Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

MOLA HIDATIDOSA

Disusun Oleh:
Cindy Floretta Natanael – 1415028
Ikko Dwi Karisma – 1415040
Davin Widodo – 1415116
Rizka Cindy Sherlina Lesmana – 1415178

Pembimbing:
Dr. dr. Roni Rowawi, Sp.OG (K)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
SMF OBSTETRI-GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT IMMANUEL
BANDUNG
2019
MOLA HIDATIDOSA – KEHAMILAN MOLAR
Definisi
Penyakit trofoblast gestasional adalah istilah yang digunakan untuk mencakup
sekelompok tumor yang ditandai oleh proliferasi trofoblas yang abnormal. Mola hidatidosa
adalah suatu kehamilan yang tidak wajar dimana yang sebagian / seluruh vili korialisnya
mengalami degenerasi hidropik berupa gelembung yang menyerupai anggur.

Etiologi
Etilogi dari mola hidatidosa belum diketahui namun terdapat beberapa faktor risiko
timbulnya mola hidatidosa.

Epidemiologi
Tersering pada populasi Asia, Hispanik, Amerika India. Insidensi mola hidatidosa di
Amerika Serikat juga Eropa terdapat 1-2/1000 kelahiran dan di Indonesia khususnya di Jawa
Barat terdapat 1: 28-105 persalinan.

Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat meningkatkan mola hidatidosa meliputi :
1. Usia, meningkat pada ibu hamil berusia < 20 tahun dan > 35 tahun.
2. Riwayat dahulu, terdapat risiko 1,5 % pada mola komplit dan 2,7% pada mola parsial.
3. Etnik, meningkat pada ras Mongoloid dari pada ras Kaukasus.
4. Genetik, meningkat pada perempuan yang mengalami translokasi seimbang.
5. Gizi, meningkat pada mereka yang kekurangan protein, asam folat dan histidin, beta
karoten.

Klasifikasi
Penyakit Trofoblast gestasional :
1. Mola hidatidosa: Benign parsial, benign komplit, malignan invasif.
2. Neoplasma trofoblastik non molar: koriokarsinoma, tumor trofoblastik plasenta,
tumor Epitheloid trofolastik.

Patogenesis
Banyak teori yang dilontarkan mengenai mola hidatidosa, antara lain :
• Teori Hertig menganggap mola hidatidosa disebabkan oleh insufisiensi
peredaran darah akibat kematian embrio pada minggu 3-5 (Missed abortion).
• Teori Park menganggap mola hidatidosa disebabkan oleh abnormalitas jaringan
trofoblast beserta fungsinya sehingga absorbsi cairan berlebih ke dalam vili.
• Teori Sitogenetika menganggap mola hidatidosa disebabkan oleh sebuah ovum
yg tdk berinti sehingga terbentuk hasil konsepsi dengan kromosom 23X lalu
melakukan endoduplikasi menjadi 46XX.

Kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu yang akan membentuk bagian
embrional dan unsur ayah yang akan membentuk bagian ekstraembrional. Oleh karena tidak
ada unsur ibu pada Mola Hidatidosa tidak ditemukan janin yang ada hanya bagian
ektraembrional patologis berupa vili korialis yang mengalami degenerasi hidropik seperti
anggur. Kekosongan ovum terjadi karena gangguan proses meiosis: diploid 46XX yang
seharusnya pecah menjadi 2 haploid 23X, pemecahannya malah berupa 0 dan 46XX.
Gangguan proses meiosis ini antara lain dapat terjadi pada kelainan struktur kromosom
berupa translokasi seimbang. Terkadang pembuahan terjadi oleh dua buah sperma 23X dan
23Y (dispermi) sehingga terjadi 46XX atau 46XY dalam keadaan ini mola hidatidosa bersifat
heterozogotik tetapi tetap androgenetik. Pada mola parsial karotipnya triploid 69XXX,
69XXY ini terjadi karena dispermi dengan 1 haploid maternal.

