Case of - Kerangka kerja instansi dalam
Kotabaru, Yogyakarta mengelola kawasan bersejarah
Kotabaru
Pengendalian Pemanfaatan Elok Ayu Fa’izati - Evaluasi pelaksanaan Pengendalian Laweyan, Deduktif Kualitatif
Ruang dalam Pelestarian 2018 Pemanfaatan Ruang oleh Surakarta Evaluasi
Kawasan Cagar Budaya Pemerintah Kota Surakarta dalam
Laweyan Surakarta Pelestarian KCB Laweyan

Sumber: Ringkasan Penulis, 2018

8
Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya terkait upaya

pengelolaan dan pelestarian kawasan cagar budaya seperti yang tercantum dalam

tabel diatas, beberapa diantaranya befokus pada strategi dan program/kebijakan

yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam melestarikan kawasan cagar

budaya, serta berfokus juga pada faktor-faktor yang mempengaruhi

strategi/program/kebijakan tersebut. Dalam penelitian-penelitian tersebut belum

ada yang berfokus pada evaluasi pengendalian pemanfaatan ruang yang

dilaksanakan oleh pemerintah, melalui penilaian efektifitas yang spesifik pada

peraturan zonasi, pelaksanaan IMB, insentif, sanksi, pengawasan penertiban,

edukasi kepada masyarakat dan pelibatan Tim Ahli cagar Budaya dalam mencapai

tujuan berupa kelestarian kawasan cagar budaya Laweyan. Serta pendeskripsian

kondisi bentuk dan fungsi bangunan di kawasan cagar budaya Laweyan sebagai

indikator tercapai atau tidak tujuan (outcome) pelestarian.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Pengertian pengendalian pemanfaatan ruang menurut Undang-undang no.

26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib

tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan

peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan

sanksi.

Berdasarkan amanat undang-undang penataan ruang, maka peran

pengendalian sangat penting dalam mewujudkan tata ruang wilayah/kota/kawasan

yang optimal dalam hal meningkatkan produktivitas masyarakat dan optimal

dalam hal menjaga keberlanjutan kawasan lindung yang salah satunya merupakan

kawasan cagar budaya. Sama halnya dengan yang disebutkan oleh Australian

Heritage Commission (2000) bahwa perencanaan terkait pelestarian cagar budaya

merupakan salah satu bagian yang integral dari seluruh perencanaan kota. Upaya

pengendalian pemanfaatan ruang ini dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Surakarta

melalui Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Satu Pintu (DPMPTSP) dan Dinas

Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kota Surakarta, masing-masing

menjalankan tupoksi pengendalian sebagai berikut :

a. DPMPTSP mengemban tugas pengendalian pemanfaatan ruang dalam

seluruh proses perijinan IMB (Ijin Mendirikan/Merenovasi/Merobohkan

10
Bangunan), mulai dari pendaftaran pemohon IMB, cek berkas, survey

lapangan, rapat pembahasan sampai pada keluarnya SK IMB dijiinkan

atau ditolak.

b. DPUPR khususnya di Bidang Pengendalian Pemanfaatan Ruang

mengemban tugas dalam aspek pengawasan dan penertiban ketika

terjadi pelanggaran pemanfaatan ruang, serta memberikan surat

keterangan rencana tata ruang wilayah Kota Surakarta.

Dalam sebuah perencanaan kota, dimana kota tersebut memiliki asset

berupa bangunan dan kawasan cagar budaya maka sudah seharusnya perencanaan

mengakomodir kaidah-kaidah pelestarian. Menurut Martokusumo (2011) bahwa

prinsip konservasi harus diintegrasikan dengan lebih baik ke dalam semua proses

perencanaan kota. Sehingga perencanaan kota yang mengintegrasikan dengan

upaya pelestarian nantinya bisa di regulasikan dan digunakan sebagai acuan dalam

mengendalikan setiap perubahan yang terjadi pada bangunan atau kawasan cagar

budaya (Australian Heritage Commisiion, 2000). Mengingat bahwa perencanaan

kota, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian

dari upaya manajemen perkotaan, maka hal tersebut diperkuat oleh pernyataan

Ashworth (1991) bahwa manajemen perkotaan merupakan pemantauan yang terus

menerus terhadap proses perubahan yang diakibatkan oleh penyesuaian/adaptasi

yang dilakukan oleh masyarakat.

Pentingnya sebuah perencanaan yang mengakomodir prinsip pelestarian dan

pelaksanaannya melalui pengendalian ruang, khususnya di kawasan cagar budaya,

didukung oleh pendapat Djojonegoro (1997) yang menyatakan bahwa aspek

11
regulasi/peraturan dan manajemen kawasan cagar budaya merupakan salah satu

indikator terpenting dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap

pelestarian kawasan cagar budaya. Sependapat dengan hal tersebut Santika (2013)

mengatakan bahwa salah satu faktor yang mendukung terjadinya trasnformasi di

kawasan cagar budaya adalah faktor kebijakan pemerintah yang berupa:

- Pembuatan regulasi izin pemanfaatan;

- Penindakan hukum dan;

- Ketentuan perpajakan khususnya PBB

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pelestarian cagar

budaya sangat tergantung pada perencanaan kota atau regulasi yang disusun

sebagai arahan dalam pelaksanaan pengendalian ruang. Beberapa upaya

pengendalian yang diamanatkan dalam UU no. 26 tahun 2007 tentang Penataan

Ruang, dijelaskan sebagai berikut:

2.1.1. Peraturan Zonasi

Peraturan zonasi menurut dokumen ranperda Kota Surakarta tentang

RDTR Kawasan II Kota Surakarta Tahun 2012-2032 adalah ketentuan yang

mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya

serta disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam

rencana rinci tata ruang. Di Kota Surakarta Peraturan Zonasi terdiri dari zoning

text dan zoning map yang berfungsi sebagai pengendali pemanfaatan ruang dalam

penyusunan RDTR Kawasan II Kota Surakarta.

Kawasan II Kota Surakarta merupakan kawasan yang diarahkan sebagai

pusat pelayanan Olahraga, RTH dan pariwisata, karena kawasan II ini terdapat

12
beberapa lokasi strategis seperti Gelora Manahan, Taman Balekambang dan

Kampung Batik Laweyan sebagai kawasan cagar budaya dan pariwisata kerajinan

batik. Berikut posisi kawasan II di Kota Surakarta pada Gambar 2.1:

Gambar 2. 1 Peta Posisi Kawasan II di Kota Surakarta


Sumber : Laporan Akhir RDTR Kawasan II Surakarta

Peraturan zonasi yang mengatur secara detail arahan pemanfaatan ruang

perkotaan sangat penting perannya sebagai acuan dalam pengendalian ruang.

Peraturan zonasi cagar budaya sebagai instrument pengendalian pemanfaatan

ruang di kawasan cagar budaya menjadi penting karena peraturan zonasi menjadi

jembatan antara perencanaan di RTRW dan perwujudan pemanfaatan ruang di

kawasan cagar budaya (Mulyadi, 2012). Oleh karena itu penentuan zona cagar

budaya dalam peraturan zonasi tidak bisa sembarangan, Mulyadi (2012) juga

mengatakan bahwa zonasi ditetapkan dengan mengacu nilai arkeologis untuk

13
mempertahankan keaslian (authenticity) situs yang berupa keaslian bentuk

(desain), fungsi, bahan, lokasi dan latar lingkungan, serta tradisi yang merupakan

warisan budaya non-bendawi lainnya. Hal senada juga disampaikan oleh

Wahyuningtyas dan Utami (2015) bahwa zoning sebagai produk perencanaan kota

harus mampu berperan sebagai pengendali (guidelines) untuk mengendalikan

terjadinya desain dan konstruksi baru yang tidak sesuai serta merusak karakter

bangunan dan lingkungan lama. Oleh karena itu peraturan zonasi sebagai bagian

dari perencanaan kota harus mengintegrasikan kaidah pelestarian di dalamnya,

karena terdapat keuntungan melalui zoning dalam mencapai tujuan pelestarian

yaitu memperkaya hasrat kontinuitas nilai penting kawasan serta bermanfaat

untuk mewariskan arsitektur dan sebagai aset wisata kawasan cagar budaya

(Wahyuningtyas dan Utami, 2015).

Untuk mencapai tujuan pelestarian cagar budaya maka peraturan zonasi

menurut Djojonegoro (1997) harus diarahkan juga ke arah pengendalian

arsitektur/kualitas bangunan baru dan juga kontrol terhadap perlindungan

bangunan tua atau konstruksi nilai historis yang mencakup :

- Pengendalian terhadap kepadatan bangunan

- Pengendalian terhadap intensitas dan ketinggian bangunan

- Kontrol dalam alokasi penggunaan lantai dasar bangunan untuk

merangsang minat pejalan kaki dan mendorong pertumbuhan kegiatan

baru yang ditujukan untuk pejalan kaki yang melewatinya.

- Arahan dalam pemberian insentif dan bonus/hadiah bagi pengembangan

yang taat dan berkontribusi dalam layanan publik

14
- Arahan mengenai metode pembangunan di kawasan bersejarah

Arahan-arahan yang ditetapkan dalam peraturan zonasi tersebut menurut

Mulyadi (2012) merupakan rujukan bagi petugas pengendalian pemanfaatan ruang

dalam penertiban IMB, insentif dan sanksi terkait pemanfaatan ruang yang

dilakukan oleh masyarakat atau swasta di kawasan cagar budaya.

2.1.2. Perizinan (IMB)

Ketentuan perizinan menurut Peraturan daerah Kota Surakarta nomor 1

tahun 2012 tentang RTRW Kota Surakarta adalah ketentuan-ketentuan yang

ditetapkan oleh pemerintah daerah kota sesuai kewenangannya yang harus

dipenuhi oleh setiap pihak sebelum pemanfaatan ruang. IMB sebagai alat dalam

melaksanakan pembangunan keruangan yang tertib sesuai dengan rencana tata

ruang yang telah disusun dan ditetapkan.

Izin Mendirikan Bangunan Gedung IMB adalah perizinan yang diberikan

oleh Walikota kepada pemilik bangunan untuk membangun baru, mengubah,

memperluas, mengurangi dan/atau merawat bangunan sesuai dengan persyaratan

administratif dan teknis yang berlaku. Tupoksi perizinan IMB saat ini berada di

DPMPTSP (Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Satu Pintu) Kota Surakarta

dengan alur proses perijinan sebagai berikut pada gambar 2.2:

15
Gambar 2. 2 Alur Perizinan IMB
Sumber : perijinanonline.surakarta.go.id

2.1.3. Insentif dan Disinsentif

Mekanisme insentif di dalam Peraturan daerah Kota Surakarta nomor 1

tahun 2012 tentang RTRW Kota Surakarta adalah merupakan pengaturan yang

bertujuan memberikan rangsangan atau dorongan terhadap kegiatan yang sejalan

dengan rencana tata ruang. Insentif yang diberikan dapat berupa hal-hal sebagai

berikut :

Tabel 2. 1 Bentuk-bentuk Insentif


Jenis insentif Insentif untuk Insentif untuk Insentif kepada
Masyarakat Pengusaha dan Pemerintah
Swasta daerah lainnya
Fiskal Keringanan biaya Kontribusi saham -
sertifikasi tanah Kompensasi
Subsidi silang
Imbalan
Sewa Ruang
Non Fiskal Pemberian Pemberian Pemberian
penghargaan penghargaan penghargaan
kepada
masyarakat

16
Pembangunan Kemudahan prosedur
serta pengadaan perizinan
infrastruktur

Sumber : Perda no. 1 tahun 2012 tentang RTRW Kota Surakarta

Mekanisme Disinsentif merupakan perangkat atau upaya untuk mencegah,

membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan

rencana tata ruang. Disinsentif diberikan dalam bentuk sebagai berikut:

Tabel 2. 2 Bentuk-bentuk Disinsentif


Disinsentif kepada masyarakat, pengusaha dan swasta Disinsentif kepada
pemerintah daerah
lainnya
Pengenaan pajak yang tinggi, disesuaikan dengan Teguran tertulis
besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi
dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang
Pembatasan penyediaan infrastruktur
Pensyaratan khusus dalam perizinan
Sumber : Perda no. 1 tahun 2012 tentang RTRW Kota Surakarta

2.1.4. Sanksi

Sesuai amanat Perda no. 1 tahun 2012 tentang RTRW Kota Surakarta

pengenaan sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang dikenakan kepada

perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan pelanggaran sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan, sanksi tersebut berupa :

a. Peringatan tertulis

b. Penghentian sementara kegiatan

c. Penghentian sementara pelayanan umum

d. Penutupan lokasi

e. Pencabutan izin

f. Pembatalan izin

17
g. Pembongkaran bangunan

h. Pemulihan fungsi ruang

i. Denda administratif

Pemberian sanksi menjadi penting sebagai upaya pelestarian cagar budaya

melalui pengendalian pemanfaatan ruang, Zulkarnain (2010) mengatakan bahwa

dari hasil penilaian didapatkan bahwa kriteria peraturan dan sanksi merupakan

kriteria dengan tingkat kepentingan tertinggi untuk dapat mencapai goals yaitu

pelestarian kawasan cagar budaya. Hal senada juga disampaikan oleh (Prasetyo,

2014) bahwa legal protection dan penalities (sanksi) merupakan salah satu

strategi pelestarian yang dapat dilakukan oleh Pemerintah.

2.2. Peraturan dan panduan pelestarian di beberapa Negara

Dalam the European Model of Cultural Heritage Policy oleh Hristova

(2017) terdapat beberapa elemen spesifik dalam model peraturan cagar budaya

yaitu 1)mengEropa-kan cagar budaya, 2) Men-cagar budaya-kan kebudayaan di

Eropa 3) Pelibatan komunitas lokal, 4) Menghubungkan antara proses perubahan

yang nampak dengan stakeholders lintas negara di eropa ,5) Partisipasi

pemerintah serta 6) mempromosikan dan mempertahankan cagar budaya di Eropa

melalui perpustakaan digital dengan menyediakan ruang bagi para ahli cagar

budaya dalam membagikan informasi secara digital. Sedangkan menurut

Australian Heritage Commission (2000) di dalam pelestarian cagara budaya

sangat direkomendasikan bagi masyarakat lokal untuk turut melindungi dan

melestarikan kawasan cagar budaya karena beberapa alasan berikut :

18
1. Masyarakat terhubung langsung dengan masa lalu, dan merupakan

pengingat dari kejadian-kejadian spesifik dalam kehidupan, sejarah

ataupun kebudayaan

2. Masyarakat adalah bagian dari kawasan cagar budaya yang dapat

menjalankan perekonomian sehingga memberikan manfaat bagi

kawasan

3. Masyarakat miliki atau mewarisi nilai alami dan kebudayaan yang

harus di teruskan kepada generasi yang akan datang

4. Masyarakat itu bersifat sosial, spiritual dan memiliki norma/etika di

mana mereka berkewajiban menjalankannya

5. Masyarakat memiliki kewajiban untuk mematuhi perencanaan dari

situs bersejarah ataupun kawasan bersejarah yang terancam punah.

2.2.1. Pengawasan KCB (Pasal 82 Perda No. 10 Tahun 2013 tentang

Pelestarian Cagar Budaya)

1. Walikota melalui SKPD yang membidangi Cagar Budaya atau

Pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab terhadap pengawasan

Pelestarian Cagar Budaya sesuai dengan kewenangannya.

2. SKPD yang membidangi Cagar Budaya atau Pejabat yang ditunjuk

berwenang mengadakan pemeriksaaan dan pengawasan terhadap

berbagai kegiatan menyangkkut kawasan dan/atau bangunan Cagar

Budaya.

19
3. Walikota dapat meminta petimbangan Tim Ahli guna menunjang

tugas dan efektifitas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2).

4. Masyarakat ikut berperan serta dalam pengawasan Pelestarian Cagar

Budaya.

2.2.2. Kyoto City Landscape Policy (2007)

Terdapat 5 elemen dalam Kebijakan Konservasi Lansekap Cagar Budaya

di Kyoto Jepang yaitu : Building Height Control (Pengendalian terhadap

ketinggian bangunan), The Design of The Building (Arsitektur bangunan),

Surrounding Scenery Vistead View (Kontrol untuk menjaga Skyline perkotaan),

Outdoor Advertisement (Pengendalian terhadap papan-papan reklame), dan

Historical Townscape (Menjaga wajah kota agar tetap harmoni dengan

pemandangan kawasan bersejarah di Kyoto).

2.2.3. Conservation Guideline of Melaka

Menurut Baroldin dan Mohd Din (2012) bahwa dalam melakukan

konservasi atau perlindungan terhadap bangunan dan kawasan cagar budaya tidak

hanya menitik beratkan atau berfokus pada material atau fisik saja, namun juga

perlu memperhatikan perlindungan terhadap nilai identitas, nilai sejarah dan nilai

estetikanya. Tidak hanya itu di dalam aksi pelestarian cagar budaya juga

melibatan masyarakat/komunitas dan para ahli dibidang heritage (cagar budaya),

serta menyuntikkan fungsi baru untuk meningkatkan nilai ekonomi kawasan.

Beberapa hal tersebut terkandung dalam “the propose of new conservation

20
planning and guidelines in Melaka” yang terdiri dari 4 (empat) faktor sebagai

berikut :

Tabel 2. 3 The Propose New Conservation Planning and Guidelines in Melaka

Potentials Value Action

Visual/Physical Aesthetic Value Heritage Building Preservation


Factor
Value for architectural Public Realm Improvement
diversity and contrast Convenient

Value for environment Linkage to the nearby


diversity and contrast neighbourhood

Resource Value Transportation and pedestrian


comfort (avoid traffic
congestion)

A sense of security (focus on


safety pedestrian access at
backlane)

Social-Cultural Value for continuity of Commemmoration of Melaka


Factor cultural memory and shop houses and formation
heritage history of Melaka

Economic Factor Economic and Attraction for tourist and


commercial value community activity

A community with a
residential and commercial
mixture

Value for Function Diversified retail for goods and


services

Expert/Building Value of building Public connection and


Conservator Factor Characteristic community development

Sumber : Documentation and Conservation Guidelines of Melaka Heritage


Shophouses (Baroldin & Mohd Din, 2012)

21
Dari beberapa peraturan terkait pelestarian, teori dan pendapat para tokoh

diatas dapat disimpulkan bahwa upaya pelestarian cagar budaya harus

diintegrasikan kedalam sebuah perencanaan kota yang diregulasikan menjadi

sebuah peraturan sebagai acuan dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan

ruang di kawasan cagar budaya. Pelaksanaan pengendalian dimaksudkan untuk

melindungi aset penting sebuah kawasan cagar budaya yang berupa nilai penting

dari fisik bangunan yang ada di dalamnya. Hal tersebut didukung oleh Ashworth

(1991) yang menyatakan bahwa dalam pelestarian kawasan cagar budaya

perkotaan ditengah intensifnya pembangunan yang memicu perubahan maka

diperlukan manajemen yang sensitif dan responsif dalam menjaga keseimbangan

antara tuntutan kebutuhan fungsi saat ini dan bentuk aslinya.

Ashworth (1991) juga menambahkan bahwa jika pelestarian cagar budaya

dilihat dari sudut pandang guna lahan maka dibutuhkan rencana berupa

penjabaran rinci tentang pola bentuk dan fungsi masa depan yang diiinginkan dan

dapat dicapai, maupun serangkaian tujuan kebijakan tertulis, bersama dengan

sarana penegakkannya. Oleh karena itu peran pemerintah sebagai perencana dan

penyusun regulasi, serta pelaksana pengendalian pemanfaatan ruang menjadi

sangat penting dalam mencapai tujuan pelestarian kawasan cagar budaya. Salah

satunya adalah pentingnya perizinan dalam pengendalian ruang seperti yang

disampaikan oleh Kleden dan Fanani (2015) bahwa peran pemerintah yang sangat

mempengaruhi terjaganya nilai sejarah/budaya serta perubahan struktur/konstruksi

dan fungsi bangunan cagar budaya adalah pemberian izin. Risdiasari (2018) juga

mengungkapkan bahwa implementasi pengendalian dalam pelestarian bangunan

22
cagar budaya melalui aspek regulasi dan aspek prosedur merupakan upaya

pengendalian fisik di kawasan cagar budaya yang dapat dilakukan oleh

pemerintah.

2.3. Pengertian Bentuk dan Fungsi

Secara umum pengertian bentuk dan fungsi adalah sebagai salah satu

elemen pembentuk ruang yang diungkapkan oleh beberapa tokoh berikut:

Ruang yang terbentuk adalah akibat dari aktivitas dan kegiatan yang

tercipta di dalam ruang tersebut, dan ruang diartikulasikan sebagai area kegiatan

yang jelas dikelilingi oleh ruang sirkulasi (Hertzberger, 2000). Lain halnya

dengan Smithies (1987) yang menyebutkan bahwa elemen pembentuk ruang atau

elemen kesatuan terdiri tekstur, warna, irama, orientasi, proporsi, solid void,

bentuk dan wujud. Sedangkan menurut Ching (2007) membagi ruang dalam 3

(tiga) elemen pembentuk ruang yaitu: lantai, dinding, plafond yang saling berpadu

mebentuk suatu dimensi spasial. Teori Form Follows Function yang

diperkenalkan oleh Louis Henri Sullivan pada tahun 1896 bahwa ukuran, ruang

dan karakteristik dalam dalam bangunan harus terlebih dahulu ditujukan semata-

mata kepada fungsi (Loho. dkk, 2015). Sullivan (1896) menyatakan bahwa

“fungsi menciptakan dan mengorganisasi bentuk dan bahwa bentuk haruslah

mengekspresikan fungsi tersebut”. Sedangkan teori pembentuk ruang yang terkait

dengan pelestarian arsitektur dan lingkungan binaan seperti yang di ungkapkan

oleh Antariksa (2017) bahwa terdapat 3 aspek dalam penelitian untuk

mengidentifikasi atau menggambarkan keadaan objek dalam hal ini adalah

bangunan yaitu : karakter visual, karakter spasial dan karakter struktural. Karakter

23
visual menurut Antariksa (2017) pada umumnya dapat diidentifikasi melalui:

Fasade, Warna, Tekstur, Material, Tipe jendela dan Atap. Tidak jauh berbeda

dengan pendapat Shirvani (1985) bahwa salah satu elemen pembentuk karakter

visual adalah bentuk dan massa bangunan (Building form and massing). Dari

penjelasan teori elemen pembentuk ruang dari beberapa tokoh diatas, maka

elemen pembentuk ruang dapat disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 2. 4 Elemen Pembentuk Ruang menurut para ahli

Herman Smithies Francis D. Louis Antariksa Hamid


Hertzberger, 1987 K. Ching Henri 2017 Shirvani
1896 1991 Sullivan (Teori dan
(Space and (Arsitektur, 1896 Metode
Learning) Bentuk, Pelestarian
Ruang dan Arsitektur
Tatanan) &
Lingkunga
n Binaan)
Aktivitas Tekstur Bidang Form Karakter Bentuk
Lantai Follows Visual Bangunan
Function
Kegiatan Warna Bidang Karakter Massa
Dinding Spasial Bangunan

Irama Bidang Karakter


Orientasi Plafond Struktural
Solid Void
Bentuk
dan Wujud
Sumber: Penulis, 2018

2.3.1. Pengertian Bentuk dalam Upaya Pelestarian Kawasan Cagar Budaya

Di dalam upaya pelestarian kawasan cagar budaya, perlindungan terhadap

elemen bentuk sebagai aspek fisik yang harus dipertahankan ataupun yang

dikendalikan dapat diartikan oleh beberapa tokoh/teori sebagai berikut:

24
Menurut Mulyadi (2012) unsur bentuk/rancangan (desain) merupakan

salah satu unsur yang harus dipertahankan kondisi keasliannya (authenticity).

Sama halnya dengan yang disampaikan oleh Wahyuningtyas dan Utami (2015)

bahwa arsitektur di kawasan cagar budaya dapat diwariskan dan dijaga melalui

penetapan peraturan zonasi kawasan cagar budaya. Djojonegoro (1997) juga

berpendapat yang sama bahwa peraturan zonasi harus dapat mengendalikan

arsitektur bangunan baru dan melindungi bangunan lama dengan cara

pengendalian terhadap kepadatan dan intensitas bangunan. Tidak jauh berbeda

dengan arahan pelestarian kota tua Kyoto di Jepang melalui Kyoto City

Landscape Policy (2007) memberikan arahan pelestarian kawasan cagar budaya

Kyoto yang mencakup 5 elemen utama yaitu: Kontrol terhadap ketinggian

bangunan, arahan desain bangunan, pertimbangan kondisi lansekap sekitar,

pertimbangan keberadaan koridor-koridor bersejarah dan kontrol terhadap papan

reklame.

Sedangkan menurut Baroldin dan Mohd Din (2012) dalam perencanaan

aksi pelestarian kawasan kota tua Malaka mengusulkan salah satu arahan yang

berfokus pada aksi perlindungan fasad bangunan tua shophouse. Fasad bangunan

juga merupakan elemen yang harus tetap dilindungi ataupun dipelihara

keasliannya walaupun terjadi perubahan atau penyesuaian fungsi (Saputra dan

Purwantiasning, 2013). Fasad bangunan merupakan salah satu unsur penyusun

karakter visual suatu bangunan cagar budaya (Antariksa, 2017). Sedangkan

karakter visual menurut Shirvani (1985) terdiri dari bentuk dan massa bangunan.

Ashworth (1991) menjelaskan bahwa manajemen perkotaan dan perencanaan kota

25
sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan bantuk ditengah-tengah tuntutan

beragam fungsi perkotaan. Ashworth (1991) juga menambahkan bahwa jika

memandang kawasan cagar budaya sebagai guna lahan maka perencanaan ruang

kota harus menjabarkan secara rinci pola bentuk dan fungsi masa depan yang

ingin dicapai. Sehingga menurut penulis, pandangan G. J Ashworth mengenai

bentuk dalam upaya pelestarian cagar budaya adalah lebih kepada bentuk secara

spasial kawasan/kota.

2.3.2. Pengertian Fungsi dalam Upaya Pelestarian Kawasan Cagar Budaya

Di dalam upaya pelestarian kawasan cagar budaya, fungsi dapat

dikategorikan menjadi dua yaitu fungsi asli yang jika memungkinkan patut

dipertahankan untuk menajaga keaslian/keutuhan nilai penting suatu kawasan

cagar budaya, dan fungsi sebagai unsur baru untuk menghidupkan kawasan cagar

budaya. Berikut beberapa penafsiran para tokoh dan teori tentang fungsi dalam

pelestarian cagar budaya:

Konsep adaptive reuse menurut Saputra dan Purwantiasning (2013)

merupakan upaya mengubah sebuah kawasan ataupun bangunan tua menjadi

sesuatu yang memiliki fungsi baru yang jauh lebih menguntungkan dibandingkan

dengan fungsi lamanya. Saputra dan Purwantiasning (2013) juga menambahkan

bahwa dengan adanya fungsi baru diharapkan sebuah kawasan ataupun bangunan

tua bersejarah dapat menghasilkan banyak manfaat baik dari segi ekonomi, sosial

dan budaya. Baroldin dan Mohd Din (2012) juga mengusulkan rencana aksi

berupa peningkatan nilai ekonomi kawasan kota tua Malaka melalui penyediaan

fungsi yang beragam misalnya perdagangan dan jasa. Sedangkan menurut

26
Djojonegoro (1997) Perencanaan Kota yang mengarahkan pada peremajaan

sebuah kawasan kota tua (kawasan cagar budaya) dimaksudkan untuk

mengalokasikan sumber daya yang dimiliki kawasan tersebut untuk ditata ulang

pemanfaatannya sedemikian rupa, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan

daya dukung lingkungan sehingga kawasan kota tua dapat menawarkan

kegiatan/fungsi baru yang lebih produktif tanpa harus melakukan pembongkaran

bangunan tua. Sama halnya dengan yang disampaikan oleh Kleden dan Fanani

(2015) bahwa perubahan fungsi bangunan cagar budaya sebagai upaya revitalisasi

dilakukan tanpa mengubah bentuk bangunan/konstruksi aslinya.

Kategori fungsi yang kedua adalah fungsi asli suatu bangunan atau

kawasan cagar budaya yang sebisa mungkin untuk dipertahankan demi menjaga

keaslian (authenticity) dan keutuhan (integrity) nilai-nilai penting dari

bangunan/kawasan cagar budaya (Mulyadi, 2012).

2.4. Pelestarian Kawasan Cagar Budaya

Upaya untuk melestarikan kawasan cagar budaya dalam hal ini adalah

kawasan Kampung Batik Laweyan merupakan tanggung jawab Pemerintah Kota

Surakarta sebagai pengelola tata ruang. Seperti yang sudah dibahas pada bab

sebelumnya bahwa terdapat 4 (empat) kawasan di Surakarta yang ditetapkan

sebagai kawasan cagar budaya pada tahun 2013 melalui Surat Keputusan

Walikota Surakarta no. 646/1-R/I/2013 tentang penetapan bangunan-bangunan

dan kawasan kuno bersejarah di Kota Surakarta, salah satunya adalah Kampung

Batik Laweyan, seperti yang tercantum dalam tabel berikut:

27
Tabel 2. 5 Daftar Kawasan Cagar Budaya di Kota Surakarta

No Nama Obyek Jenis Obyek Alamat

A. Komplek Kawasan
1. Kawasanan Kasunanan Kawasan Baluwarti Surakarta
tradisional
2. Keraton Puro Mangkunegaran Kawasan Kelurahan Keprabon
tradisional RW.1 Surakarta
3. Lingkungan Permukiman Kawasan Baluwarti Surakarta
Baluwarti tradisional
4. Lingkungan Permukiman Kawasan non Laweyan Surakarta
Laweyan tradisional
Sumber: Lampiran Surat Keputusan Walikota Surakarta no. 646/1-R/I/2013

Selain melalui penetapan di dalam SK Walikota Surakarta tahun 2013

tersebut, Laweyan juga ditetapkan dalam Peraturan Menteri No.

PM.03/PW.007/MKP/2010 tentang penetapan Kawasan Laweyan sebagai

kawasan cagar budaya, dan terdaftar di dalam Sistem Registrasi Nasional Cagar

Budaya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yaitu

dengan nomor registrasi RNCB.20100108.05.000306.

Gambar 2. 3 Laweyan di dalam situs Sistem Registrasi Nasional Cagar


Budaya
Sumber: https://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/, diakses tanggal 14 Januari 2019

28
Dari keempat kawasan bersejarah tersebut di pilih Laweyan sebagai lokasi

pengamatan dalam penelitian ini, dikarenakan Kampung Laweyan mengalami

perubahan wajah kawasan sejak ditetapkannya Laweyan sebagai kampung wisata

belanja “Kampung Batik Laweyan” pada tahun 2004 dengan

direnovasi/dibongkarnya bangunan-bangunan kuno oleh sang pemilik menjadi

showroom batik atau menjadi bangunan langgam modern akibat perpindahan

kepemilikan bangunan, dan semakin terancam juga dengan turus munculnya

fungsi-fungsi ikutan dari atraksi wisata di Laweyan.

2.4.1. Pelestarian

Pengertian pelestarian menurut Undang-undang nomor 11 tahun 2010

tentang Cagar Budaya adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan

Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan

memanfaatkannya. Penetapan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan

Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 1 Tahun 2015 tentang Bangunan

Gedung Cagar Budaya yang Dilestarikan bertujuan agar bangunan gedung cagar

budaya yang dilestarikan memenuhi persyaratan bangunan gedung, persyaratan

pelestarian dan tertib penyelenggaraan. Sehingga Peraturan Menteri ini dapat

dijadikan acuan oleh pemerintah Kota Surakarta dalam upaya pengelolaan

bangunan/kawasan cagar budaya, karena Peraturan Menteri ini memiliki ruang

lingkup arahan yang meliputi:

a. Persyaratan bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan

b. Penyelanggaraan bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan

29
c. Pemberian kompensasi, insentif dan disinsentif pada bangunan gedung

cagar budaya yang dilestarikan

d. Peran masyarakat

e. Pembinaan

f. Pengaturan di daerah, dan

g. Pendanaan

Sedangkan menurut Piagam Pelestarian Pusaka (2003) pelestarian adalah

pengelolaan cagar budaya melalui kegiatan penelitian, perencanaan,

pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan dan/atau pengembangan secara selektif

demi terjaganya bangunan/kawasan pusaka. Salah satu strategi dalam pelestarian

cagar budaya adalah dengan penyusunan rencana arahan atau guidelines

(Antariksa, 2017). Senada dengan pendapat Prasetyo (2014) strategi pelestarian

kawasan cagar budaya dapat melalui:

1. Legal Protection dan Penalties (sanksi). Sebagai pedoman dalam

mencegah desain dan konstruksi yang merusak karakter bangunan

lama atau yang tidak memuliakan bangunan/kawasan cagar budaya.

Pedoman dapat berupa pengendalian terhadap ketinggian bangunan,

material, setback, desain arsitektur dan sebagainya.

2. Pinjaman dan subsidi (insentif) yang berupa bantuan langsung

ataupun pemberian bunga dan keringanan pajak.

Sedangkan pelestarian cagar budaya menurut Attoe (1996) dapat melalui

beberapa metode yaitu:

30
1. Perlindungan yang sah: Pendaftaran bangunan, perjanjian yang bersifat

membatasi, Pedoman desain, Zoning, Hak milik bagi yang simpatik

cagar budaya.

2. Regulasi: Denda, Sanksi, Biaya Pembongkaran tidak terduga

3. Pinjaman

4. Subsidi/insentif

5. Adaptive Reuse

6. Transfer Development Right

Seperti yang sudah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa penyusunan

perencanaan/peraturan serta pengendalian pemanfaatan ruang merupakan

tanggung jawab pemerintah, dimana pemerintah berperan sebagai regulator dalam

memberikan arahan demi menyeimbangkan penyelenggaraan pengelolaan tata

ruang dan pelestarian kawasan cagar budaya (Prasetyo, 2014). Hal senada juga

disampaikan oleh Akbar (2014) bahwa pemerintah berperan dalam penyusunan

kebijakan pelestarian cagar budaya dan ditindaklanjuti dengan

mengkoordinasikannya dengan dinas-dinas terkait serta dibarengi dengan upaya

sosialisasi kebijakan kepada masyarakat agar masyarakat memiliki sikap peduli

terhadap cagar budaya dengan mempertahankan, melindungi dan merawat

bangunan cagar budaya.

Hal tersebut diatas sejalan dengan amanat Undang-undang no. 11 tahun

2010 tentang Cagar Budaya yang menyebutkan bahwa salah satu yang menjadi

tugas pemerintah dalam pengelolaan cagar budaya adalah melakukan pengawasan,

pemantauan dan evaluasi terhadap pelestarian warisan budaya.

31
Salah satu upaya pelestarian dengan Adaptive Reuse memiliki pengertian

sebagai suatu proses memodifikasi atau merubah sesuatu untuk mengganti

fungsinya dengan fungsi yang baru dengan meninggalkan fungsi lamanya

(Saputra & Purwantiasning 2013).

Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah seperti memfungsikan

kembali tempat ataupun bangunan yang sudah tidak dipergunakan lagi menjadi

sebuah tempat, bangunan ataupun sesuatu dengan fungsi baru yang dapat

mendatangkan banyak manfaat, dan keuntungan baik dari sudut ekonomi, budaya

dan sosial (Saputra & Purwantiasning, 2013). Hal senada juga disampaikan oleh

(Kleden dan Fanani, 2015) bahwa ketentuan pemanfaatan dan fungsi bangunan

cagar budaya yaitu penyesuaian atau perubahan fungsi dalam upaya revitalisasi

dilakukan tanpa mengubah bentuk bangunan/konstruksi aslinya.