Gambar 20.2
Parsial Komplit Komplit
kariotipe 69,XXX / 69 XXY 46,XX
Diagnosis (Missed Abortion ) Gestasional Mola
Ukuran uterus Kecil Besar
Kista lutein Jarang 25-30 % kasus
HCG level pertama <100,000MIU/ML >100.000MIU/ML
Komplikasi Jarang Tidak ada biasanya
GTN kasus 1-5 % kasus 15-20 % kasus
Embrio Sering Tidak ada
Amnion , eritrosit fetus Sering Tidak ada
Vili edema Fokal Menyebar
Proliferasi trofoblastik Fokal , ringan –sedang Ringan hingga parah
Trofoblastik atipia Ringan Ada
p572 KIP2 imunohisto Positif negatif

Tabel 20.1

Temuan Klinis
Gejala klinis perempuan dengan kehamilan mola telah sangat berubah selama
beberapa dekade sebelumnya karena sekarang sudah ada perawatan prenatal lebih awal dan
karena sudah ada Sonografi. Sebagai hasilnya, kebanyakan kehamilan mola dapat terdeteksi
saat masih kecil dan sebelum terjadi komplikasi.
Biasanya terjadi amenorrhea 1 sampai 2 bulan sebelum ditemukan kehamilan mola.
Pada 41 wanita dengan mola komplit yang didiagnosis dengan rata-rata waktu 10 minggu,
dilaporkan bahwa 41% tidak bergejala dan 58% memiliki gejala perdarahan jalan lahir. Lebih
lagi hanya 2% memiliki anemia atau hiperemesis, dan tidak ada riwayat gelaja klinis yang
serupa pada wanita ini.
Semakin meningkatnya usia kehamilan, gejala klinis secara umum cenderung muncul
pada mola komplit daripada mola parsial. Kehamilan mola yang tidak diobati hampir selalu
menyebabkan perdarahan uterus yang bervariasi mulai dari bercak sampai perdarahan yang
banyak. Perdarahan mungkin merupakan pertanda aborsi mola secara spontan, tetapi lebih
seringnya, terjadi secara intermiten dalam beberapa minggu sampai bulan. Pada mola yang
lebih serius dengan perdarahan uterus yang tersembunyi, terjadi anemia defisiensi Fe yang
moderat. Banyak wanita mengalami pertumbuhan uterus yang lebih cepat dari yang
diperkirakan. Pembesaran uterus yang terjdai memiliki konsistensi kenyal, tetapi tidak ada
denyut jantung janin yang terdeteksi. Mual dan muntah dapat menjadi yang signifikan. Pada
25 sampai 60 persen wanita dengan mola komplit, pada ovariumnya terdapat kista theca
lutein multipel (Gambar 20-3). Hal ini kemungkinan hasil dari stimulasi berlebih elemen
lutein karena hCG dalam jumlah besar. Karena kista theca lutein akan regresi bersamaan
dengan berakhirnya masa kehamilan, manajemen kehamilan lebih disukai. Terkadang kista
yang lebih besar mungkin dapat terjadi torsio, infark, dan perdarahan. Namun oophorectomy
tidak dilakukan kecuali terdapat infark luas yang persisten setelah pelepasan torsio.

Gambar 20-3. Gambar sonografi dari sebuah ovarium dengan kista theca-lutein pada wanita yang memiliki
mola hidatidosa

Efek hCG yang dapat menyerupai hormone thyrotropin menyebabkan peningkatan


level hormon FT4 dalam serum dan penurunan level hormone TSH. Meskipun demikian,
gejala tirotoksikosis tidak khas dan pada pengalaman, dapat menyerupai gejala lain seperti
perdarahan dan sepsis dari suatu infeksi tertentu. Lebih lagi hormon FT4 dalam serum akan
secara cepat menjadi normal setelah evakuasi uterus. Meskipun demikian, pernah ada laporan
kasus yang diduga “Badai Tiroid”.
Preeklampsia berat dan eklampsia relatif sering terjadi pada kehamilan mola yang
besar. Namun, sekarang sudah jarang terjadi karena diagnosis dan evakuasi yang lebih dini.
Pengecualian pada kasus kehamilan bersama fetus normal dengan mola komplit yang telah
dijelaskan sebelumnya. Pada kasus-kasus tersebut dimana tidak dilakukan terminasi
kehamilan, preeklamsia berat sering memaksa terjadinya kelahiran prematur. Predileksi untuk
preeklampsia diakibatkan karena adanya massa trofoblastik hipoksia yang melepaskan faktor
antiangiogenik yang menyebabkan kerusakan endotel.