Adaptive reuse erat kaitannya dengan upaya konservasi bangunan cagar

budaya, jika kedua konsep ini disandingkan akan menciptakan sebuah perubahan

fungsi yang optimal dengan tetap melindungi ataupun memelihara keaslian dari

sesuatu yang ingin difungsikan baik dari fasad maupun nilai sejarah dari suatu

tempat atau bangunan (Saputra and Purwantiasning, 2013).

Dalam Piagam Burra 1999 menyebutkan bahwa siginifikansi budaya

artinya nilai-nilai estetis, historis, ilmiah, sosial atau spiritual untuk generasi

dahulu, kini atau masa datang, sedangkan Konservasi artinya proses pemeliharaan

sebuah tempat untuk mempertahankan signifikansi budayanya. Prinsip-prinsip

Konservasi dalam Pasal 2. Konservasi dan Pengelolaan :

- Tempat-tempat bersignifikansi budaya harus dilestarikan.

32
- Tujuan dari konservasi adalah untuk mempertahankan signifikansi

budaya dari sebuah tempat.

- Konservasi adalah bagian integral dari pengelolaan yang baik tempat-

tempat bersignifikansi budaya.

- Tempat-tempat bersignifikansi budaya harus dilindungi dan tidak

dibiarkan terlantar atau ditinggalkan dalam kondisi yang

mengkhawatirkan.

Kawasan Cagar Budaya sebagai elemen penyusun perkotaan yang sudah

sangat sarat akan arus modernisasi, sangat perlu untuk dilindungi dan diwariskan

kepada generasi mendatang terkait signifikansi budaya yang tersimpan di

dalamnya, cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengembangkan dan

memanfaatkan Kawasan Cagar Budaya perkotaan dengan baik agar tetap hidup

sepanjang masa, oleh karena kawasan cagar budaya yang saat ini berada pada

kondisi perkotaan yang tidak stabil dan terus berubah maka dibutuhkan

manajemen perkotaan yang sensitif dan responsif untuk dapat memonitor secara

kontinyu setiap proses perubahan yang terjadi di kota (Ashworth, 1991). Hal

senada juga disebutkan oleh Djojonegoro (1997) bahwa ada beberapa indikator

kunci untuk mengevaluasi pengelolaan cagar budaya di Indonesia yaitu: 1)

penerapan prinsip arkeologi, 2) peraturan yang berlaku, 3) manajemen kawasan

cagar budaya, 4) peraturan tentang pariwisata budaya, dan 5) peraturan lainnya

yang terkait.

Dari pembahasan beberapa teori terkait pelestarian dan cagar budaya di

atas maka dapat disimpulkan bahwa manajemen perkotaan sangat penting

33
perannya dalam melestarikan kawasan cagar budaya. Manajemen perkotaan

mencakup banyak hal dan banyak stakeholders yang berperan di dalamnya,

sehingga jika tidak ada perhatian masyarakat dan pemerintah sebagai stakeholders

untuk melestarikan Kawasan Cagar Budaya, maka lama kelamaan sebuah

perkotaan akan kehilangan karakter dan ciri khasnya yang unik yang membedakan

antar satu kota dengan kota yang lain, dan juga menyebabkan memudarnya

berbagai kearifan lokal dan karakter budaya masyarakat setempat sehingga

muncul lah wajah kota yang kemudian tumbuh seragam di mana-mana

(Adhishakti, 2017). Menurut Panjaitan dalam (Antariksa, 2017) terdapat kendala

yang dihadapi dalam upaya pelestarian yang terdiri dari faktor-faktor berikut:

- Faktor Internal : Rendahnya kesadaran serta minimnya pengetahuan

berkaitan dengan bangunan bersejarah yang memiliki potensi besar

serta berpengaruh terhadap identitas kota. Tidak adanya kepastian

hukum terhadap peelstarian objek-objek kawasan bersejarah di kota.

- Faktor eksternal: Kondisi sosial ekonomi sebagian masyarakat yang

masih rendah mengakibatkan kurangnya kesadaran masyarakat akan

kesejarahan yang dimiliki.

2.4.2. Kawasan Cagar Budaya

Di dalam UU no. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, kawasan cagar

budaya merupakan satuan ruang geografis yang memiliki dua situs Cagar Budaya

atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang

khas.

34
Penetapan/pelabelan bangunan/kawasan cagar budaya yang tercantum

dalam SK Walikota belum mengklasifikasikan secara jelas bangunan/kawasan

cagar budaya mana saja yang tergolong Utama, Madya dan Pratama, penentuan

klasifikasi ini sangat penting karena telah mengatur sejauh mana dan sebatas

mana suatu bangunan/kawasan cagar budaya dapat direnovasi/dirubah. Hal

tersebut menimbulkan celah/kesempatan bagi para pemilik bangunan untuk

melakukan renovasi rumahnya yang berada di kawasan cagar budaya (Laweyan)

tanpa memperhatikan azas konservasi dan keserasian tampilan /atmosfer kawasan

laweyan.

Pengertian klasifikasi perlindungan bangunan cagar budaya yang

tercantum dalam Perda Kota Surakata no. 8 tahun 2016 tentang Bangunan dan

Gedung, dimana Pasal 85 ayat 4 menyebutkan bahwa “Bangunan Gedung yang

diusulkan untuk ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya yang dilindungi dan

dilestarikan dilakukan sesuai dengan klasifikasinya yang terdiri atas” :

a. Klasifikasi Utama yaitu Bangunan Gedung dan lingkungannya yang

bentuk fisiknya sama sekali tidak boleh diubah;

b. Klasifikasi madya yaitu Bangunan Gedung dan lingkungannya yang

bentuk fisiknya dan eksteriornya sama sekali tidak boleh diubah,

namun tata ruang dalamnya sebagian dapat diubah tanpa mengurangi

nilai perlindungan dan pelestariannya;

c. Klasifikasi pratama yaitu Bangunan Gedung dan lingkungannya yang

bentuk fisik aslinya boleh diubah sebagian tanpa mengurangi nilai

35
perlindungan dan pelestariannnya serta tidak menghilangkan bagian

utama Bangunan Gedung tersebut.

Dalam perda tersebut sudah menyebutkan tentang pelestarian Cagar

Budaya yang sesuai klasifikasinya, namun belum mengatur sejauh mana

bangunan dalam kawasan cagar budaya bisa dilakukan perubahan bentuk.

2.5. Teori Evaluasi Program/Kebijakan

Pengertian evaluasi menurut Permen PPN atau Bappenas no. 1/2017

tentang pedoman evaluasi pembangunan nasional adalah penilaian yang sistematis

dan objektif atas desain, implementasi dan hasil dari intervensi yang sedang

berlangsung atau yang telah selesai. Di dalam permen PPN ini juga dijelaskan

langkah-langkah evaluasi kebijakan dengan melakukan rekonstruksi Kerangka

Kerja Logis sebagai berikut :

Gambar 2. 4 Matriks Kerangka Kerja Logis


Sumber: Peraturan Menteri PPN no.1/2017

36
Evaluasi merupakan salah satu bagian tahapan perencanaan. Bappenas

(2009) menyatakan evaluasi adalah satu mata rantai dari siklus perencanaan yang

melibatkan empat tahapan pokok, yaitu formulasi kebijakan (plan), implementasi

(do), evaluasi terhadap implementasi (check), umpan balik terhadap implementasi

kebijakan dan evaluasi terhadap kebijakan baru (act). Esensi evaluasi adalah

membandingkan antara rencana dan hasil kinerja.

Kriteria dalam evaluasi. Menurut Dunn (1994) menyarankan evaluasi

berdasarkan serangkaian indikator dan pertanyaan:

1. Efektivitas: apakah hasil yang diinginkan telah tercapai?;

2. Efisiensi: berapa jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan

tingkat efektivitas tertentu?;

3. Kecukupan: seberapa jauh hasil yang dicapai dapat meemcahkan

masalah?;

4. Ekuitas: adalah biaya dan manfaatnya didistribusikan secara merata ke

berbagai kelompok masyarakat;

5. Responsif: apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi

atau nilai kelompok-kelompok tertentu dan dapatkah itu memuaskan

mereka?;

6. Kesesuaian atau akurasi: apakah hasil yang dicapai bermanfaat bagi

kelompok sasaran?

Senada dengan Dunn, Bappenas (2009) menyatakan aspek yang menjamin

kemantapan pelaksanaan suatu proses evaluasi melalui prinsip evaluasi yang

terdiri dari:

37
1. Relevansi: apakah tujuan prioritas atau fokus prioritas/program

pembangunan mendukung tujuan kebijakan?;

2. Keefektifan: apakah tujuan prioritas atau fokus prioritas/program

pembangunan dapat tercapai?;

3. Efisiensi: apakah tujuan priroritas atau fokus priroritas /program

pembangunan tercapai dengan biaya paling rendah?;

4. Hasil: Apakah indikator-indikator tujuan prioritas atau fokus

priroritas/program pembangunan semakin membaik?;

5. Dampak: apakah indikator-indikator tujuan kebijakan/prioritas atau

fokus prioritas/program membaik?

6. Keberlanjutan: apakah perbaikan indikator-indikator kinerja terus

berlanjut setelah program pembangunan selesai?; apakah hasil evaluasi

dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan

tindak lanjut?

Dengan demikian evaluasi dapat disimpulkan sebagai suatu proses untuk

menilai seberapa jauh suatu hasil terhadap rencana. Proses evaluasi perlu melihat

masukan, keluaran, hasil, dampak serta bagaimana pelaksanaan kegiatan atau

program secara objektif, sistematis dan empiris terhadap target. Proses evaluasi

memegang prinsip relevansi, efisiensi, efektifitas, hasil, dampak dan keberlanjutan

2.6. Penelitian terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang berfokus pada upaya pengelolaan dan

pelestarian cagar budaya melalui peraturan dan kebijakan pemerintah,

38
menghasilkan beberapa pemikiran/pendapat yang diringkas dalam paragraf

berikut:

Santika (2013) mengatakan bahwa alih fungsi bangunan di kawasan cagar

budaya yang diawali dengan transformasi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

faktor ekonomi yang terkait dengan kondisi sosial budaya masyarakat, faktor

lokasi yang strategis kawasan cagar budaya, dan faktor kebijakan pemerintah.

Senada dengan Santika, Akbar (2014) menyatakan bahwa salah satu peran

pemerintah dalam pelestarian cagar budaya adalah dengan menyusun kebijakan

yang ditindaklanjuti dengan mengkoordinasikannya dengan instansi-instasi

terkait, kemudian diikuti dengan sosialisasi dan pembinaan kebijakan kepada

masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut Prasetyo (2014) menyatakan bahwa di

dalam upaya pelestarian cagar budaya pemerintah mengemban 3 (tiga) peran yaitu

sebagai koordinator dimana pemerintah bekerjasama dengan lembaga terkait serta

melibatkan masyarakat, sebagai regulator yang menyiapkan arahan untuk

menyeimbangkan antara pengelolaan dan pelestarian cagar budaya, dan sebagai

fasilitator untuk menjembatani berbagai kepentingan antara pemerintah dan

masyarakat dalam pelestarian kawasan cagar budaya.

Ketiga penelitian diatas menyebutkan tentang betapa pentingnya kebijakan

pemerintah dalam upaya pelestarian kawasan cagar budaya. Pelaksanaan

pengendalian ruang yang merupakan bagian dari kebijakan dan peran pemerintah

juga tidak kalah pentingnya seperti yang diungkapkan oleh Risdiasari (2018)

bahwa pengendalian fisik dan pengendalian nilai-nilai penting yang terkandung

dalam kawasan cagar budaya di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

39
- Kekuatan desakan investasi

- Konsistensi dan komitmen stakeholders

- Apresiasi dan pemahaman pemilik dalam mengelola dan memanfaatkan

cagar budaya

- Tantangan peralihan paradigma kebijakan pelestarian dari statis ke

dinamis

- Kekuatan status penetapan, dan

- Dukungan partisipasi publik / peran media

Aspek perizinan atau IMB yang merupakan bagian dari pelaksanaan

pengendalian pemanfaatan ruang memiliki peran yang penting dalam upaya

pelestarian kawasan cagar budaya. Pembangunan dan kegiatan ekonomi yang

terus menekan dan menyebabkan degradasi kawasan cagar budaya disebabkan

oleh gagalnya mekanisme perijinan (IMB) dalam memberikan perlindungan

secara cukup pada kawasan cagar budaya (Sukirno, 2010). Sukirno juga

menambahkan terdapat faktor-faktor yang menyebabkan gagalnya IMB dalam

melindungi kawasan cagar budaya yaitu: kurang lengkapnya aturan yang ada,

koordinasi yang kurang, masalah sistem kepemilikan bangunan dan hukum

pertanahan nasional. Advice Planning yang merupakan bagian dari mekanisme

perijinan (IMB) juga memiliki peran strategis dalam pelestarian cagar budaya

(Rahmanto, 2018). Sejalan dengan pendapat Sukirno, Rahmanto juga

menambahkan terkait faktor-faktor yang mempengaruhi strategi dalam pelestarian

cagar budaya yaitu:

40
- Faktor eksternal: Dorongan pemilik cagar budaya untuk melestarikan,

lokasi kawasan cagar budaya yang strategis.

- Faktor Internal: Persepsi positif masyarakat terhadap bangunan cagar

budaya, dan dukungan pemerintah melalui program/kegiatan

pelestarian cagar budaya.

2.7. Landasan Teori

Dari beberapa pembahasan mengenai teori yang dikemukan oleh tokoh-

tokoh tersebut diatas dimana Australian Heritage Commission (2000),

Martokusumo (2011), Ashworth (1991), Djojonegoro (1997) dan Antariksa

(2017) mengatakan bahwa pentingnya mengintegrasikan kaidah pelestarian ke

dalam perencanaan kota sebagai acuan dalam pemanfaatan dan pengendalian di

kawasan cagar budaya demi terwujudnya kelestarian cagar budaya di perkotaan.

Karena perencanaan/peraturan serta pelaksanaan pengendalian ruang dapat

mempengaruhi atau menentukan bentuk dan fungsi bangunan di kawasan cagar

budaya (Ashworth, 1991; Djojonegoro, 1997; Mulyadi, 2012; Prasetyo, 2014;

Wahyuningtyas dan Utami, 2015; Kleden dan Fanani, 2015; Risdiasari, 2018).

Berdasarkan pada pengertian bentuk yang dimaksud dalam konteks upaya

perlindungan terhadap nilai penting cagar budaya yang berupa aspek fisik adalah

fasade bangunan (Antariksa, 2017; Ashworth, 1991; Baroldin dan Mohd Din,

2012; Saputra dan Purwantyasning, 2013; Shirvani, 1985), desain/arsitektur

bangunan (Mulyadi, 2012; Wahyuningtyas dan Utami, 2015; Djojonegoro, 1997;

Kyoto City Landscape Policy, 2007), intensitas bangunan (Djojonegoro, 1997;

Kyoto City Landscape Policy, 2013), bentuk spasial kawasan (Ashworth, 1991),

41
struktur/konstruksi (Kleden dan Fanani, 2015), dan massa bangunan (Shirvani,

1985). Sedangkan yang dimaksud dengan fungsi dalam upaya pelestarian adalah

aktivitas/kegiatan asli yang harus dipertahankan (Mulyadi, 2012) ataupun fungsi

baru yang mampu menghidupkan kawasan cagar budaya dengan seminimal

mungkin merubah fisik bangunan/kawasan cagar budaya (Saputra dan

Purwantyasning, 2013; Kleden dan Fanani, 2015; Djojonegoro, 1997; Baroldin

dan Mohd Din, 2012; Ashworth, 1991). Penelitian ini difokuskan pada

perencanaan ruang dan peraturan serta pengendalian pemanfaatan ruang yang

merupakan tanggung jawab pemerintah.

Berdasarkan metode pelestarian cagar budaya yang di ungkapkan oleh Attoe

(1996) dan Permen PUPR no. 1 tahun 2015 tentang Bangunan Gedung Cagar

Budaya yang dilestarikan maka terdapat beberapa aspek penting dalam

pengelolaan bangunan/kawasan cagar budaya yaitu:

Tabel 2. 6 Aspek-aspek pengelolaan bangunan/kawasan cagar budaya

No. Attoe (1996) Permen PUPR No. 1 tahun 2015 tentang


Metode Pelestarian Bangunan Gedung yang Dilestarikan. Ruang
lingkup pengelolaan cagar budaya:
1 Perlindungan yang sah: Persyaratan bangunan cagar budaya yang
- Pendaftaran Bangunan dilestarikan:
- Perjanjian yang bersifat - Administratif : Perizinan
membatasi - Teknis: Tata Bangunan, Kendalan
- Pedoman Desain bangunan, pelestarian
- Zonasi
- Hak Milik bagi yang
simpatik cagar budaya

2 Regulasi: Penyelenggaraan bangunan gedung cagar


- Denda budaya yang dilestarikan:
- Sanksi - Persiapan
- Biaya Pembongkaran - Perencanaan teknis
tidak terduga - Pelaksanaan

42
- Pemanfaatan
- Pembongkaran
3 Pinjaman Pemberian kompensasi, insentif dan
dsiinsentif pada bangunan gedung cagar
budaya
4 Subsidi/Insentif/bantuan Peran Masyarakat
5 Adaptive Reuse Pembinaan:
- Pengaturan
- Pemberdayaan
- Pengawasan
6 Transfer Development Pengaturan Pelaksanaan di daerah
Right
7 Pendanaan
Sumber: Penulis, 2018

Aspek-aspek pengelolaan bangunan/kawasan cagar budaya pada tabel diatas

didukung oleh upaya pengendalian dalam konteks penataan ruang seperti yang

diamanatkan oleh Undang-undang no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

bahwa Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui 4 (empat) upaya yaitu

peraturan zonasi, perizinan (IMB), pemberian insentif dan disinsentif serta sanksi.

Penetapan zona cagar budaya dalam Peraturan Zonasi serta arahan

pemanfaatan ruang yang spesifik merupakan salah satu langkah untuk mencapai

tujuan pelestarian cagar budaya (Mulyadi, 2012; Wahyuningtyas dan Utami,

2015; Djojonegoro, 1997). Penerapan izin mendirikan bangunan (IMB) dan izin

pemanfaatan ruang merupakan upaya pemerintah yang sangat mempengaruhi

perubahan struktur/konstruksi dan fungsi bangunan cagar budaya (Sukirno, 2010;

Kleden dan Fanani, 2015; Rahmanto, 2018). Sedangkan pemberian insentif

mampu mendorong masyarakat dan swasta untuk mematuhi arahan pemanfaatan

ruang dan mendukung penyediaan layanan bagi publik (Djojonegoro, 1997;

Prasetyo, 2014). Penerapan sanksi merupakan kriteria yang paling tinggi tingkat

43
kepentingannya dalam mencapai tujuan pelestarian kawasan cagar budaya

(Zulkarnain, 2010; Prasetyo, 2014; Santika, 2013). Setelah disusun peraturan

maka dilaksanakan pengendalian berupa IMB, insentif dan sanksi yang dibarengi

dengan monitoring atau pengawasan lapangan sebagai salah satu upaya

pelestarian untuk memastikan pemanfaatan ruang khususnya di

bangunan/kawasan cagar budaya telah sesuai dengan aturan yang berlaku atau

untuk mendapatkan infromasi dini mengenai pelanggaran di kawasan cagar

budaya. Pengawasan atau pemantauan merupakan upaya pelestarian yang

diamanatkan oleh Undang-undang no. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan

Piagam Pelestarian Pusaka tahun 2003.

Di dalam pembahasan beberapa teori terkait pelestarian cagar budaya yaitu

dalam Australian Heritage Commission (2000), Perda Kota Surakarta no. 10/2013

tentang cagar budaya, Baroldin dan Mohd Din (2012), Hristova (2017), Akbar

(2014), serta Prasetyo (2014) menyatakan bahwa dalam upaya pelestarian

kawasan cagar budaya pelibatan masyarakat lokal/setempat sangat diperlukan. Hal

tersebut dikarenakan masyarakat setempat-lah yang paling berperan dalam

pemanfaatan ruang di kawasan cagar budaya dimana mereka tinggal. Jika

masyarakat setempat didesak oleh kebutuhan ekonomi ditambah lagi tidak

memiliki pengetahuan dan kesadaran yang cukup tentang nilai penting kawasan

cagar budaya maka hal tersebut menjadi kendala dalam usaha pelestarian

bangunan cagar budaya (Antariksa, 2017). Tanggung jawab pemerintah untuk

memberikan edukasi dan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya

bangunan dan kawasan cagar budaya.

44
Begitu pula dengan pelibatan para ahli cagar budaya yang sangat

dibutuhkan dalam upaya pelestarian kawasan cagar budaya (Perda Kota Surakarta

no. 10/2013; Baroldin dan Mohd Din, 2012; Hristova, 2017). Peran tim ahli cagar

budaya sangat penting karena mereka-lah yang paling memahami prinsip

arkeologi, struktur bangunan, kesejarahan, sosial dan budaya yang harus

diintegrasikan ke dalam perencanaan ruang dan pengendalian ruang kawasan

cagar budaya. Jika peran tim ahli tidak optimal maka akan menyebabkan upaya

pelestarian menjadi tidak efektif dalam melindungi nilai penting

bangunan/kawasan cagar budaya (Baroldin dan Mohd Din, 2012). Di Kota

Surakarta Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) dilantik oleh Walikota dan bekerja

dibawah naungan Dinas Kebudayaan Kota Surakarta, sehingga menjadi tanggung

jawab Pemerintah Kota Surakarta untuk mengoptimalkan peran TACB dalam

perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan cagar budaya.

Sehingga berdasarkan kajian teori yang sudah dibahas tentang perencanaan

ruang, peraturan terkait pelestarian, dan pengendalian pemanfaatan ruang, maka

penulis memposisikan teori dalam penentuan kriteria dan variabel untuk

mengevaluasi pengendalian pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh Pemerintah

Kota Surakarta, sebagaimana tertera dalam Tabel 2.6 :

45
Tabel 2. 7 Perumusan Variabel untuk tujuan penelitian mengevaluasi
pengendalian pemanfaatan ruang oleh Pemerintah Kota Surakarta

Pertanyaan Teori-Teori Kriteria Variabel


Penelitian

Bagaimanakah Metode-Metode Perencanaan Peraturan Zonasi


pelaksanaan Pelestarian menurut dan Peraturan
pengendalian Attoe (1996) dan Permen
pemanfaatan PUPR no. 1 tahun 2015
ruang yang telah
dilaksanakan Didukung oleh :
Peraturan
oleh Pemerintah Terkait
UU no.26/2007
Kota Surakarta
Djojonegoro (1997),
Australian Heritage
Commission (2000),
Martokusumo (2011),
Mulyadi (2012), Santika
(2013), Akbar (2014),
Wahyuningtyas dan
Utami (2015), dan
Antariksa (2017)

Metode-Metode Pengendalian Perizinan (IMB)


Pelestarian menurut Pemanfaatan
Attoe (1996) dan Permen Ruang Insentif dan
PUPR no. 1 tahun 2015 Disinsentif

Didukung oleh : Sanksi

UU no.26/2007 Pengawasan dan


Djojonegoro (1997), penertiban
Australian Heritage
Commission (2000), Edukasi kepada
Panjaitan (2004), Masyarakat
Zulkarnain (2010), Pelibatan Tim
Sukirno (2010), Baroldin Ahli Cagar
dan Mohd Din (2012), Budaya
Santika (2013), Kleden
dan Fanani (2015),
Prasetyo (2014), Akbar
(2014), Hristova (2017)
dan Rahmanto (2018)

Sumber:Penulis, 2018

46
Sehingga berdasarkan kajian teori yang sudah dibahas tentang perencanaan

ruang, peraturan terkait pelestarian, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang

mempengaruhi bentuk dan fungsi di kawasan cagar budaya, serta pengertian

bentuk dan fungsi yang sudah dibahas maka penulis memposisikan teori dalam

penentuan kriteria dan variabel untuk mendeskripsikan kondisi bentuk dan fungsi

bangunan di kawasan Laweyan, sebagaimana tertera dalam tabel 2.8:

Tabel 2. 8 Perumusan Variabel untuk tujuan penelitian mendeskripsikan


kondisi bentuk dan fungsi bangunan di kawasan Laweyan

Pertanyaan Teori-Teori Kriteria Variabel


Penelitian
Bagaimanakah Bentuk sebagai aspek Bentuk Fasad
kondisi bentuk dan fisik yang harus Bangunan
fungsi bangunan di dilindungi dalam
kawasan Laweyan upaya pelestarian
cagar budaya berupa:
Intensitas
- Fasad Bangunan Bangunan
- Desain/Arsitektur
- Intensitas
Bangunan
- Struktur/Konstruksi
Shirvani (1985),
Djojonegoro (1997),
Ashworth (1991),
Kyoto City
Landscape Policy
(2007), Mulyadi
(2012), Baroldin dan
Mohd Din (2012),
Saputra dan
Purwantiasning
(2013),
Wahyuningtyas dan
Utami (2015), Kleden
dan Fanani (2015),
Antariksa (2017)

47
Fungsi baru yang Fungsi Fungsi
mampu Bangunan
menghidupkan
kawasan cagar
budaya dengan
seminimal mungkin
merubah fisik
bangunan/kawasan
cagar budaya
Djojonegoro (1991),
Baroldin dan Mohd
Din (2012), Mulyadi
(2012), Saputra dan
Purwantiasning
(2013), Kleden dan
Fanani (2015)

Sumber:Penulis, 2018

48
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan metode deduktif kualitatif atau juga

disebut oleh Bungin (2007) sebagai desain deskriptif kualitatif, dimana metode ini

mengutamakan penggunaan teori untuk menuntun peneliti dalam menjawab

pertanyaan penelitian, karena dalam metodologi ini teori digunakan sebagai alat,

ukuran dan instrumen dalam membangun hipotesis (Bungin, 2007).

Dalam Penelitian deskriptif kualitatif atau deduktif kualitatif mencakup

tahapan penentuan pendekatan teori yang akan digunakan untuk menjawab

pertanyaan penelitian yang kemudian melahirkan variabel dan indikator, teknik

pengumpulan data, analisis data dan kesimpulan.

3.2. Batasan Penelitian

Pembahasan penelitian ini dibatasi pada deskripsi kondisi bentuk dan fungsi

bangunan kawasan Kampung Batik Laweyan yang spesifik pengamatannya

dilakukan di sepanjang Koridor Jl. Sidoluhur. Sedangkan evaluasi dilakukan

pada pengendalian pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh Dinas Penanaman

Modal dan Perizinan Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Surakarta, Dinas Pekerjaan

Umum Penataan Ruang Kota Surakarta dan Dinas Kebudayaan Kota Surakarta.

49
3.3. Variabel dan Indikator Penelitian

Berdasarkan pada pembahasan tinjauan pustaka, bahwa perencanaan dan

pengendalian ruang yang merupakan tanggung jawab pemerintah berpengaruh

terhadap bentuk dan fungsi bangunan/kawasan cagar budaya di perkotaan

(Ashworth, 1991; Djojonegoro, 1997; Mulyadi, 2012; Utami dan Wahyuningtyas

dan Utami, 2015; Kleden dan Fanani, 2015).

Sedangkan pengertian bentuk dan fungsi dalam upaya pelestarian cagar

budaya adalah bentuk sebagai elemen fisik yang harus dilindungi berupa

fasade/arsitektur bangunan (Antariksa, 2017; Ashworth, 1991; Baroldin dan Mohd

Din, 2012; Saputra dan Purwantyasning, 2013; Shirvani, 1985; Mulyadi, 2012;

Wahyuningtyas dan Utami, 2015; Djojonegoro, 1997; Kyoto City Landscape

Policy, 2007), dan harus dikontrol intensitas bangunan baru disekitarnya

(Djojonegoro, 1997; Kyoto City Landscape Policy, 2013). Fungsi asli sebagai

aspek yang harus dipertahankan (Mulyadi, 2012) dan Fungsi sebagai unsur baru

yang mampu menghidupkan kawasan cagar budaya (Saputra dan Purwantyasning,

2013; Kleden dan Fanani, 2015; Djojonegoro, 1997; Baroldin dan Mohd Din,

2012; Ashworth, 1991). Maka variabel dan indikator penelitian untuk menjawab

tujuan deskripsi kondisi bentuk dan fungsi bangunan di kawasan Laweyan dapat

dirumuskan sebagai berikut:

50
Tabel 3. 1 Variabel dan Indikator untuk tujuan mendeskripsikan kondisi
bentuk dan fungsi bangunan di kawasan Laweyan

Kriteria Variabel Indikator Jenis Teknik


Data Pengmpulan
data
Bentuk Fasad - Berubah Data - Observasi
Bangunan Total Primer - Wawancar
- Berubah a
Sebagian Tahun - Quisioner
Besar Renovasi/B - Merekam
- Berubah angun (video/fot
Sebagian o)
Kecil
- Bangunan
Baru
- Tidak
Berubah

Intensitas Kondisi ketinggian bangunan Data - Merekam


Bangunan Primer - Dokumenta
dan Data si dan
Sekunder Arsip
Instansi
Fungsi Fungsi - Penjualan dan workshop Data - Wawancar
Bangunan batik Primer a
- Pendukung Pariwisata dan - Arsip
- Rumah tinggal Sekunder (sejarah)
- Usaha lainnya

Sumber:Penulis, 2018

Berikut penjelasan indikator dari fasad bangunan, untuk mempermudah

dalam pengamatan dan penggalian data di lapangan:

Tabel 3. 2 Keterangan Indikator untuk Variabel “Fasad Bangunan”


Indikator Keterangan

Berubah Total : Adalah bangunan yang mengalami perubahan wajah


bangunan atau fasad seluruhnya, sehingga sudah
tidak nampak sama sekali ciri/elemen fasad
bangunan aslinya

51
Berubah sebagian besar : Adalah bangunan yang mengalami perubahan fasad
sebagian besar (mendominasi fasad), sehingga ciri
fasad aslinya yang tersisa hampir tidak terlihat

Berubah sebagian kecil : Adalah bangunan yang mengalami sedikit


perubahan pada fasadnya, sehingga ciri fasad
bangunan aslinya masih mendominasi keseluruhan
eksteriornya.

Tidak berubah : Adalah bangunan yang sama sekali tidak mengalami


perubahan fasad bangunan yang berarti, sang
pemilik hampir tidak melakukan renovasi yang
signifikan pada fasad bangunannya

Bangunan baru : Adalah bangunan baru yang dibangun bukan dari


merobohkan atau merenovasi bangunan lawas,
namun bangunan yang sejak awal dibangun diatas
tanah kosong bukan bekas bangunan lawas.

Sumber: Penulis, 2018

Berdasarkan pada pembahasan teori pada bagian tinjauan pustaka yang

menjelaskan bahwa terdapat aspek-aspek penting dalam pengelolaan

bangunan/kawasan cagar budaya seperti yang ungkapkan oleh Attoe (1996) dan

amanat dalam Peraturan Menteri PUPR no. 1 Tahun 2015 tentang Bangunan

Gedung Cagar Budaya yang Dilestarikan. Hal tersebut didukung oleh beberapa

pendapat bahwa sebuah manajemen perkotaan yang terdiri dari perencanaan

ruang, peraturan, pemanfaatan ruang dan pengendalian harus mengintegrasikan

kaidah-kaidah pelestarian demi terwujudnya kelestarian kawasan cagar budaya

perkotaan (Australian Heritage Commission, 2000; Martokusumo, 2011;

Ashworth, 1991; Djojonegoro, 1997; Antariksa, 2017). Upaya pelestarian cagar

budaya melalui pengendalian pemanfaatan ruang mencakup 8 (delapan) upaya

berikut: Peraturan Zonasi, Peraturan Terkait, Perizinan (IMB), Insentif, Sanksi,

52
Pengawasan dan penertiban, Edukasi kepada Masyarakat, dan Pelibatan Tim Ahli

Cagar Budaya. Kedelapan upaya tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah

yang menjadi variabel untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kedua tentang

evaluasi pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang oleh Pemerintah Kota

Surakarta sebagai berikut :

Tabel 3. 3 Variabel “Peraturan Zonasi”

Indikator Jenis Data Teknik


Pengumpulan
Data
1. Tersedianya Dok. PZ/RDTR yang : Data Primer Arsip Instansi
- Sebaran bangunan lawas sesuai
dengan hasil inventaris BPCB
Jateng
- Tersedia arahan yang detail dalam
pemanfaatan ruang Zona KCB
2. Perda PZ/RDTR terpublikasikan
kepada masyarakat luas

Sumber: Penulis, 2018

Tabel 3. 4 Variabel “Peraturan Terkait”

Indikator Jenis Data Teknik


Pengumpulan
Data
1. Perda RTRW mengatur secara rinci Data Primer Arsip Instansi
arahan pemanfaatan ruang di KCB
Laweyan.
2. Perda Bangunan Gedung mengatur
secara rinci arahan intensitas
bangunan di Zona KCB Laweyan.
3. TACB terlibat dalam penyusunan
naskah akademik

Sumber: Penulis, 2018

53
Tabel 3. 5 Variabel “Perizinan IMB”

Indikator Jenis Data Teknik


Pengumpulan Data

Terbitnya SK IMB di KCB Laweyan Data Primer - Wawancara


yang mengutamakan tertib tata ruang Data Sekunder - Arsip Instansi
dan pelestarian, melalui:
1. Proses penerbitan KRK/IPR
yang sesuai dengan arahan
peruntukan dalam PZ dan
RTRW.
2. Proses Telaahan staf yang sesuai
dengan PZ, RTRW dan Perda
Bangunan Gedung serta
mengacu rekomendasi TACB.
3. Rapat pertimbangan yang
melibatkan TACB untuk
perijinan bangunan gedung yang
digunakan bagi kepentingan
umum dan menimbulkan dampak
penting
Sumber: Penulis, 2018

Tabel 3. 6 Variabel “Insentif”

Indikator Jenis Data Teknik


Pengumpulan Data

Masyarakat/pengembang/swasta yang Data Primer - Wawancara


mematuhi tata ruang dan melestarikan Data Sekunder - Arsip Instansi
bangunan/kawasan cagar budaya
Laweyan menerima insentif.

Peraturan mengenai insentif


tersosialisasikan secara luas kepada
masyarakat.

Sumber: Penulis, 2018

54
Tabel 3. 7 Variabel “Sanksi”

Indikator Jenis Data Teknik


Pengumpulan Data

Masyarakat/pengembang/swasta Data Primer Wawancara


yang melanggar ketentuan Data Sekunder Arsip Instansi
PZ/RTRW/Perda Bangunan
Gedung menerima sanksi
Sumber: Penulis, 2018

Tabel 3. 8 Variabel “Pengawasan dan Penertiban”

Indikator Jenis Data Teknik


Pengumpulan Data

- Tersedianya Dok. Monitoring Data Primer Wawancara


pemanfaatan ruang KCB Data Sekunder Arsip Instansi
Laweyan yang ditindak lanjuti
dengan pengawasan lapangan
- Tersedianya laporan Patroli
ruang di KCB Laweyan yang
dijadwalkan secara rutin
- Jumlah tenaga
pengawasan/patroli ruang yang
menucukupi
- Melibatkan personil Dinas
Kebudayaan/bidang pelestarian
cagar budaya dalam tim
pengawasan/patrol ruang
- Jumlah mencukupi terkait
personil yang ahli dan paham
dibidang arkeologi dan sejarah
di Dinas Kebudayaan
- Tersedianya laporan tim
penertiban yang berdasarkan
hasil laporan tim pengawasan
dan laporan masyarakat

Sumber: Penulis, 2018

55
Tabel 3. 9 Variabel “Edukasi Kepada Masyarakat”

Indikator Jenis Data Teknik


Pengumpulan Data

Terselenggaranya/tersedianya Data Primer Wawancara


sosialisasi yang memberikan Data Sekunder Arsip Instansi
informasi/pengetahuan kepada
masyarakat setempat akan
pentingnya KCB Laweyan melalui:
- Acara/forum
- Media Cetak
- Media elektronik
- Internet/sosialmedia/website
Sumber: Penulis, 2018

Tabel 3. 10 Variabel “Peran Tim Ahli Cagar Budaya”

Indikator Jenis Data Teknik


Pengumpulan
Data
- Tersedianya Kajian Data Primer Wawancara
Bangunan/kawasan cagar Data Sekunder Arsip Instansi
budaya Laweyan

- Tersedianya rekomendasi
TACB dalam penyusunan
peraturan/perencanaan dan
pertimbangan ijin IMB di
Laweyan
Sumber: Penulis, 2018

Indikator-indikator yang ditentukan untuk setiap variabel didapatkan dari

hasil penyusunan sebuah Logical Frame Approach (LFA) pengendalian

pemanfaatan ruang oleh Pemerintah Kota Surakarta pada Tabel 3.11 Matriks KKL

atau yang biasa dikenal dengan Project Design Matriks (PDM) menyediakan

pendekatan yang terstruktur dan logis untuk menetapkan prioritas dan

menentukan hasil yang diinginkan dari suatu proyek (Jackson, 1997). Hal yang

sama juga disampaikan oleh Gasper (2000) yang menyatakan bahwa LFA/PDM

56
dapat memberikan gambaran yang nyaman tentang tujuan

proyek/kegiatan/program dan mendorong perhatian terhadap tingkat justifikasi

yang lebih tinggi, kondisi eksternal dan kebutuhan informasi dalam pemantauan

dan evaluasi.