Diagnosis
Sebagian besar wanita yang awalnya mengalami amenorrhea yang diikuti dengan
perdarahan yang irreguler yang hampir selalu melakukan tes kehamilan dan sonografi.
Beberapa wanita menunjukkan gejala keluarnya jaringan mola secara spontan.
Pengukuran β-hCG serum
Pada kehamilan mola komplit umumnya ada peningkatan serum β-hCG lebih tinggi
dari perkiraan usia kehamilan sebenarnya. Pada mola yang lebih berat, peningkatan sampai
angka jutaan bukan tidak biasa. Lebih pentingnya, angka yang tinggi ini dapat menyebabkan
hasil negatif palsu pada tes kehamilan karena terlalu jenuhnya hormon β-hCG pada uji tes.
Dalam kasus ini, penentuan serum β-hCG dengan atau tanpa pengenceran sampel akan
memperjelas teka-teki tersebut. Pada mola parsial, kadar β-hCG juga dapat meningkat secara
signifikan, tetapi konsentrasi umumnya mendekati perkiraan pada usia kehamilan
sebenarnya.

Sonografi
Meskipun pencitraan menggunakan sonografi merupakan andalan untuk diagnosis
penyakit trofoblastik, tidak semua kasus dikonfirmasi pada awalnya. Secara sonografis,
gambaran mola komplit mencakup massa uterus echogenik dengan banyak rongga kistik
anechoik tanpa janin atau kantung amnion. Penampilannya sering disebut “Snowstorm”
(Gambar 20-4). Mola parsial memiliki gambaran yang mencakup plasenta multikistik yang
menebal bersama adanya fetus atau setidaknya jaringan fetus. Namun, pada awal kehamilan,
gambaran karakteristik sonografi ini hanya terlihat pada kurang dari setengah kasus mola
hidatidosa. Sering terjadi kesalahan diagnosis dengan abortus inkomplit atau missed abortion.
Kadang kehamilan mola disangka sebagai kehamilan multifetal atau leiomyoma uterus
dengan degenerasi kistik.

Gambar 20-4. Sonografi dari mola hidatidosa. A. Penampang sagital dari uterus dengan mola hidatidosa
komplit. Gambaran “Snowstorm” yang khas disebabkan oleh massa uterus echogenik yang memiliki banyak
ruang kistik anechoic. Terutama tidak adanya janin dan kantong amnion. B. Gambar dari mola hidatidosa
parsial, janin tambak diatas dari plasenta multikistik (Gambar dikonstribusikan oleh DR. Elysia Moschos.)

Diagnosis Patologis
Pengawasan terhadap timbulnya neoplasia setelah terjadi kehamilan mola sangatlah
penting. Dengan demikian, mola harus dibedakan secara histologis dengan jenis kegagalan
kehamilan lain yang memiliki degenerasi plasenta hidropik yang dapat menyerupai
perubahan vili pada mola.
Pada kehamilan kurang dari 10 minggu, perubahan mola secara klasik tidak terlihat
karena mungkin tidak terjadi pelebaran vili dan mungkin belum terjadi stroma yang
edematosa dan avaskuler. Dalam kondisi seperti ini, butuh teknik lain untuk
membedakannya. Salah satu cara dengan analisis ploiditas untuk membedakan mola parsial
(triploid) dengan entitas diploid. Mola komplit dan kehamilan non-mola dengan degenerasi
plasenta hidropik, keduanya merupakan diploid. Teknik lain melibatkan pewarnaan secara
imunologi untuk mengidentifikasi protein inti p57KIP2. Penggunaan kombinasi analisis
ploiditas dan pewarnaan secara imunologi dapat digunakan untuk membedakan 1. Mola
komplit (diploid / p57KIP2 – negatif), 2. Mola parsial (troploid / p57KIP2 – positif), dan 3.
Abortus spontan dengan degenerasi plasenta hidropik (diploid / p57KIP2 – positif).