Metode LFA/PDM dipilih untuk mengevaluasi Pengendalian Pemanfaatan

Ruang yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Surakarta dalam pelestarian

kawasan cagar budaya Laweyan. LFA/PDM digunakan untuk mengetahui dimana

saja letak kekurangan di dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang oleh

Pemerintah Kota Surakarta dalam pelestarian kawasan cagar budaya Laweyan

dengan menilai efektivitas Output dari pelaksanaan pengendalian dalam mencapai

Tujuan/Outcome yang diharapkan berupa Kelestarian Kawasan Cagar Budaya

Laweyan. Oleh karena itu penentuan indikator untuk setiap variabel berdasarkan

pada indikator Output dalam matrik LFA/PDM berikut:

57
Tabel 3. 11 Matriks Logical Frame Approach Pengendalian Pemanfaatan Ruang sebagai Upaya Pelestarian KCB Laweyan

LOGIKA INTERVENSI INDIKATOR-INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI


Terwujudnya Kota Surakarta - Terwujudnya Masyarakat yang menjunjung tinggi Laporan Media dan Masyarakat -
sebagai Kota Budaya, Mandiri, nilai-nilai luhur dan warisan budaya sebagai jati diri
GOAL

Maju dan Sejahtera (Visi Walikota) Kota Surakarta


- Terwujudnya wajah kota yang mencerminkan jati diri
sebagai kota budaya
- Dokumentasi Wajah Kawasan Seluruh Stakeholders (Pemerintah,
OUTCOME

Tercapainya Kelestarian Kawasan Terjaganya keberadaan nilai penting fisik dan non fisik - Laporan/komentar Pengelola Swasta/Investor dan Masyarakat)
Cagar Budaya Laweyan KCB Laweyan Kawasan berkomitmen untuk melestarikan
- Laporan/komentar TACB Kawasan Cagar Budaya Laweyan
- Laporan/Komentar Warga dengan mematuhi aturan yang
- Laporan/Komentar Wisatawan berlaku.
OUTPUT 1. Dokumen Peraturan 1. Tersedianya Dok. PZ/RDTR yang : 1. Dokumen PZ/RDTR Kota 1. Tim Ahli Cagar Budaya terlibat
Zonasi/RDTR - Sebaran bangunan lawas sesuai dengan hasil Surakarta Tahun 2012 dalam penyusunan PZ/RDTR
2. Perda tentang Peraturan inventaris BPCB Jateng 2. www.jdih.surakarta.go.id Kota Surakarta–
Zonasi/RDTR - Tersedianya arahan yang detail dalam 3. Perda no. 1/2012 tentang RTRW 2. -
3. Perda RTRW dan Perda pemanfaatan ruang Zona KCB Kota Surakarta dan Perda no. 3. Tim Ahli Cagar Budaya terlibat
Bangunan Gedung 2. Perda terpublikasikan kepada masyarakat luas 8/2016 dalam penyusunan Naskah
4. SK IMB 3. Perda RTRW mengamanatkan pelestarian bangunan 4. Berkas IMB: Akademik perda
5. Insentif: dan kawasan cagar budaya Laweyan dan Perda - Surat Rekomendasi 4. Petugas perizinan
a. Keringanan pajak/subsidi/sewa Bangunan Gedung mengatur secara rinci arahan Keterangan Rencana Kota melaksanakan/mengindahkan
ruang intensitas bangunan di Zona KCB Laweyan - Notulensi Rapat Pembahasan masukan/rekomendasi dari TACB
b. Pembangunan infrastruktur 4. Terbitnya SK IMB di KCB Laweyan yang Izin 5. Peraturan mengenai insentif
c. Kemudahaan prosedur mengutamakan tertib tata ruang dan pelestarian 5. Surat Permohonan Insentif dari tersosialisasikan secara luas kpd
perizinan melalui: masyarakat dan Laporan masyarakat
d. Penghargaan - Proses penerbitan KRK/IPR yang sesuai dengan Pertanggungjawaban keuangan 6. –
6. Sanksi: arahan peruntukan dalam PZ dan RTRW (terserapnya dana insentif) 7. Konsultan penyusun dokumen
a. Peringatan Tertulis - Proses Telaahan staf yang sesuai dengan PZ, 6. Surat Peringatan/Teguran berkapasitas, dan Jumlah tenaga
b. Penghentian kegiatan RTRW dan Perda Bangunan Gedung serta mengacu 7. Laporan Monitoring: patroli ruang mencukupi
sementara rekomendasi TACB - Dokumen Monitoring 8. Masyarakat priori terhadap
c. Pembekuan IMB - Rapat pertimbangan yang melibatkan TACB pemanfaatan ruang di KCB pentingnya pelestarian KCB
d. Pencabutan IMB 5. Masyarakat/pengembang/swasta yang mematuhi tata Laweyan Laweyan
e. Pembongkaran bangunan ruang dan melestarikan bangunan/kawasan cagar - Laporan petugas hasil patrol 9. –
7. Laporan: budaya Laweyan menerima insentif. ruang di KCB Laweyan
a. Dokumen Monitoring 6. Masyarakat/pengembang/swasta yang melanggar 8. Laporan Petugas Dinas

58
Pemanfaatan ruang di KCB ketentuan PZ/RTRW/Perda Bangunan Gedung Kebudayaan dan Masyarakat.
Laweyan menerima sanksi 9. Laporan TACB
b. Laporan patroli ruang di KCB 7. Tersedianya Laporan :
Laweyan - Dok. Monitoring pemanfaatan ruang KCB Laweyan
c. Laporan hasil penertiban yang ditindak lanjuti dengan pengawasan lapangan
8. Sosialisasi pentingnya KCB - Patroli ruang di KCB Laweyan yang dijadwalkan
Laweyan melalui: secara rutin
a. Acara/forum - Penertiban yang sesuai dengan aturan
b. Media cetak 8. Terselenggaranya/tersedianya sosialisasi yang
c. Media elektronik memberikan informasi/pengetahuan kepada
d. Internet/sosialmedia/website masyarakat setempat akan pentingnya KCB Laweyan
9. Keterlibatan TACB dalam melalui:
pengendalian di KCB Laweyan: - Acara/forum
a. Kajian Bangunan/kawasan - Media Cetak
warisan budaya - Media elektronik
b. Rekomendasi/pertimbangan - Internet/sosialmedia/website
kepada Pemerintah Kota 9. Keterlibatan TACB melalui:
- Tersedianya Kajian Bangunan/kawasan cagar
budaya Laweyan
- Tersedianya rekomendasi TACB dalam penyusunan
peraturan/perencanaan dan pertimbangan ijin IMB.
1. Penyusunan dok. Peraturan 1. Tersedianya anggaran penyusunan dok. Peraturan 1. DPA BAPPEDA TA. 2012 1. Setda Bagian Hukum
Zonasi Zonasi/RDTR 2. DPA BAPPEDA TA. 2012 berkomitmen untuk membantu
2. Penyusunan perda Peraturan 2. Tersedianya perda PZ/RDTR 3. DPA BAPPEDA TA. 2012 dan mengawal proses penyusunan
Zonasi/RDTR 3. Tersedianya anggaran penyusunan perda RTRW DPA DTRK TA. 2016 perda
3. Penyusunan Perda RTRW, dan Bangunan Gedung 4. DPA DPMPTSP 2. ASN berkomitmen untuk
Penyusunan Perda Bangunan 4. Tersedianya anggaran perizinan IMB 5. DPA DPMPTSP/DPUPR/DINAS menjalankan kegiatan di dalam
INPUT

Gedung. 5. Tersedianya anggaran pemberian insentif dan KEBUDAYAAN DPA


4. Penerapan Perizinan IMB disinsentif 6. DPA DPMPTSP DAN DPUPR 3. Tidak terjadi bencana
5. Penerapan Insentif 6. Tersedianya anggaran pemberian sanksi 7. DPA DPUPR
6. Penerapan Sanksi 7. Tersedianya anggaran untuk Pengawasan dan 8. DPA DINAS KEBUDAYAAN
7. Pengawasan dan Penertiban Penertiban 9. DPA DINAS KEBUDAYAAN
8. Edukasi Kepada Masyarakat 8. Tersedianya anggaran sosialisasi pentingnya KCB dan SK Pembentukan TACB
9. Pelibatan Ahli cagar Budaya Laweyan kpd masyarakat Surakarta
9. Tersedianya anggaran honor TACB

Sumber Analisa Penulis, 2018

59
3.4. Teknik Pengambilan Sampel
Dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian yang pertama yaitu

bagaimana kondisi bentuk dan fungsi bangunan di Laweyan saat ini maka

pengambilan sampel yang akan dilakukan adalah menggunakan teknik purposive

sampling. Teknik purposive sampling merupakan salah satu dari desain sampel

dalam penelitian kualitatif. Teknik ini memilih sampel yang sesuai dengan

penelitian dengan kata lain sampel dipilih dengan sengaja ditujukan kepada

individu/elemen/objek yang bisa memberikan banyak informasi tentang hal-hal

yang akan diteliti. Dalam hal ini observasi yang akan dilakukan mengambil

sampel/objek berupa bangunan-bangunan yang berada di sepanjang koridor Jl.

Sidoluhur yang merupakan jalan lingkungan utama di Kampung Batik Laweyan,

dimana Jl. Sidoluhur ini merupakan koridor yang paling sering dilalui oleh

pengunjung dan cukup mewakili untuk dapat menunjukkan kondisi wajah

kawasan dan pemanfaatan ruang di Kampung Batik Laweyan.

Gambar 3. 1 Koridor Amatan di Kawasan Kampung Batik Laweyan


Sumber: Penulis, 2018

60
Adapun untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ke-dua tentang

bagaimana pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang oleh Pemerintah Kota

Surakarta, teknik pengambilan sampel yang akan dilakukan adalah menggunakan

teknik purposive sampling. Dalam hal ini untuk mendapatkan informasi tentang

pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang yang dilaksanakan oleh Pemerintah

Kota Surakarta penulis akan memilih sampel/individu yang nantinya akan

diwawancarai adalah :

Tabel 3. 12 Responden Penelitian untuk Tujuan Penelitian Evaluasi


Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Pemerintah Kota Masyarakat TACB
Surakarta
- Petugas Bidang Perijinan - Warga pemilik Ketua Tim Ahli Cagar
Pekerjaan Umum bangunan di Budaya
DPMPTSP Kota Surakarta sepanjang Jl.
- Petugas Bidang Sidoluhur
Pengendalian Pemanfaatan - Tokoh masyarakat
Ruang DPUPR Kota Kampung Laweyan
Surakarta
- Petugas Bidang Pelestarian
Cagar Budaya dan
Permuseuman Dinas
Kebudayaan Kota
Surakarta
- Lurah Laweyan Kota
Surakarta
Sumber Penulis, 2018

Wawancara dan pengumpulan arsip/data sekunder terhadap 3 (tiga)

kelompok responden seperti yang terlihat dalam Tabel 3.12 diatas dilakukan

untuk mendapatkan informasi dari masing-masing kelompok responden yang

kemudian dilakukan pembandingan antara data/informasi yang didapatkan dari

pemerintah, masyarakaat dan TACB, sehingga harapannya didapatkan hasil yang

valid atau sesuai dengan keadaan yang sebenar-benarnya.

61
3.5. Teknik Pengumpulan Data

3.5.1. Pengumpulan data dalam rangka Tujuan mendeskripsikan

kondisi bentuk dan fungsi bangunan Laweyan

Melihat 2 (dua) variabel yang akan diamati di lapangan yaitu bentuk

dan fungsi saat ini yang kemudian mengarahkan pada cara/teknik dalam

mengumpulkan data sebagai berkut :

a. Observasi

Pengamatan di lapangan akan dilakukan dengan menggolongkan

kondisi bangunan saat ini menjadi 3 (tiga) yaitu : Bangunan yang masih

mempertahankan arsitektur aslinya dengan sedikit sekali perubahan,

Bangunan yang direnovasi sebagian dengan arsitektur aslinya masih

nampak atau Bangunan yang arsitektur aslinya sudah berubah total.

Pengamatan berdasarkan 3 jenis kondisi bangunan tersebut akan

menghantarkan penulis untuk menemukan dominasi kondisi bangunan

di Kampung Batik Laweyan saat ini.

Peneliti melakukan observasi di lapangan juga untuk mengidentifikasi

jenis-jenis fungsi bangunan dibantu dengan beberapa surveyor untuk

mengidentifikasi fungsi-fungsi bangunan di kampung Laweyan. Data

yang diharapkan untuk bisa diperoleh adalah berupa dominasi jenis-

jenis fungsi bangunan. dan peta sebaran fungsi-fungsi di Kampung

Batik Laweyan saat ini.

62
b. Kuisioner

Penjaringan informasi dengan menggunakan metode kuisioner di dalam

penelitian ini untuk mendapatkan data kuantitatif terkait persentase dari

fungsi bangunan, kondisi fasad bangunan, tahun renovasi/bangun dan

proses kepemilikan bangunan di sepanjang Jl. Sidoluhur Laweyan, data

kuantitatif ini berguna untuk menguatkan hasil amatan dari kondisi

pemanfaatan ruang di Laweyan. Selain persentase data yang diharapkan

juga berupa peta sebaran dari masing-masing variabel yang sudah

disebutkan diatas. Kuisioner yang diajukan kepada responden dapat

dilihat pada Lampiran 1.

c. Wawancara

Penggalian informasi mengenai fungsi, serta sejauh mana pemilik

bangunan melakukan renovasi terhadap bangunan asli di Kampung

Batik Laweyan dilakukan oleh peneliti dengan cara wawancara kepada

pemilik bangunan, serta penggalian informasi tentang proses perubahan

fasad-fasad bangunan yang terjadi di Kampung Laweyan kepada

Pengelola Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan. Daftar

pertanyaan dapat dilihat pada Lampiran 2.

d. Dokumentasi

Dokumentasi akan dilakukan dengan cara merekam/memotret kondisi

bentuk serta fungsi bangunan di Laweyan saat ini dan mencari

dokumentasi atau foto lama yaitu foto di tahun 2003 yang

63
memperlihatkan kondisi serta fungsi bangunan di Laweyan pada masa

lalu.

3.5.2. Pengumpulan data dalam rangka mengevaluasi pelaksanaan

pengendalian pemanfaatan ruang yang dilaksanakan oleh Pemerintah

Kota Surakarta

Berdasarkan pembahasan beberapa teori pada bagian sebelumnya

bahwa pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui: Peraturan

Zonasi, Peraturan terkait, Perizinan, Insentif dan Disinsentif, Sanksi,

pengawasan dan penertiban, edukasi kepada masyarakat, dan peran TACB.

Sedangkan berdasarkan pada teori evaluasi program menggunakan Logical

Frame Approach (LFA) atau yang biasa dikenal dengan Project Design

Matrix (PDM) mengarahkan pada cara/teknik dalam mengumpulkan data

sebagai berikut :

a. Mengumpulkan Arsip Instansi

Data sekunder yang akan dikumpulkan adalah berupa :

- RDTR tahun 2012

- DPA SKPD (DTRK, DPUPR dan DPMPTSP)

- Laporan/daftar SK IMB

- Surat undangan rapat pembahasan perijinan IMB

- BA/Notulensi rapat pembahasan

- Peta sebaran bangunan ber IMB dan list SK IMB yang sudah terbit

- Peraturan yang menjadi acuan pengendalian pemanfaatan ruang

- Foto/dokumentasi acara sosialisasi

64
Daftar kebutuhan data yang diperlukan tersebut mengacu pada kolom

alat verifikasi Output yang ada di dalam Logical Frame Approach yang

sudah dijabarkan pada Tabel 3.11.

b. Wawancara

Wawancara akan ditujukan kepada para petugas pengendalian dalam

hal ini adalah aparat dari Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Satu

Pintu (DPMPTSP) Kota Surakarta yang mengemban tupoksi perijinan,

aparat dari Bidang Pengendalian Ruang DPUPR Kota Surakarta yang

mengemban tupoksi pengawasan dan penertiban jika terjadi

pelanggaran, ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kota Surakarta, aparat di

Dinaas Kebudayaan Kota Surakarta, dan aparat di Kelurahan Laweyan

Kota Surakarta. Wawancara dilakukan untuk mengetahui proses

pengendalian pemanfaatan ruang yang sedang dan telah mereka

lakukan. Daftar wawancara pada Lampiran 3

3.6. Teknik Analisis Data

Analisis Kualitatif

Dalam metode analisis kualitatif menurut Bungin (2007) terdapat 3

kelompok besar metode analisis data kualitatif berdasarkan tujuan-tujuan

analisisnya yaitu:

1. Kelompok metode analisis teks dan bahasa adalah alat analisis

yang bertujuan mengungkapkan proses etik dan emik terhadap

suatu peristiwa sosiologis yang memiliki proses dan makna teks

bahasa, sehingga dapat diungkapkan proses etik dan emik yang

65
terkandung di dalam teks dan bahasa, baik dalam konteks objek,

subjek maupun wacana yang berlangsung di dalam proses

tersebut.

2. Kelompok analisis tema-tema budaya adalah analisis yang

digunakan untuk menganalisis proses etik dan emik dari suatu

peristiwa budaya serta mengungkapkan bagaimana peristiwa di

tafsirkan atau dimaknai oleh objek atau informan penelitian.

3. Kelompok analisis kinerja adalah analisis yang digunakan untuk

menganalisis suatu kinerja dan pengalaman individual serta

perilaku institusi untuk melihat output yang dihasilkan dari kinerja

tersebut.

Di dalam proses analisis penelitian ini penulis menggunakan metode

kelompok analisis kinerja, dengan data-data wawancara dan observasi

sebagai data primer dan didukung oleh data-data sekunder yang berupa data

instansi yang terkait. Dari proses analisis kinerja ini kemudian dibandingkan

dengan indikator/parameter yang telah disusun di dalam sebuah matriks

kerangka kerja logis, sehingga didapatkan penilaian terhadap output yang

dihasilkan oleh kinerja suatu instansi yang terkait yaitu di bidang

pengendalian pemanfaatan ruang dan pelestarian cagar budaya yaitu di

DPUPR, DPMPTSP, Dinas Kebudayaan, TACB dan Kelurahan Laweyan.

Data yang didapatkan dari berbagai sumber kemudian dianalisa

untuk mendapatkan hasil atau temuan penelitian yang valid, proses analisa

data yang dilakukan dapat digambarkan seperti pada bagan berikut :

66
Gambar 3. 2 Proses Analisa Data
Sumber: Analisa Penulis, 2018

Dalam bagan diatas menggambarkan sebuah kegiatan proses

menganalisa dengan mengkaitkan/membandingkan antara data satu dengan

data lainnya dan antara sumber yang satu dengan sumber lainnya, sehingga

diharapkan dapat menghasilkan temuan yang valid.

3.7. Tahapan Penelitian

3.7.1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan terdiri dari beberapa kegiatan berikut:

a. Menentukan isu/permasalahan berdasarkan fenomena yang terjadi di

lapangan. Dalam hal ini didapatkan permasalahan makin terancamnya

kelestarian kawasan cagar budaya Kampung Batik Laweyan.

b. Melakukan studi literatur untuk mendapatkan variabel yang akan diteliti

di lapangan.

c. Menterjemahkan variabel-variabel ke dalam indikator untuk

memperjelas data seperti apa yang diharapkan sesuai tujuan penelitian,

sehingga bisa menentukan metode pengumpulan data yang sesuai.

67
d. Mempersiapkan instrumen/alat penelitian. Pengumpulan data dengan

observasi selain peneliti sebagai instrumen utama, namun juga

dilengkapi dengan kamera dan peta kawasan. Wawancara dilengkapi

dengan daftar pertanyaan yang akan diajukan dan alat perekam

(kamera/voice recorder).

3.7.2. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan peneliti mulai terjun ke lapangan untuk

melakukan pengumpulan data dengan menggunakan metode yang sudah

ditentukan, baik itu dengan teknik observasi, wawancara, kuisioner dan

pengumpulan data sekunder.

3.7.3. Tahap Pengolahan Data

a. Data primer yang didapatkan pada saat observasi lapangan

berupa potret kondisi bangunan-bangunan yang berciri arsitektur

Indis. Dari foto dan pengamatan dapat diinterpretasikan (proses

pemaknaan data secara kualitatif) kondisi dominan dari bangunan-

bangunan berarsitektur indis yang masih bertahan, baik itu

utuh/terawat, mengalami kerusakan, mengalami renovasi sebagian

kecil atau sebagian besar.

b. Data Primer yang berupa daftar fungsi-fungsi bangunan yang

ada di Kampung Batik Laweyan, dan data informasi mengenai hak /

kepemilikan bangunan, disajikan dalam peta sebaran fokus pada

lokasi koridor Jl. Sidoluhur, dari peta tersebut dapat dilihat

dominansi fungsi yang ada di Kampung Batik Laweyan.

68
c. Melakukan interpretasi atau pemaknaan menyeluruh dari hasil

analisa di poin a dan b

d. Data primer berupa informasi pelaksanaan pengendalian

pemanfaatan ruang yang mencakup 7 variabel yaitu : penerapan

peraturan zonasi, perizinan, insentif dan disinsentif, sanksi,

pengawasan dan penertiban, edukasi kepada masyarakat dan peran

Tim Ahli cagar Budaya, nantinya akan dimaknai oleh penulis

“apakah pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang di Kota

Surakarta sudah menerapkan azas konservasi/pelestarian dalam

aplikasinya di kawasan cagar budaya”.

e. Data sekunder berupa dokumen/arsip tentang pelaksanaan

pengendalian pemanfaatan ruang yang mencakup 7 variabel berguna

untuk memperkuat analisa pada poin d

3.7.4. Tahap Penyajian Hasil Analisis

a. Data primer hasil observasi kondisi bangunan berarstektur indis,

disajikan dalam bentuk peta kawasan yang dilengkapi dengan foto-

foto yang diberi anak panah untuk menunjukkan posisi dalam peta

kawasan dimana foto tersebut diambil. Kemudian ditranskripkan

juga dalam bentuk teks.

b. Data primer berupa daftar fungsi-fungsi bangunan dan status

kepemilikan, disajikan dalam bentuk peta sebaran dan tabel.

c. Data primer berupa catatan/rekaman audio dan video

ditranskripkan dalam bentuk teks secara sistematis, logis dan

69
berdasarkan pada kriteria tertentu, misalnya kategori, tema atau

perbandingan (Sarwono, 2011). Salah satu bentuk penyajian hasil

analisa data kualitatif adalah dengan matrix.

70
BAB IV

GAMBARAN UMUM FOKUS PENELITIAN

4.1. Kawasan Cagar Budaya Laweyan

Laweyan merupakan salah satu kawasan bersejarah yang identik dengan

industri batiknya dan telah lama menjadi sentra penghasil bahan sandang yaitu

sejak jaman Kerajaan Pajang. Kedatangan Kyai Ageng Henis yang diberi tanah

perdikan oleh Raja Pajang dan mendirikan sebuah masjid di Laweyan pada tahun

1546 semakin membuat Laweyan dikenal (Wahyono.dkk, 2014). Kawasan ini

dikenal dengan kampung juragan batik sampai dengan saat ini. Dengan

memproduksi batik tulis saat itu sangat menjanjikan dan banyak menghasilkan

keuntungan dari segi ekonomi sehingga bermunculan para saudagar kaya raya

pada saat itu. Mereka membangun rumah mereka sebagai identitas diri dengan

mendirikan bangunan rumah tinggal bergaya indis yang berukuran besar dan di

dalam satu persil terdiri dari beberapa bangunan yang kemudian di kelilingi oleh

tembok tinggi dengan pintu/regol besar. Juragan Laweyan mengibaratkannya

sebagai keraton kecil mereka.

71
Gambar 4.1 Foto Bangunan Indis di Kampung Laweyan
Sumber: 1. Dok. Penulis, 2018 dan 2. Dokumentasi Invetaris BPCB, 2017

4.1.1. Kondisi Geografis

Kampung Batik Laweyan terdapat dalam wilayah administrasi dari

Kelurahan Laweyan Kecamatan Laweyan Kota Surakarta, Kelurahan Laweyan

memiliki luas wilayah sebesar 24,83 Ha dan memiliki batas-batas wilayah sebagai

berikut :

a. Utara : Jl. Dr. Radjiman, Kelurahan Sondakan

b. Selatan : Sungai Jenes, Kabupaten Sukoharjo

c. Barat : Kelurahan Pajang

d. Timur : Kelurahan Bumi

72
Gambar 4.2 Peta Rencana Pola Ruang Kota
Sumber: Dokumen Peraturan Zonasi Revisi RTRW, 2017

Gambar 4.3 Peta Administrasi Kecamatan Laweyan


Sumber: Kecamatan Laweyan Dalam Angka 2017

Tinggi permukaan antara 90 – 100 meter diatas permukaan laut, serta

memiliki kemiringan tanah sebesar 0 - 40 derajat. Sebesar 16,56% lahan

digunakan sebagai fungsi permukiman dengan jumlah penduduk sebanyak 2.130

jiwa sehingga memiliki kepadatan 85,78 jiwa/ha. Sebanyak 250 jiwa berprofesi

sebagai wiraswasta atau sebesar 11,73%. Mayoritas penduduk beragama islam

73
yaitu sebesar 91,92% dan mayoritas penduduk dengan tingkat pendidikan

SLTA/sederajat sebanyak 676 jiwa atau sebesar 31,73%.

Gambar 4.4 Peta Citra Delineasi Kelurahan Laweyan


Sumber : Google Earth, 2016

4.1.2. Sejarah Kampung Laweyan

Pada tahun 1500an yang merupakan masa Kerajaan Pajang, kota Solo

masih merupakan embrio, berupa kumpulan hunian-hunian masyarakat kuli

bandar yang menempati 4 (empat) bandar utama yang ramai pada saat itu

(Qomarun dan Prayitno, 2007), dan merupakan bandar yang berdiri di anak

Sungai Bengawan Solo yang terdiri dari Bandar Kabanaran (Laweyan), Bandar

Pecinan di Kali Pepe, Bandar Arab di Kali Jenes dan Bandar Nusupan di

Semanggi (Qomarun dan Prayitno, B 2007). Bandar Kabanaran Laweyan sebagai

sarana perniagaan Masa Kerajaan Pajang banyak mensuplai produk tekstil berupa

kain tenun hasil dari Industri Bahan/Kain di Kampung Laweyan, itu sebabnya

Kampung ini dinamakan Laweyan karena berasal dari kata “Lawe” yang artinya

bahan baku sandang (Setiawati, dkk 2011).

74
Gambar 4.5 Peta Desa Sala tahun 1500an sebagai embrio Kota Solo
Sumber: Rekonstruksi dari Sajid dalam Qomarun dan Prayitno, 2007

Gambar 4.6 Morfologi Kota Solo dari tahun 1500an sampai dengan tahun
2000an. Sumber: Qomarun dan Prayitno, 2007

75
Dari peta morfologi perkembangan Kota Solo di atas nampak bahwa Desa

Laweyan sudah ada sejak tahun 1500an tepatnya pada masa kerajaan Pajang, saat

itu Laweyan sebagai desa penghasil kain/bahan sandang yang lokasinya

berdekatan dengan Bandar/pasar Kabanaran yang berada di tepian Sungai Jenes.

Lama kelamaan Desa Laweyan semakin padat dan berkembang menjadi

Kampung Laweyan seperti sekarang ini. Pada awalnya merupakan kota air karena

mengandalkan jalur tansportasi air dalam perputaran ekonominya, berangsur-

angsur beralih menjadi kota daratan pada tahun 1900an karena pada masa kolonial

saat itu telah mulai dibangun jalur transportasi darat seperti jalan, rel, tram dan

utilitas perkotaan yang lainnya, sehingga proses distribusi barang tidak lagi

mengandalkan jalur air/sungai yang mengakibatkan lama-kelamaan bandar-bandar

tepian sungai mulai tidak difungsikan lagi dan akhirnya hilang.

Kelompok industri bahan sandang yang berkembang di Laweyan sudah

terbentuk sejak zaman Kerajaan Pajang yaitu pada masa kedatangan Ki Ageng

Henis tahun 1500an (Shodiq 2017), terbentuknya bandar Kabanaran Laweyan di

tepian Sungai Laweyan sebagai pusat kegiatan perniagaan pada saat itu

(Setiawati, 2011), dimana produk-produk tekstil laweyan dipasarkan hingga ke

luar daerah melalui jalur air. Dari industri bahan sandang (kain tenun)

berkembang menjadi kelompok industri kain batik yang semakin populer pada

zaman KH Samanhudi ketika didirikannya SDI (Sarekat Dagang Islam) pada

tahun 1912 (Wahyono, dkk 2014:18).

Kain batik tulis khas Laweyan mengalami masa kejayaan di tahun 1930an

yang diawali pada era KH. Samanhudi dengan mendirikan SDI (Sarekat Dagang

76
Islam) tahun 1912 yang merupakan upaya untuk melindungi perekonomian para

pengusaha batik Laweyan dari tekanan Kolonial Belanda terhadap pengusaha

muslim pada saat itu. Di era keemasan Batik Laweyan, terdapat sekitar 230

pengusaha batik Solo yang sebagian besar berada di Kampung Laweyan dan

setiap tahun Laweyan memproduksi minmal 60.400 potong batik (Hannida dalam

Wahyono. dkk, 2014). Kemudian di Tahun 1970an sampai 2000an batik Laweyan

mengalami “mati suri” atau kemerosotan akibat serangan batik print dari China

yang mampu memproduksi kain motif batik secara massal dalam waktu yang

sangat singkat. Batik Laweyan berkibar kembali pada tahun 2005 hingga sekarang

karena inisiatif dari pengusaha batik laweyan untuk membangkitkan kembali batik

tulis dan cap khas Laweyan sebagai karya seni bernilai tinggi yang merupakan

warisan leluhur, sehingga dengan dukungan Pemerintah Kota Surakarta di

tetapkan lah Kampung Laweyan sebagai destinasi wisata belanja sekaligus wisata

sejarah dan wisata budaya dengan nama Kampung Batik Laweyan yang kita kenal

saat ini.

4.1.3. Nilai Penting Kawasan Cagar Budaya “Laweyan”

KCB Laweyan atau Kampoeng Batik Laweyan merupakan kawasan yang

khas dan unik, dikarenakan kontinuitas sosial budaya yang ada di sana yaitu

aktifitas produksi kain batik yang sudah ada sejak jaman Ki Ageng Henis tahun

1546, selain itu dikarenakan kampong laweyan sudah melalui sejarah yang cukup

panjang maka tidak heran jika banyak didominasi dengan bangunan-bangunan

kuno ber arsitektur indis tersebar diseluruh kawasan, ciri khas kawasan laweyan

yaitu berupa tembok-tembok tinggi yang merupakan saksi sejarah kesuksesan

77
para juragan batik masa lalu di Laweyan, tembok-tembok tinggi itu membentuk

lorong-lorong sempit yang eksotis, dilengkapi dengan pintu-pintu besar atau biasa

disebut dengan regol yang sebagai simbol status sosial para juragan jaman dahulu

dan konon mereka membangun tembok keliling semacam benteng ini untuk

menyaingi para bangsawan Keraton Surakarta Hadiningrat, karena juragan

Laweyan pada saat itu gaya hidupnya cukup menonjol telah menyejajarkan diri

dengan priyayi atau bangsawan istana Keraton Surakarta.

Laweyan merupakan kawasan yang menjadi bagian dari perkembangan

embrio morfologi kota Solo dan bernilai sejarah tinggi maka pemerintah Kota

Surakarta telah menetapkannya sebagai Kawasan Cagar Budaya melalui Surat

Keputusan Walikota Surakarta No. 646/1-R/I/2013 tentang penetapan bangunan-

bangunan dan kawasan kuno bersejarah di Kota Surakarta dan salah satu dari 51

obyek vital nasional berdasarkan Keputusan Menteri Pariwisata Republik

Indonesia No. KM.70/UM.001/MP/2016, Sehingga perlakuan terhadap Kampung

Laweyan semestinya mengacu pada asaz-asaz konservasi seperti yang tertuang

dalam UU no. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, ataupun Perda Kota

Surakarta no. 10 Tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya, dimana upaya

pelestarian cagar budaya dengan melakukan Adaptasi dan Pemanfaatan

sebenarnya bisa diterapkan, pengertian adaptasi dalam UUCB adalah Upaya

pengembangan cagar budaya untuk kegiatan yang lebih luas sesuai dengan

kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan

mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang

mempunyai nilai penting, sedangkan pengertian Pemanfaatan adalah

78
pendayagunaan cagar budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan

rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.

4.1.4. Fungsi Baru Pendukung Pariwisata di Laweyan

Arah kebijakan pemerintah yang mendorong industri kreatif atau sektor

sekunder dan tersier untuk terus dikembangkan di Kota Surakarta, hal ini

disebabkan lahan perkotaan di Surakarta yang sudah tidak memungkinkan lagi

untuk dikembangkan sektor industri primer yang membutuhkan investasi lahan

yang cukup luas. Hal tersebut mempengaruhi perubahan karakter industri batik di

Kampung Laweyan, yang dahulu memproduksi kain/bahan sandang untuk di

kirim ke luar daerah, dan memproduksi kain batik untuk dijual ke pasar dan ke

luar kota, namun saat ini industri batik yang berkembang pesat di laweyan adalah

industri kreatif yang akhirnya mendorong wisata belanja di kampung batik

laweyan, dimana saat ini rumah-rumah juragan batik sudah banyak yang

bertransfromasi menjadi showroom fashion batik, showroom souvenir batik dan

workshop pembuatan batik.

Industri kain Industri kain Vakum Industri kreatif fashion


tenun batik dan sovenir batik

Th. 1546 Th. 1912- Th. 1970an Th. 2005 -


Akhir abad 16 1970an – 2000an sekarang
awal
Gambar 4.7 Bagan peralihan karakteristik aglomerasi industri di Laweyan,
Sumber : Analisa Penulis, 2018

79
Ketika menempati posisi sebagai kelompok industri bahan sandang (kain

tenun) dan kemudian menjadi kelompok industri kain batik, upaya untuk

meningkatkan perekonomian bagi masing-masing industri hanya melalui proses

perniagaan atau jual-beli konvensional dengan perjalanan produk mulai dari

suplier (pengusaha/juragan laweyan) kemudian distributor (perantara/pasar

klewer) dan akhirnya sampai ke tangan konsumen. Namun ketika masuk kepada

karakteristik sebagai kelompok industri kreatif lebih khususnya industri fashion

dan souvenir batik, upaya peningkatan ekonomi pengusaha batik lebih kepada

peningkatan kualitas kawasan laweyan sebagai destinasi pariwisata, dimana

pengunjung dapat berbelanja langsung ke tempat produksi batik dan melihat

langsung proses pembuatan batik yang merupakan atraksi wisata yang cukup

digemari pengunjung, oleh karena itu muncul lah showroom-showroom batik di

Laweyan. Pada kondisi ini batik adalah sebagai barang tersier karena batik dinilai

sebagai hasil kerajinan/karya seni dalam bentuk fashion dan souvenir, jadi bukan

lagi hanya sebagai bahan/kain yang bersifat primer atau sekunder yang hanya

untuk sekedar memenuhi kebutuhan sandang.

Gambar 4.8 Dominasi showroom batik di Laweyan


Sumber : Dokumentasi, 2018

80
Sejak dicanangkannya laweyan sebagai salah satu destinasi wisata belanja

“Kampung Batik Laweyan”, yang awalnya hanya tersisa 18 pengusaha batik kini

bertambah menjadi kurang lebih 170 pengusaha batik (Wahyono, dkk 2014:20),

respon positif masyarakat terhadap batik laweyan juga terus meningkat, tak hanya

menarik pengunjung/wisatawan domestik tapi juga wisatawan mancanegara.

Dengan semakin baiknya kualitas kawasan kampung batik laweyan, maka makin

mengundang banyak wisatawan, yang akhirnya menjadi peluang bisnis bagi para

pengusaha di bidang akomodasi pariwisata untuk membangun dan berinvestasi di

dalam kampung batik laweyan dan sekitarnya, seperti yang dapat di lihat

dilapangan saat ini dan pada Gambar 2 di atas, sudah banyak bermunculan

homestay, hotel, cafe dan resto di laweyan dan sekitarnya sebagai fasilitas

akomodasi untuk menunjang kegiatan pariwisata di Surakarta khususnya di

Kampung Batik Laweyan.

81
Gambar 4.9 Sebaran usaha/showroom batik dan fasilitas pendukung wisata
di Laweyan. Sumber : Interpretasi data google maps, 2018

Disekitar Kampung batik laweyan juga bermunculan toko-toko penjual

oleh-oleh, perbankan, travel agent dan rental kendaraan, tidak hanya itu, dampak

dari makin berkembangnya industri kreatif terutama produk fashion batik

laweyan, mengakibatkan terkadang para juragan batik kewalahan untuk

memenuhi permintaan konsumen, sehingga yang terjadi para juragan harus

mendatangkan pengrajin batik tulis dari luar kota yaitu dari Plupuh Kab. Sragen,

bahkan beberapa pengusaha batik laweyan mendatangkan produk dari para

pengrajin batik di luar kota misalkan dari Sukoharjo dan sragen, hal ini

dikarenakan mereka pengusaha batik ini tidak memiliki lahan yang luas untuk

melakukan aktivitas pembuatan batik.

82
4.2. Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan salah satu tahapan yang ada

di dalam siklus perencanaan, sedangkan pengertian menurut Undang-undang no.

26 Tahun 2007 adalah Upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Upaya

pengendalian pemanfaatan ruang yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota

Surakarta terbagi di dalam tupoksi masing masing Organisasi Perangkat Daerah

(OPD) yang terkait yaitu Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu

Pintu (DPMPTSP), Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Tuang (DPUPR) dan

Kelurahan (wilayah), sedangkan jika terkait dengan pengendalian pemanfaatan

ruang dalam upaya pelestarian Kawasan Cagar Budaya maka Dinas Kebudayaan

memiliki peranan penting untuk mengedukasi masyarakat akan pentingnya nilai-

nilai sejarah (significant value) pada suatu bangunan atau kawasan cagar budaya.

Berikut pembagian tupoksi pengendalian pemanfaatan ruang di beberapa OPD :

Tabel. 4.1 Instansi pengemban tupoksi pengendalian pemanfaatan ruang

Uraian singkat Sebelum Tahun 2017 s/d 2018 2018 s/d 2019
Tupoksi 2017 (2016
kebawah)

Penyusunan - Bappeda - Bappeda - Bappeda


Dokumen (RTRW, RDTR, (RTRW, RDTR, (RTRW, RDTR,
Perencanaan Masterplan) Masterplan) Masterplan)
Ruang - DTRK (RTBL, - DPUPR (RTBL, - DPUPR (RTBL,
Rencana Induk) Rencana Induk) Rencana Induk)

Permohonan IPR / DTRK DPUPR DPMPTSP


KRK (Keterangan
Rencana Kota)

Permohonan IMB DTRK DPMPTSP DPMPTSP

83
Check syarat BPMPT DPUPR DPMPTSP
administrasi
permohonan IMB

Survey Lapangan DTRK DPUPR DPMPTSP

Telaahan Staf DTRK DPUPR DPMPTSP


Hasil Survey
Lapangan

Rapat DTRK DPUPR DPMPTSP


Pertimbangan

Penerbitan SK BPMPT DPMPTSP DPMPTSP


IMB

Pengawasan dan DTRK, Satpol PP, DPUPR, Satpol DPUPR Satpol


Penertiban Kelurahan PP, Kelurahan PP, Kelurahan

Penerbitan Surat DTRK DPUPR DPUPR


Teguran dan
Sanksi

Pemberian Insentif - - -
dan Disinsentif

Sumber: Perwali no. 27C Tahun 2016 ttg Kedudukan, Susunan Organisasi,
Tugas, Fungsi dan tata kerja Perangkat Daerah Kota Surakarta dan Wawancara
2018
Informasi dalam tabel di atas memperlihatkan bahwa OPD pengemban

tupoksi pengendalian pemanfaatan ruang telah mengalami beberapa kali

perubahan. Mulai dari perencanaan ruang sampai pengendalian pemanfaatan

ruang melibatkan banyak instansi sehingga butuh koordinasi serta integrasi data

yang baik antar OPD yang terlibat agar proses pelaksanaan pengendalian

pemanfaatan ruang dapat berjalan dengan optimal.

4.2.1. Regulasi

Menurut Undang-undang no.26/2007 tentang Tata Ruang di dalamnya

mengamanatkan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui

84
penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta

pengenaan sanksi. Di Kota Surakarta pengendalian pemanfaatan ruang belum

dapat mengacu pada Peraturan Zonasi yang tertuang dalam RDTR Tahun 2012

karena belum dapat di perda kan, sehingga pengendalian pemanfaatan ruang

mengacu pada Perda no. 1 Tahun 2012 tentang RTRW, Perda no. 8 Tahun 2016

tentang Bangunan Gedung serta peraturan terbaru yaitu Perda no. 2 Tahun 2018

tentang Penyelenggaraan Izin Mendirikan Bangunan. Sedangkan peraturan

sebelumnya yang menjadi acuan dalam pengendalian pemanfaatan ruang adalah

Perda no. 8 Tahun 1993 tentang RUTRK Surakarta dan Perda no. 8 Tahun 2009

tentang Bangunan.

4.2.2. Pengendalian Pemanfaatan ruang sebagai Upaya Pelestarian

Kawasan Cagar Budaya

Menurut amanat UU 26/2007 dimana pengendalian merupakan upaya

untuk mewujudkan tertib tata ruang, tentu tidak terkecuali juga mewujudkan tertib

tata ruang di dalam kawasan cagar budaya, di dalam perda no. 1 tahun 2012

tentang RTRW mengamanatkan bahwa kawasan cagar budaya merupakan salah

satu dari kawasan fungsi lindung, dimana kawasan lindung ditetapkan dengan

fungsi utama untuk melestarikan lingkungan hidup baik itu sumber daya alam

maupun sumber daya buatan.

Di dalam pengendalian pemanfaatan ruang pelestarian kawasan cagar

budaya diwujudkan salah satunya dalam bentuk peraturan zonasi yang detail

mengatur mengenai arahan fungsi bangunan, fasad bangunan dan intensitas

bangunan, sehingga tentunya perlakuan pengendalian di kawasan cagar budaya

85
tidak dapat disamakan dengan kawasan yang lainnya mengingat

bangunan/kawasan cagar budaya merupakan bukti jati diri suatu kota atau daerah.

Gambar 4.10 Bagan hubungan antara Pengendalian Pemanfaatan Ruang


dan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya. Sumber: Analisa Penulis, 2018
Pada gambar bagan di atas menunjukkan hubungan yang erat antara

pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang dengan semangat pelestarian

kawasan cagar budaya, dimana pengertian pelestarian menurut undang-undang no.

11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah upaya dinamis untuk

mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi,

mengembangkan dan memanfaatkannya.

86
BAB V

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Kondisi Bentuk dan Fungsi Bangunan di KCB Laweyan

Dari hasil penjaringan informasi, data dan dokumentasi di lapangan yaitu

di sepanjang Jl. Sidoluhur Kampoeng Batik Laweyan, didapatkan sebanyak 83

(delapan puluh tiga) responden atau pemilik bangunan yang berada di koridor

utama kawasan ini, berdasarkan pada pembahasan metode dibagian sebelumnya

didapatkan kriteria berupa bentuk dan fungsi yang kemudian diturunkan menjadi

variabel yaitu fasad bangunan, tahun renovasi, dan fungsi bangunan. Sub variabel

tersebut diturunkan lagi menjadi beberapa indikator yang menjadi dasar dalam

pembuatan pertanyaan dalam kuisioner yang diajukan kepada para pemilik

bangunan terutama di sepanjang Jl. Sidoluhur Laweyan. Berikut hasil yang

didapatkan selama penjaringan data di lapangan :

5.1.1. Fungsi Bangunan

Variabel ini digunakan dalam pengajuan pertanyaan kepada responden

untuk mengetahui dominasi fungsi yang ada di sepanjang Jl. Sidoluhur Laweyan.

Berikut hasil dari penjaringan data melalui wawancara dan quisioner kepada

pemilik bangunan disepanjang Jl. Sidoluhur :

87
Tabel 5.1 Hasil Quisioner Variabel “Fungsi Bangunan” kepada Pemilik
Bangunan di sepanjang Jl. Sidoluhur Laweyan

Jenis Fungsi Bangunan Jumlah Persentase

Usaha penjualan dan produksi batik 37 45,12%

Usaha penunjang pariwisata laweyan 9 10,97%

Usaha Lainnya 18 21,95%

Rumah Tinggal 18 21,95%

Total 82 100%

Sumber: Analisa Penulis, 2018

Terdapat sebanyak 37 responden atau sebesar 45% dari 82 responden

mengaku bangunan miliknya difungsikan sebagai tempat usaha untuk menjual dan

atau memproduksi batik. Sehingga wajar jika wajah kawasan laweyan yang

dahulu masih didominasi dengan bangunan-bangunan kuno dengan tembok-

tembok tingginya kini berubah menjadi deretan showroom fashion batik.

88
Gambar 5.1 Peta Sebaran Fungsi Bangunan di Sepanjang Jl. Sidoluhur
Laweyan, Sumber: Analisa Penulis, 2018
Berdasarkan data yang didapatkan di lapangan baik melalui kuisioner,

dokumentasi fasad bangunan dan observasi, penulis menuangkan informasi terkait

fungsi bangunan ini kedalam peta sebaran fungsi, dari peta tersebut diatas nampak

di sepanjang Jl. Sidoluhur Laweyan sebagian besar merupakan bangunan

showroom dan atau workshop batik yang disimbolkan berwarna kuning, yang

kemudian diikuti oleh bangunan rumah tinggal dan bangunan usaha lainnya

seperti warung, warung kelontong, gudang, gym, PAUD, studio foto dan toko alat

jahit, sedangkan yang mulai menjamur saat ini adalah mulai bertumbuhnya

fungsi-fungsi penunjang pariwisata terutama di Jl. Sidoluhur seperti hotel, gedung

pertemuan, kost/kamar sewa, café/rumah makan. Fungsi-fungsi baru ini lah yang

terus bermunculan dan jika tidak dibarengi dengan regulasi yang ketat terkait form

89
based code maka akan semakin banyak bangunan asli laweyan yang direnovasi

ataupun dibongkar.

5.1.2. Fasad Bangunan KCB Laweyan

Variabel Fasad bangunan ini diturunkan lagi menjadi beberapa indikator

untuk mempermudah pengamatan dilapangan, yaitu:

Tabel 5.2 Keterangan Indikator untuk Variabel “Fasad Bangunan

Indikator Keterangan

Berubah Total : Adalah bangunan yang mengalami perubahan wajah


bangunan atau fasad seluruhnya, sehingga sudah
tidak nampak sama sekali ciri/elemen fasad
bangunan aslinya

Berubah sebagian besar : Adalah bangunan yang mengalami perubahan fasad


sebagian besar (mendominasi fasad), sehingga ciri
fasad aslinya yang tersisa hampir tidak terlihat

Berubah sebagian kecil : Adalah bangunan yang mengalami sedikit


perubahan pada fasadnya, sehingga ciri fasad
bangunan aslinya masih mendominasi keseluruhan
eksteriornya.

Tidak berubah : Adalah bangunan yang sama sekali tidak mengalami


perubahan fasad bangunan yang berarti, sang
pemilik hampir tidak melakukan renovasi yang
signifikan pada fasad bangunannya

Bangunan baru : Adalah bangunan baru yang dibangun bukan dari


merobohkan atau merenovasi bangunan lawas,
namun bangunan yang sejak awal dibangun diatas
tanah kosong bukan bekas bangunan lawas.

Sumber: Penulis, 2018

90
Berdasarkan penjaringan informasi di lapangan dengan metode observasi,

wawancara dan pendokumentasian fasad bangunan didapatkan data sebagai

berikut :

Tabel 5.3 Hasil Pengamatan Fasad Bangunan di sepanjang Jl. Sidoluhur

Indikator Jumlah Persentase

Berubah Total 24 28,91 %

Berubah sebagian besar 7 8,43 %

Berubah sebagian kecil 18 21,68 %

Tidak berubah 17 20,48 %

Bangunan baru 17 20,48 %

Total 83 100 %

Sumber Analisa Penulis, 2018

Data tersebut menyatakan bahwa fasad bangunan yang telah mengalami

perubahan total menduduki posisi teratas yaitu sebanyak 24 responden atau

sebesar 30 % dari 80 responden.

91
Gambar 5.2 Peta Sebaran Fasad Bangunan di Sepanjang Jl. Sidoluhur
Laweyan, Sumber: Analisa Penulis, 2018
Peta di atas menggambarkan kondisi fasad bangunan di sepanjang Jl.

Sidoluhur yang ternyata sudah banyak berubah, hal ini dikarenakan setiap

tahunnya baik itu pembongkaran total, merenovasi sebagian, dan pembangunan

bangunan baru terus terjadi, sedangkan pemilik bangunan lawas yang masih utuh

atau tidak mengalami perubahan jumlahnya tidak banyak yaitu hanya 14 pemilik

bangunan atau 17,5% dari total 80 pemilik bangunan. Hal tersebut juga

dibenarkan oleh salah satu petugas di Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB)

Jawa Tengah yang menyatakan bahwa :

“sebelumnya di tahun 2012 kami pernah menginventarisir


bangunan kuno di Laweyan, namun setelah kami datang kembali
untuk survey inventaris lagi pada tahun 2017 kami kaget
mendapati bahwa beberapa bangunan kuno yang dulu ada
sekarang sudah hilang dan berubah menjadi bangunan lain”
(Wawancara dengan Ibu Riris Purbasari, BPCB Jateng, Tanggal 24 Agustus 2018)

92
Data yang didapatkan dari BPCB Jateng berupa daftar bangunan kuno di

Laweyan hasil inventaris tahun 2012 terdapat total 64 bangunan kuno, data

tersebut menjadi dasar petugas survey BPCB untuk inventaris kembali pada tahun

2017 yang menghasilkan sebanyak 52 bangunan kuno yang berhasil diinventaris

kembali. Hal tersebut membuktikan bahwa dalam rentang 5 tahun sudah 12

bangunan kuno yang hilang. Berikut foto dokumentasi tahun 2003 di beberapa

sudut Kampung Laweyan yang disandingkan dengan foto saat ini tahun 2018 pada

sudut pengambilan gambar yang sama.

Gambar 5.3 Foto Tahun 2003 dan Tahun 2018 pada sudut pengambilan
gambar yang sama. Sumber: Priyatmono, 2004 dan Dok.Penulis, 2018

Perbandingan kondisi fasad bangunan di beberapa sudut Kampung

Laweyan antara tahun 2003 dan 2018 terdapat beberapa perbedaan, hal ini turut

93
membuktikan bahwa perubahan fasad di Laweyan memang terjadi. Berikut

keterangan dari sudut pengambilan gambar yang dilakukan:

Gambar 5.4 Keterangan Posisi Pengambilan Gambar,


Sumber: Analisa Penulis, 2018

5.1.3. Tahun Renovasi dan Pembangunan

Penggalian informasi terkait tahun renovasi dan tahun pembangunan

menjadi penting karena menyangkut dugaan keterkaitan antara penetapan

Laweyan sebagai destinasi wisata “Kampoeng Batik Laweyan” pada tahun 2004

dengan renovasi/pembangunan yang dilakukan oleh warga Laweyan.

Kampoeng Batik Laweyan ditetapkan sebagai destinasi wisata oleh

pemerintah kota Surakarta dengan dibentuknya FPKBL (Forum Pengembangan

Kampung Batik Laweyan) oleh Bappeda Kota Surakarta, FPKBL diketuai oleh

Bapak Alpha Febela Priyamono, MT. Saat itu batik Laweyan yang awalnya redup

94
atau mati suri selama lebih dari 30 tahun akhirnya di tahun 2004 berkibar kembali

dengan diikuti maraknya pembangunan showroom-showroom fashion batik dari

tahun ke tahun hingga saat ini terutama di sepanjang Jl. Sidoluhur Laweyan.

Tabel 5.4 Hasil Quisioner “Tahun Renovasi/Bangun” kepada Pemilik


Bangunan di sepanjang Jl. Sidoluhur Laweyan

Indikator Jumlah Persentase


(Tahun Renovasi/Bangun)
Setelah tahun 2004 50 60,24 %

Sebelum tahun 2004 14 16,86 %

Renov tapi tidak tahu tahunnya 1 1,20 %

Tidak renovasi 17 20,48 %

Total 83 100 %

Sumber: Analisa Penulis, 2018


Dari 82 data responden terdapat sebanyak 50 responden yang mengaku

melakukan pembangunan dan renovasi di tahun 2004 ke atas atau sebesar 60, 24

%, angka tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah responden

yang mengaku melakukan renovasi/bangun sebelum tahun 2004 sebanyak 14

responden atau sebesar 16,86 %, sedangkan yang mengaku tidak melakukan

renovasi sebanyak 17 responden atau 20,48 %. Data tersebut membuktikan bahwa

mayoritas kegiatan renovasi dan pembangunan terjadi setelah tahun 2004 yang

tepatnya setelah ditetapkannya Laweyan sebagai destinasi wisata belanja.

Berdasarkan pada data tersebut diatas penulis mencoba menuangkan

informasi ke dalam peta sebaran tahun renovasi dan/atau tahun pembangunan

yang terjadi di sepanjang Jl. Sidoluhur Laweyan, sehingga dapat terlihat jelas

95
dimana saja posisi bangunan yang melakukan renovasi dan/atau pembangunan di

Jl. Sidoluhur.

Gambar 5.5 Peta Sebaran Informasi Tahun Renovasi / Bangun di


Sepanjang Jl. Sidoluhur Laweyan, Sumber: Analisa Penulis, 2018

Peta tahun renovasi/bangun di atas menginfromasikan bahwa sebagian

besar bangunan di Jl. Sidoluhur telah banyak yang direnovasi setelah tahun 2004,

sedangkan bangunan lama/kuno yang tidak direnovasi masih bertahan beberapa

saja di sepanjang Jl. Sidoluhur.

5.1.4. Intensitas Bangunan

Variabel intensitas bangunan dilihat melalui indikator berupa ketinggian

bangunan atau jumlah lantai bangunan yang ada di sepanjang Jl. Sidoluhur

Laweyan. berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, maka penulis mendapatkan

data sebagai berikut:

96
Tabel 5.5 Hasil Pengamatan Lapangan mengenai “Jumlah Lantai
Bangunan” di sepanjang Jl. Sidoluhur Laweyan

Jumlah Lantai Bangunan Jumlah Persentase

Bangunan 1 lantai 60 74,07%

Bangunan 2 lantai 20 24,69%

Rencana bangunan 9 lantai 1 1,23%

Total 81 100%

Sumber: Analisa Penulis, 2018


Berdasarkan tabel diatas, dari 81 responden terdapat sebanyak 60 pemilik

bangunan yang memiliki bangunan 1 (satu) lantai atau sebesar 74,07%.

Sedangkan pemilik bangunan 2 lantai terdapat sebanyak 20 orang atau 24,69%.

Berdasarkan pada data tersebut diatas penulis mencoba menuangkan informasi ke

dalam peta sebaran jumlah lantai bangunan di sepanjang Jl. Sidoluhur Laweyan

sebagai berikut:

97
Gambar 5.6 Peta sebaran jenis bangunan berdasarkan jumlah lantai
bangunan di sepanjang Jl. Sidoluhur Laweyan, Sumber: Analisa Penulis, 2018
Pada gambar peta sebaran diatas, terlihat secara keseluruhan bangunan di

sepanjang Jl. Sidoluhur Laweyan didominasi oleh bangunan 1 (satu) lantai dan

terdapat beberapa bangunan 2 (dua) lantai. Namun pada salah satu persil di

bagian utara Jl. Sidoluhur terdapat lokasi rencana pembangunan hotel setinggi 9

(Sembilan) lantai, yang saat ini tengah dalam proses pembangunan. Intensitas

bangunan yang sangat jauh berbeda dengan kondisi disekitarnya akan sangat

mengganggu skyline kawasan, terlebih bangunan setinggi 9 (Sembilan) lapis

tersebut dibangun menghadap ke Jl. Sidoluhur yang merupakan jalan kampung

atau jalan lingkungan.

5.1.5. Kesimpulan Kondisi Bentuk dan Fungsi Bangunan di KCB Laweyan

Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa variabel, dilakukan overlay

terhadap masing-masing peta dari variabel tersebut, yaitu overlay antara peta

98
sebaran fungsi bangunan, peta sebaran kondisi fasad bangunan dan peta sebaran

tahun renovasi/bangun, sehingga didapatkan informasi sebagai berikut :

Gambar 5.7 Peta hasil overlay antara Peta Fasad Bangunan, Fungsi
Bangunan dan Tahun renovasi/bangun, Sumber: Analisa Penulis, 2018
Peta di atas menginformasikan bahwa jika semakin kuat intensitas warna

merah suatu bangunan maka semakin menandakan bahwa bangunan tersebut

banyak melakukan renovasi/pembongkaran bangunan kuno yang terutama

dilakukan setelah tahun 2004 ke atas serta difungsikan sebagai showroom

dan/atau workshop batik dan juga sebagai fungsi penunjang pariwisata seperti

hotel, gedung convention, cafe, dan kost-kostan/kamar sewa.

Hasil dari overlay data fungsi bangunan dan tahun renovasi didapatkan

37% dari total 81 responden atau sebanyak 30 responden pemilik bangunan yang

melakukan renovasi bangunan diatas tahun 2004 dan memfungsikannya sebagai

99
penjualan dan/atau produksi batik seperti showroom/workshop batik dan fungsi

penunjang pariwisata seperti hotel, convention hall, café, dan kost. Berikut foto-

foto fasad bangunan di segmen 3 (tiga) Jl. Sidoluhur yang nampak didominasi

oleh showroom batik.

Gambar 5.8 Segmen 3 Jl. Sidoluhur Laweyan


Sumber: Penulis, 2018

100
Gambar 5.9 Foto per fasad bangunan di segmen 3 (tiga) sebelah Selatan Jl. Sidoluhur
Sumber: Dokumentasi Penulis, 2018

101
Gambar 5.10 Foto per fasad bangunan di segmen 3 (tiga) Utara Jl. Sidoluhur
Sumber: Dokumentasi Penulis, 2018

102
Pada segmen 3 sebelah selatan Jl. Sidoluhur sebagian besar merupakan

fungsi showroom bangunan modern. Hanya terdapat beberapa bangunan asli yang

bertahan yaitu rumah berwarna abu-abu nomor 37, bangunan Batik Mutiara Hati

nomor 12 dan bangunan kuno Masjid Al Makmoer yang dibangun pada tahun

1942 terlihat cukup terawat.

Pada segmen 3 sebelah utara Jl. Sidoluhur terdapat 9 buah toko/showroom

batik, 1 diantaranya tidak merubah fasad dan tembok asli nya yaitu toko Batik

Pendapi. 8 lainnya sudah direnovasi menjadi bangunan modern. Terdapat satu

pemilik bangunan yang masih mempertahankan bangunan dan tembok aslinya

walaupun nampak berlumut dan kusam yaitu rumah nomor 54, dibagian lain

terdapat tembok asli yang masih bertahan namun sudah nampak tidak terawat

dibalik tembok tersebut merupakan lahan kosong dan sudah tidak ditemui

bangunan aslinya karena sudah dirobohkan, menurut penjaga lahan itu beberapa

bagian bangunan yang merupakan benda antik seperti bangunan joglo asli sudah

tidak ada lagi karena dibeli oleh kolektor dari Jakarta.

Berdasarkan dari seluruh analisa yang dilakukan menggunakan seluruh

data-data yang didapatkan, maka dapat disimpulkan kondisi bentuk dan fungsi

bangunan di Laweyan adalah sebagai berikut :

103
Tabel 5.6 Hasil Analisa dari Evaluasi Kondisi Bentuk dan Fungsi Bangunan di KCB Laweyan

Kriteria Variabel Indikator Hasil Temuan


Bentuk Fasad Fasad Berubah Fasad Bangunan yang
Bangunan Total berubah total sebesar Perubahan fasad dilakukan
Tahun 28,91% setelah tahun 2004 sebesar
Fasad Berubah Renovasi/bangun Fasad Bangunan yang 60,24%, sedangkan yang
Sebagian Besar berubah sebagian besar melakukan renovasi sebelum
8,433% tahun 2004 hanya sebesar
Fasad Berubah Fasad Bangunan yang 16,86%
Sebagian Kecil berubah sebagian kecil
sebesar 21,68%
Bangunan Baru Bangunan baru sebesar
20,48%
Fasad bangunanTidak Berubah Fasad Bangunan yang tidak mengalami perubahan
signifikan/renovasi sebesar 20,48%
Intensitas Kondisi ketinggian bangunan (jumlah Bangunan 1 lantai mendominasi kawasan sebesar 74,07% dan
Bangunan lantai bangunan) 24, 69% adalah bangunan 2 lantai. Sisanya adalah 1,23 % atau
satu persil yang sedang dalam proses pembangunan hotel
setinggi 9 (sembilan) lantai.
Fungsi Fungsi Penjualan Showroom dan/atau
Bangunan dan/atau workshop batik Fungsi penjualan dan/atau produksi batik sebesar 45, 12%
Produksi batik
Pendukung Hotel, Café,
Pariwisata Homestay, Kost, Fungsi baru penunjang pariwisata sebesar 10,97%
Gedung pertemuan
Rumah Tinggal Fungsi bangunan sebagai rumah tinggal murni sebesar 21,95%
Usaha Lainnya Warung Kelontong, Fungsi bangunan sebagai usaha lain-lain yang berupa warung
toko alat jahit. kelontong, toko jahit, warung makan sebesar 21,95%
Sumber: Analisa Penulis, 2018

104
Berdasarkan dari hasil temuan pada masing-masing variabel tersebut dapat

disimpulkan bahwa bangunan kuno di Jl. Sidoluhur lebih dari separuh telah

mengalami renovasi, baik itu renovasi total, maupun renovasi sebagian, sehingga

mendorong perubahan wajah kawasan terutama setelah ditetapkannya Laweyan

sebagai destinasi wisata batik di tahun 2004.

Fungsi bangunan di sepanjang Jl. Sidoluhur hampir separuhnya

merupakan fungsi penjualan dan/atau produksi batik. Sisanya merupakan fungsi

sebagai rumah tinggal dan usaha lainnya, serta mulai bermunculan fungsi-fungsi

baru penunjang pariwisata seperti hotel, gedung pertemuan, homestay, kost dan

café.

Dari kesimpulan tersebut menandakan bahwa Laweyan sebagai kawasan

wisata belanja ternyata telah mendorong perubahan fisik kawasan terutama fasad

bangunan. Walaupun di sisi lain fungsi sebagai kawasan wisata menjadi

pendorong perekonomian warga Laweyan. Namun alangkah baiknya jika fungsi

baru yang disematkan ke dalam sebuah kawasan cagar budaya seperti Laweyan,

selain dapat meningkatkan income/pendapatan warga, juga tetap dapat

mempertahankan aspek fisik (fasad bangunan) sebagai nilai penting yang harus

dilestarikan. Walaupun Laweyan label cagar budaya berada pada level kawasan

bukan pada per bangunan di dalamnya, namun jika perubahan fasad bangunan

tidak dikendalikan maka lama kelamaan akan terus menggerus bukti/artefak

Laweyan sebagai kawasan cagar budaya yang unik dan khas di Kota Surakarta.

Oleh karena itu dengan melihat kondisi fisik kawasan seperti yang telah

dibahas pada tujuan penelitian yang pertama ini, maka perlu untuk dilakukan

105
evaluasi terhadap pengendalian pemanfaatan ruang yang dilaksanakan oleh

Pemerintah Kota Surakarta. Untuk melihat sudah sejauh mana hasil dari instansi-

instansi pengemban tupoksi pengendalian pemanfaatan ruang di Pemerintah Kota

Surakarta dalam memenuhi kaidah-kaidah pelestarian/pengelolaan kawasan cagar

budaya sesuai yang dikemukakan oleh Attoe (1996) dan amanat Permen PUPR

no. 1 tahun 2015 tentang Bangunan Gedung Cagar Budaya yang dilestarikan.

106
5.2. Evaluasi Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Tabel 5.7 Logical Frame Approach (LFA) Pengendalian Pemanfaatan Ruang sebagai Upaya Pelestarian KCB

LOGIKA INTERVENSI INDIKATOR-INDIKATOR ALAT VERIFIKASI ASUMSI


Terwujudnya Kota Surakarta - Terwujudnya Masyarakat yang menjunjung tinggi nilai- Laporan Media dan Masyarakat -
sebagai Kota Budaya, Mandiri, nilai luhur dan warisan budaya sebagai jati diri Kota
GOAL

Maju dan Sejahtera (Visi Walikota) Surakarta


- Terwujudnya wajah kota yang mencerminkan jati diri
sebagai kota budaya

- Dokumentasi Wajah Kawasan Seluruh Stakeholders (Pemerintah,


Tercapainya Kelestarian Kawasan Terjaganya keberadaan nilai penting fisik dan non fisik KCB - Laporan/komentar Pengelola Swasta/Investor dan Masyarakat)
OUTCOME

Cagar Budaya Laweyan Laweyan Kawasan berkomitmen untuk melestarikan


- Laporan/komentar TACB Kawasan Cagar Budaya Laweyan
- Laporan/Komentar Warga dengan mematuhi aturan yang
- Laporan/Komentar Wisatawan berlaku.

OUTPUT 1. Dokumen Peraturan 1. Tersedianya Dok. PZ/RDTR yang : 1. Dokumen PZ/RDTR Kota 1. Tim Ahli Cagar Budaya terlibat
Zonasi/RDTR - Sebaran bangunan lawas sesuai dengan hasil Surakarta Tahun 2012 dalam penyusunan PZ/RDTR
2. Perda tentang Peraturan inventaris BPCB Jateng 2. www.jdih.surakarta.go.id Kota Surakarta–
Zonasi/RDTR - Tersedianya arahan yang detail dalam pemanfaatan 3. Perda no. 1/2012 tentang RTRW 2. -
3. Perda RTRW dan Perda ruang Zona KCB Kota Surakarta dan Perda no. 3. Tim Ahli Cagar Budaya terlibat
Bangunan Gedung 2. Perda terpublikasikan kepada masyarakat luas 8/2016 dalam penyusunan Perda RTRW
4. SK IMB 3. Perda RTRW mengatur secara rinci arahan pemanfaatan 4. Berkas IMB: dan Perda bangunan gedung
5. Insentif: ruang di KCB Laweyan dan Perda Bangunan Gedung - Surat Rekomendasi 4. Petugas perizinan
a. Keringanan pajak/subsidi/sewa mengatur secara rinci arahan intensitas bangunan di Zona Keterangan Rencana Kota melaksanakan/mengindahkan
ruang KCB Laweyan - Notulensi Rapat Pembahasan masukan/rekomendasi dari TACB
b. Pembangunan infrastruktur 4. Terbitnya SK IMB di KCB Laweyan melalui: Izin 5. Peraturan mengenai insentif
c. Kemudahaan prosedur - Proses penerbitan KRK/IPR yang sesuai dengan arahan 5. Surat Permohonan Insentif dari tersosialisasikan secara luas kpd
perizinan peruntukan dalam PZ dan RTRW masyarakat dan Laporan masyarakat
d. Penghargaan - Proses Telaahan staf yang sesuai dengan PZ, RTRW dan Pertanggungjawaban keuangan 6. Masyarakat/pengembang
6. Sanksi: Perda Bangunan Gedung serta mengacu rekomendasi (terserapnya dana insentif) mengindahkan peringatan/sanksi
a. Peringatan Tertulis TACB 6. Surat Peringatan/Teguran yang diberikan

107
b. Penghentian kegiatan - Rapat pertimbangan yang melibatkan TACB 7. Laporan Monitoring: 7. Asumsi pengawasan penertiban:
sementara 5. Masyarakat/pengembang/swasta yang mematuhi tata ruang - Dokumen Monitoring - Konsultan penyusun dokumen
c. Pembekuan IMB dan melestarikan bangunan/kawasan cagar budaya pemanfaatan ruang di KCB berkapasitas
d. Pencabutan IMB Laweyan menerima insentif. Laweyan - Jumlah tenaga patroli ruang
e. Pembongkaran bangunan 6. Masyarakat/pengembang/swasta yang melanggar ketentuan - Laporan petugas hasil patroli mencukupi
7. Laporan pengawasan penertiban: PZ/RTRW/Perda Bangunan Gedung menerima sanksi ruang di KCB Laweyan - Jumlah personil mencukupi yang
a. Dokumen Monitoring 7. Tersedianya Laporan : 8. Laporan Petugas Dinas ahli dan paham dibidang
Pemanfaatan ruang di KCB - Dok. Monitoring pemanfaatan ruang KCB Laweyan yang Kebudayaan dan Masyarakat. arkeologi dan sejarah di Dinas
Laweyan ditindak lanjuti dengan pengawasan lapangan 9. Laporan TACB Kebudayaan
b. Laporan patroli ruang di KCB - Patroli ruang di KCB Laweyan yang dijadwalkan secara 8. Asumsi Sosialisasi:
Laweyan rutin dan melibatkan personil Dinas Kebudayaan/bidang - Jumlah personil mencukupi
c. Laporan hasil penertiban pelestarian cagar budaya dalam tim pengawasan/patroli yang ahli dan paham dibidang
8. Sosialisasi pentingnya KCB ruang. arkeologi dan sejarah di Dinas
Laweyan melalui: - Penertiban yang sesuai dengan aturan Kebudayaan
a. Acara/forum 8. Terselenggaranya/tersedianya sosialisasi yang memberikan - Masyarakat priori terhadap
b. Media cetak informasi/pengetahuan kepada masyarakat setempat akan pentingnya pelestarian KCB
c. Media elektronik pentingnya KCB Laweyan melalui: Laweyan
d. Internet/sosialmedia/website - Acara/forum 9. –
9. Keterlibatan TACB dalam - Media Cetak
pengendalian di KCB Laweyan: - Media elektronik
a. Kajian Bangunan/kawasan - Internet/sosialmedia/website
warisan budaya 9. Keterlibatan TACB melalui:
b. Rekomendasi/pertimbangan - Tersedianya Kajian Bangunan/kawasan cagar budaya
kepada Pemerintah Kota Laweyan
- Tersedianya rekomendasi TACB dalam penyusunan
peraturan/perencanaan dan pertimbangan ijin IMB.