Penatalaksanaan
Preoperative
Laboratorium
 Hemogram, serum β-hCG, kreatinin, SGOT, dan SGPT
 TSH, free T4
Foto polos thoraks
Intraoperative
Large-bore intravenous catheter(s)
Anestesi umum
Oksitosin (Pitocin): 20 units dalam 1000 ml RL
Satu atau lebih agen uterotonika bisa ditambahkan:
 Methylergonovine (Methergine): 0.2 mg = 1 ml = 1 ampul IM setiap 2 jam prn
 Carboprost tromethamine (PGF2α) (Hemabate): 250 μg = 1 ml = 1 ampul IM setiap 15-90
menit prn
 Misoprostol (PGE1) (Cytotec): Tablet 200 mg per rectal, 800-1000 mg sekali
Karman cannula – ukuran 10 atau 12
Mempertimbangkan mesin sonografi
Postevacuation
Anti-D immune globulin (Rhogam) jika Rh D-negative
Memulai kontrasepsi efektif
Menilai laporan patologi
Serum β-hCG: 48 jam setelah evakuasi dilakukan, setiap minggu sampai tidak terdeteksi, kemudian
setiap bulan hingga 6 bulan

Kematian ibu akibat mola hidatidosa sangat jarang karena penegakkan diagnosis yang
cepat, penatalaksanaan yang tepat, dan pengawasan yang ketat pada gestational trophoblastic
neoplasia. Evaluasi pre-operasi juga digunakan untuk mengetahui potensi komplikasi yang
dapat terjadi seperti pre-eklampsia, hipertiroid, anemia, ketidakseimbangan elektrolit akibat
muntah, penyakit metastasis.

Terminasi pada Kehamilan Mola


Tanpa menghiraukan ukuran uterus, penanganan mola dengan cara suction curettage
adalah penanganan yang direkomendasikan. Pelebaran cervix pre-operasi dengan cairan
osmotik direkomendasikan jika pelebaran cervix sangat minimal. Perdarahan saat operasi
dapat lebih banyak dengan hadirnya kehamilan mola. Cervix melebar sebagai respon
masuknya suction curettage sepanjang 10-14 mm. Saat prosedur pengangkatan mola di
lakukan, oksitosin digunakan untuk mengurangi perdarahan. Intraoperative sonography
digunakan untuk membantu menilai apakah rongga uterus sudah benar-benar bersih. Jika
ditemukan kehamilan yang besar, keadaan ini berisiko menyebabkan insufisiensi pernapasan,
edema paru, atau emboli. Metode lain yang bisa dilakukan yaitu histerektomi pada wanita
berusia 40 tahun atau lebih. Kista teca-lutein yang di temukan pada saat histerektomi, tidak
perlu dilakukan pengangkatan. Kista ini akan berkurang saat mola di terminasi.
Pengawasan Post-Tindakan
Pengawasan ketat pada tumor gestasional persisten harus dilakukan setelah dilakukan
penanganan mola hidatidosa. IUD tidak berguna sampai level β-hCG tidak terdeteksi karena
adanya risiko perforasi uterus jika didapatkan mola yang invasif. Pengawasan biokimia
dilakukan dengan cara menilai serum β-hCG untuk mendeteksi proliferasi trofoblastik yang
baru/persisten. β-hCG dinilai 48 jam setelah pengangkatan mola. Level β-hCG yang di dapat
pertama kali ini di jadikan sebagai dasar penilaian pada level β-hCG yang akan di ambil
setiap 1 sampai 2 minggu sampai level β-hCG menurun hingga tidak terdeteksi.
Rata-rata waktu yang diperlukan hingga β-hCG tidak terdeteksi lagi yaitu 7 minggu
untuk mola parsial dan 9 minggu untuk mola komplit. Saat β-hCG sudah tidak terdeteksi,
maka di konfirmasi kembali 6 bulan setelah β-hCG tidak terdeteksi. Setelah ini, pengawasan
dihentikan dan kehamilan diperbolehkan. Jika wanita tidak hamil, tetapi level β-hCGnya
meningkat, menunjukkan adanya kembali proliferasi trofoblastik yang mengarah ke arah
keganasan.
Insidensi terjadinya keganasan yang berasal dari mola komplit adalah 15-20%, lebih
tinggi dibandingkan mola parsial 1-5%. Hasil penelitian Schorge et al. Tahun 2000
menunjukkan bahwa diagnosis dan evaluasi kehamilan mola sedini mungkin tidak
menurunkan risiko terjadinya neoplasia. Risiko yang lain adalah usia tua, level β-hCG >
100.000 mIU/mL, kista theca-lutein > 6 cm, dan penurunan perlahan level β-hCG.