108
INPUT 1. Penyusunan dok. Peraturan 1. Tersedianya anggaran penyusunan dok. Peraturan 1. DPA BAPPEDA TA. 2012 1. Setda Bagian Hukum
Zonasi Zonasi/RDTR 2. DPA BAPPEDA TA. 2012 berkomitmen untuk membantu
2. Penyusunan perda Peraturan 2. Tersedianya perda PZ/RDTR 3. DPA BAPPEDA TA. 2012 dan mengawal proses penyusunan
Zonasi/RDTR 3. Tersedianya anggaran penyusunan perda RTRW dan DPA DTRK TA. 2016 perda
3. Penyusunan Perda RTRW, Bangunan Gedung 4. DPA DPMPTSP 2. ASN berkomitmen untuk
Penyusunan Perda Bangunan 4. Tersedianya anggaran perizinan IMB 5. DPA DPMPTSP/DPUPR/DINAS menjalankan kegiatan di dalam
Gedung. 5. Tersedianya anggaran pemberian insentif dan disinsentif KEBUDAYAAN DPA
4. Penerapan Perizinan IMB 6. Tersedianya anggaran pemberian sanksi 6. DPA DPMPTSP DAN DPUPR 3. Tidak terjadi bencana
5. Penerapan Insentif 7. Tersedianya anggaran untuk Pengawasan dan Penertiban 7. DPA DPUPR
6. Penerapan Sanksi 8. Tersedianya anggaran sosialisasi pentingnya KCB 8. DPA DINAS KEBUDAYAAN
7. Pengawasan dan Penertiban Laweyan kpd masyarakat 9. DPA DINAS KEBUDAYAAN
8. Edukasi Kepada Masyarakat 9. Tersedianya anggaran honor TACB dan SK Pembentukan TACB
9. Pelibatan Ahli cagar Budaya Surakarta

109
Dalam tabel LFA di atas dapat dilihat bahwa 8 variabel/elemen

pengendalian pemanfaatan ruang menjadi input dari program pengendalian, input

merupakan pengerahan segala sumber daya, baik itu waktu, biaya, tenaga dan

SDM untuk mencapai output/hasil yang diharapkan tentu dengan harus memenuhi

beberapa indikator dan asumsi yang dibuktikan dengan alat verifikasi. Begitu pula

seterusnya pada output/hasil untuk mencapai outcome/tujuan yang diharapkan

maka harus memenuhi indikator dan asumsi yang dibuktikan dengan alat

verifikasi.

Tabel 5.8 Kriteria Evaluasi (Dunn, 1994 dan Bappenas, 2009)

No Tipe Kriteria Pertanyaan


1. Efektifitas Apakah tujuan prioritas pembangunan dapat tercapai?
2. Efisiensi Berapa banyak dipergunakan sumber daya?
3. Relevansi Apakah tujuan prioritas pembangunan mendukung tujuan
kebijakan?
4. Impact Apakah indikator-indikator tujuan kebijakan membaik?
5. Sustainability Apakah perbaikan indikator kinerja terus berlanjut setelah
program selesai?
Sumber: Dunn (1994) dan Bappenas (2009)

Dari ke enam kriteria tersebut dipilih kriteria efektifitas untuk menilai

hasil (Output) dari pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang dalam mencapai

tujuan (Outcome) kelestarian kawasan cagar budaya Laweyan. Pelaksanaan

pengendalian pemanfaatan ruang oleh Pemerintah Kota Surakarta disusun /

direkonstruksi ke dalam matriks Kerangka Kerja Logis atau Logical Frame

Approach di atas pada Table 5.7. Dari matriks LFA yang sudah tersusun tersebut

dapat dilakukan penge-check-an terhadap kolom indikator, alat verifikasi dan

asumsi penting. Dalam penelitian ini difokuskan dalam evaluasi output untuk

110
mencapai outcome. Berikut evaluasi terhadap 8 (delapan) variabel yang

merupakan elemen pengendalian pemanfaatan ruang :

5.2.1 Peraturan Zonasi

Dalam peraturan zonasi 2012 terdapat aturan dan arahan dalam

pemanfaatan ruang di KCB namun hanya sebatas pada beberapa bangunan atau

zona yang diberi warna ungu yang dianggap sebagai bangunan cagar budaya, jadi

konsep pelestarian tidak diterjemahkan dalam konteks Kawasan Laweyan secara

keseluruhan, seperti yang terlihat pada peta Gambar 5.10

Gambar 5.11 Peta Peraturan Zonasi Sub BWP II Kawasan II Kota


Surakarta
Sumber: Dokumen RDTR Kota Surakarta 2012

Dari peta zonasi di atas nampak Sub BWK II dengan Kelurahan Laweyan

di posisi paling selatan, di dalamnya terdapat beberapa zona cagar budaya seperti

yang tertera dalam legend yaitu zona berwarna merah muda yang merupakan zona

111
cagar budaya. Dari peta tersebut, zona yang berwarna merah muda hanya sebagian

kecil dari kawasan yaitu 6 lokasi yang menyebar di kawasan Laweyan. Sedangkan

menurut hasil identifikasi dari tim inventaris cagar budaya dari BPCB Jateng pada

tahun 2017 seperti yang terlihat pada Gambar 5.12 terdapat 70 buah bangunan

kuno di Kampung Laweyan.

Gambar 5.12 Peta Citra Sebaran Bangunan Kuno


Sumber: Hasil Monev BPCB Jawa Tengah, 2017

Dari peta sebaran hasil monev BPCB Jateng di tahun 2017 tersebut,

bangunan kuno banyak tersebar di kawasan laweyan, namun di dalam peta zonasi

hanya terdapat di 6 lokasi tertentu saja, sehingga bisa dikatakan konten dari

peraturan zonasi RDTR tahun 2012 tersebut perlu di telusuri lagi dasar-dasar

dalam penentuan zona cagar budaya khususnya di Laweyan.

Tabel 5.9 Karakteristik dan Visualisasi Zona Cagar Budaya


TUJUAN
ZONA KODE DEFINISI KRITERIA PERENCANAAN
PENETAPAN
1 2 3 4 5
Cagar SC Peruntukan tanah  meningkatkan  kawasan yang ditunjuk
Budaya yang merupakan fungsi lindung mempunyai keanekaragaman
bagian dari kawasan terhadap tanah, air, jenis tumbuhan dan satwa serta

112
TUJUAN
ZONA KODE DEFINISI KRITERIA PERENCANAAN
PENETAPAN
1 2 3 4 5
lindung yang iklim, tumbuhan tipe ekosistemnya; dan atau
memiliki ciri khas dan satwa, serta mewakili formasi biota tertentu
tertentu baik di darat nilai budaya dan dan/atau unit-unit penyusunnya.
maupun di perairan sejarah bangsa.  mempunyai kondisi alam, baik
yang mempunyai  mempertahankan biota maupun fisiknya yang
fungsi pokok sebagai keanekaragaman masih asli dan tidak atau belum
kawasan pengawetan hayati, satwa, tipe diganggu manusia; dan/atau
keragaman jenis ekosistem dan mempunyai luas dan bentuk
tumbuhan, satwa dan keunikan alam. tertentu agar menunjang
ekosistemnya beserta pengelolaan yang efektif dengan
nilai budaya dan daerah penyangga yang cukup
sejarah bangsa. luas.
 mempunyai ciri khas dan dapat
merupakan satu-satunya contoh
di suatu daerah serta
keberadaannya memerlukan
observasi.
Sumber: Dokumen RDTR Kota Surakarta 2012

Dari tabel di atas dapat dicermati bahwa semangat pelestarian cagar

budaya dalam penyusunan RDTR atau Peraturan Zonasi tahun 2012 ini adalah

untuk mempertahankan atau meningkatkan fungsi lindung dari nilai budaya dan

sejarah bangsa, sehingga seharusnya mulai dari identifikasi dan perlakuan

bangunan kuno haruslah sesuai dengan kaidah-kaidah pelestarian/konservasi.

Tabel 5.10 Ketentuan Kegiatan Zona Cagar Budaya

Kegiatan Ketentuan
Ruang Terbuka Hijau  RTH diijinkan di kawasan ini dengan ketentuan tidak mengganggu aktivitas
fisik maupun non fisik zona cagar budaya
 RTH yang diijinkan merupakan zona RTH lingkungan berupa pekarangan,
maupun RTH dengan skala kecil
Perumahan  Semua kegiatan perumahan yang dirinci berdasarkan jenis bangunan tidak
diizinkan pada zona ini
 Kegiatan perumahan yang tidak diperbolehkan adalah kegiatan perumahan
baru dengan perubahan pembangunan secara fisik, sedanngkan kegiatan
hunian yang sudah berada di bangunan cagar budaya diijinkan
Perdagangan dan Jasa  Semua kegiatan perdagangan dan jasa yang dirinci berdasarkan jenis jasa
umum tidak diizinkan pada zona ini, kecuali pada kegiatan perdagangan dan
jasa yang sudah berada di zona cagar budaya dengan ketentuan tertentu
 Semua kegiatan perdagangan dan jasa yang dirinci berdasarkan jenis
hiburan/rekreasi tidak diizinkan pada zona ini, kecuali kegiatan perdagangan
jasa yang tidak mengganggu bentuk bangunan cagar budaya atau memegang
prinsip konservasi.
Perkantoran  Semua kegiatan perkantoran baru tidak diizinkan pada zona ini, kecuali bagi
kegiatan yang sudah lama berlangsung dengan ketentuan dan syarat tertentu
 Kegiatan perkantoran yang diijinkan adalah kegiatan perkantoran yang masih
mempertahankan bentuk fisik bangunan

113
Industri  Semua kegiatan industry yang dirinci berdasarkan International Standard
Industrial Clasification tidak diizinkan pada zona ini
 Semua kegiatan industry yang dirinci berdasarkan dampak yang ditimbulkan
tidak diizinkan pada zona ini
 Kegiatan industry yang diizinkan bersyarat merupakan industry berbasis
budaya, industry kreatif dan ramah lingkungan
Pariwisata  Kegiatan pariwisata diizinkan bersyarat pada zona cagar budaya dengan
seperti pariwisata budaya, museum, galeri, sementara kegiatan taman hiburan
tidak diizinkan ada di zona ini
 Semua kegiatan pariwisata yang menimbulkan dampak negatif tidak
diperkenankan di zona ini
RTNH  Semua bentuk kegiatan RTNH tidak diizinkan pada zona ini, kecuali untuk
aktivitas pendukung bagi fungsi pengembangan zona cagar budaya seperti
tempat parkir.
Pertanian  Semua kegiatan pertanian tidak diizinkan pada zona ini
 Semua kegiatan peternakan tidak diizinkan pada zona ini
 Semua kegiatan perikanan tidak diizinkan pada zona ini
Sarana Pelayanan  Semua kegiatan pendidikan diizinkan pada zona ini, dengan persyaratan
Umum tertentu
 Semua kegiatan kesehatan diizinkan pada zona ini, dengan persyaratan
tertentu
 Semua kegiatan peribadatan diizinkan pada zona ini, dengan persyaratan
tertentu
 Semua kegiatan social budaya diizinkan pada zona ini, dengan persyaratan
tertentu
 Semua kegiatan olahraga tertutup tidak diizinkan pada zona ini
 Semua kegiatan trasnportasi tidak diizinkan pada zona ini
 Semua kegiatan utilitas tidak diizinkan pada zona ini
Zona Gardu Induk  Semua kegiatan Gardu Induk tidak diijinkan ada di zona ini

Sumber: Dokumen RDTR Kota Surakarta 2012

Dari ketentuan kegiatan yang diijinkan dan tidak diijinkan pada tabel di

atas, sudah mengatur pemanfaatan ruang zona cagar budaya berdasarkan pada

asaz pelestarian atau konservasi, dimana kondisi fisik bangunan kuno tidak

diperkenankan untuk dirubah secara signifikan.

Tabel 5.11 Keterangan Lanjut Kegiatan terbatas dan Bersyarat Zona Cagar
Budaya

Pemanfaatan diijinkan secara Pemanfaatan diijinkan secara Bersyarat (B)


Terbatas (T)

 Warung, toko, toko makanan dan - Wisata budaya, diijinkan dengan syarat :
minuman, penjual tanaman, diijinkan (a) tidak mengganggu kualitas, fungsi dan bentuk
secara terbatas dengan batasan : bangunan cagar budaya
a. Tidak mengganggu fungsi cagar (b) penambahan aktivitas tidak mengganggu
budaya keberadaan bangunan cagar budaya
b. Disinsentif berupa pengenaan
pajak progresif
(c) tidak mengakibatkan perubahan yang melebihi
5% dari kawasan cagar budaya
c. Luasan maksimal dari
keseluruhan persil dengan (d) pengenaan disinsentif bagi pembangunan yang

114
kegiatan tersebut adalah 20% dari menimbulkan dampak negatif terhadap
luas keseluruhan persil yang ada lingkungan
di blok tersebut (e) menyesuaikan dengan arahan desain arsitektur
d. KDB maksimal yang dari bangunan yang ada di sekitarnya
diperbolehkan adalah 60 % - Sarana Pelayanan Umum diijinkan bersyarat, dengan
e. KLB yang diizinkan maksimal syarat :
1,6 dengan ketinggian bangunan (a) Tidak mengganggu bangunan fisik cagar budaya
tidak oleh melebihi bangunan (b) Tidak mengakibatkan perubahan bentuk bangunan
cagar budaya (c) Memberikan upaya konservasi bangunan cagar
f. KDH minimal adala 40% dari budaya
luas persil (d) Memberikan nilai tambah secara sosial, ekonomi
g. Pembangunan ruang baru untuk dan budaya terhadap bangunan cagar budaya
kegiatan perdagangan tidak (e) Penambahan aksesoris bangunan disesuaikan
diperkenankan menempel dengan arahan arsitektur bangunan cagar budaya
langsung dengan bangunan cagar - Galeri, museum, dan kegiatan budaya diizinkan
budaya bersyarat dengan syarat sebagai berikut:
(a) Tidak mengganggu fungsi lindung cagar budaya
(b) Kegiatan disertai dengan prinsip konservasi dan
pelestarian bangunan cagar budaya
(c) Tidak mengakibatkan perubahan bentuk bangunan
cagar budaya
(d) Penambahan bangunan pendukung, dengan
kriteria sebagai berikut:
KDB maksimal 60%
KDH minimal 50%
KLB 1,2 dan tinggi bangunan tidak lebih tinggi
dari bangunan cagar budaya
luasan maksimal dari keseluruhan persil dengan
kegiatan tersebut adalah 10% dari luas
keseluruhan persil yang ada di blok tersebut.
- Industri Kreatif, diizinkan bersyarat pada zona ini
dengan ketentuan sebagai berikut:
(a) Tidak mengakibatkan perubahan dan kerusakan
bangunan
(b) Kegiatan industri berbasis budaya dan industri
kreatif, seperti industri kerajinan, batik, dll
(c) Di syaratkan melakukan UPL dan UKL, jika
diperlukan
(d) Memberikan nilai tambah secara sosial, ekonomi
dan budaya terhadap bangunan cagar budaya
(e) Penambahan aksesoris bangunan disesuaikan
dengan arahan arsitektur bangunan cagar budaya

Sumber: Dokumen RDTR Kota Surakarta 2012

Tabel di atas menunjukkan batasan-batasan kegiatan yang diijinkan

terbatas dan diijinkan secara bersyarat dalam zona cagar budaya, di dalam matriks

ITBX Peraturan Zonasi 2012, kegiatan pemanfaatan ruang yang intensive terjadi

di laweyan beberapa tahun belakangan ini adalah berupa pembangunan

toko/showroom, hotel/penginapan, dan resto/café, tiga (3) kegiatan tersebut di

dalam matriks ITBX Peraturan Zonasi 2012 diijinkan secara bersyarat (B).

115
toko/showroom/workshop batik masuk dalam kategori industri kreatif yang telah

diatur dalam ketentuan bersyarat pada tabel diatas, namun pada kenyataannya

showroom yang menjamur di kampung laweyan terutama di sepanjang Jl.

Sidoluhur berdasarkan hasil pengamatan di lapangan merupakan hasil renovasi

dan pembongkaran bagian-bagian dari bangunan kuno, wujud fasadnya pun

bercirikan arsitektur modern yang sangat kontras atau tidak memperhatikan

makna arsitektur kontekstual secara kawasan.

Tabel 5.12 Arahan Pemanfaatan Ruang Zona Cagar Budaya

Ketentuan Tata Massa Ketentuan Khusus


GSB : Pemanfaatan ruang yang berada pada zona cagar budaya
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
- Garis Sempadan bangunan terhadap jalan
minimal 6 meter. a. pengamanan dan menjaga pelestarian dari
- GSB pada sungai bertanggul 3 meter dari berbagai bentuk ancaman baik oleh kegiatan
kaki tanggul terluar. manusia maupun alam;
- GSB pada sungai tidak bertanggul b. pemerintah daerah mengumumkan kepada
ditetapkan berdasarkan pertimbangan seluruh pelaku pembangunan tentang lokasi
teknis, ekonomi sosial oleh pejabat dan luas kawasan cagar budaya dan ilmu
setempat yang berwenang. pengetahuan;
Ketinggian maksimal dan minimal : c. diperbolehkan kegiatan pendidikan dan
penelitian dengan syarat tidak merusak
- ketinggian bangunan diarahkan tidak ekosistem; dan
melebihi bangunan induk. d. dilarang kegiatan yang dapat mengakibatkan
jarak bebas antar bangunan minimal : perubahan dan perusakan terhadap keutuhan
kawasan dan ekosistem.
- Jarak bebas samping 2 meter dan jarak Ketentuan Khusus kawasan cagar budaya antara lain
bebas belakang 2 meter. adalah sebagai berikut:
Tampilan bangunan :
a. Tidak diperkenankan pembangunan dengan
- Ketentuan arsitektural yang berlaku ketinggian lebih dari 3 lantai dalam jarak
disesuaikan dengan konsep arsitektural radius 500 meter dari kawasan cagar budaya
yang tetap mempertahankan unsur b. mempertahankan kelayakan bentang pandang,
bangunan cagar budaya serta mengembangkan kawasan dengan kriteria
- Warna bangunan, bahan bangunan dan pengembangan yang diijinkan secara ketat
tekstrur tidak mengikat, tetapi masih selaras c. Bangunan yang termasuk pada zona cagar
dengan bangunan cagar budaya budaya dapat masuk dalam 2 zona sekaligus
- Tampilan bangunan selaras dengan seperti zona RTH pemakaman, zona industri,
arsitektural bangunan yang ada. dan zona perdagangan;
d. Bangunan yang termasuk pada zona cagar
budaya dapat melakukan aktivitas kegiatan
sesuai dengan fungsi bangunan tersebut;
e. Bangunan yang termasuk pada zona cagar
budaya dapat dikembangkan untuk kegiatan
lain namun tetap mempertahankan bentuk
bangunan aslinya; dan
f. Bangunan yang termasuk pada zona cagar

116
budaya diberikan insentif untuk perawatan
bangunan cagar budaya maupun
pengembangan lingkungan budaya.

Sumber: Dokumen RDTR Kota Surakarta 2012

Pada saat ini sedang berlangsung penyiapan lahan untuk pembangunan

proyek hotel Sembilan (9) lantai di Laweyan, menurut dokumen bestek nya fasad

hotel menghadap ke Jl. Sidoluhur, jika berdasarkan pada ketentuan khusus di atas

maka sebenarnya tidak diperbolehkan untuk dibangun gedung sembilan (9) lapis.

Berikut dokumen bestek yang penulis dapatkan dari Dinas Penanaman Modal dan

Perijinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).

Gambar 5.13 Rencana Tampak Bangunan Hotel


Sumber: Dokumen Gambar Arsitektur De Laweyan, 2018

117
Sedangkan dalam Peraturan Zonasi yang diusulkan dalam revisi RTRW

2017, arahan pemafaatan ruang Zona Cagar Budaya terdapat dalam Bab 8

Ketentuan Tambahan, yang di dalamnya tidak mengatur secara rigid arahan

pemanfaatan ruang dalam Zona Cagar Budaya, dan tidak muncul juga dalam

martiks ITBX, arahan hanya berupa definisi pelestarian dan kawasan cagar

budaya seperti dalam UU nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Berikut

konten arahan ketentuan zona cagar budaya dalam Peraturan Zonasi 2017:

118
Gambar 5.14 Konten arahan pemanfaatan ruang di zona cagar budaya
Sumber: Peraturan Zonasi 2017

Dalam ketentuan kawasan cagar budaya tersebut belum mengatur secara

detail arahan pemanfaatan ruang di zona cagar budaya, di dalamnya baru sebatas

definisi dan arahan umum yang tercantum di dalam Undang-undang no. 11 Tahun

2010 tentang Cagar Budaya.

5.2.2 Peraturan Terkait

Dokumen RDTR 2012 tidak diperdakan sampai saat ini, info terbaru di

tahun 2018 ini bahwa RTRW dalam proses pengajuan revisi yang nantinya PZ

akan menjadi lampiran dalam RTRW operasional 2017. Selama ini petugas

pengendalian ruang menggunakan Perda no. 1 tahun 2012 tentang RTRW dan

Perda no. 8 Tahun 2016 tentang Bangunan Gedung sebagai acuan dalam

pelaksanaan perijinan IMB, seperti yang disampaikan oleh beberapa petugas

pengendalian dan perijinan sebagai berikut :

“Beberapa peraturan yang menjadi acuan dalam perijinan


terutama IMB adalah Perda RTRW no. 1 tahun 2012, Perda
Bangunan Gedung no. 8 Tahun 2016 dan Perda Cagar Budaya no.
10 Tahun 2013”
(Wawancara dengan Bapak Rohmat Haryanto, ST, MT, Bidang Perijinan
Pekerjaan Umum DPMPTSP Kota Surakarta, tanggal 11 Juli 2018)
Hal senada juga disampaikan oleh Petugas di Bidang Pengendalian

Pemanfaatan Ruang DPUPR Kota Surakarta

“Yang menjadi acuan dalam perijinan adalah perda RTRW dan


Perda BG, serta perda IMB”
(Wawancara dengan Bapak Ir. Yoga Purwanto, MT Kepala Bidang Pengendalian
Pemanfaatan Ruang DPUPR Kota Surakarta, tanggal 12 Juli 2018)

119
“Aturan formal yang menjadi acuan dalam pengendalian terutama
perijinan IMB adalah: Perda RTRW no. 1 tahun 2012 dan Perda
Bangunan Gedung no. 8 tahun 2016, dan perda IMB tahun 2018”
(Wawancara dengan Bapak Adjie Anggoro, ST, MT, Petugas di Bidang
Pengendalian Pemanfaatan Ruang DPUPR Kota Surakarta, tanggal 12 Juli 2018)
Dari beberapa pernyataan yang disampaikan oleh para petugas

pengendalian ruang di atas dapat disimpulkan bahwa PZ dan matriks ITBX tidak

menjadi acuan dalam proses pengendalian pemanfaatan ruang, sehingga selama

ini baru mengatur sejauh intensitas pemanfaatan ruang secara umum, sedangkan

di kawasan cagar budaya belum ada aturan khusus terutama di kampung batik

laweyan, di dalam perda bangunan gedung yang diatur secara khusus untuk

kawasan laweyan hanya sebatas pada koridor Jl. Dr. Radjiman seperti yang

terlihat dalam lampiran 4, sedangkan koridor-koridor di dalam kampung laweyan

belum diatur secara khusus, sehingga hanya mengacu pada tabel Berikut:

Tabel 5.13 Tabel Koefisien Dasar Bangunan, Koefisien Daerah Hijau Dan
Koefisien Ruang Terbuka Non Hijau

Luas KDB KDH KRTNH Keterangan


Kavling Maksimal Minimal Maksimal
Meter % % %
Persegi
s/d
< 100 85 6 9 1-2 lapis (12
meter)
100 200 80 11 9 1-2 lapis (12
meter)
200 300 75 15 10 1-2 lapis (12
meter)
300 400 70 19 11 1-3 lapis (16
meter)
400 <… 65 23 12 1-4 lapis (20
meter)

Sumber: Perda no. 8 tahun 2016 tentang Bangunan Gedung

120
Tabel ketentuan atau arahan intensitas bangunan dalam tabel di atas

merupakan arahan intensitas bagi koridor diluar koridor khusus, dikarenakan

beberapa koridor di kampung laweyan terutama koridor JL. Sidoluhur tidak

termasuk dalam lampiran 4 yang merupakan tabel arahan intensitas bangunan di

kawasan khusus, maka untuk semua permohonan ijin di Jl. Sidoluhur mengacu

pada Tabel 5.13, tabel ini belum mengatur secara spesifik tentang pemanfaatan

ruang di kawasan cagar budaya atau perlakuan bagi bangunan cagar budaya yang

hendak melakukan renovasi atau pembongkaran.

Di dalam Perda no. 1 tahun 2012 tentang RTRW Kota Surakarta belum

mengatur secara spesifik tentang arahan pemanfaatan ruang di kawasan cagar

budaya, sebagaimana beberapa kutipan amanat dalam perda RTRW sebagai

berikut :

121
Gambar 5.15 Kutipan tentang Cagar Budaya dalam RTRW 2012
Sumber: Perda no. 1/2012 RTRW Kota Surakarta

Dari kutipan dalam perda RTRW di atas nampak arahan dalam zona

kawasan cagar budaya berupa deskripsi tentang luasan kawasan cagar budaya

yang tersebar di beberapa kecamatan salah satunya adalah Kecamatan Laweyan,

dan disebutkan beberapa arahan dalam pengembangan kawasan cagar budaya

yang keseluruhan masih bersifat umum dan belum spesifik.

Sedangkan peraturan terdahulu sebelum perda RTRW tahun 2012 yang

menjadi acuan dalam pengendalian pemanfaatan ruang adalah Perda No. 15

Tahun 1981 tentang Bangunan, Perda No. 8 Tahun 2009 tentang Bangunan dan

122
Perda No. 8 Tahun 1993 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK)

Kota madya Daerah Tingkat II Surakarta.

Tabel 5.14 Kutipan Perda Terdahulu Acuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


sebelum tahun 2012

1. Perda No. 8 tahun 2009 tentang Bangunan

1) Bangunan dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya


sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan
dilestarikan
3) Pelaksanaan perbaikan, pemugaran, perlindungan, serta pemeliharaan
atas bangunan dan lingkungannya sebagaimana dimaksud ayat (1)
hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah nilai dan/atau
karakter cagar budaya yang dikandungnya
4) Perbaikan, pemugaran dan pemanfaatan bangunan dan lingkungan
cagar budaya yang dilakukan menyalahi ketentuan fungsi dan / atau
karakter cagar budaya, harus dikembalikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
5) Ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian cagar budaya serta
teknis pelaksanaan perbaikan, pemugaran dan pemanfaatan mengikuti
ketentuan pedoman teknis dan standarisasi nasional yang berlaku.

2. Perda No. 8 tahun 1993 tentang RUTRK Surakarta Pasal 16 Budaya dan
Pariwisata

1) Memanfaatkan unsur buatan manusia baik bangunan lama yang


penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan maupun
bangunan baru untuk pengembangan budaya,
penelitian/pendidikan dan industri pariwisata sebagai jati diri kota
2) Memanfaatkan unsur-unsur buatan manusia, unsur alam dan
kegiatan tradisional rakyat untuk pengembangan industri
pariwisata

123
Gambar 5.16 Peta Pembagian SWP (Sentra Wilayah Pengembangan)
RUTRK Surakarta 1993-2013

Tabel 5.15 Matriks SWP RUTRK 1993-2013 Surakarta

Sumber Data Perda no. 8/1993

Gambar 5.17 Peta Rencana Struktur Pemanfaatan Ruang


Berdasarkan Dominasi Kegiatan. Sumber Data Perda no. 8/1993

124
Sumber: Perda No. 15 Tahun 1981 tentang Bangunan, Perda No. 8 tahun 2009
tentang Bangunan dan Perda No. 8 tahun 1993 tentang RUTRK Surakarta
Perda No. 8 tahun 2009 ini sudah mengamanatkan tentang pelestarian

bangunan cagar budaya, tabel yang mengatur intensitas bangunan dalam perda ini

belum secara spesifik mengatur tentang arahan intensitas bangunan di kawasan

cagar budaya.

Kawasan Kampung Laweyan berada di dalam SWP V, dimana didalamnya

diatur persentase fungsi kegiatan yang direncanakan. Berdasarkan pada peta dan

tabel diatas belum terlihat rencana fungsi kegiatan pariwisata (A) dan kebudayaan

(B) di SWP V. Berdasarkan pada peta rencana RUTRK di atas dapat dilihat

bahwa kawasan Laweyan disepanjang Jl. Dr. Radjiman di plot sebagai

pengembangan kawasan perdagangan dan jasa, sedangkan kawasan Laweyan

bagian selatan Jl. Dr. Radjiman hanya di plot sebagai kawasan perumahan, belum

direncanakan untuk dikembangkan sebagai kawasan cagar budaya / wisata

budaya.

5.2.3. Penerapan Perizinan (IMB)

Tabel 5.16 Kutipan Perda terkait Perijinan IMB

No Perda No. 8 Tahun 2016 ttg Bangunan Gedung

1. Pasal 12
1) Setiap orang atau badan hukum wajib memiliki IMB dengan mengajukan
permohonan IMB kepada Walikota untuk melakukan kegiatan:
a. Pembangunan bangunan gedung dan/atau prasarana bangunan gedung;
b.Rehabilitasi/renovasi bangunan gedung dan/atau prasarana bangunan
gedung meliputi perbaikan/perawatan, perubahan,
perluasan/pengurangan; dan
c. Pemugaran/pelestarian dengan mendasarkan pada surat Keterangan
Rencana (advice planning) untuk lokasi yang bersangkutan
Pasal 64 Dokumen Rencana Teknis
(2) Dokumen rencana teknis diperiksa, dinilai, disetujui dan disahkan

125
sebagai dasar untuk pemberian IMB dengan mempertimbangkan
kelengkapan dokumen sesuai dengan fungsi dan klasifikasi Bangunan
Gedung, persyaratan tata bangunan, keselamatan, kesehatan, kenyaman dan
kemudahan.
(3) Penilaian dokumen rencana teknis Bangunan Gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
a. Pertimbangan dari TABG untuk Bangunan Gedung yang digunakan
bagi kepentingan umum
b. Pertimbangan dari Tim Ahli Cagar Budaya dan TABG untuk
bangunan gedung cagar budaya dan/atau bangunan gedung di
kawasan cagar budaya
c. Pertimbangan dari TABG dan memperhatikan pendapat masyarakat
untuk bangunan gedung yang akan menimbulkan dampak penting.
2. Perda no. 1 Tahun 2012 ttg RTRW Kota Surakarta

Ketentuan Perizinan
Pasal 83
Dalam pemanfaatan ruang setiap orang wajib memiliki izin pemanfaatan
ruang dan wajib melaksanakan setiap ketentuan perizinan dalam pelaksanaan
pemanfaatan ruang.
Pasal 84
1) Ketentuan umum perizinan yang dikenakan pada kegiatan dan
pembangunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 83, meliputi :
a) Izin prinsip;
b) Izin lokasi;
c) Izin pemanfaatan ruang (IPR);
d) Izin mendirikan bangunan (IMB); dan
e) Izin lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Izin prinsip dan izin lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b diberikan berdasarkan RTRW Kota
3) Izin lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah izin yang
diberikan kepada pemohon untuk memperoleh ruang yang diperlukan
dalam rangka melakukan ektivitasnya.
4) IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah izin yang
berkaitan dengan lokasi, kualitas ruang , dan tata bangunan yang sesuai
dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku dan diberikan oleh
Pemerintah Daerah berdasarkan izin lokasi
5) IMB sebagaimana dimkasud pada ayat (1) huruf d adalah izin yang
diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru,
mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung
sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis, dan
diberikan berdasarkan rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi.
7) Prinsip dasar penerapan mekanisme perizinan dalam pemanfaatan ruang
adalah sebagai berikut:
a. Setiap kegiatan dan pembangunan harus memohon izin dari
Pemerintah Kota yang akan memeriksa kesesuainnya dengan rencana,

126
serta standard administrasi legal;
b. Setiap kegiatan dan pembangunan yang berpeluang menimbulkan
gangguan bagi kepentingan umum, harus memiliki izin dari
Pemerintah Kota; dan
c. Setiap permohonan pembangunan yang tidak sesuai dengan RTRW
harus melalui pengkajian mendalam untuk menjamin bahwa
manfaatnya jauh lebih besar dari kerugiannya bagi semua ppihak
terkait sebelum dapat diberikan izin.
Prosedur pemberian IPR ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya.

Sumber: Perda no. 8 Tahun 2016 ttg Bangunan Gedung dan Perda no. 1 tahun
2012 ttg RTRW Kota Surakarta
Dua peraturan tersebut di atas merupakan dasar bagi para petugas

pengendalian dalam melaksanakan tupoksinya yaitu pengendallian pemanfaatan

ruang, jika melihat dari peraturan tersebut, perizinan khususnya perizinan IMB

sudah mengamanatkan bahwa IMB bisa diberikan jika dokumen rencana

teknisnya sudah melalui kajian TABG (untuk bangunan umum) dan TACB jika

merupakan bangunan cagar budaya dan/atau bangunan yang berada di kawasan

cagar budaya.

Pengertian IMB sendiri sudah mengamanatkan bahwa semua kegiatan

yang menyangkut pembangunan, penambahan, perluasan, pengurangan dan/atau

perawatan suatu bangunan gedung harus berdasarkan pada IMB yang diberikan

oleh Pemerintah Kota.