NEOPLASIA TROFOBLASTIK GESTASIONAL


Kelompok ini meliputi mola yang invasif, koriokarsinoma, tumor trofoblastik daerah
placenta, dan tumor epitheloid trofoblastik. Tumor ini hampir selalu berkembang dengan atau
diikuti tanda kehamilan. Meskipun 4 tipe tumor ini secara histologi berbeda, biasanya di
diagnosis dengan peningkatan level β-hCG.

Penemuan Klinis
Tumor plasenta ini ditandai secara klinis oleh invasi agresifnya ke dalam miometrium
dan kecenderungan untuk bermetastasis. Temuan paling umum dengan neoplasma
trofoblastik gestasional adalah perdarahan tidak teratur yang berhubungan dengan
subinvolusi uterus. Pendarahan mungkin terjadi terus menerus atau intermiten, dengan
perdarahan mendadak dan terkadang masif. Perforasi miometrium dari pertumbuhan trofoblas
dapat menyebabkan perdarahan intraperitonium. Pada beberapa wanita, metastasis ke traktus
genitalia bawah (vagina atau vulva) jelas, sedangkan pada wanita lain hanya ada metastasis
jauh tanpa tanda adanya tumor uterus.

Diagnosis, Stadium, dan Penilaian Prognostik


Pertimbangan akan kemungkinan neoplasia trofoblas gestasional adalah faktor yang
paling penting dalam mengenalinya. Pendarahan yang menetap setelah tipe kehamilan
apapun sepatutnya mendorong kita segera melakukan pengukuran kadar β-hCG serum dan
mempertimbangan untuk kuretase diagnostik. Ukuran uterus dinilai bersama dengan
pemeriksaan yang teliti terhadap adanya metastasis traktus genitalia bawah, yang biasanya
tampak sebagai massa vaskular kebiruan (Cagayan, 2010). Diagnosis jaringan tidak
diperlukan, dengan demikian biopsi tidak diperlukan dan dapat menyebabkan perdarahan
yang signifikan.
Setelah diagnosis dibuktikan, selain kadar β-hCG serum awal dan hemogram,
pencarian untuk penyakit lokal dan metastasis meliputi tes fungsi hati dan ginjal, sonografi
transvaginal, CT scan atau radiografi dada, dan CT scan atau MRI otak serta abdominopelvic.
Lebih jarang, pencitraan positronemission tomographic (PET) dan penentuan kadar β-hCG
pada cairan serebrospinal digunakan untuk mengidentifikasi metastasis (Lurain, 2011).
Penentuan stadium klinis dari neoplasia trofoblastik gestasional menggunakan sistem
Federasi Internasional dari Ginekologi dan Obstetri (FIGO) (2009). Ini termasuk modifikasi
dari skor indeks prognostik Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (1983), dengan skor 0
hingga 4 diberikan untuk masing-masing kategori yang ditunjukkan pada Tabel 20-4. Wanita
dengan skor WHO 0 hingga 6 dianggap memiliki penyakit berisiko rendah, sedangkan wanita
dengan skor ≥ 7 dianggap dalam kelompok berisiko tinggi.

Tabel 20.4 Stadium Federasi Internasional dari Ginekologi dan Obstetri (FIGO) dan Sistem Penilaian
Diagnostik untuk Neoplasia Trofoblastik Gestasional
Stadium Anatomis
Stadium I Penyakit terbatas pada uterus
NTG meluas keluar uterus tetapi terbatas pada struktur-struktur
Stadium II
genital (adnexa, vagina, ligamentum latum)
NTG meluas ke paru-paru, dengan atau tanpa keterlibatan
Stadium III
traktus genital yang diketahui
Stadium IV Semua tempat metastasis lain
Sistem Penilaian Prognostik Modifikasi WHOa
Skorb 0 1 2 4
Umur <40 ≧40 - - 
Kehamilan Sebelumnya Mola Abortus Cukup bulan - 
Jarak setelah Indeks Kehamilan
<4  4-6  7-12 >12
(bulan)
β-hCG serum sebelum
<103 103 - 104 104 - 105 ≧105
Terapi(mIU/ml)
Ukuran tumor terbesar (termasuk
<3 cm 3-4 cm ≧5 cm  -
uterus)
Traktus
Tempat metastasis  - Lien, ginjal Hati, otak
gastrointestinal
Jumlah metastasis  -  1-4 5-8  >8
Obat-obatan kemoterapi yang gagal
 -  - 1 ≧2
sebelumnya
a
Diadaptasi oleh FIGO
b
Risiko rendah - skor WHO 0 sampai 6; risiko tinggi - skor WHO >7
Diadaptasi dari Komite FIGO pada Ginekologik Onkologi, 2009

Klasifikasi Histologis
Sekali lagi, ditekankan bahwa diagnosis neoplasia trofoblastik biasanya dibuat dengan
kadar β-hCG serum yang terus meningkat tanpa konfirmasi dengan studi jaringan patologis.
Urutan klinis dilakukan tanpa memperhatikan temuan histologis, bahkan jika ada. Namun,
ada beberapa tipe histologis berbeda yang akan dijelaskan selanjutnya.

Mola Invasif
Ini adalah neoplasma trofoblastik paling umum yang diikuti oleh mola hidatidosa, dan
hampir semua mola invasif muncul dari mola parsial atau lengkap (Sebire, 2005).
Sebelumnya dikenal sebagai korioadenoma destruens, mola invasif ditandai dengan invasi
jaringan yang luas oleh trofoblas dan keseluruhan vili. Terdapat penetrasi yang jauh ke dalam
miometrium, kadang-kadang dengan keterlibatan peritoneum, parametrium yang berdekatan,
atau kubah vagina. Meskipun agresif secara lokal, mola invasif kurang mudah terhadap
metastasis seperti pada koriokarsinoma.

Koriokarsinoma Gestasional
Ini adalah jenis neoplasma trofoblastik yang paling umum setelah kehamilan cukup
bulan atau keguguran, dan hanya sepertiga kasus setelah kehamilan molar (Soper, 2006).
Koriokarsinoma tersusun atas sel-sel sisa dari sitotrofoblas dan syncytiotrofoblas awal,
namun tidak mengandung vili. Tumor yang tumbuh cepat ini menginvasi baik miometrium
dan pembuluh darah sehingga menimbulkan perdarahan dan nekrosis. Tumor miometrium
dapat menyebar ke luar dan menjadi terlihat pada permukaan rahim sebagai nodul gelap dan
irreguler. Metastasis sering berkembang lebih awal dan umumnya disebarkan melalui darah
(Gbr. 20-5). Lokasi yang paling sering adalah paru-paru dan vagina, tetapi tumor mungkin
bermetastasis ke vulva, ginjal, hati, ovarium, otak, dan usus. Koriokarsinoma biasanya
disertai dengan kista theca-lutein ovarium.
Gambar 20-5. Koriokarsinoma metastase A. Radiografi dada menunjukkan lesi metastasis yang menyebar luas.
B. Spesimen otopsi dengan metastasis hepatik perdarahan multiple. (Gambar dikontribusikan oleh Dr. Michael
Conner.)

Tumor Trofoblastik Daerah Plasenta (PSST)


Tumor yang tidak biasa ini muncul dari tempat implantasi trofoblast intermediat.
Tumor ini memiliki kaitan dengan kadar β-hCG serum yang mungkin hanya sedikit
meningkat, tetapi tumor tersebut menghasilkan bentuk varian hCG, dan identifikasi
perbandingan yang tinggi dari β-hCG bebas (> 30 persen) dianggap diagnostik. Terapi tumor
trofoblas daerah plasenta dengan histerektomi lebih disukai karena tumor-tumor yang invasif
secara lokal ini biasanya resisten terhadap kemoterapi (Baergen, 2006). Untuk tahap I yang
memiliki risiko lebih tinggi dan untuk tahap selanjutnya, kemoterapi multidrug adjuvan juga
diberikan (Schmid, 2009).