127
Gambar 5.18 Alur Perizinan IMB
Sumber : perijinanonline.surakarta.go.id
Dalam proses perijinan IMB seperti yang terlihat dalam gambar alur

perijinan di atas, memperlihatkan beberapa tahapan yang harus dilalui. Pada tahun

sebelum 2017, keseluruhan proses dari mulai dari pemasukan berkas permohonan

ijin, pemeriksaan berkas, survey lapangan, telaahan staff hasil survey dan rapat

pertimbangan/pembahasan merupakan tupoksi dari Dinas Tata Ruang Kota

Surakarta, namun terhitung mulai tanggal 1 Januari 2017 tupoksi tersebut

semuanya dilimpahkan kepada Dinas Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu

Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Surakarta. Dari total sebanyak 13.257 penerbitan SK

IMB dari tahun 2007 sampai bulan juli 2018 di Kota Surakarta terdapat sebanyak

50 SK IMB yang terbit kelurahan Laweyan atau sebesar 0,38 % dari total SK IMB

yang sudah terbit. Berikut daftar SK IMB di Laweyan :

128
Tabel 5.17 Daftar SK IMB 2007-2018
KEL.
KEC. PERUNTUKAN ALAMAT KEL
No NO. IMB Pemohon
Pemohon IMB BANGUNAN BANGUNAN BANGUNAN
IMB
1 2 3 4 5 6 7
Rumah Dinas
601 / 0040 /
Kelurahan Jl. Dr.
1 L-02 / IMB / Laweyan Laweyan Laweyan
Laweyan 1 (satu) Rajiman
I / 2007
lapis
601 / 0620 / Jl. DR.
Rumah Tinggal
2 L - 02 / IMB Sudiroprajan Jebres Rajiman No. Laweyan
& Toko 2 lapis
/ VIII / 2007 575
601 / 0771 / Sayangan
Rumah Tinggal 2
3 L - 02 / IMB Laweyan Laweyan Kulon, RT 01 Laweyan
(dua) lapis
/ IX / 2007 / RW III
601 / 0903 / Kwanggan,
Rumah Tinggal 1
4 L - 02 / IMB Karangasem Laweyan RT 03 / RW Laweyan
(satu) lapis
/ XI / 2007 III
Jl. Sidoluhur
601 / 0941 /
Rumah Tinggal No. 55,
5 L - 02 / IMB Laweyan Laweyan Laweyan
dan Kantor Setono RT 03
/ XII / 2007
/ RW II
601 / 0499 /
Rumah Tinggal 1 Jl. Nitik, RT
6 L - 02 / IMB Jajar Laweyan Laweyan
(satu) lapis 04 / RW I
/ IV / 2008
601 / 0726 /
Larangan Rumah Tinggal 1 Jl. Sidoluhur
7 L - 02 / IMB Larangan Laweyan
Selatan (satu) lapis No. 52
/ VI / 2008
601 / 1275 /
8 L - 02 / IMB Rumah Tinggal 2 Jl. Dr.
/ XII / 2008 Laweyan Laweyan (dua) Lapis Rajiman Laweyan
601 / 0540 / Cibodas Cibodas Rumah Tinggal 1 Jl. Tiga Laweyan
9 L - 02 / IMB (satu) lapis Negeri, RT.
/ VII / 2009 03 / RW. II
601 / 0584 / Kauman Pasar kliwon Rumah Tinggal 1 Jl. Setono, Laweyan
10 L - 02 / IMB (satu) lapis RT. 003 /
/ VII / 2009 RW. 002
601 / 0720 / Pajang Laweyan Rumah Tinggal Jl. Dr. Laweyan
L - 02 / IMB dan Toko 2 (dua) Rajiman No.
11
/ X / 2009 lapis 609, RT. 003
/ RW. 003
601 / 0347 / Laweyan Laweyan Hotel Jl. Nitik No. Laweyan
12 L - 02 / IMB 5, RT. 001 /
/ IV / 2010 RW. 001
601 / 431 / L Timuran Banjarsari Rumah Tinggal 2 Jl. Sido Luhur Laweyan
- 02 / IMB / (dua) lapis No. 63, RT.
13
IV / 2010 003 / RW.
002
601 / 517 / L Jagalan Jebres Rumah Tinggal 2 Jl. Dr. Laweyan
- 02 / IMB / (dua) lapis Rajiman No.
14
V / 2010 581, RT. 001
/ RW. 003
601 / 0595 / Laweyan Laweyan Rumah Tinggal 1 Jl. Tiga Laweyan
L - 02 / IMB (satu) lapis Negeri No. 3,
/ VI / 2010 RT. 001 /
15
RW. 002
601 / 0648 / Pajang Laweyan Rumah Tinggal 1 Kramat, RT. Laweyan
16 L - 02 / IMB (satu) lapis 002 / RW.
/ VII / 2010 003

129
KEL.
KEC. PERUNTUKAN ALAMAT KEL
No NO. IMB Pemohon
Pemohon IMB BANGUNAN BANGUNAN BANGUNAN
IMB
1 2 3 4 5 6 7
601 / 1034 / Kerten Laweyan Rumah Tinggal 4 Jl. Dr. Laweyan
L - 02 / IMB (empat) lapis Rajiman No.
17
/ XII / 2010 613, RT. 003
/ RW. 003
601 / 1035 / Kerten Laweyan Rumah Tinggal Jl. Dr. Laweyan
L - 02 / IMB dan Toko 4 Rajiman No.
18
/ XII / 2010 (empat) lapis 613, RT. 003
/ RW. 003
601 / 0399 / Cipete Kebayoran Hotel 3 (tiga) Jl. Dr. Laweyan
L - 02 / IMB Baru lapis Rajiman, RT.
19
/ V / 2012 001 / RW.
001
601 / 0434 / Sumber Banjarsari Rumah Tinggal 1 Jl. Setono No. Laweyan
20 L - 02 / IMB (satu) lapis 48, RT. 002 /
/ V / 2012 RW. 002
601 / 0464 / Punggawan Banjarsari Rumah Tinggal 1 Jl. Setono, Laweyan
21 L - 02 / IMB (satu) lapis RT. 002 /
/ VI / 2012 RW. 002
Jl. DR.
601 / 0728 / Rumah Tinggal Rajiman
22 L-02 / IMB / Grogol Grogol dan Toko 1 ( satu No.553 RT. Laweyan
IX / 2012 ) lapis 001 / RW.
002
Jl. Dr.
601 / 0804 / Rumah Tinggal
Rajiman, RT.
23 L - 02 / IMB Laweyan Laweyan dan Toko 3 ( tiga Laweyan
001 / RW.
/ IX / 2012 ) lapis
001
Punggawan Banjarsari Jl. Dr.
601 / 1061 / Kantor
Rajiman No.
24 L - 02 / IMB Kelurahan Laweyan
521, RT. 001
/ XII / 2012 Laweyan
/ RW. 001
601 / 0342 / Laweyan Laweyan Rumah Kantor 1 Jl. Tiga Laweyan
L - 02 / IMB (satu ) lapis Negeri No. 8,
25
/ III / 2013 RT. 001/RW.
003
601 / 0121 / Serengan Serengan Bangunan Jl. Dr. Laweyan
26 L - 02 / IMB Reklame Rajiman
/ I / 2013
601 / 0137 / Kliteran Gondokusuman Bangunan Jl. Slamet Laweyan
L - 02 / IMB Yogyakarta Perdagangan 7 ( Riyadi No.
27
/ I / 2013 tujuh ) lapis 451-455, RT
003 RW 010
601 / 1099 / Sriwedari Laweyan Kwanggan,
Rumah Tinggal 1
28 L-02 / IMB / RT 003 RW Laweyan
(satu) lapis
XI / 2014 003
601 / 0685 / Laweyan Laweyan Jl. Semangka
Rumah Tinggal 1
29 L-02 / IMB / RT 001 RW Laweyan
(satu) Lapis
VIII / 2014 011
601 / 0684 / Laweyan Laweyan Jl. Semangka
Rumah Tinggal 1
30 L-02 / IMB / RT 001 RW Laweyan
(satu) Lapis
VIII / 2014 011
601 / 0901 / Jajar Laweyan Kampung
Rumah Tinggal 1
31 L-02 / IMB / Laweyan, RT Laweyan
(satu) lapis
VIII / 2015 002 RW 003
601 / 0900 / Jajar Laweyan Kampung
Rumah Tinggal 1
32 L-02 / IMB / Laweyan, RT Laweyan
(satu) lapis
VIII / 2015 002 RW 003

130
KEL.
KEC. PERUNTUKAN ALAMAT KEL
No NO. IMB Pemohon
Pemohon IMB BANGUNAN BANGUNAN BANGUNAN
IMB
1 2 3 4 5 6 7
601 / 0902 / Jajar Laweyan Kampung
Rumah Tinggal 1
33 L-02 / IMB / Laweyan, RT Laweyan
(satu) lapis
VIII / 2015 002 RW 003
601 / 0913 / Laweyan Laweyan
Rumah Tinggal 1 Klaseman, RT
34 L-02 / IMB / Laweyan
(satu) lapis 002 RW 001
VIII / 2015
601 / 0913 / Laweyan Laweyan
Rumah Tinggal 1 Klaseman, RT
35 L-02 / IMB / Laweyan
(satu) lapis 002 RW 001
VIII / 2015
601 / 0818 / Jajar Laweyan
Rumah Tinggal 1 Kramat, RT
36 L-02 / IMB / Laweyan
(satu) lapis 002 RW 003
VII / 2015
Jajar Laweyan Rumah Tinggal 1
601 / 0819 /
(satu) lapis Kramat, RT
37 L-02 / IMB / Laweyan
002 RW 003
VII / 2015
601 / 0829 / Jajar Laweyan
Rumah Tinggal 1 Kramat, RT
38 L-02 / IMB / Laweyan
(satu) lapis 002 RW 003
VII / 2015
601 / 0876 / Timuran Banjarsari
Rumah Tinggal 1 Jl. Nitik, RT
39 L-02 / IMB / Laweyan
(satu) lapis 001 RW 002
VII / 2015
Laweyan Laweyan Rumah Tinggal
601 / 0390 / Setono 22
dan Tempat
40 L-02 / IMB / RT.003 Laweyan
Usaha Batik 1
III / 2015 RW.002
Lapis
601 / 0479 / Sondakan Laweyan Reklame Board
JL Dr
41 L-02 / IMB / (8 m' x 4,0 m' x 1 Laweyan
Rajiman
III / 2015 mk )
601 / 0233 / Laweyan Laweyan Gedung Jl. Dr
42 L-02 / IMB / Pertemuan dan Rajiman No. Laweyan
III / 2016 Tempat Parkir 525
601 / 0533 / Lebak Cilandak Jl. Gondosuli,
Rumah Tinggal 1
43 L-02 / IMB / Jakarta Selatan RT 001 RW Laweyan
lapis
VI / 2016 001
601 / 1019 / Kebagusan Pasar Minggu Gang Setono
44 L-02 / IMB / Jakarta Selatan Penginapan No.12, RT Laweyan
XII / 2017 002 RW 002
601 / 0739 / Laweyan Laweyan
Setono, RT
45 L-02 / IMB / Rumah Tinggal Laweyan
002 RW 002
IX / 2017
601 / 0709 / Purwosari Laweyan Jl. Sidoluhur
46 L-02 / IMB / Toko dan Kantor No.52, RT Laweyan
VIII / 2017 001 RW 002
601 / 0342 / Sondakan Laweyan Jl. Sidoluhur
47 L-02 / IMB / Rumah Tinggal No.43A, RT Laweyan
IV / 2017 003 RW 002
601 / 0009 /
Rumah Tinggal Bratan, RT
48 L-02 / IMB / Pajang Laweyan Laweyan
dan Kantor 001 RW 009
I / 2018
601 / 0248 / Rumah Tinggal Jl. Nitik No.
49 L-02 / IMB / Laweyan Laweyan dan Tempat 03, RT 001 Laweyan
III / 2018 Usaha RW 001
601 / 0381 / Jl. Mulwo,
Rumah Tinggal
50 L-11 / IMB / Kramatjati RT 001 RW Laweyan
dan Kost
V / 2018 Batu Ampah Jakarta Timur 009

131
Sumber: Dinas Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Satu Pintu
(DPMPTSP) Kota Surkarta, 2018

Berdasarkan dari tabel daftar SK IMB yang terbit dari tahun 2007 sampai

dengan Juli 2018 jika mencermati pada kolom alamat pemohon IMB maka

mayoritas pemilik bangunan adalah orang dalam kota Surakarta, khusus yang

merupakan asli laweyan ada sebanyak 16 SK IMB, dan sebanyak 7 SK IMB yang

terbit merupakan pemohon yang berasal dari luar kota Surakarta, kemudian 27 SK

IMB yang terbit merupakan pemohon yang berasal dari dalam kota Surakarta

namun di luar Kelurahan Laweyan. Berikut tabulasi hasil wawancara dan

quisioner dengan fokus responden di sepanjang Jl. Sidoluhur kelurahan Laweyan

yang terdiri dari 85 responden.

Tabel 5.18 Hasil Quisioner Sub Variabel “Tahun SK IMB”

Sumber: Analisa Penulis, 2018

132
IMB stlh thn
2004
21%

IMB sblm
Tidak ada thn 2004
IMB 12%
59% IMB namun
tdk ada
infromasi
tahun
8%

Gambar 5.19 Diagram Lingkaran persentase kepemilikan IMB di sepanjang


Jl. Sidoluhur Laweyan, Sumber : Analisa Penulis 2018

Data tersebut di atas menunjukkan bahwa sebanyak 48 responden pemilik

bangunan atau sebesar 59,25 % tidak mengantongi IMB. Berdasarkan data

tersebut penulis mencoba menuangkan informasi kepemilikan IMB ke dalam

sebuah peta sebaran kepemilikan IMB, sehingga didapatkan informasi sebagai

berikut :

133
Gambar 5.20 Peta Sebaran Kepemilikan IMB di Jl. Sidoluhur Laweyan
Sumber : Analisa Penulis 2018

Dari peta tersebut diatas sepanjang Jl. Sidoluhur nampak mayoritas

bangunan tidak mengantongi IMB. data ini di overlay dengan peta hasil

gabungan/overlay antara peta fungsi, peta fasad dan peta tahun renovasi,

sedangkan berdasarkan penghitungan dari data quisioner, diperoleh data bahwa

dari sebanyak 66 responden yang melakukan renovasi terdapat 50,77% yang

tidak memiliki IMB atau sebanyak 33 responden. Berikut peta hasil overlay

tersebut :

134
Gambar 5.21 Peta Sebaran Bangunan yang tidak memiliki IMB padahal
mengalami renovasi/pembangunan, Sumber : Analisa Penulis 2018

Pada peta di atas jika dilihat dengan seksama nampak bangunan-bangunan

yang berwarna merah dan kemerahan yang memiliki border/garis tepi berwarna

merah, artinya adalah bangunan yang mengalami renovasi/pembongkaran tidak

memiliki IMB, dengan kata lain sebelum melakukan renovasi/pembongkaran,

pemilik bangunan tidak melakukan permohonan ijin IMB terlebih dahulu. Pada

beberapa bangunan yang tidak mengalami renovasi pun ada yang tidak memiliki

IMB, disimbolkan dengan bangunan berwarna hijau muda memiliki border/garis

tepi berwarna merah. Namun lain halnya dengan data yang diberikan oleh Dinas

Penanaman Modal dan Perizinan terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Surakarta

sebagai berikut :

135
Tabel 5.19 SK IMB yang terbit khusus di Jl. Sidoluhur (2007-2018)

Sumber: DPMPTSP Kota Surakarta, 2007-2018

Pada rentang tahun 2007 sampai dengan 2018 terdapat 16 responden yang

mengaku memiliki IMB, namun lain halnya jika menurut daftar SK IMB dari

DPMPTSP dari tahun 2007- juli 2018 hanya terdapat 5 SK IMB di Jl. Sidoluhur.

Data-data yang didapatkan tersebut menunjukkan bahwa inisiatif warga untuk

mengajukan ijin masih kurang ketika hendak melakukan renovasi/bongkar/bangun

pada bangunannya. Hal tersebut juga dikarenakan IMB adalah aturan yang

melekat pada proses pembangunan/renovasi/bongkar, namun bangunan yang

sudah jadi tidak ada inisiatif bagi pemilik untuk mengajukan IMB.

Dalam tahapan proses perijinan IMB yang menjadi penting adalah adanya

rapat pembahasan sebelum akhirnya diputuskan oleh petugas pengendalian

apakah SK IMB bisa diterbitkan atau di tolak, sehingga penulis menjadikan

notulensi rapat atau berita acara hasil rapat sebagai alat verifikasi untuk

membuktikan apakah dalam proses perijinan IMB khusus di kawasan cagar

budaya sudah memperhatikan kaidah-kaidah konservasi atau belum. Berikut

136
beberapa bukti hasil notulensi dan berita acara rapat pertimbangan permohonan

IMB di Kawasan Cagar Budaya atau Bangunan Cagar Budaya :

Gambar 5.22 Notulensi Rapat Koordinasi Pengajuan IMB Bekas RS


Kadipolo. Sumber : Bidang Pengendalian Ruang, DPUPR, 2017

137
Gambar 5.23 Notulensi Rapat Koordinasi Pengajuan IMB Bekas Gedung
Joeang. Sumber : Bidang Pengendalian Ruang, DPUPR, 2017

Dari dua (2) contoh notulen hasil rapat pembahasan pengajuan IMB pada

bangunan cagar budaya di Kota Surakarta, nampak bahwa petugas pengendalian

sudah mempertimbangkan asaz pelestarian pemanfaatan bagi bangunan cagar

budaya berdasarkan pada amanat Undang-undang no. 11 tahun 2010 tentang

138
Cagar Budaya, dengan tetap mempertimbangkan hasil rekomendasi dari Tim Ahli

Cagar Budaya (TACB). Khusus untuk kasus permohonan ijin IMB belum pernah

ada rapat pertimbangan dalam hal ijin pembangunan/renovasi rumah tinggal di

Laweyan. Penulis mendapatkan beberapa contoh notulen hasil rapat dari arsip

DPMPTSP Kota Surakarta seperti yang terlihat pada lampiran 5.

Dari notulensi sidang TABG tersebut dapat dilihat bahwa rapat

pembahasan pembangunan hotel 9 (sembilan) lapis di Laweyan ada beberapa poin

yang menjadi masukan bangunan/kawasan cagar budaya, padahal idealnya harus

ada rapat sidang pembahasan dengan Tim Ahli Cagar Budaya karena bangunan

ini akan dibangun di kawasan cagar budaya. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua

TACB berikut:

“ketika pembangunan apa pun yang bersinggungan dengan


bangunan atau kawasan cagar budaya itu harus melibatkan
TACB, sudah diatur juga dalam Permen PU no. 1 tahun 2015
tentang Bangunan Gedung yang dilestarikan”
(Wawancara dengan Ketua TACB Dr. Titis Srimuda Pitana Ketua TACB Kota
Surakarta. Tanggal 17 Desember 2018)

Rencana pembangunan hotel ini menuai protes dari masyarakat dan TACB

karena dianggap tidak memuliakan Laweyan sebagai kampung yang islami

sekaligus kawasan cagar budaya. Namun IMB tetap diterbitkan dan pembangunan

terus dilaksanakan.

Salah satu yang menjadi kendala dalam pengendalian pemanfaatan ruang

terutama perijinan (IMB) adalah karena dibebani target PAD setiap triwulannya,

sehingga menjadikan petugas pengendalian tidak dapat berfokus penuh pada

perwujudan tertib tata ruang dan pelestarian bangunan/kawasan cagar budaya.

Seperti yang diungkapkan oleh petugas berikut:

139
“yang menjadi masalah di pengendalian itu adalah adanya target
retribusi yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan di
pengendalian. Ketika menentukan target, DPRD mengaharuskan
target retribusi IMB itu harus naik terus tiap tahunnya, padahal
logikanya kan ndak bisa begitu. Jika kekeliruan dalam penentuan
target retribusi tiap tahunnya itu tidak disadari, maka kita akan
terjebak melakukan kesalahan yang sama terus menerus”
(Wawancara dengan Ir. Yoga Purwanto, MT, Kabid Pengendalian Pemanfaatan
Ruang DPUPR. Tanggal 12 Juli 2018)
Berdasarkan data-data yang didapatkan dapat disimpulkan bahwa

pelaksanaan perijinan (IMB) belum optimal dalam mengendalikan perubahan fisik

di kawasan cagar budaya Laweyan. Hal tersebut disebabkan karena inisiatif warga

yang tinggal di Laweyan untuk mengajukan IMB masih rendah, proses perijinan

IMB tidak pernah melibatkan TACB dalam rapat-rapat pertimbangan dan adanya

kendala dalam mewujudkan tertib tata ruang karena dibebani dengan target

retribusi/PAD.

5.2.4. Penerapan Insentif

Terdapat beberapa peraturan yang memayungi upaya pemberian insentif

dan disinsentif dalam pemanfaatan bangunan cagar budaya ataupun kawasan

cagar budaya, seperti pada kutipan peraturan berikut:

1. Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 22

ayat (2) :

Insentif berupa pengurangan pajak bumi bangunan dan/atau pajak penghasilan

dapat diberikan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah kepada pemilik

Cagar Budaya yang telah melakukan Pelindungan Cagar Budaya sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

140
2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI Nomor

01/PRT/M/2015 tentang Bangunan Gedung Cagar Budaya Yang Dilestarikan,

pasal 30 ayat (4) butir (a) :

Keringanan Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang dapat diberikan kepada

pemilik dan/atau pengelola bangunan gedung cagar budaya, setelah dilakukan

tindakan pelestarian, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-

undangan, yaitu pada bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan untuk

kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu.

3. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi

dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, pasal 3 ayat (3) c :

(3) Obyek Pajak yang tidak dikenakan pajak adalah obyek pajak yang :

c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan

itu

4. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 10 tahun 2013 tentang Pelestarian

Cagar Budaya, pasal 15 ayat (1) dan (2) :

(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya berhak

memperoleh kompensasi dan insentif apabila telah melakukan

kewajibannya melindungi Cagar Budaya.

(2) Insentif berupa Pajak Bumi dan Bangunan dapat diberikan oleh

Pemerintah Daerah kepada pemilik Cagar Budaya yang telah melakukan

perlindungan cagar budaya di Daerah.

Peraturan-peraturan tersebut sudah mengatur upaya pemberian insentif

bagi pemilik bangunan cagar budaya yang mau melestarikan bangunannya namun

141
sayangnya peraturan-peraturan tersebut belum tersosialisasikan menyeluruh

kepada masyarakat luas, sehingga masyarakat belum bisa memanfaatkan insentif

yang menjadi hak nya ketika memilih untuk melestarikan bangunan cagar budaya

miliknya.

Ada satu kasus permohonan keringanan pajak seperti yang disampaikan

oleh salah satu petugas Bidang Cipta Karya yang pada saat sebelum dibentuknya

SOTK baru beliau masih bertugas sebagai petugas di DTRK Kota Surakarta:

“Sebenarnya pemilik bangunan kuno atau cagar budaya boleh


mengajukan keringanan atau penghapusan pajak, peraturannya
juga ada, tahun 2016 waktu masih di DTRK pernah ada
permohonan keringanan pajak dari pemilik dan pengelola
bangunan rumah batik Go Tik Swan, saat itu kami buatkan surat
permohonan kepada Walikota dan kami bantu mengurusnya
dengan DPPKAD”
(Wawancara dengan Bapak Kayato Hardani, Bidang Cipta Karya, DPUPR
Kota Surakarta, Tanggal 16 Juli 2018)

Namun lain hal nya dengan hasil wawancara dengan beberapa petugas

pengendalian, didapatkan informasi bahwa selama ini belum pernah ada

diterapkannya insentif dan disinsentif dan peraturannya yang membahas secara

spesifik juga belum ada.

“Terkait insentif dan disinsentif, belum pernah ada yang


diterapkan, namun sudah sering disinggung dalam berbagai forum
tentang pentingnya insentif dan disinsentif pengendalian
pemanfaatan ruang”
(Wawancara dengan Bapak Adjie Anggoro Bidang Pengendalian DPUPR Kota
Surakarta, Tanggal 12 Juli 2018)

Hal senada juga disampaikan oleh petugas di Bidang Perizinan

Pekerjaan Umum DPMPTSP Kota Surakarta bahwa :

“Belum pernah ada aturan yang mengatur tentang insentif dan


disinsentif dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang”

142
(Wawancara dengan Bapak Rohmat Haryanto, DPMPTSP Kota Surakarta,
Tanggal 11 juli 2018)
Beberapa petugas pengendalian menyadari pentingnya insentif dan

disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang, namun mereka mengaku

masih terkendala dengan sistem pengendalian terutama perizinan IMB yang

sering kali belum adil terhadap warga. Dari hasil wawancara tersebut dapat

disimpulkan bahwa petugas pengendalian sendiri belum menyadari adanya

peraturan tentang pemberian keringanan pajak bagi pemilik bangunan cagar

budaya seperti yang diatur dalam Perda Kota Surakarta No. 13 tahun 2011 tentang

pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan pasal 3 ayat 3 (c).

Berdasarkan hasil wawancara dan data-data sekunder yang didapatkan

oleh penulis, pemberian insentif dan disinsentif belum di prioritaskan dalam

pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang terutama dalam upaya pelestarian

bangunan cagar budaya, jika menurut undang-undang no. 26 tahun 2007 tentang

penataan ruang pada pasal 38 ayat 2 menyebutkan bahwa insentif dalam cakupan

pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang dapat berupa :

a. Keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, sewa ruang,

dan urun saham;

b. Pembangunan serta pengadaan infrastruktur;

c. Kemudahan prosedur perizinan; dan/atau

d. Pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau

pemerintah daerah.

Yang pernah dilakukan oleh pemerintah baru sebatas pada pemberian

keringan atau penghapusan pajak bumi dan bangunan, belum sampai pada bentuk-

143
bentuk insentif yang lainnya. Begitu pula dengan disinsentif, petugas

pengendalian mengaku belum pernah ada dilaksanakannya bentuk-bentuk

disinsentif dalam hal pemanfaatan ruang di Kota Surakarta seperti yang tercantum

dalam undang-undang no. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang bahwa

disinsentif merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau

mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, berupa:

a. Pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya

yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat

pemanfaatan ruang; dan/atau

b. Pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan

penalti.

Sedangkan dari warga kampung Laweyan sendiri sebagian besar mengaku

bahwa mereka memilih untuk menjual bangunan-bangunan peninggalan leluhur

mereka atau dibagi-bagi pada anak cucu nya karena tidak kuat dari segi finansial

jika harus menanggung biaya perawatan yang cukup besar, belum lagi pajak-pajak

yang harus dikeluarkan setiap tahunnya. Alasan warga laweyan yang memilih

untuk mempertahankan bangunan asli milik leluhurnya adalah karena mereka

mendapat wasiat dari leluhurnya untuk menjaga dan mempertahankan

bangunannya, selain itu mereka memang termasuk kalangan yang mampu untuk

membiayai pengeluaran untuk pemeliharaan bangunan dan pajak-pajak, seperti

yang diungkapkan oleh narasumber berikut ini :

”Saya mempertahankan bangunan ini pertama karena mengingat


pesan dan amanat orang tua saya untuk menjaga bangunan ini,
yang kedua karena saya masih mampu untuk memelihara
bangunan dan membayar pajak PBB, saya tidak mau meminta

144
insentif kepada pemerintah karena saya sungkan untuk meminta-
minta terlebih kepada pemerintah Kota Solo”
(Wawancara dengan Bapak Muh. Anwar Muhtadi, pemilik rumah nomor 63 Jl.
Sidoluhur Laweyan, Tanggal 27 Oktober 2018)
Melihat kondisi tersebut Laweyan menjadi sangat rentan terhadap

hilangnya aspek fisik yang merupakan nilai penting Laweyan sebagai kawasan

cagar budaya di Surakarta. Seharusnya pemerintah bisa lebih memprioritaskan

Laweyan dengan upaya-upaya konservasi salah satunya melalui pemberian

insentif bagi masyarakat, agar masyarakat lebih terdorong untuk mempertahankan

bangunannya, karena menjadi lebih terbantu dalam hal perawatan bangunan,

keringanan pajak atau pendampingan untuk pengembangan. Namun sayangnya

hal tersebut masih belum dapat dilakukan secara optimal oleh Pemerintah Kota

Surakarta. Seperti yang disampaikan oleh Ketua FPKBL berikut:

“Laweyan itu kurang apa coba, sudah ditetapkan sebagai kawasan


cagar budaya tahun 2010, kemudian pada tahun 2016 dalam SK
Menteri Pariwisata ditetapkan sebagai salah satu dari 51 obyek
vital Nasional. Tapi selama ini pemerintah belum concern di sini,
belum memprioritaskan Laweyan. Harapannya Laweyan bisa lebih
baik lagi kalo pemerintah mau all out untuk Laweyan. Kalau
pemerintah benar-benar perhatian, Laweyan potensi arkologisnya
luar biasa. Pemerintah harusnya bisa membiayai untuk benar-
benar diteliti kemudian dikonservasi, direvitalisasi secara benar.”
(Wawancara dengan Bapak Ir. Alpha Febela Priyatmono, MT. Ketua FPKBL.
Tanggal 26 Juli 2018)
Dari data yang didapatkan melalui kuisioner bahwa sebagian besar sudah

banyak yang melakukan renovasi pada bangunan lawasnya yaitu sebesar 61, 25%,

hal tersebut dikarenakan mereka yang mewarisi bangunan dari orang tuanya

memiliki kondisi ekonomi yang tidak sama satu dengan yang lain sehingga persil

induk dibagi-bagi sesuai dengan jumlah keturunannya, yang pada akhirya ada

yang dijual kepada orang luar kota, direnovasi menjadi showroom batik, dibuat

145
kost-kostan, café, warung dan lain sebagainya. Hal tersebut juga diungkapkan

oleh ketua RT di Kampung Laweyan sebagai berikut :

“Pada dasarnya warga memaklumi Laweyan sebagai kawasan


cagar budaya, namun kembali lagi terkait hak untuk menjual,
merenovasi, membongkar dan membangun merupakan hak warga,
karena merupakan kepemilikan pribadi atau privat”
(Wawancara dengan Bapak Arif Yulianto, Ketua RT 03 Setono Laweyan, Tanggal
27 Oktober 2018)
Upaya pemberian insentif dari pemerintah dengan bentuk keringan pajak

PBB ternyata tidak tersampaikan secara luas kepada seluruh lapisan masyarakat,

dan bentuk insentif baru sebatas keringanan PBB dan kemudahan infrastruktur

untuk menunjang kegiatan wisata belanja di Laweyan melalui kegiatan penataan

kawasan Laweyan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Surakarta pada tahun

2005 belum sampai pada penganggaran secara khusus insentif terkait pelestarian

bangunan/kawasan cagar budaya. Seperti yang tercantum dalam hasil kuisioner

terkait insentif berikut :

Tabel 5.20. Hasil kuisioner jenis insentif yang diterima oleh warga di
sepanjang Jl. Sidoluhur Laweyan
Jenis Insentif Jumlah Persentase
penerima
Kemudahan Administrasi 4 5,33 %
Keringanan Pajak 4 5,33 %
Kemudahan Akses Infrastruktur 40 53,33 %
Kemudahan Adm dan Akses Infrastruktur 13 17,33 %
Kemudahan Administrasi, Keringanan Pajak dan 4 5,33 %
Infrastruktur
Tidak Menerima 10 13,33 %
Total 75 100 %
Sumber: Analisa Penulis, 2019

146
Pada tabel di atas menunjukkan bahwa sebesar 53,33 % dari 75 responden

mengaku menerima insentif berupa kemudahan akses infrastruktur yang

merupakan kegiatan penataan kawasan Laweyan yang dilaksanakan oleh

Pemerintah Kota Surakarta untuk menunjang kegiatan wisata belanja di Laweyan.

Kemudian diikuti oleh penerima kemudahan administrasi dan kemudahan akses

infrastruktur sebesar 13,33 %. Sedangkan yang mengaku menerima keringanan

pajak hanya sebesar 5,33 % atau hanya sebanyak 4 responden. Hal tersebut

dikarenakan sebanyak 63 responden atau sebesar 81,82 % dari 77 responden

mengaku tidak merasa mendapatkan informasi terkait keringanan pajak bagi yang

melestarikan bangunan kuno seperti yang terlihat pada tabel berikut:

Tabel 5.21. Hasil kuisioner warga yang mendapatkan informasi kerinnganan


pajak
Mendapatkan informasi Jumlah penerima Persentase
keringanan Pajak
Mendapatkan 14 18,18 %

Tidak Mendapatkan 63 81,82 %

Total 77 100 %
Sumber: Analisa Penulis, 2019
Sedangkan dilain pihak pemilik bangunan kuno yang memiliki

kemampuan finansial untuk memelihara dan membayar pajak mereka merasa

sungkan dan malu jika harus menuntut hak nya berupa insentif kepada Pemerintah

Kota Surakarta.

5.2.5. Penerapan Sanksi

Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang di Kota Surakarta mengacu

pada Perda Kota Surakarta no. 8 tahun 2016 tentang Bangunan Gedung dan Perda

147
Kota Surakarta no. 1 tahun 2012 tentang RTRW, sedangkan upaya-upaya

pelestarian cagar budaya diatur dalam Perda Kota Surakarta no. 10 tahun 2013

tentang Pelestarian Cagar Budaya. Berikut hasil kutipan peraturan terkait sanksi di

dalam peraturan-peraturan tersebut.

Tabel 5.22 Kutipan amanat “sanksi” di dalam perda

1. Perda no. 8/2016 ttg Bangunan Gedung

BAB X SANKSI ADMINISTRATIF


Pasal 110
Sanksi Administratif, berupa :
a. Peringatan tertulis
b.Penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan
pembangunan
c. Pembekuan IMB
d.Pencabutan IMB; dan/atau
e. Perintah pembongkaran Bangunan Gedung
Pasal 111 ayat (1)
Setiap pemilik bangunan gedung yang melanggar ketentuan Pasal 12 ayat
(1) dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis
menghentikan pelaksanaan pembangunan bangunan gedung sampai
terbitnya IMB.
2. Perda no. 1/2012 ttg RTRW Kota Surakarta

Sanksi
Pasal 92
Pelanggaran terhadap pemanfaatan ruang berbentuk :
a. Pelanggaran ketentuan umum peraturan zonasi di daerah;
b. Pemanfaatan ruang tanpa izin yang diterbitkan berdasarkan RTRW;
c. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan izin yang diterbitkan
berdasarkan RTRW;
d. Pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin yang
diterbitkan berdasarkan RTRW;
e. Pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang
oleh pengaturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum;
dan
f. Pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengn prosedur yang
tidak benar.
Pasal 93
1) Pelanggaran terhadap pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada
Pasal 92 dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana

148
2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan kepada
perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan pelannggaran sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) Sanksi admisnitratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk
:
a. Peringatan tertulis
b. Penghentian sementara pelayanan umum;
c. Penutupan lokasi
d. Pencabutan izin;
e. Pembatalan izin;
f. Pembongkaran bangunan;
g. Pemulihan fungsi ruang; dan/atau
h. Denda administratif
3. Perda no. 10/2013 ttg Pelestarian Cagar Budaya

BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF
Teguran
Pasal 84
1) Walikota berwenang untuk memberikan teguran, apabila terdapat
kegiatan penyelenggaraan pengelolaan serta pemugaran dan pemulihan
kawasan dan/atau bangunan Cagar Budaya yang mengganggu
ketertiban umum dan/atau lingkungan sekitar.
2) Surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat:
a. Ketentuan hokum yang dilanggar
b. Uraian fakta yang menggambarkan suatu tindakan pelanggaran
c. Hal-hal yang perlu dilakukan oleh pihak pelanggar
d. Tindakan pemerintah daerah yang akan dilakukan jika pelanggar
tidak mematuhi teguraan dan
e. Hal lain untuk menghentikan tindakan pelanggaran
Pasal 85
Walikota berwenang melakukan tindakan tertentu untuk menghentikan
pelanggaran tanpa didahului dengan teguran apabila:
a. Keadaan yang sangat segera mengancam keselamatan umum
dan/atau lingkungan (force majeur); dan/atau
b. Pihak pelanggar tidak memiliki kemampuan untuk mencegah dan
menanggulangi bahaya, gangguan, dan ketugian yang akan
ditimbulkan.
Penghentian Kegiatan Pemanfaatan
Pasal 86
1) Walikota berwenang untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan
kawasan dan/atau bangunan cagar budaya apabila:
a. Pemanfaatan bangunan cagar budaya menyebabkan kerusakan
fasade bangunan; dan/atau
b. Menyalahi izin

149
2) Penghentian kegiatan pemanfaatan kawasan dan/atau bangunan cagar
budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
keputusan penghentian.
3) Keputusan penghentian kegiatan pemanfaatan dikeluarkan oleh
Walikota
4) Walikota dapat melimpahkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) kepada pejabat yang ditunjuk.
5) Terhadap bangunan yang dihentikan kegiatan pemanfaatannya
dilakukan penyegelan.
Penghentian Kegiatan Pemugaran dan/atau pembongkaran
Pasal 87
1) Walikota berwenang untuk menghentikan kegiatan pemugaran dan/atau
pembongkaran kawasan dan/atau Bangunan Cagar Budaya apabila:
a. Pemugaran dan/atau pembongkaran bangunan cagar budaya
menyebabkan kerusakan fasade bangunan; dan/atau
b. Belum memiliki izin membongkar dan/atau memugar.
2) Penghentian kegiatan pembongkaran dan/atau pemugaran kawasan
dan/atau bangunan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan keputusan Penghentian
3) Keputusan penghentian kegiatan pemugaran dan/atau pembongkaran
bangunan dikeluarkan oleh Walikota atau Pejabat yang ditunjuk
4) Terhadap bangunan yang dihentikan kegiatan pemugaran dan/atau
pembongkara dilakukan penyegelan
Pencabutan Izin
Pasal 88
1) Walikota atau pejabat yang ditunjuk wajib mencabut izin yang terkait
dengan izin pemanfaatan, pemugaran dan pembongkaran apabila
pemegang izin tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan
dalam izin dan/atau peraturan perundang-undangan
2) Keputusan pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat dengan jelas dan tegas :
a. Alasan-alasan hokum sehingga dilakukan pencabutan
b. Uraian fakta-fakta yang menunjukkan pelanggaran; dan
c. Akibat hukum dari pencabutan izin.
Sumber: Perda no 8/2016, Perda no. 1/2012 dan Perda no. 10/2013

Dalam amanat peraturan-peraturan diatas bentuk sanksi terhadap

pelanggaran pemanfaatan ruang bisa bemacam-macam sesuai dengan tingkat

pelanggarannya, namun yang sering diterapkan di Pemerintah Kota Surakarta baru

sebatas penerbitan SP1, SP2, dan SP3, seperti yang disampaikan oleh salah satu

petugas senior di bidang pengendalian ruang DPUPR sebagai berikut:

150
“Terkait sanksi, sudah pernah dilakukan berupa sanksi
administratif SP1, SP2, dan SP3. Namun belum pernah sampai
dilakukan pembongkaran. Biasanya SP1, SP2, SP3 ditujukan bagi
pelanggaran berupa bangunan yang sudah terlanjur dibangun
namun belum memiliki IMB”
(Wawancara dengan Bapak Adjie Anggoro, ST, MT, Bidang Pengendalian
DPUPR Kota Surakarta, Tanggal 12 Juli 2018)

SP1 lebih bersifat persuasif atau ajakan untuk segera mengajukan IMB,

SP2 sifatnya berupa perintah penghentian kegiatan sementara, sedangkan SP3

berupa teguran yang lebih tegas dari Kepala Dinas. Berikut contoh SP1 dan SP2

yang didapatkan dari arsip DPUPR Kota Surakarta :

Gambar 5.24 Contoh arsip SP1 dan SP2 yang sudah pernah diterbitkan
Sumber: Bidang Pengendalian Pemanfaatan Ruang DPUPR, 2018

Sanksi bagi pelanggaran di Kawasan Cagar Budaya belum pernah

dilakukan seperti yang disampaikan oleh salah satu petugas pengendalian di

DPMPTSP Kota Surakarta:

151
“Terkait sanksi belum pernah terjadi untuk di kasus Cagar
Budaya, sanksi yang pernah dilaksanakan adalah baru sebatas
pelanggaran pada GSB dan GSJ, berupa surat peringatan”
(Wawancara dengan Bapak Rohmat Haryanto, ST, Bidang Perizinan Pekerjaan
Umum DPMPTSP Kota Surakarta, Tanggal 11 Juli 2018)

Padahal jika melihat dilapangan khususnya kasus di Kampung Laweyan,

dari 63 pemilik bangunan di sepanjang Jl. Sidoluhur yang melakukan renovasi

pada bangunan aslinya terdapat 33 responden yang mengaku tidak memiliki IMB,

belum lagi ketika melihat data dari DPMPTSP bahwa hanya terdapat 5 SK IMB

yang terbit dari total ada 85 pemilik bangunan yang berada di Jl. Sidoluhur

Laweyan.

5.2.6. Pengawasan dan Penertiban

Upaya pengendalian pemanfaatan ruang melalui pengawasan dan

penertiban sudah rutin dilaksanakan oleh para petugas pengendalian dalam hal ini

adalah petugas di Bidang Pengendalian Ruang DTRK Kota Surakarta, dimana tim

penertiban terdiri dari berbagai unsur, berdasarkan SK Kepala Dinas tata Ruang

Kota Surakarta Nomor: 650/ /VI/2016 tentang tim penertiban Bangunan Gedung

Kota Surakarta Tahun 2016 dalam lampiran 6 keanggotaan tim penertiban

bangunan gedung Kota Surakarta terdiri dari unsur-unsur meliputi:

“Instansi Pembina penyelenggaraan bangunan gedung, Pejabat


fungsional teknik tata bangunan dan perumahan, dan/atau pejabat
fungsional lainnya yang terkait, yang mempunyai sertifikat
keahlian dan Instansi pemerintah daerah dan/atau Pemerintah
Lainnya yang berkompeten dalam memberikan pertimbangan di
bidang bangunan gedung, serta terkait dengan penyelenggaraan
kegiatan tugas pokok dan fungsi masing-masing”

Berdasarkan ketentuan tersebut DTRK Kota Surakarta melibatkan Kepala

Dinas DTRK, beberapa Kepala Seksi DTRK, Staf DTRK, Kepala Satpol PP, Staf

152
Satpol PP, dan perwakilan dari masing-masing wilayah kecamatan dan kelurahan

se-Surakarta. Tim penertiban bangunan gedung tersebut bertugas melaksanakan

pengawasan di lapangan terhadap kegiatan-kegiatan pembangunan/renov/bongkar

yang belum ber-ijin maupun bangunan yang sudah berdiri namun belum memiliki

IMB. Pada tahun 2012 sampai pada tahun 2013 dianggarkan honor per laporan

lapangan bagi tim penertiban bangunan gedung, namun sejak tahun 2015 sudah

tidak dianggarkan lagi sehingga menurut petugas pengendalian ruang hal itulah

yang menyebabkan tim penertiban tidak lagi bersemangat dalam melakukan

laporan pengawasan pemanfaatan ruang di lapangan.

“tahun 2012-2014 dianggarkan honor bagi tim pengawasan dan


penertiban bangunan gedung makanya mereka dulu bersemangat
monitoring ke lapangan, kalau sekarang sudah tidak dianggarkan
lagi karena dianggap sudah merupakan tupoksi kami bidang
pengendalian, makanya sejak itu tim jadi loyo”
(Wawancara dengan Bapak Adjie Anggoro, Bidang Pengendalian Pemanfaatan
Ruang, DPUPR Kota Surakarta. Oktober 2018)

Sedangkan tugas pokok dan fungsi Bidang Pengendalian Pemanfaatan

Ruang DPUPR Kota Surakarta per Maret 2018 adalah pengawasan dan penertiban

yang berupa :

a. Menanggapi aduan masyarakat terkait permasalahan tata ruang

b. Melakukan pengawasan terkait kesesuaian dengan SK IMB yang terbit

c. Melakukan Patroli Ruang

Di Bidang Pengendalian Pemanfaatan Ruang DPUPR Kota Surakarta

setiap tahunnya menganggarkan biaya penyusunan Dokumen Monitoring

Pengendalian Pemanfaatan Ruang untuk setiap kecamatan di Kota Surakarta,

153
namun untuk Kecamatan Laweyan belum dianggarkan untuk penyusunan

dokumennya.

Gambar 5.25 Jadwal Patroli Ruang di Bulan Juli 2018


Sumber: Bidang Pengendalian Pemanfaatan Ruang DPUPR, 2018

Jadwal patroli diatas belum dapat dilaksanakan secara optimal karena

kurangnya tenaga untuk melakukan monitor ke lapangan, sehingga dirasa perlu

untuk melibatkan personil dari Kecamatan. Namun sayangnya karena keterbatasan

anggaran baru bisa melibatkan petugas di dua Kecamatan saja, Kecamatan

154
Laweyan dan Dinas Kebudayaan Kota Surakarta belum dilibatkan dalam tim

pengawasan, seperti yang diungkapkan oleh salah satu petugas sebagai berikut:

”pengawasan kita belum optimal menjalankan jadwal yang sudah


disusun, karena personil kita cuma 4 orang, kemarin sudah coba
membentuk tim pengawasan bangunan yang melibatkan personil
dari wilayah namun baru bisa melibatkan Kecamatan Serengan
dan Kecamatan Pasar Kliwon, karena masih terkendala dengan
dana”
(Wawancara dengan Bapak Adjie Anggoro Bidang Pengendalian Pemanfaatan
Ruang, DPUPR Kota Surakarta. Tanggal 22 Desember 2018)

Dinas Kebudayaan Kota Surakarta mengemban tugas pokok dan fungsi

salah satunya adalah perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pelestarian

dan perlindungan warisan budaya serta revitalisasi, perlindungan dan pemanfaatan

cagar budaya. Sehingga penting untuk melibatkan personil Dinas Kebudayaan ke

dalam kegiatan pengawasan dan penertiban terutama di kawasan cagar budaya.

Sayangnya personil di Dinas Kebudayaan hanya terdapat 1 (satu) orang saja yang

merupakan sarjana arkeologi, hal tersebut sangat disayangkan karena untuk

menunaikan tugas pokok dan fungsi seperti yang disebutkan diatas sangat

dibutuhkan personil yang benar-benar memahami nilai penting dari suatu

bangunan/kawasan cagar budaya. Tugas pokok dan fungsi tersebut hanya dapat

berjalan dengan optimal jika dijalankan oleh orang-orang yang paham nilai

penting dari suatu bangunan/kawasan cagar budaya. Sama halnya dengan yang

disampaikan oleh ketua TACB sebagai berikut:

”Pemerintah seharusnya bisa menempatkan secara tepat


tenaga/personil yang sesuai dengan kemampuannya.
Tempatkanlah orang-orang yang paham sejarah dan cagar
budaya di Dinas Kebudayaan, atau lulusan arsitektur yang benar-
benar concern dengan cagar budaya. Dulu sudah ada arkeolog
yang oke tapi dipindah ke DPU, ada lulusan arsitektur yang
concern cagar budaya tapi malah di pindah ke bidang penyusunan

155
program di Bappeda. Dengan adanya tenaga-tenaga yang
berkapasitas, Dinas Kebudayaan bisa lebih tegas ketika terjadi
hal-hal yang menyimpang dari kaidah pelestarian cagar budaya,
kalo perlu personil Dinas Kebudayaan turut serta dalam tim
156atrol ruang”
(Wawancara dengan Bapak Dr. Titis Srimuda Pitana, Ketua TACB Kota
Surakarta. Tanggal 17 Desember 2018)

Menurut petugas di bidang pengendalian DPUPR salah satu yang

menjadi kendala dari petugas di bidang pengendalian DPUPR ketika hendak

melakukan pengawasan IMB dilapangan adalah belum terintegrasinya data

mengenai SK IMB yang sudah terbit di DPMPTSP dengan DPUPR, sehingga

membuat petugas pengawasan ragu apakah objek dilapangan sudah ber IMB atau

belum. Menurut petugas pengendalian di DPUPR hal ini terjadi karena tupoksi

156 atrol 156 trative perijinan mulai dari pengajuan permohonan IMB sampai

penerbitan SK IMB berada di instansi yang berlainan dengan instansi yang

mengemban tupoksi pengawasan dan penertiban ruang, sehingga jika tidak ada

koordinasi dan integrasi data yang baik antar kedua instansi tersebut maka proses

pengendalian secara keseluruhan menjadi berjalan tidak optimal.

Pihak Kelurahan Laweyan sebagai aparat pengawasan yang terdekat

dengan warga juga belum optimal dalam melakukan pengawasan atau pemantauan

terhadap pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh warga disekitarnya, seperti yang

disampaikan oleh Lurah laweyan sebagai berikut :

“petugas kami juga melakukan 156 atrol IMB, jadwalnya tidak


tentu, sepertinya dulu sebulan sekali kami melaporkan ke DTRK
dan sekarang ke DPMPTSP, karena petugas kelurahan tidak
punya wewenang untuk menghentikan secara langsung proyek
yang berlangsung”
(Wawancara dengan Bapak Yuyuk, Lurah Laweyan, Tanggal 19 Juli 2018)

156
Informasi dari quisioner kepada pemilik bangunan di Jl. Sidoluhur

Laweyan, sebanyak 57 responden atau sebesar 71,25% dari 80 responden

mengaku tidak pernah melihat ada petugas pengendalian ruang dari Pemerintah

Kota Surakarta melakukan pengawasan atau penertiban di Kampung Laweyan,

sedangkan sebanyak 23 orang atau sebesar 28,75% mengaku jarang melihat. Jadi

jika dibandingkan dengan keterangan-keterangan dari petugas pengendalian

seperti yang sudah dijelaskan di 157ocal157aph sebelumnya, maka pengawasan

dan penertiban yang dilakukan oleh para petugas tersebut belum optimal dalam

mengendalikan perubahan fasad bangunan kuno di Kawasan Cagar Budaya

Kampung Laweyan, padahal 59,25% bangunan di Jl. Sidoluhur belum memiliki

IMB dan data dari DPMPTSP tahun 2007 sampai 2018 hanya ada 5 bangunan

yang memiliki IMB.

5.2.7. Edukasi kepada Masyarakat

Masyarakat memiliki peran yang penting dalam pengendalian ruang

terutama dalam hal pengawasan, seperti yang diamanatkan dalam Pasal 82 poin 4

Perda no. 10 tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya bahwa masyarakat ikut

berperan serta dalam pengawasan pelestarian cagar budaya. Oleh karena itu

penting untuk memberikan pengetahuan dan infromasi kepada masyarakat tentang

ciri-ciri bangunan cagar budaya dan pentingnya pelestarian bangunan cagar

budaya bagi ilmu pengetahuan dan keberlanjutan warisan budaya 157ocal bagi

anak cucu di masa yang akan datang, terutama bagi masyarakat yang tinggal di

Kawasan Cagar Budaya. Senada dengan yang disampaikan oleh ketua FPKBL

berikut:

157
“terkait konservasi antara teori di akademik, pemerintah dan
masyarakat itu ndak pernah bisa sinkron, karena masyarakat itu
ndak paham konservasi. Sehingga jadi penting itu mengedukasi
masyarakat tentang pentingnya cagar budaya, salah satunya
dengan memberi pemahaman bahwa dengan tetap
mempertahankan fasad bangunannya masyarakat tetap bisa
meningkatkan income/usahanya, jadi tidak harus dibongkar. Yang
penting itu mereka harus paham bahwa Laweyan itu uniknya
diartefak-artefak seperti bangunan-bangunan kuno, tembok tinggi
dan regol nya”.
(Wawancara dengan Bapak Ir. Alpha Febela Priyatmono, MT, Ketua Forum
Pengembangan Kampung Batik Laweyan. Tanggal 26 Juli 2018)
Salah satu tugas pokok dan fungsi dari Dinas Kebudayaan adalah

“melaksanakan koordinasi dan fasilitasi peran serta masyarakat dalam

pelaksanaan perlindungan dan pemanfaatan cagar budaya dan museum”,

berdasarkan data yang didapatkan dari Dinas Kebudayaan, bahwa Pemerintah

Kota Surakarta melalui Dinas Kebudayaan sudah pernah melakukan sosialisasi

Rencana Aksi Kota Pusaka (RAKP) di tahun 2016 dan sosialisasi mengenai

pengelolaan museum yang diadakan setiap tahun untuk meningkatkan jumlah

kunjungan di museum Kota Surakarta. Dalam acara sosialisasi RAKP tersebut

tanggapan peserta cukup antusias hal tersebut mengambarkan bahwa masyarakat

Kota Surakarta cukup peduli dengan bangunan cagar budaya, berikut beberapa

daftar pertanyaan dari peserta sosialisasi RAKP 2016 :

158
Gambar 5.26 Daftar Pertanyaan dari Peserta Sosialisasi RAKP Tahun
2016. Sumber: Dinas Kebudayaan, 2018

Menurut pernyataan salah satu petugas di Bidang Pelestarian Cagar

Budaya Bapak Hardani bahwa pelaksanaan sosialisasi RAKP baru diadakan

sekali, dan sejak tahun 2016 belum pernah diadakan lagi, padahal berdasarkan

masukan para peserta RAKP bahwa sosialisasi terkait pentingnya pelestarian

cagar budaya harus lebih intensif lagi kepada masyarakat luas.

159
Gambar 5.27 Suasana acara sosialisasi RAKP tahun 2016 di Soga Resto
Surakarta. Sumber: Dinas Kebudayaan Kota Surakarta

Sedangkan terkait Kampung Laweyan sudah ada inisiatif dari beberapa

pihak untuk memberi pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya pelestarian

bangunan kuno di Kampung Laweyan Lurah Laweyan menyampaikan bahwa :

“Ketua FPKBL Bapak Alpha Fabela Priyamono pernah


melakukan edukasi untuk memberi pemahaman betapa pentingnya
melestarikan bangunan kuno kepada para warga pemilik
bangunan di Kampung Laweyan kalau tidak salah di tahun 2006
atau 2007 melalui acara khusus yang diadakan di pendopo
Kelurahan”
(Wawancara dengan Bapak Yuyuk, Lurah Laweyan, Tanggal 19 Juli 2018)

Lurah Laweyan juga menambahkan hal yang senada yaitu :

“setiap tahun melalui acara Musrenbang Kelurahan selalu


disampaikan kepada warga akan pentingnya pelestarian bangunan
cagar budaya di Kampung Laweyan, bahkan setiap bulan melalui
acara pertemuan rutin tingkat Rukun Tetangga (RT) selalu
disampaikan himbauan itu, namun belum ada tanggapan yang
serius dari warga karena sebagian besar hadir dalam pertemuan
hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban saja”

160
(Wawancara dengan Bapak Yuyuk, Lurah Laweyan, Tanggal 19 Juli 2018)

Hal serupa juga disampaikan oleh mantan petugas Bidang Pelestarian

Bangunan dan Kawasan Cagar Budaya, DTRK Kota Surakarta bahwa:

”Pernah dilakukan sosialisasi tentang Undang-undang dan perda


Kota Surakarta tentang pelestarian cagar budaya di Kelurahan
Laweyan kira-kira 3 (tiga) kali”
(Wawancara dengan Bapak Kayato Hardani, Bidang Cipta Karya, DPUPR Kota
Surakarta, Tanggal 16 Juli 2018)

Dari beberapa hal yang disampaikan oleh narasumber dan data yang

diperoleh oleh penulis, upaya mengedukasi masyarakat untuk lebih memahami

akan pentingnya pelestarian cagar budaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota

Surakarta belum optimal dalam memanfaatkan sumber daya media yang ada,

kegiatan sosialisasi melalui forum sudah beberapa kali diselenggarakan namun

masih kurang intensif, melalui media cetak, dan elektronik juga belum ada.

5.2.8. Peran Tim Ahli Cagar Budaya

Pada tahun 2015 untuk pertama kalinya Kota Surakarta membentuk Tim

Ahli Cagar Budaya melalui SK Walikota Surakarta no. 432.05/39.1/2015 tentang

Tim Ahli Cagar Budaya lampiran 7 yang terdiri dari tujuh (7) dimana dua (2)

orang berasal dari unsur pemerintahan, dua akademisi, dua perwakilan asosiasi

profesi, serta satu perwakilan dari lembaga swadaya masyarakat. TACB pada

awalnya dianggarkan dalam DPA di Bidang Pelestarian Kawasan dan Bangunan

Cagar Budaya DTRK Kota Surakarta dari tahun 2015 sampai 2016. Berdasarkan

SK pembentukan tim tersebut TACB memiliki tugas sebagai berikut :

a. Melakukan kajian atas berkas yang diusulkan sebagai Cagar Budaya oleh

Tim Pendaftar Cagar Budaya;

161
b. Menyusun dan menetapkan mekanisme kerja, dan

c. Melakukan klasifikasi atas jenis Cagar Budaya sesuai dengan Peraturan

perundang-undangan

Sedangkan tugas dan wewenang TACB menurut Perda Kota Surakarta no.

10 Tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya pasal 23 adalah:

a. Melakukan pengkajian terhadap benda, bangunan, struktur, situs, dan

kawasan yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai cagar budaya

b. Memberikan pertimbangan, saran dan rekomendasi kepada Walikota

dalam penetapan, pemeringkatan, pelestarian, perlindungan, pemeliharaan,

pemanfaatan, pemugaran dan penghapusan pemilikan cagar budaya;

c. Melaksanakan penelitian, pengkajian, pemantauan, dan evaluasi program

upaya peningkatan penyelenggaraan pelestarian, perlindungan,

pemeliharaan, pemanfaatan, pemugaran dan penghapusan pemilikan

kawasan dan/atau bangunan cagar budaya;

d. Menyusun standar penilaian sebagai parameter pemberian

klasifikasi/penggolongan pada bangunan cagar budaya;

Tugas TACB yang tercantum di dalam SK TACB tahun 2015 merupakan

penyederhanaan dari apa yang diamanatkan di dalam Perda no. 10 tahum 2013

tentang pelestarian cagar budaya. Tugas tersebut belum sepenuhnya optimal

dijalankan oleh TACB Kota Surakarta, karena TACB dibawah naungan Dinas

Kebudayaan Kota Surakarta baru menjalankan tugasnya dalam membuat kajian-

kajian, belum dioptimalkan perannya untuk memberikan masukan kepada

pemerintah Kota Surakarta terutama dalam pengendalian pemanfaatan ruang,

162
seperti yang sampaikan oleh salah satu petugas di Dinas Kebudayaan Kota

Surakarta bahwa :

“Saat ini tahun 2018 proses kajian TACB terhadap BCB di Kota
Surakarta baru pada sampai pada proses identifikasi BCB, dan
kajian-kajian dalam rangka mengusulkan Pura Mangkunegaran,
Keraton Kasunanan, Taman Balekambang, Taman Sriwedari,
Benteng Vastenburg dan Ndalem Njoyokusuman untuk dinaikkan
statusnya menjadi Cagar Budaya tingkat Nasional”
(Wawancara dengan Bapak Luthfi Khamid, Bidang Pelestarian Cagar Budaya dan
Permuseuman, Dinas Kebudayaan Kota Surakarta
Tanggal 10 Juli 2018)

Berdasarkan keterangan petugas tersebut, selama ini TACB hanya

ditugaskan untuk melakukan kajian cagar budaya saja, belum optimal dalam

memberikan rekomendasi dan masukan kepada pemerintah dalam kegiatan

penyusunan peraturan/perencanaan terkait kawasan cagar budaya serta dalam

pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan cagar budaya. Seperti yang

diungkapkan oleh Ketua TACB berikut:

”selama ini kami TACB hanya ditugaskan membuat kajian-kajian


saja, hasil kajian dijadikan rekomendasi untuk pemerintah,
padahal kami TACB juga merasa berkepentingan untuk terus
memantau kondisi obyek obyek cagar budaya yang ada termasuk
di Laweyan, ketika terjadi hal-hal yang diluar kaidah pelestarian
cagar budaya TACB melaporkan ke pemerintah melalui Dinas
Kebudayaan, karena dinas kebudayaan yang bertanggung jawab
untuk mengawal perda cagar budaya yang sudah ada. Sehingga
menjadi penting bagi dinas Kebudayaan untuk memiliki
personil/petugas yang paham betul dengan cagar budaya. Karena
TACB kan tidak bisa langsung negur masyarakat”
(Wawancara dengan Dr. Titis Srimuda Pitana, Ketua TACB Kota Surakarta.
Tanggal 17 Desember 2018)

Berdasarkan amanat dalam Perda cagar budaya tersebut Ketua TACB Dr.

Titis Srimuda Pitana menyampaikan bahwa :

163
“penetapan Kampung Laweyan sebagai Kawasan Cagar Budaya
di dalam SK Walikota tahun 2013 belum melalui kajian TACB
karena tahun 2013 TACB Kota Surakarta belum terbentuk”
(Wawancara dengan Dr. Titis Drimuda Pitana, Ketua TACB Surakarta, Tanggal
12 Juli 2018)

Walaupun penetapan Laweyan sebagai Kawasan Cagar Budaya belum

melalui Kajian TACB, namun berdasarkan dari banyak literature telah menuliskan

tentang Laweyan yang sudah melalui perjalanan waktu yang cukup panjang yaitu

terbentuk sebagai embrio kota Solo pada tahun 1500 an dan telah meninggalkan

bukti-bukti kejayaan Batik Laweyan pada masa lalu yang sampai saat ini beberapa

diantaranya masih dapat kita saksikan dan tentunya harus tetap dilestarikan

keberadaanya sebagai pengingat bagi generasi yang akan datang, oleh karena itu

jika menengok kepada Undang-undang no. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya

yang mengamanatkan bahwa:

“semua benda/bangunan/kawasan yang diduga sebagai cagar


budaya dan masih dalam proses pengkajian maka harus
diperlakukan sebagai cagar budaya”

Kondisi kampung Laweyan yang tergambarkan di dalam kesimpulan dari

tujuan penelitian yang pertama terkait evaluasi kondisi bentuk dan fungsi

bangunan di Laweyan menunjukkan bahwa dari waktu ke waktu terus terjadi

pembongkaran dan renovasi bangunan kuno di Laweyan dimana hal tersebut tentu

mengancam keberlanjutan dari significant value yang dimiliki oleh Laweyan, hal

serupa juga disampaikan oleh Ketua TACB bahwa :

“Laweyan dari kaidah pelestarian saat ini kondisinya cukup


memprihatinkan, fasadnya sudah tidak karu-karuan dan banyak
pemiliknya sudah berganti, showroom oke-oke saja, itu Cuma
persoalan fungsi, namun pengembangannya jangan sampai keluar
dari kaidah pelestarian cagar budaya, tetep aja harus ada
pemuliaan terhadap kawasan cagar budaya”

164
(Wawancara dengan Dr. Titis Srimuda Pitana, Ketua TACB Surakarta, Tanggal
12 Juli 2018)

Terkait keterlibatan TACB dalam pengendalian pemanfaatan ruang

penulis berhasil mendapatkan 4 (empat) notulensi hasil rapat pembahasan ijin

pembangunan di bangunan/kawasan cagar budaya yaitu izin pembangunan klinik

di Kawasan Baluwarti tahun 2016, izin pembangunan di bekas RS Kadipolo tahun

2017, izin pembangunan Hotel di Gedung Joeang 45 tahun 2017 dan pembahasan

dokumen rencana Hotel Sembilan (9) lapis di Laweyan tahun 2018, di dalamnya

sudah menyatakan bahwa petugas perijinan tetap mengacu pada kaidah-kaidah

konservasi dan rekomendasi hasil kajian dari TACB.

Sejak perombakan SOTK pada awal 2017, TACB dianggarkan dalam

DPA Dinas Kebudayaan Kota Surakarta, kemudian di tahun 2018 direncanakan

untuk dialihkan penganggarannya ke DPMPTSP Kota Surakarta. Berikut data

yang penulis dapatkan terkait plot anggaran yang dialokasikan untuk TACB Kota

Surakarta sejak masih di DTRK dan kemudian di Dinas Kebudayaan.

165
Gambar 5.28 RKA tahun 2016 Bidang Pelestarian Cagar Budaya DTRK
Kota Surakarta. Sumber: Arsip Dinas Kebudayaan Kota Surakarta

Tekait dengan tupoksi perijinan di DPMPTSP Kota Surakarta pada tahun

2018, ketua TACB Dr. Titis Srimuda Pitana menyampaikan keraguan bahwa:

“Selama IMB masih di bawah DPMPTSP, tujuan pengendalian


ruang zona cagar budaya tidak dapat berjalan maksimal karena,
DPMPTSP berorientasi pada tujuan administratif (target PAD),
bukan pada tujuan teknis tertib tata ruang”
(Wawancara dengan Bapak Dr. Titis Srimuda Pitana, Ketua TACB Surakarta,
Tanggal 12 Juli 2018)
Pelibatan TACB dalam proses pengendalian pemanfaatan ruang belum

intensif dilakukan, karena TACB jarang dilibatkan dalam rapat-rapat pembahasan

terkait perijinan IMB, hal senada juga disampaikan petugas pengendalian DPUPR

“masih jarang ngadain rapat pembahasan yang melibatkan TACB,


yang sering dan rutin dilaksanakan itu rapat pembahasan dengan
TABG”
(Wawancara dengan Ibu Setiawati, Bidang Pengendalian Pemanfaatan Ruang,
DPUPR. Agustus 2018)
Hal yang sama juga disampaikan oleh Ketua TACB dan Ketua TABG
sebagai berikut:
“masih jarang ada rapat pertimbangan untuk ijin bangunan
rumah di Laweyan, apalagi melibatkan TACB itu tidak pernah”
(Wawancara dengan Ketua TACB Kota Surakarta Dr. Titis Srimuda Pitana.
Tanggal 12 Juli 2018)
“sewaktu pembahasan mengenai hotel De Laweyan yang 9 lapis
itu, dari awal rapat tidak pernah melibatkan TACB, jadi hanya
TABG saja yang diundang. Padahal ini kan di kawasan cagar
budaya yang harusnya minta pertimbangan TACB. Kalo saya kan
memberikan masukan sebagai tim TABG dari segi arsitektur dan
keandalan bangunan.
(Wawancara dengan Bapak Ir. Alpha Febela Priyatmono, MT. Ketua
FPKBL sekaligus Ketua TABG Kota Surakarta. Tanggal 26 Juli 2018)

166
Berdasarkan keterangan tersebut diatas pelibatan TACB masih sangat

kurang dalam perijinan (IMB) terutama di Laweyan. Penerbitan SK IMB khusus

di kawasan laweyan menurut data dari DPMPTS hanya ada 50 SK IMB dari total

yang terbit sejak tahun 2007 sampai juli 2018 dan jika dibandingkan dengan data

Kecamatan Laweyan Dalam Angka Tahun 2018 keseluruhan penduduk di

Kelurahan Laweyan ada 2.107 jiwa jika diasumsikan satu KK memiliki 5 anggota

keluarga maka terdapat 421 KK di Kelurahan Laweyan, dan jika diasumsikan 1

KK memiliki satu sertifikat lahan, maka dapat dikatakan kepemilikan IMB di

Laweyan menurut data DPMPTSP adalah baru sebesar 11,86% dari total KK

pemilik lahan.

Kondisi tersebut diatas menunjukkan bahwa masih rendahnya inisiatif

warga dalam mengajukan perijinan kepada pemerintah, terlebih harus meminta

saran kepada pemerintah mengenai bagaimana sebaiknya dalam merenovasi

bangunannya. Ketua TACB juga menceritakan tentang insiatif salah satu warga

pemilik bangunan bersejarah sebagai berikut:

“pernah ada satu kasus pemilik bangunan cagar budaya Istana


Kembang Banowati, pemilik ingin melakukan renovasi pada
bangunannya secara pribadi berinisiatif untuk konsultasi ke
Bidang Pelestarian Bangunan dan Kawasan Cagar Budaya DTRK
untuk meminta arahan dalam hal renovasi dan pemanfaatan
bangunan cagar budaya miliknya, petugas DTRK saat itu dibantu
TACB dalam memberikan arahan desain bangunan tersebut
kepada pemilik bangunan”
(Wawancara dengan Dr. Titis Srimuda Pitana, Ketua TACB Surakarta.
Tanggal 12 Juli 2018)

Kasus tersebut diatas hanya terjadi sekali dan belum pernah ada lagi

masyarakat yang datang meminta saran pemerintah dan TACB dalam merenovasi

bangunannya. Hal tersebut menandakan bahwa sebenarnya pemerintah dalam

167
melibatkan TACB hanya menunggu inisiatif dari masyarakat yang bermohon

kepada pemerintah. Padahal masyarakat kebanyakan masih belum paham tentang

pelestarian bangunan cagar budaya. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua FPKBL

berikut:

“masyarakat kebanyakan tidak mau kalau bangunannya dikatakan


atau dilabeli cagar budaya karena dianggap menghalangi upaya
pengembangan atau pembagian warisan. Mereka merasa tidak
ada untungnya bagi mereka kalau bangunannya dijadikan sebagai
cagar budaya”
(Wawancara dengan Bapak Ir. Alpha Febela Priyatmono, MT. Ketua
FPKL. Tanggal 26 Juli 2018)
Melihat kondisi masyarakat yang masih minim kepeduliannya terhadap

bangunan cagar budaya, seharusnya pemerintah bisa lebih intensif lagi melibatkan

TACB dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang khususnya di

kawasan cagar budaya, terutama dalam penerapan perizinan (IMB) dan

pengawasan penertiban. Pelibatan TACB yang belum intensif dalam pengendalian

pemanfaatan ruang di Kota Surakarta memberikan kesan bahwa pengendalian

ruang belum memandang penting upaya pelestarian bangunan dan/atau kawasan

cagar budaya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Pengendalian

Pemanfaatan Ruang.