Tumor Trofoblastik Epiteloid


Tumor langka ini berkembang dari trofoblas menengah tipe korionik. Secara kasar,
tumor tumbuh dengan cara nodular. Terapi primer adalah histerektomi karena tumor ini
relatif resisten terhadap kemoterapi. Sekitar seperempat wanita dengan neoplasma ini akan
memiliki penyakit metastasis, dan mereka diberikan kemoterapi kombinasi (Morgan, 2008).
Terapi
Wanita dengan neoplasia trofoblastik gestasional paling baik ditangani oleh ahli
onkologi. Kemoterapi biasanya merupakan terapi utama, dan evakuasi berulang kebanyakann
tidak direkomendasikan karena risiko perforasi uterus, perdarahan, infeksi, atau terbentuknya
adhesi intrauterin. Dalam beberapa, kuretase hisap mungkin diperlukan jika terdapat
perdarahan atau sejumlah besar jaringan molar yang tertahan. Meskipun kontroversial,
beberapa juga mempertimbangkan evakuasi uterus kedua untuk menjadi pilihan terapi awal
dalam beberapa kasus GTN setelah evakuasi molar dalam upaya menghindari atau
meminimalkan kemoterapi (Pezeshki, 2004; van Trommel, 2005). Selain itu, dalam kasus-
kasus tertentu, histerektomi dapat menjadi terapi primer atau adjuvant (Clark, 2010).
Protokol kemoterapi agen tunggal biasanya cukup untuk neoplasia nonmetastatis atau
metastasis berisiko rendah (Horowitz, 2009). Dalam ulasan mereka terhadap 108 wanita
dengan penyakit berisiko rendah, Abrão dan rekan (2008) melaporkan bahwa protokol
monoterapi dengan metotreksat atau aktinomisin D sama-sama efektif dibandingkan dengan
rejimen yang mengandung keduanya. Secara umum, metotreksat kurang toksik daripada
aktinomisin D (Chan, 2006; Seckl, 2010). Regimen diulang sampai kadar β-hCG serum tidak
terdeteksi.
Kemoterapi kombinasi diberikan untuk penyakit berisiko tinggi, dan angka
kesembuhan yang dilaporkan mendekati 90 persen (Lurain, 2010). Sejumlah rejimen telah
digunakan dengan sukses. Salah satunya adalah EMA-CO, yang meliputi etoposida,
metotreksat, aktinomisin D, siklofosfamid, dan onkovin (vincristine). Bedah dan radioterapi
adjuvant juga dapat digunakan (Hanna, 2010).
Baik dengan penyakit berisiko rendah atau tinggi, begitu kadar β-hCG serum tidak
terdeteksi, pengawasan serum dilanjutkan selama 1 tahun. Selama waktu ini, kontrasepsi
yang efektif sangat penting untuk menghindari efek teratogenik dari kemoterapi pada janin
serta untuk mengurangi kebingungan dari peningkatan kadar β-hCG yang disebabkan oleh
kehamilan yang tumpang tindih.
Sejumlah kecil perempuan selama pengawasan, meskipun tidak ada bukti metastasis,
akan ditemukan memiliki kadar β-hCG yang sangat rendah yang mendatar. Fenomena ini
disebut sebagai hCG diam dan mungkin disebabkan oleh trofoblas menetap. Observasi
tersendiri tanpa terapi dianjurkan, dan 20 persen pada akhirnya akan mengalami neoplasia
trofobastik aktif berulang dan progresif (Khanlian, 2003).

KEHAMILAN SELANJUTNYA
Wanita dengan penyakit trofoblastik gestasional sebelumnya atau neoplasia yang
berhasil diobati sepenuhnya biasanya tidak memiliki gangguan kesuburan, dan hasil
kehamilan mereka biasanya normal (Tse, 2012). Perhatian utama pada wanita ini adalah
risiko 2 persen bagi mereka untuk mengembangkan penyakit trofoblastik pada kehamilan
berikutnya (Garrett, 2008). Evaluasi sonografi direkomendasikan pada awal kehamilan, dan
selanjutnya jika diindikasikan. Pada saat persalinan, plasenta atau produk konsepsi dikirim
untuk evaluasi patologis, dan kadar β-hCG serum diukur 6 minggu setelah melahirkan.
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, F. Gary dkk. 2014. Williams Obstetrics 24th Edition. United States : McGraw
Hill.

Anda mungkin juga menyukai