5.2.9. Kesimpulan Evaluasi Elemen Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Dari hasil analisa terhadap data yang diperoleh di dapatkan hasil atau

temuan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang oleh pemerintah kota

Surakarta sebagai berikut :

168
Tabel 5.23 Hasil Temuan Evaluasi Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Surakarta

Variabel Variabel “Output” Indikator Temuan Terpenuhi


nya
Menurut Attoe (1996) dan Permen indikator
PU no. 1 Tahun 2015
Peraturan Dokumen Peraturan Sebaran bangunan lawas sesuai Sebaran bangunan kuno tidak sesuai dengan hasil Tidak
Zonasi Zonasi/RDTR dengan hasil inventaris BPCB Jateng Inventaris BPCB Jateng tahun 2017 terpenuhi

Tersedianya arahan yang detail dalam - Mengatur arahan pengembangan fisik bangunan Terpenuhi
pemanfaatan ruang Zona KCB di zona cagar budaya
- Pendetailan arahan melalui matriks ITBX dan
peta zonasi

Penentuan zona khusus bagi kawasan bersejarah (heritage) yang memberikan arahan perlindungan terrhadap tampilan bagian luar
bangunan (Attoe, 1996)

Perda RDTR Perda terpublikasikan kepada Peraturan Zonasi/RDTR Kota Surakarta yang Tidak
masyarakat luas disusun tahun 2012, tidak diperdakan. terpenuhi

Permen PUPR no. 1 tahun 2015:


Pasal 34 ayat 3
Pemerintah Kab/Kota melakukan pembinaan kepada masyarakat dan para penyelenggara bangunan cagar budaya yang dilestarikan
dengan menyusun dan menyebarluaskan berbagai peraturan bangunan cagar budaya yang dilestarikan

Peraturan Perda no.1/2012 ttg Perda RTRW mengamanatkan Mengamanatkan upaya pelestarian Terpenuhi
Terkait RTRW pelestarian bangunan dan kawasan bangunan/kawasan cagar budaya. Namun
cagar budaya Laweyan dikarenakan presentasi RTRW di level 1:25.000
sehingga belum spesifik mengatur pemanfaatan
ruang di kawasan cagar budaya

169
Perda no. 8/2016 ttg Perda Bangunan Gedung mengatur Tabel arahan intensitas bangunan belum Tidak
Bangunan dan Gedung secara rinci arahan intensitas mengatur secara spesifik intensitas bangunan di terpenuhi
bangunan di Zona KCB Laweyan koridor jalan lingkungan di dalam kawasan cagar
budaya Laweyan (Jl. Sidoluhur)

Diperlukan semacam pedoman desain untuk mencegah konstruksi baru yang tidak sesuai, dan berguna untuk mengendalikan tinggi
bangunan, bahan bangunan, signage, jarak sempadan (setback), proporsi dan gaya arsitektural (Attoe, 1996)

TACB terlibat dalam penyusunan naskah akademik TACB tidak terlibat dalam penyusunan naskah Tidak
akademik terpenuhi

Perizinan Surat Keputusan Terbitnya SK IMB di KCB Laweyan Penerbitan SK IMB selama ini lebih mengacu Tidak
(IMB) penerbitan IMB yang mengutamakan tertib tata ruang pada target retribusi/PAD dibanding target untuk terpenuhi
dan pelestarian melalui: menata ruang dan melestarikan kawasan cagar
- Proses penerbitan KRK/IPR yang budaya.
sesuai dengan arahan peruntukan - Proses penerbitan KRK/IPR mengacu pada
dalam PZ dan RTRW Perda no.1/2012 ttg RTRW Kota Surakarta
- Proses Telaahan staf yang sesuai - Proses Telaahan staf mengacu Perda no.8/2016
dengan PZ, RTRW dan Perda ttg Bangunan dan Gedung dan Perda no. 1/2012
Bangunan Gedung serta mengacu ttg RTRW Kota Surakarta. Namun belum
rekomendasi TACB pernah meminta Rekomendasi TACB dalam hal
- Rapat pertimbangan yang perijinan rumah tinggal di Kawasan Laweyan
melibatkan TACB untuk perijinan - Pembangunan gedung bagi kepentingan umum
bangunan gedung yang digunakan dan menimbulkan dampak penting tidak
bagi kepentingan umum dan melibatkan TACB, hanya TABG saja.
menimbulkan dampak penting
Pemberian hak yang terbatas atas fasad muka bangunan, karena sejatinya fasad bangunan cagar budaya adalah milik publik,
penyumbang wajah suatu kawasan/koridor jalan yang harus dilestarikan. Perubahan-perubahan yang terjadi pada bangunan cagar
budaya harus melalui izin suatu aparat yang ditunjuk khusus semacam komisi kawasan cagar budaya (Attoe, 1996)

170
Permen PUPR no. 1 tahun 2015: Perencanaan teknis bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan harus dilengkapi dengan
pertimbangan TABG-CB sebelum disetujui oleh pemerintah sebagai salah satu syarat memperoleh Izin Mendirikan Bangunan
(IMB) atau perubahan IMB

Insentif Keringanan Pajak, Masyarakat/pengembang/swasta yang Pemerintah tidak menganggarkan insentif, Tidak
Penghargaan, mematuhi tata ruang dan sehingga Masyarakat di Laweyan yang memilih terpenuhi
Kemudahaan Perizinan, melestarikan bangunan/kawasan untuk melestarikan bangunannya tidak
Pembangunan cagar budaya Laweyan menerima mendapatkan insentif.
infrastruktur insentif.
Satu-satunya insentif yang ada berupa
Peraturan mengenai insentif Keringanan Pajak PBB, namun tidak
tersosialisasikan secara luas kepada tersosialisasikan secara luas. Mereka yang
masyarakat memiliki kemampuan finansial merasa
malu/enggan untuk mengajukan permohonan
insentif kepada Pemerintah Kota

- Incentive Zoning: Pengembang yang melestarikan bangunan cagar budaya bisa diizinkan untuk membangun di mana saja
dengan kepadatan tinggi atau dengan penggunaan yang lebih tinggi (Attoe, 1996)
- Subsidi yang berupa pengurangan pajak yang biaya hasil pengurangan tersebut dialokasikan untuk pemeliharaan bangunan
cagar budaya (Attoe, 1996)
- Dana bantuan gabungan dari pemerintah dan swasta yang dapat dialokasikan sewaktu-waktu untuk perlindungan dan
pemeliharaan bangunan/kawasan bersejarah (Attoe, 1996)

Permen PUPR no. 1 tahun 2015: Insentif berupa Advokasi (penghargaan, sertifikat, plakat), Perbantuan (dukungan infrastruktur
fisik lingkungan, dukungan advis teknis dari pakar/tenaga ahli), Bantuan non dana (Keringanan PBB, keringanan retribusi IMB,
kemudahan IMB)

Sanksi Peringatan tertulis, Masyarakat/pengembang/swasta yang Belum pernah ada pemberian sanksi di Tidak
Pemberhentian kegiatan, melanggar ketentuan BCB/KCB Laweyan. Padahal terdapat 79,51% terpenuhi
pembekuan IMB, PZ/RTRW/Perda Bangunan Gedung bangunan di Jl. Sidoluhur yang mengalami
Pencabutan IMB, dan membongkar bangunan kuno di renovasi/bangun baru sebanyak 66 responden

171
Pembongkaran Laweyan tanpa mengajukan izin IMB pemilik bangunan. Dan dari 66 responden
Bangunan menerima sanksi tersebut 50% nya belum memiliki IMB atau
sebanyak 33 pemilik bangunan.

Pemilik yang mengabaikan, membongkar atau merusak bangunan cagar budaya dikenakan denda atau dipenjarakan. Ancaman harus
keras tidak tanggung-tanggung agar peraturan bisa efektif (Attoe, 1996)
Sanksi bagi pemilik yang membongkar, mengotori atau mengabaikan bangunan-bangunan bersejarah (Attoe, 1996)

Pengawasan Dokumen Monitoring Dok. Monitoring pemanfaatan ruang Bidang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Tidak
dan Pemanfaatan ruang di KCB Laweyan yang ditindak lanjuti DPUPR belum pernah menyusun dokumen terpenuhi
penertiban KCB Laweyan dengan pengawasan lapangan monitoring pemanfaatan ruang KCB Laweyan

Laporan patroli ruang di Patroli ruang di KCB Laweyan yang Sudah ada penjadwalan patroli ruang, namun Tidak
KCB Laweyan dijadwalkan secara rutin belum dapat berjalan dengan optimal karena terpenuhi
Bidang Pengendalian DPUPR masih kekurangan
Jumlah tenaga pengawasan/patroli personil dan menunggu laporan masyarakat
ruang yang mencukupi
Dinas Kebudayaan/bidang pelestarian cagar
Melibatkan personil Dinas budaya tidak dilibatkan dalam tim pengawasan
Kebudayaan/bidang pelestarian cagar
budaya dalam tim pengawasan/patroli Personil yang merupakan lulusan S1 arkeologi
ruang hanya ada 1 (orang) di Dinas Kebudayaan Kota
Surakarta
Jumlah mencukupi terkait personil
yang ahli dan paham dibidang
arkeologi dan sejarah di Dinas
Kebudayaan
Laporan hasil penertiban Penertiban yang dilakukan Penertiban dilakukan berdasarkan hasil laporan Terpenuhi
ketika terjadi berdasarkan hasil laporan dari tim tim pengawas dan laporan masyarakat.
pelanggaran pengawas/patroli ruang dan laporan
masyarakat Sehingga menjadi tidak optimal karena

172
pengawasan jg belum optimal

Bangunan cagar budaya dalam satu kawasan yang sudah ditentukan zonasinya harus diawasi dengan ketat (Attoe, 1996)

Permen PUPR no. 1 tahun 2015: Pasal 20


1. Pengawasan terhadap penyelenggaraan banguann cagar budaya dilakukan oleh penyedia jasa pengawasan yang kompeten dan
ahli di bidang bangunan gedung
2. Penyedia jasa pengawasan harus menyediakan tenaga ahli pelestarian bangunan cagar budaya
Pasal 34 ayat 5:
Pemerintah Kab/Kota melakukan pengawasan kepada para penyelenggara bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan di
daerah dengan melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan bangunan cagar budaya
Edukasi Sosialisasi pentingnya Terselenggaranya/tersedianya Sosialisasi pelestarian KCB laweyan baru di Tidak
kepada KCB Laweyan melalui: sosialisasi yang memberikan adakan melalui Musrenbang Kelurahan Setiap terpenuhi
Masyarakat c. Acara/forum informasi/pengetahuan kepada Tahun
d. Media cetak masyarakat setempat akan pentingnya
e. Media elektronik KCB Laweyan melalui:
f. Internet/sosialmedia - Acara/forum
/website - Media Cetak
- Media elektronik
- Internet/sosialmedia/website
Salah satu metode/cara yang paling diandalkan dalam rangka perlindungan adalah mempercayakan bangunan cagar budaya kepada
pemilik yang simpatik/peduli terhadap bangunan cagar budaya (Attoe, 1996)
Permen PUPR no. 1 tahun 2015:
Pasal 34 ayat 3
Pemerintah Kab/Kota melakukan pembinaan kepada masyarakat dan para penyelenggara bangunan cagar budaya yang dilestarikan
dengan menyusun dan menyebarluaskan berbagai peraturan bangunan cagar budaya yang dilestarikan
Pasal 34 ayat 4
Pemerintah Kab/Kota melakukan pemberdayaan kepada masyarakat dan para penyelenggara bangunan gedung cagar budaya
dengan penyebarluasan, pelatihan, serta pemberian dukungan teknis dan/atau kepakaran untuk meningkatkan kesadaran akan hak,
kewajiban dan peran pemangku kepentingan.

173
Peran Tim Kajian Tersedianya Kajian TACB belum diperintahkan oleh Dinas Tidak
Ahli Cagar Bangunan/kawasan Bangunan/kawasan cagar budaya Kebudayaan untuk menyusun kajian mendalam terpenuhi
Budaya warisan budaya Laweyan mengenai KCB Laweyan.
(TACB)

Rekomendasi/pertimban Tersedianya rekomendasi TACB TACB tidak terlibat dalam penyusunan naskah Tidak
gan kepada Pemerintah dalam penyusunan akademik perda terpenuhi
Kota peraturan/perencanaan dan
pertimbangan ijin IMB di KCB TACB belum pernah memberikan rekomendasi
Laweyan terkait pertimbangan ijin IMB di KCB Laweyan
(karena tidak pernah dilibatkan dalam rapat
pertimbangan IMB)

Ketika sudah ditetapkan zona khusus bangunan/kawasan cagar budaya maka diperlukan pembentukan suatu komisi khusus untuk
mengelola kawasan tersebut (Attoe, 1996)
Perencanaan mengenai pengembangan/pembangunan yang terjadi di kawasan/zona khusus cagar budaya membutuhkan
pemeriksaan/pertimbangan oleh dewan khusus (Attoe, 1996)
Permen PUPR no. 1 tahun 2015:
Pasal 27 ayat 2
TABG-CB dengan fungsi khusus yang tugas dan fungsinya menyelenggarakan pembinaan bangunan gedung cagar budaya yang
dilestarikan
Pasal 19 ayat 2
Pelaksanaan bangunan gedung cgaar budaya dilakukan sesuai dengan dokumen rencana teknis pelindungan dan/atau rencana teknis
pengembangan dan pemanfaatan yang telah disahkan oleh pemerintah yang berdasarkan pertimbangan dari TABG-CB

Sumber : Analisa Penulis, 2018

174
Berdasarkan hasil temuan diatas terlihat bahwa dari 15 (lima belas)

indikator hanya ada 3 (tiga) indikator yang terpenuhi. Sehingga pengendalian

pemanfaatan ruang yang telah dilaksanakan Pemerintah Kota Surakarta (Output)

tidak efektif dalam mencapai Outcome yaitu Tercapainya kelestarian kawasan

cagar budaya Laweyan. Berdasarkan evaluasi tersebut didapatkan faktor-faktor

yang menyebabkan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang menjadi tidak

efektif dalam mencapai tujuan pelestarian kawasan cagar budaya Laweyan:

Tabel 5.24 Faktor-faktor tidak efektifnya pengendalian pemanfaatan ruang


dalam mencapai kelestarian kawasan cagar budaya Laweyan
Variabel Faktor -faktor
Peraturan Zonasi - Sebaran bangunan lawas tidak teridentifikasi
secara menyeluruh
- Tidak ada komitmen pemerintah untuk mem-
perda-kan
Peraturan Terkait Tidak spesifik mengatur arahan intensitas bangunan
di Laweyan
IMB - IMB dibebani oleh pemenuhan target retribusi
setiap tahunnya
- Tidak melibatkan TACB dalam pertimbangan
IMB di Laweyan
Insentif Tidak ada anggaran untuk pemberian insentif
Sanksi Pemerintah tidak komitmen untuk menerapkan
sanksi di Laweyan
Pengawasan dan Kurang tenaga karena terkendala anggaran, dan tidak
penertiban melibatkan tenaga yang paham nilai penting KCB
Laweyan (arkeolog, sejarah, arsitektur pelestarian)
Edukasi kepada Sosialisasi kurang optimal karena tidak ada anggaran
Masyarakat
Pelibatan TACB Pemerintah tidak komitmen untuk mengoptimalkan
peran TACB dalam pengendalian pemanfaatan ruang
Sumber: Analisa Penulis, 2018

175
Faktor-faktor tersebut diatas merupakan hasil ringkasan dari temuan yang

tidak dapat memenuhi indikator yang sudah ditentukan dalam KKL. Faktor-faktor

tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) seperti yang terlihat pada Gambar

5.29 yaitu: faktor komitmen terhadap penganggaran, faktor komitmen dalam

mengoptimalkan peran TACB, dan faktor komitmen dalam menerapkan aturan

dan sanksi yang tegas. Dari ketiga faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa

Pemerintah Kota Surakarta belum berkomitmen sepenuhnya terhadap kelestarian

kawasan cagar budaya Laweyan.

Gambar 5.29 Faktor komitmen yang mempengaruhi tercapainya kelestarian


kawasan cagar budaya
Sumber: Analisa Penulis, 2018

5.3 Diskusi Komprehensif Penelitian


Pengendalian pemanfaatan ruang mengemban amanat sebagai upaya

mewujudkan tertib tata ruang suatu kota tidak terkecuali di kawasan cagar budaya

yang merupakan bagian dari kota. Sehingga penting untuk mengintegrasikan

kaidah pelestarian ke dalam peraturan dan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan

ruang karena peraturan dan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang

mempengaruhi kondisi bentuk dan fungsi bangunan di kawasan cagar budaya.

176
Variabel-variabel yang digunakan dalam mengevaluasi pelaksanaan

pengendalian pemanfaatan ruang oleh Pemerintah Kota Surakarta saling terkait

dengan variabel yang digunakan untuk menggambarkan kondisi bentuk dan fungsi

bangunan di Laweyan. Seperti yang digambarkan pada bagan berikut:

Gambar 5.30 Keterkaitan antara upaya-upaya (variabel)


pengendalian pemanfaatan ruang yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota
Surakarta dengan kondisi bentuk dan fungsi bangunan di Laweyan.
Sumber: Hasil Analisis, 2018

Perubahan fisik yang terjadi di Laweyan diakibatkan oleh tekanan dari

pembangunan/pengembangan era modern di perkotaan yang menuntut adanya

fungsi-fungsi tertentu terutama fungsi/kegiatan wisata. Transfomasi yang terjadi

menandakan bahwa Laweyan berada pada posisi yang rentan atau membahayakan

bagi kelestarian Laweyan sebagai kawasan cagar budaya. Sehingga dibutuhkan

peran Pemerintah Kota Surakarta sebagai pengelola daerah untuk membuat

regulasi khusus kawasan cagar budaya yang tidak disamakan dengan kawasan

lainnya, serta pengendalian pemanfaatan ruang yang bertujuan untuk mewujudkan

tertib tata ruang dan kelestarian kawasan cagar budaya.

177
Berdasarkan pada pemabahasan sebelumnya menunjukkan komitmen

pemerintah yang belum banyak berpihak pada pelestarian kawasan cagar budaya

Laweyan. seperti yang terlihat pada Gambar 5.30 upaya melibatkan TACB yang

belum nampak dalam penyusunan rencana/peraturan dan pelaksanaan

pengendalian digambarkan dengan garis putus-putus berwarna merah. Peraturan-

peraturan yang tidak mengatur arahan yang jelas dalam pemanfaatan ruang dan

intensitas bangunan di Laweyan, menjadi acuan dalam pelaksanaan pengendalian

berupa perizinan (IMB), insentif, sanksi serta pengawasan dan penertiban. Upaya

untuk melibatkan TACB juga belum nampak dalam perizinan IMB dan

pengawasan penertiban di Laweyan.

Perizinan (IMB), insentif, sanksi, serta pengawasan dan penertiban

menjadi tidak berpihak pada pelestarian kawasan cagar budaya yang akhirnya

mempengaruhi langsung terhadap kondisi bentuk dan fungsi bangunan di

Laweyan. Sama halnya dengan upaya Pemerintah Kota Surakarta yang belum

optimal dalam mengedukasi masyarakat, walaupun tidak berpengaruh langsung

terhadap kondisi bentuk dan fungsi bangunan di Laweyan namun berpengaruh

langsung terhadap kesadaran/mindset masyarakat Laweyan terhadap pentingnya

pelestarian bangunan/kawasan cagar budaya yang merupakan tempat tinggal

mereka. Jika masyarakat sudah peduli terhadap nilai penting dari kawasan cagar

budaya maka mereka dengan sendirinya akan berusaha untuk menjaga kelestarian

aset mereka yang berupa bangunan-bangunan kuno.

178
5.4 Diskusi Teoritik Penelitian
Berdasarkan hasil evaluasi pada pembahasan di dalam bab ini,

membuktikan bahwa :

1. Upaya Pemerintah Kota Surakarta yang belum optimal dalam melibatkan Tim

Ahli Cagar Budaya ternyata turut mempengaruhi efektivitas pengendalian

pemanfaatan ruang dalam mencapai kelestarian kawasan cagar budaya

Laweyan. Kondisi tersebut mendukung pernyataan Baroldin dan Mohd Din

(2012) yang menyatakan bahwa jika peran tim ahli tidak optimal maka akan

menyebabkan upaya pelestarian menjadi tidak efektif dalam melindungi nilai

penting bangunan/kawasan cagar budaya. Hal tersebut dikarenakan TACB

sebagai institusi yang paling memahami prinsip arkeologi, struktur bangunan,

kesejarahan, sosial dan budaya suatu kawasan cagar budaya seharusnya

dilibatkan dalam pengendalian pemanfaatan ruang, karena di dalam Perda

Kota Surakarta no. 10 tahun 2013 tentang Pelestarian Cagar Budaya

mengamanatkan bahwa Pemerintah Daerah membentuk Tim Ahli untuk

mewujudkan pelestarian cagar budaya di Daerah, dimana tugas dan wewenang

TACB tidak hanya melakukan kajian terhadap benda/bangunan/kawasan cagar

budaya, namun juga memberikan pertimbangan, saran dan rekomendasi

kepada Walikota dalam pelestarian cagar budaya.

2. Upaya Pemerintah Kota Surakarta yang kurang intensif dalam mengedukasi

masyarakat juga menjadi salah satu penyebab tidak efektifnya pengendalian

pemanfaatan ruang dalam mencapai tujuan pelestarian kawasan cagar budaya

Laweyan. Hal tersebut mendukung pendapat Panjaitan bahwa kurangnya

179
kesadaran masyarakat yang diakibatkan oleh kondisi sosial ekonomi yang

rendah merupakan salah satu faktor yang menjadi kendala dalam upaya

pelestarian bangunan cagar budaya (Antariksa, 2017). Sehingga salah satu

yang menjadi peran pemerintah dalam upaya pelestarian adalah dengan

memberikan bimbingan dan pengarahan serta edukasi tentang pentingnya

pelestarian cagar budaya secara intensif dan efektif kepada masyarakat agar

mereka memiliki kesadaran untuk mempertahankan, melindungi dan merawat

bangunan cagar budaya (Akbar, 2014; Prasetyo, 2014).

3. Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang oleh Pemerintah Kota

Surakarta yang tidak efektif dalam mencapai tujuan pelestarian kawasan

cagar budaya Laweyan, ditandai dengan tidak terjaganya nilai penting fisik

kawasan cagar budaya Laweyan. Hal tersebut mendukung pendapat

Ashworth (1997), Budiharjo (1997), Mulyadi (2012), Prasetyo (2014), Utami

dan Wahyuningtyas (2015), Kleden dan Fanani, 2015; Risdiasari, 2018)

bahwa peraturan dan pelaksanaan pengendalian ruang dapat mempengaruhi

atau menentukan bentuk dan fungsi bangunan di kawasan cagar budaya.

Hasil penelitian menemukan 59% bangunan kuno di sepanjang Jl. Sidoluhur

telah mengalami perubahan karena direnovasi oleh pemilik yang sebagian

besar dijadikan showroom batik terutama setelah Laweyan ditetapkan sebagai

destinasi wisata “Kampoeng Batik Laweyan’ pada tahun 2004, penelitian

juga menemukan 60,24% kegiatan renovasi dan pembangunan dilakukan

setelah tahun 2004. Kondisi tersebut bertentangan dengan kaidah pelestarian

cagar budaya yang bertujuan untuk mempertahankan bukti bendawi yang

180
terdiri dari unsur bentuk/desain, bahan, arsitektur/fasad bangunan (Mulyadi,

2012; Budiharjo, 1997; Antariksa 2017; Saputra dan Purwantiasning, 2013;

Utami dan Wahyuningtyas, 2015), tanpa bukti bendawi nilai-nilai penting

hanya menjadi wacana atau dongeng belaka sehingga aspek fisik harus

dipertahankan keaslian dan keutuhannya (Mulyadi, 2012).

4. Dalam upaya pelestarian cagar budaya, fungsi dapat berubah-ubah dan

bervariasi namun bentuk (form) seminimal mungkin untuk berubah. Louis

Henri Sullivan menyatakan bahwa“fungsi menciptakan dan mengorganisasi

bentuk dan bahwa bentuk haruslah mengekspresikan fungsi tersebut”, teori

tersebut biasa dikenal dengan form follows function. Teori tersebut tidak

dapat diterapkan di dalam konsep pelestarian cagar budaya, karena dalam

pelestarian/konservasi form (bentuk) sebagai aspek fisik yang dilindungi

tidak selamanya harus menyesuaikan dengan fungsinya, justru diharapkan

fungsi lah yang harus bisa bervariasi untuk menghidupkan kawasan cagar

budaya tanpa menimbulkan kerusakan fisik (bentuk) bangunan.

181
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil analisa dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Laweyan

yang tengah tertekan oleh maraknya modernisasi dan pembangunan membuat

kondisi fisik kawasan cagar budaya Laweyan semakin terancam kelestariannya.

Peraturan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang dilaksanakan oleh

Pemerintah Kota Surakarta yang ternyata belum cukup untuk mengendalikan

perubahan fisik yang terjadi di Laweyan. Hal tersebut ditandai dengan kurangnya

komitmen pada penganggaran, komitmen untuk melibatkan TACB secara optimal

dan komitmen dalam penerapan aturan dan sanksi yang tegas, sehingga

membuatnya tidak efektif dalam mencapai tujuan (outcome) pelestarian kawasan

cagar budaya Laweyan.

6.2. Saran

Kawasan cagar budaya merupakan salah satu dari kawasan lindung yang

diamanatkan di dalam rencana pola ruang Perda no. 1 tahun 2012 tentang RTRW

Kota Surakarta, sehingga seharusnya mendapatkan perlakuan yang khusus dalam

pengendalian pemanfaatan ruangnya yang tidak bisa disamaratakan dengan

kawasan yang lainnya, karena sebagai kawasan cagar budaya tentunya

pelaksanaan pengendalian harus mengacu pada kaidah-kaidah

29
konservasi/pelestarian sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Berikut saran/masukan yang penulis ajukan :

6.2.1. Kepada Pemerintah

- Penyusunan Perda peraturan zonasi yang mendelineasi sebaran cagar

budaya sesuai dengan hasil inventaris dari BPCB, serta memberikan

arahan yang jelas pemanfaatan ruang di zona cagar budaya.

- Perda no. 8/2016 tentang bangunan gedung sebaiknya memberikan

arahan intensitas bangunan secara spesifik di kawasan cagar budaya.

- Mengutamakan terwujudnya tertib tata ruang dan pelestarian kawasan

cagar budaya dibandingkan target reribusi/PAD. Perijinan terkait tata

ruang (IPR, IMB, izin siteplan) jangan dibebani oleh target

retribusi/PAD.

- Melibatkan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) dalam rapat-rapat

pertimbangan perizinan IMB di setiap rencana investasi di kawasan

cagar budaya.

- Lebih berkomitmen dalam penganggaran pelestarian cagar budaya

melalui pemberian insentif

- Menetapkan sanksi yang tegas ketika terjadi pelanggaran di kawasan

cagar budaya

- Menempatkan/merekrut SDM yang paham nilai penting KCB

(Arkeolog, sejarah, arsitektur pelestarian) di Dinas Kebudayaan

- Lebih berkomitmen dalam penganggaran honor tim pengawasan dan

penertiban

30
- Mengoptimalkan sosialisasi/edukasi kepada masyarakat tentang

pentingnya pelestarian kawasan cagar budaya melalui forum, media

cetak, elektronik, dan internet.

- Mengoptimalkan peran TACB dalam penyusunan

perencanaan/peraturan dan pengendalian pemanfaatan ruang di

kawasan cagar budaya.

6.2.2. Kepada Penelitian Selanjutnya

- Memproyeksikan kondisi pemanfaatan ruang kawasan cagar budaya

Laweyan jika proses pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang

masih tetap pada kondisi saat ini.

- Menilai efektifitas dan relevansi dari pelaksanaan Perda no. 2 Tahun

2018 tentang Penyelenggaraan Izin Mendirikan Bangunan terhadap

upaya pelestarian bangunan/kawasan cagar budaya di Kota Surakarta.

31
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, M.F. (2014). Peran Masyarakat dan Pemerintah dalam Pelestarian


Bangunan Cagar Budaya di Kawasan Kesawan atau Kota Lama di Kota
Medan. S1 PWK, UGM.
Antariksa. (2017). Teori & Metode Pelestarian Arsitektur & Lingkungan Binaan.
Yogyakarta: Cahya Atma Pustaka.
Ashworth, G. J. (1991). Heritage Planning: conservation as the management of
urban change. Groningen: Geo Pers.
Attoe, W. (1996). Perlindungan Benda Bersejarah. In Catanese dan Snyder (Ed),
Perencanaan Kota (2nd Ed). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Australian Heritage Commission. (2000). Protecting Local Heritage Places: A
Guide for Communities. Canberra: Pirie Printers.
Baroldin dan Mohd Din. (2012). Documentation and Conservation Guidelines of
Melaka Heritage Shophouses. ScienceDirect Social and Behavioral
Sciences Bangkok, 50 (192-203)
Bungin, B. (2007). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Penerbit Kencana.
Ching, F.D.K. (2007). Arsitektur: Bentuk, Ruang, dan Tatanan. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Djojonegoro, W. (1997). Preservation and Conservation of Cultural Heritage in
Indonesia. E. Budiharjo (Ed). Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press
Dunn, W.N. (1994). Public Policy Analysis. New Jersey: Pearson Education.
Gasper, Des. (2000). Evaluating the ‘Logical Framework Approach’ towards
learning-oriented development evaluation. Public administration and
Development 20 (1):17-28.
Hertzberger, H. (2000). Space and The Architect: Lessons in Architecture 2. (John
Kirkpatrick, Trans.). Rotterdam: 010 Publlishers
Hristova, S. (2017). The European Model of Cultural Heritage Policy. Zarzadzanie
w Kulturze, 18, z.1

185
Jackson, Bill. (1997). Designing projects and project evaluations using the logical
framework approach. UCN Monitoring and Evaluation Initiative.
Kedeputian Evaluasi Kinerja Pembangunan Bappenas. (2009). Pedoman Evaluasi
Kinerja Pembangunan Sektoral. Jakarta: Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional.
Kleden, U. C. dan Fanani, fahril. (2015). Harmonisasi Ketentuan Peruntukan
Bangunan Cagar Budaya dalam Perspektif Regulasi di Kawasan Budaya
Kotabaru Kota Yogyakarta-DIY. Prosiding Seminar Nasional ReTII
2017
Loho, W. T., Poluan, R. J., dan Egam, P. P. (2014). Gedung Konvensi di Tomohon
(Optimalisasi Form Follow Function oleh Louis Sullivan). Jurnal
Arsitektur DASENG UNSRAT Manado
Martokusumo, W. (2011). The Notion of Authenticity Revisited: A Search for
Urban Heritage Conservation Approach. Jurnal Tata Loka, Vol. 13, No.
3.
Mulyadi, Y. (2012). Mengoptimalkan Zonasi Sebagai Upaya Pelestarian Cagar
Budaya. Buletin Somba Opu Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Makassar, 15.
Prasetyo, H. (2014). Peran Pemerintah dalam Upaya Pelestarian dan Perlindungan
KCB Kotagede Berdasarkan Undang-Undang no. 11 tahun 2010 tentang
Cagar Budaya. MPKD, UGM.
Priyatmono, A. F. (2004). Studi Kecenderungan Perubahan Morfologi Kawasan di
Kampung Laweyan Surakarta. S2 Teknik Arsitektur, UGM
Qomarun dan Prayitno, Budi. (2007). Morfologi Kota Solo. Dimensi Teknik
Arsitektur, Vol. 35, No. 1, 80-87.
Rahmanto, N. I. (2018). Strategi dalam Pelestarian Warisan dan Cagar Budaya:
Kasus Perkotaan Yogyakarta. MPWK, UGM
Risdiasari, R. (2018). Implementasi Pengendalian dalam Pelestarian Bangunan
Cagar Budaya di Kota Yogyakarta. MPWK, UGM
Santika, D. (2013). Kawasan Riouwstraat (L.L.R.E. Martadinata) di Bandung dari
Perspektif Cultural Management (CRM). S2 Arkeologi, UGM

186
Saputra, H & Purwantiasning, A. W. (2013). Kajian Konsep Adaptive Reuse
Sebagai Alternatif Aplikasi Konsep Konservasi. Jurnal Arsitektur
Universitas Bandar Lampung.
Setiawati, E., Abdullah, I., dan Lasiyo. (2011). Strategi Pengembangan Komoditas
Studi Tentang Budaya Ekonomi di Kalangan Pengusaha Batik Laweyan.
Kawistara, Vol. 1, No. 3, 213-320.
Shirvani, H. (1985). Urban Design Process. New York: Van Nostrand Reinhold.
Shodiq, H.M. Fajar. (2016). Kyai Ageng Henis Dalam Sejarah Industri Batik
Laweyan Surakarta. GEMA 52.
Smithies, K.W. (1987). Prinsip-prinsip Perancangan Dalam Arsitektur. Aris. K
(Trans.). Bandung: Penerbit Intermatra.
Sukirno, A. (2010). Preservation Urban Heritage Through Building Permit
Implementation and The role of Institutional Framework The Case of
Kotabaru Yogyakarta. MPKD, UGM
Sullivan, L.H. (1896). The Tall Office Building Artistically Considered.
Lippincott’s Magazine.
Wahyuningtyas, A. dan Utami, W. (2015). Pengaturan Zoning sebagai
Pengendalian Pemanfaatan Ruang: Studi Kasus Preservasi Budaya
Kotagede. Bhumi, Vol. 1, No. 1, 84-85.
Wahyono, T. T., Suwarno, Nurwanti, Y. H. dan Taryati. (2014). Perempuan
Laweyan Dalam Industri Batik di Surakarta. Yogyakarta: Balai
Pelestarian Nilai Budaya.
Zulkarnain, I. (2010). Studi Penyusunan Kriteria Perencanaan Pelestarian Kawasan
Bersejarah Sunda Kelapa Menggunakan Metode Analytical Hierarchy
Process (AHP). Jurnal PLANESA, Vol. 1, No. 1.

187
SUMBER WEBSITE

Adishakti, Laretna T. (2017). Pelestarian Bangunan Gedung Cagar Budaya


Tonggak Keberlanjutan Kota Pusaka. Tersedia di
https://www.researchgate.net/publication/320287024_PELESTARIAN_B
ANGUNAN_GEDUNG_CAGAR_BUDAYA_TONGGAK_KEBERLAN
JUTAN_KOTA_PUSAKA. (Diakses pada tanggal 30 Desember 2018
pukul 10.33 WIB)
Budi, Muchus. (2016) ‘Banyak Bangunan Kuno di Solo jadi Agunan Bank dan
Dijual Eceran’, detikNews, 04 April 2016 [Online]. Tersedia di
https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/3179567/banyak-bangunan-
kuno-di-solo-jadi-agunan-bank-dan-dijual-eceran. (Diakses pada tanggal
28 Desember 2018 pukul 21.14 WIB)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. ‘Kawasan
Laweyan’. Tersedia di https://cagarbudaya.kemendikbud.go.id. (Diakses
pada tanggal 14 Januari 2019 pukul 18.14 WIB)

Kyoto Landscape Policy. (2007). Tersedia di


http://81.47.175.201/flagship_visions/index.php/landscape-plans/880-
kyoto-city-landscape-policy-japan. (Diakses pada tanggal 30 Desember
2018)

Sunaryo, Arie. (2016) ‘Bangunan Cagar Budaya di Kampoeng Batik Laweyan Solo
Berubah Modern’, Merdeka.com, 24 Maret 2016 [Online]. Tersedia di
https://www.merdeka.com/peristiwa/bangunan-cagar-budaya-di-
kampoeng-batik-laweyan-solo-berubah-modern.html. (Diakses pada
tanggal 28 Desember 2018 pukul 22.40 WIB)
Susanto, R. dan Tarekat, H. (1999). Piagam Burra: Piagam ICOMOS Australia
untuk tempat-tempat bersignifikansi budaya. Tersedia di
https://www.icomos.org/charters/burra1999_indonesian.pdf. (Diakses pada
tanggal 30 Desember 2018)

188
UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN

Undang – Undang RI No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

Undang – Undang RI No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 1 Tahun 2015
Tentang Bangunan Gedung Cagar Budaya yang Dilestarikan

Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional No. 1 tahun 2017 Tentang


Pedoman Evaluasi Pembangunan Nasional

Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 13 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 1 tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Surakarta tahun 2011-2031

Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 8 Tahun 2016 Tentang Bangunan Gedung

Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 9 tahun 2016 Tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah Kota Surakarta tahun 2016-2021

Peraturan Walikota Surakarta No. 27-C Tahun 2016 Tentang Kedudukan, Susunan
Organisasi, Tugas, Fungsi dan Tata kerja Perangkat Daerah Kota Surakarta

189
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuisioner bagi pemilik bangunan di Laweyan

190
Lampiran 2. Daftar pertanyaan wawancara bagi warga dan TACB

191
Lampiran 3. Daftar Pertanyaan bagi Petugas Pengendalian
Pemanfaatan Ruang

192
193
Lampiran 4. Tabel arahan intensitas bangunan dalam Perda no.
6/2016 tentang Bangunan Gedung

194
195
196
197
198
Lampiran 5. Notulensi Rapat Pertimbangan “De Laweyan Hotel”

199
200
201
202
203
204
Lampiran 6. SK Pembentukan Tim Penertiban tahun 2013

205
206
207
208
Lampiran 7 . SK Pembentukan Tim Ahli Cagar Budaya

209
210
211
212
Lampiran 8 . Foto per fasad bangunan di Jl. Sidoluhur Laweyan
STA 1+032

STA 0+00

Jl. Sidoluhur

STA 0+866

STA 0+314
STA 0+677
STA 0+413

Gambar L8. 1. Peta penggal Jl. Sidoluhur Laweyan

213
Gambar L8.2. Foto per fasad bangunan sisi selatan Jl. Sidoluhur (STA 0+00 sampai dengan STA 0+413)

214
Gambar L8.3. Foto per fasad bangunan sisi selatan Jl. Sidoluhur (STA 0+00 sampai dengan STA 0+413) Lanjutan

215
Gambar L8.4. Foto per fasad bangunan sisi utara Jl. Sidoluhur (STA 0+413 sampai dengan STA 0+086)

216
Gambar L8.5. Foto per fasad bangunan sisi utara Jl. Sidoluhur (STA 0+413 sampai dengan STA 0+086) Lanjutan

217
Gambar L8.6. Foto per fasad bangunan sisi utara Jl. Sidoluhur (STA 0+086 sampai dengan STA 0+00)

218
Gambar L8.7. Foto per fasad bangunan sisi selatan Jl. Sidoluhur (STA 0+677 sampai dengan STA 0+866)

219
Gambar L8.8. Foto per fasad bangunan sisi selatan Jl. Sidoluhur (STA 0+866 sampai dengan STA 1+032)

220
Gambar L8.9. Foto per fasad bangunan sisi utara Jl. Sidoluhur (STA 1+032 sampai dengan STA 0+866)

221
Gambar L8.10. Foto per fasad bangunan sisi utara Jl. Sidoluhur (STA 0+866 sampai dengan STA 0+677)

222
188

Anda mungkin juga menyukai